perspektif liberalisme dengan studi hubungan internasional

advertisement
PERSPEKTIF LIBERALISME DALAM STUDI HUBUNGAN
INTERNASIONAL
Di susun dalam rangka memenuhi tugas terstruktur mata kuliah hubungan
internasional
Kelompok 3
1. Ardika Wasis H
2. Cik ida Kumalasari A
3. Dinda Feby S
4. Enggar Niko P
5. Fachri Surya Nanda
6. Hafiz Alfiansyah I
7. M Ilham Mahardika
8. Whisnu Yudha Caretta
135030107111033
135030100111043
135030100111033
135030101111040
135030100111134
135030101111052
135030100111040
135030101111037
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
LATAR BELAKANG
Pemikiran liberal berangkat dari pemahaman bahwa kebebasan individu adalah hal
yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Secara sederhana, dapat diartikan bahwa
seseorang yang memiliki pandangan liberal adalah mereka yang mengejar kebebasan:
berpikir, berpendapat, berkarya, berkumpul dan berinteraksi. Kalangan liberal
mempercayai kebebasan yang diperoleh oleh individu dapat mendorong pada kemajuan
kualitas sautu individu. Namun, perdebatan muncul karena masih biasnya batasan-batasan
dari kebebasan yang dikehendaki oleh kalangan liberalisme.
Asumsi Dasar Liberalisme dalam HI
Liberalisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang secara
ontologis memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut. Pertama, pandangan positif
tentang sifat manusia, artinya dalam hukum alam sifat manusia adalah baik, rasional, dan
mampu bekerja sama. Kedua, keyakinan bahwa hubungan internasional lebih bersifat
kooperatif dari pada konfliktual. Ketiga, percaya akan kemajuan. Keempat, negara pada
hakikatnya dibentuk oleh manusia, oleh karena itu memiliki sifat dasar yang sama dengan
manusia (Jackson & Sorensen 2005:139).
Kaum liberal pada umumnya mengambil pandangan positif tentang sifat manusia.
Mereka meyakini bahwa akal pikiran manusia dan prinsip-prinsip rasional yang ada di
dalam masing-masing individu dapat dipakai pada masalah-masalah internasional. Kaum
liberal mengakui bahwa individu memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri
sendiri dan bersaing terhadap satu hal. Di sisi lain, mereka mempercayai bahwa individuindividu memiliki banyak kepentingan dan dengan demikian dapat terlibat dalam berbagai
aksi sosial yang kooperatif dan kolabiratif, baik domestik atau internasional, yang dapat
memberikan manfaat besar bagi setiap orang baik di dalam negeri maupun di luar negeri
(Jackson & Sorensen 2005:141).
Pemikiran liberal dalam studi HI sangat erat kaitannya dengan munculnya negara
liberal modern. Filsuf liberal, dimulai dari John Locke di abad ketujuhbelas, melihat potensi
yang besar bagi kemajuan manusia dalam civil society dan perekonomian kapitalis modern,
keduanya dapat berkembang dalam negara-negara yang menjamin kebebasan individu.
Modernitas membentuk kehidupan yang baru dan lebih baik, bebas dari pemerintahan yang
otoriter dan dengan tingkat kesejahteraan yang jauh lebih tinggi. Ketika semua negara
menerapakan prinsip ini, John Locke meyakini bahwa negara-negara itu akan saling
menghargai dan saling mempercayai satu sama lain (Jackson & Sorensen 2005:140).
PERSPEKTIF LIBERALISME DENGAN STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Dalam studi Hubungan Internasional telah dijelaskan, bahwa memiliki banyak
perspektif yang digunakan sebagai alat untuk mencari sebuah preposisi untuk menganalisis
sebuah permasalahan. Liberalisme adalah salah satu perspektif yang paling tua dalam
perkembangan studi ini disamping perspektif Realisme sebagai rival utamanya. Jika
sebelumnya perspektif Realisme berpandangan dengan asumsi dasar bahwa manusia pada
dasarnya jahat serta Homo Homini Lupus, atau manusia adalah serigala bagi manusia yang
lainnya. Serta , manusia adalah egois dan akan mencapai segala keinginannya apapun caranya,
termasuk tanpa harus mempertimbangkan nilai moralitas Internasional. Kemudian berorientasi
pada power dalam mencapai kepentingannya dengan berperang sebagai ‘pemukul’ utama.
Berbicara mengenai perspektif Liberalisme memang tidak pernah lepas dari rival abadinya,
yaitu perspektif Realisme (Dugis, 2013). Perspektif ini pula mencoba untuk menjelaskan
essensi dari studi Hubungan Internasional yang berdasarkan sebuah optimisme. Berdasarkan
Robert Jackson dan Georg Sorensen (2005: 140), tradisi Liberalisme dalam studi Hubungan
Internasional sendiri muncul pada sekitar abad ketujuhbelas, dipelopori oleh John Locke di
Amerika Serikat yang mana baru saja merdeka dari jajahan Britania Raya. Dengan
mempertimbangkan perkembangan civil society serta kebebasan individu yang mulai
berkembang bersamaan dengan kapitalisme modern (Jackson&Sorensen, 2009). Revolusi
Industri turut berperan pula dengan perkembangan Liberalisme itu sendiri. Manusia semakin
menyadari bahwa ia memiliki banyak kepentingan dengan sumber-sumber terbatas, dan
membutuhkan bantuan manusia yang lain untuk mencapai kepentingan yang dia inginkan.
Perspektif Liberalisme menjadi seperti halnya konsolidasi kepentingan setiap aktor yang
berkepentingan didalamnya.
Sebagai perumpamaan, Negara A memiliki kepentingan mengisi cadangan devisa negaranya
untuk pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan batubara dan minyak bumi sebagai
komoditas utamanya untuk diekspor, dan masih sedikit ilmuwan yang berkompeten dibidang
pembangunan. Sedangkan Negara B, perindustrian negaranya berkembang dengan pesat dan
memiliki pelabuhan besar, sehingga membutuhkan pasokan energi yang mencukupi, dalam hal
ini khusunya batubara, akan tetapi ia tidak memiliki cukup sumber daya batu baranya. Negara
C memiliki banyak sekali ilmuwan sehingga kurang mampu untuk memperkerjakan seluruh
ilmuwannya sehingga membutuhkan Negara yang sedang membangun, serta aksestabilitas
Negara C kurang dalam hal ekspor impor karena membutuhkan pelabuhan besar sedangkan
Negara C berupa daratan penuh dan tidak memiliki pelabuhan. Bisa dilihat dari perbedaan
kepentingan antar negara A, B, dan C maka, Negara A, B , dan C melakukan konsolidasi
dengan bekerja sama demi mencapai kepentingan Negaranya. Kerjasama ini dapat berwujud
sebuah organisasi Internasional antar-pemerintah yang mengakomodir berbagai kepentingan
setiap negara anggotanya dengan kesepakatan yang disetujui oleh para anggotanya. Negara A,
menjual Batubara ke Negara B, Negara A mendapat pemasukan untuk tambahan devisanya dan
Negara B memperoleh sokongan energi. Negara C menawarkan diri untuk membantu
bekerjasama untuk pembangunan infrastruktur di Negara A, dengan mempekerjakan ilmuwan
Negara C ke Negara A. Sekaligus Negara C menawarkan diri untuk bekerjasama dengan
Negara B untuk akses bersama pelabuhan dengan imbalan bantuan para ilmuwan dari
negaranya dalam pengembangan industrinya dan bagi hasil.
Dengan kepentingan yang berbeda-beda, dan dengan kepemilikan sumber-sumber yang
berbeda pula mendorong setiap negara untuk melakukan sebuah kerjasama yang saling
menguntungkan satu-sama lain. Oleh karena itu para penganut perspektif Liberalisme ini
tidaklah menyiapkan diri untuk berperang, akan tetapi lebih menyiapkan strategi untk
bagaimana bekerjasama dan berkompetisi dengan cara-cara yang lebih ‘beradab’. Menurut
Rober Jackson dan R. Sorensen (2009: 139) ada 3 asumsi dasar kaum Liberalis dalam
memahami Hubungan Internasional, diantaranya (1) pandangan posotif dan optimisme
terhadap manusia; (2) keyakinan bahwa Hubungan Interansional lebih bersifat kooperatif
daripada konfliktual; (3) kepercayaan yang tinggi terhadap kemajuan. Menurut John Locke
(Jackson&Sorensen, 2009: 142) Kemajuan bagi kaum Liberal adalah kemajuan bagi para
individu untuk meraih kebebasan serta kebahagiaan, dalam menjalani kehidupan tanpa
intervensi dari Negara. Negara hanya berperan mengamankan dan menjamin kepentingan
setiap individu yang hidup didalamnya. Tentu saja kembali membandingakn dengan perspektif
Realis hal ini sangatlah bertentangan dengan Realis yang menyatakan bahwa kekuasaasn
sepenuhnya berada ditangan Negara sebagai sebuah Anarchy.
Perspektif Liberalisme menjadi dominan setelah pecahnya perang dunia pertama, dimana
muncul suatu rasa trauma serta kesedihan yang mendalam yang diakibatkan oleh peperangan.
baik berupa harta , maupun nyawa. Perang merupakan sesuatu yang termat sangat mengerikan
bagi umat manusia, dan khususnya bagi tentara-tentara muda yang dikenakan wajib militer dan
terbantai berjuta-juta, terutama dalam peperangan parit di garis depan pihak Barat (Gillbert
1995: 258 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 46). Liberalisme awal ini disebut dengan
Liberalisme ‘Utopian’. Tokoh terkenalnya adalah presiden Woodrow Wilson dari Amerika
Serikat yang terkenal dengan “Empatbelas poin perdamaian Wilson”. Liberalisme
menginginkan seluruh negara yang ada didunia untuk menganut paham demokrasi, dengan
begitu akan semakin memperkecil nafsu dari sistem otokratisnya untuk berperang serta
melakukan ekspansi terhadap negara lain. Dengan menyatukan kesepahaman tersebut maka
lebih menjamin tercegahnya perang-perang besar yang lain (Jackson&Sorensen, 2009: 48).
Wilson menganalogikan bahwa negara-negara yang ada di dunia bagaikan binatang ‘buas’ dan
sistem politik internasional adalah sebuah hutan belantara. Wilson berkeyakinan bahwa
binatang-binatang yang buas tersebut mampu untuk ‘diikat’ melalui sebuah perjanjian
internasional dan dimasukkan kedalam sebuah ‘kandang’ serta dengan kontrol organisasi
internasional yang berperan sebagai ‘kebun binatang’, pernyataannya ini mengingatkan akan
tokoh Liberalisme klasik pula Immanuel Kant dengan bukunya yang berjudul “Perpetual
Peace”, yang hirau akan peranan organisasi internasional (Jackson&Sorensen, 2009: 50).
Tokoh Liberalis Utopian lainnya adalah Norman Angell dengan karyanya yang berjudul “The
Great Illussion” pada 1909. Pemikirannya yaitu tentang betapa mahalnya kecerobohan suatu
negara untuk menduduki negara lain melalui sebuah jalan peperangan. Di era modern sebuah
penaklukan harus dibayar mahal secara politis. Perang hanya akan mengganggu jalannya
perdagangan Internasional dengan dunia yang semakin mengalami sebuah interdependensi
yang mana akan mengabaikan peperangan dan unjuk kekuatan sebagai sarana untuk mencapai
sebuah kepentingan (Jackson&Sorensen, 2009: 50-51). Membahas nama dari Liberalisme
Utopian, dinamakan demikian karena Liga Bangsa-bangsa yang didirikan oleh Wilson telah
gagal dalam ‘mengurung’ negara yang ‘buas’ dalam sebuah kurungan organisasi Internasional.
Hewan yang buas tidak akan mau dengan semudah itu untuk dimasukkan kedalam sebuah
kandang. Negara yang buas akan berontak dan melawan. (E.H Carr, 1939 dalam
Jackson&Sorensen, 2009). Hal ini ditunjukkan dengan invasi Jerman yang notabene kalah pada
perang dunia pertama, kepada Polandia. Hingga akhirnya Liberalisme klasik ini pun mendapat
kekalahan mutlak dari penganut paham Realisme setelah Perang Dunia 2 pecah. Ditambah
pemikiran kaum Liberal begitu Idealis sehinga sulit untuk diwujudkan secara sempurna.
Setelah selesainya perang dunia kedua, perspektif Liberalisme terbagi menjadi empat aliran.
Liberalisme sosiologis, Liberalisme interdependensi, Liberalisme institusional, dan yang
terakhir Liberalisme republikan (Nye 1988: 246; Keohane 1989: 11; Zacher dan Matthew
1995: 121 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 143). Pertama, mengenai Liberalisme Sosiologis,
dimana kaum ini menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam Hubungan Internasional tidak
hanya antara Pemerintah dan Negara berdaulat, melainkan masyarakat turut memiliki peranan
penting didalamnya atau terletak pula pada aktor transnasional yang hidup dan salin
berinteraksi antar negara yang berbeda. James Rosenau mendefinisikan Liberalisme Sosiologi
sebagai berikut “proses dimana hubungan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah
telah disertai hubungan individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakt-masyarakat
swasta yang dapat memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi berlangsungnya suatu
peristiwa” (Rosenau 1980: 1 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 144).
Bahkan pandangan terhadap hubungan internasional lebih terfokus kepada rakyat maupun
individu yang hidup dalam suatu negara, karena individu dinilai lebih memiliki sifat kooperatif
dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian daripada negara. Seperti halnya yang diucapkan
Richard Cobden, semakin kecil keterlibatan diantara pemerintah, semakin banyak hubungan
antara bangsa-bangsa di dunia” (Cobden 1903: 216; Taylor 1957: 49 dalam Jackson&Sorensen,
2009: 144). Yang terkenal adalah pemikiran dari John Burton (1972) mengenai konsep “jaring
laba-laba” dimana didunia ini banyak kelompok kepentingan yang saling tumpang tindih anatar
satu dengan yang lain bahkan didalam sutau negara sekalipun. Tumpang tindih inilah yang
membuat dorongan untuk bekerjasama tanpa melihat batas negara yang semu. Sebab utamanya
adalah karena setiap individu adalah anggota dari banyak kelompok yang berbeda
(Jackson&Sorensen, 2009: 145). Konsep jaring laba-laba yang kompleks menyebabkan lebih
eratnya suatu kerjasama, apabila satu saja benang terputus maka akan mengganggu jalannya
kepentingan kelompok yang lain. Sebagai contoh dari Liberalisme Sosiologis ini adalah adanya
organisasi WWF, Green Peace, Amnesti Internasional, dan masih banyak lagi. Kemudian
Liberalisme Interdependensi, dimana asumsi dasar dari penganut teori ini adalah terfokus pada
Perdagangan Internasional. Negara-negara industrialis cenderung lebih mementingkan
kerjasama mengenai sumber-sumber yang mampu diolah secara bersama-sama dalam mecapai
sebuah kesejahteraan. Sebagai contoh adalah adanya kerjasama kawasan perdagangan bebas di
ASEAN atau yang disebut dengan ASEAN Free Trade Area, yang telah disepakati dan
dilaksanakan pada tahun 1993 (ASEAN Selayang Pandang edisi ke-20, 2012: 33).
Untuk selanjutnya adalah Liberalisme Institusional, perspektif ini lebih menekankan kepada
adanya suatu Institusi Internasional yang mengaur jalnnya pola perilaku aktor-akator yang
berperan dalam Hubungan Internasional. Institusi Internasional lebih dari sekedar ciptaan
negara kuat. mereka merupakan kepentingan yang independen, dan mereka dapat memajukan
kerjasama antara negara-negara (Keohane1989; Young 1989; Rittberger 1993; Levy et. al
dalam Jackson&Sorensen, 2009: 154). Sebagai contoh kasus adalah didirikannya ASEAN di
kawasan Asia Tenggara yang dilatar belakangi oleh kegagalan-kegagalan organisasi kerjasama
regional dimasa lalu karena berbagai konflik kepentingan sehingga mendorong negara-negara
yang berada di kawasan ASEAN untuk kembali membangun kerjasama serta stabilitas
kawasan. Sehingga resmi mulai Deklarasi Bangkok yang ditandatangani pada tanggal 8
Agusutus 1967 (ASEAN Selayang Pandang edisi ke-20, 2012: 1-2). Terakhir adalah
pandangan mengenai Liberalisme Republikan yang mana menekankan kepada nilai-nilai
demokrasi. Negara-negara yang menganut paham demokrasi kecil kemungkinannya terlibat
konflik dengan negara demokrasi lainnya. Menurut Michael Doyle (1983; 1986) melihat ada
tiga elemen dasar kondisi negara-negara demokrasi liberal, yaitu Norma Demokratis
atasresolusi damai, Hubungan Damai antara negara-negara demokratis, berdasarkan
ataslandasan yang sama, dan yang ketiga adalah kerjasama ekonomi antara negara-negara
demokrasi: hubungan Interdependensi.
Jadi Kesimpulannya adalah bahwa perspektif Liberalisme adalah sebuah perspektif yang
memiliki pandangan lain terhadap manusia yang bertentangan denga perspektif Realisme.
Apabila Perspektif Realisme menyatakan bahwa manusia pada dasrnya adalah jahat, maka
perspektif liberalisme menyatakan bahwa tidak selamanya manusia adalah jahat. Manusia pun
pada dasrnya memiliki sifat yang kooperatif dan mampu bekerjasama. Jika perspektif realisme
menekankan pada power untuk mencapai kepentingan dan perdamaian maka perspektif
liberalisme menekankan pada interdepensi antar negara serta sifat kerjasamalah yang membuat
setiap negara akan berpikir ulang untuk berkonflik dengan negara lain mengingat kondisi
dimana saling membutuhkan satu sama lain. Liberalisme ini sebelumnya dikenal dengan
Liberalisme Utopian. tokoh yang terkenal adalah presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson
dengan empat belas poin perdamaian Wilson. Mengapa disebut Utopian, kaena isi dari
perjanjian perdamaian serta idealisme Wilson terlalu sulit untuk di aplikasikkan di kehidupan
yang sesungguhnya, sehingga tampak hanya seperti mimpi belaka. Terlebih setelah pecahnya
perang dunia kedua yang menyebabkan Liberalisme ini seakan ‘habis’ karena telah dianggap
gagal oleh kaum realis dalam memahami essensi Hubunga Internasional yang sesungguhnya.
Setelah Perang Dunia kedua berakhir, Liberalisme terbagi menjadi empat. Yaitu Liberalisme
Sosiologis yang menekankan mengenai peranan masyarakat global, lalu Liberalisme
Interdependensi yang menekankan pada perdagangan serta kerjasama pengolahan sumbersumber yanga ada. Dilanjutkan dengan Liberalisme Institusional, yang mengingatkan kepada
Immanuel Kant akan pentiganya sebuah Institusi Internasional yang mengatur jalannya aktoraktor yang berpartisipasi dalam sistem politik internasional. Terakhir adalah Liberalisme
Republikan dimana penekanan utama adalah pada pemahaman terhadap nilai-nilai demokrasi
yang sesungguhnya. Nilai-nilai demokrasi membuat negara-negara yang menganutnya
engggan untuk melakukan konflik dengan negara demokrasi yang lain. Meskipun pada
kenyataannya negara demokrasi pun tidaklah luput dari peperangan yang juga tidak kalah
banyaknya dibandingkan negar yang tidak menganut sitem demokrasi tersebut.
Aliran Pemikiran dalam Liberalisme terbagi menjadi 4 :

Liberalisme Sosiologis
Liberalisme sosiologi menganggap hubungan transnasional merupakan aspek hubungan
internasional yang penting. James Rosenau (1980) mengatakan bahwa hubungan transnasional
merupakan suatu proses di mana hubungan internasional dilaksanakan oleh pemerintah yang
disertai juga oleh adanya hubungan antar-individu, antar-kelompok, dan antar-masyarakat
swasta yang dapat dan memiliki konsekuensi penting bagi berlangsungnya berbagai peristiwa.
Richard Cobden menambahkan bahwa dengan semakin kecilnya keterlibatan pemerintah akan
akan menyebabkan semakin meningkatnya hubungan antar-bangsa di dunia. Konferensi
kepemudaan seperti International Youth Conference adalah bentuk transnasionalisme antar
individu yang berhasil mempertemukan pemuda-pemuda potensial dari berbagai bangsa untuk
membicarakan solusi dari berbagai macam isu internasional kontemporer.

Liberalisme Interdependensi
Liberalisme interdependensi beranggapan bahwa perekonomian internasional
yang
meningkatkan interdependensi antar-negara akan menekan dan mengurangi konflik kekerasan
antar-negara (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 148). David Mitrany (1966)
berpendapat bahwa semakin besarnya tingkat interdependensi dalam hubungan internasional
akan semakin mewujudkan perdamaian. Dalam interdependensi, aktor-aktor transnasional
semakin penting, kekuatan militer merupakan instrumen yang kurang berguna, dan
kesejahteraan menjadi tujuan utama bagi negara-negara. Proses integrasi dan interdependensi
yang terjadi di dalamnya adalah cara untuk membentuk hubungan antar negara dan
mewujudkan perdamaian. Itulah yang terjadi pada Uni Eropa, salah satu kawasan yang
sebelumnya memiliki sejarah konflik yang panjang namun telah bergerak pada stabilitas politik
serta kerjasama ekonomi yang kuat dan membawa pada pertumbuhan secara signifikan di
kawasan (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 149).

Liberalisme Institusional
Dalam Liberalisme institusional adanya institusi internasional mampu mendorong dan
memajukan kerjasama di antara negara-negara. Adanya organisasi internasional mampu
menjadi seperangkat aturan yang mengatur tindakan negara. Dengan adanya institusi
internasional akan membantu mengurangi rasa saling curiga antara negara yang satu dengan
negara yang lain (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 155). Rezim-rezim internasional
seperti, WTO (World Trade Organization) atau organisasi regional seperti Uni Eropa dan
ASEAN, telah secara inheren menciptakan iklim kerjasama dalam begitu banyak bidang.

Liberalisme Republikan
Liberalisme republikan menekankan nilai pentingnya demokrasi dalam hubungan
internasional. Liberalisme republikan berpendapat bahwa negara demokrasi merupakan negara
yang patuh pada hukum dan bersifat lebih damai. Hal tersebut kemudian tidak berarti negara
demokrasi tidak pernah berperang sama sekali. Negara demokrasi tidak berperang dengan
negara demokrasi lainnya. Liberalis republikan berpendapat bahwa perdamaian dan kerjasama
akan dapat berlangsung dalam hubungan internasional apabila didorong pula dengan adanya
kemajuan menuju dunia yang lebih demokratis (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 159).
Kelebihan

Liberalisme dapat menjelaskan aspek non negara sebagai aktor hubungan internasional.
Individu ditambah berbagai macam kolektifitas individu menjadi suatu fokus analisis:
yang menjadi paling utama adalah negara, tetapi juga perusahaan, organisasi dan
asosiasi. Kaum liberal menegaskan bahwa tidak hanya konflik yang ada dalam masalah
internasional, tetapi juga kerjasama dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan
(Robert Jackson & Georg Sorensen, 2005: 176).

Kalangan liberal memiliki pandangan optimistis: ketika manusia melakukan kerjasama
maka bukan hanya situasi menguntungkan yang didapat, tetapi juga dapat membawa
kondisi ketergantungan dan meminimalisir perang. Ini yang sebenarnya juga dapat
membawa hubungan internasional ke arah yang lebih baik. (Robert Jackson & Georg
Sorensen, 2005: 177).

Menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan demokrasi yang merupakan kebutuhan dasar
dari setiap manusia.
Kelemahan

Sikap positif dan kooperatif sering membawa pada situasi yang kurang
menguntungkan: menjadi pihak yang dirugikan karena regulasi-regulasi yang
dihasilkan saat berusaha aktif tergabung di dalam suatu rezim internasional. Seperti
negara-negara berkembang yang kalah bersaing dengan negara-negara maju dalam
kerjasama dagang WTO.

Pendapat liberalisme republikan mengenai negara demokrasi merupakan negara yang
patuh pada hukum dan bersifat lebih damai seakan terbantahkan jika melihat masih
rentannya kecurigaan di antara negara yang sama-sama demokratis sekalipun: seperti
penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah Australia pada Indonesia. Atau isu
penyadapan pemerintah Amerika Serikat pada warganya sendiri adalah bukti besarnya
kecurigaan di dalam negara demokratis yang sulit diterima akal sehat.

Adanya anomali dalam upaya demokratisasi melalui peperangan: jika kalangan
liberalis berpandangan bahwa demokrasi akan membawa dunia pada situasi damai,
menjadi paradoksal ketika peperangan dijadikan upaya memaksakan kehendak melalui
justifikasi demokratisasi. Kalangan liberal harus memikirkan cara-cara yang lebih
damai dalam upaya demokratisasi untuk menyempurnakan teorinya.
STUDI KASUS : KONFLIK LAUT CHINA SELATAN
Pada Maret 2009, Pentagon melaporkan bahwa terdapat kapal milik China yang mengganggu
kapal pengawasan dari United States Naval Ship (USNS) yang melintas di Laut China Selatan.
Pada tanggal 26 Mei 2011 muncul pertikaian antara kapal Vietnam dengan tiga kapal marinir
patroli China karena pemotongan kabel kapal. April 2012, kapal perang Filipina yang bernama
Gregorio del Pilar bertikai dengan dua kapal pengawas China di kawasan Scarborough, yang
diakui sebagai teritori kedua negara. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tersebut merupakan
bagian dari sebuah peristiwa besar yang dikenal sebagai Konflik Laut China Selatan.
Konflik Laut China Selatan adalah konflik perbatasan yang melibatkan lima negara yang terdiri
dari China, Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei. Konflik ini bermula di tahun 1992 ketika
China yang pada waktu itu kekuatan ekonomi dan militernya mulai menanjak naik tiba-tiba
mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan sebagai wilayah teritorinya.
Permasalahan pun muncul karena empat negara lainnya, yakni Vietnam, Philipina, Malaysia,
dan Brunei merasa bahwa wilayah yang diklaim oleh China merupakan teritori mereka juga.
Permasalahan kemudian menjadi semakin parah karena Laut China Selatan merupakan jalur
perdagangan internasional yang strategis, sehingga negara-negara di luar kawasan tersebut,
seperti Amerika Serikat, memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan di Laut China
Selatan. Keadaan ini menunjukkan bahwa telah terjadi benturan kepentingan nasional dari
negara-negara yang terlibat dalam Konflik Laut China Selatan.
Pada dasarnya, benturan kepentingan merupakan sesuatu hal yang biasa terjadi dalam sistem
internasional anarkis. Sebab dalam sistem yang anarkis, tidak ada satu kekuatan besar yang
dapat mengkoordinir semua aktor yang berinteraksi di dalamnya. Ilmu Hubungan Internasional
selalu berusaha untuk memahami situasi tersebut melalui teori-teorinya. Salah satu teori paling
awal yang digunakan sarjana Hubungan Internasional untuk menjelaskan dan memberikan
solusi bagi situasi seperti yang terjadi dalam Konflik Laut China Selatan adalah Teori
Liberalisme.
Tulisan ini merupakan tulisan deskriptif yang akan menjelaskan bagaimana Liberalisme
memandang konflik Laut China Selatan. Untuk melakukannya, penulis akan menjelaskan
terlebih dahulu asumsi dasar dari teori Liberalisme terhadap situasi konflik di tingkat
internasional. Setelah itu, penulis akan menjelaskan mengenai Konflik Laut China Selatan
tersebut menggunakan asumsi dasar teori Liberalisme.
Asumsi Dasar Liberalisme
Liberalisme menyadari bahwa sistem internasional dimana negara-negara saling berinteraksi
merupakan sebuah sistem yang anarkis. Namun, Liberalisme tidak mau menerima keadaan itu
begitu saja. Mereka percaya, bahwa harus ada usaha yang dilakukan untuk membuat dunia
menjadi lebih tidak anarkis. Hal ini penting karena mereka beranggapan bahwa dunia yang
tidak anarkis akan memungkinkan adanya kerjasama di antara negara-negara. Kerjasama
penting karena mereka percaya bahwa hanya melalui kerjasamalah semua pihak akan merasa
mendapat manfaat yang maksimal. Selain itu, kerjasama di antara negara sangatlah relevan
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, perang bagi mereka bukanlah sebuah opsi
karena hanya memberikan keuntungan bagi salah satu pihak dan mendegradasi nilai-nilai
kemanusiaan.
Dalam memandang negara, Liberalisme memiliki asumsi bahwa setiap negara pada dasarnya
adalah baik. Bahwa setiap negara pada dasarnya memiliki keinginan untuk hidup dengan damai
dan tenteram bersama negara-negara lainnya. Kendati demikian, negara tetap tidak dapat
mewujudkan keinginannya karena adanya rasa tidak percaya terhadap negara lainnya, sehingga
sering terjadi konflik di antara negara karena kesalahpahaman. Dengan berlandaskan pada
asumsi tersebut, Liberalisme berargumen bahwa solusi untuk mengurangi keanarkisan dunia
adalah dengan meningkatkan rasa saling percaya di antara negara.
Untuk meningkatkan rasa saling percaya, Liberalisme percaya bahwa dibutuhkan suatu
institusi yang bersifat legal formal, namun tidak mengikat anggotanya yang mana merupakan
negara. Institusi tersebut harus mampu menciptakan sebuah hukum yang pembuatannya
dilandasi oleh kepentingan dan pandangan seluruh anggotanya. Dengan begitu, negara-negara
pun akan mematuhi hukum yang dibuat dengan sukarela. Ide inilah yang kemudian membuat
terciptanya organisasi internasional yang bernama LBB dan PBB.
Pada prakteknya, Liberalisme menempatkan organisasi internasional sebagai aktor yang paling
penting dalam sistem internasional. Hal ini tercermin dari bagaimana mereka percaya
organisasi internasional dapat menjadi sarana untuk melakukan komunikasi di antara negaranegara sehingga rasa saling percaya dapat tumbuh. Selain itu, mereka juga percaya bahwa
hukum internasional yang dibuat oleh organisasi internasional dapat dijadikan landasan utama
seandainya terjadi suatu konflik di antara negara-negara yang bertikai.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga asumsi dasar dari Liberalisme:
(1) Penekanan pada kerjasama antarnegara; (2) Pandangan positif terhadap sifat alamiah
negara; (3) Kepercayaan penuh terhadap fungsi dari organisasi dan hukum internasional.
Konflik Laut China Selatanm Kerangka Berpikir Liberalisme
Pada dasarnya, Konflik Laut China Selatan merupakan benturan kepentingan antara lima
negara: China, Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei. Benturan kepentingan terjadi karena
adanya sumber daya yang melimpah di area Laut China Selatan dan fakta bahwa area tersebut
merupakan jalur perdagangan internasional yang strategis. Liberalisme tidak akan mengelak
bahwa terjadinya benturan kepentingan dalam situasi seperti itu adalah sesuatu hal yang wajar
jika terjadi. Namun, Liberalisme tidak akan dapat mentolerir aksi China yang kemudian
menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi benturan kepentingan tersebut. Secara
normatif, Liberalisme akan mengatakan bahwa China seharusnya mengedepankan dialog
dengan empat negara lain yang juga mengklaim wilayah Laut China Selatan. Dengan adanya
dialog, Liberalisme percaya bahwa gerbang menuju kerjasama yang menguntungkan semua
pihak akan terbuka.
Terhadap empat negara selain China, Liberalisme akan menekankan bahwa China tidak
memiliki niat jahat dalam hal klaim-nya terhadap Laut China Selatan. Liberalisme akan
berpendapat bahwa klaim China terhadap Laut China Selatan terjadi karena adanya
kesalahpahaman dari China yang tidak menyadari bahwa telah ada sebuah hukum internasional
yang mengatur batas-batas dari wilayah lautan sebuah negara secara tegas. Menghadapi China
yang seperti itu, Liberalisme akan menekankan bahwa tidak seharusnya Philipina, Vietnam,
Malaysia, dan Brunei menjadi berprasangka buruk dan kemudian ikut menggunakan
kekerasan. Sebaliknya mereka harus memulai proses dialog dengan China untuk
menyelesaikan segala kesalahpahaman yang telah terjadi. Oleh sebab itu, terkait usaha
Indonesia yang berusaha untuk mempersatukan Philipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia di
bawah ASEAN agar dapat melakukan proses dialog dengan China akan sangat didukung oleh
Liberalisme.
Sebagai solusi konkret, Liberalisme akan menyarankan negara-negara yang berkonflik untuk
membawa kasusnya ke Sidang Majelis Umum PBB agar seluruh dunia dapat memberikan
pendapatnya terkait konflik tersebut. Kemudian, untuk membuat sebuah keputusan yang
mengikat, maka negara-negara tersebut harus membawa kasusnya ke Mahkamah Internasional,
khususnya Mahkamah Internasional Kelautan, agar Konflik Laut China Selatan dapat
diselesaikan melalui jalur hukum. Dalam hal ini, United Nations Convention on Law of the
Sea (UNCLOS), yang mengatur mengenai pembagian batas tegas wilayah teritori kelautan
negara, dipandang Liberalisme sebagai instrumen yang paling objektif untuk menyelesaikan
Konflik Laut China Selatan. Melalui penilaian UNCLOS dan hasil persidangan, maka akan
ditemukan sebuah keputusan mengikat yang akan memberikan keuntungan bagi semua pihak.
Oleh sebab itu, Liberalisme akan sangat mendukung usaha Philipina yang bertekad untuk
membawa Konflik Laut China Selatan ke Mahkamah Internasional agar diselesaikan melalui
UNCLOS.
Dari pemaparan di atas dapat ditemukan tiga argumen utama yang akan diajukan Liberalisme
terkait Konflik Laut China Selatan: (1) China tidak seharusnya menggunakan kekerasan,
melainkan harus mengedepankan dialog dan kerjasama; (2) Negara-negara yang bertikai tidak
boleh berprasangka buruk kepada China dan harus mengedepankan dialog untuk
menyelesaikan kesalahpahaman; (3) Negara-negara yang berkonflik harus membawa kasus
tersebut ke tingkat PBB agar dapat ditemukan satu keputusan yang menguntungkan semua
pihak. dala
Kesimpulan
Dari semua asumsi dasar dan argument yang dimiliki oleh Liberalisme untuk menjelaskan
Konflik Laut China Selatan, dapat disimpulkan bahwa Liberalisme adalah sebuah pemikiran
yang sangat bertentangan dengan logika umum kebanyakan orang. Hal ini ditunjukkan dari
bagaimana mereka masih mengharapkan China untuk tidak menggunakan kekerasan
kendatipun mereka memang kuat secara militer atau dari bagaimana mereka bersikeras
mengatakan bahwa China tidak memiliki maksud jahat kendatipun mereka jelas-jelas
melakukan kekerasan.
Melalui kesimpulan ini, bukan berarti bahwa Liberalisme adalah sebuah pemikiran yang
berusaha lari dari kenyataan atau utopis menurut teori Realisme. Namun, Liberalisme adalah
sebuah pemikiran yang berusaha untuk mengubah status quo ke arah yang lebih baik
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini ditunjukkan dari bagaimana mereka pemikiran
mereka berusaha untuk membuat dunia menjadi lebih tidak anarkis, dimana negara-negara
dapat menyelesaikan segala sesuatunya melalui kerjasama atau hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Dugis, Vinsensio. 2013. Liberalisme. Materi dibahas dan didiskusikan pada kuliah
Teori Ilmu Hubungan Internasional, Departemen Hubungan Internasional, Universitas
Airlangga. 14 Maret 2013.

Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional
(terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.

Sekretariat Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN. 2012. ASEAN Selayang Pandang.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia.

Burchill, Scoot et. Al. 2005. Theories of International Relations (Third Edition). New
York: Palgrave Macmillan.

Jackson, Robert & Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.



Rekha Kersana adalah mahasiswa pascasarjana Hubungan Internasional di
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Download