ALASAN IBU MEMBERIKAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) DINI DENGAN PENDEKATAN TEORI HEALTH BELIEF MODEL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN PESANGGRAHAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2013 SKRIPSI Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) KIKI CHAIRANI SAPUTRI NIM: 109101000086 PEMINATAN GIZI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M/1434 H i FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI Skripsi, Agustus 2013 Kiki Chairani Saputri, NIM : 109101000086 Alasan Ibu Memberikan Makanan Pendamping ASI Dini Dengan Pendekatan Teori Health Belief Model Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2013 xvi + 153 halaman, 6 tabel, 2 bagan, 8 lampiran ABSTRAK Menyusui eksklusif enam bulan adalah pemberian hanya ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai berumur enam bulan, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Dan Pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi seperti diare, konstipasi, muntah dan alergi. Penelitian ini merupakan lanjutan penelitian Anggraeni (2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 8,9% ibu yang melahirkan di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan memberikan ASI eksklusif dan 91,1% ibu tidak memberikan ASI eksklusif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan teori health belief model. Informan penelitian ini terdiri dari ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif, keluarga terdekat yaitu suami, ibu kandung, dan ibu mertua, dan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan. Alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini, karena ibu merasa ASInya kurang, kembali bekerja, dan terjadi masalah dalam menyusui. Hal ini diketahui bahwa ibu memiliki pengetahuan yang salah tentang ASI eksklusif tetapi untuk pengetahuan tentang waktu pemberian makanan pendamping ASI ibu mengetahui dan belum bisa meyakinkan ibu melakukan tindakan pemberian ASI eksklusif, disamping itu adanya pengalaman, kebiasaan/adat pemberian makanan pendamping ASI dini yang turun-temurun, dan kurangnya dukungan dari keluarga terdekat. Sehingga berdampak kepada rendahnya persepsi ancaman ibu terhadap penyakit yang akan ditimbulkan dari pemberian makanan pendamping ASI dini. Berdasarkan hasil penelitian ini, untuk bisa meyakinkan pengetahuan yang sudah didapatkan ibu dan menambah pengetahuan mengenai ASI eksklusif maka melalui konseling ASI eksklusif diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan ibu dan meyakinkan ibu untuk memberikan ASI eksklusif. Daftar bacaan : 117 ( 1975 –2012) ii FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF PUBLIC NUTRITION Undergraduated Thesis, Agust 2013 Kiki Chairani Saputri, NIM : 10910101000086 The Mother’s Reason for Early Complementary Feeding with Health Belief Model Theory Approach at Working Area of Pesanggrahan Subdistrict Health Centers District in South Jakarta Year 2013 xvi + 153 pages, 6 tables, 2 drafts, 8 appendixes ABSTRACT Exclusive 6 months breastfeeding is giving only breast milk (ASI) only to infants from birth until the age of 6 months, without additional other liquid such as infant formula, juice, honey, tea, water, and without additional solid food such as bananas, papayas, milk porridge, biscuits, rice porridge and rice team. Giving the complementary food too early can cause digestive disorders, diarrhea, constipation, vomiting and allergies. This research was an advanced research from Anggraeni (2012). The results of this research showed that 91,1% of mothers non exclusively breastfeed their children and 8,9% of mothers exclusively breastfeed them. This research was conducted at working area of Pesanggrahan subdistrict health centers district in south Jakarta to find out the reason why mothers was giving early complementary food. This research used qualitative method with health belief model theory approach. Samples are mothers who were not giving breastfeeding, their closest family members such as husbands, mother, mothers in law and health workers (midwife) of Pesanggrahan subdistrict health centers. The mothers gave early complementary food for several reasons such as their inability to give enough milk, complexity of working situations and breasfeeding problems. This research shows that mothers have little knowledge about exclusive breastfeeding, though they did have proper knowledge about the timing for complementary feeding. It was still a hard task to encourage the mothers to give exclusively breastfeeding; their experiences, culture and the lack of support from family members even makes it harder. All These affects the low awareness among mothers about the danger of disease caused by early complementary foods. Based on these results, more counseling are needed to support the knowledge and awareness of the mothers about the importance of exclusive breastfeeding. References : 117 (1975-2012) iii iv v RIWAYAT HIDUP PENULIS Data Diri Nama : Kiki Chairani Saputri Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 08 Maret 1992 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Telepon : 0813-6847-9488 Email : [email protected] Alamat : Komplek Perhubungan Rayon Teratai No 4 A RT 021 RW 004 Kecamatan Sukarami, Sumatera Selatan. Palembang Riwayat Pendidikan 1997 – 2003 : SD Muhammadyah 6 Palembang 2003 – 2006 : Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Palembang 2006 – 2009 : Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang 2009 – Sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta vi KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena dengan segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Alasan Ibu Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Dini dengan Pendekatan Teori Health Belief Model Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2013” Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selama proses penyusunan skripsi, banyak pihak yang turut membantu dan memberikan petunjuk, dorongan, semangat, dan motivasi kepada penulis. Sehingga pada kesempatan yang baik ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ayah dan Ummi, Akhmad Nawawi dan Masayu Fauziah, yang tidak pernah henti memberikan kasih sayang, menjadi motivator untuk menjalani kegiatan perkuliahan ini sampai selesai, dido’a ayah ummi nama kiki pasti disebut, terima kasih ayah ummi atas segalanya yang telah diberikan. Insyaalloh akan kiki balas dengan segala kekuatan yang kiki punya agar bisa membahagiakan ayah dan ummi aamin. vii 2. Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan dan staf pengurus Program Beasiswa “Santri Jadi Dokter” atas kesempatan yang begitu luar biasa sempurna ini, untuk bisa belajar dan menimbah ilmu yang akan dipergunakan kelak dalam pengabdian kepada masyarakat Sumatera Selatan. Menciptakan atmosfer Provinsi Sumatera Selatan yang sehat, dan berpola pikir sehat. 3. Bapak Prof. DR. (HC) dr. MK Tadjuddin, Sp. And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan selaku dosen pembimbing satu skripsi, yang telah banyak memberikan dorongan, motivasi, bantuan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM, selaku dosen pembimbing dua skripsi, yang telah banyak memberikan dorongan, motivasi, bantuan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Sahabat-sahabat beasiswa “Santri Jadi Dokter”: Aandy Ihram, Rudianto, Rifqy Fuady, Desly Ahdikanta, Tika Widya Sari, Nur khairani, Vita Fitria, Nurul Komariah, Ira Sukaina, Zil Ardi, Susilowati, Fitri Nurmayanti, Putra Mukhsinin, Seila Inayatullah, Maharani, Midun, Inti Pikria, Ani Oktavia, Rafita Octavia, dan Etika Rahmawati, yang saling memberikan semangat dan motivasi untuk bisa menyelesaikan skripsi ini. 7. Sahabat-sahabat penelitian: Fitri Aryani, Nur Syamsiah, dan Desly Ahdikanta yang telah berjuang bersama, sharing bersama dalam proses penyusunan skripsi ini. viii 8. Nurul Komariah, Robi Johan, dan Mahmud Badarudin, terima kasih atas segala tenaga dan waktunya membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini khususnya membantu penulisan transkrip wawancara mendalam, mencari alamat informan dan memberikan motivasi. Semoga Alloh memudahkan langkah kalian dalam menyelesaikan skripsinya, aamin. 9. Dulur-dulurku, Risma Oktaria, Tanti Anggriyawati, Ully Setia, Srikandi Ningsih, dan Andriyansyah. Terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama proses penyusunan skripsi ini, semoga Alloh memudahkan setiap langkah kalian dalam urusan apapun, aamin. 10. Teman-teman Peminatan Kesehatan Masyarakat angkatan 2009. Peminatan Gizi, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, semoga tali persaudaraan antara kita akan selalu terjaga, aamin. 11. Kak Septi, kak Ami, kak Ida, dan kak Anis, terima kasih kakak-kakak yang sudah banyak membantu penulis dalam segala hal. Semoga Alloh memudahkan setiap langkah kalian dalam urusan apapun, aamin. 12. Bapak Gazali yang telah banyak membantu dalam kelangsungan semuannya. 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima Kasih untuk semuanya. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis, khususnya bagi mahasiswa Kesehatan Masyarakat, masyarakat pada umumnya dan bagi dunia ilmu pengetahuan. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh Jakarta, Agustus 2013 Penulis ix DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. i ABSTRAK ......................................................................................................... ii PERNYATAAN PERSETUJUAN .................................................................. iv PERNYATAAN PENGESAHAN .................................................................... v RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vi KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv DAFTAR BAGAN ............................................................................................ xv LAMPIRAN ...................................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 12 1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 13 1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 14 1.4.1 Tujuan Umum .................................................................................... 14 1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 14 1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 15 1.5.1 Bagi Peneliti ....................................................................................... 15 1.5.2 Bagi Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan ....................................... 15 1.5.3 Bagi Peneliti Selanjutnya ................................................................... 16 1.6 Ruang Lingkup ............................................................................................ 16 x BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ASI Eksklusif ................................................................................................ 17 2.1.1 Pengertian ASI Eksklusif .................................................................... 17 2.1.2 Manfaat ASI Eksklusif ....................................................................... 20 2.1.3 Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui ............................ 25 2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) ......................................................... 27 2.2.1 Definisi MP-ASI ................................................................................. 27 2.2.2 Anjuran WHO tentang MP-ASI ........................................................ 29 2.2.3 Jenis-Jenis MP-ASI ............................................................................ 30 2.2.4 Manfaat Pemberian MP-ASI Sesuai dengan Umur............................. 31 2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Pemberian MP-ASI ............................... 31 2.2.6 Implikasi Pemberian MP-ASI Dini .................................................... 33 2.2.7 Masalah-Masalah dalam Pemberian MP-ASI .................................... 34 2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif ........... 36 2.3.1 Menurut Masalah dalam Menyusui .................................................... 36 2.3.2 Karakteristik Ibu ................................................................................. 43 2.3.3 Hal-hal yang Berhubungan dengan Karakteristik .............................. 51 2.3.4 Penelitian Terkait Faktor-Faktor Pemberian ASI Eksklusif ............... 59 2.4 Teori Health Belief Model ............................................................................ 61 2.4.1 Definisi Teori health belief model ...................................................... 61 BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH 3.1 Kerangka pikir............................................................................................... 71 3.2 Definisi istilah................................................................................................ 73 xi BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ............................................................................................. 76 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 76 4.3 Informan Penelitian ...................................................................................... 76 4.4 Instrumen Penelitian ..................................................................................... 76 4.5 Sumber Data ................................................................................................. 77 4.6 Validasi Data ................................................................................................ 77 4.7 Pengolahan Data ........................................................................................... 78 4.8 Penyajian Data .............................................................................................. 78 4.9 Analisis Data ................................................................................................. 78 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian .......................................................... 79 5.1.2 Demografi Wilayah ........................................................................... 79 5.2 Karakteristik Informan .................................................................................. 80 5.2.1 Informan Utama .................................................................................. 80 5.2.2 Informan Pendukung .......................................................................... 82 5.3 Hasil Penelitian ............................................................................................. 83 5.3.1 Informan Pertama (Ibu Yu, 35 thn, 3 anak, IRT) ............................... 84 5.3.2 Informan Kedua (Ibu Si, 26 thn, 3 anak, IRT) ................................... 88 5.3.3 Informan Ketiga (Ibu Id, 37 thn, 3 anak, IRT) ................................... 91 5.3.4 Informan Keempat (Ibu Sa, 28 thn, 1 anak, PRT) .............................. 95 5.3.5 Informan Kelima (Ibu Am, 22 thn, 1 anak, Resepsionis) ................... 99 5.3.6 Informan Keenam (Ibu Ro, 28 thn, 2 anak IRT) ................................ 102 5.3.7 Informan Ketujuh (Ibu Da, 35 thn, 4 anak, IRT) ................................ 106 xii BAB IV PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 109 6.2 Gambaran Praktek Pemberian MP-ASI Dini ................................................ 109 6.3 Gambaran Persepsi Informan Mengenai Ancaman MP-ASI Dini ............... 123 6.4 Gambaran Persepsi Informan Mengenai Manfaat Pemberian ASI ............... 137 6.5 Gambaran Persepsi Informan Mengenai Kendala dan Kepercayaan Diri .... 140 6.6 Gambaran Faktor Eksternal Mengenai Pemberian MP-ASI Dini ................ 146 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ...................................................................................................... 151 7.2 Saran ............................................................................................................ 153 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii DAFTAR TABEL Nomor Tabel Halaman 2.1 Penelitian ASI Eksklusif 59 2.2 Konsep Teori Health Belief Model yang dikutip 65 Edberg (2009) dalam buku “Kesehatan Masyarakat, Teori Sosial dan Perilaku” 3.1 Definisi Istilah 73 4.1 Validasi Sumber 77 5.1 Karakteristik Informan Utama 81 5.2 Karakteristik Informan Pendukung 83 xiv DAFTAR BAGAN Nomor Bagan Halaman 2.1 Teori Health Belief Model 70 3.1 Kerangka Pikir Penelitian 72 xv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Lampiran 2 Surat Balasan Penelitian dari Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Lampiran 3 Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Ibu Lampiran 4 Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Keluarga Lampiran 5 Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Bidan Lampiran 6 Matriks Wawancara Mendalam Terhadap Ibu Lampiran 7 Matriks Wawancara Mendalam Terhadap Keluarga Lampiran 8 Matriks Wawancara Mendalam Terhadap Bidan xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR). Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan bahwa kematian bayi masih pada angka 32 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian balita adalah 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Sama dengan pola SDKI 2007, lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus atau pada bayi yang dilahirkan kurang dari 28 hari (SDKI, 2012). Salah satu sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014 dan sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) 2015 melalui Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2005 dan nomor 5 tahun 2010 adalah menurunkan kematian balita sebesar dua pertiganya dari keadaan tahun 1990 dengan indikator proksi yaitu menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup dan menurunkan Angka Kematian Balita (AKBal) menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2010). 1 2 Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI tahun (2000), bahwa 10% penyebab kematian bayi adalah diare. Data statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia dan dua pertiganya adalah bayi. Satu dari tujuh anak balita menderita diare, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa hanya 61% anak balita yang menderita diare diobati dengan terapi rehidrasi oral, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan diare sebagai penyebab 31% kematian anak antara usia satu bulan sampai satu tahun, dan 25% kematian anak antara usia satu sampai empat tahun (Kajian Unicef, 2012). Peranan ASI dalam pencegahan dan terapi diare akut pada anak, karena di dalam ASI terdapat berbagai komponen yang penting baik dalam pencegahan maupun dalam terapi diare akut. Sehingga pada anak-anak yang minum ASI lebih jarang sakit diare daripada anak yang minum susu formula. Penelitian di Kanada membuktikan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran pencernaan dan pernapasan dalam 6 bulan pertama kehidupan. Demikian pula dengan penelitian di California menunjukkan bahwa angka kejadian diare pada anak yang minum ASI 50% lebih rendah dari yang minum susu formula. Di samping itu kalau anak yang minum ASI menderita diare, bila ASI diteruskan pada penatalaksanaan diare, maka diare akan lebih cepat berhenti (Gibney, 2009). Hasil penelitian Roesli (2000) menunjukkan bahwa bayi yang tidak diberi ASI eksklusif mempunyai kemungkinan 14,2 kali lebih sering terkena diare dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif. Hal ini dapat 3 disebabkan karena ASI mengandung nilai gizi yang tinggi, adanya antibodi, sel-sel leukosit, enzim, hormon, dan lain-lain yang melindungi bayi terhadap berbagai infeksi. Pada tahun 1991, pertemuan bersama antara perwakilan World Health Organization (WHO) dan The United Nations Children’s Fund (UNICEF) yang puncaknya dalam bentuk Deklarasi Innocenti tentang perlindungan, promosi, dan dukungan pada pemberian ASI yang mendefinisikan pemberian makan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir hingga usia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupan sementara, makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia sekitar 6 bulan. Selanjutnya, WHO menyelenggarakan konvensi Expert Panel Meeting yang meninjau lebih dari 3000 makalah riset dan menyimpulkan sebagai rekomendasi populasi bahwa periode 6 bulan merupakan usia bayi yang optimal untuk pemberian ASI eksklusif. Kesimpulan ini diadopsi sebagai resolusi World Health Assembly (WHA) pada bulan Mei 2001 (Gibney, 2009). Pemberian Air Susu Ibu atau ASI eksklusif makin leluasa dilakukan menyusul lahirnya PP nomor 33 tahun 2012. Peraturan pemerintah yang disahkan bulan maret lalu, juga menegaskan ASI tetaplah susu terbaik bagi bayi bersangkutan kelak sebagai anak yang cerdas. Pelaksanaan pemberian ASI eksklusif, yaitu hanya memberikan ASI saja sampai 6 bulan, menyusui dimulai 30 menit setelah bayi lahir, tidak memberikan cairan atau makanan lain selain ASI kepada bayi yang baru lahir, menyusui sesuai kebutuhan bayi, memberikan kolostrum (ASI yang keluar pada hari pertama yang 4 mempunyai nilai gizi tinggi), dan cairan lain yang boleh diberikan hanya vitamin, mineral obat dalam bentuk drop atau sirup (Kemenkes RI, 2012). ASI mengandung immunoglubin terutama Ig A dan terdapat banyak dalam kolostrum. Selama dua minggu, ASI mengandung 4000 sel/ml yang mengeluarkan Ig A (bekerja di usus dalam menahan bakteri tertentu dan virus), laktoferin (mengikat zat besi sehingga bakteri tidak menyerap mineral tersebut), lisozim (menghancurkan sejumlah bakteri berbahaya dan berbagai virus), dan interferon (menghambat aktivitas bakteri dan virus tertentu). Kebutuhan ASI sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi yang berubah dan sesuai dengan kebutuhan bayi pada setiap saat (Suhardjo, 1992). Laktoferin dengan Ig A bersama-sama mempunyai pengaruh sinergis yang bersifat bakteriostatik. Pemberian ASI pada bayi merangsang pertumbuhan bifidobacterium spp, yang merupakan flora utama usus. Bifidobacterium spp menghasilkan suasana asam yang dibutuhkan untuk pertumbuhan lactobacillus sp dan untuk meningkatkan ketahanan saluran pencernaan terhadap infeksi (Worthtington, 2000). Hasil penelitian dari Oxford University dan Institute for Social and Economic Research sebagaimana dilansir Daily Mail, menyebutkan bahwa anak bayi yang mendapat ASI eksklusif akan tumbuh menjadi anak yang lebih pintar dalam membaca, menulis, dan matematika. Salah satu peneliti, Maria Lacovou mengemukakan asam lemak rantai panjang (long chain fatty acids) yang terkandung di dalam ASI membuat otak bayi berkembang (Kajian Unicef, 2012). ASI sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan 5 perkembangan kecerdasan anak. Menurut penelitian, anak-anak yang tidak diberi ASI mempunyai IQ (intellectual quotient) lebih rendah 7-8 poin dibandingkan dengan anak-anak yang diberi ASI secara eksklusif (Yuliarti, 2010). Mengingat bahwa kecerdasaan anak berkaitan erat dengan otak maka jelas bahwa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan adalah pertumbuhan otak. Dengan memberikan ASI secara eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan akan menjamin tercapainya pengembangan potensi kecerdasan anak secara optimal. Nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan otak bayi yang tidak ada atau sedikit sekali terdapat pada susu sapi, antara lain: taurin, laktosa, dan asam lemak ikatan panjang (DHA, AA, omega-3, omega-6) merupakan asam lemak utama dari ASI yang hanya terdapat sedikit dalam susu sapi (Roesli, 2000). Hasil penelitian dr. Lucas (1993) terdapat 300 bayi prematur membuktikan bahwa bayi prematur yang diberi ASI eksklusif mempunyai IQ yang lebih tinggi secara bermakna (8,3 poin lebih tinggi) dibanding bayi prematur yang tidak diberi ASI. Pada penelitian Dr. Riva (1997) ditemukan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif, ketika berusia 9,5 tahun mempunyai tingkat IQ 12,9 poin lebih tinggi dibanding anak yang ketika bayi tidak diberi ASI eksklusif (Roesli, 2000). Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tercatat bahwa cakupan ASI eksklusif sebesar 38% (SDKI, 2007), menurun dari kondisi tahun 2002-2003 yaitu 39,5% dari keseluruhan bayi. Sementara jumlah bayi di bawah 6 bulan yang diberi susu formula telah meningkat dari 6 16,7% (SDKI, 2002-2003) menjadi 27,9% (SDKI, 2007). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pelaksanaan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih sulit dilaksanakan (Fikawati dan Syafiq, 2009). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa persentase bayi yang menyusu eksklusif sampai 6 bulan adalah 15,3% dari 22,3% bayi yang dalam 24 jam terakhir bayi hanya disusui/diberi ASI saja dan sejak lahir sampai saat survei bayi belum diberi makanan/minuman selain ASI, sebenarnya ada 7% bayi diberi makanan/minuman pada awal kelahiran sebelum ASI keluar, sehingga bayi yang menyusu eksklusif sampai 6 bulan adalah 15,3%. Survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition and Health Surveillance System (NSS) bekerjasama dengan Balitbangkes dan Hellen Keller international di 4 kota ( Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar ) dan 8 pedesaan (Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Banten, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan), menunjukan bahwa cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4-12%, sedangkan di pedesaan 4-25%. Pencapaian ASI eksklusif 5-6 bulan di perkotaan antara 1-13%, sedangkan di pedesaan 2-13%. Hanya 14% ibu di Tanah Air yang memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan (Depkes RI, 2004). Sedangkan berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tahun 2009, diketahui bahwa jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif di Provinsi DKI Jakarta sebesar 34%. Data per-wilayah Kota 7 Provinsi DKI Jakarta menunjukkan cakupan ASI eksklusif tertinggi yaitu Jakarta Utara dengan persentase sebesar 60%. Kemudian tertinggi kedua yaitu Jakarta Selatan dan Kepulauan Seribu dengan persentase sebesar 46% (Dinkes DKI Jakarta, 2009). Adanya kecenderungan penurunan data pemberian ASI eksklusif, kemudian meningkatnya pemberian makanan/minuman kepada bayi dibawah 6 bulan, menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih jauh dari target nasional yang harus dicapai pada tahun 2015 yaitu sebesar 80%. Pemberian makanan/minuman kepada bayi dibawah 6 bulan dapat disebut dengan pemberian makanan pendamping ASI dini (Gibney, 2009). Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi, diberikan pada bayi atau anak yang berumur 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizinya (Depkes RI, 2006). Dalam pemberian makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi, jenis, jumlah bahan makanan, dan cara pembuatannya. Kebiasaan pemberian makanan bayi yang tidak tepat, salah satunya adalah pemberian makanan terlalu dini. Pemberian makanan terlalu dini dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan seperti diare, muntah, dan sulit buang air besar (Cott, 2003 dalam Padang, 2008). Secara teoritis diketahui bahwa pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi seperti diare, konstipasi, muntah dan alergi. Di samping itu akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak setelah usia dewasa seperti memicu terjadinya penyakit obesitas, hipertensi, dan penyakit jantung koroner (Nadesul, 2005). 8 Penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan Kabupaten Wonosobo, Provini Jawa Tengah, ditemukan bahwa praktek pemberian makan pada bayi sebelum usia 1 bulan mencapai 32,4% dan pada usia tersebut didapatkan sebesar 66,7% jenis makanan yang diberikan adalah pisang (Litbangkes, 2003). Ansori (2002) yang meneliti hubungan umur pertama kali pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi berumur 6-12 bulan menemukan bahwa bayi yang mendapatkan makanan pendamping ASI pada umur di bawah 4 bulan akan mendapatkan risiko gizi kurang 5,221 kali dibandingkan bayi yang mendapatkan makanan pendamping ASI dini pada umur 4-6 bulan setelah dikontrol dengan asupan energi. Selain itu, umur pertama kali pemberian ASI sangat penting dalam menentukan status gizi bayi. Makanan prelakteal maupun makanan pendamping ASI dini mengakibatkan kesehatan bayi menjadi rapuh. Secara nyata, hal ini terbukti dengan terjadinya gagal tumbuh (growth faltering) yang terus kontinu terjadi sejak umur 3 bulan sampai anak mencapai umur 18 bulan. WHO dan UNICEF pada tahun 2003 melaporkan bahwa 60% kematian balita langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh kurang gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makanan yang kurang tepat pada bayi dan anak (Depkes RI, 2009). Selain itu makanan prelakteal seperti madu, air teh, air tajin, dan pisang sangat berbahaya bagi kesehatan bayi. Makanan padat seperti pisang dapat menyebabkan sumbatan saluran pencernaan dan menyebabkan kematian berkisar 5,1% (Wiryo, 1998) dan pemberian makanan prelakteal 9 seperti madu juga berbahaya karena di dalam madu terdapat kandungan colustrum botulinum spora yang dapat membahayakan dan mematikan. Pemberian makanan prelakteal adalah makanan yang diberikan kepada bayi sebelum ASI keluar (Depkes RI, 2009). Hasil penelitian Irawati tahun 2004, jenis makanan pendamping ASI dini yang dikonsumsi bayi antara lain pisang, susu formula (bubuk dan kental manis), biskuit, bubur beras, makanan bayi produk industri (SUN, Promina dan Milna), dan nasi lumat. Ada tiga alasan di daerah Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat ibu memberikan makanan pendamping ASI dini adalah mengikuti saran orang tua yang merupakan tradisi di daerah tersebut, kebiasaan tersebut sesuai dengan budaya masyarakat pedesaan bahwa pola pemberian makanan bayi termasuk pemberian makanan pendamping ASI pada bayi di awal kehidupan bayi, merupakan praktek turun temurun yang diajarkan dari leluhur ke orang tua dan berlanjut ke generasi lebih muda (Suhardjo, 1989) kemudian ada kekhawatiran bahwa ASI saja tidak cukup bagi bayi, dan dengan memberi makanan pendamping ASI dini dimaksudkan agar bayi lebih kuat dan cepat besar. Hasil penelitian YLKI (1995) terhadap ibu-ibu se-Jabotabek yang dikutip Roesli (2000) menunjukkan alasan pertama (31,7%) menghentikan pemberian ASI pada anaknya adalah takut ditinggal suami. Hal ini disebabkan persepsi yang salah yaitu menyusui akan mengubah bentuk payudara menjadi jelek. Padahal sebenarnya yaitu mengubah bentuk payudara adalah kehamilan dan bukan akibat menyusui. Adanya persepsi 10 yang salah di masyarakat tentang pemberian ASI seperti adanya anggapan menyusui akan mengurangi kecantikan, turut menpengaruhi penurunan jumlah ibu yang memberikan ASI. Hal ini dapat merugikan kampanye ASI yang sudah digalakan 10 tahun terakhir (Roesli, 2000). Persentase yang besar mengenai perempuan yang dilaporkan memiliki persepsi ketidakcukupan ASI merupakan masalah yang paling umum terjadi dalam pemberian ASI dan juga menjadi alasan utama ibu berhenti menyusui pada usia bayi yang masih dini. Belum diketahui prevalensi yang pasti dari persepsi ketidakcukupan ASI (diperkirakan antara 30-80% dari ibu menyusui, namun banyak peneliti menyimpulkan bahwa persepsi ketidakcukupan ASI tersebut merupakan alasan ibu untuk memberikan makanan tambahan lebih awal kepada bayinya (Gatti, 2008). Dari paparan yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Anggraeni (2012), berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada ibu yang melahirkan di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2012, ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif sebesar 91,1%. Sedangkan 8,9% ibu memberikan ASI eksklusif. Hal ini diketahui bahwa ibu sudah memberikan makanan/minuman tambahan kepada bayi di bawah usia 6 bulan, dari 39 responden ibu yang memberikan makanan dan minuman tambahan, sebesar 8,9% memberikan madu, sebesar 22,2% memberikan air putih, sebesar 2,2% memberikan pisang. Sedangkan ibu yang memberikan madu, air putih 11 dan pisang yaitu sebesar 20%, yang memberikan madu dan air putih sebesar 24,4%, dan yang memberikan memberikan air putih dan pisang sebesar 8,9%. Berdasarkan profil Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Tahun 2011 diketahui cakupan ASI eksklusif di Jakarta Selatan sebesar 43,7%. Sedangkan di wilayah puskesmas Kecamatan Pesanggrahan cakupan ASI eksklusif sebesar 51,2%. Hal ini juga masih lebih rendah dari target nasional yang ditetapkan yaitu sebesar 80%. Melalui pendekatan teori health belief model dengan studi kualitatif, peneliti mencoba untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan yang dilakukan individu. Teori health belief model memiliki 4 komponen yang menggambarkan persepsi terhadap pencegahan dan manfaatnya yaitu perceived susceptibility, perceived seriousness, perceived benefits, perceived barriers. Sedangkan cues to action dipengaruhi faktor eksternal dalam menentukan perilaku kesehatan. Perceived susceptibility (persepsi terkena penyakit) dan perceived seriousness (persepsi keseriusan) dapat mempengaruhi persepsi terhadap ancaman penyakit. Demikian halnya dengan cues to action dan faktor modifikasi (demografis, struktural, dan sosiopsikologis) juga dapat berpengaruh pada persepsi terhadap ancaman penyakit yang berhubungan langsung dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku kesehatan. Sedangkan perceived benefits (persepsi terhadap manfaat) dan perceived barriers (persepsi terhadap kendala) merupakan prediktor utama dalam health belief model yang memiliki dampak sangat besar pada kecenderungan perilaku kesehatan 12 seseorang (Pender, et al, 2002). Pada tahun 1988, Rosenstock, Strecher dan Becker menambahkan komponen self-efficacy (kepercayaan diri) untuk menyempurnakan konsep teori health belief model. kepercayaan diri dalam teori health belief model merupakan suatu kepercayaan seseorang akan kemampuannya melakukan tindakan (Glanz, 2008). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan profil Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2011, diketahui cakupan ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan sebesar 51,2%. Ditambah dengan hasil penelitian Anggraeni tahun 2012 menunjukkan gambaran perilaku pemberian ASI eksklusif pada ibu yang melahirkan di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2012 hanya sebesar 8,9% dan sebesar 91,1% perilaku ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif. Perilaku ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif ini diketahui karena ibu memberikan makanan pendamping ASI dini. Hal ini menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan belum mencapai target nasional sebesar 80%. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Anggraeni (2012), yaitu peneliti ingin mengetahui alasan ibu mengapa memberikan makanan pendamping ASI dini, dengan pendekatan teori health belief model melalui studi kualitatif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013. 13 1.3 Pertanyaan Penelitian 1.3.1 Bagaimana gambaran praktek pemberian makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013? 1.3.2 Bagaimana gambaran persepsi ibu terhadap ancaman dari pemberian makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013? 1.3.3 Bagaimana gambaran persepsi ibu mengenai manfaat yang didapatkan dalam memberikan ASI eksklusif dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013? 1.3.4 Bagaimana gambaran persepsi ibu mengenai kendala yang dihadapi ibu dalam memberikan ASI eksklusif dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013? 1.3.5 Bagaimana gambaran kepercayaan diri ibu dalam memberikan ASI eksklusif dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013? 1.3.6 Bagaimana gambaran cues to action (faktor eksternal) dari pemberian makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013? 14 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013. 1.4.2 Tujuan Khusus 1.4.2.1 Diketahuinya gambaran praktek pemberian makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013. 1.4.2.2 Diketahuinya gambaran persepsi ibu terhadap ancaman dari pemberian makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013. 1.4.2.3 Diketahuinya gambaran persepsi ibu mengenai manfaat yang didapatkan dalam memberikan ASI eksklusif dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013. 1.4.2.4 Diketahuinya gambaran persepsi ibu mengenai kendala yang dihadapi ibu dalam memberikan ASI eksklusif dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013. 15 1.4.2.5 Diketahuinya gambaran kepercayaan diri ibu dalam memberikan ASI eksklusif dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013. 1.4.2.6 Diketahuinya gambaran cues to action (faktor eksternal) dari pemberian makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Peneliti Sebagai pengembangan kompetensi diri, disiplin ilmu yang didapat selama perkulihan, serta menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian kesehatan masyarakat. 1.5.2 Bagi Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan 1.5.2.1 Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penyebab keberhasilan dan kegagalan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013. 1.5.2.2 Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan kepada bagian pemegang atau koordinator program KIA dan Gizi dalam meningkatkan penyuluhan mengenai pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013. 16 1.5.2.3 Hasil penelitian juga dapat dijadikan sebagai sarana mencari akar masalah atau kegagalan-kegagalan dalam pelaksanaan program ASI eksklusif sehingga memudahkan menyelesaikan permasalahan rendahnya cakupan ASI eksklusif dengan baik. 1.5.3 Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian dapat memberikan gambaran atau informasi dasar untuk peneliti selanjutnya agar menggunakan pendekatan teori-teori perilaku kesehatan lainnya. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan pada bulan Mei-Juni 2013. Penelitian ini menggunakan studi kualitatif dengan pendekatan teori health belief model melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif, keluarga terdekat (ibu kandung, ibu mertua, dan suami) dan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan. BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 ASI Eksklusif 2.1.1 Pengertian ASI Eksklusif ASI eksklusif menurut World Health Organization (WHO) adalah pemberian ASI saja (tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, maupun makanan lain, seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, nasi tim, dan lain-lain), hingga bayi berusia 6 bulan (Roesli, 2000). Dan menurut Kementerian Kesehatan RI (2012) dalam Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun 2012, ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. WHO/UNICEF membuat deklarasi yang dikenal dengan deklarasi Innocenti (innocenti declaration). Deklarasi yang dilahirkan di Innocenti, Italia tahun 1990 ini bertujuan untuk melindungi, mempromosikan, dan memberi dukungan pada pemberian ASI. Deklarasi yang juga ditandatangani Indonesia ini memuat hal-hal berikut (Roesli, 2000). Sebagai tujuan global untuk meningkatkan kesehatan dan mutu makanan bayi secara optimal maka semua ibu dapat memberikan ASI eksklusif dan semua bayi diberi ASI eksklusif sejak lahir sampai berusia 4-6 bulan. Setelah berumur 4-6 bulan, bayi diberi makanan 17 18 pendamping/padat yang benar dan tepat, sedangkan ASI tetap diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih. Pemberian makanan untuk bayi yang ideal seperti ini dapat dicapai dengan cara menciptakan pengertian serta dukungan dari lingkungan sehingga ibu-ibu dapat menyusui secara eksklusif (Roesli, 2000). Pada tahun 1999, setelah pengalaman selama 9 tahun, (UNICEF) memberikan klarifikasi tentang rekomendasi jangka waktu pemberian ASI eksklusif. Rekomendasi terbaru UNICEF bersama World Health Assembly (WHA) dan banyak negara lainnya adalah menetapkan jangka waktu pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan (Roesli, 2000). Bayi sehat pada umumnya tidak memerlukan makanan tambahan sampai usia 6 bulan. Pada keadaan-keadaan khusus dibenarkan untuk mulai memberi makanan padat setelah bayi berumur 4 bulan tetapi belum mencapai 6 bulan. Misalnya karena terjadi peningkatan berat badan bayi yang kurang dari standar atau didapatkan tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik. Namun, sebelum diberi makanan tambahan, sebaiknya coba perbaiki dahulu cara menyusuinya. Cobalah hanya memberinya ASI saja tanpa memberi minuman/makanan lain. Selain itu, bayi harus sering disusui, perhatikan posisi menyusui, dan jangan diberi dot atau empeng. Secara umum usahakan dahulu agar cara pemberian ASI dilakukan sebaik mungkin. Apabila setelah 1-2 minggu ternyata upaya perbaikan 19 di atas tidak menyebabkan peningkatan berat badan, barulah dipikirkan pemberian makanan tambahan/padat bagi bayi berusia di atas 4 bulan tetapi belum mencapai 6 bulan (Roesli, 2000). Terlepas dari isi rekomendasi baru UNICEF tadi, masih ada pihak yang tetap mengusulkan pemberian makanan padat mulai pada usia 4 bulan sesuai dengan isi Deklarasi Innocenti (1990), yaitu “Hanya diberikan ASI sampai bayi berusia 4-6 bulan”. Namun, pengetahuan terakhir tentang efek negatif pemberian makanan padat yang terlalu dini telah cukup menunjang pembaharuan definisi ASI eksklusif menjadi, “ASI saja sampai usia sekitar 6 bulan” (Roesli, 2000). Konvensi hak-hak anak tahun 1990 antara lain menegaskan bahwa tumbuh kembang secara optimal merupakan salah satu hak anak. ASI selain merupakan suatu kebutuhan juga menjadi hak azasi bayi yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Hal ini telah dipopulerkan pada pekan ASI sedunia tahun 2000 dengan tema: “memberi ASI adalah hak azasi ibu, mendapat ASI adalah hak azasi bayi” (Anonim, 2003). ASI sebagai makanan yang alamiah juga merupakan makanan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkannya dan komposisinya yang sesuai untuk pertumbuhan bayi serta ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit (Roesli, 2000). 20 2.1.2 Manfaat ASI Eksklusif Menurut Roesli (2000), manfaat ASI eksklusif bagi bayi dan ibu adalah sebagai berikut: a. Manfaat ASI eksklusif bagi bayi 1) ASI sebagai nutrisi ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI adalah makanan bayi yang paling sempurna baik kualitas maupun kuantitasnya. Dengan tatalaksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia enam bulan. Setelah usia enam bulan, bayi harus mulai diberi makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih. Komposisi ASI dari seorang ibu juga berbeda-beda dari hari ke hari. ASI yang keluar pada saat kelahiran sampai hari ke-4 atau ke-7 (kolostrum) berbeda dengan ASI yang keluar dari hari ke4/ke-7 sampai hari ke 10/ke-14 setelah kelahiran (ASI transisi). Komposisi ini akan berbeda lagi setelah hari ke-14 (ASI matang). Bahkan terdapat pula perbedaan komposisi ASI dari menit ke menit. ASI yang keluar pada menit-menit pertama menyusui disebut foremillk, sedangkan ASI yang keluar pada saat akhir menyusui disebut hindmilk. 21 2) ASI meningkatkan daya tahan tubuh bayi Bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin (zat kekebalan tubuh) dari ibunya melalui ari-ari namun, kadar zat ini akan cepat sekali menurun segera setelah bayi lahir. Badan bayi sendiri baru membuat zat kekebalan cukup banyak sehingga mencapai kadar protektif pada waktu berusia 9 sampai 12 bulan. Pada saat kadar zat kekebalan bawaan menurun, sedangkan yang dibentuk oleh badan bayi belum mencukupi, maka akan terjadi kesenjangan zat kekebalan pada bayi. Kesenjangan akan hilang atau berkurang apabila bayi diberi ASI, karena ASI adalah cairan hidup yang mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi, bakteri, virus, parasit dan jamur. Dari hasil penelitian Kramer dan Kakuma (2003), didapatkan hasil bahwa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dapat menurunkan risiko infeksi pencernaan, tidak menyebabkan alergi serta efek samping pada pertumbuhan bayi (WHO, 2011). 3) ASI eksklusif meningkatkan kecerdasan Mengingat bahwa kecerdasan anak berkaitan erat dengan otak, maka jelas bahwa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan adalah pertumbuhan otak. Sementara itu, faktor terpenting dalam proses pertumbuhan termasuk pertumbuhan otak adalah nutrisi yang diberikan. Kesempatan ini hendaknya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya agar otak bayi dapat tumbuh optimal. 22 Dengan memberikan ASI secara eksklusif sampai bayi berusia enam bulan, akan menjamin tercapainya pengembangan potensi kecerdasan anak secara optimal. Hal ini karena selain sebagai nutrien yang ideal dengan komposisi yang tepat serta disesuaikan dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung nutriennutrien khusus yang diperlukan otak bayi agar tumbuh optimal. Nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan otak bayi diantaranya adalah : a) Taurin Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam ASI yang berfungsi sebagai neuro-transmitter dan berperan penting untuk proses maturasi sel otak (Depkes RI, 2005). Taurin merupakan bahan baku untuk pertumbuhan sel otak, retina dan konjugasi bilirubin. Pada bayi baru lahir biasanya menunjukkan peningkatan bilirubin karena mereka baru mendapat trauma pada saat melalui jalan lahir (adanya perdarahan) sedangkan usus bayi belum mampu menyintesis vitamin K untuk proses pembekuan darah. ASI mengandung taurin cukup tinggi dibanding dalam susu sapi, ini akan sangat membantu sistem tubuh untuk melakukan konjugasi. Artinya ASI dapat mengurangi atau kadar bilirubin yang tinggi dalam tubuh bayi. Sedangkan vitamin K yang dibutuhkan untuk membantu proses pembekuan darah dibantu asupannya dari luar (Purwanti, 2003). 23 b) Laktosa Merupakan hidrat arang utama dari ASI yang hanya sedikit sekali terdapat pada susu sapi (Depkes RI, 2005). Hidrat arang dalam ASI merupakan nutrisi yang vital untuk pertumbuhan sel saraf otak dan pemberi kalori untuk kerja sel-sel saraf, memudahkan penyerapan kalsium, mempertahankan faktor bifidus di dalam usus, dan mempercepat pengeluaran kolostrum sebagai antibodi bayi (Purwanti, 2003). c) DHA, AA, Omega 3, Omega 6 Merupakan asam lemak utama dari ASI yang hanya terdapat sedikit dalam susu sapi. Hasil penelitian dr. Lucas (1993) terhadap 300 bayi prematur membuktikan bahwa bayi-bayi prematur yang diberi ASI eksklusif mempunyai IQ yang lebih tinggi secara bermakna (8,3 poin lebih tinggi) dibanding bayi prematur yang tidak diberi ASI. Penelitian dr. Riva (1997) ditemukan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif, ketika berusia 9,5 tahun tingkat IQ 12,9 poin lebih tinggi dibanding anak yang ketika bayi tidak diberi ASI eksklusif. d) ASI meningkatkan jalinan kasih sayang Dekapan ibu ketika menyusui membuat bayi merasakan kasih sayang ibunya, merasa aman dan tentram. Perasaan terlindung inilah yang akan menjadi dasar perkembangan emosi bayi dan membentuk kepribadian yang percaya diri dan dasar spiritual yang baik. 24 b. Manfaat ASI eksklusif bagi ibu Selain bermanfaat untuk bayi, ASI eksklusif juga dapat bermanfaat bagi ibu. Berikut ini manfaat ASI eksklusif bagi ibu : 1) Mengurangi perdarahan setelah melahirkan Apabila bayi disusui segera setelah dilahirkan, maka kemungkinan terjadinya perdarahan setelah melahirkan akan berkurang. Hal tersebut karena pada ibu menyusui terjadi peningkatan kadar hormon oksitosin yang berguna untuk konstraksi/penutupan pembuluh darah sehingga perdarahan akan lebih cepat berhenti. 2) Menjarangkan kehamilan Menyusui merupakan cara kontrasepsi yang aman. Selama ibu memberi ASI eksklusif dan belum haid, 98% kehamilan tidak akan terjadi sampai pada enam bulan pertama setelah melahirkan dan tidak akan hamil sampai bayi berusia 12 bulan. 3) Mengurangi kemungkinan menderita kanker, seperti kanker payudara dan kanker indung telur. Pada ibu yang memberikan ASI eksklusif sampai dua tahun atau lebih, diduga angka kejadian kanker payudara akan berkurang sampai 25%. Beberapa penelitian menemukan juga bahwa menyusui akan melindungi ibu dari penyakit kanker indung telur pada ibu yang menyusui berkurang sampai 20-25%. 25 2.1.3 Sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui Dalam rangka menjamin hak bayi, Kementerian Kesehatan telah menetapkan program Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM) melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi di Indonesia. Penetapan program tersebut diutamakan pada fasilitas pelayanan kesehatan khususnya yang memberikan pelayanan kesehatan pada ibu dan anak (Depkes, 2010). Pelaksanaan sepuluh langkah keberhasilan menyusui di fasilitas kesehatan melindungi para ibu mendapatkan segala bantuan dan dukungan yang dibutuhkan untuk keberhasilan menyusui, dimulai pada saat pelayanan ibu hamil hingga setelah melahirkan (Depkes, 2010). Sepuluh langkah keberhasilan menyusui jika diterapkan diseluruh fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah sakit, klinik bersalin, fasilitas pelayanan kesehatan umum maupun swasta, sekitar dua juta bayi atau separuh dari jumlah bayi yang lahir setiap tahun di Indonesia akan mendapatkan hak mereka terhadap inisiasi menyusu dini dan ASI eksklusif (Depkes, 2010). Berikut ini adalah Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM), yaitu : 1. Fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai kebijakan peningkatan pemberian Air Susu Ibu (PP-ASI) tertulis yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua petugas. 26 2. Melakukan pelatihan bagi petugas dalam hal pengetahuan dan keterampilan untuk menerapkan kebijakan tersebut. 3. Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai umur dua tahun termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui. 4. Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 60 menit setelah melahirkan, yang dilakukan di ruang bersalin. Apabila ibu mendapat operasi caesar, bayi disusui setelah 30 menit ibu sadar. 5. Membantu ibu bagaimana cara menyusui yang benar dan cara mempertahankan menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas indikasi medis. 6. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir. 7. Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama bayi 24 jam sehari. 8. Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui. 9. Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI. 10. Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI) dan rujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang dari rumah sakit/rumah bersalin/fasilitas pelayanan kesehatan. 27 2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) 2.2.1 Definisi MP-ASI Menurut Depkes (2006) Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan zat gizi selain ASI. Pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan baru soal pemberian ASI eksklusif (Permenkes nomor 45/MENKES/SK/VI/2004) sejak bayi lahir sampai dengan bayi berumur 6 bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun dengan makanan tambahan yang sesuai. Pemerintah mengatur pula makanan pendamping ASI (MP-ASI) dalam peraturan nomor 23/1997. MP-ASI merupakan makanan pendamping ASI bukan sebagai makanan pengganti ASI. Semakin meningkat umur bayi atau anak, kebutuhan akan zat gizi semakin bertambah karena proses tumbuh kembang, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup dalam kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode ini (Depkes RI, 2000). 28 Tanda – tanda bayi siap menerima makanan pendamping ASI adalah bayi yang lebih rewel dari biasanya, jangka waktu menyusui menjadi lebih sering, terlihat antusias ketika melihat orang di sekitar sedang makan. Ciri lainnya, bayi mulai memasukkan tangannya ke mulut, mulai bisa didudukkan dan mampu menegakkan kepala serta kemampuan refleks bayi dalam menelan mulai baik. Perkembangan fungsi pencernaan bayi perlu diperhatikan dengan baik. jika kemampuan refleks menelan bayi belum berkembang dan bayi belum bisa menegakkan kepala sebaiknya pemberian makanan pendamping ASI ditunda terlebih dahulu hingga bayi siap. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik waktu, bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi atau anak (Sutomo, 2010). Berdasarkan Gibney tahun 2009 makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini adalah makanan/minuman yang diberikan kepada bayi sebelum berusia 6 bulan. WHO mendefinisikan ASI eksklusif bila bayi hanya mendapat ASI tanpa tambahan makanan dan atau minuman lain, kecuali vitamin, mineral dan obat-obatan (Gibney, 2009). Bayi yang mendapat ASI dan mendapat MP-ASI berupa cairan termasuk vitamin, mineral dan obat-obatan didefinisikan sebagai predominant breast-feeding. Bayi yang mendapat ASI dan mendapat MP-ASI berupa makanan padat, semi padat dan atau cairan termasuk vitamin, mineral dan obat-obatan didefinisikan sebagai partial breastfeeding (WHO, 2003 dalam Irawati, 2004). 29 2.2.2 Anjuran WHO tentang MP-ASI Sebelum tahun 2001, WHO merekomendasikan bahwa bayi harus ASI eksklusif selama 4 - 6 bulan dengan pengenalan makanan pendamping (cairan atau makanan lain selain air susu ibu) setelahnya. Pada tahun 2001, setelah review dan ahli konsultasi sistematis, saran ini berubah, dan ASI eksklusif adalah sekarang direkomendasikan untuk 6 bulan pertama kehidupan. WHO membandingkan keuntungan dari pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dengan ASI eksklusif selama 4 bulan, dan hasil review menyimpulkan bahwa bayi ASI eksklusif selama 6 bulan akan menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit menular, terutama karena infeksi pencernaan (penyakit diare) (WHO, 2001). Pemberian makan setelah bayi berusia 6 bulan memberikan perlindungan besar dari berbagai penyakit. Hal ini disebabkan imunitas bayi > 6 bulan sudah lebih sempurna dibandingkan umur bayi < 6 bulan. Pemberian MP-ASI dini sama saja dengan membuka gerbang masuknya berbagai jenis kuman penyakit. Hasil riset menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan MP-ASI sebelum berumur 6 bulan lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk pilek, dan panas dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (Williams, L dan Wilkins, 2006). Saat bayi berusia 6 bulan atau lebih, sistem pencernaannya sudah relatif sempurna dan siap menerima MP-ASI. Beberapa enzim pemecah protein seperti asam lambung, pepsin, lipase, amilase baru 30 akan diproduksi sempurna. Saat bayi berusia kurang dari 6 bulan, sel-sel di sekitar usus belum siap menerima kandungan dalam makanan, sehingga makanan yang masuk dapat menyebabkan reaksi imun dan terjadi alergi. Menunda pemberian MP-ASI hingga 6 bulan melindungi bayi dari obesitas dikemudian hari. Bahkan pada kasus ekstrim pemberian MP-ASI dini dapat menyebabkan penyumbatan saluran cerna dan harus dilakukan pembedahan (Gibney, 2009). 2.2.3 Jenis-jenis MP-ASI Jenis makanan pendamping ASI (MP-ASI) baik tekstur, frekuensi, dan porsi makan harus disesuaikan dengan tahap perkembangan dan pertumbuhan bayi dan anak usia 6-24 bulan. Kebutuhan energi dari makanan adalah sekitar 200 kkal per hari untuk bayi usia 6-8 bulan, 300 kkal per hari untuk bayi usia 9- 11 bulan, dan 550 kkal per hari untuk anak usia 12-23 bulan (Depkes RI, 2000). MP-ASI pertama sebaiknya adalah golongan beras dan serealia, karena berdaya alergi rendah. Secara berangsur-angsur, diperkenalkan sayuran yang dikukus dan dihaluskan, buah yang dihaluskan, kecuali pisang dan alpukat matang dan yang harus diingat adalah jangan berikan buah atau sayuran mentah. Setelah bayi dapat menerima beras atau sereal, sayur dan buah dengan baik, berikan sumber protein (tahu, tempe, daging ayam, hati ayam dan daging sapi) yang dikukus dan dihaluskan. Setelah bubur dibuat lebih kental (kurangi campuran air), kemudian menjadi lebih kasar (disaring kemudian dicincang halus), lalu menjadi kasar (cincang kasar), dan akhirnya bayi siap menerima 31 makanan pada yang dikonsumsi keluarga. Menyapih anak harus bertahap, dilakukan tidak secara tiba-tiba. Kurangi frekuensi pemberian ASI sedikit demi sedikit (Depkes RI, 2000). 2.2.4 Manfaat pemberian MP-ASI sesuai dengan tahapan umur Setelah usia 6 bulan, ASI hanya memenuhi sekitar 60-70% kebutuhan gizi bayi. Sehingga bayi mulai membutuhkan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian makanan padat pertama kali harus memperhatikan kesiapan bayi, antara lain keterampilan motorik, keterampilan mengecap, dan mengunyah serta penerimaan terhadap rasa dan bau. Untuk itu, pemberian makanan pada pertama perlu dilakukan secara bertahap. Misalnya untuk melatih indera pengecapnya, berikan bubur susu satu rasa dahulu, baru kemudian dicoba multirasa (Depkes, 2000). 2.2.5 Faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI dini Menurut Gibney tahun 2009 dalam buku “Gizi Kesehatan Masyarakat” mengatakan bahwa banyak kepercayaan dan sikap yang tidak mendasar terhadap makna pemberian ASI yang membuat para ibu tidak melakukan pemberian ASI secara eksklusif kepada bayi mereka dalam periode 6 bulan pertama. Alasan umum mengapa mereka memberikan MP-ASI secara dini meliputi : 1) Rasa takut bahwa ASI yang mereka hasilkan tidak cukup dan atau kualitasnya buruk. Hal ini dikaitkan dengan pemberian ASI pertama (kolostrum) yang terlihat encer dan menyerupai air. 32 Ibu harus memahami bahwa perubahan pada komposisi ASI akan terjadi ketika bayinya mulai menghisap puting mereka. 2) Keterlambatan memulai pemberian ASI dan praktek membuang kolostrum. Banyak masyarakat di negara berkembang percaya bahwa kolostrum yang berwarna kekuningan merupakan zat beracun yang harus dibuang. 3) Teknik pemberian ASI yang salah. Jika bayi tidak digendong dan dipeluk dengan posisi tepat, kemungkinan ibu akan mengalami nyeri, lecet pada puting susu, pembengkakkan payudara dan mastitis (infeksi) karena bayi tidak mampu meminum ASI secara efektif. Hal ini akan berakibat ibu menghentikan pemberian ASI. 4) Kebiasaan yang keliru bahwa bayi memerlukan cairan tambahan. Pemberian cairan seperti air teh dan air putih dapat meningkatkan risiko diare pada bayi. Bayi akan mendapat ASI yang lebih rendah dan frekuensi menyusu yang lebih singkat karena adanya tambahan cairan lain. 5) Dukungan yang kurang dari pelayanan kesehatan. Dirancangnya rumah sakit sayang bayi akan meningkatkan inisiasi dini ASI terhadap bayi. Sebaliknya tidak adanya fasilitas rumah sakit dengan rawat gabung dan disediakannya dapur susu formula akan meningkatkan praktek pemberian MP-ASI predominan kepada bayi yang lahir di rumah sakit. 33 6) Pemasaran formula pengganti ASI. Hal ini telah menimbulkan anggapan bahwa formula PASI (pengganti air susu ibu) lebih unggul daripada ASI sehingga ibu akan lebih tertarik dengan iklan PASI dan memberikan MP-ASI secara dini. 2.2.6 Implikasi pemberian MP-ASI dini terhadap growth faltering Pemberian MP-ASI dini terbukti berpengaruh pada gangguan pertambahan berat badan bayi walaupun setelah dikontrol oleh faktor lainnya. Gangguan pertambahan bayi akibat pengaruh pemberian MP-ASI dini terjadi sejak bayi berumur dua bulan dan berlanjut pada interval umur berikutnya (WHO, 2003). Beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena pemberian MP-ASI yang tidak tepat. Keadaan ini memerlukan penanganan tidak hanya dengan penyediaan pangan, tetapi dengan pendekatan yang lebih komunikatif sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat. Selain itu, umur pertama kali pemberian ASI sangat penting dalam menentukan status gizi bayi. Makanan prelakteal maupun MP-ASI dini mengakibatkan kesehatan bayi menjadi rapuh. Secara nyata, hal ini terbukti dengan terjadinya gagal tumbuh (growth faltering) yang terus kontinu terjadi sejak umur 3 bulan sampai anak mencapai umur 18 bulan (Ansori, 2002). Makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini dan makanan prelakteal akan berisiko diare dan infeksi (ISPA) pada bayi. Dengan terjadinya infeksi, tubuh akan mengalami demam sehingga kebutuhan 34 zat gizi dan energi semakin meningkat sedangkan asupan makanan akan menurun yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh. Dengan pemberian MP-ASI dini maka konsumsi energi dan zat gizi dari ASI akan menurun yang berdampak pada kegagalan pertumbuhan bayi dan anak (Pudjiadi, 2000). 2.2.7 Masalah-masalah dalam pemberian MP-ASI Masalah dalam pemberian MP-ASI pada bayi/anak umur 0-24 bulan menurut Depkes (2000) adalah sebagai berikut : a. Pemberian makanan prelakteal (makanan sebelum ASI keluar) Makanan prelakteal adalah jenis makanan seperti air kelapa, air tajin, air teh, madu, pisang, susu formula yang diberikan pada bayi yang baru lahir sebelum ASI keluar. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan bayi, dan mengganggu keberhasilan menyusui. b. Kolostrum dibuang Kolostrum adalah ASI yang keluar pada hari-hari pertama, kental dan berwarna kekuning-kuningan. Masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan kolostrum kepada bayinya. Kolostrum mengandung zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari penyakit dan mengandung zat gizi tinggi. Oleh karena itu kolostrum jangan dibuang. c. Pemberian MP-ASI terlalu dini atau terlambat Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (sebelum bayi berumur 6 bulan) menurunkan konsumsi ASI dan meningkatkan terjadinya gangguan percernaan/diare. Kalau pemberian MP-ASI terlambat, 35 bayi sudah lewat usia 6 bulan, dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. d. MP-ASI yang diberikan tidak cukup Pemberian MP-ASI pada periode umur 6-24 bulan sering tidak tepat dan tidak cukup baik kualitasnya maupun kuantitasnya. Adanya kepercayaan bahwa anak tidak boleh makan ikan dan kebiasaan tidak menggunakan santan atau minyak pada makanan anak, dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi terutama energi dan protein serta beberapa vitamin penting yang larut dalam lemak. e. Pemberian MP-ASI sebelum ASI Pada usia 6 bulan, pemberian ASI yang dilakukan sesudah MP-ASI dapat menyebabkan ASI kurang dikonsumsi. Pada periode ini zat-zat yang diperlukan bayi terutama diperoleh dari ASI. Dengan memberikan MP-ASI terlebih dahulu berarti kemampuan bayi untuk mengkonsumsi ASI berkurang, yang berakibat menurunnya produksi ASI. Hal ini dapat berakibat anak menderita kurang gizi. seharusnya ASI diberikan dahulu baru MP-ASI. f. Frekuensi Pemberian MP-ASI kurang Frekuensi pemberian MP-ASI dalam sehari kurang akan berakibat kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi. g. Pemberian ASI terhenti karena ibu kembali bekerja Di daerah kota dan semi perkotaan, ada kecenderungan rendahnya frekuensi menyusui dan ASI dihentikan terlalu dini pada ibu-ibu 36 yang bekerja karena kurangnya pemahaman tentang manajemen laktasi pada ibu bekerja. Hal ini menyebabkan konsumsi zat gizi rendah apalagi pemberian MP-ASI pada anak kurang diperhatikan. h. Kebersihan kurang Pada umumnya ibu kurang menjaga kebersihan terutama pada saat menyediakan dan memberikan makanan pada anak. Masih banyak ibu yang menyuapi anak dengan tangan, menyimpan makanan matang tanpa tutup makanan/tudung saji dan kurang mengamati perilaku kebersihan dari pengasuh anaknya. Hal ini memungkinkan timbulnya penyakit infeksi seperti diare (mencret) dan lain-lain. i. Prioritas gizi yang salah pada keluarga Banyak keluarga yang memprioritaskan makanan untuk anggota keluarga yang lebih besar, seperti ayah atau kakak tertua dibandingkan untuk anak baduta dan bila makan bersama-sama anak baduta selalu kalah. 2.3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif 2.3.1 Menurut masalah dalam menyusui a. Kurang informasi Karena kurang informasi, banyak ibu menganggap susu formula sama baiknya, bahkan lebih baik dari ASI. Hal ini menyebabkan ibu lebih cepat memberikan susu formula jika merasa ASI-nya kurang atau terbentur kendala menyusui. Masih banyak pula petugas kesehatan tidak memberikan informasi pada 37 ibu saat pemeriksaan kehamilan atau sesudah bersalin (Priyono, 2010). Untuk dapat melaksanakan program ASI eksklusif, ibu dan keluarganya perlu mengetahui informasi tentang keuntungan pemberian ASI, kerugian pemberian susu formula, pentingnya rawat gabung, cara menyusui yang baik dan benar, dan siapa harus dihubungi jika terdapat keluhan atau masalah seputar menyusui (Priyono, 2010). b. Puting susu yang pendek/terbenam Bentuk puting susu ada yang panjang, pendek, dan datar atau terbenam. Dengan kehamilan, biasanya puting menjadi lentur. Namun, memang kerap terjadi sampai sesudah bersalin, puting belum juga menonjol keluar. Banyak ibu langsung menganggap hilang peluangnya untuk menyusui. Padahal puting hanya kumpulan muara saluran ASI dan tidak mengandung ASI. (Priyono, 2010). ASI disimpan di sinus laktiferus yang terletak di daerah aerola mamae. Jadi, untuk mendapatkan ASI, aerola mamae yang perlu dimasukkan ke dalam mulut bayi agar isapan dan gerakan lidah dapat memerah ASI ke luar. Untuk menarik puting keluar atau menonjol, gunakan nipple puller atau breast-shield. Namun, jika cara ini kurang menolong, ibu harus dibantu agar dapat memasukkan areolanya sebanyak mungkin ke dalam mulut bayi sehingga bayi memperoleh ASI (Priyono, 2010). 38 c. Payudara bengkak Tiga hari pasca-persalinan payudara sering terasa penuh, tegang, dan nyeri. Kondisi ini terjadi akibat adanya bendungan pada pembuluh darah di payudara sebagai tanda ASI mulai banyak diproduksi. Jika karena sakit ibu malah berhenti menyusui, kondisi ini akan semakin parah, ditandai dengan mengilatnya payudara dan ibu mengalami demam (Priyono, 2010). Untuk menghindari dan mengatasi payudara bengkak, berilah ASI pada bayi segera setelah lahir dan posisi yang benar dan tanpa jadwal. Jika produksi ASI melebihi kebutuhan bayi, keluarkan ASI dengan jalan diperah. Jangan berikan minuman lain pada bayi dan lakukan perawatan payudara pasca persalinan seperti pemijatan. Untuk mengurangi rasa sakit yang tidak tertahankan dan demam akibat pembengkakkan, kompres payudara dengan kompres dingin serta makanlah obat penurun demam (Priyono, 2010). d. Puting susu nyeri/lecet Masalah ini paling banyak dialami. Puting nyeri atau lecet terjadi akibat beberapa faktor. Yang dominan adalah kesalahan posisi menyusui saat bayi hanya mengisap pada puting. Padahal, seharusnya sebagian besar areola masuk ke dalam mulut bayi. Puting lecet juga dapat terjadi jika pada akhir menyusui, bayi tidak benar melepaskan isapan atau jika ibu sering membersihkan puting dengan alkohol atau sabun. Jika ibu melewati waktu menyusui untuk menghindari rasa sakit, dapat menyebabkan tidak terjadinya 39 pengosongan payudara, akibatnya produksi ASI berkurang (Priyono, 2010). Untuk mengatasi puting lecet dan nyeri, perbaikin posisi menyusui. Mulailah menyusui dari payudara yang tidak sakit karena isapan pertama bayi yang lapar biasanya lebih keras. Tetaplah mengeluarkan ASI dari payudara yang putingnya lecet. Untuk mengobati lecet, gunakan cara alami, yaitu dengan mengoleskan sedikit ASI pada puting tersebut dan biarkan kering. Jika rasa sakit tidak tertahankan ibu dapat meminum obat pengurang sakit (Priyono, 2010). e. Saluran ASI tersumbat Kelenjar air susu manusia memiliki 15-20 saluran ASI. Satu atau lebih saluran ini bisa tersumbat karena tekanan jari saat ibu menyusui, posisi bayi, atau BH yang terlalu ketat, sehingga sebagian saluran ASI tidak mengalirkan ASI. Sumbatan juga dapat terjadi karena ASI dalam saluran tersebut tidak segera dikeluarkan karena ada pembengkakkan. Untuk mengatasinya, menyusuilah dengan posisi benar, ubah-ubah posisi menyusui agar semua saluran ASI dikosongkan, dan gunakan BH yang menunjang, tetapi tidak terlalu ketat. Selain itu, sebaiknya ibu lebih sering menyusui dari payudara yang tersumbat, dan pijatlah daerah yang tersumbat ke arah puting agar ASI bisa keluar (Priyono, 2010). 40 f. Radang payudara Jika puting lecet, saluran payudara tersumbat, atau pembengkakkan payudara tidak ditangani dengan baik, bisa berlanjut menjadi radang payudara. Payudara akan terasa bengkak, sangat sakit, kulitnya berwarna merah dan disertai demam. Lakukan perawatan disertai istirahat yang cukup. Segeralah berobat ke dokter untuk meminta antibiotik yang sesuai, juga obat pereda sakit (Priyono, 2010). g. Abses payudara Jika sampai terjadi abses, perawatan yang bisa dilakukan sama dengan jika terjadi radang payudara. Namun, nanah yang terjadi harus dikeluarkan dengan insisi. Selama luka bekas insisi belum sembuh maka bayi hanya dapat menyusui dari payudara sehat (Priyono, 2010). h. ASI kurang Sebagian ibu merasa ASI-nya kurang, mungkin karena setelah beberapa hari payudaranya tidak terasa tegang lagi, sementara bayi sering minta disusukan. Kondisi ini sebenarnya wajar. Payudara memang tidak terasa tegang lagi walaupun produksi ASI tetap banyak (Priyono, 2010). Tentang bayi, mereka sering minta disusukan karena ASI cepat dicerna sehingga perut cepat kosong. Kecukupan ASI dapat dinilai dengan menimbang kenaikan berat badan bayi secara teratur. Jika kenaikan sesuai dengan pertumbuhan normal, berarti 41 bayi cukup ASI. Cukup-tidaknya ASI dapat diperkirakan dari beberapa kali bayi buang air kecil. Bagi bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, enam kali buang air kecil dalam sehari adalah pertanda ia cukup ASI (Priyono, 2010). Hal-hal yang dapat mengurangi produksi ASI adalah tidak melakukan inisiasi menyusu dini, menjadwal pemberian ASI, memberikan minuman prelakteal (bayi diberi minum sebelum ASI keluar), apalagi memberikannya dengan botol/dot, kesalahan pada posisi dan perlekatan bayi pada saat menyusu, tidak mengosongkan salah satu payudara saat menyusui (Priyono, 2010). Ibu sebaiknya tidak menjadwalkan pemberian ASI. Menyusui paling baik dilakukan sesuai permintaan bayi (on demand) termasuk pada malam hari, minimal 8 kali per hari. Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh seringnya bayi menyusu. Makin jarang bayi disusui biasanya produksi ASI akan berkurang. Produksi ASI juga dapat berkurang bila bayi menyusu terlalu sebentar. Pada minggu pertama kelahiran seringkali bayi mudah tertidur saat menyusu. Ibu sebaiknya merangsang bayi supaya tetap menyusu dengan cara menyentuh telinga/telapak kaki bayi agar bayi tetap mengisap (Priyono, 2010). Penggunaan kempeng akan membuat perlekatan mulut bayi pada payudara ibu tidak tepat dan sering menimbulkan masalah “bingung puting”. Pemberian makanan pendamping pada bayi sebelum waktunya juga sering berakibat berkurangnya produksi 42 ASI. Bayi menjadi cepat kenyang dan lebih jarang menyusu. Posisi dan perlekatan mulut bayi saat menyusu juga mempengaruhi pengeluaran ASI (Priyono, 2010). i. Menyusui setelah bedah caesar Jika ibu dan bayi dalam keadaan baik, sebenarnya ibu dapat segera menyusui bayi di ruang pemulihan setelah pembedahan selesai. Namun, jika ibu merasa bingung akibat pengaruh pembiusan atau bayi harus masuk kamar perawatan mungkin harus menunggu dulu. Jika setelah 12 jam belum juga bisa menyusui, mungkin perlu menanyakan penggunaan pompa untuk memerah ASI dan menyimpannya untuk diberikan kepada bayi menggunakan sendok. Banyak ibu yang menjalani bedah caesar merasa sulit menyusui (Priyono, 2010). Hal ini wajar tetapi jangan menyerah. Mungkin akan lebih mudah jika menyusui dengan menghindari tekanan pada bekas sayatan. Caranya, meletakkan bantal di pangkuan ibu sebagai alas bayi menyusui dan menyusui sambil berbaring miring, atau menggunakan bahan pendukung perut lain seperti yang digunakan untuk berolahraga ditambah bantal selama menyusui (Priyono, 2010). j. Ibu dengan penyakit Alasan ibu sakit, penyusuan dihentikan. Padahal, dalam banyak hal ini tidak perlu, karena lebih berbahaya bagi bayi jika mulai diberi susu formula daripada terus menyusui (Priyono, 2010). 43 k. Ibu hamil Ketika masih menyusui, kadang ibu sudah hamil kembali. Jika ada masalah dengan kandungannya. Ibu masih dapat menyusui. Namun, ia harus makan lebih banyak lagi. Selain itu, mungkin ibu akan mengalami puting lecet, keletihan, ASI berkurang, rasa ASI berubah, dan kontraksi rahim (Priyono, 2010). 2.3.2 Karakteristik Ibu a. Usia Ibu Usia dapat mempengaruhi cara berfikir, bertindak, dan emosi seseorang. Usia yang lebih dewasa umumnya memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan usia yang lebih muda. Usia ibu akan mempengaruhi kesiapan emosi ibu. Usia ibu yang terlalu muda ketika hamil bisa menyebabkan kondisi fisiologis dan psikologisnya belum siap menjadi ibu. Hal ini dapat mempengaruhi kehamilan dan pengasuhan anak (Hurlock 1995). Dari segi produksi ASI ibu-ibu yang berusia 19-23 tahun lebih baik dalam menghasilkan ASI dibanding dengan ibu yang berusia lebih tua. Primipara yang berusia 35 tahun cenderung tidak menghasilkan ASI yang cukup (Pudjiadi, 2000). Idealnya umur 20-30 tahun merupakan rentang usia yang aman untuk bereproduksi dan pada umumnya ibu pada usia tersebut memiliki kemampuan laktasi yang lebih baik daripada yang berumur lebih dari 30 tahun (Roesli, 2004). 44 Berbeda halnya dengan hasil penelitian Fikawati dan Syafiq (2009) yang menyatakan bahwa umumnya informan ASI eksklusif 6 bulan lebih tua daripada informan yang tidak ASI eksklusif dengan perbedaan rata-rata umur 4 tahun. Rata-rata informan ASI eksklusif berusia 30 tahun dan rata-rata informan ASI tidak eksklusif berusia 26 tahun. b. Tingkat pendidikan Ibu Pendidikan merupakan proses pembentukan pribadi seseorang melalui proses belajar yang dilakukan baik secara formal maupun nonformal. Melalui pendidikan seseorang akan memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pendidikan merupakan sarana belajar yang selanjutnya diperkirakan akan menanamkan pengertian dan sikap yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Di era modern ini pendidikan bagi wanita terus meningkat sehingga banyak wanita yang bekerja di luar rumah. Dengan semakin banyaknya wanita yang bekerja khususnya pada wanita yang memiliki bayi menyebabkan terganggunya rutinitas menyusui (Mulyaningsih, 2010). Pendidikan orang tua juga merupakan salah satu faktor yang berperan dalam tumbuh kembang anak. Dengan pendidikan yang lebih baik, orang tua lebih dapat menerima segala informasi terutama yang berkaitan dengan cara pengasuhan anak dan menjaga kesehatan anaknya (Soetjiningsih, 1995). Menurut Khomsan (2002) ibu yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan lebih semangat 45 untuk mencari dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan dalam pengasuhan bayinya. Pendidikan pada satu sisi mempunyai dampak positif yaitu ibu semakin mengerti akan pentingnya pemeliharaan kesehatan termasuk pemberian ASI eksklusif, tetapi di sisi lain, pendidikan yang semakin tinggi juga akan berdampak adanya perubahan nilainilai sosial seperti adanya anggapan bahwa menyusui bayi dianggap tidak modern dan dapat menpengaruhi bentuk payudara ibu (Roesli, 2001). Sedangkan menurut Suhardjo (1992), semakin tinggi pendidikan dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan bayi menderita kurang gizi tertentu karena konsentrasinya dalam ASI menurun jumlahnya sehingga ibu cenderung memberikan makanan tambahan. c. Pekerjaan Ibu Bekerja selalu dijadikan alasan tidak memberikan ASI eksklusif pada bayi karena ibu meninggalkan rumah sehingga waktu pemberian ASI pun berkurang. Akan tetapi seharusnya seorang ibu yang bekerja tetap dapat memberi ASI eksklusif kepada bayinya dengan pengetahuan yang benar tentang menyusui, perlengkapan memerah ASI, dan dukungan lingkungan kerja (Soetjiningsih,1997). Menurut Depkes RI (2002), idealnya memang setiap tempat kerja yang memperkerjakan perempuan hendaknya memiliki tempat penitipan anak/bayi, serta disediakan waktu untuk menyusui 46 sewaktu-waktu selama bayi umur 0-6 bulan. Namun hal ini terkadang tidak mungkin dilakukan oleh ibu itu sendiri karena tempat kerja yang jauh. Khomsan (2004) menyatakan bahwa konsep tentang ASI eksklusif sekarang ini terasa sulit untuk dilaksanakan oleh ibu-ibu bekerja. Kesibukan akibat bekerja di luar rumah merupakan penghambat utama seorang ibu untuk menyusui anaknya lebih baik. Menurut Roesli (2001), ibu yang bekerja masih dapat memberikan ASI eksklusif dengan cara memerah ASI sebelum berangkat ke tempat kerja, dengan demikian bukanlah suatu alasan bagi ibu untuk tidak menyusui ASI secara eksklusif. Kualitas dan kuantitas ASI tidak berpengaruh dengan kondisi ibu bekerja. Pada ibu telah diajarkan cara mempertahankan produksi ASI dengan cara memompa ASI pada saat berada di tempat kerja dengan menyusui bayi lebih sering pada malam hari, ternyata jumlah ibu yang ASI nya masih cukup sampai bayi umur 6 bulan lebih sedikit jika dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, kondisi ini diduga akibat beban fisik ibu karena pekerjaan sehingga tidak dapat mempertahankan produksi ASI (Suradi, 1992 dalam Mulyaningsih, 2010). d. Pengetahuan Ibu Pengetahuan dalam objek tertentu seperti pengetahuan tentang ASI, menurut Depkes RI (2004), ada beberapa hal yang harus diketahui oleh ibu untuk meningkatkan cakupan ASI, yaitu: 47 Pengertian ASI eksklusif dan kolostrum. Manfaat kolostrum bagi kesehatan bayi, manfaat pemberian ASI, dan manfaat menyusui. Waktu, yaitu kapan ibu mulai menyusui bayinya, berapa lama, dan sampai umur berapa. Cara menyusui yang baik dan benar, menghentikan bayi menyusui, menyendawakan bayi setelah disusui, meningkatkan produksi ASI, menyimpan ASI dan cara menyapih yang baik. Cara mengatasi permasalahan menyusui, antara lain: puting susu datar dan terpendam, lecet dan nyeri, payudara bengkak, saluran ASI tersumbat, radang payudara, payudara abses, produksi ASI kurang dan bingung puting. Pengetahuan, hambatan utama tercapainya ASI eksklusif yang benar adalah karena kurang sampainya pengetahuan yang benar tentang ASI eksklusif pada para ibu (Roesli, 2000). Menurut hasil penelitian Afifah (2007) sebagian (50%) subjek tidak mengetahui ASI eksklusif. Mereka umumnya pernah mendengar tapi tidak mengerti maksudnya. Ada juga yang pernah membaca buku KIA tetapi lupa. Pengetahuan ibu yang kurang tentang ASI eksklusif inilah yang terutama menyebabkan gagalnya pemberian ASI eksklusif. Selama mereka tidak tahu maka merekapun tidak akan pernah melaksanakannya. Pengetahuan yang dimiliki subjek tentang ASI eksklusif sebatas pada tingkat ”tahu bahwa” sehingga tidak begitu mendalam dan tidak memiliki 48 keterampilan untuk mempraktekkannya. Jika pengetahuan subjek lebih luas dan mempunyai pengalaman tentang ASI eksklusif baik yang dialami sendiri maupun dilihat dari teman, tetangga atau keluarga, maka subjek akan lebih terinspirasi untuk mempraktekkannya. Hasil penelitian Simandjuntak tahun 2001, Pengetahuan responden tentang dampak pemberian MP-ASI dini pada bayi masih rendah. Hanya sekitar 18% responden yang berpengetahuan baik dan sekitar 82% pengetahuannya kurang baik. Ini berarti bahwa ibu dengan pengetahuan tentang dampak pemberian MP-ASI dini pada bayi termasuk kategori baik, berpeluang 3,696 kali untuk tidak memberikan MP-ASI dini pada bayinya dibanding ibu dengan pengetahuan kurang baik. Ini membuktikan pendapat Notoatmodjo (1993) bahwa pengetahuan (dalam hal ini tentang dampak pemberian MP-ASI dini pada bayi) merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (dalam hal ini memberikan atau tidak memberikan MP-ASI dini pada bayi). Menurut penelitian Padang (2007) pengetahuan tidak berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI, hal ini disebabkan karena perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pemberian makanan kepada anak dibawah 6 bulan yang sudah mengakar secara turuntemurun. 49 e. Sikap Ibu Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2007). Menurut hasil penelitian Saleh (2011) subjek umumnya memiliki kemauan untuk memberikan ASI terhadap bayinya. Namun para subjek mudah menghentikan pemberian ASI ketika menemui tantangan. Pengetahuan tentang ASI eksklusif serta motivasi pemberian ASI eksklusif yang kurang, mempengaruhi sikap ibu yang diakibatkan oleh masih melekatnya pengetahuan budaya lokal tentang pemberian makan pada bayi. Perilaku menyusui yang kurang mendukung diantaranya membuang kolostrum karena dianggap tidak bersih dan kotor, pemberian makanan/minuman sebelum ASI keluar (prelakteal), serta kurangnya rasa percaya diri subjek bahwa ASI tidak cukup untuk bayinya. Sikap gizi ibu, khususnya tentang ASI eksklusif, di perdesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan. Hal ini terlihat dari persentase ibu yang memiliki sikap dengan kategori sedang mendominasi di perdesaan, sedangkan di perkotaan sebagian besar ibu memiliki sikap dengan kategori tinggi, baik di perdesaan maupun perkotaan, sebagian besar ibu setuju bahwa kolostrum baik 50 untuk kesehatan bayi. Persentase lebih besar ditemukan pada ibu di perkotaan yang mencapai 93.5%, sedangkan di perdesaan hanya mencapai 77.4%. Sebagian besar (71%) ibu di perdesaan masih setuju bahwa makanan prelakteal seperti madu dan air putih penting untuk diberikan pada bayi yang baru lahir (Rachmadewi, 2009). Status kesehatan di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sikap seseorang suatu penyakit. Sikap dapat digunakan untuk memprediksikan tingkah laku apa yang mungkin terjadi. Dengan demikian sikap dapat diartikan sebagai suatu predisposisi tingkah laku yang akan tampak aktual apabila kesempatan untuk mengatakan terbuka luas (Azwar, 2005 dalam Anggraeni, 2012). Penelitian Fikawati dan Syafiq (2009) menyatakan bahwa hampir seluruh ibu bersikap setuju terhadap pemberian ASI eksklusif 6 bulan. Bahkan informan yang tidak ASI eksklusif juga setuju terhadap pemberian ASI eksklusif. Berbeda dengan penelitian Candriasih (2010) dalam Anggraeni (2012) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap dengan pemberian ASI eksklusif. Penelitian ini menemukan ibu yang mempunyai sikap baik pada pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan lebih banyak dibanding dengan yang tidak baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan pemberian ASI 51 eksklusif. Hal ini disebabkan karena masih ada ibu dan keluarganya yang percaya bahwa pemberian makanan tambahan selain ASI dapat diberikan sedini mungkin sehingga bayi cepat besar tanpa mengetahui efek dari pemberian makanan selain ASI pada bayi usia di bawah 6 bulan. 2.3.3 Hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik ibu a. Kepercayaan Aspek keyakinan atau kepercayaan dalam kehidupan manusia mengarahkan budaya hidup, perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber daya di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan pola hidup yang disebut kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku (Ludin, 2008 dalam Anggraeni, 2012) Membantu ibu agar bisa menyusui bayinya dengan benar memerlukan pemahaman tentang perilaku ibu, keluarga, dan lingkungan sosial budayanya dalam hal menyusui. Perlu diketahui bagaimana pendapat tetua adat dan masyarakat sekitarnya tentang ASI dan menyusui. Apakah mereka mendukung ASI eksklusif, tidak peduli, atau justru menghalangi pemberian ASI (Afifah, 2007) Kepercayaan dari orang tua serta lingkungannya bahwa ASI yang pertama keluar hendaknya dibuang setelah bersih lalu menyusui bayi, mereka beranggapan bahwa kolostrum adalah basi dan tidak baik untuk bayi, para orang tua ada yang memberikan 52 madu sebelum usia bayi 6 bulan mereka beranggapan bahwa anak yang yang diberi madu akan baik bagi kesehatannya (Pawenrusi, 2011 dalam Anggraeni, 2012). Kepercayaan sangat dipengaruhi oleh tradisi dalam lingkungan maupun keluarga. Pemberian madu menurut penelitian Wulandari (2011) dalam Anggraeni (2012) terhadap makanan prelakteal menjelaskan bahwa pemberian madu merupakan kebiasaan yang dilakukan kepada bayi baru lahir sejak dulu dan dilakukan secara turun temurun oleh keluarga. Alasan pemilihan madu sebagai makanan prelakteal berdasarkan kepercayaan tertentu, diantaranya dapat mengobati demam, panas, dan dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga bayi tidak mudah terkena influenza jika memakan makanan yang manis karena sejak kecil sudah terbiasa memakan yang manis seperti madu, selain itu pemberian madu dapat memerahkan bibir bayi jika pemberiannya dioleskan pada bibir bayi. Pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu dan didiamkan selama satu malam) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yang sudah 53 dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar (Maas, 2004 dalam Afifah 2007). b. Paritas Menurut Soetjiningsih (1997), kenaikan jumlah paritas menyebabkan ada sedikit perubahan produksi ASI yaitu pada anak pertama: jumlah ASI ± 580 ml/24 jam, anak kedua: jumlah ASI ± 654 ml/24 jam, anak ketiga: jumlah ASI ± 602 ml/24 jam, kemudian anak kelima: jumlah ASI ± 506 ml/24 jam. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah paritas, maka produksi ASI semakin menurun. Gatti (2008) dalam penelitiannya mengenai persepsi ibu tentang kekurangan/ketidakcukupan suplai ASI menyebutkan bahwa paritas dan pengalaman menyusui berpengaruh secara signifikan terhadap kesuksesan menyusui, dimana wanita yang baru pertama kali menyusui biasanya selalu berfikir akan resiko dan masalah menyusui atau penghentian menyusui di awal dibandingkan dengan wanita yang sudah pernah menyusui sebelumnya. Handayani (2009) dalam Anggraeni (2012) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pemberian ASI meliputi karakteristik ibu yaitu pengalaman ibu menyusui. Perbedaan jumlah anak akan berpengaruh terhadap pengalaman ibu dalam hal menyusui. Seorang ibu yang telah sukses menyusui pada lahir sebelumnya akan lebih mudah serta yakin akan dapat menyusui pada lahir 54 berikutnya. Seorang ibu muda dengan anak pertama akan merasa sulit untuk dapat menyusui (Solihah, 2010 dalam Anggraeni, 2012). Hasil penelitian Arasta (2010) menunjukkan sebagian besar ibu yang gagal memberikan ASI selama dua bulan yaitu ibu yang melahirkan anak ≥ 3 (multipara). Paritas diperkirakan ada kaitannya dengan arah pencarian informasi tentang pengetahuan ibu nifas/menyusui dalam memberikan ASI ekslusif. Penelitian Fikawati dan Syafiq (2009) menyatakan bahwa informan ASI eksklusif mempunyai paritas rata-rata lebih tinggi (3 anak) daripada informan ASI tidak eksklusif (2 anak). Perbedaan jumlah anak akan mempengaruhi terhadap pengalaman ibu dalam hal menyusui. c. Dukungan Keluarga Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan ibu menyusui bayinya secara eksklusif. Keluarga (suami, orang tua, mertua, ipar, dan sebagainya) perlu diinformasikan bahwa seorang ibu perlu dukungan dan bantuan keluarga agar ibu berhasil menyusui secara eksklusif, misalnya untuk menggantikan sementara tugas rumah tangga ibu seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah (Afifah, 2007). 55 Dorongan keluarga untuk melakukan ASI eksklusif umumnya adalah suami dan orang tua. Suami dan orang tua adalah orang terdekat yang dapat mempengaruhi seorang ibu untuk tetap menyusui secara eksklusif atau malah memberikan makanan/ minuman tambahan kepada bayi. Bentuk dukungan suami berupa nasihat untuk memberikan hanya ASI eksklusif saja kepada bayinya, membantu ibu bila lelah, dan membantu melakukan pekerjaan rumah. Sedangkan dukungan orang tua lebih terlihat untuk mempengaruhi ibu memberikan makanan atau minuman tambahan sebelum bayi mereka berusia 6 bulan (Fikawati dan Syafiq, 2009). Hasil penelitian kualitatif Fikawati dan Syafiq (2009) menyatakan bahwa sebagian besar ibu yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya mendapatkan dukungan dari suaminya. Sedangkan pada orang tua perannya kurang terlihat. Namun, pada ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif sangat terlihat bagaimana peran orang tua untuk mempengaruhi pemberian makanan tambahan. Sedangkan peran suami ada yang mendapat dukungan, tapi sebagian lainnya menyerahkan keputusan menyusui kepada ibu, artinya suami tidak memberikan dorongan kepada ibu untuk menyusui. d. Dukungan Tenaga Kesehatan Menurut sejumlah ahli ternyata ada pengaruh yang kurang baik terhadap pemberian ASI pada ibu-ibu yang melahirkan 56 di rumah sakit atau klinik bersalin. Petugas kesehatan yang bekerja di RS atau klinik bersalin lebih menitikberatkan upaya mereka agar persalinan dapat berlangsung baik, ibu, dan anak berada dalam keadaan selamat dan sehat. Masalah pemberian ASI kurang mendapat perhatian. Bahkan tidak jarang makanan pertama yang diberikan kepada bayi justru susu buatan atau susu sapi. Hal ini memberikan kesan yang tidak mendidik pada ibu, dan ibu akan selalu beranggapan bahwa susu sapi lebih baik dari ASI. Pengaruh itu akan menjadi semakin buruk apabila di sekeliling kamar bersalin atau ruang pemeriksaan dipasang gambar-gambar atau poster yang memuji penggunaaan susu buatan. Selain itu, ternyata belum semua petugas paramedis diberi pesan dan cukup informasi agar menganjurkan setiap ibu untuk menyusui bayi mereka. Praktek yang keliru dengan memberikan susu botol kepada bayi yang baru lahir di klinik bersalin atau rumah sakit masih sering dijumpai (Moehji, 1988). Pada umumnya para ibu mau patuh dan menuruti nasehat petugas kesehatan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan informasi tentang kapan waktu yang tepat memberikan ASI eksklusif, manfaat ASI eksklusif dapat meningkatkan daya tahan tubuh, dan resiko tidak memberikan ASI eksklusif pada bayi kecil (Roesli, 2005). 57 Hasil penelitian Saleh (2011) terdapat subjek 1 yang memberikan kolostrum kepada bayinya segera setelah lahir atas anjuran tenaga kesehatan (bidan) yang membantu persalinan di rumah, subjek 2 mendengar informasi kesehatan khususnya mengenai praktik ASI eksklusif dari tenaga kesehatan dan subjek 3 yang gagal dalam praktik ASI eksklusif karena pengaruh dari tenaga kesehatan (bidan). Tenaga kesehatan (bidan) langsung memberikan anjuran yang salah untuk memberikan susu formula terlebih dahulu. Hal ini akan memberi pengaruh negatif terhadap keyakinan subjek bahwa pemberian susu formula merupakan cara yang paling efektif untuk menghentikan tangis bayi. Dapat disimpulkan tenaga kesehatan sangat dominan memberikan pengaruh negatif terhadap subjek dalam pemberian prelakteal dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak dini. Hasil penelitian Simandjuntak tahun 2001, bidan sangat berperan dalam pemberian MP-ASI dini pada bayi. Sebanyak 88,4% responden mengatakan bahwa yang memberikan makanan pada awal kelahiran pada bayinya adalah bidan dan sekitar 30% ibu dari bayi yang diberi makanan pada awal kelahiran mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan ASI mereka, tetapi bidan sudah memberikan makanan pada bayinya tanpa ibu ketahui. Sebanyak 95% dari responden yang menerima contoh susu formula bayi dan umur cereal gratis mengatakan bahwa mereka menerimanya dari bidan. 58 e. Pengaruh Iklan Sumber informasi diduga berpengaruh dalam pemberian susu formula. Media massa khususnya televisi dan radio memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pemberian susu formula karena dalam iklan pada media tersebut produsen berusaha menampilkan atau menyatakan beberapa kelebihan produk mereka yang sangat penting bagi pertumbuhan bayi, sehingga seringkali ibu-ibu beranggapan bahwa susu formula lebih baik dari ASI. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Soelistyowati (1996) dalam Fitrisia (2002) bahwa banyak ibu yang menggantikan ASI dengan susu formula karena terpengaruh oleh iklan yang dilancarkan lewat pers, televisi dan radio. Sumber informasi tentang susu formula paling banyak diketahui melalui media televisi dan radio (42,5%), sedangkan dari tabel silang diketahui bahwa contoh yang mendapatkan informasi tentang susu formula dari bidan/dokter (40%) cenderung lebih mengikuti anjuran untuk memberikan susu formula, hal ini mungkin disebabkan karena tingkat kepercayaan contoh terhadap petugas kesehatan tinggi. Hasil penelitian Simandjuntak tahun 2001, tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara iklan dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi. Ketidak bermaknaan ini disebabkan pemberian MP-ASI dini yang sangat tinggi sehingga data menjadi homogen, penelitian menunjukkan bahwa 43% responden sudah menerima 59 contoh makanan bayi selama dirawat di tempat bersalin atau ketika hendak pulang. Sebanyak 98,75% diantaranya menerima susu formula bayi dan 1,25% ada menerima bubur cereal. Dan yang memberikan makanan bayi gratis ini 95% adalah bidan, 2,5% dokter bahkan ada yang menerimnya langsung dari petugas perusahaan dan prakarya puskesmas. 2.3.4 Penelitian terkait faktor-faktor pemberian ASI eksklusif Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menggali faktorfaktor yang mempengaruhi praktek pemberian ASI eksklusif. Pada Tabel 2.1 terlihat beberapa penelitian tentang ASI yang telah dilakukan sebelumnya. Tabel 2.1 Beberapa Penelitian tentang ASI Eksklusif No Nama Judul Hasil Peneliti 1 Sandra Fikawati, Ahmad Syafiq 2009 Penyebab keberhasilan dan kegagalan praktik pemberian ASI eksklusif Faktor predisposisi kegagalan ASI eksklusif adalah karena faktor predisposisi yaitu pengetahuan dan pengalaman ibu yang kurang dan faktor pemungkin penting yang menyebabkan terjadinya kegagalan adalah karena ibu tidak difasilitasi melakukan IMD 2 Diana Nur Afifah 2007 Faktor yang berperan dalam kegagalan praktik pemberian ASI eksklusif (studi kualitatif di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang Tahun 2007) Tesis Gagalnya pemberian ASI eksklusif adalah kurangnya pengetahuan subjek tentang ASI eksklusif, fasilitas rawat gabung tidak berjalan semestinya,serta adanya keyakinan, praktik yang keliru tentang makanan bayi, promosi susu formula, masalah kesehatan ibu dan bayi. 60 Dahlia Faktor-faktor yang Simandjuntak berhubungan dengan 2001 pemberian makanan pendamping ASI dini pada bayi di Kecamatan Pasar Rebo, Kotamadya Jakarta Timur tahun 2001 Asdan Analisa Padang faktor-faktor yang 2007 mempengaruhi ibu dalam pemberian MPASI dini di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2007 Pengetahuan ibu tentang dampak pemberian makanan pendamping ASI dini pada bayi masih sangat rendah dan peran petugas kesehatan terutama bidan cukup besar dalam pemberian makanan pendamping ASI dini pada bayi 5 Annisa Anggraeni 2012 Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif adalah umur, paritas, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kepercayaan, tenaga yang melayani IMD, dukungan keluarga dan tenaga, kader kesehatan. 6 La Ode Amal Saleh 2011 7 Dessy Wahyu Faktor-faktor yang Fitrisia Mempengaruhi ibu 2002 dalam pemberian susu formula pada bayi umur 0-12 bulan tahun 2002 3 4 Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang melahirkan di rumah bersalin Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2012 Faktor-faktor yang menghambat praktik ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan tahun 2011 (studi kualitatif di Desa Tridana Mulya, Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara) Variabel predisposisi yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap pemberian MP-ASI adalah sikap, variabel pendukung adalah keterpaparan media, variabel pendorong adalah dukungan keluarga dan kebiasaan memberi MP-ASI di masyarakat Praktik ASI eksklusif pada bayi terhambat dimana selain subjek memberikan ASI sekaligus memberikan prelakteal dan MP-ASI sejak dini. Tingkat pendidikan yang tinggi namun tidak disertai dengan pengetahuan tentang praktik ASI eksklusif, status ibu bekerja, tingkat pendapatan rendah, dukungan suami kurang, dan peran tenaga kesehatan yang memberikan pengaruh negatif terhadap subjek dalam pemberian prelakteal dan MP-ASI sejak dini Adanya pengaruh informasi mengenai susu formula yang diperoleh dari televisi dan radio 61 8 Asih Persepsi ibu bekerja Mulyaningsih terhadap implementasi 2010 ASI eksklusif (kasus Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor tahun 2010) tesis 9 Asrinia Rachmadewi 2009 10 Ludfi Dini Arasta 2010 Faktor-faktor internal dan ekskternal yang berhubungan nyata dengan persepsi ibu bekerja tentang ASI eksklusif adalah tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, tingkat pendapatan ibu, tingkat pendapatan keluarga, pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif, jumlah jam kerja, jarak tempat kerja, peluang pemberi kerja, dan dukungan suami Pengetahuan, sikap, dan Tidak terdapat perbedaan yang nyata praktek pemberian ASI baik di perdesaan dan perkotaan dalam serta status gizi bayi praktek ASI eksklusif, pengetahuan, usia 4-12 bulan di sikap gizi ibu dan mayoritas diperoleh perdesaan dan di dari petugas kesehatan perkotaan Hubungan pelaksanaan Ada hubungan yang signifikan antara rawat gabung dengan pelaksanaan rawat gabung dengan perilaku ibu dalam perilaku ibu dalam memberikan ASI memberikan ASI eksklusif di Polindes Harapan Bunda eksklusif di Polindes Desa Kaligading Kecamatan Boja Harapan Bunda Desa Kaligading Kecamatan Kabupaten Kendal Boja Kabupaten Kendal tahun 2010 2.4. Teori Health Belief Model 2.4.1 Definisi teori health belief model Teori health belief model yang dikutip Edberg (2009) dalam buku “Kesehatan Masyarakat, Teori Sosial dan Perilaku”, merupakan teori yang mengarahkan pada proses berfikir yang dialami seseorang sebelum melakukan suatu tindakan yang berkaitan dengan kesehatan. Meskipun teori ini diarahkan pada apa yang terjadi pada seseorang, juga perlu diingat konteksnya. Keputusan untuk melakukan ataupun tidak melakukan suatu tindakan didasarkan pada petunjuk, rujukan dan informasi yang berasal dari lingkungan, baik fisik, sosial, maupun 62 budaya seseorang tersebut. Proses berfikir yang dibahas dalam psikologi kognitif diantaranya adalah persepsi, memori, pembuatan keputusan, interpretasi, penalaran dan penilaian, diantara kemampuan lainnya. Komponen kognitif adalah aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Komponen kognitif ini adalah olahan pikiran manusia atau seseorang terhadap kondisi eksternal atau stimulus, yang menghasilkan pengetahuan, yang dikutip Notoatmodjo (2010), dalam buku “Ilmu Perilaku Kesehatan”. Persepsi merupakan faktor sosiopsikologi yang berasal dari dalam individu itu sendiri yang mempengaruhi proses pembentukan dan perubahan dalam perilaku kesehatan. Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan sebagainya. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda, meskipun objeknya sama, yang dikutip Notoatmodjo (2003), dalam buku “Pendidikan dan Perilaku Kesehatan”. Persepsi adalah suatu proses memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus lingkungan. Proses memperhatikan dan menyeleksi terjadi karena setiap saat panca indera kita (indera pendegar, perasa, penglihatan, penciuman dan peraba) dihadapkan pada begitu banyak stimulus lingkungan. Akan tetapi tidak semua stimulus tersebut kita perhatikan, sebab akan dapat 63 menyebabkan kebingungan pada diri kita sendiri. Sehingga stimulus tersebut perlu diseleksi agar menjadi lebih berarti dan tidak bingung. Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indera, kemudian individu ada perhatian dan diteruskan ke otak, selanjutnya individu menyadari tentang adanya sesuatu. Melalui persepsi disekitarnya, maupun tentang hal-hal yang ada dalam diri individu yang bersangkutan (Azwar, 2000 dalam Handayani, 2007). Konsep dasar health belief model yang dikutip Smet (1994), dalam buku “Psikologi Kesehatan” yaitu menjelaskan faktor determinan dari perilaku kesehatan yang berorientasi pada personal belief atau persepsi dan keyakinan mengenai suatu penyakit atau kejadian tertentu dan cara yang akan dilakukan untuk mengurangi kejadian tersebut. Proses kognitif dari health belief model dipengaruhi oleh berbagai informasi yang datang, kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung pada keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan individu dari sakit dan pertimbangan antara keuntungan dan kerugian yang didapat. Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seorang berfikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman kepada dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga akan 64 meningkat. Penilaian tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada: (a) ketidak-kekebalan yang dirasakan (perceived vulnerability) yang merupakan kemungkinan bahwa orang-orang dapat mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka. (b) keseriusan yang dirasakan (perceived severity). Orang-orang yang mengevaluasi seberapa jauh keseriusan penyakit tersebut apabila mereka mengembangkan masalah kesehatan mereka atau membiarkan penyakitnya tidak ditangani. Penilaian yang kedua yang dibuat adalah perbandingan antara keuntungan dengan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan melakukan tindakan pencegahan atau tidak, yang dikutip Smet (1994) dalam buku “ Psikologi Kesehatan”. Health belief model merupakan konsep utama yang memprediksikan mengapa seseorang mengambil suatu tindakan untuk pencegahan penyakit yang dilihat dari seberapa rentan penyakit menimbulkan keseriusan, manfaat serta kendala yang dihadapi dalam pengambilan tindakan, ditambah dengan kepercayaan individu dalam mengambil tindakan untuk pencegahan penyakit, yang dikutip Glanz, (2008) dalam buku “Health Behavior And Health Education; Theory, Research and Practice”. Dan dalam penelitian ini konsep health belief model dipakai untuk mengetahui alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013, dari teori health belief model ini dapat dilihat pada konsep berikut : 65 Tabel 2.2 Konsep teori health belief model yang dikutip Edberg (2009) dalam buku “Kesehatan Masyarakat, Teori Sosial dan Perilaku” Persepsi kerentanan Derajat risiko yang dirasakan terhadap masalah kesehatan seseorang Persepsi keparahan Tingkat kepercayaan seseorang bahwa konsekuensi masalah kesehatan yang akan menjadi parah Persepsi manfaat Hasil positif yang dipercaya seseorang sebagai hasil dari tindakan Persepsi hambatan Hasil negatif yang dipercaya sebagai hasil dari tindakan Petunjuk untuk bertindak Peristiwa eksternal yang memotivasi seseorang untuk bertindak Efikasi diri Kepercayaan seseorang akan kemampuannya dalam melakukan tindakan 1. Persepsi kerentanan (Perceived susceptibility) Persepsi kerentanan terhadap suatu penyakit agar bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya. Pemberian ASI secara eksklusif dapat mencegah bayi terserang penyakit infeksi, dan akan berpotensi berisiko terkena penyakit apabila pemberian ASI tidak sampai 6 bulan. 2. Persepsi keseriusan (Perceived seriousness) Persepsi keseriusan penyakit apabila terkena maka konsekuensi yang akan diterima akan berat. Bayi yang tidak mendapatkan ASI secara eksklusif dapat menurunkan daya tahan tubuh bayi sehingga mudah terserang penyakit-penyakit dan berdampak kepada kegagalan pertumbuhan bayi. Kombinasi persepsi kerentanan dan persepsi 66 keseriusan akan menghasilkan persepsi ancaman. Individu akan mengubah perilaku mereka berdasarkan persepsi ancaman yang berasal dari keseriusan penyakit tersebut, yang dikutip Glanz, (2008) dalam buku “Health Behavior and Health Education; Theory, Research and Practice”. 3. Persepsi manfaat (Perceived benefits) Melakukan tindakan pencegahan akan bermanfaat jika merasa sangat rentan terhadap penyakit-penyakit, persepsi positif ini sangat berperan penting pada perilaku seseorang dalam mengambil suatu keputusan kesehatan atas dirinya ataupun lingkungannya. Besarnya keuntungan ataupun manfaat yang didapat dari suatu tindakan pencegahan maka akan semakin besar peluang individu tersebut menjalankan tindakan pencegahan penyakit. Akan tetapi bila manfaat yang dirasakan kecil dari suatu tindakan yang akan dilakukan untuk pencegahan akan semakin kecil. Pemberian ASI eksklusif memiliki manfaat bagi bayi seperti meningkatkan daya tahan tubuh bayi, meningkatkan kecerdasan bayi, dengan pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan, akan terjamin tercapainya pengembangan potensi kecerdasan anak secara optimal, ASI mengandung nutrien-nutrien khusus yang diperlukan otak bayi agar tumbuh optimal. 67 4. Persepsi kendala (Perceived barrier) Persepsi individu bahwa tidak terlalu banyak konsekuensi negatif bila mengambil tindakan pencegahan dan tidak banyak kendala dalam prosesnya. Adanya kendala dalam pemberian ASI eksklusif seperti puting susu yang pendek/terbenam, payudara bengkak, puting susu yang lecet, produksi ASI kurang, dan ibu bekerja, membuat ibu langsung menganggap bahwa hilangnya peluang untuk menyusui secara eksklusif sehingga dengan alasan kendala ini, ibu memberikan selingan ASI yaitu makanan pendamping ASI dini 5. Kepercayaan diri (Self efficacy) Kepercayaan seseorang akan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan dengan berhasil. Konsep ini ditambahkan oleh Rosenstock, Strecher, dan Becker tahun 1988 untuk menyempurnakan teori health belief model agar sesuai dengan tantangan perubahan perilaku atau kebiasaan yang tidak sehat, yang dikutip Glanz, (2008) dalam buku “Health Behavior and Health Education; Theory, Research and Practice”. Ibu memiliki kepercayaan diri dalam memberikan ASI eksklusif, tetapi pada kenyataannya banyak ibu merasa khawatir pemberian ASI saja selama 6 bulan tidak cukup ini disebabkan oleh bayi masih rewel setelah diberikan ASI, maka ibu mulai memperkenalkan makanan pendamping ASI dini dimaksudkan agar bayi tidak rewel setelah diberi makanan. 68 6. Petunjuk untuk bertindak (Cues to action) Peristiwa eksternal yang memotivasi seseorang untuk bertindak. Adanya dukungan dari keluarga terdekat, dukungan tenaga kesehatan, serta media masaa seperti majalah, televisi, dan radio dalam melakukan tindakan pemberian makanan pendamping ASI dini. 7. Modifying factors (karakteristik individu yang dapat mempengaruhi persepsi) Variabel demografi, sosiopsikologi dan struktur yang berbeda dapat mempengaruhi persepsi individu dan secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi perilaku kesehatan individu tersebut. Secara spesifik, faktor sosiodemografi, khususnya tercapai pendidikan yang diyakini akan memberikan efek secara tidak langsung dalam mempengaruhi persepsi individu dalam persepsi kerentanan, keseriusan, manfaat dari tindakan pencegahan, kendala dalam pencapaian tindakan dan kepercayaan diri dalam melakukan tindakan pencegahan. Variabel ini terdiri dari 3 variabel, yaitu : a. Variabel demografi, dimana pada variabel ini meliputi (usia, suku keturunan, adat/istiadat dan jumlah anak ibu) b. Variabel sosiopsikologi, yang meliputi (pendidikan, pekerjaan dan pengalaman ibu dalam praktek pemberian makanan pendamping ASI dini kepada anak sebelumnya) c. Variabel struktural, meliputi (pengetahuan ibu mengenai pemberian makanan pendamping memperlancar ASI) ASI dini, ASI eksklusif dan upaya 69 Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013. Penggunaan konsep teori health belief model bermaksud agar lebih memudahkan peneliti mengambil benang merah yang menjadi alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini. Konsep teori health belief model ini lebih mengutamakan munculnya persepsi ancaman terlebih dahulu, kemudian dipengaruhi oleh cues to action (faktor eksternal) dan karakteristik ibu (variabel demografi, sosiopsikologi, dan struktural) terhadap adanya persepsi ibu mengenai ancaman penyakit dari pemberian makanan pendamping ASI dini, sehingga berhubungan langsung dengan kecenderungan ibu untuk melakukan perilaku pemberian ASI eksklusif. Konsep teori health belief model menekankan bahwa seseorang akan melakukan tindakan perilaku kesehatan apabila seseorang tersebut menganggap bahwa dirinya rentan terhadap suatu penyakit, percaya memiliki konsekuensi yang serius, adanya manfaat dalam mengurangi kerentanan atau keparahan kondisi, adanya hambatan (diantisipasi) dan sebanding dengan manfaat yang akan diterima serta keyakinan diri bahwa dapat berhasil melakukan tindakan perilaku kesehatan tersebut yang dikutip Glanz, (2008) dalam buku “Health Behavior and Health Education; Theory, Research and Practice”. Dapat digambarkan teori sebagai berikut: 70 Bagan 2.1 Teori Health Belief Model (Hochbaum 1958; Rosenstock, 1974; Kirscht, 1974; Becker, 1974; Janz and Becker, 1984, 1988) Individual Perceptions Persepsi kerentanan dan persepsi keseriusan Modifying Factors Likelihood of Action Usia Suku keturunan Adat/istiadat Pengalaman Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Persepsi manfaat dan persepsi kendala Persepsi ancaman terhadap penyakit Tindakan/perilaku Cues to action (faktor eksternal) Kepercayaan diri/self-efficacy BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH 3.1 Kerangka Pikir Kerangka pikir disusun untuk mempermudah pemahaman dalam menganalisis kegagalan-kegagalan dalam sistem pelayanan kesehatan khususnya dalam pelaksanaan program ASI eksklusif. Kerangka pikir dalam penelitian ini menggunakan kerangka teori health belief model yang menjelaskan faktor determinan dari perilaku kesehatan yang berorientasi pada personal belief atau persepsi dan keyakinan individu mengenai suatu penyakit. Berdasarkan kerangka pikir, maka hal-hal berikut yang harus diketahui yaitu persepsi ibu mengenai kerentanan dan keseriusan penyakit yang akan ditimbulkan dari pemberian makanan pendamping ASI dini, persepsi ibu mengenai ancaman dari pemberian makanan pendamping ASI dini, persepsi ibu mengenai manfaat pemberian ASI eksklusif, persepsi ibu mengenai kendala pemberian ASI eksklusif, dan kepercayaan diri ibu untuk dapat memberikan ASI eksklusif. Persepsi pemberian makanan pendamping ASI dini juga dipengaruhi dengan adanya faktor eksternal (cues to action) yaitu keluarga terdekat, tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan dan media massa. Dan variabel karakteristik ibu (demografi, sosiopsikologi, struktural) yaitu umur ibu, suku keturunan ibu, kebiasaan/adat ibu dalam memberikan makanan pendamping ASI dini, pengalaman ibu (jumlah anak) dalam memberikan makanan pendamping ASI dini, pendidikan formal ibu, 71 72 pekerjaan ibu, dan pengetahuan ibu (ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dan upaya dalam memperlancar dan memperbanyak produksi ASI). Persepsi ibu terhadap pemberian makanan pendamping ASI dini, karakteristik ibu, dan faktor eksternal dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam pemberian ASI eksklusif dan atau makanan pendamping ASI dini. Berikut kerangka pikir penelitian untuk mengetahui alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013. Bagan 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Individual Perceptions Modifying Factors Usia Suku keturunan Adat/istiadat Pengalaman (jumlah anak) Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Persepsi ibu mengenai kerentanan dan keseriusan penyakit yang dapat ditimbulkan dari pemberian MP-ASI dini Persepsi ancaman terhadap MP-ASI dini Cues to action (faktor eksternal) Dukungan keluarga Dukungan tenaga kesehatan Media massa Likelihood of Action Persepsi manfaat memberikan ASI eksklusif dan persepsi kendala memberikan ASI eksklusif Perilaku memberikan ASI eksklusif Kepercayaan diri/self-efficacy 73 3.2 Definisi Istilah Tabel 3.1 Definisi Istilah No Istilah Definisi Istilah Karakteristik ibu 1 Umur ibu Jumlah tahun lamanya ibu hidup yang diperoleh dari selisih tanggal kelahiran dan tanggal wawancara. 2 Adat/kebiasaan ibu Tradisi atau adat adalah sesuatu yang dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama dan adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan. Dalam hal ini meliputi: tradisi/kebiasaan pemberian makanan pendamping ASI dini serta kepercayaan yang melatarbelakanginya 3 Suku keturunan ibu Anggota umumnya suatu suku ditentukan bangsa pada menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa. dalam penelitian ini garis keturunan informan (ibu) dimaksudkan berhubungan dengan kebiasaan pemberian makanan pendamping ASI dini. 74 4 Pengetahuan ibu Hal-hal yang diketahui oleh informan (ibu) yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dan upaya memperlancar dan memperbanyak produksi ASI bagi ibu. 5 Pendidikan ibu Jenjang pendidikan formal yang terakhir dimiliki informan (ibu) dan mempunyai ijazah. 6 Pekerjaan ibu Kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seorang ibu yang memiliki balita pada saat dilakukan penelitian (yang menghasilkan uang). 7 Pengalaman ibu Pengalaman informan (ibu) dalam hal pemberian makanan pendamping ASI dini. Dapat dilihat dari praktek pemberian makanan pendamping ASI dini pada anak sebelumnya dan pada umur berapa anak sudah diberikan makanan pendamping ASI dini, seorang ibu akan memberikan makanan pendamping ASI dini jika kelahiran anak sebelumnya juga diberikan. Persepsi ibu 1 Kerentanan (Perceived susceptibility) Persepi kerentanan informan penyakit (ibu) mengenai yang akan ditimbulkan dari pemberian makanan pendamping ASI dini 2 Keseriusan (Perceived severity/seriuosness) Persepsi informan (ibu) mengenai keseriusan yang bisa disebabkan dari pemberian makanan pendamping ASI dini 3 Ancaman (Perceived threat) Persepsi informan (ibu) mengenai ancaman penyakit terhadap anaknya 75 4 Manfaat (Perceived benefits) Persepsi informan (ibu) mengenai manfaat yang didapatkan dari pemberian ASI eksklusif 4 Kendala (Perceived barrier) Persepsi informan (ibu) mengenai kendala yang dihadapi dalam pemberian ASI eksklusif sehingga ibu dapat memberikan makanan pendamping ASI dini 5 Kepercayaan diri (Self efficacy) Kepercayaan diri informan (ibu) dalam pemberian ASI eksklusif Faktor eksternal (Cues to action) 1 Dukungan keluarga Bentuk perhatian, nasihat, dan dorongan, yang dirasa didapatkan informan (ibu) dari suami atau orang tua atau keluarga terdekat dalam pemberian makanan pendamping ASI dini 2 Dukungan tenaga kesehatan Anjuran tenaga kesehatan yang memberikan informasi tentang pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI 3 Informasi iklan Pernyataan informan (ibu) mengenai pernah atau tidak menerima susu atau makanan lain ketika melahirkan, dan pernah atau tidak mendapat informasi iklan dari media televisi, majalah, radio. 4 Praktek pemberian makanan Riwayat pemberian makanan pendamping pendamping ASI dini ASI dini oleh ibu meliputi waktu pertama kali ASI keluar, jenis yang diberikan, kapan pemberian, frekuensi pemberian, kuantitas pemberian, waktu penghentian pemberian, dan alasan makanan pendamping dini pemberian BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Hal tersebut dilakukan karena peneliti ingin mengetahui alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief model secara mendalam. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan, pada bulan Mei – Juni 2013. 4.3 Informan Penelitian Informan penelitian ini berdasarkan hasil penelitian Anggraeni (2012), hasil penelitian menunjukkan kecenderungan perilaku ibu yang melahirkan di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tidak memberikan ASI eksklusif. Pemilihan informan ini dipilih sampai jenuh, yaitu sudah mendapat sumber informasi yang maksimum, dan sumber informasi sudah mencukupi, maka proses pengumpulan informasi dianggap sudah selesai. 4.4 Instrumen Penelitian Pada tahap pengumpulan data, instrumen penelitian menggunakan pedoman wawancara tidak berstruktur yang tergolong dalam bagian wawancara mendalam untuk mewawancarai informan terkait dengan pemberian makanan pendamping ASI. Selain itu, alat bantu perekam suara. 76 77 4.5 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil wawancara mendalam terhadap ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif pada hasil penelitian Anggraeni (2012), keluarga terdekat ibu yang memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan untuk memberikan makanan pendamping ASI dini dan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan. Sedangkan data sekunder yaitu profil Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan. 4.6 Validasi Data Teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiono, 2010). Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, didapat dari keluarga terdekat ibu dan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan. Tabel 4.1 Validasi Sumber Komponen yang divalidasi Keluarga terdekat (ibu kandung, ibu mertua, dan suami) Terhadap pengaruh pengambilan keputusan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini Tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Terhadap pemberian dukungan kepada ibu mengenai pemberian ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI setelah 6 bulan Validasi Sumber √ √ 78 4.7 Pengolahan Data Tahap pengolahan data yang dilakukan adalah hasil wawancara yang sudah terkumpulkan dari seluruh informan dibuat dalam bentuk transkrip data dan disimpulkan sementara sesuai hasil temuan, selanjutnya akan dilakukan kategorisasi hasil wawancara berdasarkan pedoman wawancara sehingga pada tahap pengolahan data ini dapat diketahui informasi mana saja yang belum didapatkan dan informasi mana yang harus lebih mendalam ditanyakan dalam wawancara berikutnya. Setelah informasi lengkap maka hasil wawancara dapat disimpulkan, dan dibuat ringkasan data dalam bentuk matriks wawancara. 4.8 Penyajian Data Data disajikan dalam bentuk naratif sesuai kerangka pikir. 4.9 Analisis Data Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis interpretasi. Setelah memberikan interpretasi, selanjutnya peneliti mengelompokkan hasil sesuai dengan teori health belief model. Maka dapat diketahui yang menjadi alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013. BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kecamatan Pesanggrahan adalah salah satu dari 10 kecamatan di wilayah Kotamadya Jakarta Selatan dengan luas wilayah seperti yang ditetapkan dengan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1227 tahun 1989 yaitu seluas 13,46 km2 terbagi menjadi 5 kelurahan yaitu : Kelurahan Petukangan Utara seluas : 2,99 km2, Jumlah RW 11 RT 122 Kelurahan Petukangan Selatan seluas : 2,11 km2, Jumlah RW 8 RT 85 Kelurahan Ulujami seluas : 1,70 km2, Jumlah RW 9 RT 94 Kelurahan Pesanggrahan seluas : 2,11 km2, Jumlah RW 8 RT 85 Kelurahan Bintaro seluas : 4,55 km2, Jumlah RW 15 RT 141 Batas-batas wilayah Kecamatan Pesanggrahan adalah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Pesanggrahan Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rempoa, Tangerang Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pondok Betung, Tangerang 5.1.1 Demografi Wilayah Berdasarkan data statistik di kantor Kecamatan Pesanggrahan, jumlah penduduk di wilayah Kecamatan Pesanggrahan adalah 214.843 orang terdiri dari 109.568 laki-laki dan 105.275 perempuan, tingkat kepadatan penduduk mencapai 15.962 orang/km2 dengan kepadatan 79 80 tertinggi di Kelurahan Ulujami mencapai 25.337 orang/km2 dan terendah di Kelurahan Bintaro sebesar 11.296 orang/km2. 5.2 Karakteristik Informan Informan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu informan utama dan informan pendukung. Informan utama merupakan sumber informasi utama yang terkait dengan penelitian ini, yaitu ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif pada penelitian Anggraeni (2012) dan bermukim di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan. Sedangkan informan pendukung hanya bersifat sebagai sumber informasi tambahan sekaligus sebagai metode untuk melakukan cross check data dari informan utama. Informan pendukung dalam penelitian ini terdiri dari keluarga terdekat informan utama yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan ibu untuk memberikan makanan pendamping ASI dini (ibu kandung, ibu mertua dan suami) dan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan yang melayani informan saat melakukan pemeriksaan kehamilan dan bersalin. Pengumpulan informasi dari seluruh informan, baik informan utama maupun informan pendukung dilakukan melalui metode wawancara mendalam (indepth interview). 5.2.1 Informan Utama Berdasarkan hasil penelitian Anggraeni (2012) menunjukkan bahwa jumlah ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 41 responden, dan responden yang bermukim di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan ada sebanyak 26 orang, 81 tetapi jumlah informan utama yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 9 orang, mengingat bahwa proses pengumpulan informasi sudah mencukupi, sudah tidak lagi ditemukan variasi atau informasi yang berbeda. Karakteristik informan utama yang didapatkan yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, dan jumlah anak yang hidup. Umur tertinggi informan adalah 37 tahun, sedangkan umur terendah informan yaitu umur 22 tahun. Latar belakang pendidikan informan berasal dari tingkat pendidikan yang berbeda-berbeda, pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah SMA, sedangkan pendidikan terendah adalah SD. Sebagian besar pekerjaan informan dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga (7 informan) dan yang bekerja ada 2 informan yaitu bekerja sebagai resepsionis dan pembantu rumah tangga. Berikut tabel mengenai karakteristik informan utama. Tabel 5.1 Karakteristik Informan Utama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Nama Informan Ibu Yu Ibu Si Ibu Nr Ibu Id Ibu Da Ibu Am Ibu Ro Ibu Sa Ibu St Umur (tahun) Pendidikan Pekerjaan 35 26 29 37 35 22 28 28 23 SD SD SMA SMP SMEA SMA SMA SD SMA IRT IRT IRT IRT IRT Resepsionis IRT Pembantu IRT Jumlah anak hidup 3 3 2 3 4 1 2 1 1 82 5.2.2 Informan Pendukung Informan pendukung dalam penelitian ini terdiri dari keluarga informan utama dan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan, sebagai tenaga penolong persalinan dan tenaga pemeriksaan kehamilan informan utama pada kelahiran anak terakhir. Pemilihan keluarga untuk menjadi informan pendukung diambil berdasarkan jawaban dari informan utama mengenai dukungan/anjuran dalam praktek pemberian makanan pendamping ASI dini. Dalam penelitian ini, sebagian besar keluarga terdekat yang menganjurkan memberikan makanan pendamping ASI dini adalah ibu mertua (4 informan), ibu kandung (3 informan) dan suami (2 informan) pemilihan suami yang menjadi informan pendukung disebabkan oleh ibu kandung yang menganjurkan memberikan makanan pendamping ASI dini berdomisili bukan di daerah penelitian ini. Karakteristik yang diperoleh yaitu umur, pendidikan, dan pekerjaan. Informan pendukung dari keluarga terdekat memiliki umur terendah yaitu 51 tahun dan tertinggi adalah 60 tahun, sedangkan dengan latar belakang tingkat pendidikan yang berbeda-beda yaitu tidak tamat SD, SD, dan SMP, dan seluruhnya merupakan sebagai ibu rumah tangga. Pemilihan tenaga kesehatan/bidan diperoleh melalui jawaban mengenai dukungan tenaga kesehatan yang didapatkan informan utama, yaitu dukungan pemberian ASI eksklusif kepada bayi sampai 6 bulan, dan dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI 83 setelah bayi berumur 6 bulan. Karakteristik bidan terdiri dari umur, pendidikan dan pekerjaan. Bidan yang menjadi informan pendukung dalam penelitian ini adalah tenaga penolong persalinan yang berusia 46 tahun dan tenaga pemeriksaan kehamilan yang berusia 51 tahun, dengan tingkat pendidikan terakhir D4 kebidanan. Berikut tabel mengenai karakteristik informan pendukung. Tabel 5.2 Karakteristik Informan Pendukung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 5.3 Nama Informan Ibu Mu Ibu Nu Ibu Ma Ibu An Ibu Si Ibu At Ibu Mr Pak Ah Pak Mu Ibu El Ibu Ai Umur (tahun) 60 57 52 55 55 51 59 29 30 46 51 Pendidikan Tidak tamat SD Tidak tamat SD SMP Tidak tamat SD SD SD Tidak tamat SD SMP SMA D4 kebidanan D4 kebidanan Pekerjaan IRT IRT IRT IRT IRT IRT IRT Buruh Guru Paud Bidan Bidan Hasil Penelitian Hasil penelitian akan dipaparkan perinforman utama, sesuai dengan pendekatan teori health belief model, sehingga lebih memudahkan peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian yaitu diketahuinya alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan. 84 5.3.1 Informan pertama (Ibu Yu, 35 thn, 3 anak, IRT) Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan informan adalah pemberian madu ketika bayi baru lahir, dengan cara dioleskan di bibirnya, frekuensi pemberian madu dua kali dalam sehari yaitu pagi dan siang hari yang diberikan informan dalam tiga hari pertama awal kelahiran saja, setelah itu tidak diberikan lagi. “...iya paling kalo diolesin dibibirnya itu pas lagi baru lahir, dikasih itu madu, baru lahir, maksudnya pas aku keluar dari kamar bersalin kan dibawain tuh madu ama ibu saya uda aku kasih di bibirnya aku kasih madu, diolesin iya he’eh di bibirnya, iya seperlunya sebibirnya aja ga usah pakek kedalem-dalem pokoknya disini aja (peragaan olesan bibir), aku polesin aja madu, madu rasa tuh, olesin di bibirnya...dirumah cuman sampe 3 hari lah aku kasih madu, kasih madu gitu...3 hari aja dipakekin iya pagi siang gitu aja, kalo sore uda ga...” Pemberian madu ketika bayi baru lahir dengan cara dioleskan di bibir bayi selama 3 hari juga sudah dipraktekkan kepada anak pertama dan kedua informan, alasan pemberian madu agar bibir bayi tidak kering, tidak mudah sariawan, dan tidak pecah-pecah. Informan mengatakan bahwa pemberian madu kepada bayi yang baru lahir sudah menjadi turun-temurun keluarganya, berikut penuturan langsungnya: “...iya pokoknya dari yang pertama ampe yang ini (anak yang ketiga) iya aku pakeknya madu, diolesin 3 hari aja ga lebih gitu...dikasihnya madu supaya bibirnya ga kering...biar ga pecah-pecah lagi gitu... madu bagus buat sariawan...iya jadi turun-temurun hehe...” 85 Kebiasaan pemberian madu ketika bayi baru lahir, disebutkan oleh ibu kandung informan sebagai kebiasaan turun-temurun dalam keluarga Betawi. “...iya abis lahir, pas lahir dikasih madu dicolekin madu, iya madu ini apa, madu ini madu yang tawon itu yang dibotol yang asli madunya, saya mah asli orang sini, iya betawi kalo orang dulu mah gitu kalo sekarang mah ga ada hehe, sekarang mah kalo lahir uda ga dikasih apa-apa, dikasih asi aja, kalo saya dulu mah kasih madu semua, iya seminggu he’eh...”(Ibu Mu, 60 thn) Dalam praktek pemberian makanan pendamping ASI dini, informan mengatakan mengetahui kapan sebaiknya bayi diberikan makanan pendamping ASI, namun pada kenyataannya informan tidak mengetahui bahwa pemberian madu merupakan pemberian makanan yang tidak diperbolehkan untuk bayi dibawah 6 bulan. Sedangkan pemahaman informan mengenai ASI eksklusif dapat diketahui dari penuturan langsung berikut: “...iya emang kalo misalkan bayi mau dikasih makan nunggu 6 bulan gitu, iya aku juga uda tau...pokoknya ini jangan kasih makan dulu iya bu sebelum 6 bulan iya saya juga tau dok aku bilangin gitu...pokoknya ga berani dah ngasih-ngasih makanan orang katanya anaknya mencretlah apa gitu, biasanya kan gitu...iya dibandingin dengan yang lain iya mending asi, iya emang bagus sih sampe 2 tahun...kalo yang aku tau sih makan nin aja sayur-sayuran yang banyak, daun katuk itu paling banyak itu paling subur kalo lagi nyusuin makan sayur katuk pasti banyak, cukup...” Pemberian madu yang dilakukan informan tanpa sepengetahuan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan, karena tidak dianjurkan oleh bidan untuk memberikan apapun kepada bayi 86 yang baru lahir. Selain itu, adanya anjuran/dukungan untuk pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI setelahnya. “...kalo yang itunya sih bilang (bidan senior) pokoknya ini jangan kasih makan dulu iya bu sebelum 6 bulan iya saya juga tau dok aku bilangin gitu, iya dah kalo uda tau aku bilangin lagi katanya tapi asi tetep iya, iya ialah tetep aku bilang gitu lagian mau ngapain dikasih susu aku bilang aja gitu, aku ga pakek apa-apa, ga kasih susu, iya bagus dah katanya gitu... kalo ketahuan dokternya mana tau dah diomelin kali iya, itu mah cuman tanpa sepengetahuan dia (dokter) aku kasih aja...” “...satu ibu harus inisiasi menyusu dini, berikan bayinya ASI eksklusif, perawatan payudara, perawatan tali puser, berikan bayinya ASI eksklusif sampai 6 bulan kalo bisa sampe 2 tahun, semuanya dikasih yang menyangkut kebidanan ga mungkin ga dikasih...” (Bidan El, 46 thn) Informan menganggap pemberian madu bukanlah penyebab kerentanan ataupun dapat menimbulkan penyakit kepada bayi, tetapi pemberian madu sebagai obat agar bibir bayi tidak pecah-pecah dan tidak sariawan. Namun, malah sebaliknya pemberian makanan pendamping ASI dini seperti pisang, dapat menyebabkan timbulnya penyakit dikarenakan usus bayi belum kuat untuk mencerna makanan tersebut. Anjuran dari ibu kandung untuk memberikan madu juga memperkuat persepsi informan dalam memberikan madu. Kondisi yang mengharuskan informan bangun ketika malam hari untuk menyusui bukan suatu kendala yang mesti dihadapi informan dalam pemberian ASI, ASI tetap diberikan meskipun informan tidak mengetahui bahwa sudah memberikan makanan dini kepada bayinya. 87 “...aku bilangin begitu yang penting yang ini makannya 6 bulan biarin aja aku bilang, iya kasihan takutnya kan ntar susah ususnya itu ga kuat dia, kalo aku sih emang ga berani...kalo kepikiran sakit saya ga pernah ngalamin kalo dikasih madu sakit iya belum tau tapi ga tau kalo yang lain, ga, ga ada itu mah...iya kalo mertua aku sih madu ini bagus buat bayi juga, buat supaya emang sering pecah-pecah begitu, anak kecil dikasihnya madu biar ga pecah-pecah lagi gitu, itu aja sih mertua aku ngomongnya, pokoknya bagus aja dibilang gitu, pokoknya bagus deh...ya tetep aja aku kasih dari pada aku kasih susu yang lain, iya ga apa-apa (gendong nangis bangun malemmalem) iya mendingan asi kalo misalnyakan kita pakek susu mau buatin ke dapur dulu ah uda repot itu uda ga bisa tidur itu mah heheh, enakkan asi pokoknya...” “...madu mah waktu bayi, itu iya ga kan kalo itu kalo lahir kan semua begitu kalo orang dulu mah dikasih madu biar ga sariawan gitu jadi begitu lahir kasih madu ke bayi, iya ga banyak dipeper-peperin aja iya dilidahnya iya ga banyak makeknya...” (Ibu Mu, 60 thn) ASI yang paling baik, memberikan ASI merupakan suatu kebahagiaan sendiri bagi seorang ibu, tidak ada ruginya memberikan ASI apalagi jika diberikan sampai anak berumur 2 tahun, berikut adalah penuturan informan mengenai pemberian ASI dan dapat diketahui bahwa informan memiliki kepercayaan diri yang baik untuk bisa memberikan ASI kepada anak-anaknya sampai berumur 2 tahun. “...iya dibandingin dengan yang lain iya mending asi, iya emang bagus sih sampe 2 tahun, apa iya hehe ia iya malah uda tiga anakkan hehee, iya bahagia aja ngasih asi seorang ibu iya kan menyusui iya bahagia aja, seneng aja gitu, iya kalo misalnya asi itu sih emang ga bakal bikin gendut iya kayak aku ini biasa-biasa aja, pokoknya yang paling baik kasih asi aja itu dari yang laen, ga ada lah (kerugian) kalo asi mah...” 88 5.3.2 Informan kedua (Ibu Si, 26 thn, 3 anak, IRT) Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan informan berupa pemberian madu yang dioleskan saja di bibir bayi ketika bayi baru lahir kemudian pada umur 1 bulan bayi diberikan makanan padat berupa pisang ambon dan bubur nestle. Frekuensi pemberian pisang ambon 3 kali dalam sehari selama 3 hari. Setelah itu informan menghentikan pemberian pisang ambon karena adanya gangguan pencernaan pada bayi, bayi susah buang air besar. Namun, informan kembali mencoba memberikan makanan lain berupa bubur nestle dan ternyata kondisinya pun sama, maka pemberian makanan baru diberikan lagi setelah bayi berumur 8 bulan. “...ni lagi awal ni umur 1 bulan kita kasih eehh pisang dikasih dikit tu mau tu pisang...iya pisang ambon dikit pake sendok segini doang, dia itu abis satu sisir makan orangnya dia mau lagi lep lep aja naa sehari itu kalo dia mau mana saya kasih satu tapi gak ampe abis gitu maksudnya yang dagingnya aja masih banyak yang terbuang separoh la juga sehari itu bisa habis dua la yaaa saya kasih, jadi dari pagi separoh la siang separo sorenya separoh, minimal dua la soalnya satu itu kan tengahnya kebuang jadi langsung saya buang, gak sampe satu minggu 3 hari udah saya stop...cobain neslte di kasih dikit itu juga...uda begitu ee’nya keras...kemarenan 8 bulan di kasih makan lagi mau neslte na tu di kasih makan tu doyan tu neslte...” Pemberian madu dan pemberian makanan padat berupa pisang ambon pernah juga dipraktekkan kepada anak kedua, tetapi tidak terjadi kondisi gangguan pencernaan seperti kondisi yang dialami anak ketiga informan. Tujuan pemberian agar anak tidak rewel setelah diberikan ASI dan anteng. Dan praktek pemberian makanan 89 pendamping ASI dini berupa pemberian pisang sudah menjadi kebiasaan keluarga (ibu mertua) informan. “...kalo itu yang kedua saya kasih makan pisang umur sebulan sesisir ya,anak kedua dikasih makan iya lancar-lancar aja ga macem-macem gitu jadi ga kapok, nah ini yang ketiga dikasih makan ngikutin yang kedua...iya karena rewel doang, gara-gara rewel aja makanya dikasih pisang, iya uda dikasih asi tetep aja rewel, emang kalo dikasih makan anak kecil diem...intinya satu kalo anak kagak rewel istilah kata asi cocok, iya ga dikasih makan iya anaknya rewel iya pikir belum tenang biar anteng...” “...mertua saya ga apa-apa kasih pisang ma gitu, kalo orang dulu mah dikasih makan pisang mah,katanya malah ditumbuktumbuk pake nasi masak si pake nasi...” Ibu mertua informan mengatakan bahwa pemberian makanan pendamping ASI dini, yang diberikan kepada cucunya merupakan kebiasaan orang Betawi dalam pemberian makanan kepada bayi, dan sudah menjadi turun-temurun keluarga, yaitu memberikan pisang siem yang diulek bersama nasi ataupun dapat diganti dengan tape. “...pisang siem di rebus dalam dandang amah buntelan nasi di buntel diceburin di dandang, kita kan masaknya pakai kayu nasinya mateng pisangnya mateng udah itu di ulek-ulek aja begitu tu pake sendok matangin dulu pisangnya direbus pake nasi di ulek-ulek sampe udah lembut gitu... Dari yang pertama kan orang nenek saya lalu kakaknya yang ini malah tape kalo gak ada pisang, pisangnya lagi susah dicarinya tape dikukus diulek ulek disuapin aja... asli betawi saya mah...” Setelah diberikan ASI bayi masih menangis dan hal ini yang mendasari ungkapkan informan bahwa pemberian ASI selama 6 bulan tidak cukup, sebaiknya diberikan selingan ASI. Ketika wawancara informan mengetahui kapan sebaiknya anak mulai diberikan makanan pendamping ASI. Berikut penuturan langsungnya: 90 “...kalo kata saya sih kagak cukup asi aja 6 bulan, soalnya dia nyereng/nangis mulu dianya makanya saya selingin pakek susu...gua yang bandel ga ngikutin kata bidan yang asi eksklusif, hehehe gua mah tiga-tiganya apalagi si adrian, orang-orang pada bilang ga kasian dengan anak ibu namanya, lah justru gua ngasih makanan sama anak karena kasihan biar kata anak gua kagak nangis, kagak laper mulu, kalo kita selama anak kita belom ini (sakit) ga kapok... kata kebidanan katanya pas 6 bulan mungkin lambungnya ga kuat kalikan kalo masih bayi 1 bulan 3 bulan itu kan lambungnya belum kuat buat nyernai makanan makanya dianjurin 6 bulan sekarang, malah dulu 4 bulankan baru dikasih makanan ehh karena katanya banyak kejadian yang udah dikasih makanan katanya diususnya ada apa waktu itu liat ditivi ada makanya dianjuri 6 bulan...bayam merah ya bayam merah sama apa si namanya eeeh daun pepaya katanya bagus buat asi sama katuk yaaa sama katuk...” Anjuran untuk memberikan ASI eksklusif dan tidak memberikan makanan kepada bayi dibawah 6 bulan merupakan anjuran/dukungan yang didapatkan informan dari tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan, berikut pernyataannya: “...kalo pulang pasti kita eehhm kasih penyuluhan ibu jangan dikasih apa-apa sampe umur 6 bulan ASI eksklusif, hanya ASI tok... banyak ASI nya, terus harus punya juga keyakinan netekin, kalo ibunya ga punya keyakinan netekin kemungkinan ASI nya juga sedikit, sudah pernah saya banding-bandingkan...” (Bidan Ai, 51 thn) Mengenai persepsi informan terhadap timbulnya kerentanan dan resiko keseriusan penyakit dari pemberian makanan pendamping ASI dini, dapat diketahui dari kondisi yang terjadi pada anak ketiga setelah diberikan makanan padat. Informan mengungkapkan bahwa resiko pemberian makanan pendamping ASI dini hanya akan membuat anaknya susah buang air besar saja dan tidak sampai mengalami 91 resiko lebih dari itu. Karena ada dukungan juga dari ibu mertua dalam pemberian makanan pendamping ASI dini. Pemberian makanan pendamping ASI dini tersebut bukan karena adanya kendala dalam memberikan ASI dan informan tidak menghentikan pemberian ASInya selama memberikan makanan padat kepada anaknya. “...gak biasa aja mah gitu ya paling resikonya itu buang aernya keras eee ga sampe penyakitan kalo mikir kesitu ga soalnya mikirnya gitu doang takutnya eegnya keras gitu aja orang kata ibu orang dulu dikasih nasi ya udah dikasih...cuman ya udah biarin orang kata nyoba ya udah kasih pernah kepikiran begitu cuma dia nangis mulu minta makan dikasih pisang kata ibu gak apa-apa dikasih pisang mah yaa abis satu soalnya yang kedua gak apa-apa dikasih pisang eeehhh yang ketiga malah begitu eegnya keras...” “...ya gak adalah kalo di kasih asi kan malah bagus apalagi asinya kan kiri kan na lebih bagus lagi kanan katanya kan kan ya satu minum yang satunya nasi...” “...kalo saya mah kalo ga mau nyusu iya kasih asi aja, orang kasih makan begitu, iya kan kasih asi aja, asi juga bagus katanya mah kalo asi masih bagus...” 5.3.3 Informan ketiga (Ibu Id, 37 thn, 3 anak, IRT) Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan informan adalah pemberian madu ketika bayi baru lahir, yang dioleskan di bibirnya selama 1 minggu. Kemudian pada umur 2 bulan informan memberikan makanan padat berupa pisang dan bubur nestle, diberikan dengan takaran sedikit dan sampai beberapa bulan saja dikarenakan anak sudah tidak mau lagi diberikan makanan tersebut. 92 “...kasih, kasih madu semua, diolesin aja digituin (peragaan olesin bibir), madu seminggu semua, pagi, he’eh diolesin aja, diolesin gitu ntar kan lidahnya dia keluar tuh, digituin sama dia diemut-emut...” “...anak yang ke tiga 2 bulan, dia makan sun eeh apa nestle, pertama pisang dikit-dikit sebelah kok masih nangis nah terus kesini lagi kasih satu masih nangis juga uda ah ganti nestle, ngasih ga banyak, nestle juga ga banyak...itu neslte sampe berapa bulan...” Informan mengatakan pemberian makanan pendamping ASI dini agar bayi menjadi anteng dan kenyang, kemudian ditambah dengan adanya pengalaman mengurus anak keluarga, dan sudah menjadi keturunan keluarga terdekat (ibu mertua) dalam pemberian makanan pendamping ASI dini. “...yang pertama sebulan lebih, yang ini (anak ke tiga) dua bulan, yang kedua dua minggu, iya kasih aja biar dianteng aja dikasih biar dia kenyang kan, ga, maksudnya biar saya gimana gitu maksudnya biar ga ini, anteng sih, he’eh iya saya suka aja ngasih-ngasihin...ada pengalaman saya kan ngurusin bayi, dari pertama juga belum punya anak saya juga kan ngurusin anak mpok saya, makanya saya berani...katanya kasih makan aja ga apa-apa, dulu mah dia yang ngasih makan pisang siem sama nasi...” Pemberian madu dan pemberian makanan padat seperti pisang siem yang diulek dengan nasi, sudah menjadi kebiasaan keluarga informan pendukung (ibu mertua) dalam memberikan makanan kepada bayi. Informan pendukung mengungkapkan bahwa sudah menjadi kebiasaan orang betawi dalam mengurus bayi. “...kan madu ga ngapa-ngapa kan neng obat kan, obat jagasirawan kan kalo bilang orang dulu mah sirawan kalo sekarang panas dalem, iya gitu neng kalo ibu mah ngurusin anak... pisangnya pisang siem kan pisangnya direbus, nasinya direbus kan diulek tuh halus gitu, uda diulek gitu disaring tuh, 93 masih bayi namanya masih bayi iya...kalo ibu kan uda pengalaman kan, uda punya anak lima cucu lima uda kan jadi pengalaman, kalo ibu aslinya kebon kopi tapi saya dapet laki orang sini, gitu neng, betawi orak ngomongnya... Dilihat dari pengetahuan informan mengenai kapan pemberian makanan pendamping ASI yang tepat, informan tidak mengungkapkan dengan jelas kapan seharusnya pemberian makanan pendamping ASI kepada bayi tetapi informan mengatakan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Pesanggrahan menyarankan untuk tidak diberikan susu formula dan hanya ASI saja. Kemudian mengenai cara memperlancar ASI informan menyebutkan bahwa makan sayur-sayuran saja. “...iya itu bidan ela pernah bilang, jangan dikasih susu iya kan saya kasih asi aja, kalo susu mah berat saya... sayur daun katuk, sayur-sayuran, pokoknya apaan aja dibikini mertua saya yang penting sayur, sayur apa kek sayur apa, iya yang paling yang buatin air asi banyak daun katuk kan itu aja...” Tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan pasti memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu yang bersalin dan setiap melakukan kunjungan ANC (Antenatal Care). Termasuk penyuluhan mengenai pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan kemudian dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI. “...kalo pemberian makanan ga saya kalo disini, kalo disini mah cuman periksa kehamilan aja, iya paling penyuluhan ASI iya ASI aja, ga terlalu mendalam setelah lahir, tapi kalo itu bisa dirumah bersalin...kalo pulang pasti kita eehhm kasih penyuluhan ibu jangan dikasih apa-apa sampe umur 6 bulan ASI eksklusif, hanya ASI tok...” (Bidan Ai, bidan ANC) 94 “...iya semuanya, ibu kalo melahirkan itu, satu ibu harus inisiasi menyusu dini, berikan bayinya ASI eksklusif, perawatan payudara, perawatan tali puser, berikan bayinya ASI eksklusif sampai 6 bulan kalo bisa sampe 2 tahun, semuanya dikasih yang menyangkut kebidanan ga mungkin ga dikasih...” (Bidan El, bidan bersalin) Persepsi informan mengenai ancaman yang akan ditimbulkan dari pemberian makanan pendamping ASI dini, dapat dilihat dari ungkapan informan yang sudah pernah mempraktekkan pemberian makanan pendamping ASI dini kepada anak saudaranya sehingga informan memutuskan untuk memberikan makanan pendamping ASI dini, kemudian adanya dukungan dari keluarga terdekat (ibu mertua) juga mempengaruhi keputusan informan dalam praktek pemberian makanan tersebut. Disamping itu juga tidak ada kendala yang dihadapi ibu dalam pemberian ASI dan pemberian makanan pendamping ASI dini bukan karena ada kendala dalam pemberian ASI informan. “...saya sendiri (yang nyuruh ngasih makan)...saya suka aja ngasih-ngasihin... nganjurin (ibu mertua), ga apa-apa katanya kasih makan aja ga apa-apa, dulu mah dia yang ngasih makan pisang siem sama nasi...” “...iya, ga ribet malah dia nangis nih iya enak kalo susu kan kita sedang lagi ngantuk-ngantuknya kita bangun iya kan, kita bikin dulu susu, kalo ini kan asi, tinggal gini aja uda (peragaan kasih asi) lagi nangis kita buka tetek kita, kalo asi paling enak kalo susu saya repot makanya anak saya ga ada yang dari susu...” “...iya saya yang nyuruh, kalo saya kan begitu, saya kalo ngurusin anak begitu, semua saya punya anak kagak cucu kagak anak semuanya saya mah ngurusin anak begitu, iya jadi emaknya kagak tau-tau tuh iya urusan makan tuh saya gitu...” (Ibu An, 55 thn) 95 Memberikan ASI tidak ribet, kalau bayi menangis bisa langsung diberikan ASI tanpa harus repot bikin susu ke dapur, ungkapan berikut yang dapat menunjukkan bahwa informan percaya diri bisa memberikan ASI kepada anaknya meskipun sudah memberikan makanan pendamping ASI dini. “...iya, ga ribet malah dia nangis nih iya enak kalo susu kan kita sedang lagi ngantuk-ngantuknya kita bangun iya kan, kita bikin dulu susu, kalo ini kan asi, tinggal gini aja uda (peragaan kasih asi) lagi nangis kita buka tetek kita, kalo asi paling enak kalo susu saya repot makanya anak saya ga ada yang dari susu...” 5.3.4 Informan keempat (Ibu Sa, 28 thn, 1 anak, pembantu rumah tangga) Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan informan berupa pemberian madu dan susu formula ketika bayi berumur 3 bulan, kemudian pemberian bubur sun ketika bayi berumur 5 bulan. Informan mengungkapkan bahwa awal pengenalan susu formula dikarenakan ingin menambah berat badan bayi yang kelahirannya prematur, disamping itu juga pekerjaan informan sebagai pembantu rumah tangga tidak memungkinkan untuk meninggalkan bayi sendirian sehingga memberikan susu formula sebagai selingan ASI. Dan bayi juga pernah diberikan kopi, hanya saja sebagai syarat agar bayi tidak mudah terkena step apabila demam. “...iya pas 3 bulan uda dikasih susu SGM soya...biar cepet nambahin berat badan iya saya coba... kan saya kerja jadi untuk nyelengin kalo saya lagi kerjakan saya bikinin susu gitu ntar kalo sempet saya baru kasih asi, iya untuk selingan aja ga untuk diganti dengan susu asi saya...2 bulan awal dikasih asi aja setelahnya saya selingin susu formula...” 96 “...ngasih madu ada uda 3 bulanan, dia uda 3 bulanan... ditaruh disusu misalkan berapa tetes gitu...” “...ngasih kopi, iya dibawah 6 bulan sedikit iya setetes, sedikit aja cuman buat syarat aja kan..iya kopi masih beberapa bulan iya kasih kopi biar ga step kalo sakit panas...” “...saya uda ngasih 5 bulan...makan bubur sun...” “...ada orang-orang katanya bilang kalo prematur itu minum susu ini bagus gendut badannya cepet berisi itu yang bikin saya tertarik iya bener gitu katanya, awalnya saya ga mau ngasih susu formula pertama juga biar ngirit juga...” Pemberian makanan padat berupa bubur sun kepada bayi dikarenakan bayi terus-terusan rewel setelah diberikan ASI, dan informan menganggap bahwa bayi lapar dan mencoba memberikan makanan tersebut. Ketika bayi mulai mengalami gangguan pencernaan, informan menghentikan pemberian makanan tersebut. “...iya kan rewel terus barang kali laper atau apa, iya pakek asi juga cuman dia rewel dari kecil, jadi kita tuh bingung rewel tuh apa penyebabnya apa, laper apa apa jadi kita coba ngasih makan...katanya gangguan pencernaan gimana gitu sempet gangguan pencernaan kata dokter, makan bubur sun, katanya masih belum bisa itu belum kuat...” Tidak ada tradisi/kebiasaan yang mendasari pemberian makanan pendamping ASI dini dari ungkapan informan, pemberian makanan pendamping ASI dini lebih disarankan dari lingkungan tetangga disekitar rumah informan. Dan juga belum banyak pengalaman dalam mengurus anak, sehingga informan sangat mudah menerima informasi mengenai pemberian makanan kepada bayi. 97 “...dapet saran dari orang aja kan dari dokter sih dulu nyaranin ga boleh, asi lebih bagus, cuma kan pikir saya gitu saran orang mah biar cepet nambahin berat badan iya saya coba... denger dari orang dikasih tau madu...yang ngasih saran orang-orang dulu-dulu tapi sekarang juga katanya sih begitu juga, nyaranin juga ngasih kopi...pengalamanannya juga belum ada..." Informan pendukung (suami) juga mengungkapkan bahwa pemberian makanan/minuman dini kepada bayi memang mengikuti saran dari lingkungan rumah (tetangga) yang lebih banyak berpengalaman dalam mengurus bayi, informan juga percaya selama pemberian makanan/minuman dini tidak menimbulkan penyakit kepada anaknya. “...iya saya ngikutin tetanggga yang ibarat kata sudah pengalamanlah gitu...iya percaya-percaya aja, iya orang juga itu, iya juga ibaratnya anak saya ga kenapa-kenapa jadi ga apaapa...”(Ahyar, 29 thn) Informan utama mengetahui dengan baik kapan sebaiknya pemberian makanan pendamping ASI diberikan kepada bayi, begitu juga dengan pelaksanaan ASI eksklusif dan cara memperlancar ASI. “...iya dikasih makan harus 6 bulan... iya cukup iya saya aja yang ga ngasihnya, cukup sih cukup kalo misalnya kita fokus nyusuin sebenarnya orang juga uda ngomong sih kok ini ga eksklusif uda campur nih si fajar susu formula...iya sebenernya ga suka makan sayur iya karena menyusui iya harus suka makan sayur...” Dengan adanya dukungan saran dari lingkungan sekitar rumah informan memiliki persepsi sendiri mengenai ancaman dari pemberian makanan pendamping ASI dini. Dan memang pemberian makanan pendamping ASI dini segaja dilakukan atas dasar saran dari tetangga, sehingga informan tidak merasa ada ancaman ketika pemberian 98 makanan pendamping ASI dini tersebut, meskipun ketika pemberian bubur sun, bayi mengalami sakit pada bagian pencernaannya. Kemudian ditambah dengan informan yang bekerja sehingga bayi mendapat selingan susu formula. Adanya kendala dalam pemberian ASI yaitu ibu bekerja, informan mengatakan bahwa pemberian susu formula juga diperkuat dari kondisi informan yang tidak tenang ketika meninggalkan anaknya sehingga mempengaruhi air susu, makanya ketika sudah diberikan ASI tetap saja rewel. “...2 bulan awal dikasih asi aja setelahnya saya selingin susu formula, sama aja sih mungkin kata orang iya saya kerja makanya ga tenang air susunya makanya rewel iya gitu aja, 2 bulan awal sih repot awal kerjanya, bentar-bentar nangis ga kayak anak lainnya kalo uda dikasih asi tidur ini mah ga tidurnya kurang, bangun tidur nangis, entar berapa menit berapa jam nangis lagi, saya iya nyusuin terus, cuman karena selingan aja kan awal saya belum tau baru pas itu denger dari orang, iya saya coba aja...” “...denger sana sini jadi dicobain gitu jadi masih inilah, iya kemaren orang ngomong apa dicobain orang nyuruh apa dicobain...ga soalnya kan itu emang uda umum...” “...karena saya kerja aja, repot kalo nyusukan kelamaan kalo misalkan kita ga kerja iya enakkan nyusu aja, takut ga sabar nih jadi harus cepet-cepet, kan nyusuin harus lama minimal sejam sejam lebih kan...tapi kalo formula kan kalo kita lagi ngapain kita bisa kemana-mana kalo kerja dia bisa pegang sendirikan kalo ditaruh dibotol, ntar kita ngapain iya begitu aja...” Dalam hal kepercayaan diri untuk memberikan ASI sepertinya informan tidak percaya diri untuk memberikan ASI, sehingga lebih mudah menerima dan mengikuti saran yang ada, kemudian dukungan 99 dari tenaga kesehatan/bidan untuk memberikan ASI secara eksklusif dan makanan pendamping ASI setelahnya tidak dapat mempengaruhi tindakan informan dalam praktek pemberian makanan pendamping ASI dini. “...iya mendukung sebenernya saya denger orang gini-gini jadi saya ngikut, iya karena apa ya masih lingkungan sini perkampungan jadi susah saya mau ngikutin aturan sendiri maksudnya ngikutin aturan dari dokter gitu...” 5.3.5 Informan kelima (Ibu Am, 22 thn, 1 anak, Resepsionis) Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini pada informan berupa pemberian madu ketika bayi baru lahir yang dioleskan di bibir bayi, informan mengatakan bahwa setiap menyusui selalu merasakan perih sehingga madu pasti diberikan ketika ingin menyusui, tetapi setelah tidak menyusui lagi informan menghentikan pemberian madu. Pemberian ASI hanya sampai 3 minggu awal kelahiran saja setelahnya informan memberikan susu formula. “...iya pernah pas berapa hari iya itu saya dikasih madu, dibibir dia juga terus diininya saya di puting apa namanya dia nyedotkan perih tuh kata orang-orang kalo dikasih madu biar agak ga perih gitu jadi lembut itunya jadi disaranin pakek madu waktu pas asi, sering sih tiap dia mau nyusu pasti dikasih madu, setiap dia nyusu kasih madu, stop iya karena kan dia uda ga nyusu jadi uda ga berasa sakit, Praktek pemberian madu sendiri memang sudah menjadi turuntemurun keluarga informan pendukung (ibu mertua) yang berasal dari keturunan Betawi, yaitu ketika awal kelahiran diharuskan memberikan madu sebelum diberikan air susu ibu, pemberian madu berguna untuk 100 membuang lendir yang berada dalam paru-paru bayi sehingga terhindar dari penyakit asma. “...ibu saya betawi, dulu dari nenek saya dulu gitu ampe sekarang juga gitu hehehe turun-temurun dah, madunya iya madu apa aja boleh, madu rasa itu yang mudah di warungwarung juga ada itu, pokoknya kalo uda asinya keluar iya uda itu uda ga lagi (ngasih madu), kan dia suka ngeluarin kotoran kalo dikasih madu, lendir keluar jadi bersih paru-parunya biar bersih kalo muntah dia keluar kalo anak bayikan suka dalam perutnya takut suka ada lendir atau apa gitu biar dia muntah selanjutnya biar dia ga sakit asma gitu, itu faedahnya itu intinya...” (Ibu At, 51 thn) Dan penggantian susu formula disebabkan karena informan merasakan sakit ketika menyusui, dengan kondisi puting berdarah dan lecet setelah menyusui. Disamping itu juga informan memang dari awal ingin memberikan susu formula kepada bayinya, atas dasar pengalaman orang bahwa menyusui anak cowok akan merasakan sakit. Dari ungkapan ini dapat diketahui informan tidak percaya diri untuk memberikan ASInya. “...sakit perih soalnya kalo dia nyusu lama sampe berdarahkan, merah putingnya mbak ampe lecet...namanya apa tadinya juga pas pertama lahir juga pengen dikasihnya formula kan cuma kata suami jangan kasihan apa ntar kalo anaknya ada yang bilang kalo anaknya minum susu formula suka ga nurut ama orang tuanya jadi iya uda deh coba kan asi tuh selama 3 minggu eh lama-lama kok kayaknya sakit gitu jadi diganti ke formula...saya ga mau sakit iya kan nama anak cowok kan ada yang bilang nyedotnya sakit gitu terus juga iya ga enak aja gitu jadi iya udahlah ke susu formula aja...” Adanya kendala dalam menyusui kemudian kembali bekerjanya informan juga merupakan hal yang memperkuat pemberian susu formula, informan mengungkapkan bahwa pemberian susu formula 101 tidak membuatnya rugi. Namun, apabila informan dalam kondisi bekerja ASI yang sudah lama diendapkan dibotol dan yang dimasukkan dikulkas tidak baik lagi diberikan kepada bayi. ASI yang baik informan mengungkapkan yaitu jika diberikan langsung. “...ga sih ga rugi, takut saya kerja kalo misalkan diakan otomatis kalo kita asi ini walaupun dia udah apa nyetok susu buat dibotol kan masukin kulkas terus dipanasin katanya ada juga yang bilang ga bagus kayak gitu bagusan secara langsung ngasihinnya ni uda ngendap makanya sih mikirnya disitu ah katanya ga baik juga katanya kalo asi diendapin gitukan...” Serta dapat dilihat dari kondisi ini mengenai persepsi informan mengenai ancaman dari pemberian susu formula, informan menganggap bayi akan sakit jika minum ASI yang sudah lama diendapkan di dalam botol dan sebaiknya ASI memang diberikan secara langsung saja. Kondisi tersebut juga didukung keluarga terdekat (ibu mertua). “...ibu pikir iya ga apa-apalah dari pada susah-susah takut entar basi atau gimana gitu ya, ya kasihan anaknya jadi disambung dengan susu itu...” (Ibu At, 51 thn) Informan mengetahui bagaimana pelaksanaan ASI eksklusif dan kapan pemberian makanan pendamping ASI dini, dan bagaimana cara memperlancar ASI, tetapi karena kondisi informan setelah menyusui bayi seperti itu maka informan memutuskan untuk menggantinya dengan susu formula saja. Kepercayaan untuk mengganti susu formula didapat dari pendapat lingkungan sekitar dan keluarga terdekat. 102 “...iya harus kasih asi sampe 6 bulan iya namanya kita ga kuat iya pengen kita juga kasih ampe 6 bulan iya tapinya saya udah ga kuat banget tuh yang namanya sakit minta ampun mana juga kita merasa meriang juga panas dingin...” “...karena banyak yang bilang kalo pake susu asi itu sakit jadi saya ragu untuk memberikan asi, ya awalnya meriang panas dingin terus payudara membengkak dan puting berdarah...” “...iya sayur daun katuk terus iya makan-makanan 4 sehat 5 sempurna aja terus, terus susu, penambah darah gitu, umur setahun lebih, baru dia makan nasi tim, cukup emangkan anjurannya ampe 6 bulan...” Adanya dukungan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan mengenai pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI setelahnya. Tetap membuat informan menggantikan ASI dengan susu formula. 5.3.6 Informan keenam (Ibu Ro, 28 thn, 2 anak, IRT) Praktek pemberian makanan yang dilakukan informan berupa pemberian air tajin, informan mengungkapkan bahwa mengapa diberikan air tajin karena ASInya belum keluar, selama ASI belum keluar bayi menangis, informan berusaha untuk menenangkan agar bayi tidak menangis dan tetap menyusui sampai ASInya keluar. Air tajin diberikan hanya pada saat bayi menangis dan setelahnya tidak diberikan lagi. Kemudian pemberian susu formula ketika bayi berumur 3 bulan dikarenakan informan mengalami sakit pada liver yang diharuskan mengonsumsi obat-obatan dan tidak memungkinkan untuk melanjutkan pemberian ASI. 103 “...iya karena air susunya belum keluar, sudah uda di iniin uda dikenyotin tapi masih aja nangis lagi, pokoknya asinya ga keluar uda dikenyotin masih nangis, emang belum keluar udah dikujek-kujek tetep juga ga keluar, tiga hari iya baru keluar, tapi tetep malam dikasih air tetek aja udah, iya uda disusuin aja ntar juga dia keluar, iya bener lama-lama disusui keluar...” “...sekali-kalinya itu aja udah ga pernah dikasih lagi, kan kasihan, nangisnya ga diem ga kayak dia waktu di puskes kecamatan kan kalo nangis digendong aja diem nangis digendong lagi diem, ini nangis terus apa laper, apa panas tapi badannya ga panas, uda dikipasin, eh dikasih air tajin cuma sesendok eh malah diem, ada rasakan diem baru kasih tetek lagi baru diem...” “...iya ngaruh ga boleh obatnya kan keras jadi ga bisa menyusui, katanya cuma livernya yang bengkak dan pindah ke rumah sakit lain kata dokter ada pembengkakan jantung... Iya pas banget 3 bulan...” Karena bayi rewel dan menangis terus, akhirnya keluarga terdekat (ibu mertua) menyuruh untuk memberikan air tajin agar bayi tidak menangis lagi. Padahal ibu kandung informan mengatakan untuk tidak memberikan apapun dan membiarkan saja sampai ASI ibunya keluar, tetapi karena ibu dari suami menyuruh untuk dibuatkan air tajin, maka ibu informan harus mengikuti saran dari ibu suami. “...mana neneknya juga uda cerewet kan, katanya orang dulu pengganti susu katanya, iya uda akhirnya dikasih tajin cuma sesendok dikit kan diisep-isep kan terus ditetekin lagi uda ditetekin iya anteng...” “...iya namanya juga belum keluar kata mertuanya dikasih air beras tajinan asi gitu ga apa-apa terus dikasih gula merah sedikit iya saya kasih, katanya iya ganti susu ibu gitu biar supaya ga laper abis pulang nangis kan orangtua kayaknya bingung dikasih apa gitu iya uda dah kasih air tajin aja gitu, yang bilang mertua ini, iya saya kasihin takut saya salah karena ga mau dimasakin ga mau diginiin iya saya takut hehehe, iya saya ga ngerti (pemberian air tajin)...” (Ibu Mr, 59 th) 104 Informan mengungkapkan bahwa anak menangis bukan karena lapar, dan selama 3 hari setelah kelahiran anak masih mempunyai cadangan makanan sehingga ketika bayi menangis setelah pulang dari Puskesmas Kecamatan informan tidak merasa khawatir hanya saja keluarga terdekat panik, kenapa anak menangis hanya dibiarkan saja. Makanya diberikan air tajin tersebut agar bayi tidak menangis lagi. “...yakin ama bidan kecamatan bilang tenang bu 3 hari itu keluar dari rahim itu punya penampung jadi ga usah kaget dia nangis karena popoknya basah, apa dia gerah gitu kan bidannya ngasih tau kan iya saya mah ga khawatir iya saya juga baca-baca uda ngerti kan, iya ayahnya yang panik sama neneknya, iya udahlah dikasih, iya jangan biarin kata saya anaknya nangis bukan laper, iyah ayahnya marah anak nangis didiemin aja gitu iya uda disusuin ga mau, ditetekin juga mau malah nangis lagi, dipindahin sebelahnya tetep nangis uda ngeyot juga, iya emang dia laper kata ayahnya baru kemaren ga makan pas lahir malam ga makan dia pas keluar, iya ayahnya uda dijelasin sama bidannya juga ga usah khawatir tetep aja ayahnya ga nurut niat mau beli susu formula iya kata saya iyah jangan ntar ketagihan eh beneran umur 3 bulan bener kecapai beli susu formulanya, iya kata mertua dikampung juga pada dikasih air tajin ga apa-apa katanya...” Pengalaman informan dalam pemberian ASI saja selama 6 bulan sudah dilakukan dari anak pertama kemudian dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI, tetapi disebabkan karena informan sakit sehingga pemberian ASI hanya sampai 3 bulan saja. “...kalo kakaknya lumayan lama setahun 2 bulan, kadangnya kasihan kakaknya setahun adiknya cuma 3 bulan hehhe...tadinya dia ga mau terus dipaksain pakek botol iya abis ga bisa nyusuin sayanya juga mikirnya jantungnya makin kenceng kalo disusui iya uda jangan disusui deh katanya hehe pas periksa dikasih dokter jangan disusui iya bu obatnya keras kasihan anaknya iya uda tapi kalo emang ga minum obat 105 pengen nyusui lagi dianya uda ga mau (menunjuk anak ke 2) rasanya lain dah hehe pas 3 bulan...” Pengetahuan informan mengenai pelaksanaan ASI eksklusif dan kapan sebaiknya diberikan makanan pendamping ASI dapat dikatakan baik, ini tercermin dalam tindakan informan yang masih ingin memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya dalam keadaan informan yang sudah sakit liver. “...pas di EKG emang ada masalah di jantungnya, bilang sama dokter tiara dok saya masih menyusui oh iya ga apa-apa ini obatnya ga apa-apa kalo menyusui obatnya ga ada pengaruh, terus diperiksa lagi karena kayaknya ga ada perubahan, periksa kedokter lain, dok saya masih menyusui dok oh iya buk obatnya ga terlalu pengaruh, tapi masih aja ga sembuh-sembuh juga tetep aja masih menyusui, nah pas selasa inget banget saya, pas hari itu emang ga nyusui emang ga kuat, uda lemes uda pucat bawaannya, iya uda dibawakan ke fatmawati, seharian itu ga nyusui, kata di fatmawati katanya ga apa-apa pembengkakan di liver disuruh istirahat aja dirumah aja, pas besoknya mau nyusuin jangan deh seharian kemaren juga ga disusuin kata ibu, iya uda dikasih susu formula...” Informan menganggap bahwa pemberian susu formula dapat membuat bayi rentan terhadap penyakit jika dibandingkan dengan pemberian ASI, begitu juga dengan pemberian air tajin pada awal kelahiran bayi. Tetapi karena sudah menjadi kebiasaan keluarga terdekat, informan percaya pemberian air tajin tidak menimbulkan kerentanan terhadap bayi. Dan sebenarnya kepercayaan informan terhadap pemberian susu formula juga dibentuk dari saran dokter ketika informan sakit, dan memperbolehkan pemberian susu formula ditakutkan ada pengaruh dalam konsumsi obat-obatan. 106 “...iya pernah kepikiran soalnya kakaknya ga susu formula jadi takutnya ntar sakit daya tahan tubuhnya kurang kalo susu formula... soalnya suka ditivi-tivi susu formula itu katanya ada bahan ini bahan ini iya takut...” “...sebenerny takut, takut ada efek sampingnya apa buangbuang air tapi ga katanya neneknya orang dikasih ga banyak ini ga kenapa-kenapa gitu kan, takut ususnya belum kuat, emang ga kenapa-kenapa nek iya jangan sampe kan (pemberian air tajin)...” Kepercayaan diri informan yang kuat untuk tetap memberikan ASI secara eksklusif harus dihentikan dikarenakan masa pengobatan informan. “...iya mendukung banget, manfaatnya banyak kan daya tahannya kan lebih kuatlah dibandingkan dengan susu, pengeluarannya juga ga berat hehhehe, lebih mudah kalo kemana-mana kan kita ga perlu nyiapin iya botol air hangatnya kan asi kan tinggal gini aja langsung tempat mana aja bisa, susu formula mah ribet...” 5.3.7 Informan ketujuh (Ibu Da, 35 thn, 4 anak, IRT) Praktek pemberian makanan pendamping dini yang dilakukan informan berupa pemberian bubur nestle pada umur 5 bulan, pemberian bubur nestle dikarenakan informan takut ASI yang diberikan kurang banyak. Frekuensi pemberian bubur nestle yaitu 2 kali dalam sehari, pagi dan sore hari. “...5 bulan sudah dikasih takutnya dia nih, asi saya takutnya kurang banyak sedangkan susu botol tuh dia kurang mau iya jadinya uda saya kasih, baru berapa 1 sachet itu ga semua, cuman 2 sendok...aku kasih 2 kali jadi pagi sama sore, iya asi juga, ga mau dia susu, maunya netek mulu...” 107 Pengalaman informan dalam praktek pemberian makanan pendamping ASI dini sudah pernah diterapkan kepada anak sebelumnya, informan menganggap anak sudah lapar dan tidak kenyang jika diberikan makanan pendamping ASI setelah 6 bulan hal ini dikarenakan kondisi anak tetap menangis setelah diberikan ASI. “...iya 5 bulan (anak yang ke 4), yang kedua itu kan iya aku lupa, yang kedua itu dia makan juga sih tapi mungkin sama kali sekitar uda kayak 5 bulanan gitu kan uda lama kan jadi lupa gitu, yang pertama karena dia ga asi kan susu botol... iya tapi aku sih kalo ngasih anak tuh ga pernah diatas 6 bulan, dibawah 6 uda aku kasih, 5 bulan, 4 bulan pokoknya uda aku kasih, kalo ga nestle serelac gitu sama bubur bayi...” Pemberian makanan pendamping ASI dini juga mendapat dukungan dari keluarga terdekat informan (ibu kandung), dan menganggap hal tersebut sama, jika harus menunggu 6 bulan, anak sudah lapar. “...5 bulan emang dikasih, saya kan gini iya dak (dahlia) daripada dia nangis mulu, air tetek ga ada nyusu ga mau, dikasih makan aja dah, emang ga apa-apa mak, ga, kalo kata dokternya mah asal uda jalan 6 bulan baru kasih makan, kalo saya kan ga sabaran, lapar kan anak kecil kalo lapar kan, kita aja kalo lapar kan iya ini, uda dikasih dah tuh...” (Ibu Si, 55 thn) Persepsi informan mengenai ancaman dari pemberian makanan pendamping ASI dini, sudah pasti menganggap bahwa pemberian makanan tersebut menjadi kebutuhan agar anak tidak lapar dan anteng. Namun sebaliknya informan menganggap bahwa akan ada ancaman apabila dibiarkan saja menangis setelah diberikan ASI. Dengan adanya pengalaman serta dukungan dari keluarga terdekat 108 akan lebih mendukung keputusan informan dalam pemberian makanan pendamping ASI dini. “...iya fikir itu anak nangis mulu laper, kasih tetek tapi kan karena dia uda lama netek digendong-gendongin masih nangis...tapi kan namanya saya ah kan dia nangis laper mulu biarin aja ah aku bilang gitu kan...katanya kalo anak sampe asi aja gitu iya belum tentu dia kenyang gitu kalo asinya sedikit kan...ada kan bayi pada gendut-gendut banget gitu kan, dah dia (anak yang ke 4) ga karena akunya uda sedikit (asinya)...” Padahal informan mengetahui jika ditanya kapan seharusnya diberikan makanan pendamping ASI dan kenapa pada umur tersebut diberikan makanan pendamping ASI, dan pada kenyataannya sudah memberikan makanan pendamping ASI dini. Informan tetap menganggap bahwa ASI yang diberikan kurang apabila bayi tetap menangis setelah diberikan ASI. “...kalo kata orang ini katanya kalo ngasih makan sebelum 6 bulan keatas ususnya ga kuat ada yang ngomong gitu katanya jangan dulu dikasih ususnya ntar takut ga kuat, tapi kan namanya saya ah kan dia nangis laper mulu biarin aja ah aku bilang gitu kan...kasih aja dulu asi, kalo asi kalo dia ga kenyang gimana netek kurang...” Kepercayaan informan untuk memberikan ASI dapat diketahui dari penuturan berikut, informan menganggap ASInya kurang banyak, tetapi tetap memiliki kepercayaan untuk memberikan ASI. “...kalo kata susternya kalo uda 6 bulan baru dikasih makan, kalo daripada dia lapar nangis, air teteknya kurangkan, jalan 5 bulan uda dikasih, iya kita ga, kalo iya kan kalo anjuran dokterkan 6 bulan baru dikasih makan, tapi karena anak kita takut uda laper, pas 5 bulan uda laper, asi uda abis, ia iya kalo uda netekinnya uda lama masih nangis paling laper dia begitu, 6 bulan baru dikasih makan iya bu ntar kita nurutin kayak begitu anak kayak ga kenyang...” BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah metode observasi yang tidak dapat dilakukan untuk melihat secara langsung bagaimana praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dipraktekkan informan (ibu). Terkait pada penelitian lanjutan Anggraeni (2012) dengan karakteristik responden penelitian adalah ibu yang memiliki bayi usia 6-11 bulan tahun 2012, maka dapat disimpulkan bahwa umur anak pada penelitian ini sudah mendapatkan makanan pendamping ASI yang seharusnya. 6.2 Gambaran praktek pemberian makanan pendamping ASI dini Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan oleh beberapa informan utama pada umumnya memberikan madu ketika bayi baru lahir, dengan cara dioleskan di bibir bayi selama tiga hari, satu minggu dan setiap ingin menyusui. Pemberian madu berguna untuk mencegah agar bibir bayi tidak pecah-pecah, tidak kering, tidak mudah sariawan dan mengurangi rasa sakit setelah menyusui. Beberapa informan utama juga memberikan makanan padat lain seperti pemberian pisang ambon, bubur nestle, bubur sun dan susu formula, yang diberikan saat anak berumur satu, dua, tiga, dan lima bulan. Alasan pemberian makanan padat karena anak masih menangis setelah diberikan ASI, agar anak menjadi anteng, dan menambah berat badan anak yang kelahirannya prematur. Disamping itu, adanya pemberian lain seperti 109 110 pemberian air tajin karena ASI belum keluar, dan pemberian kopi yang berguna untuk mencegah step apabila bayi terkena demam. Pemberian air tajin dan kopi tersebut diberikan informan utama pada kondisi saat itu saja, dan setelahnya tidak pernah diberikan lagi. Mengingat setelah diberikan anak menjadi anteng dan tidak sakit. The Weaning Project yang disponsori oleh United States Agency For International Development (USAID) pada tahun 1985-1989 di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Jawa Timur mendapatkan hasil 64% ibu-ibu di NTB dan 76% ibu-ibu di Jawa Timur memberikan makanan padat dini berupa pisang yang dihaluskan atau dikunyah (Wiryo, 1996 dalam Suyatno, 2001). Selanjutnya, Wiryo dan Kasniah (1991) dalam Suyatno (2001) melalui penelitian etnografi di NTB menemukan makanan padat yang diberikan kepada bayi adalah madu, kelapa muda, bubur dan pisang. Ditemukan sebanyak 94,80% ibu-ibu yang memberikan pisang atau campuran nasi-pisang kepada bayi baru lahir. Hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan 10% anak balita di Jawa Tengah sejak usia 2 bulan sudah mulai diberi pengganti ASI (16 % berupa makanan lumat) (BPS, 1994). Penelitian Suyatno (1996) di sejumlah desa di Jawa Tengah, menemukan praktek pemberian makanan tradisional seperti nasi ulek, pisang, madu, kelapa muda, pada bayi usia kurang dari 3 bulan, bahkan beberapa jenis makanan tersebut telah diberikan pada bayi beberapa saat setelah kelahirannya (Suyatno, 2001) 111 Alasan pemberian makanan pendamping ASI dini adalah agar bayi lebih kuat dan cepat besar. Jenis makanan pendamping ASI dini yang dikonsumsi bayi antara lain pisang, susu formula (bubuk dan kental manis), biskuit, bubur beras, makanan bayi produk industri (sun, promina, dan milna), dan nasi lumat (Irawati, 2004). Hasil penelitian Setyowati dan Budiarso tahun 1998, diantara anak yang masih mendapat ASI sekitar 42% bayi umur < 4 bulan sudah mendapat minuman atau makanan pendamping ASI. Hasil penelitian lain yang mendukung, hasil penelitian Budi, dkk (1990) dalam Setyowati dan Budiarso (1998), di Indramayu dan daerah Jakarta Utara melaporkan persentase bayi yang mendapat minuman/makanan pendamping ASI cukup tinggi yaitu sekitar 80% ibu dalam tiga bulan pertama telah memberikan makanan tambahan berupa bubur beras, bubur kacang hijau atau tempe yang dihaluskan bahkan dalam minggu pertama bayi telah mendapat makanan pisang yang dilumatkan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Afifah (2007), sebagian subjek telah mulai memberikan makanan pendamping ASI sejak bayi berusia kurang dari satu bulan, bahkan ada satu subjek yang memberikan makanan berupa nasi dan pisang ulek pada saat bayi berusia 11 hari. Alasan umumnya karena bayi menangis terus meskipun telah disusui dan diberi susu formula. Dan subjek-subjek penelitian yang persalinannya yang ditolong oleh dukun bayi sudah diberikan madu, kelapa muda, dan kurma ketika awal kelahirannya. 112 Dan hasil penelitian Maas, (2004) dalam Afifah (2007), bahwa pada suku Sasak di Lombok, ibu yang bersalin memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu dan didiamkan selama satu malam) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi, pisang dan lainlain. ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yang sudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar. Penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2001) di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang mendapatkan bahwa 77% responden memberikan makanan tambahan kepada bayi baru lahir. Jenis makanan yang diberikan, meliputi: madu, air madu, air matang, dan susu formula. Menurut responden, madu merupakan makanan terbaik bagi bayi baru lahir selain ASI. Alasan utama pemberian makanan tersebut adalah karena ASI belum keluar (64,8%), agar bayi tidak lapar (14,6%), disarankan dukun bayi (12,3%), disarankan orang tua (4,7%), dan ibu belum kuat menyusui (3,6%). Menurut Roesli (2007), praktek memuaskan bayi baru lahir atau memberikan makanan atau minuman berupa air masak, madu, atau air gula kepada bayi baru lahir adalah tidak dibenarkan. Sampai bayi berusia 6 bulan bayi tidak diperkenankan untuk diberikan jenis makanan lain, seperti buah, bubur susu, nasi lumat, gula merah, air gula, madu, dan sebagainya kecuali diberikan ASI saja. 113 Menurut Lubis (2006), dalam Afifah (2007), pemberian makanan pendamping ASI dini seperti nasi dan pisang justru akan menyebabkan penyumbatan saluran cerna karena liat dan tidak bisa dicerna atau yang disebut phyto bezoar sehingga dapat menyebabkan kematian dan menimbulkan risiko jangka panjang seperti obesitas, hipertensi, atherosklerosis, dan alergi makanan. WHO melarang pemberian madu kepada bayi dibawah 1 tahun karena terdapat kandungan Clostridium botulinum, spora yang membahayakan dan mematikan (Susanto, 2007 dalam Afifah, 2007). Pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini tidak tepat karena akan menyebabkan bayi kenyang dan akan mengurangi keluarnya ASI. Selain itu bayi menjadi malas menyusu karena sudah mendapatkan makanan atau minuman terlebih dahulu (Depkes RI, 2005). Mengisi perut bayi tidak cukup berbekal dengan naluri belaka. Kita membutuhkan yang lain dan pilihan itu harus masuk akal, terukur dan bisa dipercaya. Karena perut yang sehat berkaitan dengan hari depan anak. Susunan pencernaan bayi belum sepenuhnya berfungsi seperti pencernaan orang dewasa. Pada saat dilahirkan lambung dan usus bayi belum berfungsi sepenuhnya, semua enzim pencernaan belum lengkap diproduksi, struktur saluran pencernaan bayi belum terbentuk sempurna dan kemampuan bayi untuk menelan segala macam makanan dan minuman seperti orang dewasa, sekurang-kurangnya sampai bayi berumur 6 bulan belum boleh ada jenis makanan lain bayi selain ASI (Nadesul, 2005). 114 Alasan pemberian makanan pendamping ASI dini yang disebabkan karena bayi masih menangis setelah diberikan ASI bukan merupakan suatu alasan yang tepat untuk mulai diperkenalkannya makanan pendamping ASI dini pada bayi, menurut Bobak (2004), menangis tidak selalu berarti bayi lapar. Bayi mungkin merasa tidak nyaman secara fisik atau hanya ingin digendong, ingin disendawakan atau diganti popoknya. Menurut Yuliarti (2010) menangis merupakan salah satu bayi berkomunikasi. Apabila bayi menangis terlalu lama maka ia akan menjadi lelah sehingga kemampuan mengisapnya berkurang. Selain itu, ibu juga menjadi kesal sehingga dapat menganggu proses laktasi. Bayi menangis belum tentu lapar atau haus, mungkin saja ia takut, kesepian, bosan, basah, kotor, sakit, atau ada rasa yang tidak enak pada ASI yang disebabkan oleh makanan ibu atau obat yang diminum ibu. Yang tidak dapat diterangkan karena sebab tersebut biasanya disebut sebagai “kolik”. Bayi akan menangis terus-menerus pada waktu-waktu tertentu dan dapat diusahakan dengan menggendongnya. Tidak ada gangguan pertumbuhan pada bayi karena kolik. Biasanya, hal tersebut akan hilang sendiri setelah 3 bulan (Yuliarti, 2010). Menurut Suhardjo (1992), pada keadaan normal, air susu ibu mampu memberikan zat gizi yang cukup bagi pertumbuhan bayi sampai umur 6 bulan. Meskipun ASI yang keluar pada beberapa hari pertama setelah melahirkan sedikit menurut ukuran kita, tetapi volume kolostrum yang ada dalam payudara mendekati kapasitas lambung bayi yang berusia 1-2 hari (Roesli, 2000). 115 Biasanya pada hari-hari pertama ASI belum keluar. ASI baru keluar kira-kira hari ke-3 atau ke-4, yang keluar adalah air susu kental kekuningkuningan yang disebut kolostrum (Dainur, 1995). Jika ASI belum keluar atau tidak lancar, bayi masih memiliki daya tahan tubuh yang dibawa dalam kandungan sehingga bayi tidak akan kelaparan selama 2x24 jam (Yuliarti, 2010). Peran kolostrum sebagai imunisasi pasif yang dikeluarkan segera setelah bayi lahir. Kolostrum pada hari pertama tiap 100 ml mengandung 600 IgA, 80 IgC, dan 125 IgM. Komposisi ini akan terus berubah sesuai dengan ketahanan tubuh bayi. Peran kolostrum sampai hari ke 3 juga mempunyai fungsi sebagai pencahar untuk mengeluarkan mekonium dari usus bayi. Oleh karenanya, bayi sering defekasi dan feses berwarna hitam. Proses ini dapat membersihkan mekonium yang ada dalam sistem pencernaan bayi, ketika sistem pencernaan telah bersih, usus bayi siap mencerna ASI (Purwanti, 2003). Kolostrum kuning kental sesuai untuk kebutuhan bayi baru lahir. Kolostrum mengandung antibodi vital dan nutrisi padat dalam volume kecil, sesuai sekali untuk makanan awal bayi. Menyusui dini yang efisien berkorelasi dengan penurunan kadar bilirubin darah. Kadar protein yang tinggi di dalam kolostrum mempermudah ikatan bilirubin dan kerja laksatif kolostrum untuk mempermudah perjalanan mekonium. Kolostrum secara bertahap berubah menjadi susu ibu antara hari ketiga dan kelima selama nifas (Bobak, 2004). 116 Bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin (zat kekebalan tubuh) dari ibunya melalui ari-ari. Namun, kadar zat ini akan cepat sekali menurun segera setelah bayi lahir. Badan bayi sendiri baru membuat zat kekebalan cukup banyak sehingga mencapai kadar protektif pada waktu berusia sekitar 9 sampai 12 bulan. Pada saat kadar zat kekebalan bawaan menurun, sedangkan yang dibentuk oleh badan bayi belum mencukupi, maka akan terjadi kesenjangan zat kekebalan pada bayi. Kesenjangan akan hilang atau berkurang apabila bayi diberi ASI, karena ASI adalah cairan hidup yang mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi, bakteri, virus, parasit, dan jamur (Roesli, 2000). Secara tidak langsung, posisi kolostrum yang keluar pada awal kelahiran bayi berfungsi sebagai makanan awal bayi sekaligus sebagai perisai dari penyakit-penyakit infeksi awal kelahiran bayi, kemudian posisi kolostrum digantikan dengan ASI sebagai pelindung aktif dan pasif tubuh bayi. Maka pemberian makanan/minuman pada awal kelahiran sebenarnya sangat tidak berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh bayi atau alasan pemberian lainnya. Dan malah sebaliknya pemberian makanan lain selain ASI dapat meningkatkan risiko terganggunya usus bayi yang masih belum siap (Yuliarti, 2010). ASI adalah makanan bernutrisi dan berenergi tinggi yang mudah dicerna. ASI dirancang untuk sistem pencernaan bayi yang sensitif. Protein dan lemak pada ASI lebih mudah dicerna oleh bayi. ASI mengandung paling tidak 100 bahan yang tidak ditemukan dalam susu sapi dan tidak 117 dapat dibuat di laboratorium. Pada bulan-bulan pertama, saat bayi dalam kondisi yang paling rentan, ASI eksklusif membantu melindungi bayi dari diare, sindrom SID (sudden infant death) atau kematian mendadak, infeksi telinga, dan penyakit infeksi lainnya (Prabantini, 2010). Tubuh bayi belum memiliki protein pencernaan yang lengkap. Asam lambung dan pepsin dibuang pada saat kelahiran. Jumlah asam lambung dan pepsin baru meningkat mendekati jumlah untuk orang dewasa pada saat bayi berumur 3-4 bulan. Sampai umur sekitar 6 bulan, jumlah enzim amilase yang diproduksi oleh pankreas belum cukup untuk mencerna makanan kasar. Enzim pencerna karbohidrat, seperti maltase, isomaltase, dan sukrase belum mencapai tingkat orang dewasa sebelum bayi umur 7 bulan. Sebelum umur 6-9 bulan, jumlah lipase dan bile salts juga sedikit sehingga pencernaan lemak belum mencapai level orang dewasa. Selain itu, bayi belum dapat mengontrol dengan baik otot-otot tenggorokan dan lidah karena itulah proses menelan jadi sulit dan dapat menyebabkan bayi tersedak. Refleks lidah masih sangat kuat dan dapat menyebabkan pemberian makanan padat menjadi sulit (Prabantini, 2010). Pada umur 6-9 bulan baik secara pertumbuhan maupun secara psikologis, bayi siap menerima makanan padat. Makanan padat yang diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya mengakibatkan makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan reaksi yang tidak menyenangkan (misalnya gangguan pencernaan, timbulnya gas/kembung, konstipasi/sembelit, dan sebagainya) (Prabantini, 2010). 118 Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2012 menyebutkan bahwa pola pemberian makan terbaik untuk bayi sejak lahir sampai anak berumur 2 (dua) tahun meliputi : (a) memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu 1 (satu) jam setelah lahir; (b) memberikan hanya ASI saja sejak lahir sampai umur 6 (enam) bulan. Hampir semua ibu dapat sukses menyusui diukur dari permulaan pemberian ASI dalam jam pertama kehidupan bayi. Menyusui menurunkan risiko infeksi akut seperti diare, pneumonia, infeksi telinga, haemophilus influenza, meningitis dan infeksi saluran kemih. Menyusui juga melindungi bayi dari penyakit kronis masa depan seperti diabetes tipe 1. Menyusui selama masa bayi berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan kolesterol serum total, berhubungan dengan prevalensi diabetes tipe 2 yang lebih rendah, serta kelebihan berat badan dan obesitas pada masa remaja dan dewasa (Kemenkes RI, 2012). Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan keputusan baru Menkes sebagai penerapaan kode etik WHO. Keputusan tersebut mencantumkan soal pemberian ASI eksklusif (Permenkes nomor 450/Menkes/SK/IV/2004). ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin (Depkes RI, 2005). Pemerintah mengatur pula makanan pendamping ASI (MPASI) dalam peraturan nomor 237/1997. Perlu ditegaskan bahwa MPASI bukanlah makanan pengganti ASI (Prabantini, 2010). 119 Berbagai studi menunjukkan bahwa makanan padat dapat mengganti porsi susu dalam menu makan bayi. Semakin banyak makanan padat yang dimakan oleh bayi, semakin sedikit susu yang dia serap dari ibunya. Jika susu yang diserap dari ibu semakin sedikit, berarti produksi ASI juga makin sedikit. Bayi yang makan banyak makanan padat atau makan makanan padat pada umur lebih muda cenderung lebih cepat disapih (Prabantini, 2010). Prinsip produksi ASI adalah supply by demand, artinya semakin banyak disusui/diperah, produksinya akan semakin banyak. Jadi, cara untuk meningkatkan produksi ASI, selain banyak-banyak disusui langsung, perbanyak pula perah (Bonyata, 2011). Ada beberapa posisi dan teknik menyusui benar yaitu ibu harus menemukan posisi yang paling sesuai baginya. Bayi harus berada dalam posisi yang nyaman untuk mempermudah keadaan dan tidak harus memutar kepala atau meregangkan lehernya untuk dapat menjangkau puting. Ketika ibu menyentuh lembut bibir bayi dengan putingnya, bayi akan memberi respons dengan refleks rooting alami dan berpaling ke puting dan membuka mulutnya. Puting dan sebagian besar areola harus berada di dalam mulut bayi. Apabila hidung bayi kelihatan tertutup oleh payudara, ibu dapat mengangkat panggul bayi, sehingga memberikan lebih banyak ruang untuk bernapas. Menekan payudara biasanya akan membuat puting terlepas dari mulut bayi. Ketika ibu sudah siap untuk membuat bayi bersendawa, ia harus dengan lembut memasukkan jari tangannya ke sudut mulut bayi, di antara kedua gusi untuk menghentikan isapan. Menarik bayi begitu saja tanpa menghentikan isapan dapat menimbulkan nyeri pada puting (Bobak, 2004) 120 Menurut Bobak (2004) ketika bayi menyusui dengan benar, tidak akan timbul nyeri di payudara atau kerusakan jaringan. Meletakkan bayi di payudara dan melepasnya dengan hati-hati, meletakkannya pada posisi yang benar, dan cara supaya bayi mengisap dengan benar memerlukan latihan, baik bagi ibu maupun bagi bayi. Rasa nyeri biasanya merupakan tanda bahwa bayi tidak berada dalam posisi yang benar. Misalnya ibu perlu belajar menggendong bayi lebih dekat, memberi lebih banyak topangan pada payudaranya, membuat mulut bayi membuka lebih besar, atau memegang dagu bayi ke bawah untuk membantu lidah keluar. Apabila air susu menetes keluar dan membasahi puting, rasa nyeri berkurang. Memeras beberapa tetes susu untuk membasahi puting mempermudah bayi menyusu dengan baik. Ibu perlu mencoba berbagai posisi untuk melakukan penyesuaian terhadap isapan bayi (Storr, 1988) Salah satu sebab tertahannya refleks pengeluaran ASI adalah bayi tidak menempel dengan mantap pada payudara. Hal ini terjadi bila bayi hanya memasukkan puting saja ke mulut sehingga tidak mampu merangsang keseluruhan proses produksi ASI dalam payudara. Ibu tidak dapat merasakan getaran dari refleks pengeluaran ASI dan bayi hanya berhasil mendapat tetesan saja, meski berusaha keras untuk mendapatkan ASI. Ibaratnya bayi hanya mendapatkan cemilan, bukan porsi makan yang memuaskan. Karena bayi mengisap pada batang puting, sehingga puting ibu akan perih dan berdarah. Bila ini terjadi, menyusui bisa menjadi hal yang sangat traumatis. Solusinya adalah memastikan setiap kali bayi menyusu, puting dan sebagian besar jaringan di sekitarnya harus benar-benar masuk 121 ke dalam mulutnya. Satu-satunya keahlian penting dalam menyusui menyangkut seni meletakkan bayi pada posisi yang tepat di payudara. Pastikan mulut bayi terbuka lebar sehingga bagian dalam lingkaran areola (lingkaran berwarna gelap sekitar puting) masuk benar ke dalam mulutnya. (bagian atas areola tidak perlu masuk ke dalam mulutnya) (Kitzinger, 2005). Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah dalam hal menyusui karena refleks mengisapnya masih lemah. Untuk bayi dengan kondisi demikian, sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperah dan diberikan pada bayi dengan menggunakan sonde lambung atau pipet (Yuliarti, 2010) Bayi yang disusui hanya makan sebanyak yang mereka butuhkan, tidak lebih. Menyusui setiap kali bayi lapar mudah dilakukan karena air susu selalu siap untuk diberikan. Beberapa bayi mungkin menjadi lapar setiap jam atau setiap dua jam pada beberapa hari tertentu, pada hari yang lain hanya setiap 4 jam. Semakin sering menyusu, lebih banyak air susu yang diproduksi. Dengan demikian, jika seorang bayi ingin meningkatkan suplai ASI selama masa pertumbuhannya yang cepat, ia harus menyusu lebih sering. Beberapa bayi hanya menyusu pada satu sisi setiap kali dan mengalami peningkatan berat badan yang cukup (Bobak, 2004). Semakin lama bayi mendapatkan ASI saja maka semakin menguntungkan bayi. Bayi akan terhindar dari pengaruh pemberian makanan di luar ASI, apalagi jika selepas pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, status gizi anak menurun drastis. Ada banyak faktor yang mempengaruhi penurunan tersebut, salah satunya adalah higienitas 122 makanan. Setelah lebih dari 6 bulan, bayi dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI), selain pemberian ASI. Buruknya kondisi kesehatan bayi sering terjadi bila bayi tidak diberikan ASI eksklusif. Pemberian makanan padat (tambahan) yang terlalu dini juga dapat menganggu pemberian ASI eksklusif dan meningkatkan angka kesakitan pada bayi (Yuliarti, 2010). Ibu mengetahui bahwa bayinya mendapatkan cukup air susu jika bayi sekurang-kurangnya buang air kecil 6 sampai 8 kali dan mengeluarkan urine berwarna kuning pucat seperti jerami dan buang air besar satu kali dalam 24 jam. Dalam lingkungan udara yang hangat, bayi menjadi haus sehingga memerlukan lebih banyak cairan (Bobak, 2004). Menurut Nadesul (2007) normal bayi buang air besar satu sampai dua kali dalam sehari. Masih dinilai normal bila buang air besarnya 36 jam-48 jam sekali. Selama konsistensi tinjanya normal, baru buang air besar setelah 48 jam tidak bermasalah. Bayi yang diberikan ASI umumnya tidak bermasalah dengan buang air besarnya. Kasus sembelit jarang dijumpai pada bayi yang mendapatkan ASI. Menurut Bobak (2004), tinja dari bayi yang disusui tidak padat, bayi yang hanya diberi ASI tidak akan mengalami konstipasi walaupun mungkin perlu mengedan saat defekasi. Kondisi yang dialami bayi setelah diberikan ASI merupakan respon bayi yang alami. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian makanan pendamping ASI dini sebelum bayi berumur 6 bulan memang tidak dianjurkan, secara teoritis banyak kerugian atau risiko yang akan ditimbulkan oleh pemberian makanan tersebut dalam jangka pendek dan jangka panjang kehidupan anak. 123 6.3 Gambaran persepsi informan mengenai ancaman dalam pemberian makanan pendamping ASI dini Persepsi ancaman terhadap pemberian makanan pendamping ASI dini, dapat dijelaskan dari persepsi informan mengenai kerentanan dan keseriusan penyakit yang akan ditimbulkan setelah pemberian makanan tersebut. Hampir seluruh informan utama menganggap bahwa pemberian makanan pendamping ASI dini bukanlah suatu ancaman yang dapat menimbulkan penyakit pada bayi. Namun, ada satu informan yang merasa khawatir dari pemberian makanan terlalu dini dapat menimbulkan efek samping seperti buang air/diare kepada anaknya. Hasil wawancara peneliti menyimpulkan bahwa semua anggapan informan utama terhadap munculnya ancaman atau tidak adanya ancaman dari pemberian makanan pendamping ASI dini, informan akan tetap memberikan makanan tersebut hal ini dikarenakan sudah pernah ada praktek pemberian makanan kepada anak sebelumnya, kebiasaan keluarga memberikan makanan terlalu dini kepada bayi, dan pengalaman mengurus anak saudara. Informan utama mengetahui bahwa pemberian makanan pendamping ASI dini dapat menganggu kesehatan bayi yang sistem pencernaannya belum kuat. Informan juga mengungkapkan sebaiknya pemberian makanan pendamping ASI diberikan setelah bayi berumur 6 bulan. Temuan dan hasil wawancara hal ini tidak terealisasikan dengan baik. Hanya saja ada tindakan yang dilakukan informan ketika terjadi kondisi yang menyebabkan anak konstipasi dan gangguan pencernaan adalah penghentian makanan dan tidak diberikannya lagi makanan tersebut. 124 Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2005) adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap obejk melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Kemampuan pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu melalui penginderaan terhadap suatu obyek tertentu dan sangat penting terhadap terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan adalah hasil dari suatu produk sistem pendidikan dan akan mendapatkan pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan dan kemampuan tertentu. Pengetahuan diperoleh dari proses belajar, yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku berdasarkan keyakinannya yang diperoleh melalui media elektronik, media massa dan lain-lain (Fishbein dan Ajzen, 1975). Notoatmodjo (2005), menyatakan bahwa pengetahuan seseorang juga dipengaruhi beberapa faktor diantaranya pengalaman yang diperoleh seseorang. Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengaruh pengalaman mengasuh anak pada masa lalu akan berdampak terhadap pengetahuan dan perilaku ibu dalam merawat anak. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik itu lingkungan fisik, biologis maupun sosial yang berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada di lingkungan tersebut (Nursalam, 2003). 125 Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) dalam teori tindakan beralasan, nita/minat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh keyakinan dan sikap terhadap perilaku tersebut. Keyakinan ini timbul berdasarkan pengetahuan yang diterima tentang akibat positif atau negatif tentang sesuatu atau perilaku tertentu. Niat/minat adalah kecenderungan untuk melakukan sesuatu atau perilaku tertentu yang sejalan dengan pengetahuan yang diyakini dan menjadi kontrol perilaku, sikap terhadap sesuatu atau perilaku tersebut serta motivasi untuk bertindak sesuai keinginan atau harapan normatif (Depkes RI, 1996). Keyakinan tentang kemudahan dan kesulitan tentang sesuatu perilaku adalah komponen yang berisikan aspek pengetahuan tentang pengalaman masa lalu yang dialami sendiri maupun orang lain. Mengacu pada pengetahuan tentang pengalaman-pengalaman tersebut, individu dapat memperkirakan sulit atau mudahnya bila memutuskan untuk berperilaku tersebut (Hayati, 2007). Semua informan utama mengatakan bahwa pengetahuan mengenai pemberian makanan pendamping ASI dan pemberian ASI eksklusif didapatkan dari tenaga kesehatan/bidan puskesmas kecamatan. Adanya pelaksanaan kelas ibu hamil, konseling, dan penyuluhan dalam pelayanan ANC (Antenatal Care) dengan dibantu alat penyuluhan yaitu leaflet yang berisikan tentang pesan-pesan kehamilan, perubahan tubuh selama hamil, keluhan umum saat hamil, pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, pengaturan gizi, kesiapan psikologis menghadapi kehamilan, hubungan suami istri selama hamil, obat yang boleh dan tidak boleh, tanda bahaya kehamilan, 126 tanda bahaya persalinan, perawatan ibu nifas, posisi dan pelekatan ibu menyusui yang benar, perawatan bayi baru lahir, pengamatan pertumbuhan dan perkembangan bayi, tanda bahaya bayi baru lahir dan pemberian ASI eksklusif. Tetapi, hasil wawancara menunjukkan bahwa pengetahuan informan untuk memberikan ASI eksklusif tidak diikuti dengan prakteknya yang sebenarnya. Hasil penelitian Fikawati dan Syafiq (2003) sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu promosi mengenai ASI eksklusif sudah mulai terlihat hasilnya dengan cukup tingginya pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif yang berkisar antara 59,7%-79,0%. Namun demikian tingginya pengetahuan ibu ini tidak diikuti dengan prakteknya, persentase praktek pemberian ASI eksklusif hanya kurang dari seperempatnya persentase pengetahuan ibu, responden yang tidak ASI eksklusif sampai 4 bulan umumnya telah memberikan makanan/minuman prelakteal pada hari-hari pertama setelah persalinan (Fikawati dan Syafiq, 2003). Dan hasil penelitian Padang (2008), jawaban responden yang berkaitan waktu pemberian makanan tambahan berdasarkan pengkategorian, sebanyak 51,7% responden memiliki pengetahuan yang baik tentang makanan pendamping ASI, pengetahuan dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap pemberian makanan pendamping ASI. Hal ini disebabkan karena perilaku ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pemberian makanan kepada anak dibawah 6 bulan yang sudah mengakar secara turuntemurun. 127 Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa tindakan merupakan respon internal setelah adanya pemikiran, tanggapan, sikap, batin, dan pengetahuan. Tindakan atau perilaku dipengaruhi oleh keturunan, lingkungan, dan pengetahuan. Dalam tahapan proses beraktivitas, setelah individu melakukan pencarian dan pemprosesan informasi, langkah berikutnya adalah menyikapi informasi yang diterima. Apakah individu akan meyakini informasi yang diterimanya, hal ini berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Keyakinan-keyakinan atas suatu informasi membentuk sikap individu. Sikap akan menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan terhadap stimulus (Notoatmodjo, 1997). Perubahan sikap tergantung pada sejauh mana komunikasi itu diperhatikan, dipahami, dan diterima. Pengaruh orang lain yang dianggap penting merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi sikap (Hovland cit Muchlas, 1998 dalam Yuliarti 2008). Pembentukan sikap juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga tertentu serta faktor emosi dalam diri individu yang bersangkutan (Azwar, 2003 dalam Yuliarti, 2008). Adanya pengalaman dalam praktek pemberian makanan pendamping ASI dini, terlihat dari pengalaman informan dalam pemberian makanan kepada anak sebelumnya, sebagian besar informan yang memiliki anak lebih dari 2 (multipara) menyebutkan bahwa pemberian makanan sudah pernah dipraktekkan kepada anak sebelumnya, tidak hanya pengalaman informan sendiri tetapi ada pengalaman mengurus anak saudara. Namun, 128 untuk informan yang baru memiliki anak 1 (primipara) menuturkan bahwa pengalaman didapat dari pengalaman orang terdekat yaitu teman dan tetangga sekitar lingkungan rumah. Jika disimpulkan dari hasil wawancara pengalaman informan utama didapatkan dari pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain dalam hal ini keluarga terdekat informan yaitu ibu kandung dan ibu mertua yang juga memiliki pengalaman dalam pemberian makanan pendamping ASI dini. Pengalaman dalam pemberian makanan pendamping ASI dini akan membangun keputusan ibu terhadap tindakan yang dilakukan, ibu yang memiliki anak lebih dari 2 (multipara) akan lebih mudah mempraktekkan pemberian makanan, jumlah anak berpengaruh terhadap pengetahuan ibu karena praktek sangat berhubungan dengan proses belajar dari praktek ibu menyusui pada anak sebelumnya dan akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan makanan pendamping ASI dini. Bagi ibu yang baru memiliki anak pertama (primipara) asumsi peneliti hal ini mungkin berkaitan dengan kurangnya pengalaman ibu dalam praktek menyusui, mengingat bayi yang disusui merupakan anak pertama, semua kondisi dalam menyusui dapat ibu rasakan sehingga apabila terdapat masalah menyusui maka ibu akan mengambil keputusan untuk memberikan makanan pendamping ASI dini. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ginting, dkk (2012), Paritas ibu diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pemberian makanan pendamping ASI dini, diketahui bahwa dari 32 orang ibu yang mempunyai paritas primipara, 27 orang (84,4%) diantaranya telah memberikan makanan pendamping ASI dini kepada bayi usia < 6 bulan. 129 Ibu yang mempunyai paritas multipara, 41 orang (60,3%) yang telah memberikan makanan pendamping ASI kepada bayinya. Hasil analisis diperoleh pula ibu yang memiliki paritas primipara mempunyai risiko sebesar 1,4 kali untuk memberikan makanan pendamping ASI dini pada bayi usia kurang dari 6 bulan. Hal ini disebabkan karena ibu yang memiliki anak pertama memiliki pengalaman yang masih kurang dalam memberikan makanan yang baik untuk anaknya, sehingga saran dari orang tua atau keluarga dapat mempengaruhi ibu dalam memberikan makanan pendamping ASI tidak sesuai dengan usia bayi. Hasil penelitian Marie di Hongkong tahun 2010 dan juga penelitian Tan di Peninsular Malaysia tahun 2011 yang menyatakan bahwa ada pengaruh paritas ibu terhadap pemberian MP-ASI dini pada bayi usia < 6 bulan. Hal ini disebabkan karena ibu yang memiliki paritas multipara telah memiliki pengalaman dalam menyusui dan perawatan bayi. Pengalaman menyusui merupakan suatu riwayat bagi ibu yang dapat mempengaruhi proses menyusui selanjutnya, di mana pada kelahiran berikutnya menentukan bayi diberi ASI eksklusif atau tidak. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa responden umumnya memiliki jumlah anak satu orang yaitu 54 orang (54%), yang memperlihatkan bahwa sebaran ibu yang menjadi responden adalah ibu muda yang baru memiliki satu orang anak. Responden yang baru memiliki 1 anak, maka pengalaman menyusui baru satu kali, sehingga tidak dapat diketahui apakah ibu akan memberikan atau tidak memberikan ASI eksklusif pada anak kedua dan seterusnya. Sementara responden yang pernah menyusui 2 anaknya berjumlah 31%, 130 responden yang pernah menyusui 3 anak berjumlah 9%, dan responden yang pernah menyusui 4 anak berjumlah 6%. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya semua bayi pernah disusui oleh ibunya hanya saja lama menyusui berbeda-beda antar responden (Mulyaningsih, 2010). Menurut peneliti pengalaman yang didapatkan informan utama dapat menentukan keputusan apakah informan akan memberikan ASI eksklusif dan atau memberikan makanan pendamping ASI dini. Disamping itu memperkuat persepsi informan terhadap ancaman penyakit yang akan ditimbulkan dari pemberian makanan pendamping ASI dini. Penentuan keputusan untuk memberikan ASI eksklusif dan atau memberikan makanan pendamping ASI dini juga dilihat dari tradisi/kebiasaan dalam keluarga untuk memberikan makanan pendamping ASI dini. Hasil penelitian menyebutkan adanya kebiasaan atau adat keluarga Betawi yaitu ketika bayi baru lahir selalu diberikan madu yang dioleskan di bibirnya. Informan pendukung (ibu mertua) dari salah satu informan utama mengungkapkan bahwa pemberian madu berguna untuk membuang lendir yang berada dalam paru-paru bayi sehingga terhindar dari penyakit asma, madu diberikan sebelum diberikannya ASI dan kebiasaan pemberian pisang siem yang diulek dengan nasi. Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Firanika (2010), dimasyarakat Bubulak terdapat tradisi pada bayi yang baru lahir yaitu memberikan madu atau air gula agar ASInya terasa manis, dan memberikan kopi supaya anak tidak terkena step, kemudian memberikan air dari remasan daun pare untuk membersihkan kotoran bayi dari mulut. 131 Kebiasaan tersebut dilakukan turun-temurun dan masih diyakini oleh masyarakat. Hasil penelitian Kholifah (2008) menyebutkan bahwa pemilihan madu sebagai makanan awal kelahiran bermanfaat untuk mengeluarkan kotorang dari dalam tubuh bayi, dapat merangsang air susu agar cepat keluar, merupakan makanan yang baik sebelum pemberian ASI dan memerahkan bibir bayi jika pemberiannnya dioleskan menggunakan cabe merah. Hasil penelitian Widodo (2001) juga mengungkapkan hal yang sama. Dari hasil penelitian ini terungkap makanan/minuman yang diberikan pada bayi baru lahir serta alasan pemberian makanan tambahan kepada bayi baru lahir karena ASI belum keluar, agar bayi tidak lapar, serta disarankan oleh dukun bayi dan orang tua, juga karena ibu belum kuat menyusui. Hal ini juga diungkapkan oleh Sudiman (2004) bahwa sebagian besar ibu muda memberikan makanan pendamping ASI kepada bayinya pada usia muda yakni 0-3 bulan, dengan alasan agar bayi tidak sering menangis, dan sebagian kecil karena ASI tidak keluar. Selain itu hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil disertasi oleh Maas (2004) dalam Afifah (2007), bahwa pada susu sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibuya lebih dahulu dan didiamkan selama satu malam) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Pengetahuan budaya lokal berupa ideologi makanan untuk bayi, antara lain pemberian madu kepada bayi. Secara umum informan menjawab bahwa 132 madu bagus dan dapat diberikan kepada bayi dengan alasan bahwa madu dapat mencegah bayi dari penyakit dan bayi dapat tumbuh lebih cepat. Madu ini merupakan salat satu makanan yang sering diberikan oleh ibu-ibu responden kepada bayinya. Kecamatan Bonto Cani merupakan daerah penghasil madu, nama “cani” dari kata Bonto Cani menunjukkan bahwa kecamatan ini memiliki ciri khas yang melekat dengan madu, di mana “cani” dalam bahasa Bugis berarti madu. Ideologi makanan lokal ini diduga memberi andil dalam memanfaatkan madu sebagai makanan tambahan bayi (Yulianah, dkk, 2013). Kepercayaan yang dianut informan merupakan juga kepercayaan keluarga terdekat informan dalam pemberian makanan pendamping ASI dini, kepercayaan ini bersifat turun-temurun keluarga. Kepercayaan adalah salah satu komponen dari budaya, dimana sistem kepercayaan yang diyakini dipengaruhi oleh dalam kebiasaan dalam kehidupan (Wikipedia budaya). Kepercayaan terhadap pemberian makanan/minuman kepada bayi dibawah 6 bulan adalah suatu hal yang perlu diperhatikan, praktek pemberian makanan/minuman ini adalah bukti nyata bahwa pelaksanaan ASI eksklusif belum berhasil. Peneliti berasumsi untuk bisa mempengaruhi keputusan agar tidak memberikan makanan pendamping ASI dini cukup sulit. Informan harus disadarkan dengan adanya dampak yang akan mengancam kesehatan bayi. Dan menganggap bahwa pemberian makanan pendamping ASI dini adalah suatu ancaman yang dapat menimbulkan penyakit tertentu terhadap bayi apabila pemberian makanan pendamping ASI dini masih diberikan. 133 Anggapan masyarakat tentang pemberian makanan pendamping ASI dini dapat bermanfaat bagi bayi adalah hal sangat keliru, pemberian madu yang dapat mengeluarkan kotoran dari perut bayi, sebagai obat pencegah sariawan serta pemberian makanan padat dapat membuat bayi tidak rewel dan anteng, menurut Roesli (2000), sudah tersedia pembersih alamiah berupa kolostrum. Kolostrum merupakan pencahar yang ideal untuk membersihkan zat tidak dipakai dari usus bayi yang baru lahir dan mempersiapkan saluran pencernaan makanan bagi bayi makanan yang akan datang. Kolostrum kuning kental sesuai untuk kebutuhan bayi baru lahir. Kolostrum mengandung antibodi vital dan nutrisi padat dalam volume kecil, sesuai sekali untu makanan awal bayi (Bobak, 2004). Ada beberapa jenis madu mengandung spora Clostridium botulinum (Whaley, Wong, 1955), spora ini sangat tahan terhadap panas dan tidak mati dalam proses pembuatan madu. Bila ditelan bayi, spora dapat berkembang dan melepaskan racun yang letal ke dalam lumen usus. Akhirnya botulisme bayi terjadi dan pada beberapa kasus dapat berakibat fatal (Babok, 2004). Maka dapat disimpulkan kebiasaan informan yang memberikan madu ketika bayi baru lahir sebenarnya tidak berguna karena sudah sangat jelas kolostrum ibu yang keluar pertama kali lebih baik dari madu yang bisa menangkal berbagai penyakit, dan selanjutnya ditambah dengan pemberian ASI secara eksklusif maka sempurnalah penangkal berbagai penyakit bagi bayi. Ketika sistem tubuh bayi belum siap menerima makanan pendamping ASI seperti usia yang kurang dari 6 bulan, maka selain ancaman obesitas, banyak lagi dampak negatif yang akan ditimbulkan. Berikut dampak jangka 134 pendek dari pemberian makanan pendamping ASI dini yaitu (a) menurunkan frekuensi dan intensitas isap, sampai usia 6 bulan aktivitas mulut bayi adalah mengisap. Namun, ketika memaksa mulutnya untuk mengunyah maka frekuensi dan intensitas isap menurun bahkan hilang; (b) memicu diare, perut bayi dibawah 6 bulan sebenarnya baru bisa mencerna ASI. Ketika diberi makanan pendamping ASI, maka sel-sel usus kewalahan untuk mengolah zat-zat makanan, sehingga bereaksi seperti menimbulkan gangguan diare; (c) menimbulkan defluk atau kolik usus, kram usus yang ditandai dengan bayi menangis sambil menarik kakinya ke arah perut, terjadi akibat usus yang belum matang dipaksa mencerna makanan pendamping ASI; (d) bayi kehilangan nutrisi dari ASI, karena kekenyangan makan makanan pendamping ASI. Padahal, nutrisi dari makanan pendamping ASI tidak dapat diterima bayi 100% akibat tubuhnya belum bisa mencerna makanan pendamping ASI dengan sempurna, hanya ASI yang bisa bayi cerna. Konsumsi makanan pendamping ASI yang mengenyangkan, tentu membuat bayi enggan minum ASI. Akibatnya, kebutuhan nutrisi seimbang, justru tidak terpenuhi; (e) penyakit anemia zat besi, pengenalan makanan seperti sereal, buah-buahan atau sayuran yang terlalu dini, dapat mempengaruhi penyerapan besi dari ASI sehingga menyebabkan bayi kekurangan zat besi (Simanjuntak, 2009 dan Cox, 2006). Dampak jangka panjang dari pemberian makanan pendamping ASI dini yaitu (a) obesitas, terjadi akibat bayi menerima tambahan kalori ekstra dari makanan pendamping ASI. Padahal, jumlah kalori makanan padat dan susu formula melebihi jumlah kalori yang dibutuhkan. Hanya ASI yang 135 dapat memenuhi kebutuhan kalori bayi secara lengkap dan seimbang. Pemberian makanan pendamping ASI secara dini juga mengajarkan pola makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh. Konsekuensi pada usiausia selanjutnya adalah terjadi kelebihan berat badan atau kebiasaan makan terlalu banyak; (b) hipertensi, disebabkan asupan garam natrium dari makanan pendamping ASI yang sangat tinggi, yaitu lebih dari 15 mg/100 m; (c) arteriosklerosis, yaitu bentuk gangguan yang terjadi pada pembuluh darah arteri, sebagai akibat dari konsumsi kolestrol serta lemak berlebihan dari makanan pendamping ASI; (d) alergi makanan, belum matangnya sistem kekebalan usus bayi, menyebabkan risiko reaksi alergi lebih kerap terjadi (Simanjuntak, 2009 dan Cox, 2006). Sehingga dapat disimpulkan dari penjelasan dan hasil penelitian, anggapan informan mengenai pemberian makanan pendamping ASI dini yang bukan suatu ancaman ataupun tidak menimbulkan penyakit setelah pemberian makanan dipengaruhi dari pengalaman informan yang pernah memberikan makanan pendamping ASI dini kepada anak sebelumnya, kebiasaan/adat keluarga dalam pemberian makanan pendamping ASI dini, dan pengetahuan mengenai makanan pendamping ASI yang belum bisa diyakini informan utama. Menurut Notoatmodjo (2010), untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan perlu diberikan penyuluhan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga maupun masyarakat, dalam membina dan memelihara hidup sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. 136 Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan keyakinan, sedangkan keyakinan itu timbul berdasarkan pengetahuan yang diterima dan bertujuan agar pengetahuan tersebut bisa berdampak positif apabila sampai dilakukannya tindakan atau perilaku. Dengan meningkatkan pengetahuan ibu hamil melalui konseling laktasi, penyuluhan dan kelas ibu hamil di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan mengenai manfaat dan pentingnya pemberian ASI eksklusif. Tenaga kesehatan/bidan puskesmas juga harus bisa meyakinkan ibu hamil untuk memberikan ASI eksklusif, dan dampak pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini. Metode ceramah, selain sederhana juga efektif dalam upaya penyampaian informasi secara cepat kepada kelompok sasaran yang cukup besar, sedangkan metode diskusi kelompok dapat digunakan untuk penyampaian informasi dengan lebih memberikan kesempatan untuk mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah (Sofa, 2008a). Diharapkan dengan metode ini pengetahun mengenai pemberian ASI eksklusif dapat meningkat sehingga praktek pemberian makanan pendamping ASI dini tidak dilakukan. Menurut (Potter, 1993 dalam Setyowati, 2008), proses komunikasi dipengaruhi oleh 10 faktor diantaranya adalah tatanan interkasi/lingkungan yaitu situasi kondisi lingkungan pada saat memberikan pendidikan kesehatan. Komunikasi interpersonal akan lebih efektif jika dilakukan dalam suatu lingkungan yang menunjang. Tempat yang bising, kurang keleluasaan pribadi, dan ruang sempit dapat menimbulkan kerancuan, ketegangan, maupun ketidaknyamanan. Saat penyuluhan semua kondisi harus bisa 137 diatasi dengan baik seperti jumlah sasaran terlalu banyak yang memungkinkan saling berbincang ikut mempengaruhi dalam komunikasi. 6.4 Gambaran persepsi informan mengenai manfaat pemberian ASI eksklusif Berdasarkan hasil wawancara peneliti berasumsi bahwa persepsi manfaat yang terbentuk pada informan utama adalah persepsi manfaat pemberian ASI, hal ini disimpulkan dari praktek pemberian makanan pendamping ASI dini, informan masih memberikan ASInya ketika pemberian makanan tersebut. Sehingga dapat diketahui juga persepsi informan mengenai ASI eksklusif masih rendah. Seharusnya apabila informan mengetahui manfaat ASI eksklusif maka praktek pemberian makanan pendamping ASI dini tidak dilakukan, mengingat manfaat ASI eksklusif berhubungan langsung dengan pengetahuan informan mengenai ASI eksklusif. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian informan utama memiliki pengetahuan yang salah mengenai pemberian ASI eksklusif, informan menyebutkan bahwa ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan sampai 2 tahun, ASI lebih baik dibandingkan dengan susu, dan pemberian ASI tidak repot. Hasil wawancara ini juga sejalan dengan hasil penelitian Yulianah, dkk (2013), menunjukkan bahwa sebagian besar responden (64,4%) memiliki pengetahuan ASI eksklusif dalam kategori kurang dan tidak terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan responden dengan pemberian ASI eksklusif. Rendahnya pengetahuan responden diduga 138 disebabkan antara lain kurangnya informasi, kurang jelasnya informasi, dan kurangnya kemampuan responden untuk memahami informasi yang diterima. Penelitian yang dilakukan Afifah (2007) menemukan bahwa pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dapat diperoleh dari berbagai sumber informasi. Rendahnya pengetahuan para ibu tentang ASI eksklusif, pada saat yang sama mereka memiliki pengetahuan budaya lokal berupa ideologi makanan untuk bayi. Pengetahuan budaya lokal ini dapat disebut penghambat bagi praktik pemberian ASI eksklusif. Pengetahuan yang rendah tentang ASI eksklusif karena tidak memperoleh penyuluhan intensif saat pemeriksaan kehamilan tentang manfaat dan tujuan pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Yulfira, 2007 dalam Igo, 2009) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat menunjukkan bahwa sebagian besar ibu mempunyai pengetahuan yang baik tentang menyusui, akan tetapi pengetahuan ibu tentang pemberian ASI secara eksklusif masih sangat rendah. Begitu juga dengan perilaku pemberian ASI secara eksklusif, pada umumnya mereka tidak dapat memberikan ASI secara eksklusif. Hal tersebut disebabkan karena masih banyaknya persepsi yang salah di masyarakat terkait dengan pemberian ASI, sehingga hal itu menjadi beban tersendiri bagi ibu menyusui dan proses menyusui menjadi terganggu. Hasil penelitian Hannon tahun 2000 di Amerika Serikat menemukan bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi keputusan ibu dalam pemberian makanan dan praktek pemberian ASI, yang meliputi: (1) persepsi ibu mengenai manfaat ASI, (2) persepsi ibu mengenai kesulitan menyusui, 139 dan (3) pengaruh dari orang lain (public exposure). Adapun kesulitan menyusui yang dimaksud adalah tekanan pihak luar yang menghambat pemberian ASI dan rasa tidak nyaman secara fisik akibat menyusui. Maka informasi tentang manfaat pemberian ASI eksklusif perlu lebih ditingkatkan, menurut hasil penelitian Journal of Human Nutrition Diet, Stewart, dkk (2003) menjelaskan bahwa masih rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif penyebabnya diduga karena masih lemahnya informasi seputar manfaat pemberian ASI dan dukungan sosial dari lingkungan masyarakat sekitar terhadap praktek menyusui selain kondisi demografis dan ekonomis. Upaya memberikan penyuluhan mengenai informasi ASI eksklusif tidak hanya kepada ibu hamil, tetapi harus kepada keluarga dan masyarakatmasyarakat umum agar ikut dukungan ibu memberikan ASI eksklusif. Informasi pemberian ASI eksklusif harus bisa menekan semua aspek jenis promosi apapun yang berkaitan dengan keputusan ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI dini. Informasi mengenai ASI eksklusif akan meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Menurut Azis (1995) pengetahuan adalah segala informasi yang diperoleh dari pihak luar diri subjek yang disertai pemahaman pada informasi yang diterima. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cara bertanya kepada orang lain, pengalaman sendiri, mendengarkan cerita orang atau melalui media massa. Pengetahuan tentang manfaat breastfeeding (menyusui) berpengaruh kuat terhadap awal dan periode menyusui. Ibu yang mempelajari ASI dan 140 tatalaksana menyusui sebelum melahirkan bayi merupakan langkah mencapai keberhasilan pemberian ASI secara eksklusif. 6.5 Gambaran persepsi informan mengenai kendala dan kepercayaan diri ibu dalam pemberian ASI eksklusif Hasil wawancara mengungkapkan bahwa hampir semua informan utama tidak merasakan ada kendala ketika pemberian ASI. Ungkapan tersebut selaras dengan kepercayaan diri yang baik untuk memberikan ASI kepada anaknya, meskipun praktek pemberian makanan pendamping ASI dini juga diberikan informan. Hasil wawancara juga menyebutkan bahwa ada 3 kondisi kendala yang dialami informan utama untuk memberikan ASInya yaitu ibu bekerja, merasa ASInya kurang dan kendala menyusui seperti adanya luka ketika menyusui. Sediaoetomo,(1996) dalam Zai, (2003) mengemukakan bahwa alasan ibu bekerja tidak memberikan ASI eksklusif tidak dapat dibenarkan. Karena hal tersebut dapat diatur dengan menitipkan anak dekat tempat kerja atau jika tempat kerja tidak terlalu jauh, ibu dapat pulang sewaktu-waktu untuk menyusui anaknya. Roesli (2001) juga berpendapat bahwa alasan ibu bekerja adalah tidak benar. Bekerja bukan alasan untuk menghentikan pemberian ASI eksklusif. Ibu bekerja tetap dapat memberikan ASI eksklusif dengan cara memerah ASInya sehari sebelum ibu pergi dan ASI perah dapat tahan disimpan selama 24 jam di dalam termos es yang diberi es batu. 141 Menurut Bobak (2004), apabila seorang ibu kembali bekerja, ia perlu memompa payudaranya saat ia tidak bersama bayinya. Air susu ibu dapat dikeluarkan dengan tangan (mengeluarkan air susu secara manual) atau dengan bantuan pompa payudara. Proses ini akan lebih mudah jika ibu rileks. Ibu mungkin ingin minum cairan sebelum mengeluarkan air susu. Air susu yang dihasilkan dapat diberikan kepada bayi dengan memakai botol atau dapat disimpan atau dibekukan di dalam lemari es. Apabila air susu harus dibawa dalam perjalanan, air susu ini harus diusahakan tetap dingin. Air susu ibu dapat disimpan dengan aman di dalam lemari es selama 24 sampai 48 jam. Apabila tidak dipakai dalam 48 jam maka air susu ini harus dibekukan segera setelah dikeluarkan. Air susu ibu boleh dibekukan selama 6 bulan. Untuk mencairkannya, tabung tempat penyimpanan harus diletakkan di dalam air kran yang hangat. Air susu yang sudah dicairkan ini harus segera dipakai. Air susu ini tidak boleh dibekukan ulang, jangan menggunakan microwave untuk mencairkan air susu yang beku atau untuk menghangatkan ASI (Worthington-Roberts, 1993 dalam Bobak, 2004). Microwave dapat menimbulkan titik panas, yang dapat menyebabkan mulut dan tenggorokan bayi terbakar panas. Alasan lainnya seperti bayi menangis terus dan ASI kurang, juga bukan alasan yang benar. Roesli (2001) menyatakan bahwa dari 100 ibu yang mengatakan ASInya kurang sebenarnya hanya 2 ibu yang ASInya betul-betul kurang. 98 orang lainnya mempunyai ASI yang cukup, hanya kurang dapat menata laktasi ASI dengan benar. Demikian halnya dengan alasan BB turun bukan merupakan alasan yang benar karena jika produksi 142 ASI cukup, maka pertumbuhan bayi untuk 4-5 bulan pertama akan menjadi 2 kali lipat dari pada BB lahir. BB turun diduga berhubungan juga dengan manajemen laktasi yang belum benar. Bayi sakit perut juga merupakan alasan yang salah karena justru ASI mengandung substansi anti infeksi yang melindungi bayi terhadap penyakit infeksi terutama bila kebersihan lingkungannya tidak baik (Pudjiadi, 2000). Kalaupun produksi ASI kurang, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk berhenti menyusui. Jika semakin sering menyusui maka dapat merangsang produksi ASI. Umumnya, ibu memerlukan waktu sekitar 1 minggu untuk mengembalikannya pada kondisi normal, yang dalam hal ini produksi ASI cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi. Demikian pula dengan gangguan yang muncul saat menyusui, bukanlah alasan untuk menghentikan ASI. Gangguan tersebut umumnya berupa puting lecet atau nyeri dan terkait dengan posisi menyusui yang keliru. Jika puting lecet maka ibu dapat menggunakan krim guna menghilangkan lecet tersebut (Yuliarti, 2010). Pemberian susu formula merupakan alternatif pemberian susu yang berhasil pada beberapa keadaan tertentu, termasuk keadaan-keadaan berikut, keluarga memutuskan untuk tidak menyusui bayi atau ibu tidak mampu menyusui karena suatu penyakit atau anomali, jadwal ibu tidak memungkinkannya menyusui bayinya, formula khusus dibutuhkan karena bayi alergi atau memerlukan suatu makanan tertentu, memberi tambahan makanan bagi bayi yang ibunya kadang-kadang tidak dapat menyusui, melengkapi ASI jika produksi susu ibu tidak mencukupi, bayi adopsi. 143 Pemberian susu formula harus menjadi pilihan jika ibu mengidap infeksi aktif, seperti tuberkulosis, lesi sifilis, pada payudara atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) (Bobak, 2004). Menurut hasil penelitian Zai, (2003) alasan-alasan yang diberikan oleh ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif itu menunjukkan bahwa informasi khusus tentang ASI tidak pernah diperoleh. Hal ini dibuktikan oleh persentase contoh yang tidak tepat menjawab pertanyaan tentang lamanya pemberian ASI saja kepada bayi, yaitu sebanyak (62,2%). Pemberian ASI non eksklusif ini juga diduga berhubungan dengan pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini. Hal yang menarik juga terjadi pada para ibu yang sebenarnya mindset awalnya ASI, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 38,2% responden yang mindset awalnya akan menyusui ASI, namun akhirnya gagal memberikan ASI selama dua bulan, penyebabnya adalah ASI keluar setelah beberapa hari, dan sebagian ada yang bayinya tidak mau menyusu serta rewel saja sehingga pemberian susu formula menjadi alternatifnya (Hikmawati, 2008). Banyak kepercayaan dan sikap yang tidak berdasar terhadap makna pemberian ASI yang membuat pada ibu tidak melakukan pemberian ASI eksklusif kepada bayi-bayi mereka dalam periode 6 bulan pertama. Alasan umum mengapa mereka tidak memberikan ASI eksklusif, meliputi rasa takut yang tidak berdasar bahwa ASI yang mereka hasilkan tidak cukup dan/atau memiliki mutu yang jelek, keterlambatan memulai pemberian ASI dan praktik membuang kolostrum, teknik pemberian ASI yang salah, 144 kepercayaan yang keliru bahwa mereka haus dan memerlukan cairan tambahan, kekurangan dukungan dari pelayanan kesehatan, dan pemasaran susu formula pengganti ASI (Gibney, 2009). Beberapa kendala ibu tidak percaya diri bahwa dirinya mampu menyusui dengan baik sehingga mencukupi seluruh dengan baik sehingga mencukupi seluruh kebutuhan gizi baik. Hal ini antara lain disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu, kurangnya dukungan keluarga serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang manfaat pemberian ASI eksklusif. Selain itu kurangnya dukungan tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan produsen makanan bayi untuk keberhasilan ibu dalam menyusui bayinya (Kemenkes RI, 2012). Ketidakcukupan suplai ASI merupakan persepsi ibu terhadap kuantitas dan kualitas ASI-nya tidak dapat memenuhi kebutuhan bayinya, melibatkan beberapa faktor seperti kepercayaan diri ibu, dukungan suami, kesehatan maternal, dukungan mertua, berat badan bayi lahir, perilaku bayi, makanan padat, dan susu formula (Worthington, 2000 dan WHO, 2004). Namun, hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan informan utama terhadap dukungan yang diberikan keluarga terdekat. Pemberian makanan pendamping ASI dini didukung kuat oleh keluarga terdekat informan utama yang dilihat dari kondisi bayi yang rewel, menangis setelah disusui, sehingga peluang untuk ibu memberikan makanan pendamping ASI dini sangat besar. Disamping itu juga pengetahuan ibu terhadap produksi ASI belum banyak diketahui hal ini yang membuat ibu dengan mudah memberikan makanan pendamping ASI dini. Sebenarnya produksi ASI 145 sangat dipengaruhi oleh faktor kejiwaan ibu. Ibu yang selalu dalam keadaan gelisah, kurang percaya diri, rasa tertekan dan berbagai bentuk ketegangan emosional, mungkin akan gagal dalam menyusui bayinya (Moehji, 1988). Dalam menyusui, seorang ibu tentu akan banyak menghadapi masalah. Meskipun ia sudah berpengalaman sekalipun, dalam hal menyusui, kemungkinan timbulnya masalah tetap besar. Tentunya masalah timbul itu akan membuat proses menyusui menjadi tidak lancar. Masalah menyusui dapat diatasi dengan tepat agar ibu bisa memberikan ASI secara eksklusif. Pemberian ASI eksklusif merupakan suatu investasi yang tidak bisa tergantikan dalam menentukan kesehatan dan kecerdasan anak. Generasi sehat berkualitas akan tercapai jika ASI sebagai gizi utama yang diperlukan anak dalam dua tahun periode awal kehidupannya diberikan sampai dilakukan penyapihan. Seribu hari pertama yaitu terhitung sejak bayi dalam kandungan (40 minggu hingga dua tahun pertama) menjadi penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa kita (Permatasari, 2012). Kunci utama keberhasilan pemberian ASI eksklusif yaitu membangun kepercayaan diri dan motivasi ibu selama menyusui, mendukung ibu dalam pengambilan keputusan untuk memberikan ASI eksklusif. Hasil ini akan lebih optimal jika suami dan keluarga terdekat ibu lainnya yaitu orangtua dan anggota keluarga lainnya ikut mendukung dan berperan aktif untuk bekerjasama melaksanakan tugas utamanya memberikan ASI eksklusif (Permatasari, 2012). 146 6.6 Gambaran faktor eksternal mengenai pemberian makanan pendamping ASI dini Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan oleh informan utama diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh informan pendukung, hampir seluruh informan pendukung dalam penelitian ini menganjurkan pemberian makanan pendamping ASI dini serta mengambil alih dalam persoalan pemberian makanan. Dukungan keluarga sebagian besar bersifat negatif sehingga terjadi kegagalan pemberian ASI eksklusif. Menurut Gultom (2010), ibu yang menyusui membutuhkan rangsangan-rangsangan dari keluarganya, yaitu dalam bentuk dukungan, baik dukungan fisik, psikologi dan ekonomi. Dukungan ini diberikan untuk memperkuat perilaku ibu agar memberikan ASI kepada bayinya. Kemudian ibu memberi respon atas dukungan yang diberikan keluarga tersebut dalam bentuk perilaku untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Proses stimulasi ini juga terjadi dalam pemberian MP-ASI, dimana jika keluarga memberikan dukungan untuk memperkuat perilaku ibu agar memberikan MP-ASI dini. Kemudian ibu akan merespon atas dukungan tersebut sehingga membentuk perilaku pemberian MP-ASI dini Pada penelitian Nuraeni (2002) dalam Rohmiana (2007), orang tua atau mertua (33,6%) merupakan keluarga yang menganjurkan memberikan makanan atau minuman selain ASI pada bayi baru lahir. Selain itu dari hasil penelitiannya, bayi yang mendapatkan ASI saja sejak lahir sampai umur 4-6 bulan hanya 19,82%. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pemahaman-pemahaman praktek pemberian makanan pendamping ASI 147 yang salah sehingga berdampak kepada pemberian makanan pendamping ASI secara dini kemudian adanya kebiasaan-kebiasaan terdahulu yang sudah tidak cocok pada masa sekarang ini dan masih sering diterapkan oleh orang tua terutama ibu kandung ataupun mertua yang merupakan salah satu pengaruh dalam pengampilan keputusan ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI dini. Sejalan dengan penelitian Afifah (2007) di Kecamatan Tembalang Semarang, yang menyatakan sebagian subjek telah mulai memberikan makanan pendamping ASI sejak bayi berusia kurang dari satu bulan, bahkan ada satu subjek yang memberikan makanan berupa nasi dan pisang „ulek‟ pada saat bayi berusia 11 hari. Pemberian makanan pendamping yang terlalu dini biasanya karena anjuran orang tua terutama nenek (ibu subjek). Alasan umumnya karena bayi menangis terus meskipun telah disusui dan diberi susu formula. Hasil penelitian Saleh (2011), pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini biasanya karena anjuran orang tua terutama nenek (ibu subjek). Penelitian yang dilakukan Clin Ped (1994) seperti yang dikutip Roesli dalam Saleh (2011), yang menyatakan bahwa keberhasilan menyusui pada 115 ibu yang tahu ASI hanya 26,9% pada kelompok ayah yang tidak mengerti ASI dan keberhasilan menyusui 98,1% pada kelompok ayah yang tahu ASI. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa suami sangat berperan dalam menentukan keberhasilan menyusui secara eksklusif. Subjek mengetahui bahwa ASI sangat baik untuk bayi namun tidak mendapat motivasi yang kuat baik dukungan suami, keluarga serta lingkungan. 148 Peranan keluarga terdekat terhadap berhasil tidaknya informan memberikan ASI eksklusif sangat besar, pemilihan informan pendukung dalam penelitian ini adalah keluarga terdekat yang menyebabkan informan memutuskan untuk memberikan makanan pendamping ASI dini, dan dalam penelitian ini menunjukkan pola pengasuhan biasanya dilakukan oleh nenek. Disini tampak bahwa ibu kandung/mertua berperan dalam pengasuhan anak, terutama dalam pemberian makanan/minuman kepada bayi. Selain dukungan keluarga, dukungan sosial yaitu dukungan teman atau tetangga juga memberikan dorongan untuk pemberian makanan/minuman kepada bayi, menurut Cobb dan Jones (1984) yang dikutip oleh Niven (2000) dukungan sosial juga dukungan yang berasal dari teman ataupun interaksi dengan tetangga lainnya. Lingkungan tetangga juga mempunyai pengaruh terhadap pola kehidupan keluarga. Dalam penelitian ini juga ada informan yang mengungkapkan bahwa anak pertamanya mengalami masalah ketika menyusui yaitu puting lecet dan sampai berdarah, seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin akan mengalami masalah ketika menyusui yang sebetulnya hanya karena tidak tahu cara-cara yang sebenarnya dan apabila ibu mendengar ada pengalaman menyusui yang kurang baik yang dialami orang lain hal ini memungkinkan ibu ragu untuk memberikan ASI kepada bayinya (Perinasia, 2004) hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa informan merasakan sakit ketika menyusui dan mendengar dari pengalaman dari orang lain kalau menyusui anak lakilaki itu akan merasakan sakit, dan akhirnya informan memberikan makanan pendamping ASI lebih awal. 149 Selain mendapat dukungan pemberian makanan pendamping ASI dini yang kuat dari keluarga terdekat, sebenarnya informan juga mendapat dukungan serta anjuran positif untuk memberikan ASI secara eksklusif dan memperkenalkan makanan pendamping ASI setelah bayi berumur 6 bulan. Tetapi pada pelaksanaannya informan memberikan makanan pendamping ASI dini meskipun pemberian ASI masih diberikan. Dukungan yang kuat dari bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan untuk memberikan ASI secara eksklusif dikalahkan dengan kurangnya dukungan keluarga informan mengenai pemberian ASI eksklusif sehingga pemberian makanan pendamping ASI dini mudah diberikan. Dukungan/anjuran yang diberikan tenaga kesehatan khususnya bidan puskesmas, tidak hanya diberikan begitu saja tetapi melalui pemeriksaan kehamilan dan pascapersalinan berdasarkan pengakuan bidan ketika wawancara, bidan selalu mengingatkan dan menganjurkan ibu harus memberikan ASI secara eksklusif dengan tidak memberikan makanan/minuman sebelum bayi berumur 6 bulan. Dukungan petugas kesehatan sendiri, baik itu dokter, bidan, perawat maupun kader kesehatan, sebenarnya memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan memberikan ASI eksklusif. Hasil penelitian dari Josefa (2011) bahwa dukungan petugas kesehatan pada masa sebelum dan sesudah persalinan, seperti edukasi dan penyuluhan, belum seperti diharapkan, tidak ada tenaga kesehatan yang mendukung dan menjelaskan bagaimana jalan keluar yang tepat. Beberapa bidan memang mengajari cara menyusui, merawat puting dan memijat payudara. Tetapi, ibu-ibu tidak diyakinkan bawah ASI cukup dan tetap menyusui bayinya. Edukasi yang 150 diberikan hanya berupa larangan meminum jamu dan memakan makanan tertentu yang bisa melancarkan ASI, sedangkan dokter hanya memberikan resep. Dan penelitian Josefa (2011) tidak sejalan dengan hasil penelitian ini, dukungan yang diberikan bidan Puskesmas Kecamatan sangat baik. Namun, praktek pemberian makanan pendamping ASI dini masih gencar diberikan informan, penyuluhan yang diberikan ketika pelayanan pemeriksaan informan biasanya mendapatkan edukasi mengenai keluhan-keluhan informan selama kehamilan, kemudian diruang bersalin informan juga biasanya mendapatkan informasi mengenai pasca persalinan meliputi pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan pernyataan informan mengenai pengetahuan pemberian makanan pendamping ASI yang seharusnya, informan mengetahui dengan baik kapan waktu yang tepat diberikan makanan pendamping ASI, hal ini dapat menunjukkan bahwa dukungan yang diberikan bidan puskesmas kecamatan baik. Faktor eksternal seperti dukungan dari orang tua, mertua, tetangga dan tenaga kesehatan (baik sebagai penolong persalinan maupun tidak) merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam pemberian makanan pendamping ASI dini (Simandjuntak, 2001). Untuk itu peneliti berasumsi bahwa perlu adanya penyuluhan kepada keluarga agar dapat memberikan dukungan dalam pemberian ASI eksklusif dan bukan malah mendukung pemberian makanan pendamping ASI dini. Keberhasilan pemberian ASI eksklusif tidak hanya datang dari dukungan tenaga kesehatan tetapi juga dukungan dari keluarga terdekat. BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan ibu pada umumnya memberikan madu ketika bayi baru lahir, beberapa ibu juga memberikan makanan padat saat anak berumur satu, dua, tiga, dan lima bulan yaitu pisang ambon, bubur nestle, bubur sun, dan susu formula. Adanya pemberian lain seperti air tajin saat air susu ibu belum keluar dan pemberian kopi sebagai syarat untuk mencegah agar anak tidak step. 2. Persepsi ibu tentang ancaman pemberian makanan pendamping ASI dini diketahui ibu menganggap bahwa pemberian makanan pendamping ASI dini bukan suatu ancaman yang dapat menimbulkan penyakit terhadap bayi. Namun, ada satu ibu yang merasa khawatir setelah memberikan makanan pendamping ASI dini dapat menimbulkan efek samping seperti diare. Persepsi ancaman diperkuat dengan pengalaman, kebiasaan/adat turun-temurun keluarga dalam pemberian makanan pendamping ASI dini, dan pengetahuan terhadap waktu yang tepat pemberian makanan pendamping ASI yang belum diyakini ibu. 151 152 3. Persepsi ibu tentang manfaat ASI eksklusif dapat diketahui dari praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan ibu, ibu tetap memberikan ASI ketika memberikan makanan. Sehingga yang terbentuk adalah persepsi ibu terhadap manfaat ASI bukan manfaat ASI secara eksklusif, karena pemberian makanan dan ASI sama-sama memberikan manfaat untuk anak. 4. Persepsi ibu tentang kendala pemberian ASI eksklusif, hampir semua ibu tidak merasakan adanya kendala ketika pemberian ASI meskipun praktek pemberian makanan pendamping ASI dini sudah diberikan ibu. Tetapi ada kondisi yang dialami ibu untuk memberikan ASI yaitu kondisi ibu ketika menyusui, ibu kembali bekerja dan persepsi ibu terhadap ASI yang kurang. 5. Beberapa ibu memiliki kepercayaan diri yang kuat (breastfeeding selfefficacy) untuk menyusui. Namun, ada kondisi yang dialami ibu yang membuat ibu tidak percaya diri untuk memberikan ASI yaitu ketika kondisi puting lecet saat menyusui dan ketidakcukupan ASI. 6. Dukungan yang baik dari bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan untuk memberikan ASI secara eksklusif dikalahkan dengan kurangnya dukungan keluarga terdekat ibu untuk memberikan ASI eksklusif. Dukungan yang didapatkan ibu berupa dukungan pemberian makanan pendamping ASI dini. 153 7.2 Saran 1. Disarankan kepada bidan pelayanan ANC (Antenatal Care) Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan untuk bisa menambah materi tentang ASI eksklusif yaitu pengertian ASI eksklusif, manfaat ASI eksklusif, keunggulan ASI eksklusif, anjuran pemberian ASI eksklusif, pelaksanaan pemberian ASI eksklusif dan langkah keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Melalui konseling dan meyakinkan ibu-ibu hamil untuk memberikan ASI secara eksklusif. 2. Disarankan kepada TPG Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan dan bidan desa untuk memberikan pelatihan kepada kader-kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan agar mampu dan mandiri memberikan penyuluhan kepada ibu hamil tentang manfaat pemberian ASI eksklusif dan dampak pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini, dan dituntut untuk bisa meyakinkan ibu-ibu memberikan ASI secara eksklusif. 3. Disarankan kepada Kepala Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan, agar mengajak tokoh masyarakat di wilayah kerja puskesmas kecamatan untuk turut meyakinkan ibu-ibu agar mau memberikan ASI secara eksklusif. DAFTAR PUSTAKA Afifah, Diana Nur. Faktor yang Berperan dalan Kegagalan Praktik Pemberian ASI Eksklusif (Studi Kualitatif di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang Tahun 2007). Tesis. Program PascaSarjana Universitas Diponegoro Semarang. 2007. Diakses melalui http://eprints.undip.ac.id/17024/1/Diana_Nur_Afifah.pdf pada tanggal 16 Februari 2013 Anggraeni, Annisa. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu yang Melahirkan di Rumah Bersalin Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2012. Ansori, Muhammad. Hubungan Umur Pertama Kali Pemberian MP-ASI dengan Status Gizi Bayi Umur 6-12 Bulan Di Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan Tahun 2001. Tesis. Depok: FKM-UI. 2002. Anonim. Strategi Nasional PP-ASI. 2003. Diakses http://www.gizi.net/kebijakangizi/html. pada tanggal 19 Juli 2013. melalui Arasta, Ludfi Dini. Hubungan Pelaksanaan Rawat Gabung dengan Perilaku Ibu dalam Memberikan ASI Eksklusif di Polindes Harapan Bunda Desa Kaligading Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. 2010. Diakses melalui http://akbid-purworejo.ac.id tanggal 2 april 2013. Azis, S. Ibu dan Anak Bayi Sehat Menjamin Kualitas Sumberdaya Manusia. Buletin Direktorat Jenderal POM No.3. 1995. Bisyaroh, Neneng. Hubungan Karakteristik, Sikap, Pengetahun, dan Peran Ayah terhadap Praktek Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Harjamukti Kota Depok Tahun 2011. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011. BKKBN. Persepsi dan Perilaku Menyusui di Bali. Jakarta : Data Gerakan KB Nasional. 1991. Bobak, Lowdermik and Jensen. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. Jakarta: EGC. 2004. Bonyata, Kelly. Breast Feeding Basics, Preparing To Breastfeed, Supply Basics. Bs, IBCLC. 2011. Cox, S. Breastfeeding with Confidence, Panduan untuk belajar menyusui dengan percaya diri. Jakarta: PT Elex Media Kamputindo. 2006. Dainur. Materi-Materi Pokok Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Widya Medika. 1995. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Profil Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009. Jakarta: Dinkes Provinsi DKI. 2009. Depkes dan Kesejahteraan Sosial. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Jakarta : Depkes RI dan Kesejahteraan Sosial RI. 2000. Depkes, RI. Gerakan Partipasif Penyelamatan Ibu Hamil, Menyusui dan Bayi. Jakarta : Depkes RI. 2000. Depkes, RI. Manajemen Laktasi. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. 2002. Depkes, RI. Ibu Bekerja Tetap Memberikan Air Susu Ibu (ASI). Jakarta Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. 2002. Depkes, RI. Pedoman Hidup Sehat. Jakarta : UNICEF – Depkes RI. 2002. Depkes, RI. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita, Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2004 Depkes, RI. Pedoman Pekan Kesehatan Nasional. Pusat Promosi Kesehatan. Jakarta: Depkes, RI. 2005. Depkes, RI. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendampng ASI lokal. Jakarta: Depkes, RI. 2006. Depkes, RI. Pemberian Air Susu Ibu Dan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Depkes, RI. 2009. Depkes, RI. Paket Modul-Kegiatan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Eksklusif. Jakarta: Depkes, RI 2008. Depkes, RI .Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta: Depkes, RI. 2010b Depkes, RI. Surat Edaran Penguatan Pelaksanaan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM). Jakarta. 2010 Edberg. Mark. Buku Ajar Kesehatan Masyarakat, Teori Sosial dan Teori Perilaku. Jakarta : EGC. 2009 Fika, Sandrawati dan Syafiq, Ahmad. Penyebab Keberhasilan dan Kegagalan Praktik Pemberian ASI Eksklusif. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume IV No. 2 Edisi Mei-Agustus 2003, h. 47-53 http://www.scribd.com/doc/98732627/IMD-Dan-ASI-Eksklusif Diakses Pada Tanggal 16 Februari 2013. Fitrisia, Dessy W. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemberian Susu Formula pada Bayi Umur 0-12 Bulan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2002. Firanika, Rayuni. Aspek Budaya dalam Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Bubulak Kota Bogor Tahun 2010. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Skripsi Keperawatan. 2010. Fishbein, M. Ajzen, I. Belief, Attitude, Intention and Behavior, An Introduction to Theory and Research, London: Addison-Wesley Publishing Comp, 1975 Gatti, L. Maternal Perception Of Insufficient Milk Supply In BreastFeeding. J Nurs. Scholarch 40 (4) : 335-63. 2008. Gibney, MJ. Gizi Kesehatan Masyarakat (Hartono Andry dan Widyastuti Palupi, Penerjemah). Jakarta : Penebit buku kedokteran EGC. 2009. Ginting, Daulat. Sekarwarna, Nanan. Sukandar, Hadyana. Pengaruh Karakteristik, Faktor Internal dan Eksternal Ibu Terhadap Pemberian MPASI Dini Pada Bayi Usia <6 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Barusjahe Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. 2012 Diakses melalui http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/01/pustaka_unpad_peng aruh_karakteristik_faktor_internal.pdf tanggal 19 Juli 2013. Glanz, Karen. K. Rimer, Barbara. Viswanath, K. Health Behavior And Health Education; Theory, Research and Practice. 4th Edition; Jossey-Bass: USA. 2008. Gultom, D, Y. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian MP-ASI pada bayi 0-6 bulan oleh ibu-ibu di pedesaan di kabupaten hulu sungan selatan. Al’ulum vol.34 no.4 oktober halaman 39-43. 2010. Hannon, P.R, S.K. Willis, V.Bishop-Towsend, I.M. Marinez dan S.C. Schrimshaw. African-American and Latina Adolescent Mother’s InfantFeeding Decidions and BreastFeeding Practises: A Qualitative Study. Journal Of Adolescenct health, 26:399-407. 2000 Handayani, Dini Saraswati. Gambaran Pengetahuan Ibu Menyusu Tentang Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Karakteristik Ibu di Puskesmas Sukawarna Kota Bandung Periode Desember 2006 – Januari 2007. 2007 Hardjito, Koekoeh. Wahjurin, PH. W Linda, Wahyu. Hubungan Pemberian ASI eksklusif dengan Frekuensi Kejadian Sakit pada Bayi Usia 6-12 Bulan di Desa Jugo Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri. Jurnal Penelitian Suara Forikes. 2011. Hayati, Nur Rahmah. Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Motivasi terhadap Minat Bidan Mengikuti Uji Kompetensi Di Kota Semarang Tahun 2007. Tesis. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Kebijakan Kesehatan.Diakses melalui http://eprints.undip.ac.id/18812/1/RAHMAH_NUR_HAYATI.pdf pada tanggal 25 Juli 2013. Hikmawati, Isna. Sakundarno, Mateus. Purwanti, Asri. Risk Factors Of Failure to Give BreastFeeding During Two Months (Case Study Of Infants Aged 3 To 6 Months Old In Banyumas Distrisct). 2008. Hurlock, E.B. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang RentangKehidupan, Alih Bahasa; Istiwidayanti & Soedjarwo, Edisi 5. Jakarta : Penerbit Erlangg. 1995. Igo, Lusiana Martha. Nadhiroh, Matun A’im. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Ibu dalam Pemberian ASI eksklusif pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Krembangan Jaya Surabaya. Jurnal Insan Kesehatan, Stikes Insane Se Agung Bangkalan. Vol 1. No 2. 2009. Irawati, Anies. Pengaruh Pemberian Makanan Pendamping ASI dini Terhadap Gangguan Pertumbuhan Bayi Dengan Berat Badan Lahir Normal Sampai Umur Empat Bulan. Disertasi. Depok : FKM UI. 2004 Josefa, Gafriela Khrist. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pemberian ASI eksklusif pada Ibu (Studi Kasus DI wilayah Kerja Puskesmas Manyaran, Kecamatan Semarang Barat). Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2011. Diakses melalui http://eprints.undip.ac.id/33391/1/Khrist_Gafriela.pdf tanggal 25 Juli 2013 Kajian Unicef. Ringkasan Kajian: Kesehatan ibu dan anak. 2012. Diakses melalui http://www.unicef.org/indonesia/id/A5__B_Ringkasan_Kajian_Kesehatan_ REV.pdf tanggal 19 Juli 2013 Kajian Unicef. Ringkasan Kajian: ASI Eksklusif, ingin bayi secerdas Einstein. 2012.Diakses melalui http://www.depkes.go.id/downloads/advertorial/adv_ingin_bayi_secerdas_ei nstein.pdf tanggal 19 Juli 2013 Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pekan ASI Sedunia (PAS) 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2010 Kementerian Kesehatan RI. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta. 2010 Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2012. Diakses melalui http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2013/01/BUKU-PP-NO-33-2012_ASI__.pdf tanggal 19 Juli 2013. Kitzinger, Sheila. Memahami Tangisan Bayi. Jakarta: Erlangga. 2005. Kholifah, Neneng. Analisis Kualitatif Perilaku Pemberian Makanan Prelakteal Pada bayi usia 0-6 buan Didesa Cipicung Kecamatan Cikedal Kabupaten Pandeglag tahun 2008. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008. Khomsan, A. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian. Bogor. 2002. Khomsan, A. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 2004. Kresno, Sudarti. Aspek sosial budaya dalam kesehatan. Jakata: Universitas Indonesia, 2005. Kramer, M.S, & Kakuma, R. Infant growth and health outcomes associated with 3 compared with 6 mo of exclusive breastfeeding. American Journal of Clinical Nutrition. Vol. 78, No. 2. 2003. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 Laporan Pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012 Laporan Profil Tahunan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan Tahun 2011 Marie Tarrant et al. BreastFeeding and Weaning Practises among Hong Kong Mothers: A Prospective Study. BMC Pregnancy and Chilbirth. 2010 Mulyaningsih, Asih. Persepsi Ibu bekerja Terhadap Implementasi ASI Eksklusif (Kasus Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor). Sekolah PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. 2010. Diakses melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40886/2010amu1.pd f pada tanggal 20 Agustus 2013 Moehji, S. Pemeliharaan Gizi dan Balita. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 1998. Nadesul, Hendrawan. Makanan Sehat untuk Bayi. Cetakan VII. Jakarta: Puspa Swara. 2005 Nadesul, Hendrawan. Membesarkan Bayi Jadi Anak Pintar, Panduan Bagi Ibu. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2007. Niven, N. Psikologi kesehatan : Pengantar untuk perawat dan profesional kesehatan lain. Jakarta : EGC. 2000. Notoatmodjo, Soekidjo. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset. 1993. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. 1997 Notoatmodjo, Soekidjo. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2002. Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2003. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. 2007. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2010. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. 2003 Padang, Asdan. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemberian MP-ASI Dini Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2007. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara Medan. 2008.Diakses melalui http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6728/1/08E00834.pdf pada tanggal 28 agustus 2013 Pender, Nola J, Carolyn L Murdaugh., Mary Ann P. Health Promotion in Nursing Practice. New Jersey : Pearson education, Inc. 2002 Permatasari, Endah Astika Tria. Optimalisasi Peran Keluarga terhadap Keberhasilan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. Dosen Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2012. Diakses melalui http://ns1.fkkumj.ac.id/rapb-2012/1-rapb-2012/detail/78rapb-2012?tmpl=component&phocadownload=2 pada tanggal 28 Juli 2013. Perinasia, Melindungi, Meningkatkan dan Mendukung Menyusui (Cetakan Ke 2). Jakarta: Bina Rupa Akasara: Jakarta. 1994. Perinasia. Majalah kedokteran FK UKI: Air Susu Ibu. Jakarta: persadaan Bukit. 2002. Perinasia. Manajemen Laktasi, Menuju Persalinan Aman dan Bayi Lahir Sehat, 2nd ed. Jakarta. 2004. Pudjiadi, Solihin. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru. 2000. Purwanti, H.S. Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta: EGC. 2003. Prabantini, Dwi. A to Z Makanan Pendamping ASI. Yogyakarta: ANDI. 2010. Priyono, Yunisa. Merawat Bayi Tanpa Baby Sitter. Yogyakarta : Medpress. 2010. Rachmadewi, Asrinisa. Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Pemberian ASI serta Status Gizi Bayi Usia 4-12 Bulan di Perdesaan dan di Perkotaan. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. 2009. Diakses melalui http://repository.ipb.ac.id tanggal 25 maret 2013. Roesli, Utami. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta : Niaga Swadaya. 2000 Roesli, Utami. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Jakarta : Gramedia. 2001 Roesli, Utami. ASI Eksklusif. Edisi II. Jakarta : Trubus Agriwidya. 2004 Roesli, Utami. Air Susu Ibu (ASI). Anugrah Tuhan yang Tersia-siakan: Informasi terpilih untuk para insan pers. Depkes RI. Jakarta. 2007 Roesli, Utami. Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta : Pustaka Bunda (Grup Puspa Swara), Anggota IKAPI. 2008. Rohmiana, Siti. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini pada bayi di posyandu wilayah kerja puskesmas kampung sawah kota tangerang selatan tahun 2012. UIN Kesehatan Masyarakat. 2012 Saleh, La Ode Amal. Faktor-Faktor yang Menghambat Praktik ASI Eksklusif Pada Bayi Usia 0-6 Bulan. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. 2011. Diakses melalui http://eprints.undip.ac.id tanggal 25 maret 2012. Setyowati, Exsi. Rahayu, Betty Faizah. Pengetahuan Tenaga Kesehtan Tentang ASI dengan Kemampuan Memberikan Pendidikan Kesehatan ASI Eksklusif pada Ibu Prenatal Di Puskesmas II Kartasura. Bertia Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol 1 No 2. 2008. Setyowati, Titiek dan Budiarso, Ratna. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Pemberian Minuman/Makanan Pada Bayi. 1998. Buletin Penelitian Kesehatan. Diakses melalui http://bpk.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/287/380 tanggal 28 agustus 2013 Simandjuntak, Dahlia. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Pada Bayi Di Kecamatan Pasar Rebo, Kotamadya Jakarta Timur. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. 2001. Smet, Bart. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo Anggota IKAPI. 1994. Stewart-Knox B, Gardiner K, and Wright M. What is the Problem with BreastFeeding? A Qualitative Analysis of Infant Feeding Perception. Journal Of Human Nutrition Diet, 16:265-73. 2003. Sudiman, Herman. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak Usia di Bawah Tiga Tahun (Batita). Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol XIV No 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. 2004. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung: Alfabeta. 2010 Suhardjo. Pemberian makanan pada bayi dan anak. Yogyakarta: Kaninus. 1992. Suhardjo. Berbagai cara pendidikan gizi. Jakarta: Bumi Aksara. 1996 Suhardjo. Sosio Budaya Gizi. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. 1989 Sutomo, Budi. Anggraini, Yanti Dwi. Makanan Sehat Pendamping ASI. Jakarta: Demedia. 2010. Suyatno. Pengaruh Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Tradisional pada Usia Dini terhadap Pertumbuhan dan Kesakitan Bayi, studi kohort pada bayi 0-4 bulan di Kabupaten Demak. Universitas Diponegoro. Gizi Kesehatan. 2001. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. 1995 Soetjiningsih. ASI petunjuk untuk tenaga kesehatan. Jakarta: EGC.1997 Sofa. Metode Ceramah dalam Pembelajaran, Jakarta: 2008a. Tan Leong Kok. Factors Associated with Exclusive BreastFeeding Among Infants Under Six Months of Age in Peninsular Malaysia. Internasional BreastFeeding Journal. 2011. Widodo, Yekti. Kebiasaan Memberikan Makanan Kepada Bayi Baru Lahir di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. XI No.3/2001. 2001. Williams, L dan Wilkins. Modern Nutrition in Health and Disease (10th ed). USA : wolters Kluwer Company. 2006. Winikoff, B, Castle M.A dan Laukaran V.H. Feeding Infants in Four Societies. Causes and Consequences of Mother’Choices. Greenwood Press Inc, USA. 1988. Wiryo. H. Dampak pemberian pisang terhadap timbulnya sumbatan saluran cerna neonatus. Majalah Kedokteran Indonesia 54 (2). 1998. Worthington, RBS. Lactation : Breast-Feeding is a diserable option. Nutrition Throughout The Life Cycle. McGraw Hill. Fourth edition. P. 130-181. 2000. WHO. Global Strategy For Infant and Young Child Feeding. Switzerland: UNICEF. 2003. WHO. The Optimal Duration Of Exclusive Breast Feeding. Report Of An Expert Consultation. Department Of Nutrition For Health and Development (NHD). Geneva, Switzerland 28-30 March 2001 WHO. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001- 2005. Jakarta : Dirjen Kesehatan Masyarakat Depkes RI. 2000. WHO. Exclusive breastfeeding for six months best for babies everywhere. Diakses melalui http://www.who.int/mediacentre/news/statements/2011/breastfeeding_2011 0115/en/index.html. 2011. Pada Tanggal 28 Juni 2012. Wulandari, Melli. faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi baru lahir di desa supat timur kabupaten musi banyuasin. Sumatera selatan tahun 2011. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011. Yuliarti, Dwi Iin. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu dengan Perilaku Pemberian ASI Eksklusif. Tesis Program Studi Kedokteran Keluarga Program Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2008. Yuliarti, Nurheti. Keajaiban ASI, Makanan Terbaik Untuk Kesehatan, Kecerdasan dan Kelincahan Si Kecil. Yogyakarta: ANDI. 2010. Zai, Elfrida Hideni. Pola Pemberian ASI dan MP-ASI Serta Status Gizi Anak Baduta Di Desa Maliwa’a dan Desa Bobozioli Loloana’a Kecamatan Idanogawo Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara. 2003. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. ITB. Diakses melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/17392/A03hez.pdf?.. .2 pada tanggal 28 Juni 2013. LAMPIRAN LAMPIRAN 3 Pedoman wawancara informan (Ibu) “Alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini dengan pendekatan teori Health Belief Model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013” A. Identitas Informan 1. Nama informan : 2. Umur informan : 3. Pendidikan informan : 4. Pekerjaan informan : 5. Jumlah anak : Identitas Balita B. 1. Berat badan lahir balita : 2. Umur balita : 3. Jenis kelamin balita : Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini informan Pada saat bayi baru lahir, ketika ASI belum keluar, apakah bayi tersebut diberikan makanan/minuman? Jenis makanan/minuman apa yang diberikan kepada bayi tersebut? (probing: usia berapa bayi pertama kali diperkenalkan makanan/minuman selain ASI) Mengapa makanan/minuman tersebut diberikan? (probing: apakah kondisi ibu yang tidak memungkinkan untuk memberikan ASI atau anaknya yang tidak mau menyusu?) Berapa kali makanan/minuman tersebut diberikan? Berapa banyak makanan/minuman tersebut diberikan? Kapan pemberian makanan/minuman tersebut dihentikan? C. Pengetahuan informan Kapan seharusnya makanan/minuman diberikan kepada bayi? (probing: mendapat informasi dari mana waktu pemberian makanan/minuman tersebut?) Bagaimana menurut ibu mengenai pemberian ASI secara eksklusif kepada bayi sampai 6 bulan? (probing: dan apakah pemberian ASI selama 6 bulan kepada bayi tanpa diberikan apapun sudah cukup? Bagaimana cara memperlancar dan memperbanyak produksi ASI? D. Pengalaman informan Bagaimana dengan anak sebelumnya? (probing: apakah diberikan makanan/minuman juga? Dan pada umur berapa diberikan?) Jenis makanan/minuman apa yang diberikan kepada anak sebelumnya? (probing: apakah anak mau dan bagaimana setelah diberikan?) E. Persepsi/pandangan informan Persepsi kerentanan Menurut ibu adakah risiko terserang penyakit setelah ibu memberikan makanan/minuman tersebut kepada bayi ibu? Persepsi keseriusan Menurut ibu apakah setelah pemberian makanan/minuman tersebut dapat menimbulkan penyakit? (probing: pernah kepikiran dapat menimbulkan penyakit atau dampak yang parah kepada bayi?) Persepsi manfaat Manfaat yang didapatkan dari pemberian makanan/minuman dan pemberian ASI eksklusif kepada bayi? Persepsi kendala Apakah ada kendala dalam pemberian ASI eksklusif kepada bayi? Efikasi diri/kepercayaan diri Apakah ibu percaya bahwa ibu dapat memberikan ASI secara eksklusif? F. Informasi Iklan Apakah mendapat informasi melalui majalah, televisi, dan radio mengenai pemberian makanan/minuman? (probing: jenis informasi apa yang didapatkan?) G. Kebiasaan dan suku keturunan informan Apakah kebiasaan mengenai pemberian makanan/minuman sudah menjadi turun-temurun keluarga? (probing: bagaimana dengan lingkungan daerah tempat tinggal, apakah kebiasaan pemberian makanan/minuman juga diberikan kepada bayi?) H. Dukungan/anjuran keluarga informan Siapa yang menganjurkan pemberian makanan/minuman tersebut? (probing: apakah mendapat anjuran dari keluarga untuk pemberian makanan/minuman? Dan bagaimana anjurannya?) I. Dukungan tenaga kesehatan Apakah mendapat informasi dari bidan puskesmas mengenai pemberian makanan/minuman kepada bayi? (probing: bagaimana informasi yang diberikan?) LAMPIRAN 4 Pedoman wawancara mendalam bagi keluarga informan (suami, ibu kandung, dan ibu mertua) yang berpengaruh dalam penentuan keputusan ibu dalam memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini A. Identitas Informan 1. Nama Informan : 2. Umur Informan : 3. Pendidikan Informan : 4. Pekerjaan Informan : 5. Status hubungan dengan ibu bayi : B. Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini keluarga informan Pada saat bayi baru lahir, ketika ASI belum keluar, apakah bayi tersebut diberikan makanan/minuman? Jenis makanan/minuman apa yang diberikan kepada bayi tersebut? (probing: usia berapa bayi pertama kali diperkenalkan makanan/minuman selain ASI?) Mengapa makanan/minuman tersebut diberikan? (probing: apakah kondisi ibu yang tidak memungkinkan untuk memberikan ASI atau anaknya yang tidak mau menyusu?) Berapa kali makanan/minuman tersebut diberikan? Berapa banyak makanan/minuman tersebut diberikan? Kapan pemberian makanan/minuman tersebut dihentikan? C. Dukungan/anjuran keluarga informan Apakah bapak/ibu menganjurkan pemberian makanan/minuman pada bayi? (probing: bagaimana anjuran yang diberikan ibu/bapak?) Bagaimana anjuran dalam pemberian ASI? (probing: bagaimana anjuran yang diberikan ibu/bapak mengenai pemberian ASI?) D. Kebiasaan/turun-temurun keluarga informan Apakah sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun ibu/bapak dalam pemberian makanan/minuman tersebut kepada bayi? (probing: bagaimana kebiasaan pemberian makanan/minuman tersebut dan manfaat pemberian makanan/minuman?) LAMPIRAN 5 Pedoman wawancara mendalam bagi bidan penolong persalinan dan bidan pemeriksaan kehamilan terkait dukungan yang diberikan dalam pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan A. B. Identitas Bidan 1. Nama Bidan : 2. Umur Bidan : 3. Pendidikan Bidan : 4. Pekerjaan di Puskesmas : Dukungan Bidan Apakah pada saat pemeriksaan kehamilan dan dirumah bersalin ibu bidan pernah menanyakan hal-hal ini (keluhan-keluhan ibu hamil, masalah-masalah ibu hamil seperti masalah ASI yang belum keluar, serta perawatan payudara?) Ketika saat pemeriksaan kehamilan dan dirumah bersalin, penyuluhan apa saja yang diberikan oleh ibu bidan? (probing: apakah setelah melahirkan ibu diberikan penyuluhan tentang pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI kepada bayi?) (probing: apakah ketika pemeriksaan juga diberikan penyuluhan tentang pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping kepada bayi?) MATRIKS WAWANCARA MENDALAM DENGAN INFORMAN PENDUKUNG INFORMAN PENDUKUNG VARIABEL Ibu Mu Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini Pemberian makanan pendamping ASI dini Kapan anak diberikan makanan pendamping ASI dini Frekuensi pemberian makanan pendamping ASI dini Ibu Nu Ibu Ma Ibu An Ibu Si Ibu At Ibu Mr Pak Ah Pak Mu Diberikan madu , dan pisang Diberikan pisang sama nasi diulek Dan tape Diberikan madu Diberikan madu, pisang sama nasi Diberikan Diberikan beras merah, madu kacang ijo, bubur sehat, nasi bulet dan madu Diberikan air tajin Diberikan madu, kopi, susu formula Diberikan madu Begitu baru lahir Setelah tali pusat kering/lepas Ketika ASI belum keluar Setelah dua minggu kelahiran Ketika bayi berusia lima bulan Ketika ASI belum keluar Ketika ASI belum keluar Ketika bayi berusia tiga bulan Ketika awal lahir Seminggu Dua kali dalam sehari, pagi dan sore Sebelum ASI keluar terus diberikan Dua kali dalam sehari, pagi dan sore Selalu diberikan sampai bayi sudah tidak mau lagi Sebelum ASI keluar terus diberikan Satu kali Selalu diberikan sampai bayi sudah tidak mau lagi Lima kali Kuantitas pemberian makanan pendamping ASI dini Waktu penghentian pemberian makanan pendamping ASI dini Alasan pemberian makanan pendamping ASI dini Dukungan Keluarga Anjuran pemberian makanan pendamping ASI dini Sedikit Satu sendok Setetes tiap satu kali pemberian Sedikit Sedikit Setetes tiap satu kali pemberian Satu sendok kecil Setelah seminggu Setelah anak sudah bisa jalan Setelah ASI keluar Setelah anak sudah bisa jalan Setelah anak sudah bisa jalan Setelah ASI keluar Ketika anak Ketika anak tidak sudah tidak menangis lagi mau lagi Ketika sudah lima kali Biar tidak sariawan Biar tidak rewel dan anteng ASI Belum Biar tidak keluar dan rewel dan sebagai obat anteng sariawan ASI kurang ASI belum keluar ASI belum keluar dan bayi menangis Sebagai susu tambahan Sebagai perasa Karena sudah biasa memberikan makanan tersebut sebelum ASI diberikan Orang tua menyarankan memberikan makanan tersebut Karena sudah biasa memberikan makanan tersebut sebelum ASI keluar Orang tua menyarankan memberikan makanan tersebut Karena sudah turuntemurun begitu awal lahir diberikan makanan tersebut Orang tua menyarankan memberikan makanan tersebut Mendapat sarana dari orang sekitar tempat tinggal Karena sudah turuntemurun orang tua begitu awal lahir diberikan makanan tersebut Orang tua menyarankan memberikan makanan tersebut Botol kecil Diolesin sedikit Anjuran pemberian ASI Eksklusif Kebiasaan/ turun temurun keluarga dalam pemberian makanan pendamping ASI dini Fungsi makanan pendamping ASI dini Lebih baik anak diberikan ASI daripada susu Asli orang betawi, dan sudah menjadi kebiasaan orang dulu kalau lahiran diberikan madu dulu Agar bayi tidak menangis ketika sudah diberikan ASI Lebih baik anak diberikan ASI daripada susu Asli orang betawi, dan sudah menjadi kebiasaan kalau memberikan makanan pada anak Lebih baik anak diberikan ASI saja Asli orang betawi, dan sudah menjadi kebiasaan orang dulu kalau ASI belum keluar diberikan madu Agar bayi Agar bayi anteng dan tidak orangtua bisa menangis membereskan ketika ASI pekerjaan belum rumah keluar Lebih baik anak diberikan ASI daripada susu Lebih baik anak diberikan ASI daripada susu Asli orang betawi, dan sudah menjadi kebiasaan kalau memberikan makanan pada anak Asli orang betawi, dan sudah menjadi kebiasaan orang dulu kalau memberikan makanan pada anak Agar pertumbuhan bayi menjadi bagus, anteng sehingga orang tua bisa membereskan pekerjaan rumah Agar bayi tidak menangis ketika sudah diberikan asi Lebih baik anak diberikan ASI daripada susu Asli orang betawi, dan sudah menjadi kebiasaan kalau awal lahir diberikan madu dulu Untuk mengeluar kan kotoran dalam perut bayi agar bersih serta tidak sakit asma Lebih baik anak diberikan ASI daripada susu Asli orang betawi, dan sudah menjadi kebiasaan orang dulu kalau bayi menangis diberikan makanan tersebut Agar bayi tidak menangis ketika ASI belum keluar Dari umur tiga bulan sudah diberikan makanan lain Mendapat saran dari tetangga sekitar Diberikan ASI dan susu formula juga Agar bayi tidak menangis ketika terbangun malam hari Agar bayi mulai merasakan Asli orang betawi, dan sudah menjadi kebiasaan orang dulu kalau lahiran diberikan madu LAMPIRAN 8 MATRIKS WAWANCARA MENDALAM DENGAN INFORMAN PENDUKUNG (BIDAN) INFORMAN PENDUKUNG VARIABEL Penyuluhan/anjuran yang diberikan Penyuluhan/anjuran dalam pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI Bidan Persalinan (Ibu El) Bidan Pemeriksaan (Ibu Ai) Penyuluhan-penyuluhan yang biasa diberikan pada ibu yang melahirkan yaitu mengenai ASI eksklusif, perawatan bayi baru lahir, IMD (inisiasi menyusu dini), perawatan tali puser, perawatan nifas, vulva higiene, dan perawatan payudara Menjawab semua keluhan-keluhan ibu yang memeriksakan kehamilannya pada semester 1, 2, dan 3 yaitu diberikan penyuluhan menjaga kebersihan ketika hamil dan penyuluhan gizi (menjaga pola makan, senam hamil) Diberikan penyuluhan ASI eksklusif sampai 6 dan dianjuran sampai anak berusia 2 tahun, ketika lahiran harus langsung diberikan ASI, dan setelah 6 bulan baru boleh ditambah dengan makanan pendamping (MP-ASI) Selalu diberikan penyuluhan mengenai ASI eksklusif setelah melakukan pemeriksaan dan untuk penyuluhan dalam pemberian makanan pendamping ASI tidak diberikan karena dibagian pemeriksaan kehamilan hanya penyuluhan ASI saja MATRIKS WAWANCARA MENDALAM DENGAN INFORMAN UTAMA INFORMAN UTAMA VARIABEL Ibu Yu Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini Waktu pertama ASI keluar Pemberian makanan pendamping ASI dini Kapan anak diberikan makanan pendamping ASI dini Frekuensi pemberian makanan pendamping ASI dini Ibu Si Ibu Nr Setelah melahirkan Ibu Id Sebelum melahirkan Ibu Da Setelah melahirkan Ibu Am Ibu Ro Setelah melahirkan Tiga hari setelah melahirkan Setelah melahirkan Sebelum melahirkan Susu formula bubur sun, madu dan kopi Tiga bulan Madu Satu kali Dua kali Setelah melahirkan Sebelum melahirkan Madu Madu, Madu pisang, dan bubur nestle Madu, Bubur nestle pisang, dan bubur nestle Susu formula dan madu Air tajin dan susu formula Ketika bayi baru lahir Satu bulan Bayi baru lahir Dua bulan Lima bulan Tiga minggu Bayi baru lahir ketika ASI belum keluar Dua kali Tiga kali Dua kali Satu kali Dua kali Setiap hari Satu kali Ibu Sa Ibu St Ketika bayi baru lahir Kuantitas pemberian makanan pendamping ASI dini Waktu penghentian pemberian makanan pendamping ASI dini Alasan pemberian makanan pendamping ASI dini Dioleskan saja dibibir Sedikit Dioleskan saja dibibir Hanya sampai tiga hari saja Hanya sampai pemberian tiga hari Agar bibir bayi tidak kering dan tidak pecahpecah Pengetahuan Pengetahuan mengenai ASI eksklusif ASI lebih baik dibanding dengan yang lain dan sampe dua tahun Sedikit Sedikit Tujuh botol susu kecil Setengah sendok kecil Sedikit Satu sendok kecil dicampur air Beberapa saat Hanya bayi sampai menangis beberapa bulan saja Hanya sampai beberapa bulan saja Masih diberikan sampai sekarang Beberapa saat saja (setelah bayi tidak menangis) Masih diberikan sampai sekarang Pemberian Jarangjarang Bayi masih menangis (setelah diberikan ASI) Bayi menangis (saat ibu tidak ada) Agar anak menjadi anteng Bayi menangis (setelah diberikan ASI) Karena payudara bengkak dan puting berdarah Bayi menangis (ASI belum keluar) Agar bibir bayi tidak kering dan tidak sariawan ASI tidak cukup jika diberikan selama enam bulan saja sehingga harus diberikan selingan Mendukung apalagi kalau asinya banyak ASI saja jangan diberikan susu formula ASI tidak cukup jika diberikan selama enam bulan saja sehingga harus diberikan makanan ASI seharusnya sampai enam bulan dikarenakan tidak kuat menahan rasa sakit ASI lebih baik dibanding dengan yang lain dan sampe dua tahun Agar anak bertambah berat badan dan tidak rewel menangis Mendukung apalagi ibunya fokus memberikan dan tidak kerja ASI lebih baik dibanding dengan susu Cara Makan memperlancar sayuran dan memperbanyak produksi ASI Makan sayuran Makan sayuran Makan sayuran Makan sayuran Makan sayuran Makan sayuran Makan sayuran Makan sayuran Pemberian makanan pendamping ASI Pengalaman pemberian makanan pendamping ASI dini Pada umur berapa anak diberikan makanan pendamping ASI dini Setelah enam bulan Setelah enam bulan Setelah enam bulan Setelah enam bulan Setelah enam bulan Setelah enam bulan Setelah enam bulan Setelah enam bulan Anak pertama: Pemberian madu selama tiga hari Anak kedua, anak ketiga: Pemberian madu selama tiga hari Anak pertama: tidak diberikan makanan Anak kedua: Pemberian ketika bayi berumur tiga bulan Anak ketiga: Pemberian ketika bayi berumur satu bulan Anak pertama: Pemberian madu karena putingnya kecil jadi agak susah menyusui Anak kedua: Pemberian ketika bayi baru lahir Tidak boleh diberikan susu formula Anak pertama: Pemberian makanan ketika satu bulan Anak kedua: Pemberian ketika bayi berumur dua minggu Anak ketiga: Pemberian ketika bayi berumur dua bulan Anak pertama: Pemberian ketika bayi dipisahkan setelah ibu melahirkan Anak kedua, anak ketiga Pemberian ketika bayi berumur lima bulan Anak pertama: Pemberian ketika bayi berumur tiga minggu Anak pertama: Hanya diberikan ASI Anak kedua: Pemberian ketika bayi berumur tiga bulan Anak pertama: Pemberian susu ketika bayi berumur tiga bulan, dan pemberian makanan ketika lima bulan Anak pertama: Pemberian ketika awalawal bulan kelahiran Jenis makanan yang diberikan kepada anak Madu Persepsi Kerentanan penyakit terhadap pemberian makanan pendamping ASI dini Keseriusan penyakit yang ditimbulkan pemberian makanan pendamping ASI dini Tidak ada, malah kalau lagi sakit juga diberikan madu Tidak kepikiran sakit dan tidak pernah mengalami Sakit Ketika bayi baru lahir umumnya diberikan madu, anak pertama hanya ASI, anak kedua dan anak ketiga diberikan pisang dan bubur nestle Hanya kepikiran saja Madu Tidak ada, baca kandungan nya dulu kalau mau memberikan makanan tersebut Tidak Tidak sampai sakit kepikiran paling resikonya buang air anak keras Ketika bayi baru lahir umumnya diberikan madu, Anak pertama, kedua, dan ketiga diberikan pisang dan bubur nestle Anak pertama, kedua, dan ketiga diberikan bubur nestle Susu formula dan madu Anak pertama hanya diberikan ASI dan anak kedua diberikan susu formula Susu formula, madu, bubur sun dan kopi Madu Tidak ada karena sudah ada pengalaman mengurus anak saudara Tidak ada, daripada anak nangis dan ASI belum tentu kenyang ASI yang mengendap tidak bagus buat anak Takut anak sakit daya tahan tubuhnya kurang Tidak ada, dicoba dulu Khawatir, dan tidak apa-apa kata orang tua Berani memberikan karena pernah mengurus anak orang saudara Tidak apaapa daripada anak nangis karena laper Karena kerja sehingga tidak bisa memberikan ASI Kepikiran, karena anak pertama hanya diberikan ASI saja Sudah menjadi kebiasaan umum jika anak diberikan makanan Tidak kepikiran seperti itu ASI membuat ASI bagus Manfaat Pemberian ASI bahagia buat bayi eksklusif Kekebalan bayi lebih baik ASI tidak ribet ASI tidak ribet ASI tidak rugi Daya tahan anak akan lebih baik ASI bagus buat bayi ASI tidak repot Tidak ada Kendala Pemberian ASI eksklusif Tidak ada Tidak ada Tidak ada ASI kurang Karena sakit (liver) Bekerja Tidak ada Percaya dan keadaan anaknya yang tidak mau makan sehingga pasti diberikan ASI Tidak ada ASI bagus dari pada anak tidak makan lebih baik nyusu ASI Percaya ASI karena ASI juga banyak ASI lebih tidak ribet Percaya ASI lebih baik dari susu formula Tidak kuat sakit dan kembali bekerja Tidak percaya diri, takut sakit Percaya ASI lebih baik dari susu formula Tidak percaya diri dan lebih mudah mengikuti saran lingkungan sekitar Percaya ASI lebih baik dari susu formula Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Majalah Majalah batita Betawi Sunda Betawi Betawi Betawi Bandung Betawi Cilacap Sunda Kepercayaan diri ibu dalam pemberian ASI eksklusif Iklan Informasi mngenai pemberian makanan pendamping ASI dini Suku keturunan Asli/keturunan mana Kebiasaan atau tradisi Pemberian MP-ASI dini Dukungan keluarga Dukungan keluarga untuk pemberian makanan pendamping ASI dini Dukungan tenaga kesehatan Dukungan bidan untuk memberikan makanan pendamping ASI dini Turuntemurun keluarga Sudah anjuran dulu Sudah Sudah anjuran orang anjuran dulu orang dulu Disuruh sama Disuruh ibu kandung sama ibu mertua Disuruh sama Disuruh dari ibu sama ibu mertua mertua Bidan menyuruh memberikan makanan setelah enam bulan Bidan menyuruh memberikan makanan setelah enam bulan Bidan menyuruh memberikan makanan setelah enam bulan Jangan diberikan susu formula Sudah Sudah anjuran orang anjuran dulu orang dulu Sudah menjadi kebiasaan orang dulu Disuruh sama Disuruh ibu Disuruh ibu ibu kandung mertua dan mertua dan (pemberian disarankan air tajin) lingkungan Ibu rumah kandung (pemberian ASI) Bidan Bidan Bidan menyuruh menyuruh menyuruh memberikan memberikan memberikan makanan makanan makanan setelah enam setelah setelah bulan enam bulan enam bulan Sudah menjadi kebiasaan umum Disuruh suami Sudah menjadi pengalaman orang dulu Disuruh suami Bidan menyuruh memberikan makanan setelah enam bulan Bidan menyuruh memberikan makanan setelah enam bulan