1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja pada

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja pada masa perkembangannya melalui tahap-tahap yang harus
dilaluinya secara alami. Keadaan tersebut adakalanya menyebabkan remaja sulit
menerimanya, dan apabila tidak sesuai dengan harapan remaja mencari pelarian
dari keadaan yang tidak menyenangkan dengan mencari perhatian, melakukan
hal- hal negatif, umumnya perilaku yang dianggap baik bagi dirinya namun bagi
orang lain justru merugikan. Remaja cenderung menilai sesuatu dan bertindak atas
pandangan dan penilaiannya sendiri. Remaja tidak membedakan antara hal- hal
atau situasi-situasi yang dipikirkannya sendiri dengan yang dipikirkan orang lain.
(Mussen, 2006).
Pada masa sekarang menurut Atamimi (1998) masalah pokok yang sangat
menonjol pada remaja adalah kaburnya nilai-nilai moral dimata generasi muda.
Remaja dihadapkan kepada berbagai kontradiksi dan aneka ragam pengalaman
moral yang sulit dipahami menurut pemikiran remaja. Remaja bingung untuk
memilih mana yang baik untuk dirinya. Hal ini nampak jelas pada remaja yang
hidup di kota-kota besar yang mencoba mengembangkan diri ke arah kehidupan
yang modern, dimana berkecamuk beraneka ragam budaya asing yang masuk.
Akibatnya remaja memiliki resiko tinggi untuk terlibat dalam berbagai tindak
kenakalan, seperti narkoba, minuman- minuman keras atau perilaku agresi.
1
2
Berbagai perilaku agresif yang ditunjukkan remaja menjadi keprihatinan di
kalangan masyarakat dan dunia pendidikan. Sebagai contoh kasus yang terjadi
pada 02 Januari 2009 di Tulungagung, Jawa Timur, terjadi kekerasan yang
dilakukan oleh geng siswi SMU favorit di Tulungagung. Anggota geng siswi ini
menganiaya seorang siswi lainnya di depan kantin sekolah. Pelaku terlihat
menampar dan menjambak korbannya. Korban berusaha melawan, namun tidak
berdaya karena dikeroyok oleh dua siswi. Kasus lainnya juga masih di
Tulungagung, seorang senior di SMU Negeri menganiaya ju niornya. Sebelum itu
yang paling menghebohkan adalah terkuaknya keberadaan geng remaja putri Nero
yang berasal dari Pati. Pada tanggal 13 Juni 2008 sekelompok remaja putri
anggota Geng Nero menampar korbannya berulang-ulang. Beberapa korban yang
berani mengungkapkan kelakuan Geng Nero adalah WD dan L, keduanya berusia
14 tahun, siswi kelas IX sebuah SMP di Kecamatan Juwana. Korban lain adalah
LK. Anggota geng yang berhasil ditangkap adalah Rt, Yn, My, dan Tk.
Keempatnya tercatat duduk di bangku kelas I SMA di Juwana. Geng itu sering
menganiaya remaja putri, merekamnya lewat video telepon seluler (ponsel), dan
kemudian mengedarkannya (Jawapos, 2008).
Kasus lain masih masih dalam pemberitaan Jawapos (2008) terjadi pada
tanggal 24 Juni 2008, geng cewek pelajar sebuah SMA di Kediri berbuat kriminal
di kotanya. Bahkan, jika Geng Nero hanya melakukan aksi kekerasan terhadap
sesame pelajar, geng cewek di Kediri ini lebih dari itu. Mereka melakukan
pencurian dengan sasaran swalayan dan pusat perbelanjaan. Selain itu pada
tanggal 28 November 2008, kekerasan oleh anggota geng siswi terjadi di kota
3
Malang. Jika empat bulan lalu geng Jeteru (siswi SMA swasta) berseteru dengan
siswi SMAN di Malang, kini aksi yang hampir sama menimpa seorang siswi
SMA swasta lainnya. Siswi tersebut dikeroyok delapan teman sekolahnya di
komplek sekolahnya.
Pada awal Februari 2011 termuat dalam Koran Harian Jawapos (2011)
terjadi di Purbalingga Jawa Tengah, lima anak usia antara 11 sampai 13 tahun
berani melakukan perkosaan terhadap dua anak perempuan yang berusia tujuh dan
delapan tahun. Perilaku perkosaan tersebut jelas menunjukkan agresivitas yang
sangat memprihatinkan berbagai kalangan. Masih dalam harian yang sama pada
tahun (2011) di Wilayah Mojosongo Surakarta juga diberitakan pembunuhan yang
dilakukan dua remaja siswa sekolah terhadap salah satu temannya dengan alasan
yang sepele, yaitu karena korban menggeberkan motornya dihadapkan pelaku.
Pemberitaan lain melalui televisi atau internet mengenai aksi-aksi kekerasan pada
kalangan remaja merupakan hal yang sudah terlalu sering disaksikan, bahkan
cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai
dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SD dan SLTP/SMP.
Pada suatu masyarakat, perilaku agresif (agresivitas) adalah perilaku yang
tidak disukai dan cenderung untuk dihindari. Hal ini karena perilaku tersebut
menimbulkan bahaya dan ketidaknyamanan dalam berinteraksi sosial. Berbagai
kondisi di atas tersebut menunjukkan bahwa remaja mengalami kesulitan dalam
mengendalikan agresinya sehingga mereka melampaui batas norma. Menurut
Baron dan Byrne (2000) perilaku agresi adalah perilaku yang bertujuan melukai
perasaan atau menyakiti. Agresi merupakan tingkah laku individu yang ditujukan
4
untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut.
Menurut Koeswara (2007) agresi adalah penyaluran kebutuhan naluri
kematian yang ditekan oleh suatu system kepribadian yang disebut ego agar
berada dalam taraf tidak sadar, karena perilaku agresi dalam bentuk apapun dan
kepada siapapun tidak dapat diterima secara sosial dan selalu berhadapan dengan
kendali masyarakat, norma, dan hukum. Akan tetapi akan selalu ada kemungkinan
agresi tersebut muncul menembus barikade pertahanan ego karena agresi sangat
dipengaruhi oleh kondisi dan faktor-faktor tertentu yang mengarahkan atau
mencetuskannya.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya agresi. Davidoff
(1995) menjelaskan perilaku agresi dapat disebabkan oleh faktor dari dalam diri
individu yaitu faktor biologis, misalnya penyakit tumor atau luka pada otak.
Faktor ini berasal dari dalam diri individu itu sendiri yaitu adanya suatu penyakit
atau luka pada otak. Luka atau peradangan pada otak menyebabkan seseorang
dapat kehilangan penguasaan atas diri sendiri. Sebuah contoh kasus dipaparkan
oleh Davidoff (1995) sebagai berikut: “Charles Whitman, seorang mahasiswa
Universitas Texas menghimbau dan mengemukakan keluhan pada dokternya
bahwa ia sering merasa terdorong tanpa terkendalikan untuk berbuat kejam.
Sewaktu ketika ia naik ke menara sekolah dengan membawa senapan dan
menembaki siapa saja yang lewat di bawahnya, sehingga banyak yang terbunuh.
Ketika bedah mayat dilakukan pada Whitman ditemukan tumor ganas yang cukup
5
besar di otaknya di daerah amygdala. Kerusakan di amygdala dikaitkan dengan
timbulnya amarah yang hebat.
Faktor lain di kemukakan oleh Stein (dalam Davidoff, 1995) dalam hasil
eksperimennya terhadap 97 anak balita memaparkan bahwa anak-anak yang kadar
agresinya normal akan menjadi lebih besar kecenderungan bertindak agresif
setelah
melihat
adegan-adegan kekerasan di televisi. Ketika seseorang
menyaksikan kekerasan atau kekejaman yang menyakitkan, maka tampak bahwa
sistem saraf otonom akan bekerja dan ekspresi wajah akan memperlihatkan bahwa
seolah-olah dia turut merasakan sendiri. Perasaan simpati ini akan mendorong
orang tersebut untuk menolong orang yang menderita, tetapi anak-anak yang suka
melihat adegan kekerasan di televisi dalam jumlah cukup banyak memperlihatkan
bahwa cara kerja sistem saraf otonom semakin menipis. Menurut Willis (1991),
faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku agresi antara lain. Kondisi
pribadi baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu, lemahnya kontrol diri
terhadap lingkungan, termasuk di dalamnya yaitu pengendalian terhadap emosi.
Selain itu lingkungan keluarga yang kurang memberi kasih sayang dan perhatian,
keadaan ekonomi keluarga yang lemah dan keluarga yang kurang harmonis.
Ulasan- ulasan di atas menunjukkan bahwa dorongan agresi berkembang
dan terwujud oleh beberapa sebab yang mempengaruhinya. Melalui pendekatan
individual agresi secara tidak langsung berhubungan dengan kondisi emosi yang
dimiliki oleh seseorang. Albin (1995) mengemukakan emosi merupakan suatu
proses kemampuan individu menempatkan segala perasaannya dengan tepat dan
benar. Salah satu aspek yang penting yaitu aspek afeksi yang didalamnya terdapat
6
emosi, di mana kata emosi sering terungkap dalam setiap aktifitas, tingkah laku
dan pembicaraan individu. Setiap individu pernah mengalami atau merasakannya
seperti sedih, malu, gembira, takut, benci, kecewa dan sebagainya yang dapat
mempengaruhi bagaimana individu tersebut dalam bertindak dan berbuat.
Umumnya masa remaja banyak menghabiskan waktunya di sekolah,
sehingga apabila aktivitas yang dijalaninya di sekolah tidak memadai untuk
memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan
kelebihan energinya ke arah yang tida k positif misalnya perkelahian. Hal ini
menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila
berinteraksi dengan lingkungannya.
Monks dkk. (2002) menyatakan perkembangan psikis yang menonjol pada
masa remaja adalah perkembangan emosi. Rangsangan atau sebab kecil akan
mudah menimbulkan luapan emosi, misalnya marah dan menangis. Remaja yang
emosinya tidak matang sulit mengontrol perilaku sehingga dapat memicul
timbulnya perilaku agresi. Seperti dikemukakan oleh Hurlock (2001) ciri-ciri
individu yang menunjukkan kurangnya emosi yang tidak matang antara lain:
kemarahan yang meledak, kebencian terhadap sesuatu, kepekaan diri yang tinggi
terhadap situasi yang menjengkelkan.
Stein dan Book (2002) berpendapat bahwa individu yang tidak dapat
mengendalikan rangsangan-rangsangan emosi akan merasa frustrasi, impulsif,
sulit mengendalikan amarah, bertindak kasar, kehilangan kendali diri, perilaku
yang meledak- ledak dan tidak terduga. Ditambahkan oleh Bahri (2002) beberapa
7
sifat orang yang belum matang emosinya antara lain: kurang mempunyai rasa
toleransi, kasar, keras dan kaku, suka mencela.
Menurut Meichati (1990) emosi mempunyai peran yang besar dalam
individu untuk menentukan pola tingkah lakunya. Akibat dari keadaan emosi
yang meluap- luap seseorang dapat saja berbuat kepada hal-hal yang bersifat
destruktif atau negatif. Namun tidak berarti semua emosi dapat mengarahkan pada
perilaku destruktif, tapi ada pula beberapa emosi yang dapat mengarahkan pada
perilaku yang konstruktif. Keadaan emosi yang stabil dalam memungkinkan
individu tersebut bertingkah laku positif dan tidak mudah terpengaruh dan
terpancing untuk berperilaku di luar kendalinya dan kesadarannya.
Beberapa penelitian memperkuat keterkaitan antara kematangan emosi
dengan agresivitas, antara lain Jannah (2009) pada penelitian yang telah dilakukan
memaparkan hasil bahwa perilaku agresi dipengaruhi oleh beberapa faktor salah
satunya adalah kematangan emosi, remaja yang belum stabil dan kurang matang
dapat lebih mudah muncul perilaku agresinya daripada yang telah matang
emosinya. Watson dkk. (2008) pada penelitiannya menyatakan bahwa regulasi
emosi, dan coping yang berorientasi pada emosi merupakan prediktor yang kuat
untuk mengukur psikopatologi. Penelitian ini juga menemukan bahwa kontrol
agresi berkaitan dengan kekerasan dan kepekaan interpersonal.
Beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa emosi berperan kuat
terhadap agresivitas remaja, sehingga diharapkan remaja memiliki emosi yang
matang, stabil dan terkendali sehingga sikap dan perilaku lebih kearah positif dan
terkontrol dengan baik serta tidak melakukan tindakan agrsi yang merugikan diri
8
sendiri dan orang lain. Namun kenyataan yang ada, perilaku remaja atau siswa
sekolah selama ini menunjukkan tingkat keagresifan yang semakin meningkat.
Kondisi ini menjadi bahan evaluasi bagi semua
pihak khususnya orangtua,
kalangan pendidik, pemerhati masalah remaja serta masyarakat luas untuk
menelaah dan mencermati bagaimana kondisi seperti itu dapat terus terjadi.
Atas dasar pemikiran tersebut penulis membuat rumusan masalah
penelitian sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara kematangan emosi
dengan agresivitas remaja?” Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai kematangan emosi dan agresivitas
pada remaja dengan melakukan penelitian berjudul: ”Hubungan antara
kematangan emosi dengan agresivitas remaja.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan agresivitas pada
remaja.
2. Mengetahui peran atau sumbangan efektif kematangan emosi terhadap
agresivitas pada remaja.
3. Mengetahui tingkat kematangan emosi dan agresivitas pada remaja.
C. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
bagi
pengembangan ilmu psikologi, terutama psikologi pendidikan dan psikologi
9
perkemnangan mengenai hubungan antara kematangan emosi dan agresivitas
pada remaja.
2. Secara Praktis
Bila hipotesis penelitian ini terbukti maka dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
a. Bagi Orangtua. Memberikan sumbangan berupa data-data empirik
tentang hubungan antara kematangan emosi dengan agresivitas, sehingga orangtua
mampu meminimalisir perilaku agresif pada diri anak dengan mengembangkan
kematangan emosi anak sejak dini.
b. Bagi Guru. Memberikan informasi tentang hubungan antara kematangan
emosi dengan agresivitas, sehingga dalam usaha mendidik remaja di sekolah dapat
ditingkatkan kematangan emosinya agar remaja tidak melakukan perilaku agresi.
c. Bagi Subjek Penelitian. Memberikan masukan mengenai keterkaitan
antara kematangan emosi dengan agresivitas, sehingga diharapkan subjek mampu
membentuk pribadi yang baik dan mampu mengendalikan sikap agresif dalam
hal- hal yang positif, misalnya dalam bidang olahraga.
Download