Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang - SIMBI

advertisement
Mam
MAKALAH ISLAM
Pernikahan Beda Agama Perspektif
Undang-Undang Perkawinan
20 Oktober 2014
Makalah Islam
Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang
Perkawinan
H. Anwar Saadi
(Kepala Subdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan
Binsyar)
Permohonan uji materil pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan
oleh Damian Agata Yuvens, dkk., ke Mahkamah
Konstitusi merupakan fenomena yang menarik untuk
dicermati dalam tulisan ini.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 thun 1974
tentang Perkawinan menyatakan: “Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Salah satu dalil yang dikemukakan para pemohon
adalah bahwa negara “memaksa” agar setiap warga
negaranya untuk tunduk kepada suatu penafsiran yang
dianut negara atas masing-masing agama/ kepercayaan.
Pasal tersebut juga merupakan penghakiman yang
dilakukan oleh negara terhadap warga negara yang
melakukan perkawinan melalui pasal 2 ayat 1 (satu) UU
No. 1 tahun 1974. Sehingga berakibat pada tidak jelasnya
status perkawinan beda agama dan kepercayaan yang
dijalani, sah atau tidak sah?
Para pemohon menggunakan pasal 28 ayat (1) UU
NRI 1945 sebagai batu uji:
“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hokum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hokum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidk dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”
Tujuan Perkawinan
Di dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan
tentang makna dan tujuan perkawinan yaitu ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang MahaEsa.
Untuk mencapai tujuan ini Islam memberikan
kriteria bagi calon pasangan nikah untuk memiliki
passangan nikah secara tepat dengan mempertimbangkan:
faktor keunggulan pisik, nasab(keturunan orang yang
baik), kemapanan materi(mampu memberikan daya
dukung ekonomi keluarga), dan kematangan agama atau
keyakinan. Memilih pasangan nikah yang memiliki
kematangan ataupun kedalaman dalam pemahaman
agama menjadi sesuatu yang harus diprioritaskan. Karena
kematangan dalam beragama menjadi kekuatan spiritual
bagi pasangan keluarga dalam mengarungi bahtera rumah
tangga.
Dengan bekal kedalaman pemahaman agama bagi
pasangan suami isteri, akan memudahkan keluarga yang
bersangkutan mendapatkan tujuan yang diinginkan dalam
berkeluarga yaitu keluarga bahagia sakinah mawaddah
warahmah.
Perkawinan dalam Islam menimbulkan akibat
hukum yang harus dijalankan oleh pasangan suami isteri.
Suami menjadi kepala rumah tangga sekaligus sebagai
imam bagi isteri dan anak-anak yang lahir dari keduanya.
Suami berkewajiban mencari nafkah buat keluarganya,
mendidik dan memberikan rasa aman bagi kelurganya.
Itulah norma dalam keluarga yang diajarkan agama.
Penerapan nilai-nilai atau pun norma dalam keluarga yang
diajarkan agama dapat membimbing seseorang untuk
dapat meraih kebahagiaan rumah tangga.
Memilih Pasangan Yang Seiman
Mengapa harus memilih pasangan yang seiman?
Setidaknya ada ... alasan mengapa memilih pasangan
harus yang seiman. Pertama; nikah itu merupakan
perintah agama dengan tujuan mendapatkan ketenangan
dan ketenteraman dalam rumah tangga. Kedua, nikah
diharapkan dapat melahirkan keturunan yang saleh dan
salihah yang berbakti kepada kedua orang tua dan
beribadah kepada Allah Swt. Ketiga, nikah menimbulkan
hak dan kewajiban suami isteri sebagaimana telah
diajarkan Alquran dan sunnah. Keempat, ada kewajiban
suami menjaga, mendidik, dan menyelamatkan
keluarganya dari siksa neraka baik di dunia maupun di
akhirat
Alquran melarang pria muslim menikahi wanita
musyrik sampai ia beriman. Wanita hamba sahaya yang
beriman adalah lebih baik dibanding wanita musyrik.
Alquran juga melarang para orang tua untuk menikahkan
anak mereka (wanita mukminah) kepada laki-laki
musyrik. Laki-laki hamba sahaya yang beriman lebih
mulia dari laki-laki musyrik. Mereka mengajak kamu
kepada neraka sedang Allah mengajak ke surga...(QS.2,
Al-Baqarah: 221).
Fatwa MUI TentangPerkawinan Beda Agama
Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah dua kali
mengeluarkan fatwa tentang haramnya perkawinan beda
agama. Pertama fatwa yang dikeluarkan pada 1 Juni
tahun 1980, waktu itu MUI diketuai oleh Buya Hamka.
Fatwa yang dikeluarkan berisi:
1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non
muslim adalah haram hukumnya.
2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini
wanita bukan muslim. Fatwa ini mengambil dasar
dari Alquran: QS.2, Albaqarah: 221, QS.5,
Almaidah: 5, QS.60, Al-mumtahanah: 10, QS.66,
Attahrim: 6 dan Hadits Nabi Saw “Pernikahan
merupakan pengamalan separuh agama” serta Hadits
bahwa “semua anak dilahirkan dalam keadaan suci,
maka ibu bapaknyalah yang menjadikannya
beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”
Kedua, fatwa yang dikeluarkan pada tanggal 29 Juli
tahun 2005 berisi:
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu
kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan
tidak sah.
Keabsahan Perkawinan
Bagi bangsa Indonesia yang memiliki berbagai
pemeluk agama dan adat istiadat, pasal 2 ayat 1 (satu) ini
memiliki makna yang final. Karena sebelum UndangUndang ini diberlakukan, masyarakat Indonesia memiliki
dasar hukum perkawinan yang berbeda-beda. Bagi orang
Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum
agama yang telah diresiplir dalam hukum adat. Bagi orang
Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku
Huwelijksordonnantie Christian Indonesia. Bagi orang
Indonesia keturunan Cina, Eropa, dan lainnya berlaku
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal ini sesungguhnya merangkum berbagai
hukum perkawinan yang berbeda-beda itu menjadi satu
pasal yang dapat dimaknai sebagai sebuah dalil yang
memuat seluruh kepentingan warga negara yang beragam
etnis dan agama.
Undang-undang ini memiliki apresiasi dan bahkan
menempatkan hukum masing-masing agama sebagai
lembaga yang menentukan sah tidaknya suatu
perkawinan. Kewenangan ini tidak bisa didelegasikan
kepada negara. Tapi menjadi domain hukum masingmasing agama. Negara hanya menjalankan fungsi
administrasi yakni mencatat peristiwa perkawinan yang
telah mendapatkan legalitas atau keabsahan secara
syariat.
Jadi sangat keliru jika ada anggapan pasal 2 ayat 1
(satu) di atas merupakan sebuah pemaksaan negara
terhadap kebebasan menjalankan agama. Apa yang tertera
dalam pasal tersebut justeru memberikan perlindungan
dan jaminan kebebasan umat beragama untuk
menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Efek Perkawinan Beda Agama
Undang-undang No.1 tahun 1974 tidak mengenal
perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama
merupakan fakta yang terjadi oleh segelintir orang yang
mengusung teologi lintas agama dan kebebasan hak asasi
manusia. Dari beberapa kasus yang terjadi perkawinan
beda agama selalu menyisakan konflik dalam keluarga,
jika anggota keluarganya melangsungkan perkawinan
dengan pasangan beda agama. Orang tua dari pemeluk
agama manapun akan resah dan menolak perjodohan
anaknya dengan pasangan berbeda agama.
Jika terjadi perkawinan beda agama maka terjadi
konflik kepentingan dalam pengasuhan anak, orang tua
yang beragama Islam memiliki kewajiban mendidik
anaknya secara Islam begitu pun sebaliknya yang non
muslim.
Perkawinan beda agama juga menyisakan
persoalan administrasi yang merugikan pelaku nikah
beda agama. Meskipun ada lembaga yang bertindak
sebagai “KUA swasta” menikahkan pasangan beda
agama, tetap saja bukti nikahnya tidak dapat dicatat di
KUA Kecamatan.
Ketahuilah bahwa perkawinan merupakan lembaga
suci yang disyariatkan Allah kepada manusia untuk
menjadi media mempertahankan keturunan, tata caranya
diatur oleh agama. Hidup kita harus tunduk pada aturan
agama. Jangan kita menolak sebuah keniscayaan bahwa
kita ditakdirkan menjadi manusia untuk taat dan
mengikuti hukum dan aturan Tuhan. Bukan sebaliknya
menggunakan isu kebebasan untuk menolak ajaran suci
yang disyariatkan agama.
Hindari Protes Umat Beragama
Jika permohonan uji materil pasal 2 ayat 1 (satu)
UU No. 1 tahun 1974 yang diajukan pemohon dikabulkan
MK justeru menimbulkan berbagai persoalan yang sangat
kompleks diantaranya ketidakjelasan batasan dan jaminan
negara terhadap pengamalan ajaran agama bagi masingmasing pemeluk agama, terbukanya kemungkinan konflik
dan intoleransi antara umat beragama dan akan muncul
gelombang protes dan penolakan umat beragama
khususnya umat Islam sebagai umat mayoritas di
Indonesia.
Kita berharap semoga para penentu arah kebijakan
bangsa ini tetap mengedepankan kemaslahatan umat dan
bangsa Indonesia dari berbagai rongrongan dan
perpecahan serta gangguan yang menimbulkan
instabilitas nasional. Semoga Allah Swt selalu melindungi
dan merahmati bangsa dan negara kita. Amiin.
Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini
Download