UJME 5 (2) (2016) Unnes Journal of Mathematics Education http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujme KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN CORE BERBANTUAN POP UP BOOK TERHADAP KEMAMPUAN SISWA KELAS VIII PADA ASPEK REPRESENTASI MATEMATIS S.I. Kusrianto , Suhito, Wuryanto Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Gedung D7 Lt.1, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229 Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima September 2015 Disetujui November 2015 Dipublikasikan Agustus 2016 Kata kunci: Model CORE; Pop Up Book; Representasi Matematis Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran CORE berbantuan pop up book terhadap kemampuan siswa kelas VIII pada aspek representasi matematis. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN 5 Pati. Dari populasi tersebut, terambil dua kelas sampel yakni kelas eksperimen dan kontrol. Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dan tes. Metode analisis data dilakukan menggunakan uji normalitas, uji homogenitas, uji proporsi, dan uji kesamaan dua proporsi. Simpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa model pembelajaran CORE berbantuan pop up book efektif terhadap kemampuan siswa kelas VIII pada aspek representasi matematis. Hal ini ditunjukkan oleh (1) kemampuan siswa pada aspek representasi matematis yang diajarkan dengan menggunakan model CORE berbantuan pop up book dapat mencapai ketuntasan pada materi bangun ruang sisi datar kelas VIII; (2) persentase ketuntasan kemampuan siswa yang diajarkan dengan menggunakan model CORE berbantuan pop up book pada aspek representasi matematis lebih tinggi dari pada siswa yang diajarkan dengan menggunakan model TPS. Saran dari penelitian ini yaitu pada saat penelitian, jumlah pop up book yang digunakan terbatas, untuk itu perlu ditambah lagi jumlahnya supaya hasilnya lebih maksimal. Abstract The aim of this study was to determine the effectiveness of the CORE-assisted learning model pop-up book for class VIII student abilities on aspects of mathematical representation. Population in this research is class VIII SMPN 5 Starch. Of the population, drawn two classes namely class experimental samples and controls. Methods of data collection methods and test documentation. The method of data analysis was performed using normality test, homogeneity test, the proportions test, and test the equality of two proportions. The results showed that the model of CORE-aided pop-up book is effective against the ability of eighth grade students on aspects of mathematical representation. This is indicated by (1) the ability of students to aspects of mathematical representation is taught using CORE-aided model of a pop up book can achieve mastery on the flat side of the material geometry class VIII; (2) the percentage of completeness ability of students taught using CORE-aided model of a pop-up book on aspects of mathematical representation is higher than students taught by using a model of TPS. Suggestions from this research that at the time of the study, the number of pop-up book that is used is limited, it is necessary plus the amount that maximize results. Alamat korespondensi: E-mail: [email protected] © 2016 Universitas Negeri Semarang p-ISSN 2252-6927 e-ISSN 2460-5840 S.I. Kusrianto et al. / UNNES Journal of Mathematics Education 5 (2) (2016) PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan banyak permasalahan dan kegiatan dalam kehidupan yang harus diselesaikan dengan menggunakan ilmu matematika, seperti menghitung, mengukur dan lain-lain. Walaupun demikian, namun pada kenyataanya matematika masih merupakan mata pelajaran yang kurang disukai oleh siswa. Salah satu faktor penyebabnya yaitu karena bahasa yang digunakan dalam matematika berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Matematika lebih banyak menggunakan simbol-simbol atau notasi-notasi yang cukup rumit untuk dipahami sehingga siswa seringkali mengalami kesulitan. Tidak hanya itu saja, pemilihan model pembelajaran yang dipakai guru juga sangat berpengaruh untuk pelaksanaan pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMP Negeri 5 Pati, didapatkan fakta bahwa pembelajaran matematika masih berpusat pada guru, pembelajaran dengan menggunakan diskusi kelompok dan penemuan terbimbing sudah dilakukan guru, namun masih jarang intensitas pelaksanaannya. Kegiatan belajar yang dialami oleh siswa lebih mengarah pada sumber belajar yaitu guru dan buku pelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran otomatis akan berpusat kepada guru, karena dalam hal ini guru adalah satusatunya sumber utama informasi dan pengetahuan. Hal ini didukung oleh Ruseffendi sebagaimana dikutip oleh Effendi (2012) yang menyatakan bahwa selama ini dalam proses pembelajaran matematika di kelas, pada umumnya siswa mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya dan bukan melalui kegiatan eksplorasi. Itu semua mengindikasikan bahwa siswa tidak aktif dalam belajar. Melalui proses pembelajaran yang seperti ini, maka akan sangat kecil sekali kemampuan berpikir matematis siswa untuk berkembang. Berdasarkan nilai Ujian Tengah Semester (UTS) pada semester genap tahun ajaran 2014/2015 menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Pati masih kurang dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75. Untuk mencapai KKM sebesar 75 tersebut guru harus memberikan tes remidial terlebih dahulu kepada siswa supaya nilai siswa dapat mencapai KKM. Selain itu menurut hasil observasi yang dilakukan melalui wawancara dengan guru mata pelajaran matematika, kemampuan siswa pada aspek representasi matematis khususnya pada siswa kelas VIII masih belum maksimal, karena pada aspek representasi visual, siswa masih kesulitan untuk melukiskan dan memahami gambar yang tepat dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Pada aspek representasi kata-kata atau teks tertulis siswa juga masih kesulitan mengerjakan penyelesaian soal secara runtut dan tepat. Padahal untuk mendapatkan hasil belajar matematika yang baik, menurut National Council of Teacher Mathematics (2000) siswa dituntut untuk mempunyai 5 ketrampilan proses. Keterampilan proses pembelajaran matematika tersebut yaitu (1) Pemecahan masalah (problem solving); (2) Penalaran dan pembuktian (reasoning and proof); (3) Komunikasi (communication); (4) Koneksi (connection); dan (5) Representasi (representation). Keterampilan-keterampilan tersebut termasuk pada berpikir matematika tingkat tinggi (high order mathematical thinking) yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika. Pada awalnya standar-standar yang direkomendasikan di dalam NCTM (1989) hanya terdiri dari 4 kompetensi dasar yaitu pemecahan masalah, penalaran, komunikasi dan koneksi, sedangkan representasi masih dipandang sebagai bagian dari komunikasi matematis. Namun karena disadari bahwa representasi matematis merupakan suatu hal yang selalu muncul ketika orang mempelajari matematika pada semua tingkatan pendidikan, maka dipandang bahwa representasi merupakan suatu komponen yang layak mendapatkan perhatian serius. Dengan demikian representasi matematis perlu mendapat penekanan dan dimunculkan dalam proses pengajaran matematika sekolah. Menurut Rahmi sebagaimana dikutip oleh Hutagaol (2013) menyatakan bahwa representasi matematis adalah kemampuan siswa mengkomunikasikan ide atau gagasan matematika yang dipelajari dengan cara tertentu. Ragam representasi yang sering digunakan dalam mengkomunikasikan ide-ide matematis antara lain adalah diagram (gambar) atau sajian benda konkrit, tabel chart, pernyataan matematika, teks tertulis, ataupun kombinasi dari semuanya. Menurut Wahyudin sebagaimana dikutip oleh Yuniawatika (2011) mengemukakan bahwa representasi bisa 155 S.I. Kusrianto et al. / UNNES Journal of Mathematics Education 5 (2) (2016) membantu para siswa untuk mengatur pemikirannya. Selain itu, penggunaan representasi oleh siswa dapat menjadikan gagasan-gagasan matematis lebih konkrit dan membantu siswa untuk memecahkan suatu masalah yang dianggap rumit dan kompleks menjadi lebih sederhana jika strategi dan pemanfaatan representasi matematika yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Melalui observasi, diketahui bahwa proses pembelajaran yang telah dilakukan selama ini masih kurang efektif untuk mengembangkan kemampuan siswa pada aspek representasi matematis, sehingga perlu adanya suatu model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan tersebut. Pada penelitian ini model yang dimaksud adalah model pembelajaran CORE. Model pembelajaran CORE adalah sebuah model yang mencakup empat proses yaitu Connecting, Organizing, Reflecting dan Extending. Menurut Calfee, et al. (2004) sebagaimana dikutip oleh Dwijayanti & Kurniasih (2014) menyatakan bahwa model pembelajaran CORE adalah model pembelajaran yang mengharapkan siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan (connecting) dan mengorganisasikan (organizing) pengetahuan baru dengan pengetahuan lama kemudian memikirkan konsep yang sedang dipelajari (reflecting) serta diharapkan siswa dapat memperluas pengetahuan mereka selama proses belajar mengajar berlangsung (extending). Pada model pembelajaran CORE ini, aktifitas berpikir sangat ditekankan kepada siswa. Siswa dituntut untuk dapat mengolah segala informasi yang telah didapatnya. Melalui kegiatan mengoneksikan konsep lama dan konsep baru, siswa dilatih untuk mengingat informasi lama dan menggunakan informasi atau konsep baru. Kegiatan mengorganisasikan ide-ide dapat melatih siswa untuk mengorganisasikan dan mengelola informasi yang telah dimilikinya. Kegiatan refleksi merupakan kegiatan memperdalam, menggali informasi untuk memperkuat konsep yang telah dimilikinya. Kegiatan extending siswa dilatih untuk mengembangkan, memperluas informasi dan dapat menemukan konsep serta informasi baru yang bermanfaat. Sehingga melalui tahapan pembelajaran tersebut kemampuan siswa pada aspek representasi dapat berkembang dengan baik karena siswa diberikan kesempatan untuk mengkontruksi pengetahuannya melalui pengungkapan dari gagasan maupun ide-ide dari suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. Pengembangan kemampuan siswa pada aspek representasi matematis, tidak hanya didukung oleh pemilihan model pembelajaran saja, namun penggunaan media pembelajaran juga dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran khususnya di bidang matematika karena pada hakikatnya matematika mempunyai obyek kajian yang abstrak, sehingga siswa seringkali mengalami kesulitan pada saat belajar matematika, misalnya saja pada materi bangun ruang sisi datar yang mempunyai tingkat keabstrakan yang cukup tinggi, untuk itu pada penelitian ini pop up book digunakan sebagai media pembelajaran. Rahmawati (2012) menjelaskan pengertian pop up book adalah sebuah buku yang memiliki unsur tiga dimensi serta dapat bergerak ketika halamannya dibuka, disamping itu pop up book memiliki tampilan gambar yang indah dan dapat ditegakkan. Bentuk-bentuk yang ditampilkan pada pop up book ini merupakan materi yang berkaitan dengan matematika ataupun permasalahanpermasalahan matematika. Sehingga dengan adanya media pop up book ini dapat memberikan gambaran nyata terhadap materi matematika yang pada umumnya bersifat abstrak, karena pop up book menampilkan model bangun ruang sisi datar dalam bentuk nyata yang dapat memudahkan dalam penyampaian materi matematika. Berdasarkan paparan yang telah dijelaskan, maka peneliti ingin mengetahui keefektifan model pembelajaran CORE berbantuan pop up book terhadap kemampuan siswa kelas VIII pada aspek representasi matematis METODE Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini menggunakan true experimental design, dengan ciri utamanya yaitu sempel yang digunakan untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol diambil secara random dari populasi tertentu (Sugiyono, 2013). Penelitian ini menggunakan true experimental design dengan posttest-only control design. Berikut bentuk dari true experimental design dengan posttest-only control design. Tabel1.Desain Penelitian 156 S.I. Kusrianto et al. / UNNES Journal of Mathematics Education 5 (2) (2016) .HWHUDQJDQ Pembelajaran dengan menggunakan model CORE berbantuan pop up book Pembelajaran dengan menggunakan model Think-Pair-Share Kemampuan siswa kelompok : : : eksperimen pada aspek representasi matematis setelah mendapat perlakuan pembelajaran dengan model CORE berbantuan Kemampuan representasi siswa kelompok kontrol pada aspek matematis setelah mendapat perlakuan pembelajaran dengan model Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII di SMP Negeri 5 Pati tahun pelajaran 2014/2015. Populasi tersebut kemudian terambil dua kelompok yaitu kelompok eksperimen (VIII H) yaitu siswa yang diajarkan dengan model CORE berbantuan POP UP BOOK dan kelompok kontrol (VIII E) yaitu siswa yang diajarkan dengan model TPS. Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, tes dan observasi. Sebelum penelitian berlangsung, sebelumnya dilakukan analisis data tahap awal terlebih dahulu yaitu menggunakan uji normalitas dan homogenitas. Uji ini dilakukan untuk mengetahui bahwa kedua sampel berasal dari keadaan yang sama. Setelah itu kedua sampel diberi perlakuan yang berbeda namun sama-sama menanamkan aspek representasi matematis. Kelas eksperimen pembelajaran menggunakan model CORE berbantuan pop up book sedangkan pada kelas kontrol menggunakan model TPS. Setelah kedua sampel diberi perlakuan yang berbeda kemudian kedua sampel diberi tes ketuntasan hasil belajar materi kubus dan balok, tes tersebut merupakan tes prasyarat sebelum siswa melakukan tes kemampuan representasi matematis. Sebelum kedua tes tersebut diberikan kepada siswa, kedua tes tersebut telah dianalis validitas, tingkat kesukaran, daya beda dan reliabilitasnya. Dari hasil analisis tersebut diperoleh 6 soal tes ketuntasan materi kubus : dan balok dan 7 soal tes kemampuan representasi matematis. Setelah mendapatkan data akhir dari hasil post test kemudian data tersebut dianalisis dengan menggunakan uji proporsi dan uji kesamaan dua proporsi. Uji proporsi tersebut digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa pada aspek representasi matematis yang diajarkan dengan menggunakan model CORE berbantuan POP UP BOOK dapat mencapai ketuntasan pada materi bangun ruang sisi datar kelas VIII. Sedangkan uji kesamaan dua proporsi digunakan untuk mengetahui persentase ketuntasan kemampuan siswa yang diajarkan dengan menggunakan model CORE berbantuan POP UP BOOK pada aspek representasi matematis lebih tinggi dari pada siswa yang diajarkan dengan menggunakan model TPS. Jika kedua kriteria tersebut terpenuhi maka model pembelajaran CORE berbantuan pop up book efektif terhadap kemampuan siswa pada aspek representasi matematis. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Berdasarkan analisis data hasil UTS semester genap tahun ajaran 2014/2015 dengan menggunakan uji normalitas dan homogenitas diperoleh hasil bahwa data berdistribusi normal dan mempunyai varians yang sama atau homogen. Hal ini berarti populasi berasal dari keadaan awal yang relatif sama, dan selanjutnya dipilihlah sampel dari populasi tersebut yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada pelaksanaan penelitian, pembelajaran pada kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran CORE berbantuan POP UP BOOK dan pembelajaran tersebut dilakukan oleh peneliti. Sedangkan untuk kelas kontrol, pembelajaran dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran Think Pair Share oleh guru pengampu pelajaran matematika. Setelah kedua kelas diberikan pembelajaran dengan model yang berbeda, selanjutnya kedua kelas diberi tes kemampuan representasi matematis, namun untuk melakukan tes tersebut kedua kelas harus sudah mencapai ketuntasan pada materi kubus dan balok terlebih dahulu. Berikut adalah analisis dari hasil tes kemampuan representasi matematis. 157 S.I. Kusrianto et al. / UNNES Journal of Mathematics Education 5 (2) (2016) Uji Proporsi Uji proporsi (uji satu pihak, pihak kanan) digunakan untuk menguji proporsi () kemampuan representasi matematis siswa pada kelas eksperimen yaitu kelas yang menggunakan model pembelajaran CORE berbantuan pop up book mencapai ketuntasan belajar. Berikut adalah hipotesis yang digunakan. H0 π 75% (artinya persentase siswa yang diajar menggunakan model CORE berbantuan pop up book pada tes representasi matematis yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 75 kurang dari atau sama dengan 75%) > 75% ( artinya persentase siswa yang diajar menggunakan model CORE berbantuan pop up book pada tes representasi matematis yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 75 lebih dari 75%) Kriteria pengujiannya yaitu tolak H0 jika z z(0,5- ), dan dalam hal lainnya H0 diterima. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan diperoleh zhitung=3,16 dan dengan =5% dan diperoleh ztabel=1,64. Karena zhitungztabel , maka H0 diterima. Artinya persentase siswa yang diajar menggunakan model CORE berbantuan pop up book pada tes representasi matematis yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 75 lebih dari 75%. Hal ini berarti bahwa hasil tes kemampuan representasi matematis siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran CORE berbantuan pop up book telah mencapai ketuntasan lebih dari 75%. H1 π Uji Kesamaan Dua Proporsi Uji kesamaan dua proporsi (Uji satu pihak, pihak kanan) digunakan untuk mengetahui persentase ketuntasan kemampuan representasi matematis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dari pada persentase ketuntasan kemampuan representasi matematis siswa pada kelas kontrol. Berikut adalah hipotesis yang digunakan H0 π1 ≤ π2 (persentase ketuntasan siswa H1 π1 > π2 (persentase ketuntasan siswa pada kelas eksperimen kurang dari atau sama dengan persentase ketuntasan siswa pada kelas kontrol) pada kelas eksperimen lebih dari persentase ketuntasan siswa pada kelas kontrol) Kriteria dari uji kesamaan dua proporsi tersebut adalah tolak H0 jika zhitung ztabel , dan untuk hal lainnya H0 diterima. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil bahwa nilai zhitung = 1,719, dan dengan taraf nyata 5% maka diperoleh ztabel = 1,64. Dari perolehan hasil tersebut didapatkan bahwa nilai dari zhitung ztabel, hal ini berarti H0 ditolak. Artinya persentase ketuntasan kemampuan representasi matematis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dari pada persentase ketuntasan kemampuan representasi matematis siswa pada kelas kontrol. Analisis Hasil Tes Representasi pada Setiap Aspek Tes representasi matematis yang telah diberikan kepada siswa sebagai posttest mengandung tiga aspek penting dalam representasi matematis. Tiga aspek tersebut antara lain yaitu visual, persamaan atau ekspresi matematis dan kata-kata atau teks tertulis. Dari ketiga aspek tersebut, kemudian akan dianalisis sejauh mana tingkat pemahaman siswa berdasarkan tiap aspeknya. Berikut adalah hasil analisisnya Tabel 2. Kemampuan Representasi Matematis Tiap Aspek Berdasarkan tabel 2 kita dapat mengetahui bahwa persentase pemahaman siswa pada tes representasi matematis di setiap aspek sudah cukup baik. Aspek representasi visual ini diukur dari tes representasi matematis dengan menggunakan butir soal nomor 1a, 6b, 2 dan disini didapatkan tingkat pemahaman siswa mencapai 90%. Selanjutnya pada aspek persamaan atau ekspresi matematis yang diukur dengan menggunakan butir soal nomor 6a dan 5 menunjukkan pemahaman siswa mencapai 77%. Yang terakhir yaitu pada aspek kata-kata atau teks tertulis, pada aspek ini diukur dengan menggunakan butir soal nomor 1b, 3, 4 dan 7, hasilnya menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa pada aspek ini mencapai 97%. 158 S.I. Kusrianto et al. / UNNES Journal of Mathematics Education 5 (2) (2016) Pembahasan Penelitian ini menggunakan model CORE berbantuan Pop Up Book pada kelas eksperimen. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya diperoleh fakta bahwa dengan menerapkan model CORE berbantuan pop up book kemampuan siswa pada aspek representasi matematis dapat mencapai ketuntasan, bahkan lebih baik dari pada kemampuan siswa pada aspek representasi matematis pada kelas kontrol. Model CORE merupakan suatu model pembelajaran yang memiliki empat serangkaian proses yaitu connecting, organizing, reflecting dan extending. Penerapan keempat serangkaian proses tersebut tentu saja dapat menciptakan suatu pengalaman belajar bagi siswa, karena dalam pelaksanaannya siswa diarahkan untuk menemukan konsep baru melalui perpaduan konsep lama yang telah dimiliki dengan pengalaman baru dalam proses pembelajarannya. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Piaget bahwa pengalaman merupakan syarat penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Serta teori belajar Piaget juga menyatakan bahwa pengetahuan datang dari tindakan (Suprihatiningrum, 2013) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, model pembelajaran CORE ini menggunakan media pop up book sebagai alat bantu dalam proses pelaksanaan pembelajarannya. Pop up book merupakan suatu alat peraga yang dapat membantu siswa dalam mempermudah pemahaman materi yang bersifat abstrak. Apabila siswa dapat memahami materi dengan mudah, maka hal ini juga akan memudahkan siswa untuk merepresentasikan suatu hal. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam pelaksanaan pembelajarannya, siswa dilatih untuk menemukan konsep sendiri melalui media tersebut, sehingga konsep tersebut akan tertanam dalam pikiran siswa. Hal ini sesuai dengan teori belajar bermakna david ausubel yang menyatakan bahwa belajar bermakna akan terwujud apabila seseorang mengalaminya sendiri, dan dengan menggunakan pop up book, pembelajaran matematika akan menjadi lebih menarik, menyenangkan dan bermakna. Karena belajar bermakna tidak akan terwujud hanya dengan mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang pengalaman orang lain. Melainkan mengalami sendiri merupakan kunci untuk kebermaknaan. (Trianto, 2014) Pada penelitian ini proses pembelajaran dilaksanakan secara urut sesuai dengan langkah-langkah model pembelajaran CORE. Berdasarkan pelaksanaan pembelajaran pada pertemuan 1 masih terdapat kekurangan selama proses pelaksanaannya. Kinerja guru dalam pengelolaan pembelajaran belum terlaksana secara efektif karena penggunaan model pembelajaran CORE berbantuan pop up book merupakan hal yang baru bagi siswa sehingga masih membutuhkan cukup banyak penyesuaian yang harus dilakukan baik guru dan siswa. Pada saat melakukan kegiatan diskusi kelompok, hampir seluruh kelompok masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru, terutama pada saat penggunaan pop up book sehingga guru harus berusaha keras untuk memberi arahan kepada siswa. Kemudian pada saat mempresentasikan hasil diskusi, siswa juga masih merasa malu untuk mewakili kelompoknya sehingga guru harus memberikan penguatan kepada siswa supaya siswa merasa percaya diri. Berdasarkan lembar pengamatan aktivitas siswa dan guru, juga masih memperoleh skor yang rendah sehingga perlu penekanan lebih untuk pertemuan selanjutnya. Begitu juga hasil kuis yang diberikan kepada siswa di akhir pembelajaran, pada pertemuan pertama banyak siswa yang mendapatkan nilai di bawah KKM. Hal itu menandakan bahwa siswa belum dapat menerima pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CORE berbantuan pop up book yang dilakukan oleh peneliti. Pelaksanaan pembelajaran pada pertemuan kedua sudah lebih baik dari pada pertemuan pertama. Hal ini dikarenakan siswa sudah mulai terbiasa dengan penggunaan model pembelajaran CORE berbantuan pop up book. Pelaksanaan kegiatan diskusi serta partisispasi siswa dalam berkelompok semakin baik, sebagian anggota kelompok sudah mengerti tentang tugas-tugas yang harus mereka kerjakan. Siswa sudah mulai berani dan siap untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok mereka, meskipun guru menunjuk secara acak pada saat pelaksanaan presentasi namun secara keseluruhan siswa sudah siap. Hasil kuis pada pertemuan kedua juga memberikan hasil yang lebih baik dari pertemuan pertama. Serta berdasarkan lembar 9 S.I. Kusrianto et al. / UNNES Journal of Mathematics Education 5 (2) (2016) pengamatan aktivitas guru dan siswa, pada pertemuan kedua ini sudah mengalami peningkatan. Selanjutnya pada pertemuan ketiga, pembelajaran sudah berjalan dengan lancar, karena siswa sudah terbiasa belajar dengan menggunakan model pembelajaran tersebut. Pada pertemuan ketiga, siswa semakin aktif mengungkapkan pendapat mereka dalam diskusi kelompok, interaksi antar siswa sudah baik dengan saling bertanya dan menjelaskan kepada teman sekelompoknya. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal sudah lebih baik. Selain itu siswa sudah berani memberikan tanggapan pada kelompok lain yang mempresentasikan hasil diskusi mereka. Hasil kuis pada pertemuan ketiga juga memberikan hasil yang lebih baik lagi dari pertemuan pertama dan kedua. Berdasarkan analisis dari tiga pertemuan pembelajaran yang telah dijelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran yang menerapkan model CORE berbantuan pop up book mengalami peningkatan kualitas pembelajaran pada setiap pertemuannya. Hal tersebut juga didukung oleh adanya peningkatan pada aktivitas siswa yang telah diamati oleh observer. Oleh karena itu, wajar saja jika pada hasil tes representasi matematis, siswa yang mencapai ketuntasasan bisa lebih dari 75%. Kemampuan representasi matematis merupakan kemampuan untuk mengungkapkan suatu gagasan atau ide-ide matematika yang ditampilkan oleh siswa dalam upayanya untuk mencari solusi dari suatu permasalahan matematika yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000). Kemampuan pada aspek representasi matematis dibagi menjadi tiga bagian, yang pertama yaitu aspek representasi visual, yang kedua yaitu aspek persamaan atau ekspresi matematis dan yang terakhir adalah aspek katakata atau teks tertulis. Berdasarkan hasil pekerjaan siswa pada kelas eksperimen diperoleh bahwa kemampuan siswa pada aspek representasi visual sudah baik. Hal ini terbukti dengan hampir semua siswa dapat merepresentasikan suatu permasalahan ke dalam bentuk gambar serta menggunakan representasi visual tersebut untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Lain halnya dengan siswa pada kelas kontrol, berdasarkan pekerjaan siswa pada kelas kontrol diperoleh bahwa aspek representasi visual siswa masih tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan dari masih banyak siswa yang belum mampu merepresentasikan suatu permasalahan ke dalam bentuk gambar. Pemahaman siswa kelas eksperimen pada aspek representasi visual ini dinilai cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena pada kelas eksperimen pembelajaran dibantu dengan menggunakan media pop up book. Media pop up book ini dapat membantu siswa untuk menunjukkan model bangun yang dimaksud secara konkrit, dalam hal ini model bangun yang dimaksud yaitu kubus dan balok. Penggunaan media ini selain dapat mempermudah siswa untuk mengembangkan kemampuan pada aspek representasi visual, namun dapat juga memberikan kesan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga siswa dapat mengingat pembelajaran dengan baik. Siswa juga menjadi lebih terampil dalam menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah. Kemudian siswa juga dapat menyalin kembali data atau informasi dari suatu representasi ke representasi gambar dengan tepat. Untuk itu, wajar saja jika siswa dapat dengan mudah mengembangkan representasi visual mereka sehingga pemahaman siswa pada aspek representasi visual ini juga mendapatkan hasil yang baik. Selanjutnya aspek yang kedua yaitu aspek persamaan atau ekspresi matematis. Sama halnya dengan aspek yang pertama yaitu aspek visual, pada aspek persamaan atau ekspresi matematis ini kemampuan siswa pada kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol. Meskipun kelas eksperimen lebih baik, namun untuk persentase pemahaman siswa tidak terlalu tinggi. Dalam hal ini siswa sudah mampu menyatakan masalah yang diberikan ke dalam bentuk persamaan matematis. Meskipun siswa sudah mampu menyatakan suatu permasalahan ke dalam persamaan matematis, namun seringkali siswa masih melakukan kesalahan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, hal ini disebabkan karena siswa seringkali kurang cermat dalam memahami permasalahan serta siswa juga masih kurang teliti sehingga penyelesaian dari permasalahan yang dikerjakan siswa masih kurang tepat. Supaya hal ini dapat teratasi, maka siswa perlu banyak berlatih dalam menyelesaikan soal-soal. Aspek yang terakhir yaitu aspek katakata atau teks tertulis. Pada aspek ini, kemampuan siswa pada kelas eksperimen dapat dikatakan baik sekali, hal ini dapat terlihat dari 0 S.I. Kusrianto et al. / UNNES Journal of Mathematics Education 5 (2) (2016) hasil tes representasi matematis pada aspek ini yang menunjukkan tingkat pemahaman siswa yang tinggi. Pada aspek ini siswa sudah dapat mengemukakan ide-ide mereka serta dapat menjawab pertanyaan baik dalam bentuk katakata maupun tertulis dan siswa juga terampil dalam menyusun situasi masalah sesuai dengan representasi matematis yang disajikan. Hal ini dapat dilihat pada saat kegiatan diskusi, presentasi maupun pada saat tanya jawab dengan guru, siswa pada kelas eksperimen begitu antusias dan aktif dalam menyampaikan pendapat mereka. Hal ini mungkin disebabkan karena pembelajaran pada kelas eksperimen berbeda dari biasanya dalam hal penyampaiannya, sehingga siswa lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran. Lain halnya dengan siswa pada kelas kontrol yang cenderung pasif, sehingga pada aspek ini kemampuan siswa masih kurang optimal. Meskipun pembelajaran yang terjadi di dalam kedua kelas sama-sama dilakukan dengan cara berkelompok, namun kegiatan pembelajaran pada kelas eksperimen menghasilkan tingkat kemampuan representasi matematis yang lebih baik. Hal itu dikarenakan jumlah kelompok pada kelas eksperimen yang terbentuk tidak terlalu banyak seperti pada kelas kontrol. Sehingga guru dapat lebih mudah mengontrol kegiatan diskusi tiap kelompok. Dengan adanya kelompok pada kelas eksperimen yang terdiri dari 4 sampai 5 orang menyebabkan kegiatan diskusi dapat berjalan dengan baik karena banyak ide yang dapat digali dari setiap anggota kelompok. Berbeda dengan kelompok di kelas kontrol yang kelompoknya hanya terdiri dari dua orang sehingga ide yang dapat digali lebih sedikit. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran CORE berbantuan pop up book efektif terhadap kemampuan siswa kelas VIII pada aspek representasi matematis. Hal ini ditunjukkan oleh (1) kemampuan siswa pada aspek representasi matematis yang diajarkan dengan menggunakan model CORE berbantuan pop up book dapat mencapai ketuntasan pada materi bangun ruang sisi datar kelas VIII; (2) persentase ketuntasan kemampuan siswa yang diajarkan dengan menggunakan model CORE berbantuan pop up book pada aspek representasi matematis lebih tinggi dari pada siswa yang diajarkan dengan menggunakan model TPS. Penelitian ini juga menunjukkan kemampuan siswa kelas VIII pada aspek representasi matematis pada pembelajaran CORE berbantuan pop up book mempunyai pencapaian yang baik pada setiap aspeknya. Berdasarkan simpulan di atas, saran yang dapat direkomendasikan adalah (1) pada saat penelitian, jumlah pop up book yang digunakan terbatas, untuk itu perlu ditambah lagi jumlahnya supaya hasilnya lebih maksimal; (2) guru matematika dalam menyampaikan materi kubus dan balok dapat menerapkan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CORE berbantuan pop up book sebagai salah satu alternatif untuk mengembangkan kemampuan siswa pada aspek representasi matematis; (3) pembelajaran dengan menggunakan model CORE berbantuan pop up book terbukti efektif terhadap kemampuan siswa pada aspek representasi matematis khususnya pada materi kubus dan balok, untuk itu perlu terus dikembangkan pada materi geometri ruang yang lain supaya siswa dapat lebih mudah mengerti apa yang dipelajari. DAFTAR PUSTAKA Dwijayanti, A. 2014. Komparasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika antara Model PBI dan CORE Materi Lingkaran. Unnes Journal of Mathematics Education, 3(3). Tersedia di http:// journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ ujme/aticle/ viewfile/4484/4138 Effendi, L A. 2012. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penentuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tersedia: http://jurnal.upi.edu/file/leo_Adhar.p df NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston V A: Library of Congress Catalouging – in – Publication Hutagaol, Kartini. 2013. Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol. 2, No. 1. Rahmawati, Nila. 2012. Pengaruh Media Pop Up Book Terhadap Penguasaan Kosakata Anak Usia 5-6 Tahun di TK Putera Harapan Surabaya. Tersedia di http://ejurnal.unesa.ac.id/article/9458/19 /article.pdf Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta S.I. Kusrianto et al. / UNNES Journal of Mathematics Education 5 (2) (2016) Strategi Suprihatiningrum, Jamil. 2013. Pembelajaran : Teori dan Aplikasi. Jakarta: Ar-ruzmedia Trianto. 2014. Model Pembelajaran Terpadu : Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara. Yuniawatika. 2011. Penerapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi REACT untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Representasi Matematik Siswa Sekolah Dasar. Edisi Khusus No.2, Agustus 2011. Tersedia: http://jurnal.upi.edu/penelitianpendidikan/view/673/penerapanpembelajaran-matematika-dengan-strategireact-untuk-meningkatkan-kemampuankoneksi-dan-representasi-matematik-siswasekolah-dasar-studi-kuasi-eksperimen-dikelas-v-sekolah-dasar-kota-cimahi-.html 2