“Aceh dan Islami” Fatwa Sesat Aliran sesat adalah “aib besar” bagi

advertisement
“Aceh dan Islami” Fatwa Sesat
Teuku Muhammad Jafar Sulaiman
Aliran sesat adalah “aib besar” bagi syariat Islam Aceh, begitulah kalimat-kalimat yang dapat segera kita tangkap ketika
ada pemberitaan media dan disetiap kesempatan-kesempatan berbicara didepan umum bagi sebagian kalangan di
Aceh. Pertanyaan selanjutnya, sudah selesaikah kalimat-kalimat ini ?. Ternyata belum, bagi orang yang punya
kepedulian lebih tinggi daripada sekedar pernyataan diatas, akan menyambung statement tersebut dengan kalimat
“ternyata, lahirnya fatwa sesat lebih besar aibnya daripada orang/aliran/kelompok yang difatwakan sesat tersebut”.
Betapa tidak, banyak sekali nilai-nilai yang dipertaruhkan dari sebuah fatwa sesat itu, relasi sosial, interaksi sosial, nama
baik, penghormatan terhadap manusia selaku makhluk yang boleh berbeda, dan banyak sekali nilai lainnya.
Lahirnya sebuah fatwa sesat, mestilah dilihat secara kritis dan radix (sampai keakar-akarnya), banyak perpaduan disitu,
tidak mungkin hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja yaitu normatif-teologis, fatwa juga harus dilihat dan
ditelaah berdasarkan dampak dan potensi yang akan ditimbulkan pasca fatwa tersebut dihadirkan atau lebih tepat
“dipaksakan” hadir diruang publik, ruang yang tidak bisa netral sama sekali, karena akan banyak sekali relasi-kuasa
relasi kuasa yang bermain.
Sebagai sebuah kuasa, fatwa hanyalah mekanisme, bukan milik, Karena sebagai sebuah mekanismelah maka fatwa
harus dibedah, dicerai berai menjadi kepingan-kepingan kecil, sehingga kita bisa tahu, dimana posisi kewenagan dan
prosedur, dimana posisi orang yang dituduhkan sesat, dalam relasi kesetaraan atau perendahan martabat, dimana
eksistensi individu-individu sang pemberi fatwa, Jika kuasa fatwa sebagai mekanisme maka banyak hal yang harus
disapa dan dilihat, kalau kuasa fatwa sebagai milik, maka fatwa itu akan jatuh kedalam liang lahat otoritarianisme, yang
keputusannya ahistoris terhadap realita lapangan.
Membedah Realita ; Memperkaya Pendekatan
Sinyalemen tuduhan aliran sesat sering tidak proporsional, bukanlah semata-mata akibat persoalan keagamaan yang
normatif-teologis, atau dalam bahasa sederhana dalam arena membela agama, namun sering sekali dilatari oleh
persoalan-persoalan sosial lainnya, seperti kecemburuan, ketersaingan pengaruh dan takut kehilangan umat, disini
kesadaran kita dibuat terkotak-kotak tanpa pegangan dan cendrung prematur, juga tanpa pencerdasan jika hanya
melihat fenomena sesat secara case by case, sejatinya, semua harus kita lihat dalam skala makro Aceh untuk
membentuk sebuah peradaban yang maju, terbuka, toleran yang bermuara pada satu tema besar, peradaban yang
mempunyai harkat dan martabat. Lalu, wajar adanya jika kemudian kita bertanya, mau dibawa kemana peradaban Aceh
dengan fatwa sesat ini ?.
Menilik secara lebih dalam, akar segala persoalan tuduhan aliran sesat, adalah persoalan kharisma dan dominasi yang
tidak ingin dilampaui dalam kelas sosial keagamaan, maka untuk membungkam lawan kelasnya itu, cara paling mudah
dan rasional serta segera mendapatkan simpati massa adalah “tuduhan sesat”, tuduhan ini segera diselingi dengan
satu kalimat sakti lainnya, yaitu “meresahkan masyarakat”, kalimat ini, kalau selamanya kita lihat dan resapi sampai
kealam bawah sadar kita secara tunggal, maka habislah peradaban kita kedepan. Kenapa, kalau melihat secara tunggal
berarti kita terus membiarkan negara menindas kita, karena negara lepas tangan, dan negara segera berkata “aliran
sesat adalah musuh kita bersama, aib bagi syariat Islam, maka harus kita lawan bersama”.
Padahal definisi “meresahkan masyarakat” itu sangat berwajah, banyak bentuk dan tidak tunggal, apakah misalnya
korupsi, kesewenang-wenangan dan penyimpangan otoritas pejabat publik, ketidak merataan distribusi kesejahteraan,
tebang pilih dalam penghukuman terhadap pelanggar syariat, apakah ini bukan sebuah keresahan bagi masyarakat ?.
Terkait segala persoalan segregasi sosial yang bisa mewujud kepada kekerasan fisik, apalagi tuduhan aliran sesat,
maka semuanya harus kita pulangkan kepada pemerintah Aceh. Dimana posisi pemerintah, netralkah pemerintah ,
negarawankah persfektifnya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tuduhan aliran sesat ini, atau malah
berselingkuh dengan kaum-kaum Borjouis keagamaan untuk kelanggengan, elektabilitas seperti yang dipraktekkan oleh
beberapa kepala daerah di Aceh ?. Jika kecemburuan, rebutan pengaruh diatas dilatar belakangi oleh persoalan modal
(ekonomi), dimanakah posisi pemerintah dalam memenuhi kewajibannya untuk memberikan kesejahteraan kepada
rakyatnya ?.
Terlepas dari itu semua, kita juga patut krtisis terhadap posisi Dinas Syariat Islam, MPU dan Mahkamah Syariyah,
bagaimanakah persfektif ketiga lembaga ini dalam menangani persoalan tuduhan sesat , memberi pembelajaran
kepada umat, atau justru malah membuat umat semakin kebingungan. Pertanyaannya , apa substansinya Mahkamah
Syariyah dalam syariat Islam Aceh, dimana Mahkamah ketika ada persoalan-persoalan terkait tuduhan aliran sesat,
dimana mekanisme yang paling setara dan bisa dipercaya bagi orang yang dituduh sesat untuk membantah tuduhan
terhadap dirinya adalah pengadilan, karena disana bisa dilakukan verikasi data dan pembuktian. Namun ruang itu tak
pernah dibuka, bahkan ditutup rapat, kita tidak melihat sama sekali superioritas Mahkamah Syariyah, kecuali hanya
pada persoalan-persoalan cambuk untuk rakyat kecil.
Apa daya, ketiga lembaga ini sepertinya saling menegakkan bahu, mana yang lebih tinggi dan powerfull, MPU tidak
pernah mengarahkan mekanisme bahwa terkait persoalan-persoalan pelanggaran terhadap aqidah, maka mekanisme
pembuktiannya adalah di Mahkamah Syariyah, Dinas Syariat Islampun belum memainkan peran sebagai institusi yang
mengawal syariat Islam secara mencerahkan, yang ada justru semakin memperlebar jurang segregasi sosial
dimasyarakat dengan mengutamakan penegakan syariat secara rigid dan menjauh dari akar persoalan keummatan
yang melahirkan tuduhan-tuduhan, bagaimana mengelola perbedaan paham, tafsir diinternal Islam belum mendapatkan
perhatian bagi MPU Aceh.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh memberikan batasan tegas secara normatif, mengenai mekanisme dan wewenang
fatwa sesat ini, Apakah ada mekanisme secara normatif bahwa fatwa setelah dibacakan diserahkan kemedia untuk
dipublis ?. apakah ada mekanisme bahwa fatwa itu harus dibaca dihadapan orang yang difatwakan sesat, sehingga
mengundang kerumunan massa yang sangat rentan berubah menjadi benturan fisik ?. apakah yang menentukan sesat
tidaknya itu adalah MPU, atau pemerintah Provinsi ?, MPU hanya menentukan kriteria-kriteria saja, bentuk-bentuknya
saja kemudian diarahkan kepada pemerintah dan pemerintah provinsi yang memutuskan. Mana yang harus diikuti umat,
yang dipraktekkan sekarang, atau mengikuti aturan-aturan normatif tertulis ?. Yang sangat dibutuhkan oleh umat adalah
sebuah kepastian hukum, bukan keputusan tanpa kepastian, kepastian hukum sangat mahal di Aceh saat ini,
mendapatkannya seperti mencari sebuah jarum hitam kecil ditengah gelap gulita.
Melihat karakter dan anatomi lahirnya tuduhan aliran sesat pada kasus-kasus tertentu diatas, maka tidak selamanya
pendekatan normatif-teologis (yang melahirkan fatwa sesat) dapat digunakan untuk menyelesaikan kait kelindan
masalah ini, karena berbicara kata-kata “aliran sesat”pun ini juga sangat bias dan debatable, liar dan mematikan, karena
kita juga harus melihat bahwa konstruksi “aliran sesat” dibentuk diranah milik (kuasa) bukan diranah mekanisme, karena
kalau didefinisikan diranah mekanisme, maka perbedaan-perbedaan tafsir baik diranah syari’at, teologi, tasawuf pasti
akan mendapatkan tempat yang akomodatif, tapi yang terjadi kemudian, kata “aliran sesat” ternyata mematikan
“perbedaan-perbedaan”. semua diarahkan kepada ketunggalan faham, tafsir dan mazhab.
Karena itu untuk membedah fenomena sosial lahirnya tuduhan aliran sesat ini maka ada beberapa pendekatan yang
bisa dilakukan diluar pendekatan noramtif-teologis yang terkadang tidak bisa menjawab dan memberi solusi, (Zainal
Abidin Bagir, 2013) :
1. Pendekatan sivik, dimana peristiwa tuduhan sesat harus dilihat dan dibedah dari sudut pandang internal kepentingan
suatu kelompok masyarakat. Untuk kepentingan yang lebih luas, kita perlu mencari suatu sudut pandang yang lebih
luas dan inklusif, dimana isu utamanya adalah berbicara masalah posisi, hak dan kewajiban warga negara
berhadapan dengan warga lain dan dengan negara.
2. Pendekatan Akademik, pendekatan yang dapat dipakai adalah pendekatan studi agama misalnya, pendekatan ini
sudah cukup lazim dan berkembang dibanyak tempat. Pendekatan ini dapat menjadi sumber daya akademik untuk
mendekati fenomena “tuduhan aliran sesat, sebagai alternatif pendekatan secara normatif-teologis. Diskursus
teologis tidaklah keliru, justru diperlukan dalam internal sebuah agama, namun tak dapat memenuhi kebutuhan
persfektif sivik seperti tersebut diatas. Pendekatan studi agama adalah pendekatan ilmu-ilmu historis, yang berangkat
dari kenyataan empiris, bukan dari norma-norma tertentu. Kasus-kasus yang disebut “aliran sesat” adalah peristiwa
sosial, dan dapat dipahami dalam kerangka disiplin ini.
Dengan menggunakan dua pendekatan ini, maka akan segera kita dapati bahwa bahasa-bahasa sesat itu memang
sudah bias, karena hanya disandarkan pada pendekatan normatif – teologis untuk memperjuangkan kepentingan
internal suatu kelompok. Padahal itu semua adalah merupakan konstruksi internal eksklusif suatu kelompok tertentu.
Pendekatan Pengelolaan keberagaman.
Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan konsep legal, yang bisa digunakan untuk mencerminkan
aspirasi dimana perbedaan tidak menjadi pertentangan sosial. Dalam pengelolaan keberagaman. Hukum adalah salah
satu unsurnya, namun ada kepercayaan kuat dalam persfektif ini bahwa masyarakat demokratis yang beragama dan
hidup rukun dalam keragaman , tidak bisa dicapai hanya melalui hukum dan pelaksanaan hukum yang baik, namun
juga melibatkan kekuatan-kekuatan masyarakat sipil untuk membentuk etos sebagai konsensus-konsensus sosial.
Dengan kata lain, masalah “tuduhan sesat” tidak bisa hanya diselesaikan secara legal, namun menuntut diciptakannya
mekanisme-mekanisme sosial lain dan sampai tingkat tertentu juga transformasi masyarakat.
“Islamisasi” Fatwa Sesat
Fatwa adalah pendapat hukum tidak mengikat (unbinding legal opinion) yang dikeluarkan seorang mufti (pemberi fatwa)
merespon pertanyaan-pertanyaan hukum masyarakat berdasar kategori-kategori hukum, sehingga tidak dapat diajdikan
pedoman dalam menilai kesesatan sebuah keyakinan. Disini juga terjadi persoalan krusial, dimana ketika fatwa sesat
diputuskan, maka dilapangan terjadi eksekusi-eksekusi seolah-olah fatwa itu sangat mengikat dan seperti keputusan
sebuah pengadilan, lagi-lagi kita membutuhkan ketegasan pemerintah Aceh terkait masalah ini.
Islamisasi fatwa bermakna bahwa disamping masalah kewenangan dan prosedur (yang realitanya masih bermasalah),
produk hukum Islam yang disebut fatwa sesat dintuntut juga untuk memenuhi tujuan-tujuan filosofik dan substantif
hukum Islam, yang dikenal dengan maqasid al-syari’ah yang meliputi lima hal pokok (al-usul al-khamsa) yang harus
diperhatikan, dijaga dan diraih , yaitu hifz nasl, hifz al-aql, hifz al-nafs, hifz al-mal, dan hifz al-din. Dengan kata lain,
sebuah fatwa dibangun dan dihasilkan adalah untuk mewujudkan pesan utama maqasid yang bermuara pada keadilan,
maslahat, serta hak hak dan kehormatan umat manusia. Seperti dalam tafsir kontemporer yang dikembangkan oleh
Jasser Auda (2008), ketua dan pendiri Al Maqasid Research Centre in the Philosophy of Islamic Law shariah dimana
kaitan fatwa denagn kelima hal pokok diatas, yaitu :
1. hifz nasl ; melindungi keturunan atau generasi akan datang dari kemiskinan, kebodohan, kemelaratan dan kejahatan
2. hifz al-aql; melindungi kebebasan berfikir dan pengembangan pengetahuan, riset dan kegiatan-kegiatan ilmiah
lainnya.
3. hifz al-nafs; melindungi jiwa dan hak-hak asasi manusia. hifz al-mal; melindungi harta dengan member perhatian
terhadap pembangunan
4. ekonomi, kesejahteraan masyarakat serta pemerataan. hifz al-din; melindungi dan menghormati kebebasan
beragama dan berkeyakinan.
Dalam mengeksplorasi tuduhan-tuduhan sesat, tidak bisa selalu melalui pendekatan literalis, namun harus
menggunakan pendekatan kontekstual, langkah yang demikian hanya bisa didapat melalui pegembangan maqasid alsyari’ah itu sendiri. Ada kekhawatiran bahwa penggunaan pendekatan normatif (fiqh, ushul fiqh) secara mandiri tanpa
dikombinasikan dengan konteks sosial bisa berakibat pada munculnya produk hukum yang kaku dan ambigu, bahkan
kurang manusiawi (Turaby, 2000). Diatas semuanya, kemanusiaan adalah elemen penting dalam aplikasi hukumhukum Islam, penghargaan terhadap martabat manusia seperti disampaikan Auda, bahwa fatwa digunakan adalah juga
untuk melindungi jiwa dan hak-hak asasi manusia, Kemanusiaan adalah juga elemen paling penting dalam mewujudkan
peradaban aceh yang bermartabat, lantas berkorelasi positif atau negatifkah fatwa sesat terhadap penghargaan
martabat manusia ?. banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan bersama untuk Aceh yang semakin
baik, terbuka dan toleran.
Download