Agresi - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Psikologi Sosial 1
Agresi
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
13
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang akar dari kekerasan,
penyebab agresi serta pravelensi dan
kendali agresi
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai akar
dari kekerasan, penyebab agresi serta
pravelensi dan kendali agresi
Agresi
Materi ini diambil dari tulisan Eko A. Meinarno (Sarlito dan Meinarno, 2009)
mengenai agresi. Dalam materi ini akan dibahas mengenai akar dari kekerasan,
penyebab agresi serta pravelensi dan kendali agresi.
AKAR AGRESI
Dikisahkan dalam kitab-kitab suci, bahwa awalnya dunia tidak mengenal kekerasan.
Sampai pada satu ketika kedua anak dari Nabi Adam berselisih paham Perselisihan ini
berlanjut hingga terjadilah peristiwa pembunuhan Habil oleh Qobil. Walau kisah ini tidak
ilmiah, setidaknya hal ini merupakan catatan tertua dalam sejarah kekerasan manusia (lihat
Kitab Perjanjian Lama dan Al-Qur’an).
Kasus pembuka dan kisah Habil-Qobil menunjukkan terjadinya sebuah agresivitas,
sebuah tindakan yang merugikan bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia. Namun
sebagai perbandingan, apakah petinju seperti Chris John hendak merugikan orang lain
ketika meninju lawannya di atas ring? Oleh karena itu, perlu diperjelas beberapa hal yang
terkait dengan agresi. Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh
seseorang/institusi terhadap orang / institusi lain yang sejatinya disengaja (Berkowitz, 1993,
2001 dalam Feldman, 2008).
Pemicu yang umum dari agresi adalah ketika seseorang mengalami satu kondisi
emosi tertentu, yang sering terlihat adalah emosi marah. Perasaan marah berlanjut pada
keinginan untuk melampiaskannya dalam satu bentuk tertentu pada objek tertentu. Marah
adalah sebuah pernyataan yang disimpulkan dari perasaan yang ditunjukkan yang sering
disertai dengan konflik atau frustasi (Segall, dkk., 1999). Untuk menelaah lebih lanjut
tentang agresi, berikut akan dijelaskan lebih rinci mengenai agresi dari berbagai perspektif,
faktor-faktor pemicu, serta bentuk dan penanganannya.
PERSPEKTIF AGRESI : ALAMIKAH AGRESI?
Perspektif Biologis: Alamikah Agresi?
Penelitian perihal agresivitas telah diperhatikan oleh kelompok zoologis (ilmuwan
yang mempelajari tingkah laku hewan). Salah satu peneliti yang khusus mempelajari agresi
adalah Konrad Lorenz, yang merupakan etolog (Gross, 1992; Baron dan Byrne, 1994;
Hadad dan Glassman, 2004). Kaum etolog melihat manusia tidak berbeda jauh dengan
hewan. Sebagaimana organisme lainnya, mekanisme tingkah laku manusia dianggap sama
dengan tingkah laku hewan. Tidaklah mengherankan jika penelitian tentang hewan bisa
menjadi indikator terhadap manusia.
‘13
2
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Agresi pada primata
Penelitian terhadap manusia takkan bisa lepas dari penelitian terhadap primata.
Penelitian terhadap primata dilakukan khususnya pada kelompok simpanse jantan. Para
simpanse jantan dalam satu kelompok tidaklah ramah terhadap simpanse jantan yang
bukan kelompoknya. Wujud dari ketidakramahan tadi berupa perburuan dan perkelahian
(Goodal, 1986 dalam Jurmain, Nelson, Kilgore dan Trevathan, 2000). Bahkan ditemukan
bahwa mereka melakukan peperangan secara gerilya terhadap kelompok simpanse lainnya
(Gonick, 2006). Berbagai penelitian tentang primata, khususnya agresivitas, menunjukkan
beberapa alasan dasar. Alasan yang paling sering ditemukan adalah masalah teritorial,
berikutnya adalah masalah pasangan (betina). Hal ini wajar karena keberadaan pasangan
amat berguna untuk meneruskan keturunan. Yang menarik adalah hal ini juga terjadi pada
manusia. Motivasi mendapatkan pasangan ternyata juga memotivasi kelompok Indian
Yanomamo di Brazil. Mereka sering melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian di
dalam desanya atau antardesa. Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa yang menjadi
dasar dari motivasi adalah kompetisi antarlelaki suku Yanomamo untuk mendapatkan
perempuan (Chagnon, 1979, 1988 dalam Jurmain, Nelson, Kilgore dan Trevathan, 2000).
Kasus orang utan, salah satu primata yang hidup di Kalimantan dan Sumatera juga
menarik. Temuan ini adalah hasil penelitian John MacKinnon (1974, dalam Kottak 2006) di
hutan yang dieksploitasi. Hal ini mengakibatkan rusaknya habitat dan sumber kehidupan
orang utan yang kemudian meningkatkan tingkah laku agresi mereka.
HORMON
Salah satu faktor dalam dimensi biologis manusia adalah hormon. Hal yang sering
diketahui adalah peran hormon androgen dan testosteron. Secara kebetulan kedua
hormon ini terdapat pada lelaki. Beberapa penelitian dengan tema kedua hormon
tadi menunjukkan hubungannya dengan kekerasan. Penelitian oleh Booth (1993,
dalam Segall, dkk., 1999) menunjukkan adanya hubungan testosteron dan tingkah
laku menyimpang pada remaja Amerika Serikat.
OTAK
Bagian dari otak yang disebut hipotalamus terkait dengan tingkah laku agresi.
Hipotalamus adalah bagian kecil dari otak yang terletak di bawah otak, berfungsi
untuk menjaga homeostasis serta membentuk dan mengatur tingkah-tingkah laku
vital, seperti makan, minum, dan hasrat seksual. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Albert, dkk. (1993 dalam Garret, 2003) menemukan bahwa tumor yang tumbuh
di bagian hipotalamus memicu munculnya tingkah laku agresi. Hal yang juga menarik
adalah hasil penelitian pada sekelompok pembunuh dari baik lelaki maupun
perempuan melalui pemindaian otak mengungkap adanya aktivitas yang tinggi pada
bagian kanan amigdala dan bagian hipotalamus (Raine, Meloy, dkk., 1998 dalam
Garret 2003).
‘13
3
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
PERSPEKTIF PSIKODINAMIKA
Freud sebagai salah satu tokoh psikoanalisis melihat bahwa sejatinya manusia
mempunyai dua insting dasar. Pertama, insting hidup (eros) dan kedua, adalah insting mati
(thanatos/death instinct). Insting mati ini yang membawa manusia pada dorongan agresif
(Gardner dan Lindzey, 1985). Oleh karena insting ini adalah bawaan dan bagian dari
kepribadian, maka tampaknya ada peluang untuk mengatasinya. Usaha ini yang kemudian
disebut pengalihan (displacing) (Hadad dan Glassman, 2004).
PERSPEKTIF
PEMBELAJARAN:
PEMBELAJARAN KOGNITIF
DARI
PEMBELAJARAN
KLASIK
SAMPAI
Tidak selamanya keinginan kita dapat terpenuhi. Tidak tercapainya keinginan
menimbulkan perasaan tidak nyaman yang kemudian terwujud menjadi frustasi. Pada
umumnya, kondisi frustasi menimbulkan kemarahan yang kemudian mengejawantah
menjadi tingkah laku agresif. Pemikiran ini kemudian menjadi dasar penelitian yang
dilakukan oleh John Dollard dan Neal Miller dari Universitas Yale. Hasil penelitian inilah
yang kemudian mengemukakan teori frustasi-agresi (1939, dalam Gardner dan Lindzey,
1985; Segall, Dasen, Berry dan Poortinga, 1999; Sears, Freedman dan Peplau, 1994;
Glassman dan Hadad, 2004; Taylor, Sears dan Sears, 2008; Feldman, 2008).
Teori belajar sosial dari Bandura juga dapat menjelaskan bagaimana agresivitas
sebagai tingkah laku sosial yang dipelajari (Bandura, 1973; Baron dan Richardson, 1994
dalam Baron dan Byrne, 1994; Feldman, 2008). Salah satu dasar pemahamannya adalah
tingkah laku agresi merupakan salah satu bentuk tingkah laku yang rumit. Oleh karena itu
dibutuhkan pembelajaran, artinya bahwa agresivitas tidaklah alami. Setidaknya hal ini
pernah diajukan pula oleh Margaret Mead (dalam Banyard, 1999) yang melihat bahwa
peperangan sebagai salah satu agresivitas adalah dipelajari. Penelitian klasik tentang
tingkah laku agresi yang dipelajari adalah penelitian boneka Bobo.
Dalam perkembangannya, belajar agresif melalui model tidak hanya yang langsung
di mata penontonnya. Melalui media massa hal ini bisa dilakukan, misalnya melalui media
televisi. Tayangan-tayangan yang penuh dengan kekerasan tampaknya menjadi salah satu
hal yang memicu agresivitas. Salah satu penelitian di Indonesia terhadap 150 pelajar SLTA
yang dilakukan oleh Widyastuti (1996) terungkap bahwa jenis film tertentu memperlihatkan
efek yang signifikan terhadap agresivitas penonton. Peran orangtua juga penting dalam
terbentuknya tingkah laku agresi pada anak, khususnya remaja. Hal ini diperkuat dengan
temuan dari Badingah (1993). Temuannya mengungkap terdapat kaitan antara pola asuh,
tingkah laku agresif orangtua, dan kegemaran remaja menonton film keras dengan tingkah
laku remaja.
‘13
4
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pada penelitian klasik modeling oleh Bandura tanpa harus disuruh, anak-anak yang
melihat aksi orang dewasa terhadap boneka Bobo akan melakukan hal sama terhadapnya.
Perspektif
Biologis
Penyebab
Metode Penanggulangan
Etologi
Katarsis
Fisiologi
Mengurangi munculnya stimuli yang
tidak menyenangkan
Psikodinamika
Agresif sebagai dorongan Katarsis
yang dibawa sejak lahir
Behavoiristik
Instrumen agresif
Mengubah contingency sehingga
respons agresivitas tidak diganjar
Frustasi-agresi
Mengurangi sumber frustasi, hukum
agresif
Teori belajar sosial
Kurangi
kesempatan
munculnya
agresivitas yang bisa diamati
PENYEBAB AGRESI PADA MANUSIA
Sosial
Frustasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya mencapai tujuan kerap menjadi
penyebab agresi. Ketika seorang calon legislator (caleg) gagal, ia akan merasa sedih,
marah, dan bahkan depresi. Dalam keadaan seperti itu, besar kemungkinan ia akan menjadi
frustasi dan mengambil tindakan-tindakan yang bernuansa agresi, seperti penyerangan
terhadap orang lain. Kondisi ini menjadi mungkin dengan pemikiran bahwa agresi yang
dilakukan caleg tadi dapat mengurangi emosi marah yang ia alami (Bushman, Baumeister
dan Phillips, 2001 dalam Taylor, Peplau, dan Sears, 2009). Agresi tidak selalu muncul
karena frustasi. Manusia, misalnya petinju dan tentara, dapat melakukan agresi karena
alasan lain. Namun, frustasi dapat menimbulkan agresi jika penyebab frustasi dianggap
tidak sah atau tidak dibenarkan (ingat hipotesis frustasi agresi oleh Dollard dan Miller, 1939).
Provokasi verbal atau fisik adalah salah satu penyebab agresi. Contohnya, kasus
Zinedine Zidane. Manusia cenderung untuk membalas dengan derajat agresi yang sama
atau sedikit lebih tinggi daripada yang diterimanya/balas dendam. Menyepelekan dan
merendahkan sebagai ekspresi sikap arogan atau sombong adalah prediktor yang kuat bagi
munculnya agresi. Rangsangan memuncak, pengaruh media (media dan agresi), masuk
melalui desentisisasi.
Kasus “penandukan Zinedine Zidane” di lapangan hijau terhadap Materazzi (pemain
Italia). Dalam penelitian lebih lanjut atas gerakan tubuh dan gerakan bibir Materazzi,
terindikasi bahwa ia memprovokasi Zidane, dan ia berhasil.
‘13
5
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Faktor sosial lainnya adalah alcohol (Baron dan Byrne, 1994; Taylor, Peplau, Sears,
2009, Gross, 1992). Kebanyakan hasil penelitian yang terkait dengan konsumsi alkohol
menunjukkan kenaikan agresivitas (Hull dan Bond, dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009;
Gross, 1992; Madianung, 2003). Penelitian atas kriminalitas di 14 negara menemukan pola
bahwa tingkah laku kriminal dilakukan oleh pelaku saat menenggak alkohol (Murdoch, Pihl
dan Ross, 1990 dalam Garret, 2003).
Di Indonesia, terlihat hal yang kurang lebih sama. Kawasan Timur Indonesia
mencatat lebih banyak angka kekerasan. Melalui penelitian kualitatif yang dilakukan oleh
Madianung (2003) di Manado terungkap beberapa hal menarik terkait dengan konsumsi
minuman keras. Pada masyarakat ekonomi mampu (atas dan menengah), tempat yang
dipilih untuk menenggak minuman keras (berupa bir) adalah di bar, pub, dan kafe.
Sementara bagi kelompok masyarakat ekonomi rendah, menenggak minuman keras
Pinaraci, Cap Tikus, dan Kasegaran (yang kandungan alkoholnya lebih dari 50%) pada kioskios di lorong jalan. Dampak dari minuman keras terhadap tiga golongan masyarakat ini juga
berbeda. Kedua kelompok masyarakat (ekonomi atas dan menengah) setelah minum tidak
melakukan kekerasan. Sebaliknya, peminum dari kelompok ekonomi bawah, mereka malah
melakukan tindak kekerasan, seperti menghadang mobil yang sedang melaju, memalak,
melempari rumah orang lain dengan batu, dan sebagainya. Aktivitas ini dilakukan bersamasama, tidaklah sendirian. Aktivitas komunal ini tampaknya sinambung dengan kebudayaan
masyarakat yang senang kumpul-kumpul.
Personal
Pola tingkah laku berdasar kepribadian. Orang dengan pola tingkah laku tipe A
cenderung lebih agresif daripada orang dengan tipe B. Tipe A identik dengan karakter
terburu-buru dan kompetitif (Gifford R, 1983, dalam Gifford, 1997; Baron dan Byrne, 1994;
Taylor, 1999). Tingkah laku yang ditunjukkan oleh orang dengan tipe B adalah bersikap
sabar, kooperatif, nonkompetisi, dan nonagresif (Feldman, 2008). Orang dengan tipe A
cenderung lebih melakukan hostile aggression. Hostile aggression merupakan agresi yang
bertujuan untuk melukai atau menyakiti korban. Di sisi lain orang dengan tipe kepribadian B
cenderung lebih melakukan instrumental aggression. Instrumental aggression adalah
tingkah laku agresif yang dilakukan karena ada tujuan yang utama dan tidak ditujukan untuk
melukai atau menyakiti korban.
Kisah berikut menggambarkan mengenai awal mula dari Narsisisme. Dalam mitologi
Yunani kuno, ada seorang yang bernama Narsisus. Oleh karena ketampanannya, ia sering
berkaca di danau. Sampai akhirnya para dewa mengutuknya menjadi sejenis tumbuhan
yang berada di pinggir danau dan bunganya menghadap ke air sehingga ia dapat melihat
terus dirinya. Konsep ini kemudian diterapkan pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Bushman dan Baumeister (1988). Hasilnya, orang yang narsis memiliki tingkat agresivitas
lebih tinggi. Hal ini dikarenakan dirinya merasa terancam mana kala ada orang lain yang
mempertanyakan dirinya. Maka kemudian yang terwujud adalah tingkah laku agresi.
Hal dasar lain yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan pada jenis kelamin.
Sering diungkapkan bahwa lelaki lebih agresif daripada perempuan (Harris dan KnightBohnhoff, 1996 dalam Hadad dan Glassman, 2004; Segall, dkk., 1999, Berry, dkk., 2002
‘13
6
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dalam Hadad dan Glassman, 2004; Feldman, 2008). Penelitian eksperimental oleh Bandura
(1961 dalam Jarvis, 2000) menguatkan premis tadi. Hasil penelitian lintas budaya yang
dilakukan oleh Whiting dan Edwards (1973 dalam Segall, dkk., 1999) juga patut
dipertimbangkan. Penelitian terhadap anak-anak dari kedua jenis kelamin yang berusia 3-11
tahun menunjukkan pola yang berbeda dari beberapa negara, yakni Jepang, India, Filipina,
Meksiko, Kenya, dan New England (AS). Penelitian itu menunjukkan hasil bahwa (1) anak
lelaki lebih menunjukkan ekspresi dominan, (2) merespons secara agresif hingga memulai
tingkah laku agresif, dan (3) anak lelaki lebih menampilkan agresi dalam bentuk fisik dan
verbal. Pada anak perempuan, agresivitas diwujudkan secara tidak langsung. Bentuknya
adalah menyebarkan gosip atau kabar burung, atau dengan menolak atau menjauhi
seseorang sebagai bagian dari lingkungan pertemanannya (Lagerpetz, Bjorkqvist dan
Peltonen, 1988 dalam Baron dan Byrne, 1994).
Kebudayaan
Ketika kita menyadari bahwa lingkungan juga berperan terhadap tingkah laku, maka
tidak heran jika muncul ide bahwa salah satu penyebab agresi adalah faktor kebudayaan.
Beberapa ahli dari berbagai bidang ilmu seperti antropologi dan psikologi, seperti Segall,
Dasen, Berry dan Poortinga, (1999); Kottak (2006); Groos (1992); Price dan Crapo (2002
dalam Hadad dan Glassman, 2004) menengarai faktor kebudayaan terhadap agresi.
Lingkungan geografis, seperti pantai/pesisir, menunjukkan karakter lebih keras daripada
masyarakat yang hidup di pedalaman. Nilai dan norma yang mendasari sikap dan tingkah
laku masyarakat juga berpengaruh terhadap agresivitas satu kelompok. Sebagai contoh,
sejarah mencatat masyarakat Sparta yang hidup di sekitar Yunani sekitar tahun 750-480 SM
memberlakukan hidup keras kepada anak-anak, khususnya lelaki, sebagai upaya bertahan
hidup (Gonick, 2006). Salah satu kisah mereka difilmkan dengan judul “300”.
Salah satu contoh lain adalah perang antar suku yang dilakukan oleh suku
Yanomamo (Chagnon, 1966 dalam Gross, 1992; Kottak, 2006). Dalam penelitian di Amerika
Serikat, diketahui bahwa masyarakat di bagian selatan Amerika Serikat mempunyai
agresivitas lebih tinggi. Hal ini diketahui melalui angka pembunuhan yang tinggi (Taylor,
Peplau, dan Sears, 2009).
Situasional
Orang berkata, cuaca yang cerah juga membuat hati cerah. Tampaknya ide itu tidak
berlebihan. Setidaknya hal ini dipercaya oleh para pramusaji di AS saat musim semi
(Cunningham, 1979 dalam Gifford, 1997). Penelitian terkait dengan cuaca dan tingkah laku
menyebutkan bahwa ketidaknyamanan akibat panas menyebabkan kerusuhan dan bentukbentuk agresi lainnya (Harries K, Stadler, 1983 dalam Gifford, 1997). Sudah sejak lama kita
mendengar orang berkata “kondisi cuaca yang panas lebih sering memunculkan aksi
agresif.”
Hal yang paling sering muncul ketika udara panas adalah timbulnya rasa tidak
nyaman yang berujung pada meningkatnya agresi sosial (Harries K dan Stadler SJ, 1984
dalam Gifford, 1997). Penelitian di AS, yang memiliki empat musim, menunjukkan bahwa
pada suhu 28,33-29,44°C memunculkan peningkatan tingkah laku penyerangan,
perampokan, kekerasan kolektif, dan pemerkosaan (Baron dan Ransberger, 1978; Cohn,
‘13
7
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1990, keduanya dalam Gifford, 1997). Dalam konteks global, Hitler senantiasa memulai
pertempuran saat musim Panas (lihat Ojong, 2003).
Sumber Daya
Manusia senantiasa ingin memenuhi kebutuhannya. Salah satu pendukung utama
kehidupan manusia adalah daya dukung alam. Daya dukung alam terhadap kebutuhan
manusia tak selamanya mencukupi. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lebih untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Diawali dengan tawar-menawar. Jika tidak tercapai kata
sepakat, maka akan terbuka dua kemungkinan besar. Pertama, mencari sumber
pemenuhan kebutuhan lain; kedua, mengambil paksa dari pihak yang memilikinya. Amerika
Serikat yang haus akan sumber daya telah mempraktikkan hal ini. Dunia tak bisa
menghentikan agresi AS ke Irak tahun 2003. Walau beragam alasan sudah disampaikan
kepada masyarakat dunia, tetapi tujuan untuk menguasai minyak di Irak (sumber minyak
terbesar nomor tiga dunia) tak pelak lagi terasa.
Kejadian ini terlihat pada sejarah peradaban manusia. Bangsa Umma dan Lagash
yang hidup pada masa Sumeria Kuno, sekitar 4500 SM. Mereka berperang demi air dan
lumpur yang merupakan sumber daya yang berharga saat itu (Gonick, 2006). Penguasaan
benua Amerika oleh bangsa Eropa juga dikaitkan dengan sumber daya yang ada di sana,
yakni emas. Indonesia sebagaimana bangsa-bangsa lain di benua Asia juga mengalami hal
yang sama ketika berhadapan dengan para pedagang asing/ Eropa pada abad XVI-XX.
Saat itu, bangsa-bangsa Asia dilirik oleh bangsa Eropa karena rempah-rempahnya (Gonick,
2007), dan mereka membutuhkannya, khususnya Belanda (Suyono, 2003; Palmer dan
Colton, 1992). Sumber daya lainnya adalah letak daerah yang strategis untuk perdagangan,
yang juga sering memunculkan perselisihan hingga peperangan (lihat Gonick, 2006). Untuk
itu, tampaknya usaha-usaha untuk melakukan perjanjian-perjanjian kerja sama dan
persiapan untuk kompromi adalah hal yang wajar bagi para pemilik sumber daya alam.
Media massa
Kasus Ryan (pelaku pembunuhan dan pelaku mutilasi) menjadi inspirasi dari sebuah
pembunuhan yang diikuti pemutilasian oleh Sri Rumiyati (Kompas, 10 November 2008).
Rumiyati yang membunuh suaminya ternyata selalu mengikuti perkara pembunuhan yang
dilakukan Ryan. Oleh karena itu, ketika melakukan pembunuhan, ia mengikuti cara Ryan
untuk menghilangkan bukti yang ia ikuti dari paparan kasus Ryan melalui televisi.
Pengakuan Rumiyati ini merupakan hasil dari pemeriksaan dari tim forensik Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Menurut Ade E. Mardiana, tayangan dari televisi berpotensi besar diimitasi oleh
pemirsanya (Kompas, 10 November 2008). Hal yang dinyatakan oleh Mardiana tampak tidak
terlalu mengherankan, mengingat hasil penelitian klasik Bandura tentang modeling
kekerasan oleh anak-anak.
Khusus untuk media massa televisi yang merupakan media tontonan dan secara
alami mempunyai kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk mengamati apa yang
‘13
8
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
disampaikan secara jelas. Oleh karena itu, kemudian dilakukan penelitian tentang hubungan
kekerasan dan televisi dengan mengajukan hipotesis “mengamati kekerasan akan
meningkatkan agresivitas” (Hadad dan Glassman, 2004).
Kategori acara yang mengandung kekerasan
Persentase
Sinetron
29.7
Variety dan reality show
20.9
Berita
10.1
Iklan
8.1
Film Kartun
6.8
Talk Show
6.8
Kuis
6.8
Olahraga
2
Lainnya
4.1
Sumber: Kompas, 10 November 2008.
Beberapa penelitian tentang televisi dan kekerasan telah banyak dilakukan, baik di
luar maupun di dalam negeri. Secara teoretis, penjelasan dari kajian ini adalah teori belajar
sosial. Banyaknya faktor yang bisa menimbulkan agresi pada akhirnya membutuhkan
kerangka pikir proses dari agresi yang berupa model. Anderson dan Bushman (2002 dalam
Anderson dan Wood, 2008) mengajukan sebuah model dari agresivitas.
‘13
9
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Hal yang perlu diingat bahwa kondisi sesaat yang merupakan perwujudan dari
afeksi, kognisi, dan keterangsangan memberikan kesempatan bagi individu untuk
memutuskan melakukan tindakan agresif atau tidak. Kemudian, perwujudan dari setiap
keputusan berbeda penerapannya dalam interaksi sosial. Dan ini merupakan bagian yang
penting. Kesalahan dalam mengambil keputusan, akan menimbulkan aksi yang dapat
memicu siklus dari agresi yang berkepanjangan.
Hubungan antara Menonton Film Kekerasan di Televisi dengan Tingkat Agresivitas
Penonton
Banyaknya program siaran yang ditawarkan kiranya telah membuka peluang bagi
pemirsa untuk memilih acara-acara yang mereka senangi, termasuk film-film kekerasan.
Tudingan kepada pihak pengelola televisi sebagai penyebab maraknya aksi kekerasan
bukanlah tudingan tanpa alasan. Namun, tudingan itu tidaklah bijaksana tanpa melalui suatu
penelitian.
Ada berbagai pendapat tentang pengaruh menonton film kekerasan. Pendapat
pertama mengatakan menonton film kekerasan merupakan katarsis, sedangkan pendapat
lain mengatakan hal ini meningkatkan agresivitas penonton karena menampilkan model
untuk dicontoh. National Institute of Mental Health menemukan bahwa dampak film
kekerasan terhadap agresivitas janganlah hanya dilihat sebagai hasil menonton televisi,
tetapi juga prosesnya. “Proses” ini dikenal dengan “konsep variabel ketiga” yang dibagi
menjadi variabel antecedent, intervening, dan contingent. Di samping itu, lamanya menonton
‘13
10
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan jenis film yang ditonton diduga berhubungan dengan perilaku penontonnya, khususnya
perilaku agresif.
Penelitian ini dilakukan terhadap 150 pelajar SLTA di Jakarta untuk mengetahui
faktor-faktor apa saja dari menonton film kekerasan yang berhubungan dengan agresivitas
penontonnya. Kondisi contingent (kesempatan menonton untuk menerapkan adegan di
televisi dalam perilaku nyata) tidak berhubungan secara signifikan dengan agresivitas
penontonnya. Jika dilihat dari lamanya menonton dan jenis film yang ditonton, ternyata
hanya jenis film yang ditonton saja yang memperlihatkan efek yang signifikan terhadap
agresivitas penonton. Berkaitan dengan temuan ini, beberapa saran yang dikemukakan
adalah: (1) hendaknya orang tua tidak menciptakan kondisi yang memungkinkan anak
mencontoh perilaku buruk orang tuanya karena orang tua merupakan “model” yang cukup
menarik bagi anak-anak untuk ditiru; (2) pihak pengelola program televisi hendaknya lebih
bijaksana dalam menyeleksi film-film yang akan diputar dengan memperhatikan jam tayang,
khususnya untuk film anak-anak dan remaja; serta (3) perlunya penelitian lanjutan untuk
menemukan variabel-variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap hubungan menonton
film kekerasan di televisi dengan agresivitas penontonnya.
Sumber: Tesis oleh Widiastuti Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia tahun 1996.
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Terjadinya kekerasan tidak melulu jauh dari diri kita. Kejadian yang umum terjadi
adalah kekerasan dalam rumah tangga atau yang lebih dikenal dengan KDRT. Korban dari
KDRT paling umum adalah istri dan anak-anak, sementara pelaku yang paling umum adalah
suami atau ayah. Sebuah kasus KDRT yang terkenal adalah kasus Ari Hanggara. Bocah
lelaki yang tewas di tahun 1984 oleh ayah kandungnya sendiri. Adapun latar belakang dari
kejadian itu adalah perceraian dan masalah ekonomi. Kasus ini dapat dikatakan nyaris tak
terdeteksi, oleh karena itu, ketika menyeruak di masyarakat dianggap sebagai kasus KDRT
pertama yang masuk media.
Anak-anak menjadi rentan terhadap kekerasan karena posisi sosialnya dalam
masyarakat. Mereka amat bergantung pada perlindungan orang tua. Tidak mengherankan
jika kasus-kasus kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh kerabat dekatnya. Temuan
Freyd, dkk. (2005 dalam Matlin, 2008), kekerasan seksual terhadap anak umumnya
dilakukan oleh saudara-saudaranya, tetangga, dan pengasuhnya. Dalam kasus berlatar
kemiskinan, anak juga menjadi korban (seperti Ari Hanggara). Mereka dieksploitasi untuk
menjaga eknomi keluarga. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pemerintah membuat
berbagai bantuan, mulai dari hukum, sarana pendidikan (pembebasan uang sekolah),
rumah-rumah singgah untuk anak-anak jalanan, dan sebagainya (Fahrurazi, 2006). Bahkan
di Indonesia telah berdiri lembaga perlindungan anak, yakni Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) dan Komnas Anak.
‘13
11
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kasus tewasnya Arie Hanggara (1984), anak yang tewas akibat kekerasan rumah
tangga oleh ayahnya. Kasus KDRT pertama Indonesia yang mencuat di media massa.
Untuk memperingatinya sempat dibuat film layar lebarnya.
Sementara itu, kekerasan terhadap perempuan, setidaknya, dibagi menjadi tiga
golongan (Margaret W Matlin, 2008). Tiga golongan itu adalah pelecehan seksual,
kekerasan seksual, dan pemerkosaan (lebih lanjut lihat Matlin, 2008). Kasus kekerasan
terhadap perempuan secara masif yang tercatat dalam sejarah, antara lain jugun ianfu
(perempuan-perempuan Asia Tenggara termasuk dari Indonesia yang dikirim untuk
menghibur tentara Jepang), pemerkosaan tentara Jerman NAZI terhadap perempuan Rusia,
kasus Bosnia-Herzegovina (Leksono, 1999 dalam Irianto 1999), dan kasus Daerah Operasi
Militer di NAD dan tragedi Mei 1998 (Irianto, 1999).
Penelitian lebih lanjut di Indonesia, khususnya tentang KDRT patut diperhatikan.
KDRT pada perempuan menurut penelitian Komnas Perempuan, sebuah lembaga swadaya
masyarakat (LSM), menemukan hasil yang memprihatinkan. Selama 2001-2004, terjadi
14.020 kekerasan terhadap perempuan. Data ini terungkap dari 28 provinsi di seluruh
Indonesia melalui beragam institusinya seperti pengadilan negeri, pengadilan agama, ruang
pelayanan khusus kepolisian, rumah sakit, dan kejaksaan tinggi (Yayasan Mitra Inti, 2005).
Secara khusus, dampak kekerasan pada istri telah diteliti lebih lanjut. Suminar (2004)
yang melakukan penelitiannya terhadap enam orang istri korban KDRT menemukan
beberapa aspek dan bentuk KDRT. Setidaknya terdapat empat aspek akibat KDRT, yaitu
aspek fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Pertama, aspek fisik, para istri mengalami
memar, gatal-gatal, kulit panas, terjadi perubahan pola menstruasi, dan enggan melakukan
hubungan seksusal. Kedua, aspek psikologis, berupa perasaan ketakutan, muncul gejala
depresi (harga diri rendah), merasa tidak berdaya dan kehilangan harapan untuk
mempertahankan pernikahannya, penurunan nafsu makan, kurang tidur, sedih, menurunnya
gairah untuk menjalani kehidupan sehari-hari, putus asa, dan bahkan muncul keinginan
untuk mengakhiri hidup. Ketiga, aspek sosial, timbul perasaan malu terhadap orang lain dan
terbatasnya interaksi dengan orang lain. Keempat, aspek ekonominya adalah korban harus
mengeluarkan biaya untuk pengobatan fisik dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dikarenakan suami jarang memberikan nafkah. Tak jarang korban harus meminta bantuan
ekonomi dari keluarga khususnya orang tua. Menariknya, hasil penelitian Suminar tadi
didukung oleh temuan Gomes (2004) yang meneliti para pelaku KDRT, yakni para suami.
Ternyata para suami memang membuat istri tak berdaya dalam banyak aspek kehidupan.
Untuk melindungi para korban KDRT, khususnya perempuan, perlu dibuat perangkat
perlindungan yang jelas. Tak hanya sekedar jelas, tetapi diterapkan dalam kerangka pikir
hukum dan kebudayaan (Irianto, 1999; Ribka, 1996). Hal ini dapat dilihat dengan lemahnya
posisi hukum jika sebatas pada kekerasan itu sendiri tanpa memperhatikan kondisi
perempuan atau anak sebagai korban.
‘13
12
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
MENGATASI AGRESI
Dari pembahasan tentang agresi ini, terlihat betapa rumitnya faktor-faktor
penyebabnya. Akan tetapi sebagai manusia, peluang untuk mengendalikan agresi tetaplah
ada. Hal ini mungkin karena manusia memiliki fungsi-fungsi kognisi yang lebih baik dari
hewan (yang ternyata dalam batas-batas tertentu juga bisa mengendalikan agresivitasnya).
Beberapa di antara cara mengatasinya akan dibicarakan pada bagian berikut.
Pengamatan Tingkah Laku yang Baik
Keterpaparan seseorang dari agresivitas melalui televisi telah dibahas di atas.
Bagaimana jika cara ini dipraktikkan pula pada tingkah laku nonagresi? Kita bisa lebih
banyak menampilkan teladan-teladan yang baik. Hal ini dapat diterapkan dengan membuat
acara-acara di televisi yang memberikan gambaran kegiatan nonagresi. Acara-acara yang
menimbulkan semangat menolong atau yang minim kekerasan dapat dipertimbangkan.
Beberapa acara lokal dan impor yang bisa dikategorikan dalam acara minim kekerasan
antara lain, Jalan Sesama (yang mirip dengan Sesame Street), Teletubbies, Laptop si Unyil,
dan sebagainya.
Pemilihan tontonan untuk anak dan bimbingan orang tua (Badingah, 1993;
Widyastuti, 1996). Pada praktiknya, dalam menonton sebuah acara, kiranya perlu dilihat
peruntukan acara tersebut yang berupa tanda, seperti BO yang berarti perlu bimbingan
orang tua.
Hukuman
Sejarah manusia mencatat lebih banyak mencatat hukuman sebagai cara
penanganan atas agresivitas. Hal ini bisa dilihat mulai dari agresivitas yang dilakukan
individu hingga yang dilakukan oleh institusi atau bahkan negara. Pada individu, para pelaku
kekerasan seperti pemerkosa dan pembunuh akan dihukum penjara atau hukuman mati.
Negara agresor seperti Jepang saat menganeksasi Cina tahun 1930-an, diberi sanksi oleh
Liga Bangsa-bangsa. Namun tetap saja agresivitas muncul. Hal yang paling penting dalam
penggunaan hukuman adalah hukuman harus jelas dan sesegera mungkin mengikuti
agresivitas yang dilakukan. Kedua, hukuman harus amat keras sehingga mengurangi
kemungkinan pengulangan oleh pelaku.
Katarsis
Seseorang perlu mereduksi dorongan agresinya, ibarat ketel uap yang amat panas,
maka dibutuhkan saluran untuk mendinginkan ketel tadi. Freud menyebutnya sebagai
katarsis (Taylor, Peplau, dan Sears, 2009), juga disebut sebagai hipotesis katarsis (Dollard,
dkk., 1939 dalam Baron dan Byrne, 1994), yakni upaya untuk menurunkan rasa marah dan
kebenciannnya dengan cara yang lebih aman sehingga mengurangi bentuk agresivitas yang
‘13
13
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sekiranya akan muncul. Umumnya, katarsis berupa kegiatan fisik yang menguras tenaga.
Ketika fisik lelah, diperkirakan tingkah laku agresif akan turun. Beberapa aktivitas itu antara
lain olahraga atau menonton film-film laga. Hal yang menarik adalah munculnya pesimisme
atas langkah ini. Hal itu disebabkan karena walaupun katarsis menurunkan rasa marah,
agresivitas bisa muncul lagi ketika seseorang kembali terprovokasi (Taylor, Peplau, dan
Sears, 2009).
Kognitif
Bisa dibayangkan ketika seseorang berbuat kesalahan pada orang lain, maka tak
ayal lagi orang yang dizalimi akan marah. Namun, bagaimana jika ternyata orang yang
dizalimi tadi ternyata memaafkan si pembuat kesalahan? Hal ini menjadi mungkin ketika
kognisi orang yang dizalimi tadi diisi dengan informasi bahwa perlunya memaafkan orang
yang menzalimi. Memaafkan, tentunya dengan rasa tulus dan ikhlas bahwa dirinya tidak
merugi. Hal ini bisa mengurangi agresivitas, setidaknya agresivitas yang tampak.
Daftar Pustaka
Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
‘13
14
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download