1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik, sosial budaya, maupun keamanan.1 Korupsi menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia, bahkan telah kronis. Korupsi di Negara ini bahkan telah merambah semua ini bagaikan gurita. Penyimpangan ini bukan saja merasuki lorong-lorong instansi yang tidak terbayangkan sebelumnya bahwa disana ada korupsi.2 Secara etimologis atau menurut bahasa, “ korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus, dan bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa. Seperti Inggris : corruption, corrupt,; Prancis : corruption ; dan Belanda : corruptive atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi.” Arti kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.3 1 Deni Styawati, 2008, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, Pustaka Timur, Yogyakarta, h. 1. Achmad Zainuri , 2007, Akal Kultural Korupsi di Indonesia, Cahaya Baru Sawangan, Depok, h. 15. 3 Andi hamzah (I), 1991, Korupsi di Indoneisia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 7. 2 2 Selain itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah ; 1.) Penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 2.) menyelewengkan, menggelapkan (uang dsb). Namun menurut Pasal 435 KUHP, korupsi berarti busuk, buruk , bejat dan dapat disogok, suka disuap, pokoknya merupakan perbuatan yang buruk. Perbuatan korupsi dalam istilah kriminologi digolongkan kedalam White Collar Crime. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan.4 Penegakan hukum yang dilakukan secara konvensional untuk memberantas tindak pidana korupsi terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum yang luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan dalam upaya tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif profesional, serta berkesinambungan. Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), akan tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).5 Mengingat kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang dikategorikan sebagai 4 Suyatno, 2005, Korupsi,Kolusi, Dan Nepotisme. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.16. Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Semarang, h. 92. 5 3 kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) memerlukan upaya pemberantasan dengan cara-cara yanh laur biasa (extra ordinary measure). Disamping tindak pidana korupsi sering disebut extra ordinary crime, sering kali tindak pidana korupsi ini diidentikkan dengan white collar crime yaitu suatu perbuatan (tidak berbuat) dalam sekelompok kejahatan yang spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana yang dilakukan oleh pihak professional, baik oleh individu, organisasi, atau sindikat kejahatan, ataupun dilakukan oleh badan hukum. Menurut Dony Kleden Rohaniwan, kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal mendifinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana ditetapkan oleh hukum. Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. 6 Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UU Tipikor, bahwa KPK dibentuk dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 tahun semenjak Undang-Undang 6 Anggun Wahyuni, 2012, “Kejahatan Kerah Putih(white collar crime)”, available from : URL : http://mynameisanggun-bukuhariananggun.blogspot.com/2012/01/kejahatan-kerah-putihwhite-collar-html, diakses 19 Agustus 2013. 4 tersebut mulai berlaku, yang kemudian diwujudkan dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut UU KPK dan dipertegas dalam pasal 2 yang berbunyi: “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.” Hal ini sesuai dengan ketentuan TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, artinya Undang-Undang tersebut menjadi dasar hukum yang menjamin sahnya lembaga tersebut dan memuat tugas serta tanggung jawab dari KPK. KPK merupakan lembaga baru dalam konstitusional Indonesia yang eksistensinya masih bersifat relatif dikalangan warga masyarakat maupun Lembaga Negara yang sudah ada sebelumnya. Walaupun KPK bukan merupakan sebuah lembaga penegak hukum inti dalam Sisitem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia, tetapi tugas dan wewenang yang dimiliki dan tanggung jawab yang harus diemban adalah merupakan bagian dari penegakan hukum di Indonesia, khususnya penanganan terhadap pemeriksaan tindak pidana korupsi. KPK mempunyai tugas, kewenangan, dan kewajiban dalam hal penanganan tindak pidana korupsi telah diatur sedemikian rupa dalam UU KPK, ini artinya bahwa dalam penegakan hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi, KPK dapat diartikan sebagai lembaga penegak hukum khusus 5 sehingga upaya-upaya yang hendak dicapai dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dapat lebih maksimal. Selain itu dibentuknya KPK juga dilatarbelakangi alasan karena lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efisien dan efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi.7 KPK adalah suatu komisi organik, yaitu komisi yang lahir dari Undang-Undang yakni selanjutnya disebut UU KPK. Pengertian KPK yang termaktub dalam Pasal 3 UU KPK berbunyi : “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” Dilihat dari pembentukan dan kewenangannya, KPK mempunyai tugas-tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU KPK.8 Kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 6 UU KPK, bertugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan KUHAP, yaitu dalam Pasal 1 angka (2) menyebutkan yang dimaksud dengan : “Penyidikan adalah serangkain tindakan dalam penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. “ 7 Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, P.T. Alumni, Bandung, h. 23. 8 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta,h. 188. 6 Banyak anggota masyarakat ataupun kelompok masyarakat yang masih belum memahami dan mengetahui tentang tugas dan wewenang serta kewajiban dan independensi KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi masih bersikap tebang pilih. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaan diatur Undang-Undang. Adapun wewenang KPK telah diatur dalam Bab II UU KPK yakni pada Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14. KPK memiliki multi kewenangan, antara lain kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai Pasal 6 UU KPK. Selain itu juga KPK memiliki berwenang melakukan penyidikan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana lazim yang berlaku sesuai Pasal 46 UU KPK. Salah satu kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 8 adalah wewenang penyidikan dan penuntutan. Hal tersebut dimuat dalam Pasal 8 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Komisi pemeberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap 7 pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Pengaturan dalam Pasal 8 ayat (2) tersebut dibatasi oleh alasan yang tertuang dalam pasal 9 UU KPK tersebut. Namun dalam penulisan skripsi ini lebih mengkhususkan pembahasan normatif terhadap alasan yang digunakan dalam mengambil alih penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK dalam Pasal 9, yang berbunyi : Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti; b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. Hambatan penangan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislative; atau f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam pengaturan Pasal 9 tersebut,KPK dapat mengambilalih penyidikan dan penuntutan yang dilakukan kepolisian kasus tindap pidana korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan apabila telah memenuhi alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK diantaranya laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti atau proses penanganannya berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan atau penanganannya ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya atau karena ada hambatan penangan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislative. 8 Dari wacana tersebut diatas dapat dilihat bahwa dengan kondisi demikian, maka upaya mengambilalih merupakan salah satu alternatif dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi dibandingkan kasus kejahatan lainnya. Kewenangan KPK ini masuk dalam ranah hukum pidana formil. Pada mulanya Kepolisian dan Kejaksaan Agung bersikap kontra terhadap kewenangan yang diberikan kepada KPK dalam mengambilalih kasus tindak pidana korupsi mengingat ketentuan ini akan dianggap sebagai suatu eliminasi terhadap hukum positif yang telah menempatkan Kejaksaan Agung dan Kepolisian sebagai instititusi atas penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Namun sebaliknya, sebagian masyrakat menganggap ide ini sebagai suatu yustifikasi terhadap pengakhiran dikotomi antara Polisi dan Jaksa dalam menetukan Posisi sentral penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas berkas perkara beserta alat bukti atau dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.9 Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanana 9 Ibid , h. 184 9 kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Selain itu pula dalam penjelasan pasal 12 huruf I bahwa permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan Tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan. Penyerahan sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan yang termaktub dalam pasal 9 UU KPK. Jika ditelaah secara lebih rinci bunyi Pasal 9 UU KPK tersebut telah disebutkan bahwa pengambilalihan penyidikan yang dilakukan KPK dari kepolisian atau kejaksaan diartikan sebagai penyerahan wewenang kepada KPK. Namun dalam setiap muatan Pasal 9 tersebut tidak ada penjelasan yang mengatakan KPK boleh melakukan pengambil alihan perkara yang terjadi sebelum adanya UU KPK tersebut. Sedangkan jika kita lihat banyak perkara 10 yang belum bisa ditangani secara tuntas akibat ditindaklanjuti ataupun terbengkalai selama masih ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Oleh karena itu , diperlukan suatu penafsiran hukum yang bisa menyelesaikan kekaburan norma yang terdapat dalam Pasal 9 tersebut. Sehingga dalam kewenangan KPK yang terdapat pada Pasal tersebut dapat dikatakan kabur dimata hukum. Apabila dipandang dari sudut kewenangan ataupun fungsi-fungsi kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945, akan tampak jelas bahwa organorgan yang menyandang fungsi dan kewenangan konstitusional dimaksud sangat beraneka ragam.10 Namun KPK bukan terbentuk dari konstitusi melainkan dari UU KPK yang dimotori oleh UU TIPIKOR sebagai alasan dibentuknya Lembaga pemberantasan Korupsi. Selain itu, telah terdapat pula sebuah payung hukum yang berbentuk Undang-Undang yang dengan jelas dan gamblang memberikan kewenangan dan fungsi serta tanggung jawab dari masing-masing instansi dalam peran sertanya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Terkait tentang luasnya kewenangan yang dimiliki KPK ada potensi kekaburan norma dalam pemberian wewenang Lembaga tersebut. Penyebab utama adanya kekaburan norma dalam kewenangan lembaga negara tersebut adalah Undang-Undang KPK, termasuk UU Tipikor itu sendiri. Karena Undang-Undanglah yang masih belum bisa memberikan penjelasan terkait 10 271. Jimly Assiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta,h. 11 mengenai unsur-unsur yang telah dimuat dalam Undang-Undang sebagai kewenangan lembaga Negara itu sendiri. Berdasaran latar belakang tersebut, maka diberi sebuah judul yakni : “PENGATURAN KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas, yaitu : 1. Bagaimana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang KPK? 2. Bagaimanakah peranan KPK sebagai Lembaga Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia untuk masa yang akan datang? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Penelitian dan pembahasan yang akan dilaksanakan lebih mendalam supaya tidak mengalami perluasan masalah maka diperlukan pembatasan masalah untuk memudahkan dalam penulisan. Pembatasan masalah berguna untuk menghasilkan penulisan skripsi yang baik, maka ruang lingkup yang akan dibahas meliputi: 12 1. Membahas kekaburan norma terkait kewenangan KPK yang terdapat dalam pasal 9 UU KPK dan pengaturan kewenangan pengambilaihan kewenangan oleh KPK. 2. Membahas eksistensi kewenangan KPK sebagai Lembaga Negara yang diberikan wewenang yang sangat besar. 1.4. Orisinalitas Penelitian Dalam sebuah karya ilmiah perlu adanya jaminan keaslian penelitian guna menghindari plagiasi ataupun duplikasi dari hasil karya orang lain. Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi ini maka dapat dilihat perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu sebagai berikut : 1. Judul skripsi : Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Penulis : I Gede Winartha Indra Bhawana Tempat : Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun : 2011 Rumusan Masalah : 1) Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak diberi kewenangan oleh pembentuk Undang-undang untuk menerbitkan Surat 13 Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2)? 2) Apa tindakan KPK yang diakukan, jika perkara tindak pidana korupsi di tingkat penyidikan, oeh Komisi Pemberantasan Korupsi tersangkanya tidak cukup bukti? 2. Judul skripsi : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Penulis : Putu Eka Citra Erliana Tempat : Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun : 2011 Rumusan Masalah : 1) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diatur dalam UndangUndang, apakah memiliki fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman? 2) Bagaimana eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia? 3. Judul skripsi : Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Upaya Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Penulis : Diah Yustiasari 14 Tempat : Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun : 2007 Rumusan Masalah : 1) Bagaimanakah Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Upaya Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi? 2) Bagaimanakah Upaya-Upaya yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penanggulangan tindak Pidana Korupsi? 1.5. Tujuan Penulisan Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini, meliputi : a. Tujuan Umum : Adapun tujuan umum penulisan penelitian ini adalah : 1. Untuk memberikan penjelasan tentang kewenangan KPK perspektif peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada sistem ketatanegaraan Indonesia. 2. Untuk mengetahui sejauh mana eksistensi KPK sebagai lembaga ad hoc di masa yang akan datang. 3. Sebagai sumbangan pikiran khususnya yang membutuhkan pengetahuan lebih dalam pada bidang Hukum Ketatanegaraan, khususnya Hukum Kelembagaan Negara. b. Tujuan Khusus Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 15 1. Untuk mengetahui kewenangan KPK dalam penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengidentifikasi kekaburan norma dalam pasal 9 UU KPK. 2. Untuk mengetahui peranan KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi sebagai lembaga penyidik terkait kewenangannya dalam peraturan Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku saat ini. 1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang kewenangan lembaga Negara khususnya KPK. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman tentang kewenangan KPK sebagai lembaga penyelidik, penyidik, dan penuntutan tindak pidana korupsi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu di bidang hukum tata negara khususnya hukum kelembagaan negara dan dapat dijadikan refrensi bagi dosen dan mahasiswa dalam perkuliahan. b. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran tentang perlunya keteraturan dalam membentuk undang-undang, agar tidak terjadinya kekeburan norma ataupun konflik 16 norma dalam pemberian kewenangan bagi setiap Lembaga Negara khususnya pengaturan kewenangan KPK itu sendiri. Selain itu diharapkan pula dalam praktiknya dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam pemerintahan kedepannya dan pembuatan naskah akademik maupun rancangan undang-undang. Selain itu, rakyat dan negara juga mendapat jaminan bahwa tindak pidana korupsi dapat segera diberantas oleh KPK dengan memperhatikan check and balences. Selain itu juga manfaat yang dapat menegakkan prinsip negara hukum dalam konstitusi yang menjadi prinsip utama negara tidak diabaikan. 1.7 Landasan Teoritis Dalam bagian ini dideskripsikan konsep-konsep, asas-asas hukum dan pendapat para sarjana yang berkaitan kewenangan KPK sebagai lembaga penegak hukum. Selain itu dideskripsikan juga tentang peraturan Perundangundangan sebagai justifikasi yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Kegunaan dari tinjauan pustaka ini selain untuk memberikan pembenaran akademis juga untuk melakukan klarifikasi-klarifikasi. Adapun Teori-teori yang digunakan adalah sebagai berikut: 1.7.1 Teori Jenjang Norma Hukum Teori jenjang norma hukum ini dikemukakan oleh Hans Kelsen. Teori ini juga dikenal dengan sebutan Stufentheory. Teori ini menyatakan bahwa norma-norma hukum berjenjang-jenjang dan 17 berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan peraturan, yaitu bahwa suatu norma yang lebih tinggi, lalu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, lalu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikianlah seterusnya sampai pada norma dasar. Norma dasar ini merupakan aturan yang terlebih dahulu ditetapkan oleh masyarakat sebagai gantungan bagi norma-norma yang ada di bawahnya.11 Salah satu ciri khas dari hukum yang satu menentukan cara untuk membuat norma hukum lainnya hingga pada derajat tertentu menentukan isi dari norma lainnya. Karena batas berlakunya suatu norma hukum dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya. Hubungan antara norma hukum yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang dibentuk menurut cara yang ditentukan oleh norma hukum lain: dapat digambarkan sebagai hubungan antara super ordinant dan sub ordinant . norma yang menetukan norma lainnya adalah norma yang lebih tinggi, lalu norma yang dibentuk berdasarkan peraturan itu adalah norma yang lebih rendah. Kesatuan norma ini, ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang lebih rendah, ditentuka oleh norma yang lebih tinggi, yang pembentukanya juga ditentukan oleh norma dasar 11 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, cet. 1. Kanisius, Yogyakarta, h. 25. 18 tertinggi yang menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum dalam suatu negara.12 1.7.2 Konsep Pembagian Kekuasaan Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat. Variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi kenegaraan itu berkembang dalam banyak ragam dan bentuk, baik ditingkat pusat dan lokal. Gejala perkembangan seperti ini,merupakan kenyataan yang tak terelakkan karena tuntutan keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya. 13 Teori pembagian kekuasaan mengajarkan bahwa dalam suatu negara terdapat tiga jenis kekuasaan yang disebut Trias Politica. Konsep tentang pembagian kekuasaan yang paling berpengaruh adalah gagasan dari Montesquieu. Hal itu karena doktrin trias politica yang dinisbatkan oleh Mostesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin di dalam tiga jenis organ negara. 12 Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Soemardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, h. 155. 13 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan Dan Konsiliasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, h.35. 19 Menurut Montesquieu di setiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan cabang kekuasaan yudikatif yang berhubungan dengan pembentukan hukum dan undang - undang negara, dan cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan penerapan hukum sipil. (in every government, there are three sorts of powers: the legislative in respect to things dependent on the law of nations; and the executive in regard to matters that depend on civil law).14 Menurut Lee Cameron Mcdonald, yang dimaksudkan oleh Montesquieu dengan perkataan “the executive in regard to matters that depend on the civil law” itu tidak lain adalah the yudiciary. Ketiga fungsi kekuasaan tersebut, yaitu legislative, executive atau pemerintah dan yudiciary.15 Yang diidealkan oleh Baron de Montesquieu (1689-1785) adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Konsepsi trias politica yang diidealkan oleh Montesquieu ini memang dikenal luas dengan pandangannya tentang konsep pemisahan kekuasaan atau separation of powers. Misalnya oleh Lee 14 Lee Cameron Mcdonald, 1968, Western Political Theory, Part I, Pomona Collage, 1968, h. 377-379. 15 Jimly Asshiddiqie, op.cit. 20 Cameron Mcdonald dikatakan, “ in dozens of books and thousands of lectures of examination papers the name Montesquieu mean one thing separation of powers”.16 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif. 1.7.3 Teori Kewenangan Wewenang dalam bahasa Inggris disebut authority atau dalam bahasa Belanda bovedegheid. Arti singkat dari wewenang adalah kekuasaan yang sah/ legitim. Menurut Philipus M. Hadjon, “ wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.”17 F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan HR berpendapat “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu 16 Charles Louis De Secondat, 1968, “Baron De La Brede Et De Montesquieu”, Pomona Collage, h. 377-379. 17 Philipus M. Hadjon, 1997, ”Tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII, September – Desember, h.1 21 dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga negara)18 Ferrazi mendefinisikan kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.19 Adapun unsur-unsur kewenangan dapat dibagi menjadi tiga, yakni: a. Pengaruh: ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. b. Dasar hukum: bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya, dan c. Konformitas hukum: mengandung makna adanya standard wewenang, yaitu standard umum (semua jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu)”. Menurut Indroharto, mengemukakan tiga macam kewenangan yang bersumber dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu, meliputi: 1. Atribusi; 2. Delegasi; dan 3. Mandat.20 18 Ridwan HR, 2006,Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta , h. 100 Ganjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, h. 93 20 Ridwan HR. 2008, Hukum Administrasi Negara, : Raja Grafindo Persada, Jakarta , h. 104. 19 22 Sedangkan menurut F.A,M. Stroink dan J.G. Steenbeek, seperti dikutip oleh Ridwan HR, mengemukakan bahwa dua cara organ pemerintah memperoleh kewenangan, yaitu: 1. Atribusi; dan 2. Delegasi.21 Kedua cara organ pemerintah dalam memperoleh kewenangan itu, dijadikan dasar atau teori untuk menganalisis kewenangan dari aparatur negara di dalam menjalankan kewenangannya. Selain itu Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara, yaitu: 1. Atribusi; dan 2. Delegasi dan kadang-kadang juga mandat.22 Pengertian atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-Undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan (utamanya UUD 1945). Dengan kata lain, atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang 21 Ibid, h. 105. Philipus M. Hadjon, 1998, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid), Pro Justitia Tahun XVI Nomor I Januari 1998, h. 90. 22 23 sebelumnya kewenangan itu, tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Sedangkan delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Selain itu mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. Tanggungjawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat. Setiap wewenang itu dibatasi oleh isi/materi (materiae), wilayah/ruang (locus), dan waktu (tempus). Cacat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat wewenang atau dalam artian bahwa di luar-luar batas-batas itu suatu tindakan pemerintahan merupakan tindakan tanpa wewenang (onbevoegdheid). Suatu perbuatan hukum yang cacat hukum jika perbuatan tersebut dilakukan tanpa wewenang/alas hak yang jelas (cacat 24 wewenang), dilakukan melalui prosedur yang tidak benar (cacat prosedur), dan substansi perbuatan itu sendiri (cacat substansi). Cacat wewenang mengakibatkan suatu perbuatan menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig). Cacat prosedur hanya tidak akan menyebabkan suatu perbuatan menjadi batal demi hukum, melainkan hanya dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar). Cacat substansi dapat berakibat pada batalnya suatu perbuatan hukum (nietig). 1.7.5 Penerapan Hukum Konsep dan teori mengenai penerapan hukum dalam konteks civil law system hakikatnya konsep dan teori mengenai penemuan hukum atau Law finding oleh hakim. Dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki bahwa” The issue of law finding is a typical continental European jurisprudence issue. This is not the case in Anglo American legal system.”23 Dalam konteks demikian, menurut Achmad Ali , yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode kontruksi , yang dapat dilihat pada buku-buku karangan Paul Scholten, Pitlo, ataupun Sudikno Mertokusumo. Berdasarkan kelaziman, metode yang digunakan oleh hakim untuk menemukan hukum, diantaranya : metode interpretasi atau 23 Peter Mahmud Marzuki (II) , 2004, The Juds Taskto find Law Under the Indonesian law, fakultas Hukum Universitas Airlangga, h.85. 25 hermeuneutika, metode argumentasi, dan penemuan hukum bebas. Metode interpretasi meliputi: 1. menurut bahasa atau gramatikal, 2. teleologis atau sosiologis, 3. sistematis atau logis, 4. historis, 5. perbandingan hukum (komparatif), 6. futuristis, 7. penegakan hukum wajib menurut hukum. Dalam pelaksanaan penegakan hukum wajib mengikuti ketentuan aturan hukum, penegakan hukum yang dilakukan tidak menurut hukum dapat berakibat batal demi hukum atau null and void, van rechtwege nieting. Asas equality before the law yang artinya perlakuan hukum yang sama bagi semua orang , dalam eksistensinya masih sangat jauh dari norma yang ada. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, dalam Pasal 4 ayat (1) mengatakan bahwa “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang, karena alasan ras, suku, agama maupun latar belakang bukan hanya berlaku dalam pengadilan saja tetapi maknanya juga dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang lain 26 untuk melaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan tidak membeda-bedakan orang. Peran penegak hukum harus dapat menjamin keseimbangan antara rasa keadilan, kegunaan atau kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam pelaksanaan penegakan hukum untuk menemukan kepuasan bagi mereka yang mendambakan keadilan. 1.8 Metode Penelitian Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan disini adalah yuridis normatif. Penelitian yang dikaji secara yuridis normatif adalah mengkaji permasalahan yang timbul dengan berlandasakan aturan-aturan hukum, teori-teori dan penerapan aturan hukum yang berlaku.24 b. Jenis Pendekatan Dalam penulisan skripsi ini, dirasakan perlu untuk menggunakan pendekatan masalah agar tercermin sebagai karya ilmiah. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan analisis konsep hukum (analitical dan conseptual approach), Pendekatan Perundang-undangan 24 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada Jakarta, h. 14. 27 (the statute approach) dan pendekatan fakta (the Fact Approach). Pendekatan konseptual dilakukan dengan menelaah aturan-aturan hukum yang ada dalam UU KPK maupun Peraturan Perundang-undangan terkait dengan kewenangan lembaga negara tersebut. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang menyangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. c. Bahan hukum Dalam penulisan karya ilmiah ini diperlukan bahan hukum guna menunjang penelitian yang akan dilaksanakan. karena penelitian ini bersifat yuridis normatif, maka bahan hukum yang digunakan terdiri atas: 1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat.25 Jika ditinjau dari hukum nasional, maka bahan hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini adalah: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 25 Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 10. 28 5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. 2. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer.26 Contohnya: buku, artikel, laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya. 27 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berupa buku-buku literatur, karya ilmiah/pendapat para sarjana dan artikel yang berkaitan erat dengan pokok bahasan yang dibahas dalam permasalahan. 3. Bahan hukum tersier, yaitu sumber bahan hukum berupa sumber nonhukum yang menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder. Bahan hukum tersier dalam penulisan ini terdiri atas kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan buku-buku pelajaran yang bersifat non hukum. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Untuk menunjang penelitian penulisan skripsi ini, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode bola salju (snow ball methode). e. Teknis analisis Penulisan skripsi ini pada dasarnya adalah bersifat mencari dasardasar hukum dari ketentuan Pasal dalam peraturan Perundang-undangan 26 27 Ibid, h. 12. Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 103. 29 yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu teknik analisis terhadap bahan hukum yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik deskripsi dan interpretasi dalam bentuk sistematis dan gramatikal, yaitu dengan memperhatikan fenomena hukum yang ada di masyarakat, seperti mendeskripsikan salah satu kasus tindak pidana korupsi BLBI yang diambilaih oleh KPK karena penanganannya yang berlarut-larut dan lainlain seperti alasan yang ada dalam Pasal 9 UU KPK. 30 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA 2.1 Istilah dan Pengertian Lembaga Negara Lembaga Negara bukanlah konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga Negara digunakan istilah political institution, sedangkan dalam terminology Bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga Negara, badan Negara, atau organ Negara.28 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),kata “lembaga ” diartikan sebagai (1) asal mula (yang menjadi sesuatu) ; bakal (binatang, manusia, dan tumbuhan); (2) bentuk (rupa, wujud) yang asli; (3) acuan; ikatan; (tentang mata cincin dsb); (4) badan (organisasi) yang tujuannya melakukan sesuatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (5) pola prilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan. Kamus tersebut juga memberi contoh frasa menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintahan yang diartikan badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Jika kata pemerintahan diganti dengan kata Negara, diartikan badan-badan Negara di 28 Sri Soemantri, 2004, Eksistensi System Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Makalah Proseeding diskusi Publik, komisi Revormasi hokum Nasional (KRHN), Jakarta 31 semua lingkungan pemerintahan Negara (khususnya di lingkungan eksekutif, yudikatif, legislatife). Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu Negara atau yang lazim disebut sebagai lembaga Negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi Negara.29 Berdasarkan teori-teori klasik mengenai Negara setidaknya terdapat beberapa fungsi Negara yang paling penting seperti fungsi membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif). Lembaga Negara adalah organ Negara yang menjalankan fungsi Negara untuk mewujudkan tujuan Negara.30 Lembaga Negara dapat dibedakan berdasarkan:31 1. Fungsi yang dimilikinya, 2. Kedududkan, atau 3. Peraturan yang menjadi dasar pemebentukannya. Menurut George Jellinek, lembaga Negara berdasarkan kedudukan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:32 1. Lembaga Negara langsung (unmittenbare organ), yaitu lembaga Negara yang menentukan ada atau tidak adanya Negara. 29 Moh. Kusnardi dan Bintang Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media Pratama, Jakarta. 30 H. Ahmad roestandi, SH, 2006, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan mahkamah Konstitusi, Jakarta, h. 53. 31 ibid, h. 107. 32 Ibid. 32 2. Lembaga Negara yang tidak langsung (mittenbare organ), yaitu lembaga Negara yang bergantung pada lembaga negara yang langsung. Selain itu penggolongan lain berdasarkan kedudukannya dibedakan menjadi: 1. Lembaga Negara utama atau lembaga Negara primer (main state’s organ/primary constitutional organ), yaitu lembaga Negara yang dibentuk untuk menjalankan salah satu cabang kekuasaan Negara (legislative, eksekutif, yudikatif). 2. Lembaga Negara penunjang atau lembaga Negara pendukung (auxiliary organs), yaitu lembaga Negara yang dibentuk untuk memperkuat lembaga Negara utama dalam menjalankan kekuasaannya. Khusus di Indonesia , lembaga Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang membentuknya dapat dibedakan menjadi33: 1. Lembaga Negara yang dibentuk/disebut/atau diberi wewenang oleh UUD NRI Tahun 1945. 2. Lembaga Negara yang dibentuk/disebut/atau diberi wewenang oleh undang-undang, seperti KPK. 3. Lembaga Negara yang dibentuk/disebut/atau diberi wewenang oleh Keputusan Presiden. Sebagaimana dikutip oleh Alder, menurut Jennings terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara pembantu, alasanalasan tersebut yakni:34 33 Firmansyah Arifin et.Al, Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Konsorsium reformasi hokum Nasional (KRHN), Jakarta, h. 66.67. 33 1. The need to provide cultural or personal service supposedly free from the risk of political interference. 2. The desirability of non-political regulation of markets. 3. The regulation of independent professions such as medicine and the law. 4. The provision of technical service 5. The creations of informal judicial machinery for setting disputes Selain itu, menurut Alder berdasarkan kedudukan hukumnya lembaga tersebut dapat dibagi kedalam 5 (lima) klasifikasi, yakni:35 1. Most are statutory and have separate legal identity. Their powers and duties depend entirely on the particular statute. 2. Some are created by administrative actions. 3. Some are created by contract agreement within an organisation. 4. Some are entirely voluantary creations whose members have non special legal status and who depend upon either consent or back government. 5. Some are ordinary companies in which the government has acquired substantial shareholdings. Dengan demikian KPK dapat dikatakan sebagai lembaga Negara pembantu (auxiliary organs). Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga Negara atau alat-alat kelengkapan Negara adalah selain untuk menjalankan fungsi Negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan 34 John Alder, Constitutions and Administrative Law, (London: The Macmillan Press LTD, 1989), h. 225 35 Gerry Stoker, The Politic of Local Government, (London: The Mac. Millian Press, 1991), h. 63. 34 proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi Negara atau istilah yang digunakan Sri Soemantri adalah actual governmental process.36 Meskipun dalam prakteknya tipe lembaga-lembaga Negara yang adopsi setiap Negara bisa berbeda, secara konsep lembagalembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi Negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan Negara jangka panjang. 2.2 Sejarah KPK Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha menerangi tindak pidana korupsi. Gagasan pembentukan KPK sebenarnya diawali oleh TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Menindaklanjuti amanat itu, DPR dan pemerintah kemudian membuat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. 36 Sri Soemantri, 2004, Eksistensi System Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Makalah Proseeding diskusi Publik, komisi Revormasi hokum Nasional (KRHN), Jakarta. 35 Ketika pembahasan UU itulah, muncul gagasan dari beberapa orang Fraksi PPP seperti Zein Badjeber, Ali Marwan Hanan dkk. Mereka mengusulkan untuk menambah bab tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.”Yang saya ingat usulan itu bukan ketikan komputer, tetapi manual,” kenang Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. Mereka ingin agar ini dijadikan bab tersendiri, merupakan bagian dari RUU tersebut. Tapi usulan itu ditolak Fraksi ABRI. “Argumentasinya, adalah tidak logis menambah bab dalam RUU. Kalau penambahan satu pasal atau ayat biasa. Kedua, dilihat dari usulannya, penambahan bab ini belum dikaji secara yuridis maupun semantik,” tutur Ruki yang ketika itu adalah juru bicara Fraksi ABRI. Menurut Ruki, untuk membangun sebuah lembaga atau komisi yang diberikewenangan sebesar itu, tidak bisa dirancang dengan pemikiran sesaat. Harus dilakukan pengkajian yang betul dengan segala aspeknya. Karena itu, Fraksi ABRI terpaksa menolak penambahan satu bab ini. Tapi soal pembentukan KPK,mereka setuju.Karena itu, kemudian disepakati amanat pembentukan KPK akan dimuat dalam aturan peralihan UU No. 31 tahun 1999. Akhirnya, aturan peralihan UU No. 31 tahun 1999 mengamanatkan agar paling lambat 2 tahun setelah UU itu disahkan, KPK sudah dibentuk. Menurut kesaksian Zain Badjeber, konsep dari Fraksi PPP menginginkan agar seluruh penanganan perkara korupsi dialihkan ke KPK, namun fraksi lain tidak setuju. "Agar barang itu (KPK) cepat jadi, akhirnya 36 PPP mengalah, sehingga kepolisian dan kejaksaan juga berwenang menangani korupsi", katanya.37 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri resmi dibentuk pada Desember 2003 berdasarkan UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK adalah suatu komisi organik, yaitu komisi yang lahir dari Undang-Undang yakni selanjutnya disebut UU KPK. Pengertian KPK yang termaktub dalam Pasal 3 UU KPK berbunyi : “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah Provinsi. 37 Pradirwan, 2014, “Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”, available from : URL : http://www.pradirwan.tk/2014/07/sejarah-komisi-pemberantasan-korupsi-kpk.html, diakses tahun 2014. 37 KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi meningkatkan daya guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: 1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; 4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan 5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK, KPK berasaskan pada: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. kepentingan umum; dan e. proporsionalitas. 38 Adapun visi dan misi KPK adalah sebagai berikut: Visi Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi Misi Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi Regulasi KPK Pengaturan mengenai dasar hokum dan kewenangan KPK sebagai Lembaga Negara dapat dilihat pada beberapa peraturan Perundang-Undangan berikut ini:38 Dasar hukum KPK 1. UU RI No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 38 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 2015, “Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia”, available from : URL : https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indonesia, diakses tanggal 21 Mei 2015. 39 Undang-Undang 1. UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN 2. UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4. UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Peraturan Pemerintah 1. PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sampai dengan saat ini, tercatat ada 5 orang yang telah memimpin KPK. Mereka adalah :39 No Nama 1 2 3 Taufiequrachman Ruki Antasari Azhar Tumpak Hatorangan Panggabean (Pelaksana Tugas) Busyro Muqoddas Abraham Samad 4 5 39 Ibid. Mulai Jabatan 2003 2007 2009 Akhir Jabatan 2007 2009 2010 2010 2011 2011 2015 40 2.3 Struktur KPK Struktur organisasi KPK ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 28 UU KPK, sebagai berikut:40 Pasal 21 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; (2) b. Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun sebagai berikut: a. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan b. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang, masing-masing jika merangkap Anggota. (3) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah pejabat negara. (4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum. 40 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta,h.197. 41 (5) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif. (6) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 22 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi pemilihan. (2) Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan dari masyarakat. (4) Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan calon yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan. 42 (5) Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan mengajukan 8 (delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dipilih 4 (empat) orang anggota. (6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal panitia seleksi pemilihan dibentuk. Pasal 23 Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 24 (1) Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah warga negara Indonesia yang karena kepakarannya diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. 43 Pasal 25 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi: a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi; c. (2) menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 26 (1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan 4 (empat) bidang yang terdiri atas: a. Bidang Pencegahan; b. Bidang Penindakan; c. Bidang Informasi dan Data; dan d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. 44 (3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membawahkan: a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; b. Subbidang Gratifikasi; c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan. (4) Bidang penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b membawahkan: (5) a. Subbidang Penyelidikan; b. Subbidang Penyidikan; dan c. Subbidang Penuntutan. Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c membawahkan: (6) a. Subbidang Pengolahan Informasi dan Data; b. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi c. Subbidang Monitor. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d membawahkan: a. Subbidang Pengawasan Internal; b. Subbidang Pengaduan Masyarakat. 45 (7) Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan Subbidang Penuntutan, masing-masing membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai dengan kebutuhan subbidangnya. (8) Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 27 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal. (2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia. (3) Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. (4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 28 Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi. 46 Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi No. PER-08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK.41 Adapun penjelasan mengenai keputusan tersebut dapat dijelaskan melalui bagan berikut ini: 41 KPK, 2015, “Struktur KPK ”, available from : URL : http/www.kpk.go.id/id/tentangkpk/struktur-organisasi, diakses tahun 2015. 47 Berdasarkan bagan diatas dapat dijelaskan deputi masing-masing bagian sebagai berikut: a) Deputi Pencegahan Deputi Bidang Pencegahan mempunyai tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Deputi Bidang Pencegahan menyelenggarakan fungsi:42 a. Perumusan kebijakan untuk sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan; b. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendataan, pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN; c. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penerimaan pelaporan dan penanganan gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara d. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendidikan anti korupsi, sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi dan kampanye antikorupsi; e. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan pemberantasan korupsi; 42 KPK, 2015, “Deputi Pencegahan ”, available from : URL :http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pencegahan, diakses tahun 2015 48 f. Koordinasi dan supervisi pencegahan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik; g. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di lingkungan Deputi Bidang Pencegahan. h. Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan; i. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya. Deputi Bidang Pencegahan dipimpin oleh Deputi Bidang Pencegahan dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK; Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Pencegahan dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pencegahan yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Pencegahan. Deputi Bidang Pencegahan membawahkan:43 1) Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PP LHKPN); 43 Ibid. 49 2) Direktorat Gratifikasi; 3) Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; 4) Direktorat Penelitian dan Pengembangan; 5) Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan. b) Deputi Penindakan Deputi Bidang Penindakan mempunyai tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Penindakan Tindak Pidana Korupsi. Deputi Bidang Penindakan menyelenggarakan fungsi :44 a. Perumusan kebijakan untuk sub bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK oleh penegak hukum lain; b. Pelaksanaan penyelidikan dugaan TPK dan bekerjasama dalam kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain; c. Pelaksanaan penyidikan perkara TPK dan bekerjasama dalam kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain; d. Pelaksanaan penuntutan, pengajuan upaya hukum, pelaksanaan penetapan hakim & putusan pengadilan, pelaksanaan tindakan hukum lainnya dalam penanganan perkara TPK sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 44 KPK, 2015, “Deputi Penindakan ”, available from : URL http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-penindakan, diakses tahun 2015 : 50 e. Pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum lain yang melaksanakan kegiatan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara TPK; f. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan, pembinaan sumberdaya dan dukungan operasional di lingkungan Deputi Bidang Penindakan; g. Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK oleh penegak hukum lain; dan h. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya. Deputi Bidang Penindakan dipimpin oleh Deputi Bidang Penindakan dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK. Deputi Bidang Penindakan membawahkan:45 45 1) Direktorat Penyelidikan; 2) Direktorat Penyidikan; 3) Direktorat Penuntutan; 4) Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi; dan 5) Sekretariat Deputi Bidang Penindakan. Ibid. 51 c) Deputi Informasi dan Data Deputi Bidang Informasi dan Data mempunyai tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan pada Bidang Informasi dan Data. Deputi Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi:46 a. Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengolahan Informasi dan Data, Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi dan Monitor; b. Pemberian dukungan sistem, teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan KPK; c. Pelaksanaan pembinaan jaringan kerja antar komisi dan instansi dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK; d. Pengumpulan dan analisis informasi untuk kepentingan pemberantasan tindak pidana korupsi, kepentingan manajerial maupun dalam rangka deteksi kemungkinan adanya indikasi tindak pidana korupsi dan kerawanan korupsi serta potensi masalah penyebab korupsi; e. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di lingkungan Deputi Bidang Informasi dan Data; f. Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Pengolahan Informasi dan Data, 46 KPK, 2015, “Deputi Informasi dan Data ”, available from URL: http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-informasi-dan-data, diakses tahun 2015 52 Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi dan Monitor; dan Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan g. bidangnya. Deputi Bidang Informasi dan Data dipimpin oleh Deputi Informasi dan Data serta bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK; Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Informasi dan Data dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Informasi dan Data yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Informasi dan Data; Deputi Bidang Informasi dan Data membawahkan:47 1) Direktorat Pengolahan Informasi dan Data; 2) Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi; 3) Direktorat Monitor; dan 4) Sekretariat Deputi Bidang Informasi dan Data; d) Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Deputi Masyarakat 47 Ibid. Bidang mempunyai Pengawasan tugas Internal menyiapkan dan Pengaduan kebijakan dan 53 melaksanakan kebijakan di bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat menyelenggarakan fungsi :48 a) Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat; b) Pelaksanaan pengawasan internal terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan Pimpinan; c) Penerimaan dan penanganan laporan / pengaduan dari masyarakat tentang dugaan tindak pidana korupsi yang disampaikan kepada KPK, baik secara langsung maupun tidak langsung; d) Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di lingkungan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat; e) Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat; dan f) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya. 48 KPK, 2015, “Deputi Pengawasan internal dan Masyarakat ”, available from : URL : http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pengawasan-internal-danmasyarakat, diakses Tahun 2015. 54 Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat dipimpin oleh Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat membawahkan:49 1) Direktorat Pengawasan Internal; 2) Direktorat Pengaduan Masyarakat; dan 3) Sekretariat Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. 5. Sekretariat Jenderal Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyiapkan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan administrasi, sumber daya, pelayanan umum, keamanan dan kenyamanan, hubungan masyarakat dan pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi:50 49 Ibid. 55 a) Perumusan kebijakan pada sub bidang administrasi, sumber daya, pelayanan umum, keamanan dan kenyamanan, hubungan masyarakat dan pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK; b) Pelaksanaan perencanaan jangka menengah dan pendek, pembinaan dan pengelolaan perbendaharaan, pengelolaan dana hibah/ donor serta penyusunan laporan keuangan dan kinerja KPK; c) Pelaksanaan pemberian dukungan logistik, urusan internal, pengelolaan aset, pengadaan, pelelangan barang sitaan/ rampasan, serta pengelolaan dan pengamanan gedung bagi pelaksanaan tugas KPK; d) Pelaksanaan pengelolaan sumber daya manusia melalui pengorganisasian fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia yang berbasis kompetensi dan kinerja; e) Pelaksanaan perancangan peraturan, litigasi, pemberian pendapat dan informasi hukum dan bantuan hukum; f) Pelaksanaan pembinaan hubungan dengan masyarakat, pengkomunikasian kebijakan dan hasil pelaksanaan pemberantasan korupsi kepada masyarakat, penyelenggaraan keprotokoleran KPK serta pembinaan ketatausahaan KPK; g) Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Sekretariat Jenderal; dan 50 KPK, 2015, “Sekretariat Jendral ”, available from : URL :http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/secretariat-jendral, diakses tahun 2015 56 h) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK; Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Sekretariat Jenderal dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Biro atau lintas Biro yang ditetapkan dengan Keputusan Sekretaris Jenderal; Sekretariat Jenderal membawahkan:51 1. Biro Perencanaan dan Keuangan; 2. Biro Umum; 3. Biro Sumber Daya Manusia; 4. Biro Hukum; 5. Biro Hubungan Masyarakat; dan 6. Sekretariat Pimpinan 3.3 Badan-Badan Lain Yang Berwenang Penyidikan, Dan Penuntutan Melakukan Penyelidikan, dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia Telah banyak upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk untuk 51 mengedepankan Ibid. hukum sebagai landasan dalam melakukan 57 pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi upaya tersebut belum terlihat hasilnya dan belum memuaskan masyarakat dan hampir tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi merajalela dan hampir merata di seluruh sektor pembangunan. Semakin menjalarnya praktek tindak pidana korupsi disebabkan karena pada masa orde baru sejak tahun 1965 sampai dengan 1997, bahwa aparat penegak hukum yang melaksanakan tugas memberantas kejahatan korupsi oleh jaksa, sehingga pemberantasan kasus-kasus kejahatan korupsi tidak optimal.”52 Dalam Peratuan Perundang-undangan yang ada, terdapat beberapa institusi yang memiliki kewenangan dan kapasitas masing-masing dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun institusi tersebut dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) berdasarkan Undang-Undang, antara lain : 1. Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002) 2. Kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004) 3. Komisi Pemberantasan Korupsi (Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002) Adapun komisi/ lembaga yang juga memiliki wewenang dalam halnya melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu “ Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) sesuai dengan keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) No. 11 Tahun 2005 tanggal 2 Mei 2005.” 53 52 Evi Hertanti, 2009, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23. Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, P.T Alumni , Bandung. 53 58 Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) dibentuk atas dasar pemenuhan janji kampanye terdahulu Susilo Bambang Yudhoyono sebelum dirinya dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. Timtas Tipikor ini dipertanggungjawabkan langsung oleh Presiden. Namun pembentukan timtas tipikor ini hanya membuat kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi semakin rumit. Itu sebabnya mengapa tak lama tim ini dibubarkan sendiri oleh Presiden dan hanya berfokus untuk memperkuat dan memberdayakan 3 institusi yang memang memiliki kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yakni kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. 3.3.1 Kepolisian Negara Republik Indonesia Polri melaksanakan penyidikan terhadap kejahatan korupsi sejak KUHAP diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 dan adanya kerjasama organisasi Polri dengan dibentuknya Direktorat Pidana Korupsi, baik ditingkat pusat maupun kewilayahan. Walaupun polri telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana Korupsi berdasarkan KUHP tetapi masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi, karena setiap hasil pentidikan (berkas perkara) yang telah dibuat oleh penyidik polri oleh kejaksaan selalu diambilalih untuk ditangani sendiri atau penuntut jaksa yang sulit untuk dipenuhi Berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia selanjutnya disebut UU POLRI, dalam Pasal 14 huruf g ditegaskan “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas 59 melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dasar hukum yang digunakan kepolisian dalam wewenangnya melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi antara lain: 1. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana Pasal 6 ayat (1) bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 2 juga disebutkan bahwa penyidik melakukan penyidikan terhadap tindak pidana, tidak ada istilah pidana umum maupun khusus. Dengan demikian semau tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun diluar KUHP penyidik berwenang untuk menanganinya. 2. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 menyebutkan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. 3. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Pasal 26. 4. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undangundang No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Pasal 26 berbunyi, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP. 5. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia Pasal 14 huruf g menyatakan melakukan penyelidikan dan 60 penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. 2.1.2 Kejaksaan Republik Indonesia Pada Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa “jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan UndangUndang”. Bertolak dari penjelasan tersebut kejaksaan Republik Indonesia ini sebagai lembaga Negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan dari pihak manapun baik pengaruh dari kekuasaan Pemerintah dan kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).”54 Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 54 Op Cit, h. 34. 61 Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui secara jelas semua pekerjaan yang harus dilakuakan penyidik dari permulaan hingga terakhir yang seluruhnya harus dilakukan berdasarkan hukum. Dasar hukum yang digunakan dalam wewenangnya melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi adalah: a. Pasal 91 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa untuk mengambil alih berita cara pemeriksaan. b. Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan ,” dalam waktu dua tahun setelah Undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan Undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” c. Peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 58 tahun 2010 tentang parubahan atas peraturan pemerintah nomor 27 tahun1983 tentang pelaksanaan kitab Undang-undang hukum acara pidana. d. Pasal 30 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menjelaskan di bidang pidana. Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang: 1. Melakukan penuntutan; 2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap ; 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan bersyarat; 62 4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang; 5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoodinasikan dengan penyidik. 2.4.3 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Landasan dibentuknya KPK adalah Undang-undang No. 30 Tahun 2002 yang mengatur banyak hal tentang KPK. Dengan diundangkannya Undang-undang tersebut, telah ditambah banyak ketentuan dalam hal penyelidikan,penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan yang menangani kasus korupsi. Dasar pertimbangan pemerintah menerbitkan UU KPK menurut pendapat Anwari antara lain: a. Bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan Negara, perekonomian Negara, dan menghambat Pembangunan Nasional. 63 b. Bahwa lembaga pemerintah yang menangani Tindak Pidana Korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi. 55 Menurut Adami Chazawi, “Undang-undang tersebut pada dasarnya bersifat menambah atau melengkapi hukum tindak pidana korupsi yang telah ada dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”.56 Dibentuknya UU KPK digunakan juga sebagai pelengkap hukum pidana korupsi yang telah ada dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-undang ini juga digunakan sebagai landasan dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang berwenang mengadili dan memutuskan perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK sendiri. Selain itu juga UU KPK digunakan sebagai dasar dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi dengan metode penegakan hukum secara luar biasa. 55 Anwari, 2012, Perang Melawan Korupsi Di Indonesia, Institute Pengkajian Masalah Politik Dan Social Ekonomi, Jakarta, h.6. 56 Adami Chazawi, 2003, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, BayuMedia Publishing, Jawa Timur, h. 448. 64 Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah meletakkan landasan yang kuat dalam usaha memerangi Tindak pidana korupsi, yaitu melalui pembentukan badan khusus yang memiliki kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemebrantasan tindak pidana korupsi. Usaha tersebut diantaranya dengan memberikan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Landasan yang digunakan KPK dalam melakukan wewenangnya sebagai institusi adalah: a. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 34 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: 1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi; 2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervise, termasuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Keanggotaan komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsure pemerintah dan unsure masyarakat; 4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dengan Undang-Undang. b. Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 6 huruf c menyebutkan Komisi pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 65 BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MENGAMBIL ALIH KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI 6.1 Pengambil alihan Kewenangan oleh KPK dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar keseluruh tubuh pemerintahan sehingga sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai masa kini.57 Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas yang dilakukan secara sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhada hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah telah menja58di kejahatan luar biasa. Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung pelaksanaan 57 Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Jakarta, h. 1. 66 tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.59 Salah satu kewenangan KPK yang terdapat dalam UU KPK adalah mengambil alih wewenang Polisi dan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan yang termakub dalam Pasal 8 UU KPK yang berbunyi sebagai berikut ini: (1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. (2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) tersebut dijelaskan bahwa kewenangan KPK adalah mengambil alih penyidikan dan penututan yang sudah menjadi kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Dalam menjalankan tugasnya KPK dapat melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi serta melakukan penyidikan dan penuntutan. Maksud dari pasal tersebut bahwa KPK dapat melakukan 59 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta,h.191. 67 pengambilalihan wewenang lembaga lain. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, maka KPK juga perlu diberikan batasan ataupun alasan yang jelas untuk mengambil alih kewenangan Lembaga Negara lain. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 UU KPK yang berbunyi: Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam ketentuan Pasal 9 tersebut dijelaskan bahwa KPK berhak mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan jika ada laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti oleh Polisi ataupun Kejaksaan. Selain itu dalam Pasal ini juga disebutkan bahwa proses penanganan korupsi yang berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan diambil alih penanganannya oleh KPK dan seterusnya. Berdasarkan bunyi Pasal tersebut jelas bahwa KPK berhak melakukan penyidikan dan penuntutan dengan alasan yang diberikan oleh UU KPK Pasal 9. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 9 tersebut tentunya ada beberapa hambatan yang menyebabkan pengambil alihan wewenang dari Kepolisian dan Kejaksaan ke KPK. Hal ini menunjukkan 68 bahwa ada masalah yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan sehingga kewenangan mereka diberikan kepada KPK. Oleh karena itu peran KPK disini sangat dibutuhkan untuk menindaklanjuti tindak pidana korupsi yang belum bisa ditangani oleh aparat penegak hukum . Adapun beberapa pokok masalah yang penting terhambatnya penanganan korupsi selama ini yang ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian, adalah: 1. banyaknya laporan dari masyarakat tentang terjadinya tindak pidana korupsi yang tidak direspon oleh institusi kejaksaan ataupun kepilisian baik itu ditingkat pusat maupun daerah, hal ini diperburuk dengan tindakan institusi kejaksaan atau kepolisian yang tidak pernah memberikan penjelasan mengenai alasan menagapa laporan korupsi tersebut tidak ditindak-lanjuti. 2. Hampir sebagaian besar permasalahan yang terjadi dalam penanganan kasus korupsi berlarut-larut. Banyak ditemui penanganan yang dilakukan hanya sebatas formalitas seperti pemeriksaan saksi-saksi dan selanjutnya tidak jelas penanganannya. 3. Dihentikan penyidikan atau penuntutan oleh instansi kepolisian atau kejaksaan, padahal kenyataanya, padahal perbuatan tersangka tersebut telah merugikan uang Negara. 4. Hanya menjerat sebagian pelaku, kerap kali kasus penanganan korupsi tidak menjerat pelaku utamanya, namun hanya meneyentuh pada level pelaku lapangan saja. 69 5. Tidak dilakukan eksekusi meskipun sudah divonis bersalah oleh pengadilan, hal ini disebabkan karena putusan bersalah tersebut tidak diikuti dengan perintah hakim untuk segera memasukkan terdaka ke dalam penjara 6. Adanya ancaman dan kriminalisasi dari orang tertentu dalam pelapor kasus korupsi menerima ancaman berupa intimidasi dan kekeasan terhadap pelaku korupsi.60 Sesuai dengan opini atas hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penegak hukum tersebut, maka KPK telah diberikan wewenang yang luas oleh pemerintah berupa mengambil alih penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan apabila telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam Pasal 9 UU KPK. Perkembangan korupsi sampai saat inipun sudah merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik karena landasan hukum yang digunakan juga mengandung banyak kelemahan-kelemahan dalam implementasinya.61 Oleh sebab itu diperlukan adanya kerjasama antar Lembaga Pemerintahan dalam menangani kasus korupsi, salah satunya adalah pengambilalihan kewenangan penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi yang diberikan kepada KPK. 60 Wacana pengambilalihan kasus-kasus korupsi yang macet, tgl. 20 Juli 2006, www. Legalitas.com. 61 Ibid, h.1 70 Pengambilalihan kewenangan penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi oleh KPK merupakan suatu tindakan dalam rangka untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Karena penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, indpenden, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, proporsional dan berkesinambungan. Awal terbentuknya KPK sama halnya dengan awal terbentuknya komisi pemberantasan korupsi yang ada di Hongkong yaitu ICAC merupakan lembaga anti korupsi yang independen. Sama halnya dengan ICAC, KPK juga diberikan wewenang yang sangat luas dan powerfull dalam melaksanakan tugas untuk memberantas tindak pidana korupsi. Sehingga wewenang KPK adalah menerapkan prinsip “keteladanan” yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan akses masyarakat ke dalam kinerja KPK serta kepastian hukum dan perlindungan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Prinsip ini dikenal sebagai “Trigger Mechanism” atau pemicu kinerja baik terhadap kepolisian maupun kejaksaan dalam penenganan tindak pidana korupsi.62 Sebagai konsekuensi logis dari pelakasanaan prnsip tersebut, maka KPK diberikan wewenang mengambilalih 62 (take over) penyelidikan, Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Jakarta, h. 33. 71 penyidikan dan penuntutan perkara tidak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut jika alasan yang ada dalam ketentuan dalam Pasal 9 UU KPK sudah terpenuhi. Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: 1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenangnya. 2. Asas keterbukaan adalah asas yang membujka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 3. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegatan KPK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 72 4. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 5. Asas proporsional adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban KPK. Selain itu juga, dengan diundangkannya Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan pada Pasal 3 dapat dijadikan acuan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK untuk mengmbilalih wewenang penyidikan. Adapun bunyi Pasal 3 UU No. 28 Tahun 2009 sebagai berikut: Asas-asas Umum penyelenggaraan negara meliputi: 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas, dan 7. Asas Akuntabilitas. Berdasarkan asas-asas umum tersebut dapat dilihat dasar KPK dalam mengambil alih wewenang penyidikan yang sebelumnya dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan, seperti asas kepastian hukum yang memprioritaskan kepentingan Negara sesuai peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap penyelenggara Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengambilalihan kewenangan penyidikan atau penuntutan tidak pidana korupsi oleh KPK bisa dilihat dari latar belakang meningkatnya kasus korupsi yang terjadi di 73 Indonesia. Selain itu aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan mengalami berbagai hambatan, diantaranya sulitnya aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan tersangka korupsi karena kepolisian atau kejaksaan memerlukan ijin pimpinan tersangka untuk melakukan penangkapan. Yang lebih mengecewakan lagi kepolisian atau kejaksaan yang menangani kasus korupsi dengan mudahnya bisa disuap untuk membebaskan tersangka dari proses pemeriksaan karena kebanyakan yang melakuan korupsi adalah orang yang memiliki kekuasaan, seperti hak eksekutif, legislatif dan juga yudikatif. KPK diberikan kewenangan untuk mengambilalih penyidikan atau penuntutan kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan adalah untuk mempercepat penangan kasus korupsi yang selama ini tertundatunda atau berlarut-larut karena tidak ditindak lanjuti oleh kepolisian atau kejaksaan, penanagan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi dan juga karena adanya campur tangan pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga KPK diberikan kewenangan yang sangat luas karena dalam melakukan penangkapan izin korupsi KPK tidak memerlukan izin khusus dari pimpinan tersangka untuk melakukan penangkapan, hanya cukup memberitahukan pimpinan tersangka untuk memberhentikan tersangka dari jabatan. 6.2 Kerjasama KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi 74 Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK harus memiliki kerjasama dengan Kepolisian ataupun Kejaksaan untuk menyelesaikan kasus korupsi. Kerjasama tersebut dapat dilihat dari tugas KPK itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU KPK menjelaskan bahwa KPK memiliki tugas sebagai berikut: 63 1. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. 2. Melakukan supervisi dalam bentuk penelitian atau penelaahan, serta gelar perkara hasil penyidikan atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi 63 KPK, 2015, “Struktur KPK ”, available from URL: http/www.kpk.go.id/id/tentangkpk/struktur-organisasi, diakses tahun 2015. 75 yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SDPD) yang dilaporkan kepada KPK. 3. KPK dan kejaksaan meminta bantuan Kepolisian untuk melakaukan penangkapan atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. 4. KPK bekerjasama dengan Kejaksaan sesuai dengan Keputusan Bersama ketua KPK dan Jaksa Agung RI No. Kep-111212005, No. Kep-11212005 tentang kerjasama antara KPK dengan Kejaksaan RI dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. - Kerjasama ini meliputi : a. Bantuan personil : dalam rangka peningkatan kemampuan personil, KPK dapat meminta bantuan dalam bidang pendidikan dan pelatihan dengan memanfaatkan lembaga pendidikan kejaksaan. Bantuan ini dapat diberikan setelah ada permintaan tertulis, kecuali jika dalam keadaan mendesak, permintaan dapat disampaikan secara lisan atau selanjutnta disusul dengan permintaan secara tertulis. b. Bantuan operasional: 1. Bantuan fasilitas: jika kejaksaan memerlukan bantuan fasilitas dari KPK meliputi peralatan penyadapan dan perekaman, atau fasilitas sejenis lainnya. 2. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). KPK meminta bantuan Jaksa Agung untuk mendistribusikan 76 formulir LHKPN di lingkungan Kejaksaan serta pemutakhiran data bagi yang berkewajiban memuat LHKPN di lingkungan kejaksaan. 3. Gratifikasi : KPK meminta bantuan Jaksa Agung untuk mendistribusikan formulir gratifikasi di lingkungan Kejaksaan. 4. Perlingdungan saksi dan atau pelapor: kejaksaan membantu KPK melindungi saksi dan atau pelapor terhadap adanya dugaan tindak pidana korupsi yang meliputi jaminan keamanan dan jaminan tidak disidik terhadap saksi atau pelapor yang sedang dilindungi. 5. Pertukaran informasi: KPK dan kejaksaan dapat melakukan pertukaran informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing. Dengan adanya kerjasama antar para penegak hukum yaitu antar kejaksaan, kepolisian dan KPK diatas maka adapun tujuannya adalah sebagai berikut: 1. Kejaksaan , kepolisian dan juga KPK dapat bekerjasama sehingga dapat saling membantu meringankan tugas masing-masing sehingga kasus tindak pidana korupsi yang sedang ditangani dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. 2. Dapat menjalin solidaritas dan menumbuhkan rasa kekeluargaan antar sesame penegak hukum 77 3. Antar penegak bisa saling mengawasi sehingga tidak ada lagi kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam tubuh masing-masing penegak hukum tersebut. 4. Dengan adanya kerjasama ini diharapkan tingkat kasus korupsi yang selama ini terjadi di Indonesia dapat ditekan jumlahnya.64 Sehingga dalam proses pengambil alihan penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK diperlukan kerjasama kepolisian atau kejaksaan. Agar proses pengambilalihan penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi tersebut berjalan dengan lancar. Dalam kerjasama dengan kepolisian ataupun kejaksaan harus bersifat terbuka kepada KPK. Apabila KPK meminta keterangan tentang penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi yang sebelumnya ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan agar KPK dapat mempercepat proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi untuk dilimpahkan ke pengadilan. 3.3. Kekaburuan Norma Hukum yang Terdapat Dalam Pasal 9 UU KPK KPK sebagai lembaga independen diberikan kewenangan yang sangat luas, salah satu kewenangan tersebut adalah mengambialih kewenangan penyidikan Kepolisian dan Kejaksaan. Namun dalam UU KPK juga telah 64 Ibid. 78 disebutkan mengenai ketentuan yang harus ada agar bisa mengambilalih penyidikan dan penuntutan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa alasan yang digunakan KPK untuk bisa mengambilalih kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan adalah: a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan yang terdapat dalam bunyi Pasal 9 tersebut adalah tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai alasan yang disebutkan dalam mengambil alih penyidikan maupun penuntutan yang sudah terjadi sebelum KPK terbentuk maupun UU KPK ini diundangkan. Jika melihat pada masamasa sebelum dibentuknya KPK, banyak permasalahan korupsi maupun penanganannya belum bisa dikatan berjalan secara maksimal dalam prosesnya. Oleh karena itu perlu adanya kewenangan untuk mengambil alih dan melakukan penyidikan korupsi yang terjadi sebelum dibentuknya KPK. Permasalahan yang terdapat dalam Pasal tersebut, apakah KPK berhak untuk mengambil alih kasus yang terjadi sebelum dibentuknya KPK. Oleh karena itu diperlukan interpretasi hukum untuk menjelaskan Pasal 9 UU KPK, 79 sehingga dalam bunyi Pasal tersebut mengandung kekaburan norma yang pengaturannya tidak dijelaskan lebih lanjut. Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini melalui pendekatan Perundang-undangan (statute approach). Pendekatan Perundangundangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang- undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, yaitu : UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu untuk menjawab permasalahan yang ada dalam norma hukum tersebut harus menggunakan interpretasi hukum atau disebut juga penafsiran hukum . interpretasi atau penafansiran, merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Teknik interpretasi adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-Undang. Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan dalam peristiwanya. Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu secara: 1. gramatikal, yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak 80 pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang.65 2. Historis, yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. 3. Sistematis, penafsiran ini memperhatikan susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun undang –undang lainnya. 4. Teleologis, yaitu Penafsiran secara sosiologis adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undangundang di dalam masyarakat. 5. Perbandingan hukum , yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan faedah hukum di tempat lain. 6. Futuristis yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada Undangundang yang belum mempunyai kekeuatan hukum . Berdasarakan penjelasan tersebut diatas teknik yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah dengan teknik sistematis, yakni dengan cara menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem Perundang-Undangan. Selain itu juga digunakan teknik gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari yang ditemukan dalam kasus hukum seperti pengambilalihan kewenangan penyidikan BLBI oleh KPK. Dalam kasus BLBI hampir tidak ada alasan bagi KPK untuk menolak pengambil alihan kasus tersebut. Kerugian negara dalam jumlah sangat besar, 65 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 67. 81 yang mencapai Rp. 138,4 triliun dari Rp. 144,5 triliun dari BLBI yang dikucurkan; penyelewengan anggaran Rp. 84,4 triliun oleh 48 bank penerima; beratnya beban APBN dari tahun ke tahun untuk melunasi utang BLBI; kebangkrutan negara yang luar biasa; dan bahkan kebusukan di institusi kejaksaan yang mulai terkuak setidaknya telah lebih dari cukup sebagai alasan sosial politik agar KPK turun tangan.66 Harus diakui, banyak pro dan kontra terkait dengan kewenangan KPK dalam pengambilalihan kasus BLBI ini, hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat tentang rentang waktu kewenangan KPK untuk menangani perkara. Jika dilakukan beberapa analisa mengenai hal tersebut, setidaknya perdebatan hukum tersebut terpolarisasi menjadi beberapa point sentral, yaitu : 67 1). KPK dinilai hanya berwenang menangani perkara yang terjadi setelah UU 30 Tahun 2002 tentang KPK terbentuk, atau sejak 27 Desember 2002. Perdebatan ini hangat dibicarakan setelah Mahkamah Konstitusi memutus permohonan Bram Mannopo. Saat itu didalilkan, KPK tidak berwenang menangani perkara sebelum 27 Desember 2002, sehingga Pasal 68 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, menyatakan harus dibatalkan karena bersifat retroaktif atau berlaku surut. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan dan menyatakan Pasal 68 yang berbicara tentang kewenangan KPK mengambil alih semua pekara sebelum KPK terbentuk bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Sehingga, pasal 66 Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK dengan Institusi Penegak Hukum, available from : http://www. journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, diakses tanggal 15 April 2009. 67 Ibid. 82 tersebut jelas tidak mengandung unsur berlaku surut dan tidak melanggar konstitusi. Dalam bagian pertimbangan lebih ditegaskan, sifat prospektif berarti KPK hanya melanjutkan penanganan perkara yang telah dimulai sebelumnya oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Di titik ini, perdebatan tentang berlaku surut atau tidaknya kewenangan KPK dapat dinilai tuntas. Dengan penekanan, KPK punya kewenangan penuh melanjutkan penanganan perkara korupsi yang ada sebelum KPK terbentuk. Ini yang sering disebut dengan kewenangan pengambilalihan. Dengan demikian, poin pertama tentang kewenangan KPK yang terbatas pada perkara yang terjadi setelah UU KPK terbentuk telah dapat dibantah. 2). KPK boleh menangani perkara yang terjadi sebelum UU KPK terbentuk, tetapi terbatas pada waktu sejak UU 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, yaitu sejak 16 Agustus 1999. Pendirian ini cenderung mendasarkan dalilnya pada Pasal 1 angka (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Disebutkan; “tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Sehingga, kemudian dipahami, KPK yang dibentuk untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti yang dicantumkan pada konsideran “menimbang huruf (a)” hanya terbatas pada pengertian tindak pidana korupsi yang diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 83 Jika dianalisa lebih lanjut, ada dua catatan hukum yang dapat diajukan terhadap pandangan diatas. Pertama, telah terjadi pencampur-adukan antara aturan yang berada di wilayah hukum materiil dengan aturan yang berada di wilayah hukum formil. Bagian yang mengatur tentang definisi Tindak Pidana Korupsi (Pasal 1 angka (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK) dalam posisinya sebagai ketentuan yang menunjuk ketentuan lain (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) merupakan aturan hukum materiil. Kedua, dalil tersebut memahami Pasal 1 angka (1) UU KPK yang merujuk pada UU Tipikor secara terpotong-potong, alias tidak komprehensif. Padahal, merupakan konsep hukum yang diterima umum, sebuah Undang-Undang harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh. Perhatikan Pasal 43A ayat (1) UU 20/2001 jo UU 31 Tahun 1999 (UU Tipikor).Bagian yang terletak di Bab VI A, ketentuan Peralihan ini menyebutkan, ” Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31 Tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor, sehingga, dapat dikatakan UU Tipikor juga menganut definisi “Tindak Pidana Korupsi” yang mengacu pada UU No. 3 Tahun 1971. Artinya, Pasal 1 angka (1) UU KPK mengantarkan pengertian Tipikor seperti yang diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20/2001 sekaligus UU No. 3 Tahun 1971. Konsekuensi hukumnya, KPK mempunyai kewenangan penuh menangani perkara yang berada pada yurisdiksi UU No. 3 Tahun 1971 sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan. 84 Dengan kata lain, persoalan bukanlah pada apakah KPK berwenang atau tidak berwenang menangani perkara sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999, melainkan hanya soal kapan tindak pidana tersebut terjadi. Jika tindak pidana terjadi sebelum UU 31/1999 diundangkan, maka dalam menangani perkara, KPK menggunakan UU 3/1971 sebagai dasar hukum materiil penuntutan terhadap terdakwa. Dan, ketiga, KPK berwenang mengambil alih perkara sebelum UU KPK dan UU Tipikor terbentuk, sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan pidana. Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat (1), 68 UU KPK dan Pasal 1 No. UU 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana/KUHAP). Pasal 8, 9, 68 UU KPK mengatur dua hal prinsipil, yaitu: kewenangan supervisi KPK dan pengambilalihan “proses” penanganan perkara. Berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor, kata “proses” mengacu pada frasa “penyelidikan, penyidikan dan penuntutan”. Dan, definisi frasa tersebut dapat dicari pada KUHAP, yang pada prinsipnya diartikan sebagai “serangkaian tindakan”. Maka jelaslah kewenangan pengambil alihan KPK yang diatur pada Pasal 68 UU KPK sesungguhnya adalah kewenangan untuk melakukan serangkaian tindakan. Artinya, sepanjang KPK melakukan tindakan (Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) berdasarkan UU KPK dan KUHAP, meskipun perkara terjadi sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999, maka KPK tidak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang berlaku surut. Karena KPK hanya melakukan “serangkaian tindakan” berdasarkan UU KPK yang telah ada sebelum 85 “serangkaian tindakan” KPK itu dilakukan. Dalam kasus BLBI yang terjadi sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999, KPK tidak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang berlaku surut (retroaktif) jika KPK melakukan itu berdasarkan UU KPK, kecuali jika KPK mendasarkan dakwaannya pada undang-undang (hukum materiil) yang belum ada ketika perbuatan (tindak pidana BLBI) dilakukan. Berdasarkan hal diatas, pembahasan pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK dapat merujuk kembali pada UU KPK. Pasal 9 UU KPK mengatur syarat dapat dilakukannya pengambilalihan. Dalam kasus BLBI, tertangkap-tangannya Ketua Tim Penyelidik berinisial UTG dari Kejaksaan Agung Minggu sore (2 Maret 2008) menunjukan terkandungnya unsur korupsi dalam penanganan BLBI. Dengan demikian unsur Pasal 9 butir (d) UU KPK terpenuhi, “pengambilalihan dapat dilakukan jika dalam penanganan kasus korupsi terdapat unsur korupsi”. Selain itu, penanganan BLBI juga berlarut-larut dan tertunda-tunda tanpa dapat dipertanggungjawabkan seperti disebutkan pada Pasal 9 butir (b). Dan, mengingat alasan yang diatur pada Pasal 9 bersifat alternatif yang ditunjukan dengan penggunaan kata “atau“, maka tidak dibutuhkan pemenuhan semua unsur dari butir (a) sampai dengan (f) untuk melakukan pengambilalihan kasus BLBI. Bahkan, terpenuhinya salah satu unsur saja dari Pasal 9 telah dapat dijadikan dasar bagi KPK mengambil alih kasus BLBI. Dengan demikian berdasarkan analisis hukum terhadap tiga polarisasi pendapat tentang pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK ini, dapat dilihat secara gamblang, bahwa KPK sudah memenuhi standar yuridis untuk mengambilalih 86 kasus BLBI. Satu masalah yang harus dipikirkan dalam prosesnya adalah, bagaimana KPK bisa bekerjasama dengan lembaga penegak hukum yang lain, seperti Kejaksaan dan Kepolisian untuk saling melengkapi kekurangan lembaga masing-masing, sehingga kasus ini dapat diselesaikan dengan penuh keadilan. Sebagaimana diketahui, salah satu penyebab diambil alihnya kasus BLBI ini dari tangan Kejaksaan adalah karena lembaga Kejaksaan dikatakan tidak mampu menangani kasus BLBI yang ditandai dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan yang telah tertangkap tangan menerima uang success fee dari Artalyta sebesar 1,6 milyar yang ditandai dengan adanya pengumuman Kejaksaan Agung yang menyatakan menghentikan penyelidikan kasus BLBI pada tanggal 29 Februari 2008. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KPK dapat melakukan pengambilalhan kewenangan dari Kepolisian dan Kejaksaan cukup dengan terpenuhinya salah satu unsur saja dari Pasal 9 maka telah dapat dijadikan dasar bagi KPK mengambil alih kasus Korupsi. 87 BAB IV PERANAN KPK SEBAGAI LEMBAGA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA 10.1 Istilah Peranan Istilah peranan dapat ditemukan dari bahan hukum tersier, seperti kamus hukum, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan buku-buku pelajaran yang bersifat non hukum. Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” tersebut mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Lebih jelasnya kata “peran” atau “role” dalam kamus oxford dictionary diartikan : Actor’s part; one’s task or function. Yang berarti aktor; tugas seseorang atau fungsi. Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pekerjaan tersebut. Karena itulah ada yang disebut dengan role expectation. Harapan mengenai peran seseorang dalam posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari si pemberi tugas dan harapan dari orang yang menerima manfaat dari pekerjaan/posisi tersebut. 88 Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial (misalnya ibu, manajer, guru). Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak dengan cara yang dapat diprediksikan, dan bahwa kelakuan seseorang bergantung pada konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain. Teater adalah metafora yang sering digunakan untuk mendeskripsikan teori peran. Meski kata 'peran' sudah ada di berbagai bahasa Eropa selama beberapa abad, sebagai suatu konsep sosiologis, istilah ini baru muncul sekitar tahun 1920-an dan 1930-an. Istilah ini semakin menonjol dalam kajian sosiologi melalui karya teoretis Mead, Moreno, dan Linton. Dua konsep Mead, yaitu pikiran dan diri sendiri, adalah pendahulu teori peran.68 Dari beberapa pengertian dan penjelasan diatas istilah "peran" kerap dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran" dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu drama. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role dalam bahasa Inggrisnya, memang diambil dari dramaturgy atau seni teater. Dalam seni teater seorang actor diberi peran yang harus dimainkan sesuai dengan plotnya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya. 68 Hindin, Micelle J. ,2007, "role theory" in George Ritzer (ed.) The Blackwell Encyclopedia of Sociology, Blackwell Publishing, p. 3959-3962 89 Dengan demkian peranan merupakan sebuah norma yang mengatur tentang fungsi seseorang untuk melakukan suatu kewajibannya agar dapat memenuhi harapan yang dapat dicapai secara optimal. Jika dikaitkan dengan peranan sebuah lembaga Negara maka dapat diartikan bahwa peranan merupakan sebuah norma yang mengatur sebuah lembaga Negara tertentu untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga Negara agar dapat memenuhi tujuan Negara dan mensejahterakan masyarakat. 4.2 Independensi KPK sebagai Lembaga Negara di Indonesia KPK diklasifikasikan sebagai komisi Negara. Komisi Negara sering disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di Amerika Serikat dikenal dengan administrative agencies. Komisi Negara independen adalah organ Negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legistalif maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi “campur sari” ketiganya. Dalam bahasa Funk dan Seamons komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan “quasi legislative”, “executive power” dan “quasy judicial”.69 Beberapa komisi Negara independen adalah juga organ konstitusi (konstitusional organs), yang berarti eksistensi dan fungsinya diatur di dalam konstitusi; sebutlah seperti yang ada di Afrika Selatan dan Thailand. Di Afrika Selatan, Pasal 181 ayat 1 UUD-nya menyebutkan ada Human Right Commission; Commission for the Promotion and Protection of the Right of Cultural, Religious and Linguistic Communities; Commission for Gender 69 Rudini silaban, 2010, Keberadaan KPK Sebagai Lembaga Independen dan Komisi Negara, www.Kompas.com, diakses tanggal 03 Juni 2010. 90 Aquality, dan Electoral Commission. Di Thailand, Pasal 5 konstitusinya mengatur bahwa Negara wajib menyediakan anggaran bagi komisi Negara independen seperti : Election Commission, Ombudsment, National Human Right Commission, National Corruption Commission dan State Audit Commission. 70 Namun, ini bukan berarti bahwa semua komisi Negara independen pastilah diatur dalam konstitusi. Misalnya ada sekitar 15 negara di komisi Negara independen di Amerika Serikat, antara lain : federal communicratin commission, securities and exchange commission dan federal reserved board. Komisi Negara independen berbeda dengan komisi Negara biasa (state commission). Menurut Michael R. Ashimow, komisi negara biasa hanyalah bagian dari eksekutif dan tidak mempunyai peran yang tidak terlalu penting. Mengutip keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Humprey’s Executor Vs United States, Asimow berpendapat bahwa yang dimaksud dengan independen berkait erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya komisi Negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh Presiden , karena jelas tegas merupakan bagian dari eksekutif. Hampir serupa William F. Fox Jr berargumen bahwa suatu komisi Negara adalah independen bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam Undang-Undang komisi yang bersangkutan. Atau, bila Presiden 70 Ibid. dibatasi untuk tidak secara bebas 91 memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan komisi. Selain masalah pemberhentian yang terbatas dari intervensi Presiden , Funk dan Seamon menambahkan bahwa sifat independen juga tercermin dari: (1) kepemimpinan yang kolektif, bukan suatu pimpinan, (2) kepemimpinan tidak dikuasai/ mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan (3) masa jabatan para pimpinan komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms). Berdasarkan ciri-ciri independen diatas berarti KPK termasuk komisi independen. Misalnya, Presiden tidak punya hak diskresi untuk sewaktu-waktu mengganti pimpinan KPK, kepemimpinannya, kolektif dilakukan oleh lima komisioner. Output dari reformasi telah membawa harapan baru dengan lahirnya KPK. Lembaga KPK yang telah dibidangi melalui UU KPK secara fungsional diharapkan dapat menjadi terhadap komitmen pemberantasan korupsi yang selama ini merugikan Negara. Namun dalam tataran pelaksanaan untuk mewujudkan komitmennya ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Surat dengan keterbatasan sebagai kedala sehingga harapan banyak pihak terhadap KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal dilaksanakan. Dalam praktik, KPK menjalankan tugas dan wewenangnya tidak mampu menjangkau semua lembaga Negara karena alasan normatif. KPK kesulitan melakukan akses pemberantasan korupsi terhadap Lembaga Negara yang legitimasinya merupakan ketentuan langsung amanat UUD NRI Tahun 1945. Sementara 92 keberadaan KPK secara kelembagaan lahir dari rahim Undang-Undang , bukan UUD NRI Tahun 1945. 4.3 Peranan KPK dalam Memberantas Korupsi Pada Masa Kini dan Akan Datang Karakteristik korupsi di Indonesia teramat kompleks dan mengakar sehingga diperlukan upaya pemberantasan korupsi secara sistematis, integratif, dan fokus. Sesuai amanat Undang-Undang untuk mengatasi korupsi tersebut, KPK mengambil peran sebagai pendorong pemberantasan korupsi dengan melibatkan institusi penegak hukum lainnya serta lembaga pemerintah ditambah lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.71 Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya 71 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 9 93 sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi. Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi). Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas". Sampai saat ini KPK dinilai berhasil melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai berhasil mempertahankan reputasinya sebagai lembaga pemberantasan korupsi dan 94 penegakan hukum. Banyak kasus-kasus korupsi berskala besar, sedang dan kecil yang digarap KPK.72 Hal itu disampaikan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), "Namun demikian, perlu dilakukan upaya lebih sistematis, terencana, dan terukur dalam upaya KPK melakukan tugas pencegahan korupsi". Menurutnya, tugas pencegahan barangkali akan kurang mendapatkan porsi pemberitaan media massa yang memadai. Pasalnya, tidak ada unsur sensasional dan politisnya. "Karena tugas pencegahan sangat penting di masa yang akan datang, maka harus lebih diprioritaskan lagi oleh pimpinan KPK," ujar Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP ini.73 Dia juga berharap tunggakan kasus-kasus korupsi besar yang ditangani KPK segera diselesaikan. "Harus dituntaskan sebelum masa jabatan Pimpinan KPK saat ini berakhir pada 2015 nanti," tegasnya. Dia menambahkan, peranan KPK tetap dibutuhkan demi melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia. Namun, lanjutnya, perlu dilakukan berbagai upaya untuk lebih mengefektifkan tugas-tugas KPK. Dengan demikian, KPK dapat menghapuskan atau minimal menurunkan tingkat korupsi di Indonesia. Sejak perubahan ketiga UUD 1945, Negara Republik Indonesia meneguhkan statusnya sebagai Negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 72 Carlos KY Paath 2014, “KPK Dinilai Berhasil Pertahankan Reputasi”, available from : URL : http://www.beritasatu.com/nasional/236696-kpk-dinilai-berhasil-pertahankan-reputasi.html, diakses tanggal 29 Desember 2014. 73 Ibid. 95 dengan tegas menyebutkan Negara Indonesia adalah Negara hukum. oleh karena segala tata laku , dan tata kelola Negara dan pemerintahan didasarkan atas 12 prinsip-prinsip Negara hukum, diantaranya supremasi hukum dan legalitas.74 Ini berlaku tak terkecuali kepada KPK, keberadaan KPK dilandasi oleh legalitas melalui UU KPK, dan KPK tidak impun (bebas dari hukum) terhadap Peraturan Perundang-undangan lainnya. KPK juga terkait dengan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip pembagian kekuasaan yang keduanya juga merupakan bagian dari prinsip Negara hukum. Pasal 3 UU KPK memang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya lembaga ini bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Namun pengaturan ini harus ditafsirkan dalam suasana atau cita Negara hukum, yang berarti sifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun yang dimaksud tidak bersifat mutlak, tetapi sesuai dengan koridor hukum. Fungsi KPK sebagai lembaga Negara yang khusus bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, serta pimpinan KPK sendiri termasuk pejabat Negara, secara kelembagaan memegang peran multifungsi seperti : 1. KPK dapat melakukan jaringan kerja (networking) dengan aparat penegak hukum ; 2. KPK sebagai counterpartner sesame atau antar penegak hukum; 3. KPK sebagai trigger mechanism (pemicu dan pemberdaya yang telah ada); 74 Jimly Ass hiddiqie, 2004, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614. 96 4. KPK sebagai superbody dalam pemberantasan tindak pidana korupsi; 5. KPK sebagai lembaga Negara. Dari peran yang tampak seperti superiror tersebut bukan berarti KPK dapat memonopoli dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, karena walaupun KPK diakui sebagai lembaga Negara, bukan berarti lembaga ini sebagai aparat penegak hukum (seperti polisi, jaksa dan hakim) yang memiliki wewenang yang tetap lebih luas selaku aparat penegak hukum yang masuk dalam lingkup lingkaran sitem peradilan. Benar bahwa ketiga kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, serta pelbagai upaya paksa diberikan kepada KPK. Namun pemberian dilakukan due process of law; terikat pada aturan hukum baik itu UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun UU tindak pidana korupsi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38 dan 39 UU KPK. Begitupun dengan kewenangan supervisi dan pengambilalihan kasus yang ditangani kepolisian atau kejaksaan oleh KPK. Ini harus dilakukan sesuai dengan koridor yang ditentukan dalam UU, dalam hal ini Pasal 9 UU KPK pengambilalihan hanya dapat dilakukan jika memenuhi alasan yang ditentukan sebagai berikut : a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditunjukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau 97 f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika tidak dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut, pejabat KPK berpotensi dikenakan pidana penyalahgunaan kewenangan. Selain sebagai lembaga yang bersifat independen, KPK juga memiliki kewenangan yang lebih besar jika dibandingkan dengan lembaga penegakan hukum lainnya, dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Istilah yang lebih tepat untuk KPK adalah extraordinary body (lembaga luar biasa), karena besarnya kewenangan yang dimiliki oleh KPK memang lebih dari kewenangan yang dimiliki oleh institusi penegakan hukum lainnya, tentu dengan catatan terbatas di bidang pemberantasan korupsi saja. Keberadaan KPK sebagai lembaga extraordinary (luar biasa) bukan tanpa sebab. Dia dilahirkan tidak nihil konteks. Setidaknya ada dua alasan yang bisa dilihat dari konsideran maupun penjelasan UU KPK. Pertama, bahwa korupsi dianggap sebagai exstraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang merugikan Negara, perekonomian Negara, dan menghambat pembangunan nasional sehingga dibutuhkan pendekatan extraordinary (luar biasa) pula dalam membasminya. Kedua, bahwa KPK didirikan karena lembaga konvensional yang menangani pemberantasan korupsi belum berfungsi secara efektif dan efesien, ini tidak hanya merujuk pada kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga lembagalembaga pemberantasan korupsi lainnya yang pernah didirikan sebelum KPK 98 berdiri seperti Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Tim Gabungan pemberantasan Tindak Pidana korupsi dan lain-lain. Berpijak pada dua alasan inilah KPK diberi kewenangan extraordinary demi menjadikan pemberantasan korupsi lebih efektif dan efesien. Terbukti sejak pendiriannya di tahun 2003 hingga kini, KPK menunjukkan performa yang lebih baik dalam memberantas korupsi. Ini dapat terlihat pada peningkatan signifikan indeks prestasi korupsi Indonesia. Berdasarkan hasil catatan Transparacy Internasional Indonesia (TII) Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia pada 2009 dan 2010 mendapat skor 2,8; pada 2011 dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan skor 3,2; serta pada 2014 IPK-nya meningkat menjadi 3,4.75 "IPK tersebut terus mengalami peningkatan sejak 2009. Indonesia masih dipandang sebagai negara yang rawan korupsi dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura, Brunei Darusalam, Malaysia, Thailand, dan Myanmar," ujar Widyo dalam diskusi publik bertema 'Bersama Melawan Korupsi' di Gedung Joeang, Menteng, Jakarta, Sabtu (18/4/2015). Kemudian dari sejumlah perkara korupsi yang ditangani petugas penegak hukum tersebut, pejabat daerah sebagai pelaku tindak pidana korupsi sejak 2005 sampai dengan Agustus 2014 dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Kepala Daerah sebanyak 331 orang yang melakukan korupsi; 2. Anggota DPRD sebanyak 3.169 orang yang melakukan korupsi; dan 75 Gunawan Wibisono , 2015,” Setiap Tahun Indeks Korupsi Indonesia Meningkat ”, http://news.okezone.com/read/2015/04/18/337/1136257/setiap-tahun-indeks-korupsi-indonesiameningkat, diakses tanggal 18 April 2015 99 3. Pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 1.211 orang yang melakukan korupsi.76 Indonesia juga berada di urutan ke-111 dari 180 negara, berada dalam kelompok sama dengan Aljazair, Djibouti, Mesir, Mali, Kepulauan Solomon, dan Togo.77 Publik juga melihat bagaimana KPK berkiprah membasmi korupsi yang dilakukan oleh kepala-kepala Daerah, Bekas Menteri, Menteri, Duta Besar, Mantan Polisi, bahkan besan Presiden sekalipun. Gaung keberhasilan KPK semakin terdengar ketika banyak kasus korupsi yang berhasil dilaporkan ke KPK. Selama tahun 2006 KPK telah menerima 774 Surat pemberitahuan Dimulainya penyelidikan (SPDP) perkara tindak pidana korupsi dari kejaksaan dan kepolisian. Penanganan kasus atau perkaratindak pidana korupsi selama tahun 2006, mulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan hingga penuntutan adalah sebagai berikut : penyelidikan ada 36 kasus, penyidikan ada 18 kasus, penuntutan pada pengadilan Tipikor ada 10 kasus dan beberapa perkara korupsi yang sudah mendapatkan putusan hukum tetap (inkracht van Gewijsde) salah yang menarik publik salah satunya adalah perkara yang berhubungan dengan perkara keterlihatan dalam tindak pidana korupsi terdakwa mantan Gubernur NAD dan perkara dugaan korupsi yang menyeret ketua KPU Nazarudin Samsudin. 76 Ibid. Jimbon, 2009, “Indeks Korupsi Indonesia Rawan”, available from : URL: http://nasional.kompas.com/read/2009/11/18/05303146/Indeks.Korupsi.Indonesia.Rawan , diakses tanggal 18 November 2009 . 77 100 Kiprah KPK dalam pemberantasan korupsi semakin terlihat di tahun 2008 dengan keberhasilannya menyeret beberapa penguasa dan penjahat Negara yang terlibat korupsi. Dan publik dikejutkan dengan skandal BLBI yang menyeret nama-nama penjahat Negara, kemudian kasus terbaru penyalahgunaan hak alih fungsi hutan yang menyeret beberapa nama, dan yang tak kalah menarik adalah mulai terkuaknya korupsi dikalangan elit DPR. Media mulai ramai menayangkan berbagai fakta dan hasil investigasi kepada khalayak atas beberapa kasus korupsi yang menjalar dalam lini birokrasi. Keberhasilan KPK dalam menguak berbagai kasus korupsi ini membuat eksistensi KPK semakin diakui oleh masyarakat. Melekatnya KPK di hati publik, tidak heran jika pasca pembebasan BibitChandra muncul opini yang mengidikasikan akan adanya pelemahan KPK. Banyak kalangan meyakini bahwa eksistensi KPK akan selalu diotak atik oleh mereka yang memiliki kepentingan egoisentrisme individualistic. Bahkan, upaya pelemahan terhadap institusi ini sudah lama tercium. Misalnya pengajuan uji material (judicial review) terhadap sejumlah UndangUndang dalam ranah pemberantasan korupsi, termasuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Tahun 2006, baik pendaftaran maupun penyelesaian, perkara pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terus mengalami peningkatan sebesar 56% dibandingkan pada tahun 2005, sementara penyelesaian perkara, jumlah sisa perkara pada akhir tahun 2006 juga tiga perkara lebih banyak dibandingkan di 101 awal tahun. Peningkatan yang terjadi dalam perkara pendaftaran perkara merupakan cerminan dari meningkatnya kegiatan KPK dan penghargaan atas integritas dan kerja keras dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini juga mendukung dan memberikan arti bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam upaya yang dilakukan oleh negara tercinta untuk memberantas korupsi di tingkat pemerintahan. Pada titik ini sampai pada kesimpulan awal bahwa meski di satu sisi bisa dipandang sebagai lembaga yang eksistensinya selalu diotak-atik, tetapi di sisi lain, KPK ternyata “kurang” berani melakukan gerakan taktis dalam penuntasan kasus korupsi. Bagaimanapun, kondisi pemberantasan korupsi di negeri ini masih jauh dari berhasil. Terus-menerus mencatat perbuatan korup di pelbagai instansi pemerintahan. Itulah sebabnya mengapa persepsi internasional tentang indeks korupsi Indonesia masih sangat buruk. Seharusnya, ukuran ini menjadi peringatan tentang beban yuridis yang masih harus dipikul KPK. KPK harus merujuk pada istilah Frans H. Winarta (2009) dalam Koruptor Melakukan perlawanan bahwa pemberantasan korupsi telah menjadi gerakan global dan universal di seluruh dunia. Dunia pun menjadi desa kecil (small village), terlebih setelah revolusi informasi. Kabar dari tempat terisolasi pun dapat disebarluaskan ke seluruh dunia, termasuk kabar pemberantasan korupsi.78 78 Fathorrahman Hasbul.” Sinyal melemahnya KPK”. Harian Umum Duta Masyarakat. 7 januari 2010. 102 Di sinilah pentingnya menanamakan kembali etos pengabdian KPK melalui pemberantasan korupsi demi perbaikan negara Indonesia. Sebagai lembaga yang telah mendapatkan posisi terhormat di hati masyarakat, KPK harus selalu memberikan kepercayaan dan integrasi solid dalam rangka meringkus para maling negara yang tidak bertanggung jawab. Di sini, menajamkan kesabaran dan meletakan etos memberantasan korupsi secara holistik merupakan syarat mutlak.12 Sebagai negara yang mengakui adanya persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak antar warganegara untuk mewujudkan keadilan sosial secara merata, eksistensi KPK di dalam kelembagaan hukum merupakan sarana pendukung yang harusnya bisa memperkokoh kedudukan hukum sebagai status tertinggi serta menegaskan kewibawaan lembaga hukum dalam melaksanakan amanat konstitusi demi terwujudnya law enforcement di Indonesia. Selain itu, pelaksanaan penanganan pemberantasan korupsi harus lebih ditingkatkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu UU No. 30 Tahun 2002 tanpa tebang pilih. Artinya, dalam memberantas korupsi penanganan yang dilakukan tidak memilih perkara maupun pihak yang melakukan korupsi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejak dibentuknya KPK dari awal periode sampai sekarang, lembaga tersebut sudah membuktikan keberhasilan yang signifikan dalam memberantas korupsi maupun 103 meminimalisir tindak pidana korupsi di tanah air. Dengan keberhasilan yang dihasilkan oleh KPK dalam menjalankan fungsinya , maka alangkah baiknya jika lembaga tersebut dipertahankan untuk masa yang akan datang guna menstabilkan perekonomian Negara dan dapat memberikan kepuasan bagi masyarakat luas agar tidak ada lagi kasus korupsi yang bermunculan. Dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa Undang-Undang sebagai Peraturan Perundang-undangan yang kedudukannya di bawah UUD. Ketentuan demikian dapat dipahami dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 7 yang menyebutkan bahwa: Jenis hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden ; f. Peraturan Daerah Provinsi; g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan diatas dengan mengacu pada asas Lex Posteriori Derogal Lex Inferiori, dapat dimengerti bahwa KPK yang lahir dari UndangUndang akan mengalami berbagai kendala dalam rangka memberantas korupsi terhadap lembaga Negara yang lahir dari UUD. Persoalannya tidak lebih menyangkut dalih kesetaraan kelembagaan. Keberadaan KPK sebagai Lembaga Negara yang tidak diatur dalam UUD berpengaruh dalam menjalankan fungsi yang dimiliki. Peran KPK dalam merealisasikan tugas, kewajiban dan kewenangan yang dimiliki dalam 104 memberantas tindak pidana korupsi masih sagat terbatas. Hal ini dikarenakan sempitnya ruang gerak KPK di dalam Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan UU KPK,dalam melakukan kegiatannya KPK mendapatkan pengawasan dari Presiden , Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini membuktikan bahwa peran KPK masih dibatasi oleh ketiga lembaga tersebut. Dilain pihak kenyataan demikian akan menimbulkan suatu masalah apabila yang menjadi sasaran dari pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK adalah salah satu dari lembaga tersebut. Karena itulah, demi mendukung optimalisasi kinerja dan produktivitas KPK maka tidak saja dibutuhkan pembenahan secara internal dalam tubuh KPK namun juga perluasan ruang gerak KPK dalam Peraturan Perundang-undangan. Perluasan ruang gerak KPK yang diatur dalam Perturan PerundangUndangan hendaknya tidak hanya pada aturan setingkat Undang-Undang saja. Namun secara normatif lebih tepat jika diletakkan pada agenda amandemen UUD. Hal ini untuk menjaga agar KPK mampu menjadi sebuah lembaga dibidang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berkompeten dan independen serta memiliki otoritas untuk mengakses suatu lembaga. Perluasan ruang gerak KPK ke dalam UUD sangat memungkinkan. Mengacu pada asas hukum “Lex Posterori Derogate Lex Inferiori” yaitu peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Sehingga pada jangka panjang, diharapakan nantinya menjadi sebuah lembaga Negara yang mampu 105 melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi pada segala aspeknya. Tidak hanya hilirnya saja yang tersentuh, tetapi juga hulu.79 KPK dibentuk sebagai upaya dan konsekuensi pemerintah terhadap maraknya korupsi di Indonesia, sehingga dianggap perlu adanya suatu lembaga Negara baru yang berwenang dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu dengan lahirnya UU KPK. Namun demikian , KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia terkendala terhadap kedudukan KPK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang , terlebih jika KPK menangani perkara korupsi yang terjadi di dalam lembaga yang di atur dalam UUD. Dengan pendekatan asas Lex Posterori Derogate Lex Inferiori, sehingga tidak mudah bagi lembaga inferior mampu secara keseluruhan mengawasi lembaga superior. Maksudnya KPK dalam menangani perkara tersebut tidak akan mungkin secara maksimal untuk bisa menuntaskan permasalahan korupsi di Indonesia jika hanya di atur dalam Undang-Undang . Dalam realitas, bahwa yang dikatakan sebagai proses pemberantasan korupsi tidak lain merupakan fenomena yang kental bernuansa politik yang diskriminatif atau tebang pilih pelaku korupsi. 80 Contohnya jika ada dua sosok yang sama-sama patut di diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana korupsi, tetapi dalam realitasnya, salah satunya yang dekat dengan kekuasaan tidak di proses. Sebaliknya sosok lain yang di tenggarai merupakan bagian dari kelompok yang memiliki pandangan politik yang berbeda dari kekuasaan itulah 79 Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada Revormasi Ketatanegaraan. Kompas, Jakarta, h.29. 80 Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Bidang Hukum, kencana, Jakarta, h. 198-199. 106 yang dijadikan sasaran penindakan. Namun semua itu akan berhenti tanpa berkepastian jika pelaku merupakan oknum dalam lembaga Negara yang secara konstitusional diatur langsung oleh UUD. Namun ada fenomena baru di era reformasi ini, yaitu tindakan yang lebih sadis dibandingkan tindakan yang hanya sekedar tebang pilih, yaitu cruelty by order atau tebang pesanan. Sosok yang tidak bersalah, tetapi hanya karena pesanan atau order dari petinggi hukum, akibat kebencian pribadi terhadap sosok yang tidak bersalah, kemudian dicarikan, direkayasa, dan dipaksakan untuk menjadi tersangka atau didakwa bersalah. Jadi ketika KPK tidak mempunyai kesetaraan dengan lembaga Negara yang diawasi dalam rangka pemberantasan korupsi, maka yang dikhawatirkan adalah hukum dijadikan (lage abitur, instrumento criminis). 81 Maksudnya UU KPK hanya sebagai suatu simbol terhadap pemberantasan korupsi, akan tetapi tidak ada jiwa untuk memberantas tindak pidana korupsi terhadap penegak hukum. Sehingga korupsi tumbuh semakin subur tanpa adanya penindakan yang terpadu dan tekad kuat terhadap para pembuat Undang-Undang dan para penegak hukumnya. Tidak berlebihan jika dikatakan keberadaan KPK sama dengan ketidakberadaannya karena energy dan motivasi untuk memberantas korupsi merupakan cermin inisiatif pihak lain yang diwarnai kepentingan politik. KPK menjadi tidak substantive dan disorientasi. Disinilah letak pentingnya melakukan reposisi hierarki KPK agar setara dengan lembaga 81 Ibid, h. 199. 107 Negara lainnya secara konstitusional yang juga diatur langsung oleh UUD 1945. Sehingga dasar kedudukan dan dasar pembentukan KPK perlu ditingkatkan ke dalam UUD. Hal ini mengingat amandemen ke-lima UUD 1945 terhadap upaya mengangkat kesetaraan DPR dan DPD, Calon Presiden independen, dan hak asasi manusia mulai diwacanakan. Sehingga cukup strategis gagasan untuk memposisikan KPK sebagai organ UUD 1945 menjadi agenda yang serius untuk ditindaklanjuti sebagai komitmen reformasi. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pernanan KPK untuk masa kini sangatlah penting dan dibutuhkan oleh masyarakat yang disebabkan oleh maraknya tindakan Korupsi dikalangan pejabat Negara. Begitupun dengan masa yang akan datang, tentunya Negara masih membutuhkan KPK sebagai wadah dalam memeberantas korupsi di Negara kita. Bagaimana tidak, jika sekarang saja pejabat masih sangat banyak diberitakan melakukan korupsi bagaimana tidak mungkin jika KPK memiliki peran sentral dalam memberantas korupsi. Terlebih lagi kinerja KPK sampai saat ini sudah sangat baik dalam melalakukan kewengangannya sebagai lembaga Negara. Namun adapun kendala-kendala yang masih menjadi kendala dalam melakukan kewenangannya sebagai sebuah Lembaga, salah satunya terdapat isu yang dapat dilihat di media masssa yang menyatakan bahwa kewenangan KPK akan dikurangi oleh DPR untuk menjadikan KPK sebagai lembaga Pencegah tindak pidana korupsi dan mengembalikan system peradilan pidana pada tatanan konvensinal yang semula yakni Kepolisian dan kejaksaan. 108 Adapun peranan KPK untuk masa yang akan datang dapat ditinjau dari beberapa faktor dalam memberantas korupsi di Indonesia dan melihat efektifitas dari Undang-Undang yang mengatur tentang KPK. Urgensi keberadaan KPK menjadi lebih penting jika dilihat dari segi sosiologis pemberantasan korupsi. KPK dibutuhkan sebagai trigger mechanism untuk mendorong lembaga-lembaga penegakan hukum yang selama ini belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Jadi, membaca UU KPK harus diletakkan dalam konteks upaya luar biasa memberantas korupsi bukan hanya melihat bunyi teks pasal per pasal UU tersebut. UU KPK harus dibaca secara utuh sebagai suatu kesatuan semangat pemberantasan korupsi. Tentang KPK sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air merupakan lembaga lembaga yang bukan berada di luar system ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (3). Selain itu juga bahwa kedudukan organ lapis kedua dapat disebut lembaga Negara saja, ada yang mendapat kewenangan dari UUD 1945, misalnya adalah Komisi Yudisial, Tentara Negara Indonesia (TNI), dan kepolisian; sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya dari UndangUndang , misalnya Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, KPK,dan sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga Negara tersebut meskipun kedudukannya tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat karena keberadaannya disebutkan secara implisit dalam Undang-Undang , sehingga tidak dapat 109 ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk UndangUndang. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diharapkan upaya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dapat lebih efektif, karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.82 Selain aspek sosiologis, secara yuridis eksistensi KPK adalah dalam rangka menjalankan amanat UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dibuat juga atas dasar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakayat di Indonesia Nomor XI/MPR/1998/ untuk 82 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta,h. 29. 110 menggantikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 untuk menjamin kepastian hukum dan menghindari keragaman penafsiran hukum. 83 Adapun unsur filosofis pembentukan lembaga KPK ini yakni dilihat dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dibuat dalam rangka untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dibuat dalam rangka untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.84 Namun dalam menjalankan perannya untuk masa yang akan datang, terdapat beberapa kewenangan KPK yang sifatnya masih memiliki kekurangan yang membatasi ruang gerak KPK itu sendiri, sehingga perlu adanya penambahan ataupun perombakan kewenagan dalam UU KPK itu sendiri guna mempermudah KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Anggota Komisi III Martin Hutabarat mengatakan, beberapa tahun terakhir KPK mulai menunjukkan taringnya dengan mengungkap sejumlah kasus besar. Malahan, kasus yang melibatkan banyak sejumlah pejabat negara dan anggota dewan. Namun, sebagai lembaga, KPK di mata Martin masih belum optimal.85 Adanya rencana DPR melakukan revisi UU KPK memang ditentang masyarakat. Ganjar berpendapat, usulan revisi yang diajukan DPR mengacu 83 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta,h. 28. 84 Ibid. 85 RFQ , 2014, “Inilah Alasan Mengapa Kewenangan KPK Harus Diperkuat”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5405a3693b037/inilah-alasan-kewenangan-mengapakpk-harus-diperkuat, diakses tanggal 02 September 2014 . 111 pada dua hal. Pertama penyadapan, dan kedua kewenangan penuntutan, khususnya dalam bidang TPPU. Sejatinya KPK memang berhak melakukan penyidikan terhadap TPPU. Meskipun UU TPPU tidak menyebut secara gamblang, tetapi dalam praktiknya KPK telah melakukan penyidikan dalam kasus TPPU. Kewenangan penyidikan yang dimiliki KPK tak boleh dilepaskan. Sebaliknya, legislatif jikalau menginginkan merevisi UU KPK, justru kewenangan penyidikan mesti diperkuat. Menurutnya metode penyadapan menjadi alat bantu dalam rangka KPK membuktikan tindak pidana korupsi terhadap koruptor. “Jadi KPK ini harus diperkuat. Sampai sekarang saya yakin KPK bergerak tidak atas dasar kepentingan politik. Tapi sangat mungkin atas tekanan politik”.86 Salah satu calon pimpinan KPK Bambang Widjojanto angkat bicara. Menurut dia, wacana pemberian kewenangan SP3 perlu mendapat perhatian khusus dan kajian mendalam. Sebab, ketiadaan kewenangan SP3 di KPK seperti saat ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Positifnya, lanjut Bambang, KPK dituntut untuk sangat berhati-hati dalam menetapkan seorang tersangka. Harus ada bukti kuat yang mendasarinya. "Tidak bisa lagi bermain-main untuk segera menyatakan seseorang itu sebagai tersangka." 86 Ibid. 112 Sedangkan kelemahannya jika terjadi kesalahan manusia (human error) di tubuh penegak hukum dalam menangani suatu perkara, berimplikasi buruk bagi lembaga itu sendiri. Karena ia yakin, aparat hukum yang juga manusia tak lepas dari kesalahan. Menurutnya, jika human error terjadi, audit kinerja di suatu lembaga sangat diperlukan.87 Mudzakir dan Tama sependapat dengan Bambang. Kewenangan penyidikan sekaligus penuntutan yang dipunyai KPK dianggap sudah pas. “Dari sejak pertama kali dibentuk, gagasannya KPK adalah untuk menangani korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sehingga harus ada cara yang luar biasa juga,”. Kalau proses penyidikan dan penuntutannya dipisah dan dikembalikan kepada kepolisian atau kejaksaaan, jadinya akan kurang bagus. Selama ini mungkin KPK kurang produktif karena menjadi kompetitor polisi atau jaksa padahal KPK seharusnya menjadi koordinator dan supervisor dalam pemberantasan korupsi”.88 Seperti diketahui, Pemerintah berencana untuk merevisi UU Tipikor. Organisasi Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan pelemahan dalam revisi tersebut, salah satunya pelaku kasus korupsi dibawah Rp25 juta dilepaskan dalam jerat hukum. Dalam pandangan Busryo, revisi pasal tersebut mencerminkan perumusan revisi UU Tipikor tidak mempunyai visi pendidikan dan visi 87 Fathan Qorib/Kartini L Makmur, 2011, , “Plus-Minus KPK Tak Punya Kewenangan SP3”, “URL: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ea6b2fddb4e9/plusminus-kpk-takpunya-kewenangan-sp3”, diakses tanggal 25 Oktober 2011. 88 Ibid. 113 pemberantasan korupsi secara utuh. Pasalnya, revisi itu membiarkan korupsi dibawah Rp25 juta bukan sebagai tindakan korupsi.89 Bagi KPK, UU Tipikor yang ada sekarang sudah bagus dan tidak perlu diubah. Namun jika ingin diubah, Busyro mengusulkan agar UU Tipikor menambah ketentuan mengenai sanksi gratifikasi yang lebih tegas, perampasan harta koruptor, dan hukuman badan bagi koruptor. "Ketika hukuman kurungan dinilai tidak efektif, LP sudah dinilai tidak memiliki fungsi semestinya maka Hukuman badan perlu dipertimbangkan," . Salah satu bentuk hukuman badan misalnya dengan menyapu jalan menggunakan baju khusus bertuliskan "Saya Koruptor". Hukuman ini diharapkan bisa menimbulkan efek psikologis yang besar. "Karena sekarang ini ada kecenderungan korupsi itu bangga, keluar penjara bangga, ini fenomena menarik untuk Indonesia sehingga hukuman badan patut dipertimbangkan," jelasnya.90 Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, program legislasi nasional juga semestinya mempertimbangkan skala prioritas dalam hal revisi undang-undang. Bila dicermati, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil yang menjadi acuan pokok dalam pemberantasan 89 Syahid Latif, Iwan Kurniawan, 2011, KPK: Pasal UU Tipikor Harusnya Ditambah, “URL: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/215137-kpk--pasal-uu-tipikor-harusnyaditambah”, diakses tanggal: 16 April 2011. 90 Ibid. 114 korupsi, masih mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut sangat berdampak pada efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Kelemahankelemahan undang-undang Tipikor sebagaimana disebutkan dalam sebuah Naskah Akademis yang disusun oleh Koalisi Pemantau Peradilan antara lain: adanya tumpang tindih pengaturan, adanya beberapa modus korupsi yang belum diatur dalam UU Tipikor, dan belum diaturnya daluarsa tindak pidana korupsi. Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian mendasari dibuatnya sebuah Naskah Akademis Undang-Undang Tipikor oleh Koalisi Pemantau Peradilan yang dikatakan sebagai sebuah usul inisiatif masyarakat untuk mengawal perubahan UU Tipikor. Hal-hal mendasar yang diatur dalam rancangan UU tersebut antara lain: 91 1) Pemberian sanksi pidana terhadap pejabat publik yang tidak melaporkan harta kekayaannya. 2) Kriminalisasi illicit enrichment. Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa "Pejabat Publik yang memiliki peningkatan kekayaan yang tidak seimbang dengan pendapatannya secara sah dipidana penjara paling singkat 2 th.... dst." 3) Dipertegas pengaturan mengenai pembalikan beban pembuktian (pembuktian terbalik) dalam hal adanya dugaan suap dan illicit enrichment. 91 Hasanuddin M M Talib, 2012, “UU Tipikor Yang Mesti Direvisi, UU KPK Belum Perlu”, URL: http://www.kompasiana.com/hasanmtalib/uu-tipikor-yang-mesti-direvisi-uu-kpkbelum-perlu_551806d3a333113107b663d6, diakses tanggal 26 September 2012. 115 Ketiga hal tersebut di atas yakni pelaporan harta kekayaan pejabat publik, illicit enrichment, dan sistem pembuktian terbalik adalah "tiga serangkai" yang tidak bisa dipisahkan untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi. Ketiganya lebih penting dan lebih perlu mendapat prioritas untuk dijadikan materi muatan dalam suatu undang-undang. Jauh lebih penting dari pada mempersoalkan revisi dari undang-undang KPK. Revisi Undang-Undang KPK bisa berubah manjadi bola liar yang berujung pada pelemahan KPK sedangkan revisi UU Tipikor dengan menambahkan pelaporan harta kekayaan, illicit enrichment, dan pembuktian terbalik jelas akan berdampak positif pada kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.92 Selain itu dalam hal kewenangan yang dimiliki KPK perlu dipertegas lagi mengenai kewenangan supervisi dengan lembaga Negara lainnya yang telah ada dalam UU KPK. Hal ini membantu KPK dalam melakukan kerjasama dalam menangani kasus korupsi dilingkungan lembaga Negara yang ada. Apabila melihat ketentuan kewenangan KPK dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, maka dapat disimpulkan kelebihan kewenangan KPK tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kewenangan yang sangat luas dan terlihat lebih tinggi dan terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan Lembaga Negara lainnya yang dibentuk berdasarkan konstitusi, seperti mengawasi Lembaga Tinggi Negara; 92 Ibid. 116 2. Kewenangan yang luar biasa seperti melakukan supervisi terhadap pejabat ataupun lembaga Negara tertentu. Seperti melakukan pemblokiran rekening, pembatalan transaksi keuangan, pemeriksaan rekening bank ataupun harta kekayaan pejabat. Sedangkan kekurangan KPK tersebut adalah dasar pembentukan KPK yang masih berdasarkan UU saja mengakibatkan ancaman terhadap kewenangan dan pembentukan KPK dapat dialihfungsikan, seperti pengurangan kewenangan KPK dalam hal memberantas korupsi ataupun pembubaran KPK. Jadi berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan maupun peran KPK dimasa yang akan datang masih sangat diperlukan oleh Negara dan masyrakat untuk memberantas korupsi. Hat tersebut dapat dilihat dari unsur yuridis yang fungsinya untuk menjamin kepastian hukum; unsur sosiologis yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi agar lebih efektif ; dan unsur filosofis yang memberi perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat agar tercipta rasa adil dalam masyarakat. 117 BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan uraian tentang korupsi tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa KPK dapat mengambil alih kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal penyidikan dan penyelidikan, baik itu sebelum UU KPK dan UU Tipikor terbentuk sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan . Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat (1), 68 UU KPK dan Pasal 1 No. UU 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana/KUHAP). 2. Peranan KPK sebagai lembaga Negara adalah untuk mendorong lembagalembaga penegakan hukum yang selama ini belum berfungsi secara efektif, dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi dan mewujudkan amanat UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang berfungsi secara efektif dan efesien. Jika dilihat dari perspektif norma yang mengatur tentang KPK , maka peran Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan 118 bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dengan melalui upaya koordinasi dan supervisi dalam melakukan menjalankan fungsi sebagai lembaga penegak hukum dapat mempererat keharmonisan antar lembaga dan menghasilkan penanganan yang lebih baik. 5.2 SARAN Adapun saran-saran yang dapat diajukan adalah: 1. Perlunya peningkatan dalam hal mengharmonisasikan hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi dengan cara mengoptimalkan fungsi supervisi yang sudah ada dalam kewenangan KPK agar terhindarnya masalah atau konflik antar lembaga Negara terse 2. Keberadaan KPK sebagai Lembaga Negara yang bersifat independen tetap harus dipertahankan, sementara reformasi penegak hukum dapat ditingkatkan. 119