Petaka Sodom dan Gomora

advertisement
Petaka Sodom dan Gomora
F Rahardi
Flu burung (avian influenza, AI) tiba-tiba menjadi hantu yang sama menakutkan dengan AIDS.
Inilah kutukan dari Sodom dan Gomora modern.
Agroindustri unggas modern sebenarnya telah menentang alam, sekaligus menantang hukum
Allah. Itulah yang harus diubah, bukan hanya sekadar restrukturisasi menyangkut pembagian
kapling.
Flu sebenarnya merupakan penyakit lama. Ada tiga tipe virus influenza: tipe A yang bisa
menyerang hewan maupun manusia dan tipe B serta C yang hanya bisa menyerang manusia.
Virus tipe A masih terdiri atas beberapa subtipe, yakni H (1-15) dan N (1-9). AI sendiri sudah
terdeteksi sejak 1978 di Italia, tetapi AI subtipe baru dengan virus H5N1 pertama kali terdeteksi di
Hongkong tahun 1997. Sejak itu, flu burung menjadi mirip AIDS, menimbulkan gejolak atas bisnis
perunggasan, sekaligus mengancam hidup manusia.
Ketika AI menyerang unggas, virus ini belum menjadi wabah yang mendunia. Agroindustri
perunggasan lalu menjadi massal dan mendunia, dengan benih (DOC/DOD), pakan, hormon
pertumbuhan, antibiotik, dan obat-obatan dalam dosis tinggi secara intensif. Inilah pemicu utama
terciptanya virus subtipe baru. Terlebih setelah agroindustri peternakan hanya mementingkan
keuntungan, tanpa memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan.
Wabah sapi gila di Inggris juga kutukan. Virus penyakit gila ini sebenarnya hanya berjangkit pada
domba, dan tidak pernah menjadi wabah. Namun, agroindustri peternakan di Inggris terlalu
rakus. Limbah dari rumah potong hewan, terutama tulang-tulang—terdiri tulang domba, kambing,
sapi, babi, dan ternak lain—digiling dan dicampurkan ke konsentrat. Tujuannya adalah efisiensi.
Dampaknya, terjadi degradasi genetik dan penularan penyakit. Penyakit gila yang sebelumnya
hanya menyerang domba berjangkit pula ke sapi.
"Nuggets" dan sosis tulang
Pada agroindustri perunggasan, terutama ayam petelur, yang akan dipelihara hanyalah DOC
betina. DOC jantan harus dibuang. Jika DOC jantan diberikan kepada ikan, dampak negatifnya
hampir tidak ada. Namun sekali lagi demi efisiensi, DOC jantan langsung dimasukkan ke
penggilingan dan dicampurkan ke pakan. "Kanibalisme" inilah antara lain yang telah
mengakibatkan degradasi genetik, sekaligus ikut berperan memicu terciptanya virus AI subtipe
baru.
Namun itu semua belum terlalu mengerikan. Kini, tampaknya konsumen kurang jeli melihat (atau
tidak menduga) sosis (sapi dan ayam), nuggets (ayam), dan kornet (sapi), yang dikonsumsi,
sebenarnya bukan dari daging, tetapi limbah tulang-belulang. Limbah rumah pemotongan hewan
dan rumah pemotongan ayam selalu menghasilkan limbah berupa tulang keras, tulang rawan,
sumsum, urat, dan sedikit daging yang masih melekat. Tulang kerasnya dipisahkan dan disebut
MBM atau meat and bone meal. Ini merupakan bahan campuran industri pakan ternak, termasuk
unggas.
Tulang rawan, urat, sumsum, dan daging disebut meat and debone meal (MDM). Produk inilah
yang semula menjadi bahan campuran industri sosis, kornet, dan nuggets. Kini, MDM menjadi
bahan utama makanan pabrik itu. Terlebih dalam sosis ayam. Yang dimaksud MDM unggas
sebenarnya semua limbah ayam digiling, sebab sekeras apa pun tulang ayam masih amat lunak
untuk menjadi sosis dan nuggets. Kita tidak pernah diberi tahu oleh Asosiasi Produsen Makanan
Olahan Daging (National Association Meat Producer = NAMPA), berapa persen sebenarnya
kandungan MDM pada tiap sosis dan nuggets. Jangan-jangan sudah 100 persen.
Pola industri ternak seperti ini sebenarnya sudah melawan hukum alam, sekaligus hukum Allah.
Sapi dan domba aslinya herbivora. Dalam industri modern mereka dipaksa menjadi karnivora,
bahkan kanibal. Unggas makan biji-bijian dan kadang serangga serta cacing. Tetapi mereka tidak
pernah kanibal. Bahkan elang dan gagak yang karnivora pun tidak pernah kanibal. Tetapi
manusia telah memaksa ayam dan itik menjadi kanibal. Bahkan DOC, anak ayam yang baru
menetas pun, harus kembali digiling untuk dimakan oleh induk-induk mereka. Ini sudah lebih
sadis dibanding kisah Sodom dan Gomora.
Limbah dari AS
Rakyat AS relatif cerdas dalam melihat "penyimpangan" atas hukum alam ini. Selain cerdas,
mereka kaya. Itu sebabnya mereka tidak menyantap bagian lain dari ayam, kecuali daging dada.
Kulit, daging paha, daging sayap, hati, ampela, tabu disantap. Apalagi kepala, leher, pantat, dan
ceker. Semua itu harus dibuang. Lembaga konsumen AS juga ketat hingga limbah itu tidak bisa
digiling begitu saja dan dijadikan pakan. Kasus sapi gila di Inggris membuat rakyat AS lebih
waspada.
Ke manakah limbah yang masih layak makan itu dibuang? Tentu ke negara yang penduduknya
banyak dan ekonominya lemah. Sasaran utama membuang paha dan sayap ayam adalah RRC,
India, dan Indonesia. MDM hasil penggilingan limbah unggas juga dibuang ke negara
berkembang dan negara miskin. Untuk sarana pembuangan, kota-kota besar di negara
berkembang siap dengan restoran cepat saji dan pasar swalayan. Saat memungut sosis ayam
dan nuggets, ibu-ibu pasti tak pernah membayangkan, bahan utama produk itu bukan daging,
tetapi limbah.
Sebenarnya pemerintah harus mulai memperkuat agroindustri perunggasan tradisional
peternakan itik sebagai penyeimbang. Kelembagaan peternakan rakyat ini sebenarnya sudah
amat kuat. Hanya alokasi modal dan fasilitas lain tidak pernah tertuju ke mereka, sebab mereka
bukan pengusaha yang punya kapling dalam Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia
(Gappi). Jika para peternak itik yang sudah massal pun tak tersentuh perhatian pemerintah,
ayam kampung lebih tak terperhatikan lagi. Rakyat memang harus tabah dalam menerima petaka
Sodom dan Gomora modern berupa wabah flu burung.
F Rahardi Wartawan; Penyair
Sumber: Kompas, Jumat, 19 Januari 2007
Download