1 INTENSITAS KOMUNIKASI ORANG TUA DAN AGRESIVITAS

advertisement
INTENSITAS KOMUNIKASI ORANG TUA DAN AGRESIVITAS
REMAJA
Eka Pratiwi, Evianawati
Sekolah Tinggi Psikologi Yogyakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mencari dan mengetahui hubungan antara
intensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja.Subjek pada
penelitian ini berjumlah 50 siswa yang didapat melalui teknik purposive
sampling.Intensitas komunikasi orang tua diukur dengan skala Intensitas
komunikasi orang tua.Skala Intensitas komunikasi orang tua mempunyai koefisien
reliabilitas sebesar 0,894.Sedangkan agresivitas remaja diukur dengan
menggunakan skala agresivitas remaja.Skala agresivitas remaja mempunyai
koefisien reliabilitas sebesar 0,835.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara Intensitas komunikasi orang tua dengan agresivitas
remaja.komunikasi orang tua dengan agresivitas remaja diperoleh koefisien r = 0,615 dengan signifikansi atau p = 0,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara intensitas komunikasi orang tua dengan
agresivitas remaja di SMK Panca Bhakti.
Kata kunci: Komunikasi Orang Tua, Agresivitas Remaja
PENDAHULUAN
Piaget
(dalam
Hurlock,
2009),
mengemukakan
secara
psikologis, masa remaja adalah usia
dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana
anak tidak lagi merasa dibawah
tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan
yang sama, sekurang-kurangnya
dalam masalah hak, integrasi dalam
masyarakat (dewasa) mempunyai
banyak aspek afektif, kurang lebih
berhubungan dengan puber, termasuk
juga perubahan intelektual yang
mencolok. Transformasi intelektual
yang khas dari cara berfikir remaja
ini
memungkinkannya
untuk
mencapai integrasi dalam hubungan
sosial
orang
dewasa,
yang
kenyataannya merupakan ciri khas
yang
umum
dari
periode
perkembangan ini. Yang berkaitan
dengan hubungan sosial pada remaja,
hampir seluruh waktu remaja adalah
berinteraksi dengan lingkungannya,
baik dengan orang tua, saudara,
teman sebaya, guru, dan sebagainya.
Pada masa transisi tersebut
kemungkinan dapat menimbulkan
masa krisis, yang ditandai dengan
kecenderungan munculnya perilaku
menyimpang. Pada kondisi tertentu
perilaku menyimpang tersebut akan
menjadi perilaku yang mengganggu.
Berbagai perubahan yang
terjadi pada remaja, mengharuskan
remaja
untuk
mampu
menghadapinya. Pada saat yang
1
sama masyarakat juga menuntut
remaja untuk bisa bertindak sesuai
dengan harapan sosial, seperti
tercermin
dalam
tugas
perkembangannya. Remaja juga
dihadapkan pada beberapa fase
dengan berbagai tingkat kesulitan
permasalahan, sehingga dengan
mengetahui
tugas-tugas
perkembangan
remaja
dapat
mencegah konflik yang ditimbulkan
oleh remaja, dimana norma dan nilai
yang dihadapi biasanya berbeda
dengan apa yang diperoleh dalam
keluarga. Kondisi seperti ini tidak
jarang menimbulkan kebingungan
dan tekanan pada diri remaja.
Melihat kondisi tersebut
apabila didukung oleh lingkungan
yang kurang kondusif dan sifat
keperibadian yang kurang baik akan
menjadi pemicu timbulnya berbagai
penyimpangan
perilaku
dan
perbuatan-perbuatan negatif yang
melanggar aturan dan norma yang
ada di masyarakat yang biasanya
disebut dengan kenakalan remaja
dalam hal ini agresivitas remaja
(Hurlock, 2009).
Agresivitas (dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2008)
keagresifan
merupakan
hal
(sifat/tindak)
agresif.Agresivitas
sendiri adalah bersifat atau bernafsu
menyerang atau kecenderungan ingin
menyerang sesuatu yang dipandang
sebagai hal atau situasi yang
mengecewakan, menghalangi, atau
menghambat. Baron dan Byrne
(2005) mengemukakan perilaku
agresi adalah tingkah laku yang
diarahkan kepada tujuan menyakiti
makhluk hidup lainnya yang ingin
menghindairi perlakuan itu
Perilaku agresif muncul
sebagai akibat dari kegagalan,
kebimbangan, dan kebingungan,
hilangnya kesabaran dan emosi yang
memucak.
Kegagalan
remaja
didalam menghadapi permasalahan,
akan
menyebabkan
remaja
mengalami frustasi dan menjadi sulit
mengontrol
emosinya,
serta
keterbatasan
kognitif
untuk
mengolah perubahan baru tersebut
bisa membawa pengaruh besar dalam
fluktuasi emosinya.
Besarnya pengaruh kelompok
sebaya bagi remaja sebenarnya dapat
diantisipasi dengan peran orangtua
dalam kehidupan remaja.Komunikasi
dua
arah,
perhatian
yang
proporsional dan upaya orangtua
untuk memahami fase remaja sebagai
sebuah fase pencarian jati diri, bisa
menghadirkan sosok orangtua yang
dapat dijadikan teman bagi para
remaja.Perhatian atau peran orang
tua yang baik dapat mengurangi
pengaruh negatif pada perkembangan
emosi
dan
perilakunya
dari
kelompok
sebayanya
yang
berlebihan.
Perilaku agresif dikalangan
remaja, khususnya pelajar SMA atau
sederajat, dari tahun ke tahun
semakin meningkat baik dari
jumlahnya maupun variasi bentuk
perilaku yang dimunculkan.Rasa
marah (Berkowitz, 2005) adalahsuatu
perasaan yang tidak langsung
mendorong agresi tetapi biasanya
hanya menyertai kecenderungan
untuk menyerang sasaran.Tidak
dapat dipungkiri lagi, bahwa pada
kenyataannya agresi adalah suatu
respon
terhadap
rasa
marah,
kekecewaan, sakit fisik, penghinaan,
atau
ancaman
yang
sering
memancing amarah dan akhirnya
memancing agresi. Ejekan, hinaan
dan ancaman merupakan pancingan
2
yang jitu terhadap amarah yang akan
mengarah pada agresi.
Kenyataan
di
atas
menunjukkan bahwa ada problem
penyimpangan
pada
perilaku
remaja.Pada masa remaja inilah
banyak terjadi perubahan perilaku
sehingga sulit diduga sifat, sikap dan
jalan pikiran ataupun kondisi
psikologisnya. Remaja merasa tidak
dimengerti oleh orang tua dan
sebaliknya atau tidak mengerti
pikiran anak remajanya.
Beberapa contoh di atas
seharusnya bisa dihindari jika terjalin
komunikasi yang baik antara orang
tua dan anak.Berkomunikasi dengan
anak adalah salah satu hal yang
paling penting yang dapat orang tua
lakukan
untuk
menghindari
persoalan emosi selama masa
perkembangannya.Remaja menilai
diri mereka berdasarkan bagaimana
sikap orang tua kepada remaja.
Berkomunikasi
dengan
anak
merupakan suatu cara yang paling
efektif untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan. Tentu saja
komunikasi di sini harus bersifat dua
arah, artinya kedua belah pihak harus
mau
saling
mendengarkan
pandangan satu dengan yang lain.
Dengan melakukan komunikasi,
orang
tua
dapat
mengetahui
pandangan-pandangan dan kerangka
berpikir anaknya, dan sebaliknya
anak-anak juga dapat mengetahui apa
yang diinginkan orang tuanya.
Kebingungan
seperti
yang
disebutkan mungkin tidak perlu
terjadi jika ada komunikasi antara
remaja dengan orang tuanya.Gunarsa
(2008).
Santrock
(2008)
menyebutkan bahwa salah satu
prediktor
agresivitas
adalah
dukungan/
peran
orangtua.
Menurutnya, kurangnya pemantauan
serta
dukungan
yang
rendah
mengakibatkan
kurangnya
komunikasi dan disiplin yang tidak
efektif.
Berbagai media massa baik
media cetak maupun elektronik
sejumlah kasus kejahatan yang
melibatkan sejumlah remaja sebagai
pelakunya,
seperti
peristiwa
perkelahian antara pelajar, pencurian
kendaraan yang melibatkan remaja
sebagai pelakunya, dan beberapa
tindak kriminalitas yang dilakukan
remaja.
Perilaku
di
atas
mencerminkan
adanya
penyimpangan yang dilakukan oleh
remaja. Penyimpangan tersebut bisa
terjadi karena kurangnya pemahaman
pada masa remaja atau kurangnya
komunikasi antara orang tua dan
anak mengenai pembentukan jatidiri
pada remaja.
Adanya komunikasi akan
menjadikan
seseorang
mampu
mengemukakan
pendapat
dan
pandangannya dengan jelas, sehingga
orang lain lebih mudah memahami
dan mengerti dirinya, dan sebaliknya.
Tanpa
adanya
komunikasi
kemungkinan
besar
dapat
menyebabkan terjadinya salah paham
yang memicu terjadinya konflik.
Berdasarkan wawancara oleh
peneliti yang dilakukan pada (Ade
Kusuma Wardhana) salah satu siswa
dari SMK Panca Bhakti pada tanggal
12 Mei 2015, waktu 09.30
WIB.Hanya karena perebutan pacar
siswa di SMK Panca Bhakti dua
siswa berkelahi didalam lingkungan
sekolah. Masih di SMK Panca Bhakti
terjadi perkelahian juga terjadi
karena kesalahpahaman saat salah
3
seorang siswa dituduh mencuri helm
siswa lain. Kejadian lain yang sering
terjadi di STM Panca Bhaktiadalah
pengompasan
yang
disertai
pemukulan oleh sekelompok siswa
yang membuat kelompok disekolah.
Fenomenaini diperkuat juga
karena letak STM Panca Bhakti yang
tidak jauh dengan kota dan
berdekatan dengan beberapa tempat
wisata dan tempat karaoke serta
terletak dijalur lintas kota. Dekatnya
sekolah denganbeberapa tempat
wisata inilah yang membuat siswa
enggan langsung pulang ke rumah
setelah pulang sekolah. Dan disitulah
terkadang terjadi gesekan antar
pelajar yang berkumpul yang
menjadikan tawuran antar sekolah
lain karena saling ejek.
Penyimpangan perilaku anak
yang disebabkan kurangnya peran
orang tua dan komunikasi antara
anak dan orang tua diantaranya
adalah
agresivitas.
Menurut
Pikunas(dalam Berkowitz, 2005)
Agresivitas merupakan suatu motif
yang ada pada setiap manusia, dan
hal tersebut banyak dipengaruhi oleh
bermacam-macam faktor di dalam
perkembangannya. Salah satu faktor
yang diduga banyak mempengaruhi
agresivitas adalah orang tua. Orang
tua bertanggung jawab untuk
memelihara,
membesarkan,
mendidik, menanamkan nilai-nilai,
serta bertanggung jawab terhadap
perkembangan kepribadian, dan
bertugas untuk mengatur dan
memimpin anak.
Feist, Gregori/Jest Feist,
(2010) menyatakan bahwa salah satu
tahap perkembangan psikodinamik
seseorang pada masa remaja adalah
Intimacy Isolation.Pada periode ini
remaja termotivasi untuk berhasil
melalui perkembangan social, yaitu
membentuk intimasi dalam proses
pembentukan identitas yang tetap
dan berhasil. Erikson ( dalam
Kongkoh, 2011) menyatakan bahwa
“tahap identitas personal yang kuat
penting untuk mengembangkan
hubungan
yang
intim,
jika
mengalami kegagalan maka akan
muncul
perasaan
keterasingan
(isolasi). Kegagalan yang dialami
remaja tersebut menyebabkan remaja
menjadi frustasi. “Bentuk reaksi
yang
terjadi
akibat
frustasi
diantaranya
adalah
perilaku
kekerasan yang dilakukan untuk
menyakiti diri atau orang lain, yang
sering disebut dengan agresi”.
Fenomena agresivitas yang
umum terjadi di masyarakat ini tidak
pernah surut bahkan cenderung
meningkat. Banjarnegara sebagai
kabupaten yang sedang berkembang
menjadikan para pelajar mencoba
untuk mencontoh dari para remaja
yang ada dikota-kota maju, seperti
Jakarta, Semarang dll. Para remaja
melihat
cara
bergaul
atau
pembentukan kelompok-kelompok
social non-formal. Pembentukan
inilah yang dijadikan remaja sebagai
cara bergaul tetap untuk menghindar
dari keterasingan atau pencarian jati
diri, yang disinyalir sebagai sebuah
bentuk mata rantai kehidupan bebas
remaja.
Menurut Urip (2010) secara
umum remaja masih menjadi pemicu
dalam
terjadinya
perilaku
agresi.Remaja memiliki resiko yang
cukup tinggi untuk melakukan
tindakan agresi. Agresi bahkan
dianggap sebagai tingkah laku yang
normal dan terjadi pada sebagian
besar remaja sebagai wujud dari
masalah
psikologis
yang
4
dihadapinya. Merekan menggunakan
metode penyelesaian yang kurang
tepat untuk mengatsi pergolakan
emosinya. Lewin (dalam Sarwono,
2009).
Berdasarkan fenomena dan
uraian diatas, pentingnya peran orang
tua melalui komunikasi antara orang
tua dan anak yang diterapkan
sehingga
berkaitan
dengan
munculnya tingkah laku agresif atau
agresivitas pada diri siswa. Oleh
karena itu peneliti tertarik untuk
mengkaji mengenai “Hubungan
Antara Intensitas Komunikasi
Orang Tua dengan Agresivitas
Remaja”.
Hubungan
Antara
Intensitas
Komunikasi Orang Tua Dengan
Agresifitas Remaja
Para psikolog dan psikiater
telah lama menganggap bahwa
keluarga sebagai tempat dimana
karakter pribadi ditempa dan
sekaligus meripakan sumber utama
kecenderungan antisocial.Gerungan
(2008)
mengemukakan
bahwa
keluarga adalah kelompok social
utama dimana anak belajar menjadi
manusia social. Di dalam interaksi
social yang wajar anak akan
memperoleh
perbekalan
yang
memungkinkan
untuk
menjadi
anggota masyarakat yang berharga.
Salah satu pertanda hubungan baik
antara orang tua dan anak , yaitu
bahwa anak tidak segan-segan
menceritakan isi hatinya kepada
orang tua. Berdasarkan hasil studi
pioneer terhadap 2000 remaja nakal,
William Healy dan Augusta Broner
mengatakan bahwa orang tua
mempunyai pengaruh yang sangat
penting terhadap perkembangan anak
(dalam Berkowitz , 2005). Beberapa
prediktor
agresivitas
meliputi
identitas
(identitas
negatif),
pengendalian diri (derajat rendah),
usia (telah muncul pada usia dini),
jenis kelamin (anak laki-laki lebih
banyak terlibat dalam perilaku anti
sosial daripada anak perempuan,
meskipun anak perempuan lebih
cenderung melarikan diri dari rumah.
Loeber dan Hay (dalam
Krahe, 2011)
mengemukakan
bahwa, sampai batas tertentu agresi
bersifat
normatif-umur
(agenormative) dikalangan anak-anak
dan remaja. Pertanda perilaku agresif
dikenali bayi sejak mereka berusia
sekitar tiga bulan adalah ekspresi
kemarahan wajah orang dewasa,
diikuti dengan ekspresi kemarahan
anak sebagai responnya terhadap
frustasi, yang dimulai pada paruh
kedua tahun pertama usia mereka.
Pola-pola perilaku agresif dalam
konflik dengan teman sebaya dan
orang dewasa muncul selama tahun
kedua
dan
ketiga
kehidupan
seseorang dalam bentuk temper
tantrum dan penggunaan kekuatan
fisik (seperti memukul, mendorong,
dan menendang).
Loeber dan Hay
(dalam
Krahe 2011) mengemukaan bahwa
perilaku agresif berubah tingkat dan
polanya pada masa remaja dan pada
masa dewasa-muda.Yang berarti
bahwa
perilaku-perilaku
yang
dilakukan dengan niat menyakiti
orang lain diperlihatkan, paling tidak
sekali-sekali, oleh banyak atau
kebanyakan anggota kelompok umur
ini. Anak akan lebih banyak terlibat
dalam tindakan-tindakan kejahatan),
peran
orang
tua
(kurangnya
pemantauan, dukungan yang rendah
yang mengakibatkan kurangnya
5
komunikasi dan disiplin yang tidak
efektif) dan kualitas lingkungan
(Santrock, 2007).
Keluarga mempunyai fungsi
penting
dalam
menciptakan
ketentraman batin remaja. Bila
remaja
merasakan
adanya
kehangatan, kasih sayang dan
ketentraman ibu dan bapak terhadap
remaja, maka jiwanya akan tentram.
Sebaliknya remaja dapat pula
menderita dan terdorong untuk
menentang dan brkelakuan tidak baik
apabila orang tua tidak sayang
kepadanya dan tidak mengerti apa
yang sedang ia alami.Di antara
masalah-masalah
penting
yang
dihadapi orang tua dengan anakanaknya yang mulai meningkat,
adalah
sulitnya
mengadakan
komunikasi. Salah satu pertanda
hubungan baik antara orang tua dan
anak , yaitu bahwa anak tidak segansegan menceritakan isi hatinya
kepada orang tua. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan, anak yang
agresif cenderung untuk tidak
menceritakan isi hatinya ataupun
cita-citanya kepada orang tuanya
daripada anak-anak biasa.
Adanya komunikasi yang
terbuka, dimana anak dan orang tua
mau membuka diri, mengungkapkan
informasi tentang dirinya, perilaku,
sikap, perasaan, keinginan, motivasi,
gagasan
yang
biasanya
kita
sembunyikan sehingga orang lain
mengerti dan mengenal dirinya
sendiri sehingga kelemahan dan
kekurangan yang dimilikinya akan
dapat diterima; empati, kemampuan
untuk merasakan apa yang sedang
dirasakan orang lain, sehingga dalam
berkomunikasi mampu merasakan
dan memahami hal yang sama
dengan orang lain tanpa kehilangan
identitas diri; dukungan, usaha yang
dilakukan
seseorang
untuk
menghargai lawan bicaranya yang
menjadikan orang bebas dalam
mengemukakan pendapatnya; sikap
positif,menghargai lawan bicara yang
dapat
membuat
seseorang
menghargai dirinya sendiri secara
positif pula; kesamaan, sejauh mana
antara remaja dan orang tua
mempunyai kesamaan, sehingga
ketidaksetujuan
dan
konflik
dipandang sebagai usaha untuk
memahami perbedaan pendapat;
dapat menciptakan suasana yang
nyaman dalam keluarga dan dapat
membantu kearah perkembangan
remaja yang wajar dan sehat jasmani
dan rohani sehingga perilaku agresif
dapat ditekan kemunculannya.
Hal ini juga didukung oleh
hasil penelitian Miller (2011) bahwa
apabila orang tua kurang dapat
menjalin komunikasi yang baik
dengan anaknya, seperti kurang
hangat
dan
terbuka,
kurang
melindungi,
kurang
dapat
membimbing atau mengarahkan,
maka
anak
akan
cenderung
menunjukkan perilaku agresif dan
perilaku interpersonal lainnya.
Uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa komunikasi di
dalam sebuah keluarga hendaknya
berlangsung atas dasar simpati dan
cinta kasih yang timbal balik, yang
mana menjaminkan hubungan baik
dan juga perkembangan psikologis
anak yang sehat dan wajar, sehingga
perilaku negatif anak dapat dihindari
dalam hal ini adalah remaja.
Hipotesis
Berdasarkan
penjelasan
teoritik diatas, penulis mengajukan
hipotesis dalam penelitian ini yang
6
berbunyi; “Ada hubungan negatif
antara intensitas komunikasi orang
tua
dengan
agresivitas
remaja.Semakin tinggi intensitas
komunikasi
orang
tua
maka
kecenderungan agresivitas remaja
akan semakin rendah.Sebaliknya
semakin rendah komunikasi orang
tua, maka kecenderungan agresivitas
remaja akan semakin tinggi”.
Kerangka Berfikir
Orang Tua dan
Anak
Intensitas Komunikasi:
-
Menolak
mendengarkan
-
Kurangnya waktu
bersama
-
Komunikasi satu
2.1
Agresivitas
Kurang adanya
Bagan dalam
Hubungan
keterbukaan
keluarga
Komunikasi
Orang
Antara
tua
Dengan Agresivitas Remaja
METODE PENELITIAN
Intensitas Komunikasi Orang
Tua didefinisikan sebagai suatu
keadaan tingkatan atau ukuran dalam
proses pengiriman, penerimaan pesan
antar dua orang atau lebih.Variabel
ini di ukur dengan skala intensitas
komunikasi orang tua yang mengacu
pada teori ( Devito, 2011 )
berdasarkan aspek aspek intensitas
komunikasi orang tua sebagai berikut
; keterbukaan, empati, dukungan,
sikap positif, kesamaan.
Sementara itu agresivitas remaja
didefinisikan sebagai suatu serangan
yang dilakukan oleh suatu organism
terhadap organism lain, objek lain
dan bahkan dirinya sendiri. Variabel
ini mengungkap skala agresivitas
remaja, dimana yang menjadi acuan
menggunakan teori (Dayakisni dan
Hudaniah, 2006) Adapun aspekaspek yang digunakan dalam
penelitian agresifitas diambil dari
beberapa tipe - tipe perilaku agresif,
yaitu menyerang fisik, ,menyerang
suatu objek, secara verbal atau
simbolis, pelanggaran terhadap hak
milik dan menyerang daerah orang
lain.
Penelitian ini akan dilakukan
pada Siswa SMK Panca Bhakti
Banjarnegara. Dengan karakteristik
sebagai berikut :
a. Seluruh Siswa SMK Panca
Bhakti
Banjarnegara
yang
melakukan agresivitas
b. Tinggal bersama orang tua
c. Usia 16 – 18 tahun
d. Laki – laki dan perempuan
Jenis penelitian yang digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
Kuantitatif Korelasional. Penelitian
korelasional bertujuan menyelidiki
sejauh mana variasi pada suatu
variabel berkaitan dengan variasi
pada satu atau lebih variabel lain,
berdasarkan
koefisien
korelasi.
Dengan penelitian korelasional,
pengukuran
terhadap
beberapa
variabel serta saling berhubungan
diantara variabel di antara variabelvariabel tersebut dapat dilakukan
serentak dalam kondisi yang realistik
(Azwar,
2009).Penelitian
ini
bertujuan
untuk
memperoleh
informasi
mengenai
hubungan
komunikasi orang tua dengan
Agresivitas remaja.
Dalam
pengumpulan
data
peneliti menggunakan dua skala
yaitu skala agresifitas dan skala
intensitas komunikasi. Adapun dua
macam skala yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ;
7
1. Skala Agresifitas
Skala agresivitas ini disusun
berdasarkan beberapa aspek
dalam beberapa tipe perilaku
agresif, Agresif Fisik dan Agresif
Verbal.
2. Skala Intensitas Komunikasi
Skala komunikasi orang tua
ini
disusun
berdasarkan
beberapa aspek komunikasi,
yaitu:
1). Keterbukaan, 2).Empati, 3).
Sikap Saling Dukung 4). Sikap
postif,
5).Kesamaan .
HASIL PENELITIAN
Hasil analisis data menunjukan
bahwa terdapat hubungan yang
signifikan
antara
intensitas
komunikasi orang tua dengan
agresivitas remaja di SMK 1 Panca
Bhakti. Hal ini dapat dilihat dari
hasil uji koefisien korelasi (rxy)= 0,525
dan
taraf
signifikansi
0,000(p>0,05) atau dengan tingkat
kepercayaan
sebesar
90%.Hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
hipotesis yang diajukan diterima.
Secara
umum
intensitas
komunikasi
terbukti
berperan
baik/bagus dalam mengurang tingkat
agresivitas remaja pada siswa SMK
Panca Bhakti.Dalam penelitian ini,
Secara umum intensitaskomunikasi
orang tua yang dimiliki oleh siswa
SMK Panca Bhakti berada pada
kategori tinggi dengan persentasi
sedang sebesar 62%. Artinya bahwa
intensitas komunikasi yang terjalin
antara orang tua dan anak (siswa)
adalah sangat baik, ditandai dengan
adanya
keterbukaan,
saling
pengertian, saling menerima, saling
dukung dan mempunyai kesetaraan
yang cukup untuk menghindari
konflik serta cukup memahami
perbedaan dari anak kepada orang
tua. Jika intensitaskomunikasi orang
tua tergolong tinggi berarti bahwa
proses komunikasi yang terjadi
karena adanya pengertian orang tua
sebagai pemberi informasi dan anak
sebagai penerima informasi untuk
mengadakan titik temu dari dua
belah pihak dengan hubungan yang
positif dan orang tua dapat mengerti
posisi
anak
yang
kemudian
memberikan semangat serta motivasi
yang baik pada anak dengan
demikian anak akan merasa bahwa
orang tua selalu mendampingi
mereka
dalam
setiap
fase
perkembangan dan akan membuat
anak lebih terbuka, maka timbullah
dalam diri anak itu dorongan, hasrat
untuk
menceritakan
segala
kegelisahan.
Berdasarkan hasil penelitian,
secara umum agresivitas yang terjadi
SMK Panca Bhakti berada pada
kategori rendah dengan persentasi
tinggi sampai sedang dan presentase
tinggi sebesar 54% , presentase
sedang sebesar 44%, dan presentasse
rendah
6%,
Artinya
bahwa
agresivitas remaja yang dilakukan
rendah, ditandai dengan rendahnya
agresivitas yang dilakukan oleh
siswa
SMK
Panca
Bhakti
Banjarnegara.
Hasil
penelitian
dari
agresivitas remaja pada siswa SMK
Panca Bhakti berhubungan dengan
intensitaskomunikasi orang tua.
Komunikasi orang tua pada siswa
SMK Panca Bhakti berpengaruh
besar, sesuai dengan statistik
deskriptif, kondisikomunikasi orang
tua berada dalam kondisi tinggi,
intensitas komunikasi orang tua di
SMK Panca Bhakti dalam kondisi
8
yang
baik,
artinya
intensitaskomunikasi orang tua yang
terdiri dari aspek keterbukaan,
empati, perilaku positif, sikap saling
dukung, dan kesetaraan berpengaruh
pada agresivitas remaja di SMK
Panca Bhakti.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan bahwa ada hubungan
negative antaraintensitas komunikasi
orang tua dengan agresivitas remaja
pada siswa SMK Panca Bhakti,
Semakin tinggi komunikasi remaja
dan orang tua, maka agresivitas akan
semakin rendah, sebaliknya semakin
rendah komunikasi remaja dan orang
tua, maka agresivitas remaja akan
tinggi.
Menurut penelitian Lopeza ,dkk,
yang meneliti tentang pengaruh
keluarga dan lingkungan kelas pada
pengembangan karakteristik individu
tertentu, termasuk tingkat empati,
sikap otoritas kelembagaan dan
reputasi sosial, dan karakteristik
peraturan
sekolahyang
mempengaruhi
agresi
didalam
sekolah. Partisipan dalam penelitian
sebanyak 1319 remaja berusia 11-16
(47% laki-laki) yang diambil dari
sekolah menengah negeri di Valencia
(Spanyol).Penelitian ini sebelumnya
menunjukkan
bahwa
variabelvariabel ini dapat berkontribusi
secara diferensial pada perilaku
agresif dan tergantung jenis kelamin,
dua model struktural mediational
yang dihitung berbeda, masingmasing, untuk anak laki-laki dan
perempuan. Hasil yang diperoleh
menunjukkan karakteristik yang
berbeda untuk anak laki-laki dan
perempuan. Secara keseluruhan,
menunjukkan bahwa lingkungan
keluarga yang positif tampaknya
menjadi faktor protektif kuat untuk
anak
perempuan
dalam
pengembangan masalah perilaku di
sekolah, sedangkan untuk anak lakilaki ini adalah kasus untuk
lingkungan kelas yang positif. Model
ini menyumbang 40% dari varians
dalam agresi di sekolah untuk anak
laki-laki dan 35% untuk anak
perempuan.
Sehingga komunikasi berperan
sangat penting dalam kehidupan
masyarakat untuk menyatakan suatu
pesan atau tujuan kepada orang lain.
Karena
komunikasi
merupakan
peristiwa sosial yang terjadi ketika
manusia berinteraksi dengan orang
lain. Proses komunikasi yang
berlangsung di dalam masyarakat
dialami oleh semua tingkatan usia
dan status dalam keluarga termasuk
anak dan orang tua sebagai bagian
dari masyarakat dan lingkungan
sosial. Komunikasi pada anak dan
orang tua adalah bentuk komunikasi
interpersonal, dalam komunikasi ini
tidak jarang ditemui adanya konflik
antara anak dan orang tua.Pesan yang
disampaikan kepada penerima pesan
dapat diartikan berbeda-beda dan
tidak sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai oleh pemberi pesan.
Santrock (2008) menyebutkan
bahwa
salah
satu
prediktor
agresivitas adalah dukungan/peran
orangtua. Menurutnya, kurangnya
pemantauan serta dukungan yang
rendah mengakibatkan kurangnya
komunikasi dan disiplin yang tidak
efektif.
Penyimpangan perilaku anak
yang disebabkan kurangnya peran
orang tua dan komunikasi antara
anak dan orang tua diantaranya
adalah agresivitas. Orang tua harus
bertanggung
jawab
untuk
memelihara,
membesarkan,
9
mendidik,menanamkan
nilai-nilai,
serta bertanggung jawab terhadap
perkembangan kepribadian, dan
bertugas untuk mengatur dan
memimpin anak.
Santrock (2007) mengemukakan
bahwa faktor-faktor lain yang
mempengaruhi agresivitas yaitu
identitas, kontrol diri, pengaruh
orang tua, pengaruh teman sebaya,
status sosial, dan kualitas sekitar
tempat tinggal.Identitas; ditandai
dengan kegagalan remaja untuk
mencapai integrasi yang kedua, yang
melibatkan berbagai aspek peran
identitas.Erikson
(1968
dalam
Santrock, 2007) mengemukakan
masa remaja ada pada tahap dimana
krisis identitas versus difusi identitas
harus diatasi.Perubahan biologis
remaja yang berupa pubertas menjadi
awal dari perubahan yang terjadi
bersama harapan sosial yang dimiliki
keluarga, teman sebaya, dan sekolah
terhadap remaja.
Adanya
komunikasi
akan
menjadikan
seseorang
mampu
mengemukakan
pendapat
dan
pandangannya dengan jelas, sehingga
orang lain lebih mudah memahami
dan mengerti dirinya, dan sebaliknya.
Tanpa
adanya
komunikasi
kemungkinan
besar
dapat
menyebabkan terjadinya salah paham
yang memicu terjadinya konflik.
Pelajar
yang
melakukan
komunikasi dengan orangtua secara
harmonis, sebagaimana digambarkan
oleh Olson & de Frain (2005),
memiliki keterbukaan diri. Mereka
dapat membagi perasaannya kepada
anggota keluarga lain, terutama
orangtua. Selain itu, komunikasi
yang harmonis antara remaja dan
orangtua ditandai oleh kemampuan
mendengarkan pada dua pihak.
Pelajar
sangat
mendambakan
orangtuanya dapat mendengarkan
apa yang menjadi keluh kesah atau
permasalahan
mereka.
Dengan
kemampuan membuka diri dan
kemampuan mendengarkan, maka
komunikasi remaja dan orangtua
dapat
dimanfaatkan
untuk
menanggapi stimulus-stimulus yang
hadir pada diri secara tepat.Problemproblem yang hadir pada pelajar pun
dapat dipetakan secara baik dan
dicarikan jalan keluarnya.Tidak
hanya membuka diri orang tua juga
harus berempati kepada anak agar
mengerti apa yang sedang dirasakan
oleh remaja. Empati membantu
lawan
komunikasi
kita
merasadihargai karena aapa yang dia
sampaikan
didengarkan
dan
diperhatikan oleh orang lain, hal ini
akan
menjadikan
seseorang
cenderung lebih terbuka. Apabila
dalam komunikasi anak dan orang
tua ada rasa empati maka akan
tumbuh rasa aman dan nyaman
dalam kehidupan sehari-hari dan
akan memperbaiki hubungan antar
anggota keluarga (Widjaja, 2008).
Dukungan juga berperan penting
dalam proses komunikasi, dengan
sikap memberi dukungan dari pihak
orang tua akan mendorong anak
untuk mau berpartisipasi dalam
komunikasi.
Sebagai
mana
diungkapkan Sugiyo (2005) bahwa
sikap suportif merupakan sikap
memberi dukungan terhadap anak
sehingga
anakakan
berusaha
meningkatkan hubungan dengan
keluarga.
Keluarga
harus
bisa
menumbuhkan sikap suportif antara
anggota yang satu dengan yang lain
dalam komunikasi antar pribadi
dalam walaupun dengan anggukan
10
atau senyuman sebagai tanda respon
terhadap apa yang disampaikan
anggota lain, maka orang yang
mengajak kita bicara akan merasa
bahagia dan tidak merasa kecewa
karena merasa diperhatikan, oleh
sebab itu dengan adanya sikap
suportif akan menjadikan seseorang
merasa diterima dalam keluarga
sehingga sikap tertutup akan
berkurang.
Dalam berkomunikasi itu status
boleh berbeda, tetapi komunikasi
tetap sejajar, saling menghormati
antara orang satu dengan yang lain.
Sebagaimana diungkapkan Djamarah
(2007), komunikasi yang baik tidak
dinilai dari tinggi rendahnya jabatan
atau pangkat seseorang, tetapi dinilai
dari perkataan seseorang apabila
antara anak dan orang tua merasa
tidak ada perbedaan, maka muncul
perasaan sama rasa yang berakibat
terjalin dengan baik.
Melalui komunikasi yang baik
antara remaja dan orangtua, setiap
problem dapat disikapi secara tepat
dan bijak, Dengan cara inilah, pelajar
akan menghindarkan diri dari
keterlibatan dalam agresivitas yang
distimulasikan oleh lingkungannya.
Nilai penting komunikasi remaja
dan orangtua adalah pada kualitas
komunikasi di antara mereka.Boleh
jadi seorang pelajar tidak tinggal
serumah dengan orangtuanya, namun
karena
kualitas
komunikasinya
tinggi, maka itu sangat membantu
mereka dalam menyikapi secara tepat
stimulus yang hadir pada diri pelajar.
KESIMPULAN
Adapun keterbatasan penelitian
ini yaitu penelitian ini hanya
dilakukan di satu sekolah saja,
sehingga akan lebih baik lagi jika
penelitian dilakukan tidak hanya
pada SMK Panca Bhakti Banjarnegra
selanjutnya ( dengan topic yang
sama) dilakukan pada populasi yang
lebih luas memngingat bahwa
intensitas
komunikasi
haruslah
terjalin dengan baik antara orang tua
dan anak sehingga anak dapat
terhindar dari perilaku menyimpang.
Penelitian ini menunjukkan
bahwa ada hubungan yang sangat
signifikan
antara
intensitas
komunikasi orang tua dengan
agresivitas remaja. Hubungan yang
terjadi bernilai negative, sehingga
hipotesis yang mengatakan bahwa
ada hubungan negative antara
komunikasi orang tua dan anak dapat
teruji.Ini berarti bahwa semakin
tinggi intensitas komunikasi orang
tua, maka semakin rendah agresivitas
yang dilakukan.Sebaliknya, semakin
rendah intensitas komunikasi orang
tua dan anak, maka semakin tinggi
agresivitas remaja.
Hal ini terbukti berdasarkan
hasil analisa yang dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan negative
antara intensitas komunikasi orang
tua dengan agresivitas remaja pada
siswa
SMK
Panca
Bhakti
Banjarnegara
dengan
korelasi
sebesar
-0,525
dengan
taraf
signifikansi 0,000 (P<0,05).
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, L. 2009. Skripsi :
Perbedaan
Tingkat
Agresifitas Pada Remaja
yang Bermain Game Online
Jenis Agresif Dan NonAgresif. Tidak diterbitkan.
Universitas Muhammadiyah
Surakarta: Surakarta.
11
Ali dan Asrori. 2011. Psikologi
Remaja Perkembangan Anak
Didik. Bumi Aksara
Arikunto,S.2010.Prosedur Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik.Jakarta:Rineka Cipta
Asizah. 2013. Hubungan Intensitas
Komunikasi Antara Anak
Dengan Orang tua Dan Sef
Regulation Pada Remaja
Pesantren. Persona. Jurnal
Psikologi Indonesia
Atkinson, Berne, Woodwoorth.
2004.
Dictionary
Of
Psychology. Delhi:Goyl Saab
Publishers
Azwar,
Saifuddin. 2008. Sikap
Manusia
Teori
Dan
Pengukurannya.Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
-----------2009. Metode Penelitian
(Cetakan IX). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
-----------2009.
Reliabilitas
Validitas.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
dan
Badudu, JS. 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga ( Pusat Bahasa
Departemen
Pendidikan
Nasional.Jakarta : Balai
Pustaka
Baron dan Bryne. 2005. Psikologi
Sosial. Jakarta : Penerbit
Erlangga
Berkowitz, L. 2005. Agresi SebabAkibat. Jakarta : PT Pustaka
Binaman
Pressindo
Chaplin, JP. 2011. Kamus Lengkap
Psikologi
(Penerjemah
Dr.Kartini Kartono).
Jakarta : PT Raja Grafindo
Chapman, Gary. 2005. Lima Bahasa
Kasih Untuk Remaja. Batam :
Interaksara
Dayakisni, T dan Hudaniah. 2009.
Psikologi sosial. Malang :
UMM Press
De Vito, Joseph. 2011. Komunikasi
Antar Manusia ( Alih
Bahasa Ir. Agus Maulana
MSM). Jakarta : Profesional
Books
Djamarah, Saiful B. 2007. Pola
Komunikasi Orang tua dan
Anak Dalam Keluarga.
Jakarta : Rineka Cipta
Gerungan. 2010. Psikologi Sosial.
Bandung : Eresco
Gunarsa.2006. Psikologi Praktis
Anak dan Remaja.Bandung :
Eresco
Hasmanti,T.W.,
2006.
Naskah
Publikasi
:
Hubungan
Komunikasi Remaja dan
Orang
tua
Dengan
Agresifitas Remaja Lakilaki.Tidak diterbitkan.
Universitas Islam Indonesia:
Jogjakarta.
12
Hodijah (2010), Hubungan Antara
Intensitas
Komunikasi
Orang Tua Dan Anak
Dengan Motivasi Belajar
Anak. e-jurnal: Universitas
Guna Darma.
Hurlock.
Elizabeth
B.
2009.
Psikologi Perkembangan :
Suatu
Pendekatan
Sepanjang
Rentang
Kehidupan. Edisi 5.Jakarta :
Erlangga
Indriyati. 2007. Hubungan Antara
Intensitas Komunikasi Orang
Tua dan Anak Dengan
Kepercayaan Diri Remaja
Putri Awal. Skripsi. Unnes
Rakhmat,
J.
2005. Psikologi
Komunikasi.
Bandung
:
Remaja Rosdakarya
Reber&Reber.
2010.
Kamus
Psikologi.
Yogyakarta
:
Pustaka Pelajar
Santrock,
John
W.
2008.
Adolescense Perkembangan
Remaja ( Alih Bahasa,
Shinto B. Adelar; Sherly
Saragih; Editor, Wisnu C.
Kristiaji. Jakarta Penerbit
Erlangga.
Sugiyo. 2005. Komunikasi Antar
Pribadi. UNNES : UNNES
Press
Krahe, B. 2011. Perilaku Agresif,
Buku Panduan Psikologi
Sosial. Yogyakarta Pustaka
Pelajar
Supratikya. 2009. Komunikasi Antar
Pribadi
(Tinjauan
Psikologis). Yogyakarta
Kanisius
Kongkoh.
2010.
Teori
Perkembangan
Psikososial
Erik Erikson. Diunduh di
http://id.shvoong.com/socials
ciences/education/2102731teoriperkembanganpsikososia
l-erik-erikson.
Taylor,Peplau,dan
Sears.
2009.
Psikologi Sosial. Jakarta :
Penerbit Erlangga
Urip.S.
2010. Hubungan Antara
Persepsi
Terhadap
Penerimaan Teman Sebaya
Dengan
Tendensi
Agresivitas Relasional Pada
Remaja Putri Di SMP N 27
Semarang. Jurnal Psikologi.
Fakultas
Psikologi
Universitas Diponegoro
Walgito,
B. 2002. Pengantar
Psikologi
Umum.
Yogyakarta : Andi Offset
Lunandi, A.G. 2001. Komunikasi
Mengenai,
Meningkatkan
Efektivitas
Komunikasi
Antar Pribadi. Yogyakarta:
KANISIUS.
Lopez,
dkk. 2008. Adolescent
aggression:
Effects
of
gender and family and
school
environments.
Journal Of Adolescence :
ScienceDirect
White, Gallup, and Gallup.2010.
Indirect Peer Aggression in
Adolescence
and
13
Reproductive
Evolutionary
Psychology
Behavior.
Journal of
www.epjournal.net
Widjaja.
HAW.
2008.
Ilmu
Komunikasi. Jakarta : Rineka
Cipta
Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu
Komunikasi.
Jakarta
:
Gramedia
14
Download