cover jurnal Desember 2011.cdr

advertisement
JURNAL
YUDISIAL
Vol-IV/No-03/Desember/2011
Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat
Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685
email : [email protected]
SIMULACRA KEADILAN
MEMBIDIK PENALARAN HAKIM DI BALIK SKOR
"KOSONG-KOSONG" DALAM KASUS PRITA MULYASARI
Kajian Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010,
Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara
PENGUSUNGAN POLA PIKIR POSITIVISME HUKUM
DALAM PERKARA KORUPSI
Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW
Ricca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila
PERGULATAN PEMAKNAAN PASAL 2 DAN 3 UUPTPK
Kajian Putusan Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL
Rifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila
KANDASNYA KRIMINALISASI PERKARA PERDATA MURNI
Kajian Pustaka Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst
Sholahuddin Harahap, Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
PERSPEKTIF MORALITAS DALAM PERKARA ABORSI
Kajian Putusan Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT
S. Atalim, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara
"UNDUE PROCESS OF LAW" DALAM PERKARA PIDANA
PERJUDIAN DENGAN TERDAKWA ANAK
Kajian Putusan Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG
Melani, Fakultas Hukum Universitas Pasundan
RELASI PEMAHAMAN HAKIM DAN KUALITAS PUTUSAN
DALAM KASUS PIDANA LINGKUNGAN
Kajian Putusan Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn
Deni Bram, Fakultas Hukum Universitas Pancasila
JY I VOL - IV/NO-03/DESEMBER/2011 I HLM. 251-357 I JAKARTA I ISSN 1978-6506
VOL-IV/NO-03/DESEMBER/2011
I
JURNAL DES.indd 1
5/16/2012 5:08:12 PM
DISCLAIMER
J
urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan
oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap
awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten.
Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas
hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur,
dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi
Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan
pedoman perilaku hakim.
Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik
Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang
dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas
kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan
Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.
Alamat Redaksi:
Gedung Komisi Yudisial Lantai 3
Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat
Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215
Email: [email protected]
II
JURNAL DES.indd 2
5/16/2012 5:08:12 PM
DAFTAR ISI
Membidik penalaran hakim
di balik skor “kosong-kosong”
dalam kasus Prita Mulyasari ..........................................
kajian Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010,
Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara
251
Pengusungan pola pikir
positivisme hukum
dalam perkara korupsi ....................................................
Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW
Ricca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila
262
pergulatan pemaknaan
pasal 2 dan 3 UUPTPK ...........................................................
Kajian Putusan Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL
Rifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila
KANDASNYA KRIMINALISASI
PERKARA PERDATA MURNI .....................................................
Kajian Pustaka Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst
Sholahuddin Harahap, Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
Persfektif Moralitas
dalam Perkara Aborsi .......................................................
kajian Putusan Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT
S. Atalim, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara
279
293
308
“UNDUE PROCESS OF LAW”
DALAM PERKARA PIDANA
PERJUDIAN DENGAN TERDAKWA ANAK ................................
Kajian Putusan Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG
Melani, Fakultas Hukum Universitas Pasundan
324
Relasi pemahaman hakim
dan kualitas putusan
dalam kasus pidana lingkungan ....................................
Kajian Putusan Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn
Deni Bram, Fakultas Hukum Universitas Pancasila
339
III
JURNAL DES.indd 3
5/16/2012 5:08:12 PM
PENGANTAR
“SIMULACRA KEADILAN”
Simulacra adalah dunia yang di dalamnya ditampilkan sifat kepura-puraan.
Dunia yang penuh dengan topeng, kedok dan make up. Ada terdakwa pura-pura,
pengadilan pura-pura, dan keadilan pura-pura. Cara-cara penyelesaian hukum
serba palsu dan serba semua memperlihatkan bahwa sesungguhnya lembaga
hukum tepatnya aparat hukum sudah tenggelam di dalam dunia virtualitas dan
perversalitas. Ada yang tersajikan tak lebih dari wacana-wacana hukum yang
semu, the virtual law, keadilan yang palsu, the virtual justice.
K
alimat di atas disadur dari salah satu aline buku Hantu-hantu Politik dan
Matinya Sosial, karya Yasraf Amir Piliang. Kalimat tersebut mengambarkan
apa yang dinamakan SIMULACRA. Simulacra berasal dari bahasa latin
simulacrum yang berarti “rupa dan kesamaan” untuk menggambarkan representasi dari
fakta yang terjadi dihadapan mata yang sebenarnya bertolak belakang.
Simulacra dicetuskan pertama kali oleh Jean Baudrillard, salah seorang filosof Perancis.
Jean mengacu pada teori hyper-reality dan simulation. Simulasi yang mencitrakan
sebuah realitas dan pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Singkat
kata simulasi adalah realitas semu (hyper-reality).
Secara sederhana simulacra dilustrasikan bahwa konstruksi-konstuksi kebenaran yang
bersifat fiktif, retoris dan palsu. Kondisi itu telah mengambil alih fakta kebenaran
formil dan materiil melalui kata atau simbol. Simbol-simbol yang diagung-agungkan
itu sebagai ilusi alam bawah sadar yang justru mengungkapkan fakta sesungguhnya.
Dalam dunia hukum, simulacra adalah dunia semu yang dibentuk oleh permainan
citra dan retorika serta trik pengelabuhan. Di dalam simulacra berlangsung permainan
hukum sebagai wacana semata yang diperdebatkan oleh aparat hukum, politisi, hingga
akademisi. Di sini tercipta sebuah arena permainan terhadap hukum dan undangundang.
Arena itu penuh dengan permainan bahasa hukum, permainan kata-kata, simbol dan
makna. Muara dari permainan itu untuk mengatakan sesuatu itu benar-salah, baik-buruk,
moral-amoral. Kata-kata seperti akan diselidiki, akan diusut tuntas, akan dilakukan
penyelidikan menyeluruh, dan akan memberikan keadilan yang seadil-adilnya adalah
contoh dari permainan simulacra.
Kalimat-kalimat dalam simulacra sungguh sangatlah menenangkan. Sayang, itu
hanyalah ilusi yang berkiblat arah yang berbeda dari sesungguhnya. Justru kalimat itu
menjauhkan dari makna yang sebenarnya yang berintikan pada keadilan.
IV
JURNAL DES.indd 4
5/16/2012 5:08:12 PM
Simbol Langit
Keadilan adalah kebutuhan kolektif yang diimpikan semua orang atas sesuatu yang sesuai dengan
hak-haknya. Keadilan berasal kata benda dari kata dasar ADIL yang bersumber dari Bahasa Arab
‘ADALA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, adil bermakna sama berat, tidak berat sebelah,
tidak memihak, berpihak yang benar, berpegang pada kebenaran, tidak sewenang-wenang, dan
sepatutnya. Sementara menurut Black’s Law Dictionary, adil atau fair bermakna impartial, free of
bias of justice, just, dan equitable.
Keadilan adalah tujuan tertinggi dalam hukum maka tidak berlebihan apabila dikatakan hukum menjadi
alat dan sarana untuk mewujudkan keadilan. Hukum dan keadilan kadang tidak selalu sejalan karena
keadilan sebagai nilai tidak mudah diwujudkan dalam hukum. Keadilan sarat dengan nilai abstrak,
irrasionalitas dan tidak selalu diterjemahkan dalam pasal-pasal hukum. Meski demikian, kepastian
hukum adalah bagian dan dibutuhkan sebagai upaya menegakkan keadilan.
Keadilan merupakan simbol langit dan kalimat Tuhan yang senantiasa menebarkan kebaikan. Banyak
firman Tuhan yang mewajibkan manusia untuk senantiasa bersikap adil termasuk hakim dengan
putusannya. Maka, keadilan yang merupakan inti putusan pengadilan harus diwujudkan secara
substantif dan atributif. Bagaimana apabila pengadilan tanpa keadilan? Tanpa keadilan, pengadilan
bukan lagi tempat untuk memeriksa dan memutuskan sebuah perkara. Nilai sakralitas pengadilan
yang sarat dengan nilai-nilai Tuhan telah sirna.
Merujuk pada deskripsi di atas, Jurnal Yudisial edisi ini mengambil tema tentang SIMULACRA
KEADILAN. Simulacra dan Keadilan adalah dua kata yang memiliki dua makna berbeda. Satu sisi
Simulacra adalah simbol dan kamuflase dari impian yang penuh dengan ilusi, dan sisi yang lain
keadilan adalah cita-cita ideal yang hendak diwujudkan manusia.
Beberapa kasus di edisi ini memperlihatkan hal-hal yang kontradiktif antara harapan dan fakta yang
mengusik rasa keadilan, kemanusiaan dan keadilan. Tema itu menjadi edisi penutup jurnal edisi
terakhir di tahun 2011 yang terbit pada Desember 2011.
Sebagai penutup, sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial, kami mengucapkan terima kasih Ketua
Komisi Yudisial Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H., dan Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial
Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si., atas dukungan terhadap penerbitan jurnal ini. Tak lupa terima kasih
juga kami ucapkan kepada para Mitra Bestari dan pihak-pihak lain yang membantu proses penerbitan
hingga hadir di hadapan Anda.
Tertanda
Pemimpin Redaksi
V
JURNAL DES.indd 5
5/16/2012 5:08:12 PM
PEDOMAN PENULISAN
Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court
decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik
dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.
I.
FORMAT NASKAH
Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila
ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di
luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan
dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris.
Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman
(sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font)
Times New Roman berukuran 12 poin.
Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.
II.
SISTEMATIKA NASKAH
Judul naskah
Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman
14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di
tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital,
ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:
PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT
DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU
Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG
Nama dan identitas penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal
dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni
nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi!
Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua
keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah
margin. Contoh:
Mohammad Tarigan
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta
11440,
email [email protected].
VI
JURNAL DES.indd 6
5/16/2012 5:08:12 PM
Abstrak
Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang
abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords)
sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.
III. PENDAHULUAN
Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum
(posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.
IV. RUMUSAN MASALAH
Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab
nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk
pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab
sebelumnya.
V.
STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui
bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga
hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka
tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian
berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus,
yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita
porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.
VI. KESIMPULAN
Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.
PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA
Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note)
dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya
adalah sebagai berikut:
Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...
Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);
Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);
Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).
Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata
VII
JURNAL DES.indd 7
5/16/2012 5:08:12 PM
cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:
Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York:
St. Martin’s Press.
Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral
Problems. New Jersey: Prentice-Hall.
Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://
www.library.cornell.edu/resrch/intro>.
PENILAIAN
Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting.
Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan
terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak
mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
CARA PENGIRIMAN NASKAH
Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:
[email protected]
dengan tembusan ke:
[email protected] dan [email protected].
Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):
Nur Agus Susanto (085286793322);
Dinal Fedrian (085220562292); atau
Arnis (08121368480).
Alamat redaksi:
Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta
Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.
VIII
JURNAL DES.indd 8
5/16/2012 5:08:12 PM
MITRA BESTARI
Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesarbesarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap
naskah Jurnal Yudisial Edisi April 2011, Agustus 2011, dan Desember 2011.
Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
2.
Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum.
3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum.
4. Prof. Dr. Paulus Hadi S., S.H., M.H.
5. Prof. Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum.
6. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H.
7. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., LL.M.
8. Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M.
9.
Barkah, S.H., M.H.
10.
Dr. Widodo Dwi Putro,S.H., M.H
IX
JURNAL DES.indd 9
5/16/2012 5:08:12 PM
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab
: Muzayyin Mahbub.
Pemimpin Redaksi : Patmoko
Penyunting/Editor
: 1. Hermansyah
2. Onni Roeslani
3. Heru Purnomo
4. Imron
5. Asep Rahmad Fajar
6. Suwantoro
Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian
Sekretariat
: 1. Sri Djuwati
2. Yuni Yulianita
3. Romlah Pelupessy.
4. Ahmad Baihaki
5. Arif Budiman.
6. Adi Sukandar
7. Aran Panji Jaya
8. Nur Agus Susanto
Desain Grafis & Fotografer
JURNAL DES.indd 10
Arnis Duwita : Widya Eka Putra
5/16/2012 5:08:12 PM
MEMBIDIK PENALARAN HAKIM
DI BALIK SKOR “KOSONG-KOSONG”
DALAM KASUS PRITA MULYASARI
Kajian Putusan Nomor 300 K/Pdt /2010
Shidarta
Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta
email [email protected]
Abstract
The case of Prita Mulyasari versus Omni International Hospital et al. is one of attractive legal
problems happened in the last three years. In the context of private legal action, the Supreme
Court had declared Prita was not guilty to spread her email because expressing somebody’s
feeling through personal and restricted communication media is not considered unlawful. On the
other hand, any claim of malpractice should be proved by the claimant. According to the court’s
ruling, Prita failed to establish the evidences in order to support her statement. The court also
relied on the assessment of malpractice to the Indonesian Medical Doctor Ethics Board. Such
ways of thinking are the focuses of analysis in this article. The author believes there are some
fallacies of legal reasoning occurred in this court decisio
Keywords: legal reasoning, tort, malpractice, ethics
ABSTRAK
Kasus Prita Mulyasari melawan Omni International Hospital dkk adalah sebuah perkara hukum
yang menarik perhatian publik dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Dalam kasus perdata,
MA menyatakan Prita tidak bersalah menyebarluaskan surat elektroniknya karena perbuatan
mengungkapkan persaan seseorang melalui media komunikasi pribadi dan terbatas bukanlah
perbuatan melawan hukum. Pada sisi lain, gugatan malpraktik yang diajukan Prita haruslah
dibuktikan oleh si penggugat. Menurut majelis hakim kasasi, Prita gagal membuktikan gugatannya
itu. Pengadilan juga mengandlkan penilaian malpraktik ini pada Majelis Kehormatan Dokter
Indonesia. Artikel ini memfokuskan perhatiannya pada cara hakim bernalar atas kasus ini. Penulis
menemukan sejumlah kesesatan penalaran dalam putusan ini.
kata kunci: penalaran hukum, perbuatan melawan hukum, malpraktik, etika.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 251
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 251
5/16/2012 5:08:12 PM
I.
PENDAHULUAN
Kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni International Hospital dan sejumlah
dokter di rumah sakit itu, telah menuai perhatian publik yang sangat luas. Ada dua perkara dari
kasus ini yang berjalan secara bersamaan, yakni perkara pidana dan perdata. Hasilnya sama-sama
sudah diketahui oleh publik. Terdapat divergensi dalam penjatuhan putusan dari kedua perkara
yang berujung di Mahkamah Agung ini.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membandingkan kedua putusan (perdata dan pidana)
tersebut. Tulisan ini akan memfokuskan pada dimensi perdata yang putusannya telah berkekuatan
hukum tetap sejak ditetapkan melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pdt/2010. Terlepas
putusan ini konon mendapat apresiasi publik, ada hal-hal menarik yang sebenarnya patut direnungkan
di balik pertimbangan hukum dan amar putusan yang dipilih oleh majelis hakim tersebut. Oleh
karena kasus ini sudah menjadi diskursus publik dan sudah berkekuatan hukum tetap, dipandang
tidak cukup bermanfaat untuk membuat singkatan inisial nama-nama para pihak yang terlibat
dalam kasus ini. Hanya beberapa nama dokter yang tidak terkait sebagai para pihak dalam kasus
ini, dicantumkan sebagai nama inisial.
Garis-garis besar pandangan penulis dalam artikel ini sebelumnya juga pernah diajukan
sebagai salah satu analisis terhadap sekian banyak putusan pilihan Mahkamah Agung dalam
laporan penelitian putusan tahun ini. Analisis tersebut terkait dengan penelitian profesionalisme
hakim (program Komisi Yudisial tahun 2011). Namun, patut dicatat bahwa substansi kajian ini
sepenuhnya berangkat dari sudut pandang penulis sepenuhya dan tidak mewakili pandangan
kelembagaan Komisi Yudisial.
Kasus Prita sendiri sebenarnya sudah cukup dikenal masyarakat karena mendapat liputan
media massa secara luas. Kasus ini bermula pada malam tanggal 7 Agustus 2008, ketika Prita
Mulyasari (selanjutnya disingkat Prita) datang ke layanan Unit Gawat Darurat RS Omni dan
ditangani dr. IPA (nama inisial) dengan keluhan panas selama beberapa hari, kepala berat, mual,
muntah, lemas, dan sakit tenggorokan. Menurut dr. IPA, hal ini merupakan indikasi dari penyakit
demam berdarah, tipus, dan infeksi virus. Atas keluhan itu dr. IPA melakukan pemeriksaan medis
secara umum (general) dan menginstruksikan petugas laboratorium RS Omni untuk melakukan
pemeriksaan penunjang, di antaranya pemeriksaan darah. Petugas laboratorium memberitahu
hasil pemeriksaan ini secara lisan kepada dokter bahwa trombosit Prita 27.000/ul (mikroliter);
normalnya 200.000/ul. Menurut pihak RS Omni, petugas laboratorium ini tidak yakin dengan
pemeriksaan awal ini karena masih terdapat bekuan darah. Petugas laboratorium menyarankan
pemeriksaan darah ulang.
Dr. IPA meminta izin Prita melakukan pemeriksaan ulang. Prita setuju dengan permintaan
ini. Pada saat pengambilan darah waktu pemeriksaan ulang ini, tubuh Prita belum dipasang
infus. Oleh karena kondisi Prita lemah, sakit ulu hati, mual, dan tidak ada nafsu makan, dr. IPA
252 |
JURNAL DES.indd 252
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:12 PM
menyarankan Prita dirawat inap. Baru setelah itu, terhadap Prita diberikan cairan infus. Prita
dimasukkan ke dalam kamar 409.2 lantai 4 B RS Omni.
Keesokan harinya, seorang dokter bernama dr. Henky Gozal memberitahu hasil tes
laboratorium kedua (ulangan) bahwa trombosit Prita 181.000/ul, dan selanjutnya dilakukan
tindakan medis (terapi pengobatan). Menurut pihak Prita, sebelum pemeriksaan kedua (versi
RS) ini sebenarnya ada pemeriksaan ulang yang hasilnya pun sama dengan pemeriksaan lab
sebelumnya yaitu trombosit 27.000/ul. Atas dasar itu, Prita langsung diinfus dan diberikan
suntikan tanpa penjelasan dan tanpa izin Prita/keluarganya. Baru pada tanggal 8 Agustus 2008
ada pemberitahuan bahwa RS merevisi hasil lab, yaitu bukan 27.000/ul melainkan 181.000/ul.
Sewaktu ditanya, pihak RS mengatakan Prita mengalami demam berdarah. Selanjutnya, kembali
Prita diberikan berbagai macam suntikan dan infus sehingga lengan kiri dan leher serta matanya
mengalami pembengkakan. Prita minta supaya infus dan suntikan dihentikan. Prita ditangani
dokter pengganti. Suhu tubuh Prita 39 derajat Celcius.
Dua hari kemudian, yaitu tanggal 9 Agustus 2008, menurut Prita, dokter baru datang sore
harinya, dengan memberi instruksi kepada suster agar suntikan tetap diberikan. Waktu ditanya
kejelasan penyakitnya, dokter menjelaskan selain demam berdarah, pasien juga terkena virus
udara. Infus kembali diberikan. Malam harinya, Prita disuntik dua ampul sekaligus. Setelah itu,
Prita sesak napas sehingga diberikan bantuan oksigen selama 15 menit.
Pada tanggal 12 Agustus 2008, Prita sudah dirawat inap selama lima hari di RS Omni.
Menurut dokter, kondisinya sudah membaik (tidak demam, tidak mual, nafsu makan membaik).
Menurut pihak RS Omni, Prita minta izin pulang, tetapi sebaliknya, menurut Prita, dirinyalah
yang justru minta pulang paksa. Menurut beberapa dokter yang menanganinya (kemudian menjadi
para penggugat) menyampaikan ada temuan gejala penyakit gondongan (MUMP/parotitis).
RS menyatakan, mereka mengizinkan Prita pulang dengan catatan harus melakukan terapi
lebih lanjut atas virus gondongan yang baru ditemukan. Menurut pihak RS, setelah itu Prita mulai
menunjukkan sikap marah-marah dengan alasan ia tidak puas dengan pelayanan perawatan RS
dan dr. Henky Gozal. Lalu, dr. Grace Hilda selaku penanggung jawab komplain RS menyarankan
agar Prita mengisi lembar “masukan dan saran” mengenai ketidakpuasannya. Pengisian ini
sudah dilakukan. Menurut pihak Prita, temuan penyakit gondongan/MUMPS itu adalah temuan
setelah Prita dirawat di RS International Bintaro. Prita justru merasa belum sembuh sebagaimana
terlihat pada kondisi kedua tangan, kedua mata, dan leher bengkaknya yang bengkak, serta ia
menderita demam. Prita memutuskan untuk keluar dari RS Omni dan melanjutkan perawatan
di RS International Bintaro. Untuk melanjutkan perawatan di RS lain, Prita memerlukan rekam
medis pada RS Omni, tetapi RS ini tidak bersedia memberikan hasil pemeriksaan laboratorium
(terkait trombosit 27.000/ul) yang merupakan hak pasien. Prita kemudian dirawat di RS Bintaro
yang mendiagnosisnya menderita penyakit gondongan yang telah parah karena membengkak.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 253
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 253
5/16/2012 5:08:12 PM
Apabila penanganannya terlambat, dapat menyebabkan pembengkakan pankreas dan kista. Baru
satu hari dirawat di RS Bintaro ini, Prita justru sudah dinyatakan sembuh dan boleh pulang.
Pada tanggal 15 Agustus 2008, Prita membuat surat elektronik terbuka pada situs
[email protected] dengan judul “Penipuan OMNI International Hospital Alam
Sutera Tangerang”. Surat elektronik ini kemudian disebarluaskan ke berbagai alamat email.
Dalam email tersebut ada kata-kata yang ditulis Prita, yang menurut pihak RS Omni sebagai bukti
telah terjadinya perbuatan melawan hukum. Kata-kata yang dianggap tendensius itu adalah: (1)
Penipuan OMNI International Hospital Alam Sutera Tangerang; (2) Manajemen Omni pembohong
besar semua; (3) Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan
RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini; (4) Tanggapan dr. Grace
yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional sama sekali;
dan (5) Tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer.
Rupanya surat elektronik Prita ini cepat tersebar luas. Belum berselang waktu satu bulan,
tulisan Prita telah beredar luas di jaringan komunikasi dunia maya. Atas perkembangan ini, pada
tanggal 5 September 2008, RS Omni mengadukan Prita ke pihak kepolisian dengan tuduhan
pencemaran nama baik. Pada saat bersamaan, RS Omni juga menyampaikan pengumuman
(bantahan) di harian Media Indonesia. Tiga hari kemudian, RS Omni memuat pengumuman
serupa di harian Kompas.
Selain melakukan laporan tindak pidana, PT Sarana Mediatama Internasional (pengelola
RS Omni), dr. Henky Gozal, dan dr. Grace Hilza Y.N. juga mengajukan gugatan perdata kepada
pihak Prita dengan dasar perbuatan melawan hukum. Perkara ini kemudian bergulir di Pengadilan
Negeri Tangerang, yang memutuskan perkara perdata dengan amar putusan (Putusan Nomor 300/
Pdt.G/2008/PN.TNG tanggal 11 Mei 2009) yang intinya “memenangkan” pihak penggugat (RS
Omni dkk). Pada saat kasus perdata ini diputus, laporan pidana di atas belum ditindaklanjuti
sampai pada putusan in kracht.
Patut dicatat bahwa menurut pihak RS Omni, pernah ada rapat Komite Medik, yang hasilnya
menyimpulkan bahwa dalam kasus ini tidak ada penyimpangan dalam standard operation procedure
dan tidak ada penyimpangan dalam etik. Tidak jelas dalam paparan putusan MA ini apakah rapat
Komite yang dimaksud sama dengan rapat MKDI, yang tertuang dalam Surat Keputusan Majelis
Kehormatan Dokter Indonesia No. 130/Kep/MK/DKI/V/2010. Jika benar sama, dengan mengacu
ke nomor surat tersebut, berarti rapat baru dilakukan sekitar Mei 2010.
Prita mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Tangerang ini. Pengadilan Tinggi
Banten memutuskan perkara tingkat banding (Putusan Nomor 71/Pdt/2009/PT.BTN tanggal 8
September 2009) dengan amar yang intinya tetap “memenangkan” RS Omni dkk. Prita mengajukan
permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Banten tersebut. Pemohon kasasi adalah Prita
Mulyasari melawan PT Sarana Mediatama Internasional sebagai pengelola pelayanan kesehatan
254 |
JURNAL DES.indd 254
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:12 PM
bernama Omni International Hospital Alam Sutera bersama dengan dua orang dokter yang bekerja
di rumah sakit tersebut, yaitu dr. Hengky Gozal, Sp.Pd. dan dr. Grace Hilza Yarlen Nela.
Mahkamah Agung memutuskan perkara tingkat kasasi yang intinya seolah-olah
“memenangkan” pihak Prita Mulyasari (Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010 tanggal 29 September
2010). Putusan ini mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi, membatalkan putusan
PT Banten yang memperbaiki putusan PN Tangerang. Mahkamah Agung juga mengadili sendiri:
(1) dalam konpensi: (dalam eksepsi) menolak eksepsi tergugat; dan (dalam pokok perkara) menolak
gugatan penggugat untuk seluruhnya; (2) dalam rekonpensi: menolak gugatan rekonpensi untuk
seluruhnya; menghukum para termohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua
tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp500 ribu.
Amar putusan seperti yang disampaikan oleh majelis hakim Mahkamah Agung menarik
untuk dicermati. Amar putusan memang di satu sisi mengabulkan permohonan kasasi Prita, tetapi
di sisi lain tidak juga “menghukum” RS Omni dkk. Dapat dikatakan, ibarat pertandingan sepak
bola, perjalanan kasus ini berakhir pada skor imbang kosong-kosong. Skor ini dapat dimaknai
bahwa baik tindakan yang dilakukan oleh Prita (menulis surat keluhan yang dinilai melawan
hukum oleh pihak RS Omni) maupun tindakan RS Omni (memberi rangkaian layanan medik
tertentu yang juga dinilai melawan hukum oleh pihak Prita), oleh majelis hakim sama-sama
diposisikan sebagai perbuatan konkret biasa.
Kedua peristiwa itu dinyatakan tidak terbukti, yang berarti keduanya adalah bukan perbuatan
hukum. Sesuatu perbuatan yang bukan perbuatan melawan hukum berarti perbuatan keduanya
adalah perbuatan yang tidak memiliki akibat hukum. Cara melihat persoalan yang ditunjukkan
oleh majelis hakim perkara perdata ini ternyata sangat kontras dengan perkembangan pada
perkara pidana untuk kasus ini. Dalam perkara pidana di tingkat kasasi, Prita dinyatakan bersalah.
Artinya, dalam konteks pidana, perbuatan Prita sebenarnya merupakan perbuatan hukum. II. RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana dinyatakan dalam bagian pendahuluan di atas, analisis tulisan ini tidak
diarahkan untuk membandingkan kedua putusan dalam kedua perkara (perdata dan pidana).
Juga tidak akan difokuskan pada perdebatan terkait konsep-konsep perbuatan melawan hukum.
Kajian akan diarahkan pada Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010, dengan mempersoalkan konstruksi
penalaran hukum hakim di balik skor “kosong-kosong” yang dijatuhkan oleh majelis kasus ini.
Kendati konsep-konsep perbuatan melawan hukum tidak menjadi sorotan utama dalam
kasus ini, tidak dapat dihindari bahwa rumusan pertanyaan tersebut tidak dapat lepas dari isu
tersebut. Sebagaimana luas dipahami, sejak tanggal 31 Januari 1919 (Arrest Lindenbaum vs.
Cohen), kata “hukum” dalam onrechtmatige daad sudah ditafsirkan tidak lagi sekadar onwetmatige
daad. Perbuatan melawan hukum adalah juga berarti perbuatan yang memenuhi salah satu kriteria
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 255
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 255
5/16/2012 5:08:12 PM
berikut, yaitu: (1) melanggar hak orang lain, (2) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat,
(3) bertentangan dengan kesusilaan yang baik, dan/atau (4) bertentangan dengan kepatutan yang
terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain (Setiawan, 1991: 12). Gerakan
“koin untuk Prita” jelas menunjukkan ada kegalauan sedemikian luas di dalam masyarakat kita
terhadap perilaku salah satu pihak dalam kasus ini, dan hal itu tentu mengindikasikan satu atau
beberapa kriteria di atas telah terjadi di dalam kasus ini.
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pdt/2010 tidak semua pertimbangan
yang diajukan para pihak dipertimbangkan satu demi satu oleh majelis. Mahkamah Agung
menyimpulkan Pengadilan Tinggi Banten (judex facti) telah salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan cukup singkat sebagai berikut:
a.
Bahwa pengungkapan suatu perasaan tentang apa yang dialami tidak dapat dikatakan
perbuatan melawan hukum, karena ungkapan tersebut hanya berupa keluhan;
b.
Bahwa berita yang dikirim oleh tergugat melalui email kepada teman-temannya tidak
dapat dikategorikan sebagai maksud untuk menghina karena hal tersebut hanya merupakan
keluhan tergugat kepada teman-temannya;
c.
Bahwa berdasarkan fakta, pemohon kasasi dirawat inap di Omni Internasional Hospital
dari tanggal 7 Agustus 2008 s.d. 12 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi dan kepala
pusing;
d.
Bahwa selama dirawat, pemohon kasasi telah memperoleh tindakan medis, tetapi bukan
kesembuhan yang diterima, tetapi justru mengakibatkan kondisi kedua tangan, kedua mata,
leher bengkak serta demam dan akhirnya pemohon kasasi memutuskan untuk keluar dan
melanjutkan perawatan di RS International Bintaro;
e.
Bahwa kejadian dan pengalaman yang dialami oleh pemohon kasasi, diceritakan kepada
kawan-kawannya melalui email yang merupakan media komunikasi yang bersifat pribadi
dan tertutup yang tidak setiap orang dapat mengaksesnya;
f.
Bahwa kasus/gugatan para termohon kasasi terhadap pemohon kasasi terkait dengan
perkara pidana No. 1269/Pid.B/2009/PN TNG. Pemohon kasasi/terdahulu tergugat telah
didakwa melakukan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau
mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan/pencemaran nama baik, melanggar
Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sebagaimana
dirumuskan dalam dakwaan kesatu, dakwaan kedua, dan dakwaan ketiga;
256 |
JURNAL DES.indd 256
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:12 PM
g.
Bahwa atas dakwaan JPU tersebut PN Tangerang telah menjatuhkan putusan tanggal 22
Desember 2008 (seharusnya 2009) No. 1269/Pid.B/2009, di mana terdakwa Prita Mulyasari
(pemohon kasasi) dinyatakan tidak terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana
dakwaan JPU. Karena itu, pemohon kasasi selaku terdakwa dinyatakan bebas dari segala
dakwaan;
h.
Bahwa dengan demikian, secara pidana tidak terbukti adanya pencemaran nama baik dan
dalam perkara ini dalil gugatan penggugat/pemohon kasasi mengisi “masukan dan saran”
serta menggunakan alamat email pemohon kasasi dengan surat elektronik terbuka pada
[email protected] dan pemberitahuan pemohon kasasi kepada kawankawannya adalah masih dalam batas kewajaran dan bukan merupakan perbuatan melawan
hukum, hal mana sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin bahwa setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia;
i.
Bahwa dengan demikian apa yang dilakukan oleh pemohon kasasi terhadap para termohon
kasasi tidak memiliki itikad buruk untuk melakukan penghinaan terhadap para termohon
kasasi, karena hal itu merupakan kejadian nyata yang dialami langsung oleh pemohon
kasasi dan pula pemohon kasasi tidak dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan
hukum atau melanggar asas kepatutan, karena tidak nyata adanya maksud untuk menyerang
pribadi dan apa yang diberitahukan oleh pemohon kasasi kepada teman-temannya tersebut
berkaitan dengan masalah pelayanan medis yang diberikan oleh para pemohon kasasi;
j.
Bahwa oleh karena dalam putusan pidana terdakwa Prita Mulyasari dinyatakan bebas, maka
putusan pengadilan tinggi dalam perkara ini (maksudnya Putusan Pengadilan Tinggi Banten
No. 71/Pdt/2009/PT.BTN) yang telah menguatkan putusan pengadilan negeri adalah salah
dalam menilai dan mempertimbangkan fakta hukum serta salah dalam menerapkan hukum,
oleh karena itu berdasarkan pertimbangan di atas, putusan judex facti harus dibatalkan;
k.
Bahwa tentang gugatan rekonpensi dari pemohon kasasi yang dinyatakan ditolak karena
pemohon kasasi tidak dapat membuktikan adanya malpraktek dari para termohon kasasi,
hal ini sesuai dengan Keputusan Majelis Kehormatan Dokter Indonesia No. 130/Kep/
MK/DKI/V/2010 yang menyatakan tidak ditemukan pelanggaran disiplin kedokteran
dalam melakukan pemeriksaan medis pada pasien (pemohon kasasi), karenanya gugatan
rekonpensi harus dinyatakan ditolak;
l.
Bahwa dengan demikian, perbuatan pemohon kasasi tidak memenuhi kriteria melawan
hukum yang menimbulkan kerugian pada pihak termohon kasasi, oleh karenanya gugatan
para penggugat harus dinyatakan ditolak.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 257
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 257
5/16/2012 5:08:12 PM
Dua belas butir di atas merupakan keseluruhan pertimbangan yang disampaikan oleh
Mahkamah Agung. Jika disusun dalam bentuk rangkaian pertimbangan di atas, sebenarnya akan
tampak dua runtutan silogisme sebagai berikut:
P r e m i s
mayor
Semua keluhan berupa ungkapan perasaan atas apa yang dialami melalui
media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup adalah bukan perbuatan
melawan hukum dengan maksud untuk menghina/mencemarkan nama
baik.
P r e m i s
minor
Tindakan Prita menceritakan kejadian tidak menyenangkan saat dirawat
di RS Omni via email kepada rekan-rekannya selama dirawat di RS Omni
adalah keluhan berupa ungkapan perasaan atas apa yang dialami melalui
media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup.
Konklusi
Tindakan Prita menceritakan kejadian tidak menyenangkan saat dirawat
di RS Omni via email kepada rekan-rekannya selama dirawat di RS Omni
adalah bukan perbuatan melawan hukum dengan maksud untuk menghina/
mencemarkan nama baik.
Silogisme berikutnya adalah sebagai berikut:
Premis mayor
Semua pernyataan malpraktek yang dapat dibuktikan oleh pemohon
klaim dan dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Dokter Indonesia
adalah perbuatan melawan hukum dalam disiplin kedokteran melakukan
penatalaksanaan medis pada pasien.
Premis minor
Gugatan Prita atas perilaku RS Omni yang telah memberi tindakan medis
dengan mengakibatkan kondisinya memburuk adalah bukan pernyataan
malpraktek yang dapat dibuktikan oleh pemohon klaim dan dibenarkan
oleh Majelis Kehormatan Dokter Indonesia.
Konklusi
Gugatan Prita atas perilaku RS Omni yang telah memberi tindakan medis
dengan mengakibatkan kondisinya memburuk adalah bukan perbuatan
melawan hukum dalam disiplin kedokteran melakukan penatalaksanaan
medis pada pasien.
Premis mayor yang dibangun: “Semua keluhan berupa ungkapan perasaan atas apa yang
dialami melalui media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup adalah bukan perbuatan
melawan hukum dengan maksud untuk menghina/mencemarkan nama baik” sesungguhnya
memperlihatkan sebuah penemuan hukum. Penemuan hukum ini dapat diikuti sebagai sikap
bagi hakim-hakim selanjutnya dalam menghadapi kasus serupa. Hal ini terutama penting dalam
258 |
JURNAL DES.indd 258
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:12 PM
menyikapi makin berkembangnya penggunaan sarana dan forum komunikasi yang memanfaatkan
jejaring sosial.
Dari proposisi yang dibangun dalam premis mayor di atas terdapat kata-kata “media
komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup”. Pengiriman surat elektronik (email) yang dilakukan
oleh Prita digolongkan oleh majelis hakim sebagai pengiriman melalui media komunikasi yang
bersifat pribadi dan tertutup.
Dalam sengketa hukum perdata, dimensi personal (individual para pihak) lebih menonjol
dibandingkan dengan sengketa hukum publik. Oleh sebab itu, ketika para pihak membawa kasus
ini ke ranah pengadilan, masing-masing berharap mendapatkan kemanfaatan atas putusan itu.
Jika dibawa ke dalam konteks keadilan, maka setiap hubungan hukum keperdataan sebenarnya
lebih mengedepankan filosofi keadilan komutativa (justitia comutativa), yakni “keadilan” yang
dicapai melalui proses tawar-menawar di antara para pihak.
Dalam kasus ini hubungan hukum keperdataannya adalah pihak Prita sebagai pasien datang
sebagai konsumen RS Omni. Ia datang dengan kewajiban membayar biaya perawatan seperti
biasa, dengan harapan memperoleh kesembuhan atas penyakitnya. Pihak RS Omni berkewajiban
mengupayakan kesembuhan itu (bukan menjanjikan kesembuhan). Ini berarti hubungan hukum
di antara mereka diikat menjadi suatu perikatan untuk mengupayakan (inspanningsverbintenis),
bukan menjanjikan hasil (resultaatsverbintenis). Jika posisi ini dijadikan titik tolak berpikir,
maka setiap pasien berhak menyatakan puas atau tidak puas dalam upaya penyembuhan itu. Titik
sentral peristiwa hukumnya justru terjadi di sini, yakni “Pernyataan ketidakpuasan itu dianggap
oleh pihak RS Omni sebagai perbuatan melawan hukum. Majelis hakim jelas berpendapat bahwa
pernyataan ketidakpuasan itu bukan perbuatan melawan hukum.”
Apabila duduk persoalan ini dijadikan titik sentral, yaitu tentang tidak terbuktinya perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Prita sebagaimana dijadikan dasar gugatan RS Omni, maka
kecenderungan keberpihakan majelis hakim selayaknya diarahkan kepada pihak Prita. Namun
sayangnya, kecenderungan ini tidak diperlihatkan secara jelas.
Pada silogisme pertama, tampak bahwa majelis hakim memang memberi pertimbangan
yang menguntungkan bagi pihak tergugat Prita, namun tidak untuk silogisme kedua. Di sini
terlihat ketidakjelasan “filosofis penjatuhan sanksi” dari kasus ini. Pada silogisme pertama, majelis
terkesan membenarkan pihak Prita, tetapi “keberpihakan” atas posisi Prita ini tidak memberi
keuntungan apapun bagi Prita. Hal yang sama juga sebaliknya dapat dilihat dari sudut RS Omni.
Jika mengacu pada silogisme kedua, terlihat bahwa gugatan bahwa RS Omni telah
melakukan malpraktik ditolak oleh majelis (dengan mengandalkan pada bukti formal dari
MKDI), tetapi penolakan inipun tidak serta merta memberi keuntungan bagi RS Omni. Dengan
perkataan lain, kasus ini lalu di bawah ke titik awal bahwa apa yang dipersengketakan ini adalah
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 259
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 259
5/16/2012 5:08:12 PM
peristiwa konkret biasa dan bukan peristiwa hukum sama sekali. Padahal, jika mengacu kepada
inti persoalan (lihat kalimat yang dicetak tebal di atas), maka justru sangat tidak adil jika inisiatif
RS Omni untuk menggugat Prita, yang notabene telah mengakibatkan penderitaan lahir batin
bagi Prita sekeluarga, sama sekali tidak dijadikan alasan memberikan “keuntungan” sesuatu
bagi posisi tergugat Prita. Sekarang perlu juga dibahas titik sentral berikutnya, yaitu kesimpulan
majelis hakim: “Semua pernyataan malpraktik yang dapat dibuktikan oleh pemohon klaim dan
dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Dokter Indonesia adalah perbuatan melawan hukum dalam
disiplin kedokteran melakukan penatalaksanaan medis pada pasien.” Oleh karena pernyataan
malpraktik ini dinilai majelis hakim tidak dapat dibuktikan oleh pihak Prita dan klaim itu tidak
dibenarkan Majelis Kehormatan Dokter Indonesia, maka perbuatan RS Omni pun dinilai bukan
sebagai malpraktik.
Pembuktian oleh pemohon kasasi adalah satu persoalan tersendiri yang sebenarnya masih
terbuka untuk dinilai apakah berhasil atau tidak berhasil dilakukan oleh pihak Prita. Dalam
pertimbangan majelis hakim, konklusi ketidakberhasilan pembuktian itu tidak cukup jelas
terelaborasi. Terlebih-lebih jika urusan ini dikembalikan ke Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yang mengisyaratkan beban pembuktian ada pada pihak pelaku
usaha. Namun, tanpa mengurangi arti penting isu beban pembuktian ini, pilihan majelis hakim
untuk menyerahkan tafsiran “malpraktik” ini kepada tafsiran etis (dan bukan tafsiran undangundang semata), merupakan hal yang justru lebih menarik untuk dikaji dalam konteks penalaran
hukum yang menjadi topik dalam tulisan ini.
Dengan menyerahkan tafsirannya kepada tafsiran etis, seolah-olah majelis hakim
menunjukkan ia tidak ingin keluar dari jalur penafsiran ekstentif sebagaimana diperlihatkan dalam
kasus Lindenbaum-Cohen tahun 1919. Sayangnya, di sini sebenarnya telah terjadi kesesatan
penalaran yang dikenal dalam logika sebagai argumentum ad verecundiam atau argumentum
auctoritatis. Majelis hakim melakukan pembenaran argumen atas dasar otoritas pihak lain yang
dinilainya lebih pantas, dalam hal ini oleh MKDI.
Penilaian MKDI dalam konteks perkara ini patut dipersoalkan bukan semata-mata karena
kecurigaan atas adanya esprit de corps semata. Penilaian ini jelas tidak bisa diandalkan lagi
karena salah satu pihak, yakni Prita sendiri sudah menyerahkannya kepada majelis hakim untuk
menilainya. Artinya, majelis hakim diminta untuk mengambil alih penilaian itu sendiri dan tidak
menyerahkannya kembali kepada penilaian MKDI itu. Dengan menyerahkan penilaian ini kepada
MKDI, majelis hakim sesungguhnya sudah melakukan kesesatan kedua, yaitu petitio principii
(circulus vitosus) atau biasa dalam bahasa Belanda disebut cirkelredenering.
MKDI tentu memberi pertimbangan-pertimbangan yang terfokus pada hal-hal yang sangat
teknis, seperti SOP dalam lingkup ilmu dan etika kedokteran. Oleh karena hanya berpijak pada
lingkup yang terbatas inilah, maka lagi-lagi kesesatan penalaran dapat terjadi dalam konteks
260 |
JURNAL DES.indd 260
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
ini. Kesesatan tersebut biasanya disebut converce accident, yakni pembenaran argumen karena
hanya terfokus pada sifat/karakter tertentu saja yang dianggap melekat. Artinya MKDI dapat saja
melihat ini hanya dari sifat/karakter yang berlaku dalam ilmu dan etika kedokteran semata, bukan
dari sudut pandang ilmu hukum dan/atau etika profesi pada umumnya. Dengan memakai sudut
pandang MKDI sebagai sudut pandang majelis hakim, jelas sebenarnya penafsiran majelis hakim
Mahkamah Agung dalam kasus ini menjadi makin sempit, bahkan lebih sempit daripada era
sebelum tahun 1919. Ketika itu, perbuatan melawan hukum sekadar diartikan sebagai perbuatan
melawan undang-undang (onwetmatige daad). Jika undang-undang adalah produk lembaga
legislatif, maka kali ini perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melawan kode
etik kedokteran yang notabene kode etik produk sebuah organisasi profesi.
IV. SIMPULAN
Jika mengacu pada skor “kosong-kosong” yang diibaratkan terjadi pada putusan Mahkamah
Agung No. 300 K/Pdt/2010 ini, maka putusan ini jelas tidak berpihak pada penyelesaian kasus
secara tuntas. Dalam bahasa hukum, kondisi demikian jelas melanggar asas lites finiri oportet.
Ketika para pihak berpaling ke ruang pengadilan, maka para pencari keadilan itu berharap
memperoleh ekspektasi dari pilihan tersebut. Di sinilah hukum harus berfungsi memberikan
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi mereka.
Nilai terpenting dari putusan ini lebih terletak pada penemuan hukum yang memberi ruang
bagi masyarakat untuk mengekspresikan keluhan mereka melalui surat elektronik. Mahkamah
Agung dalam putusan ini menyatakan perbuatan demikian bukan termasuk perbutan melawan
hukum. Namun, sayangnya, secara keseluruhan putusan ini belum mampu menunjukkan
konstruksi penalaran yang runtut dan sistematis untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah
landmark decision.
DAFTAR PUSTAKA
Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 1975. Ethics for Modern Life. New York: St.
Martin’s Press.
Grassian, Victor. 1981. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral
Problems. New Jersey: Prentice-Hall.
Henket, M. 2003. Teori Argumentasi dan Hukum. Terjemahan B. Arief Sidharta. Bandung:
Penerbitan tidak berkala No. 6 Laboratorium Hukum FH Unpar.
Pannett, A.J. 1992. Law of Torts. London: Pitman Publishing.
Setiawan, Rachmat. 1991. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung:
Binacipta.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 261
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 261
5/16/2012 5:08:13 PM
PENGUSUNGAN POLA PIKIR POSITIVISME HUKUM
DALAM PERKARA KORUPSI
Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW
Ricca Anggraeni
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640
email: [email protected]
ABSTRACT
Slogan that power tends to corrupt is not just a phrase. Several cases of corruption seem to prove
that power has encouraged persons to engage in corruption. Erradicating corruption requires
extraordinary efforts of law enforcers. However, again the fact shows that many law enforcers
are dragged into corruption practices. In fact, they often use the law to neatly wrap their crimes.
Packaging is done through a court decision. Judge as the spearhead of law enforcement in
Indonesia should be given a maximum role in enforcing the law. That role should have two
values ​​of upholding the value of justice and law enforcement. In some cases of corruption, the
perpetrators were given lenient sentences, even released. Mild sanctions against the perpetrators
of corruption are also reflected in the case of corruption committed by the Head of Semudun
Regional Water Company (PDAM Semudun), Pontianak regency. Mild sanctions for the accused
is caused by the tendency of judges who carry the mindset of schools of legal positivism, that is
by simply using the law as a source of reference to rely on a monolithic interpretation methods.
Keywords: corruption, legal positivism, law enforcement, justice.
ABSTRAK
Kekuasaan cenderung melakukan korupsi bukan hanya slogan semata. Beberapa kasus korupsi
menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan melakukan korupsi, oleh sebab itu
memangkas korupsi membutuhkan perjuangan dan penegakan hukum yang ektraordinary.
Sebaliknya, fakta berbicara lain pada saat hakim justru memberikan hukuman minimal bukan
maksimal, dan bahkan dalam beberapa kasus korupsi bahkan terdakwa dilepaskan. Kasus
korupsi yang dilakukan oleh pejabat perusahaan perairan di Kalimantan yang dihukum ringan
memperlihatkan hal itu. Itu terjadi karena hakim mengunakan pendekatan legalistik dan metode
interpretasi monolistik. Putusan hakim cenderung mengakomodasikan nilai-nilai hukum saja,
dan mengeliminasi nilai-nilai keadilan sebagai tujuan akhir putusan hakim.
Kata kunci: korupsi, legal positivism, penegakan hukum, keadilan.
262 |
JURNAL DES.indd 262
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
I.
PENDAHULUAN
Korupsi di Indonesia telah menggerogoti hampir seluruh segi kehidupan (Rahardjo,
2006: 126) sehingga tindak pidana korupsi telah dipandang sebagai kejahatan serius. Untuk
menggambarkan akibat yang disebabkan oleh korupsi, prognosisnya Syed Hussein Alatas
menyatakan bahwa korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu
mati dan saat pohon itu mati maka koruptor pun akan mati karena tidak ada lagi yang akan
dihisap (Rahardjo, 2006: 136). Jadi, korupsi hanya akan menggerogoti habis dan menghancurkan
masyarakatnya sendiri.
Realitas ini membuat penanganan korupsi di Indonesia menjadi begitu extraordinary. Tidak
hanya dari sisi produk hukumnya, tetapi juga dari penegak hukumnya. Bahkan presiden secara
resmi mencanangkan dan masuk dalam agenda kerjanya untuk memberantas korupsi. Namun,
upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia seolah-olah tidak berarti. Produk
hukum yang ada, komisi yang dibentuk, kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi, tetap saja
tidak merubah keadaan, korupsi tetap menjadi common enemy (musuh bersama) bagi masyarakat
Indonesia.
Hal itu terjadi, karena perilaku korupsi juga telah melanda para penegak hukum bahkan
menembus ranah peradilan. Istilah mafia peradilan digelontorkan untuk menyebut para penegak
hukum yang “berdagang hukum”. Penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan
dalam menghadapi korupsi justru gagal dalam membawa nilai keadilan dan kemanfaatan
bagi masyarakat. Peradilan yang seharusnya menjerakan para koruptor, justru malah memberi
kelegaan. Bahkan Daniel Kaufmann dalam laporannya menyebutkan bahwa tingkat korupsi di
peradilan Indonesia ialah yang paling tinggi di antara negara-negara sebagai berikut: Ukraina,
Rusia, Venezuela, Kolombia, Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan dan Singapura
(Sudirman, 2007: 2). Korupsi yang terjadi di peradilan diakibatkan oleh tindakan-tindakan yang
menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum.
Tumpulnya peradilan sebagai benteng terakhir dari keadilan lebih disebabkan oleh ukuran
yang digunakan ialah menguntungkan atau tidak menguntungkan dari segi ekonomi dan politik
saat menentukan pihak mana yang layak mendapat keadilan, dan mekanisme itu sah apabila itu
telah sesuai prosedur. Mekanismenya ialah standar legal formal. Hal ini mengakibatkan masyarakat
akan semakin termarginalkan bahkan menjadi korban dari sistem dan proses peradilan yang
eksklusif bagi pelaku korupsi. Demi mengakhiri hal ini, hakim tidak boleh hanya mementingkan
prosedur dan menyandarkan dirinya pada undang-undang. Pandangan yang luas, keinginan untuk
menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat harus dikedepankan. Tetapi yang paling penting ialah
hakim harus juga menggunakan hati nurani.
Hakim sebagai seseorang yang pekerjaannya berintikan keadilan (Sudirman, 2007: 51),
seharusnya berempati terhadap rakyat yang telah menjadi korban korupsi. Bukan justru berbelas
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 263
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 263
5/16/2012 5:08:13 PM
kasihan terhadap para pelaku korupsi, sehingga mereka dijatuhi hukuman ringan belum lagi
dipotong remisi. Ketidakadilan inilah yang semakin mengusik rakyat, sehingga timbullah reaksi
untuk meniadakan sistem remisi bagi para koruptor. Sebenarnya masalah bukan terletak dari
remisinya tapi bagaimana mekanisme pemberiannya serta teguhnya hakim dalam memberikan
hukuman kepada para koruptor.
Jadi ketika, hakim berani untuk menerobos bunyi undang-undang dengan memberikan
hukuman yang berat terhadap koruptor, maka remisi tidak akan berarti apa-apa. Tidak tegaknya
hukum dalam memberantas korupsi menurut M. Syamsudin ialah kecenderungan pola pikir
hakim yang mengikuti pola berpikir positivisme hukum yang hanya menekankan pada ukuranukuran formal teks aturan. Pola pikir seperti ini mengakibatkan sulitnya untuk membuktikan
unsur-unsur tindak pidana korupsi, sehingga banyak sekali koruptor yang bebas atau dihukum
dengan hukuman yang paling ringan (Syamsudin, 2011: 11).
Sebagaimana yang terjadi dalam kasus bernomor 207/PID.B/2008/PN.MPW. Hakim telah
memutus para terdakwa yaitu H dan DS hanya dengan pidana penjara masing-masing bagi para
terdakwa selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah). Putusan ini lebih rendah dari yang dituntut jaksa penuntut umum yaitu pidana selama
2 (dua) tahun penjara dengan dikurangi selama para terdakwa berada dalam masa tahanan dan
membayar denda masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 3
(tiga) bulan kurungan.
Disparitas penjatuhan pidana ini bisa terjadi, karena di dalam pertimbangannya hakim
menyatakan bahwa perbuatan terdakwa yaitu H dan DS yang mengambil uang tagihan rekening
air dan non air tidak dilakukan dengan melawan hukum. Tetapi, H telah menyalahgunakan
wewenangnya selaku kepala tugas (Plt) Kepala Unit Semudun Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Kabupaten Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 02/STG/PDAM/X/2003
tertanggal 23 September 2003 dan terdakwa II (DS) selaku pelaksana pembukuan Unit Semudun
PDAM Kabupaten Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 06/ST/PDAM/III/2003 tertanggal
10 Maret 2003. Majelis hakim kemudian lebih memilih untuk menggunakan dakwaan dan tuntutan
subsidair dari jaksa penuntut umum yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP.
Dalam kasus tersebut majelis hakim hanya mempertimbangkan unsur-unsur yang terkandung
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum tuntutan jaksa, tanpa
menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat Semudun. Majelis hakim hanya mempertimbangkan
unsur menyalahgunakan wewenang bahwa perbuatan terdakwa H yang mengambil inisiatif
sendiri untuk membuat nota/memo dengan tujuan untuk mengambil uang rekening air tanpa
menyetorkannya ke rekening PDAM Pontianak dengan alasan akan menggunakannya untuk biaya
264 |
JURNAL DES.indd 264
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
operasional kantor, merupakan penyalahgunaan wewenang. Selain itu, perbuatan para terdakwa
yang menerima permohonan sambungan baru dan kemudian hasil dari dana itu tidak disetorkan
ke rekening PDAM Pontianak, juga merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang terdakwa
selaku Kepala Unit Semudun dan Pelaksana Pembukuan Unit Semudun PDAM Kabupaten
Pontianak.
Unsur selanjutnya, yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam kasus ini adalah
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Perbuatan terdakwa yang
telah mengambil uang, kemudian tidak dapat mempertanggungjawabkannya, menurut majelis
hakim, termasuk untuk menguntungkan dirinya sendiri. Majelis hakim juga mempertimbangkan
unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan para terdakwa, dalam
pertimbangan majelis hakim, merupakan perbuatan yang dapat atau berpotensi untuk merugikan
salah satu antara keuangan negara atau perekonomian negara. Hal itu dikarenakan PDAM
Kabupaten Pontianak, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang
Perusahaan Daerah, dapat digolongkan sebagai Perusahaan Daerah, sehingga kekayaan yang
dimilikinya pun dapat digolongkan sebagai keuangan negara.
Termasuk dalam pertimbangan majelis hakim adalah mengenai unsur jika antara beberapa
perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Menurut majelis
hakim, perbuatan para terdakwa yang dalam jangka waktu dari tahun 2004-2005 telah berulang
kali mengambil uang pembayaran rekening air dan nonair, sehingga seluruhnya berjumlah Rp.
91.080.950,- (sembilan puluh satu juta delapan puluh ribu sembilan ratus lima puluh rupiah) yang
dilakukan dengan jalan membuat nota/memo, dan menerima permohonan sambungan baru tanpa
melalui prosedur permohonan sambungan baru, tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan
berlanjut, karena tidak dilatar-belakangi oleh maksud dan tujuan yang sama.
Berdasarkan pertimbangan inilah majelis hakim hanya menjatuhkan pidana penjara masingmasing bagi para terdakwa selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing
Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah). Dengan penjatuhan pidana tersebut, tentu saja majelis hakim dinilai tidak
mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, karena apabila dibandingkan
dengan kasus nenek Minah yang mencuri kakao, jelas hukuman yang diterima oleh para terdakwa
H dan DS tidak ada apa-apanya, mengingat yang dicuri oleh H dan DS ialah uang rakyat dan
jumlahnya puluhan juta.
Seolah menjadi pola bagi hakim di Indonesia, memutus hanya mempertimbangkan
bunyi undang-undang, seolah hakim hanya menghidupkan bahasa undang-undang tanpa
mempertimbangkan nilai atau norma yang ada di masyarakat.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 265
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 265
5/16/2012 5:08:13 PM
II. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang yang terurai di atas, pokok permasalahan yang akan dianalisis
berdasarkan putusan perkara bernomor 207/PID.B/2008/PN.MPW ini ialah: Apakah hakim dalam
menangani perkara korupsi masih menggunakan pola pikir positivisme hukum? Apakah pola pikir
semacam itu dapat menghasilkan putusan yang mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan
bagi masyarakat?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
A.
Sekilas tentang Positivisme Hukum
Dalam paradigma positivisme hukum, undang-undang atau keseluruhan peraturan
perundang-undangan dipikirkan sebagai sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga
tugas hakim tinggal menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan linear untuk
menyelesaikan permasalahan masyarakat, sesuai bunyi undang-undang. Namun, paradigma
positivisme hukum klasik yang menempatkan hakim sebagai tawanan undang-undang, tidak
memberikan kesempatan pada pengadilan untuk menjadi suatu institusi yang dapat mendorong
perkembangan masyarakat.
Apabila dilacak basis epistemologinya, menurut Anthon F. Susanto, positivisme hukum
merupakan kepanjangantangan dari paradigma Cartesian-Newtonian ( Susanto, 2010: 29).
Cartesian-Newtonian telah membawa pengaruh yang paling mendasar terhadap positivisme
ilmu yang juga kemudian mempengaruhi positivisme hukum adalah pandangan dualisme dan
reduksionis. Dalam penjelasan Satjipto Rahardjo dinyatakan bahwa pandangan dualisme yang
dikembangkan oleh Descartes (cartesian) telah membuat para ilmuwan hukum disibukkan oleh
dengan membuat definisi, konsep serta deskripsi, dan sebagian lagi berkonsentrasi pada bentuk,
seperti Austin dan Kelsen, dan sebagian lagi pada isi, misalnya Dworkin dan Fuller (Susanto,
2010: 149).
Dengan pandangan dualisme itu, hukum dipisahkan dari keadilan, seperti yang dilakukan
oleh Austin dan Kelsen telah memisahkan secara tajam hukum yang senyatanya dan hukum
yang seharusnya. Hans Kelsen memandang bahwa hukum harus terbebas dari segala unsur yang
asing bagi metode khusus dari suatu ilmu yang tujuannya hanyalah pengetahuan hukum, bukan
pembentukannya. Bidang kajian ilmu hukum ialah hukum positif atau hukum sesungguhnya yang
berbeda dari hukum ideal yang disebut keadilan atau hukum alam, dan eksistensi dari hukum
terlepas dari kesesuaian atau tidak kesesuaiannya dengan keadilan atau hukum alam. Jadi, hanya
bersifat wadah dan tidak bersangkutan dengan isi hukum yang bisa berubah dalam waktu tertentu
(Kelsen, 1995: iv). Pandangan Reduksionis telah mempengaruhi positivisme hukum untuk
mereduksi realitas hukum yang terdiri dari realitas ide (sesuatu yang dapat ditangkap melalui
kapasitas akal budi), realitas material (sesuatu yang bersifat aktual) dan realitas artifisial menjadi
266 |
JURNAL DES.indd 266
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
tunggal. Jika meminjam ajarannya Kelsen, yaitu the pure theory of law, maka hukum harus
dibersihkan dari unsur non yuridis, hukum harus mengabaikan pendekatan lain terhadap hukum.
Menurut Kelsen, hukum selalu merupakan hukum positif, dan positivisme hukum terletak pada
fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia, jadi terlepas dari
moralitas dan sistem-sistem norma itu sendiri (Kelsen, 1995: 115).
Sedangkan Austin dalam penjelasannya telah mereduksi kekuatan-kekuatan lain selain
negara, terutama kekuatan-kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang beragam, karena
dalam penjelasannya Austin menyatakan bahwa hukum adalah perintah yang berdaulat yang
menempatkan lembaga-lembaga yang superior (Susanto, 2010: 162). Austin juga menambahkan
bahwa hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, sehingga hukum harus
dilepas dari sistem nilai. Hukum juga harus memenuhi unsur perintah, sanksi dan kewajiban,
karena jika tidak, maka itu bukan hukum melainkan moral (Rahardjo, 2006: 163).
Dalam pandangan dasar mahzab positivisme hukum tata hukum suatu negara berlaku bukan
karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial melainkan karena mendapat bentuk positifnya
dari suatu institusi yang berwenang, dan hukum hanya dikenal sebagai hukum formal, sehingga
harus dipisahkan dari bentuk materialnya, karena akan merusak kebenaran ilmiah hukum (Satjipto
Rahardjo, 2006: 162).
Menurut H.L.A Hart, essensi dari positivisme hukum ialah:
1.
Hukum hanyalah perintah penguasa;
2.
Tidak ada hubungan mutlak antara hukum, moral dan etika;
3.
Analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan
sosiologis;
4.
Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh
atas dasar logika tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral maupun etik
(Rahardjo, 2006: 162).
Pada intinya dapat disimpulkan bahwa dualisme dan reduksionis telah membawa pengaruh
terhadap pandangan positivisme hukum untuk memisahkan teks yang tertulis dalam hukum
dengan realitas yang hidup di masyarakat.
B.
Antara Nilai Keadilan dan Kepastian Hukum
Secara sadar atau tidak di dalam kehidupan selalu dikelilingi oleh yang namanya hukum.
Dengan demikian, dapatlah disitir pernyataan Prajudi Atmosudiro bahwa hukum tidak hanya
yang tertulis dalam sebuah teks berupa kumpulan aturan-aturan tetapi juga merupakan sesuatu
yang hidup dalam masyarakat (Atmosudiro, 1994: 34). Hukum dalam apapun bentuknya, selalu
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 267
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 267
5/16/2012 5:08:13 PM
dimaksudkan untuk mencegah konflik di dalam masyarakat, selain itu juga berfungsi untuk
menjaga keamanan dan ketertiban. Dengan kata lain, hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia (Mertokusumo dan Pitlo, 1993: 1).
Apapun fungsinya, maka sebenarnya besar harapan agar hukum dapat memenuhi semua
fungsinya. Hukum baik yang hidup di masyarakat maupun yang tertuang dalam dokumen negaralazim disebut sebagai undang-undang-, dalam pelaksanaan fungsinya tidak boleh mencederai atau
mengganggu tiga nilai dasar yang harus terkandung dalam hukum yaitu keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum (Sudirman, 2007: 44).
Entah sebagai konsekuensi dari era modern, bahwa hukum telah mengalami pergeseran.
Pemahaman hukum secara materiil telah bergeser ke pemahaman secara formil. Maksudnya
ialah bahwa hukum lebih diidentikkan dengan keputusan dari penguasa legislatif yang dilakukan
menurut prosedur atau persyaratan teknis dan mengorganisasikannya dalam perundang-undangan
(Indrati, 2007: 5). Hukum dalam era modern merupakan hukum negara yang dibuat oleh badan
legislatif, dan hukum yang hidup di masyarakat akan mengikuti hukum yang telah dibuat oleh
penguasa (Rahardjo, 2009: 58). Paradigma atau pemahaman hukum seperti ini mempengaruhi
para penegak hukum yang hanya menjalankan peraturan-perundangan secara skripturalistik.
Padahal hukum tidak hanya sebatas pada apa yang dituangkan dalam dokumen negara,
dalam teks perundang-undangan, melainkan juga apa yang hidup di dalam masyarakat. Bahkan
dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara, Prajudi Atmosudiro menyatakan
bahwa selain undang-undang masih ada sumber hukum yang sangat penting yaitu yurisprudensi,
perjanjian antara Indonesia dengan negara lain termasuk konvensi internasional, adat, kebiasaan
dan doktrin atau pendapat para sarjana.
Hukum dalam pelaksanaannya oleh para penegak hukum, juga harus memperhatikan tiga
nilai yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan Gustav Radbruch
yang juga mengemukakan bahwa ada tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum, yakni
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun, dalam prakteknya merupakan sebuah
kesulitan untuk dapat menerapkan ketiga nilai itu secara seimbang, terkadang nilai kepastian
hukum harus dikalahkan demi mengedepankan nilai keadilan. Dalam pertentangannya, manakah
yang harus didahulukan keadilan kah atau kepastian hukum?
Keadilan pada hakekatnya memberikan perlindungan atas hak dan saat yang sama
mengarahkan kewajiban sehingga terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban di dalam
masyarakat (Sudirman, 2007: 44). Ulpianus mendefinisikan keadilan sebagai kemauan yang
bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya
untuknya. Sedangkan menurut Aristoteles, keadilan adalah suatu kebijakan publik yang aturanaturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang
apa yang hak.
268 |
JURNAL DES.indd 268
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
Lain lagi menurut John Rawls, dalam pandangannya, keadilan merupakan fairness, yang
mengandung asas-asas, bahwa orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk
mengembangkan kepentingan-kepentingannya, hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang
sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka
untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki (Rawls, 2006: 12-19). Kelsen pun
mengungkapkan pemikirannya bahwa keadilan merupakan suatu tertib sosial tertentu yang di
bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang subur. Dalam bukunya
yang berjudul Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Kelsen juga mengemukakan pemikirannya
mengenai pengertian keadilan legalitas.
Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari
suatu tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya (Hans Kelsen, 1995: 11-12). Bahkan
menurut penulis, secara ekstrem Hans Kelsen menyatakan bahwa keadilan bukan suatu tata yang
memberikan kebahagiaan kepada setiap orang selama orang memiliki konsep kebahagiaannya
sendiri, sehingga individu berusaha mencarinya di dalam masyarakat (Hans Kelsen, 1995: 4-5).
Derrida terkait dengan pengambilan keputusan menyatakan bahwa keadilan berkait dengan
pengambilan keputusan, dan keputusan sangat dipengaruhi oleh keraguan. Ditambahkan oleh
Derrida bahwa keadilan dalam hukum memperoleh daya kekuatannya dari sesuatu yang melampaui
hukum itu sendiri dan tidak bersumber dari tatanan hukum (Susanto, 2010: 91). Pendapat Derrida
ini sebenarnya kontras dengan Immanuel Kant yang mengembalikan makna tindakan adil pada
suatu undang-undang atau tatanan. Mempertimbangkan yang dimaksud oleh Immanuel Kant,
hukum positif akan disebut adil jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Diperintahkan atau diundangkan demi kebaikan umum;
2.
Ditetapkan oleh legislator yang tidak menyalahgunakan kewenangan legislatifnya;
dan
3.
Hukum positif memberikan beban yang setimpal demi kepentingan kebaikan umum
(Sudirman, 2007: 47).
Keadilan yang terdapat dalam undang-undang atau tertuang dalam teks peraturan mungkin
saja memberikan keadilan ketika dioperasikan oleh para penegak hukum, namun itu hanya sebatas
dari keadilan prosedural yang memberikan jaminan terhadap ketertiban dan kepastian hukum,
tetapi belum tentu memberikan keadilan secara substansial. Untuk dapat memberikan keadilan
substansial, para penegak hukum harus melihat kenyataan yang ada pada masyarakat.
Penegak hukum dalam menerapkan hukum dalam peristiwa nyata tidak boleh menyimpang.
Meminjam istilahnya fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus
ditegakkan). Hukum harus berlaku sesuai dengan hukumnya atau bunyinya, inilah yang kemudian
disebut dengan kepastian hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum merupakan
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 269
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 269
5/16/2012 5:08:13 PM
perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan
dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu (Mertokusumo dan Pitlo,
1993: 2).
Dengan kepastian hukum tujuan hukum untuk ketertiban masyarakat mungkin akan tercapai.
Namun, tidak serta merta kepastian hukum ini kemudian diartikan secara sempit. Sebagaimana
kritik Charles Sampford terhadap mahzab positivisme hukum, hukum tidak hanya dilihat dari
sisi kepastiannya saja, karena hukum penuh dengan ketidakteraturan. Kepastian hukum itu lebih
merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya. Ternyata peraturan
bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya kepastian tersebut, melainkan juga
faktor lain, seperti tradisi dan perilaku (Deni Ismail Pamungkas, http://progresif-lshp.blogspot.
com/2008/12/refleksi-filsafat-hukum-menilik.html).
Selain memberikan nilai keadilan dan kepastian, hukum dalam pelaksanaannya juga
diharapkan memberikan kemanfaatan. Kemanfaatan dalam artian ini tidak hanya melulu berbicara
masalah keuntungan, tetapi kegunaan hukum di masyarakat dengan memberikan perlindungan
hak-hak dari masyarakat. Secara ideal, hukum apapun bentuknya harus mengakomodasi ketiga
nilai tersebut, namun, pada kenyataannya ketiga nilai itu akan sulit terakomodasi secara bersamaan,
bahkan cenderung berkonflik. Apabila nilai keadilan bertabrakan dengan kepastian hukum,
seharusnya nilai keadilan yang mesti didahulukan. Argumentasinya, karena kepastian hukum
sejatinya merupakan sarana untuk mencapai keadilan. Perlu ditekankan dalam hal ini, keadilan
yang ingin diakomodasi dalam hukum bukan keadilan secara prosedural, tetapi secara substansial,
yang belum tentu dapat dipenuhi oleh hukum yang diidentikkan dengan perundang-undangan.
Penekanan terhadap nilai keadilan juga diberikan oleh Aristoteles bahwa hukum berintikan
keadilan. Roscoe Pound juga menyatakan bahwa hakikat hukum ialah membawa aturan yang adil
dalam masyarakatnya (Sudirman, 2008: 46-47). Keadilan merupakan tujuan hukum yang terpenting,
sehingga menurut Soenarjati Hartono, tujuan ini memiliki dua konsekuensi yaitu, pertama hukum
tidak hanya merupakan kaidah yang sah tetapi juga harus merupakan kaidah yang adil. Kedua,
penegakan hukum tidak boleh dilakukan sedemikian rupa sehingga menghilangkan nilai-nilai
etika dan martabat kemanusiaan sebagai manusia pada umumnya (Sudirman, 2008: 47).
Mengutamakan nilai keadilan, sejalan dengan rumusan Pasal 16 dalam Rancangan Konsep
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru bahwa “dalam mempertimbangkan hukum
yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
Namun, patut juga menjadi bahan ingatan bahwa dalam persoalan hukum pidana, subjek hukum
tidak dapat dihukum berdasarkan rasa keadilan di masyarakat dengan mengabaikan asas legalitas,
bahwa tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya. Tetapi itu asas legalitas
belum cukup, penegak hukum harus membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar kata hati
masyarakat, dan melihat kenyataan yang ada di masyarakat.
270 |
JURNAL DES.indd 270
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
C.
Analisis terhadap Putusan Perkara Korupsi dan Pengusungan Pola Pikir Positivisme
Hukum
Pemahaman hukum di Indonesia masih didominasi cara berpikir positivistik. Hukum lebih
dipahami dalam tataran formil, akan disebut hukum apabila telah dituangkan dalam perundangundangan yang merupakan hasil bentukan dari penguasa. Akibatnya, hukum cenderung diartikan
sebatas teks dalam dokumen resmi negara yang disebut perundang-undangan. Hukum dalam
teks akan diterapkan dalam peristiwa konkrit oleh para penegak hukum. Sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto perihal penegakan hukum, bahwa diperlukan substansi
dalam artian aturannya, kemudian aparat penegak hukumnya, sarana dan prasarana serta budaya
masyarakat. Aparat penegak hukum akan mempengaruhi proses dari penegakan hukum, aparat
yang benar akan menegakkan hukum secara benar tidak mencederai nilai keadilan (Soekanto,
2004: 8-9).
Kualitas dan kredibilitas aparat penegak hukum di Indonesia tengah menjadi sorotan publik.
Tentu saja, ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan, aparat yang seharusnya menegakkan
hukum dan keadilan justru malah menyalahgunakan hukum. Kekhawatiran ini semakin menjadi
ketika pengadilan yang seharusnya sebagai benteng terakhir penegakan hukum, justru malah
menjadi lembaga untuk menyalahgunakan kekuasaan yudisial. Putusan yang diambil hanya
sekadar menegakkan undang-undang, menyalin teks atau dengan kata lain menjadi corong
undang-undang.
Selama ini hakim dalam menangani kasus korupsi, cenderung hanya memenuhi keadilan
prosedural. Bahkan, banyak tindak pidana korupsi yang diputus bebas oleh hakim. Tindak pidana
korupsi tidak dapat dibiarkan, karena akan menghambat pembangunan bangsa, sehingga korupsi
memerlukan penanganan yang luar biasa oleh semua aparat penegak hukum, tidak hanya hakim
tetapi juga jaksa, advokat dan polisi. Penanganan luar biasa terhadap korupsi diperlukan karena
korupsi merupakan tindak pidana fenomenal yang dampaknya tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, yang mengancam cita bangsa untuk
mensejahterakan masyarakatnya. Itulah sebabnya, di berbagai belahan dunia, korupsi selalu
mendapat perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya (Hartanti, 2005: 1).
Korupsi sebenarnya bukan sebuah tindak kejahatan baru. Istilah korupsi sudah dikenal
dan ada dalam khasanah hukum Indonesia sejak tahun 1958 dengan adanya Peraturan Penguasa
Militer Nomor PRT/PM-08/1958 tentang Penyelidikan Harta Benda (Rohim, 2008: 1). Korupsi
berdasarkan asal katanya berasal dari bahasa latin yaitu corruptio yang kemudian dalam bahasa
Inggris menjadi corruption dan menjadi korupsi dalam bahasa Indonesia. Menurut Black’s Law
Dictionary, korupsi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain (Rohim, 2008: 2).
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 271
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 271
5/16/2012 5:08:13 PM
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendefinisikan korupsi sebagai setiap orang yang secara
sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan mengutip
pendapat dari David M, Chalmers, Baharuddin Lopa menguraikan arti istilah korupsi yaitu
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan
yang menyangkut di bidang kepentingan umum (Hartanti, 2005: 9).
Mengingat ungkapan Lord Acton bahwa kekuasaan cederung korup dan kekuasaan mutlak
menyebabkan korup secara absolut. Ungkapan ini menggambarkan bahwa korupsi umumnya
dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan, sehingga sebenarnya korupsi
selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan. Andi Hamzah menyatakan bahwa terdapat
beberapa sebab terjadinya tindak pidana korupsi yaitu kurangnya gaji, latar belakang kebudayaan
Indonesia, dan manajemen yang kurang baik atau kontrol yang kurang efektif. Sedangkan
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa sebab utama korupsi ialah nafsu untuk hidup mewah dalam
kelompok yang memerintah (Rahim, 2008: 6). Secara umum, modus operandi dari tindak pidana
korupsi ialah pemberian suap, pemalsuan, pemerasan, penyalahgunaan wewenang atau jabatan
dan nepotisme (Rahim, 2008: 20-29).
Mengenai pemberian suap sepertinya tidak menjadi rahasia lagi, begitu membudayanya,
sehingga orang yang memberikan suap atau yang menerima suap tidak merasa lagi bahkan
dikatakan saling tolong-menolong atau sebagai ungkapan terima kasih. Menurut Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pemberian suap atau yang diistilahkan dengan
gratifikasi ialah apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya. Mengenai pemberian suap atau gratifikasi ini diatur dalam Pasal 5, 6, 11, dan 12.
Modus operandi berikutnya ialah pemalsuan. Pemalsuan merupakan suatu perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan
maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung
merugikan negara. Kegiatan yang teridentifikasi sering menjadi lahan pemalsuan ialah perizinan,
pengadaan barang dan jasa, pemilihan kepala daerah, kepegawaian, pemeliharaan fasilitas umum,
penerimaan pendapatan daerah, pengawasan dan pertanggungjawaban kepala daerah (Rahim,
2008: 26). Berbeda dengan pemerasan yang merupakan perbuatan memaksa seseorang untuk
membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang atau bentuk lain sebagai ganti dari
seorang pejabat publik untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan biasanya diikuti dengan
ancaman fisik dan kekerasan.
272 |
JURNAL DES.indd 272
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
Mengenai penyalahgunaan jabatan atau wewenang telah ditentukan dalam Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagai setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Adapun nepotisme dalam kamus Purwadarminta diartikan sebagai
memberikan jabatan kepada saudara-saudara atau teman-temannya saja. Istilah nepotisme
digunakan untuk memberikan gambaran tentang perbuatan yang mengutamakan sanak-keluarga,
kawan dekat serta anggota partai politik yang sepaham, tanpa memperhatikan persyaratan yang
ditentukan (Rahim, 2008: 28).
Korupsi dalam apapun bentuk modus operandinya, tentu sangat merugikan keuangan
negara, bahkan hak-hak masyarakat secara sosial dan ekonomi. Herannya dalam beberapa kasus
korupsi, para pelaku justru terlepas dari jeratan hukum, padahal korupsi yang dilakukan begitu
masif. Dengan keadaan ini, seolah-olah hukum tidak mampu lagi menjamah kejahatan yang
dibungkus dengan hukum atau dilekatkan sebagai bagian dari hukum seperti dalam judicial
crime yang tersembunyi dalam putusan hakim (Nitibaskara, 2006: 62). Kembali mengingatkan
skandal hakim agung dalam perkara korupsi Probosutedjo, yang melalui kuasa hukumnya telah
mengeluarkan uang belasan miliar rupiah untuk menyuap beberapa hakim yang menangani
perkaranya. Tidaklah heran apabila di Indonesia lembaga penegakan hukum diragukan dan tidak
dipercaya oleh masyarakatnya sendiri.
Lembaga peradilan melalui aparatnya yaitu hakim harus lepas dari intervensi pihak manapun,
karena jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan hukum
dan keadilan. Di Indonesia, melalui sistem warisan Belanda, putusan mengenai suatu perkara atau
tindak pidana berada di tangan hakim, dengan didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti
dan keyakinan hakim. Hal ini berbeda dengan sistem jury, yang hanya memindaklanjuti hukum
dari putusan dewan juri. Namun, hakim dalam sistem apapun, sebagai aparat penegak hukum,
pemegang kekuasaan kehakiman harus melakukan penegakan hukum secara jujur dan adil melalui
putusan-putusannya. Peran ini tidak dapat dipungkiri karena tugas pokok hakim dalam mengadili
perkara mengandung dua pengertian yaitu menegakkan keadilan dan menegakkan hukum.
Apabila dibenturkan dengan pendapat Mahfud MD., maka tugas dari hakim melalui
putusannya ialah menegakkan keadilan (Taufik Rohman, http://polisi-sholeh.blogspot.
com/2009/07/hukum.html). Institusi sosial dan keadilan prosedural. Penekanan ini juga diberikan
oleh Aristoteles dan Roscoe Pound bahwa hukum berintikan keadilan, jadi hakim sebagai pencipta
hukum harus mengedepankan nilai-nilai keadilan (Antonius Sudirman, 2007: 45-46). Namun, pada
kenyataannya, hakim di Indonesia cenderung hanya mengakomodasi nilai keadilan prosedural,
hal ini dikarenakan hakim di Indonesia masih mengusung pola pikir positivisme hukum.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 273
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 273
5/16/2012 5:08:13 PM
Pola pikir ini hanya mengedepankan keadilan prosedural, namun belum tentu untuk keadilan
substansial. Dalam pandangan dasar mahzab positivisme hukum tata hukum suatu negara berlaku
bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial melainkan karena mendapat bentuk
positifnya dari suatu institusi yang berwenang, dan hukum hanya dikenal sebagai hukum formal,
sehingga hukum dalam pola pikir positivisme hukum ialah undang-undang yang telah dibentuk
melalui prosedur teknis. Dengan penerapan undang-undang, hakim dianggap telah memenuhi
keadilan prosedural. Pola pikir semacam ini sangat mengutamakan nilai kepastian hukum
dibandingkan nilai keadilan dan kemanfaatan. Padahal, nilai terpenting dari hukum adalah nilai
keadilan.
Melalui pola pikir positivisme hukum, hakim cenderung puas dengan hal-hal yang berbau
prosedural, tanpa bermaksud lebih jauh mendekati horison keadilan. Terlebih lagi, bagi hakim
yang memiliki integritas rendah, tidak jujur serta tidak profesional, hukum akan lebih mudah
dimanfaatkan untuk memenangkan kasus yang sedang ditanganinya karena telah berkolaborasi
dengan pihak yang melakukan kejahatan. Padahal dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim, hakim itu harus
berperilaku adil, berperilaku jujur dengan tidak mencerminkan keberpihakan, berintegritas tinggi
sehingga mampu menolak berbagai godaan dan segala bentuk intervensi, serta berpegang teguh
pada nilai-nilai Pancasila, sehingga putusan yang dihasilkannya pun bernilai Pancasila. Hakim
dalam mengambil putusan pun harus bersikap profesional, yang artinya mengedepankan keahlian,
pengetahuan, keterampilan dengan didukung oleh wawasan yang luas.
Pola pikir positivisme hukum yang menjadikan undang-undang sebagai satu-satunya acuan
juga membatasi penanganan tindak pidana korupsi hanya dengan cara-cara yang konvensional.
Kegagalan dalam penanganan tindak pidana korupsi, salah satunya disebabkan oleh peran lembaga
peradilan melalui hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap para terpidana korupsi. Penjatuhan
pidana terhadap para koruptor cenderung ringan bahkan membebaskan. Seperti dalam perkara
korupsi dalam Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW, meskipun tidak membebaskan para terdakwa,
namun putusan hakim dinilai terlalu rendah dan tidak mengakomodasi nilai keadilan substansial
serta kemanfaatan. Padahal tindak pidana korupsi ini dilakukan dengan modus penyalahgunaan
wewenang atau kekuasaan.
Modus penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dalam pandangan penulis merupakan
modus operandi tindak pidana korupsi yang paling munafik, karena berlindung di balik kekuasaan
yang telah diamanatkan oleh rakyat untuk mencuri dan merugikan rakyat. Pelakunya menggunakan
kekuasaan atau wewenang yang telah diamanatkan kepadanya untuk menguntungkan diri sendiri
atau korporasi.
Rakyat yang seharusnya dilindungi hak-haknya melalui kekuasan atau wewenang yang telah
dipercayakan kepadanya, justru dilukai oleh perbuatan para terdakwa yang jelas bertentangan
274 |
JURNAL DES.indd 274
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
dengan usaha pemerintah untuk memberantas korupsi. Para terdakwa yang merupakan pejabat
publik seharusnya menjunjung tinggi asas-asas umum pemerintahan yang baik dan mendukung
program pemerintah untuk melawan korupsi, justru malah berbalik dan melanggarnya.
Hakim dalam kasus bernomor 207/PID.B/2008/PN.MPW telah memutus para terdakwa yaitu
H dan DS hanya dengan pidana penjara masing-masing bagi para terdakwa selama 1 (satu) tahun
dan denda masing-masing Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Putusan ini lebih rendah dari
yang dituntut jaksa penuntut umum yaitu pidana selama 2 (dua) tahun penjara dengan dikurangi
selama para terdakwa berada dalam masa tahanan dan membayar denda masing-masing sebesar
Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
Disparitas penjatuhan pidana ini terjadi, karena di dalam pertimbangannya hakim menyatakan
bahwa perbuatan terdakwa yaitu H dan DS yang mengambil uang tagihan rekening air dan nonair
tidak dilakukan dengan melawan hukum tetapi H telah menyalahgunakan wewenangnya selaku
kepala tugas (Plt) kepala unit Semudun Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten
Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 02/STG/PDAM/X/2003 tertanggal 23 September
2003 dan terdakwa II (DS) selaku pelaksana pembukuan Unit Semudun PDAM Kabupaten
Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 06/ST/PDAM/III/2003 tertanggal 10 Maret 2003,
sehingga majelis hakim lebih memilih untuk menggunakan dakwaan dan tuntutan subsidair dari
jaksa penuntut umum yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus ini majelis hakim hanya mempertimbangkan unsur-unsur yang terkandung
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum tuntutan jaksa, tanpa
menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat Semudun. Majelis hakim hanya mempertimbangkan
unsur menyalahgunakan wewenang bahwa perbuatan terdakwa H yang mengambil inisiatif
sendiri untuk membuat nota/memo dengan tujuan untuk mengambil uang rekening air tanpa
menyetorkannya ke rekening PDAM Pontianak dengan alasan akan menggunakannya untuk biaya
operasional kantor, merupakan penyalahgunaan wewenang. Selain itu, perbuatan para terdakwa
yang menerima permohonan sambungan baru dan kemudian hasil dari dana itu tidak disetorkan
ke rekening PDAM Pontianak, juga merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang terdakwa
selaku Kepala Unit Semudun dan Pelaksana Pembukuan Unit Semudun PDAM Kabupaten
Pontianak.
Unsur selanjutnya, yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam kasus ini adalah tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Perbuatan terdakwa yang telah
mengambil uang, kemudian tidak dapat mempertanggungjawabkannya, menurut majelis hakim,
ialah termasuk untuk menguntungkan dirinya sendiri. Majelis hakim juga mempertimbangkan
unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan para terdakwa, dalam
pertimbangan majelis hakim, merupakan perbuatan yang dapat atau berpotensi untuk merugikan
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 275
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 275
5/16/2012 5:08:13 PM
salah satu antara keuangan negara atau perekonomian negara. Hal itu dikarenakan PDAM
Kabupaten Pontianak, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang
Perusahaan Daerah, dapat digolongkan sebagai Perusahaan Daerah, sehingga kekayaan yang
dimilikinya pun dapat digolongkan sebagai keuangan negara.
Termasuk dalam pertimbangan majelis hakim adalah mengenai unsur jika antara beberapa
perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Menurut majelis
hakim, perbuatan para terdakwa yang dalam jangka waktu dari tahun 2004-2005 telah berulang
kali mengambil uang pembayaran rekening air dan nonair, sehingga seluruhnya berjumlah Rp
91.080.950,- (sembilan puluh satu juta delapan puluh ribu sembilan ratus lima puluh rupiah) yang
dilakukan dengan jalan membuat nota/memo, dan menerima permohonan sambungan baru tanpa
melalui prosedur permohonan sambungan baru, tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan
berlanjut, karena tidak dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan yang sama.
Penjatuhan pidana terhadap para terdakwa tentu saja dinilai tidak mengakomodasi nilai
keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, karena apabila dibandingkan dengan kasus nenek
Minah yang mencuri kakao, jelas hukuman yang diterima oleh para terdakwa H dan DS tidak ada
apa-apanya, mengingat yang dicuri oleh H dan DS ialah uang rakyat dan jumlahnya puluhan juta.
Kasus ini membuktikan pengusungan pola pikir positivisme hukum oleh hakim. Hakim
hanya menerapkan bunyi undang-undang terhadap tindak pidana ini tanpa membuka telinga
dan wawasan untuk mendengar dan mengetahui respons masyarakat Semudun atas kasus ini.
Hakim seolah dibatasi untuk tidak mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Dengan pengusungan pola pikir positivisme hukum seperti itu tentu saja tidak akan menghasilkan
penghukuman yang maksimal bagi para koruptor, sehingga penegakan hukum dalam hal korupsi
akan semakin tereduksi, karena efek jera tidak ditonjolkan dalam penanganan tindak pidana
korupsi.
IV. SIMPULAN
Hakim dalam menangani perkara luar biasa seperti korupsi masih menggunakan pola pikir
positivisme hukum klasik. Cara berpikir konvensional terlihat bagaimana hakim menekankan
penafsiran “monolitik” terhadap makna norma-norma itu sendiri. Salah satu contoh perkara
tindak pidana korupsi yang menggambarkan bahwa hakim cenderung mengusung pola pikir
positivisme hukum pada Perkara Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW. Dalam perkara ini hakim
menjatuhkan pidana yang lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum, dengan
pertimbangan sebagaimana bunyi ketentuan dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat
(3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hakim masih menggunakan metode berpikir positivistik yang lazim
276 |
JURNAL DES.indd 276
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
dipakai menangani masalah “biasa” dalam masyarakat yang keadaannya stabil. Padahal bangsa
ini sekarat karena korupsi sehingga perlu upaya luar biasa pula untuk memberantas korupsi.
Hakim dalam perkara ini jelas hanya sekedar menerapkan bunyi undang-undang. Ketika
unsur dalam undang-undang sudah terpenuhi, hakim menganggap nilai keadilan telah terpenuhi,
padahal hukum tidak identik dengan keadilan, meski mungkin saja keadilan bisa “didekati” dari
apa yang legal. Jika hukum diasumsikan identik dengan keadilan, maka mengandung konsekuensi
pencarian keadilan di luar hukum akan dihentikan karena pencarian keadilan hanya bersumber
pada hukum semata, bahkan lebih sempit lagi: undang-undang.
Keadilan selalu di depan hukum, dan memprovokasi hukum untuk selalu mendekatinya.
Untuk memperjelas duduk persoalan, perlu juga dibedakan antara “peraturan” (gesetz, wet,
rule), ”kaidah” (recht, norm), dan keadilan (ius). Kelemahan ajaran positivisme hukum klasik
hanya melihat hukum hanya sebagai kumpulan pasal-pasal yang tidak mengandung tujuan,
dimensi filosofis, moral, dan lepas dari konteks kemasyarakatannya. Hakim seharusnya lebih
jauh menyelam ke dalam spirit, asas, dan tujuan hukum. Berhenti pada pembacaan undangundang sebagai peraturan bisa menimbulkan kekeliruan besar karena kaidah dan tujuan yang
mendasari peraturan itu menjadi terlupakan. Dalam kasus-kasus yang luar biasa seperti korupsi,
hakim seharusnya menafsirkan hukum secara kreatif, tidak submisif, demi untuk menyelamatkan
bangsanya dari keambrukan karena korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudiro, Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Indrati, Maria Farida. 2007. Pemahaman tentang Undang-Undang Indonesia Setelah Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu
Hukum. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kelsen, Hans. 1995. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Empirik-Deskriptif. Rimdi Press.
Komisi Hukum Nasional. 2009. Akar-Akar Mafia Peradilan di Indonesia: Masalah Akuntabilitas
Penegak Hukum. Jakarta: Komisi Hukum Nasional.
Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Nitibaskara, Ronny Rahman. 2006. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: Kompas Media
Nusantara.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 277
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 277
5/16/2012 5:08:13 PM
Rahardjo, Satjitpto. 2009. Hukum dan Perilaku: Hidup Baik Adalah Dasar Hukum yang Baik.
Jakarta: Kompas Gramedia.
Rawls, John. 2006. Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Reksodiputro, Mardjono. 2009. Menyelaraskan Pembaruan Hukum. Jakarta: Komisi Hukum
Nasional.
Rohim. 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: PenaMulti Media.
Sudirman, Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif
Ilmu Hukum Perilaku (Behavioural Jurispudence) Kasus Hakim Bismar Siregar. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Susanto, Anton F. 2010. Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Bacaan. Yogyakarta:
Genta Publishing.
-----------------------. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Undang-Undang dan Peraturan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Beserta
Perubahannya.
--------------. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874.
-------------. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001. Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4150.
------------. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/104A/SK/
XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.
278 |
JURNAL DES.indd 278
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
PERGULATAN PEMAKNAAN PASAL 2
DAN 3 UUPTPK
Kajian Putusan Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL
Rifkiyati Bachri
Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640
email: [email protected]
ABSTRACT
Court decision No. 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, in general, has complied with the substantive
and procedural rules contained in the statutory provisions. Unfortunately, the judges do not dig
deeper into the legal facts revealed at trial. The judges did not seem so knowledgeable about
the prosecutor’s indictment, particularly regarding the notions of Articles 2 and 3 of Law on
Criminal Act of Corruption Eradication and less explore and understand the values ​​that exist
in society, especially people’s desire to eradicate corruption in order to provide a proportionate
decision. The impact is the values ​​of justice become less reflected in the decision. The author of
this article also criticizes the formulation of prosecutor’s indictment.
Keywords: corruption, statutory provisions, indictment formulation
ABSTRACT
Putusan hakim Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, secara umum tunduk pada subtansi dan
prosedur hukum yang tertuang dalam pasal-pasal. Namun sayang, hakim perlu lebih mendalami
fakta hukum sehingga tidak hanya berdasarkan pengetahuan sebagaimana tertuang dalam
dakwaan jaksa semata, khususnya pasal 2 dan pasal 3 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Untuk itu, seharusnya hakim melakukan eksplorasi lebih mendalam seperti dalam nilainilai di masyarakat sebelum menuangkan dalam putusan sehingga menghasilkan putusan yang
lebih proporsional sehingga lebih memperlihatkan nilai keadilan. Dalam tulisan ini, penulis juga
mengkritisi formulasi dakwaan jaksa.
Kata kunci: korupsi, pasal-pasal undang-undang, formulasai dakwaaan
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 279
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 279
5/16/2012 5:08:13 PM
I.
PENDAHULUAN
Perkara dengan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini telah mendudukkan Z dan SP
sebagai terdakwanya. Perkara ini, pada mulanya, diawali dengan adanya rencana untuk melakukan
renovasi Hotel PJ Bali. PT. PJ ialah perusahaan milik PT. PM (persero), di mana PT. PM menguasai
sahamnya sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) sedangkan 1% (satu persen) sahamnya
lagi milik PT EL yang juga anak perusahaan PT. PM.
Pada tahun 2002 berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB)
ditetapkan adanya proyek renovasi Hotel PJ Bali dengan anggaran Rp175.000.000.000,- (seratus
tujuh puluh lima milyar rupiah) yang bersumber dari penjualan tanah di Medan dan sebagiannya
lagi dari pinjaman. Untuk pelaksanaan proyek itu, Direktur Utama (Dirut) PT. PJ mengangkat Z
(terdakwa I) sebagai Pimpinan Proyek renovasi Hotel PJ Bali dan SP (terdakwa II) sebagai Ketua
Tim Tender renovasi Hotel PJ Bali.
Dalam pelaksanaan proyek tersebut, ada beberapa pedoman yang harus diikuti (dipatuhi),
yaitu:
1.
Standar Operasional Prosedur (SOP) PT. PJ Nomor 004/SOP/PENG/PJ/P/01/2002
tanggal 21 Januari 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa;
2.
Standar Operasional Prosedur (SOP) PT. PJ Nomor 001/SOP/Peng/PJ/P/10/01
tanggal 29 Oktober 2001 tentang Ketentuan Umum Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa;
3.
Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pertamina/KPS/JOB/TAC SK. Nomor 027/
C0000/2000-SO tanggal 15 April 2000;
4.
Buku Pedoman Tata Laksana Pengadaan PT. PJ yang ditetapkan tanggal 11 Maret
1992.
Dalam pelaksanaannya, terdakwa I dan terdakwa II telah melanggar ketentuan/pedoman
pelaksanaan proyek renovasi Hotel PJ Bali sebagaimana tersebut di atas, yaitu dalam hal
pelelangan paket pekerjaan klub villa, suites, floating cafe dan spa, paket pekerjaan renovasi 17
(tujuh belas) cottages, paket pekerjaan embassy suites, paket pekerjaan furniture 17 (tujuh belas)
cottages, paket pekerjaan kitchen equipment, paket pekerjaan meeting room, banquet kitchen dan
holding lounge, serta melakukan pembayaran pada pekerjaan desain dan pelaksanaan pekerjaan
yang tidak sesuai dengan kontrak.
Akibat dari perbuatannya tersebut terdakwa I dan terdakwa II telah memperkaya pihak lain,
di antaranya PT. JKS, PT. MML, PT. GGS, PT. AEI, dan PT. PD, yang mengakibatkan kerugian
negara, dalam hal ini PT. PJ sebesar Rp 4.440.110.749,- (empat milyar empat ratus empat puluh
juta seratus sepuluh ribu tujuh ratus empat puluh sembilan rupiah) dan sebesar US$41.907,92
280 |
JURNAL DES.indd 280
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:13 PM
(empat puluh satu ribu sembilan ratus tujuh koma sembilan puluh dua dollar Amerika Serikat).
Dasar Hukum
Berdasarkan temuan-temuan dari proses penyelidikan dan penyidikan, maka kemudian
jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya mendakwa terdakwa I dan terdakwa II dengan
dakwaan berlapis (subsidair), yaitu:
Dakwaan primair, melanggar ketentuan Pasal 2 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) jo UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal
64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan dakwaan subsidair, melanggar ketentuan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim pada Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/
PN.Jak.Sel terlebih dahulu mempertimbangkan kedudukan PT. PJ yang dipersamakan dengan
negara oleh jaksa penuntut umum.
Pertimbangan mengenai kedudukan hukum PT. PJ menjadi penting mengingat adanya
eksepsi yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa I. Kedudukan PT. PJ itu akan sangat
berguna untuk menentukan status terdakwa I dan terdakwa II apakah mereka itu sebagai pegawai
negeri sipil atau bukan.
Dalam mempertimbangkan kedudukan PT. PJ yang dipersamakan dengan negara, majelis
hakim menganalisis apakah anggaran yang dimiliki PT. PJ merupakan uang negara atau bukan.
Untuk mengetahui hal itu majelis hakim menguraikan pengertian keuangan negara menurut Pasal
2 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta Penjelasan UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Berdasarkan pengertian dan penjelasan tersebut yang sifatnya alternatif, maka walaupun PT.
PJ bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetapi PT. PJ merupakan suatu badan hukum yang
mendapatkan penyertaan modal dari PT. PM. Selain itu, PT. PM selaku BUMN sebagai badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara di dalam pertanggungjawabannya
dalam hal mengelola keuangan akan PT. Pertamina pertanggungjawabkan kepada negara, termasuk
modal yang ditanamkan kepada PT. PJ (di dalam pertanggungjawaban pada RUPS), sehingga
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 281
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 281
5/16/2012 5:08:14 PM
majelis hakim berpendapat bahwa modal yang ditanamkan pada PT. PJ oleh PT. Pertamina yang
berbentuk saham merupakan keuangan negara.
Sedangkan mengenai status terdakwa I dan terdakwa II yang dinyatakan sebagai pegawai
negeri sipil, majelis hakim dalam pertimbangannya terlebih dahulu menguraikan tentang pengertian
pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999
jo UU Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 2 UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, serta Pasal 92 ayat (1) dan ayat (2)
KUHP. Berdasarkan beberapa dasar hukum itu, maka dapat diketahui bahwa PT. PJ adalah badan
hukum yang menggunakan modal dari korporasi (PT. Pertamina) dan modal korporasi itu berasal
dari keuangan negara, sehingga majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa I dan terdakwa II
identik dengan pegawai negeri sipil yang telah menerima gaji dari negara.
Dalam perkara ini jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa I dan terdakwa II dengan
dakwaan berlapis (subsidair), maka oleh karena itu majelis hakim akan mempertimbangkan
dakwaan primairnya terlebih dahulu, yaitu terdakwa I dan terdakwa II didakwa telah melakukan
tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP yang mengandung unsur-unsur yaitu, setiap orang, secara melawan hukum, melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dilakukan secara besama-sama, dan dilakukan secara
berlanjut.
Pertimbangan majelis hakim terhadap rumusan unsur setiap orang dilakukan dengan
memperhatikan doktrin ilmu hukum pidana tentang unsur barang siapa serta pengertian setiap
orang menurut beberapa ahli, sehingga didapat simpulan bahwa terdakwa I dan terdakwa II adalah
orang yang mempunyai hak dan kewajiban hukum. Jadi, mereka (terdakwa I dan terdakwa II) sudah
termasuk pengertian orang dalam arti hukum. Oleh karena itu unsur setiap orang terpenuhi.
Terkait dengan unsur perbuatan melawan hukum, maka ada beberapa tindakan dari terdakwa
I dan terdakwa II yang mendapatkan perhatian majelis hakim.
Pertama, tindakan terdakwa I dan terdakwa II yang tidak mengusulkan PT. DSL sebagai
pemenang dalam pelelangan/tender dengan penawaran terendah Rp 23.849.000.000,- (dua puluh
tiga milyar delapan ratus empat puluh sembilan juta rupiah) untuk paket pekerjaan klub villa,
suites, floating cafe dan spa, melainkan justru mengusulkan PT. MML dan PT. JKS, dengan alasan
PT. DSL belum berpengalaman membangun sebuah hotel berbintang lima, maka hal ini jelas
bertentangan dengan SOP yang dipergunakan untuk merenovasi Hotel PJ Bali.
Kedua, dalam pekerjaan untuk merenovasi 17 (tujuh belas) cottages, setelah melalui negosiasi
ternyata terjadi perubahan harga satuan dari harga penawaran semula Rp19.956.210.452,-
282 |
JURNAL DES.indd 282
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
(sembilan belas milyar sembilan ratus lima puluh enam juta dua ratus sepuluh ribu empat ratus
lima puluh dua rupiah) menjadi Rp20.675.000.000,- (dua puluh milyar enam ratus tujuh puluh
lima juta rupiah). Hal ini sendiri merupakan pelanggaran dari SOP Nomor 001/SOP/Peng/PJ/
P/10/01 tanggal 29 Oktober 2001 tentang Ketentuan Umum Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa.
Serta ketiga, dalam pekerjaan embassy suites, kitchen equipment, pekerjaan meeting
room, serta paket pekerjaan holding lounge, terdakwa I dan terdakwa II pada saat melaksanakan
pekerjaannya tidak sesuai kontrak serta telah melanggar ketentuan SOP yang dikeluarkan oleh PT.
PJ. Dalam mempertimbangkan unsur perbuatan melawan hukum dari dakwaan primair ini, majelis
hakim dalam Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel merujuk kepada Putusan Mahkamah
Konstitusi yang terkait dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999. Sehingga
untuk dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum harus berpedoman pada atau
memenuhi ciri dari sifat perbuatan melawan hukum yang formal. Artinya, dalam melakukan
perbuatan itu haruslah ada peraturan yang nyata-nyata dilanggar atau memenuhi rumusan suatu
tindak pidana.
Terkait dengan Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini, para terdakwa I dan
terdakwa II didakwa jaksa penuntut umum telah melakukan perbuatan yang merugikan negara
dengan cara melanggar SOP PT. PJ. Untuk hal itu, majelis hakim ikut menguraikan apakah SOP
termasuk kategori peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan atau tidak. Pada akhirnya majelis hakim berkesimpulan bahwa
SOP adalah produk perusahaan sw
asta dan tidak tunduk pada Keputusan Presiden (Kepres.) Nomor 80 Tahun 2003 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa bagi Pemerintah. SOP suatu perusahaan juga tidak ditemukan
dalam tata urutan peraturan perundangan-undangan. Sehingga terdakwa I dan terdakwa II dalam
melakukan renovasi Hotel PJ Bali tidaklah dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan secara
melawan hukum dalam pengertian formal. Dengan demikian, unsur dari Pasal 2 UU Nomor 31
Tahun 1999 tidak terbukti, sehingga unsur-unsur lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
Selanjutnya, majelis hakim mempertimbangkan dakwaan subsidair, yaitu bahwa para
terdakwa telah melanggar ketentuan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor
20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya
yaitu:
1.
Setiap orang;
2.
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3.
Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan;
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 283
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 283
5/16/2012 5:08:14 PM
4.
Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5.
Dilakukan secara bersama-sama.
Untuk dakwaan subsidair ini, unsur setiap orang tidak dipertimbangkan lagi oleh majelis
hakim karena telah dipertimbangkan sebagaimana unsur setiap orang dalam dakwaan primair di
atas.
Sementara unsur yang kedua, yaitu dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi, dipertimbangkan oleh majelis hakim dengan bantuan penjelasan dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan beberapa yurisprudensi. UU Nomor 31 Tahun 1999 tidak
memberikan pengertian yang jelas tentang arti kata memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi. Oleh karenanya majelis hakimpun untuk menguraikan unsur itu merujuk pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia serta Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 951/Pid/1982 dan Nomor
275/K/Pid/1983. Dari rujukan itu diperoleh pemahaman arti kata memperkaya, yaitu sebagai
memperoleh hasil korupsi, walaupun hanya sebagian.
Jika pemahaman tersebut dikaitkan dengan perkara ini, maka tindakan terdakwa I dan
terdakwa II dalam kapasitasnya masing-masing dalam proyek renovasi Hotel PJ Bali yang telah
menguntungkan beberapa perusahaan, yaitu: PT. MML, PT. JKS, PT. KI, PT. PD, dan PT. AEL
pada beberapa paket pekerjaan dalam renovasi Hotel PJ Bali, menurut majelis hakim telah terbukti
dan memenuhi unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Dalam mempertimbangkan unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, majelis hakim memperhatikan beberapa
pendapat, seperti dari R. Wirjono Prodjodikoro dan Andi Hamzah, sehingga majelis hakim
berkesimpulan bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan implisit di dalamnya unsur melawan
hukum. Dan terkait dengan perkara ini, untuk unsur melawan hukum, seperti halnya pada dakwaan
primair yang tidak terbukti, maka begitu pun dengan unsur ketiga dari dakwaaan subsidair yang
mengenai menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan jadi dinyatakan tidak terbukti pula. Oleh karena salah satu unsur dari
dakwaan subsidair itu tidak terbukti, maka unsur lainnya juga tidak perlu dibuktikan lagi.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas serta fakta-fakta yang terungkap di
persidangan, majelis hakim akhirnya memberikan putusan bahwa: terdakwa I dan terdakwa II tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama dan berlanjut sebagaimana tercantum dalam dakwaan primair dan subsidair, membebaskan
terdakwa I dan terdakwa II dari segala dakwaan, memulihkan hak terdakwa I dan terdakwa II,
serta juga memerintahkan terdakwa I dan terdakwa II dikeluarkan dari rumah tahanan negara.
284 |
JURNAL DES.indd 284
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
II. RUMUSAN MASALAH
Hal yang cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut terkait dengan Perkara Nomor 2060/
Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini ialah: Bagaimanakah pemaknaan terhadap isi Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam proses penyelesaian perkara
pidana (Kasus Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL)?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
A. Studi Pustaka
Masyarakat umum, biasanya, mengartikan tindak pidana korupsi ialah berkenaan dengan
keuangan negara yang dimiliki secara tidak sah (Sumaryanto, 2009: 36). Sedangkan menurut
Fockema Andrea, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus. Arti harfiah
korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (Hamzah,
2007: 4-6).
Oleh karena itu, jika membicarakan korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam
itu, karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, buruk, atau bejat
seperti penyelewengan kekuasaan, pengangkatan jabatan karena suatu pemberian, penempatan
keluarga atau kroni di dalam kedinasan di bawah kekuasaannya dan lain sebagainya.
Menyadari dampak dari korupsi yang begitu luas terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara maka tindak pidana korupsi ini dapat dikategorikan sebagai permasalahan bangsa
atau nasional. Untuk dapat menegakan hukum tindak pidana korupsi secara optimal diperlukan
rangkaian panjang unsur-unsur yang menjadi faktor penunjang jalannya hukum tersebut, salah
satunya adalah orang-orang yang akan melaksanakannya (polisi, jaksa, atau hakim melalui
putusannya). Aparat-aparat yang terkait dalam pemberantasan tindak pidana korupsi itupun harus
memahami substansi/aturan yang terkandung dalam khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun
1999 ditujukan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh 2 (dua) orang subjek hukum yang
berbeda dengan kualifikasi tersendiri. Sejarah pembentukan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999
berasal dari Pasal 1 ayat (1) huruf a UU Nomor 3 Tahun 1971. Dan untuk Pasal 3 UU Nomor 31
Tahun 1999 berasal dari Pasal 1 ayat (1) huruf b UU Nomor 3 Tahun 1971.
Mengenai unsur setiap orang dari Pasal 2 akan merujuk pada orang atau badan hukum,
sedangkan unsur setiap orang dalam Pasal 3 akan merujuk pada orang yang memegang jabatan
pemerintahan atau kedudukan (pejabat maupun penyelenggara negara). UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sendiri telah mengakui dan menambah subjek hukum menjadi
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 285
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 285
5/16/2012 5:08:14 PM
3 (tiga) subjek hukum, yaitu: orang perseorangan, pegawai negeri, dan korporasi <http://www.
ahmadheryawan.com/opini-media/ekonomi-bisnis/4329-penerapan-uu-pemberantasan-tindakpidana-korupsi.html>.
Figur hakim tidak dapat disepelekan dalam suatu negara hukum karena pada hakekatnya
hakimlah yang menjalankan kekuasaan kehakiman demi terselenggaranya fungsi peradilan dan
tercapainya tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Fungsi utama hakim adalah
memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam memberikan putusan,
hakim didasarkan pada surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Hal ini senada dengan pendapat Mr.I.A.Negerburgh dalam bukunya Lilik Mulyadi ”Hukum
Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya”, bahwa surat dakwaan sangat
penting dalam pemeriksaan perkara pidana, karena ia merupakan dasarnya, dan menentukan
batas-batas bagi pemeriksaan hakim (Mulyadi, 2007: 92).
Dapat disimpulkan bahwa seorang hakim dalam mengambil putusan hanya boleh
mengenai peristiwa-peristiwa yang ada dalam surat dakwaan tersebut. Seorang hakim tidak
boleh mengubah surat dakwaan sebagaimana ditentukan oleh Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 dan tidak diperkenankan
menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh penuntut umum dalam
surat dakwaannya sebagaimana ditentukan oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 321 K/ Pid/ 1983 tanggal 26 Mei 1984 (Mulyadi, 2007: 94). Surat dakwaan harus
dicantumkan hakim dalam putusannya apabila hal ini diabaikan maka putusan hakim batal
demi hukum (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 694 K/ Pid/ 1984 tanggal
15 Mei 1994).
B. Analisis
1. Tentang Formalitas Putusan
Suatu putusan pengadilan merupakan output dari proses sidang di pengadilan yang meliputi
pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa dan pemeriksaan alat-alat bukti (Muhammad,
1997: 1). Dalam Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel secara jelas terlihat bahwa majelis
hakim telah mengawali putusannya dengan memuat ketentuan formalitas yang mutlak ada di
dalam suatu putusan pengadilan, yaitu (Pasal 197 jo Pasal 199 KUHAP):
286 |
JURNAL DES.indd 286
1.
Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
2.
Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
3.
Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
4.
Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa;
5.
Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
6.
Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan
dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
7.
Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal;
8.
Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan;
9.
Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya
yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
10. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
11. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
12. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan
nama panitera.
Secara sistematis dan eksplisit, ketentuan formalitas mengenai putusan dalam hukum acara
pidana sudah dapat dilihat di dalam Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini. Dalam
putusan ini terlihat secara jelas bahwa dakwaan dari jaksa penuntut umum yang kemudian
dianalisis oleh majelis hakim memuat pertimbangan terhadap fakta hukum serta alat bukti,
baik berupa keterangan saksi yang berjumlah sekitar 17 (tujuh belas) orang, keterangan ahli,
surat maupun keterangan terdakwa. Semuanya itu telah dihadirkan di muka persidangan dengan
jelas. Dengan demikian, putusan majelis hakim dalam perkara ini telah didukung dan memenuhi
ketentuan bahwa putusan harus disertai dengan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, sebagaimana
diatur dalam Pasal 183 jo Pasal 185 KUHAP.
Pada bagian akhir dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa
I dan terdakwa II tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana yang tercantum dalam dakwaan primair dan
subsidair, sehingga majelis hakim membebaskan terdakwa I dan terdakwa II dari segala dakwaan
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 287
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 287
5/16/2012 5:08:14 PM
serta memulihkan haknya. Majelis hakim juga memerintahkan agar terdakwa I dan II dikeluarkan
dari rumah tahanan negara.
Dalam Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, majelis hakim mendasari amar
putusannya dengan Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 KUHP, dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP,
yang sesuai dengan surat dakwaan, namun tidak sesuai dengan requisitoir jaksa penuntut umum.
2. Tentang Substansi Dakwaan yang Dianalisis oleh Majelis Hakim
Dalam Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel, yang dakwaan asalnya adalah
mendakwa terdakwa I dan terdakwa II melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama
dan berlanjut, majelis hakim dalam pengambilan putusannya telah mendasarkan pada dakwaan
dari jaksa penuntut umum, yaitu: Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, serta Pasal 3 jo Pasal 18
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal
64 ayat (1) KUHP. Tetapi, hal ini berbeda dengan dasar requisitoir jaksa penuntut umum, di mana
dalam requisitoir Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999-nya tidak di-juncto-kan dengan Pasal 18 UU
Nomor 31 Tahun 1999. Begitu pula dengan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tidak di-junctokan dengan Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999.
Dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam perkara ini pada saat pengambilan
putusan, menurut peneliti, kurang tepat karena hal yang terkandung dalam Pasal 2 berbeda dengan
yang terkandung dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Seharusnya, majelis hakim mengkaji
terlebih dahulu apakah kedua pasal yang didakwakan kepada para terdakwa itu sudah tepat dibuat
dalam bentuk subsidaritas atau tidak. Karena menurut peneliti, kedua pasal tersebut berdiri sendiri,
di mana yang satu bukanlah merupakan pemberatan atau sebaliknya dari yang lainnya, sehingga
lebih tepat kalau dakwaan jaksa penuntut umum itu disusun dalam bentuk alternatif. Begitupun
bagi majelis hakim, menurut peniliti, sebaiknya majelis hakim dalam membaca dan memahami
dakwaan ini lebih tepat apabila melihatnya (dari perspektif) tersusun secara alternatif.
Secara keseluruhan, Putusan Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini telah didukung
oleh fakta hukum yang kuat serta sistematis. Dalam membuktikan unsur tindak pidana dan
kesalahan yang dilakukan oleh para terdakwa, majelis hakim telah menggunakan doktrin dan
yurisprudensi, tetapi tanpa menggunakan sumber hukum lainnya seperti nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat.
Kelemahan dari putusan ini adalah saat majelis hakim menguraikan unsur Pasal 2 dan Pasal
3 UU Nomor 31 Tahun 1999, di mana salah satu unsurnya yaitu setiap orang, hanya dijelaskan
dengan menggunakan doktrin setiap orang yang diartikan sebagai yang mempunyai hak dan
288 |
JURNAL DES.indd 288
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
kewajiban hukum. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai unsur setiap orang itu. Padahal
menurut peneliti, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang didakwakan kepada para
terdakwa memiliki perbedaan, yaitu:
Mengenai unsur setiap orang dari Pasal 2 akan merujuk pada orang atau badan hukum,
sedangkan unsur setiap orang dalam Pasal 3 akan merujuk pada orang yang memegang jabatan
pemerintahan atau kedudukan (pejabat maupun penyelenggara negara) (Atmasasmita, 2009). UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sendiri telah mengakui dan menambah
subjek hukum menjadi 3 (tiga) subjek hukum, yaitu: orang perseorangan, pegawai negeri, dan
korporasi.
Mengenai ancaman hukumannya pun berbeda, yaitu dalam Pasal 2 minimal pidana
penjaranya 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, atau dalam keadaan tertentu
dapat pula dikenai hukuman mati. Denda dalam Pasal 2 minimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) dan maksimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Sedangkan ancaman hukuman
dalam Pasal 3 adalah pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Terkait dengan Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini, menurut peneliti, unsur
setiap orang yang terdapat dalam Pasal 3 Nomor 31 Tahun 1999 lebih tepat digunakan untuk para
terdakwa.
Selain kelemahan tersebut di atas, menurut peneliti, kelemahan lain dalam Putusan Nomor
2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel ini adalah saat majelis hakim menguraikan unsur kesalahan, yaitu
unsur melawan hukum, sebagai bagian dari unsur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang
didakwakan kepada para terdakwa. Dalam menguraikan unsur melawan hukum itu, majelis hakim
menggunakan acuan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (MK), di mana MK pernah memutuskan
bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Artinya, melawan hukum yang dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999
adalah yang bersifat melawan hukum yang formal dan materiel, dan ajaran melawan hukum
materiel yang dimaksud adalah melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif.
Menurut Roeslan Saleh, melawan hukum materiel tidaklah hanya sekedar bertentangan
dengan hukum tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sedangkan melawan
hukum formal adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Menurut kepustakaan hukum
pidana ada 2 (dua) fungsi ajaran sifat melawan hukum materiel, yaitu: sifat melawan hukum
materiel dalam fungsinya yang positif yaitu suatu perbuatan meskipun oleh peraturan perundangundangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat
perbuatan tersebut bersifat melawan hukum maka perbuatan yang dimaksud merupakan perbuatan
yang melawan hukum; dan sifat melawan hukum materiel dalam fungsinya yang negatif yaitu
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 289
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 289
5/16/2012 5:08:14 PM
suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang
bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan
hukum, maka perbuatan yang dimaksud tidak bersifat melawan hukum (Wiyono, 2008: 32).
Berkaitan dengan penjelasan tersebut di atas, yurisprudensi di Indonesia pun telah
membenarkan adanya penerapan ajaran sifat melawan hukum materiel melalui fungsi positifnya,
yaitu dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 275/K/Pid/1983, Putusan MA
Nomor 2477/K/Pid/1988.
Menurut Indriyanto Seno Adji, penerapan sifat melawan hukum materiel melalui fungsinya
yang positif dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi hanyalah bersifat kondisional dan
kasuistis, khususnya terhadap pelanggaran-pelanggaran yang tercela dan koruptif tetapi yang
tidak terjangkau oleh hukum. Terhadap penerapan hal tersebut, Indriyanto Seno Adji memberikan
kriteria yang ketat dan limitatif, yaitu: apabila perbuatan pelaku tidak memenuhi rumusan
delik, dipandang dari kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang besar dan jauh
tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan yang diakibatkan
perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan perkara ini, majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa yang
melanggar SOP bukanlah merupakan tindakan melawan hukum, karena SOP bukanlah suatu
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalam menganalisis unsur melawan hukum,
terlihat bahwa majelis hakim telah melakukan penafsiran secara restriktif terhadap makna secara
melawan hukum itu, karena majelis hakim hanya melihat melawan hukum secara formalnya saja.
Perlu diingat kembali, bahwa penafsiran restriktif tersebut merupakan penafsiran yang bersifat
membatasi (Mertokusumo, 1993: 67).
Apabila dikaji lebih jauh, SOP benar bukan termasuk peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, namun SOP merupakan
suatu aturan tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak, di mana kesepakatan kedua belah
pihak menurut hukum perdata bernilai sebagai (sama dengan) undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Jika SOP bukan peraturan perundang-undangan, maka menurut peneliti, majelis hakim
justru seharusnya menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana dinyatakan bahwa hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup di
masyarakat. Majelis hakim harus bisa melihat bahwa masalah tindak pidana korupsi di Indonesia
saat ini sudah begitu meluas, terus meningkat jumlah kejadiannya dan sangat mengkhawatirkan,
serta sudah menimbulkan kerugian yang besar bagi negara. Dari perspektif itu, maka putusan
untuk membebaskan para terdakwa tentu bukanlah pilihan yang tepat dan bijak. Dalam perkara
ini, karena terdakwa I dan terdakwa II tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
290 |
JURNAL DES.indd 290
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah didakwakan, maka dalam putusannya majelis
hakim juga tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang memberatkan dan/atau meringkankan
para terdakwa.
Simpulan yang dapat diambil dari pembahasan pada bagian ini ialah bahwa pembuktian
unsur-unsur tindak pidana dalam Putusan Perkara Nomor 2060/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel dapat
dikategorikan lemah. Hal ini dapat dilihat dari majelis hakim yang belum dapat menguraikan
secara jelas unsur setiap orang yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun
1999. Selain itu, untuk menguraikan unsur melawan hukum yang terdapat di dalam Pasal 2,
majelis hakim juga tidak melakukan upaya untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum serta keadilan yang hidup di masyarakat.
IV. SIMPULAN
Terdapat perbedaan pemaknaan isi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dalam penyelesaian perkara pidana (Kasus Nomor 2060/PID.B/2006/
PN.JAK.SEL). Dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam perkara ini pada saat
pengambilan putusan, menurut penulis, kurang tepat karena hal yang terkandung dalam Pasal 2
berbeda dengan yang terkandung dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Seharusnya, majelis
hakim mengkaji terlebih dahulu apakah kedua pasal yang didakwakan kepada para terdakwa itu
sudah tepat dibuat dalam bentuk subsidaritas atau tidak. Karena menurut penulis, kedua pasal
tersebut berdiri sendiri, di mana yang satu bukanlah merupakan pemberatan atau sebaliknya dari
yang lainnya, sehingga lebih tepat kalau dakwaan jaksa penuntut umum itu disusun dalam bentuk
alternatif. Begitupun bagi majelis hakim, menurut peneliti, sebaiknya majelis hakim dalam
membaca dan memahami dakwaan ini lebih tepat apabila melihatnya (dari perspektif) tersusun
secara alternatif.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Indriyanto Seno. 2009. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Jakarta:
Diadit Media.
Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Hamzah, Andi. 2007. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
------------------. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Marpaung, Leden. 2008. Asas, Teori, Praktik Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 291
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 291
5/16/2012 5:08:14 PM
Mulyadi, Lilik Mulyadi. 2007. Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan
Permasalahannya. Bandung: PT. Alumni.
Nurdjana, I.G.M. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya
Keadilan Melawan Mafia Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sumaryanto, A. Djoko. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam
Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Wiyono, R. 2008. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta:
Sinar Grafika.
292 |
JURNAL DES.indd 292
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
KANDASNYA KRIMINALISASI
PERKARA PERDATA MURNI
Kajian Putusan Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst.
Sholahuddin Harahap
Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Jalan Rangga Gading Nomor 8 Bandung 40116
email: [email protected]
ABSTRACT
TGHC, ETRL and PTGI (the three legal companies established under the laws of British Virgin
Island) have agreed to hold an agreement set forth in notarial deeds. In practice, there were
conflicts of management, ownership of shares, and breach of contract. The parties sued each
other. The judiciary, in this case the High Court of British Virgin Island, finally dropped its
decision. However, after receiving files from the criminal investigators, public prosecutors
still filed the case to the Central Jakarta District Court. The author of this article analyzes the
decision of the Central Jakarta District Court over the case. He also distinguished the court
rulings between the terms of “ontslag van alle rechtsvervolging” (released from all indictments)
and “vrijspraak” (freed because of no wrongdoings).
Keywords: agreement, ontslag van alle rechtsvervoling, vrijspraak
ABSTRAK
TGHC, ETRL dan PT GI (tiga perusahaan hukum yang diririkan berdasarkan hukum British
Virgin Island) memiliki perjanjian yang tertuang dalam akta notaris. Dalam prakteknya
terjadi konflik dalam manajemen, kepemilikan saham, dan pelanggaran kontrak. Dalam
bidang hukum, Pengadilan Tinggi British Virgin Island pada akhirnya mengalahkan terdakwa.
Terdakwa melakukan upaya hukum dengan melalui pengadilan negeri Jakarta Pusat dimana
salah satu putusannya ialah membebaskan terdakwa lepas dari tuntutan hukum, ontslag van alle
rechtsvervolging. Dalam kasus ini, penulis menganalisi putusan PN Jakarta Pusat dimana salah
satu putusannya terkait “ontslag van alle rechtsvervolging” and “vrijspraak” (freed because of
no wrongdoings).
Keywords: perjanjian, lepas dari tuntutan hukum, putusan bebas.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 293
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 293
5/16/2012 5:08:14 PM
I.
PENDAHULUAN
Praktek penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, sehubungan dengan kenyataan hukum
dan moralitas penegak hukum, jika dicermati sering kali menghasilkan keputusan atau vonis yang
justru melawan rasa keadilan masyarakat atau kontroversial. Keputusan tersebut tidak sematamata dibebankan pada pengadilan, akan tetapi juga tidak terlepas dari peran atau andil penuntut
umum atau penyidik. Tidak jarang ditemukan perkara yang sudah nyata-nyata bukan merupakan
perbuatan pidana tetapi tetap bermuara ke peradilan pidana, sebagaimana kasus yang akan penulis
teliti di bawah ini, yaitu:
Berawal dari minat PT E (merupakan anak perusahaan PT P (Persero) dengan saham 40,1%)
untuk mengakuisisi 100% saham CPRL selaku suatu perusahaan penambangan minyak Blok
Ramba di Sumatera Bagian Selatan. Selanjutnya PT E mengajak perusahaan TGHC (didirikan
berdasarkan hukum British Virgin Island) yang sahamnya dimiliki masing-masing 33,3% oleh
US, ESK dan RL untuk bergabung mengelola penambangan Blok Ramba, dan untuk itu PT E
dan TGHC mendirikan perusahaan patungan (konsorsium) yang diberi nama ETRL (didirikan
berdasarkan hukum British Virgin Island) yang susunan sahamnya 75% dimiliki oleh TGHC dan
25% dimiliki oleh PT E, sedangkan direksinya adalah US, DB, RL dan ESK.
Untuk membayar pembelian saham CPRL sebesar US$21.500.000,-, TGHC mendapat
pinjaman sebesar US$2.000.000,- dari PT HP. Selanjutnya pada tanggal 16 September 2007
TGHC sebagai pemegang saham terbanyak di ETRL yang juga telah mendapat persetujuan dari
PT E menghubungi dan mendapat pinjaman (Loan Agreement) dari PTGI (perusahaan didirikan
berdasarkan hukum British Virgin Island) sebesar US$25.000.000,- dengan syarat antara lain,
bunga 18,84% per tahun, PTGI berhak mengeksekusi saham-saham US, ESK dan RL di TGHC
jika US, ESK dan RL wanprestasi. Selain itu (pada hari yang sama) ditandatangani pula Perjanjian
Pembelian Saham (Share Subscription Agreement) antara TGHC dengan PTGI yang syaratnya
antara lain, PTGI berhak menempatkan direksi dengan komposisi 50% pada TGHC yang untuk
itu diangkat AWSS (terdakwa I) dan FDD (terdakwa II) menjadi direktur TGHC, dan juga RL dan
ESK. Berdasarkan hasil rapat tanggal 25 Agustus 2008 yang tanpa dihadiri oleh RL selaku direksi
telah dilakukan pergantian direksi TGHC menjadi AWSS, FDD, HS, ESK dan BN. Begitu pula
pada tanggal 27 Agustus 2008 telah dilakukan penggantian direksi ETRL menjadi AWSS, FDD,
HS, ESK dan BN.
Pada tanggal 1 September 2008 terdakwa I dan terdakwa II mengambil alih dan menguasai
manajemen ETRL, selanjutnya AWSS dan FDD telah mengganti speciment (contoh tanda
tangan) pada Bank BNI Cabang Musi Palembang dan telah pula melakukan pengiriman uang atau
pembayaran-pembayaran kepada Manwani Santos Tekchand dkk. Pada tanggal 20 September
2008 dilakukan eksekusi saham US, ESK dan RL pada TGHC atas wanprestasi yang mereka
lakukan terhadap PTGI.
294 |
JURNAL DES.indd 294
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
Kekisruhan yang terjadi antara TGHC (selaku penggugat) melawan ETRL dkk (selaku para
tergugat) dibawa ke hadapan Pengadilan Tinggi British Virgin Island dengan register perkara/
putusan Nomor BVICV 305/2008, tanggal 18 Juni 2008 (masalah kepengurusan). Begitu pula
kekisruhan antara PTGI (selaku penggugat) melawan TGHC dkk (selaku para tergugat) dibawa ke
hadapan Pengadilan Tinggi British Virgin Island dengan register perkara/putusan Nomor BVICV
311/2008, tanggal 18 Juni 2008 (masalah kepemilikan saham).
Setelah mengalami kekalahan di muka sidang Pengadilan Tinggi British Virgin Island,
maka pada tanggal 20 Oktober 2008 pihak US dkk melaporkan pula pengurus PTGI dan pengurus
ETRL kepada Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya dan
Sekitarnya. Upaya jaksa penuntut umum dalam menindaklanjuti hasil penyidikan yang dilakukan
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Sekitarnya
adalah dengan mendakwa terdakwa I (AWSS) dan terdakwa II (FDD) di muka Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan dakwaan berlapis yaitu:
Dakwaan kesatu: Melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat
(1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Dakwaan kedua: Melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 372
KUHPidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. Dakwaan
ketiga: Melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat
(1) KUHP.
Akhirnya pada tanggal 21 Oktober 2010, majelis hakim perkara pidana Nomor 259/
Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut:
1.
Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa I AWSS dan terdakwa II FDD
telah terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana;
2.
Menetapkan para terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging);
3.
Memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya;
4.
Menetapkan barang bukti berupa:
5.
Perjanjian antara PT E dengan TGHC tanggal 26 Mei 2007 untuk ……. dst (terdiri dari 22
item);
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 295
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 295
5/16/2012 5:08:14 PM
6.
Seluruhnya dikembalikan pada yang berhak;
7.
Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada negara.
II. RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan kasus posisi, dakwaan penuntut umum dan putusan majelis hakim
perkara Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. tersebut di atas, maka yang menjadi pertanyaan
selanjutnya adalah:
1.
Apakah putusan majelis hakim perkara nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. telah tepat
dan benar baik dari segi hukum pidana formal maupun segi hukum pidana materil?
2.
Bagaimana perilaku majelis hakim perkara nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. yang
menangani dan memutus perkara tersebut dikaitkan dengan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
A. Studi Pustaka
Hukum pidana formal merupakan istilah lain dari hukum acara pidana yang oleh J.M.
van Bemmelen dirumuskan sebagai kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara
bagaimana negara, bilamana dihadapi pada suatu kejadian yang menimbulkan syak wasangka
telah terjadi suatu pelanggaran hukum pidana, dengan perantaraan alat-alatnya mencari kebenaran,
menetapkan di muka dan oleh hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan,
bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti, dan bagaimana keputusan itu
harus dijalankan (Amin, 1975: 27).
Hukum acara pidana itu diciptakan untuk sebagai sarana dalam rangka penegakan hukum
dan keadilan dalam mewujudkan kehidupan yang tertib dan tenteram dalam masyarakat. Dapat
disimpulkan apabila hukum material tidak ditunjang oleh hukum formal (hukum acara) jadilah
hukum material itu hukum mati (Siregar, 1983: 46).
Menyimak pengertian hukum acara pidana dari kedua pakar tersebut dapat disimpulkan
betapa luasnya kajian hukum acara pidana itu yang meliputi pemeriksaan di tingkat penyelidikan
dan/atau penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, upaya hukum dan pelaksanaan
putusan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan hukum pidana material (substantif), sehingga pada
tempatnya kajian ini harus dibatasi hanya pada pemeriksaan di tingkat persidangan khususnya yang
menyangkut “putusan”. Ketentuan Pasal 1 butir 11 KUHAP memuat definisi putusan pengadilan
yaitu: “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
296 |
JURNAL DES.indd 296
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
yang diatur dalam undang-undang ini”. Lebih lanjut Pasal 195 KUHAP menggariskan: “Semua
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang
terbuka untuk umum”.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 butir 11 dan Pasal 195 KUHAP tersebut Leden
Marpaung menyimpulkan: Dengan demikian untuk sahnya suatu putusan pengadilan harus
memenuhi syarat-syarat: memuat hal-hal yang diwajibkan (Pasal 197 ayat (1) (2)); Diucapkan di
sidang terbuka untuk umum. Hal-hal tersebut di atas yang harus dinyatakan sebagai syarat mutlak
sesuatu “putusan” sedang hal-hal lain misalnya dengan hadirnya terdakwa, tidak merupakan
syarat mutlak” (Leden Marpaung, 1992: 422). Pengaturan lebih lanjut mengenai syarat (muatan)
suatu putusan dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan Pasal 199 ayat (1)
KUHAP, yaitu: Pasal 197 ayat (1) KUHAP menentukan,
Surat putusan pemidanaan memuat:
a.
kepala putusan yang dituliskan berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.
dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.
pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa;
e.
tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f.
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan
dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g.
hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal;
h.
pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan;
i.
ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya
yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j.
keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 297
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 297
5/16/2012 5:08:14 PM
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.
perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.
hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama
panitera.
Pasal 199 ayat (1) KUHAP menentukan,
Surat putusan bukan pemidanaan memuat:
a.
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;
b.
pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar putusan;
c.
perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.
Mengenai putusan apa saja yang dapat dijatuhkan pengadilan kepada terdakwa, dapat
diketahui dari ketentuan Pasal 191 ayat (1), (2) KUHAP dan Pasal 193 ayat (3) KUHAP yaitu:
1.
Putusan Bebas, dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan (Vrijspraak);
2.
Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum, dijatuhkan jika pengadilan berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana (Ontslag van alle rechtsvervolging);
3.
Putusan Pemidanaan, dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
P.A.F. Lamintang memberi pengertian tentang putusan bebas yaitu apabila hakim
berpendapat, bahwa satu atau lebih unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka hakim harus memutuskan suatu pembebasan atau
suatu vrijspraak bagi terdakwa. Akan tetapi dapat juga terjadi, bahwa semua unsur dari tindak
pidana yang didakwakan kepada seorang terdakwa itu memang terbukti secara sah telah dipenuhi
oleh terdakwa, akan tetapi hakim tidak yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak
pidana tersebut.
Dalam hal semacam itu orang juga dapat mengatakan, bahwa kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya ternyata tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, hingga
oleh hakim terdakwa juga harus diputus bebas. Mengenai putusan lepas dari segala tuntutan
hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) Lamintang mengatakan: Untuk dapat dianggap
298 |
JURNAL DES.indd 298
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
sebagai perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana itu adalah tidak perlu, bahwa penuntut
umum telah mendakwakan sesuatu perbuatan yang sebenarnya tidak terlarang menurut undangundang, akan tetapi juga dapat terjadi bahwa penuntut umum telah mendakwakan suatu tindak
pidana kepada seorang terdakwa, akan tetapi dalam surat dakwaannya ia telah lupa mendakwakan
sesuatu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan. Misalnya penuntut umum telah bermaksud
untuk mendakwakan tindak pidana pencurian seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP kepada
seorang terdakwa, akan tetapi telah lupa mendakwakan unsur “dengan maksud untuk menguasai
benda yang diambilnya itu secara melawan hukum” di dalam surat dakwaannya, sehingga
hakim juga tidak dapat menyatakan unsur tersebut sebagai terbukti telah dipenuhi oleh terdakwa
(Lamintang, 1984: 448-449).
Berkaitan dengan putusan bebas (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag
van alle rechts vervolging), perlu pula disimak pendapat Yahya Harahap yang mengatakan:
Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum
(vrij spraak) atau acquittal. Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari
pemidanaan. Tegasnya terdakwa “tidak dipidana”. Sedangkan mengenai pengertian putusan lepas
dari segala tuntutan hukum, Yahya Harahap mengatakan “Untuk melihat lebih jelas apa yang
dimaksud dengan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, ada baiknya bentuk putusan
ini diperbandingkan dengan putusan pembebasan. Pembandingan tersebut dapat ditinjau dari
beberapa segi, antara lain:
a.
Ditinjau dari Segi Pembuktian: Pada putusan pembebasan, perbuatan tindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan. Jadi,
tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif serta tidak
memenuhi asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Lain halnya pada putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan
kepada terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut
undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183.
Akan tetapi, perbuatan yang terbukti itu “tidak merupakan tindak pidana”. Tegasnya
perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu, tidak ada diatur dan tidak
termasuk ruang lingkup hukum pidana. Tetapi mungkin termasuk lingkup hukum
perdata, hukum asuransi, hukum dagang, atau hukum adat.
b.
Ditinjau dari Segi Penuntutan: Pada putusan pembebasan, perbuatan yang dilakukan
dan didakwakan kepada terdakwa benar-benar perbuatan tindak pidana yang harus
dituntut dan diperiksa di sidang “pengadilan pidana”. Cuma dari segi pembuktian,
pembuktian yang ada tidak cukup mendukung keterbukaan kesalahan terdakwa.
Oleh karena itu, kesalahan terdakwa tidak terbukti, terdakwa “diputus bebas” dan
membebaskan dirinya dari ancaman pidana yang diancamkan pada pasal tindak
pidana yang didakwakan kepadanya. Sedang pada putusan pelepasan dari segala
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 299
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 299
5/16/2012 5:08:14 PM
tuntutan hukum, pada hakikatnya apa yang didakwakan kepadanya bukan merupakan
perbuatan tindak pidana. Barangkali hanya berupa quasi tindak pidana, seolah-olah
penyidik dan penuntut umum melihatnya sebagai perbuatan tindak pidana” (Yahya
Harahap, 2002: 352).
Selanjutnya dalam menjatuhkan putusan hakim harus berpedoman pada Pasal 183 KUHAP
yang menentukan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
B. Analisis Putusan
Menyimak dan mencermati isi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 259/
Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. dikaitkan dengan syarat putusan sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 197 ayat (1) KUHAP, maka putusan a quo telah memenuhi formalitas yang ditentukan
karena telah memuat kepala putusan yang bertuliskan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para terdakwa, surat dakwaan, pertimbangan hukum baik
mengenai fakta maupun mengenai alat pembuktian, waktu musyawarah majelis hakim, biaya
perkara dan ketentuan mengenai barang bukti, hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum,
nama hakim yang memutus dan nama panitera.
Sedangkan tidak dimuatnya hal-hal tuntutan pidana, pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar pemidanaan, keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa,
juga mengenai pernyataan kesalahan terdakwa dan pernyataan telah terpenuhinya semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan adalah telah tepat
dan benar tidak dicantumkan dalam putusan sebab majelis hakim perkara Nomor 259/Pid.B/2010/
PN.Jkt.Pst. telah menjatuhkan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag van alle
rechtsvervolging) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang merupakan ketentuan batas minimum
pembuktian (alat bukti) yang harus dimiliki oleh hakim dalam memutus suatu perkara, maka
sesungguhnya dalam perkara Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. majelis hakim telah menemukan
dua bahkan lebih alat bukti yang diperlukan, namun hakim tidak mempunyai keyakinan bahwa
perbuatan yang terbukti itu merupakan perbuatan pidana melainkan merupakan perbuatan perdata
sebagaimana dipertimbangan pada halaman 108 alinea keempat dan halaman 109 alinea kesatu
dan kedua yang mempertimbangkan:
“Menimbang, bahwa seluruh perbuatan hukum yang dilakukan oleh para terdakwa
dalam perkara ini setelah majelis hakim meneliti bukti-bukti tertulis baik yang
diajukan penuntut umum maupun yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa,
ternyata segala hal perbuatan hukum yang dilakukan oleh para terdakwa dilandasi
300 |
JURNAL DES.indd 300
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:14 PM
dengan adanya perjanjian-perjanjian yang didasarkan pada akta otentik”;
“Menimbang, bahwa berpedoman pada putusan Pengadilan British Virgin Island dan
bukti-bukti yang berupa perjanjian-perjanjian yang berbentuk akta otentik tersebut,
majelis hakim berkesimpulan bahwa perbuatan hukum para terdakwa tersebut lebih
cenderung termasuk dalam perbuatan keperdataan”;
“Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah dipertimbangkan sebagaimana
tersebut di atas, selanjutnya majelis hakim berpendapat bahwa sungguhpun perbuatan
yang unsur-unsur dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa tersebut telah
terpenuhi, tetapi perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana,
maka terhadap terdakwa harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onstslag van
recht vervolging)”.
Setelah kajian dari segi hukum pidana formal sebagaimana diuraikan di atas, maka pada
kesempatan berikut ini dicoba pula menganalisa putusan a quo dari segi hukum pidana substansial
atau hukum pidana materil. Adapun dakwaan yang didakwakan penuntut umum kepada para
terdakwa disusun secara berlapis yang dimulai dari dakwaan kesatu mengenai secara bersamasama dan berlanjut melakukan korupsi, dakwaan kedua melakukan penggelapan dan dakwaan
ketiga melakukan pencucian uang.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pada tanggal 21 Oktober 2010 majelis hakim perkara
pidana Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. menjatuhkan putusan dengan amar antara lain:
1.
Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa I AWSS dan terdakwa II
FDD telah terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana;
2.
Menetapkan para terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging);
3.
Memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya;
Menurut pendapat penulis, putusan majelis hakim perkara pidana Nomor 259/Pid.B/2010/
PN.Jkt.Pst. yang telah menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging) kepada para terdakwa AWSS dan FDD adalah keliru dan tidak tepat. Pada
halaman 94 putusan a quo dimuat: “Menimbang, bahwa dalam dakwaan kesatu para terdakwa
telah didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU.31/1999 jo UU.20/2001 jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1.
Setiap orang;
2.
Secara melawan hukum;
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 301
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 301
5/16/2012 5:08:14 PM
3.
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
4.
Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5.
Keturut sertaan dalam perbuatan;
6.
Beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan yang berlanjut”.
Dalam pertimbangan selanjutnya yaitu pada halaman 102, dipertimbangkan tentang unsur
“merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Pada akhir dari pertimbangan unsur ini (alinea
kelima) disebutkan: “….., bahwa Bank BNI Cabang Musi Palembang berdasarkan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya, ternyata adalah suatu badan hukum atau perusahaan yang
menyertakan modal negara, sehingga perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa sebagaimana
telah diuraikan di atas, jelas telah menimbulkan kerugian pada keuangan negara, dengan demikian
unsur tersebut telah terpenuhi”.
Bagaimana mungkin, unsur dari pasal ini dikatakan telah terpenuhi atau telah terbukti.
Jangankan bukti-bukti yang menyatakan tentang kerugian keuangan atau perekonomian negara,
bukti-bukti yang menunjukkan adanya keterkaitan antara Bank BNI Cabang Musi Palembang
dengan perbuatan para terdakwa saja tidak ada bukti-bukti yang bisa mendukung. Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan majelis hakim
baik berdasarkan keterangan saksi-saksi maupun berdasarkan bukti surat tidak dapat ditemukan
atau dengan kata lain pertimbangan hukum tersebut tidak didukung dengan alat-alat bukti.
Transfer atau pengiriman-pengiriman uang yang dilakukan oleh Bank BNI Cabang Musi
Palembang kepada Manwani Santos Tekchand dkk adalah transfer atau pengiriman yang sah
dan sesuai dengan hukum. Uang yang dikirim oleh Bank BNI Cabang Musi Palembang sesuai
dengan bukti yang terungkap di persidangan merupakan uang milik TGHC dan/atau ETRL yang
disimpan pada Bank BNI Cabang Musi Palembang. Jadi tidak ada kerugian Bank BNI Cabang
Musi Palembang. Jadi unsur kerugian keuangan atau perekonomian negara tidak terpenuhi atau
tidak terbukti.
Oleh karena salah satu unsur dari dakwaan kesatu yaitu kerugian keuangan atau perekonomian
negara tidak terpenuhi, maka bukan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging) yang dijatuhkan oleh majelis hakim perkara Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.
Pst. akan tetapi adalah putusan bebas (vrijspraak). Lebih-lebih lagi jika dicermati pembahasan
mengenai unsur kelima mengenai “Keturut sertaan dalam perbuatan” (deelneming) dan unsur
keenam mengenai “perbuatan yang berlanjut” (voorgezette handeling), yang tidak menjawab
apakah kedua unsur ini terpenuhi atau tidak, sebab pembahasan terhadap kedua unsur tersebut
tidak selesai atau tuntas. Dengan demikian semestinya majelis hakim perkara Nomor 259/
Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. membebaskan para terdakwa dari dakwaan kesatu.
302 |
JURNAL DES.indd 302
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
Dakwaan kedua para terdakwa didakwa melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan
diancam dalam Pasal 372 KUHPidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1)
KUHPidana yang salah satu unsurnya adalah:
1.
Barang siapa;
2.
Dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri;
3.
Barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain;
4.
Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.
Bila fakta-fakta yang terungkap di persidangan dikaitkan dengan unsur-unsur dakwaan kedua,
maka jelas dakwaan kedua ini telah terpenuhi atau terbukti. Namun apa yang telah terbukti itu
harus pula dikaitkan dengan fakta adanya putusan Pengadilan Tinggi British Virgin Island register
perkara/putusan Nomor BVICV 305/2008, tanggal 18 Juni 2008 yang mensahkan kedudukan
para terdakwa sebagai direksi ETRL juga putusan Pengadilan Tinggi British Virgin Island register
perkara/putusan Nomor BVICV 311/2008, tanggal 18 Juni 2008 yang memutuskan PTGI sebagai
pemegang gadai. Kedua putusan Pengadilan Tinggi British Virgin Island tersebut dijatuhkan
tanggal 18 Juni 2008 atau jauh sebelum pihak US dkk melaporkan para terdakwa AWSS dan
FDD ke penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya dan Sekitarnya (laporan
polisi dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2008).
Disahkannya pengangkatan para terdakwa sebagai direksi ETRL tentu mereka mempunyai
kewenangan-kewenangan dalam menjalankan roda perusahaan, termasuk melakukan pembayaran
atau transfer uang kepada Manwani Santos Teckhand dkk. sebagai kewajiban-kewajiban
perusahaan ETRL yang harus dibayar atau dipenuhi. Dengan demikian berdasarkan bukti-bukti
yang ada terhadap dakwaan kedua ini majelis hakim pada tempatnya menjatuhkan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum. Sedangkan dakwaan ketiga para terdakwa didakwa melakukan
perbuatan pencucian uang sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Oleh karena dalam dakwaan kesatu para terdakwa dibebaskan dan dalam dakwaan kedua
para terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum, maka sudah barang tentu dalam dakwaan
ketiga ini para terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum karena walaupun unsur-unsur
yang didakwakan telah terbukti sebagaimana dalam dakwaan kedua, akan tetapi perbuatan yang
dilakukan para terdakwa merupakan perbuatan perdata murni.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yang dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 303
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 303
5/16/2012 5:08:15 PM
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Hakim sebagaimana ditentukan Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pejabat yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang dan hakim harus pula memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum serta
dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.Pengadilan
yang mandiri, netral, kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa yang mampu menegakkan
wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine
qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Untuk mencapai
keadaan tersebut, hakim dianggap sebagai aktor utama yang dituntut untuk tetap mengasah
kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme
dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak.
Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku
hakim sebagaimana ditertuangkan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan
secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas
yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan (SKB
KMA - P.KY, 2009: Pembukaan).
Akhirnya implementasi kewajiban hakim tersebut dapat diketahui dari Keputusan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009,
Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang mengatur
prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim yaitu Berperilaku Adil, Berperilaku
Jujur, Berperilaku Arief dan Bijaksana, Bersikap Mandiri, Berintegritas Tinggi, Bertanggung
Jawab, Menjunjung Tinggi Harga Diri, Berdisiplin Tinggi, Berperilaku Rendah Hati, dan Bersikap
Profesional.
Berkenaan dengan 10 (sepuluh) aturan kode etik dan pedoman perilaku hakim tersebut di
atas, maka penulis mencoba mengkaji dua aturan yaitu “Bersikap Profesional” dan “Berdisiplin
Tinggi” dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21 Oktober 2010,
Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst.
Bersikap Profesional. Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad
untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh
keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan
mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan,
serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya
mutu hasil pekerjaan, efektif dan efesien. Lebih lanjut, untuk penerapannya digariskan “Hakim
304 |
JURNAL DES.indd 304
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta
yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang
menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya”.
Pada halaman 94 putusan a quo dimuat: “Menimbang, bahwa dalam dakwaan kesatu para
terdakwa telah didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 jo UU 20/2001 jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1.
Setiap orang;
2.
Secara melawan hukum;
3.
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
4.
Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5.
Keturut sertaan dalam perbuatan;
6.
Beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan yang berlanjut”.
Pada analisa atau pertimbangan hukum terhadap unsur ke-5 mengenai keturut sertaan dalam
perbuatan tidak dipertimbangkan sampai tuntas bahkan tercampur atau berbaur dengan unsur ke-6,
sedangkan unsur ke-6 penulis tidak menemukan pertimbangan-pertimbangan atau analisanya,
dengan kata lain sama sekali tidak ditemukan pembahasan mengenai unsur ke-6 mengenai
“Beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai
satu perbuatan yang berlanjut”. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakim dalam
perkara a quo telah mengingkari kewajibannya untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam
membuat keputusan.
Kurang profesionalnya hakim dapat ditemukan dalam mempertimbangkan unsur ke-4 yaitu
“unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang dimuat pada halaman
102 alinea terakhir yang mempertimbangkan: “….., bahwa Bank BNI Cabang Musi Palembang
berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya, ternyata adalah suatu badan hukum
atau perusahaan yang menyertakan modal negara, sehingga perbuatan yang telah dilakukan oleh
terdakwa sebagaimana telah diuraikan di atas, jelas telah menimbulkan kerugian pada keuangan
negara, dengan demikian unsur tersebut telah terpenuhi”.
Selain itu, tidak ada ditemukan bukti surat berupa anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga Bank BNI dalam perkara atau putusan a quo sebagaimana disimpulkan hakim. Selanjutnya
berdasarkan penelaahan atau kajian penulis ternyata uang yang dibayarkan/ditransfer Bank BNI
Cabang Musi Palembang sesuai permintaan para terdakwa AWSS dan FDD kepada orang atau
badan tertentu bukan merupakan uang Bank BNI, akan tetapi adalah uang milik TGHC dan/atau
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 305
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 305
5/16/2012 5:08:15 PM
ETRL yang disimpan di Bank BNI Musi Palembang. Dengan demikian hakim telah berbuat keliru
dan salah dalam mengambil kesimpulan, sehingga jelas telah melanggar aturan sikap profesional
sebagaimana diamanatkan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Berdisiplin Tinggi. Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang
diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari
keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan
tugas, ikhlas dalam pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta
tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya. Lebih lanjut, untuk penerapannya
digariskan “Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha
mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan”.
Memeriksa dan memutus atau menyelesaikan suatu perkara yang dibebankan kepada para
hakim walaupun sudah merupakan pekerjaan sehari-hari, akan tetapi bukan merupakan pekerjaan
yang mudah dan bisa dilaksanakan sambil lalu atau dianggap sepele. Hakim sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman “wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat”.
Untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, maka Mahkamah Agung telah menerbitkan
Surat Edaran Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara yaitu hakim diberi kesempatan
untuk menyelesaikan satu perkara dalam tenggang waktu maksimal enam bulan. Walaupun
SEMA ini ditujukan kepada penyelesaian perkara perdata umum, perkara perdata agama, perkara
tata usaha negara namun jika dilihat maksud dan tujuan diterbitkannya SEMA ini yaitu untuk
mempercepat penyelesaian satu perkara, maka tentu dapat pula diberlakukan pada penanganan
perkara-perkara pidana.
Mencermati perkara nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. ternyata pelaksanaan sidang yang
pertama atau acara pembacaan surat dakwaan telah dilakukan pada tanggal 23 Februari 2010,
sedangkan pelaksanaan sidang terakhir dengan acara pembacaan putusan dilakukan pada tanggal
21 Oktober 2010. Jadi majelis hakim telah menggunakan waktu selama delapan bulan atau melebihi
tenggang waktu yang ditentukan oleh Mahkamah Agung, padahal para terdakwa dalam keadaan
sehat jasmani dan rohani. Dengan demikian majelis hakim telah melanggar aturan berdisiplin
tinggi sebagaimana diamanatkan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yaitu harus
menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan
perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
306 |
JURNAL DES.indd 306
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
IV. SIMPULAN
1.
Ditinjau dari segi hukum pidana formal putusan majelis hakim perkara Nomor 259/
Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. adalah telah tepat dan benar yaitu telah menjatuhkan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), sedangkan dari segi hukum
pidana materil ternyata putusan a quo merupakan putusan yang salah, semestinya putusan
yang dijatuhkan adalah pembebasan (vrijspraak) untuk dakwaan kesatu dan lepas dari
segala tuntutan hukum untuk dakwaan kedua dan dakwaan ketiga;
2.
Sesuai dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, ternyata majelis hakim perkara
Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst. perlu untuk bersikap lebih profesional dan berdisiplin
tinggi terkait dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana tertuang dalam
Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tahun 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, S.M. 1975. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita.
Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Pustaka Kartini.
Lamintang, P.A.F. 1984. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan
Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana. Bandung:
Penerbit Sinar Baru.
Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua Di Kejaksaan dan
Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi. Jakarta: Sinar Grafika.
Siregar, Bismar. 1983. Hukum Acara Pidana. Bandung: Binacipta.
Soerodibroto, Soenarto. 1982. KUHP & KUHAP Dilengkapi Jurisprudensi Mahkamah Agung
dan Hoge Raad. Jakarta Pusat: Penerbit Soenarto & Associates.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 307
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 307
5/16/2012 5:08:15 PM
PERSPEKTIF MORALITAS DALAM PERKARA ABORSI
Kajian Putusan Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT
Stanislaus Atalim
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta
email: [email protected]
Abstract
Abortion remains one of social, legal, and moral issues most hotly debated. Each perspective
presents powerful pro-con arguments. The pro-life and moral arguments emphasize on preserving
human life or giving absolute priority to the life of the unborn fetus and even over the life of the
mother. However, pro-social choice group argues that a woman should have a right to control
her body includes her pregnancy. In Indonesia, abortion is legally permitted at any rate with
some exceptions. In judging abortion cases, the court or panel of judges must take account of
moral reasoning as the other side of his argument and must not limit only accordance with legal
reasoning. This article presents the other side of legal argument, that is moral argument which
can be regarded as lex generalis, while legal argument as lex specialis. Hence, there is a mutual
connection between legality and morality especially in abortion cases.
Keywords: abortion, legal reasoning, moral reasoning
ABSTRAK
Absorsi menjadi salah satu perdebatan hangat dengan isu moral yang berdimensi sosial dan
hukum, dimana setiap pandangan memiliki argumen yang berbeda satu dengan yang lain. Bagi
kaum pendukung moral dan kehidupan memiliki argumen untuk memberikan kehidupan secara
mutlak bagi bayi sama halnya dengan sang ibu. Sementara, kaum sosial berargumen bahwa
perempuan memiliki hak untuk mengkontrol tubuhnya termasuk kehamilannya. Di Indonesia,
aborsi secara hukum dilarang dengan beberapa pengecualian. Dalam kasus putusan aborsi, hakim
seharusnya tidak hanya mengunakan argument hukum saja. Dalam tulisan ini memperlihatkan
sisi di luar aspek hukum seperti aspek moral dianggap lex generalis, seemntara aspek hukum
sebagai lex specialis. Oleh sebab itu, di sana terdapat mutual connection antara aspek hukum
dan moral dalam kasus aborsi.
Kata kunci: aborsi, alasan hukum, alasan moral
308 |
JURNAL DES.indd 308
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
I.
PENDAHULUAN
Sudah sejak lama aborsi atau tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menggugurkan
kandungan menjadi masalah yang kontroversial di Tanah Air. Dikatakan kontroversial karena di
satu sisi aborsi dianggap bertentangan dengan norma sosial, agama, dan norma moral, bahkan
juga norma hukum (legal). Sementara di sisi lain, hukum sendiri membuka kemungkinan untuk
‘melegalkan’ aborsi meski dengan beberapa pengecualian.
Kasus-kasus aborsi di Indonesia menunjukkan fenomena gunung es. Kasus-kasus aborsi
yang mencuat ke hadapan publik sangat sedikit tetapi praktik aborsi ditengarai banyak dilakukan
oleh berbagai kalangan masyarakat. Klinik-klinik kecil pengobatan ibu hamil dan melahirkan,
klinik pelayanan Keluarga Berencana (KB), bahkan klinik pengobatan tradisional tidak jarang
melakukan praktik demikian. Sekalipun tidak ada statistik yang bisa dipegang, banyak kalangan
memperkirakan, angka aborsi di Indonesia tergolong tinggi.
Aborsi, jika dilakukan secara tidak aman, tidak hanya membahayakan janin, melainkan juga
si ibu. WHO memprediksi 10-50% dari kasus aborsi tidak aman (unsafe abortion) berakhir dengan
kematian ibu. Diperkirakan setiap tahun di dunia terjadi sekitar 20 juta aborsi tidak aman. Dari
jumlah itu 26% praktik aborsi tergolong legal dan lebih dari 70.000 aborsi tidak aman di negara
berkembang berakhir dengan kematian ibu (Tutik, 2011: 1).
Berangkat dari keprihatinan di atas, tulisan berikut ini ingin mengangkat putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Utara Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT sebagai objek analisis. Putusan ini
berkenaan dengan kasus pengguguran kandungan secara sengaja, dengan menghadirkan terdakwa
PRB yang berprofesi sebagai bidan. PRB membuka praktik kebidanan di jalan Raya Cilincing,
Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Antara bulan Maret 2001 s.d.
November 2001, ia dianggap telah melakukan perbuatan “dengan sengaja menyebabkan gugur
atau matinya kandungan dengan izin dari perempuan yang kandungannya digugurkan”. Atas tiap
kali tindakannya, ia memungut bayaran Rp. 750.000 s.d. Rp. 1.500.000. Berdasarkan pengakuan
terdakwa di persidangan, PRB sudah melakukan praktik ini terhadap lima atau enam orang ibu
hamil yang datang ke tempat praktiknya selama kurun waktu tersebut.
Tindakan aborsi PRB dilakukan mulai dengan menyuntik cairan sintosinon kepada
pasiennya. Cairan ini berfungsi sebagai perangsang dan membuat bayi dalam kandungan pasien
mati. Setelah bayi dalam kandungan mati, terdakwa memasang alat ke dalam rahim si ibu berupa
sonde uterus yang berfungsi untuk memecahkan air ketuban. Kemudian terdakwa menginfus
ibu tadi dan dalam waktu 8 s.d. 12 jam kemudian bayi yang sudah dalam keadaan mati itu akan
keluar dengan sendirinya. Mayat bayi ini lalu dibawa pulang oleh ibunya atau ditanam di halaman
rumah tempat praktiknya.
Terhadap tindakan menggugurkan kandungan pasien-pasiennya tersebut, jaksa menuntut
terdakwa dengan dakwaan primair dan dakwaan subsider. Dakwaan primairnya adalah bahwa
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 309
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 309
5/16/2012 5:08:15 PM
perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 348 ayat (1) jo Pasal 349 jo
Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Terdakwa dituntut melakukan perbuatan pidana secara berturutturut atau berkelanjutan. Pasal-pasal itu berbunyi sebagai berikut:
Pasal 348 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan.
Pasal 349 KUHP:
Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut
pasal 346, atau pun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu
dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 64 ayat (1) KUHP:
Jika antara bebarapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
satu perbuatan berlanjut (voortgezette handeling), maka hanya dikenakan satu aturan
pidana; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat.
Sementara dakwaan subsidernya adalah bahwa perbuatan terdakwa tersebut diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 299 ayat (1) jo ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Lengkapnya
pasal-pasal dimaksud berbunyi:
Pasal 299 ayat (1) KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya
diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan
itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Pasal 299 ayat (2) KUHP:
Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan
perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib,
bidan, atau juru obat; pidananya dapat ditambah sepertiga.
Enam orang saksi yang ditampilkan di persidangan mengaku tidak tahu secara pasti bahwa
310 |
JURNAL DES.indd 310
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
terdakwa melakukan praktik aborsi. Mereka hanya menyaksikan beberapa ibu hamil yang datang
berobat. Pasien terakhir yang mengalami pendarahan dan tertangkap basah bersama bidan PRB
mengakui bahwa ia mengalami pendarahan, dan ia datang ke klinik itu justru untuk berobat.
Sementara saksi yang lain lagi mengakui bahwa ia pernah disuruh terdakwa mengubur janin
di halaman rumah tempat praktik terdakwa. Selain itu, ada juga ahli yang diminta memberikan
keterangan. Ahli tersebut, seorang dokter spesialis kandungan, menyatakan bahwa cairan atau
obat sintosenon yang disuntikkan pada ibu hamil memang bisa menggugurkan tetapi juga dapat
memperkuat kandungan.
Hal menarik dari kasus aborsi ini adalah argumen dan pertimbangan hakim bahwa terdakwa
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal-pasal yang didakwakan padanya dalam
dakwaan primair, tetapi terbukti bersalah melanggar pasal-pasal yang didakwakan padanya dalam
dakwaan subsider. Lebih khusus lagi, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara
aborsi ini berpendapat bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menggugurkan
kandungan terdakwa dengan persetujuan terdakwa (Pasal 348 KUHP) tetapi terbukti secara sah
dan meyakinkan “biasa” memberi atau menyuntikkan obat ke tubuh pasien, dengan imbalan
tertentu, dengan harapan supaya janinnya digugurkan (Pasal 299 KUHP).
Dakwaan primair juga dianggap tidak cukup memadai karena tidak menyertakan nama orang
atau barang sebagai objek dari tindakan pidana aborsi tersebut. Namun pertimbangan seperti ini
menunjukkan bahwa terdakwa tidak bersalah secara substantif-material tetapi bersalah secara
formal-prosedural. Padahal, proses penyuntikan obat sintosenon ke tubuh pasien itu dengan
harapan agar kehamilannya digugurkan. Memang obat itu bisa juga memperkuat janin, tetapi lalu
mengapa terdakwa dianggap bersalah melanggar pasal-pasal dalam dakwaan subsider ini.
Terdakwa bersalah karena proses tindakan yang ia lakukan mengarah ke tujuan utama yakni
menggugurkan kandungan tersebut. Apalagi dalam pemeriksaan, terdakwa mengakui bahwa ia
sudah melakukan aborsi terhadap beberapa pasiennya berdasarkan permintaan dan persetujuan
pasien.
Terdakwa mengakui kebenaran-kebenaran berikut: bahwa dalam praktik kebidanan ia benar
telah melakukan pengguguran kandungan terhadap pasien yang meminta bantuannya; bahwa benar
ia telah menerima pasien wanita sebanyak enam orang, dengan rata-rata usia kehamilan antara 3
sampai 6 bulan; bahwa benar kepada pasien ia beri suntikan sintosenon; bahwa benar ada pasien
yang anaknya lahir mati di tempat terdakwa dan dikuburkan di halaman rumah terdakwa; bahwa
benar bahwa telah dilakukan penggalian oleh polisi di halaman rumah terdakwa dan menemukan
kerangka janin manusia dan yang menguburkan janin itu adalah MD, pembantu terdakwa.
Dalam persidangan, jaksa/penuntut umum mengajukan barang bukti berupa alat-alat
medis, obat-obatan, dan dua janin bercampur tanah. Pada berkas perkara telah terlampir visum
et repertum no. 369/SK/II/01/2-2002 yang dibuat dr. Abdul Mun’im Idries SpF., dokter spesialis
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 311
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 311
5/16/2012 5:08:15 PM
forensik FK UI, yang menyimpulkan bahwa kerangka yang ditemukan merupakan kerangka
manusia berdasarkan panjang tulang paha 38.8 mm dan umur janin dalam kandungan sekitar 22
s.d 25 minggu.
Hal menarik dari kasus aborsi ini adalah bahwa pertimbangan hakim bernuansa sepenuhnya
murni legal tanpa menyertakan sedikitpun pertimbangan moral. Padahal, kasus aborsi selalu
menarik perhatian publik karena sudut pandangan legal selalu berbenturan dengan pertimbangan
moral dan sosial. Apa yang diterima secara legal, belum tentu diterima secara moral. Dalam
kasus aborsi, seperti terungkap dalam kasus ini, pertimbangan moral meskipun tidak menjadi
pertimbangan utama dan dominan seharusnya dapat menjadi rujukan para hakim dalam
memutuskan perkara-perkara aborsi.
Jika dipahami secara lebih mendalam, pertimbangan moral tidak bisa disingkirkan dalam
pertimbangan hukum karena kandungan hukum itu sendiri adalah moralitas. Moralitas merupakan
sumber utama bagi hukum. Hukum hadir demi kebaikan umat manusia berdasarkan martabatnya
sebagai manusia. Ini adalah arti sesungguhnya dari moralitas. Maka, analisis ini ingin mengemukakan
pertimbangan lain dari sisi moralitas atas kasus aborsi ini, sekaligus menunjukkan bahwa hukum
berhubungan erat dengan moralitas.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT. yang
menghadirkan seorang bidan sebagai terdakwa ini menarik untuk diteliti karena putusan ini
semestinya tidak hanya berkutat pada masalah hukum melainkan juga masalah moral. Maka
terdakwa yang melakukan praktik aborsi bisa ditafsirkan tidak hanya melanggar pasal-pasal
hukum yang dituduhkan kepadanya melainkan juga melanggar nilai-nilai moral. Pada kasus
aborsi ini, persoalannya bertambah berat karena membunuh janin yang tak berdosa melanggar
hak janin untuk hidup. Dengan perkataan lain, juga terkandung pelanggaran hak asasi manusia.
Patut dipertanyakan, mengapa dalam kasus ini hakim memutuskan bahwa terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan primer tetapi terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melanggar pasal-pasal yang didakwakan pada dakwaan subsider. Dakwaan
jaksa penuntut umum dinilai hakim tidak cermat pada dakwaan primair karena JPU tidak
menyertakan nama orang atau barang dari objek tindakan pidana tersebut. Mengenai hal ini
seharusnya menjadi kejelian hakim untuk meminta jaksa menghadirkan saksi dari para pasien
yang datang ke tempat praktik terdakwa dan meminta terdakwa untuk menggugurkan kandungan
mereka. Ketidakcermatan prosedur tidak harus menggugurkan substansi, meskipun substansimateriil persoalan memang harus didukung oleh prosedur pembuktian yang juga harus cermat.
I.
RUMUSAN MASALAH
Salah satu masalah yang menarik dari putusan hakim dalam perkara aborsi ini adalah
putusan hakim bahwa terdakwa tidak bersalah menurut dakwaan primair (pengguguran kandungan
312 |
JURNAL DES.indd 312
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
atau aborsi) tetapi terbukti bersalah menurut dakwaan subsider (menyuntikkan obat yang dapat
menggugurkan kandungan dengan imbalan keuntungan tertentu). Dakwaan primair berurusan
dengan tujuan atau substansi dari tindakan, sementara dakwaan subsider berkaitan dengan sarana
atau prosedur tindakan.
Dalam kasus ini, menurut argumen hakim, terdakwa hanya terbukti salah menurut ‘prosedurlegal/formal’ tetapi tidak terbukti bersalah secara substansial. Tetapi pertanyaan yang paling
pokok yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan hakim adalah ‘dengan tujuan apa tindakan
menyuntikkan obat ke dalam tubuh ibu hamil dengan tujuan memperoleh kepentingan tertentu?’
Jika tujuannya adalah untuk menggugurkan kandungan, maka kesalahan prosedur tersebut, juga
terkait erat dengan tujuan tindakan penyuntikkan obat itu yakni melakukan aborsi.
Sisi lain yang menarik dari putusan ini adalah pandangan atau pertimbangan hakim yang
murni formal-legalistik dan tidak sedikit pun mengetengahkan substansi hukum. Hakim hanya
mendasarkan putusannya pada pertimbangan hukum formal semata sementara pandangan lain,
entah dari sudut sosiologis atau moral sama sekali tidak tampak. Padahal dalam menangani
perkara aborsi, personal yang sering kali mencuat, bukan hanya persoalan hukum yang legalformal melainkan juga, bahkan kadang-kadang utama, persoalan moral.
Jika kasus aborsi ini ditelaah secara moral, baik dakwaan primair maupun dakwaan subsider
sebenarnya sama-sama dilanggar. Memang harus diakui bahwa perspektif hukum berbeda
dengan perspektif moral. Jika pertimbangan moral sama sekali tidak dibutuhkan dalam perkara
aborsi, mengapa kontroversi kasus aborsi hampir selalu mencuatkan masalah-masalah moral dan
juga agama? Apakah sama sekali tidak ada hubungan antara hukum dan moralitas? Bagaimana
hubungan itu mesti dijelaskan dalam kasus ini?
Jika kasus aborsi dilihat tidak saja sebagai pelanggaran hukum melainkan juga sebagai
pelanggaran moral yang berat, maka implikasinya adalah baik pelaku maupun korban keduaduanya bersalah baik secara legal maupun secara moral. Studi kepustakaan dan analisis berikut
bertujuan untuk menjawab masalah ini.
II. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
1. Aborsi dan Persoalan Moral
Aborsi adalah tindakan yang sengaja dilakukan untuk menggugurkan kandungan. Mianna
Lotz menyebutnya sebagai Termination of Pregnancy (TOP) (Lotz, 2011: 1). Berdasarkan proses
aborsi, aborsi dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:
1.
Abortus spontaneous atau aborsi spontan/alamiah. Aborsi ini terjadi secara alami, tanpa
tindakan apapun.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 313
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 313
5/16/2012 5:08:15 PM
2.
Abortus provokatus atau aborsi yang dilakukan dengan sengaja. Aborsi jenis ini dibedakan
menjadi dua yakni aborsi yang dilakukan atas indikasi medis karena terdapat suatu
permasalahan atau komplikasi (abortus provokatus terapikus) dan aborsi yang dilakukan
secara sengaja karena tidak menginginkan kehadiran janin (abortus provokatus kriminalis)
(Tutik, 2011: 4).
Selain KUHP, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga mengatur
tentang masalah aborsi. Yang menjadi masalah adalah aborsi yang dilakukan tidak dengan alasan
pengecualian sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009. Alasanalasan yang umumnya dipakai untuk melakukan aborsi di luar rekomendasi penyelamatan medis
(alasan yang merupakan pengecualian), antara lain:
1.
Ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah. Artinya, perlu dipikirkan oleh pihak sekolah
bagaimana supaya siswa tetap dipertahankan sekolah meski sedang hamil.
2.
Belum siap menghadapi orang tua atau memalukan orang tua dan keluarga. Hal ini juga
perlu kekuatan dan kesabaran orang tua untuk menerima karena goncangan psikologis anak
sangat besar.
3.
Malu pada lingkungan sosial dan sekitarnya.
4.
Belum siap baik secara mental maupun ekonomi untuk menikah dan mempunyai anak.
5.
Adanya aturan dari kantor bahwa tidak boleh hamil atau menikah sebelum waktu tertentu
karena terikat kontrak.
6.
Tidak senang pasangannya karena korban perkosaan (Tutik, 2011: 6).
Beberapa akibat yang dapat timbul akibat tindakan aborsi, yakni:
1.
Pendarahan sampai menimbulkan shock dan gangguan neurologis/syaraf di kemudian hari.
Akibat lanjut pendarahan adalah kematian.
2.
Infeksi alat reproduksi yang dilakukan secara tidak steril. Akibat dari tindakan ini adalah
kemungkinan remaja mengalami kemandulan di kemudian hari setelah menikah.
3.
Risiko terjadinya rupture uterus (robek rahim) besar dan penipisan dinding rahim akibat
kuretasi. Akibatnya dapat juga kemandulan karena rahim yang robek harus diangkat
seluruhnya.
4.
Terjadinya fistula genital traumatis, yaitu timbulnya suatu saluran yang secara normal tidak
ada, yaitu saluran antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan (Tutik, 2011:
6).
314 |
JURNAL DES.indd 314
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
Meskipun berbahaya dan secara moral tidak bisa diterima, aborsi masih tetap dilakukan.
Ketika kasus aborsi muncul ke permukaan, ia menjadi perbincangan bahkah juga hujatan publik.
Aborsi biasanya menyita perhatian kaum agamawan, pengamat sosial, medis, kaum moralitas,
dan tentu saja para ahli hukum. Namun problem pokok yang berkaitan dengan aborsi adalah
status moral janin. Dalam khazanah intelektual yang mencermati persoalan aborsi, terdapat
pemikir-pemikir yang pandangannya dapat dikelompokkan dalam tiga tipe yakni pandangan
liberal, pandangan konservatif, dan pandangan moderat (Hillar [1997] 2011: 1-3).
Pandangan kaum liberal tampak misalnya pada pemikiran Judith Jarvis Thomson. Dalam
rangka menentang anggapan kaum konservatif, Thomson beranggapan bahwa aborsi masih bisa
dibenarkan secara praktis dalam berbagai persoalan. Janin tidak bisa hidup sendiri melainkan
hidup dari tubuh ibunya. Maka, seorang ibu memiliki hak untuk melakukan aborsi terutama dalam
kasus perkosaan, dalam kasus di mana kehamilan tersebut membahayakan kehidupan ibu, atau
dalam kasus di mana sang ibu memiliki alasan-alasan yang rasional untuk mencegah kehamilan.
Tentu saja pandangan ini mengabaikan karakter khas dari janin dan bahwa janin merupakan hasil
dari tindakan yang rasional dan sadar yang dilakukan sebelumnya dengan akibat yang sudah
dapat diprediksi sebelumnya. Bahkan dalam kasus perkosaan pun, pembunuhan terhadap bayi
secara moral tidak bisa diterima, meskipun perkosaan itu sendiri secara moral merupakan tindakan
terkutuk.
Mary Ann Warren, seorang liberal berikutnya, melalui analisisnya tentang konsep
kepribadian (personhood), menyimpulkan bahwa aborsi tidak akan dibenarkan bila janin adalah
seorang person (pribadi). Warren kemudian mengusulkan kriteria seorang pribadi yang memiliki
seluruh status moral. Seorang pribadi, menurut Warren, harus memenuhi beberapa kriteria
berikut: (1) memiliki kesadaran (consciousness) akan objek dan peristiwa-peristiwa baik internal
maupun eksternal, termasuk memiliki kapasitas untuk merasa sakit; (2) kemampuan menalar,
mempertimbangkan (reasoning) dan memecahkan problema yang baru dan relatif kompleks; (3)
self-motivated activity; (4) kemampuan untuk berkomunikasi (a capacity to communicate); (5)
adanya konsep tentang diri (self-concept) dan kesadaran diri (self-awareness). Warren kemudian
menyimpulkan bahwa janin tidak memiliki ciri-ciri kepribadian ini, meskipun secara potensial ia
bisa menjadi seorang pribadi. Jadi, ia tidak memiliki status moral dan hak untuk hidup. Namun,
jika ada orang (terutama sang ibu) ingin mempertahankan, memelihara, peduli, dan bertanggung
jawab atas kehidupan dan kebaikan bayi yang akan lahir, mengapa aborsi tetap dilakukannya?
Namun konsep kepribadian yang dikemukakan oleh Warren ini berbeda dengan bagaimana
hukum memperlakukan kepribadian. Konsep kepribadian ini berasal dari hukum Romawi dan
definisinya mengambil model individu dewasa dalam suatu konteks sosial. Akibatnya, aborsi
dapat dibenarkan secara moral. Padahal konsep kepribadian sepenuhnya tidak relevan dengan
tanggung jawab terhadap anak-anak atau perkembangan umat manusia. Konsep ini mengabaikan
status potensialitas dan kualitas unik dari janin.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 315
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 315
5/16/2012 5:08:15 PM
Berbeda dengan pandangan kaum liberal di atas, kaum konservatif justru beranggapan
bahwa janin memiliki kedudukan moral yang utuh sehingga memiliki hak untuk hidup. John
Noonan dari kelompok ini menegaskan bahwa apapun risikonya, janin memiliki hak mutlak
untuk hidup. Dan hak ini berlaku tanpa pengecualian, entah karena janin merupakan akibat dari
korban perkosaan atau karena ia memiliki kelainan-kelainan serius. Aborsi itu pada intinya adalah
membunuh. Penerapan standar ‘akibat ganda’ dalam bentuk pilihan untuk menyelamatkan ibu
atau karena kelainan serius pada janin, tidak lebih dari sikap berkompromi atas pembunuhan.
Di luar padangan liberal dan konservatif, ada anggapan kaum moderat yang bisa dianggap
sebagai jalan keluar. Jane English, seorang pemikir dari kelompok moderat ini beranggapan
bahwa pandangan Warren tentang kepribadian tidak cukup tajam dan menentukan untuk
keluar dari kontroversi tentang aborsi. Kalau anggapan kaum konservatif diterima, aborsi tidak
diperbolehkan meskipun kehamilan itu mengancam nyawa ibu atau janin memiliki kelainankelainan bawaan yang serius. Sebaliknya jika anggapan kaum liberal diterima, janin bukanlah
seorang pribadi sehingga aborsi dapat dilakukan. Tapi bagaimana dengan janin yang berada di
bulan-bulan terakhir untuk dilahirkan?
Kaum moderat kemudian keluar dengan argumen bahwa pada usia-usia awal kehamilan
aborsi dapat dilakukan demi ‘kepentingan’ ibu atau keluarga serta keamanan dari aborsi itu
sendiri. Tetapi ketika usia kehamilan sudah berada pada tahap pertengahan dengan janin yang
sudah menyerupai seorang pribadi, aborsi hanya dapat dilakukan apabila kelanjutan kehamilan
atau kelahiran bayi akan menyulirkan sang ibu secara fisik, psikologis, ekonomis, dan sosial.
Pada usia kehamilan yang terakhir, meskipun dengan pengandaian bahwa janin bukanlah seorang
pribadi juga, aborsi tetap salah, kecuali untuk menyelamatkan wanita dari kematian atau cacat
permanen.
Pandangan kaum moderat ini banyak diadopsi di berbagai negara termasuk Amerika
Serikat. Di Amerika Serikat, kasus aborsi yang cukup kontroversial adalah kasus Wade vs Roe
(1973) yang membuat Mahkamah Agung AS menggariskan hak kostitusional atas privacy dengan
menegaskan: “No law may restrict the right of a woman to be aborted by a physician during
the first three months of her pregnancy. During the second trimester, abortion may be regulated
by the law only to the extent that the regulation is reasonably related to the preservation and
protection of maternal health. When the fetus becomes viable (not before the beginning of the
third trimester) a law may prohibit abortion, but only subject to an exception permitting abortion
whenever necessary to protect the woman’s life or health” (Hillar [1997] 2011: 6).
2. Hubungan antara Hukum dan Moralitas
Menjadi seorang moralis, menurut Nicholas Unwin (2011: 542), berhadapan dengan suatu
putusan, seseorang harus berusaha untuk menentukan apa yang dituntut moralitas darinya dan
316 |
JURNAL DES.indd 316
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
berusaha untuk melakukan ‘apa yang seharusnya’ ia lakukan berdasarkan tuntutan moralitas
tersebut.
Di sini independensi hakim tidak hanya berkaitan dengan tekanan atau pandangan orang lain
tentang putusan hukum yang diambil melainkan juga apa yang seharusnya ia lakukan berdasarkan
tuntutan moral tersebut. Ia harus menentukan sendiri secara independen tuntutan moral yang harus
dilakukannya dalam putusan konkret tersebut. Slogan kaum moralis, menurut Unwin, ‘Always let
your conscience be your guide’ (Unwin, 2011: 542). Menginginkan orang menjadi orang yang
bermoral itu, sama dengan menginginkan agar ia terlibat dalam pertimbangan moralnya sendiri.
Namun banyak ahli hukum juga berpendapat bahwa ‘conscience’ seseorang tidak perlu
ditempatkan di atas hukum. Karakter ini bisa mengarah ke pembangkangan atau ketidaktaatan
sipil. Ini bisa menjadi otoritarian. Tetapi motif umum dari kepribadian semacam ini adalah
ketakutan akan adanya chaos ketika orang mulai meruntuhkan hukum ketika mereka berpikir
bahwa moralitas menuntut itu. Tetapi, ketakutan ini diprotes sebagai tidak rasional, arogan karena
tidak ada alasan untuk berpikir bahwa orang, setelah berefleksi, secara moral merekomendasikan
tidak perlu adanya hukum.
Perlu dibedakan juga antara sikap mendukung moralisme atau sekadar memperkuat
moralitas. Seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara (kasus kita: aborsi) tidak perlu sampai
mengorbankan hukum dan jatuh sepenuhnya ke dalam moralisme. Yang perlu dilakukan adalah
hakim memperkuat moralitas sebagai dasar pertimbangan hukumnya.
Dengan demikian pertimbangan hukum pun benar secara moral dan hati nurani. Dalam
kehidupan sosial ‘conscience’ dan hakum dapat sejalan karena masyarakat meskipun berasal dari
titik tolak yang beragam menyepakai standar-standar perilaku yang secara hukum dan moral
dapat diterima. Katakanlah semacam ‘conscience’ pribadi menyatu dalam ‘conscience’ sosial
dalam produk hukum.
Ada banyak fungsi sentral yang dikenakan pada moralitas yakni agar orang menggunakan
pertimbangan moral (moral reasoning) untuk memutuskan apa yang terbaik yang harus dilakukan,
mungkin masuk akal untuk melakukan sesuatu yang lain, dan bahwa mendukung hukum dan
tatanan tanpa kompromi tidak dianggap sebagai sesuatu yang keliru.
Apa yang menjadi alternatif bagi pertimbangan moral (moral reasoning)? Seorang legalis
pasti akan mengusulkan pertimbangan legal (legal reasoning) yang memasukkan juga apa yang
dianggap baik oleh kaum moralis berdasarkan pertimbangan moral. Hanya pertimbangan moral
dan non-moral yang dapat dilebur. Kaum positivis pasti ingin memisahkan elemen-elemen ini,
begitu juga kaum moralis. Tapi jika diandaikan bahwa pemisahan itu tidak bisa dihindarkan, kita
hanya perlu melihat contoh-contoh pertimbangan legal yang paling aktual untuk melihat bahwa
ini tidak demikian.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 317
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 317
5/16/2012 5:08:15 PM
Dalam praktik, deliberasi atau pertimbangan dari pengadilan yang lebih tinggi termasuk
kutipan-kutipan statuta, penyelidikan kasus-kasus hukum yang relevan, dan pertimbanganpertimbangan moral umum, semuanya dipadu menjadi satu tidak bisa dikesampingkan. Ini
berarti bahwa pertimbangan positivisme hukum tidak mencukupi. Semua aspek ini harus
dipertimbangkan. Unwin, menulis: ‘Aspects of one element must be used in the very articulation
of the others. There is mutual interpretation in the sense that decisions about which precedents
to invoke, for example, will depend on judgements about what is morally relevant in the case in
quation, and the later will be informed by statutory law, and so on’ (Unwin, 2011: 543).
Tentang hubungan antara hukum dan moralitas, Leslie Green (2011: 7) menulis: “There are
a great many necessary connections between law and morality, including these one: Necessarily,
law and morality contain norms. Necessarily, what is subject to legal appraisal is subject to
moral appraisal.”. Bahkan Green menyebut kebenaran pertimbangan hukum sebagai kebenaran
signifikan sedangkan kebenaran pertimbangan moral sebagai kebenaran mutlak (necessary).
Dengan nada yang lain, Joh Gardner menunjukkan bahwa hukum tidak berhenti pada dirinya
sendiri melainkan memiliki tujuan intensional moral di luar dirinya yakni demi kebaikan umum
(common good). Gardner menulis, “…law must, by its nature, have certain distinctive moral aims
when it it has aims at all. If it lacks those aims it is not law. It must aim to be just, or aim to serve
the common good…” (Gardner, 2011: 1).
3. Aborsi dan Hukum
Isu tentang praktik aborsi kembali mencuat menjadi wacana publik yang kontroversial
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Isu tentang
praktik aborsi menjadi kontroversial karena meskipun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
ini ‘melegalkan’ aborsi, dengan pengecualian-pengecualian, nilai-nilai sosial, budaya,dan agama
yang mengakar kuat dalam keyakinan masyarakat tetap menganggap aborsi, dengan alasan apa
pun, sebagai aib sosial dan dosa berat karena aborsi merupakan bentuk lain dari pembunuhan
yang keji atas nyawa yang tak berdosa.
Pasal 75 dan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menegaskan larangan praktik
aborsi (Pasal 75 ayat [1]), tetapi praktik aborsi dimungkinkan (pengecualian) apabila ada:
1.
Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
2.
Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan truma psikologis bagi korban
perkosaan (Pasal 72 ayat [2]).
318 |
JURNAL DES.indd 318
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
Ketentuan tentang hukum aborsi di dalam hukum pidana positif Indonesia diatur dalam
hukum umum (lex generalis) berupa KUHP dan hukum khusus dalam bentuk Undang-Undang
Kesehatan (lex spesialis). Menurut Supriyadi (2001: 2), KUHP tidak membolehkan aborsi dengan
alasan apapun juga dan oleh siapapun juga bahkan oleh dokter sekalipun. Bagi seorang dokter,
jika ia melakukan aborsi, ia malah dikenai pemberatan pidana. Ketentuan ini dapat dilihat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 283, 299, 346, 348, 349, 535, dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 2 dan 1363.
Namun berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 39 tentang Kesehatan, aborsi dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang bila terdapat indikasi medis dalam keadaan
darurat dan untuk menyelamatkan jiwa ibu. Ketentuan ini terdapat pula pada Pasal 15 dan
Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Ketentuan undang-undang
ini, secara umum mengizinkan aborsi bila ia memiliki surat rekomendasi dari dokter yang
menyatakan bahwa kehamilannya membahayakan kehidupannya, surat dari suami atau anggota
keluarga yang mengizinkan pengguguran kandungan, tes laboratorium yang menyatakan bahwa
perempuan tersebut positif dan pernyataan yang menjamin bahwa setelah melakukan aborsi
perempuan tersebut akan menggunakan kontrasepsi (Guttmacer Institut, Aborsi di Indonesia
2008: 1).
Walaupun aborsi di Indonesia jelas-jelas dilarang oleh kententuan undang-undang, kasus
aborsi tetap banyak terjadi bahkan cenderung meningkat dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Terdapat berbagai alasan mengapa aborsi dilakukan di kalangan masyarakat. Di antara alasanalasan tersebut, yang paling banyak dijumpai adalah adanya kehamilan di luar nikah dan kehamilan
yang tidak direncanakan.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, 40% responden mengakui bahwa aborsi
dilakukan karena mereka tidak menginginkan kehamilan karena sudah memiliki anak. Anehnya,
tidak ada responden yang mengakui bahwa aborsi dilakukan karena kehamilan akibat tindakan
kriminal. Maka aborsi dilakukan sebagai salah satu pilihan dalam keluarga. Mungkin, karena
maraknya aborsi yang dilakukan praktik aborsi dianggap sebagai suatu yang lumrah di tengah
masyarakat. Dengan latar belakang itu, kita bisa memahami mengapa produk hukum ‘melegalkan’
aborsi meskipun dengan pengecualian-pengecualian.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 menegaskan dan ‘melegitimasi’ praktik aborsi. Dikatakan
‘melegitimasi’ karena meskipun undang-undang melarang praktik aborsi, ‘dalam keadaan
tertentu’ dapat diperbolehkan. Ketentuan yang mengatur praktik aborsi dalam Undang-Undang
Kesehatan dituangkan dalam Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77. Ketentuan masing-masing pasal
tersebut dapat dikutip di bawah ini:
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 319
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 319
5/16/2012 5:08:15 PM
Pasal 75:
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi,
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a.
I ndikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/
atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan; atau
b.
Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi darurat medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76:
Aborsi sebagaimana dimasud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a.
Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b.
Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat
yang ditetapkan oleh menteri;
c.
Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d.
Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e.
Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.
Pasal 77:
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, terutama Pasal 77, Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan ini tidak hanya kontradiktif dalam dirinya sediri melainkan juga ‘menyeret’
320 |
JURNAL DES.indd 320
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
agama masuk dalam kekuatan politik sosial. Kalau agama melarang umatnya untuk melakukan
aborsi, maka ketentuan undang-undang kehilangan taringnya karena aborsi, menurut ketentuan
undang-undang, dilarang apabila bertentangan dengan norma-norma agama. Pertanyaannya,
agama mana yang ‘membenarkan’ aborsi? Kalau tidak ada satu agamapun yang membolehkan
aborsi, undang-udang ini lalu menjadi ‘sampah’. Ia disandera oleh ketentuannya sendiri.
4. Pelaku dan Korban
Dalam kasus pidana aborsi dengan terdakwa seorang bidan ini, muncul kesan kuat bahwa
yang melanggar hukum atau pasal yang berkenaan praktik aborsi adalah pelaku, atau dalam
kasus ini: bidan PRB saja. Namun, jika kita mencermati lebih jauh kasus hukum ini, orang yang
dianggap melanggar hukum bukan hanya pelaku melainkan juga pasiennya. Karena ketentuan
undang-undang tersebut berlaku baik bagi pelaku maupun bagi pasien (korban?). Dengan rumusan
lain, yang melanggar hukum tidak hanya pelaku melainkan juga pasien, kerena kedua sepakat
untuk menggugurkan janin.
Aborsi tidak akan dilakukan apabila tidak ada kehendak dari ibu yang memiliki janin dan
pelaku. Dalam situasi ini, sebetulnya lebih layak kalau pelaku dan pasien dijadikan terdakwa dan
harus diproses menurut ketentuan hukum yang berlaku karena tindakan aborsi selalu menyertakan
pelaku PRB dan pasien yang dalam praktik tidak pernah terpisahkan.
Argumen bahwa kesalahan dalam bentuk pelanggaran hukum tidak hanya dilakukan oleh
terdakwa melainkan juga pasien didasarkan pada pandangan bahwa kedua-duanya melanggar
ketentuan moral. Singkatnya, baik pelaku maupun pasien melanggar ketentuan moral bahwa
setiap manusia harus menghormati kehidupan manusia dan membunuh merupakan tindakan yang
melanggar nilai moral kehidupan. Hidup merupakan hak dasar dan asasi bagi manusia. Segala hak
dasar lain hanya dapat dimiliki oleh manusia jika ia hidup. Maka jika hidup seseorang diakhiri,
tindakan mengakhiri hidup seseorang secara moral tidak dibenarkan.
Dalam kasus ini, persoalan hukum ‘dilokalisasi’ pada seorang bidan. Padahal, bidan sama
sekali tidak bisa bertindak jika ia tidak diizinkan oleh ibu janin atau pasien. Jika keadilan mesti
ditegakkan demi hukum dan moralitas, baik pelaku maupun pasien harus dikenai dakwaan
melakukan kejahatan yang sama. Tindakan ini harus dilakukan untuk menjamin prinsip dasar
hukum bahwa semua orang memiliki posisi yang sama di depan hukum.
Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Maka, demi keadilan
hukum dan terutama keadilan moral, pelaku dan pasien harus dihadapkan di depan persidangan.
Secara moral dan juga hukum, tidak adil menghukum seseorang dan melepaskan yang lain atas
kejahatan yang dilakukan bersama-sama. Bukankah setiap orang (dan juga lembaga) adalah
subjek dan sekaligus juga objek hukum? Pengecualian dalam penerapan hukum mencederai asas
kepastian hukum dan kesamaan kedudukan di depan hukum.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 321
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 321
5/16/2012 5:08:15 PM
Hakim, dalam memutuskan perkara ini, mengabaikan begitu saja Pasal 346 KUHP yang
juga mengatur tentang kejahatan aborsi dan sanksi pidananya. Pasal 346 KUHP menegaskan:
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana perjara paling lama empat tahun.”
III. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa aborsi menjadi problematika karena
meskipun dilarang, aborsi sekaligus juga diizinkan meskipun dengan pengecualian-pengecualian.
Dapat dikatakan bahwa aborsi secara hukum legal, meskipun secara moral masih bisa
diperdebatkan, tetapi secara umum, terutama dari pandangan agamawan dan pemikir-pemikir
moral aliran konservatif, aborsi tidak dapat dibenarkan secara moral entah dengan alasan apapun,
entah untuk menyelamatkan nyawa sang ibu atau untuk menyelamatkan masa depan calon bayi
atau janin karena mengalami kelainan yang serius.
Dalam memutuskan perkara yang kontroversial dan problematika seperti aborsi ini, hakim
seharusnya dapat mengemukakan pertimbangan lain seperti pertimbangan moral seperti yang
dipaparkan di atas untuk memperkaya dan memperkuat suatu putusan hukum karena moralitas
seharusnya menjadi dasar bagi hukum. Pada titik ini, dapat ditegaskan kembali di sini bahwa
hukum tidak bisa dilepaskan dari moralitas karena keduanya saling melengkapi. Hukum tanpa
moralitas hampa dan moralitas tanpa hukum mubazir. Pertimbangan moral tetap diperlukan bagi
pertimbangan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Feinberg, J. 1984. The problems of Abortion. Belmont CA.: Wadsworth.
Flew, Antony. 1989. An Introduction to Western Philosophy. New York: Thames and Hudson.
Gardner, John. 2011. Law and Morality. Diunduh dari http;//users.ox.ac.UK/~lawf0081/pdfs/
lawmoralityedited.pdf, Tanggal 17 Juli 2011.
Green, Leslie. (2011). The Inseparability of Law and Morality. Diunduh dari http;//www.ivr2003.
net/workshop-abstract/documents/Greenfultext.pdf, Tanggal 17 Juli 2011.
Gutmacer Institute. 2008. Aborsi di Indonesia. No. 2. Seri 2008.
Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang
Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
322 |
JURNAL DES.indd 322
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:15 PM
Hillar, Marian. 2011. Philosophers and The Issue of Abortion. Diunduh tanggal 11 Juli 2011 dari
http://www.socinian.org/abortion.html.
Indraswati. 1999. ‘Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus’ dalam Hasyim S.,
Menakar ‘Harga’ Perempuan. Jakarta: Mizan.
Lotz, Mianna. 2011. Ethical Arguments Concerning the Moral Permissibility of Abortion. Diunduh
tanggal 12 Agustus 2011 dari http://nfaw.org/assets/socialpolicy/Health/lotz-abortionethics.
pdf.
Moeljatno. 2009. KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Cet. 28, Jakarta: Bumi Aksara.
Noonan, John. 1973. ‘Responding to Person: Methods of Moral Argument in Debate over
Abortion’. Theology Digest: 291-307.
Singer, P. 1993. Practical Ethics. 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Sumner, L. W. 1981. Abortion and Moral Theory. Princeton. N.J.: Princeton University Press.
Supriyadi. 2002. ‘Politik Hukum Kesehatan terhadap Pengguguran Kandungan’. Makalah
disampaikan dalam Diskusi Ilmiah, “Aborsi Dari Kajian Ilmu Politik Hukum” (Hukum
Kesehatan dan Hukum Pidana). Yogyakarta: Bagian Hukum Pidana, FH-UAJY, Tanggal 2
Juli 2002.
Tutik, Titik Triwulan. 2011. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi bagi Kehamilan Tidak
Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Makalah. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/7293/ANALISIS_
HUKUM_ISLAM_TERHADAP_PRAKTIK_ABORSI_KDT.pdf. Tanggal 2 Agustus
2011.
Unwin, Nicholas. 2011. Morality, Law, and the Evaluation of Values. Diunduh dari mind.
oxfordjournals.org. Tanggal 17 Januari 2011.
Warren, Mary Anne. 1973. ‘On the Moral and Legal Status of Abortion’, The Monist. Vol. 57,
no.4.
Warren, M..A. 1993. ‘Abortion’, dalam Peter Singer (Ed), A Companion to Ethics. Cambridge:
Blackwell Publishing.
White, J. E. ed. 1991. Contemporary Moral Problems. 3rd Edition. St. Paul: West Publishing.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 323
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 323
5/16/2012 5:08:16 PM
“UNDUE PROCESS OF LAW” DALAM PERKARA
PIDANA PERJUDIAN DENGAN TERDAKWA ANAK
Kajian Putusan Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG
Melani
Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jalan Lengkong Dalam No.17 Bandung
Email: [email protected]
ABSTRACT
This article analyzes a decision of Bandung District Court. In this case, the Defendant (IR) was
convicted of gambling with his friends (adults) in a public transportation with bets ranging from
one to two thousand rupiahs. In examining the case, judges did not perform the procedure set
out in the Juvenile Court Act (JCA), especially Articles 55, 57, and 58 Paragraph (2). From the
beginning of the trial and during trial, IR was not accompanied by his parents, Legal Counsel,
and Supervising Community. Prior to pronounce the verdict, the judge did not provide the
opportunity for parents to express all the things that are beneficial to IR. This also disregards
JCA, Article 59 Paragraph (1). All of these showed the undue process of law. Judge’s decision
was on the contrary to the JCA Article 59 Paragraph (2), because the judge did not consider
the social study report. The judges punished IR imprisonment for 2 months 15 days based on the
retributive (revenge) philosophy of punishment, which should be the restorative (recovery). It
also suggested that IR should be returned to his parents.
Keywords: undue process of law, juvenile delinguency, children rights
ABSTRAK
Artikel ini menganalisan putusan Pengadilan Negeri Bandung. Pada kasus ini, terdakwa (IR)
telah didakwa bersama teman-temannya yang sudah dewasa yang bekerja di bidang transportasi
umum dalam permainan taruhan yang bernilai ribuan. Dalam kajian terhadap kasus ini, hakim
seharunya mengetahui lebih mendalam terkait undang-undang Peradilan Anak pasal 55, 57, dan
58. Dari awal persidangan, IR tidak didampingi oleh orang tuanya, pendamping hukum, dan
atau supervsi dari komunitas pemerhati masalah anak. Dalam putusan, hakim tidak memberikan
peluang bagi orang tuanya untuk mengungkapkan hal-hal yang menguntungkan IR. Pasal 59
UU Pengadilan anak mensyaratkan adanya hukum acara anak, sementara putusan hakim justru
kebalikannya karena tidak mempertimbangkan hasil kajian sosial. Hakim memutuskan IR
dihukum 2 bulan 15 hari berdasarkan filosofi hukuman, padahal seharusnya berdasarkan filosofi
restoratif dan juga mengembalikan IR kepada orang tuanya.
Kata kunci: hukum acara pengadilan anak, peradilan anak, hak anak
324 |
JURNAL DES.indd 324
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
I.
PENDAHULUAN
Tidaklah berlebihan bila penegakan hukum di Indonesia kerap disebut bagaikan pisau, tajam
ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat jelata sering merasakan betapa hukum berlaku diskriminatif
dan yang lebih parah lagi putusan hakim dirasakan tidak adil dan tidak bermanfaat bagi semua
pihak karena hanya membuat penuh penjara dan membebani keuangan negara, serta dapat
berdampak buruk bagi terpidana. Sebagaimana terjadi dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/
PN.BDG, seorang terdakwa anak dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan perjudian bersama-sama orang dewasa dan dijatuhi sanksi pidana penjara.
Perjudian dengan terdakwa anak pernah sangat heboh di negeri ini, yaitu perkara yang
disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang karena para terdakwanya adalah anak-anak yang
bekerja sebagai penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta. Ketika sedang beristirahat bocah
para penyemir sepatu tersebut bermain tebak-tebakan koin. Mereka ditangkap polisi dan akhirnya
dinyatakan terbuktin secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perjudian oleh Pengadilan
Negeri Tangerang.
Fenomena peradilan perjudian dengan pelaku anak tersebut sangatlah menyedihkan dan
sekaligus mencemaskan serta amat ironis bila dibandingkan dengan perjudian yang konon acap
dilakukan oleh orang-orang kaya di padang golf dan tidak pernah tersentuh hukum.
Dalam Perkara Nomor 38/Pid.AN/2009/PN.BDG, terdakwanya adalah IR (berhubung
terdakwa adalah anak, maka peneliti hanya mencantumkan inisialnya saja) seorang anak miskin
yang putus sekolah, berusia 15 tahun. Sehari-hari IR bekerja sebagai kernet angkutan kota
(Angkot). Pada hari Rabu, 29 April 2009, seperti biasa IR bekerja dan sekira pukul 14.00 WIB
ketika sedang ngetem di Jl. Gempolsari Blok 19 Kelurahan Gempolsari Kecamatan Bandung
Kulon Kota Bandung, sambil menunggu bubaran karyawan pabrik, IR diajak main kartu domino
oleh teman-temannya yang sudah dewasa bernama D, P, dan N. Untuk mengisi waktu akhirnya
IR mau main kartu domino dengan taruhan antara Rp. 1.000,- (seribu rupiah) s.d. Rp. 2.000,- (dua
ribu rupiah). Aturan permainan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing peserta menaruh
uang taruhan Rp. 1.000,- (seribu rupiah) dan selanjutnya para pemain dibagi 3 buah kartu domino,
kemudian apabila para pemain berani menambah taruhan Rp. 1.000,- (seribu rupiah), maka akan
dibagi satu buah kartu lagi, sehingga masing-masing pemain akan mendapat 4 buah kartu, lalu
apabila menurut pemain kartu yang ia miliki bagus, maka diadu kembali dengan bertaruh kembali
uang paling besar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
Setelah itu baru kartu diadu kembali dengan nilai kartu dari masing-masing pemain dan yang
dianggap menang adalah jumlah kartu yang paling besar, kemudian pemenang dalam permainan
tersebut mengambil uang taruhan dan pemain yang kalah adalah pemain yang memiliki nilai kartu
paling kecil. IR telah mengeluarkan uang sejumlah Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) sebagai
modal awal uang taruhan yang telah habis dipergunakan untuk permainan tersebut. Namun ketika
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 325
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 325
5/16/2012 5:08:16 PM
mereka sedang asyik-asyiknya bermain tiba-tiba didatangi oleh anggota kepolisian, sehingga IR
dan teman-temannya dibawa ke kantor kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan dan selanjutnya
mereka ditahan di Polsekta Bandung Kulon dengan barang bukti berupa 1 (satu) set kartu domino,
uang sebesar Rp. 38.000,- (tiga puluh delapan ribu rupiah), dan Angkot Nopol: D-1935-US.
Terdakwa IR oleh jaksa penuntut umum (JPU) dikenakan dakwaan alternatif, yaitu:
Kesatu: Pasal 303 ayat (1) ke-3 KUHP, atau
Kedua: Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHP, atau
Ketiga: Pasal 303 bis ayat (1) ke-2 KUHP.
Dalam surat tuntutan (Requisitoir) JPU, terdakwa IR dinyatakan telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perjudian sebagaimana dakwaan kedua, yaitu
melanggar Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHP, dengan tuntutan pidana penjara selama 5 (lima)
bulan.
Pengadilan Negeri Kelas I Bandung dalam putusannya Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG
menyatakan terdakwa IR terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
perjudian sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHP dan
dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) bulan 15 (lima belas) hari.
Kota Bandung pada tahun 2005-2007 dijadikan Pilot Project Program Uji Coba Model
Restorative Justice yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat
bekerja sama dengan UNICEF, oleh karena itu aparat penegak hukum seyogianya menerapkan
falsafah keadilan restoratif yang sejak awal abad ke-21 dikembangkan di dunia oleh UNICEF.
Nilai-nilai restorative justice sebetulnya telah diterapkan sejak zaman dulu kala di bumi pertiwi
ini yaitu melalui hukum adat. Menurut R. Soepomo (1981: 113), penyelesaian menurut hukum
adat menghendaki pengembalian keseimbangan di dalam masyarakat, atau pemulihan keadaan.
Anak adalah amanah dan karunia Allah SWT, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia. Anak adalah tumpuan harapan orang tua, bangsa dan negara, oleh
karena itu kedudukan anak sangatlah penting, karena anak adalah generasi penerus cita-cita
perjuangan bangsa. Pengabaian terhadap hak-hak anak adalah merupakan pengabaian terhadap
masa depan bangsa.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak (Convention on
The Rights of The Child) melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 dan telah ikut menandatangani
Deklarasi Dunia yang Layak Bagi Anak-Anak (World Fit For Children), 10 Mei 2002.
Dengan demikian Indonesia telah terikat baik secara yuridis maupun politis dan moral untuk
mengimplementasikan peraturan-peraturan Internasional tentang Hak-Hak Anak. Namun dalam
praktik hak-hak anak sebagai tersangka, terdakwa, dan/atau terpidana kerap terabaikan dan
326 |
JURNAL DES.indd 326
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
pada umumnya aparat penegak hukum hanya menganggap anak sebagai orang dewasa berbadan
kecil, sehingga perlindungan khusus terhadap anak yang tercantum dalam peraturan perundangundangan yang berlaku sering tidak bergaung.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut dalam pendahuluan di atas dapat dirumuskan
permasalahan yang akan dianalisis lebih lanjut sebagai berikut:
1.
Apakah hakim dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG telah memeriksa dan
mengadili terdakwa anak sesuai dengan hukum acara pengadilan anak (Due Process of
law)?
2.
Apakah hakim dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG telah menerapkan falsafah
penghukuman restoratif?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
A.
Studi Pustaka
1.
Peraturan Perundang-undangan Guna Melindungi Anak
Perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang berlaku di Indonesia
antara lain:
a.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
b.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana;
c.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
d.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
e.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
f.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
g.
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak
Anak.
Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Pengadilan Anak dan seperangkat
peraturan lainnya yang bertujuan melindungi hak-hak anak, namun dalam kenyataannya
penegakan hak-hak anak belum memadai dan belum memenuhi prinsip-prinsip dasar Konvensi
Hak-hak Anak.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 327
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 327
5/16/2012 5:08:16 PM
Prinsip-prinsip Dasar Konvensi Hak-hak Anak sebetulnya telah diadopsi oleh UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 2 Undang-Undang
tersebut dicantumkan, bahwa penyelenggaraan Perlindungan Anak berasaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a.
Non diskriminasi;
b.
Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
d.
Penghargaan terhadap pendapat anak.
Namun keempat prinsip dasar tersebut kerap diabaikan terutama bagi pelaku tindak pidana
anak yang menurut Undang-Undang Pengadilan Anak disebut Anak Nakal, sedangkan menurut
Undang-Undang Perlindungan Anak disebut Anak yang Berkonflik dengan Hukum.
Menurut W.A. Bonger (dalam Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, 1987: 115), kejahatan
anak-anak dan pemuda-pemuda sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan, lagi pula
kebanyakan penjahat yang sudah dewasa umumnya sudah sejak kecil melakukan kejahatan.
Pencegahan kejahatan anak-anak akan berpengaruh baik pula terhadap pencegahan kejahatan
orang dewasa.
Menurut Teori Labeling, label atau cap dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku
(kejahatan) dan membentuk karir kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh cap/label
dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Selanjutnya kewaspadaan
atau perhatian orang-orang di sekitarnya akan mempengaruhi orang dimaksud sehingga kejahatan
kedua dan selanjutnya mungkin terjadi lagi (Romli Atmasasmita, 1992: 39).
Pasal 16 ayat (3) Undang Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa penangkapan,
penahanan, atau pemenjaraan anak dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Meskipun Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Anak telah memberikan pelindungan
bagi anak yang berkonflik dengan hukum, akan tetapi dalam praktik, penangkapan, penahanan,
atau pemenjaraan anak sering dilakukan sebagi upaya pertama oleh aparat penegak hukum.
Melindungi anak pada hakikatnya adalah melindungi keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa
(Arif Gosita, 2003: 1). Selanjutnya Arif Gosita menyatakan (2003: 118), kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan pada waktu pelaksanaan pidana, dapat menimbulkan
viktimisasi mental, fisik, dan sosial pada anak pidana. Tidak adanya peraturan perundangundangan yang dapat menjadi dasar pemidanaan yang tepat, juga dapat menyebabkan adanya
viktimisasi struktural, yang dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial pada para
anak pidana.
328 |
JURNAL DES.indd 328
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
Tujuan diterbitkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
tercantum dalam alinea keenam penjelasan umum dari undang-undang tersebut, ialah untuk
lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang
masih panjang. Selain itu untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan
memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna
bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari penjelasan undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa, maksud menjatuhkan
sanksi terhadap anak adalah bukan semata-mata merupakan pembalasan terhadap tindakannya
yang bertentangan dengan hukum, akan tetapi lebih diharapkan agar anak memperoleh keadilan
pemulihan (restorative justice), sehingga kelak anak dapat menjadi anak yang berguna.
Pengadilan merupakan benteng terakhir untuk memperoleh keadilan, oleh karena itu peranan
hakim sangat menentukan bagi pelanggar hukum berusia anak untuk memperoleh keadilan yang
dapat mensejahterakan anak, bukan malah sebaliknya.
Menurut Pasal 55, 57 dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak, sidang
perkara anak wajib dihadiri oleh penuntut umum, penasihat hukum, pembimbing kemasyarakatan,
orang tua, wali atau orang tua asuh. Menurut penjelasan Pasal 55 Undang-Undang Pengadilan
Anak, meskipun anak harus bertanggung jawab secara pribadi, namun karena masih berstatus
sebagai anak, maka tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orangtua, wali atau orang tua
asuhnya.
Menurut Pasal 57 Undang-Undang Pengadilan Anak, sidang harus dilakukan secara tertutup.
Selanjutnya menurut Pasal 59 sebelum mengucapkan putusan hakim memberi kesempatan
kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukakan segala sesuatu hal ikhwal
yang bermanfaat bagi anak dan wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan
dari pembimbing kemasyarakatan. Penjelasan Pasal 59 ayat (2)0 Undang-Undang Pengadilan
Anak menyebutkan, bahwa arti wajib adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi menyebabkan
putusan batal demi hukum.
Dengan maksud untuk menciptakan suasana kekeluargaan, menurut Pasal 6 UndangUndang Pengadilan Anak pada sidang anak, hakim, penuntut umum, penyidik, dan penasihat
hukum, serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga dan pakaian dinas. Menurut
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak, anak yang melakukan tindak pidana bersamasama dengan orang dewasa diajukan ke sidang anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke
sidang bagi orang dewasa, dan dalam ayat (2) pasal tersebut di atas disebutkan, bahwa anak
yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia diajukan ke sidang anak sedangkan angggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
diajukan ke Mahkamah Militer.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 329
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 329
5/16/2012 5:08:16 PM
Dengan melihat ketentuan dari pasal-pasal tersebut di atas, nampak bahwa Undang-Undang
Pengadilan Anak berusaha untuk melindungi anak dalam proses di pengadilan.
Sanksi hukum terhadap anak nakal yang dapat dijatuhkan oleh hakim berupa pidana atau
tindakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pengadilan Anak. Selanjutnya
Pasal 23 Undang-Undang Pengadilan Anak menentukan:
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok
tambahan.
dan pidana
(2) Pidana Pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda, dan atau pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat
juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 24 Undang-Undang Pengadilan Anak menentukan:
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah:
a.
mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b.
menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja; atau
c.
menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan
yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat
tambahan yang ditetapkan oleh hakim.
2.
Sekilas tentang Restorative Justice
Teori dan program restorative justice telah muncul lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang
lalu sebagai alternatif dari hukuman pidana bagi anak (Chritopher, 1997: 1). Restorative Justice
sebetulnya bukan merupakan hal baru dan asing bagi bangsa Indonesia karena konsep restorative
justice pernah diterapkan dan diberlakukan, yaitu dalam penyelesaian menurut hukum adat.
Hukum adat tidak mengadakan perpisahan antara pelanggaran hukum yang mewajibkan
tuntutan memperbaiki hukum di dalam lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum yang
hanya dapat dituntut di lapangan hukum perdata. Oleh karenanya maka sistem hukum adat hanya
330 |
JURNAL DES.indd 330
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
mengenal satu prosedur dalam hal penuntutan baik secara pidana maupun perdata.
Ini berarti petugas hukum yang berwenang mengambil tindakan-tindakan konkrit (reaksi
adat) guna membetulkan hukum yang dilanggar itu satu pejabat saja, yakni kepala adat, hakim
perdamaian desa atau hakim Pengadilan Negeri untuk semua macam pelanggaran hukum adat.
Pembetulan hukum yang dilanggar sehingga dapat memulihkan kembali keseimbangan yang
semula ada itu, dapat berupa sebuah tindakan saja tetapi kadang-kadang mengingat sifatnya
pelanggaran perlu diambil beberapa tindakan (Haar dalam Wignjodipoero, 1992: 228).
Hukum adat memang telah lama menggunakan falsafah restorative justice. Alfian
mengemukakan sebuah studi tentang pengendalian sosial dalam masyarakat desa tertentu di Aceh
berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan dalam tahun 1974 menunjukkan peranan yang
kurang berarti dari hukum dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakat itu. Cukup banyak
peristiwa pelanggaran hukum seperti perkelahian berdarah yang diketahui oleh umum tidak
pernah sampai ke muka sidang pengadilan. Biasanya peristiwa-peristiwa itu diselesaikan melalui
suatu upacara adat yang disebut “pseujeuk” (Alfian dalam Taneko, 1987: 11).
Ada beberapa definisi Restorative Justice yang dikemukakan oleh para pakar hukum barat.
Dari berbagai definisi Restorative Justice Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) mengadopsi definisi Restorative Justice dari Tony Marshall, yaitu Restorative
Justice is a process whereby all the parties with a stake in particular offense come togetherto
resolve collectively how to deal with the aftermath of the offense and its implications for the
future (Marshall dan Tony, 1999: 5).
Terjemahan dari definisi tersebut pada intinya sebagai berikut: Restorative Justice adalah
suatu proses dalam hal ini semua pihak yang berhubungan dengan suatu tindak pidana tertentu
bersama-sama memecahkan masalah dan bagaimana menangani akibat di masa yang akan
datang. Restorative Justice mengandung nilai pemersatu sedangkan Retributive Justice untuk
menumpahkan dendam masa lalu (Atmasasmita, 2002: 7).
Apa yang dimaksud dengan Restorative Justice merupakan konsep keadilan yang sangat
berbeda dengan apa yang dikenal selama ini dalam sistem hukum pidana Indonesia yang bersifat
retributif, Undang-Undang Pengadilan Anak masih didominasi oleh pendekatan yang bersifat
retributif, pendekatan yang bersifat rehabilitatif sekalipun belum cukup signifikasi. Hal yang secara
nyata tampak dalam Undang-Undang Pengadilan Anak baru terbatas pada adanya pengurangan
ancaman pidana serta adanya alternatif tindakan selain pidana (Pohan, 2002: 3).
Sebagaimana telah dikemukakan dalam pendahuluan, restorative justice telah diujicobakan
di Kota Bandung. Adapun prasyarat untuk dapat terlaksananya restorative justice adalah sebagai
berikut:
a.
Harus ada pengakuan bersalah dari pelaku;
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 331
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 331
5/16/2012 5:08:16 PM
b.
Harus ada Persetujuan dari pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem
peradilan pidana anak yang berlaku;
c..
Harus ada persetujuan dari pihak kepolisian bila perkara berada di tingkat penyidikan
atau dari pihak kejaksaan bila perkara berada di tingkat penuntutan, sebagai institusi yang
memiliki kewenangan diskresioner; dan
d.
Harus ada dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem
peradilan pidana anak.
Sedangkan kriteria kasus yang dapat diselesaikan secara restorative justice dalam uji coba
di Kota Bandung adalah:
a.
Bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan
pelanggaran lalu lintas jalan;
b.
Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat atau
cacat seumur hidup; atau
c.
Kenakalan anak tersebut bukan merupakan kejahatan terhadap kesusilaan yang serius yang
menyangkut kehormatan.
Dengan menggunakan konsep restorative justice sebagaimana dikembangkan UNICEF,
kiranya dalam menyelesaikan kasus pidana anak dapat diharapkan menghasilkan hal-hal sebagai
berikut:
a.
Berkurangnya jumlah anak yang dikenakan penahanan sementara dan divonis penjara;
b.
Menghapuskan stigmatisasi dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga
diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari;
c.
Anak yang melakukan tindak pidana dapat menyadari kesalahannya dan bertanggung jawab,
sehingga dapat diharapkan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya;
d.
Mengurangi beban kerja pengadilan;
e.
Menghemat keuangan negara;
f.
Meningkatkan dukungan orang tua dan peran serta masyarakat dalam mengatasi kenakalan
anak;
g.
Pengintegrasian kembali anak ke dalam masyarakat.
Apabila perkara tidak dapat diselesaikan di luar sistem peradilan pidana diharapkan
para aparat penegak hukum termasuk hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara anak
menggunakan falsafah restoratif.
332 |
JURNAL DES.indd 332
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
B. ANALISIS
Amar putusan Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG berbunyi:
•
Menyatakan terdakwa IR bersalah melakukan tindak pidana “perjudian” sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHP.
•
Menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) bulan 15 hari dikurangi selama terdakwa dalam
tahanan sementara.
•
Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan.
•
Menetapkan barang bukti berupa:
a.
1 (satu) set kartu domino
b.
Uang tunai Rp38.000,- (tiga puluh delapan ribu rupiah)
c.
1 (satu) unit kendaraan No.Pol.D-1935-US, tetap terlampir dalam berkas perkara
untuk digunakan dalam perkara lain atas nama PS dkk.
•
Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp1.000,- .
1.
Hakim dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG telah memeriksa dan
mengadili terdakwa anak tidak sesuai dengan hukum acara pengadilan anak (Undue
Process of Law)
a.
Pasal 55, 57, dan Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1997
Dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana anak, di samping hakim harus memenuhi
prosedur yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka
hakim juga harus memenuhi prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak yang lebih bersifat khusus daripada KUHAP. Dalam halaman
terakhir Putusan Nomor 38/Pid.AN/2009/PN.BDG tampak terdakwa IR tidak didampingi oleh
orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan.
Yang hadir di muka sidang sebagaimana disebutkan dalam putusan halaman terakhir,
hanyalah hakim, panitera pengganti, jaksa penuntut umum, dan terdakwa. Pasal 55 UndangUndang Pengadilan Anak menyatakan, dalam perkara anak nakal sebagaimana dimaksud Pasal 1
angka 2, penuntut umum, penasihat hukum, pembimbing kemasyarakatan, orang tua, wali, atau
orang tua asuh, dan saksi, wajib hadir dalam sidang anak. Sedangkan Pasal 57 menyatakan, (1)
Setelah hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, terdakwa
dipanggil masuk beserta orang tua, wali atau orang tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 333
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 333
5/16/2012 5:08:16 PM
kemasyarakatan; (2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orang tua, wali, atau orang
tua asuh, penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan.
Selain itu, Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak menyatakan, pada waktu
pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) orang tua, wali, atau orang tua asuh,
penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir. Berdasarkan Pasal 55, 57, dan
Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak, maka sejak permulaan sidang dan selama
persidangan seharusnya terdakwa didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat
hukum, dan pembimbing kemasyarakatan. Dengan demikian sangat jelas dan gamblang dalam
memeriksa dan mengadili terdakwa IR, hakim telah melanggar prosedur yang ditentukan oleh
Pasal 55, 57, dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak.
b.
Pasal 59 UU Nomor 3 Tahun 1997
Pasal 59 Undang-Undang Pengadilan Anak menyatakan, (1) Sebelum mengucapkan
putusannya, hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk
mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat bagi anak; (2) Putusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing
kemasyarakatan.
Namun nyatanya di dalam putusan, hakim tidak tercantum adanya pemberian kesempatan
kepada orang tua IR untuk mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat bagi IR sebelum
putusan dijatuhkan dan juga hakim tidak mempertimbangkan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan yang merekomendasikan agar terdakwa IR
dijatuhi sanksi tindakan, yaitu dikembalikan kepada kedua orang tuanya, akan tetapi hakim
malah menjatuhkan putusan pidana penjara selama 2 bulan 15 hari. Dengan demikian jelaslah
putusan hakim menyalahi prosedur yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Pengadilan Anak.
2.
Penerapkan Falsafah Penghukuman Restoratif
Meskipun Undang-Undang Pengadilan Anak belum sempurna, akan tetapi bila hakim
menerapkannya dengan menggunakan falsafah penghukuman restoratif tentunya putusannya
akan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya mendekati rasa keadilan
di dalam masyarakat.
Dalam putusan hakim pada Perkara Nomor 36/PID.AN/2009/PN.BDG tidak nampak
adanya nuansa peradilan anak, padahal hakimnya berstatus sebagai hakim anak. Putusan hakim
datar-datar saja dan sama sekali di dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan bahwa
terdakwa masih termasuk usia anak, bahkan dalam hal-hal yang meringankan pun hakim tidak
mencantumkan usia anak sebagai hal yang meringankan.
334 |
JURNAL DES.indd 334
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
Hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada terdakwa anak selayaknya tidak semata-mata
hanya mempertimbangkan pasal dakwaan yang terbukti, namun juga menjadi kewajiban bagi
hakim untuk menggunakan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak yang sudah menganut falsafah restoratif.
Undang-Undang Pengadilan Anak telah mengamanatkan hal yang sangat prinsip dalam
mengadili perkara anak, yaitu tercantum dalam alinea ke-4 penjelasan umum yang menyatakan:
Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki,
baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya. Mengingat ciri dan sifat
anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap
anak nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya.
Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat
perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari
orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut sematamata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar.
Berdasarkan laporan penelitian kemasyarakatan untuk sidang perkara anak no. register:
09/V/22 dengan terdakwa IR tertanggal 18 Mei 2009 yang dibuat dan ditandatangani oleh
pembimbing kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Bandung telah
memberikan rekomendasi agar terdakwa IR tidak dijatuhi pidana, akan tetapi tindakan, yaitu
dikembalikan kepada kedua orang tuanya atas dasar pertimbangan:
1.
Klien belum pernah dihukum, sehingga apabila dikenakan hukuman penjara
dikhawatirkan akan menambah dampak buruk bagi perkembangan fisik dan
psikologisnya.
2.
Klien telah menyesali kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulangi di kemudian
hari.
3.
Pihak keluarga klien sanggup mendidik dan membina klien ke arah yang lebih baik.
4.
Klien masih remaja dan masih dapat dibina serta masih mempunyai kesempatan untuk
memperbaiki diri.
5.
Kondisi lingkungan keluarga dan masyarakat kondusif untuk mendidik dan membina
klien ke arah yang lebih baik.
Hasil penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan Bapas
Kl I Bandung tersebut di atas, ternyata sama sekali tidak dipertimbangkan hakim, padahal
Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak secara tegas dan gamblang menyatakan
bahwa, putusan wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 335
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 335
5/16/2012 5:08:16 PM
Sanksi tindakan yang direkomendasikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kl
I Bandung, yaitu berupa terdakwa IR dikembalikan kepada kedua orang tuanya merupakan
penghukuman yang restoratif dan memiliki nilai kegunaan, karena klien baru pertama kali
dihukum, sehingga hukuman penjara dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perkembangan
fisik dan psikologis, apalagi penjara sering disebut sebagai sekolah kejahatan. Namun dalam
putusannya hakim sama sekali tidak mempertimbangkan dampak buruk yang akan menimpa
terdakwa IR dengan hukuman penjara yang ia jatuhkan, hakim hanya menerapkan retributive
justice (keadilan berdasarkan balas dendam).
Terdakwa IR yang baru berusia 15 tahun selayaknya masih duduk di bangku sekolah, bukan
bekerja menjadi kernet angkutan kota, ia telah menjadi korban akibat kemiskinan dia tidak dapat
melanjutkan sekolah. Di hari nahas ketika sedang menunggu penumpang, ia diajak bermain
domino dengan taruhan tidak seberapa, yaitu Rp1.000,- s.d. Rp2.000,- kemudian ditangkap polisi,
kembali ia menjadi korban dan lebih parah lagi hakim sebagai benteng terakhir untuk memperoleh
keadilan ternyata juga menjadikan terdakwa IR kembali menjadi korban karena hakim tidak
dapat memberikan keadilan secara restoratif yang sebetulnya sangat dibutuhkan oleh terdakwa
IR demi menyongsong masa depannya yang lebih baik. Di samping itu hukuman pidana penjara
bagi terdakwa IR tidaklah bermanfaat bagi terdakwa IR, malah sebaliknya dapat mendatangkan
bahaya, juga bagi negara hanya akan menambah penuh penjara dan membebani keuangan negara.
Putusan tersebut secara nyata bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak,
terutama prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak.
IV. SIMPULAN
Berdasarkan uraian/analisis tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Hakim dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG telah memeriksa dan mengadili
terdakwa anak tidak sesuai dengan hukum acara pengadilan anak (undue process of law)
karena hakim tidak mengindahkan Pasal 55, 57, dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu sejak permulaan sidang dan selama
persidangan seharusnya terdakwa didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh,
penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan, tapi di muka sidang, terdakwa IR
tidak didampingi siapapun. Jangankan anak, terdakwa dewasa pun di muka sidang pada
umumnya gugup dalam menghadapi hakim dan jaksa penuntut umum.
Selain itu, putusan hakim bertentangan dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Pengadilan Anak karena sebelum mengucapkan putusannya, hakim tidak memberikan
kesempatan pada orang tua terdakwa IR untuk mengemukakan segala hal ihwal yang
bermanfaat bagi IR. Putusan hakim juga bertentangan dengan Pasal 59 ayat (2) Undang-
336 |
JURNAL DES.indd 336
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
Undang Pengadilan Anak karena hakim tidak mempertimbangkan laporan penelitian
kemasyarakatan, padahal menurut ketentuan tersebut hakim wajib mempertimbangkan
laporan penelitian kemasyarakatan.
2.
Dalam Perkara Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG hakim tidak menerapkan falsafah
penghukuman restoratif karena hakim hanya menghukum terdakwa atas dasar
kesalahannya tanpa menggunakan asas yang terkandung dalam alinea ke-4 Penjelasan
Umum Undang-Undang Pengadilan Anak, yang intinya menyatakan bahwa hubungan
antara orang tua dengan anaknya merupakan hubungan yang hakiki, baik hubungan
psikologis maupun mental spiritualnya, oleh karena itu dalam menjatuhkan hukuman
sedapat mungkin hakim tidak memisahkan antara anak dengan orang tuanya.
Berdasarkan laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing
Kemasyarakatan Bapas Kl I Bandung, direkomendasikan agar terdakwa IR dijatuhi
sanksi tindakan dengan mengembalikan terdakwa IR kepada kedua orang tuanya, atas
dasar pertimbangan terdakwa IR belum pernah dihukum, sehingga apabila dikenakan
hukuman penjara dikhawatirkan akan menambah dampak buruk bagi perkembangan
fisik dan psikologisnya. Rekomendasi tersebut nyatanya tidak dipertimbangkan oleh
hakim dan hakim malah menjatuhkan pidana penjara selama 2 bulan 15 hari. Dalam
perkara tersebut jelas-jelas hakim tidak menggunakan falsafah penghukuman restoratif
dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak, terutama prinsip
kepentingan terbaik bagi anak. Putusan hakim tersebut dapat berakibat merugikan anak,
menambah penuh penjara dan membebani keuangan negara. Dengan demikian 2 (dua)
tujuan hukum, yaitu keadilan dan kegunaan dalam perkara a quo tidaklah tercapai.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas di akhir kajian ini penulis mengemukakan bahwa
kedudukan anak sangatlah penting, sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, maka
dalam mengangkat hakim anak. Untuk itu, Mahkamah Agung betul-betul dapat memilih orang
yang menjadi hakim atas dasar panggilan jiwa, yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi,
dan memahami masalah anak karena menyangkut masa depan bangsa dan negara. Selain itu,
para hakim pengadilan anak harus memperoleh pendidikan dan pelatihan, agar memahami dan
dapat menerapkan secara baik peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi anak dan juga
peraturan-peraturan internasional tentang hak-hak anak serta konsep restorative justice.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Atmasasmita, Romli. 1992. Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Eresco.
-------------------------. 2002. Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia.
Jakarta: BPHN.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 337
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 337
5/16/2012 5:08:16 PM
Bright, Christopher. 1997. Introduction to Restorative Justice. New York: Prison Fellowship
International.
Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo.
Marshall, Tony. 1999. Restorative Justice. London: Home Office Research Development and
Statistics Directorate.
Soepomo, R. 1981. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Taneko, Soleman. 1987. Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang.
Bandung: Eresco.
Widiyanti, Ninik dan Waskita, Yulius. 1987. Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya.
Jakarta: Bina aksara.
Wignjodipoero, Soerojo. 1992. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: CV Hadji
Masagung.
Disertasi dan makalah
Gosita, Arif. 2003. Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana Saran Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Disertasi Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Pohan, Agustinus. 2002. Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Indonesia.Bandung: Makalah
Pada Diskusi Publik Koalisi Ketuk Nurani.
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak.
338 |
JURNAL DES.indd 338
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
RELASI PEMAHAMAN HAKIM DAN KUALITAS
PUTUSAN DALAM KASUS PIDANA LINGKUNGAN
Kajian Putusan Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn
Deni Bram
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640
email: [email protected]
ABSTRACT
Law may be so esoteric and mono-discipliner that it can close its relationship with other disciplines.
But in environmental law, the law will not be able to work alone. The complexity of environmental
law that evolves with the development of society and technology has demanded a
judge not merely apply the law, but also creatively interpret the law. At this point, the level of
knowledge of environmental law of a judge would certainly have a major stake for the quality
of the decisions he makes. Judge’s knowledge on environmental law, a search of the facts
of the trial involving expert witnesses and scientific research as well as the confidence in
the evidence, could also influence the quality of judge’s decision. In the case of illegal logging
below, there is a relation between the judge’s level of knowledge on environmental law and the
quality of the decision.
Keywords: environmental law, court decisions, justice
ABSTRAK
Hukum mungkin saja dipahami oleh segelintir orang dan hanya mono-discipliner, padahal hukum
dapat memiliki hubungan dengan disiplin keilmuan yang lain. Dalam hukum lingkungan, hukum
tidak dapat bekerja sendiri. Hukum lingkungan memiliki keterkaitan dengan pengembangan
masyarakat dan teknologi dibutukan seorang hakim untuk menerapkan hukum dan sekaligus
kreatif dalam menginterpretasikan hukun. Hal utama dalam kajian ini, level pengetahuan
hukum lingkungan bagi seorang hakim mutlak dibutuhkan untuk menciptakan kualitas putusan.
Pengetahuan tersebut untuk mencari fakta dan bukti termasuk dari saksi ahli dan peneliti dimana
ama kuatnya dengan bukti yang lain. Dalam kasus illegal logging ini, terdapat hubungan antara
pengetahuan hakim dalam hukum lingkungan dan kualitas putusan pengadilan.
Kata kunci: hukum lingkungan, putusan hakim, hukuman
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 339
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 339
5/16/2012 5:08:16 PM
I.
PENDAHULUAN
Keberadaan sumber daya alam di sektor kehutanan pada umumnya dan di negara-negara
berkembang dengan jumlah tutupan hutan yang luas pada khususnya kerap menciptakan keadaan
yang dilematis. Berdasarkan hasil penelitian Indonesia Center of Environmental Law (ICEL),
dalam kurun waktu 50 tahun terakhir luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar
40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Hutan memang selain mengemban fungsi
ekologis untuk menjadi tempat konservasi berbagai mahkluk hidup dan penyimpanan berbagai
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, hutan juga mempunyai daya tarik ekonomis yang
terkadang membuat manusia dengan berbagai tipu dayanya berusaha untuk menguasai hutan.
Kondisi disparitas yang begitu besar antara permintaan atas kayu dan pasokan yang ada
kerap kali menjadi salah satu pemicu dalam berbagai praktek tindak pidana sektor kehutanan di
Indonesia. Praktek perambahan hutan secara illegal tentu saja selain memiliki dampak ekologis
juga telah memberikan implikasi kerugian pada sektor keuangan negara. Pemanfaatan hutan yang
tidak sesuai izin dan prosedur yang telah ditetapkan akan memberikan dampak adanya kerugian
ekonomis dari nilai kayu yang ditebang dan juga dana provisi serta reboisasi yang seharusnya
diserahkan ke pemerintah dalam rangka pengelolaan hutan jangka panjang.
Salah satu kasus korupsi dan pembalakan liar di sektor kehutanan yang menarik perhatian
publik pada akhir tahun 2007 adalah tindak pidana yang didakwakan kepada AL di Pengadilan
Negeri Medan.
Kasus ini berawal dari keberadaan PT KNDI dengan AL sebagai Direktur Keuangan/
Umum yang telah memiliki izin pengelolaan hasil hutan semenjak tanggal 12 Mei 1974 dengan
berdasar pada Surat Keputusan Menteri Pertanian dengan Nomor 238/KPKIUM/5/1974 dengan
domisili di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang telah mengantongi izin pengusahaan
hutan seluas 58.890 (lima puluh delapan ribu delapan ratus sembilan puluh) hektar kawasan
hutan yang terletak di kawasan hutan Sungai Singkuang–Sungai Natal Kabupaten Mandailing
Natal berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 805/KPTS–VI/99 tertanggal 30
September 1999 tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan.
Dalam menjalankan usahanya pada kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2005,
pihak kepolisian menengarai telah terjadinya tindak pidana korupsi dan tindak pidana sektor
kehutanan dengan modus penggunaan lahan hutan di luar wilayah yang telah ditentukan pada
Izin Pemanfaatan Hasil Hutan yang dilakukan oleh PT KNDI. Hal ini dapat dilihat dari titik-titik
koordinat sebagai berikut:
Tahun 2000 berada pada titik koordinat 00° 57’ 22,4” LU dan 99° 03’ 26,4” BT, kemudian
diploting ke dalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2000, diketahui Posisi Titik
Koordinat tersebut berada di luar RKT 2000 dalam IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan
340 |
JURNAL DES.indd 340
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 12.153 batang atau volume 30.706,02 M3, dengan
jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran.
Tahun 2001 berada di lokasi Jalan Danau KM 12, berada di luar Rencana Kerja Tahunan
(RKT) 2001, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 11.521 batang
atau volume 24.497,95 M3, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan
Kelompok Rimba Campuran.
Tahun 2002 berada pada titik koordinat 00° 55’ 06,9” LU dan 99° 07’ 09,0” BT, kemudian
diploting ke dalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2002, diketahui Posisi Titik
Koordinat tersebut berada di luar RKT 2002 dalam IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan
alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 24.533 batang atau volume 51,340.73 M3, dengan
jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran.
Tahun 2003 berada pada titik koordinat 00° 54’ 55,6” LU dan 99° 06’ 55,4” BT, kemudian
diploting ke dalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2003, diketahui Posisi Titik
Koordinat tersebut berada di luar RKT 2003 dalam IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan
alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 9,027 batang atau volume 20,334.51 M3, dengan
jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran.
Tahun 2004 berada pada titik koordinat 00° 55’ 30,8” LU dan 99° 04’ 25,3” BT, kemudian
diploting ke dalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2004, diketahui Posisi Titik
Koordinat tersebut berada di luar RKT 2004 dalam IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan
alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 7,961 batang atau volume 21,250.88 M3, dengan
jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran.
Tahun 2005 berada pada titik koordinat 00° 56’ 50,4” LU dan 99° 05’ 21,2” BT dan titik
koordinat 00° 54’ 06,9” LU dan 99° 06’ 43,3” BT, kemudian diploting ke dalam Peta Lampiran
Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2005, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada di luar RKT
2005 dan juga berada di luar IUPHHK PT. KNDI, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw
dan hasil penebangan 12,874 batang atau volume 28.299,85 M3, dengan jenis Meranti, Kapur,
Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran.
Paling tidak tercatat dari tindakan tersebut sebanyak 217.965,15 M³ (dua ratus tujuh belas
ribu sembilan ratus enam puluh lima koma lima belas) meter kubik kayu yang telah di tebang
dengan cara ilegal dan mengganggu ekosistem sekitar yang menyebabkan terjadinya perusakan
hutan. Selain itu dari tindakan yang dilakukan juga telah memberikan dampak kerugian negara
sebesar Rp. 119.802.393.040,00 (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus
sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah) dan US$2.938.556,24 (dua juta sembilan ratus
tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US dollar) yang
merupakan akumulasi dari valuasi ekonomi terhadap nilai kayu bulat yang telah di tebang di
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 341
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 341
5/16/2012 5:08:16 PM
luar Rencana Kerja Tahunan, Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi yang seharusnya
diterima oleh negara.
Selain itu juga terindikasi pola penebangan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam Mekanisme Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Untuk menindaklanjuti
dugaan awal tersebut pada sekitar tanggal 29 Januari 2006 tim dari Polda Sumatera Utara bersama
dengan Tim dari Dinas Kehutanan melakukan pemeriksaan ke lokasi areal HPH PT KNDI di
Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Madina yang menemukan bukti awal tidak adanya
penandaan dengan pita kuning dan pita merah sebagai pembeda pohon yang boleh ditebang dan
tidak boleh ditebang dalam rangka melaksanakan mekanis Tebang Pilih Tanam Indonesia dan
berpotensi mengakibatkan kerusakan ekosistem wilayah hutan.
Berdasar pada indikasi adanya tindak pidana yang dilakukan oleh PT KNDI dengan AL
sebagai Direktur Keuangan/Umum berupa perambahan kawasan hutan di luar Rencana Kerja
Tahunan yang telah ditetapkan, pihak kepolisian untuk selanjutnya menindaklanjuti hal tersebut
dengan melakukan proses penyelidikan dan penyidikan yang kemudian dilanjutkan pada tataran
penuntutan oleh jaksa penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk Dakwaan Kombinasi
yang terdiri dari Dakwaan Kesatu Primer berupa pelanggaran Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Dakwaan Kesatu
Subsider Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat
(1) KUHP.
Dakwaan Kedua Primer Pasal 50 ayat (2) jo Pasal 78 ayat (1), ayat (14) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan jo Pasal 64
ayat (1) KUHP atau Dakwaan Kedua Subsider Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7), ayat
(14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Kehutanan jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Dakwaan Kedua Lebih Subsider Pasal 50 ayat (3)
huruf f jo Pasal 78 ayat (7), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Dakwaan Kedua Lebih
Subsider Lagi Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP.
Dari keseluruhan argumentasi dan pertimbangan hukum baik pada Dakwaan Pertama
maupun Dakwaan Kedua beserta dakwaan berlapis di dalamnya, majelis hakim yang dipimpin
oleh AB tidak menemukan satupun alasan untuk menyatakan terdakwa bersalah sesuai dengan
tuntutan jaksa penuntut umum sehingga terdakwa menurut majelis hakim harus dibebaskan dari
segala dakwaan (Vrijspraak).
342 |
JURNAL DES.indd 342
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:16 PM
II. RUMUSAN MASALAH
Salah satu karakteristik dari ilmu lingkungan adalah pendekatan multidisipliner yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan lingkungan hidup yang ada. Keberadaan
dan kekhususan terhadap suatu disiplin ilmu tertentu tanpa merujuk bidang ilmu lain dalam
pendekatan ilmu lingkungan menjadi suatu hal yang sia-sia.
Hal tersebut di atas dapat ditemui pula proses penegakan hukum terhadap sengketa-sengketa
lingkungan hidup yang terjadi, keterpaduan antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lain
dalam mengungkap suatu kebenaran ilmiah dengan didukung oleh bukti yang diperoleh secara
ilmiah jelas menjadi tumpuan yang menjadi entry point dalam mengatasi permasalahan di bidang
lingkungan hidup.
Permasalahan pun mulai muncul pada saat keberadaan ilmu hukum dengan salah satu sendi
utamanya yaitu kepastian terjerembab dengan pemikiran-pemikiran yang mengukung diri dari
suatu pendekatan ilmiah. Beberapa kasus pencemaran lingkungan seperti Pencemaran Teluk Buyat
dan juga pencemaran lumpur di Sidoarjo kerap kali ditanggapi oleh para praktisi hukum secara
pragmatik dan hanya berlandaskan alasan normatif semata tanpa memperhatikan adanya unsur
kebenaran ilmiah yang diusung dalam setiap penanggulangan permasalahan lingkungan hidup.
Dalam rangka memberikan arahan dalam masalah yang diungkapkan dalam paragraf di
atas, maka pertanyaan yang dalam penelitian ini meliputi:
1.
Apakah lemahnya kualitas putusan hakim Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn
dilatarbelakangi oleh kurangnya penguasaan hakim terhadap konsep-konsep dasar
dan perkembangan hukum lingkungan?
2.
Bagaimana meningkatkan kapasitas pengetahuan hakim dalam meminimalisasi
buruknya putusan dalam kasus hukum lingkungan?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
Secara obyektif dapat dicermati bahwa sepanjang kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan
dari kedudukan sebuah norma hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, norma hukum
menempati posisi sentral dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia untuk
merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai, dan menjaga eksistensinya di dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dalam beberapa literatur dapat ditemukan bahwa keberadaan norma hukum paling awal
dalam kehidupan manusia paling tidak mulai terlihat saat dilakukan oleh Hammurabi (Codex
of Hammurabi) pada zaman Babylonia, namun beberapa maxim yang muncul sebelumnya pada
awal kekaisaran Romawi sebagaimana diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero dalam karyanya
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 343
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 343
5/16/2012 5:08:16 PM
De Republica dan De Legibus dengan maxim yang tersohornya yaitu “ubi societas ubi ius”
yang menekankan makna bahwa di mana ada masyarakat di situ harus ada hukum. Keadaan ini
sesungguhnya merefleksikan bahwa keperluan dan kepentingan manusia sebagai mahkluk sosial
akan mencapai titik keseimbangan saat difasilitasi oleh norma hukum.
Hukum dalam beberapa perspektif masyarakat awam dianggap identik dengan hukuman.
Hal ini jelas telah mereduksi makna hukum itu sendiri sehingga terkadang telah terpenuhi atau
tidaknya suatu nilai keadilan diukur dengan hukuman yang diberikan pada proses peradilan.
Salah satu karya hukum yang fenomenal buah pikiran dari Philippe Nonet dan Philip Selznick
dalam karyanya ‘Law and Society in Transition: Toward Responsive Law’ menguraikan tentang
pentingnya keseimbangan antara konsep keadilan prosedural dan keadilan substantif dalam proses
penegakan hukum. Salah satu elemen aparat hukum yang mempunyai peranan penting dalam
menjalankan aturan substantif sekaligus pula prosedural dalam proses penegakan hukum adalah
hakim. Dalam konteks keadilan prosedural jelas tercermin bahwa prosedur merupakan jantung
dari hukum yang pada gilirannya merupakan tempat jaminan paling nyata untuk mendapatkan
penerapan peraturan secara adil (Nonet dan Selznick, 2007: 5).
Keberadaan norma hukum yang sebelumnya hanya menyentuh pada ranah kaedah antar
manusia (homo ethic), perlahan mulai bergeser pada konsep mengatur kaedah keseimbangan
manusia dan ekosistem (eco ethic). Eksistensi fungsi dan proses penegakan hukum pun mulai
dipertanyakan banyak orang untuk dapat memberikan hasil maksimal sebagai upaya pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih baik. Kejahatan di sektor kehutanan dapat dikatakan sebagai suatu
bentuk kejahatan multidimensional yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya
dan lingkungan hidup, sehingga tidak hanya dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan namun
terdapat kemungkinan terjadinya unsur kerugian negara dengan modus korupsi di dalamnya
(Sukardi, 2005: 10).
Dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung pada tahun 2008 secara jelas terungkap bahwa
jumlah perkara illegal logging yang telah diputus di tingkat kasasi mencapai 92 perkara dengan
jenis hukuman < 1 tahun sebanyak 24 perkara, 1-2 tahun sebanyak 19 perkara, 3-5 tahun sebanyak
5 perkara, 6-10 tahun sebanyak 8 perkara, > 10 tahun sebanyak 0 perkara, bebas sebanyak 36
perkara, seumur hidup sebanyak 0 perkara, dan hukuman mati sebanyak 0 perkara.
Lingkungan tak terhitung banyaknya, namun keyakinan pada satu lingkungan global
tampaknya tidak terelakkan. Pada awalnya suatu lingkungan hanya ada karena dihuni suatu
organisme hidup tertentu. Oleh karena itu, sepetak ladang adalah lingkungan bagi seekor
sapi, segumpal kotoran sapi merupakan lingkungan bagi seekor kumbang kotoran, dan seekor
kumbang kotoran adalah lingkungan bagi seekor kutu parasit. Dari pola demikian dapat dilihat
unsur keterkaitan antara satu kehidupan dengan kehidupan yang lain dan ketidakterbatasan dari
lingkungan-lingkungan yang ada (Melanby, 1977). Seperti halnya kehidupan yang selalu memiliki
344 |
JURNAL DES.indd 344
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:17 PM
nilai antinomy di dalamnya, unsur ketergantungan seperti tergambarkan dalam uraian di atas
degradasi suatu lingkungan tentu saja tidak hanya memberikan dampak bagi sekelompok kecil
tapi juga memberikan multiplier effects dalam suatu ekosistem dan juga eksistensi life supporting
system dalam suatu tatanan kehidupan. Seiring dengan perkembangan kemajuan dan teknologi
saat ini, sering kali ditemui bahwa banyak sekali kegiatan manusia yang sudah tidak dapat lagi
berjalan secara berkesinambungan dengan fungsi alam.
Pada mulanya masalah lingkungan hidup merupakan masalah alami yang terjadi sebagai
akibat dari proses alam, dalam perkembangannya semakin lama semakin besar, meluas, dan
serius. Persoalannya pun bukan hanya bersifat lokal atau translokal, tetapi regional, nasional
bahkan transnasional. Peradaban modern yang kapitalistik telah mendorong manusia begitu
serakah mengeksploitasi lingkungan hidup. Manusia modern terjangkiti oleh penyakit hedonisme
yang tidak pernah puas dengan kebutuhan materi. Sebab yang mendasar timbulnya keserakahan
terhadap lingkungan ini, karena manusia memahami bahwa sumber daya alam adalah materi
yang mesti dieksploitasi untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan materinya yang konsumtif.
Pengelolaan lingkungan identik dengan upaya untuk mengoptimalkan sumber daya alam
sebagai penyuplai kebutuhan materi semata. Perubahan struktur dan materi lingkungan yang
pada awalnya bersifat alami dan merupakan bagian dari suatu proses alami dan kemudian pulih
kembali dalam mencapai suatu titik keseimbangan secara alami pula (homeostasis), namun kini
telah bereskalasi bahwa perubahan yang terjadi tidak lagi didominasi oleh faktor alam semata.
Tidak dapat disangkal bahwa permasalahan lingkungan yang hadir saat ini berada pada ranah
yang cenderung membesar dan semakin memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dengan dipicu
kegiatan manusia yang semakin dominan dalam setiap lini kehidupan.
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah manusia disertai dengan kebutuhan yang
semakin meningkat pula membuat tindakan intervensi pada lingkungan semakin meningkat dan
berujung pada gangguan alam secara nyata dan potensial (Hidayat dan Samekto, 2007). Kerusakan
dan pencemaran lingkungan, menurut J. Barros dan J.M. Johnston dalam Siahaan (1992) erat
kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, antara lain disebabkan,
Pertama, kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan yang berbahaya
seperti logam berat, zat radio aktif dan lain-lain.
Kedua, kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan instalasi, kebocoran,
pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan bekas pertambangan.
Ketiga, kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan kendaraan
bermotor, tumpahan bahan bakar, berupa minyak bumi dari kapal tanker. Keempat, kegiatan
pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia untuk memberantas serangga/
tumbuhan pengganggu, seperti insektisida, pestisida, herbisida, fungisida dan juga pemakaian
pupuk anorganik.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 345
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 345
5/16/2012 5:08:17 PM
Keberadaan ilmu lingkungan sebagai induk semang dari pergolakan pemikiran eksistensi
hubungan manusia dengan alam pun dituntut untuk dapat menanggulangi permasalahan lingkungan
yang tumbuh sekarang ini. Pendekatan multidisipliner yang diusung oleh ilmu lingkungan
dalam konteks pembahasan ini menjadi sangat relevan pada saat penanggulangan permasalahan
lingkungan memiliki kebuntuan pada saat bertumpu pada satu jenis pendekatan atau konsentrasi
bidang ilmu tertentu semata.
Secara teoretis akademis dapat dilihat dari pola lahirnya mata kuliah wajib pada tingkat
fakultas yang lahir sebagai bentuk pendekatan berbagai disiplin ilmu dalam permasalahan
lingkungan (Teknik Lingkungan, Kesehatan Lingkungan, Ekonomi Lingkungan, Hukum
Lingkungan, dsb) serta terbukanya kesempatan semua disiplin ilmu untuk dapat melanjutkan
studi Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan. Pada tataran praktis, lingkungan hidup yang di
dalamnya terdapat pola interaksi antara manusia dengan mahkluk hidup lainnya serta dominasi
manusia dalam hubungan timbal balik yang terjadi menjadi suatu landasan pemikiran awal
bahwa disiplin ilmu lain yang mengatur tindak tanduk manusia di dalamnya turut berperan dalam
menjawab permasalahan lingkungan hidup.
Pola hakiki dari bidang ilmu adalah tujuan akhirnya untuk mencari suatu nilai kebenaran.
Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-hukum,
teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka
muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat
pengenal. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan
dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu
benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan
timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta (Lorens Bagus, 1991).
Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi metafisis
tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk
mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis
dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standard tunggal pengetahuan dengan paradigma
(metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah itu demi
kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis kebenaran adalah
kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang
menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu
apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya (Keraf, 2002).
Pemahaman di bidang lingkungan hidup menjadi suatu titik awal dalam melihat realitas
tentang permasalahan lingkungan yang ada dan juga yang terpenting sebagai landasan pemikiran
untuk dapat memberikan solusi kebenaran ilmiah serta pola penanggulangan yang efektif terhadap
masalah yang timbul. Kebenaran ilmiah yang diusung oleh penelitian lingkungan inilah yang
346 |
JURNAL DES.indd 346
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:17 PM
kemudian menjadi acuan normatif yuridis dalam menjawab sengketa-sengketa yang timbul sebagai
akibat dari permasalahan lingkungan. Hal ini memiliki peran penting dalam proses penegakan
hukum dalam sengketa lingkungan hidup. Keberadaan aturan normatif sebagai sumber rujukan
baik oleh pihak penuntut umum, pengacara maupun majelis hakim menjadi dasar pertimbangan
dalam pengambilan putusan.
Kasus pencemaran di Teluk Buyat serta luapan lumpur di Sidoarjo merupakan beberapa
contoh kasus yang menggambarkan korelasi hubungan penelitian lingkungan yang menjadi dasar
pengungkapan kebenaran ilmiah dan upaya penyelesaian sengketa hukum secara tepat. Ilmu
hukum yang identik dengan sendi kepastian di dalamnya mengalami suatu konfrontasi pada saat
begitu banyak penelitian lingkungan yang tidak menghasilkan hal yang serupa. Kenyataan yang
dalam ilmu eksakta wajar adanya tersebut menjadi dipertanyakan kembali saat masuk dalam ranah
hukum, terlebih hingga kini tidak ada satu pun regulasi yang mengatur lembaga yang memiliki
otorisasi dalam mengungkapkan hasil penelitian yang dianggap menjadi suatu kebenaran ilmiah
dan bukti hukum.
Kondisi saling melengkapi dan interdependensi yang begitu erat antara kebenaran ilmiah
secara scientific dengan ilmu hukum telah menjadi suatu pembicaraan yang menjadi landasan
utama baik pada tataran teoretis maupun tataran praktis. Menurut Odum (1971), kajian ekologi
telah menjadi perhatian utama bahkan pada saat manusia memasuki masa pra sejarah yang paling
tidak memposisikan masyarakat primitif pada saat itu untuk dapat hidup serasi dan selaras dengan
tumbuhan dan binatang. Pada awal timbulnya peradaban, ekologi juga turut serta mengambil
peran dengan menjadi landasan berpikir utama untuk dapat survive dalam kehidupan dunia. Pada
sisi lain, tatanan lingkungan telah menjadi suatu variabel yang mempengaruhi kehidupan manusia
yang selanjutnya disebut dengan pendekatan kosmologi. Ilmu lingkungan hadir sebagai disiplin
ilmu yang menggabungkan pemikiran ekologi dengan dilandasi pemikiran kosmologi untuk
mencapai suatu keseimbangan antara manusia dengan tatanan alam yang ada di sekitarnya.
Sebagai kajian ilmu eksakta, pendekatan penelitian lingkungan bertitik tolak pada kenyataan
pada ranah positivis yang kemudian dituangkan dalam kajian kuantitatif untuk kemudian
memperoleh gambaran komprehensif dan holistik mengenai realitas yang terjadi dalam suatu
ekosistem. Ilmu hukum dalam perannya hampir di seluruh lini kehidupan terus mengemban
fungsi utamanya dalam memberikan kepastian, ketertiban dan kemanfaatan (Radburch, 1973).
Terlebih dalam ilmu lingkungan yang dikenal dengan holistic approachnya, lintas ilmu,
lintas disiplin. Disamping itu, dalam kajian ilmu hukum, terutama tentang dogmatik hukum,
tidak hanya sekedar membahas tentang bagaimana memahami kaidah hukum saja, akan tetapi
juga tentang dasar-dasar filosofi yang mendasari (terutama konsep dan azas-azas hukumnya)
ditetapkannya suatu kaidah hukum tertentu. Hukum yang pada awalnya hanya mengatur kaidah
seputar antar perilaku manusia satu sama lain (homo ethic), perlahan namun pasti merambah
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 347
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 347
5/16/2012 5:08:17 PM
pada pengaturan kehidupan manusia dengan lingkungan ekosistem sekitar (eco ethic). Hukum
tidak hanya difungsikan secara pasif dalam rangka menjaga status quo semata, namun juga mulai
menemukan perannya yang aktif sebagai alat rekayasa sosial menuju pola penggunaan hukum
yang progresif.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang
dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum.
Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang
mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati
bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses
menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legisme. Namun proses penegakan hukum
mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum
akan melibatkan dimensi perilaku manusia.
Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum
yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”.
Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu
melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan
pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam
mewujudkan tujuan hukum di atas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Proses penegakan hukum dalam sengketa yang terjadi di bidang lingkungan hidup baik
dengan menggunakan pendekatan penegakan hukum pidana, perdata maupun administrasi
memiliki persyaratan yang mendasari pada ketentuan administrasi. Dalam perspektif Michael
G Faure (1991), penegakan hukum terhadap sengketa yang terjadi di bidang lingkungan hidup
sangatlah tergantung pada pelanggaran hukum administrasi sebagai landasan berpijak terpenuhi
atau tidaknya suatu tindak pencemaran atau tindak perusakan lingkungan. Keberadaan Baku
Mutu Lingkungan atau Nilai Ambang Batas yang dituangkan dalam suatu instrumen administrasi
menjadi dasar penentu untuk dapat dikatakannya telah terjadi suatu pencemaran atau tidak. Oleh
karena itu, keberadaan lembaga penelitian di bidang lingkungan hidup memiliki peran yang
substansial untuk dapat menterjemahkan kondisi ekosistem yang diduga tercemar.
Pada sisi lain, kepastian sebagai salah satu sendi yang diusung dalam ilmu hukum
memberikan suatu jaminan hak dan kewajiban terhadap pemenuhan suatu tindakan hukum, baik
berupa penataan maupun pelanggaran. Premis utama dalam hukum lingkungan yang menjadi
entry point dalam upaya penegakan hukum adalah terminologi pencemaran lingkungan dan
perusakan lingkungan. Tingkat presisi dari kedua terminologi di atas menjadi acuan awal untuk
dapat diterapkannya aturan hukum atau tidak. Dalam ketentuan hukum positif (yang berlaku saat
ini), pencemaran dan perusakan ditentukan oleh telah terlewatinya Baku Mutu Lingkungan (BML)
348 |
JURNAL DES.indd 348
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:17 PM
yang menjadi parameter utama dalam pencemaran dan perusakan lingkungan. Pada konteks ini
dalam perspektif Alvie Syahrin (2009) menggambarkan ketergantungan hukum pidana terhadap
hukum administrasi yang menurut pemapar berujung pula pada kebenaran ilmiah yang merupakan
tujuan akhir dari suatu penelitian di bidang lingkungan.
Salah satu perkara yang menarik perhatian publik pada akhir tahun 2008 adalah tindak
pidana korupsi dan illegal logging yang dilakukan oleh AL. Dalam perkara pidana yang terjadi
di dalam wilayah hukum (yurisdiksi) Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Putusan 2240/
Pid.B/2007/PN.Mdn. yang merupakan hasil dari musyawarah majelis pada tanggal 1 November
2007 dan diucapkan pada tanggal 5 November 2007. Secara sistematis ketentuan formalitas
mengenai hukum acara dapat dilihat dalam putusan ini secara eksplisit dalam putusan baik pada
bagian awal berupa irah-irah dan bagian yang menerangkan identitas terdakwa secara lengkap
beserta penasihat hukum yang mendampingi yaitu Hotman Paris Hutapea. Selain itu dalam
putusan ini terlihat pula secara jelas dakwaan dari jaksa penuntut umum yang disusun secara
kombinasi (kumulatif-alternatif) yang kemudian diuraikan oleh majelis hakim yang termuat dalam
bagian pertimbangan fakta hukum serta alat bukti yang diperoleh secara sah dan legal baik berupa
keterangan saksi, keterangan ahli dan bukti surat yang dihadirkan di muka persidangan yang
kemudian dianalisa secara proporsional oleh majelis hakim dengan memberikan tanggapan pada
setiap dakwaan, baik Dakwaan Kesatu maupun Dakwaan Kedua termasuk dakwaan berlapisnya
pada setiap dakwaan.
Dalam perkara yang menjadikan AL sebagai terdakwa ini terdapat dua tindak pidana utama
yang menjadi landasan dakwaan dari penuntut umum, yaitu dugaan adanya tindak pidana korupsi
dari sektor kehutanan dan juga penebangan hutan secara ilegal. Hal ini yang menjadi alasan
utama oleh jaksa penuntut umum untuk menggunakan jenis dakwaan kombinasi dalam surat
dakwaan yang dibuat yang masing-masing dengan dakwaan yang berlapis baik pada Dakwaan
Kesatu maupun Dakwaan Kedua. Dakwaan tersebut pula yang pada pertimbangannya digunakan
oleh majelis hakim sebagai sumber hukum untuk menguraikan terpenuhi atau tidaknya unsurunsur dari tindak pidana yang didakwakan.
Pembuktian unsur tindak pidana yang diuraikan oleh majelis hakim dalam perkara ini terlihat
kerap kali mencoba berdasar pada fakta hukum yang tidak relevan dan tidak seperti yang diuraikan
dalam pokok dakwaan jaksa penuntut umum. Dimulai dari pembuktian Dakwaan Kesatu Primer
hingga Dakwaan Kedua Lebih Subsider Lagi, penulis menganggap bahwa majelis hakim hanya
berkutat pada wilayah hutan yang secara sah memang hak dari PT KNDI sebagai perusahaan
pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) berdasarkan Surat Keputusan Nomor 805/Kpts-VI/99 tertanggal 30 September 1999.
Sedangkan yang terungkap pada obyek tindak pidana yang tertuang dalam dakwaan dialamatkan
secara jelas telah terjadi dugaan tindak pidana di luar wilayah hutan yang telah ditentukan dalam
Rencana Kerja Tahunan PT KNDI.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 349
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 349
5/16/2012 5:08:17 PM
Setelah mempertimbangkan fakta hukum yang ada yang kemudian diuraikan oleh majelis
hakim, majelis berpendapat untuk memberikan putusan dibebaskannya terdakwa dari segala
tuntutan karena dalam pertimbangan majelis unsur-unsur di dalam dakwaan yang diajukan oleh
jaksa penuntut umum tidak terpenuhi secara menyeluruh baik dalam Dakwaan Kesatu Primer,
Dakwaan Kesatu Subsider, Dakwaan Kedua Primer, Dakwaan Kedua Subsider, Dakwaan Kedua
Lebih Subsider, dan Dakwaan Kedua Lebih Subsider Lagi. Hal ini tentu saja memiliki perbedaan
yang sangat mencolok antara requisitoir jaksa penuntut umum yang menghendaki terdakwa
dikenakan hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp. 1.000.000.000,- .
Pertimbangan hakim dalam putusan ini melihat bahwa tidak menemukan satu pun adanya
unsur kesalahan pada setiap dakwaan terlihat semata-mata hanya bersandar pada sumber hukum
peraturan perundang-undangan secara tertulis. Hal ini antara lain dapat ditemui dalam argumentasi
majelis hakim pada Dakwaan Kesatu Primer mengenai terminologi “secara melawan hukum” yang
merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa
melawan hukum harus diartikan secara formil. Penggunaan putusan Mahkamah Konstitusi ini
telah tepat digunakan oleh majelis hakim dalam memberikan landasan konseptual yang menurut
pertimbangan majelis hakim tidak ditemui dalam kasus a quo.
Dakwaan jaksa penuntut umum yang mendasari pada adanya tindakan melawan hukum
yang dilakukan terdakwa selaku Direktur Umum PT KNDI telah melakukan pemungutan hasil
hutan secara tidak sah karena telah melakukan pelanggaran Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 2002 yang menurut majelis hakim merupakan suatu bentuk pelanggaran administratif dan
bukan merupakan tindak pidana. Peneliti menganggap bahwa seharusnya majelis hakim tidak
hanya terpaku pada fundamentum yang diajukan oleh jaksa penuntut umum an sich, melainkan
mencoba untuk mencari ketentuan peraturan–perundang-undangan lainnya yang mempunyai
kompatibilitas dengan tindak pidana yang didakwakan.
Argumentasi lain dalam melihat tidak terpenuhinya unsur dakwaan diutarakan oleh majelis
hakim dengan memperhatikan doktrin yang bersumber dari Utrecht dalam menguraikan terminologi
“jabatan atau kedudukan” yang dalam perspektif Utrecht sebagaimana diikuti oleh majelis hakim
identik dengan pekerjaan tetap pada lingkungan struktural demi kepentingan negara. Dalam
pandangan penulis, penggunaan doktrin ini oleh majelis hakim tidak dapat menjadi landasan yang
cukup logis dan representatif terhadap tidak terpenuhinya unsur “menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”.
Majelis hakim dalam proses pertimbangan dan analisis unsur-unsur pada setiap dakwaan
yang diajukan jaksa penuntut umum terlihat hanya menguraikan beberapa unsur semata yang
dianggap oleh majelis tidak terpenuhi dalam dakwaan tersebut sehingga unsur-unsur selanjutnya
tidak perlu dibuktikan keberadaannya dalam tindak pidana yang didakwakan. Penguraian unsurunsur yang dilakukan oleh majelis hakim dalam putusan ini sepenuhnya berdasar pada peraturan
350 |
JURNAL DES.indd 350
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:17 PM
perundang-undangan yang dilakukan baik dengan merujuk pada bentuk asli sebagaimana
tertuang dalam ketentuan perundang-undangan maupun beberapa kali terlihat majelis melakukan
penafsiran dengan metode yang lain.
Penafsiran hukum yang kental terasa dalam putusan ini adalah penafsiran secara penyempitan
hukum (Rechtverfijing) (Sudikno, 2009: 71). Hal ini paling tidak tercermin dalam uraian majelis
hakim terdapat unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan” dalam Dakwaan Kesatu Subsider dan unsur “kerusakan
lingkungan” dalam Dakwaan Kedua Primer. Pada uraian unsur menyalahgunakan kewenangan
karena jabatan atau kedudukan, majelis hakim dengan mengutip doktrin dari Utrecht terlihat
melakukan pembatasan bahwa yang dimaksud semata- mata adalah seseorang yang berkedudukan
sebagai seorang pegawai negeri sipil lalu mengkonstruksikan bahwa terdakwa sebagai bukan
pegawai negeri sipil maka tidak memenuhi unsur tersebut.
Jika ditelusuri lebih lanjut dalam berbagai doktrin, konsep penyalahgunaan kewenangan
oleh seseorang karena jabatan ataupun kedudukannya tidak hanya dapat dilakukan oleh seorang
pegawai negeri sipil. Keberadaan warga negara non pegawai negeri sipil pun yang mendapat
hak berupa izin maupun konsesi dari pemerintah lalu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya
sebagaimana tertuang dalam izin tersebut, seharusnya dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk
penyalahgunaan kewenangan karena jabatan atau kedudukan pemegang izin. Konstruksi serupa
ditemukan pula dalam penjelasan majelis hakim terhadap unsur “kerusakan hutan” pada Dakwaan
Kedua Primer. Bersandar pada sampel sebanyak 2 Kg dari luas wilayah hutan 58.000 Hektar
milik PT KNDI dan juga keterangan saksi ahli yang menyatakan bahwa dampak kerusakan baru
dapat diketahui dengan analisa mendalam dalam waktu 2 (dua) bulan, majelis hakim menarik
kesimpulan bahwa tidak terjadi kerusakan pada wilayah ekosistem hutan PT KNDI.
Hal itu jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ekologi dan hukum kehutanan yang
tidak mendasarkan kerusakan ekosistem berdasarkan isu representasi sampel yang digunakan.
Sebagai suatu bentuk kesatuan ekosistem, jelas keberadaan sampel yang digunakan untuk
melakukan pengamatan potensi kerusakan ekosistem hutan mempunyai kaitan erat dengan
kehidupan ekosistem lainnya dalam suatu wilayah yang lebih besar. Keterangan saksi ahli yang
menyatakan memerlukan waktu 2 (dua) bulan untuk memastikan kerusakan yang terjadi wilayah
ekosistem hutan seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf untuk dapat mengatakan bahwa tidak
terjadinya perusakan lingkungan.
Argumentasi majelis hakim dengan bentuk seperti ini memberikan kesan terlihat sangat
memaksakan untuk menyatakan tidak terpenuhi salah satu unsur dalam pasal yang didakwakan.
Sehingga walaupun fakta hukum disusun secara runut atau sistematis dan juga mengakomodir pola
berpikir yang silogistik namun mempunyai landasan berpijak dalam argumentasi yang dibangun
untuk bertendensi mengarah pada suatu hasil tertentu dengan pola logika yang melompat.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 351
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 351
5/16/2012 5:08:17 PM
Kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan merupakan ikon besar dalam setiap
pembicaraan tentang hukum, utamanya dalam konteks hukum modern. Dikatakan demikian
karena masalah kepastian dan keadilan dan kemanfaatan ini tidaklah menjadi persoalan benar
ketika perkembangan masyarakat masih diliputi suasana hukum tradisional. Pada masyarakat
tradisional, segala kaidah serta norma yang ada masih bersifat alamiah – bersumber langsung
dari apa yang diyakini dan dijalankan sehari-hari dalam masyarakat. Di sini bicara tentang (
kepastian) hukum identik dengan bicara tentang keadilan. Memang terkesan sangat subyektif
pada saat menilai suatu putusan pengadilan apakah telah mencerminkan nilai keadilan. Namun
jika bersandar pada suatu teori tertentu dengan indikator-indikator nilai keadilan di dalamnya
diharapkan dapat menyuguhkan pandangan yang lebih ilmiah.
Pada tataran ekologis, jelas putusan Pengadilan Negeri Medan ini tidak menyentuh
keadilan lingkungan (environmental justice) (Dobson, 1998: 1). Kondisi ekosistem hutan yang
telah terusak dengan adanya praktek illegal logging jelas memberikan dampak sistemik bagi
ekosistem tersebut. Dalam perspektif ekologi, kerusakan lingkungan merupakan sesuatu hal yang
bersifat jangka panjang (long term), namun kenyataan ini bukan berarti mengeliminir praktek
perlindungan lingkungan sampai dengan waktu yang telah ditentukan. Pertimbangan majelis
hakim yang memperhatikan keterangan saksi ahli bahwa butuh waktu sekitar 2 (dua) bulan yang
lalu diterjemahkan oleh majelis hakim tidak terdapat kerusakan ekosistem rasanya tidak tepat dan
tidak mencerminkan keadilan ekologi.
Putusan Pengadilan Medan yang diketuai oleh AB ini walaupun mendasari pada peraturan
perundang-undangan secara rigid dan tegas, namun karakteristik nilai keadilan yang tercermin
dalam putusan tersebut terlihat hanya sebatas keadilan prosedural yang terpaku pada aturanaturan yang terkadang tidak mengindahkan nilai keadilan substansial seutuhnya. Salah satu
bentuk pemikiran keadilan prosedural semata yang diutamakan dapat terlihat pada saat majelis
hakim menggunakan pertimbangan sampel tanah sebanyak 2 Kilogram yang mengindikasikan
terjadinya kerusakan ekosistem tidak cukup representatif dalam melegitimasi terjadinya kerusakan
lingkungan secara keseluruhan, sedangkan dalam ilmu lingkungan kerusakan merupakan suatu
kebenaran materiil yang tak perlu diragukan lagi pada isu jumlah.
Regulasi hukum pidana secara formil mensyaratkan secara rigid kategorisasi dari alat bukti
yang dapat diajukan ke persidangan yang terdiri dari keterangan saksi; keterangan ahli; surat;
petunjuk; dan keterangan terdakwa. Selain alat bukti di atas, keyakinan hakim memiliki peran
penting dalam menilai alat bukti yang ada. Pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai suatu
bentuk delik hukum hadir dengan unsur utama yang mewajibkan adanya suatu zat yang masuk
ke dalam ekosistem yang melebihi Baku Mutu Lingkungan (BML) yang telah ditentukan, dalam
praktek di pengadilan tentu kedua belah pihak (jaksa penuntut umum maupun terdakwa) berupaya
untuk dapat meyakinkan kepada majelis hakim bahwa tidak terdapat suatu pencemaran ataupun
perusakan lingkungan terhadap kasus yang didakwakan.
352 |
JURNAL DES.indd 352
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:17 PM
Keberadaan Baku Mutu Lingkungan (BML) dalam struktur hukum lingkungan dikategorikan
sebagai bentuk pengaturan dalam ranah hukum administrasi, parameter yang dipergunakan sebagai
landasan telah terjadi atau tidaknya suatu praktek pencemaran bertitik pangkal dari izin yang
dikeluarkan oleh pemerintah sebagai angka yang ditoleransi untuk dapat dilakukan pembuangan
limbah. Dari segi ketentuan formal, begitu banyaknya variasi hasil penelitian yang diungkapkan
kedua belah pihak di pengadilan dengan kepentingan yang berbeda, serta keterbatasan pengetahuan
dari majelis hakim serta jaksa penuntut umum dalam menyuguhkan data ilmiah menjadi titik
awal ketidakadilan ekologis berlangsung.
Kondisi yang ada semakin diperburuk pada saat peran dari aparat penegak hukum yang
bermula dari kepolisian pada tahapan penyelidikan dan penyidikan hingga kejaksaan pada tahapan
penuntutan dari dakwaan yang diajukan memiliki keterbatasan pula pada tahapan pengumpulan
bahan keterangan (Pulbaket) baik meliputi inventarisasi data di lapangan, pengolahan hasil
laboratorium hingga kepada interpretasi hasil dari sampel yang digunakan. Puluhan penelitian
yang dilakukan di Teluk Buyat baik oleh lembaga swasta, pemerintah hingga perguruan tinggi
dan juga penelitian dari lembaga dalam dan luar negeri di persidangan yang menjadikan Richard
Ness dan PT Newmont Minahasa Raya sebagai terdakwa sangatlah bervariasi, sehingga membuka
kemungkinan untuk majelis hakim dalam pengambilan putusan tidak didasari oleh realitas fakta
secara obyektif.
Hal yang sama terjadi pada saat terdapat dikotomi perdebatan mengenai latar belakang keluarnya
letupan lumpur panas di Sidoarjo, sebagai menganggap bahwa terdapat suatu actus reus dari PT
Lapindo Brantas namun sebagian lain menganggap hak tersebut dipicu dari gempa bumi di Bantul,
Yogyakarta yang terjadi beberapa hari sebelum lumpur Sidoarjo meluap. Kedua contoh besar di atas
hanyalah gambaran ekstrim dari kondisi-kondisi dilematis yang mempunyai kemungkinan besar
untuk terjadi pada sengketa-sengketa di bidang lingkungan hidup. Pada ranah institusi, keragaman
hasil penelitian ditanggapi oleh pemerintah secara kurang serius yang dapat diindikasikan dengan
kenyataan bahwa hingga saat ini pemerintah hingga kini belum mempunyai aturan secara jelas
mengenai institusi atau lembaga yang diberikan otorisasi untuk melakukan penelitian dengan hasil
yang diakui secara normatif yuridis atau sekadar prasyarat suatu lembaga penelitian untuk dapat
mempublikasikan hasil penelitian yang sedang dilakukan proses hukum di dalamnya.
Hakim seperti halnya manusia pada umumnya, dalam membuat suatu putusan sangat
dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya yang berkembang di masyarakat mulai dari ekonomi,
politik, sosial budaya hingga adanya opini publik yang berkembang. Aparat hukum dalam kondisi
seperti ini dituntut untuk dapat berpikir progresif dan melepaskan diri dari pemikiran-pemikiran
rasionalitas sederhana semata yang berlindung di balik keterbatasan pemahaman terhadap
ilmu lingkungan. Berbagai strategi akan diusung oleh para pemilik modal dengan kepentingan
ekonomi dalam rangka mendapatkan sarana pembenaran dalam setiap praktek pencemaran dan
perusakan lingkungan yang terjadi. Berbekal asupan dana yang besar dan mengejar keuntungan
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 353
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 353
5/16/2012 5:08:17 PM
jangka pendek semata, tentu para pelaku pencemaran lingkungan akan mudah untuk melakukan
pendanaan penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu yang tidak bekerja secara
obyektif dan mengedepankan fakta-fakta yang ada di lapangan secara nyata. Kondisi di atas
menggambarkan titik singgung antara Good Science dan Bad Policy.
Penelitian bidang ilmu idealnya menuju pada suatu titik kebenaran di muaranya. Dalam
penelitian ilmu alam maka kondisi yang ada dituntut untuk digambarkan secara nyata dan bebas
dari pengaruh variable-variabel dan nilai-nilai subyektifitas walaupun akan menanggung risiko
yaitu mempunyai kurun waktu yang cukup lama untuk dapat dimengerti oleh masyarakat umum
secara luas. Namun, pada saat suatu penelitian tidak mengindahkan ketentuan etis dan idealisme
ilmu makin dapat diprediksi akan menyuguhkan suatu landasan berpikir yang mengundang
ketidakpastian, ketidaktepatan dalam menentukan regulasi, menghasilkan kebijakan biaya tinggi
dan berujung pada kesalahpahaman pada publik. Intinya seorang ilmuwan peneliti bertujuan
mencari kebenaran tentang lingkungan empirisnya bukan mencari pembenaran.
Jadi, jika seseorang mengaku dirinya seorang peneliti yang ingin menyenangkan kliennya
dengan membenarkan kesimpulan kehendak kliennya bukan menghasilkan kesimpulan sesuai
dengan fakta empiris yang diperoleh secara ilmiah, maka tentu saja yang bersangkutan bukanlah
seorang peneliti ilmuwan. Ada pula yang mengaku melakukan penelitian dengan tujuan
menyampaikan hasil temuan di lapangan atau bukti empiris yang telah dipilah-pilah sesuai dengan
pendapat yang telah terbentuk sebelumnya (preconceived ideas). Tentu saja penelitian demikian
tidak dapat disebut penelitian ilmiah dan peneliti dan/atau lembaga pendukungnya tidak dapat
disebut memiliki integritas ilmiah.
Pada sisi lain, Good Policy berada dalam posisi yang berseberangan dengan premis utama
untuk dapat mengakomodir kepentingan dari stakeholder dan merumuskan dengan penuh
pertimbangan nilai, opini dan preferensi yang berkembang. Sebagai jalan keluar dari kondisi di
atas paling tidak terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan baik pada tataran penelitian ilmu
lingkungan maupun dalam hubungannya dengan penegakan hukum lingkungan.
Dalam ranah penelitian ilmu lingkungan, kondisi di atas dapat ditanggulangi dengan
pendekatan konvensional seperti adanya keberadaan peer review dan pengaturan kode etik
bagi peneliti secara konsisten dan berkelanjutan yang berfungsi sebagai instrumen verifikasi
mengenai keabsahan suatu hasil penelitian yang valid baik dari segi keilmuan maupun metode
yang digunakan dalam rangka mengungkapkan kebenaran ilmiah. Instrumen yang lebih modern
dapat menggunakan pendekatan instrumen pengadilan sebagai institusi yang melakukan proses
screening di persidangan terhadap hasil penelitian yang mempunyai pengakuan secara yuridis
ataupun tidak.
Merujuk pada aspek hukum lingkungan, upaya yang dapat ditempuh dalam menghindari
adanya ketidakadilan ekologis yang bersumber dari lemahnya pemahaman dan sudut pandang
354 |
JURNAL DES.indd 354
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:17 PM
hakim dengan menggunakan perspektif hukum secara subyektif dapat ditempuh dengan cara
sebagai berikut:
Pertama, dari sudut substansi pemahaman hukum lingkungan hendaknya dimaknai secara
komprehensif yang tidak hanya berkutat pada kajian struktur dan konsep semata namun juga
bertitik tolak sebagai suatu kesatuan proses eco management yang mengkaji secara utuh mulai
dari managemen sumber daya, pengetahuan dasar di bidang ekosistem, hingga integrasi dengan
pembangunan ekonomi. Kedua, aparat penegak hukum mulai dari korps kepolisian, kejaksaan
hingga Mahkamah Agung perlu menyadari pentingnya pemahaman terhadap kaidah-kaidah dasar
dalam ilmu lingkungan yang ditransformasikan baik dalam bentuk pelatihan, seminar atau pun
dalam bentuk bahan bacaan. Selanjutnya, pemerintah selaku pelaksana kegiatan pemerintah
perlu mengeluarkan regulasi yang mengatur keberadaan suatu lembaga tertentu yang memiliki
otorisasi untuk melakukan penelitian terhadap ekosistem yang sedang diperiksa dalam proses
hukum atau menetapkan prasyarat tertentu sebagai tolok ukur lembaga penelitian yang valid dan
mengedepankan kaidah-kaidah ilmiah.
Kondisi kebuntuan para jurist terhadap interpretasi bukti ilmiah serupa pernah terjadi
di Amerika Serikat pada tahun 1997 yang melibatkan sengketa Daubert v Merrell Dow
Pharmaceuticals, yang kemudian menjadi milestone dalam menentukan suatu prasyarat ilmiah
dalam melakukan penilaian bukti-bukti secara scientific di muka persidangan. Bersandar pada
tolok ukur hakim sebagai gatekeeper, keterkaitan dan keandalan suatu penelitian, penelitian yang
dilakukan secara ilmiah dengan metode yang ilmiah pula serta relevansi dari penelitian yang
dilakukan dengan sengketa yang diadili menjadi panduan bagi majelis hakim untuk menentukan
kelayakan suatu hasil penelitian dalam menjadi bukti persidangan. Terakhir, perguruan tinggi
sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyandang
tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi harus memberikan andil sebagai pioneer dan parameter utama
dalam penyelenggaraan penelitian-penelitian yang memiliki tingkat validitas yang tinggi dengan
kualitas penelitian yang juga terjamin secara ilmiah.
Keberadaan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 yang
mengatur mengenai sertifikasi hakim-hakim dalam menangani perkara lingkungan hidup, perlu
terus diperkuat dengan komitmen yang kuat dari hakim yang ada. Di tengah isu tentang adanya
pembagian kamar-kamar bagi hakim usaha ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam
mewujudkan pengadilan khusus bagi perkara lingkungan sebagaimana ditemui di Australia dan
New Zealand dengan mengkombinasikan pemahaman ilmu lingkungan dengan pemahaman hukum
yang mengusung kepastian dan kemanfaatan. Beberapa metode lain juga dapat dimanfaatkan
dalam mewujudkan keadilan lingkungan adalah dengan mengusung konsep amicus curiae yaitu
suatu proses pro justicia yang dilakukan oleh sukarelawan di luar pihak yang berperkara namun
memiliki pemahaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai kasus yang terjadi. Konsep
yang berasal dari Hukum Perancis pada sekitar abad ke-9 (sembilan) ini sekarang kerap kali
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 355
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 355
5/16/2012 5:08:17 PM
digunakan oleh pengadilan-pengadilan di negara bagian di Amerika Serikat yang dikenal dengan
istilah friends of the court dalam rangka mengadsorpsi nilai keadilan berkaitan dengan kasuskasus yang menuntut adanya pemahaman interdisipliner.
IV. SIMPULAN
Keberadaan putusan pengadilan seringkali dianggap sebagai representasi telah diakomodir
atau tidaknya suatu nilai keadilan yang ada. Keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan,
penilaian, dan pertimbangan. Karena itu, mekanisme kerjanya hukum kerap digambarkan sebagai
suatu neraca keadilan. Putusan dari Pengadilan Negeri Medan yang menangani kasus dengan
terdakwa AL ini seharusnya dapat lebih mengadsorpsi nilai keadilan di masyarakat. Dalam kondisi
ini jelas bahwa lembaga peradilan berperan dalam mengaktualisasi nilai keadilan lingkungan
tersebut dalam ruang pengadilan.
Latar belakang majelis hakim menjadi tumpuan utama selain proses pembuktian yang easy
listening di telinga para jurist dalam rangka mewujudkan keadilan ekologis yang hakiki. Aparat
penegak hukum secara keseluruhan sistem peradilan mulai dari kepolisian hingga Mahkamah
Agung harus menyadari adanya ketergantungan yang erat dan menuntut adanya kesamaan sudut
pandang untuk mengetahui kebenaran yang ilmiah. Berbagai instrumen yang dapat menunjang
hendaknya dimanfaatkan secara maksimal mulai dari pengembangan sumber daya manusia
dengan pembekalan pengetahuan dasar di bidang lingkungan hingga regulasi yang menunjang
proses interpretasi ilmiah dalam bahasa-bahasa normatif.
Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang hukum mutlak perlu.
Terlebih lagi, di era global seperti sekarang ini, dengan perubahan sosial yang begitu cepat,
aparat penegak hukum harus tanggap dan melakukan penyesuaian diri dengan meningkatkan
kemampuan. Adanya perbedaan penafsiran bunyi suatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi.
Pemahaman yang sama terhadap suatu konstruksi hukum akan sangat mendukung keberhasilan
proses penegakan hukum.
Koordinasi dan penyamaan persepsi antar aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim,
dan pengacara) harus dikembangkan sejak dini. Pembenahan paling dini dapat dimulai dari
sistem rekrutmennya. Seperti yang kita ketahui, rekrutmen untuk jabatan-jabatan inti dalam
hukum seperti hakim, jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukum yang sangat
bervariasi mutunya. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa mereka yang melamar untuk jabatan
hakim, maupun jaksa bukanlah lulusan yang terbaik. Seleksi pelamar terutama yang menyangkut
tentang kemahiran, pengetahuan, dan kemampuan hukum tidaklah ketat. Bersandar pada adanya
kesadaran interdependensi dan keinginan untuk saling mengisi satu sama lain dalam rangka
kesempurnaan suatu kajian niscaya tugas yang diemban oleh ilmu hukum sebagai titik harapan
nilai-nilai keadilan dapat terwujud.
356 |
JURNAL DES.indd 356
Vol-IV/No-03/Desember/2011
|
Simulacra Keadilan
|
JURNAL YUDISIAL
5/16/2012 5:08:17 PM
DAFTAR PUSAKA
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2006. Lingkungan Hidup. Jakarta: Institut
Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan.
Keraf, Sonny. 2006. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.
Rhiti, Hyronimus. 2006. Hukum Penyelesaian Sengeketa Lingkungan Hidup. Yogyakarta:
Universitas Atmajaya.
----------------------. 2005. Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup. Yogyakarta:
Universitas Atmajaya.
Riyanto, Budi. 2004. Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam. Bogor: Lembaga Pengkajian
Hukum Kehutanan dan Lingkungan.
Salim, Emil. 1986. Pembangungan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Siahaan, NHT. 2007. Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta: Pancuran
Alam.
------------------. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam.
Sianturi, S.R. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Penerbit Alumni.
Shidarta. 2007. Utilitarianisme. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara.
-----------. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Bandung: Refika
Aditama.
Soemartono, Gatot P. 2004. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Soemarwoto, Otto. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.
--------------------------. 2005. Menyinergikan Pembangunan dan Lingkungan. Yogyakarta:
Percetakan Negeri.
Sumacher, E. F. 1983. Small is Beautiful. Great Britain: Cox & Wayman Reading.
Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
JURNAL YUDISIAL
JURNAL DES.indd 357
|
Simulacra Keadilan
|
Vol-IV/No-03/Desember/2011
| 357
5/16/2012 5:08:17 PM
BIODATA PENULIS
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum., lahir di Pangkalpinang (1967). Saat ini ia adalah dosen program
sarjana dan pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Lulusan
Universitas Gadjah Mada dan Universitas Katolik Parahyangan ini mengasuh beberapa mata
kuliah, antara lain Filsafat Ilmu, Filsafat Hukum, Penalaran Hukum, dan Hukum Perlindungan
Konsumen. Beberapa buku terkait bidang-bidang tersebut telah dipublikasikannya dalam ranah
filsafat hukum, penalaran hukum, metode penelitian hukum, sosiologi hukum, dan perlindungan
konsumen. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjadi anggota tim pakar penelitian dan salah
seorang Mitra Bestari Jurnal Yudisial dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Komunikasi
dengan yang bersangkutan dapat dilakukan melalui email: [email protected].
Ricca Anggraeni, S.H., M.H., lahir di Jakarta, 1 Mei 1985. Menyelesaikan S1 dan S2 di
Universitas Pancasila. Saat ini ia menjadi editor pada Jurnal Themis dan pengajar di Fakultas
Hukum Universitas Pancasila pada Mata Kuliah Ilmu Perundang-Undangan dan Teori PerundangUndangan, juga sebagai assisten dalam Mata Kuliah Good Corporate Governance pada Program
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Tergabung dalam Pusat Kajian
Ilmu Hukum Universitas Pancasila sebagai Assisten Peneliti. Publikasi yang telah diterbitkan
antara lain: Kedudukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam Sengketa Tata
Usaha Negara (Studi Kasus Putusan Nomor 75/G.TUN/2003/PTUN.JKT), dimuat dalam Jurnal
Hukum Themis Edisi Volume II No. 1, Oktober 2008; Kaum Miskin dan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia, dimuat dalam Jurnal Perkotaan Edisi Volume 2 Nomor 2, Desember 2008; Penggunaan
Hasil Penyadapan sebagai Alat Bukti Petunjuk dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi: Kajian
Perkara Nomor 07/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST, dimuat dalam Jurnal Yudisial Edisi Volume
III Nomor 2, Agustus 2010, diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia.
Rifkiyati Bachri, S.H., M.H., lahir di Kupang 9 Maret 1982. Pengajar Pada Fakultas Hukum
Universitas Pancasila (FHUP), selain itu juga menjabat sebagai Sekretaris dan Peneliti dalam
Pusat Kajian Ilmu Hukum Universitas Pancasila FHUP dan Tim Redaksi Jurnal Hukum Themis
FHUP. Menyelesaikan Pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada Tahun 2004
dan S2 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pancasila Kosentrasi Hukum Bisnis
pada Tahun 2008.
Sholahuddin Harahap, S.H., M.H., lahir di Kotapinang (SUMUT), tanggal 3 Februari 1956.
Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Islam Bandung. Dosen tetap pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung. Sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 menjabat sebagai kepala
Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum Universitas Islam Bandung.
JURNAL DES.indd 358
5/16/2012 5:08:17 PM
Stanislaus Atalim, adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta
dengan jenjang kepangkatan akademik sebagai Lektor Kepala. Lulusan S-1 dan S-2 di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Melani, S.H., M.H., lahir di Bandung, 24 Mei 1957, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas
Pasundan (Unpas) Bandung. Selain itu juga advokat yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehakiman RI pada tanggal 20 Mei 1985. Menyelesaikan S1 dan S2 di Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Pengalaman berorganisasi, sebagai aktivis LBH
Bandung (1981-1997), Direktur LBH Bandung (1991-1997), Anggota Persatuan Advokat
Indonesia (PERADIN) Bandung (1985). Pengurus Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Bandung
(1985 -2002), Anggota Dewan Kehormatan IKADIN Bandung, (2003-2005), Ketua Dewan
Penasihat IKADIN Bandung (2006-2007). Wakil Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI)
Jawa Barat (2008-sekarang). Aktivitas lainnya diantaranya, Working Group Restorative Justice
kerjasama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar-UNICEF (2003-2004), Working Group
dalam Program Uji Coba Model Restorative Justice di Kota Bandung, Kerjasama LPA JabarUNICEF (2005-2007), Pengajar Pendidikan Praktisi & Konsultasi Hukum Angkatan ke-1 dan
ke-3 LPM UNPAD (2001/2003), Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat Kerjasama FHUNPAD dengan DPC IKADIN Bandung (2005), Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat
KAI Jabar (2009-2010), dan menulis di jurnal hukum, majalah, serta surat kabar baik nasional
maupun daerah.
Deni Bram, S.H., M.H., lahir pada tanggal 3 Desember 1984. Pengajar mata kuliah Hukum
Lingkungan Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Pancasila. Menyelesaikan
pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Pancasila (2006), S2 Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Pancasila (2008), dan sedang melanjutkan Program Doktoral Ilmu Hukum
Universitas Indonesia. Aktif sebagai peneliti di Pusat Kajian Ilmu Hukum (PKIH) Fakultas
Hukum Universitas Pancasila. Publikasi yang telah diterbitkan diantaranya adalah buku Hukum
Lingkungan Internasional (Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara), dan “Optimization
of Multidisiplinary Approach In Environmental Research for Supporting Environmental Law
Enforcement”, Universitas Mercu Buana, International Seminar Proceeding.
JURNAL DES.indd 359
5/16/2012 5:08:17 PM
Download