Teori Strukturalisme Genetik “PIERRE BOURDIEU” Pierre Bourdieu

advertisement
Teori Strukturalisme Genetik “PIERRE BOURDIEU”
Pierre Bourdieu adalah seorang ahli filsafat dan ahli sosiologi yang
memiliki kedudukan penting dalam sosiologi Prancis. Bourdieu lahir pada tahun
1930 di Denguin, Pyrenia Atlantik sebuah kota kecil selatan Prancis, lahir dari
keluarga menegah ke bawah. Ayah Bourdieu adalah seorang pegawai pos.
Pemikiran-pemikiran Bourdieu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya di
Prancis. Dimana pada saat itu terjadi ketidakadilan dalam bidang pendidikan
antara pelajar dari keluarga menengah ke bawah dengan pelajar dari golongan
atas. Disini terjadi ketimpangan dalam penerimaan ilmu pengetahuan yang
semakin lama semakin terakumulasi, sehingga semakin merugikan golongan
menegah ke bawah.
Teori
Bourdieu lahir di jiwai oleh keinginannya untuk memadukan
semangat antara objektivisme dan subjektivisme. Dalam aliran pemikiran
objektivisme, terlalu menekankan pada peranan struktur yang menentukan aktor
dan lingkungan sosialnya, disini kaum objektivisme lebih melihat secara makro
atau biasa disebut dengan aliran strukturalis seperti Durkheim ,Marx, Saussure
dan lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi mikro,
yaitu menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya, tokoh subjektivisme
misalnya seperti Weber, Sartre, dan lainnya. Bourdieu menentang kedua
pemikiran ini dan ingin menggabungkan diantara keduanya. Karena menurut
Bourdieu, tidak semua hal di pengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur
maupun oleh aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik dari keduanya. Sehingga
Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan dialektik antara struktur
objektivisme dan fenomena subjektivisme.
Untuk menggambarkan perhatian Bourdieu terhadap hubungan dialektika
antara struktural dan cara aktor membangun realitas sosialnya, Bourdieu
memberikan nama pada orientasi pemikirannya sebagai “Strukturalisme Genetis”.
Bourdieu mendefinisikan strukturalisme genetis dengan cara berikut:1
1
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta.
Hal: 519.
Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul
struktur mental individual yang hingga taraf tertentu merupakan
produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat dipisahkan dari
analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan
kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan
historis (di mana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di
dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang
menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini).
Upaya Bourdieu untuk menjembatani antara objektivisme dengan
subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu tentang habitus dan lingkungan
(ranah) dan hubungan dialektik antara keduanya.2 Habitus berada di dalam pikiran
aktor sedangkan lingkungan berada di luar pikiran aktor. Meskipun sebenarnya
semua konsep dari Bourdieu saling berkaitan dan mempengaruhi.
Pada dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut sebagai
objektivisme adalah suatu pengetahuan objektif yang mengandung dominasi, dan
dalam kondisi ini, individu tidak bisa menolaknya. Sedangkan pengertian dari
subjektivisme sendiri adalah mengarah pada tindakan individu yang bertindak
atau melakukan sesuatu diluar struktur. Dimengerti sebagai menjelaskan suatu
pengetahuan/ pengalaman dari sudut pandang sendiri, dimana seseorang bisa
mengerti melalui bahasa yang kita pahami.
1. Habitus
Habitus adalah struktur mental atau kognitif,3 yang digunakan aktor untuk
menghadapi
kehidupan
sosialnya.
Habitus
menggambarkan
serangkaian
kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor untuk beraksi dan
bereaksi dengan cara-cara tertentu. Habitus merupakan produk dari sejarah,
sebagai warisan dari masa lalu yang di pengaruhi oleh struktur yang ada. 4 Habitus
sebagai produk dari sejarah tersebut, menciptakan tindakan individu dan kolektif
dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah. Kebiasaan
2
Ibid, hal: 522.
Ibid.
4
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press: California. Hal: 54.
3
individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi
tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Pengalaman
hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi
dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami,
menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu
memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan
pikiran dan pilihan tindakan individu).5
Habitus dapat digambarkan sebagai hasil atau produk dari internalisasi
struktur dunia sosial yang diwujudkan. Habitus diperoleh sebagai akibat dari
lamanya posisi dalam kehidupan sosial yang diduduki. Sehingga habitus akan
berbeda-beda, tergantung dimana dan bagaimana posisi individu tersebut dalam
kehidupan sosial. Sehingga seseorang yang menduduki posisi yang sama dalam
dunia sosial, cenderung akan memiliki kebiasaan yang sama. Dalam pengertian
ini, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif.6 Habitus dapat bertahan lama
dan dapat pula berubah dalam arti dapat dialihkan dari satu bidang ke bidang yang
lain. Dengan kata lain, meskipun habitus sebagai warisan pengalaman masa lalu
atau produk dari internalisasi struktur, dapat berubah-ubah sesuai dengan ranah di
mana ia berada. Sebagai contoh, seorang warga Indonesia dan tinggal di
Indonesia, memiliki kebiasaan untuk menolong sesama apalagi kalau orang lain
tersebut
dalam
keadaan
kesusahan,
seperti
terdapat
kewajiban
untuk
menolongnya. Namun ketika warga Indonesia tersebut pindah dan tinggal di Luar
Negeri yang memiliki struktur dan kebudayaan yang berbeda, dimana ketika ada
orang lain yang membutuhkan bantuan, kita tidak memiliki kewajiban untuk
menolongnya. Habitus warga Indonesia tersebut dalam kasus ini dapat tetap
seperti ketika ia masih di Indonesia yaitu menolong orang lain, atau juga
habitusnya dapat berubah, yaitu dengan bersikap acuh dan tidak menolong orang
tersebut.
Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Di satu
pihak, habitus adalah “struktur yang menstruktur” (strukturing strukture); artinya,
5
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta.
Hal: 522.
6
Ibid.
habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Di lain pihak,
habitus adalah “struktur yang terstruktur” (struktured strukture); yakni, habitus
adalah struktur yang distrukturisasi oleh dunia sosial. Dengan kata lain Bourdieu
menjelaskan habitus sebagai dialektika internalisasi dari eksternalitas dan
eksternalisasi dari internalitas.7 Sehingga, di satu pihak, habitus diciptakan oleh
praktik atau tindakan; di lain pihak, habitus adalah hasil tindakan yang diciptakan
kehidupan sosial.
Menurut Bordieu, habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya
dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk di lakukan. Dalam
menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan
kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya
habitus.8 Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh
aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam
kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable).
Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa aktor
bertindak, inilah yang disebut dengan logika tindakan Bourdieu.9 Logika tindakan
Bourdieu (logika praktis) berbeda dengan rasionalitas (logika formal). Terdapat
konsep relasionalisme dari Bourdieu yang digunakan untuk menuntun individu
untuk mengakui bahwa habitus bukanlah struktur yang tetap, tak dapat berubah,
tetapi diadaptasi oleh individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi
yang saling bertentangan di mana mereka berada.10
Kerja waktupun juga bisa mempengaruhi praktek seseorang dalam
melakukan suatu tindakan. Yang dimaksud kerja waktu disini adalah: habitus dan
pengalaman praktek bisa berubah sesuai waktu dengan menggunakan logika.11
Misalnya kondisi kebiasaan orang ketika berpakaian, orang jawa perempuan pada
waktu dulu identik dengan penggunaan jarit dan kebaya, akan tetapi dengan
berjalannya waktu, dan kondisi social sekarang ini, pakaian itu sudah jarang
7
Ibid, hal: 523.
Ibid, hal: 524.
9
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press: California. Hal: 92.
10
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta.
Hal: 524.
11
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press: California. Hal: 99
8
kelihatan untuk dipakai sebagai pakain keseharian. Namun sering dipakai ketika
acara-acara adat tertentu seperti pakaian waktu hari kartini.
2. Lingkungan (Ranah, Arena) atau Field.
Lingkungan merupakan dunia tempat melakukan permainan-permainan
atau disebut juga dengan game. Lingkungan adalah jaringan hubungan antar
posisi objektif didalamnya. Lingkungan atau arena adalah sepotong kecil dunia
sosial, sebuah dunia penuh kesepakatan yang bekerja secara otonom dengan
hukum-hukumnya sendiri.12 Bourdieu melihat arena sebagai sebuah arena
pertarungan dan juga lingkungan perjuangan, arena adu kekuatan, sebuah medan
dominasi dan konflik antar individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya.
Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital atau modal yang mereka
miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia akan
mendapatkan posisi terbaik dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang
dominan dalam suatu arena. Contohnya, dalam ranah pendidikan, misalnya dalam
suatu kelas, terjadi sebuah kompetisi antar individu, yaitu sesama murid. Dalam
ranah tersebut, seorang murid yang memiliki pengetahuan paling banyak maka ia
dapat memenangkan pertarungan dalam ranah kelas tersebut, misalnya dapat
mengerjakan ujian dengan lancer, dapat menjawab semua pertanyaan dari guru,
dapat ikut aktif dalam diskusi, dan lain-lain dibanding dengan murid lain yang
kurang pengetahuannya.
Lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal
(ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan.13 Lingkungan juga
adalah
lingkungan
politik
(kekuasaan)
yang sangat
penting.
Bourdieu
mengemukakan tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan, yaitu:14
1) Menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk
menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan dengan
lingkungan politik.
12
Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Edisi 11-12. Hal: 34.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta.
Hal: 524.
14
Ibid, hal: 525.
13
2) Menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam
lingkungan tertentu.
3) Menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi
di dalam lingkungan.
Dalam hubungannya antara lingkungan dengan habitus, Bourdieu
menyebut relasionisme metodologis, yakni adanya hubungan saling timbal balik
antara lingkungan dengan habitus. Di satu pihak lingkungan mengkondisikan
habitus, di pihak lain habitus menyusun lingkungan, sebagai sesuatu yang
bermakna, yang mempunyai arti dan nilai.
3. Keyakinan
Keyakinan atau belief adalah sesuatu yang di pegang oleh aktor yang
memiliki nilai atau di anggap bernilai. Keyakinanlah yang menggerakkan dan
memaksa tubuh untuk mewujudkan keyakinan itu. Sehingga peran dari keyakinan
adalah sebagai dasar untuk melakukan tindakan atau praktek dalam suatu ranah.15
Contoh, dalam ranah pendidikan yaitu diskusi dalam kelas, ketika seorang murid
yakin telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahan diskusi, maka ketika
diskusi berlangsung keyakinan bahwa ia memahami materi itu, mendorongnya
untuk ikut aktif menyumbangkan pendapat dalam diskusi tersebut, sehingga di
sini, keyakinan yang mendorong untuk melakukan praktek yaitu mengeluarkan
pendapat.
Dalam kaitan contoh diatas, tubuhpun menjadi alat yang digunakan untuk
melakukan praktek tersebut sesuai dengan keyakinan dalam dirinya. Ketika yakin
bisa untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar, maka tubuh akan
menggambarkan lewat gerak-geriknya yang mencerminkan praktek.
4. Praktek
Praktek merupakan salah satu konsep utama pilihan Bourdieu, sebagai
konsep yang digunakan untuk menjelaskan konsepnya tentang penolakan terhadap
15
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press : California. Hal: 67.
dominasi objektif maupun dominasi subjektif. Konsep praktek berarti bagaimana
seseorang tersebut diberi stimulus kemudian akan melakuakan suatu respon.
Dalam konsep Bourdieu tentang praktik, Bourdieu mengkritik tentang pandangan
kaum objektivis yang menekankan pandangannya bahwa struktur yang paling
berkuasa dan menentukan tindakan aktor dan membentuk lingkungan. Sehingga
disini tindakan aktor tidak bebas melainkan terbatas. Begitu juga Bourdieu
menolak terhadap pandangan kaum subjektivis yang menekankan bahwa individu
dapat bertindak bebas tanpa dipengaruhi oleh struktur.
Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh
strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan
keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek atau tindakan individu
adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing individu. Contohnya,
dalam dunia perkuliahan, sistem pedidikannya menggunakan sistem kredit
semester (SKS). Ketika seorang mahasiswa mengambil 24 SKS, maka sebagai
konsekuensinya, setiap satu minggunya mahasiswa tersebut harus menyediakan
waktu dan belajar sebanyak 72 jam atau rata-rata perharinya selama 10 jam.
Struktur mempengaruhi
praktek mahasiswa tersebut, agar dia belajar sesuai
dengan SKS yang dia ambil, tetapi mahasiswa juga bebas untuk melakukan
prakteknya sesuai dengan habitusnya, misalnya dengan hanya belajar selama 3
jam saja setiap harinya.
5. Struktur
Struktur adalah aturan-aturan yang terbentuk dan ada dalam suatu ranah
yang mempengaruhi pembentukan habitus seorang aktor. Menurut Bourdieu,
struktur terdiri atas dua bentuk yaitu struktur objektif dan struktur buatan. Dalam
teori logika praktis Bourdieu, struktur dapat mempengaruhi pembentukan habitus,
tetapi struktur
juga dapat di pengaruhi oleh habitus. Contoh struktur
mempengaruhi habitus adalah, dalam masyarakat Jawa, terdapat aturan kalau
makan dan memberi sesuatu kepada orang lain itu harus dengan menggunakan
tangan kanan. Aturan ini membentuk habitus seseorang, ketika dia makan dan
memberi kepada orang lain harus dengan tangan kanan (struktur membentuk
habitus). Sedangkan contoh habitus mempengaruhi struktur adalah habitus
seorang pelajar yang rajin, dia memiliki rutinitas belajar setiap sore dan malam
hari. Ketika dia tidak melakukan itu, maka akan terjadi perasaan keganjilan,
sehingga aktivitas belajar setiap sore dan malam hari membentuk sebuah struktur
dalam hidupnya.
Dalam konsep strukturnya, bourdieu menekankan bahwa dalam kehidupan
sosial masyarkat, struktur sangat dominan dalam mempengaruhi Agen. Individu
pada dasarnya sangat dominan dipengaruhi struktur dalam kehidupannya. Akan
tetapi
Agen
juga
bisa
berperan
dalam
mempengaruhi
strutur
dalam
kemasyrakatan, akan tetapi tidak sepenuhnya bisa lepas dari struktur yang ada.
Jadi adanya hubungan timbal balik disini, yaitu struktur yang mempengaruhi
agen, dan agen mempengaruhi struktur. Struktur disini bersifat sebagai genetik/
bawaan.
STRUKTUR
AGEN
6. Modal
Modal merupakan aset yang dimiliki individu dalam lingkungan
sosialnya yang digunakan untuk menentukan posisi dalam suatu ranah. Modal itu
harus selalu di produksi dan direproduksi kembali. Menurut Bourdieu terdapat
empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal
simbolik.16
1) Modal ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa
materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain.
2) Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara
individu, atau hubungan-hubungan dan jaringan hubunganhubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam
16
Ibid.
penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Misalnya
seorang mahasiswa kenal baik dengan seorang dosen.
3) Modal kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah.
Misalnya ijazah, cara berbicara, cara bergaul, cara pembawaan
diri (sopan santun).
4) Modal simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang,
misalnya
posisi
atau
jabatan
seseorang
sebagai
kepala
pemerintahan.
Distribusi kapital menentukan struktur objektif kelas-kelas di dalam sistem
sosial. kelas yang dominan adalah kelas yang memiliki jumlah (akumulasi)
terbesar dari keempat bentuk kapital, sedangkan kelas bawah atau kaum marginal
adalah pemilik kapital yang paling sedikit. Secara logis, maka kelas pemilik
kapital adalah kelas yang paling dominan.
7. Kekerasan Simbolik
Kekerasan simbolik sangat erat kaitannya dengan modal simbolik, karena
kekerasan simbolik hanya dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok yang
memiliki modal simbolik. Modal simbolik di dalam bentuknya yang berbeda-beda
dipersepsikan dan diakui sebagai legitimate, yang memiliki legitimasi, mendapat
pengakuan dan diterima publik secara luas. Legitimasi sebagai sebuah proses,
menggambarkan proses yang mengarah pada legitimitas, pada sesuatu yang
mendapat pengakuan yang sah dan benar. Legitimitas sangat penting bagi semua
kelompok sosial, bagi semua pelaku sosial, karena taruhannya adalah kelestarian
atau perubahan struktural yang mapan, kelestarian, dan perubahan hubunganhubungan kekuasaan. Dengan demikian realitas sosial bukan hanya merupakan
hubungan-hubungan kekuasaan, tetapi juga merupakan hubungan-hubungan
makna. Untuk itulah diperlukan kekuasaan simbolik, kekuasaan yang dapat
mendesak penerimaan hukum-hukum dan memaksanya sebagai legitim dengan
menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari kekuasaannya.
Modal simbolik erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik. Memiliki
modal simbolik berarti memiliki sumber potensi untuk mendapatkan kekuasaan
simbolik. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikenali dari
tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Artinya, sebuah kekuasaan (baik
ekonomi, politik, budaya, atau yang lain) yang memiliki kemampuan untuk tidak
dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya, atau kesewenang-wenangannya.
Kekuasaan simbolik sering kali memakai bentuk-bentuk lain yang lebih halus agar
tidak mudah dikenali.17 Inilah yang membuat kelompok yang terdominasi
seringkali merasa tidak keberatan untuk masuk kedalam sebuah lingkungan
dominasi. Bourdieu menyebut ini sebagai kekerasan simbolik.18
Secara garis besar, kekerasan simbolik dapat diartikan sebagai kekerasan
yang secara paksa mendapat kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan
dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan
yang sudah tertanam secara sosial. Kekerasan simbolik bekerja dengan
mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki, menjadi sesuatu yang
diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Mekanisme kekerasan
simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu:19
1) Eufemisasi: biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak,
bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilih secara “tak
sadar”. Misalnya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan,
sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan.
Contoh: hubungan yang terdapat dalam sebuah keluarga antara anak
dengan orang tua, dimana setiap mau keluar rumah, anak harus
minta ijin kepada orang tua. Disini terjadi kekerasan simbolik
eufimisme berdasarkan sopan santun.
2) Sensorisasi: kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk dari
pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral
kehormatan”. Seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan
sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral rendah”,
seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan
sebagainya. Contoh, seorang laki-laki harus menghormati seorang
17
Ibid, hal: 118.
Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Edisi 11-12. Hal: 38.
19
Ibid, hal: 39
18
perempuan, agar laki-laki tersebut dianggap memiliki moral yang
tinggi dan memiliki nilai kesantunan (seorang laki-laki tidak
melecehkan atau bertindak asusila terhadap perempuan).
Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik sangat perlu dilakukan dalam
dunia pendidikan, agar pelaksanaan pendidikan semakin efektif. Karena itulah
para pendidik dalam dunia pendidikan sering melakukan kekerasan simbolik
kepada peserta didiknya agar peserta didik lebih disiplin. Contohnya, setiap
pertemuan kelas, selalu diadakan kuiz atau ulangan oleh guru, sehingga membuat
murid, baik secara suka atau tidak, sehingga menjadi mau tidak mau murid harus
membaca dan belajar materi sebelum kelas berlangsung agar dapat mengerjakan
soal kuiz.
8. Kadar objektivitas dari subjektivisme
Dalam dunia sosial selalu terdapat orang yang mendominasi dan orang
yang didominasi. Ini akan selalu terjadi selama ada bentuk relasi yang tidak setara
(asimetris). Ilmu pengetahuan sosial, harus mempertimbangkan dua macam
atribut yang secara objektif terlekat pada mereka, yaitu atribut materi dan atribut
simbolik.20 Atribut material dimulai dengan tubuh, yang dapat di lihat dan di ukur
seperti benda lainnya dari dunia fisika.
Kadar objektivitas dan subjektivitas disini menurut Pierre Bourdieu,
seberapa besarkah kadar objektivitas subjektivitas dari seorang manusia tersebut.
Bagaimana ukuran tingkat objektivitas dari pandangan subjektivitas tiap masingmasing dari individu dalam menilai suatu fenomena.
STUDI KASUS
Kasus yang kami angkat dalam mengkontekstualkan teori Bourdieu disini
adalah adanya penolakan warga Desa Bence terhadap rencana pembangunan
pabrik gula yang didirikan oleh PT. Kencana Gula Manis di Desa Bence,
Kecamatan Garum Kabupaten Blitar. Pemaparan dalam kasus ini adalah dimana
20
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University Press. Hal:135.
para investor ingin mendirikan pabrik Gula dengan menggunakan lahan sawah
yang masih produktif seluas 20 hektar milik petani desa setempat. Sedangkan
petani, warga setempat Desa Bence serta LSM menolak rencana pendirian pabrik
Gula tersebut, dengan alasan utama:
1. Merugikan warga dan lingkungan setempat, mengurangi lahan sawah
produktif yang berakibat berkurangnya stok pangan berupa beras.
2.
Akan menimbulkan pencemaran atau polusi berupa limbah produksi yang
dapat mengganggu kesehatan warga sekitar pabrik serta mendatangkan
hama berupa serangga yang timbul dari limbah pengolahan tebu yang
dapat mematikan pohon kelapa warga. Karena sebagian besar penduduk
Desa Bence memiliki pohon kelapa dan dimanfaatkan untuk diolah
menjadi gula kelapa.
3. Melanggar UU nomor 41 tahun 2009, mengenai perlindungan lahan
pangan yang berkelanjutan.
4. Dalam pembangunan tersebut, juga melanggar Perda nomor 5 tahun 2008,
tentang rencana tata ruang wilayah. Dimana ada 10 Kecamatan di
Kabupaten Blitar Jawa Timur, tidak boleh dijadikan tempat pembangunan
infrastruktur kepentingan bisnis pribadi. Dan Kecamatan Garum termasuk
dalam Kecamatan tersebut.
Alasan pendukung lainnya, kabarnya Dinas pertanian setempat belum
mendengar dan menerima informasi dari pihak PT. Kencana Gula Manis terkait
rencana pendirian pabrik gula di daerah Bence tersebut, apalagi pembangunannya
dilaksanakan di atas lahan pertanian yang sebenarnya masih produktif yang
berhubungan dengan kelangsungan tingkat produksi daerah setempat. Dinas
pertanianpun berjanji tidak akan memberikan izin terhadap pihak pengusaha
tersebut jika lahan pertanian tersebut masih produktif. Jika pembangunannya
dilaksanakan, dampak yang terjadi adalah produksi beras akan berkurang secara
besar-besaran dalam daerah tersebut, selain itu petani pun akan kehilangan lahan
pangannya tempat mereka bekerja dan mencari nafkah serta menghidupi
kehidupan sehari-hari keluarganya.
Menurut informasi yang kami dapatkan, meskipun pihak PT. Kencana
Gula Manis belum mengantongi surat izin resmi, petani Desa Bence setempat
dipaksa para investor PT. Kencana Gula Manis melalui makelar tanah dan
preman-premannya untuk menandatangani surat penjualan lahan atas tanah sawah
miliknya dan surat perjanjian yang tidak diketahi isinya apa, harga lahan
tersebutpun dibeli dengan harga yang murah. Petani yang lahannya dibeli oleh
pihak PT. Kencana Gula Manis, telah mendapatkan uang muka sebesar 5 %.
Alasan dari pihak pengusaha untuk tetap mendirikan pabrik gula di lokasi tersebut
terkait dengan isu telah mendapatkan surat izin dari Wakil Presiden Budiyono.
Pihak LSM yang juga salah satu dari anggotanya berasal dari Desa Bence tersebut
melayangkan surat kepada Presiden Yudhoyono, guna meminta agar Presiden
menolak untuk memberikan izin terhadap pendirian Pabrik Gula di Desa Bence.
Namun kabar terealisasinya pembangunan pabrik Gula semakin menunjukkan,
karena warga setempat telah menerima uang muka sebesar 5%. Jika benar
pembanguan tersebut jadi terlaksana , berarti disini antara pihak pemerintah
daerah Kabupaten Blitar dengan pihak investor telah terjadi kesepakatan tanpa
sepengetahuan rakyat Desa Bence dan persetujuan dari rakyat Desa Bence sendiri.
Rencananya pembangunan pabrik gula ini akan di mulai pada tanggal 17
April 2011 mendatang, kontraktorpun sudah siap untuk mulai melakukan
pembangunan di daerah tersebut.. Dari informasi yang dihimpun Blitar Raya
News, pihak PT. Kencana Gula Manis, melalui kontraktor PT. Mandara Mulya
Graha Andhika, rencana pekerjaan pembukaan lahan dan meratakan tanah akan
dimulai pada tanggal 17/4/2011. Jika pihak PT. KGM benar-benar mengantongi
izin, pasti ada permainan antara Pengusaha dengan Pejabat Pemerintah Kabupaten
Blitar .
Ketua Lembaga Penegak Demokrasi (LPD) Blitar Raya, Fajar Agustyono,
saat ditemui Tim Blitar Raya News. Menurut Fajar, pembanguan pabrik gula
tersebut selain melanggar RTRW juga melanggar UU Nomor 41 tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dan akan
mengancam stok pangan daerah, karena lahan yang akan didirikan pabrik gula
tersebut adalah tanah sawah yang masih produktif. Jika Pemerintah Kabupaten
Blitar atau pihak-pihak Dinas terkait, dikemudian hari ternyata benar-benar
melanggar aturan, akan kami PTUN kan. Karena sudah jelas-jelas melanggar
RTRW dan UU Nomor 41 tahun 2009, masih saja memaksakan diri.
ANALISIS
Berdasarkan acuan kasus diatas, kami berusaha untuk mengkritisi dengan
menggunakan konsep Strukturalisme Genetik Bourdieu, disitu terlihat adanya
kekerasan simbolik yang dilakukan oleh pihak PT. Kencana Gula Manis melalui
makelar tanah dan preman-preman dari makelar tanah, dan Pemerintah terhadap
masyarakat serta petani khususnya di Desa Bence Kecamatan Garum Kabupaten
Blitar tersebut. Pihak PT. Kencana Gula Manis yang merasa mempunyai modal
banyak dengan para investornya, mencoba memaksa petani Desa Bence untuk
mau menjual tanah pertanian mereka guna kepentingan pendirian pabrik gula
untuk memperbesar dan meluaskan usahanya. Melalui isu surat izin pendirian
Pabrik Gula di atas Lahan pertanian di Desa Bence, dengan seenaknya memaksa
warga untuk mau menjual tanah mereka kepada pihak PT. Kencana Gula Manis,
dari itu modus dominasi yang digunakan oleh pihak pengusaha adalah dominasi
ekonomi, modal simbolik dengan surat izin yang diduga diperoleh dari wakil
Presiden serta surat izin dari pemkab setempat untuk mengalihfungsikan lahan
pertanian. Sedangkan modus dominasi yang dilakukan oleh makelar tanah beserta
premannya terhadap petani adalah dengan menggunakan modal simbolik yang
diperolehnya dari PT. Kencana Gula Manis , didukung dengan isu surat izin yang
diperolehnya dari presiden Budiyono. Relasi kuasapun terbentuk dengan adanya
hubungan khusus/ kong kalikong antara pemerintah dan investor bertindak
sebagai pendominasi ,sedangkan disini yang dijadikan objek dominasi adalah
rakyat, dengan adanya kepatuhan rakyat terhadap surat perintah dari wakil
presiden dan pemerintah daerah kota Blitar. Karena mungkin mereka merasa,
bahwa rakyat haruslah tunduk terhadap kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh
pemerintah.
KESIMPULAN
Jika pihak investor tersebut memang benar-benar mendapatkan surat izin
dari wakil presiden Budiyono, dan juga izin dari pemerintah daerah kota Blitar
setempat. Maka, yang terjadi adalah rakyat kecil khususnya yang bermata
pencaharian sebagai petani akan semakin tertindas dengan kebijakan tersebut yang
berarti tertindas secara lapang dada dengan adanya dominasi ekonomi dengan
modal simbolik pengusaha dari pemerintah pusat, khususnya yang berasal dari
surat keputusan yang diberikan wakil presiden dan pemerintah daerah kota Blitar
terhadap PT. Kencana Gula Manis. Jadi semakin tinggi kekuasaan seseorang,
maka akan mendominasi pihak bawahannya, apalagi yang mendominasi
mempunyai modal simbolik.
Tentu setiap pembangunan yang dilakukan, akan selalu terdapat pro dan
kontra, baik sesama warga sendiri maupun antara warga sekitar dengan
pemerintah. Kelompok kami berusaha memberikan dua sudut pandang antara pro
dan kontra terkait adanya pembangunan pabrik gula tersebut. Ada benarnya
apabila pemerintah menyetujui pembangunan pabrik gula tersebut, jika memang
benar lahan yang digunakan untuk mendirikan pabrik adalah tidak semuanya
lahan produktif. Alasan pemerintah ini sangat tepat, karena dengan adanya
pendirian pabrik gula akan dapat menambah pemasukan pendapatan daerah
Kabupaten Blitar, berupa pajak bumi dan bangunan (PBB). Penambahan
pendapatan daerah ini akan sangat membantu Pemerintah dalam pembangunan
fasilitas yang di perlukan masyarakat sekitar. Pembangunan pabrik gula ini juga
dapat menunjang kesejahteraan masyarakat sekitar. Masyarakat yang mempunyai
lahan pertanian yang semula digunakan untuk menanam padi dapat di alihkan
dengan menanam tebu. Di sini peran pemerintah harus digerakkan untuk
memfasilitasi penjualan tebu, dengan cara kerja sama antara petani dengan pabrik
gula. Selain itu adanya kesepakatan (perjanjian) antara pihak pabrik dengan warga
yang disaksikan pemerintah, bahwa pihak pabrik akan memperkerjakan
masyarakat sekitar sebagai karyawan pabrik.
Sedangkan jika memang benar lahan yang akan digunakan dalam
pembangunan pabrik gula adalah lahan produktif, maka pemerintah harus
bertindak adil dan bijaksana, dalam arti jangan ada kongkalikong atau permainan
untuk membela pendirian pabrik, melainkan pemerintah harus mengayomi dan
membela masyarakat sekitar dan mementingkan kebutuhan rakyatnya. Lahan
yang produktif adalah lahan yang menjadi sumber penghasilan masyarakat, selain
telah adanya peraturan yang mengatur tentang pelarangan pengalih fungsian lahan
produktif. Apabila pembangunan terus di jalankan tanpa melihat dampak yang
diakibatkan baik dalam jangka panjang maupun pendek, maka akan terjadi banyak
permasalahan sosial, salah satunya bertambahnya jumlah angka kemiskinan.
Solusi yang terakhir jika pembangunan pabrik gula itu tetap didirikan
sementara masyarakat sekitar tetap menolak, maka pemerintah harus bisa
membaca peluang dengan cara memindahkan pembangunan itu ke tempat yang
memang benar-benar tidak produktif, sehingga tidak ada pihak yang di rugikan.
Secara otomatis pula pembangunan yang di adakan di daerah yang benar-benar
bukan lahan produktif akan menguntungkan, karena daerah lahan produktif bisa
berjalan lancar dan menghasilkan keuntungan bahkan daerah lahan yang tidak
produktif juga akan menghasilkan keuntungan dari di bangunnya pabrik gula. baik
masyarakatnya, pemerintah, dan pemilik lahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University
Press.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Diterjemahkan oleh Alimandan. 2003.
Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.
Rusdiarti, Suma Riella. 2003. Edisi 11-12 (November-Desember). Bahasa,
Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Basis.
Download