Ringkasan, Perenungan, dan Analisis Teori Hubungan

advertisement
Ringkasan, Perenungan, dan Analisis Teori Hubungan Internasional I
Nama: Tangguh Dept. Ilmu Hubungan Internasional NPM:
0706291426 Universitas Indonesia
Realis-Liberal-Neorealis-Neoliberal-Strukturalis
Sekilas Ringkasan Realisme
Realisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang menganggap
bahwa sifat manusia belum tentu baik baik: kemungkinan terbaik, manusia memiliki
kapasitas baik dan buruk yang sama; kemungkinan terburuk, manusia memiliki
hasrat instingtif untuk mendominasi orang lain. Sehingga, perang selalu menjadi
kemungkinan. Tanggung jawab tiap negara adalah menyediakan pertahanan dan
keamanannya. Kebijaksanaan atau tindakan nasional diukur dari apakah ia menjadi
perpanjangan kepentingan nasional, yang paling sering didefinisikan sebagai
penambahan kekuatan dalam berbagai bentuk, yang paling khusus kekuatan militer.
Perdamaian tidak dapat dijamin, namun dapat diperoleh karena balance of power
akan membuat negaranegara mencari jaminan keamanan dan kepentingan mereka
dengan bersekutu dengan negara lain yang lebih kuat. Realisme mengutamakan
kebijakan luar negeri daripada kebijakan domestik, pemeliharaan kekuatan militer
yang besar, dan penekanan pada nasionalisme. Realisme juga mengutamakan
negara sebagai aktor internasional uniter dengan proses pembuatan keputusan
tunggal, pada pokoknya rasional dalam tindakannya, dan berargumen bahwa
keamanan nasional adalah isu internasional paling penting.
1
Liberalisme
Liberalisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang,
secara ontologis, memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut. Pertama, sifat
manusia dalam hukum alam adalah baik, rasional, dan mampu bekerja sama. Kedua,
manusia lebih memilih damai daripada konflik. Ketiga, demokrasi adalah sistem
pemerintahan terbaik. Keempat, negara dibentuk oleh manusia dan oleh karena itu
mampu
menuruti
hukum
alam
yang
sama
dengan
manusia.
Liberalisme
mempertanyakan batas-batas kewajiban negara dalam alam domestik dan
internasional;
membawa
kemungkinan
sistem
internasional
yang
damai;
membutuhkan pertanyaan tentang aktor utama, keuntungan, dan level analisis dalam
ilmu hubungan internasional; menekankan pentingnya internasionalisme melalui
tajuk liberalisme internasional; dan sangat erat dengan studi etika politik
Hal. 1
internasional dan keadilan internasional.
Secara epistemologis, liberalisme mengelaborasi hubungan negara dengan
masyarakat serta pengaruhnya terhadap perilaku negara dalam politik dunia. Individu
dan perilaku mereka dalam berbagai level masyarakat menjadi domain penjelasan
atas tindakan negara. Dinamika masyarakat menciptakan preferensi negara, yang
amat penting dalam politik dunia. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, aktor
nonnegara adalah entitas yang penting dalam politik dunia. Kedua, negara bukanlah
aktor uniter. Ketiga, negara bukanlah aktor rasional. Keempat, politik internasional
memiliki banyak agenda yang dapat menjadi bahasan.
2
Neorealisme
Neorealisme menjawab tantangan liberalisme dengan revisi terhadap teori
realisme secara radikal. Neorealisme terinspirasi dari model konstruksi teori Imre
Lakatos dan teori mikroekonomi; yang pertama membawa teori asumsi minimal
sementara yang kedua membawa determinan struktural terhadap perilaku negara.
Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, sistem internasional bersifat anarki,
karena tidak ada otoritas sentral untuk memaksakan tata tertib. Kedua, dalam sistem
yang demikian, kepentingan utama negara adalah keberlangsungannya sendiri,
sehingga negara akan memaksimalisasi power mereka khususnya kekuatan militer.
Karena power tersebut bersifat zero-sum, negara menjadi ‘posisionalis defensif’,
sehingga struggle for power adalah karakteristik permanen hubungan internasional
dan konflik bersifat endemik. Dan oleh karena itu, kerja sama antarnegara menjadi
sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Kalaupun ada, itu pun di bawah kondisi
hegemoni suatu negara dominan yang menggunakan power-nya untuk menciptakan
dan memaksakan peraturan institusional.
3
Neoliberalisme
Neoliberalisme memiliki dasar yang serupa dengan neorealisme, pertama,
karena ia menganggap anarki internasional sangat penting dalam membentuk
perilaku negara, namun anarki bukanlah satu-satunya penentu tingkat maupun sifat
kerja sama internasional. Kedua, negara juga tetap menjadi aktor paling penting
dalam politik dunia. Ketiga, asumsi bahwa negara secara esensial hanya memiliki
kepentingan terkait dirinya sendiri juga tidak berubah. Namun, sebagai perpanjangan
dari asumsi pertama, interdependensia dan kepentingan bersama pun bukanlah
Hal. 2
satu-satunya, melainkan bahwa tidak adanya otoritas sentral dunia membuat
perjanjian-perjanjian rawan cheating, biaya kerja sama menjadi tinggi, dan informasi
menjadi sangat terbatas. Sehingga, negara-negara membentuk institusi atau rejim
internasional untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut.
4
Strukturalisme
Strukturalisme adalah perspektif ‘bottom up’ ilmu hubungan internasional yang
dipengaruhi Marxisme. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, ‘sifat dasar
manusia’ tidak tetap maupun esensial, namun terkondisikan melalui masyarakat.
Kedua, subjek dapat dikelompokkan menjadi kolektivitas yang dapat diidentifikasi
dan dapat pula dikatakan memiliki kepentingan konkrit. Ketiga, ‘strukturalisme adalah
sains’. Keempat, tidak ada perbedaan jelas antara nasional (dalam negeri) dan
internasional
(luar
negeri).
Strukturalisme
memandang
bahwa
tata
dunia
kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis global dan sistem antarnegara yang
berhubungan. Ciri fundamental tata dunia ini adalah ketidaksamaan yang didasarkan
eksploitasi kapitalisme. Strukturalisme memandang kelas sebagai aktor dominan
dalam hubungan internasional, namun tidak melupakan peran negara sebagai
perpanjangan kepentingan kelas. Aktor-aktor institusional dipandang berperan
membantu melegitimasi dan memelihara struktur yang ada. Berbagai varian
strukturalisme adalah teori dependensia dan teori world-systems.
Assessment: The Clash of Perspectives
Sebagaimana epistemologi ilmu Barat yang menganut pendekatan dikotomis,
ilmu hubungan internasional, terutama American school, selalu terstruktur atas debat
antara dua perspektif utama yang paling signifikan pada masanya. Pascaperang
Dunia II hingga 1980-an, debat tersebut berkisar antara realisme dan liberalisme,
dua perspektif yang mengaplikasikan teori rational choice namun mencapai
kesimpulan yang secara radikal berbeda tentang hubungan internasional. Pada
1980-an, terjadi pergeseran menuju dua debat utama antara, pertama, neorealisme
dengan neoliberalisme, yang sama-sama teori rasionalis namun berbeda secara
ideasional, dan kedua, rasionalisme dengan critical theory, yang berbeda secara
holistik dari asumsiasumsi epistemologis, metodologis, ontologis, maupun normatif.
Bahkan Pascaperang Dingin, poros debat ini masih mengalami pergeseran menuju
dua debat baru antara, pertama, rasionalisme dengan konstruktivisme dan, kedua,
Hal. 3
konstruktivisme dengan critical theory, yang memunculkan antitesis terhadap
rasionalisme dan positivism serta kritik metateoritis. (Setelah ini pun, penulis
berasumsi bahwa debat ilmu hubungan internasional ini akan terus mengalami
pergeseran, seiring aplikasi metode inkuiri Socrates dalam bidang ilmu ini yang akan
selalu menghasilkan sintesis teori baru setelah dua perspektif yang saling antitesis
saling dibenturkan.)
Mengapa selalu terjadi debat? Karena metode inkuiri Socrates? Karena
dialektika Hegel? Karena pemahaman postpositivis? Karena relativitas ilmu sosial
yang rentan menghadirkan krisis dan anomali, yang pada akhirnya akan selalu
melahirkan paradigma baru? Karena teori-teori ini bersifat konfliktual? Karena ada
kepentingan-kepentingan yang bersifat soft power, sehingga langkah-langkah
intervensionis dalam diskursus ilmu pun diambil (seperti “pembersihan” terhadap
para guru besar universitas)? Entahlah. Yang pasti, penulis sangat meyakini bahwa
tradisi debat dalam ilmu hubungan internasional ini akan terus berlanjut.
Karena sifatnya yang sangat inheren dalam ilmu hubungan internasional, mengikuti
perkembangan debat ini menjadi sangat menarik. Dalam esai ini, penulis akan
menitikberatkan fokus analisis pada debat yang mengawali tradisi debat dalam ilmu
hubungan internasional: “bapak”-nya debat HI, realisme-liberalisme.
Realisme vs Liberalisme: Nasib Dua Perspektif Konfrontatif
Realisme dan liberalisme sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi
pasangan tesis-antitesis sempurna. Dimensi ontologis kedua perspektif ini nyaris
bertolak belakang satu sama lain, meskipun mungkin pada awal kelahirannya kedua
perspektif ini tidak dimaksudkan untuk saling berlawanan. Thomas Hobbes, sebagai
pelopor intelektual perspektif realisme, menulis di Inggris abad ke-17 yang sedang
dilanda perang saudara. Hobbes, yang terkonstruksi oleh lingkungan yang teringkas
sebagai state of war, pada akhirnya menekankan ke(tidak)amanan, force, dan
keberlangsungan hidup sebagai salah satu derivasi pandangan pesimisnya terhadap
sifat dasar manusia di tengah sistem yang anarkis. Setengah abad berikutnya,
kesengsaraan yang dirasakan Inggris sudah tidak seperti dahulu lagi, sehingga
kondisi anarki tidak terlalu mengancam seperti dahulu, dan John Locke dapat
berpandangan lebih optimis dengan argumennya bahwa walaupun state of nature
tidak memiliki kedaulatan bersama, masyarakat tetap dapat mengembangkan
6
hubungan dan membuat perjanjian. Dapat kita lihat bahwa sejak prekursor awal
Hal. 4
terbentuknya kedua perspektif ini sudah sangat berlawanan.
Dalam perkembangannya, kedua perspektif ini pun bagai air dengan minyak.
Dalam tataran asumsi dasar, realisme menyatakan bahwa manusia tidak selamanya
baik, sementara liberalisme menyatakan bahwa manusia bersifat baik secara
inheren. Realisme meyakini bahwa konflik sangat inheren dalam sifat dasar manusia
karena perbedaan kepentingan, sementara liberalisme meyakini bahwa manusia
lebih memilih damai daripada konflik. Nicollo Machiavelli, merepresentasi kalangan
realis, menganjurkan bahwa politik harus dibedakan secara jelas dari moralitas, dan
menekankan politik di atas moralitas (manifestasi politik imoral). Immanuel Kant,
merepresentasi kalangan liberalis, menekankan moralitas di atas politik. Realisme
menekankan konsepsi kedaulatan nasional, sementara liberalisme memandangnya
sebagai sesuatu yang ambigu dan rapuh.
(Senada dengan kritik liberalisme ini, kita dapat melihat bahwa realisme, sebaku
apapun teori umumnya, tetap saja dapat dikatakan tidak matang secara konseptual.
Hal ini dapat ditinjau dari tidak adanya suatu formulasi standar serta adanya suatu
ambiguitas mengenai konsep-konsep fundamental dalam perspektif ini, seperti
power, balance of power, dan kepentingan nasional. Kalangan realis memahami
sistem dunia hierarkis berdasarkan kepemilikan sumber-sumber power. Namun, apa
yang dimaksud dengan power ini? Hans J. Morgenthau membedakannya dengan
influence dan force serta membedakan antara usable dengan unusable power dan
7
legitimate dengan illegitimate power. Namun, perbedaan yang diungkapkannya
setipis kertas, sulit untuk akhirnya sampai pada persetujuan bersama tentang
konsepsi power yang standar.)
(Sama seperti istilah balance of power. Joseph S. Nye mendefinisikannya
8
antara lain sebagai distribusi power, kebijakan, maupun sistem multipolar. Namun,
Daniel S. Papp mengungkapkan bahwa pengertian pasti istilah ini masih dalam
perdebatan: dalam satu kasus, balance of power berarti dua negara memiliki
kapabilitas yang kira-kira seimbang; namun dalam kasus lain, ia justru berarti ada
suatu ketidakseimbangan; dan dalam kasus lain, ia menggambarkan hubungan yang
9
dinamis dan berubah. )
(Serupa dengan konsepsi kepentingan nasional. Papp mengajukan berbagai
pertanyaan yang menunjukkan ambiguitas konsepsi ini, seperti, Siapa di dalam
negara yang mendefinisikan kepentingan nasional? Apakah kepentingan nasional
berubah ketika pemerintahan bertransisi, baik secara damai atau melalui kudeta?
Hal. 5
Kelompok mana di dalam negara yang mendefinisikan negara mana yang
merupakan kawan maupun lawan suatu negara?
10
Dapat kita lihat bahwa
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Papp memiliki gaung liberalisme, yang
berasumsi bahwa negara adalah aktor yang nonuniter dan terfragmentasi. Padahal,
konsepsi kepentingan nasional merupakan konsepsi tolak ukur mendasar dalam
realisme.)
Menjawab kritik di atas, kalangan realis balik menyerang liberalisme. Agenda
politik internasional liberalisme yang sangat plural membuyarkan fokus analisis. Unit
analisis yang sangat jamak dalam negara menjadikan kalangan liberalis sulit
mengagregasi faktor-faktor yang berperan dalam mengelaborasi fenomena.
Konstelasi pengaruh yang terfragmen dalam aktor-aktornya membuat proses
decision making dalam liberalisme tidak praktis. Asumsi bahwa negara bukanlah
aktor rasional, negara tidak predetermined, dan variasi pada tujuan membuat fungsi
prediksi perspektif ini tidak sepraktis realisme. Banyaknya varian liberalisme, baik
secara filosofis (seperti pasifisme liberal, imperialism liberal, dan internasionalisme
liberal; liberalisme sosial dan liberalisme kosmopolitan; kosmopolitanisme moral dan
komunitarianisme moral; serta liberalisme restraint dan imposition) maupun secara
epistemologis (liberalisme
ideasional, liberalisme
komersial, dan
liberalisme
republikan) membuat sulit menyintesis suatu analisis bersama antara seluruh varian
tersebut, sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi.
Kalangan realis menglaim bahwa kalangan liberalis tidak dapat menjelaskan
kontinuitas konflik dan perang yang inheren dalam kehidupan manusia sebagaimana
juga
dalam
pergaulan
internasional
antarnegara.
Mereka
tidak
menerima
argumentasi liberalis yang membedakan fenomena-fenomena yang terjadi dalam
zone of war dan yang terjadi dalam zone of peace. Hal ini disebabkan kalangan
realis meyakini pentingnya satu teori umum yang universal, yang dapat menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional, di manapun ia
terjadi. Kalangan liberalis, sebaliknya, menglaim bahwa kalangan realis cenderung
menjustifikasi dan melegitimasi validitas teorinya melalui fenomena yang terjadi.
Menurut mereka, realis akan terus mempertahankan gagasan ideasionalnya bahwa
manusia akan cenderung berkonflik satu sama lain dengan menyodorkan contoh
berbagai peperangan yang terjadi secara kontinu di dunia, yang bagi liberalis
hanyalah satu aspek dalam politik antarnegara. Liberalis tidak dapat menerima
pandangan
realis
yang
abai
terhadap
berbagai
ancaman
nonmiliter
dan
Hal. 6
nontradisional, di mana asumsi liberalis menglaim ekstensivitas agenda yang dapat
menjadi bahasan politik internasional serta tidak ada dikotomi antara high politics
dengan low politics.
Hal. 7
Realisme dan Liberalisme: Konfrontatif, Mungkinkah Disintesis?
Menurut
penulis,
perspektif
realisme
dan
liberalisme
tidak
selalu
harus
dikonfrontasikan karena berbagai hal. Dalam dimensi ideasional, kita dapat melihat
beberapa overlap dalam konsepsi dasar kedua perspektif ini, salah satunya adalah
gaung realisme dalam pemikiran para pelopor intelektual liberalisme. Kita dapat
melihat bahwa tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes dan Nicollo Machiavelli, tokohtokoh yang berpandangan sangat realis, pun turut menyumbang pemikiran mereka
dalam dimensi ontologis liberalisme. Selain itu, perspektif realisme dan liberalisme
adalah dua pendekatan yang mengadopsi dasar yang sama, yaitu perspektif pilihan
rasional. Sehingga, dalam perbedaan mendasar antara kedua perspektif ini, dapat
dicari peluang sintesis melalui metode inkuiri Socrates. Penulis memandang bahwa
kita tidak dapat memisahkan begitu saja moralitas dan politik, sebagaimana kita
memisahkan kolektivitas, kaidah-kaidah hukum, demokratisasi, dan harmoni dasar
kepentingan antara manusia dan negara dengan konsepsi konkret kepentingan
nasional. Kita memerlukan realisme yang bermoral, realistis, berprinsip, dan
demokratis.
Sebenarnya, usaha serupa pernah dilakukan oleh Robert G. Kaufman. Kaufman
berpendapat bahwa perhatian
realisme atas pentingnya
power,
geopolitik,
kekurangan manusia, dan ketidakleluasaan anarki membutuhkan faktor-faktor
tambahan dari tradisi kaum idealis. Ia memilih tiga figur penting dalam debat realisidealis: E. H. Carr, dengan argumennya yang menentang Wilson yang memengaruhi
realisme pasca-Perang Dunia II dan perkembangan neorealisme; Winston Churchill,
yang dengan teori kebijakan luar negerinya berhasil mempersatukan aspek-aspek
realisme dan idealisme; serta Reinhold Niebuhr, yang menyumbangkan matriks kritis
tentang disposisi untuk menghubungkan norma-norma moral dengan pertimbangan
kebijakan luar negeri tanpa tergelincir menjadi sinisme maupun utopianisme. Kaum
realis pada masa Morgenthau memahami politik internasional sebagaimana adanya
dan seharusnya dalam pandangan sifat ekstrinsiknya daripada sebagaimana orang
ingin melihatnya, sehingga lembaga domestik tidak boleh dipungkiri. Diskusi
Kaufman mengidentifikasi titik temu pemikiran Carr, Niebuhr, dan Churchill yang
dianggap sebagai kaum realis yang paling menonjol dan ketegangan dengan
pemikiran kaum realis lainnya.
11
Bagaimana hasil sintesis ini? Kita belum dapat menyaksikan hasilnya karena
Hal. 8
usaha ini masih dalam tahap eksperimental. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa dari
masa ke masa, perkembangan ilmu sosial terjadi melalui proses dialektis sintesis
antara dua pendekatan yang dikotomis. Apalagi, realisme dan liberalisme masih
sangat relevan dalam memandang politik dunia ini, di mana masih banyak akademisi
maupun praktisi yang menggunakannya.
Hal. 9
Lampiran
Bagian ini didedikasikan untuk elaborasi teori hubungan internasional yang
berorientasi rekreasi, bukan prokreasi
Masih ingatkah ucapan Ben Parker terhadap keponakannya, Peter Parker,
dalam film Spider-Man? “With great power, comes great responsibility.” Dalam film
tersebut, dikisahkan bahwa Peter menerima kekuatan super dari gigitan seekor labalaba. Ia pun mulai menggunakannya demi kesenangannya sendiri, ia mengikuti suatu
turnamen bela diri untuk mendapatkan hadiah uang yang akan ia gunakan untuk
membeli mobil dan membuat gadis idamannya, Mary Jane Watson, terkesan.
Namun, setelah ia ditipu oleh penyelenggara turnamen tersebut, ia pun mulai
mendengarkan
nasihat
pamannya
tersebut
dan
menggunakannya
untuk
menegakkan kedamaian di kota New York dengan menjadi seorang superhero
berkedok kostum ketat berjaring laba-laba.
Sampai di sini, mari kita identifikasi relevansi film box office ini dengan teori
hubungan internasional. Gunakan perspektif realisme dan analogikan Peter Parker
sebagai suatu negara. Kekuatan laba-labanya merupakan power source-nya. Mobil
dan Mary Jane adalah kepentingan nasionalnya. Penyelenggara turnamen bela diri
tersebut adalah negara lain yang melakukan cheating terhadapnya dalam suatu
perjanjian internasional. Akhirnya, negara “Parker” menjadi polisi dunia dan
menegakkan kedamaian, mulai dari sini gunakan perspektif liberalisme.
Hal. 10
Ralisme, Pluralisme dan Strukturalisme
Beberapa teori dalam HI berkonsentrasi pada aktor dalam sistem internasional, dan
hal ini memiliki konsekuensi terhadap pemikiran yang lebih lanjut. Perbedaan pada
actor mana yang lebih dianggap penting dan konsentrasi pada apa yang menjadi
tujuan dari aktor-aktor ini tentu membuat teori seakan tidak menemui kesepakatan
mutlak bahkan bisa jadi bertantangan satu sama lain.
Realisme misalnya berkonsentrasi pada Negara sebagai aktor utama dan tujuan dari
Negara tak lain ada untuk mendapatkan ‘power’ yang sebesar-besarnya. Terkait
dengan realis para pemikir neo-realis (atau realisme baru) dan struktural realis, juga
masih melihat Negara sebagai aktor utama dalam HI, meski pemikiran realisme baru
ini sudah mulai menerima adanya aktor lain yang punya peran di pinggiran.
Berbeda dengan perspektif realis yang percaya bahwa untuk memahami HI, kita
harus memahami tingkahlaku Negara, pemikir pluralis tidak setuju jika aktor
signifikan yang utama dalam HI adalah Negara. Mereka melihat Negara hanyalah
salah satu dari banyak aktor yang sama-sama punya peran penting dalam studi HI.
Mereka tidak hanya menekankan pada pentingnya aktor lain selain Negara seperti
MNCs misalnya, mereka juga skeptis terhadap kekuasaan dan keamanan Negara
terlalu dianggap memiliki peran sentral.
Selain dua pendekatan diatas kita juga mengenal apa yang disebut dengan
pendekatan strukturalis. Strukturalis menekankan pada hal yang berbeda dari kedua
pemikiran diatas. Dari pada berkonsentrasi pada aktor HI, ilmuwan strukturalis lebih
berkonsentrasi pada struktrur dari sebuah sistem. Mereka melihat negara dan aktor
lainnya bertindak dalam batasan sistem yang ada dan karenanya mereka tidak
memiliki kebebasan yang mutlak dalam bertindak. Oleh karena itu para pembuat
keputusan harus berfikir dalam bertindak. Untuk memahami sistem internasional,
bagi strukturalis, kira harus berkonsentrasi pada struktur-struktur yang ada bukan
pada tingkah laku dan pilihan-pilihan tindakan para aktor tersebut.
Realisme dan Peran Sentral Negara
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Realisme merupakan pendekatan yang
menekankan pada Power (kekuatan/kekuasaan) dan menganggap negara sebagai
aktor dominan dalam sistem internasional. Power bisa didefinisikan sebagai
kemampuan total dari suatu negara yang meliputi kekayaan alam, kekayaan sintetis
(buatan) hingga kemampuan sosio-psikologi.
Hal. 11
Hans J Morgenthau mengatakan pada dasarnya setiap manusia (negara) ingin
mendapatkan power, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan jika hal ini
berbenturan dengan yang lain maka akan menimbulkan ’struggle for power’.
Mengacu pada banyak pemikir yang terkait dengan realisme seperti Hans J
Morgenthau, Thomas Hobbes, Thucydides, dan lain-lain, maka pendekatan ini
disebut pula sebagai pendekatan pragmatis dalam politik internasional. Pendekatan
ini pun banyak diperbaharui oleh para teoritisi HI yang bisa dikelompokkan dalam
neo-realisme:
Inti pemikiran Realisme dalam HI dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Negara sebagai pemegan peranan dominan selalu mempunyai kepentingan yang
berbenturan. Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau konflik.
2. Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik,
dan menentukan pengaruhnya atas negara lain.
3. Politik
didefinisikan
sebagai
memperluas
power,
mempertahankan,
dan
menunjukkan power.
4. Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi dengan negara
lain, dan memecah belah kekuatan negara lain (devide and rule).
5. Perdamaian akan tercapai jika telah terwujud
Balance of Power atau
Keseimbangan Kekuatan yaitu keadaan ketika tidak ada satu kekuatan yang
mendominasi system internasional.
6. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan
nasionalnya (national interest).
Sementara itu pemikiran neo-realis dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendekatan ini seperti halnya Realisme menekankan pada peranan negara dalam
hubungan internasional tetapi, tetapi mulai mengakui adanya aktor lain yang juga
berperan di pinggiran. Negara memiliki peran sentral sementara aktor lain bersifat
peripheral.
2. Mereka juga melihat power dalam konteks yang berbeda dengan pendahulunya.
Power didefinisikan sebagai konsep relasional. Jadi Negara tidak dianggaap
punya
power dengan sendirinya, melainkan dalam hubungannya dengan Negara lain.
Negara selalu ingin memiliki power lebih dari Negara lainnya.
Hal. 12
Pluralisme dan Keberagaman Aktor
Pluralisme tidak puas pada versi pemikiran realis terutama mengenai penekanan
pada actor Negara sebagai pusat dalam HI. Menurut pluralis saat ini Negara tidak
lagi memiliki peran sentral dalam HI, karena banyak aktor lain yang juga memiliki
peranan penting terutama aktor-akor ekonomi .
Berikut inti pemikiran Pluralis:
1. Jika realis berasumsi bahwa Negara ada secara independent dan memiliki
kepentingan sendiri, pluralis menawarkan konsep complex interdependence.
Complex Interdependence bisa diumpamakan seperti jaring laba-laba, yang
dikarakterkan sebagai jaringan yang banyak antara banyak aktor dimana tidak
terdapat hirarki dalam isu yang ada.
2. Pluralis juga menekankan bahwa aktivitas internasional tidak hanya melulu
tentang tingkah-laku Negara akan tetapi juga tingkah laku aktor lain. Kepentingan
Negara juga bukan hanya soal keamanan dan power. Banyak isu lain yang bisa
diambil oleh actor non-state, misalnya saja soal isu kelangkaan minyak, karena
minyak merupakan hal penting ekonomi modern baik Negara mupun MNCs bisa
mengambil keputusan secara berbeda dalam porsi masing-masing.
3. Meski menekankan pada aktor ekonomi namun merreka tidak mengesampingkan
internasional aktor lainnya. Misalnya gerakan religius, gerakan nasional dan lain
lain, mereka tidak bertindak atas nama negara seperti yang diasumsikan realis.
4. Meski Organisasi internasional seperti PBB dibentuk dan beranggotakan secara
resmi negara-negara berdaulat, namun pemikir pluralis tetap berpandangan
bahwa organisasi internasional bukan aktor utama dalam HI.
Strukturalisme dan Sistem Internasional
Berbeda dengan dua pendekatan diatas, yang lebih menekankan pada aktor HI,
strukturalisme lebih menekankan pada struktur dalam sistem internasional dan
menggapnya bisa memberikan penjelasan aspek mana yang signifikan dalam
menggambarkan HI. Strukturalisme tampaknya lebih terlihat sebagai sebuah
pendekatan dari pada teori itu sendiri. Karenanya strukturalisme bisa dianggap
mengepalai banyak varian teori dibawahnya.
Hal. 13
Berikut pandangan singkat tentang strukturalisme:
1. Menekankan pada struktur dalam sebuah sistem internasional bukan pada aktor
yang bermain didalamnya. Fokus pada struktur dipandang lebih baik
dibandingkan dengan pendekatan aktor dalam melihat HI.
2. Strukturalisme skeptis terhadap adanya pengaruh organisasi-organisasi dalam
HI termasuk negara, orgnasisasi internasional dan aktor lainnya
terhadap
struktur luar.
3. Analisis struktural dapat dibedakan tergantung pada beberapa varian yang ada,
seperti.:
·
Realisme strukturalis dapat dikatakan sebagai strukturalis yang memandang
negara sebagai aktor sentral.
· Marksis strukturalis menekankan pada struktur kelas dan sosial yang banyak
terpengaruh oleh sistem ekonomi.
· Feminist structuralis merupakan strukturalis yang fokus pada isu gender dalam
hubungan sosial.
Hal. 14
Neorealisme
Sebagai varian dari realisme, neorealisme seringkali dikenal dengan realisme
struktural, yang dibedakan dengan realisme tradisional. Sebagaimana realisme,
neorealisme menjadikan negara dan perilaku negara fokusnya dan berusaha
menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan.
Semua tradisi realis berangkat dari filsafat keharusan (the philosophy of necessity)1
yakni melihat perilaku negara sebagai produk dari sebuah kondisi yang tak
terelakkan. Dalam pemikiran realis, baik tradisional maupun struktural, perilaku
negara yang keras merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam
politik internasional, seperti secara jelas diekspresikan oleh Morgenthau,
,international politics is... struggle for power’ (1985). Dalam artian filsafat keharusan
ini, politik internasional bersifat amoral.
Tetapi, realisme tradisional dan realisme struktural menjelaskan secara berbeda
mengapa politik internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan
perebutan kekuasaan. Bagi realis tradisional, perebutan kekuasaan yang
berlangsung terus menerus dalam politik internasional bersumber pada hakekat
manusia. Berangkat dari pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh antara lain
Tucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang melihat pada dasarnya manusia bersifat
self-interested dan dalam kondisi state of nature akan berperang satu sama lain,
realis tradisional memproyeksikan negara akan memiliki karakter yang sama, karena
politik internasional pada dasarnya adalah gambaran dari state of nature dalam arti
yang sebenarnya, tidak lagi merupakan kondisi hipotetis sebagaimana yang
digambarkan oleh Hobbes dalam Leviathan.
Bagi realisme struktural, penjelasan terhadap endemiknya perebutan kekuasaan
dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan
dari struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara. Dalam sebuah
sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata
berdasarkan kepentingannya sendiri, yang berarti mengejar kekuasaan sebesarbesarnya. Dalam sistem yang anarkhi, negara tidak bisa menggantungkan
keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan
pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana
terutama (tetapi bukan satu-satunya) militer untuk berperang melawan negara lain.
Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat
kekekuatan militernya, bagi negara lain merupakan sumber acaman dan menuntut
negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai dilema
keamanan (security dilemma).
Untuk menekankan pentingnya struktur sebagai pembentuk perilaku negara,
neorealis membedakan secara tegas karakter politik internasional yang anarkhis
1
Dalam filsafat, dalam kaitannya dengan upaya untuk melihat moralitas sebuah perilaku atau
tindakan, dikenal dua prinsip: filsafat keharusan - the philosophy of necessity dan filsafat pilihan the philosophy of choice (Arnold Wolfers, Discord and Collaboration).
Hal. 15
dengan politik domestik yang hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip
pengorganisasian sistem yang berbeda (the ordering principle of the system). Dua
karakteristik lain yang membentuk pemikiran neorealis adalah karakter unit dalam
sistem dan distribusi kapasitas unit dalam sistem (Waltz, 1979). Karakter unit dalam
sistem mengacu pada fungsi yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni
negara. Dalam pandangan neorealis, semua unit memiliki fungsi yang sama yakni
menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, sekalipun semua negara memiliki fungsi
yang sama, negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan, sebagaimana
tercermin dalam distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering
berubah. Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara ‚memiliki kesamaan
tugas, tetapi tidak dalam kemampuan untuk menjalankannya. Perbedaannya
terletak pada kapabilitas, bukan pada fungsi mereka’ (h. 96).
Beberapa tokoh utama neorealisme antara lain Kenneth Waltz, Stephen Krasner,
Robert Gilpin, Barry Buzan, Richard Little dan Charles Jones. Diantara tokoh-tokoh
ini, Kenneth Waltz merupakan yang paling menonjol dalam kaitannya dengan
perkembangan teoretis studi hubungan internasional. Karyanya, Theory of
International Politics, bukan hanya dianggap sebagai karya yang paling
komprehensif dan elaboratif yang menggambarkan pemikiran dan posisi neorealism,
tetapi juga merupakan produk dari upaya yang sangat ambisius untuk menjadikan
Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin yang mapan, yang sederajat
dengan disiplin lain.
Theory of Internasional Politics dimaksudkan oleh Waltz untuk memberikan
kemampuan eksplanasi yang sangat tinggi (dalam bentuk hubungan kausalitas antar
variabel) terhadap fenomena-fenomena politik internasional. Kemampuan ini
merupakan kriteria yang sangat penting yang harus dimiliki oleh Hubungan
Internasional sebagai sebuah disiplin, tetapi gagal ditunjukkan oleh realisme.
Realisme gagal menjelaskan mengapa berbagai negara yang berbeda atau bahkan
bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik, tetap berperilaku sama.
Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang liberal kapitalis sama-sama
teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer, atau
mengembangkan pengaruh (sphere of influence)? Menurut Waltz, kegagalan
realisme menjelaskan kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang
digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan
aspek faktor penting yang menjadi batas-batas kebijakan luar negeri atau perilaku
negara. Aspek penting yang menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran
Waltz, terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional.
Secara metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam
artian bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit
dan struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku
atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang
membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik internasional
dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam politik
Hal. 16
internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh tuntutan alami
yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia) untuk berperilaku sesuai
dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam prakteknya didefinisikan
dengan kekuasaan. Metodologi behaviouris oleh Waltz dikategorikan sebagai teori
yang reduksionis.
Metodologi strukturalis Waltz bersifat sistemik, yakni menempatkan sistem sebagai
unit analisanya. Karakter sistemik lebih menjanjikan daripada karakter reduksionis
karena mampu menjelaskan politik internasional, melalui hubungan kausal, yang
sangat membatasi dan menentukan perilaku negara.
Ambisi Waltz untuk menghasilkan sebuah teori Hubungan Internasional yang
sederajat dengan teori dalam disiplin-disiplin yang lebih mapan, menghasilkan reaksi
yang sangat keras dari para ilmuwan Hubungan Internasional. Bahkan, tidak terlalu
berlebihan juga ada kecenderungan untuk melihat perdebatan ketiga dalam
Hubungan Internasional pada dasarnya adalah perdebatan antara Waltz dengan
hampir semua teoritisi lain dengan tradisi pemikiran yang sangat berbeda-beda.
Hal. 17
STRUKTURALISME DAN IMPLIKASINYA
Pengantar
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok
pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang
sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek
melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh
waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut
melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari
suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat)
(Bagus, 1996: 1040)
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam
memajukan
studi
interdisipliner
tentang
gejala-gejala
budaya,
dan
dalam
mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi
metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang
sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996:
1040)
Ferdinand de Saussure
Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk
menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang sebagai
bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan
strukturalisme.
Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme.
Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai bapak linguistik yang
ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besar-besaran di bidang lingustik. Ia
yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang
juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam
kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan
bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu
bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap.
Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke
dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa. De Saussure
Hal. 18
mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan,
dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli,
upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain
sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Jadi kita
dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengahtengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum,
yang nantinya dinamakan oleh de saussure sebagai semiologi. Ilmu ini akan
mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah mana yang
mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan
bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu.
Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan
dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian
linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia.
Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:
1. Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan
secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis
(penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur yang sezaman).
2. Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidahkaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara
parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual.
3. Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara
unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur
yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat
asosiatif (sistem).
4. Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu
tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya
setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda
(imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata
rumah langsung tergambar dalam pikiran kita konsep rumah.
Strukturalisme
termasuk
dalam
teori
strukturalisme
mengkaji
pikiran-pikiran
kebudayaan
yang
terjadi
yang
idealistik
dalam
diri
karena
manusia.
Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga
munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda (termasuk didalmnya upacara-upacara,
Hal. 19
tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa.
Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga mengenai proses
kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan strukturnya
melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta
diakronis dan sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa
struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.
Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya.
de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalam
memahami kebudayaan, yaitu:
1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda)
dan yang ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi
sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa
setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2)
pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak
bergetar.
2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah
tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature.
Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda
ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang
digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau
terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsurunsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan
konsep yang terekam.
3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan
adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut
Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah
pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati
bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada
individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang
berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung
secara lancar.
Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem
struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang
Hal. 20
mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan
bertindakj sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh
sesama warga masyarakatnya.
Pierre Bourdieu
Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah
pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan eksistensialisme,
terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser.
Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan
membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan
teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang
berjudul ”outline of a theory of practice” dimana didalamnya ia memiliki posisi yang
unik
karena
berusaha
mensintesakan
kedua
pendekatan
metodologi
dan
epistemologi tersebut.
Dalam karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang menciptakan
obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai
pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakantindakan praktis dalam kehidupan sosial.
Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang
mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan sebelumnya.
Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk
masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan
dari pemikiran-pemikiran terdahulu.
Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal.
Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi ketiga
konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang
digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali
serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk
merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah
aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis habitus
adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus
dilihat sebagai ”struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”.
Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis
kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya
Hal. 21
posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang
tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang
sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan
sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.
Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif, dimana seorang individu bereaksi
secara efisien dalam semua aspek kehidupan. Habitus menghasilkan dan dihasilkan
oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah struktur yang menstruktur artinya
habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak
habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur
oleh dunia sosial.
Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur
dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai
cara, yaitu:

Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara
yang khusus (gaya hidup)

Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)

Sebagai perilaku yang mendarah daging

Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)

Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis

Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang
karier.
Habitus membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan, keterampilan,
rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu
keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan
yang berbeda.
Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah
jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini
terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan
lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen
individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur
lingkungan.
Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah yang
menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang
mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip
Hal. 22
penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field
adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial,
simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik
(kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan
politik membantu menata semua lingkungan yang lain.
Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama,
menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah kedua,
menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam
lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan
agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri,
hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha
untuk memperoleh kekuasaan dan status.
Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena
modallah
yang
memungkinkan
orang
untuk
mengendalikan
orang
untuk
mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.
Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial
dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber
ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang
memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal
simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah
modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:

Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya

Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi

Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)

Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.

Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik
dan buruk.
Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diri
seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan
hubungan ketiga konsep tersebut.
Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya
Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi
dan perbuatan beserta beragan jenis modal.
Hal. 23
Seperti telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif yang
menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subyektif
yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam
jaringan struktur obyektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk
sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat
dalam ruang dan waktu tertentu, dengan kata lain habitus adalah hasil pembelajaran
lewat
pengasuhan,
aktivitas
bermain,
dan
juga
pendidikan
masyarakat.
Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak menyadari hal ini
terjadi pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan.
Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif
dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Field
semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi
individu dan kelompok dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara spontan.
Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan
dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi
dengan pihak luar tersebut terbentuklah Field.
Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu yang memiliki
banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas sudah di singgung
bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik
yang beroperasi di dalam field dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap
individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara baik dan bertahan di
dalamnya.
Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis
sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan
relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.
Hal. 24
Strukturalisme dalam Kerangka Marxisme
Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang terjadi di Eropa telah mengubah sistem
feodalisme ekonomi, yang dulunya kekuasaan dipegang oleh pemilik tanah, menjadi
kapitalisme ekonomi dimana tujuan penyelenggaraan kegiatan ekonomi adalah
akumulasi modal sebanyak-banyaknya. Dalam kapitalisme terjadi apa yang
dinamakan dengan ketidaksederajatan sosial (social inequalities), yaitu keadaan
dimana satu pihak akan diuntungkan dan pihak lain dirugikan oleh usaha-usaha
untuk akumulasi modal. Keadaan ini membuat kaum buruh yang tidak memiliki alatalat produksi menjadi tergantung dengan kaum pemilik modal.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan Karl Marx atas nasib yang dialami oleh para
buruh dan mendorongnya untuk untuk menulis Des Kapital dan Communist
Manifesto pada pertengahan abad 19. Dalam tulisannya, Marx mengkritik kapitalisme
sebagai sebuah sistem dimana kaum borjuis yang memiliki faktor-faktor produksi
akan selalu mengeksploitasi kaum proletar yang membutuhkan kaum borjuis untuk
bertahan hidup. Dalam ketergantungan proletar oleh kaum borjuis, upah yang
didapatkan buruh jauh lebih kecil dari apa yang seharusnya didapatkannya, selisih
antara upah buruh yang seharusnya dan yang didapat inilah yang merupakan
keuntungan nilai tambah yang diambil oleh kaum borjuis .
Marxisme mengasumsikan manusia sebagai makhluk materi, karena kehidupan
manusia sejak dulu diwarnai dengan kebendaan dan kepemilikan pribadi yang
menyebabkan manusia terus berkonflik memperebutkan materi yang merupakan
faktor utama proses sosial politik (materialisme historis) . Prinsip dasar nya, bukan
kesadaran yang menentukan keadaan, tapi keadaan yang menentukan kesadaran .
Disini berlaku dialektika materialisme, bila basis adalah ekonomi dan suprastrukur
adalah politik, filsafat, sosial, agama, dan negara maka basis menentukan
suprastruktur karena segala sesuatunya harus dapat dinilai dengan materi, oleh
karena itu maka produksi harus dicapai sebanyak-banyaknya.
Agenda utama dari ajaran Marx adalah tatanan dunia baru tanpa ada dominasi dan
eksploitasi serta tanpa adanya kelas. Tatanan dunia baru ini diyakini dapat dicapai
dengan jalan revolusi yang pada awalnya akan diwarnai oleh konflik antar kelas,
karena itu aktor utama dalam HI adalah kelas. Revolusi sosial menurut bayangan
Marx adalah keadaan dimana alat-alat produksi akan berada di bawah kontrol
proletar.
Hal. 25
Pada pertengahan 1840 Marx dan Engel menulis bahwa globalisasi kapitalis telah
dengan serius mengikis dasar sistem internasional . Konflik dan kompetisi antar
negara sebenarnya merupakan konflik antar 2 kelas, borjuis nasional yang mengatur
pemerintahan dan proletariat kosmopolitan. Dalam memandang struktur kapitalisme
global, marxis melihat bahwa negara tidak otonom tetapi digerakkan oleh
kepentingan kelas borjuis, oleh karena itu konflik antar negara sebenarnya
merupakan konflik kepentingan antar kelas borjuis antar negara. Selain itu, sistem
kapitalisme yang berlaku akan bersifat ekspansif sehingga ia akan berusaha
memperluas diri melalui kolonialisme, imperialisme, dan globalisasi ekonomi.
Kapitalisme yang mengglobal ini kemudian mendorong para Neo Marxis seperti Paul
Baran, Raul Preabach, Andre Gunder Frank dan Immanuel Wallerstein untuk
menggambarkan struktur dunia global dalam kerangka ekonomi yang dasarnya
bersumber dari pemikiran Marxisme. Teori ini kemudian disebut sebagai teori
strukturalisme global yang agenda utamanya adalah revolusi global yang hanya
dapat dicapai dengan cara radikal agar bisa lepas dari struktur global yang
eksploitatif.
A. Teori Imperialisme Lenin
Lenin meneruskan teori dari Marx dan mengatakan bahwa Kapitalisme telah
memasuki era baru dengan terbentuknya ‘Monopoli Kapitalisme’. Struktur yang
digambarkan imperialisme adalah kenyataan bahwa perusahaan multinasional akan
menghadapkan pemilik modal pada konflik langsung dengan buruh global.
B. Teori Sistem Dunia Wallerstein
Berdasarkan kegiatan produksinya, sistem dunia dapat digolongkan menjadi 3
entitas,yaitu mini-system, world empire dan world economy. Sistem paling dasar
adalah mini-system dimana kegiatan produksi hanya berdasarkan perburuan dan
agrikultur tradisional. Sistem kedua, world empire, produk agrikultur digunakan
sebagai komoditas utama untuk penyelenggaraan birokrasi dan militer. Sistem
terakhir, the world economy, adalah sistem ekonomi dunia yang kapitalis dimana
produksi yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan keuntungan.
Sistem dunia ekonomi ini kemudian memunculkan bentuk hubungan negara dalam
sistem dunia yang terbagi dalam negara core, semi-periphery dan periphery. Negara
core yang negara yang memegang dominasi produksi adalah yang paling banyak
mendapat keuntungan dari kapitalisme, berbeda dengan negara periphery yang
dapat dikatakan menjadi objek eksploitasi pasar negara core. Kondisi ini kemudian
Hal. 26
memunculkan semi- periphery sebagai stabilitator (buffer zone) antara negara core
dan negara semi periphery.
C. Teori Ketergantungan
Membagi dunia menjadi dunia maju dan negara Dunia Ketiga dimana negara Dunia
Ketiga akan selalu tergantung pada negara maju, dan ketergantungannya itu
dimanfaatkan oleh negara maju untuk mengeksploitasi mereka.
Bagaimanapun perkembangan dunia modern, hubungan antar negara akan selalu
diwarnai dengan ketidaksederajatan sosial, akan selalu ada ‘yang mendominasi’ dan
‘yang
didominasi’,
seperti
yang
diungkapkan
oleh
ide
dasar
Marxisme.
Ketidakmerataan ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan struktur-struktur baru
terkait dengan terus berkembangnya praktik eksploitasi, dari yang dulunya antar
buruh-pemilik modal, lalu berkembang menjadi hubungan antar koloni-penjajah yang
sekarang juga diikuti oleh kolonialisme gaya baru yang kemudian oleh Wallerstein
diterjemahkan ke dalam analogi eksploitasi core-periphery.
Berbeda dengan 2 perspektif sebelumnya, realisme dan liberalism, yang melihat HI
sebagai interaksi politik, maka marxisme dan strukturalisme ini lebih melihat dunia
dalam sistem ekonomi. Walaupun pemikiran Marxis ini dianggap oleh sebagian besar
telah luluh oleh runtuhnya Soviet, tetapi kenyataan akan adanya eksploitasi antar 2
kelas ini tidak akan pernah hilang walaupun impian Marx tentang dunia tanpa kelas
menurut saya tidak kurang utopisnya dari utopis perdamaian abadi ala liberalisme.
Marxisme juga berlawanan dengan konsep anarki ala realis, dan tidak sependapat
dengan kerjasama ala liberalis, mengingat bahwa konstelasi dunia tidak akan
terlepas dari konflik antar kelas.
Jika merunut kaitan antara marxisme dan strukturalisme maka kedua term di atas
dapat ditarik garis singgung. Keduanya sama-sama berbicara tentang struktur yang
ada dalam suatu entitas, bila marxisme berbicara tentang struktur dalam negara,
maka strukturalisme lebih melihat kerangka sistem dunia. Dapat juga dikatakan
bahwa pemikiran Marxis lah yang membangun pemikiran struktural. Walaupun
berbicara tentang negara, namun saya lihat Marxis sangat skeptis terhadap
eksistensi
negara,
terutama
karena
negara
tidak
menghalangi
eksploitasi
kapitalisme, juga kenyataan bahwa kaum proletar yang tidak menguasai faktor-faktor
produksi, yang demikian juga tidak menguasai ekonomi-politik,telah termarjinalkan
oleh kekuasaan negara.
Hal. 27
POST MODERNISME, STRUKTURALISME, FILSAFAT HIDUP
A. Postmodernisme
1. Pengertian
“Post” pada istilah ini banyak menimbulkan perbedaan arti, Lyotard mengartikan
“post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan.
David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari
kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya sebagai wajah arif kemodernan
yang telah sadar diri. Sementara Habernas, satu tahap dari proyek modernisme yang
memang belum selesai. Sementara menurut Tony Cliff, posmodernisme berarti suatu
teori yang menolak teori. Akhiran ”isme” berarti aliran atau sistem pemikiran yang
menunjukkan pada kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi
modern.
2. Konteks Sosial yang Melahirkan : ”Penyimpangan Modernisme”
Munculnya pasca modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri.
Kita modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap dan progresif.
Pengertian
ini
tidak
berlebihan,
modernisme
mempunyai
sisi
gelap
yang
menyebabkan kehidupan manusia kehidupan disorientasi
”Sisi Gelap” mdoernisme, menurut Anthony Gidden dalam The Sonsequences of
Modernity (1990), menimbulkan berkembang biaknya petaka bagi umat manusia.
Pertama,
penggunaan
kekerasan
dalam
menyelesaikan
sengketa.
Kedua,
penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian
parah. Keempat, kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk
akhir yang menimbulkan petaka tersebut, terutama dipicu oleh : Pertama, kapitalisme
liberal yang menyaratkan kompetisi tiada akhir akan pertarungan pasar. Kedua,
industrialisme yang mensyaratkan inovasi tiada henti untuk memenangkan
persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam mengemban
tugas minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yang aman, rukun, damai dan adil”
Pada taraf prktis, terdapat konsekensi buruk modernisme, antara lain : Pertama,
pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek,
spiritul-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivikasi
alam secara berlebihan dan pengurasan alm semena-mena. Hal ini telah
mengakibatkan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivitas
Hal. 28
dan positivis, akhirnya menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun
direkaya bagai mesin. Ketiga, modernisme memandang ilmu-ilmu positif-empiris mau
tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Keempat, materialisme, yakni orientasi
hidup untuk memiliki dan menguasai hal-hal material. Aturan main utama adalah
survival of the fittest, atau dalam skala yang besar : persingan pasar bebas. Kelima,
militerisme. Kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekersan adlah satusatunya cara untuk mengatur manusia. Keenam, bangkitnya kembali tribalisme, atau
mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Setelah perang dingin
selesai, kini agama menjadi kategori identits penting yang melegitimasi konflik dan
tindak kekerasan. Munculnya fndamentalisme agama adalah contoh dari fenomena
ini.
Krisis sains modern yang menimbulkan petaka kehidupan manusia, menyadarkan
ilmuan untuk merevisi asumsi-asumsi yang mendasar bangunan sains modern. Krisis
ini menjadi cikal bakal terjadinya revolusi ilmiah.
Krisis ini metode ilmiah dan lahirnya revolusi, dapat digambarkan tahap-tahapnya
sebagai berikut :
Tahap I : paradigma ilmiah membimbimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam
masa ilmu normal (normal science)
Tahap II : menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para ilmuwan
terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiks dan dipercayakan. Para ilmuwan
mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap III : para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari
memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa
memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya.
Skema ketiga tahap tersebut sebagai berikut
3. Filsuf Awal Postmodernisme
Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya
dapat dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang
rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan
kebenaran ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern adalah yang
rasional dan objektif Kierkegaard justru berpendapat scbaliknya, bahwa kebenaran
itu bersifat subjektif, "truth is subjectivity'. Pendapat tentang "kebenaran subjektif' ini
menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas, yang dialami oleh individuHal. 29
individu."'
Sementara. itu, Horkheimer dan Adorno dalam buku Dialectic. Lewat tulisantulisannya, Nietzsche menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan modernitas.
Pandangan Nietzsche terhadap kebudayaan modern bersifat reduksionis. Modern
atau modernitas dipandangnya sebagai musuh bagi kehidupan dan insting-insting
semenjak zaman renaissance dan selanjutnya, yang dipengaruhi oleh kekuatankekuatan seperti pencerahan, romantisisme, demokrasi, utilitarianisme, ilmu
pengetahuan, dan sosialisme. Kekuatan-¬kekuatan tersebut merupakan suatu
domestikasi kekuasaan dalam kebudayaan yang kian universalistik. Dampaknya
adalah berupa suatu kebudayaan yang kehilangan keyakinan akan kemampuannya
sendiri untuk mencipta dan menilai, suatu kebudayaan nihilisme Eropa dipengujung
abad ini. Nietzsche melihat modernitas sebagai peningkatan kondisi dekadensi di
mana tipe-tipe tinggi dilevelkan oleh rasionalisme, liberalisme, demokrasi, dan
sosialisme dan di mana insting mengalami penurunan tajam.
Menurut Nietzsche, nihilisme adalah kondisi dimana "nilai-nilai tertinggi mendevalusi
dirinya sendiri”. Nihilisme tak lain adalah "Kondisi postmodern", yakni berakhirnya
segala metanarasi.
Dengan memproklamirkan "tuhan telah mati", Nietzsche berpandangan tidak ada
kebenaran absolut lagi. Manusia harus bebas dari segala makna absolut yang
menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan
memberinya nilai, yakni nilai yang tidak, mengandung kebenaran mu dak atau rata
dunia moral. Kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut,
manusia harus meninggalkannya. Nietzsche mengibaratkan, kalau sampan kita
sudah aus dan tak dapat lagi digunakan untuk berlayar, sampan itu harus
dihancurkan dan diganti dengan sampan yang baru. Menurut Nietzsche, hanya
dengan cara ini kita dapat bebas dan terhindar dari mengabsolutkan sesuatu
Edmund Husserl. (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting perintis
postmodernisme. Dalam karyanya The Idea of Phenomenology, Husserl mencoba
mengatasi persoalan "subjek-objek" dengan cara membongkar se-cara efektif paham
tentang "subjek epistemologis" dan "dunia objektif. Sejak itu, persoalan epistemologi
dan juga tentang `ilmu" dan "keilmiahan" terus-menerus dipertanya¬kan. Dalam
pencarian ini, Husserl menemukan fondasi absolut pengetahuan yang murni, yakni
dalam subjektivitas transendental. Subyektifitas trnsedent, menurut Husserl, terletk
pada Lebenswelt, yakni aliran kehidupan langsung sebelum terfleksikan, lapisan
Hal. 30
dasar yang kemudian memunculkan tematisasi dan teoritisasi ilmiah. Dengan
demikian, yang disebut dengan ”dunia objektif” sebetulnya hanyalah penafsiran
tertentu saja atas dunia pengalaman hidup sehari-hari (Lebenswelt) yang mengatasi
dan mendahului kategori-kategori objektivistik maupun subjektivistik.
Di samping Kierkegaard, Nietszche, dan Husserl, M Keidegger (1889-1976) juga
dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap
filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir
yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan ihwal;
tetapi manusia adalah dasein, ia "ada dalam dunia". Hubungan manusia dengan
kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subyek memahami obyek.
Kontribusi pokok pemikiran Heidegger bagi postmodernisme adalah langkah awalnya
membongkar tradisi filsafat Barat yang pada dasarnya berpuncak pada filsafat
modern. Universalis representasionalisme, dualisme, dan dialektika adalah pilar-pilar
filsafat modern yang dirobohkan Heidegger. Robohnya pilar-pilar itu membuka pintu
bagi lahirnya "pemikiran lain" yang terlupakan dari pemikiran modern. Pengetahuan,
moral, sejarah, dan politik tidak lagi tunggal. Lokalitas mendapatkan penghargaan
tersendiri. Kalaupun ingin mendapatkan patokan universal, jalan yang harus melalui
konsensus. Pengetahuan bukan lagi soal pendasaran melainkan percakapan.
Fokus filsafat Heidegger terletak pada duatema. Pertama Heidegger memperlihatkan
suatu anti-Cartesianisme, yaitu penolakan dualisme pikiran-tubuh, dan pembedaan
antara subyek dan objek. Kedua, filsafat Heidegger sebagian besar adalah pencat
terhadap autentisitas, atau apa yang mungkin lebih tepat dilukiskan sebagai
”kepunyaan sendiri”, yang dapat dimengerti dengan penjelasan tertentu, sebagai
keutuhan. Pencarian terhadap autentisitas ini akan membawa kita ke dalam
persoalan-persoalan abadi tentang haki diri dan arti kehidupan.
4. Teoretisi Postmodernisme
1) Francouis Lyotard
Dilahirkan di Versailles 10 Agustus 1924, dan meninggal di Paris tahun 21 April
1998. Dalam buku The Postmodern Condition, ia memperlihatkan bagaimana
identifikasi pengetahuan bersama representasi, karakteristik masyarakat modern,
tindakan yang kita tampilkan mereduksi ragam dari tindakan yang kita tampilkan
dalam bahasa menjadi denotasi. Bahasa kemudian menjadi serangkaian pernyataan
yang dapat diperlakukan sebagai benda, sebagai komoditas dalam masyarakat
Hal. 31
kapitalis. Bagi Lyotard pengetahuan rasional tidakbisa lagi dijadikan sebagai dasar
bagi kritik, juga tidak memiliki emansipasi sebagaimana dijanjikan oleh para pemikir
pemikir abad pertengahan. Pengetahuan adalah narasi teror Barat, sejauh yang
dituju adalah membungkam cerita-cerita lain dengan menyajikan dirinya sebagai
satu-satunya penjelasan yang benar dan absah.
Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikai dinamisme, upaya tak hentihentinya untuk mencari kebaruan eksperimentasi dan revolusi kehidupan ternsmencrus. Lyota mengatakan, "Marilah kita perangi totalitas ... marilah kita hidupkan
perbedaan. Kenyataannya, postmodernisme menjadi wadah pertemuan berbagai
perspektif teoritis yang berbeda-beda : ”Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah
semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas
kepekaan kita terhadap pndangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita
untuk bertolernsi atas pendirian yang tak mau dibanding-bandingkan.
2) Michel Faucault (1926 – 1984)
a. Discourse, Power and Knowledge
Pemikiran Nietzhe berimbs pada pemikiran Foucault. Faucoult memang tidak secara
tegas menolak keuniversalan pengetahuan, tetapi dari pandangannya tentang
wacana yng bersifat diskontinu” tampaklah penolakan itu. bagai Foucault , setiap era
sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia
secara khas, berbeda dengan era sejarah yang lain. Dengan kata lain, era historis
yang berbeda tentunya memiliki perbedaan episteme untuk setiap periodenya.
Pandangan diskontinuitasnya ini merupakan salah satu aspek dari gugatannya
terhadap tema-tema modern seperti asal-muasal, tujuan akhir, kontinuitas, totalitas,
dan subjek yang utuh.
Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan “klsik” yang ditolak oleh Foucault, yaitu:
a) Pengetahuan itu tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, tetapi khas
untuk setiap waktu dan tempat
b) Tidak ada pengetahuan menyeluruh yang mampu menangkap karakter ”objektif”
dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambi perspektif
c) Pengetahuan tidak dilihat sebagai cara pemahaman yang netral dan murni, tetapi
selalu terikat dengan rezim-rezim kekuasaan.
d) Pengetahuan sebagai wacana tidak muncul sebagai evolusi sejarah yang konstan,
melainkan bersifat diskontinu.
Hal. 32
Salah satu yang paling inspiratif bagi postmodernisme adalah sikapnya dalam
memahami fenomena-fenomena modern yang bernama “pengetahuan” itu, terutama
pengetahuan sosial, ia memerkarakan tentang “Apa itu pengetahuan” secara
genealogis dan arkeologis, artinya dengan melacak bagaimana pengetahuan itu
telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori-kategori konseptual
macam “kegilaan”, “seksualitas”, “manusia”, dan sebagainya yang biasanya
dianggap “natural” itu sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang
membawa mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan; kekuasaan untuk
“mendefinisikan” siapa kita. Ilmu ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agenagen kekuasaan itu. Kendati kekuasaan itu tidak selalu negatif-represif melainkan
juga positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru), toh secara umum
ia memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan melainkan
sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillane) lewat
”penormalan”, regulasi dan disiplin (Discipline and Punish, Power/Knowledge).
b. Arkeologi Foucault
Jika kita memandang modernitas bermula pada abad ke 16 dan ke-17, maka karya
Foucault bisa dilihat sebagai refleksi kritis atas perbedan antara bentuk-bentuk
kebudayaan pra-modern dan modern. Dalam Madnes and Civilization (1961)
Foucault mengawali gagasannya tentang ”arkeologi kebisuan penderita kegilaan” di
dalam suatu dunia di mana penderita kegilaan menggantikan penyakit kusta sebagai
kematian ”yang telah tiba”.
Menurut Foucault, “posisi liminal” penderita kegilaan di abad pertengahan terlihat dari
disingkirkannya mereka secara sosial ke dalam ”bahtera untuk orang-orang sinting”.
Humanisme renaissance berperan membebaskan suara penderita kegilaan sekaligus
mengontrolnya dengan cara memasukkan kegilaan ke dalam ”semesta diskursus”,
namun demikian, hanya dalam periode klasiklah penderita kegilaan direduksi
menjadi kebisuan dengan jaln mengungkungnya dalam rumah-rumah sakit.
Foucault berangkat dari gagasan tentang episteme atau ”bidang epsitemologis” yang
mengatur syarat-syarat bagi pengetahuan yang mungkin. Menurut Foucault, terdapat
tiga episteme berbeda-beda yang saling mendukung masa renaissance, periodperiode klasik, dan abad ke-19, yang memisahkan periode klasik dengan abad ke-19
adalah bahwa yang terdahulu masih mempertahankan hubungan yang tak terbatas,
Hal. 33
sedangkan masa berikutnya meneguhkan perbatasan analitis.
c. Geneology of Knowledge
Gagasan tentang geneologi muncul sejak pidato inaugurasi Foucolt yang lantas
diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Discourse on Language (1971 :
1972). Di sini gagasan tersebut muncul demi melengkapi analisis tentang aspek
diskursu yang mirip sistem dengan suatu analisis tentang bagaimana aspek itu
terbentuk. Tugas geneologi kekuasaan sesungguhnya adalah menganalisis silsilah
pengetahuan.
Menurut Foucault, pembedaan Nietzsche antara asal usul (origin) dan silsilah
(descent) adalah pembedaan antara presentasi sejarah sebagai terbentangnya suatu
gagasan secar jelas serta sebagai fenomena yang murni kebetulan.
Studi paling terkenal dalam periode ini adalah Discipline and Punishment (1975).
Sekali lagi modernitas sebagai pemisah paling menentukan antara periode klasik dn
abad ke-19 dipersoalkan. Terdapat dua bentuk masyarakat yang berbeda, yang
didominasi oleh dua bentuk kekuasaan yang amat berlainan. Konsep kedaulatan
yuridiko-politis dalam masyarakat pra-modern menyelenggarakan eksekusi publik
untuk memperbarui kedaulatan yang keropos.s edangkan dalam modernitas, adanya
bentuk-bentuk baru ”penghukuman yang digeneralisasikan” disebbkan oleh adanya
bentuk baru kekusan yang merembeas dan menjangkau setiap bagian tubuh sosial,
dan yang tergambarkan paling jelas dalam Pnopaticon Bentham.
Serangan Foucault terhadap hipotesis ekspresif merupakan konsekuensi dari
gagasan barunya tentang kekuasaan. Foucault bukannya mengonsepsi modernitas
sebagai sumber pembatasan seks, namun sebagai penyebab penyebarannya,
terseretnya seks ke dalam diskursus.
Di sini ia memperkenalkan gagasan tentang bio-power. Namun, pada volume-volume
kelanjutannya ternyata dia tidak mengulas hal itu.
d. Kilas balik Filsafat Foucault
Foucault dalam karya use of Pleasure (1984a) dan Care of The Self (1984b) tidak
mengonsentrasi diri pada kaidah internal atau regularitas formasi diskursif. Namun,
kini mengarahkan perhatian pada hubungan antara manusia dan dunia.
Pengarahan arkeologi menuru “problematisasi” ini lebih merupakan suatu peralihan
hermeneutis dalam pemikirannya mengenai kebudayaan.
Hal. 34
Dalam dua buku itu Foucault kembali, meski dalam bentuk yang telah dimodifikasi,
pada jenis gaya analisis komplementer yang pernah ia janjikan dalam pidato
inaugarasinya
Dengan begitu, meski terdapat perubahan dalam programnya, tetap tertarik pada
persoalan sentral berupa bagaimana manusia Barat akhirnya sebegitu jauh
melibatkan dirinya sendiri dalam persoalan seksualitasnya
Karya Foucault mengenai sejarah dapat menimbulkan salah paham. Kontroversi
mengenai karyanya pun tak jarang dijumpai.
3) Jacques Derrida (1930-2004 M)
Membahas filsuf yang satu ini pasti tidak akan lepas dari buh pikirannya tentang
dekonstruksi. Istilah ini merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Apa itu
dekonstruksi ? Secara etimologis, dekonstruksi dalah berarti ”mengurai”, melepskan,
dan membuka”. Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks secara
interpretatif atau, katakanlah, suatu hermeneutik dengan cara radikal.
Podisi Derrida terletak di pinggiran: dekonstruksi bergera pada batas-batas di antara
kedua perspektif tersebut. Derrida menjelaskan pelintasan batas interpretasi ini secar
tepat melalui sebuah neologisme.
Dekonstruksi menunjukkan bahwa pembedaan dan antinomi konseptual pada
akhirnya tidak terkontaminasi, dna karenanya juga tidak dapat dipertahankan. Makna
tidak berdasarkan pada sebuah hierarki makna, melainkan terbentuk dalam sebuah
jaringan acuan-acuan lewat momen suspensi.
Penagguhan ini, difereance, atau – Derrida menyebut demikian – spesialisasi atau
temporalisasi ini berarti pula bahwa makna teks tidak bisa distabilkan. Teks tidak
didekonstruksikan, melainkan mendekonstruksi dirinya sendiri. Dengan kata lain,
makna dari teks itu ditunda atau ditangguhkan. Namun, menunda dan menagguhkan
tidak berarti bahwa pembedaan hanyalah omong kosong belaka. Dengan
pemahaman ini Derrida tidak ingin menyebarkan nihilisme.
Untuk tujuan tersebut dekonstruktivisme adalah sebuah cara berpikir yang
senantiasa menantang kita untuk menjawab pertanyaan, bagaimana kita bisa
membedakan sesuatu tanpa menilai dan tanpa memutuskan.
4) Richard Rorty (1931-2007)
Menurut Rorry, apa yang kita sebut sebagai filsafat selama ini telah menuju ke
Hal. 35
banyak tiotik kebuntuan di bidang epistemologi, metafisika, bahkan teori-teori moral.
Berbeda dari para post-strukturalisme atau postmodernitas lainnya, dalam buku
Philosophy and the Mirror of Nature, Rorty ingin menyudahi apa yang disebutnya
“epsitemology centered philosophy” atau tradisi Cartesian-Kantian.
Menurutnya, dewasa ini merupakan ”the end of philosophy (as epistemology)”.
Memang, dalam alam pikir modern, tugas pokok filsafat adalah mencari segala
fondasi
pengetahuan
(foundasionlisme)
dan
tugas
pokok
subjek
adalah
mempresentasikan kenytaan objektif (representasionalisme)
Untuk
memusnahkan
epistemologi,
dia
memakai
istilah
Cadamer
yaitu
“hermeneutik”. Hermeneutik, baginya, bukan suatu disiplin, metode alternatif bagi
epistemologi, ataupun program riset, melainkan “... suatu ungkapan pengharapan
bahwa ruang kultural yang disisakn oleh kesudahan epistemologiu tidak akan terisi”
Dalam memberikan penajaman di bidang filsafat, Rorty berusaha untuk menyatukan
dan mengaplikasikan Dewey hegel dan Darwin dalam sintesis pragmatis antara
historisisme dan anturalisme.
5) Jean Baudrillard (1929 – 2007)
Melalui karya-karyanya, Baudrillard mempunyai sumbangan besar terhadap
perkembangan teori ssial postmodernisme. Karya awal Baudrillard (1968, 1970)
sangat dipengaruhi oleh perspektif Marxian yang menitikberatkan pada masalah
ekonomi . bedanya, kalau Marxian lebih memfokuskan pada produksi, Baudrillard
memfokuskan dirinya pada masalah konsumsi. Menurut Baudrillard, objek konsumsi
merupakan “sesuatu yang diorganisir oleh tatanan produksi” atau “perluasan
kekuatan produktif yang diorganisir” Baudrillard menambahkan, konsumsi bukanlah
tambahan kecil bagai puataran kapital … tetapi [merupakan] kekuatan produktif yang
penting bagi kapital itu sendiri.
Secara umum, pemikiran Budrillard memusatkan perhatian pada kultur, yang
dilihatnya mengalami revolusi besar-besaran dan merupakan bencana besar.
Revolusi kultural itu menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin
berontak seperti yang diperkirakan pemikir Marxis. Dengan demikian, masa dilihat
sebagai “lubang hitam” yang menyerap semua makna, informasi, komunikasi, pesan,
dan sebagainya, menjadi tidak bermakna … masa menempuh jalan mereka sendiri,
tak megindahkan upaya yang bertujuan memanipulasi mereka. Kekacauan, apatis,
dan kelebaman in merupakan istilah yang pepat untuk melukiskan kejenuhan massa
Hal. 36
terhadap tand meida, simulasi, dan hiperrealitas.
6) Fredric Jamerson (1934)
Fredric Jamerson lahir 14 April 1934 di Cleverland, Ohio. Ia merupakan salah satu
kritikan literatur berhaluan Marxis pling terkemuka. Kini ia menjabat sebagai Profesor
of Comparative Literature di Duke University (Durham NC, USA), sekaligus
mengepalai the Center for Cultural Theory.
George Ritzer dalam Postmodern Social Theory, menempatkan Jamerson ke dalam
pemikir Amerika yang berhaluan postmodern bersama dengan Daniel Bell, kaum
feminis (Sandra Harding, Judith Butler, Susan Bordo, dan lain-lain), dan teoritikus
multikultural.
Jamerson jelas-jelas mengadopsi posisi Marxis untuk mengembangkan teori sosial
budayanya. Namun demikian, ia menolak mengikuti pola dan klaim yang
dikembangkan oleh para pengikut Marxis dari Prncis (seperti Lyotard, Baudrillrd dan
Foucault) yang percaya bahwa teori Marxis termasuk ”narasinya(continuity).
Teori ” Logika Kultural Kapitalisme Akhir
Istilah ”kapitalisme lanjut” (late capitalism) mulai digunakan di Eropa menjelang akhir
tahun 1930-an, yaitu ketika banyak ahli ekonomi percaya kapitalisme bergerak
mendekati ajalnya. Di penghujung Perang Dunia II, cukup banyak pakar ekonomi
termasuk Paul K. Samuelson dan Joseph Schumpeter yang percaya bahwa akhir
dari kapitalisme akan segera terjadi dalam arti banyak sekali kendala dan persoalan
ekonomi yang tak tertaggulangi.
Periode late capitalism yang dipakai Jamerson dipinjam dari periodisasi yang dibuat
oleh Mandel, yang membagi perkembangan kapitalisme menjadi tiga fase, yaitu (1)
kapitalisme pasar, (2) monopoli (imperialisme), dan (3) modal multinasional.
Contoh dari fase late capitalism ini, misalnya : penetrasi dan kolonialisasi alam dan
duni bawah sadar, penghancuran sistem agribudaya negara-negara berkembang
oleh Revolusi Hijau serta mentasnya industri media dan iklan ke panggung
keseharian.
5. Kritik terhadap Postmodernisme
Dalam buku The Philosophical Discourse of Modernity, Habermas mengemukakan
berbagai kritiknya terhadap pemikiran postmodernisme. Ia menyatakan bahwa asalusul konsep “post-modernity” itu sendiri harus diteliti. Habermas menyatakan ada
Hal. 37
kelemahan mendasar pemikiran kaum postmodernis tentang (“modernitas” yang
dianggap ahistoris. Para pemikir postmodernis seakan-akan menghilankan dimensi
dan cakrwila historis yang memunculkan “postmodern” itu. haberms berpendapat
bahwa apa yang disebut postmodern itu hanyalah lanjutan dari modernitas yang
belum selesai, karena itu pemikir postmoderni tidak dapat menyatakan diri
melampaui modernitas itu.
Para pengikut Hegel, termasuk Teori Kritis Mazhab Franfurt, mencoba mengatsi
msalah modernitas dengan etap bertolak dri asumsi-asumsi epistemologi modern.
Nietszche justru mengambil jalan radikal dengan mencoba modernitas dan
rasionalitas modern itu.
Ben Agger dalam The Discourse of Domination : from the Franbkfurt School to the
Postmodernism (1992), dalam bab berjudul ”Postmodernism : Ideology or Critical
Theory” menyatakan posmodernisme dan feminisme sebagai teori Kritis.
Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama Teori Kritis dan postmodern,
yaitu bahwa teori sosial harus memiliki peran yang berarti bagi proses transformasi
duani dan meningkatkan kondisi kemanusian pada arah yang lebih manusiawi. Hal
ini terlihat jelas pada teori poskolonial, feminisme, dan cultural studies atau
multikulturalisme.
Fredric Jameson dalam tulisannya “Postmodernisme dan Masyarakat Konsumer”
menyatakan bahwa datangnya era postmoderni membawa serta pemusnahan telak
distingsi-distingsi tempat bergantungnya Teori Kritis itu.
Bourdieu menantang egaliterianisme budaya dan menunjukkan bagaimana dan
hubungan yang mendalam antara kelanjutan ketidaksetaraan ekonomi dan budaya.
Menurut Bourdieau, masing-masing lokasi kelas sosial memiliki habitusnya sendirisendiri yang membawa anggotanya pada kecenderungan bentuk-bentuk khusus
seler dan presiasi khusus objek budaya, sosial dan lainya (Turner, 2002, 17)
6. Postmodernisme dan Kritik Pembangunan
Pemikiran-pemikiran postmodernisme dapat digunakan untuk menganalisis diskursus
terhadap tantangan pembangunan. Kata devbelopment, yang diterjemahkan ke
bahasa Indonesia menjadi “pembangunan”, menyiratkan dominasi, penindasan dan
pengeksploitasian postmodernisme telah menyumbangkan perkembangan teori kritik
terhadap teori pembangunan dan modrnisasi dari perspektif yang sangat berbeda
dengan teori-teori kritik sebelumnya.
Hal. 38
Sumbangan terbesar postmodernisme terhadap teori dan perubahan sosial adalah
membuat teori itu lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi
menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan teranyam di setiap aspek kehidupan,
dan ini bertentangan dengan umumnya ilmu sosial yang berasumsi ilmu ini netral
objektif, dan tak berdosa.
Kalau bagi Marx kekuasaan ad pada kaum pemilik modal, Dahdenrof pada kelompok
elite, maka pada Foucault kekuasaan bisa terjadi pada diskursus dan pengetahuan.
7. Kilas Balik Postmodernisme
Modernisme dan postmodernisme, tidak sekedar sebagai aliran filsafat dan teori
sosial yang hanya berorientasi pada konsep, sistem, dan metode saja. Bukan juga
sekadar strukturalisme dn postrukturalisme dalam pengertian Strauss dan Foucault.
Para pemikir modernisme kontemporer seperti Karl Popper, Houston Smith, dan
Haberms, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan postmodernisme.
Dalam kaitannya dengan keragaman gerakan postmodernisme sendiri, maka post
modernisme dapat dibagi dalam dua aliran besar, yakni postmodernisme
epistemologis dan postmodernisme empirik.
Pemikir postmodernisme yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah
Lyotard, Derrida, Foucault, dan Rorty. Ulrich Beck, dalam bukunya Risk Society :
Towards a New Modernity (1998) menjelaskan “risiko” sebagai kemungkinankemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial) yang disebabkan oleh
proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik,
komunikasi.
Eksplorasi Beck terhadap peran, status, dan implikasi teknologi menimbulkan
perdebatan yang hangt. Pertama, karyanya berhubungan dengan tema-tema pascamodernitas dan pasca modern. Argumen Beck bahwa masyarakat berisiko yang
telah membelah kontrak asurnsi antara masa kini dan masa depan bisa
dperbandingkan dengan keraguan pasca-modern atas meta-naratif kemajuan.
Kedua, Beck menekankan signifikansi sosiologi lingkungan dan ekologi. Di Jerman,
Beck berpengaruh besar pada pemikiran dan politik lingkungan hidup, namun di
negara-negara berbahasa Inggris pengaruhnya telah berkurang karena perbedaan
bahasa antara publikasi asli dan terjemahan (buku Beck dipublikasikan di Jerman
tahun 1986, terjemahan bahasa Inggrisnya keluar tahun 1992)
Risiko juga merupakan tema karya Anthony Giddens. Ia membedakan risiko
Hal. 39
lingkungan pra-modern (tradisional) dan modern. Giddens menekankan pentingnya
lingkungan, perang dan hubungan personal dalam pengalaman modern dan
konstruksi risiko.
8. Relevansi Postmodernisme bagi kehidupan Masa Kini
Jika diamati dengan seksama, banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa yang
ditawarkan oleh pasca-modernisme. Lepas dari sah atau tidaknya keberadaan
pasca-modernisme, kenyataannya dia ada dan keberadaanya harus diakui.
Pasca modernisme ingin menghilangkan pendasaran umum dan lebih melihat ceritacerita. Tanpa ada kerangka atau dasar pijakan tersbut kita tidak bisa bicara apa-apa.
Selain itu, jika kita hanya berpegang pada cerita-cerit lokal atau keyakinan setempat,
sangat sulitlah untuk mengambil keputusan dan yang terjadi adalah siapa yang kuat,
itulah yang menang.
Hal ini sudah terbukti jika kita menengok proses peradilan hukum di Indonesia yang
sering kali orang kecil menjadi korban hanya karena buta hukum dan hukum
ditafsirkan sesuai keinginan pihak tertentu yang tentunya mempunyai power.
Lalu apa yang harus dilakukan ? Saya setuju perlu adanya dekonstruksi, tetapi
kurang sependapat jika itu dilakukan terhadap semua narasi besar.
Dengan melihat sisi negatif postmodernisme, apakah dengan demikian ia harus
dibuang ? tentu sisi positifnya tetap ada. Ia telah mengingatkan pada kita agar kita
mewaspadai teori-teori besar jangan sampai merek berkembang menjadi ideologi.
Jangan sampai ideologi berlindung di balik teori-teori besar, tetapi ternyata di balik itu
ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.
Segala sesuatu perlu dikritisi, dipertanyakan apakah ia benar berjuang demi
menegaskan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih besar.
Jadi, kita harus memegang kedua-duanya, yang universal dan yang lokal,
menghargai cerita besar yang memang memperjuangkan martabat manusia dan juga
menghargai cerita-cerita kecil sebagai tanda penghargaan terhadap manusiamanusia individu asal memperkembangkan individu tersebut. Dengn demikian,
kehidupan kita menjadi tercerahkan.
B. Filsafat Strukturalisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme dalah Michael Foucolt
(1926 – 1984). Kesudahan ”manusia” sudah dekat, pendirian Fouclot yang sudah
Hal. 40
terkenal tentang ”kematian” manusia. Maksud Fouclot bukannya bahwa nanti tidak
ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep ”manusia” sebagai suatu
kategori istimewa dalam pemikiran kita. Manusia akan kehilangan tempatnya yang
sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.
Para penganut aliran filsafat strukturalisme ini memiliki corak yang beragam, namun
demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu : penolakan terhadap prioritas kesadaran.
Bagi mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat yang otonom, manusia tidak
lagi menciptakan sistem melainkan takluk pada sistem.
Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan
strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, strukturalisme adalah metode atau
metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan
bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure.
Disini ilmu-ilmu kemanusiaan dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi
Dilthey
disebut
Geistewissenschaften
yang
dibedakan
dengan
ilmu-ilmu
pengetahuan alam atau Naturwissenschaften. Kedua, strukturalisme merupakan
aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat.
Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah,
kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam.
C. Filsafat Hidup
Pada abad yang ke-19 dan awal abad ke-20 ilmu pengetahuan dan tehnik
berkembang dengan cepat, yang mengakibatkan perkembangan industrialisasi yang
cepat juga. Hal ini menjadikan segala pemikiran orang diarahkan kepada hal-hal
yang bendani saja. Akal manusia dipakai untuk menyelidiki segala sesuatu. Segala
sesuatu dianalisa, dibongkar dan ditaf¬sirkan, serta disusun kembali. Juga ilmu yang
menyelidiki jiwa manusia (psikologi) berbuat demikian. Baik jagat raya maupun
manusia dipandang sebagai mesin, yang terdiri dari banyak bagian, yang masingmasing menempati tempatnya sendiri-sendiri, serta yang bekerja menurut hukum
yang telah ditentukan bagi masing-masing bagian itu. Demikianlah juga halnya
dengan manusia. Roh bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ker¬janya disebabkan
karena akibat proses-proses bendani yang berjalan karena keharusan, seperti
umpamanya ginjal harus mengeluarkan air ken¬cing, jantung harus memompa
darah, otak harus mengeluarkan buah pikiran, dan lain sebagainya.
Salah satu reaksi terhadap pandangan yang demikian itu adalah filsafat hidup, yang
Hal. 41
salah seorang penganutnya adalah Henri Bergson (1859-1941), seorang yang
berdarah campuran Perancis dan Yahudi, semula ia belajar matematika dan fisika.
Tetapi justru karena kecakapannya untuk menganalisa itulah ia segera dihadapkan
dengan persoalan-per¬soalan metafisika yang tersembunyi di belakang tiap ilmu
pengetahuan. Hal ini menyebabkan dia berpaling ke filsafat.
Banyak buah tulisannya, di antaranya: Essai cur les donn&s immMute de la
conscience, atau "Karangan mengenai hal-hal yang langsung ditemui dalam
kesadaran" (1889), yang diterbitkan dalam -bahasa Inggris di bawah judul Time and
Free Will, atau "Waktu dan Kehendak Bebas"; L'Evolu¬tion creatrice, atau "Evolusi
yang kreatif" (1907); Les Deux sources de la morale et de la religion, atau "Kedua
cumber kesusilaan dan agama" (1932).
Seorang tokoh berdarah campuran Perancis - Yahudi, kelahiran Perancis, Henri
Bergson (1859-19.41), melahirkan filsafat hidupnya sebagai reaksi atas pandangan
materialisme dan pragmatisme.
Menurut Bergson, hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal.
dunia, yang berkembang dengau melawan penentangan-penentangan materi. (yaitu
sesuatu yang lamban yang menentang gerak, dan dipandang oleh akal sebagai
materi atau benda). Manakala gerak, perkembangan hidup itu digambarkan sebagai
gerak ke atas, materi adalah gerak ke bawah yang menahan gerak ke atas itu.
Dalam perkembangannya sebagai gerak ke atas, hidup mempunyai penahanan
gerak ke bawah. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi menjadi arus yang menuju
banyak jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh materi, sedangkan sebagian
lainnya tetap memiliki kecakapannya untuk berbuat secara babas dan dengan terus
berjuang keluar dari.genggaman materi.
"Bergson yakin akan adanya evolusi, tetapi tidak seperti yang diajarkan Darwin..
Evolusi yang raeuggambarkan evolusi sebagai perkembangan linear (segaris), yang,
satu sesudah yang lain dengan manusia sebagai puncaknya. Menurut Bergson,
evolusi adalah suatu perkembangan.yang menciptakan, yang meliputi segala
kesadarani. segala hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya terusmenerus menciptakan bentuk baru dan menghasilkan' kekayaan baru. Evolusi ini
tidak terikat oleh keharusan seperti keharusan yang tersirat dalam hukum sebabakibat mekanis. Evolusi menurut Bergson. bukan bergerak ke satu arah dibawah
dorongan, suatu semangat hidup yang bersifat umum, tetapi evolusi itu berkembang
ke arah bermacam-macam. Pada tumbuh-tumbuhan perkembangan itu kandas
Hal. 42
dalam bentuk-bentuk yang tanpa kesadaran. Pada binatang, perkembangan itu
berhenti dalam naluri, sedangkan pada manusia, perkembangan itu berlangsung
sampai ke akal.
1. Naluri
Naluri adalah tenaga bawaan kelahiran guna memanfaatkan alat-alat organis
tertentu dengan cara tertentu. Kerja naluri terjadi otomatis, tanpa memberi tempat
padsaspontanitas
atau
pembaharuan.
Naluri
semata-mata
diarahkan
pada
kepentingan kelompok atau rumpunnya. Oleh karena itu, sifat individual ditaklukkan
kepada sifat.kelompok.
2. Akal
Manusia mempunyai akal yaitu merupakan kecakapan untuk menciptakan alat kerja
bagi dirinya dan secara bebas mengubah-ubah pembuatan alat kerja itu. Akal
mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentiagan individu. Akan
letapi, akal tidak dapat dipakai untuk menyelami hakikat yang sebenarnya dan
segala kenyataan. Sebab, akal adalah basil perkembangan, yaitu perkembangan
dalam rangka proses hidup. Akal itu timbul karena panyesuaaan manusia. Dengan
akalnya, manusia dapat menyesuaikan diri dengan dunia sekitarnya. Oleh karena itu,
akal memihki fungsi praktis. Itulah sebabnya, akal tidak dapat menyelami hakikat
yang sebenarnya dari segala kenyataan. Akal hanya berguna bagi pemikiran ilmu
fisika dan mekanika, tetapi akal tidak berguna bagi penyelaman ke dalam hakikat
segala sesuatu.
3. Intuisi
Intuisi diperlukan untuk menyelami hakikat segala kenyataan. Intuisi adalah suatu
kecakapan yang dapat molepaskan diri dan akal, kecakapan untuk menyimpulkan
serta meininjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang telahn mendapat kesadaran
diri, yang telah dicakapkan untuk memikirkan sasarannya serta memperluas sasaran
itu menurut kehendak sendiri tanpa batas.
4. Agama
Bergson membagi agama pada dua macam. Pertama, agama statis,. dan kedua,
agama dinamis.
Hal. 43
1. Agama statis ialah agama yang timbul karena hasil. karya perkembangan. Dalam
perkembangan ini, alam telah memberikan kepada manusia kecakapan untuk
menciptakan dongeng-dongen yang dapat mengikat manusia yang seorang dengan
yang lain dan dapat mengikat manusia dengan hidup. Karena akalnya, manusia,
tahu bahwa ia harus mati. Karena akalnya juga, manusia tahu bahwa ada rintanganrintangan yang tak terduga sehingga menghalangi usahanya untuk mencapai
tujuannya. Alam telah membantu manusia untuk memikul kesadaran yang pahit ini
dengan khayalan-khayalan. Demikianlah, akhirnya timbul agama sebagai alat
bertahan terhadap segala'sesuatu yang dapat menjadikan manusia putus asa.
2. Agama yang dinamis adalah agama yang diberikan oleh intuisi. Dengan
perantaraan agama inilah, manusia dapat berhubungan dengan asas yang lebih
tinggi yang lebih berkuasa daripada dirinya sendiri. Bentuk agama yang paling tinggi
adalah mistik yang secara sempurna terdapat dalam agama Kristen. Itulah filsafat
hidup Bergson yang besar sekali pengaruhnya di Perancis. Ketika ia membahas
agama Kristen, yang berati sebagai pegangan hidup karena ia agama yang paling
tinggi.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat kita pelajari bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan
yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Berapa pendapat telah
dijelaskan bahwa post modernisme merupakan istilah yang mempunyai beberapa arti
diantaranya pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan dan
isme yang berarti aliran atau sistem pemikiran yang menunjukkan pada kritik filosofis
atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern.
Dalam kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat terbagi menjadi dua.
Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk
mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik
yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Kedua, strukturalisme merupakan aliran
filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di sini
metodologi
struktural
dipakai
untuk
membahas
tentang
manusia,
sejarah,
kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam.
Hal. 44
Sedangkan filsafat hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal.
dunia, yang berkembang dengan melawan penentangan-penentangan materi. (yaitu
sesuatu yang lamban yang menentang gerak, dan dipandang oleh akal sebagai
materi atau benda).
Daftar Rujukan
Ali Maksum, 2008, Pengantar Filsafat, Ar Ruzz Media, Jogjakarta
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008, Filsafat Umum, Pustaka Setia
Bandung
Harun Hadi Wijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Kanisius
Hal. 45
TEORI-TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Editor: Adi Rio Arianto
Berbicara tentang Hubungan Internasional, pastinya tak terlepas dari hubungan antar
satu bangsa atau Negara ke yang lainya, akan tetapi, pandangan tentang pemikiran
Hubungan Internasional sendiri berawal dari sebuah traktat atau Perdamaian
Westphalia yang juga dikenal dengan nama Perjanjian Munster dan Osnabruck pada
tahun 1648, adalah serangkaian perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh
Tahun dan secara resmi mengakui Republik Belanda dan Konfederasi Swis ketika
sistem negara modern mulai dikembangkan.
Sebelumnya,
organisasi-organisasi
otoritas
politik
abad
pertengahan
Eropa
didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Dalam perdamaian Westphalia
terbentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para
penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak
lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas
kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang
mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan
yang memadai.
Sistem pemikiran Westphalia mendorong bangkitnya negara sampai bangsa,
institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem pemikiran ini kemudian
‘diexpor’ ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat kolonialisme, dan standar-standar
peradaban. Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi
selama Perang Dingin. Namun, sistem ini agak terlalu disederhanakan, sementara
sistem negara-bangsa dianggap modern, banyak negara tidak masuk ke dalam
sistem tersebut dan disebut sebagai pra-modern. Lebih lanjut, beberapa telah
melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap pasca-modern. Kemampuan
wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara jenis-jenis negara yang
berbeda ini diperselisihkan. Level-level analisis adalah cara untuk mengamati sistem
internasional, yang mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai
suatu unit, level internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional
dan internasional level global.
Bersamaan dengan perkembangan peradaban dan pemikiran manusia, teori tentang
Hubungan Internasional berkembang berdasakan fase-fase yang kesemua itu
bermula dari:
Hal. 46
Current History: sebagai ladang penyelidikan intelektual yang sebagian besar
dipengaruhi fenomena abad ke-20. Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada
sejarah diplomatik yang merupakan salah satu pendekatan untuk memahami HI yang
berfokus pada deskripsi kejadian-kejadian sejarah, bukan eksplanasi teori. Untuk
kemudahan, aliran ini disebut pendekatan Current History terhadap studi HI.
Idealisme Politik: Berawal setelah Perang Dunia I yang membuka pintu terhadap
revolusi paradigma dalam studi HI. Sejumlah perspektif HI berusaha menarik
perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun demikian, aliran current
history masih memiliki pengikutnya. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II,
terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin
semakin mengukuhkan perspektif Realisme.
Realisme Politik: perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang
Dunia I dan II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika
Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.
The Behavior approach (pendekatan perilaku): aliran realism klasik menyiapkan
secara serius pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan empiris. Namun
demikian ketidak-kuasaan karena kurangnya data, reaksi tandingan, kesuliran dalam
peristilahan dan metode, mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal
1970-an. Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi Hubungan Internasional
maka banyak mempengaruhi pendekatan terhadap teori dan logika serta metode
penelitian.
The
Neoralist
Structural
Approach
(pendekatan
Neoralisme
Struktural):
pandangan ini membedakan antara eksplanasi peristiwa politik internasional di
tingkat nasional seperti negara yang diketahui sebagai politik luar negeri dengan
eksplanasi peristiwa di tingkat sistem internasional yang disebut sistem atau teori
sistem.
Institutionalisme Neoliberal: Seperti halnya neoliberal, institutionalis neoliberal
menggunakan teori structural politik internasional. Mereka terutama berkonsentrasi
kepada sistem internasional, bukannya karakteristik unit atau sub unit di dalamnya,
namun mereka member lebih banyak perhatian pada bagaimana cara lembaga
internasional
dan
aktor
non
negara
lainnya
mempromosikan
kerja
sama
internasional. Daripada halnya menggambarkan dunia di mana negara-negara di
dalamnya enggan bekerja sama karena masing-masing merasa tidak aman dan
terancam oleh yang lainya, Institusionalis Neoliberal membuktikan syarat-syarat kerja
Hal. 47
sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang tumpang tindih di antara
entitas politik yang berdaulat.
TEORI EPISTEMOLOGI DAN TEORI HI
Teori-teori Utama Hubungan Internasional: (1) Realisme, e, (2) Idealisme, (3)
Liberalisme, (4) Neoliberalisme, (5) Marxisme, (6) Teori dependensi, (7) Teori kritis,
(8) Konstruksivisme, (9) Fungsionalisme, (10) Neofungsiionalisme.
Setelah Perang Dunia I, teori HI Sejarah Perang Peloponnesia karya Thucydides
sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes dan The Prince
karya
Machiavelli
memberikan
pengembangan
lebih
lanjut.
Demikian
juga
Liberalisme menggunakan karya Kant dan Rousseau dengan karya Kant sering
dikutip sebagai pengembangan pertama dari Teori Perdamaian Demokratis.
Meskipun hak-hak asasi manusia kontemporer secara signifikan berbeda dengan
jenis hak-hak yang didambakan dalam hukum alam, Francisco de Vitoria, Hugo
Grotius, dan John Locke memberikan pernyataan-pernyataan pertama tentang hak
untuk mendapatkan hak-hak tertentu berdasarkan kemanusiaan secara umum. Pada
abad ke-20, selain teori-teori kontemporer internasionalisme liberal, Marxisme
merupakan landasan hubungan internasional.
Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologis
“positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metodemetode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material.
Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara,
ukuran
kekuatan-kekuatan
militer,
keseimbangan
kekuasaaan
dan
lain-lain.
Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari
dengan cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral
tentang neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa
metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu”
HI adalah tidak mungkin.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teoriteori positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat
sebab-akibat (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pascapositivis pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai
contoh apa yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang
membentuknya,
bagaimana
kekuasaan
dialami
dan
bagaimana
kekuasaan
Hal. 48
direproduksi. Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan
pendekatan normatif terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini
merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam HI “tradisional” karena teori-teori
positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif,
atau “nilai-nilai”. Selama periode akhir 1980 – an/1990 perdebatan antara para
pendukung teori-teori positivis dan para pendukung teori-teori pasca-positivis
menjadi perdebatan yang dominan dan disebut sebagai “Perdebatan Terbesar”
Ketiga, (Lapid 1989).
TEORI-TEORI POSITIVIS
1. Realisme
Realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa
negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr,
Daniel Bernhard, dan Hans Morgenthau berargumen bahwa, untuk maksud
meningkatkan keamanan mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang
berusaha mencari kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan diri sendiri (selfinterested). Setiap kerja sama antara negara-nge dijelaskan sebagai benar-benar
insidental. Para realis melihat Perang Dunia II sebagai pembuktian terhadap teori
mereka. Perlu diperhatikan bahwa para penulis klasik seperti Thucydides,
Machiavelli, dan Hobbes sering disebut-sebut sebagai “bapak-bapak pendiri”
realisme oleh orang-orang yang menyebut diri mereka sendiri sebagai realis
kontemporer. Namun, meskipun karya mereka dapat mendukung doktrin realis,
ketiga orang tersebut tampaknya tidak mungkin menggolongkan diri mereka sendiri
sebagai realis (dalam pengertian yang dipakai di sini untuk istilah tersebut).
2. Liberalisme/idealisme/Internasionalisme Liberal
Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I untuk
menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi
perang dalam hubungan internasional mereka. Pendukung-pendukung awal teori ini
termasuk Woodrow Wilson dan Normal Angell, yang berargumen dengan berbagai
cara bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat
kerjasama dan bahwa perang terlalu destruktif untuk bisa dikatakan sebagai pada
dasarnya sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham
tersebut secara kolektif dan mengejek disebut sebagai idealisme oleh E.H. Carr.
Hal. 49
Sebuah versi baru “idealisme”, yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai
dasar legitimasi hukum internasional, dikemukakan oleh Hans Kóchler.
3. Neorealisme
Neorealisme terutama merupakan karya Kenneh Waltz (yang sebenarnya menyebut
teorinya “realisme struktural” di dalam buku karangannya yang berjudul Man, the
State, and War). Sambil tetap mempertahankan pengamatan-pengamatan empiris
realisme, bahwa hubungan internasional dikarakterka oleh hubungan-hubungan
antarnegara yang antagonistik, para pendukung neorealisme menunjuk struktur
anarkis dalam sistem internasional sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai
penjelasan yang mempertimbangkan pengaruh karakteristik-karakteristik dalam
negeri negara-negara. Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang relatif (relative
gains) dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan. Tidak seperti
realisme, neo-realisme berusaha ilmiah dan lebih positivis. Hal lain yang juga
membedakan neo-realisme dari realisme adalah bahwa neo-realisme tidak
menyetujui penekanan realisme pada penjelasan yang bersifat perilaku dalam
hubungan internasional.
4. Neoliberalisme
Neoliberalisme berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui asumsi
neorealis bahwa negara-negara adalah aktor-aktor kunci dalam hubungan
internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor bukan
negara dan organisasi-organisasi antarpemerintah adalah juga penting. Para
pendukung seperti Maria Chatta berargumen bahwa negara-negara akan bekerja
sama terlepas dari pencapaian-pencapaian relatif, dan dengan demikian menaruh
perhatian pada pencapaian-pencapaian mutlak. Meningkatnya interdependensi
selama Perang Dingin lewat institusi-institusi internasional berarti bahwa neoliberalisme juga disebut institusionalisme liberal. Hal ini juga berarti bahwa pada
dasarnya bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan mereka sendiri tentang
bagaimana mereka akan menerapkan kebijakan tanpa organisasi-organisasi
internasional yang merintangi hak suatu bangsa atas kedaulatan. Neoliberalimse
juga mengandung suatu teori ekonomi yang didasarkan pada penggunaan pasarpasar yang terbuka dan bebas dengan hanya sedikit, jika memang ada, intervensi
pemerintah
untuk
mencegah
terbentuknya
monopoli
dan
bentuk-bentuk
konglomerasi yang lain. Keadaan saling tergantung satu sama lain yang terus
meningkat selama dan sesudah Perang Dingin menyebabkan neoliberalisme
Hal. 50
didefinisikan sebagai institusionalisme, bagian baru teori ini dikemukakan oleh
Robert Keohane dan juga Joseph Nye.
5. Teori Rejim
Teori rejim berasal dari tradisi liberal yang berargumen bahwa berbagai institusi atau
rejim
internasional
mempengaruhi
perilaku
negara-negara
(maupun
aktor
internasional yang lain). Teori ini mengasumsikan kerjasama bisa terjadi di dalam
sistem negara-negara anarki. Bila dilihat dari definisinya sendiri, rejim adalah contoh
dari kerjasama internasional. Sementara realisme memprediksikan konflik akan
menjadi norma dalam hubungan internasional, para teoritisi rejim menyatakan
kerjasama tetap ada dalam situasi anarki sekalipun. Seringkali mereka menyebutkan
kerjasama di bidang perdagangan, hak asasi manusia, dan keamanan bersama di
antara isu-isu lainnya. Contoh-contoh kerjasama tadilah yang dimaksud dengan
rejim. Definisi rejim yang paling lazim dipakai datang dari Stephen Krasner. Krasner
mendefinisikan rejim sebagai “institusi yang memiliki sejumlah Norma, aturan yang
tegas, dan prosedur yang memfasilitasi sebuah pemusatan berbagai harapan. Tapi
tidak semua pendekatan teori rejim berbasis pada liberal atau neoliberal; beberapa
pendukung realis seperi Joseph Greico telah mengembangkan sejumlah teori
cangkokan yang membawa sebuah pendekatan berbasis realis ke teori yang
berdasarkan pada liberal ini. (Kerjasama menurut kelompok realis bukannya tidak
pernah terjadi, hanya saja kerjasama bukanlah norma; kerjasama merupakan
sebuah perbedaan derajat).
TEORI-TEORI PASCA-POSITIVIS/REFLEKTIVIS
1. Teori masyarakat internasional (Aliran pemikiran Inggris)
Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Pemikiran Inggris, berfokus pada
berbagai norma dan nilai yang sama-sama dimiliki oleh negara-negara dan
bagaimana norma-norma dan nilai-nlai tersebut mengatur hubungan internasional.
Contoh norma-norma seperti itu mencakup diplomasi, tatanan, hukum internasional.
Tidak seperti neo-realisme, teori ini tidak selalu positivis. Para teoritisi teori ini telah
berfokus terutama pada intervensi kemanusiaan, dan dibagi kembali antara para
solidaris, yang cenderung lebih menyokong intervensi kemanusiaan, dan para
pluralis, yang lebih menekankan tatanan dan kedaulatan, Nicholas Wheeler adalah
seorang solidaris terkemuka, sementara Hedley Bull mungkin merupakan pluraris
yang paling dikenal.
Hal. 51
2. Konstruktivisme Sosial
Kontrukstivisme Sosial mencakup rentang luas teori yang bertujuan menangani
berbagai pertanyaan tentang ontologi, seperti perdebatan tentang lembaga (agency)
dan Struktur, serta pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi, seperti perdebatan
tentang “materi/ide” yang menaruh perhatian terhadap peranan relatif kekuatankekuatan materi versus ide-ide. Konstruktivisme bukan merupakan teori HI, sebagai
contoh dalam hal neo-realisme, tetapi sebaliknya merupakan teori sosial.
Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi apa yang disebut oleh Hopf (1998)
sebagai konstruktivisme “konvensional” dan “kritis”. Hal yang terdapat dalam semua
variasi konstruktivisme adalah minat terhadap peran yang dimiliki oleh kekuatankekuatan ide. Pakar konstruktivisme yang paling terkenal, Alexander Wendt menulis
pada 1992 tentang Organisasi Internasional (kemudian diikuti oleh suatu buku,
Social Theory of International Politics 1999), “anarki adalah hal yang diciptakan oleh
negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur
anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi
negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi
dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional
didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati
(diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”) maka sistem tersebut akan
dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai
dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki
menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek
yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut
pendapat para pakar HI non-realis, Namun, banyak kritikus yang muncul dari kedua
sisi pembagian epistemologis tersebut. Para pendukung pasca-positivis mengatakan
bahwa
fokus
terhadap
negara
dengan
mengorbankan
etnisitas/ras/jender
menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis yang lain. Penggunaan
teori pilihan rasional secara implisit oleh Wendt juga telah menimbulkan pelbagai
kritik
dari
para
pakar
seperti
Steven
Smith.
Para
pakar
positivis
(neo-
liberalisme/realisme) berpendapat bahwa teori tersebut selalu mengenyampingkan
terlalu banyak asumsi positivis untuk dapat dianggap sebagai teori positivis.
3. Teori Kritis
(Artikel utama: Teori hubungan internasional kritis) Teori hubungan internasional
kritis adalah penerapan “teori kritis” dalam hubungan internasional. Pada pendukung
Hal. 52
seperti Andrew Linklater, Robert W. Cox, dan Ken Booth berfokus pada kebutuhan
terhadap emansipansi (kebebasan) manusia dari Negara-negara. Dengan demikian,
adalah teori ini bersifat “kritis” terhadap teori-teori HI “mainstream” yang cenderung
berpusat pada negara (state-centric). Catatan: Daftar teori ini sama sekali tidak
menyebutkan seluruh teori HI yang ada. Masih ada teori-teori lain misalnya
fungsionalisme, neofungsionalisme, feminisme, dan teori dependen.
4. Marxisme
Teori Marxis dan teori Neo-Marxis dalam HI menolak pandangan realis/liberal
tentang konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek
ekonomi dan materi. Marxisme membuat asumsi bahwa ekonomi lebih penting
daripada persoalan-persoalan yang lain; sehingga memungkinkan bagi peningkatan
kelas sebagai fokus studi. Para pendukung Marxis memandang sistem internasional
sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital).
Dengan demikian, periode kolonialisme membawa masuk pelbagai sumber daya
untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk
ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk pelbagai kesempatan baru dalam
bentuk dependensi (ketergantungan). Berkaitan dengan teori-teori Marx adalah teori
dependensi yang berargumen bahwa negara-negara maju, dalam usaha mereka
untuk mencapai kekuasaan, menembus negara-negara berkembang lewat penasihat
politik, misionaris, pakar, dan perusahaan multinasional untuk mengintegrasikan
negara-negara berkembang tersebut ke dalam sistem kapitalis terintegrasi untuk
mendapatkan sumber-sumber daya alam dan meningkatkan dependensi negaranegara berkembang terhadap negara-negara maju. Teori-teori Marxis kurang
mendapatkan perhatian di Amerika Serikat di mana tidak ada partai sosialis yang
signifikan. Teori-teori ini lebih lazim di pelbagai bagian Eropa dan merupakan salah
satu kontribusi teoritis yang paling penting bagi dunia akademis Amerika Latin,
sebagai contoh lewat teologi.
TEORI-TEORI PASCASTRUKTURALIS
Teori-teori pascastrukturalis dalam HI berkembang pada 1980-an dari studi-studi
pascamodernis dalam ilmu politik. Pasca-strukturalisme mengeksplorasi dekonstruksi
konsep-konsep yang secara tradisional tidak problematis dalam HI, seperti
kekuasaan dan agensi dan meneliti bagaimana pengkonstruksian konsep-konsep ini
membentuk
hubungan-hubungan
internasional.
Penelitian
terhadap
“narasi”
Hal. 53
memainkan peran yang penting dalam analisis pascastrukturalis, sebagai contoh
studi pascastrukturalis feminis telah meneliti peran yang dimainkan oleh “kaum
wanita” dalam masyarakat global dan bagaimana kaum wanita dikonstruksi dalam
perang sebagai “tanpa dosa” (innocent) dan “warga sipil”. Contoh-contoh riset pascapositivis mencakup: Pelbagai bentuk feminisme (perang “gender” war—“gendering”
war) Pascakolonialisme (tantangan-tantangan dari sentrisme Eropa dalam HI)
Hal. 54
Download