VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM 6.1. Pendahuluan Asuransi indeks iklim merupakan salah satu bentuk pendanaan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini asuransi indeks iklim yang sudah dilakukan di Indonesia adalah asuransi indeks iklim untuk tanaman jagung yang dikembangkan oleh International Finance Coorporation (IFC), salah satu divisi di World Bank. Lokasi penelitian IFC adalah di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan dan Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil studi kelayakan menunjukkan asuransi indeks iklim untuk jagung layak dikembangkan dan merupakan model bisnis yang mudah diidentifikasi (IFC 2009). Untuk komoditas padi, model asuransi indeks iklim belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini memberikan pilihan baru tentang adaptasi terhadap perubahan iklim dengan menyusun model asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi. Dalam sistim asuransi indeks iklim, pembayaran akan dilakukan pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim dalam membuat keputusan. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah indeks iklimnya bukan tanaman. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan (Boer 2010). Selain itu menurut Manuamorn (2010) kebijakan pembayaran indeks asuransi berbasis pada pengukuran dari kehilangan riil. Indeks iklim adalah suatu indeks yang digunakan untuk mewakili unsur-unsur penting iklim yang dirancang dengan tujuan kesederhanaan dan kelengkapan. Setiap indeks biasanya mewakili status dan waktu dari faktor iklim yang diwakilinya. Untuk menyusun indeks iklim diperlukan korelasi yang kuat antara faktor iklim dengan kehilangan hasil riil yang akan diproteksi. Oleh karena itu diperlukan analisis tentang hubungan antara parameter iklim dengan produksi padi 127 yang selanjutnya dengan masukan nilai threshold produksi padi bisa ditetapkan indeks iklim tersebut. Dalam penelitian ini parameter iklim yang digunakan sebagai indeks adalah curah hujan. Hal ini dikarenakan di daerah tropis, unsur cuaca utama yang sangat berpengaruh terhadap keragaman produksi tanaman adalah curah hujan, dan keragaman curah hujan baik menurut waktu maupun lokasi sangat besar. Oleh karena itu studi yang berkaitan dengan masalah cuaca dan produksi tanaman sebagian besar membahas tentang hubungan hujan atau ketersediaan air/hujan dengan produksi tanaman. Produksi tanaman padi diestimasi dengan model simulasi tanaman. Modelmodel simulasi tanaman yang berdasarkan pada faktor-faktor tanaman, tanah dan cuaca merupakan alat yang efektif dalam pertanian. Model simulasi tanaman dapat digunakan untuk merencanakan alternatif strategi untuk penanaman, penggunaan tanah dan pengelolaan air. Untuk mengevaluasi tanaman, varietas dan teknologi budidaya serta menganalisis tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan tanaman seringkali juga digunakan model simulasi tanaman. Selain itu, model simulasi tanaman dapat digunakan untuk perluasan wilayah penanaman dan pemilihan sistim usaha tani yang sesuai dengan lokasi dan menduga hasil tanaman. Dalam penelitian ini, produksi padi diestimasi dengan model Decision Support System for Agrotechnology Transfer (DSSAT). Hasil simulasi selanjutnya akan dihubungkan dengan data curah hujan di lokasi penelitian. Berdasarkan pola hubungan yang terbentuk dan nilai threshold produksi padi, maka dapat ditetapkan indeks iklimnya. Nilai indeks iklim ini sangat penting untuk aplikasi asuransi indeks iklim. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) mengkaji hubungan antara curah hujan dan produksi padi, 2) menetapkan indeks iklim berdasarkan hubungan antara curah hujan dan produksi padi. 6.2. Metodologi 6.2.1. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) data iklim/cuaca harian, 2) data tanah, dan 3) data manajemen dan pengamatan dari hasil 128 percobaan. Data iklim/cuaca yang diperlukan antara lain : posisi geografi stasiun iklim/hujan, radiasi matahari (MJ/m2/hari), suhu udara maksimum dan minimum (oC) serta curah hujan (mm). Untuk mengatasi data curah hujan harian yang kosong, dan untuk memperoleh data iklim harian, maka dilakukan pembangkitan data dari curah hujan bulanan menggunakan model Climate Data Generator (CLIMGEN). Data iklim harian diperoleh dari hasil pembangkitan data, karena di Kabupaten Indramayu tidak tersedia stasiun iklim. Stasiun iklim terdekat terletak di Pusaka Negara dan Sukamandi. Data tanah yang diperlukan antara lain : kedalaman horison atas dan bawah, persentase kandungan pasir, liat dan debu, bulk density, pH air, kejenuhan aluminimum dan total nitrogen. Data tanah yang digunakan merupakan hasil pengambilan contoh tanah di lokasi penelitian, yaitu pada delapan titik pengambilan contoh tanah yang merepresentasikan jenis tanah yang berbeda. Untuk data manajemen dan percobaan yang digunakan dalam model DSSAT antara lain : tanggal tanam, kerapatan tanaman, jarak baris, kedalaman perakaran, varietas tanaman, irigasi, dan pupuk yang digunakan petani. Data ini diperlukan untuk model validasi dan strategi evaluasi. Data-data ini diperoleh dari survey lapang dan wawancara dengan petani. 6.2.2. Pembangkitan Data Iklim Pembangkitan data dilakukan dengan program ClimGen. ClimGen melakukan estimasi terhadap suhu maksimum dan minimum harian, radiasi matahari dan curah hujan baik dari data cuaca harian jika tersedia atau dari data bulanan. Peluang kejadian hujan digambarkan dalam bentuk fungsi penghubung logit gj1(i). Bentuk fungsi kurva penyesuaian untuk nilai gj1(i) digunakan persamaan regresi Fourier (Stern and Coe 1984). Untuk menghindari keterbatasan data harian, maka digunakan data curah hujan bulanan untuk membangkitkan parameter iklim yang lain. Epstein (1991) menggunakan regresi Fourier sehingga bentuk persamaan pembangkitan datanya adalah : Di mana t’=2πt/12 dan t adalah bulan. 129 Dagambarkan Prosedur yang digunakan untuk menghasilkan radiasi surya dan suhu didasarkan pada asumsi bahwa radiasi dan suhu merupakan proses stasioner lemah. Penyertaan hujan ini diperlukan karena keadaan unsur iklim lainnya sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya hujan. Pendekatan yang sama digunakan dalam model Climgen versi 2.1 dengan memodelkan komponen error karena biasanya terdapat masalah autokorelasi error (Boer 1999). Berdasarkan kajian dari beberapa lokasi di Indonesia, Boer (1999) memodelkan komponen error dengan menggunakan persamaan autokorelasi ordo-1. Parameterisasi nilai dan perlu dilakukan sebelum data hujan dibangkitkan. Nilai awal dan dalam penelitian ini menggunakan hasil penelitian Boer et al. (1999) yang sudah tervalidasi. Nilai awal dan yang dipilih ialah nilai yang memberikan hasil bangkitan data yang tidak berbeda dengan data observasi. Software ClimGen dibangun dengan asumsi bahwa distribusi hujan mengikuti sebaran Gamma. 6.2.3. Simulasi Tanaman Dengan Model DSSAT Estimasi produksi padi dalam penelitian ini menggunakan model simulasi tanaman Decision Support System for Agrotechnology Transfer (DSSAT ver.4.5). Dalam simulasi tanaman ini digunakan varietas IR 64. Varietas ini merupakan salah satu varietas yang cukup banyak digunakan oleh petani di lokasi penelitian selain Ciherang. Varietas IR 64 memiliki karakteristik fisiologis yang hampir sama dengan Ciherang. Dominasi varietas IR64 ditingkat petani disebabkan produksinya yang cukup tinggi. Hal ini diungkapkan juga oleh Sudaryanto et al. (1999) diacu dalam Hafsah dan Sudaryanto (2004) yang menyatakan bahwa varietas IR64 merupakan varietas yang secara nyata mampu meningkatkan potensi hasil padi sawah yang diindikasikan dari dominasi varietas IR64 di daerah-daerah sentra produksi padi. Umur tanaman padi yang digunakan dalam simulasi ini adalah 110 hari yang terbagi dalam tiga fase tanaman, yaitu : Fase 1 adalah fase inisiasi, yaitu mulai awal pertumbuhan sampai pembentukan malai. Fase 2 adalah fase reproduktif, mulai pembentukan malai sampai pembungaan. Fase 3 adalah fase pematangan, yaitu mulai dari pembungaan 130 sampai gabah matang. Diskripsi selengkapnya varieras Ciherang dan IR 64 disajikan dalam Lampiran 1. Untuk melakukan simulasi tanaman digunakan dua skenario tanggal tanam, yaitu tanggal 1 dan 15 setiap bulan, masing-masing untuk tipe lahan tadah hujan dan irigasi ujung. Estimasi produksi padi selanjutnya akan dibandingkan dengan produksi padi hasil observasi. Untuk lahan tadah hujan, pola produksi padi akan dihubungkan dengan pola curah hujan serta kejadian El-Nino selama periode 1965-2009. Diagram alir tahapan analisis disajikan dalam Gambar 63. Data tanah Data Curah Hujan harian dan bulanan Data tanaman Data anomali SST ya Apakah data ch lengkap? tidak ClimGen Data curah hujan dan iklim harian Skenario tanggal tanam Penyeragaman bentuk data (*.WTH) DSSAT Estimasi produksi padi pada tipe lahan irigasi dan tadah hujan Gambar 63. Tahapan analisis simulasi tanaman dengan model DSSAT 131 6.2.4. Penentuan Indeks Iklim Analisis indeks iklim dilakukan setelah diperoleh hasil analisis berupa : 1) persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi serta 2) nilai threshold produksi padi. Persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi diperoleh setelah dilakukaan simulasi tanaman. Nilai threshold produksi padi diperoleh dari hasil analisis usahatani padi, yaitu pada saat nilai R/C=1 yang telah dihasilkan dari analisis pada Bab 5. Apabila sudah diperoleh persamaan hubungan antara hasil padi dan curah hujan, maka nilai threshold produksi padi digunakan sebagai input dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi sebagai dasar penentuan indeks iklim. Perhitungan indeks iklim dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung. Tahapan analisis untuk menentukan indeks iklim adalah : 1) hasil simulasi DSSAT yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya disusun menjadi suatu persamaan yang menghubungkan parameter curah hujan dan hasil (yield) padi, 2) nilai threshold produksi yang telah diperoleh dari hasil analisis usahatani digunakan sebagai input ke dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan hasil padi untuk menentukan trigger curah hujan, 3) dibuat persamaan yang menghubungkan antara produksi padi dan curah hujan setiap fase padi, 4) dihitung nilai indeks hujan pada setiap fase tanaman padi, 5) disusun skenario klaim asuransi berdasarkan persamaan Martirez (2009) yaitu : Pembayaran = (Indeks hujan-curah hujan kumulatif) x unit pembayaran x total yang diasuransikan/1000 6.3. Hasil dan Pembahasan 6.3.1. Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Tadah Hujan Hasil simulasi tanaman padi pada lahan tadah hujan di lokasi penelitian dibedakan untuk MK dan MH. Untuk MK periodenya adalah April-September, sedangkan MH Oktober-Maret. Secara umum, hasil simulasi tanaman di lahan tadah hujan memperlihatkan rata-rata produksi padi antara 1.1-1.4 ton/ha pada MK dan 3.3-4 ton/ha pada MH. Sementara hasil observasi berdasarkan wawancara dengan petani diperoleh rata-rata produksi berkisar antara 3.2-3.6 ton/ha pada MK dan 4.7-5.7 ton/ha pada MH. Estimasi pada MK pada umumnya 132 lebih rendah dibandingkan observasinya, sedangkan pada MH besarnya produksi hampir mendekati. Apabila ditinjau untuk masing-masing kecamatan, maka estimasi produksi pada MH pada umum menghasilkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil observasinya dibandingkan dengan musim MK (Gambar 64a-d). Simulasi tanaman untuk lahan tadah hujan ini murni hanya mendapat input air dari curah hujan. Kemungkinan kenyataan di lapang, pada MK petani masih bisa mendapatkan sisa-sisa air pada MH sebelumnya. Hal ini yang menyebabkan perbedaan hasil pada MK. Hasil perbandingan antara data produksi dari Diperta Kabupaten Indramayu dengan hasil simulasi selama periode MT 1992/1993 hingga MT 2000 memperlihatkan nilai R2 sebesar 0.7 untuk Cikedung, 0.1 untuk Lelea dan 0.5 untuk Kandanghaur (Gambar 65). (a) (c) Gambar 64. (b) (d) Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan tadah hujan 133 Gambar 65. Perbandingan antara data produksi hasil simulasi dan observasi Dikaitkan dengan pola hujan, maka hasil simulasi tanaman ini memperlihatkan pola yang mirip dengan curah hujan. Hal ini disebabkan pada simulasi tanaman di lahan tadah hujan, skenario yang diterapkan adalah tanpa irigasi, artinya input air untuk tanaman murni hanya dari curah hujan. Pada saat curah hujan tinggi, maka tanaman akan mendapat kecukupan air sehingga produksinya tinggi. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, maka pasokan air untuk tanaman juga berkurang dan pada akhirnya produksi tanaman akan menurun. Pada kondisi tertentu ketika curah hujan lebih rendah dari 50 mm/bulan tetapi produksi meningkat kemungkinan disebabkan pengaruh penggunaan input seperti pupuk dalan lain-lain sehingga mampu memberikan produksi yang cukup baik. Hubungan antara produksi padi dengan pola curah hujan di lahan tadah hujan untuk masing-masing kecamatan disajikan dalam Gambar 66a-d. Terkait dengan fenomena El-Nino, maka produksi padi di lokasi penelitian juga memperlihatkan dampak yang cukup signifikan. Berdasarkan data kejadian El Nino dari tahun 1951-2010 (Hidayati et al. 2010), maka dari periode data yang digunakan dalam analisis ini dapat dikelompokkan berdasarkan tahun kejadian El Nino lemah, sedang dan kuat. Tahun-tahun kejadian El-Nino lemah adalah : 1968, 1969, 1976, 1977, 2004 dan 2006. Tahun El-Nino sedang adalah : 1986, 1987, 1994 dan 2002. Tahun El-Nino kuat adalah : 1965, 1972, 1982, 1991, 1997 dan 2009. Berdasarkan tahun kejadian El-Nino tersebut dan dikaitkan dengan produksi 134 padi, maka terlihat bahwa pada tahun-tahun kejadian El-Nino, sebagian besar produksi padi menurun. Sebagai contoh di Kecamatan Cikedung dan Kandanghaur, kejadian El Nino telah memberi dampak terhadap menurunnya produksi padi, bahkan di tahun yang tidak El Nino pun terjadi penurunan produksi (Gambar 67a-c). (a) (c) (b) (d) Gambar 66. Hubungan pola curah hujan dan produksi padi di lahan tadah hujan Gambar 67. Produksi padi dan kejadian El-Nino periode 1965-2009 135 6.3.2. Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Irigasi Simulasi tanaman padi untuk lahan irigasi dilakukan dengan asumsi tanaman akan tumbuh optimum apabila kebutuhan airnya tercukupi. Air akan secara otomatis ditambahkan ketika tanaman mengalami kekurangan air. Oleh karena itu plot hasil produksi akan menunjukkan produksi tinggi meskipun curah hujan rendah. Tanaman tidak tergantung pada curah hujan, karena ada tambahan air melalui irigasi. Lahan irigasi di lokasi penelitian sebagian besar merupakan lahan irigasi ujung golongan III/IV. Rata-rata produksi padi di lahan ini berkisar antara 3.8-5.0 ton/ha pada MK dan 5.1-5.9 ton/ha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman memperlihatkan nilai produksi berkisar antara 3-7.3 ton/ha pada MK dan 4.4-5.9 ton/ha pada MH. Pada MH, secara umum produksi padi antara hasil simulasi dan observasi menunjukkan hasil yang hampir sama baik di kecamatan Cikedung, Lelea, Kandanghaur dan Terisi (Gambar 68a-d). Untuk penentuan indeks iklim, hasil simulasi yang digunakan adalah untuk lahan tadah hujan karena sangat dipengaruhi oleh curah hujan. (b) (a) (d) (c) Gambar 68. Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan irigasi 136 6.3.3. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi Hubungan curah hujan dan produksi padi dinyatakan melalui persamaan polinomial antara kedua parameter tersebut. Produksi padi diperoleh dari hasil simulai DSSAT untuk skenario tanggal tanam 1 dan 15 setiap bulan. Data produksi padi menggunakan data simulasi karena dibutuhkan data runut waktu yang panjang, sedangkan apabila menggunakan data produksi aktual ketersediaan datanya terbatas. Untuk kepentingan asuransi indeks iklim, maka curah hujan dan produksi padi dipilih untuk musim kemarau (MK) saja. Hal ini disebabkan bahwa pada MK tanaman padi berpeluang besar mengalami kekeringan baik pada lahan tadah hujan maupun irigasi, sehingga risiko petani pada MK ini cukup besar. Risiko kekeringan yang harus ditanggung oleh petani ini dapat diminimalkan dengan cara beradaptasi terhadap kejadian iklim ekstrim yang salah satu opsinya adalah melalui pengembangan model asuransi indeks iklim. Untuk keperluan pengembangan asuransi indeks iklim, maka perlu ditentukan indeks iklim yang dalam penelitian ini parameter iklim yang diplih adalah curah hujan, sehingga untuk selanjutnya akan digunakan istilah indeks hujan. Hubungan curah hujan dan produksi padi serta penentuan indeks hujan akan dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung.. Pola curah hujan di stasiun Cikedung adalah monsunal dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus. Curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Januari. Demikian juga dengan pola hari hujan yang juga mengikuti pola curah hujan. Rata-rata hari hujan berkisar antara 1-13 hari per bulan dengan hari hujan terbanyak pada bulan Januari (Gambar 69a). Curah hujan maksimum pada bulan Januari dan Februari bisa mencapai lebih dari 500 mm/bulan, tetapi di Bulan Agustus maksimum curah hujan hanya mencapai kurang dari 100 mm/bulan (Gambar 69b). Hubungan curah hujan dan produksi padi dianalisis untuk mengetahui pola hubungan antara kedua parameter tersebut baik pada seluruh fase maupun pada setiap fase. Skenario yang digunakan adalah tanpa irigasi. Secara umum baik pada MH maupun MK, pola hubungan curah hujan dan produksi padi memperlihatkan bahwa semakin bertambah curah hujan produksi semakin meningkat hingga suatu batas tertentu setelah itu menurun. Hubungan kedua parameter tersebut juga 137 cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai R2 sekitar 0.5-0.7 (kecuali fase 2). Apabila dibedakan untuk setiap fase tanaman, maka fase 3 memperlihatkan pola hubungan yang lebih erat dibandingkan fase 1 dan 2 (Gambar 70). Gambar 69. Pola curah hujan, hari hujan (a) dan curah hujan maksimum (b) di Stasiun Cikedung Gambar 70. Hubungan curah hujan dan produksi padi di Cikedung. Untuk mengetahui pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil, maka dilakukan analisis regresi terboboti antara curah hujan dan produksi padi dan diperoleh persamaan : Y = 0.830 X1 + 5.08 X2 + 4.09 X3 ................(1) Di mana Y=hasil padi, X1 merupakan curah hujan pada fase 1, X2 curah hujan pada fase 2 dan X3 curah hujan pada fase 3. Dari persamaan tersebut 138 diperoleh persentase besarnya pengaruh curah hujan terhadap keragaman hasil adalah 34% untuk fase 1, 43% untuk fase 2 dan 23% untuk fase 3. Diperoleh dari jumlah kuadrat sequen (Seq SS) dibagi dengan totalnya. Berdasarakan persentase tersebut curah hujan pada fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung dibandingkan curah hujan pada fase 1 dan 3. Hasil regresi terboboti selengkapnya disajikan dalam Lampiran 4. 6.3.4. Threshold Produksi Padi Untuk menentukan indeks iklim, maka diperlukan nilai threshold produksi padi. Nilai threshold produksi padi telah dianalisis pada bab 5. Untuk Kecamatan Cikedung pada MK baik di lahan tadah hujan maupun irigasi ujung, nilai threshold padi adalah sebesar 2711 kg/ha. Artinya jika produksi padi kurang dari 2711 kg/ha, maka secara ekonomi petani tidak untung. Sementara jika produksi padi sama dengan 2711 kg/ha maka secara ekonomi petani tidak untung dan tidak rugi atau impas. Selama kurun waktu 1981-2009 (29 tahun), frekuensi munculnya threshold produksi padi <2711 kg/ha berkisar antara 1-29 kali. Artinya apabila saat tanam tidak ditentukan dengan tepat, maka ada kemungkinan terjadi kekeringan hampir setiap tahun. Sebagai contoh untuk tanggal tanam 15 April – 15 Juni frekuensinya 29 kali artinya setiap tahun akan terjadi kekeringan apabila dilakukan penanaman pada tanggal tersebut dan hanya mengandalkan curah hujan. Pada MH frekuensi kejadian threshold lebih rendah dari 2711 pada umumnya kurang dari 15 kali dalam 29 tahun, sedangkan pada MK lebih dari 15 kali dalam kurun waktu 29 tahun. Peluang terjadinya produksi lebih rendah dari threshold berkisar dari 0.1 hingga 1. Artinya ada periode di mana hampir setiap tahun terjadi threshold produksi kurang dari 2711 kg/ha tetapi ada juga yang hanya 3 kali terjadi selama kurun waktu 29 tahun (Gambar 71a). Pada MH pada umumnya peluang kejadiannya kurang dari 0.5, sedangkan pada MK peluangnya meningkat hingga 1. Melihat sebaran peluang kejadian ini, maka periode kritis di lokasi Cikedung cukup lama. Hampir di sepanjang MK peluang kejadian dibawah nilai treshold lebih dari 50%. Dipandang dari sistim asuransi, maka kondisi ini tidak cukup 139 menguntungkan bagi pihak asuransi karena peluang kejadiannya sangat tinggi. Untuk itu pilihan asuransi perlu dihubungkan dengan periode ulangnya. Periode ulang merupakan satu dibagi nilai peluangnya. Untuk lokasi Cikedung, periode ulang di mana produksi lebih rendah dari threshold memperlihatkan kisaran dari 1 hingga 10 tahun. Artinya ada periode di mana setiap tahun produksinya lebih rendah dari threshold, tetapi ada pula periode di mana hampir 10 tahun sekali baru terjadi produksi lebih rendah dari threshold. Periode ulang 2-10 tahun pada umumnya terjadi pada MH, sedangkan pada MK hampir setiap tahun terjadi produksi yang lebih rendah dari threshold 2711 kg/ha (Gambar 71b). Gambar 71. Peluang (a) dan periode ulang (b) produksi < threshold 2711 kg/ha di Kecamatan Cikedung 6.3.5. Penentuan Indeks Iklim Indeks iklim adalah sebuah jumlah yang diperoleh dari hasil perhitungan data cuaca yang tercatat di stasiun cuaca yang dipilih. Dalam penelitian ini indeks iklim ditentukan berdasarkan pendekatan Martirez (Martirez, 2009). Indeks iklim ditentukan setelah diperoleh nilai threshold produksi padi dan triger curah hujan, serta besarnya kontribusi curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil. Untuk lokasi Cikedung telah diperoleh threshold produksi padi sebesar 2711 kg/ha. Selain itu diperlukan persamaan yang menghubungkan curah hujan dan produksi padi. Pola hubungan curah hujan dan produksi yang telah dihasilkan dari analisis sebelumnya digunakan untuk menentukan indeks iklim. Nilai threshold sebesar 2711 ini selanjutnya digunakan sebagai nilai y pada persamaan polinomial seperti dalam Gambar 72. Dengan demikian untuk nilai y=2711 kg/ha, maka diperoleh 140 nilai x=542,2. Artinya pada saat tercapai nilai threshold produksi padi, maka curah hujannya adalah sekitar 542,2 mm/musim tanam. Untuk menentukan indeks hujan per fase tanaman, maka digunakan persamaan (1) yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu : Y = 0.830 X1 + 5.08 X2 + 4.09 X3 Selain itu diperlukan nilai rata-rata curah hujan per fasenya. Dari data Cidekung diperoleh rata-rata curah hujan pada setiap fasenya adalah 207 mm (fase 1), 154 mm (fase 2) dan 134 mm (fase 3), dengan total curah hujan 495 mm dan total standar deviasi 612 mm/musim tanam. Indeks hujan pada setiap fase diperoleh dengan memasukkan nilai rata-rata curah hujan per fase dibagi dengan standar deviasinya dan dikalikan dengan triger hujan untuk satu musim tanam. Setelah dilakukan perhitungan, maka untuk lokasi Cikedung diperoleh indeks hujan masing-masing adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 438,5 mm untuk seluruh fase (Tabel 13). Gambar 72. Penentuan trigger hujan di Cikedung Tabel 13. Penentuan indeks hujan di lokasi Cikedung Fase 1 Indek Iklim (207/612)x542,2=183 Fase 2 (154/612)x542,2=136 Fase 3 (134/612)x542,2=119 Seluruh Fase (495/612)x542,2=438,5 141 6.3.6. Desain Premi dan Klaim Asuransi Pembayaran premi ditentukan oleh besarnya risiko. Semakin besar risiko maka nilai premi yang dibayarkan semakin tinggi. Sebaliknya semakin kecil risiko maka premi yang harus dibayar juga semakin rendah. Premi pada umumnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar pihak yang terlibat, pada umumnya sebesar 10-15% dari biaya input, tetapi bisa lebih rendah lagi. Sebagai contoh PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 menetapkan premi 5% untuk asuransi gagal panen akibat serangan hama/penyakit, banjir dan kekeringan akibat kekurangan air irigasi atau anomali iklim. Martirez (2009) memberikan contoh besarnya premi untuk risiko tinggi terhadap berbagai bencana (Multi Risk Cover) sebesar 12.27%. Untuk risiko tinggi terhadap bencana alam (Natural Disaster Cover) premi yang harus dibayar sebesar 9.07%. Premi tersebut bisa dibagi antara pihak yang terkait yaitu petani, lembaga pemberi pinjaman (lending institution) serta pemerintah. Premi yang harus dibayar petani pada umunya paling rendah, dan porsi terbesar (hampir setengahnya) adalah pemerintah. Hal ini juga terlihat dalam proyek percontohan asuransi pertanian yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BUMN pertanian dan BUMN asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012 di Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur, masing-masing 1000 ha untuk menjamin usahatani padi dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau serangan OPT. Dalam proyek percontohan ini, premi yang ditanggung Pemerintah sebesar 80% dari Rp. 180000/ha/MT dengan nilai pertanggungan jika gagal panen (puso dengan kriteria tertentu) Rp. 6 juta/ha, atau sebesar Rp. 144 ribu, sementara petani membayar sisanya 20%, yaitu sebesar Rp. 36 ribu) (Pasaribu 2012). Dari hasil di Cikedung, antara fase 1, 2 dan 3 curah hujan yang paling besar pengaruhnya terhadap keragaman hasil adalah pada fase 2. Apabila petani mengasuransikan indeks hujan pada fase 2 ini, maka premi yang dibayarkan akan lebih tinggi dibandingkan fase 1 dan 3. Dalam membuat desain premi perlu dipertimbangkan kesediaan membayar (WTP) oleh petani yang sudah disajikan dalam Bab V tentang usahatani padi. Besarnya klaim ditentukan oleh nilai premi dikalikan dengan periode ulangnya. Peluang diperoleh dari besarnya frekuensi dibagi dengan periode 142 datanya. Dalam contoh kasus di Cikedung, periode data yang memenuhi analisis untuk threshold adalah 1981-2009 (29 tahun). Semakin besar peluang terjadinya nilai produksi kurang dari threshold, maka akan semakin besar nilai preminya karena risikonya semakin tinggi. Untuk mendapatkan gambaran tentang klaim asuransi, maka berikut disajikan contoh perhitungan klaim asuransi indeks iklim. Dalam kasus di Cikedung, telah diperoleh nilai indeks hujan pada setiap fase, masing-masing adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2) dan 119 mm (fase 3) dan total satu periode tanam sebesar 439 mm. Untuk kumulatif curah hujan, diperoleh nilai rata-rata curah hujan per fase pada MK yaitu 76 mm (fase 1), 37 mm (fase 2) dan 58 mm (fase 3). Untuk aplikasi di lapang, nilai kumulatif curah hujan diperoleh berdasarkan hasil pengamatan selama masing-masing fase tanaman. Dalam penelitian ini digunakan varietas padi IR 64 dengan umur 110 hari dengan umur setiap fasenya 45 hari (fase 1), 35 (fase 2) hari dan 30 hari (fase 3). Untuk perhitungan klaim asuransi digunakan persamaan formula yang disusun oleh Martirez (2009), yaitu : Pembayaran = (Indek Hujan-Curah hujan Kumulatif) x unit pembayaran x Total yang diasuransikan/1000 Untuk studi kasus di Kecamatan Cikedung, diasumsikan polis yang diambil petani senilai Rp 5,000,000. Indeks hujan selama satu periode tanam adalah 439 mm, maka nilai per mm curah hujan adalah Rp. 5,000/439 = Rp. 11.402,-. Untuk menghitung nilai per mm defisit hujan per fase tanaman diperlukan nilai persentase yang diambil dari persamaan (1), sebagai berikut : Fase 1 adalah 0.34x(Rp.5000/439)=Rp.3.9 per mm curah hujan Fase 2 adalah 0.43x(Rp.5000/439)=Rp.4.9 per mm curah hujan Fase 3 adalah 0.23x(Rp.5000/439)=Rp. 2.6 per mm curah hujan (Tabel 14). Jika petani mengasuransikan indeks iklim untuk satu periode tanam tercapai kondisi di mana curah hujan kumulatif lebih rendah dari indeks hujan, maka total klaim sebesar Rp. 5,315,050, tetapi maksimum pembayaran adalah Rp. 5,000,000 sesuai dengan jumlah nilai yang diasuransikan. 143 Tabel 14. Contoh perhitungan dalam klaim asuransi indeks iklim di Cikedung Fase Fase 1 (Vegetatif) Fase 2 (Pembungaan) Fase 3 (Pengisian Biji) Total klaim Indeks Hujan (mm) (1) Nilai per mm defisit (Rp) Kumulatif hujan (mm) Perhitungan Keuntungan Nilai Klaim (Rp) (2) (3) (4)=(1-3)*(2) (5)=(4)*Nilai Polis 183 136 119 3.9 4.9 2.6 76 37 58 416 487 159 2.081.489 2.437.466 796,094 5.315.050 Berdasarkan Gambar 73, maka periode yang berpeluang untuk dijadikan produk asuransi indeks iklim adalah pada tanggal tanam 15 Jan-15 Feb, serta 15 September-15 Oktober, yaitu dengan periode ulang 2-4 tahun. Periode yang berpeluang tinggi mengalami kekeringan, yaitu pada periode April-Juni. Apabila petani mengasuransikan indeks curah hujan pada periode April-Juni tersebut baik selama satu musim maupun per fase, maka pembayaran preminya akan lebih mahal dibandingkan periode yang lain. Gambar 73. Periode ulang produksi < threshold 2711 kg/ha 6.3.7. Model Asuransi Indeks Iklim Asuransi indeks iklim adalah alat yang relatif baru yang dapat digunakan oleh petani untuk mengelola risiko iklim. Parameter iklim yang bisa digunakan untuk penyusunan indeks iklim cukup beragam. Menurut Manuamorn (2010), indeks iklim yang bisa digunakan antara lain : curah hujan, suhu udara, kecepatan angin, kelembaban tanah dan growing degree day. Dalam penelitian ini parameter 144 iklim yang dipilih adalah curah hujan. Hal ini disebabkan curah hujan merupakan parameter iklim yang paling berpengaruh terhadap fluktuasi produksi padi. Manuamorn (2010) juga menyebutkan bahwa dalam pertanian, indeks yang paling sering digunakan adalah indeks hujan yang ditujukan untuk memproteksi petani dari bencana kekeringan. Penyusunan indeks iklim memerlukan input data yang utama yaitu data curah hujan runut waktu dalam jangka panjang (30-40 tahun) (Mapfumo 2007). Oleh karena itu keberadaan stasiun hujan menjadi sangat penting. Selain itu, pengembangan model asuransi indeks iklim, perlu didukung dengan data usahatani padi serta kesediaan membayar. Penyusunan model asuransi indeks iklim memerlukan beberapa tahapan mulai dari desain produk hingga perhitungan klaim. Didalam desain produk dilakukan tahapan sebagai berikut : 1. Menganalisis hubungan antara curah hujan dan produksi padi. Produksi padi diestimasi dengan model simulasi tanaman DSSAT. 2. Menganalisis hubungan produksi padi dengan R/C untuk mendapatkan threshold produksi padi 3. Membuat desain indeks iklim berdasarkan hubungan curah hujan dan produksi padi serta threshold produksi. Penghitungan indeks iklim sebaiknya dilakukan oleh suatu tim yang disebut “sains proker” yang bekerja memberi pemahaman baik dari sisi peserta asuransi (dalam hal ini petani) maupun yang memberi asuransi (bank/jasa keuangan lainnya) (Boer, 2012). Tahap selanjutnya adalah pemasaran produk yang mencakup penyebaran dan penjelasan polis, umpan balik konsumen dan pembelian polis. Indeks iklim yang telah disepakati dan diaplikasikan selanjutnya dipantau selama periode asuransi. Tahap terakhir adalah penghitungan klaim dan pembayaran. Jika curah hujan selama periode asuransi lebih rendah dari exit akan dilakukan pembayaran penuh. Apabila lebih rendah dari trigger akan dilakukan pembayaran parsial, sedangkan apabila curah hujan selama periode asuransi lebih besar dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Diagram alir model asuransi indeks iklim secara garis besar disajikan dalam Gambar 74. 145 Gambar 74. Diagram alir model asuransi indeks iklim (dimodifikasi dari Martirez 2009) Dalam konsep asuransi indeks iklim, petani akan memperbarui kontraknya setiap tahun, Jadi indeks iklim yang dihasilkan juga akan diperbarui setiap tahunnya. Hal ini dilakukan agar indeks bisa mewakili kondisi iklim dengan masukan data terbaru (near real time). Terkait dengan waktu pelaksanaannya, asuransi indeks iklim dapat diikuti oleh petani setiap tahun karena kontrak diperbarui setiap tahunnya. Kontrak tahun ini dibuat untuk periode asuransi yang akan datang. Persyaratan mengikuti asuransi indeks iklim menurut Mapfumo (2007) adalah : 1. Tersedia jaringan stasiun cuaca. 2. Tersedia data yang berkualitas dan dalam runut waktu yang panjang (30-40 tahun). 3. Kepadatan petani tinggi di sekitar stasiun meteorology tertentu. 4. Pola cuaca relatif seragam dalam radius tertentu dari stasiun cuaca 5. Kapasitas memegang air tanah (water holding capacity) yang relatif sama untuk lahan pertanian yang diasuransikan terhadap stasiun tertentu. 6. Jaringan pengiriman yang institusional hingga bisa mencapai ke petani yang berkomitmen untuk asuransi ini dan yang memiliki kemampuan teknis mengelola proses ini. 7. Mendistribusikan dan memasarkan produk ke petani 8. Kemampuan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para petani 9. Penanggung atau pengambil risiko bersedia untuk menanggung risiko atau bertindak sebagai perantara pasar untuk risiko. 146 Syarat lainnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk mengikuti program asuransi indeks iklim ini, maka petani harus memiliki tanaman padi yang diusahakan di lahan sawahnya. Petani bisa memanfaatkan kalender tanam untuk mendapatkan informasi saat tanam yang tepat. Penentuan saat tanam yang tepat serta keikutsertaan dalam asuransi indeks iklim akan membantu petani mengelola usahataninya dengan optimal. Asuransi indeks iklim didesain untuk membantu petani meningkatkan produktifitasnya. Pada tahun-tahun yang baik (good year), petani diharapkan bisa meningkatkan teknologi inputnya (varietas, pupuk, obatobatan, dan lain-lain) sehingga produksinya meningkat. Sementara pada tahuntahun buruk (bad year) petani akan mendapat klaim pembayaran asuransi indeks iklim. Dengan demikian petani diharapkan akan lebih berani dalam mengambil risiko. Pada intinya dalam pengembangan asuransi indeks iklim, ada tiga aspek yang terkait, yaitu finansial, produksi dan sosial. Asuransi indeks iklim membuka peluang bagi petani untuk kesejahteraan. Apabila diuntungkan sehingga petani sejahtera, maka hal dapat meningkatkan tersebut merupakan keberhasilan dan prestasi bagi Kementerian Pertanian. Selain itu juga akan mengurangi gejolak sosial. Untuk aplikasi asuransi indeks iklim, penentuan lokasi bisa dilakukan dengan data dan informasi berdasarkan peta endemik kekeringan. Selain itu, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah : 1) iklim/biofisik, 2) posisi strategis sebagai sentra produksi, dan 3) kondisi petani (Las 2012). 6.4. Simpulan Secara umum, hasil simulasi tanaman di lahan tadah hujan memperlihatkan rata-rata produksi padi antara 1.1-1.4 ton/ha pada MK dan 3.3-4 ton/ha pada MH. Sementara hasil observasi berdasarkan wawancara dengan petani diperoleh rata-rata produksi berkisar antara 3.2-3.6 ton/ha pada MK dan 4.7-5.7 ton/ha pada MH. Rata-rata produksi padi di lahan irigasi ujung berkisar antara 3,8-5,0 ton/ha pada MK dan 5.1-5.9 ton/ha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman 147 memperlihatkan nilai produksi berkisar antara 3-7.3 ton/ha pada MK dan 4.4-5.9 ton/ha pada MH. Hubungan curah hujan dan produksi padi yang diwakili oleh lokasi Cikedung ditunjukkan oleh nilai R2 sebesar 0.6 untuk seluruh fase, sedangkan fase 1 sebesar 0.5, fase 2 sebesar 0.3 dan fase 3 sebesar 0.7. Pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil adalah 0.34% (fase 1), 0.43% (fase 2) dan 0.23% (fase 3). Fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung. Pada nilai R/C=1 diperoleh threshold produksi sebesar 2711 kg/ha. Peluang terjadinya threshold<2711 kg/ha selama periode 1981-2009 adalah 0.1 hingga 1, dengan periode ulang 1 hingga 10 tahun. Indeks iklim yang diperoleh untuk lokasi Cikedung adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 439 mm untuk keseluruhan fase pada MK.