BAB 1 - Library Binus

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Remaja menurut Erikson (dalam Lahey, 2009) merupakan salah satu
tahap
perkembangan hidup manusia. Erikson menambahkan bahwa remaja menghadapi
pergulatan identity vs confussion identity, dimana remaja berusaha mencari tahu siapa
dirinya. Dalam masa peralihan ini, banyak remaja mengalami krisis identitas. Replein
(dalam Monks, Knoers dan Haditono, 1998) mengemukakan bahwa masa remaja
merupakan tahapan krisis yang ditunjukan dengan adanya kepekaan dan labilitas tinggi,
penuh gejolak dan ketidakstabilan emosi, sehingga remaja rentan bereaksi apabila
emosinya tersulut. Reaksi-reaksi emosional yang ditunjukkan oleh remaja meliputi rasa
marah, dan tindak kekerasan seperti memukul, menendang, perusakan terhadap objek
tertentu pada hakikatnya merupakan cerminan dari agresivitas individu itu sendiri.
Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti
orang lain baik secara fisik maupun mental (Aziz & Mangestuti, 2006). Myers (dalam
Sarwono, 2002) membagi agresi ke dalam dua jenis yaitu (1) agresi marah (hostile),
yaitu ungkapan kemarahan ditandai dengan emosi yang tinggi, contoh : remaja yang
marah karena diolok-olok temannya, kemudian memukul dan menganiaya teman
tersebut. (2) Agresi instrumental, yaitu agresi yang biasanya tidak disertai dengan emosi,
agresi ini hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain. Contoh : seorang remaja
mengancam teman sebayanya atau anak yang lebih muda usianya untuk memungut uang
paksa (pemalakan). Agresi menurut Moore & Fine (dalam, Suprihatin, 2011) adalah
tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau
1
2
terhadap objek. Agresi secara fisik meliputi kekerasan yang dilakukan secara fisik,
seperti memukul, menampar menendang dan lain sebagainya. Selain itu, agresi secara
verbal adalah penggunaan kata-kata kasar seperti bego, tolol, dan lainnya.
Hasil penelitian Praptiani (2013) menyatakan bahwa remaja yang memiliki kontrol
diri rendah cenderung memunculkan perilaku agresif. Hal ini diduga kuat karena adanya
faktor ekonomi yang mempengaruhi munculnya perilaku tersebut. Remaja dengan status
ekonomi rendah akan mempengaruhi tingkat kepuasan terpenuhinya kebutuhan. Apabila
kebutuhan secara fisik kurang terpenuhi, akan berpengaruh pada munculnya perilaku
agresif. Hasil penelitian Slamet dan Markam (dalam Anggaraningtyas, Lilik, dan
Nugroho, 2013) mengungkapkan bahwa remaja yang mengalami tekanan hidup dan
konflik kebutuhan atau konflik tujuan akan memicu timbulnya stress, sehingga dapat
mengarahkan remaja untuk berperilaku agresif. Beberapa hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa remaja sangat rentan terhadap perilaku agresif.
Perilaku agresif remaja yang tercermin melalui tawuran pelajar, perkelahian,
pencurian, maupun perilaku mencoba-coba hal baru seperti bereksperimen dengan obatobatan terlarang, seks bebas diidentifikasikan sebagai kenakalan. Kenakalan remaja
adalah perilaku menyimpang dari aturan atau melanggar hukum sehingga mengganggu
ketenangan dan ketertiban di masyarakat. Apapun yang dilakukan remaja, yang
dianggap mengganggu ketentraman dan ketenangan umum, dapat dikategorikan ke
dalam kenakalan remaja (Chomaria, 2008, hal. 97).
Kenakalan remaja ini tidak jarang menimbulkan kerugian baik bagi diri remaja itu
sendiri maupun orang lain. Remaja yang melakukan kenakalan terus menerus dan tidak
3
terkontrol, kemungkinan akan menjurus pada suatu tindak kejahatan atau tindakan yang
melanggar hukum. Hal ini memungkinkan lahirnya narapidana remaja baru yang sering
disebut dengan istilah andikpas (anak didik pemasyarakatan).
Sistem database pemasyarakatan (Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementrian
Hukum & HAM) pada kantor wilayah (kanwil) DKI Jakarta, mencatat adanya
peningkatan jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Anak pada periode
Desember 2011 sebanyak 41 andikpas menjadi 57 andikpas pada periode yang sama
tahun 2012. Fakta serupa juga kembali ditemukan peneliti pada kantor wilayah provinsi
Banten, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Pria Tangerang. Jumlah
penghuni pada periode Desember tahun 2012 mencapai 222 andikpas. Jumlah tersebut
mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun 2011 yang hanya tercatat
sebanyak 168 andikpas pada periode yang sama. Hal ini menunjukan adanya tren
meningkatnya kriminalitas yang dilakukan oleh anak maupun remaja, khususnya pada
beberapa wilayah hukum di Indonesia (http://smslap.ditjenpas.go.id).
Status sebagai andikpas dapat menjadi beban atau stressor tersediri bagi individu.
Perasaan malu, rasa bersalah, dan hilangnya kebebasan akan menambah tekanan hidup
bagi seorang andikpas. Keadaan tersebut bukan saja mempengaruhi penyesuaian fisik
tetapi juga psikologis individu (Morgan, 1981; Gussak, 2009 dalam Mukhlis 2011).
Akibatnya akan menimbulkan gangguan-gangguan psikologs tertentu, salah satunya
adalah frustasi. Menurut Dollard, et al (dalam, Ramirez, 2003) frustasi inilah yang akan
mendorong munculnya perilaku agresi pada individu.
4
Pada hakikatnya agresi merupakan trait (Paradise, 2007). Trait adalah karakter
bawaan diri, misalnya reaksi yang konsisten terhadap sesuatu (Hutapea dan Thoha,
2008). Trait ini akan selalu melekat pada setiap individu termasuk andikpas. Dengan
demikian, tidak menutup kemungkinan andikpas dapat memunculkan kembali perilaku
agresif tersebut setelah menyelesaikan masa tahananya. Hal ini juga memungkinkan
seorang andikpas menjadi residivis.
Salah satu cara menghindari adanya kemungkinan perilaku tersebut berulang
adalah dengan melakukan pencegahan yang dapat dilakukan dengan pengukuran
agresivitas. Agresivitas yang ada dalam diri individu, dapat dideteksi melalui tes
Psikologi. Dalam hal ini, peneliti memfokuskan pengukuran agresivitas melalui
kuesioner agresi dan dibantu dengan pemberian tes kepribadian, penggunaan metode
wawancara, dan tes gambar/grafis Psikologi.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan agresivitas andikpas di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Penelitian ini menggunakan mixed methods yaitu
perpaduan
antara
metode
kuantitatif
dan
kualitatif.
Metode
kuantitatif
diimplementasikan dengan pemberian kuesioner agresi sebagai dasar pemilihan subjek
pada metode kualitatif. Metode kualitatif diimplementasikan dengan pemberian tes
kepribadian, wawancara dan pemberian tes Psikologi yang menggunakan metode
gambar/grafis untuk membantu menganalisa agresivitas yang ada dalam diri subjek.
Penggunaan tes Psikologi dengan metode gambar/grafis sebagai pendukung karena
dirasa unik, dan setiap andikpas yang menjadi subjek dalam penelitian ini dapat bebas
berekspersi melalui apa yang mereka gambar. Selain itu, kegiatan menggambar dapat
diarahkan menjadi suatu kegiatan terapi (Olivia, 2010).
5
1.2
Rumusan masalah
Bagaimana gambaran agresivitas andikpas di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria
Tangerang?
1.3
Tujuan Penelitian
Untuk melihat gambaran agresivitas andikpas di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Pria Tangerang.
Download