JURNAL YUDISIAL Vol-IV/No-03/Desember/2011 Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : [email protected] SIMULACRA KEADILAN MEMBIDIK PENALARAN HAKIM DI BALIK SKOR "KOSONG-KOSONG" DALAM KASUS PRITA MULYASARI Kajian Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010, Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara PENGUSUNGAN POLA PIKIR POSITIVISME HUKUM DALAM PERKARA KORUPSI Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW Ricca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila PERGULATAN PEMAKNAAN PASAL 2 DAN 3 UUPTPK Kajian Putusan Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL Rifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila KANDASNYA KRIMINALISASI PERKARA PERDATA MURNI Kajian Pustaka Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst Sholahuddin Harahap, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung PERSPEKTIF MORALITAS DALAM PERKARA ABORSI Kajian Putusan Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT S. Atalim, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara "UNDUE PROCESS OF LAW" DALAM PERKARA PIDANA PERJUDIAN DENGAN TERDAKWA ANAK Kajian Putusan Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG Melani, Fakultas Hukum Universitas Pasundan RELASI PEMAHAMAN HAKIM DAN KUALITAS PUTUSAN DALAM KASUS PIDANA LINGKUNGAN Kajian Putusan Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Deni Bram, Fakultas Hukum Universitas Pancasila JY I VOL - IV/NO-03/DESEMBER/2011 I HLM. 251-357 I JAKARTA I ISSN 1978-6506 VOL-IV/NO-03/DESEMBER/2011 I JURNAL DES.indd 1 5/16/2012 5:08:12 PM DISCLAIMER J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal. Alamat Redaksi: Gedung Komisi Yudisial Lantai 3 Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215 Email: [email protected] II JURNAL DES.indd 2 5/16/2012 5:08:12 PM DAFTAR ISI Membidik penalaran hakim di balik skor “kosong-kosong” dalam kasus Prita Mulyasari .......................................... kajian Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010, Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara 251 Pengusungan pola pikir positivisme hukum dalam perkara korupsi .................................................... Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW Ricca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila 262 pergulatan pemaknaan pasal 2 dan 3 UUPTPK ........................................................... Kajian Putusan Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL Rifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila KANDASNYA KRIMINALISASI PERKARA PERDATA MURNI ..................................................... Kajian Pustaka Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst Sholahuddin Harahap, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Persfektif Moralitas dalam Perkara Aborsi ....................................................... kajian Putusan Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT S. Atalim, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara 279 293 308 “UNDUE PROCESS OF LAW” DALAM PERKARA PIDANA PERJUDIAN DENGAN TERDAKWA ANAK ................................ Kajian Putusan Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG Melani, Fakultas Hukum Universitas Pasundan 324 Relasi pemahaman hakim dan kualitas putusan dalam kasus pidana lingkungan .................................... Kajian Putusan Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Deni Bram, Fakultas Hukum Universitas Pancasila 339 III JURNAL DES.indd 3 5/16/2012 5:08:12 PM PENGANTAR “SIMULACRA KEADILAN” Simulacra adalah dunia yang di dalamnya ditampilkan sifat kepura-puraan. Dunia yang penuh dengan topeng, kedok dan make up. Ada terdakwa pura-pura, pengadilan pura-pura, dan keadilan pura-pura. Cara-cara penyelesaian hukum serba palsu dan serba semua memperlihatkan bahwa sesungguhnya lembaga hukum tepatnya aparat hukum sudah tenggelam di dalam dunia virtualitas dan perversalitas. Ada yang tersajikan tak lebih dari wacana-wacana hukum yang semu, the virtual law, keadilan yang palsu, the virtual justice. K alimat di atas disadur dari salah satu aline buku Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial, karya Yasraf Amir Piliang. Kalimat tersebut mengambarkan apa yang dinamakan SIMULACRA. Simulacra berasal dari bahasa latin simulacrum yang berarti “rupa dan kesamaan” untuk menggambarkan representasi dari fakta yang terjadi dihadapan mata yang sebenarnya bertolak belakang. Simulacra dicetuskan pertama kali oleh Jean Baudrillard, salah seorang filosof Perancis. Jean mengacu pada teori hyper-reality dan simulation. Simulasi yang mencitrakan sebuah realitas dan pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Singkat kata simulasi adalah realitas semu (hyper-reality). Secara sederhana simulacra dilustrasikan bahwa konstruksi-konstuksi kebenaran yang bersifat fiktif, retoris dan palsu. Kondisi itu telah mengambil alih fakta kebenaran formil dan materiil melalui kata atau simbol. Simbol-simbol yang diagung-agungkan itu sebagai ilusi alam bawah sadar yang justru mengungkapkan fakta sesungguhnya. Dalam dunia hukum, simulacra adalah dunia semu yang dibentuk oleh permainan citra dan retorika serta trik pengelabuhan. Di dalam simulacra berlangsung permainan hukum sebagai wacana semata yang diperdebatkan oleh aparat hukum, politisi, hingga akademisi. Di sini tercipta sebuah arena permainan terhadap hukum dan undangundang. Arena itu penuh dengan permainan bahasa hukum, permainan kata-kata, simbol dan makna. Muara dari permainan itu untuk mengatakan sesuatu itu benar-salah, baik-buruk, moral-amoral. Kata-kata seperti akan diselidiki, akan diusut tuntas, akan dilakukan penyelidikan menyeluruh, dan akan memberikan keadilan yang seadil-adilnya adalah contoh dari permainan simulacra. Kalimat-kalimat dalam simulacra sungguh sangatlah menenangkan. Sayang, itu hanyalah ilusi yang berkiblat arah yang berbeda dari sesungguhnya. Justru kalimat itu menjauhkan dari makna yang sebenarnya yang berintikan pada keadilan. IV JURNAL DES.indd 4 5/16/2012 5:08:12 PM Simbol Langit Keadilan adalah kebutuhan kolektif yang diimpikan semua orang atas sesuatu yang sesuai dengan hak-haknya. Keadilan berasal kata benda dari kata dasar ADIL yang bersumber dari Bahasa Arab ‘ADALA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, adil bermakna sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak yang benar, berpegang pada kebenaran, tidak sewenang-wenang, dan sepatutnya. Sementara menurut Black’s Law Dictionary, adil atau fair bermakna impartial, free of bias of justice, just, dan equitable. Keadilan adalah tujuan tertinggi dalam hukum maka tidak berlebihan apabila dikatakan hukum menjadi alat dan sarana untuk mewujudkan keadilan. Hukum dan keadilan kadang tidak selalu sejalan karena keadilan sebagai nilai tidak mudah diwujudkan dalam hukum. Keadilan sarat dengan nilai abstrak, irrasionalitas dan tidak selalu diterjemahkan dalam pasal-pasal hukum. Meski demikian, kepastian hukum adalah bagian dan dibutuhkan sebagai upaya menegakkan keadilan. Keadilan merupakan simbol langit dan kalimat Tuhan yang senantiasa menebarkan kebaikan. Banyak firman Tuhan yang mewajibkan manusia untuk senantiasa bersikap adil termasuk hakim dengan putusannya. Maka, keadilan yang merupakan inti putusan pengadilan harus diwujudkan secara substantif dan atributif. Bagaimana apabila pengadilan tanpa keadilan? Tanpa keadilan, pengadilan bukan lagi tempat untuk memeriksa dan memutuskan sebuah perkara. Nilai sakralitas pengadilan yang sarat dengan nilai-nilai Tuhan telah sirna. Merujuk pada deskripsi di atas, Jurnal Yudisial edisi ini mengambil tema tentang SIMULACRA KEADILAN. Simulacra dan Keadilan adalah dua kata yang memiliki dua makna berbeda. Satu sisi Simulacra adalah simbol dan kamuflase dari impian yang penuh dengan ilusi, dan sisi yang lain keadilan adalah cita-cita ideal yang hendak diwujudkan manusia. Beberapa kasus di edisi ini memperlihatkan hal-hal yang kontradiktif antara harapan dan fakta yang mengusik rasa keadilan, kemanusiaan dan keadilan. Tema itu menjadi edisi penutup jurnal edisi terakhir di tahun 2011 yang terbit pada Desember 2011. Sebagai penutup, sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial, kami mengucapkan terima kasih Ketua Komisi Yudisial Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H., dan Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si., atas dukungan terhadap penerbitan jurnal ini. Tak lupa terima kasih juga kami ucapkan kepada para Mitra Bestari dan pihak-pihak lain yang membantu proses penerbitan hingga hadir di hadapan Anda. Tertanda Pemimpin Redaksi V JURNAL DES.indd 5 5/16/2012 5:08:12 PM PEDOMAN PENULISAN Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. I. FORMAT NASKAH Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. II. SISTEMATIKA NASKAH Judul naskah Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh: PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG Nama dan identitas penulis Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh: Mohammad Tarigan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440, email [email protected]. VI JURNAL DES.indd 6 5/16/2012 5:08:12 PM Abstrak Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf. III. PENDAHULUAN Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. IV. RUMUSAN MASALAH Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya. V. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah. VI. KESIMPULAN Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah. PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut: Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ... Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52); Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23); Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10). Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata VII JURNAL DES.indd 7 5/16/2012 5:08:12 PM cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut: Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press. Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall. Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http:// www.library.cornell.edu/resrch/intro>. PENILAIAN Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut. CARA PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Nur Agus Susanto (085286793322); Dinal Fedrian (085220562292); atau Arnis (08121368480). Alamat redaksi: Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215. VIII JURNAL DES.indd 8 5/16/2012 5:08:12 PM MITRA BESTARI Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesarbesarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi April 2011, Agustus 2011, dan Desember 2011. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. 2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum. 3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. 4. Prof. Dr. Paulus Hadi S., S.H., M.H. 5. Prof. Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum. 6. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. 7. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., LL.M. 8. Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M. 9. Barkah, S.H., M.H. 10. Dr. Widodo Dwi Putro,S.H., M.H IX JURNAL DES.indd 9 5/16/2012 5:08:12 PM TIM PENYUSUN Penanggung Jawab : Muzayyin Mahbub. Pemimpin Redaksi : Patmoko Penyunting/Editor : 1. Hermansyah 2. Onni Roeslani 3. Heru Purnomo 4. Imron 5. Asep Rahmad Fajar 6. Suwantoro Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian Sekretariat : 1. Sri Djuwati 2. Yuni Yulianita 3. Romlah Pelupessy. 4. Ahmad Baihaki 5. Arif Budiman. 6. Adi Sukandar 7. Aran Panji Jaya 8. Nur Agus Susanto Desain Grafis & Fotografer JURNAL DES.indd 10 Arnis Duwita : Widya Eka Putra 5/16/2012 5:08:12 PM MEMBIDIK PENALARAN HAKIM DI BALIK SKOR “KOSONG-KOSONG” DALAM KASUS PRITA MULYASARI Kajian Putusan Nomor 300 K/Pdt /2010 Shidarta Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta email [email protected] Abstract The case of Prita Mulyasari versus Omni International Hospital et al. is one of attractive legal problems happened in the last three years. In the context of private legal action, the Supreme Court had declared Prita was not guilty to spread her email because expressing somebody’s feeling through personal and restricted communication media is not considered unlawful. On the other hand, any claim of malpractice should be proved by the claimant. According to the court’s ruling, Prita failed to establish the evidences in order to support her statement. The court also relied on the assessment of malpractice to the Indonesian Medical Doctor Ethics Board. Such ways of thinking are the focuses of analysis in this article. The author believes there are some fallacies of legal reasoning occurred in this court decisio Keywords: legal reasoning, tort, malpractice, ethics ABSTRAK Kasus Prita Mulyasari melawan Omni International Hospital dkk adalah sebuah perkara hukum yang menarik perhatian publik dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Dalam kasus perdata, MA menyatakan Prita tidak bersalah menyebarluaskan surat elektroniknya karena perbuatan mengungkapkan persaan seseorang melalui media komunikasi pribadi dan terbatas bukanlah perbuatan melawan hukum. Pada sisi lain, gugatan malpraktik yang diajukan Prita haruslah dibuktikan oleh si penggugat. Menurut majelis hakim kasasi, Prita gagal membuktikan gugatannya itu. Pengadilan juga mengandlkan penilaian malpraktik ini pada Majelis Kehormatan Dokter Indonesia. Artikel ini memfokuskan perhatiannya pada cara hakim bernalar atas kasus ini. Penulis menemukan sejumlah kesesatan penalaran dalam putusan ini. kata kunci: penalaran hukum, perbuatan melawan hukum, malpraktik, etika. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 251 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 251 5/16/2012 5:08:12 PM I. PENDAHULUAN Kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni International Hospital dan sejumlah dokter di rumah sakit itu, telah menuai perhatian publik yang sangat luas. Ada dua perkara dari kasus ini yang berjalan secara bersamaan, yakni perkara pidana dan perdata. Hasilnya sama-sama sudah diketahui oleh publik. Terdapat divergensi dalam penjatuhan putusan dari kedua perkara yang berujung di Mahkamah Agung ini. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membandingkan kedua putusan (perdata dan pidana) tersebut. Tulisan ini akan memfokuskan pada dimensi perdata yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap sejak ditetapkan melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pdt/2010. Terlepas putusan ini konon mendapat apresiasi publik, ada hal-hal menarik yang sebenarnya patut direnungkan di balik pertimbangan hukum dan amar putusan yang dipilih oleh majelis hakim tersebut. Oleh karena kasus ini sudah menjadi diskursus publik dan sudah berkekuatan hukum tetap, dipandang tidak cukup bermanfaat untuk membuat singkatan inisial nama-nama para pihak yang terlibat dalam kasus ini. Hanya beberapa nama dokter yang tidak terkait sebagai para pihak dalam kasus ini, dicantumkan sebagai nama inisial. Garis-garis besar pandangan penulis dalam artikel ini sebelumnya juga pernah diajukan sebagai salah satu analisis terhadap sekian banyak putusan pilihan Mahkamah Agung dalam laporan penelitian putusan tahun ini. Analisis tersebut terkait dengan penelitian profesionalisme hakim (program Komisi Yudisial tahun 2011). Namun, patut dicatat bahwa substansi kajian ini sepenuhnya berangkat dari sudut pandang penulis sepenuhya dan tidak mewakili pandangan kelembagaan Komisi Yudisial. Kasus Prita sendiri sebenarnya sudah cukup dikenal masyarakat karena mendapat liputan media massa secara luas. Kasus ini bermula pada malam tanggal 7 Agustus 2008, ketika Prita Mulyasari (selanjutnya disingkat Prita) datang ke layanan Unit Gawat Darurat RS Omni dan ditangani dr. IPA (nama inisial) dengan keluhan panas selama beberapa hari, kepala berat, mual, muntah, lemas, dan sakit tenggorokan. Menurut dr. IPA, hal ini merupakan indikasi dari penyakit demam berdarah, tipus, dan infeksi virus. Atas keluhan itu dr. IPA melakukan pemeriksaan medis secara umum (general) dan menginstruksikan petugas laboratorium RS Omni untuk melakukan pemeriksaan penunjang, di antaranya pemeriksaan darah. Petugas laboratorium memberitahu hasil pemeriksaan ini secara lisan kepada dokter bahwa trombosit Prita 27.000/ul (mikroliter); normalnya 200.000/ul. Menurut pihak RS Omni, petugas laboratorium ini tidak yakin dengan pemeriksaan awal ini karena masih terdapat bekuan darah. Petugas laboratorium menyarankan pemeriksaan darah ulang. Dr. IPA meminta izin Prita melakukan pemeriksaan ulang. Prita setuju dengan permintaan ini. Pada saat pengambilan darah waktu pemeriksaan ulang ini, tubuh Prita belum dipasang infus. Oleh karena kondisi Prita lemah, sakit ulu hati, mual, dan tidak ada nafsu makan, dr. IPA 252 | JURNAL DES.indd 252 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:12 PM menyarankan Prita dirawat inap. Baru setelah itu, terhadap Prita diberikan cairan infus. Prita dimasukkan ke dalam kamar 409.2 lantai 4 B RS Omni. Keesokan harinya, seorang dokter bernama dr. Henky Gozal memberitahu hasil tes laboratorium kedua (ulangan) bahwa trombosit Prita 181.000/ul, dan selanjutnya dilakukan tindakan medis (terapi pengobatan). Menurut pihak Prita, sebelum pemeriksaan kedua (versi RS) ini sebenarnya ada pemeriksaan ulang yang hasilnya pun sama dengan pemeriksaan lab sebelumnya yaitu trombosit 27.000/ul. Atas dasar itu, Prita langsung diinfus dan diberikan suntikan tanpa penjelasan dan tanpa izin Prita/keluarganya. Baru pada tanggal 8 Agustus 2008 ada pemberitahuan bahwa RS merevisi hasil lab, yaitu bukan 27.000/ul melainkan 181.000/ul. Sewaktu ditanya, pihak RS mengatakan Prita mengalami demam berdarah. Selanjutnya, kembali Prita diberikan berbagai macam suntikan dan infus sehingga lengan kiri dan leher serta matanya mengalami pembengkakan. Prita minta supaya infus dan suntikan dihentikan. Prita ditangani dokter pengganti. Suhu tubuh Prita 39 derajat Celcius. Dua hari kemudian, yaitu tanggal 9 Agustus 2008, menurut Prita, dokter baru datang sore harinya, dengan memberi instruksi kepada suster agar suntikan tetap diberikan. Waktu ditanya kejelasan penyakitnya, dokter menjelaskan selain demam berdarah, pasien juga terkena virus udara. Infus kembali diberikan. Malam harinya, Prita disuntik dua ampul sekaligus. Setelah itu, Prita sesak napas sehingga diberikan bantuan oksigen selama 15 menit. Pada tanggal 12 Agustus 2008, Prita sudah dirawat inap selama lima hari di RS Omni. Menurut dokter, kondisinya sudah membaik (tidak demam, tidak mual, nafsu makan membaik). Menurut pihak RS Omni, Prita minta izin pulang, tetapi sebaliknya, menurut Prita, dirinyalah yang justru minta pulang paksa. Menurut beberapa dokter yang menanganinya (kemudian menjadi para penggugat) menyampaikan ada temuan gejala penyakit gondongan (MUMP/parotitis). RS menyatakan, mereka mengizinkan Prita pulang dengan catatan harus melakukan terapi lebih lanjut atas virus gondongan yang baru ditemukan. Menurut pihak RS, setelah itu Prita mulai menunjukkan sikap marah-marah dengan alasan ia tidak puas dengan pelayanan perawatan RS dan dr. Henky Gozal. Lalu, dr. Grace Hilda selaku penanggung jawab komplain RS menyarankan agar Prita mengisi lembar “masukan dan saran” mengenai ketidakpuasannya. Pengisian ini sudah dilakukan. Menurut pihak Prita, temuan penyakit gondongan/MUMPS itu adalah temuan setelah Prita dirawat di RS International Bintaro. Prita justru merasa belum sembuh sebagaimana terlihat pada kondisi kedua tangan, kedua mata, dan leher bengkaknya yang bengkak, serta ia menderita demam. Prita memutuskan untuk keluar dari RS Omni dan melanjutkan perawatan di RS International Bintaro. Untuk melanjutkan perawatan di RS lain, Prita memerlukan rekam medis pada RS Omni, tetapi RS ini tidak bersedia memberikan hasil pemeriksaan laboratorium (terkait trombosit 27.000/ul) yang merupakan hak pasien. Prita kemudian dirawat di RS Bintaro yang mendiagnosisnya menderita penyakit gondongan yang telah parah karena membengkak. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 253 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 253 5/16/2012 5:08:12 PM Apabila penanganannya terlambat, dapat menyebabkan pembengkakan pankreas dan kista. Baru satu hari dirawat di RS Bintaro ini, Prita justru sudah dinyatakan sembuh dan boleh pulang. Pada tanggal 15 Agustus 2008, Prita membuat surat elektronik terbuka pada situs [email protected] dengan judul “Penipuan OMNI International Hospital Alam Sutera Tangerang”. Surat elektronik ini kemudian disebarluaskan ke berbagai alamat email. Dalam email tersebut ada kata-kata yang ditulis Prita, yang menurut pihak RS Omni sebagai bukti telah terjadinya perbuatan melawan hukum. Kata-kata yang dianggap tendensius itu adalah: (1) Penipuan OMNI International Hospital Alam Sutera Tangerang; (2) Manajemen Omni pembohong besar semua; (3) Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini; (4) Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional sama sekali; dan (5) Tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer. Rupanya surat elektronik Prita ini cepat tersebar luas. Belum berselang waktu satu bulan, tulisan Prita telah beredar luas di jaringan komunikasi dunia maya. Atas perkembangan ini, pada tanggal 5 September 2008, RS Omni mengadukan Prita ke pihak kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pada saat bersamaan, RS Omni juga menyampaikan pengumuman (bantahan) di harian Media Indonesia. Tiga hari kemudian, RS Omni memuat pengumuman serupa di harian Kompas. Selain melakukan laporan tindak pidana, PT Sarana Mediatama Internasional (pengelola RS Omni), dr. Henky Gozal, dan dr. Grace Hilza Y.N. juga mengajukan gugatan perdata kepada pihak Prita dengan dasar perbuatan melawan hukum. Perkara ini kemudian bergulir di Pengadilan Negeri Tangerang, yang memutuskan perkara perdata dengan amar putusan (Putusan Nomor 300/ Pdt.G/2008/PN.TNG tanggal 11 Mei 2009) yang intinya “memenangkan” pihak penggugat (RS Omni dkk). Pada saat kasus perdata ini diputus, laporan pidana di atas belum ditindaklanjuti sampai pada putusan in kracht. Patut dicatat bahwa menurut pihak RS Omni, pernah ada rapat Komite Medik, yang hasilnya menyimpulkan bahwa dalam kasus ini tidak ada penyimpangan dalam standard operation procedure dan tidak ada penyimpangan dalam etik. Tidak jelas dalam paparan putusan MA ini apakah rapat Komite yang dimaksud sama dengan rapat MKDI, yang tertuang dalam Surat Keputusan Majelis Kehormatan Dokter Indonesia No. 130/Kep/MK/DKI/V/2010. Jika benar sama, dengan mengacu ke nomor surat tersebut, berarti rapat baru dilakukan sekitar Mei 2010. Prita mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Tangerang ini. Pengadilan Tinggi Banten memutuskan perkara tingkat banding (Putusan Nomor 71/Pdt/2009/PT.BTN tanggal 8 September 2009) dengan amar yang intinya tetap “memenangkan” RS Omni dkk. Prita mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Banten tersebut. Pemohon kasasi adalah Prita Mulyasari melawan PT Sarana Mediatama Internasional sebagai pengelola pelayanan kesehatan 254 | JURNAL DES.indd 254 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:12 PM bernama Omni International Hospital Alam Sutera bersama dengan dua orang dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut, yaitu dr. Hengky Gozal, Sp.Pd. dan dr. Grace Hilza Yarlen Nela. Mahkamah Agung memutuskan perkara tingkat kasasi yang intinya seolah-olah “memenangkan” pihak Prita Mulyasari (Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010 tanggal 29 September 2010). Putusan ini mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi, membatalkan putusan PT Banten yang memperbaiki putusan PN Tangerang. Mahkamah Agung juga mengadili sendiri: (1) dalam konpensi: (dalam eksepsi) menolak eksepsi tergugat; dan (dalam pokok perkara) menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya; (2) dalam rekonpensi: menolak gugatan rekonpensi untuk seluruhnya; menghukum para termohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp500 ribu. Amar putusan seperti yang disampaikan oleh majelis hakim Mahkamah Agung menarik untuk dicermati. Amar putusan memang di satu sisi mengabulkan permohonan kasasi Prita, tetapi di sisi lain tidak juga “menghukum” RS Omni dkk. Dapat dikatakan, ibarat pertandingan sepak bola, perjalanan kasus ini berakhir pada skor imbang kosong-kosong. Skor ini dapat dimaknai bahwa baik tindakan yang dilakukan oleh Prita (menulis surat keluhan yang dinilai melawan hukum oleh pihak RS Omni) maupun tindakan RS Omni (memberi rangkaian layanan medik tertentu yang juga dinilai melawan hukum oleh pihak Prita), oleh majelis hakim sama-sama diposisikan sebagai perbuatan konkret biasa. Kedua peristiwa itu dinyatakan tidak terbukti, yang berarti keduanya adalah bukan perbuatan hukum. Sesuatu perbuatan yang bukan perbuatan melawan hukum berarti perbuatan keduanya adalah perbuatan yang tidak memiliki akibat hukum. Cara melihat persoalan yang ditunjukkan oleh majelis hakim perkara perdata ini ternyata sangat kontras dengan perkembangan pada perkara pidana untuk kasus ini. Dalam perkara pidana di tingkat kasasi, Prita dinyatakan bersalah. Artinya, dalam konteks pidana, perbuatan Prita sebenarnya merupakan perbuatan hukum. II. RUMUSAN MASALAH Sebagaimana dinyatakan dalam bagian pendahuluan di atas, analisis tulisan ini tidak diarahkan untuk membandingkan kedua putusan dalam kedua perkara (perdata dan pidana). Juga tidak akan difokuskan pada perdebatan terkait konsep-konsep perbuatan melawan hukum. Kajian akan diarahkan pada Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010, dengan mempersoalkan konstruksi penalaran hukum hakim di balik skor “kosong-kosong” yang dijatuhkan oleh majelis kasus ini. Kendati konsep-konsep perbuatan melawan hukum tidak menjadi sorotan utama dalam kasus ini, tidak dapat dihindari bahwa rumusan pertanyaan tersebut tidak dapat lepas dari isu tersebut. Sebagaimana luas dipahami, sejak tanggal 31 Januari 1919 (Arrest Lindenbaum vs. Cohen), kata “hukum” dalam onrechtmatige daad sudah ditafsirkan tidak lagi sekadar onwetmatige daad. Perbuatan melawan hukum adalah juga berarti perbuatan yang memenuhi salah satu kriteria JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 255 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 255 5/16/2012 5:08:12 PM berikut, yaitu: (1) melanggar hak orang lain, (2) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, (3) bertentangan dengan kesusilaan yang baik, dan/atau (4) bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain (Setiawan, 1991: 12). Gerakan “koin untuk Prita” jelas menunjukkan ada kegalauan sedemikian luas di dalam masyarakat kita terhadap perilaku salah satu pihak dalam kasus ini, dan hal itu tentu mengindikasikan satu atau beberapa kriteria di atas telah terjadi di dalam kasus ini. III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pdt/2010 tidak semua pertimbangan yang diajukan para pihak dipertimbangkan satu demi satu oleh majelis. Mahkamah Agung menyimpulkan Pengadilan Tinggi Banten (judex facti) telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan cukup singkat sebagai berikut: a. Bahwa pengungkapan suatu perasaan tentang apa yang dialami tidak dapat dikatakan perbuatan melawan hukum, karena ungkapan tersebut hanya berupa keluhan; b. Bahwa berita yang dikirim oleh tergugat melalui email kepada teman-temannya tidak dapat dikategorikan sebagai maksud untuk menghina karena hal tersebut hanya merupakan keluhan tergugat kepada teman-temannya; c. Bahwa berdasarkan fakta, pemohon kasasi dirawat inap di Omni Internasional Hospital dari tanggal 7 Agustus 2008 s.d. 12 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi dan kepala pusing; d. Bahwa selama dirawat, pemohon kasasi telah memperoleh tindakan medis, tetapi bukan kesembuhan yang diterima, tetapi justru mengakibatkan kondisi kedua tangan, kedua mata, leher bengkak serta demam dan akhirnya pemohon kasasi memutuskan untuk keluar dan melanjutkan perawatan di RS International Bintaro; e. Bahwa kejadian dan pengalaman yang dialami oleh pemohon kasasi, diceritakan kepada kawan-kawannya melalui email yang merupakan media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup yang tidak setiap orang dapat mengaksesnya; f. Bahwa kasus/gugatan para termohon kasasi terhadap pemohon kasasi terkait dengan perkara pidana No. 1269/Pid.B/2009/PN TNG. Pemohon kasasi/terdahulu tergugat telah didakwa melakukan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan/pencemaran nama baik, melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sebagaimana dirumuskan dalam dakwaan kesatu, dakwaan kedua, dan dakwaan ketiga; 256 | JURNAL DES.indd 256 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:12 PM g. Bahwa atas dakwaan JPU tersebut PN Tangerang telah menjatuhkan putusan tanggal 22 Desember 2008 (seharusnya 2009) No. 1269/Pid.B/2009, di mana terdakwa Prita Mulyasari (pemohon kasasi) dinyatakan tidak terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan JPU. Karena itu, pemohon kasasi selaku terdakwa dinyatakan bebas dari segala dakwaan; h. Bahwa dengan demikian, secara pidana tidak terbukti adanya pencemaran nama baik dan dalam perkara ini dalil gugatan penggugat/pemohon kasasi mengisi “masukan dan saran” serta menggunakan alamat email pemohon kasasi dengan surat elektronik terbuka pada [email protected] dan pemberitahuan pemohon kasasi kepada kawankawannya adalah masih dalam batas kewajaran dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum, hal mana sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia; i. Bahwa dengan demikian apa yang dilakukan oleh pemohon kasasi terhadap para termohon kasasi tidak memiliki itikad buruk untuk melakukan penghinaan terhadap para termohon kasasi, karena hal itu merupakan kejadian nyata yang dialami langsung oleh pemohon kasasi dan pula pemohon kasasi tidak dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum atau melanggar asas kepatutan, karena tidak nyata adanya maksud untuk menyerang pribadi dan apa yang diberitahukan oleh pemohon kasasi kepada teman-temannya tersebut berkaitan dengan masalah pelayanan medis yang diberikan oleh para pemohon kasasi; j. Bahwa oleh karena dalam putusan pidana terdakwa Prita Mulyasari dinyatakan bebas, maka putusan pengadilan tinggi dalam perkara ini (maksudnya Putusan Pengadilan Tinggi Banten No. 71/Pdt/2009/PT.BTN) yang telah menguatkan putusan pengadilan negeri adalah salah dalam menilai dan mempertimbangkan fakta hukum serta salah dalam menerapkan hukum, oleh karena itu berdasarkan pertimbangan di atas, putusan judex facti harus dibatalkan; k. Bahwa tentang gugatan rekonpensi dari pemohon kasasi yang dinyatakan ditolak karena pemohon kasasi tidak dapat membuktikan adanya malpraktek dari para termohon kasasi, hal ini sesuai dengan Keputusan Majelis Kehormatan Dokter Indonesia No. 130/Kep/ MK/DKI/V/2010 yang menyatakan tidak ditemukan pelanggaran disiplin kedokteran dalam melakukan pemeriksaan medis pada pasien (pemohon kasasi), karenanya gugatan rekonpensi harus dinyatakan ditolak; l. Bahwa dengan demikian, perbuatan pemohon kasasi tidak memenuhi kriteria melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada pihak termohon kasasi, oleh karenanya gugatan para penggugat harus dinyatakan ditolak. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 257 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 257 5/16/2012 5:08:12 PM Dua belas butir di atas merupakan keseluruhan pertimbangan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung. Jika disusun dalam bentuk rangkaian pertimbangan di atas, sebenarnya akan tampak dua runtutan silogisme sebagai berikut: P r e m i s mayor Semua keluhan berupa ungkapan perasaan atas apa yang dialami melalui media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup adalah bukan perbuatan melawan hukum dengan maksud untuk menghina/mencemarkan nama baik. P r e m i s minor Tindakan Prita menceritakan kejadian tidak menyenangkan saat dirawat di RS Omni via email kepada rekan-rekannya selama dirawat di RS Omni adalah keluhan berupa ungkapan perasaan atas apa yang dialami melalui media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup. Konklusi Tindakan Prita menceritakan kejadian tidak menyenangkan saat dirawat di RS Omni via email kepada rekan-rekannya selama dirawat di RS Omni adalah bukan perbuatan melawan hukum dengan maksud untuk menghina/ mencemarkan nama baik. Silogisme berikutnya adalah sebagai berikut: Premis mayor Semua pernyataan malpraktek yang dapat dibuktikan oleh pemohon klaim dan dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Dokter Indonesia adalah perbuatan melawan hukum dalam disiplin kedokteran melakukan penatalaksanaan medis pada pasien. Premis minor Gugatan Prita atas perilaku RS Omni yang telah memberi tindakan medis dengan mengakibatkan kondisinya memburuk adalah bukan pernyataan malpraktek yang dapat dibuktikan oleh pemohon klaim dan dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Dokter Indonesia. Konklusi Gugatan Prita atas perilaku RS Omni yang telah memberi tindakan medis dengan mengakibatkan kondisinya memburuk adalah bukan perbuatan melawan hukum dalam disiplin kedokteran melakukan penatalaksanaan medis pada pasien. Premis mayor yang dibangun: “Semua keluhan berupa ungkapan perasaan atas apa yang dialami melalui media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup adalah bukan perbuatan melawan hukum dengan maksud untuk menghina/mencemarkan nama baik” sesungguhnya memperlihatkan sebuah penemuan hukum. Penemuan hukum ini dapat diikuti sebagai sikap bagi hakim-hakim selanjutnya dalam menghadapi kasus serupa. Hal ini terutama penting dalam 258 | JURNAL DES.indd 258 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:12 PM menyikapi makin berkembangnya penggunaan sarana dan forum komunikasi yang memanfaatkan jejaring sosial. Dari proposisi yang dibangun dalam premis mayor di atas terdapat kata-kata “media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup”. Pengiriman surat elektronik (email) yang dilakukan oleh Prita digolongkan oleh majelis hakim sebagai pengiriman melalui media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup. Dalam sengketa hukum perdata, dimensi personal (individual para pihak) lebih menonjol dibandingkan dengan sengketa hukum publik. Oleh sebab itu, ketika para pihak membawa kasus ini ke ranah pengadilan, masing-masing berharap mendapatkan kemanfaatan atas putusan itu. Jika dibawa ke dalam konteks keadilan, maka setiap hubungan hukum keperdataan sebenarnya lebih mengedepankan filosofi keadilan komutativa (justitia comutativa), yakni “keadilan” yang dicapai melalui proses tawar-menawar di antara para pihak. Dalam kasus ini hubungan hukum keperdataannya adalah pihak Prita sebagai pasien datang sebagai konsumen RS Omni. Ia datang dengan kewajiban membayar biaya perawatan seperti biasa, dengan harapan memperoleh kesembuhan atas penyakitnya. Pihak RS Omni berkewajiban mengupayakan kesembuhan itu (bukan menjanjikan kesembuhan). Ini berarti hubungan hukum di antara mereka diikat menjadi suatu perikatan untuk mengupayakan (inspanningsverbintenis), bukan menjanjikan hasil (resultaatsverbintenis). Jika posisi ini dijadikan titik tolak berpikir, maka setiap pasien berhak menyatakan puas atau tidak puas dalam upaya penyembuhan itu. Titik sentral peristiwa hukumnya justru terjadi di sini, yakni “Pernyataan ketidakpuasan itu dianggap oleh pihak RS Omni sebagai perbuatan melawan hukum. Majelis hakim jelas berpendapat bahwa pernyataan ketidakpuasan itu bukan perbuatan melawan hukum.” Apabila duduk persoalan ini dijadikan titik sentral, yaitu tentang tidak terbuktinya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Prita sebagaimana dijadikan dasar gugatan RS Omni, maka kecenderungan keberpihakan majelis hakim selayaknya diarahkan kepada pihak Prita. Namun sayangnya, kecenderungan ini tidak diperlihatkan secara jelas. Pada silogisme pertama, tampak bahwa majelis hakim memang memberi pertimbangan yang menguntungkan bagi pihak tergugat Prita, namun tidak untuk silogisme kedua. Di sini terlihat ketidakjelasan “filosofis penjatuhan sanksi” dari kasus ini. Pada silogisme pertama, majelis terkesan membenarkan pihak Prita, tetapi “keberpihakan” atas posisi Prita ini tidak memberi keuntungan apapun bagi Prita. Hal yang sama juga sebaliknya dapat dilihat dari sudut RS Omni. Jika mengacu pada silogisme kedua, terlihat bahwa gugatan bahwa RS Omni telah melakukan malpraktik ditolak oleh majelis (dengan mengandalkan pada bukti formal dari MKDI), tetapi penolakan inipun tidak serta merta memberi keuntungan bagi RS Omni. Dengan perkataan lain, kasus ini lalu di bawah ke titik awal bahwa apa yang dipersengketakan ini adalah JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 259 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 259 5/16/2012 5:08:12 PM peristiwa konkret biasa dan bukan peristiwa hukum sama sekali. Padahal, jika mengacu kepada inti persoalan (lihat kalimat yang dicetak tebal di atas), maka justru sangat tidak adil jika inisiatif RS Omni untuk menggugat Prita, yang notabene telah mengakibatkan penderitaan lahir batin bagi Prita sekeluarga, sama sekali tidak dijadikan alasan memberikan “keuntungan” sesuatu bagi posisi tergugat Prita. Sekarang perlu juga dibahas titik sentral berikutnya, yaitu kesimpulan majelis hakim: “Semua pernyataan malpraktik yang dapat dibuktikan oleh pemohon klaim dan dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Dokter Indonesia adalah perbuatan melawan hukum dalam disiplin kedokteran melakukan penatalaksanaan medis pada pasien.” Oleh karena pernyataan malpraktik ini dinilai majelis hakim tidak dapat dibuktikan oleh pihak Prita dan klaim itu tidak dibenarkan Majelis Kehormatan Dokter Indonesia, maka perbuatan RS Omni pun dinilai bukan sebagai malpraktik. Pembuktian oleh pemohon kasasi adalah satu persoalan tersendiri yang sebenarnya masih terbuka untuk dinilai apakah berhasil atau tidak berhasil dilakukan oleh pihak Prita. Dalam pertimbangan majelis hakim, konklusi ketidakberhasilan pembuktian itu tidak cukup jelas terelaborasi. Terlebih-lebih jika urusan ini dikembalikan ke Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengisyaratkan beban pembuktian ada pada pihak pelaku usaha. Namun, tanpa mengurangi arti penting isu beban pembuktian ini, pilihan majelis hakim untuk menyerahkan tafsiran “malpraktik” ini kepada tafsiran etis (dan bukan tafsiran undangundang semata), merupakan hal yang justru lebih menarik untuk dikaji dalam konteks penalaran hukum yang menjadi topik dalam tulisan ini. Dengan menyerahkan tafsirannya kepada tafsiran etis, seolah-olah majelis hakim menunjukkan ia tidak ingin keluar dari jalur penafsiran ekstentif sebagaimana diperlihatkan dalam kasus Lindenbaum-Cohen tahun 1919. Sayangnya, di sini sebenarnya telah terjadi kesesatan penalaran yang dikenal dalam logika sebagai argumentum ad verecundiam atau argumentum auctoritatis. Majelis hakim melakukan pembenaran argumen atas dasar otoritas pihak lain yang dinilainya lebih pantas, dalam hal ini oleh MKDI. Penilaian MKDI dalam konteks perkara ini patut dipersoalkan bukan semata-mata karena kecurigaan atas adanya esprit de corps semata. Penilaian ini jelas tidak bisa diandalkan lagi karena salah satu pihak, yakni Prita sendiri sudah menyerahkannya kepada majelis hakim untuk menilainya. Artinya, majelis hakim diminta untuk mengambil alih penilaian itu sendiri dan tidak menyerahkannya kembali kepada penilaian MKDI itu. Dengan menyerahkan penilaian ini kepada MKDI, majelis hakim sesungguhnya sudah melakukan kesesatan kedua, yaitu petitio principii (circulus vitosus) atau biasa dalam bahasa Belanda disebut cirkelredenering. MKDI tentu memberi pertimbangan-pertimbangan yang terfokus pada hal-hal yang sangat teknis, seperti SOP dalam lingkup ilmu dan etika kedokteran. Oleh karena hanya berpijak pada lingkup yang terbatas inilah, maka lagi-lagi kesesatan penalaran dapat terjadi dalam konteks 260 | JURNAL DES.indd 260 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM ini. Kesesatan tersebut biasanya disebut converce accident, yakni pembenaran argumen karena hanya terfokus pada sifat/karakter tertentu saja yang dianggap melekat. Artinya MKDI dapat saja melihat ini hanya dari sifat/karakter yang berlaku dalam ilmu dan etika kedokteran semata, bukan dari sudut pandang ilmu hukum dan/atau etika profesi pada umumnya. Dengan memakai sudut pandang MKDI sebagai sudut pandang majelis hakim, jelas sebenarnya penafsiran majelis hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini menjadi makin sempit, bahkan lebih sempit daripada era sebelum tahun 1919. Ketika itu, perbuatan melawan hukum sekadar diartikan sebagai perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige daad). Jika undang-undang adalah produk lembaga legislatif, maka kali ini perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melawan kode etik kedokteran yang notabene kode etik produk sebuah organisasi profesi. IV. SIMPULAN Jika mengacu pada skor “kosong-kosong” yang diibaratkan terjadi pada putusan Mahkamah Agung No. 300 K/Pdt/2010 ini, maka putusan ini jelas tidak berpihak pada penyelesaian kasus secara tuntas. Dalam bahasa hukum, kondisi demikian jelas melanggar asas lites finiri oportet. Ketika para pihak berpaling ke ruang pengadilan, maka para pencari keadilan itu berharap memperoleh ekspektasi dari pilihan tersebut. Di sinilah hukum harus berfungsi memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi mereka. Nilai terpenting dari putusan ini lebih terletak pada penemuan hukum yang memberi ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan keluhan mereka melalui surat elektronik. Mahkamah Agung dalam putusan ini menyatakan perbuatan demikian bukan termasuk perbutan melawan hukum. Namun, sayangnya, secara keseluruhan putusan ini belum mampu menunjukkan konstruksi penalaran yang runtut dan sistematis untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah landmark decision. DAFTAR PUSTAKA Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 1975. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press. Grassian, Victor. 1981. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall. Henket, M. 2003. Teori Argumentasi dan Hukum. Terjemahan B. Arief Sidharta. Bandung: Penerbitan tidak berkala No. 6 Laboratorium Hukum FH Unpar. Pannett, A.J. 1992. Law of Torts. London: Pitman Publishing. Setiawan, Rachmat. 1991. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 261 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 261 5/16/2012 5:08:13 PM PENGUSUNGAN POLA PIKIR POSITIVISME HUKUM DALAM PERKARA KORUPSI Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW Ricca Anggraeni Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640 email: [email protected] ABSTRACT Slogan that power tends to corrupt is not just a phrase. Several cases of corruption seem to prove that power has encouraged persons to engage in corruption. Erradicating corruption requires extraordinary efforts of law enforcers. However, again the fact shows that many law enforcers are dragged into corruption practices. In fact, they often use the law to neatly wrap their crimes. Packaging is done through a court decision. Judge as the spearhead of law enforcement in Indonesia should be given a maximum role in enforcing the law. That role should have two values of upholding the value of justice and law enforcement. In some cases of corruption, the perpetrators were given lenient sentences, even released. Mild sanctions against the perpetrators of corruption are also reflected in the case of corruption committed by the Head of Semudun Regional Water Company (PDAM Semudun), Pontianak regency. Mild sanctions for the accused is caused by the tendency of judges who carry the mindset of schools of legal positivism, that is by simply using the law as a source of reference to rely on a monolithic interpretation methods. Keywords: corruption, legal positivism, law enforcement, justice. ABSTRAK Kekuasaan cenderung melakukan korupsi bukan hanya slogan semata. Beberapa kasus korupsi menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan melakukan korupsi, oleh sebab itu memangkas korupsi membutuhkan perjuangan dan penegakan hukum yang ektraordinary. Sebaliknya, fakta berbicara lain pada saat hakim justru memberikan hukuman minimal bukan maksimal, dan bahkan dalam beberapa kasus korupsi bahkan terdakwa dilepaskan. Kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat perusahaan perairan di Kalimantan yang dihukum ringan memperlihatkan hal itu. Itu terjadi karena hakim mengunakan pendekatan legalistik dan metode interpretasi monolistik. Putusan hakim cenderung mengakomodasikan nilai-nilai hukum saja, dan mengeliminasi nilai-nilai keadilan sebagai tujuan akhir putusan hakim. Kata kunci: korupsi, legal positivism, penegakan hukum, keadilan. 262 | JURNAL DES.indd 262 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM I. PENDAHULUAN Korupsi di Indonesia telah menggerogoti hampir seluruh segi kehidupan (Rahardjo, 2006: 126) sehingga tindak pidana korupsi telah dipandang sebagai kejahatan serius. Untuk menggambarkan akibat yang disebabkan oleh korupsi, prognosisnya Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon itu mati maka koruptor pun akan mati karena tidak ada lagi yang akan dihisap (Rahardjo, 2006: 136). Jadi, korupsi hanya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri. Realitas ini membuat penanganan korupsi di Indonesia menjadi begitu extraordinary. Tidak hanya dari sisi produk hukumnya, tetapi juga dari penegak hukumnya. Bahkan presiden secara resmi mencanangkan dan masuk dalam agenda kerjanya untuk memberantas korupsi. Namun, upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia seolah-olah tidak berarti. Produk hukum yang ada, komisi yang dibentuk, kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi, tetap saja tidak merubah keadaan, korupsi tetap menjadi common enemy (musuh bersama) bagi masyarakat Indonesia. Hal itu terjadi, karena perilaku korupsi juga telah melanda para penegak hukum bahkan menembus ranah peradilan. Istilah mafia peradilan digelontorkan untuk menyebut para penegak hukum yang “berdagang hukum”. Penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menghadapi korupsi justru gagal dalam membawa nilai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Peradilan yang seharusnya menjerakan para koruptor, justru malah memberi kelegaan. Bahkan Daniel Kaufmann dalam laporannya menyebutkan bahwa tingkat korupsi di peradilan Indonesia ialah yang paling tinggi di antara negara-negara sebagai berikut: Ukraina, Rusia, Venezuela, Kolombia, Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan dan Singapura (Sudirman, 2007: 2). Korupsi yang terjadi di peradilan diakibatkan oleh tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum. Tumpulnya peradilan sebagai benteng terakhir dari keadilan lebih disebabkan oleh ukuran yang digunakan ialah menguntungkan atau tidak menguntungkan dari segi ekonomi dan politik saat menentukan pihak mana yang layak mendapat keadilan, dan mekanisme itu sah apabila itu telah sesuai prosedur. Mekanismenya ialah standar legal formal. Hal ini mengakibatkan masyarakat akan semakin termarginalkan bahkan menjadi korban dari sistem dan proses peradilan yang eksklusif bagi pelaku korupsi. Demi mengakhiri hal ini, hakim tidak boleh hanya mementingkan prosedur dan menyandarkan dirinya pada undang-undang. Pandangan yang luas, keinginan untuk menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat harus dikedepankan. Tetapi yang paling penting ialah hakim harus juga menggunakan hati nurani. Hakim sebagai seseorang yang pekerjaannya berintikan keadilan (Sudirman, 2007: 51), seharusnya berempati terhadap rakyat yang telah menjadi korban korupsi. Bukan justru berbelas JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 263 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 263 5/16/2012 5:08:13 PM kasihan terhadap para pelaku korupsi, sehingga mereka dijatuhi hukuman ringan belum lagi dipotong remisi. Ketidakadilan inilah yang semakin mengusik rakyat, sehingga timbullah reaksi untuk meniadakan sistem remisi bagi para koruptor. Sebenarnya masalah bukan terletak dari remisinya tapi bagaimana mekanisme pemberiannya serta teguhnya hakim dalam memberikan hukuman kepada para koruptor. Jadi ketika, hakim berani untuk menerobos bunyi undang-undang dengan memberikan hukuman yang berat terhadap koruptor, maka remisi tidak akan berarti apa-apa. Tidak tegaknya hukum dalam memberantas korupsi menurut M. Syamsudin ialah kecenderungan pola pikir hakim yang mengikuti pola berpikir positivisme hukum yang hanya menekankan pada ukuranukuran formal teks aturan. Pola pikir seperti ini mengakibatkan sulitnya untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana korupsi, sehingga banyak sekali koruptor yang bebas atau dihukum dengan hukuman yang paling ringan (Syamsudin, 2011: 11). Sebagaimana yang terjadi dalam kasus bernomor 207/PID.B/2008/PN.MPW. Hakim telah memutus para terdakwa yaitu H dan DS hanya dengan pidana penjara masing-masing bagi para terdakwa selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Putusan ini lebih rendah dari yang dituntut jaksa penuntut umum yaitu pidana selama 2 (dua) tahun penjara dengan dikurangi selama para terdakwa berada dalam masa tahanan dan membayar denda masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Disparitas penjatuhan pidana ini bisa terjadi, karena di dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa yaitu H dan DS yang mengambil uang tagihan rekening air dan non air tidak dilakukan dengan melawan hukum. Tetapi, H telah menyalahgunakan wewenangnya selaku kepala tugas (Plt) Kepala Unit Semudun Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 02/STG/PDAM/X/2003 tertanggal 23 September 2003 dan terdakwa II (DS) selaku pelaksana pembukuan Unit Semudun PDAM Kabupaten Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 06/ST/PDAM/III/2003 tertanggal 10 Maret 2003. Majelis hakim kemudian lebih memilih untuk menggunakan dakwaan dan tuntutan subsidair dari jaksa penuntut umum yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam kasus tersebut majelis hakim hanya mempertimbangkan unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum tuntutan jaksa, tanpa menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat Semudun. Majelis hakim hanya mempertimbangkan unsur menyalahgunakan wewenang bahwa perbuatan terdakwa H yang mengambil inisiatif sendiri untuk membuat nota/memo dengan tujuan untuk mengambil uang rekening air tanpa menyetorkannya ke rekening PDAM Pontianak dengan alasan akan menggunakannya untuk biaya 264 | JURNAL DES.indd 264 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM operasional kantor, merupakan penyalahgunaan wewenang. Selain itu, perbuatan para terdakwa yang menerima permohonan sambungan baru dan kemudian hasil dari dana itu tidak disetorkan ke rekening PDAM Pontianak, juga merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang terdakwa selaku Kepala Unit Semudun dan Pelaksana Pembukuan Unit Semudun PDAM Kabupaten Pontianak. Unsur selanjutnya, yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam kasus ini adalah tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Perbuatan terdakwa yang telah mengambil uang, kemudian tidak dapat mempertanggungjawabkannya, menurut majelis hakim, termasuk untuk menguntungkan dirinya sendiri. Majelis hakim juga mempertimbangkan unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan para terdakwa, dalam pertimbangan majelis hakim, merupakan perbuatan yang dapat atau berpotensi untuk merugikan salah satu antara keuangan negara atau perekonomian negara. Hal itu dikarenakan PDAM Kabupaten Pontianak, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Perusahaan Daerah, dapat digolongkan sebagai Perusahaan Daerah, sehingga kekayaan yang dimilikinya pun dapat digolongkan sebagai keuangan negara. Termasuk dalam pertimbangan majelis hakim adalah mengenai unsur jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Menurut majelis hakim, perbuatan para terdakwa yang dalam jangka waktu dari tahun 2004-2005 telah berulang kali mengambil uang pembayaran rekening air dan nonair, sehingga seluruhnya berjumlah Rp. 91.080.950,- (sembilan puluh satu juta delapan puluh ribu sembilan ratus lima puluh rupiah) yang dilakukan dengan jalan membuat nota/memo, dan menerima permohonan sambungan baru tanpa melalui prosedur permohonan sambungan baru, tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan berlanjut, karena tidak dilatar-belakangi oleh maksud dan tujuan yang sama. Berdasarkan pertimbangan inilah majelis hakim hanya menjatuhkan pidana penjara masingmasing bagi para terdakwa selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah). Dengan penjatuhan pidana tersebut, tentu saja majelis hakim dinilai tidak mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, karena apabila dibandingkan dengan kasus nenek Minah yang mencuri kakao, jelas hukuman yang diterima oleh para terdakwa H dan DS tidak ada apa-apanya, mengingat yang dicuri oleh H dan DS ialah uang rakyat dan jumlahnya puluhan juta. Seolah menjadi pola bagi hakim di Indonesia, memutus hanya mempertimbangkan bunyi undang-undang, seolah hakim hanya menghidupkan bahasa undang-undang tanpa mempertimbangkan nilai atau norma yang ada di masyarakat. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 265 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 265 5/16/2012 5:08:13 PM II. RUMUSAN MASALAH Berangkat dari latar belakang yang terurai di atas, pokok permasalahan yang akan dianalisis berdasarkan putusan perkara bernomor 207/PID.B/2008/PN.MPW ini ialah: Apakah hakim dalam menangani perkara korupsi masih menggunakan pola pikir positivisme hukum? Apakah pola pikir semacam itu dapat menghasilkan putusan yang mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat? III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS A. Sekilas tentang Positivisme Hukum Dalam paradigma positivisme hukum, undang-undang atau keseluruhan peraturan perundang-undangan dipikirkan sebagai sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, sesuai bunyi undang-undang. Namun, paradigma positivisme hukum klasik yang menempatkan hakim sebagai tawanan undang-undang, tidak memberikan kesempatan pada pengadilan untuk menjadi suatu institusi yang dapat mendorong perkembangan masyarakat. Apabila dilacak basis epistemologinya, menurut Anthon F. Susanto, positivisme hukum merupakan kepanjangantangan dari paradigma Cartesian-Newtonian ( Susanto, 2010: 29). Cartesian-Newtonian telah membawa pengaruh yang paling mendasar terhadap positivisme ilmu yang juga kemudian mempengaruhi positivisme hukum adalah pandangan dualisme dan reduksionis. Dalam penjelasan Satjipto Rahardjo dinyatakan bahwa pandangan dualisme yang dikembangkan oleh Descartes (cartesian) telah membuat para ilmuwan hukum disibukkan oleh dengan membuat definisi, konsep serta deskripsi, dan sebagian lagi berkonsentrasi pada bentuk, seperti Austin dan Kelsen, dan sebagian lagi pada isi, misalnya Dworkin dan Fuller (Susanto, 2010: 149). Dengan pandangan dualisme itu, hukum dipisahkan dari keadilan, seperti yang dilakukan oleh Austin dan Kelsen telah memisahkan secara tajam hukum yang senyatanya dan hukum yang seharusnya. Hans Kelsen memandang bahwa hukum harus terbebas dari segala unsur yang asing bagi metode khusus dari suatu ilmu yang tujuannya hanyalah pengetahuan hukum, bukan pembentukannya. Bidang kajian ilmu hukum ialah hukum positif atau hukum sesungguhnya yang berbeda dari hukum ideal yang disebut keadilan atau hukum alam, dan eksistensi dari hukum terlepas dari kesesuaian atau tidak kesesuaiannya dengan keadilan atau hukum alam. Jadi, hanya bersifat wadah dan tidak bersangkutan dengan isi hukum yang bisa berubah dalam waktu tertentu (Kelsen, 1995: iv). Pandangan Reduksionis telah mempengaruhi positivisme hukum untuk mereduksi realitas hukum yang terdiri dari realitas ide (sesuatu yang dapat ditangkap melalui kapasitas akal budi), realitas material (sesuatu yang bersifat aktual) dan realitas artifisial menjadi 266 | JURNAL DES.indd 266 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM tunggal. Jika meminjam ajarannya Kelsen, yaitu the pure theory of law, maka hukum harus dibersihkan dari unsur non yuridis, hukum harus mengabaikan pendekatan lain terhadap hukum. Menurut Kelsen, hukum selalu merupakan hukum positif, dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia, jadi terlepas dari moralitas dan sistem-sistem norma itu sendiri (Kelsen, 1995: 115). Sedangkan Austin dalam penjelasannya telah mereduksi kekuatan-kekuatan lain selain negara, terutama kekuatan-kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang beragam, karena dalam penjelasannya Austin menyatakan bahwa hukum adalah perintah yang berdaulat yang menempatkan lembaga-lembaga yang superior (Susanto, 2010: 162). Austin juga menambahkan bahwa hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, sehingga hukum harus dilepas dari sistem nilai. Hukum juga harus memenuhi unsur perintah, sanksi dan kewajiban, karena jika tidak, maka itu bukan hukum melainkan moral (Rahardjo, 2006: 163). Dalam pandangan dasar mahzab positivisme hukum tata hukum suatu negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial melainkan karena mendapat bentuk positifnya dari suatu institusi yang berwenang, dan hukum hanya dikenal sebagai hukum formal, sehingga harus dipisahkan dari bentuk materialnya, karena akan merusak kebenaran ilmiah hukum (Satjipto Rahardjo, 2006: 162). Menurut H.L.A Hart, essensi dari positivisme hukum ialah: 1. Hukum hanyalah perintah penguasa; 2. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum, moral dan etika; 3. Analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologis; 4. Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh atas dasar logika tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral maupun etik (Rahardjo, 2006: 162). Pada intinya dapat disimpulkan bahwa dualisme dan reduksionis telah membawa pengaruh terhadap pandangan positivisme hukum untuk memisahkan teks yang tertulis dalam hukum dengan realitas yang hidup di masyarakat. B. Antara Nilai Keadilan dan Kepastian Hukum Secara sadar atau tidak di dalam kehidupan selalu dikelilingi oleh yang namanya hukum. Dengan demikian, dapatlah disitir pernyataan Prajudi Atmosudiro bahwa hukum tidak hanya yang tertulis dalam sebuah teks berupa kumpulan aturan-aturan tetapi juga merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat (Atmosudiro, 1994: 34). Hukum dalam apapun bentuknya, selalu JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 267 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 267 5/16/2012 5:08:13 PM dimaksudkan untuk mencegah konflik di dalam masyarakat, selain itu juga berfungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Dengan kata lain, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia (Mertokusumo dan Pitlo, 1993: 1). Apapun fungsinya, maka sebenarnya besar harapan agar hukum dapat memenuhi semua fungsinya. Hukum baik yang hidup di masyarakat maupun yang tertuang dalam dokumen negaralazim disebut sebagai undang-undang-, dalam pelaksanaan fungsinya tidak boleh mencederai atau mengganggu tiga nilai dasar yang harus terkandung dalam hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum (Sudirman, 2007: 44). Entah sebagai konsekuensi dari era modern, bahwa hukum telah mengalami pergeseran. Pemahaman hukum secara materiil telah bergeser ke pemahaman secara formil. Maksudnya ialah bahwa hukum lebih diidentikkan dengan keputusan dari penguasa legislatif yang dilakukan menurut prosedur atau persyaratan teknis dan mengorganisasikannya dalam perundang-undangan (Indrati, 2007: 5). Hukum dalam era modern merupakan hukum negara yang dibuat oleh badan legislatif, dan hukum yang hidup di masyarakat akan mengikuti hukum yang telah dibuat oleh penguasa (Rahardjo, 2009: 58). Paradigma atau pemahaman hukum seperti ini mempengaruhi para penegak hukum yang hanya menjalankan peraturan-perundangan secara skripturalistik. Padahal hukum tidak hanya sebatas pada apa yang dituangkan dalam dokumen negara, dalam teks perundang-undangan, melainkan juga apa yang hidup di dalam masyarakat. Bahkan dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara, Prajudi Atmosudiro menyatakan bahwa selain undang-undang masih ada sumber hukum yang sangat penting yaitu yurisprudensi, perjanjian antara Indonesia dengan negara lain termasuk konvensi internasional, adat, kebiasaan dan doktrin atau pendapat para sarjana. Hukum dalam pelaksanaannya oleh para penegak hukum, juga harus memperhatikan tiga nilai yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan Gustav Radbruch yang juga mengemukakan bahwa ada tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun, dalam prakteknya merupakan sebuah kesulitan untuk dapat menerapkan ketiga nilai itu secara seimbang, terkadang nilai kepastian hukum harus dikalahkan demi mengedepankan nilai keadilan. Dalam pertentangannya, manakah yang harus didahulukan keadilan kah atau kepastian hukum? Keadilan pada hakekatnya memberikan perlindungan atas hak dan saat yang sama mengarahkan kewajiban sehingga terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban di dalam masyarakat (Sudirman, 2007: 44). Ulpianus mendefinisikan keadilan sebagai kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. Sedangkan menurut Aristoteles, keadilan adalah suatu kebijakan publik yang aturanaturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. 268 | JURNAL DES.indd 268 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM Lain lagi menurut John Rawls, dalam pandangannya, keadilan merupakan fairness, yang mengandung asas-asas, bahwa orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya, hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki (Rawls, 2006: 12-19). Kelsen pun mengungkapkan pemikirannya bahwa keadilan merupakan suatu tertib sosial tertentu yang di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang subur. Dalam bukunya yang berjudul Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Kelsen juga mengemukakan pemikirannya mengenai pengertian keadilan legalitas. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya (Hans Kelsen, 1995: 11-12). Bahkan menurut penulis, secara ekstrem Hans Kelsen menyatakan bahwa keadilan bukan suatu tata yang memberikan kebahagiaan kepada setiap orang selama orang memiliki konsep kebahagiaannya sendiri, sehingga individu berusaha mencarinya di dalam masyarakat (Hans Kelsen, 1995: 4-5). Derrida terkait dengan pengambilan keputusan menyatakan bahwa keadilan berkait dengan pengambilan keputusan, dan keputusan sangat dipengaruhi oleh keraguan. Ditambahkan oleh Derrida bahwa keadilan dalam hukum memperoleh daya kekuatannya dari sesuatu yang melampaui hukum itu sendiri dan tidak bersumber dari tatanan hukum (Susanto, 2010: 91). Pendapat Derrida ini sebenarnya kontras dengan Immanuel Kant yang mengembalikan makna tindakan adil pada suatu undang-undang atau tatanan. Mempertimbangkan yang dimaksud oleh Immanuel Kant, hukum positif akan disebut adil jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Diperintahkan atau diundangkan demi kebaikan umum; 2. Ditetapkan oleh legislator yang tidak menyalahgunakan kewenangan legislatifnya; dan 3. Hukum positif memberikan beban yang setimpal demi kepentingan kebaikan umum (Sudirman, 2007: 47). Keadilan yang terdapat dalam undang-undang atau tertuang dalam teks peraturan mungkin saja memberikan keadilan ketika dioperasikan oleh para penegak hukum, namun itu hanya sebatas dari keadilan prosedural yang memberikan jaminan terhadap ketertiban dan kepastian hukum, tetapi belum tentu memberikan keadilan secara substansial. Untuk dapat memberikan keadilan substansial, para penegak hukum harus melihat kenyataan yang ada pada masyarakat. Penegak hukum dalam menerapkan hukum dalam peristiwa nyata tidak boleh menyimpang. Meminjam istilahnya fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum harus berlaku sesuai dengan hukumnya atau bunyinya, inilah yang kemudian disebut dengan kepastian hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum merupakan JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 269 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 269 5/16/2012 5:08:13 PM perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu (Mertokusumo dan Pitlo, 1993: 2). Dengan kepastian hukum tujuan hukum untuk ketertiban masyarakat mungkin akan tercapai. Namun, tidak serta merta kepastian hukum ini kemudian diartikan secara sempit. Sebagaimana kritik Charles Sampford terhadap mahzab positivisme hukum, hukum tidak hanya dilihat dari sisi kepastiannya saja, karena hukum penuh dengan ketidakteraturan. Kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya. Ternyata peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan perilaku (Deni Ismail Pamungkas, http://progresif-lshp.blogspot. com/2008/12/refleksi-filsafat-hukum-menilik.html). Selain memberikan nilai keadilan dan kepastian, hukum dalam pelaksanaannya juga diharapkan memberikan kemanfaatan. Kemanfaatan dalam artian ini tidak hanya melulu berbicara masalah keuntungan, tetapi kegunaan hukum di masyarakat dengan memberikan perlindungan hak-hak dari masyarakat. Secara ideal, hukum apapun bentuknya harus mengakomodasi ketiga nilai tersebut, namun, pada kenyataannya ketiga nilai itu akan sulit terakomodasi secara bersamaan, bahkan cenderung berkonflik. Apabila nilai keadilan bertabrakan dengan kepastian hukum, seharusnya nilai keadilan yang mesti didahulukan. Argumentasinya, karena kepastian hukum sejatinya merupakan sarana untuk mencapai keadilan. Perlu ditekankan dalam hal ini, keadilan yang ingin diakomodasi dalam hukum bukan keadilan secara prosedural, tetapi secara substansial, yang belum tentu dapat dipenuhi oleh hukum yang diidentikkan dengan perundang-undangan. Penekanan terhadap nilai keadilan juga diberikan oleh Aristoteles bahwa hukum berintikan keadilan. Roscoe Pound juga menyatakan bahwa hakikat hukum ialah membawa aturan yang adil dalam masyarakatnya (Sudirman, 2008: 46-47). Keadilan merupakan tujuan hukum yang terpenting, sehingga menurut Soenarjati Hartono, tujuan ini memiliki dua konsekuensi yaitu, pertama hukum tidak hanya merupakan kaidah yang sah tetapi juga harus merupakan kaidah yang adil. Kedua, penegakan hukum tidak boleh dilakukan sedemikian rupa sehingga menghilangkan nilai-nilai etika dan martabat kemanusiaan sebagai manusia pada umumnya (Sudirman, 2008: 47). Mengutamakan nilai keadilan, sejalan dengan rumusan Pasal 16 dalam Rancangan Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru bahwa “dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. Namun, patut juga menjadi bahan ingatan bahwa dalam persoalan hukum pidana, subjek hukum tidak dapat dihukum berdasarkan rasa keadilan di masyarakat dengan mengabaikan asas legalitas, bahwa tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya. Tetapi itu asas legalitas belum cukup, penegak hukum harus membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar kata hati masyarakat, dan melihat kenyataan yang ada di masyarakat. 270 | JURNAL DES.indd 270 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM C. Analisis terhadap Putusan Perkara Korupsi dan Pengusungan Pola Pikir Positivisme Hukum Pemahaman hukum di Indonesia masih didominasi cara berpikir positivistik. Hukum lebih dipahami dalam tataran formil, akan disebut hukum apabila telah dituangkan dalam perundangundangan yang merupakan hasil bentukan dari penguasa. Akibatnya, hukum cenderung diartikan sebatas teks dalam dokumen resmi negara yang disebut perundang-undangan. Hukum dalam teks akan diterapkan dalam peristiwa konkrit oleh para penegak hukum. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto perihal penegakan hukum, bahwa diperlukan substansi dalam artian aturannya, kemudian aparat penegak hukumnya, sarana dan prasarana serta budaya masyarakat. Aparat penegak hukum akan mempengaruhi proses dari penegakan hukum, aparat yang benar akan menegakkan hukum secara benar tidak mencederai nilai keadilan (Soekanto, 2004: 8-9). Kualitas dan kredibilitas aparat penegak hukum di Indonesia tengah menjadi sorotan publik. Tentu saja, ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan, aparat yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan justru malah menyalahgunakan hukum. Kekhawatiran ini semakin menjadi ketika pengadilan yang seharusnya sebagai benteng terakhir penegakan hukum, justru malah menjadi lembaga untuk menyalahgunakan kekuasaan yudisial. Putusan yang diambil hanya sekadar menegakkan undang-undang, menyalin teks atau dengan kata lain menjadi corong undang-undang. Selama ini hakim dalam menangani kasus korupsi, cenderung hanya memenuhi keadilan prosedural. Bahkan, banyak tindak pidana korupsi yang diputus bebas oleh hakim. Tindak pidana korupsi tidak dapat dibiarkan, karena akan menghambat pembangunan bangsa, sehingga korupsi memerlukan penanganan yang luar biasa oleh semua aparat penegak hukum, tidak hanya hakim tetapi juga jaksa, advokat dan polisi. Penanganan luar biasa terhadap korupsi diperlukan karena korupsi merupakan tindak pidana fenomenal yang dampaknya tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, yang mengancam cita bangsa untuk mensejahterakan masyarakatnya. Itulah sebabnya, di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya (Hartanti, 2005: 1). Korupsi sebenarnya bukan sebuah tindak kejahatan baru. Istilah korupsi sudah dikenal dan ada dalam khasanah hukum Indonesia sejak tahun 1958 dengan adanya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-08/1958 tentang Penyelidikan Harta Benda (Rohim, 2008: 1). Korupsi berdasarkan asal katanya berasal dari bahasa latin yaitu corruptio yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi corruption dan menjadi korupsi dalam bahasa Indonesia. Menurut Black’s Law Dictionary, korupsi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain (Rohim, 2008: 2). JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 271 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 271 5/16/2012 5:08:13 PM Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendefinisikan korupsi sebagai setiap orang yang secara sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan mengutip pendapat dari David M, Chalmers, Baharuddin Lopa menguraikan arti istilah korupsi yaitu menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut di bidang kepentingan umum (Hartanti, 2005: 9). Mengingat ungkapan Lord Acton bahwa kekuasaan cederung korup dan kekuasaan mutlak menyebabkan korup secara absolut. Ungkapan ini menggambarkan bahwa korupsi umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan, sehingga sebenarnya korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan. Andi Hamzah menyatakan bahwa terdapat beberapa sebab terjadinya tindak pidana korupsi yaitu kurangnya gaji, latar belakang kebudayaan Indonesia, dan manajemen yang kurang baik atau kontrol yang kurang efektif. Sedangkan Ibnu Khaldun menyatakan bahwa sebab utama korupsi ialah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah (Rahim, 2008: 6). Secara umum, modus operandi dari tindak pidana korupsi ialah pemberian suap, pemalsuan, pemerasan, penyalahgunaan wewenang atau jabatan dan nepotisme (Rahim, 2008: 20-29). Mengenai pemberian suap sepertinya tidak menjadi rahasia lagi, begitu membudayanya, sehingga orang yang memberikan suap atau yang menerima suap tidak merasa lagi bahkan dikatakan saling tolong-menolong atau sebagai ungkapan terima kasih. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pemberian suap atau yang diistilahkan dengan gratifikasi ialah apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Mengenai pemberian suap atau gratifikasi ini diatur dalam Pasal 5, 6, 11, dan 12. Modus operandi berikutnya ialah pemalsuan. Pemalsuan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan negara. Kegiatan yang teridentifikasi sering menjadi lahan pemalsuan ialah perizinan, pengadaan barang dan jasa, pemilihan kepala daerah, kepegawaian, pemeliharaan fasilitas umum, penerimaan pendapatan daerah, pengawasan dan pertanggungjawaban kepala daerah (Rahim, 2008: 26). Berbeda dengan pemerasan yang merupakan perbuatan memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang atau bentuk lain sebagai ganti dari seorang pejabat publik untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan biasanya diikuti dengan ancaman fisik dan kekerasan. 272 | JURNAL DES.indd 272 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM Mengenai penyalahgunaan jabatan atau wewenang telah ditentukan dalam Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Adapun nepotisme dalam kamus Purwadarminta diartikan sebagai memberikan jabatan kepada saudara-saudara atau teman-temannya saja. Istilah nepotisme digunakan untuk memberikan gambaran tentang perbuatan yang mengutamakan sanak-keluarga, kawan dekat serta anggota partai politik yang sepaham, tanpa memperhatikan persyaratan yang ditentukan (Rahim, 2008: 28). Korupsi dalam apapun bentuk modus operandinya, tentu sangat merugikan keuangan negara, bahkan hak-hak masyarakat secara sosial dan ekonomi. Herannya dalam beberapa kasus korupsi, para pelaku justru terlepas dari jeratan hukum, padahal korupsi yang dilakukan begitu masif. Dengan keadaan ini, seolah-olah hukum tidak mampu lagi menjamah kejahatan yang dibungkus dengan hukum atau dilekatkan sebagai bagian dari hukum seperti dalam judicial crime yang tersembunyi dalam putusan hakim (Nitibaskara, 2006: 62). Kembali mengingatkan skandal hakim agung dalam perkara korupsi Probosutedjo, yang melalui kuasa hukumnya telah mengeluarkan uang belasan miliar rupiah untuk menyuap beberapa hakim yang menangani perkaranya. Tidaklah heran apabila di Indonesia lembaga penegakan hukum diragukan dan tidak dipercaya oleh masyarakatnya sendiri. Lembaga peradilan melalui aparatnya yaitu hakim harus lepas dari intervensi pihak manapun, karena jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan. Di Indonesia, melalui sistem warisan Belanda, putusan mengenai suatu perkara atau tindak pidana berada di tangan hakim, dengan didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Hal ini berbeda dengan sistem jury, yang hanya memindaklanjuti hukum dari putusan dewan juri. Namun, hakim dalam sistem apapun, sebagai aparat penegak hukum, pemegang kekuasaan kehakiman harus melakukan penegakan hukum secara jujur dan adil melalui putusan-putusannya. Peran ini tidak dapat dipungkiri karena tugas pokok hakim dalam mengadili perkara mengandung dua pengertian yaitu menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Apabila dibenturkan dengan pendapat Mahfud MD., maka tugas dari hakim melalui putusannya ialah menegakkan keadilan (Taufik Rohman, http://polisi-sholeh.blogspot. com/2009/07/hukum.html). Institusi sosial dan keadilan prosedural. Penekanan ini juga diberikan oleh Aristoteles dan Roscoe Pound bahwa hukum berintikan keadilan, jadi hakim sebagai pencipta hukum harus mengedepankan nilai-nilai keadilan (Antonius Sudirman, 2007: 45-46). Namun, pada kenyataannya, hakim di Indonesia cenderung hanya mengakomodasi nilai keadilan prosedural, hal ini dikarenakan hakim di Indonesia masih mengusung pola pikir positivisme hukum. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 273 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 273 5/16/2012 5:08:13 PM Pola pikir ini hanya mengedepankan keadilan prosedural, namun belum tentu untuk keadilan substansial. Dalam pandangan dasar mahzab positivisme hukum tata hukum suatu negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial melainkan karena mendapat bentuk positifnya dari suatu institusi yang berwenang, dan hukum hanya dikenal sebagai hukum formal, sehingga hukum dalam pola pikir positivisme hukum ialah undang-undang yang telah dibentuk melalui prosedur teknis. Dengan penerapan undang-undang, hakim dianggap telah memenuhi keadilan prosedural. Pola pikir semacam ini sangat mengutamakan nilai kepastian hukum dibandingkan nilai keadilan dan kemanfaatan. Padahal, nilai terpenting dari hukum adalah nilai keadilan. Melalui pola pikir positivisme hukum, hakim cenderung puas dengan hal-hal yang berbau prosedural, tanpa bermaksud lebih jauh mendekati horison keadilan. Terlebih lagi, bagi hakim yang memiliki integritas rendah, tidak jujur serta tidak profesional, hukum akan lebih mudah dimanfaatkan untuk memenangkan kasus yang sedang ditanganinya karena telah berkolaborasi dengan pihak yang melakukan kejahatan. Padahal dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim, hakim itu harus berperilaku adil, berperilaku jujur dengan tidak mencerminkan keberpihakan, berintegritas tinggi sehingga mampu menolak berbagai godaan dan segala bentuk intervensi, serta berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, sehingga putusan yang dihasilkannya pun bernilai Pancasila. Hakim dalam mengambil putusan pun harus bersikap profesional, yang artinya mengedepankan keahlian, pengetahuan, keterampilan dengan didukung oleh wawasan yang luas. Pola pikir positivisme hukum yang menjadikan undang-undang sebagai satu-satunya acuan juga membatasi penanganan tindak pidana korupsi hanya dengan cara-cara yang konvensional. Kegagalan dalam penanganan tindak pidana korupsi, salah satunya disebabkan oleh peran lembaga peradilan melalui hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap para terpidana korupsi. Penjatuhan pidana terhadap para koruptor cenderung ringan bahkan membebaskan. Seperti dalam perkara korupsi dalam Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW, meskipun tidak membebaskan para terdakwa, namun putusan hakim dinilai terlalu rendah dan tidak mengakomodasi nilai keadilan substansial serta kemanfaatan. Padahal tindak pidana korupsi ini dilakukan dengan modus penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Modus penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dalam pandangan penulis merupakan modus operandi tindak pidana korupsi yang paling munafik, karena berlindung di balik kekuasaan yang telah diamanatkan oleh rakyat untuk mencuri dan merugikan rakyat. Pelakunya menggunakan kekuasaan atau wewenang yang telah diamanatkan kepadanya untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi. Rakyat yang seharusnya dilindungi hak-haknya melalui kekuasan atau wewenang yang telah dipercayakan kepadanya, justru dilukai oleh perbuatan para terdakwa yang jelas bertentangan 274 | JURNAL DES.indd 274 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM dengan usaha pemerintah untuk memberantas korupsi. Para terdakwa yang merupakan pejabat publik seharusnya menjunjung tinggi asas-asas umum pemerintahan yang baik dan mendukung program pemerintah untuk melawan korupsi, justru malah berbalik dan melanggarnya. Hakim dalam kasus bernomor 207/PID.B/2008/PN.MPW telah memutus para terdakwa yaitu H dan DS hanya dengan pidana penjara masing-masing bagi para terdakwa selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Putusan ini lebih rendah dari yang dituntut jaksa penuntut umum yaitu pidana selama 2 (dua) tahun penjara dengan dikurangi selama para terdakwa berada dalam masa tahanan dan membayar denda masing-masing sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Disparitas penjatuhan pidana ini terjadi, karena di dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa yaitu H dan DS yang mengambil uang tagihan rekening air dan nonair tidak dilakukan dengan melawan hukum tetapi H telah menyalahgunakan wewenangnya selaku kepala tugas (Plt) kepala unit Semudun Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 02/STG/PDAM/X/2003 tertanggal 23 September 2003 dan terdakwa II (DS) selaku pelaksana pembukuan Unit Semudun PDAM Kabupaten Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 06/ST/PDAM/III/2003 tertanggal 10 Maret 2003, sehingga majelis hakim lebih memilih untuk menggunakan dakwaan dan tuntutan subsidair dari jaksa penuntut umum yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam kasus ini majelis hakim hanya mempertimbangkan unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum tuntutan jaksa, tanpa menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat Semudun. Majelis hakim hanya mempertimbangkan unsur menyalahgunakan wewenang bahwa perbuatan terdakwa H yang mengambil inisiatif sendiri untuk membuat nota/memo dengan tujuan untuk mengambil uang rekening air tanpa menyetorkannya ke rekening PDAM Pontianak dengan alasan akan menggunakannya untuk biaya operasional kantor, merupakan penyalahgunaan wewenang. Selain itu, perbuatan para terdakwa yang menerima permohonan sambungan baru dan kemudian hasil dari dana itu tidak disetorkan ke rekening PDAM Pontianak, juga merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang terdakwa selaku Kepala Unit Semudun dan Pelaksana Pembukuan Unit Semudun PDAM Kabupaten Pontianak. Unsur selanjutnya, yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam kasus ini adalah tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Perbuatan terdakwa yang telah mengambil uang, kemudian tidak dapat mempertanggungjawabkannya, menurut majelis hakim, ialah termasuk untuk menguntungkan dirinya sendiri. Majelis hakim juga mempertimbangkan unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan para terdakwa, dalam pertimbangan majelis hakim, merupakan perbuatan yang dapat atau berpotensi untuk merugikan JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 275 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 275 5/16/2012 5:08:13 PM salah satu antara keuangan negara atau perekonomian negara. Hal itu dikarenakan PDAM Kabupaten Pontianak, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Perusahaan Daerah, dapat digolongkan sebagai Perusahaan Daerah, sehingga kekayaan yang dimilikinya pun dapat digolongkan sebagai keuangan negara. Termasuk dalam pertimbangan majelis hakim adalah mengenai unsur jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Menurut majelis hakim, perbuatan para terdakwa yang dalam jangka waktu dari tahun 2004-2005 telah berulang kali mengambil uang pembayaran rekening air dan nonair, sehingga seluruhnya berjumlah Rp 91.080.950,- (sembilan puluh satu juta delapan puluh ribu sembilan ratus lima puluh rupiah) yang dilakukan dengan jalan membuat nota/memo, dan menerima permohonan sambungan baru tanpa melalui prosedur permohonan sambungan baru, tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan berlanjut, karena tidak dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan yang sama. Penjatuhan pidana terhadap para terdakwa tentu saja dinilai tidak mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, karena apabila dibandingkan dengan kasus nenek Minah yang mencuri kakao, jelas hukuman yang diterima oleh para terdakwa H dan DS tidak ada apa-apanya, mengingat yang dicuri oleh H dan DS ialah uang rakyat dan jumlahnya puluhan juta. Kasus ini membuktikan pengusungan pola pikir positivisme hukum oleh hakim. Hakim hanya menerapkan bunyi undang-undang terhadap tindak pidana ini tanpa membuka telinga dan wawasan untuk mendengar dan mengetahui respons masyarakat Semudun atas kasus ini. Hakim seolah dibatasi untuk tidak mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Dengan pengusungan pola pikir positivisme hukum seperti itu tentu saja tidak akan menghasilkan penghukuman yang maksimal bagi para koruptor, sehingga penegakan hukum dalam hal korupsi akan semakin tereduksi, karena efek jera tidak ditonjolkan dalam penanganan tindak pidana korupsi. IV. SIMPULAN Hakim dalam menangani perkara luar biasa seperti korupsi masih menggunakan pola pikir positivisme hukum klasik. Cara berpikir konvensional terlihat bagaimana hakim menekankan penafsiran “monolitik” terhadap makna norma-norma itu sendiri. Salah satu contoh perkara tindak pidana korupsi yang menggambarkan bahwa hakim cenderung mengusung pola pikir positivisme hukum pada Perkara Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW. Dalam perkara ini hakim menjatuhkan pidana yang lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum, dengan pertimbangan sebagaimana bunyi ketentuan dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hakim masih menggunakan metode berpikir positivistik yang lazim 276 | JURNAL DES.indd 276 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM dipakai menangani masalah “biasa” dalam masyarakat yang keadaannya stabil. Padahal bangsa ini sekarat karena korupsi sehingga perlu upaya luar biasa pula untuk memberantas korupsi. Hakim dalam perkara ini jelas hanya sekedar menerapkan bunyi undang-undang. Ketika unsur dalam undang-undang sudah terpenuhi, hakim menganggap nilai keadilan telah terpenuhi, padahal hukum tidak identik dengan keadilan, meski mungkin saja keadilan bisa “didekati” dari apa yang legal. Jika hukum diasumsikan identik dengan keadilan, maka mengandung konsekuensi pencarian keadilan di luar hukum akan dihentikan karena pencarian keadilan hanya bersumber pada hukum semata, bahkan lebih sempit lagi: undang-undang. Keadilan selalu di depan hukum, dan memprovokasi hukum untuk selalu mendekatinya. Untuk memperjelas duduk persoalan, perlu juga dibedakan antara “peraturan” (gesetz, wet, rule), ”kaidah” (recht, norm), dan keadilan (ius). Kelemahan ajaran positivisme hukum klasik hanya melihat hukum hanya sebagai kumpulan pasal-pasal yang tidak mengandung tujuan, dimensi filosofis, moral, dan lepas dari konteks kemasyarakatannya. Hakim seharusnya lebih jauh menyelam ke dalam spirit, asas, dan tujuan hukum. Berhenti pada pembacaan undangundang sebagai peraturan bisa menimbulkan kekeliruan besar karena kaidah dan tujuan yang mendasari peraturan itu menjadi terlupakan. Dalam kasus-kasus yang luar biasa seperti korupsi, hakim seharusnya menafsirkan hukum secara kreatif, tidak submisif, demi untuk menyelamatkan bangsanya dari keambrukan karena korupsi. DAFTAR PUSTAKA Atmosudiro, Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Indrati, Maria Farida. 2007. Pemahaman tentang Undang-Undang Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kelsen, Hans. 1995. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif. Rimdi Press. Komisi Hukum Nasional. 2009. Akar-Akar Mafia Peradilan di Indonesia: Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum. Jakarta: Komisi Hukum Nasional. Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Nitibaskara, Ronny Rahman. 2006. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: Kompas Media Nusantara. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 277 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 277 5/16/2012 5:08:13 PM Rahardjo, Satjitpto. 2009. Hukum dan Perilaku: Hidup Baik Adalah Dasar Hukum yang Baik. Jakarta: Kompas Gramedia. Rawls, John. 2006. Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Reksodiputro, Mardjono. 2009. Menyelaraskan Pembaruan Hukum. Jakarta: Komisi Hukum Nasional. Rohim. 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: PenaMulti Media. Sudirman, Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioural Jurispudence) Kasus Hakim Bismar Siregar. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Susanto, Anton F. 2010. Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Bacaan. Yogyakarta: Genta Publishing. -----------------------. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Undang-Undang dan Peraturan Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Beserta Perubahannya. --------------. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874. -------------. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150. ------------. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/104A/SK/ XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim. 278 | JURNAL DES.indd 278 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM PERGULATAN PEMAKNAAN PASAL 2 DAN 3 UUPTPK Kajian Putusan Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL Rifkiyati Bachri Fakultas Hukum Universitas Pancasila Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640 email: [email protected] ABSTRACT Court decision No. 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, in general, has complied with the substantive and procedural rules contained in the statutory provisions. Unfortunately, the judges do not dig deeper into the legal facts revealed at trial. The judges did not seem so knowledgeable about the prosecutor’s indictment, particularly regarding the notions of Articles 2 and 3 of Law on Criminal Act of Corruption Eradication and less explore and understand the values that exist in society, especially people’s desire to eradicate corruption in order to provide a proportionate decision. The impact is the values of justice become less reflected in the decision. The author of this article also criticizes the formulation of prosecutor’s indictment. Keywords: corruption, statutory provisions, indictment formulation ABSTRACT Putusan hakim Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, secara umum tunduk pada subtansi dan prosedur hukum yang tertuang dalam pasal-pasal. Namun sayang, hakim perlu lebih mendalami fakta hukum sehingga tidak hanya berdasarkan pengetahuan sebagaimana tertuang dalam dakwaan jaksa semata, khususnya pasal 2 dan pasal 3 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu, seharusnya hakim melakukan eksplorasi lebih mendalam seperti dalam nilainilai di masyarakat sebelum menuangkan dalam putusan sehingga menghasilkan putusan yang lebih proporsional sehingga lebih memperlihatkan nilai keadilan. Dalam tulisan ini, penulis juga mengkritisi formulasi dakwaan jaksa. Kata kunci: korupsi, pasal-pasal undang-undang, formulasai dakwaaan JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 279 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 279 5/16/2012 5:08:13 PM I. PENDAHULUAN Perkara dengan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini telah mendudukkan Z dan SP sebagai terdakwanya. Perkara ini, pada mulanya, diawali dengan adanya rencana untuk melakukan renovasi Hotel PJ Bali. PT. PJ ialah perusahaan milik PT. PM (persero), di mana PT. PM menguasai sahamnya sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) sedangkan 1% (satu persen) sahamnya lagi milik PT EL yang juga anak perusahaan PT. PM. Pada tahun 2002 berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) ditetapkan adanya proyek renovasi Hotel PJ Bali dengan anggaran Rp175.000.000.000,- (seratus tujuh puluh lima milyar rupiah) yang bersumber dari penjualan tanah di Medan dan sebagiannya lagi dari pinjaman. Untuk pelaksanaan proyek itu, Direktur Utama (Dirut) PT. PJ mengangkat Z (terdakwa I) sebagai Pimpinan Proyek renovasi Hotel PJ Bali dan SP (terdakwa II) sebagai Ketua Tim Tender renovasi Hotel PJ Bali. Dalam pelaksanaan proyek tersebut, ada beberapa pedoman yang harus diikuti (dipatuhi), yaitu: 1. Standar Operasional Prosedur (SOP) PT. PJ Nomor 004/SOP/PENG/PJ/P/01/2002 tanggal 21 Januari 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa; 2. Standar Operasional Prosedur (SOP) PT. PJ Nomor 001/SOP/Peng/PJ/P/10/01 tanggal 29 Oktober 2001 tentang Ketentuan Umum Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa; 3. Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pertamina/KPS/JOB/TAC SK. Nomor 027/ C0000/2000-SO tanggal 15 April 2000; 4. Buku Pedoman Tata Laksana Pengadaan PT. PJ yang ditetapkan tanggal 11 Maret 1992. Dalam pelaksanaannya, terdakwa I dan terdakwa II telah melanggar ketentuan/pedoman pelaksanaan proyek renovasi Hotel PJ Bali sebagaimana tersebut di atas, yaitu dalam hal pelelangan paket pekerjaan klub villa, suites, floating cafe dan spa, paket pekerjaan renovasi 17 (tujuh belas) cottages, paket pekerjaan embassy suites, paket pekerjaan furniture 17 (tujuh belas) cottages, paket pekerjaan kitchen equipment, paket pekerjaan meeting room, banquet kitchen dan holding lounge, serta melakukan pembayaran pada pekerjaan desain dan pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak. Akibat dari perbuatannya tersebut terdakwa I dan terdakwa II telah memperkaya pihak lain, di antaranya PT. JKS, PT. MML, PT. GGS, PT. AEI, dan PT. PD, yang mengakibatkan kerugian negara, dalam hal ini PT. PJ sebesar Rp 4.440.110.749,- (empat milyar empat ratus empat puluh juta seratus sepuluh ribu tujuh ratus empat puluh sembilan rupiah) dan sebesar US$41.907,92 280 | JURNAL DES.indd 280 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:13 PM (empat puluh satu ribu sembilan ratus tujuh koma sembilan puluh dua dollar Amerika Serikat). Dasar Hukum Berdasarkan temuan-temuan dari proses penyelidikan dan penyidikan, maka kemudian jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya mendakwa terdakwa I dan terdakwa II dengan dakwaan berlapis (subsidair), yaitu: Dakwaan primair, melanggar ketentuan Pasal 2 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sedangkan dakwaan subsidair, melanggar ketentuan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim pada Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/ PN.Jak.Sel terlebih dahulu mempertimbangkan kedudukan PT. PJ yang dipersamakan dengan negara oleh jaksa penuntut umum. Pertimbangan mengenai kedudukan hukum PT. PJ menjadi penting mengingat adanya eksepsi yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa I. Kedudukan PT. PJ itu akan sangat berguna untuk menentukan status terdakwa I dan terdakwa II apakah mereka itu sebagai pegawai negeri sipil atau bukan. Dalam mempertimbangkan kedudukan PT. PJ yang dipersamakan dengan negara, majelis hakim menganalisis apakah anggaran yang dimiliki PT. PJ merupakan uang negara atau bukan. Untuk mengetahui hal itu majelis hakim menguraikan pengertian keuangan negara menurut Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta Penjelasan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pengertian dan penjelasan tersebut yang sifatnya alternatif, maka walaupun PT. PJ bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetapi PT. PJ merupakan suatu badan hukum yang mendapatkan penyertaan modal dari PT. PM. Selain itu, PT. PM selaku BUMN sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara di dalam pertanggungjawabannya dalam hal mengelola keuangan akan PT. Pertamina pertanggungjawabkan kepada negara, termasuk modal yang ditanamkan kepada PT. PJ (di dalam pertanggungjawaban pada RUPS), sehingga JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 281 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 281 5/16/2012 5:08:14 PM majelis hakim berpendapat bahwa modal yang ditanamkan pada PT. PJ oleh PT. Pertamina yang berbentuk saham merupakan keuangan negara. Sedangkan mengenai status terdakwa I dan terdakwa II yang dinyatakan sebagai pegawai negeri sipil, majelis hakim dalam pertimbangannya terlebih dahulu menguraikan tentang pengertian pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 2 UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, serta Pasal 92 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Berdasarkan beberapa dasar hukum itu, maka dapat diketahui bahwa PT. PJ adalah badan hukum yang menggunakan modal dari korporasi (PT. Pertamina) dan modal korporasi itu berasal dari keuangan negara, sehingga majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa I dan terdakwa II identik dengan pegawai negeri sipil yang telah menerima gaji dari negara. Dalam perkara ini jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa I dan terdakwa II dengan dakwaan berlapis (subsidair), maka oleh karena itu majelis hakim akan mempertimbangkan dakwaan primairnya terlebih dahulu, yaitu terdakwa I dan terdakwa II didakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengandung unsur-unsur yaitu, setiap orang, secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dilakukan secara besama-sama, dan dilakukan secara berlanjut. Pertimbangan majelis hakim terhadap rumusan unsur setiap orang dilakukan dengan memperhatikan doktrin ilmu hukum pidana tentang unsur barang siapa serta pengertian setiap orang menurut beberapa ahli, sehingga didapat simpulan bahwa terdakwa I dan terdakwa II adalah orang yang mempunyai hak dan kewajiban hukum. Jadi, mereka (terdakwa I dan terdakwa II) sudah termasuk pengertian orang dalam arti hukum. Oleh karena itu unsur setiap orang terpenuhi. Terkait dengan unsur perbuatan melawan hukum, maka ada beberapa tindakan dari terdakwa I dan terdakwa II yang mendapatkan perhatian majelis hakim. Pertama, tindakan terdakwa I dan terdakwa II yang tidak mengusulkan PT. DSL sebagai pemenang dalam pelelangan/tender dengan penawaran terendah Rp 23.849.000.000,- (dua puluh tiga milyar delapan ratus empat puluh sembilan juta rupiah) untuk paket pekerjaan klub villa, suites, floating cafe dan spa, melainkan justru mengusulkan PT. MML dan PT. JKS, dengan alasan PT. DSL belum berpengalaman membangun sebuah hotel berbintang lima, maka hal ini jelas bertentangan dengan SOP yang dipergunakan untuk merenovasi Hotel PJ Bali. Kedua, dalam pekerjaan untuk merenovasi 17 (tujuh belas) cottages, setelah melalui negosiasi ternyata terjadi perubahan harga satuan dari harga penawaran semula Rp19.956.210.452,- 282 | JURNAL DES.indd 282 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM (sembilan belas milyar sembilan ratus lima puluh enam juta dua ratus sepuluh ribu empat ratus lima puluh dua rupiah) menjadi Rp20.675.000.000,- (dua puluh milyar enam ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Hal ini sendiri merupakan pelanggaran dari SOP Nomor 001/SOP/Peng/PJ/ P/10/01 tanggal 29 Oktober 2001 tentang Ketentuan Umum Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Serta ketiga, dalam pekerjaan embassy suites, kitchen equipment, pekerjaan meeting room, serta paket pekerjaan holding lounge, terdakwa I dan terdakwa II pada saat melaksanakan pekerjaannya tidak sesuai kontrak serta telah melanggar ketentuan SOP yang dikeluarkan oleh PT. PJ. Dalam mempertimbangkan unsur perbuatan melawan hukum dari dakwaan primair ini, majelis hakim dalam Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999. Sehingga untuk dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum harus berpedoman pada atau memenuhi ciri dari sifat perbuatan melawan hukum yang formal. Artinya, dalam melakukan perbuatan itu haruslah ada peraturan yang nyata-nyata dilanggar atau memenuhi rumusan suatu tindak pidana. Terkait dengan Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini, para terdakwa I dan terdakwa II didakwa jaksa penuntut umum telah melakukan perbuatan yang merugikan negara dengan cara melanggar SOP PT. PJ. Untuk hal itu, majelis hakim ikut menguraikan apakah SOP termasuk kategori peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan atau tidak. Pada akhirnya majelis hakim berkesimpulan bahwa SOP adalah produk perusahaan sw asta dan tidak tunduk pada Keputusan Presiden (Kepres.) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa bagi Pemerintah. SOP suatu perusahaan juga tidak ditemukan dalam tata urutan peraturan perundangan-undangan. Sehingga terdakwa I dan terdakwa II dalam melakukan renovasi Hotel PJ Bali tidaklah dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan secara melawan hukum dalam pengertian formal. Dengan demikian, unsur dari Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tidak terbukti, sehingga unsur-unsur lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Selanjutnya, majelis hakim mempertimbangkan dakwaan subsidair, yaitu bahwa para terdakwa telah melanggar ketentuan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya yaitu: 1. Setiap orang; 2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 283 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 283 5/16/2012 5:08:14 PM 4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 5. Dilakukan secara bersama-sama. Untuk dakwaan subsidair ini, unsur setiap orang tidak dipertimbangkan lagi oleh majelis hakim karena telah dipertimbangkan sebagaimana unsur setiap orang dalam dakwaan primair di atas. Sementara unsur yang kedua, yaitu dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dipertimbangkan oleh majelis hakim dengan bantuan penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia dan beberapa yurisprudensi. UU Nomor 31 Tahun 1999 tidak memberikan pengertian yang jelas tentang arti kata memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Oleh karenanya majelis hakimpun untuk menguraikan unsur itu merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia serta Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 951/Pid/1982 dan Nomor 275/K/Pid/1983. Dari rujukan itu diperoleh pemahaman arti kata memperkaya, yaitu sebagai memperoleh hasil korupsi, walaupun hanya sebagian. Jika pemahaman tersebut dikaitkan dengan perkara ini, maka tindakan terdakwa I dan terdakwa II dalam kapasitasnya masing-masing dalam proyek renovasi Hotel PJ Bali yang telah menguntungkan beberapa perusahaan, yaitu: PT. MML, PT. JKS, PT. KI, PT. PD, dan PT. AEL pada beberapa paket pekerjaan dalam renovasi Hotel PJ Bali, menurut majelis hakim telah terbukti dan memenuhi unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Dalam mempertimbangkan unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, majelis hakim memperhatikan beberapa pendapat, seperti dari R. Wirjono Prodjodikoro dan Andi Hamzah, sehingga majelis hakim berkesimpulan bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan implisit di dalamnya unsur melawan hukum. Dan terkait dengan perkara ini, untuk unsur melawan hukum, seperti halnya pada dakwaan primair yang tidak terbukti, maka begitu pun dengan unsur ketiga dari dakwaaan subsidair yang mengenai menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan jadi dinyatakan tidak terbukti pula. Oleh karena salah satu unsur dari dakwaan subsidair itu tidak terbukti, maka unsur lainnya juga tidak perlu dibuktikan lagi. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan, majelis hakim akhirnya memberikan putusan bahwa: terdakwa I dan terdakwa II tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama dan berlanjut sebagaimana tercantum dalam dakwaan primair dan subsidair, membebaskan terdakwa I dan terdakwa II dari segala dakwaan, memulihkan hak terdakwa I dan terdakwa II, serta juga memerintahkan terdakwa I dan terdakwa II dikeluarkan dari rumah tahanan negara. 284 | JURNAL DES.indd 284 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM II. RUMUSAN MASALAH Hal yang cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut terkait dengan Perkara Nomor 2060/ Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini ialah: Bagaimanakah pemaknaan terhadap isi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam proses penyelesaian perkara pidana (Kasus Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL)? III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS A. Studi Pustaka Masyarakat umum, biasanya, mengartikan tindak pidana korupsi ialah berkenaan dengan keuangan negara yang dimiliki secara tidak sah (Sumaryanto, 2009: 36). Sedangkan menurut Fockema Andrea, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus. Arti harfiah korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (Hamzah, 2007: 4-6). Oleh karena itu, jika membicarakan korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu, karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, buruk, atau bejat seperti penyelewengan kekuasaan, pengangkatan jabatan karena suatu pemberian, penempatan keluarga atau kroni di dalam kedinasan di bawah kekuasaannya dan lain sebagainya. Menyadari dampak dari korupsi yang begitu luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara maka tindak pidana korupsi ini dapat dikategorikan sebagai permasalahan bangsa atau nasional. Untuk dapat menegakan hukum tindak pidana korupsi secara optimal diperlukan rangkaian panjang unsur-unsur yang menjadi faktor penunjang jalannya hukum tersebut, salah satunya adalah orang-orang yang akan melaksanakannya (polisi, jaksa, atau hakim melalui putusannya). Aparat-aparat yang terkait dalam pemberantasan tindak pidana korupsi itupun harus memahami substansi/aturan yang terkandung dalam khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Romli Atmasasmita berpendapat bahwa ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 ditujukan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh 2 (dua) orang subjek hukum yang berbeda dengan kualifikasi tersendiri. Sejarah pembentukan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 berasal dari Pasal 1 ayat (1) huruf a UU Nomor 3 Tahun 1971. Dan untuk Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 berasal dari Pasal 1 ayat (1) huruf b UU Nomor 3 Tahun 1971. Mengenai unsur setiap orang dari Pasal 2 akan merujuk pada orang atau badan hukum, sedangkan unsur setiap orang dalam Pasal 3 akan merujuk pada orang yang memegang jabatan pemerintahan atau kedudukan (pejabat maupun penyelenggara negara). UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sendiri telah mengakui dan menambah subjek hukum menjadi JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 285 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 285 5/16/2012 5:08:14 PM 3 (tiga) subjek hukum, yaitu: orang perseorangan, pegawai negeri, dan korporasi <http://www. ahmadheryawan.com/opini-media/ekonomi-bisnis/4329-penerapan-uu-pemberantasan-tindakpidana-korupsi.html>. Figur hakim tidak dapat disepelekan dalam suatu negara hukum karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan kehakiman demi terselenggaranya fungsi peradilan dan tercapainya tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Fungsi utama hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam memberikan putusan, hakim didasarkan pada surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Hal ini senada dengan pendapat Mr.I.A.Negerburgh dalam bukunya Lilik Mulyadi ”Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya”, bahwa surat dakwaan sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana, karena ia merupakan dasarnya, dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim (Mulyadi, 2007: 92). Dapat disimpulkan bahwa seorang hakim dalam mengambil putusan hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang ada dalam surat dakwaan tersebut. Seorang hakim tidak boleh mengubah surat dakwaan sebagaimana ditentukan oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 dan tidak diperkenankan menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya sebagaimana ditentukan oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/ Pid/ 1983 tanggal 26 Mei 1984 (Mulyadi, 2007: 94). Surat dakwaan harus dicantumkan hakim dalam putusannya apabila hal ini diabaikan maka putusan hakim batal demi hukum (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 694 K/ Pid/ 1984 tanggal 15 Mei 1994). B. Analisis 1. Tentang Formalitas Putusan Suatu putusan pengadilan merupakan output dari proses sidang di pengadilan yang meliputi pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa dan pemeriksaan alat-alat bukti (Muhammad, 1997: 1). Dalam Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel secara jelas terlihat bahwa majelis hakim telah mengawali putusannya dengan memuat ketentuan formalitas yang mutlak ada di dalam suatu putusan pengadilan, yaitu (Pasal 197 jo Pasal 199 KUHAP): 286 | JURNAL DES.indd 286 1. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; 2. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM 3. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; 4. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; 5. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; 6. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; 7. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; 8. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; 9. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; 10. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; 11. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; 12. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Secara sistematis dan eksplisit, ketentuan formalitas mengenai putusan dalam hukum acara pidana sudah dapat dilihat di dalam Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini. Dalam putusan ini terlihat secara jelas bahwa dakwaan dari jaksa penuntut umum yang kemudian dianalisis oleh majelis hakim memuat pertimbangan terhadap fakta hukum serta alat bukti, baik berupa keterangan saksi yang berjumlah sekitar 17 (tujuh belas) orang, keterangan ahli, surat maupun keterangan terdakwa. Semuanya itu telah dihadirkan di muka persidangan dengan jelas. Dengan demikian, putusan majelis hakim dalam perkara ini telah didukung dan memenuhi ketentuan bahwa putusan harus disertai dengan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 jo Pasal 185 KUHAP. Pada bagian akhir dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa I dan terdakwa II tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana yang tercantum dalam dakwaan primair dan subsidair, sehingga majelis hakim membebaskan terdakwa I dan terdakwa II dari segala dakwaan JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 287 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 287 5/16/2012 5:08:14 PM serta memulihkan haknya. Majelis hakim juga memerintahkan agar terdakwa I dan II dikeluarkan dari rumah tahanan negara. Dalam Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, majelis hakim mendasari amar putusannya dengan Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 KUHP, dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, yang sesuai dengan surat dakwaan, namun tidak sesuai dengan requisitoir jaksa penuntut umum. 2. Tentang Substansi Dakwaan yang Dianalisis oleh Majelis Hakim Dalam Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, yang dakwaan asalnya adalah mendakwa terdakwa I dan terdakwa II melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, majelis hakim dalam pengambilan putusannya telah mendasarkan pada dakwaan dari jaksa penuntut umum, yaitu: Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, serta Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Tetapi, hal ini berbeda dengan dasar requisitoir jaksa penuntut umum, di mana dalam requisitoir Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999-nya tidak di-juncto-kan dengan Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999. Begitu pula dengan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tidak di-junctokan dengan Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999. Dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam perkara ini pada saat pengambilan putusan, menurut peneliti, kurang tepat karena hal yang terkandung dalam Pasal 2 berbeda dengan yang terkandung dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Seharusnya, majelis hakim mengkaji terlebih dahulu apakah kedua pasal yang didakwakan kepada para terdakwa itu sudah tepat dibuat dalam bentuk subsidaritas atau tidak. Karena menurut peneliti, kedua pasal tersebut berdiri sendiri, di mana yang satu bukanlah merupakan pemberatan atau sebaliknya dari yang lainnya, sehingga lebih tepat kalau dakwaan jaksa penuntut umum itu disusun dalam bentuk alternatif. Begitupun bagi majelis hakim, menurut peniliti, sebaiknya majelis hakim dalam membaca dan memahami dakwaan ini lebih tepat apabila melihatnya (dari perspektif) tersusun secara alternatif. Secara keseluruhan, Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini telah didukung oleh fakta hukum yang kuat serta sistematis. Dalam membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan yang dilakukan oleh para terdakwa, majelis hakim telah menggunakan doktrin dan yurisprudensi, tetapi tanpa menggunakan sumber hukum lainnya seperti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kelemahan dari putusan ini adalah saat majelis hakim menguraikan unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, di mana salah satu unsurnya yaitu setiap orang, hanya dijelaskan dengan menggunakan doktrin setiap orang yang diartikan sebagai yang mempunyai hak dan 288 | JURNAL DES.indd 288 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM kewajiban hukum. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai unsur setiap orang itu. Padahal menurut peneliti, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang didakwakan kepada para terdakwa memiliki perbedaan, yaitu: Mengenai unsur setiap orang dari Pasal 2 akan merujuk pada orang atau badan hukum, sedangkan unsur setiap orang dalam Pasal 3 akan merujuk pada orang yang memegang jabatan pemerintahan atau kedudukan (pejabat maupun penyelenggara negara) (Atmasasmita, 2009). UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sendiri telah mengakui dan menambah subjek hukum menjadi 3 (tiga) subjek hukum, yaitu: orang perseorangan, pegawai negeri, dan korporasi. Mengenai ancaman hukumannya pun berbeda, yaitu dalam Pasal 2 minimal pidana penjaranya 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, atau dalam keadaan tertentu dapat pula dikenai hukuman mati. Denda dalam Pasal 2 minimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan maksimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Sedangkan ancaman hukuman dalam Pasal 3 adalah pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Terkait dengan Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini, menurut peneliti, unsur setiap orang yang terdapat dalam Pasal 3 Nomor 31 Tahun 1999 lebih tepat digunakan untuk para terdakwa. Selain kelemahan tersebut di atas, menurut peneliti, kelemahan lain dalam Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini adalah saat majelis hakim menguraikan unsur kesalahan, yaitu unsur melawan hukum, sebagai bagian dari unsur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang didakwakan kepada para terdakwa. Dalam menguraikan unsur melawan hukum itu, majelis hakim menggunakan acuan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (MK), di mana MK pernah memutuskan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, melawan hukum yang dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 adalah yang bersifat melawan hukum yang formal dan materiel, dan ajaran melawan hukum materiel yang dimaksud adalah melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif. Menurut Roeslan Saleh, melawan hukum materiel tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sedangkan melawan hukum formal adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Menurut kepustakaan hukum pidana ada 2 (dua) fungsi ajaran sifat melawan hukum materiel, yaitu: sifat melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif yaitu suatu perbuatan meskipun oleh peraturan perundangundangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum maka perbuatan yang dimaksud merupakan perbuatan yang melawan hukum; dan sifat melawan hukum materiel dalam fungsinya yang negatif yaitu JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 289 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 289 5/16/2012 5:08:14 PM suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan yang dimaksud tidak bersifat melawan hukum (Wiyono, 2008: 32). Berkaitan dengan penjelasan tersebut di atas, yurisprudensi di Indonesia pun telah membenarkan adanya penerapan ajaran sifat melawan hukum materiel melalui fungsi positifnya, yaitu dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 275/K/Pid/1983, Putusan MA Nomor 2477/K/Pid/1988. Menurut Indriyanto Seno Adji, penerapan sifat melawan hukum materiel melalui fungsinya yang positif dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi hanyalah bersifat kondisional dan kasuistis, khususnya terhadap pelanggaran-pelanggaran yang tercela dan koruptif tetapi yang tidak terjangkau oleh hukum. Terhadap penerapan hal tersebut, Indriyanto Seno Adji memberikan kriteria yang ketat dan limitatif, yaitu: apabila perbuatan pelaku tidak memenuhi rumusan delik, dipandang dari kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang besar dan jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan yang diakibatkan perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Terkait dengan perkara ini, majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa yang melanggar SOP bukanlah merupakan tindakan melawan hukum, karena SOP bukanlah suatu peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalam menganalisis unsur melawan hukum, terlihat bahwa majelis hakim telah melakukan penafsiran secara restriktif terhadap makna secara melawan hukum itu, karena majelis hakim hanya melihat melawan hukum secara formalnya saja. Perlu diingat kembali, bahwa penafsiran restriktif tersebut merupakan penafsiran yang bersifat membatasi (Mertokusumo, 1993: 67). Apabila dikaji lebih jauh, SOP benar bukan termasuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, namun SOP merupakan suatu aturan tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak, di mana kesepakatan kedua belah pihak menurut hukum perdata bernilai sebagai (sama dengan) undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika SOP bukan peraturan perundang-undangan, maka menurut peneliti, majelis hakim justru seharusnya menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana dinyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Majelis hakim harus bisa melihat bahwa masalah tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini sudah begitu meluas, terus meningkat jumlah kejadiannya dan sangat mengkhawatirkan, serta sudah menimbulkan kerugian yang besar bagi negara. Dari perspektif itu, maka putusan untuk membebaskan para terdakwa tentu bukanlah pilihan yang tepat dan bijak. Dalam perkara ini, karena terdakwa I dan terdakwa II tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan 290 | JURNAL DES.indd 290 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah didakwakan, maka dalam putusannya majelis hakim juga tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang memberatkan dan/atau meringkankan para terdakwa. Simpulan yang dapat diambil dari pembahasan pada bagian ini ialah bahwa pembuktian unsur-unsur tindak pidana dalam Putusan Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel dapat dikategorikan lemah. Hal ini dapat dilihat dari majelis hakim yang belum dapat menguraikan secara jelas unsur setiap orang yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Selain itu, untuk menguraikan unsur melawan hukum yang terdapat di dalam Pasal 2, majelis hakim juga tidak melakukan upaya untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum serta keadilan yang hidup di masyarakat. IV. SIMPULAN Terdapat perbedaan pemaknaan isi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam penyelesaian perkara pidana (Kasus Nomor 2060/PID.B/2006/ PN.JAK.SEL). Dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam perkara ini pada saat pengambilan putusan, menurut penulis, kurang tepat karena hal yang terkandung dalam Pasal 2 berbeda dengan yang terkandung dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Seharusnya, majelis hakim mengkaji terlebih dahulu apakah kedua pasal yang didakwakan kepada para terdakwa itu sudah tepat dibuat dalam bentuk subsidaritas atau tidak. Karena menurut penulis, kedua pasal tersebut berdiri sendiri, di mana yang satu bukanlah merupakan pemberatan atau sebaliknya dari yang lainnya, sehingga lebih tepat kalau dakwaan jaksa penuntut umum itu disusun dalam bentuk alternatif. Begitupun bagi majelis hakim, menurut peneliti, sebaiknya majelis hakim dalam membaca dan memahami dakwaan ini lebih tepat apabila melihatnya (dari perspektif) tersusun secara alternatif. DAFTAR PUSTAKA Adji, Indriyanto Seno. 2009. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Jakarta: Diadit Media. Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hamzah, Andi. 2007. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. ------------------. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Marpaung, Leden. 2008. Asas, Teori, Praktik Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 291 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 291 5/16/2012 5:08:14 PM Mulyadi, Lilik Mulyadi. 2007. Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung: PT. Alumni. Nurdjana, I.G.M. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sumaryanto, A. Djoko. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka. Wiyono, R. 2008. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 292 | JURNAL DES.indd 292 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM KANDASNYA KRIMINALISASI PERKARA PERDATA MURNI Kajian Putusan Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. Sholahuddin Harahap Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Jalan Rangga Gading Nomor 8 Bandung 40116 email: [email protected] ABSTRACT TGHC, ETRL and PTGI (the three legal companies established under the laws of British Virgin Island) have agreed to hold an agreement set forth in notarial deeds. In practice, there were conflicts of management, ownership of shares, and breach of contract. The parties sued each other. The judiciary, in this case the High Court of British Virgin Island, finally dropped its decision. However, after receiving files from the criminal investigators, public prosecutors still filed the case to the Central Jakarta District Court. The author of this article analyzes the decision of the Central Jakarta District Court over the case. He also distinguished the court rulings between the terms of “ontslag van alle rechtsvervolging” (released from all indictments) and “vrijspraak” (freed because of no wrongdoings). Keywords: agreement, ontslag van alle rechtsvervoling, vrijspraak ABSTRAK TGHC, ETRL dan PT GI (tiga perusahaan hukum yang diririkan berdasarkan hukum British Virgin Island) memiliki perjanjian yang tertuang dalam akta notaris. Dalam prakteknya terjadi konflik dalam manajemen, kepemilikan saham, dan pelanggaran kontrak. Dalam bidang hukum, Pengadilan Tinggi British Virgin Island pada akhirnya mengalahkan terdakwa. Terdakwa melakukan upaya hukum dengan melalui pengadilan negeri Jakarta Pusat dimana salah satu putusannya ialah membebaskan terdakwa lepas dari tuntutan hukum, ontslag van alle rechtsvervolging. Dalam kasus ini, penulis menganalisi putusan PN Jakarta Pusat dimana salah satu putusannya terkait “ontslag van alle rechtsvervolging” and “vrijspraak” (freed because of no wrongdoings). Keywords: perjanjian, lepas dari tuntutan hukum, putusan bebas. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 293 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 293 5/16/2012 5:08:14 PM I. PENDAHULUAN Praktek penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, sehubungan dengan kenyataan hukum dan moralitas penegak hukum, jika dicermati sering kali menghasilkan keputusan atau vonis yang justru melawan rasa keadilan masyarakat atau kontroversial. Keputusan tersebut tidak sematamata dibebankan pada pengadilan, akan tetapi juga tidak terlepas dari peran atau andil penuntut umum atau penyidik. Tidak jarang ditemukan perkara yang sudah nyata-nyata bukan merupakan perbuatan pidana tetapi tetap bermuara ke peradilan pidana, sebagaimana kasus yang akan penulis teliti di bawah ini, yaitu: Berawal dari minat PT E (merupakan anak perusahaan PT P (Persero) dengan saham 40,1%) untuk mengakuisisi 100% saham CPRL selaku suatu perusahaan penambangan minyak Blok Ramba di Sumatera Bagian Selatan. Selanjutnya PT E mengajak perusahaan TGHC (didirikan berdasarkan hukum British Virgin Island) yang sahamnya dimiliki masing-masing 33,3% oleh US, ESK dan RL untuk bergabung mengelola penambangan Blok Ramba, dan untuk itu PT E dan TGHC mendirikan perusahaan patungan (konsorsium) yang diberi nama ETRL (didirikan berdasarkan hukum British Virgin Island) yang susunan sahamnya 75% dimiliki oleh TGHC dan 25% dimiliki oleh PT E, sedangkan direksinya adalah US, DB, RL dan ESK. Untuk membayar pembelian saham CPRL sebesar US$21.500.000,-, TGHC mendapat pinjaman sebesar US$2.000.000,- dari PT HP. Selanjutnya pada tanggal 16 September 2007 TGHC sebagai pemegang saham terbanyak di ETRL yang juga telah mendapat persetujuan dari PT E menghubungi dan mendapat pinjaman (Loan Agreement) dari PTGI (perusahaan didirikan berdasarkan hukum British Virgin Island) sebesar US$25.000.000,- dengan syarat antara lain, bunga 18,84% per tahun, PTGI berhak mengeksekusi saham-saham US, ESK dan RL di TGHC jika US, ESK dan RL wanprestasi. Selain itu (pada hari yang sama) ditandatangani pula Perjanjian Pembelian Saham (Share Subscription Agreement) antara TGHC dengan PTGI yang syaratnya antara lain, PTGI berhak menempatkan direksi dengan komposisi 50% pada TGHC yang untuk itu diangkat AWSS (terdakwa I) dan FDD (terdakwa II) menjadi direktur TGHC, dan juga RL dan ESK. Berdasarkan hasil rapat tanggal 25 Agustus 2008 yang tanpa dihadiri oleh RL selaku direksi telah dilakukan pergantian direksi TGHC menjadi AWSS, FDD, HS, ESK dan BN. Begitu pula pada tanggal 27 Agustus 2008 telah dilakukan penggantian direksi ETRL menjadi AWSS, FDD, HS, ESK dan BN. Pada tanggal 1 September 2008 terdakwa I dan terdakwa II mengambil alih dan menguasai manajemen ETRL, selanjutnya AWSS dan FDD telah mengganti speciment (contoh tanda tangan) pada Bank BNI Cabang Musi Palembang dan telah pula melakukan pengiriman uang atau pembayaran-pembayaran kepada Manwani Santos Tekchand dkk. Pada tanggal 20 September 2008 dilakukan eksekusi saham US, ESK dan RL pada TGHC atas wanprestasi yang mereka lakukan terhadap PTGI. 294 | JURNAL DES.indd 294 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM Kekisruhan yang terjadi antara TGHC (selaku penggugat) melawan ETRL dkk (selaku para tergugat) dibawa ke hadapan Pengadilan Tinggi British Virgin Island dengan register perkara/ putusan Nomor BVICV 305/2008, tanggal 18 Juni 2008 (masalah kepengurusan). Begitu pula kekisruhan antara PTGI (selaku penggugat) melawan TGHC dkk (selaku para tergugat) dibawa ke hadapan Pengadilan Tinggi British Virgin Island dengan register perkara/putusan Nomor BVICV 311/2008, tanggal 18 Juni 2008 (masalah kepemilikan saham). Setelah mengalami kekalahan di muka sidang Pengadilan Tinggi British Virgin Island, maka pada tanggal 20 Oktober 2008 pihak US dkk melaporkan pula pengurus PTGI dan pengurus ETRL kepada Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Sekitarnya. Upaya jaksa penuntut umum dalam menindaklanjuti hasil penyidikan yang dilakukan Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Sekitarnya adalah dengan mendakwa terdakwa I (AWSS) dan terdakwa II (FDD) di muka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dakwaan berlapis yaitu: Dakwaan kesatu: Melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. Dakwaan kedua: Melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 372 KUHPidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. Dakwaan ketiga: Melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Akhirnya pada tanggal 21 Oktober 2010, majelis hakim perkara pidana Nomor 259/ Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut: 1. Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa I AWSS dan terdakwa II FDD telah terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana; 2. Menetapkan para terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging); 3. Memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; 4. Menetapkan barang bukti berupa: 5. Perjanjian antara PT E dengan TGHC tanggal 26 Mei 2007 untuk ……. dst (terdiri dari 22 item); JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 295 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 295 5/16/2012 5:08:14 PM 6. Seluruhnya dikembalikan pada yang berhak; 7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada negara. II. RUMUSAN MASALAH Sehubungan dengan kasus posisi, dakwaan penuntut umum dan putusan majelis hakim perkara Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. tersebut di atas, maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah: 1. Apakah putusan majelis hakim perkara nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. telah tepat dan benar baik dari segi hukum pidana formal maupun segi hukum pidana materil? 2. Bagaimana perilaku majelis hakim perkara nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. yang menangani dan memutus perkara tersebut dikaitkan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim? III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS A. Studi Pustaka Hukum pidana formal merupakan istilah lain dari hukum acara pidana yang oleh J.M. van Bemmelen dirumuskan sebagai kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana negara, bilamana dihadapi pada suatu kejadian yang menimbulkan syak wasangka telah terjadi suatu pelanggaran hukum pidana, dengan perantaraan alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan di muka dan oleh hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti, dan bagaimana keputusan itu harus dijalankan (Amin, 1975: 27). Hukum acara pidana itu diciptakan untuk sebagai sarana dalam rangka penegakan hukum dan keadilan dalam mewujudkan kehidupan yang tertib dan tenteram dalam masyarakat. Dapat disimpulkan apabila hukum material tidak ditunjang oleh hukum formal (hukum acara) jadilah hukum material itu hukum mati (Siregar, 1983: 46). Menyimak pengertian hukum acara pidana dari kedua pakar tersebut dapat disimpulkan betapa luasnya kajian hukum acara pidana itu yang meliputi pemeriksaan di tingkat penyelidikan dan/atau penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, upaya hukum dan pelaksanaan putusan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan hukum pidana material (substantif), sehingga pada tempatnya kajian ini harus dibatasi hanya pada pemeriksaan di tingkat persidangan khususnya yang menyangkut “putusan”. Ketentuan Pasal 1 butir 11 KUHAP memuat definisi putusan pengadilan yaitu: “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara 296 | JURNAL DES.indd 296 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM yang diatur dalam undang-undang ini”. Lebih lanjut Pasal 195 KUHAP menggariskan: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 butir 11 dan Pasal 195 KUHAP tersebut Leden Marpaung menyimpulkan: Dengan demikian untuk sahnya suatu putusan pengadilan harus memenuhi syarat-syarat: memuat hal-hal yang diwajibkan (Pasal 197 ayat (1) (2)); Diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Hal-hal tersebut di atas yang harus dinyatakan sebagai syarat mutlak sesuatu “putusan” sedang hal-hal lain misalnya dengan hadirnya terdakwa, tidak merupakan syarat mutlak” (Leden Marpaung, 1992: 422). Pengaturan lebih lanjut mengenai syarat (muatan) suatu putusan dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan Pasal 199 ayat (1) KUHAP, yaitu: Pasal 197 ayat (1) KUHAP menentukan, Surat putusan pemidanaan memuat: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 297 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 297 5/16/2012 5:08:14 PM kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Pasal 199 ayat (1) KUHAP menentukan, Surat putusan bukan pemidanaan memuat: a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h; b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan; c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan. Mengenai putusan apa saja yang dapat dijatuhkan pengadilan kepada terdakwa, dapat diketahui dari ketentuan Pasal 191 ayat (1), (2) KUHAP dan Pasal 193 ayat (3) KUHAP yaitu: 1. Putusan Bebas, dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Vrijspraak); 2. Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum, dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Ontslag van alle rechtsvervolging); 3. Putusan Pemidanaan, dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. P.A.F. Lamintang memberi pengertian tentang putusan bebas yaitu apabila hakim berpendapat, bahwa satu atau lebih unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka hakim harus memutuskan suatu pembebasan atau suatu vrijspraak bagi terdakwa. Akan tetapi dapat juga terjadi, bahwa semua unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepada seorang terdakwa itu memang terbukti secara sah telah dipenuhi oleh terdakwa, akan tetapi hakim tidak yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Dalam hal semacam itu orang juga dapat mengatakan, bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya ternyata tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, hingga oleh hakim terdakwa juga harus diputus bebas. Mengenai putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) Lamintang mengatakan: Untuk dapat dianggap 298 | JURNAL DES.indd 298 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM sebagai perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana itu adalah tidak perlu, bahwa penuntut umum telah mendakwakan sesuatu perbuatan yang sebenarnya tidak terlarang menurut undangundang, akan tetapi juga dapat terjadi bahwa penuntut umum telah mendakwakan suatu tindak pidana kepada seorang terdakwa, akan tetapi dalam surat dakwaannya ia telah lupa mendakwakan sesuatu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan. Misalnya penuntut umum telah bermaksud untuk mendakwakan tindak pidana pencurian seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP kepada seorang terdakwa, akan tetapi telah lupa mendakwakan unsur “dengan maksud untuk menguasai benda yang diambilnya itu secara melawan hukum” di dalam surat dakwaannya, sehingga hakim juga tidak dapat menyatakan unsur tersebut sebagai terbukti telah dipenuhi oleh terdakwa (Lamintang, 1984: 448-449). Berkaitan dengan putusan bebas (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechts vervolging), perlu pula disimak pendapat Yahya Harahap yang mengatakan: Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak) atau acquittal. Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa “tidak dipidana”. Sedangkan mengenai pengertian putusan lepas dari segala tuntutan hukum, Yahya Harahap mengatakan “Untuk melihat lebih jelas apa yang dimaksud dengan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, ada baiknya bentuk putusan ini diperbandingkan dengan putusan pembebasan. Pembandingan tersebut dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain: a. Ditinjau dari Segi Pembuktian: Pada putusan pembebasan, perbuatan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan. Jadi, tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif serta tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Lain halnya pada putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183. Akan tetapi, perbuatan yang terbukti itu “tidak merupakan tindak pidana”. Tegasnya perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu, tidak ada diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana. Tetapi mungkin termasuk lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum dagang, atau hukum adat. b. Ditinjau dari Segi Penuntutan: Pada putusan pembebasan, perbuatan yang dilakukan dan didakwakan kepada terdakwa benar-benar perbuatan tindak pidana yang harus dituntut dan diperiksa di sidang “pengadilan pidana”. Cuma dari segi pembuktian, pembuktian yang ada tidak cukup mendukung keterbukaan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, kesalahan terdakwa tidak terbukti, terdakwa “diputus bebas” dan membebaskan dirinya dari ancaman pidana yang diancamkan pada pasal tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Sedang pada putusan pelepasan dari segala JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 299 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 299 5/16/2012 5:08:14 PM tuntutan hukum, pada hakikatnya apa yang didakwakan kepadanya bukan merupakan perbuatan tindak pidana. Barangkali hanya berupa quasi tindak pidana, seolah-olah penyidik dan penuntut umum melihatnya sebagai perbuatan tindak pidana” (Yahya Harahap, 2002: 352). Selanjutnya dalam menjatuhkan putusan hakim harus berpedoman pada Pasal 183 KUHAP yang menentukan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. B. Analisis Putusan Menyimak dan mencermati isi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 259/ Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. dikaitkan dengan syarat putusan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, maka putusan a quo telah memenuhi formalitas yang ditentukan karena telah memuat kepala putusan yang bertuliskan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para terdakwa, surat dakwaan, pertimbangan hukum baik mengenai fakta maupun mengenai alat pembuktian, waktu musyawarah majelis hakim, biaya perkara dan ketentuan mengenai barang bukti, hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Sedangkan tidak dimuatnya hal-hal tuntutan pidana, pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan, keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, juga mengenai pernyataan kesalahan terdakwa dan pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan adalah telah tepat dan benar tidak dicantumkan dalam putusan sebab majelis hakim perkara Nomor 259/Pid.B/2010/ PN.Jkt.Pst. telah menjatuhkan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang merupakan ketentuan batas minimum pembuktian (alat bukti) yang harus dimiliki oleh hakim dalam memutus suatu perkara, maka sesungguhnya dalam perkara Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. majelis hakim telah menemukan dua bahkan lebih alat bukti yang diperlukan, namun hakim tidak mempunyai keyakinan bahwa perbuatan yang terbukti itu merupakan perbuatan pidana melainkan merupakan perbuatan perdata sebagaimana dipertimbangan pada halaman 108 alinea keempat dan halaman 109 alinea kesatu dan kedua yang mempertimbangkan: “Menimbang, bahwa seluruh perbuatan hukum yang dilakukan oleh para terdakwa dalam perkara ini setelah majelis hakim meneliti bukti-bukti tertulis baik yang diajukan penuntut umum maupun yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa, ternyata segala hal perbuatan hukum yang dilakukan oleh para terdakwa dilandasi 300 | JURNAL DES.indd 300 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:14 PM dengan adanya perjanjian-perjanjian yang didasarkan pada akta otentik”; “Menimbang, bahwa berpedoman pada putusan Pengadilan British Virgin Island dan bukti-bukti yang berupa perjanjian-perjanjian yang berbentuk akta otentik tersebut, majelis hakim berkesimpulan bahwa perbuatan hukum para terdakwa tersebut lebih cenderung termasuk dalam perbuatan keperdataan”; “Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah dipertimbangkan sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya majelis hakim berpendapat bahwa sungguhpun perbuatan yang unsur-unsur dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa tersebut telah terpenuhi, tetapi perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terhadap terdakwa harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onstslag van recht vervolging)”. Setelah kajian dari segi hukum pidana formal sebagaimana diuraikan di atas, maka pada kesempatan berikut ini dicoba pula menganalisa putusan a quo dari segi hukum pidana substansial atau hukum pidana materil. Adapun dakwaan yang didakwakan penuntut umum kepada para terdakwa disusun secara berlapis yang dimulai dari dakwaan kesatu mengenai secara bersamasama dan berlanjut melakukan korupsi, dakwaan kedua melakukan penggelapan dan dakwaan ketiga melakukan pencucian uang. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pada tanggal 21 Oktober 2010 majelis hakim perkara pidana Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. menjatuhkan putusan dengan amar antara lain: 1. Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa I AWSS dan terdakwa II FDD telah terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana; 2. Menetapkan para terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging); 3. Memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; Menurut pendapat penulis, putusan majelis hakim perkara pidana Nomor 259/Pid.B/2010/ PN.Jkt.Pst. yang telah menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) kepada para terdakwa AWSS dan FDD adalah keliru dan tidak tepat. Pada halaman 94 putusan a quo dimuat: “Menimbang, bahwa dalam dakwaan kesatu para terdakwa telah didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU.31/1999 jo UU.20/2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Setiap orang; 2. Secara melawan hukum; JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 301 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 301 5/16/2012 5:08:14 PM 3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 4. Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 5. Keturut sertaan dalam perbuatan; 6. Beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut”. Dalam pertimbangan selanjutnya yaitu pada halaman 102, dipertimbangkan tentang unsur “merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Pada akhir dari pertimbangan unsur ini (alinea kelima) disebutkan: “….., bahwa Bank BNI Cabang Musi Palembang berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya, ternyata adalah suatu badan hukum atau perusahaan yang menyertakan modal negara, sehingga perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa sebagaimana telah diuraikan di atas, jelas telah menimbulkan kerugian pada keuangan negara, dengan demikian unsur tersebut telah terpenuhi”. Bagaimana mungkin, unsur dari pasal ini dikatakan telah terpenuhi atau telah terbukti. Jangankan bukti-bukti yang menyatakan tentang kerugian keuangan atau perekonomian negara, bukti-bukti yang menunjukkan adanya keterkaitan antara Bank BNI Cabang Musi Palembang dengan perbuatan para terdakwa saja tidak ada bukti-bukti yang bisa mendukung. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan majelis hakim baik berdasarkan keterangan saksi-saksi maupun berdasarkan bukti surat tidak dapat ditemukan atau dengan kata lain pertimbangan hukum tersebut tidak didukung dengan alat-alat bukti. Transfer atau pengiriman-pengiriman uang yang dilakukan oleh Bank BNI Cabang Musi Palembang kepada Manwani Santos Tekchand dkk adalah transfer atau pengiriman yang sah dan sesuai dengan hukum. Uang yang dikirim oleh Bank BNI Cabang Musi Palembang sesuai dengan bukti yang terungkap di persidangan merupakan uang milik TGHC dan/atau ETRL yang disimpan pada Bank BNI Cabang Musi Palembang. Jadi tidak ada kerugian Bank BNI Cabang Musi Palembang. Jadi unsur kerugian keuangan atau perekonomian negara tidak terpenuhi atau tidak terbukti. Oleh karena salah satu unsur dari dakwaan kesatu yaitu kerugian keuangan atau perekonomian negara tidak terpenuhi, maka bukan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) yang dijatuhkan oleh majelis hakim perkara Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt. Pst. akan tetapi adalah putusan bebas (vrijspraak). Lebih-lebih lagi jika dicermati pembahasan mengenai unsur kelima mengenai “Keturut sertaan dalam perbuatan” (deelneming) dan unsur keenam mengenai “perbuatan yang berlanjut” (voorgezette handeling), yang tidak menjawab apakah kedua unsur ini terpenuhi atau tidak, sebab pembahasan terhadap kedua unsur tersebut tidak selesai atau tuntas. Dengan demikian semestinya majelis hakim perkara Nomor 259/ Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. membebaskan para terdakwa dari dakwaan kesatu. 302 | JURNAL DES.indd 302 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM Dakwaan kedua para terdakwa didakwa melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 372 KUHPidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana yang salah satu unsurnya adalah: 1. Barang siapa; 2. Dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri; 3. Barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain; 4. Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Bila fakta-fakta yang terungkap di persidangan dikaitkan dengan unsur-unsur dakwaan kedua, maka jelas dakwaan kedua ini telah terpenuhi atau terbukti. Namun apa yang telah terbukti itu harus pula dikaitkan dengan fakta adanya putusan Pengadilan Tinggi British Virgin Island register perkara/putusan Nomor BVICV 305/2008, tanggal 18 Juni 2008 yang mensahkan kedudukan para terdakwa sebagai direksi ETRL juga putusan Pengadilan Tinggi British Virgin Island register perkara/putusan Nomor BVICV 311/2008, tanggal 18 Juni 2008 yang memutuskan PTGI sebagai pemegang gadai. Kedua putusan Pengadilan Tinggi British Virgin Island tersebut dijatuhkan tanggal 18 Juni 2008 atau jauh sebelum pihak US dkk melaporkan para terdakwa AWSS dan FDD ke penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya dan Sekitarnya (laporan polisi dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2008). Disahkannya pengangkatan para terdakwa sebagai direksi ETRL tentu mereka mempunyai kewenangan-kewenangan dalam menjalankan roda perusahaan, termasuk melakukan pembayaran atau transfer uang kepada Manwani Santos Teckhand dkk. sebagai kewajiban-kewajiban perusahaan ETRL yang harus dibayar atau dipenuhi. Dengan demikian berdasarkan bukti-bukti yang ada terhadap dakwaan kedua ini majelis hakim pada tempatnya menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Sedangkan dakwaan ketiga para terdakwa didakwa melakukan perbuatan pencucian uang sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh karena dalam dakwaan kesatu para terdakwa dibebaskan dan dalam dakwaan kedua para terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum, maka sudah barang tentu dalam dakwaan ketiga ini para terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum karena walaupun unsur-unsur yang didakwakan telah terbukti sebagaimana dalam dakwaan kedua, akan tetapi perbuatan yang dilakukan para terdakwa merupakan perbuatan perdata murni. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 303 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 303 5/16/2012 5:08:15 PM umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim sebagaimana ditentukan Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang dan hakim harus pula memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum serta dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.Pengadilan yang mandiri, netral, kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Untuk mencapai keadaan tersebut, hakim dianggap sebagai aktor utama yang dituntut untuk tetap mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak. Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana ditertuangkan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan (SKB KMA - P.KY, 2009: Pembukaan). Akhirnya implementasi kewajiban hakim tersebut dapat diketahui dari Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009, Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang mengatur prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim yaitu Berperilaku Adil, Berperilaku Jujur, Berperilaku Arief dan Bijaksana, Bersikap Mandiri, Berintegritas Tinggi, Bertanggung Jawab, Menjunjung Tinggi Harga Diri, Berdisiplin Tinggi, Berperilaku Rendah Hati, dan Bersikap Profesional. Berkenaan dengan 10 (sepuluh) aturan kode etik dan pedoman perilaku hakim tersebut di atas, maka penulis mencoba mengkaji dua aturan yaitu “Bersikap Profesional” dan “Berdisiplin Tinggi” dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21 Oktober 2010, Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. Bersikap Profesional. Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efesien. Lebih lanjut, untuk penerapannya digariskan “Hakim 304 | JURNAL DES.indd 304 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya”. Pada halaman 94 putusan a quo dimuat: “Menimbang, bahwa dalam dakwaan kesatu para terdakwa telah didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 jo UU 20/2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Setiap orang; 2. Secara melawan hukum; 3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 4. Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 5. Keturut sertaan dalam perbuatan; 6. Beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut”. Pada analisa atau pertimbangan hukum terhadap unsur ke-5 mengenai keturut sertaan dalam perbuatan tidak dipertimbangkan sampai tuntas bahkan tercampur atau berbaur dengan unsur ke-6, sedangkan unsur ke-6 penulis tidak menemukan pertimbangan-pertimbangan atau analisanya, dengan kata lain sama sekali tidak ditemukan pembahasan mengenai unsur ke-6 mengenai “Beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut”. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakim dalam perkara a quo telah mengingkari kewajibannya untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan. Kurang profesionalnya hakim dapat ditemukan dalam mempertimbangkan unsur ke-4 yaitu “unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang dimuat pada halaman 102 alinea terakhir yang mempertimbangkan: “….., bahwa Bank BNI Cabang Musi Palembang berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya, ternyata adalah suatu badan hukum atau perusahaan yang menyertakan modal negara, sehingga perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa sebagaimana telah diuraikan di atas, jelas telah menimbulkan kerugian pada keuangan negara, dengan demikian unsur tersebut telah terpenuhi”. Selain itu, tidak ada ditemukan bukti surat berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Bank BNI dalam perkara atau putusan a quo sebagaimana disimpulkan hakim. Selanjutnya berdasarkan penelaahan atau kajian penulis ternyata uang yang dibayarkan/ditransfer Bank BNI Cabang Musi Palembang sesuai permintaan para terdakwa AWSS dan FDD kepada orang atau badan tertentu bukan merupakan uang Bank BNI, akan tetapi adalah uang milik TGHC dan/atau JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 305 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 305 5/16/2012 5:08:15 PM ETRL yang disimpan di Bank BNI Musi Palembang. Dengan demikian hakim telah berbuat keliru dan salah dalam mengambil kesimpulan, sehingga jelas telah melanggar aturan sikap profesional sebagaimana diamanatkan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Berdisiplin Tinggi. Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya. Lebih lanjut, untuk penerapannya digariskan “Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan”. Memeriksa dan memutus atau menyelesaikan suatu perkara yang dibebankan kepada para hakim walaupun sudah merupakan pekerjaan sehari-hari, akan tetapi bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan bisa dilaksanakan sambil lalu atau dianggap sepele. Hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, maka Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara yaitu hakim diberi kesempatan untuk menyelesaikan satu perkara dalam tenggang waktu maksimal enam bulan. Walaupun SEMA ini ditujukan kepada penyelesaian perkara perdata umum, perkara perdata agama, perkara tata usaha negara namun jika dilihat maksud dan tujuan diterbitkannya SEMA ini yaitu untuk mempercepat penyelesaian satu perkara, maka tentu dapat pula diberlakukan pada penanganan perkara-perkara pidana. Mencermati perkara nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. ternyata pelaksanaan sidang yang pertama atau acara pembacaan surat dakwaan telah dilakukan pada tanggal 23 Februari 2010, sedangkan pelaksanaan sidang terakhir dengan acara pembacaan putusan dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2010. Jadi majelis hakim telah menggunakan waktu selama delapan bulan atau melebihi tenggang waktu yang ditentukan oleh Mahkamah Agung, padahal para terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Dengan demikian majelis hakim telah melanggar aturan berdisiplin tinggi sebagaimana diamanatkan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yaitu harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan. 306 | JURNAL DES.indd 306 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM IV. SIMPULAN 1. Ditinjau dari segi hukum pidana formal putusan majelis hakim perkara Nomor 259/ Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. adalah telah tepat dan benar yaitu telah menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), sedangkan dari segi hukum pidana materil ternyata putusan a quo merupakan putusan yang salah, semestinya putusan yang dijatuhkan adalah pembebasan (vrijspraak) untuk dakwaan kesatu dan lepas dari segala tuntutan hukum untuk dakwaan kedua dan dakwaan ketiga; 2. Sesuai dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, ternyata majelis hakim perkara Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. perlu untuk bersikap lebih profesional dan berdisiplin tinggi terkait dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tahun 2009. DAFTAR PUSTAKA Amin, S.M. 1975. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita. Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Pustaka Kartini. Lamintang, P.A.F. 1984. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi. Jakarta: Sinar Grafika. Siregar, Bismar. 1983. Hukum Acara Pidana. Bandung: Binacipta. Soerodibroto, Soenarto. 1982. KUHP & KUHAP Dilengkapi Jurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta Pusat: Penerbit Soenarto & Associates. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 307 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 307 5/16/2012 5:08:15 PM PERSPEKTIF MORALITAS DALAM PERKARA ABORSI Kajian Putusan Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT Stanislaus Atalim Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta email: [email protected] Abstract Abortion remains one of social, legal, and moral issues most hotly debated. Each perspective presents powerful pro-con arguments. The pro-life and moral arguments emphasize on preserving human life or giving absolute priority to the life of the unborn fetus and even over the life of the mother. However, pro-social choice group argues that a woman should have a right to control her body includes her pregnancy. In Indonesia, abortion is legally permitted at any rate with some exceptions. In judging abortion cases, the court or panel of judges must take account of moral reasoning as the other side of his argument and must not limit only accordance with legal reasoning. This article presents the other side of legal argument, that is moral argument which can be regarded as lex generalis, while legal argument as lex specialis. Hence, there is a mutual connection between legality and morality especially in abortion cases. Keywords: abortion, legal reasoning, moral reasoning ABSTRAK Absorsi menjadi salah satu perdebatan hangat dengan isu moral yang berdimensi sosial dan hukum, dimana setiap pandangan memiliki argumen yang berbeda satu dengan yang lain. Bagi kaum pendukung moral dan kehidupan memiliki argumen untuk memberikan kehidupan secara mutlak bagi bayi sama halnya dengan sang ibu. Sementara, kaum sosial berargumen bahwa perempuan memiliki hak untuk mengkontrol tubuhnya termasuk kehamilannya. Di Indonesia, aborsi secara hukum dilarang dengan beberapa pengecualian. Dalam kasus putusan aborsi, hakim seharusnya tidak hanya mengunakan argument hukum saja. Dalam tulisan ini memperlihatkan sisi di luar aspek hukum seperti aspek moral dianggap lex generalis, seemntara aspek hukum sebagai lex specialis. Oleh sebab itu, di sana terdapat mutual connection antara aspek hukum dan moral dalam kasus aborsi. Kata kunci: aborsi, alasan hukum, alasan moral 308 | JURNAL DES.indd 308 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM I. PENDAHULUAN Sudah sejak lama aborsi atau tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menggugurkan kandungan menjadi masalah yang kontroversial di Tanah Air. Dikatakan kontroversial karena di satu sisi aborsi dianggap bertentangan dengan norma sosial, agama, dan norma moral, bahkan juga norma hukum (legal). Sementara di sisi lain, hukum sendiri membuka kemungkinan untuk ‘melegalkan’ aborsi meski dengan beberapa pengecualian. Kasus-kasus aborsi di Indonesia menunjukkan fenomena gunung es. Kasus-kasus aborsi yang mencuat ke hadapan publik sangat sedikit tetapi praktik aborsi ditengarai banyak dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Klinik-klinik kecil pengobatan ibu hamil dan melahirkan, klinik pelayanan Keluarga Berencana (KB), bahkan klinik pengobatan tradisional tidak jarang melakukan praktik demikian. Sekalipun tidak ada statistik yang bisa dipegang, banyak kalangan memperkirakan, angka aborsi di Indonesia tergolong tinggi. Aborsi, jika dilakukan secara tidak aman, tidak hanya membahayakan janin, melainkan juga si ibu. WHO memprediksi 10-50% dari kasus aborsi tidak aman (unsafe abortion) berakhir dengan kematian ibu. Diperkirakan setiap tahun di dunia terjadi sekitar 20 juta aborsi tidak aman. Dari jumlah itu 26% praktik aborsi tergolong legal dan lebih dari 70.000 aborsi tidak aman di negara berkembang berakhir dengan kematian ibu (Tutik, 2011: 1). Berangkat dari keprihatinan di atas, tulisan berikut ini ingin mengangkat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT sebagai objek analisis. Putusan ini berkenaan dengan kasus pengguguran kandungan secara sengaja, dengan menghadirkan terdakwa PRB yang berprofesi sebagai bidan. PRB membuka praktik kebidanan di jalan Raya Cilincing, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Antara bulan Maret 2001 s.d. November 2001, ia dianggap telah melakukan perbuatan “dengan sengaja menyebabkan gugur atau matinya kandungan dengan izin dari perempuan yang kandungannya digugurkan”. Atas tiap kali tindakannya, ia memungut bayaran Rp. 750.000 s.d. Rp. 1.500.000. Berdasarkan pengakuan terdakwa di persidangan, PRB sudah melakukan praktik ini terhadap lima atau enam orang ibu hamil yang datang ke tempat praktiknya selama kurun waktu tersebut. Tindakan aborsi PRB dilakukan mulai dengan menyuntik cairan sintosinon kepada pasiennya. Cairan ini berfungsi sebagai perangsang dan membuat bayi dalam kandungan pasien mati. Setelah bayi dalam kandungan mati, terdakwa memasang alat ke dalam rahim si ibu berupa sonde uterus yang berfungsi untuk memecahkan air ketuban. Kemudian terdakwa menginfus ibu tadi dan dalam waktu 8 s.d. 12 jam kemudian bayi yang sudah dalam keadaan mati itu akan keluar dengan sendirinya. Mayat bayi ini lalu dibawa pulang oleh ibunya atau ditanam di halaman rumah tempat praktiknya. Terhadap tindakan menggugurkan kandungan pasien-pasiennya tersebut, jaksa menuntut terdakwa dengan dakwaan primair dan dakwaan subsider. Dakwaan primairnya adalah bahwa JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 309 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 309 5/16/2012 5:08:15 PM perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 348 ayat (1) jo Pasal 349 jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Terdakwa dituntut melakukan perbuatan pidana secara berturutturut atau berkelanjutan. Pasal-pasal itu berbunyi sebagai berikut: Pasal 348 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Pasal 349 KUHP: Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, atau pun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. Pasal 64 ayat (1) KUHP: Jika antara bebarapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortgezette handeling), maka hanya dikenakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Sementara dakwaan subsidernya adalah bahwa perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 299 ayat (1) jo ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Lengkapnya pasal-pasal dimaksud berbunyi: Pasal 299 ayat (1) KUHP: Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. Pasal 299 ayat (2) KUHP: Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan, atau juru obat; pidananya dapat ditambah sepertiga. Enam orang saksi yang ditampilkan di persidangan mengaku tidak tahu secara pasti bahwa 310 | JURNAL DES.indd 310 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM terdakwa melakukan praktik aborsi. Mereka hanya menyaksikan beberapa ibu hamil yang datang berobat. Pasien terakhir yang mengalami pendarahan dan tertangkap basah bersama bidan PRB mengakui bahwa ia mengalami pendarahan, dan ia datang ke klinik itu justru untuk berobat. Sementara saksi yang lain lagi mengakui bahwa ia pernah disuruh terdakwa mengubur janin di halaman rumah tempat praktik terdakwa. Selain itu, ada juga ahli yang diminta memberikan keterangan. Ahli tersebut, seorang dokter spesialis kandungan, menyatakan bahwa cairan atau obat sintosenon yang disuntikkan pada ibu hamil memang bisa menggugurkan tetapi juga dapat memperkuat kandungan. Hal menarik dari kasus aborsi ini adalah argumen dan pertimbangan hakim bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal-pasal yang didakwakan padanya dalam dakwaan primair, tetapi terbukti bersalah melanggar pasal-pasal yang didakwakan padanya dalam dakwaan subsider. Lebih khusus lagi, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara aborsi ini berpendapat bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menggugurkan kandungan terdakwa dengan persetujuan terdakwa (Pasal 348 KUHP) tetapi terbukti secara sah dan meyakinkan “biasa” memberi atau menyuntikkan obat ke tubuh pasien, dengan imbalan tertentu, dengan harapan supaya janinnya digugurkan (Pasal 299 KUHP). Dakwaan primair juga dianggap tidak cukup memadai karena tidak menyertakan nama orang atau barang sebagai objek dari tindakan pidana aborsi tersebut. Namun pertimbangan seperti ini menunjukkan bahwa terdakwa tidak bersalah secara substantif-material tetapi bersalah secara formal-prosedural. Padahal, proses penyuntikan obat sintosenon ke tubuh pasien itu dengan harapan agar kehamilannya digugurkan. Memang obat itu bisa juga memperkuat janin, tetapi lalu mengapa terdakwa dianggap bersalah melanggar pasal-pasal dalam dakwaan subsider ini. Terdakwa bersalah karena proses tindakan yang ia lakukan mengarah ke tujuan utama yakni menggugurkan kandungan tersebut. Apalagi dalam pemeriksaan, terdakwa mengakui bahwa ia sudah melakukan aborsi terhadap beberapa pasiennya berdasarkan permintaan dan persetujuan pasien. Terdakwa mengakui kebenaran-kebenaran berikut: bahwa dalam praktik kebidanan ia benar telah melakukan pengguguran kandungan terhadap pasien yang meminta bantuannya; bahwa benar ia telah menerima pasien wanita sebanyak enam orang, dengan rata-rata usia kehamilan antara 3 sampai 6 bulan; bahwa benar kepada pasien ia beri suntikan sintosenon; bahwa benar ada pasien yang anaknya lahir mati di tempat terdakwa dan dikuburkan di halaman rumah terdakwa; bahwa benar bahwa telah dilakukan penggalian oleh polisi di halaman rumah terdakwa dan menemukan kerangka janin manusia dan yang menguburkan janin itu adalah MD, pembantu terdakwa. Dalam persidangan, jaksa/penuntut umum mengajukan barang bukti berupa alat-alat medis, obat-obatan, dan dua janin bercampur tanah. Pada berkas perkara telah terlampir visum et repertum no. 369/SK/II/01/2-2002 yang dibuat dr. Abdul Mun’im Idries SpF., dokter spesialis JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 311 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 311 5/16/2012 5:08:15 PM forensik FK UI, yang menyimpulkan bahwa kerangka yang ditemukan merupakan kerangka manusia berdasarkan panjang tulang paha 38.8 mm dan umur janin dalam kandungan sekitar 22 s.d 25 minggu. Hal menarik dari kasus aborsi ini adalah bahwa pertimbangan hakim bernuansa sepenuhnya murni legal tanpa menyertakan sedikitpun pertimbangan moral. Padahal, kasus aborsi selalu menarik perhatian publik karena sudut pandangan legal selalu berbenturan dengan pertimbangan moral dan sosial. Apa yang diterima secara legal, belum tentu diterima secara moral. Dalam kasus aborsi, seperti terungkap dalam kasus ini, pertimbangan moral meskipun tidak menjadi pertimbangan utama dan dominan seharusnya dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan perkara-perkara aborsi. Jika dipahami secara lebih mendalam, pertimbangan moral tidak bisa disingkirkan dalam pertimbangan hukum karena kandungan hukum itu sendiri adalah moralitas. Moralitas merupakan sumber utama bagi hukum. Hukum hadir demi kebaikan umat manusia berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Ini adalah arti sesungguhnya dari moralitas. Maka, analisis ini ingin mengemukakan pertimbangan lain dari sisi moralitas atas kasus aborsi ini, sekaligus menunjukkan bahwa hukum berhubungan erat dengan moralitas. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT. yang menghadirkan seorang bidan sebagai terdakwa ini menarik untuk diteliti karena putusan ini semestinya tidak hanya berkutat pada masalah hukum melainkan juga masalah moral. Maka terdakwa yang melakukan praktik aborsi bisa ditafsirkan tidak hanya melanggar pasal-pasal hukum yang dituduhkan kepadanya melainkan juga melanggar nilai-nilai moral. Pada kasus aborsi ini, persoalannya bertambah berat karena membunuh janin yang tak berdosa melanggar hak janin untuk hidup. Dengan perkataan lain, juga terkandung pelanggaran hak asasi manusia. Patut dipertanyakan, mengapa dalam kasus ini hakim memutuskan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan primer tetapi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar pasal-pasal yang didakwakan pada dakwaan subsider. Dakwaan jaksa penuntut umum dinilai hakim tidak cermat pada dakwaan primair karena JPU tidak menyertakan nama orang atau barang dari objek tindakan pidana tersebut. Mengenai hal ini seharusnya menjadi kejelian hakim untuk meminta jaksa menghadirkan saksi dari para pasien yang datang ke tempat praktik terdakwa dan meminta terdakwa untuk menggugurkan kandungan mereka. Ketidakcermatan prosedur tidak harus menggugurkan substansi, meskipun substansimateriil persoalan memang harus didukung oleh prosedur pembuktian yang juga harus cermat. I. RUMUSAN MASALAH Salah satu masalah yang menarik dari putusan hakim dalam perkara aborsi ini adalah putusan hakim bahwa terdakwa tidak bersalah menurut dakwaan primair (pengguguran kandungan 312 | JURNAL DES.indd 312 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM atau aborsi) tetapi terbukti bersalah menurut dakwaan subsider (menyuntikkan obat yang dapat menggugurkan kandungan dengan imbalan keuntungan tertentu). Dakwaan primair berurusan dengan tujuan atau substansi dari tindakan, sementara dakwaan subsider berkaitan dengan sarana atau prosedur tindakan. Dalam kasus ini, menurut argumen hakim, terdakwa hanya terbukti salah menurut ‘prosedurlegal/formal’ tetapi tidak terbukti bersalah secara substansial. Tetapi pertanyaan yang paling pokok yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan hakim adalah ‘dengan tujuan apa tindakan menyuntikkan obat ke dalam tubuh ibu hamil dengan tujuan memperoleh kepentingan tertentu?’ Jika tujuannya adalah untuk menggugurkan kandungan, maka kesalahan prosedur tersebut, juga terkait erat dengan tujuan tindakan penyuntikkan obat itu yakni melakukan aborsi. Sisi lain yang menarik dari putusan ini adalah pandangan atau pertimbangan hakim yang murni formal-legalistik dan tidak sedikit pun mengetengahkan substansi hukum. Hakim hanya mendasarkan putusannya pada pertimbangan hukum formal semata sementara pandangan lain, entah dari sudut sosiologis atau moral sama sekali tidak tampak. Padahal dalam menangani perkara aborsi, personal yang sering kali mencuat, bukan hanya persoalan hukum yang legalformal melainkan juga, bahkan kadang-kadang utama, persoalan moral. Jika kasus aborsi ini ditelaah secara moral, baik dakwaan primair maupun dakwaan subsider sebenarnya sama-sama dilanggar. Memang harus diakui bahwa perspektif hukum berbeda dengan perspektif moral. Jika pertimbangan moral sama sekali tidak dibutuhkan dalam perkara aborsi, mengapa kontroversi kasus aborsi hampir selalu mencuatkan masalah-masalah moral dan juga agama? Apakah sama sekali tidak ada hubungan antara hukum dan moralitas? Bagaimana hubungan itu mesti dijelaskan dalam kasus ini? Jika kasus aborsi dilihat tidak saja sebagai pelanggaran hukum melainkan juga sebagai pelanggaran moral yang berat, maka implikasinya adalah baik pelaku maupun korban keduaduanya bersalah baik secara legal maupun secara moral. Studi kepustakaan dan analisis berikut bertujuan untuk menjawab masalah ini. II. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS 1. Aborsi dan Persoalan Moral Aborsi adalah tindakan yang sengaja dilakukan untuk menggugurkan kandungan. Mianna Lotz menyebutnya sebagai Termination of Pregnancy (TOP) (Lotz, 2011: 1). Berdasarkan proses aborsi, aborsi dibedakan atas beberapa jenis, antara lain: 1. Abortus spontaneous atau aborsi spontan/alamiah. Aborsi ini terjadi secara alami, tanpa tindakan apapun. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 313 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 313 5/16/2012 5:08:15 PM 2. Abortus provokatus atau aborsi yang dilakukan dengan sengaja. Aborsi jenis ini dibedakan menjadi dua yakni aborsi yang dilakukan atas indikasi medis karena terdapat suatu permasalahan atau komplikasi (abortus provokatus terapikus) dan aborsi yang dilakukan secara sengaja karena tidak menginginkan kehadiran janin (abortus provokatus kriminalis) (Tutik, 2011: 4). Selain KUHP, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga mengatur tentang masalah aborsi. Yang menjadi masalah adalah aborsi yang dilakukan tidak dengan alasan pengecualian sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009. Alasanalasan yang umumnya dipakai untuk melakukan aborsi di luar rekomendasi penyelamatan medis (alasan yang merupakan pengecualian), antara lain: 1. Ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah. Artinya, perlu dipikirkan oleh pihak sekolah bagaimana supaya siswa tetap dipertahankan sekolah meski sedang hamil. 2. Belum siap menghadapi orang tua atau memalukan orang tua dan keluarga. Hal ini juga perlu kekuatan dan kesabaran orang tua untuk menerima karena goncangan psikologis anak sangat besar. 3. Malu pada lingkungan sosial dan sekitarnya. 4. Belum siap baik secara mental maupun ekonomi untuk menikah dan mempunyai anak. 5. Adanya aturan dari kantor bahwa tidak boleh hamil atau menikah sebelum waktu tertentu karena terikat kontrak. 6. Tidak senang pasangannya karena korban perkosaan (Tutik, 2011: 6). Beberapa akibat yang dapat timbul akibat tindakan aborsi, yakni: 1. Pendarahan sampai menimbulkan shock dan gangguan neurologis/syaraf di kemudian hari. Akibat lanjut pendarahan adalah kematian. 2. Infeksi alat reproduksi yang dilakukan secara tidak steril. Akibat dari tindakan ini adalah kemungkinan remaja mengalami kemandulan di kemudian hari setelah menikah. 3. Risiko terjadinya rupture uterus (robek rahim) besar dan penipisan dinding rahim akibat kuretasi. Akibatnya dapat juga kemandulan karena rahim yang robek harus diangkat seluruhnya. 4. Terjadinya fistula genital traumatis, yaitu timbulnya suatu saluran yang secara normal tidak ada, yaitu saluran antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan (Tutik, 2011: 6). 314 | JURNAL DES.indd 314 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM Meskipun berbahaya dan secara moral tidak bisa diterima, aborsi masih tetap dilakukan. Ketika kasus aborsi muncul ke permukaan, ia menjadi perbincangan bahkah juga hujatan publik. Aborsi biasanya menyita perhatian kaum agamawan, pengamat sosial, medis, kaum moralitas, dan tentu saja para ahli hukum. Namun problem pokok yang berkaitan dengan aborsi adalah status moral janin. Dalam khazanah intelektual yang mencermati persoalan aborsi, terdapat pemikir-pemikir yang pandangannya dapat dikelompokkan dalam tiga tipe yakni pandangan liberal, pandangan konservatif, dan pandangan moderat (Hillar [1997] 2011: 1-3). Pandangan kaum liberal tampak misalnya pada pemikiran Judith Jarvis Thomson. Dalam rangka menentang anggapan kaum konservatif, Thomson beranggapan bahwa aborsi masih bisa dibenarkan secara praktis dalam berbagai persoalan. Janin tidak bisa hidup sendiri melainkan hidup dari tubuh ibunya. Maka, seorang ibu memiliki hak untuk melakukan aborsi terutama dalam kasus perkosaan, dalam kasus di mana kehamilan tersebut membahayakan kehidupan ibu, atau dalam kasus di mana sang ibu memiliki alasan-alasan yang rasional untuk mencegah kehamilan. Tentu saja pandangan ini mengabaikan karakter khas dari janin dan bahwa janin merupakan hasil dari tindakan yang rasional dan sadar yang dilakukan sebelumnya dengan akibat yang sudah dapat diprediksi sebelumnya. Bahkan dalam kasus perkosaan pun, pembunuhan terhadap bayi secara moral tidak bisa diterima, meskipun perkosaan itu sendiri secara moral merupakan tindakan terkutuk. Mary Ann Warren, seorang liberal berikutnya, melalui analisisnya tentang konsep kepribadian (personhood), menyimpulkan bahwa aborsi tidak akan dibenarkan bila janin adalah seorang person (pribadi). Warren kemudian mengusulkan kriteria seorang pribadi yang memiliki seluruh status moral. Seorang pribadi, menurut Warren, harus memenuhi beberapa kriteria berikut: (1) memiliki kesadaran (consciousness) akan objek dan peristiwa-peristiwa baik internal maupun eksternal, termasuk memiliki kapasitas untuk merasa sakit; (2) kemampuan menalar, mempertimbangkan (reasoning) dan memecahkan problema yang baru dan relatif kompleks; (3) self-motivated activity; (4) kemampuan untuk berkomunikasi (a capacity to communicate); (5) adanya konsep tentang diri (self-concept) dan kesadaran diri (self-awareness). Warren kemudian menyimpulkan bahwa janin tidak memiliki ciri-ciri kepribadian ini, meskipun secara potensial ia bisa menjadi seorang pribadi. Jadi, ia tidak memiliki status moral dan hak untuk hidup. Namun, jika ada orang (terutama sang ibu) ingin mempertahankan, memelihara, peduli, dan bertanggung jawab atas kehidupan dan kebaikan bayi yang akan lahir, mengapa aborsi tetap dilakukannya? Namun konsep kepribadian yang dikemukakan oleh Warren ini berbeda dengan bagaimana hukum memperlakukan kepribadian. Konsep kepribadian ini berasal dari hukum Romawi dan definisinya mengambil model individu dewasa dalam suatu konteks sosial. Akibatnya, aborsi dapat dibenarkan secara moral. Padahal konsep kepribadian sepenuhnya tidak relevan dengan tanggung jawab terhadap anak-anak atau perkembangan umat manusia. Konsep ini mengabaikan status potensialitas dan kualitas unik dari janin. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 315 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 315 5/16/2012 5:08:15 PM Berbeda dengan pandangan kaum liberal di atas, kaum konservatif justru beranggapan bahwa janin memiliki kedudukan moral yang utuh sehingga memiliki hak untuk hidup. John Noonan dari kelompok ini menegaskan bahwa apapun risikonya, janin memiliki hak mutlak untuk hidup. Dan hak ini berlaku tanpa pengecualian, entah karena janin merupakan akibat dari korban perkosaan atau karena ia memiliki kelainan-kelainan serius. Aborsi itu pada intinya adalah membunuh. Penerapan standar ‘akibat ganda’ dalam bentuk pilihan untuk menyelamatkan ibu atau karena kelainan serius pada janin, tidak lebih dari sikap berkompromi atas pembunuhan. Di luar padangan liberal dan konservatif, ada anggapan kaum moderat yang bisa dianggap sebagai jalan keluar. Jane English, seorang pemikir dari kelompok moderat ini beranggapan bahwa pandangan Warren tentang kepribadian tidak cukup tajam dan menentukan untuk keluar dari kontroversi tentang aborsi. Kalau anggapan kaum konservatif diterima, aborsi tidak diperbolehkan meskipun kehamilan itu mengancam nyawa ibu atau janin memiliki kelainankelainan bawaan yang serius. Sebaliknya jika anggapan kaum liberal diterima, janin bukanlah seorang pribadi sehingga aborsi dapat dilakukan. Tapi bagaimana dengan janin yang berada di bulan-bulan terakhir untuk dilahirkan? Kaum moderat kemudian keluar dengan argumen bahwa pada usia-usia awal kehamilan aborsi dapat dilakukan demi ‘kepentingan’ ibu atau keluarga serta keamanan dari aborsi itu sendiri. Tetapi ketika usia kehamilan sudah berada pada tahap pertengahan dengan janin yang sudah menyerupai seorang pribadi, aborsi hanya dapat dilakukan apabila kelanjutan kehamilan atau kelahiran bayi akan menyulirkan sang ibu secara fisik, psikologis, ekonomis, dan sosial. Pada usia kehamilan yang terakhir, meskipun dengan pengandaian bahwa janin bukanlah seorang pribadi juga, aborsi tetap salah, kecuali untuk menyelamatkan wanita dari kematian atau cacat permanen. Pandangan kaum moderat ini banyak diadopsi di berbagai negara termasuk Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, kasus aborsi yang cukup kontroversial adalah kasus Wade vs Roe (1973) yang membuat Mahkamah Agung AS menggariskan hak kostitusional atas privacy dengan menegaskan: “No law may restrict the right of a woman to be aborted by a physician during the first three months of her pregnancy. During the second trimester, abortion may be regulated by the law only to the extent that the regulation is reasonably related to the preservation and protection of maternal health. When the fetus becomes viable (not before the beginning of the third trimester) a law may prohibit abortion, but only subject to an exception permitting abortion whenever necessary to protect the woman’s life or health” (Hillar [1997] 2011: 6). 2. Hubungan antara Hukum dan Moralitas Menjadi seorang moralis, menurut Nicholas Unwin (2011: 542), berhadapan dengan suatu putusan, seseorang harus berusaha untuk menentukan apa yang dituntut moralitas darinya dan 316 | JURNAL DES.indd 316 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM berusaha untuk melakukan ‘apa yang seharusnya’ ia lakukan berdasarkan tuntutan moralitas tersebut. Di sini independensi hakim tidak hanya berkaitan dengan tekanan atau pandangan orang lain tentang putusan hukum yang diambil melainkan juga apa yang seharusnya ia lakukan berdasarkan tuntutan moral tersebut. Ia harus menentukan sendiri secara independen tuntutan moral yang harus dilakukannya dalam putusan konkret tersebut. Slogan kaum moralis, menurut Unwin, ‘Always let your conscience be your guide’ (Unwin, 2011: 542). Menginginkan orang menjadi orang yang bermoral itu, sama dengan menginginkan agar ia terlibat dalam pertimbangan moralnya sendiri. Namun banyak ahli hukum juga berpendapat bahwa ‘conscience’ seseorang tidak perlu ditempatkan di atas hukum. Karakter ini bisa mengarah ke pembangkangan atau ketidaktaatan sipil. Ini bisa menjadi otoritarian. Tetapi motif umum dari kepribadian semacam ini adalah ketakutan akan adanya chaos ketika orang mulai meruntuhkan hukum ketika mereka berpikir bahwa moralitas menuntut itu. Tetapi, ketakutan ini diprotes sebagai tidak rasional, arogan karena tidak ada alasan untuk berpikir bahwa orang, setelah berefleksi, secara moral merekomendasikan tidak perlu adanya hukum. Perlu dibedakan juga antara sikap mendukung moralisme atau sekadar memperkuat moralitas. Seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara (kasus kita: aborsi) tidak perlu sampai mengorbankan hukum dan jatuh sepenuhnya ke dalam moralisme. Yang perlu dilakukan adalah hakim memperkuat moralitas sebagai dasar pertimbangan hukumnya. Dengan demikian pertimbangan hukum pun benar secara moral dan hati nurani. Dalam kehidupan sosial ‘conscience’ dan hakum dapat sejalan karena masyarakat meskipun berasal dari titik tolak yang beragam menyepakai standar-standar perilaku yang secara hukum dan moral dapat diterima. Katakanlah semacam ‘conscience’ pribadi menyatu dalam ‘conscience’ sosial dalam produk hukum. Ada banyak fungsi sentral yang dikenakan pada moralitas yakni agar orang menggunakan pertimbangan moral (moral reasoning) untuk memutuskan apa yang terbaik yang harus dilakukan, mungkin masuk akal untuk melakukan sesuatu yang lain, dan bahwa mendukung hukum dan tatanan tanpa kompromi tidak dianggap sebagai sesuatu yang keliru. Apa yang menjadi alternatif bagi pertimbangan moral (moral reasoning)? Seorang legalis pasti akan mengusulkan pertimbangan legal (legal reasoning) yang memasukkan juga apa yang dianggap baik oleh kaum moralis berdasarkan pertimbangan moral. Hanya pertimbangan moral dan non-moral yang dapat dilebur. Kaum positivis pasti ingin memisahkan elemen-elemen ini, begitu juga kaum moralis. Tapi jika diandaikan bahwa pemisahan itu tidak bisa dihindarkan, kita hanya perlu melihat contoh-contoh pertimbangan legal yang paling aktual untuk melihat bahwa ini tidak demikian. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 317 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 317 5/16/2012 5:08:15 PM Dalam praktik, deliberasi atau pertimbangan dari pengadilan yang lebih tinggi termasuk kutipan-kutipan statuta, penyelidikan kasus-kasus hukum yang relevan, dan pertimbanganpertimbangan moral umum, semuanya dipadu menjadi satu tidak bisa dikesampingkan. Ini berarti bahwa pertimbangan positivisme hukum tidak mencukupi. Semua aspek ini harus dipertimbangkan. Unwin, menulis: ‘Aspects of one element must be used in the very articulation of the others. There is mutual interpretation in the sense that decisions about which precedents to invoke, for example, will depend on judgements about what is morally relevant in the case in quation, and the later will be informed by statutory law, and so on’ (Unwin, 2011: 543). Tentang hubungan antara hukum dan moralitas, Leslie Green (2011: 7) menulis: “There are a great many necessary connections between law and morality, including these one: Necessarily, law and morality contain norms. Necessarily, what is subject to legal appraisal is subject to moral appraisal.”. Bahkan Green menyebut kebenaran pertimbangan hukum sebagai kebenaran signifikan sedangkan kebenaran pertimbangan moral sebagai kebenaran mutlak (necessary). Dengan nada yang lain, Joh Gardner menunjukkan bahwa hukum tidak berhenti pada dirinya sendiri melainkan memiliki tujuan intensional moral di luar dirinya yakni demi kebaikan umum (common good). Gardner menulis, “…law must, by its nature, have certain distinctive moral aims when it it has aims at all. If it lacks those aims it is not law. It must aim to be just, or aim to serve the common good…” (Gardner, 2011: 1). 3. Aborsi dan Hukum Isu tentang praktik aborsi kembali mencuat menjadi wacana publik yang kontroversial dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Isu tentang praktik aborsi menjadi kontroversial karena meskipun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 ini ‘melegalkan’ aborsi, dengan pengecualian-pengecualian, nilai-nilai sosial, budaya,dan agama yang mengakar kuat dalam keyakinan masyarakat tetap menganggap aborsi, dengan alasan apa pun, sebagai aib sosial dan dosa berat karena aborsi merupakan bentuk lain dari pembunuhan yang keji atas nyawa yang tak berdosa. Pasal 75 dan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menegaskan larangan praktik aborsi (Pasal 75 ayat [1]), tetapi praktik aborsi dimungkinkan (pengecualian) apabila ada: 1. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau 2. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan truma psikologis bagi korban perkosaan (Pasal 72 ayat [2]). 318 | JURNAL DES.indd 318 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM Ketentuan tentang hukum aborsi di dalam hukum pidana positif Indonesia diatur dalam hukum umum (lex generalis) berupa KUHP dan hukum khusus dalam bentuk Undang-Undang Kesehatan (lex spesialis). Menurut Supriyadi (2001: 2), KUHP tidak membolehkan aborsi dengan alasan apapun juga dan oleh siapapun juga bahkan oleh dokter sekalipun. Bagi seorang dokter, jika ia melakukan aborsi, ia malah dikenai pemberatan pidana. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 283, 299, 346, 348, 349, 535, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 2 dan 1363. Namun berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 39 tentang Kesehatan, aborsi dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang bila terdapat indikasi medis dalam keadaan darurat dan untuk menyelamatkan jiwa ibu. Ketentuan ini terdapat pula pada Pasal 15 dan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Ketentuan undang-undang ini, secara umum mengizinkan aborsi bila ia memiliki surat rekomendasi dari dokter yang menyatakan bahwa kehamilannya membahayakan kehidupannya, surat dari suami atau anggota keluarga yang mengizinkan pengguguran kandungan, tes laboratorium yang menyatakan bahwa perempuan tersebut positif dan pernyataan yang menjamin bahwa setelah melakukan aborsi perempuan tersebut akan menggunakan kontrasepsi (Guttmacer Institut, Aborsi di Indonesia 2008: 1). Walaupun aborsi di Indonesia jelas-jelas dilarang oleh kententuan undang-undang, kasus aborsi tetap banyak terjadi bahkan cenderung meningkat dalam realitas kehidupan sehari-hari. Terdapat berbagai alasan mengapa aborsi dilakukan di kalangan masyarakat. Di antara alasanalasan tersebut, yang paling banyak dijumpai adalah adanya kehamilan di luar nikah dan kehamilan yang tidak direncanakan. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, 40% responden mengakui bahwa aborsi dilakukan karena mereka tidak menginginkan kehamilan karena sudah memiliki anak. Anehnya, tidak ada responden yang mengakui bahwa aborsi dilakukan karena kehamilan akibat tindakan kriminal. Maka aborsi dilakukan sebagai salah satu pilihan dalam keluarga. Mungkin, karena maraknya aborsi yang dilakukan praktik aborsi dianggap sebagai suatu yang lumrah di tengah masyarakat. Dengan latar belakang itu, kita bisa memahami mengapa produk hukum ‘melegalkan’ aborsi meskipun dengan pengecualian-pengecualian. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 menegaskan dan ‘melegitimasi’ praktik aborsi. Dikatakan ‘melegitimasi’ karena meskipun undang-undang melarang praktik aborsi, ‘dalam keadaan tertentu’ dapat diperbolehkan. Ketentuan yang mengatur praktik aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan dituangkan dalam Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77. Ketentuan masing-masing pasal tersebut dapat dikutip di bawah ini: JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 319 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 319 5/16/2012 5:08:15 PM Pasal 75: (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi, (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. I ndikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/ atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi darurat medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76: Aborsi sebagaimana dimasud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri. Pasal 77: Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, terutama Pasal 77, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini tidak hanya kontradiktif dalam dirinya sediri melainkan juga ‘menyeret’ 320 | JURNAL DES.indd 320 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM agama masuk dalam kekuatan politik sosial. Kalau agama melarang umatnya untuk melakukan aborsi, maka ketentuan undang-undang kehilangan taringnya karena aborsi, menurut ketentuan undang-undang, dilarang apabila bertentangan dengan norma-norma agama. Pertanyaannya, agama mana yang ‘membenarkan’ aborsi? Kalau tidak ada satu agamapun yang membolehkan aborsi, undang-udang ini lalu menjadi ‘sampah’. Ia disandera oleh ketentuannya sendiri. 4. Pelaku dan Korban Dalam kasus pidana aborsi dengan terdakwa seorang bidan ini, muncul kesan kuat bahwa yang melanggar hukum atau pasal yang berkenaan praktik aborsi adalah pelaku, atau dalam kasus ini: bidan PRB saja. Namun, jika kita mencermati lebih jauh kasus hukum ini, orang yang dianggap melanggar hukum bukan hanya pelaku melainkan juga pasiennya. Karena ketentuan undang-undang tersebut berlaku baik bagi pelaku maupun bagi pasien (korban?). Dengan rumusan lain, yang melanggar hukum tidak hanya pelaku melainkan juga pasien, kerena kedua sepakat untuk menggugurkan janin. Aborsi tidak akan dilakukan apabila tidak ada kehendak dari ibu yang memiliki janin dan pelaku. Dalam situasi ini, sebetulnya lebih layak kalau pelaku dan pasien dijadikan terdakwa dan harus diproses menurut ketentuan hukum yang berlaku karena tindakan aborsi selalu menyertakan pelaku PRB dan pasien yang dalam praktik tidak pernah terpisahkan. Argumen bahwa kesalahan dalam bentuk pelanggaran hukum tidak hanya dilakukan oleh terdakwa melainkan juga pasien didasarkan pada pandangan bahwa kedua-duanya melanggar ketentuan moral. Singkatnya, baik pelaku maupun pasien melanggar ketentuan moral bahwa setiap manusia harus menghormati kehidupan manusia dan membunuh merupakan tindakan yang melanggar nilai moral kehidupan. Hidup merupakan hak dasar dan asasi bagi manusia. Segala hak dasar lain hanya dapat dimiliki oleh manusia jika ia hidup. Maka jika hidup seseorang diakhiri, tindakan mengakhiri hidup seseorang secara moral tidak dibenarkan. Dalam kasus ini, persoalan hukum ‘dilokalisasi’ pada seorang bidan. Padahal, bidan sama sekali tidak bisa bertindak jika ia tidak diizinkan oleh ibu janin atau pasien. Jika keadilan mesti ditegakkan demi hukum dan moralitas, baik pelaku maupun pasien harus dikenai dakwaan melakukan kejahatan yang sama. Tindakan ini harus dilakukan untuk menjamin prinsip dasar hukum bahwa semua orang memiliki posisi yang sama di depan hukum. Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Maka, demi keadilan hukum dan terutama keadilan moral, pelaku dan pasien harus dihadapkan di depan persidangan. Secara moral dan juga hukum, tidak adil menghukum seseorang dan melepaskan yang lain atas kejahatan yang dilakukan bersama-sama. Bukankah setiap orang (dan juga lembaga) adalah subjek dan sekaligus juga objek hukum? Pengecualian dalam penerapan hukum mencederai asas kepastian hukum dan kesamaan kedudukan di depan hukum. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 321 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 321 5/16/2012 5:08:15 PM Hakim, dalam memutuskan perkara ini, mengabaikan begitu saja Pasal 346 KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan aborsi dan sanksi pidananya. Pasal 346 KUHP menegaskan: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana perjara paling lama empat tahun.” III. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa aborsi menjadi problematika karena meskipun dilarang, aborsi sekaligus juga diizinkan meskipun dengan pengecualian-pengecualian. Dapat dikatakan bahwa aborsi secara hukum legal, meskipun secara moral masih bisa diperdebatkan, tetapi secara umum, terutama dari pandangan agamawan dan pemikir-pemikir moral aliran konservatif, aborsi tidak dapat dibenarkan secara moral entah dengan alasan apapun, entah untuk menyelamatkan nyawa sang ibu atau untuk menyelamatkan masa depan calon bayi atau janin karena mengalami kelainan yang serius. Dalam memutuskan perkara yang kontroversial dan problematika seperti aborsi ini, hakim seharusnya dapat mengemukakan pertimbangan lain seperti pertimbangan moral seperti yang dipaparkan di atas untuk memperkaya dan memperkuat suatu putusan hukum karena moralitas seharusnya menjadi dasar bagi hukum. Pada titik ini, dapat ditegaskan kembali di sini bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari moralitas karena keduanya saling melengkapi. Hukum tanpa moralitas hampa dan moralitas tanpa hukum mubazir. Pertimbangan moral tetap diperlukan bagi pertimbangan hukum. DAFTAR PUSTAKA Feinberg, J. 1984. The problems of Abortion. Belmont CA.: Wadsworth. Flew, Antony. 1989. An Introduction to Western Philosophy. New York: Thames and Hudson. Gardner, John. 2011. Law and Morality. Diunduh dari http;//users.ox.ac.UK/~lawf0081/pdfs/ lawmoralityedited.pdf, Tanggal 17 Juli 2011. Green, Leslie. (2011). The Inseparability of Law and Morality. Diunduh dari http;//www.ivr2003. net/workshop-abstract/documents/Greenfultext.pdf, Tanggal 17 Juli 2011. Gutmacer Institute. 2008. Aborsi di Indonesia. No. 2. Seri 2008. Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. 322 | JURNAL DES.indd 322 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:15 PM Hillar, Marian. 2011. Philosophers and The Issue of Abortion. Diunduh tanggal 11 Juli 2011 dari http://www.socinian.org/abortion.html. Indraswati. 1999. ‘Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus’ dalam Hasyim S., Menakar ‘Harga’ Perempuan. Jakarta: Mizan. Lotz, Mianna. 2011. Ethical Arguments Concerning the Moral Permissibility of Abortion. Diunduh tanggal 12 Agustus 2011 dari http://nfaw.org/assets/socialpolicy/Health/lotz-abortionethics. pdf. Moeljatno. 2009. KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Cet. 28, Jakarta: Bumi Aksara. Noonan, John. 1973. ‘Responding to Person: Methods of Moral Argument in Debate over Abortion’. Theology Digest: 291-307. Singer, P. 1993. Practical Ethics. 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Sumner, L. W. 1981. Abortion and Moral Theory. Princeton. N.J.: Princeton University Press. Supriyadi. 2002. ‘Politik Hukum Kesehatan terhadap Pengguguran Kandungan’. Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah, “Aborsi Dari Kajian Ilmu Politik Hukum” (Hukum Kesehatan dan Hukum Pidana). Yogyakarta: Bagian Hukum Pidana, FH-UAJY, Tanggal 2 Juli 2002. Tutik, Titik Triwulan. 2011. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi bagi Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Makalah. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/7293/ANALISIS_ HUKUM_ISLAM_TERHADAP_PRAKTIK_ABORSI_KDT.pdf. Tanggal 2 Agustus 2011. Unwin, Nicholas. 2011. Morality, Law, and the Evaluation of Values. Diunduh dari mind. oxfordjournals.org. Tanggal 17 Januari 2011. Warren, Mary Anne. 1973. ‘On the Moral and Legal Status of Abortion’, The Monist. Vol. 57, no.4. Warren, M..A. 1993. ‘Abortion’, dalam Peter Singer (Ed), A Companion to Ethics. Cambridge: Blackwell Publishing. White, J. E. ed. 1991. Contemporary Moral Problems. 3rd Edition. St. Paul: West Publishing. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 323 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 323 5/16/2012 5:08:16 PM “UNDUE PROCESS OF LAW” DALAM PERKARA PIDANA PERJUDIAN DENGAN TERDAKWA ANAK Kajian Putusan Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG Melani Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jalan Lengkong Dalam No.17 Bandung Email: [email protected] ABSTRACT This article analyzes a decision of Bandung District Court. In this case, the Defendant (IR) was convicted of gambling with his friends (adults) in a public transportation with bets ranging from one to two thousand rupiahs. In examining the case, judges did not perform the procedure set out in the Juvenile Court Act (JCA), especially Articles 55, 57, and 58 Paragraph (2). From the beginning of the trial and during trial, IR was not accompanied by his parents, Legal Counsel, and Supervising Community. Prior to pronounce the verdict, the judge did not provide the opportunity for parents to express all the things that are beneficial to IR. This also disregards JCA, Article 59 Paragraph (1). All of these showed the undue process of law. Judge’s decision was on the contrary to the JCA Article 59 Paragraph (2), because the judge did not consider the social study report. The judges punished IR imprisonment for 2 months 15 days based on the retributive (revenge) philosophy of punishment, which should be the restorative (recovery). It also suggested that IR should be returned to his parents. Keywords: undue process of law, juvenile delinguency, children rights ABSTRAK Artikel ini menganalisan putusan Pengadilan Negeri Bandung. Pada kasus ini, terdakwa (IR) telah didakwa bersama teman-temannya yang sudah dewasa yang bekerja di bidang transportasi umum dalam permainan taruhan yang bernilai ribuan. Dalam kajian terhadap kasus ini, hakim seharunya mengetahui lebih mendalam terkait undang-undang Peradilan Anak pasal 55, 57, dan 58. Dari awal persidangan, IR tidak didampingi oleh orang tuanya, pendamping hukum, dan atau supervsi dari komunitas pemerhati masalah anak. Dalam putusan, hakim tidak memberikan peluang bagi orang tuanya untuk mengungkapkan hal-hal yang menguntungkan IR. Pasal 59 UU Pengadilan anak mensyaratkan adanya hukum acara anak, sementara putusan hakim justru kebalikannya karena tidak mempertimbangkan hasil kajian sosial. Hakim memutuskan IR dihukum 2 bulan 15 hari berdasarkan filosofi hukuman, padahal seharusnya berdasarkan filosofi restoratif dan juga mengembalikan IR kepada orang tuanya. Kata kunci: hukum acara pengadilan anak, peradilan anak, hak anak 324 | JURNAL DES.indd 324 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM I. PENDAHULUAN Tidaklah berlebihan bila penegakan hukum di Indonesia kerap disebut bagaikan pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat jelata sering merasakan betapa hukum berlaku diskriminatif dan yang lebih parah lagi putusan hakim dirasakan tidak adil dan tidak bermanfaat bagi semua pihak karena hanya membuat penuh penjara dan membebani keuangan negara, serta dapat berdampak buruk bagi terpidana. Sebagaimana terjadi dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/ PN.BDG, seorang terdakwa anak dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perjudian bersama-sama orang dewasa dan dijatuhi sanksi pidana penjara. Perjudian dengan terdakwa anak pernah sangat heboh di negeri ini, yaitu perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang karena para terdakwanya adalah anak-anak yang bekerja sebagai penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta. Ketika sedang beristirahat bocah para penyemir sepatu tersebut bermain tebak-tebakan koin. Mereka ditangkap polisi dan akhirnya dinyatakan terbuktin secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perjudian oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Fenomena peradilan perjudian dengan pelaku anak tersebut sangatlah menyedihkan dan sekaligus mencemaskan serta amat ironis bila dibandingkan dengan perjudian yang konon acap dilakukan oleh orang-orang kaya di padang golf dan tidak pernah tersentuh hukum. Dalam Perkara Nomor 38/Pid.AN/2009/PN.BDG, terdakwanya adalah IR (berhubung terdakwa adalah anak, maka peneliti hanya mencantumkan inisialnya saja) seorang anak miskin yang putus sekolah, berusia 15 tahun. Sehari-hari IR bekerja sebagai kernet angkutan kota (Angkot). Pada hari Rabu, 29 April 2009, seperti biasa IR bekerja dan sekira pukul 14.00 WIB ketika sedang ngetem di Jl. Gempolsari Blok 19 Kelurahan Gempolsari Kecamatan Bandung Kulon Kota Bandung, sambil menunggu bubaran karyawan pabrik, IR diajak main kartu domino oleh teman-temannya yang sudah dewasa bernama D, P, dan N. Untuk mengisi waktu akhirnya IR mau main kartu domino dengan taruhan antara Rp. 1.000,- (seribu rupiah) s.d. Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). Aturan permainan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing peserta menaruh uang taruhan Rp. 1.000,- (seribu rupiah) dan selanjutnya para pemain dibagi 3 buah kartu domino, kemudian apabila para pemain berani menambah taruhan Rp. 1.000,- (seribu rupiah), maka akan dibagi satu buah kartu lagi, sehingga masing-masing pemain akan mendapat 4 buah kartu, lalu apabila menurut pemain kartu yang ia miliki bagus, maka diadu kembali dengan bertaruh kembali uang paling besar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). Setelah itu baru kartu diadu kembali dengan nilai kartu dari masing-masing pemain dan yang dianggap menang adalah jumlah kartu yang paling besar, kemudian pemenang dalam permainan tersebut mengambil uang taruhan dan pemain yang kalah adalah pemain yang memiliki nilai kartu paling kecil. IR telah mengeluarkan uang sejumlah Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) sebagai modal awal uang taruhan yang telah habis dipergunakan untuk permainan tersebut. Namun ketika JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 325 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 325 5/16/2012 5:08:16 PM mereka sedang asyik-asyiknya bermain tiba-tiba didatangi oleh anggota kepolisian, sehingga IR dan teman-temannya dibawa ke kantor kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan dan selanjutnya mereka ditahan di Polsekta Bandung Kulon dengan barang bukti berupa 1 (satu) set kartu domino, uang sebesar Rp. 38.000,- (tiga puluh delapan ribu rupiah), dan Angkot Nopol: D-1935-US. Terdakwa IR oleh jaksa penuntut umum (JPU) dikenakan dakwaan alternatif, yaitu: Kesatu: Pasal 303 ayat (1) ke-3 KUHP, atau Kedua: Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHP, atau Ketiga: Pasal 303 bis ayat (1) ke-2 KUHP. Dalam surat tuntutan (Requisitoir) JPU, terdakwa IR dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perjudian sebagaimana dakwaan kedua, yaitu melanggar Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHP, dengan tuntutan pidana penjara selama 5 (lima) bulan. Pengadilan Negeri Kelas I Bandung dalam putusannya Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG menyatakan terdakwa IR terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perjudian sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHP dan dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) bulan 15 (lima belas) hari. Kota Bandung pada tahun 2005-2007 dijadikan Pilot Project Program Uji Coba Model Restorative Justice yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat bekerja sama dengan UNICEF, oleh karena itu aparat penegak hukum seyogianya menerapkan falsafah keadilan restoratif yang sejak awal abad ke-21 dikembangkan di dunia oleh UNICEF. Nilai-nilai restorative justice sebetulnya telah diterapkan sejak zaman dulu kala di bumi pertiwi ini yaitu melalui hukum adat. Menurut R. Soepomo (1981: 113), penyelesaian menurut hukum adat menghendaki pengembalian keseimbangan di dalam masyarakat, atau pemulihan keadaan. Anak adalah amanah dan karunia Allah SWT, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia. Anak adalah tumpuan harapan orang tua, bangsa dan negara, oleh karena itu kedudukan anak sangatlah penting, karena anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Pengabaian terhadap hak-hak anak adalah merupakan pengabaian terhadap masa depan bangsa. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 dan telah ikut menandatangani Deklarasi Dunia yang Layak Bagi Anak-Anak (World Fit For Children), 10 Mei 2002. Dengan demikian Indonesia telah terikat baik secara yuridis maupun politis dan moral untuk mengimplementasikan peraturan-peraturan Internasional tentang Hak-Hak Anak. Namun dalam praktik hak-hak anak sebagai tersangka, terdakwa, dan/atau terpidana kerap terabaikan dan 326 | JURNAL DES.indd 326 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM pada umumnya aparat penegak hukum hanya menganggap anak sebagai orang dewasa berbadan kecil, sehingga perlindungan khusus terhadap anak yang tercantum dalam peraturan perundangundangan yang berlaku sering tidak bergaung. II. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut dalam pendahuluan di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis lebih lanjut sebagai berikut: 1. Apakah hakim dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG telah memeriksa dan mengadili terdakwa anak sesuai dengan hukum acara pengadilan anak (Due Process of law)? 2. Apakah hakim dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG telah menerapkan falsafah penghukuman restoratif? III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS A. Studi Pustaka 1. Peraturan Perundang-undangan Guna Melindungi Anak Perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang berlaku di Indonesia antara lain: a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; g. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak. Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Pengadilan Anak dan seperangkat peraturan lainnya yang bertujuan melindungi hak-hak anak, namun dalam kenyataannya penegakan hak-hak anak belum memadai dan belum memenuhi prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 327 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 327 5/16/2012 5:08:16 PM Prinsip-prinsip Dasar Konvensi Hak-hak Anak sebetulnya telah diadopsi oleh UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut dicantumkan, bahwa penyelenggaraan Perlindungan Anak berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Namun keempat prinsip dasar tersebut kerap diabaikan terutama bagi pelaku tindak pidana anak yang menurut Undang-Undang Pengadilan Anak disebut Anak Nakal, sedangkan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak disebut Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Menurut W.A. Bonger (dalam Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, 1987: 115), kejahatan anak-anak dan pemuda-pemuda sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan, lagi pula kebanyakan penjahat yang sudah dewasa umumnya sudah sejak kecil melakukan kejahatan. Pencegahan kejahatan anak-anak akan berpengaruh baik pula terhadap pencegahan kejahatan orang dewasa. Menurut Teori Labeling, label atau cap dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan membentuk karir kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh cap/label dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Selanjutnya kewaspadaan atau perhatian orang-orang di sekitarnya akan mempengaruhi orang dimaksud sehingga kejahatan kedua dan selanjutnya mungkin terjadi lagi (Romli Atmasasmita, 1992: 39). Pasal 16 ayat (3) Undang Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan anak dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Meskipun Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Anak telah memberikan pelindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum, akan tetapi dalam praktik, penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan anak sering dilakukan sebagi upaya pertama oleh aparat penegak hukum. Melindungi anak pada hakikatnya adalah melindungi keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa (Arif Gosita, 2003: 1). Selanjutnya Arif Gosita menyatakan (2003: 118), kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan pada waktu pelaksanaan pidana, dapat menimbulkan viktimisasi mental, fisik, dan sosial pada anak pidana. Tidak adanya peraturan perundangundangan yang dapat menjadi dasar pemidanaan yang tepat, juga dapat menyebabkan adanya viktimisasi struktural, yang dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial pada para anak pidana. 328 | JURNAL DES.indd 328 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM Tujuan diterbitkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tercantum dalam alinea keenam penjelasan umum dari undang-undang tersebut, ialah untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Dari penjelasan undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa, maksud menjatuhkan sanksi terhadap anak adalah bukan semata-mata merupakan pembalasan terhadap tindakannya yang bertentangan dengan hukum, akan tetapi lebih diharapkan agar anak memperoleh keadilan pemulihan (restorative justice), sehingga kelak anak dapat menjadi anak yang berguna. Pengadilan merupakan benteng terakhir untuk memperoleh keadilan, oleh karena itu peranan hakim sangat menentukan bagi pelanggar hukum berusia anak untuk memperoleh keadilan yang dapat mensejahterakan anak, bukan malah sebaliknya. Menurut Pasal 55, 57 dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak, sidang perkara anak wajib dihadiri oleh penuntut umum, penasihat hukum, pembimbing kemasyarakatan, orang tua, wali atau orang tua asuh. Menurut penjelasan Pasal 55 Undang-Undang Pengadilan Anak, meskipun anak harus bertanggung jawab secara pribadi, namun karena masih berstatus sebagai anak, maka tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orangtua, wali atau orang tua asuhnya. Menurut Pasal 57 Undang-Undang Pengadilan Anak, sidang harus dilakukan secara tertutup. Selanjutnya menurut Pasal 59 sebelum mengucapkan putusan hakim memberi kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukakan segala sesuatu hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak dan wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan. Penjelasan Pasal 59 ayat (2)0 Undang-Undang Pengadilan Anak menyebutkan, bahwa arti wajib adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi menyebabkan putusan batal demi hukum. Dengan maksud untuk menciptakan suasana kekeluargaan, menurut Pasal 6 UndangUndang Pengadilan Anak pada sidang anak, hakim, penuntut umum, penyidik, dan penasihat hukum, serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga dan pakaian dinas. Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak, anak yang melakukan tindak pidana bersamasama dengan orang dewasa diajukan ke sidang anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa, dan dalam ayat (2) pasal tersebut di atas disebutkan, bahwa anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke sidang anak sedangkan angggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 329 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 329 5/16/2012 5:08:16 PM Dengan melihat ketentuan dari pasal-pasal tersebut di atas, nampak bahwa Undang-Undang Pengadilan Anak berusaha untuk melindungi anak dalam proses di pengadilan. Sanksi hukum terhadap anak nakal yang dapat dijatuhkan oleh hakim berupa pidana atau tindakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pengadilan Anak. Selanjutnya Pasal 23 Undang-Undang Pengadilan Anak menentukan: (1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok tambahan. dan pidana (2) Pidana Pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan atau pidana pengawasan. (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. (4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24 Undang-Undang Pengadilan Anak menentukan: (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah: a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. 2. Sekilas tentang Restorative Justice Teori dan program restorative justice telah muncul lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang lalu sebagai alternatif dari hukuman pidana bagi anak (Chritopher, 1997: 1). Restorative Justice sebetulnya bukan merupakan hal baru dan asing bagi bangsa Indonesia karena konsep restorative justice pernah diterapkan dan diberlakukan, yaitu dalam penyelesaian menurut hukum adat. Hukum adat tidak mengadakan perpisahan antara pelanggaran hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki hukum di dalam lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan hukum perdata. Oleh karenanya maka sistem hukum adat hanya 330 | JURNAL DES.indd 330 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM mengenal satu prosedur dalam hal penuntutan baik secara pidana maupun perdata. Ini berarti petugas hukum yang berwenang mengambil tindakan-tindakan konkrit (reaksi adat) guna membetulkan hukum yang dilanggar itu satu pejabat saja, yakni kepala adat, hakim perdamaian desa atau hakim Pengadilan Negeri untuk semua macam pelanggaran hukum adat. Pembetulan hukum yang dilanggar sehingga dapat memulihkan kembali keseimbangan yang semula ada itu, dapat berupa sebuah tindakan saja tetapi kadang-kadang mengingat sifatnya pelanggaran perlu diambil beberapa tindakan (Haar dalam Wignjodipoero, 1992: 228). Hukum adat memang telah lama menggunakan falsafah restorative justice. Alfian mengemukakan sebuah studi tentang pengendalian sosial dalam masyarakat desa tertentu di Aceh berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan dalam tahun 1974 menunjukkan peranan yang kurang berarti dari hukum dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakat itu. Cukup banyak peristiwa pelanggaran hukum seperti perkelahian berdarah yang diketahui oleh umum tidak pernah sampai ke muka sidang pengadilan. Biasanya peristiwa-peristiwa itu diselesaikan melalui suatu upacara adat yang disebut “pseujeuk” (Alfian dalam Taneko, 1987: 11). Ada beberapa definisi Restorative Justice yang dikemukakan oleh para pakar hukum barat. Dari berbagai definisi Restorative Justice Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengadopsi definisi Restorative Justice dari Tony Marshall, yaitu Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in particular offense come togetherto resolve collectively how to deal with the aftermath of the offense and its implications for the future (Marshall dan Tony, 1999: 5). Terjemahan dari definisi tersebut pada intinya sebagai berikut: Restorative Justice adalah suatu proses dalam hal ini semua pihak yang berhubungan dengan suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah dan bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang. Restorative Justice mengandung nilai pemersatu sedangkan Retributive Justice untuk menumpahkan dendam masa lalu (Atmasasmita, 2002: 7). Apa yang dimaksud dengan Restorative Justice merupakan konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang dikenal selama ini dalam sistem hukum pidana Indonesia yang bersifat retributif, Undang-Undang Pengadilan Anak masih didominasi oleh pendekatan yang bersifat retributif, pendekatan yang bersifat rehabilitatif sekalipun belum cukup signifikasi. Hal yang secara nyata tampak dalam Undang-Undang Pengadilan Anak baru terbatas pada adanya pengurangan ancaman pidana serta adanya alternatif tindakan selain pidana (Pohan, 2002: 3). Sebagaimana telah dikemukakan dalam pendahuluan, restorative justice telah diujicobakan di Kota Bandung. Adapun prasyarat untuk dapat terlaksananya restorative justice adalah sebagai berikut: a. Harus ada pengakuan bersalah dari pelaku; JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 331 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 331 5/16/2012 5:08:16 PM b. Harus ada Persetujuan dari pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem peradilan pidana anak yang berlaku; c.. Harus ada persetujuan dari pihak kepolisian bila perkara berada di tingkat penyidikan atau dari pihak kejaksaan bila perkara berada di tingkat penuntutan, sebagai institusi yang memiliki kewenangan diskresioner; dan d. Harus ada dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem peradilan pidana anak. Sedangkan kriteria kasus yang dapat diselesaikan secara restorative justice dalam uji coba di Kota Bandung adalah: a. Bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas jalan; b. Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat atau cacat seumur hidup; atau c. Kenakalan anak tersebut bukan merupakan kejahatan terhadap kesusilaan yang serius yang menyangkut kehormatan. Dengan menggunakan konsep restorative justice sebagaimana dikembangkan UNICEF, kiranya dalam menyelesaikan kasus pidana anak dapat diharapkan menghasilkan hal-hal sebagai berikut: a. Berkurangnya jumlah anak yang dikenakan penahanan sementara dan divonis penjara; b. Menghapuskan stigmatisasi dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari; c. Anak yang melakukan tindak pidana dapat menyadari kesalahannya dan bertanggung jawab, sehingga dapat diharapkan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya; d. Mengurangi beban kerja pengadilan; e. Menghemat keuangan negara; f. Meningkatkan dukungan orang tua dan peran serta masyarakat dalam mengatasi kenakalan anak; g. Pengintegrasian kembali anak ke dalam masyarakat. Apabila perkara tidak dapat diselesaikan di luar sistem peradilan pidana diharapkan para aparat penegak hukum termasuk hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara anak menggunakan falsafah restoratif. 332 | JURNAL DES.indd 332 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM B. ANALISIS Amar putusan Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG berbunyi: • Menyatakan terdakwa IR bersalah melakukan tindak pidana “perjudian” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHP. • Menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) bulan 15 hari dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara. • Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan. • Menetapkan barang bukti berupa: a. 1 (satu) set kartu domino b. Uang tunai Rp38.000,- (tiga puluh delapan ribu rupiah) c. 1 (satu) unit kendaraan No.Pol.D-1935-US, tetap terlampir dalam berkas perkara untuk digunakan dalam perkara lain atas nama PS dkk. • Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp1.000,- . 1. Hakim dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG telah memeriksa dan mengadili terdakwa anak tidak sesuai dengan hukum acara pengadilan anak (Undue Process of Law) a. Pasal 55, 57, dan Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1997 Dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana anak, di samping hakim harus memenuhi prosedur yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka hakim juga harus memenuhi prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang lebih bersifat khusus daripada KUHAP. Dalam halaman terakhir Putusan Nomor 38/Pid.AN/2009/PN.BDG tampak terdakwa IR tidak didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan. Yang hadir di muka sidang sebagaimana disebutkan dalam putusan halaman terakhir, hanyalah hakim, panitera pengganti, jaksa penuntut umum, dan terdakwa. Pasal 55 UndangUndang Pengadilan Anak menyatakan, dalam perkara anak nakal sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2, penuntut umum, penasihat hukum, pembimbing kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh, dan saksi, wajib hadir dalam sidang anak. Sedangkan Pasal 57 menyatakan, (1) Setelah hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, terdakwa dipanggil masuk beserta orang tua, wali atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 333 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 333 5/16/2012 5:08:16 PM kemasyarakatan; (2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan. Selain itu, Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak menyatakan, pada waktu pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir. Berdasarkan Pasal 55, 57, dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak, maka sejak permulaan sidang dan selama persidangan seharusnya terdakwa didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan. Dengan demikian sangat jelas dan gamblang dalam memeriksa dan mengadili terdakwa IR, hakim telah melanggar prosedur yang ditentukan oleh Pasal 55, 57, dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak. b. Pasal 59 UU Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 59 Undang-Undang Pengadilan Anak menyatakan, (1) Sebelum mengucapkan putusannya, hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat bagi anak; (2) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan. Namun nyatanya di dalam putusan, hakim tidak tercantum adanya pemberian kesempatan kepada orang tua IR untuk mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat bagi IR sebelum putusan dijatuhkan dan juga hakim tidak mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan yang merekomendasikan agar terdakwa IR dijatuhi sanksi tindakan, yaitu dikembalikan kepada kedua orang tuanya, akan tetapi hakim malah menjatuhkan putusan pidana penjara selama 2 bulan 15 hari. Dengan demikian jelaslah putusan hakim menyalahi prosedur yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pengadilan Anak. 2. Penerapkan Falsafah Penghukuman Restoratif Meskipun Undang-Undang Pengadilan Anak belum sempurna, akan tetapi bila hakim menerapkannya dengan menggunakan falsafah penghukuman restoratif tentunya putusannya akan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya mendekati rasa keadilan di dalam masyarakat. Dalam putusan hakim pada Perkara Nomor 36/PID.AN/2009/PN.BDG tidak nampak adanya nuansa peradilan anak, padahal hakimnya berstatus sebagai hakim anak. Putusan hakim datar-datar saja dan sama sekali di dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan bahwa terdakwa masih termasuk usia anak, bahkan dalam hal-hal yang meringankan pun hakim tidak mencantumkan usia anak sebagai hal yang meringankan. 334 | JURNAL DES.indd 334 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM Hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada terdakwa anak selayaknya tidak semata-mata hanya mempertimbangkan pasal dakwaan yang terbukti, namun juga menjadi kewajiban bagi hakim untuk menggunakan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sudah menganut falsafah restoratif. Undang-Undang Pengadilan Anak telah mengamanatkan hal yang sangat prinsip dalam mengadili perkara anak, yaitu tercantum dalam alinea ke-4 penjelasan umum yang menyatakan: Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut sematamata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar. Berdasarkan laporan penelitian kemasyarakatan untuk sidang perkara anak no. register: 09/V/22 dengan terdakwa IR tertanggal 18 Mei 2009 yang dibuat dan ditandatangani oleh pembimbing kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Bandung telah memberikan rekomendasi agar terdakwa IR tidak dijatuhi pidana, akan tetapi tindakan, yaitu dikembalikan kepada kedua orang tuanya atas dasar pertimbangan: 1. Klien belum pernah dihukum, sehingga apabila dikenakan hukuman penjara dikhawatirkan akan menambah dampak buruk bagi perkembangan fisik dan psikologisnya. 2. Klien telah menyesali kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulangi di kemudian hari. 3. Pihak keluarga klien sanggup mendidik dan membina klien ke arah yang lebih baik. 4. Klien masih remaja dan masih dapat dibina serta masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki diri. 5. Kondisi lingkungan keluarga dan masyarakat kondusif untuk mendidik dan membina klien ke arah yang lebih baik. Hasil penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kl I Bandung tersebut di atas, ternyata sama sekali tidak dipertimbangkan hakim, padahal Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak secara tegas dan gamblang menyatakan bahwa, putusan wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 335 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 335 5/16/2012 5:08:16 PM Sanksi tindakan yang direkomendasikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kl I Bandung, yaitu berupa terdakwa IR dikembalikan kepada kedua orang tuanya merupakan penghukuman yang restoratif dan memiliki nilai kegunaan, karena klien baru pertama kali dihukum, sehingga hukuman penjara dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan psikologis, apalagi penjara sering disebut sebagai sekolah kejahatan. Namun dalam putusannya hakim sama sekali tidak mempertimbangkan dampak buruk yang akan menimpa terdakwa IR dengan hukuman penjara yang ia jatuhkan, hakim hanya menerapkan retributive justice (keadilan berdasarkan balas dendam). Terdakwa IR yang baru berusia 15 tahun selayaknya masih duduk di bangku sekolah, bukan bekerja menjadi kernet angkutan kota, ia telah menjadi korban akibat kemiskinan dia tidak dapat melanjutkan sekolah. Di hari nahas ketika sedang menunggu penumpang, ia diajak bermain domino dengan taruhan tidak seberapa, yaitu Rp1.000,- s.d. Rp2.000,- kemudian ditangkap polisi, kembali ia menjadi korban dan lebih parah lagi hakim sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan ternyata juga menjadikan terdakwa IR kembali menjadi korban karena hakim tidak dapat memberikan keadilan secara restoratif yang sebetulnya sangat dibutuhkan oleh terdakwa IR demi menyongsong masa depannya yang lebih baik. Di samping itu hukuman pidana penjara bagi terdakwa IR tidaklah bermanfaat bagi terdakwa IR, malah sebaliknya dapat mendatangkan bahaya, juga bagi negara hanya akan menambah penuh penjara dan membebani keuangan negara. Putusan tersebut secara nyata bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak, terutama prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak. IV. SIMPULAN Berdasarkan uraian/analisis tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hakim dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG telah memeriksa dan mengadili terdakwa anak tidak sesuai dengan hukum acara pengadilan anak (undue process of law) karena hakim tidak mengindahkan Pasal 55, 57, dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu sejak permulaan sidang dan selama persidangan seharusnya terdakwa didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan, tapi di muka sidang, terdakwa IR tidak didampingi siapapun. Jangankan anak, terdakwa dewasa pun di muka sidang pada umumnya gugup dalam menghadapi hakim dan jaksa penuntut umum. Selain itu, putusan hakim bertentangan dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak karena sebelum mengucapkan putusannya, hakim tidak memberikan kesempatan pada orang tua terdakwa IR untuk mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat bagi IR. Putusan hakim juga bertentangan dengan Pasal 59 ayat (2) Undang- 336 | JURNAL DES.indd 336 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM Undang Pengadilan Anak karena hakim tidak mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan, padahal menurut ketentuan tersebut hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan. 2. Dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG hakim tidak menerapkan falsafah penghukuman restoratif karena hakim hanya menghukum terdakwa atas dasar kesalahannya tanpa menggunakan asas yang terkandung dalam alinea ke-4 Penjelasan Umum Undang-Undang Pengadilan Anak, yang intinya menyatakan bahwa hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya, oleh karena itu dalam menjatuhkan hukuman sedapat mungkin hakim tidak memisahkan antara anak dengan orang tuanya. Berdasarkan laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kl I Bandung, direkomendasikan agar terdakwa IR dijatuhi sanksi tindakan dengan mengembalikan terdakwa IR kepada kedua orang tuanya, atas dasar pertimbangan terdakwa IR belum pernah dihukum, sehingga apabila dikenakan hukuman penjara dikhawatirkan akan menambah dampak buruk bagi perkembangan fisik dan psikologisnya. Rekomendasi tersebut nyatanya tidak dipertimbangkan oleh hakim dan hakim malah menjatuhkan pidana penjara selama 2 bulan 15 hari. Dalam perkara tersebut jelas-jelas hakim tidak menggunakan falsafah penghukuman restoratif dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak, terutama prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Putusan hakim tersebut dapat berakibat merugikan anak, menambah penuh penjara dan membebani keuangan negara. Dengan demikian 2 (dua) tujuan hukum, yaitu keadilan dan kegunaan dalam perkara a quo tidaklah tercapai. Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas di akhir kajian ini penulis mengemukakan bahwa kedudukan anak sangatlah penting, sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, maka dalam mengangkat hakim anak. Untuk itu, Mahkamah Agung betul-betul dapat memilih orang yang menjadi hakim atas dasar panggilan jiwa, yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak karena menyangkut masa depan bangsa dan negara. Selain itu, para hakim pengadilan anak harus memperoleh pendidikan dan pelatihan, agar memahami dan dapat menerapkan secara baik peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi anak dan juga peraturan-peraturan internasional tentang hak-hak anak serta konsep restorative justice. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Atmasasmita, Romli. 1992. Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Eresco. -------------------------. 2002. Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia. Jakarta: BPHN. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 337 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 337 5/16/2012 5:08:16 PM Bright, Christopher. 1997. Introduction to Restorative Justice. New York: Prison Fellowship International. Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo. Marshall, Tony. 1999. Restorative Justice. London: Home Office Research Development and Statistics Directorate. Soepomo, R. 1981. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Taneko, Soleman. 1987. Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang. Bandung: Eresco. Widiyanti, Ninik dan Waskita, Yulius. 1987. Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya. Jakarta: Bina aksara. Wignjodipoero, Soerojo. 1992. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: CV Hadji Masagung. Disertasi dan makalah Gosita, Arif. 2003. Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana Saran Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Disertasi Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pohan, Agustinus. 2002. Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Indonesia.Bandung: Makalah Pada Diskusi Publik Koalisi Ketuk Nurani. Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak. 338 | JURNAL DES.indd 338 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM RELASI PEMAHAMAN HAKIM DAN KUALITAS PUTUSAN DALAM KASUS PIDANA LINGKUNGAN Kajian Putusan Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Deni Bram Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640 email: [email protected] ABSTRACT Law may be so esoteric and mono-discipliner that it can close its relationship with other disciplines. But in environmental law, the law will not be able to work alone. The complexity of environmental law that evolves with the development of society and technology has demanded a judge not merely apply the law, but also creatively interpret the law. At this point, the level of knowledge of environmental law of a judge would certainly have a major stake for the quality of the decisions he makes. Judge’s knowledge on environmental law, a search of the facts of the trial involving expert witnesses and scientific research as well as the confidence in the evidence, could also influence the quality of judge’s decision. In the case of illegal logging below, there is a relation between the judge’s level of knowledge on environmental law and the quality of the decision. Keywords: environmental law, court decisions, justice ABSTRAK Hukum mungkin saja dipahami oleh segelintir orang dan hanya mono-discipliner, padahal hukum dapat memiliki hubungan dengan disiplin keilmuan yang lain. Dalam hukum lingkungan, hukum tidak dapat bekerja sendiri. Hukum lingkungan memiliki keterkaitan dengan pengembangan masyarakat dan teknologi dibutukan seorang hakim untuk menerapkan hukum dan sekaligus kreatif dalam menginterpretasikan hukun. Hal utama dalam kajian ini, level pengetahuan hukum lingkungan bagi seorang hakim mutlak dibutuhkan untuk menciptakan kualitas putusan. Pengetahuan tersebut untuk mencari fakta dan bukti termasuk dari saksi ahli dan peneliti dimana ama kuatnya dengan bukti yang lain. Dalam kasus illegal logging ini, terdapat hubungan antara pengetahuan hakim dalam hukum lingkungan dan kualitas putusan pengadilan. Kata kunci: hukum lingkungan, putusan hakim, hukuman JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 339 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 339 5/16/2012 5:08:16 PM I. PENDAHULUAN Keberadaan sumber daya alam di sektor kehutanan pada umumnya dan di negara-negara berkembang dengan jumlah tutupan hutan yang luas pada khususnya kerap menciptakan keadaan yang dilematis. Berdasarkan hasil penelitian Indonesia Center of Environmental Law (ICEL), dalam kurun waktu 50 tahun terakhir luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Hutan memang selain mengemban fungsi ekologis untuk menjadi tempat konservasi berbagai mahkluk hidup dan penyimpanan berbagai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, hutan juga mempunyai daya tarik ekonomis yang terkadang membuat manusia dengan berbagai tipu dayanya berusaha untuk menguasai hutan. Kondisi disparitas yang begitu besar antara permintaan atas kayu dan pasokan yang ada kerap kali menjadi salah satu pemicu dalam berbagai praktek tindak pidana sektor kehutanan di Indonesia. Praktek perambahan hutan secara illegal tentu saja selain memiliki dampak ekologis juga telah memberikan implikasi kerugian pada sektor keuangan negara. Pemanfaatan hutan yang tidak sesuai izin dan prosedur yang telah ditetapkan akan memberikan dampak adanya kerugian ekonomis dari nilai kayu yang ditebang dan juga dana provisi serta reboisasi yang seharusnya diserahkan ke pemerintah dalam rangka pengelolaan hutan jangka panjang. Salah satu kasus korupsi dan pembalakan liar di sektor kehutanan yang menarik perhatian publik pada akhir tahun 2007 adalah tindak pidana yang didakwakan kepada AL di Pengadilan Negeri Medan. Kasus ini berawal dari keberadaan PT KNDI dengan AL sebagai Direktur Keuangan/ Umum yang telah memiliki izin pengelolaan hasil hutan semenjak tanggal 12 Mei 1974 dengan berdasar pada Surat Keputusan Menteri Pertanian dengan Nomor 238/KPKIUM/5/1974 dengan domisili di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang telah mengantongi izin pengusahaan hutan seluas 58.890 (lima puluh delapan ribu delapan ratus sembilan puluh) hektar kawasan hutan yang terletak di kawasan hutan Sungai Singkuang–Sungai Natal Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 805/KPTS–VI/99 tertanggal 30 September 1999 tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan. Dalam menjalankan usahanya pada kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2005, pihak kepolisian menengarai telah terjadinya tindak pidana korupsi dan tindak pidana sektor kehutanan dengan modus penggunaan lahan hutan di luar wilayah yang telah ditentukan pada Izin Pemanfaatan Hasil Hutan yang dilakukan oleh PT KNDI. Hal ini dapat dilihat dari titik-titik koordinat sebagai berikut: Tahun 2000 berada pada titik koordinat 00° 57’ 22,4” LU dan 99° 03’ 26,4” BT, kemudian diploting ke dalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2000, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada di luar RKT 2000 dalam IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan 340 | JURNAL DES.indd 340 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 12.153 batang atau volume 30.706,02 M3, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. Tahun 2001 berada di lokasi Jalan Danau KM 12, berada di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2001, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 11.521 batang atau volume 24.497,95 M3, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. Tahun 2002 berada pada titik koordinat 00° 55’ 06,9” LU dan 99° 07’ 09,0” BT, kemudian diploting ke dalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2002, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada di luar RKT 2002 dalam IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 24.533 batang atau volume 51,340.73 M3, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. Tahun 2003 berada pada titik koordinat 00° 54’ 55,6” LU dan 99° 06’ 55,4” BT, kemudian diploting ke dalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2003, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada di luar RKT 2003 dalam IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 9,027 batang atau volume 20,334.51 M3, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. Tahun 2004 berada pada titik koordinat 00° 55’ 30,8” LU dan 99° 04’ 25,3” BT, kemudian diploting ke dalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2004, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada di luar RKT 2004 dalam IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 7,961 batang atau volume 21,250.88 M3, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. Tahun 2005 berada pada titik koordinat 00° 56’ 50,4” LU dan 99° 05’ 21,2” BT dan titik koordinat 00° 54’ 06,9” LU dan 99° 06’ 43,3” BT, kemudian diploting ke dalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2005, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada di luar RKT 2005 dan juga berada di luar IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 12,874 batang atau volume 28.299,85 M3, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. Paling tidak tercatat dari tindakan tersebut sebanyak 217.965,15 M³ (dua ratus tujuh belas ribu sembilan ratus enam puluh lima koma lima belas) meter kubik kayu yang telah di tebang dengan cara ilegal dan mengganggu ekosistem sekitar yang menyebabkan terjadinya perusakan hutan. Selain itu dari tindakan yang dilakukan juga telah memberikan dampak kerugian negara sebesar Rp. 119.802.393.040,00 (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah) dan US$2.938.556,24 (dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US dollar) yang merupakan akumulasi dari valuasi ekonomi terhadap nilai kayu bulat yang telah di tebang di JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 341 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 341 5/16/2012 5:08:16 PM luar Rencana Kerja Tahunan, Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi yang seharusnya diterima oleh negara. Selain itu juga terindikasi pola penebangan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Mekanisme Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Untuk menindaklanjuti dugaan awal tersebut pada sekitar tanggal 29 Januari 2006 tim dari Polda Sumatera Utara bersama dengan Tim dari Dinas Kehutanan melakukan pemeriksaan ke lokasi areal HPH PT KNDI di Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Madina yang menemukan bukti awal tidak adanya penandaan dengan pita kuning dan pita merah sebagai pembeda pohon yang boleh ditebang dan tidak boleh ditebang dalam rangka melaksanakan mekanis Tebang Pilih Tanam Indonesia dan berpotensi mengakibatkan kerusakan ekosistem wilayah hutan. Berdasar pada indikasi adanya tindak pidana yang dilakukan oleh PT KNDI dengan AL sebagai Direktur Keuangan/Umum berupa perambahan kawasan hutan di luar Rencana Kerja Tahunan yang telah ditetapkan, pihak kepolisian untuk selanjutnya menindaklanjuti hal tersebut dengan melakukan proses penyelidikan dan penyidikan yang kemudian dilanjutkan pada tataran penuntutan oleh jaksa penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk Dakwaan Kombinasi yang terdiri dari Dakwaan Kesatu Primer berupa pelanggaran Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Dakwaan Kesatu Subsider Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan Kedua Primer Pasal 50 ayat (2) jo Pasal 78 ayat (1), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Dakwaan Kedua Subsider Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Dakwaan Kedua Lebih Subsider Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (7), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Dakwaan Kedua Lebih Subsider Lagi Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dari keseluruhan argumentasi dan pertimbangan hukum baik pada Dakwaan Pertama maupun Dakwaan Kedua beserta dakwaan berlapis di dalamnya, majelis hakim yang dipimpin oleh AB tidak menemukan satupun alasan untuk menyatakan terdakwa bersalah sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum sehingga terdakwa menurut majelis hakim harus dibebaskan dari segala dakwaan (Vrijspraak). 342 | JURNAL DES.indd 342 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:16 PM II. RUMUSAN MASALAH Salah satu karakteristik dari ilmu lingkungan adalah pendekatan multidisipliner yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan lingkungan hidup yang ada. Keberadaan dan kekhususan terhadap suatu disiplin ilmu tertentu tanpa merujuk bidang ilmu lain dalam pendekatan ilmu lingkungan menjadi suatu hal yang sia-sia. Hal tersebut di atas dapat ditemui pula proses penegakan hukum terhadap sengketa-sengketa lingkungan hidup yang terjadi, keterpaduan antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lain dalam mengungkap suatu kebenaran ilmiah dengan didukung oleh bukti yang diperoleh secara ilmiah jelas menjadi tumpuan yang menjadi entry point dalam mengatasi permasalahan di bidang lingkungan hidup. Permasalahan pun mulai muncul pada saat keberadaan ilmu hukum dengan salah satu sendi utamanya yaitu kepastian terjerembab dengan pemikiran-pemikiran yang mengukung diri dari suatu pendekatan ilmiah. Beberapa kasus pencemaran lingkungan seperti Pencemaran Teluk Buyat dan juga pencemaran lumpur di Sidoarjo kerap kali ditanggapi oleh para praktisi hukum secara pragmatik dan hanya berlandaskan alasan normatif semata tanpa memperhatikan adanya unsur kebenaran ilmiah yang diusung dalam setiap penanggulangan permasalahan lingkungan hidup. Dalam rangka memberikan arahan dalam masalah yang diungkapkan dalam paragraf di atas, maka pertanyaan yang dalam penelitian ini meliputi: 1. Apakah lemahnya kualitas putusan hakim Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn dilatarbelakangi oleh kurangnya penguasaan hakim terhadap konsep-konsep dasar dan perkembangan hukum lingkungan? 2. Bagaimana meningkatkan kapasitas pengetahuan hakim dalam meminimalisasi buruknya putusan dalam kasus hukum lingkungan? III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Secara obyektif dapat dicermati bahwa sepanjang kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari kedudukan sebuah norma hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, norma hukum menempati posisi sentral dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia untuk merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai, dan menjaga eksistensinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam beberapa literatur dapat ditemukan bahwa keberadaan norma hukum paling awal dalam kehidupan manusia paling tidak mulai terlihat saat dilakukan oleh Hammurabi (Codex of Hammurabi) pada zaman Babylonia, namun beberapa maxim yang muncul sebelumnya pada awal kekaisaran Romawi sebagaimana diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero dalam karyanya JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 343 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 343 5/16/2012 5:08:16 PM De Republica dan De Legibus dengan maxim yang tersohornya yaitu “ubi societas ubi ius” yang menekankan makna bahwa di mana ada masyarakat di situ harus ada hukum. Keadaan ini sesungguhnya merefleksikan bahwa keperluan dan kepentingan manusia sebagai mahkluk sosial akan mencapai titik keseimbangan saat difasilitasi oleh norma hukum. Hukum dalam beberapa perspektif masyarakat awam dianggap identik dengan hukuman. Hal ini jelas telah mereduksi makna hukum itu sendiri sehingga terkadang telah terpenuhi atau tidaknya suatu nilai keadilan diukur dengan hukuman yang diberikan pada proses peradilan. Salah satu karya hukum yang fenomenal buah pikiran dari Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam karyanya ‘Law and Society in Transition: Toward Responsive Law’ menguraikan tentang pentingnya keseimbangan antara konsep keadilan prosedural dan keadilan substantif dalam proses penegakan hukum. Salah satu elemen aparat hukum yang mempunyai peranan penting dalam menjalankan aturan substantif sekaligus pula prosedural dalam proses penegakan hukum adalah hakim. Dalam konteks keadilan prosedural jelas tercermin bahwa prosedur merupakan jantung dari hukum yang pada gilirannya merupakan tempat jaminan paling nyata untuk mendapatkan penerapan peraturan secara adil (Nonet dan Selznick, 2007: 5). Keberadaan norma hukum yang sebelumnya hanya menyentuh pada ranah kaedah antar manusia (homo ethic), perlahan mulai bergeser pada konsep mengatur kaedah keseimbangan manusia dan ekosistem (eco ethic). Eksistensi fungsi dan proses penegakan hukum pun mulai dipertanyakan banyak orang untuk dapat memberikan hasil maksimal sebagai upaya pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik. Kejahatan di sektor kehutanan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan multidimensional yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup, sehingga tidak hanya dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan namun terdapat kemungkinan terjadinya unsur kerugian negara dengan modus korupsi di dalamnya (Sukardi, 2005: 10). Dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung pada tahun 2008 secara jelas terungkap bahwa jumlah perkara illegal logging yang telah diputus di tingkat kasasi mencapai 92 perkara dengan jenis hukuman < 1 tahun sebanyak 24 perkara, 1-2 tahun sebanyak 19 perkara, 3-5 tahun sebanyak 5 perkara, 6-10 tahun sebanyak 8 perkara, > 10 tahun sebanyak 0 perkara, bebas sebanyak 36 perkara, seumur hidup sebanyak 0 perkara, dan hukuman mati sebanyak 0 perkara. Lingkungan tak terhitung banyaknya, namun keyakinan pada satu lingkungan global tampaknya tidak terelakkan. Pada awalnya suatu lingkungan hanya ada karena dihuni suatu organisme hidup tertentu. Oleh karena itu, sepetak ladang adalah lingkungan bagi seekor sapi, segumpal kotoran sapi merupakan lingkungan bagi seekor kumbang kotoran, dan seekor kumbang kotoran adalah lingkungan bagi seekor kutu parasit. Dari pola demikian dapat dilihat unsur keterkaitan antara satu kehidupan dengan kehidupan yang lain dan ketidakterbatasan dari lingkungan-lingkungan yang ada (Melanby, 1977). Seperti halnya kehidupan yang selalu memiliki 344 | JURNAL DES.indd 344 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:17 PM nilai antinomy di dalamnya, unsur ketergantungan seperti tergambarkan dalam uraian di atas degradasi suatu lingkungan tentu saja tidak hanya memberikan dampak bagi sekelompok kecil tapi juga memberikan multiplier effects dalam suatu ekosistem dan juga eksistensi life supporting system dalam suatu tatanan kehidupan. Seiring dengan perkembangan kemajuan dan teknologi saat ini, sering kali ditemui bahwa banyak sekali kegiatan manusia yang sudah tidak dapat lagi berjalan secara berkesinambungan dengan fungsi alam. Pada mulanya masalah lingkungan hidup merupakan masalah alami yang terjadi sebagai akibat dari proses alam, dalam perkembangannya semakin lama semakin besar, meluas, dan serius. Persoalannya pun bukan hanya bersifat lokal atau translokal, tetapi regional, nasional bahkan transnasional. Peradaban modern yang kapitalistik telah mendorong manusia begitu serakah mengeksploitasi lingkungan hidup. Manusia modern terjangkiti oleh penyakit hedonisme yang tidak pernah puas dengan kebutuhan materi. Sebab yang mendasar timbulnya keserakahan terhadap lingkungan ini, karena manusia memahami bahwa sumber daya alam adalah materi yang mesti dieksploitasi untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan materinya yang konsumtif. Pengelolaan lingkungan identik dengan upaya untuk mengoptimalkan sumber daya alam sebagai penyuplai kebutuhan materi semata. Perubahan struktur dan materi lingkungan yang pada awalnya bersifat alami dan merupakan bagian dari suatu proses alami dan kemudian pulih kembali dalam mencapai suatu titik keseimbangan secara alami pula (homeostasis), namun kini telah bereskalasi bahwa perubahan yang terjadi tidak lagi didominasi oleh faktor alam semata. Tidak dapat disangkal bahwa permasalahan lingkungan yang hadir saat ini berada pada ranah yang cenderung membesar dan semakin memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dengan dipicu kegiatan manusia yang semakin dominan dalam setiap lini kehidupan. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah manusia disertai dengan kebutuhan yang semakin meningkat pula membuat tindakan intervensi pada lingkungan semakin meningkat dan berujung pada gangguan alam secara nyata dan potensial (Hidayat dan Samekto, 2007). Kerusakan dan pencemaran lingkungan, menurut J. Barros dan J.M. Johnston dalam Siahaan (1992) erat kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, antara lain disebabkan, Pertama, kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan yang berbahaya seperti logam berat, zat radio aktif dan lain-lain. Kedua, kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan instalasi, kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan bekas pertambangan. Ketiga, kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan kendaraan bermotor, tumpahan bahan bakar, berupa minyak bumi dari kapal tanker. Keempat, kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia untuk memberantas serangga/ tumbuhan pengganggu, seperti insektisida, pestisida, herbisida, fungisida dan juga pemakaian pupuk anorganik. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 345 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 345 5/16/2012 5:08:17 PM Keberadaan ilmu lingkungan sebagai induk semang dari pergolakan pemikiran eksistensi hubungan manusia dengan alam pun dituntut untuk dapat menanggulangi permasalahan lingkungan yang tumbuh sekarang ini. Pendekatan multidisipliner yang diusung oleh ilmu lingkungan dalam konteks pembahasan ini menjadi sangat relevan pada saat penanggulangan permasalahan lingkungan memiliki kebuntuan pada saat bertumpu pada satu jenis pendekatan atau konsentrasi bidang ilmu tertentu semata. Secara teoretis akademis dapat dilihat dari pola lahirnya mata kuliah wajib pada tingkat fakultas yang lahir sebagai bentuk pendekatan berbagai disiplin ilmu dalam permasalahan lingkungan (Teknik Lingkungan, Kesehatan Lingkungan, Ekonomi Lingkungan, Hukum Lingkungan, dsb) serta terbukanya kesempatan semua disiplin ilmu untuk dapat melanjutkan studi Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan. Pada tataran praktis, lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat pola interaksi antara manusia dengan mahkluk hidup lainnya serta dominasi manusia dalam hubungan timbal balik yang terjadi menjadi suatu landasan pemikiran awal bahwa disiplin ilmu lain yang mengatur tindak tanduk manusia di dalamnya turut berperan dalam menjawab permasalahan lingkungan hidup. Pola hakiki dari bidang ilmu adalah tujuan akhirnya untuk mencari suatu nilai kebenaran. Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta (Lorens Bagus, 1991). Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standard tunggal pengetahuan dengan paradigma (metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya (Keraf, 2002). Pemahaman di bidang lingkungan hidup menjadi suatu titik awal dalam melihat realitas tentang permasalahan lingkungan yang ada dan juga yang terpenting sebagai landasan pemikiran untuk dapat memberikan solusi kebenaran ilmiah serta pola penanggulangan yang efektif terhadap masalah yang timbul. Kebenaran ilmiah yang diusung oleh penelitian lingkungan inilah yang 346 | JURNAL DES.indd 346 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:17 PM kemudian menjadi acuan normatif yuridis dalam menjawab sengketa-sengketa yang timbul sebagai akibat dari permasalahan lingkungan. Hal ini memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum dalam sengketa lingkungan hidup. Keberadaan aturan normatif sebagai sumber rujukan baik oleh pihak penuntut umum, pengacara maupun majelis hakim menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan putusan. Kasus pencemaran di Teluk Buyat serta luapan lumpur di Sidoarjo merupakan beberapa contoh kasus yang menggambarkan korelasi hubungan penelitian lingkungan yang menjadi dasar pengungkapan kebenaran ilmiah dan upaya penyelesaian sengketa hukum secara tepat. Ilmu hukum yang identik dengan sendi kepastian di dalamnya mengalami suatu konfrontasi pada saat begitu banyak penelitian lingkungan yang tidak menghasilkan hal yang serupa. Kenyataan yang dalam ilmu eksakta wajar adanya tersebut menjadi dipertanyakan kembali saat masuk dalam ranah hukum, terlebih hingga kini tidak ada satu pun regulasi yang mengatur lembaga yang memiliki otorisasi dalam mengungkapkan hasil penelitian yang dianggap menjadi suatu kebenaran ilmiah dan bukti hukum. Kondisi saling melengkapi dan interdependensi yang begitu erat antara kebenaran ilmiah secara scientific dengan ilmu hukum telah menjadi suatu pembicaraan yang menjadi landasan utama baik pada tataran teoretis maupun tataran praktis. Menurut Odum (1971), kajian ekologi telah menjadi perhatian utama bahkan pada saat manusia memasuki masa pra sejarah yang paling tidak memposisikan masyarakat primitif pada saat itu untuk dapat hidup serasi dan selaras dengan tumbuhan dan binatang. Pada awal timbulnya peradaban, ekologi juga turut serta mengambil peran dengan menjadi landasan berpikir utama untuk dapat survive dalam kehidupan dunia. Pada sisi lain, tatanan lingkungan telah menjadi suatu variabel yang mempengaruhi kehidupan manusia yang selanjutnya disebut dengan pendekatan kosmologi. Ilmu lingkungan hadir sebagai disiplin ilmu yang menggabungkan pemikiran ekologi dengan dilandasi pemikiran kosmologi untuk mencapai suatu keseimbangan antara manusia dengan tatanan alam yang ada di sekitarnya. Sebagai kajian ilmu eksakta, pendekatan penelitian lingkungan bertitik tolak pada kenyataan pada ranah positivis yang kemudian dituangkan dalam kajian kuantitatif untuk kemudian memperoleh gambaran komprehensif dan holistik mengenai realitas yang terjadi dalam suatu ekosistem. Ilmu hukum dalam perannya hampir di seluruh lini kehidupan terus mengemban fungsi utamanya dalam memberikan kepastian, ketertiban dan kemanfaatan (Radburch, 1973). Terlebih dalam ilmu lingkungan yang dikenal dengan holistic approachnya, lintas ilmu, lintas disiplin. Disamping itu, dalam kajian ilmu hukum, terutama tentang dogmatik hukum, tidak hanya sekedar membahas tentang bagaimana memahami kaidah hukum saja, akan tetapi juga tentang dasar-dasar filosofi yang mendasari (terutama konsep dan azas-azas hukumnya) ditetapkannya suatu kaidah hukum tertentu. Hukum yang pada awalnya hanya mengatur kaidah seputar antar perilaku manusia satu sama lain (homo ethic), perlahan namun pasti merambah JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 347 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 347 5/16/2012 5:08:17 PM pada pengaturan kehidupan manusia dengan lingkungan ekosistem sekitar (eco ethic). Hukum tidak hanya difungsikan secara pasif dalam rangka menjaga status quo semata, namun juga mulai menemukan perannya yang aktif sebagai alat rekayasa sosial menuju pola penggunaan hukum yang progresif. Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legisme. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”. Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum di atas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Proses penegakan hukum dalam sengketa yang terjadi di bidang lingkungan hidup baik dengan menggunakan pendekatan penegakan hukum pidana, perdata maupun administrasi memiliki persyaratan yang mendasari pada ketentuan administrasi. Dalam perspektif Michael G Faure (1991), penegakan hukum terhadap sengketa yang terjadi di bidang lingkungan hidup sangatlah tergantung pada pelanggaran hukum administrasi sebagai landasan berpijak terpenuhi atau tidaknya suatu tindak pencemaran atau tindak perusakan lingkungan. Keberadaan Baku Mutu Lingkungan atau Nilai Ambang Batas yang dituangkan dalam suatu instrumen administrasi menjadi dasar penentu untuk dapat dikatakannya telah terjadi suatu pencemaran atau tidak. Oleh karena itu, keberadaan lembaga penelitian di bidang lingkungan hidup memiliki peran yang substansial untuk dapat menterjemahkan kondisi ekosistem yang diduga tercemar. Pada sisi lain, kepastian sebagai salah satu sendi yang diusung dalam ilmu hukum memberikan suatu jaminan hak dan kewajiban terhadap pemenuhan suatu tindakan hukum, baik berupa penataan maupun pelanggaran. Premis utama dalam hukum lingkungan yang menjadi entry point dalam upaya penegakan hukum adalah terminologi pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan. Tingkat presisi dari kedua terminologi di atas menjadi acuan awal untuk dapat diterapkannya aturan hukum atau tidak. Dalam ketentuan hukum positif (yang berlaku saat ini), pencemaran dan perusakan ditentukan oleh telah terlewatinya Baku Mutu Lingkungan (BML) 348 | JURNAL DES.indd 348 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:17 PM yang menjadi parameter utama dalam pencemaran dan perusakan lingkungan. Pada konteks ini dalam perspektif Alvie Syahrin (2009) menggambarkan ketergantungan hukum pidana terhadap hukum administrasi yang menurut pemapar berujung pula pada kebenaran ilmiah yang merupakan tujuan akhir dari suatu penelitian di bidang lingkungan. Salah satu perkara yang menarik perhatian publik pada akhir tahun 2008 adalah tindak pidana korupsi dan illegal logging yang dilakukan oleh AL. Dalam perkara pidana yang terjadi di dalam wilayah hukum (yurisdiksi) Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Putusan 2240/ Pid.B/2007/PN.Mdn. yang merupakan hasil dari musyawarah majelis pada tanggal 1 November 2007 dan diucapkan pada tanggal 5 November 2007. Secara sistematis ketentuan formalitas mengenai hukum acara dapat dilihat dalam putusan ini secara eksplisit dalam putusan baik pada bagian awal berupa irah-irah dan bagian yang menerangkan identitas terdakwa secara lengkap beserta penasihat hukum yang mendampingi yaitu Hotman Paris Hutapea. Selain itu dalam putusan ini terlihat pula secara jelas dakwaan dari jaksa penuntut umum yang disusun secara kombinasi (kumulatif-alternatif) yang kemudian diuraikan oleh majelis hakim yang termuat dalam bagian pertimbangan fakta hukum serta alat bukti yang diperoleh secara sah dan legal baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan bukti surat yang dihadirkan di muka persidangan yang kemudian dianalisa secara proporsional oleh majelis hakim dengan memberikan tanggapan pada setiap dakwaan, baik Dakwaan Kesatu maupun Dakwaan Kedua termasuk dakwaan berlapisnya pada setiap dakwaan. Dalam perkara yang menjadikan AL sebagai terdakwa ini terdapat dua tindak pidana utama yang menjadi landasan dakwaan dari penuntut umum, yaitu dugaan adanya tindak pidana korupsi dari sektor kehutanan dan juga penebangan hutan secara ilegal. Hal ini yang menjadi alasan utama oleh jaksa penuntut umum untuk menggunakan jenis dakwaan kombinasi dalam surat dakwaan yang dibuat yang masing-masing dengan dakwaan yang berlapis baik pada Dakwaan Kesatu maupun Dakwaan Kedua. Dakwaan tersebut pula yang pada pertimbangannya digunakan oleh majelis hakim sebagai sumber hukum untuk menguraikan terpenuhi atau tidaknya unsurunsur dari tindak pidana yang didakwakan. Pembuktian unsur tindak pidana yang diuraikan oleh majelis hakim dalam perkara ini terlihat kerap kali mencoba berdasar pada fakta hukum yang tidak relevan dan tidak seperti yang diuraikan dalam pokok dakwaan jaksa penuntut umum. Dimulai dari pembuktian Dakwaan Kesatu Primer hingga Dakwaan Kedua Lebih Subsider Lagi, penulis menganggap bahwa majelis hakim hanya berkutat pada wilayah hutan yang secara sah memang hak dari PT KNDI sebagai perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) berdasarkan Surat Keputusan Nomor 805/Kpts-VI/99 tertanggal 30 September 1999. Sedangkan yang terungkap pada obyek tindak pidana yang tertuang dalam dakwaan dialamatkan secara jelas telah terjadi dugaan tindak pidana di luar wilayah hutan yang telah ditentukan dalam Rencana Kerja Tahunan PT KNDI. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 349 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 349 5/16/2012 5:08:17 PM Setelah mempertimbangkan fakta hukum yang ada yang kemudian diuraikan oleh majelis hakim, majelis berpendapat untuk memberikan putusan dibebaskannya terdakwa dari segala tuntutan karena dalam pertimbangan majelis unsur-unsur di dalam dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak terpenuhi secara menyeluruh baik dalam Dakwaan Kesatu Primer, Dakwaan Kesatu Subsider, Dakwaan Kedua Primer, Dakwaan Kedua Subsider, Dakwaan Kedua Lebih Subsider, dan Dakwaan Kedua Lebih Subsider Lagi. Hal ini tentu saja memiliki perbedaan yang sangat mencolok antara requisitoir jaksa penuntut umum yang menghendaki terdakwa dikenakan hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp. 1.000.000.000,- . Pertimbangan hakim dalam putusan ini melihat bahwa tidak menemukan satu pun adanya unsur kesalahan pada setiap dakwaan terlihat semata-mata hanya bersandar pada sumber hukum peraturan perundang-undangan secara tertulis. Hal ini antara lain dapat ditemui dalam argumentasi majelis hakim pada Dakwaan Kesatu Primer mengenai terminologi “secara melawan hukum” yang merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa melawan hukum harus diartikan secara formil. Penggunaan putusan Mahkamah Konstitusi ini telah tepat digunakan oleh majelis hakim dalam memberikan landasan konseptual yang menurut pertimbangan majelis hakim tidak ditemui dalam kasus a quo. Dakwaan jaksa penuntut umum yang mendasari pada adanya tindakan melawan hukum yang dilakukan terdakwa selaku Direktur Umum PT KNDI telah melakukan pemungutan hasil hutan secara tidak sah karena telah melakukan pelanggaran Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 yang menurut majelis hakim merupakan suatu bentuk pelanggaran administratif dan bukan merupakan tindak pidana. Peneliti menganggap bahwa seharusnya majelis hakim tidak hanya terpaku pada fundamentum yang diajukan oleh jaksa penuntut umum an sich, melainkan mencoba untuk mencari ketentuan peraturan–perundang-undangan lainnya yang mempunyai kompatibilitas dengan tindak pidana yang didakwakan. Argumentasi lain dalam melihat tidak terpenuhinya unsur dakwaan diutarakan oleh majelis hakim dengan memperhatikan doktrin yang bersumber dari Utrecht dalam menguraikan terminologi “jabatan atau kedudukan” yang dalam perspektif Utrecht sebagaimana diikuti oleh majelis hakim identik dengan pekerjaan tetap pada lingkungan struktural demi kepentingan negara. Dalam pandangan penulis, penggunaan doktrin ini oleh majelis hakim tidak dapat menjadi landasan yang cukup logis dan representatif terhadap tidak terpenuhinya unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Majelis hakim dalam proses pertimbangan dan analisis unsur-unsur pada setiap dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum terlihat hanya menguraikan beberapa unsur semata yang dianggap oleh majelis tidak terpenuhi dalam dakwaan tersebut sehingga unsur-unsur selanjutnya tidak perlu dibuktikan keberadaannya dalam tindak pidana yang didakwakan. Penguraian unsurunsur yang dilakukan oleh majelis hakim dalam putusan ini sepenuhnya berdasar pada peraturan 350 | JURNAL DES.indd 350 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:17 PM perundang-undangan yang dilakukan baik dengan merujuk pada bentuk asli sebagaimana tertuang dalam ketentuan perundang-undangan maupun beberapa kali terlihat majelis melakukan penafsiran dengan metode yang lain. Penafsiran hukum yang kental terasa dalam putusan ini adalah penafsiran secara penyempitan hukum (Rechtverfijing) (Sudikno, 2009: 71). Hal ini paling tidak tercermin dalam uraian majelis hakim terdapat unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” dalam Dakwaan Kesatu Subsider dan unsur “kerusakan lingkungan” dalam Dakwaan Kedua Primer. Pada uraian unsur menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan, majelis hakim dengan mengutip doktrin dari Utrecht terlihat melakukan pembatasan bahwa yang dimaksud semata- mata adalah seseorang yang berkedudukan sebagai seorang pegawai negeri sipil lalu mengkonstruksikan bahwa terdakwa sebagai bukan pegawai negeri sipil maka tidak memenuhi unsur tersebut. Jika ditelusuri lebih lanjut dalam berbagai doktrin, konsep penyalahgunaan kewenangan oleh seseorang karena jabatan ataupun kedudukannya tidak hanya dapat dilakukan oleh seorang pegawai negeri sipil. Keberadaan warga negara non pegawai negeri sipil pun yang mendapat hak berupa izin maupun konsesi dari pemerintah lalu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya sebagaimana tertuang dalam izin tersebut, seharusnya dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk penyalahgunaan kewenangan karena jabatan atau kedudukan pemegang izin. Konstruksi serupa ditemukan pula dalam penjelasan majelis hakim terhadap unsur “kerusakan hutan” pada Dakwaan Kedua Primer. Bersandar pada sampel sebanyak 2 Kg dari luas wilayah hutan 58.000 Hektar milik PT KNDI dan juga keterangan saksi ahli yang menyatakan bahwa dampak kerusakan baru dapat diketahui dengan analisa mendalam dalam waktu 2 (dua) bulan, majelis hakim menarik kesimpulan bahwa tidak terjadi kerusakan pada wilayah ekosistem hutan PT KNDI. Hal itu jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ekologi dan hukum kehutanan yang tidak mendasarkan kerusakan ekosistem berdasarkan isu representasi sampel yang digunakan. Sebagai suatu bentuk kesatuan ekosistem, jelas keberadaan sampel yang digunakan untuk melakukan pengamatan potensi kerusakan ekosistem hutan mempunyai kaitan erat dengan kehidupan ekosistem lainnya dalam suatu wilayah yang lebih besar. Keterangan saksi ahli yang menyatakan memerlukan waktu 2 (dua) bulan untuk memastikan kerusakan yang terjadi wilayah ekosistem hutan seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf untuk dapat mengatakan bahwa tidak terjadinya perusakan lingkungan. Argumentasi majelis hakim dengan bentuk seperti ini memberikan kesan terlihat sangat memaksakan untuk menyatakan tidak terpenuhi salah satu unsur dalam pasal yang didakwakan. Sehingga walaupun fakta hukum disusun secara runut atau sistematis dan juga mengakomodir pola berpikir yang silogistik namun mempunyai landasan berpijak dalam argumentasi yang dibangun untuk bertendensi mengarah pada suatu hasil tertentu dengan pola logika yang melompat. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 351 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 351 5/16/2012 5:08:17 PM Kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan merupakan ikon besar dalam setiap pembicaraan tentang hukum, utamanya dalam konteks hukum modern. Dikatakan demikian karena masalah kepastian dan keadilan dan kemanfaatan ini tidaklah menjadi persoalan benar ketika perkembangan masyarakat masih diliputi suasana hukum tradisional. Pada masyarakat tradisional, segala kaidah serta norma yang ada masih bersifat alamiah – bersumber langsung dari apa yang diyakini dan dijalankan sehari-hari dalam masyarakat. Di sini bicara tentang ( kepastian) hukum identik dengan bicara tentang keadilan. Memang terkesan sangat subyektif pada saat menilai suatu putusan pengadilan apakah telah mencerminkan nilai keadilan. Namun jika bersandar pada suatu teori tertentu dengan indikator-indikator nilai keadilan di dalamnya diharapkan dapat menyuguhkan pandangan yang lebih ilmiah. Pada tataran ekologis, jelas putusan Pengadilan Negeri Medan ini tidak menyentuh keadilan lingkungan (environmental justice) (Dobson, 1998: 1). Kondisi ekosistem hutan yang telah terusak dengan adanya praktek illegal logging jelas memberikan dampak sistemik bagi ekosistem tersebut. Dalam perspektif ekologi, kerusakan lingkungan merupakan sesuatu hal yang bersifat jangka panjang (long term), namun kenyataan ini bukan berarti mengeliminir praktek perlindungan lingkungan sampai dengan waktu yang telah ditentukan. Pertimbangan majelis hakim yang memperhatikan keterangan saksi ahli bahwa butuh waktu sekitar 2 (dua) bulan yang lalu diterjemahkan oleh majelis hakim tidak terdapat kerusakan ekosistem rasanya tidak tepat dan tidak mencerminkan keadilan ekologi. Putusan Pengadilan Medan yang diketuai oleh AB ini walaupun mendasari pada peraturan perundang-undangan secara rigid dan tegas, namun karakteristik nilai keadilan yang tercermin dalam putusan tersebut terlihat hanya sebatas keadilan prosedural yang terpaku pada aturanaturan yang terkadang tidak mengindahkan nilai keadilan substansial seutuhnya. Salah satu bentuk pemikiran keadilan prosedural semata yang diutamakan dapat terlihat pada saat majelis hakim menggunakan pertimbangan sampel tanah sebanyak 2 Kilogram yang mengindikasikan terjadinya kerusakan ekosistem tidak cukup representatif dalam melegitimasi terjadinya kerusakan lingkungan secara keseluruhan, sedangkan dalam ilmu lingkungan kerusakan merupakan suatu kebenaran materiil yang tak perlu diragukan lagi pada isu jumlah. Regulasi hukum pidana secara formil mensyaratkan secara rigid kategorisasi dari alat bukti yang dapat diajukan ke persidangan yang terdiri dari keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Selain alat bukti di atas, keyakinan hakim memiliki peran penting dalam menilai alat bukti yang ada. Pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai suatu bentuk delik hukum hadir dengan unsur utama yang mewajibkan adanya suatu zat yang masuk ke dalam ekosistem yang melebihi Baku Mutu Lingkungan (BML) yang telah ditentukan, dalam praktek di pengadilan tentu kedua belah pihak (jaksa penuntut umum maupun terdakwa) berupaya untuk dapat meyakinkan kepada majelis hakim bahwa tidak terdapat suatu pencemaran ataupun perusakan lingkungan terhadap kasus yang didakwakan. 352 | JURNAL DES.indd 352 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:17 PM Keberadaan Baku Mutu Lingkungan (BML) dalam struktur hukum lingkungan dikategorikan sebagai bentuk pengaturan dalam ranah hukum administrasi, parameter yang dipergunakan sebagai landasan telah terjadi atau tidaknya suatu praktek pencemaran bertitik pangkal dari izin yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai angka yang ditoleransi untuk dapat dilakukan pembuangan limbah. Dari segi ketentuan formal, begitu banyaknya variasi hasil penelitian yang diungkapkan kedua belah pihak di pengadilan dengan kepentingan yang berbeda, serta keterbatasan pengetahuan dari majelis hakim serta jaksa penuntut umum dalam menyuguhkan data ilmiah menjadi titik awal ketidakadilan ekologis berlangsung. Kondisi yang ada semakin diperburuk pada saat peran dari aparat penegak hukum yang bermula dari kepolisian pada tahapan penyelidikan dan penyidikan hingga kejaksaan pada tahapan penuntutan dari dakwaan yang diajukan memiliki keterbatasan pula pada tahapan pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket) baik meliputi inventarisasi data di lapangan, pengolahan hasil laboratorium hingga kepada interpretasi hasil dari sampel yang digunakan. Puluhan penelitian yang dilakukan di Teluk Buyat baik oleh lembaga swasta, pemerintah hingga perguruan tinggi dan juga penelitian dari lembaga dalam dan luar negeri di persidangan yang menjadikan Richard Ness dan PT Newmont Minahasa Raya sebagai terdakwa sangatlah bervariasi, sehingga membuka kemungkinan untuk majelis hakim dalam pengambilan putusan tidak didasari oleh realitas fakta secara obyektif. Hal yang sama terjadi pada saat terdapat dikotomi perdebatan mengenai latar belakang keluarnya letupan lumpur panas di Sidoarjo, sebagai menganggap bahwa terdapat suatu actus reus dari PT Lapindo Brantas namun sebagian lain menganggap hak tersebut dipicu dari gempa bumi di Bantul, Yogyakarta yang terjadi beberapa hari sebelum lumpur Sidoarjo meluap. Kedua contoh besar di atas hanyalah gambaran ekstrim dari kondisi-kondisi dilematis yang mempunyai kemungkinan besar untuk terjadi pada sengketa-sengketa di bidang lingkungan hidup. Pada ranah institusi, keragaman hasil penelitian ditanggapi oleh pemerintah secara kurang serius yang dapat diindikasikan dengan kenyataan bahwa hingga saat ini pemerintah hingga kini belum mempunyai aturan secara jelas mengenai institusi atau lembaga yang diberikan otorisasi untuk melakukan penelitian dengan hasil yang diakui secara normatif yuridis atau sekadar prasyarat suatu lembaga penelitian untuk dapat mempublikasikan hasil penelitian yang sedang dilakukan proses hukum di dalamnya. Hakim seperti halnya manusia pada umumnya, dalam membuat suatu putusan sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya yang berkembang di masyarakat mulai dari ekonomi, politik, sosial budaya hingga adanya opini publik yang berkembang. Aparat hukum dalam kondisi seperti ini dituntut untuk dapat berpikir progresif dan melepaskan diri dari pemikiran-pemikiran rasionalitas sederhana semata yang berlindung di balik keterbatasan pemahaman terhadap ilmu lingkungan. Berbagai strategi akan diusung oleh para pemilik modal dengan kepentingan ekonomi dalam rangka mendapatkan sarana pembenaran dalam setiap praktek pencemaran dan perusakan lingkungan yang terjadi. Berbekal asupan dana yang besar dan mengejar keuntungan JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 353 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 353 5/16/2012 5:08:17 PM jangka pendek semata, tentu para pelaku pencemaran lingkungan akan mudah untuk melakukan pendanaan penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu yang tidak bekerja secara obyektif dan mengedepankan fakta-fakta yang ada di lapangan secara nyata. Kondisi di atas menggambarkan titik singgung antara Good Science dan Bad Policy. Penelitian bidang ilmu idealnya menuju pada suatu titik kebenaran di muaranya. Dalam penelitian ilmu alam maka kondisi yang ada dituntut untuk digambarkan secara nyata dan bebas dari pengaruh variable-variabel dan nilai-nilai subyektifitas walaupun akan menanggung risiko yaitu mempunyai kurun waktu yang cukup lama untuk dapat dimengerti oleh masyarakat umum secara luas. Namun, pada saat suatu penelitian tidak mengindahkan ketentuan etis dan idealisme ilmu makin dapat diprediksi akan menyuguhkan suatu landasan berpikir yang mengundang ketidakpastian, ketidaktepatan dalam menentukan regulasi, menghasilkan kebijakan biaya tinggi dan berujung pada kesalahpahaman pada publik. Intinya seorang ilmuwan peneliti bertujuan mencari kebenaran tentang lingkungan empirisnya bukan mencari pembenaran. Jadi, jika seseorang mengaku dirinya seorang peneliti yang ingin menyenangkan kliennya dengan membenarkan kesimpulan kehendak kliennya bukan menghasilkan kesimpulan sesuai dengan fakta empiris yang diperoleh secara ilmiah, maka tentu saja yang bersangkutan bukanlah seorang peneliti ilmuwan. Ada pula yang mengaku melakukan penelitian dengan tujuan menyampaikan hasil temuan di lapangan atau bukti empiris yang telah dipilah-pilah sesuai dengan pendapat yang telah terbentuk sebelumnya (preconceived ideas). Tentu saja penelitian demikian tidak dapat disebut penelitian ilmiah dan peneliti dan/atau lembaga pendukungnya tidak dapat disebut memiliki integritas ilmiah. Pada sisi lain, Good Policy berada dalam posisi yang berseberangan dengan premis utama untuk dapat mengakomodir kepentingan dari stakeholder dan merumuskan dengan penuh pertimbangan nilai, opini dan preferensi yang berkembang. Sebagai jalan keluar dari kondisi di atas paling tidak terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan baik pada tataran penelitian ilmu lingkungan maupun dalam hubungannya dengan penegakan hukum lingkungan. Dalam ranah penelitian ilmu lingkungan, kondisi di atas dapat ditanggulangi dengan pendekatan konvensional seperti adanya keberadaan peer review dan pengaturan kode etik bagi peneliti secara konsisten dan berkelanjutan yang berfungsi sebagai instrumen verifikasi mengenai keabsahan suatu hasil penelitian yang valid baik dari segi keilmuan maupun metode yang digunakan dalam rangka mengungkapkan kebenaran ilmiah. Instrumen yang lebih modern dapat menggunakan pendekatan instrumen pengadilan sebagai institusi yang melakukan proses screening di persidangan terhadap hasil penelitian yang mempunyai pengakuan secara yuridis ataupun tidak. Merujuk pada aspek hukum lingkungan, upaya yang dapat ditempuh dalam menghindari adanya ketidakadilan ekologis yang bersumber dari lemahnya pemahaman dan sudut pandang 354 | JURNAL DES.indd 354 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:17 PM hakim dengan menggunakan perspektif hukum secara subyektif dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut: Pertama, dari sudut substansi pemahaman hukum lingkungan hendaknya dimaknai secara komprehensif yang tidak hanya berkutat pada kajian struktur dan konsep semata namun juga bertitik tolak sebagai suatu kesatuan proses eco management yang mengkaji secara utuh mulai dari managemen sumber daya, pengetahuan dasar di bidang ekosistem, hingga integrasi dengan pembangunan ekonomi. Kedua, aparat penegak hukum mulai dari korps kepolisian, kejaksaan hingga Mahkamah Agung perlu menyadari pentingnya pemahaman terhadap kaidah-kaidah dasar dalam ilmu lingkungan yang ditransformasikan baik dalam bentuk pelatihan, seminar atau pun dalam bentuk bahan bacaan. Selanjutnya, pemerintah selaku pelaksana kegiatan pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang mengatur keberadaan suatu lembaga tertentu yang memiliki otorisasi untuk melakukan penelitian terhadap ekosistem yang sedang diperiksa dalam proses hukum atau menetapkan prasyarat tertentu sebagai tolok ukur lembaga penelitian yang valid dan mengedepankan kaidah-kaidah ilmiah. Kondisi kebuntuan para jurist terhadap interpretasi bukti ilmiah serupa pernah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1997 yang melibatkan sengketa Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, yang kemudian menjadi milestone dalam menentukan suatu prasyarat ilmiah dalam melakukan penilaian bukti-bukti secara scientific di muka persidangan. Bersandar pada tolok ukur hakim sebagai gatekeeper, keterkaitan dan keandalan suatu penelitian, penelitian yang dilakukan secara ilmiah dengan metode yang ilmiah pula serta relevansi dari penelitian yang dilakukan dengan sengketa yang diadili menjadi panduan bagi majelis hakim untuk menentukan kelayakan suatu hasil penelitian dalam menjadi bukti persidangan. Terakhir, perguruan tinggi sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyandang tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi harus memberikan andil sebagai pioneer dan parameter utama dalam penyelenggaraan penelitian-penelitian yang memiliki tingkat validitas yang tinggi dengan kualitas penelitian yang juga terjamin secara ilmiah. Keberadaan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 yang mengatur mengenai sertifikasi hakim-hakim dalam menangani perkara lingkungan hidup, perlu terus diperkuat dengan komitmen yang kuat dari hakim yang ada. Di tengah isu tentang adanya pembagian kamar-kamar bagi hakim usaha ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam mewujudkan pengadilan khusus bagi perkara lingkungan sebagaimana ditemui di Australia dan New Zealand dengan mengkombinasikan pemahaman ilmu lingkungan dengan pemahaman hukum yang mengusung kepastian dan kemanfaatan. Beberapa metode lain juga dapat dimanfaatkan dalam mewujudkan keadilan lingkungan adalah dengan mengusung konsep amicus curiae yaitu suatu proses pro justicia yang dilakukan oleh sukarelawan di luar pihak yang berperkara namun memiliki pemahaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai kasus yang terjadi. Konsep yang berasal dari Hukum Perancis pada sekitar abad ke-9 (sembilan) ini sekarang kerap kali JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 355 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 355 5/16/2012 5:08:17 PM digunakan oleh pengadilan-pengadilan di negara bagian di Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah friends of the court dalam rangka mengadsorpsi nilai keadilan berkaitan dengan kasuskasus yang menuntut adanya pemahaman interdisipliner. IV. SIMPULAN Keberadaan putusan pengadilan seringkali dianggap sebagai representasi telah diakomodir atau tidaknya suatu nilai keadilan yang ada. Keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan, penilaian, dan pertimbangan. Karena itu, mekanisme kerjanya hukum kerap digambarkan sebagai suatu neraca keadilan. Putusan dari Pengadilan Negeri Medan yang menangani kasus dengan terdakwa AL ini seharusnya dapat lebih mengadsorpsi nilai keadilan di masyarakat. Dalam kondisi ini jelas bahwa lembaga peradilan berperan dalam mengaktualisasi nilai keadilan lingkungan tersebut dalam ruang pengadilan. Latar belakang majelis hakim menjadi tumpuan utama selain proses pembuktian yang easy listening di telinga para jurist dalam rangka mewujudkan keadilan ekologis yang hakiki. Aparat penegak hukum secara keseluruhan sistem peradilan mulai dari kepolisian hingga Mahkamah Agung harus menyadari adanya ketergantungan yang erat dan menuntut adanya kesamaan sudut pandang untuk mengetahui kebenaran yang ilmiah. Berbagai instrumen yang dapat menunjang hendaknya dimanfaatkan secara maksimal mulai dari pengembangan sumber daya manusia dengan pembekalan pengetahuan dasar di bidang lingkungan hingga regulasi yang menunjang proses interpretasi ilmiah dalam bahasa-bahasa normatif. Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang hukum mutlak perlu. Terlebih lagi, di era global seperti sekarang ini, dengan perubahan sosial yang begitu cepat, aparat penegak hukum harus tanggap dan melakukan penyesuaian diri dengan meningkatkan kemampuan. Adanya perbedaan penafsiran bunyi suatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang sama terhadap suatu konstruksi hukum akan sangat mendukung keberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan persepsi antar aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) harus dikembangkan sejak dini. Pembenahan paling dini dapat dimulai dari sistem rekrutmennya. Seperti yang kita ketahui, rekrutmen untuk jabatan-jabatan inti dalam hukum seperti hakim, jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukum yang sangat bervariasi mutunya. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa mereka yang melamar untuk jabatan hakim, maupun jaksa bukanlah lulusan yang terbaik. Seleksi pelamar terutama yang menyangkut tentang kemahiran, pengetahuan, dan kemampuan hukum tidaklah ketat. Bersandar pada adanya kesadaran interdependensi dan keinginan untuk saling mengisi satu sama lain dalam rangka kesempurnaan suatu kajian niscaya tugas yang diemban oleh ilmu hukum sebagai titik harapan nilai-nilai keadilan dapat terwujud. 356 | JURNAL DES.indd 356 Vol-IV/No-03/Desember/2011 | Simulacra Keadilan | JURNAL YUDISIAL 5/16/2012 5:08:17 PM DAFTAR PUSAKA Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2006. Lingkungan Hidup. Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan. Keraf, Sonny. 2006. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas. Rhiti, Hyronimus. 2006. Hukum Penyelesaian Sengeketa Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Universitas Atmajaya. ----------------------. 2005. Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Universitas Atmajaya. Riyanto, Budi. 2004. Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam. Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Salim, Emil. 1986. Pembangungan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. Siahaan, NHT. 2007. Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam. ------------------. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam. Sianturi, S.R. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Penerbit Alumni. Shidarta. 2007. Utilitarianisme. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara. -----------. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Bandung: Refika Aditama. Soemartono, Gatot P. 2004. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Soemarwoto, Otto. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. --------------------------. 2005. Menyinergikan Pembangunan dan Lingkungan. Yogyakarta: Percetakan Negeri. Sumacher, E. F. 1983. Small is Beautiful. Great Britain: Cox & Wayman Reading. Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. JURNAL YUDISIAL JURNAL DES.indd 357 | Simulacra Keadilan | Vol-IV/No-03/Desember/2011 | 357 5/16/2012 5:08:17 PM BIODATA PENULIS Dr. Shidarta, S.H., M.Hum., lahir di Pangkalpinang (1967). Saat ini ia adalah dosen program sarjana dan pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Lulusan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Katolik Parahyangan ini mengasuh beberapa mata kuliah, antara lain Filsafat Ilmu, Filsafat Hukum, Penalaran Hukum, dan Hukum Perlindungan Konsumen. Beberapa buku terkait bidang-bidang tersebut telah dipublikasikannya dalam ranah filsafat hukum, penalaran hukum, metode penelitian hukum, sosiologi hukum, dan perlindungan konsumen. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjadi anggota tim pakar penelitian dan salah seorang Mitra Bestari Jurnal Yudisial dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Komunikasi dengan yang bersangkutan dapat dilakukan melalui email: [email protected]. Ricca Anggraeni, S.H., M.H., lahir di Jakarta, 1 Mei 1985. Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Pancasila. Saat ini ia menjadi editor pada Jurnal Themis dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada Mata Kuliah Ilmu Perundang-Undangan dan Teori PerundangUndangan, juga sebagai assisten dalam Mata Kuliah Good Corporate Governance pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Tergabung dalam Pusat Kajian Ilmu Hukum Universitas Pancasila sebagai Assisten Peneliti. Publikasi yang telah diterbitkan antara lain: Kedudukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam Sengketa Tata Usaha Negara (Studi Kasus Putusan Nomor 75/G.TUN/2003/PTUN.JKT), dimuat dalam Jurnal Hukum Themis Edisi Volume II No. 1, Oktober 2008; Kaum Miskin dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, dimuat dalam Jurnal Perkotaan Edisi Volume 2 Nomor 2, Desember 2008; Penggunaan Hasil Penyadapan sebagai Alat Bukti Petunjuk dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi: Kajian Perkara Nomor 07/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST, dimuat dalam Jurnal Yudisial Edisi Volume III Nomor 2, Agustus 2010, diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Rifkiyati Bachri, S.H., M.H., lahir di Kupang 9 Maret 1982. Pengajar Pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP), selain itu juga menjabat sebagai Sekretaris dan Peneliti dalam Pusat Kajian Ilmu Hukum Universitas Pancasila FHUP dan Tim Redaksi Jurnal Hukum Themis FHUP. Menyelesaikan Pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada Tahun 2004 dan S2 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pancasila Kosentrasi Hukum Bisnis pada Tahun 2008. Sholahuddin Harahap, S.H., M.H., lahir di Kotapinang (SUMUT), tanggal 3 Februari 1956. Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Islam Bandung. Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. Sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 menjabat sebagai kepala Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum Universitas Islam Bandung. JURNAL DES.indd 358 5/16/2012 5:08:17 PM Stanislaus Atalim, adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta dengan jenjang kepangkatan akademik sebagai Lektor Kepala. Lulusan S-1 dan S-2 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Melani, S.H., M.H., lahir di Bandung, 24 Mei 1957, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan (Unpas) Bandung. Selain itu juga advokat yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI pada tanggal 20 Mei 1985. Menyelesaikan S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Pengalaman berorganisasi, sebagai aktivis LBH Bandung (1981-1997), Direktur LBH Bandung (1991-1997), Anggota Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) Bandung (1985). Pengurus Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Bandung (1985 -2002), Anggota Dewan Kehormatan IKADIN Bandung, (2003-2005), Ketua Dewan Penasihat IKADIN Bandung (2006-2007). Wakil Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jawa Barat (2008-sekarang). Aktivitas lainnya diantaranya, Working Group Restorative Justice kerjasama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar-UNICEF (2003-2004), Working Group dalam Program Uji Coba Model Restorative Justice di Kota Bandung, Kerjasama LPA JabarUNICEF (2005-2007), Pengajar Pendidikan Praktisi & Konsultasi Hukum Angkatan ke-1 dan ke-3 LPM UNPAD (2001/2003), Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat Kerjasama FHUNPAD dengan DPC IKADIN Bandung (2005), Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat KAI Jabar (2009-2010), dan menulis di jurnal hukum, majalah, serta surat kabar baik nasional maupun daerah. Deni Bram, S.H., M.H., lahir pada tanggal 3 Desember 1984. Pengajar mata kuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Pancasila. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Pancasila (2006), S2 Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila (2008), dan sedang melanjutkan Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Aktif sebagai peneliti di Pusat Kajian Ilmu Hukum (PKIH) Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Publikasi yang telah diterbitkan diantaranya adalah buku Hukum Lingkungan Internasional (Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara), dan “Optimization of Multidisiplinary Approach In Environmental Research for Supporting Environmental Law Enforcement”, Universitas Mercu Buana, International Seminar Proceeding. JURNAL DES.indd 359 5/16/2012 5:08:17 PM