1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Korupsi telah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai
momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui
atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan
banyak kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang
politik, sosial budaya, maupun keamanan.1
Korupsi menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia,
bahkan telah kronis. Korupsi di Negara ini bahkan telah merambah semua ini
bagaikan gurita. Penyimpangan ini bukan saja merasuki lorong-lorong instansi
yang tidak terbayangkan sebelumnya bahwa disana ada korupsi.2
Secara etimologis atau menurut bahasa, “ korupsi berasal dari bahasa
latin corruptio atau corruptus, dan bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah
corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa
di Eropa. Seperti Inggris : corruption, corrupt,; Prancis : corruption ; dan
Belanda : corruptive atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa
Indonesia menjadi korupsi.” Arti kata itu ialah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian.3
1
Deni Styawati, 2008, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, Pustaka Timur, Yogyakarta, h. 1.
Achmad Zainuri , 2007, Akal Kultural Korupsi di Indonesia, Cahaya Baru Sawangan,
Depok, h. 15.
3
Andi hamzah (I), 1991, Korupsi di Indoneisia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, h. 7.
2
2
Selain itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Korupsi adalah ; 1.) Penyelewengan atau penggelapan (uang Negara
atau perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 2.)
menyelewengkan, menggelapkan (uang dsb). Namun menurut Pasal 435
KUHP, korupsi berarti busuk, buruk , bejat dan dapat disogok, suka disuap,
pokoknya merupakan perbuatan yang buruk. Perbuatan korupsi dalam istilah
kriminologi digolongkan kedalam White Collar Crime. Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut, definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai
aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan.4
Penegakan hukum yang dilakukan secara konvensional untuk
memberantas tindak pidana korupsi terbukti mengalami berbagai hambatan.
Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum yang luar biasa melalui
pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,
independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan dalam upaya tindak
pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif
profesional, serta berkesinambungan.
Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas
maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia
tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), akan tetapi sudah
merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).5 Mengingat
kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang dikategorikan sebagai
4
Suyatno, 2005, Korupsi,Kolusi, Dan Nepotisme. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.16.
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),
Semarang, h. 92.
5
3
kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) memerlukan upaya
pemberantasan dengan cara-cara yanh laur biasa (extra ordinary measure).
Disamping tindak pidana korupsi sering disebut extra ordinary crime,
sering kali tindak pidana korupsi ini diidentikkan dengan white collar crime
yaitu suatu perbuatan (tidak berbuat) dalam sekelompok kejahatan yang
spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana yang dilakukan oleh pihak
professional, baik oleh individu, organisasi, atau sindikat kejahatan, ataupun
dilakukan oleh badan hukum.
Menurut Dony Kleden Rohaniwan, kejahatan kerah putih
(white
collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai
tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural
yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal
mendifinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang
legitim sebagaimana ditetapkan oleh hukum. Umumnya, skandal kejahatan
kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk
memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. 6
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 Undang-Undang No.31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UU Tipikor, bahwa KPK dibentuk
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 tahun semenjak Undang-Undang
6
Anggun Wahyuni, 2012, “Kejahatan Kerah Putih(white collar crime)”, available from :
URL : http://mynameisanggun-bukuhariananggun.blogspot.com/2012/01/kejahatan-kerah-putihwhite-collar-html, diakses 19 Agustus 2013.
4
tersebut mulai berlaku, yang kemudian diwujudkan dengan Undang-Undang
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang selanjutnya disebut UU KPK dan dipertegas dalam pasal 2 yang
berbunyi:
“Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan
Korupsi.”
Hal ini sesuai dengan ketentuan TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, artinya Undang-Undang tersebut menjadi dasar hukum yang
menjamin sahnya lembaga tersebut dan memuat tugas serta tanggung jawab
dari KPK.
KPK merupakan lembaga baru dalam konstitusional Indonesia yang
eksistensinya masih bersifat relatif dikalangan warga masyarakat maupun
Lembaga Negara yang sudah ada sebelumnya. Walaupun KPK bukan
merupakan sebuah lembaga penegak hukum inti dalam Sisitem Peradilan
Pidana Terpadu di Indonesia, tetapi tugas dan wewenang yang dimiliki dan
tanggung jawab yang harus diemban adalah merupakan bagian dari penegakan
hukum di Indonesia, khususnya penanganan terhadap pemeriksaan tindak
pidana korupsi. KPK mempunyai tugas, kewenangan, dan kewajiban dalam
hal penanganan tindak pidana korupsi telah diatur sedemikian rupa dalam UU
KPK, ini artinya bahwa dalam penegakan hukum pidana khususnya tindak
pidana korupsi, KPK dapat diartikan sebagai lembaga penegak hukum khusus
5
sehingga upaya-upaya yang hendak dicapai dalam hal pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia dapat lebih maksimal. Selain itu dibentuknya
KPK juga dilatarbelakangi alasan karena lembaga pemerintah yang menangani
tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efisien dan efektif dalam
memberantas tindak pidana korupsi.7
KPK adalah suatu komisi organik, yaitu komisi yang lahir dari
Undang-Undang yakni selanjutnya disebut UU KPK. Pengertian KPK yang
termaktub dalam Pasal 3 UU KPK berbunyi :
“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun.”
Dilihat dari pembentukan dan kewenangannya, KPK
mempunyai
tugas-tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU KPK.8 Kewenangan KPK
yang tertuang dalam
Pasal 6 UU KPK, bertugas untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam ketentuan KUHAP, yaitu dalam Pasal 1 angka (2) menyebutkan
yang dimaksud dengan :
“Penyidikan adalah serangkain tindakan dalam penyidikan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. “
7
Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik
dan Masalahnya, P.T. Alumni, Bandung, h. 23.
8
Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,
Jakarta,h. 188.
6
Banyak anggota masyarakat ataupun kelompok masyarakat yang masih
belum memahami dan mengetahui tentang tugas dan wewenang serta
kewajiban dan independensi KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi,
sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi masih bersikap tebang pilih.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan
organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta
keanggotaan diatur Undang-Undang.
Adapun wewenang KPK telah diatur dalam Bab II UU KPK yakni
pada Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal
14. KPK memiliki multi kewenangan, antara lain kewenangan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sesuai Pasal 6 UU KPK. Selain itu juga KPK
memiliki berwenang melakukan penyidikan tanpa memerlukan izin khusus
sebagaimana lazim yang berlaku sesuai Pasal 46 UU KPK.
Salah satu kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 8 adalah
wewenang penyidikan dan penuntutan. Hal tersebut dimuat dalam Pasal 8
ayat (2) yang menyebutkan bahwa Komisi pemeberantasan Korupsi
berwenang juga mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap
7
pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan. Pengaturan dalam Pasal 8 ayat (2) tersebut dibatasi oleh alasan
yang tertuang dalam pasal 9 UU KPK tersebut.
Namun dalam penulisan skripsi ini lebih mengkhususkan pembahasan
normatif terhadap alasan yang digunakan dalam mengambil alih penyidikan
dan penuntutan yang dilakukan KPK dalam Pasal 9, yang berbunyi :
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
alasan:
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti;
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. Hambatan penangan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislative; atau
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam pengaturan Pasal 9 tersebut,KPK dapat mengambilalih
penyidikan dan penuntutan yang dilakukan kepolisian kasus tindap pidana
korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan apabila telah
memenuhi alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK diantaranya
laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti atau
proses penanganannya berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan atau penanganannya ditujukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya atau karena
ada hambatan penangan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislative.
8
Dari wacana tersebut diatas dapat dilihat bahwa dengan kondisi
demikian, maka upaya mengambilalih merupakan salah satu alternatif
dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi dibandingkan kasus
kejahatan lainnya. Kewenangan KPK ini masuk dalam ranah hukum pidana
formil. Pada mulanya Kepolisian dan Kejaksaan Agung bersikap kontra
terhadap kewenangan yang diberikan kepada KPK dalam mengambilalih
kasus tindak pidana korupsi mengingat ketentuan ini akan dianggap sebagai
suatu eliminasi terhadap hukum positif yang telah menempatkan Kejaksaan
Agung dan Kepolisian sebagai instititusi atas penyidikan dan penuntutan
dalam tindak pidana korupsi. Namun sebaliknya, sebagian masyrakat
menganggap ide ini sebagai suatu yustifikasi terhadap pengakhiran
dikotomi antara Polisi dan Jaksa dalam menetukan Posisi sentral
penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan
atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan
seluruh berkas berkas perkara beserta alat bukti atau dokumen lain yang
diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung
sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.9
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa ketentuan ini
bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga
jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka
tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanana
9
Ibid , h. 184
9
kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada
Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah
Tahanan tersebut.
Selain itu pula dalam penjelasan pasal 12 huruf I bahwa permintaan
bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak
pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada
Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan Tahanan
tersebut dalam Rumah Tahanan.
Penyerahan sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat (3) dilakukan dengan
membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas
dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut
beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengambilalihan penyidikan
dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan alasan yang termaktub dalam pasal 9 UU
KPK.
Jika ditelaah secara lebih rinci bunyi Pasal 9 UU KPK tersebut telah
disebutkan bahwa pengambilalihan penyidikan yang dilakukan KPK dari
kepolisian atau kejaksaan diartikan sebagai penyerahan wewenang kepada
KPK. Namun dalam setiap muatan Pasal 9 tersebut tidak ada penjelasan yang
mengatakan KPK boleh melakukan pengambil alihan perkara yang terjadi
sebelum adanya UU KPK tersebut. Sedangkan jika kita lihat banyak perkara
10
yang belum bisa ditangani secara tuntas akibat ditindaklanjuti ataupun
terbengkalai selama masih ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan.
Oleh karena itu , diperlukan suatu penafsiran hukum yang bisa
menyelesaikan kekaburan norma yang terdapat dalam Pasal 9 tersebut.
Sehingga dalam kewenangan KPK yang terdapat pada Pasal tersebut dapat
dikatakan kabur dimata hukum.
Apabila dipandang dari sudut kewenangan ataupun fungsi-fungsi
kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945, akan tampak jelas bahwa organorgan yang menyandang fungsi dan kewenangan konstitusional dimaksud
sangat beraneka ragam.10 Namun
KPK bukan terbentuk dari konstitusi
melainkan dari UU KPK yang dimotori oleh UU TIPIKOR sebagai alasan
dibentuknya Lembaga pemberantasan Korupsi. Selain itu, telah terdapat pula
sebuah payung hukum yang berbentuk Undang-Undang yang dengan jelas dan
gamblang memberikan kewenangan dan fungsi serta tanggung jawab dari
masing-masing instansi dalam peran sertanya memberantas tindak pidana
korupsi di Indonesia.
Terkait tentang luasnya kewenangan yang dimiliki KPK ada potensi
kekaburan norma dalam pemberian wewenang Lembaga tersebut. Penyebab
utama adanya kekaburan norma dalam kewenangan lembaga negara tersebut
adalah Undang-Undang KPK, termasuk UU Tipikor itu sendiri. Karena
Undang-Undanglah yang masih belum bisa memberikan penjelasan terkait
10
271.
Jimly Assiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta,h.
11
mengenai unsur-unsur yang telah dimuat dalam Undang-Undang sebagai
kewenangan lembaga Negara itu sendiri.
Berdasaran latar belakang tersebut, maka diberi sebuah judul yakni :
“PENGATURAN
KEWENANGAN
KOMISI
PEMBERANTASAN
KORUPSI (KPK) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas, yaitu :
1. Bagaimana
kewenangan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
dalam
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal
9 Undang-Undang KPK?
2. Bagaimanakah peranan KPK sebagai Lembaga Negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia untuk masa yang akan datang?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Penelitian dan pembahasan yang akan dilaksanakan lebih mendalam
supaya tidak mengalami perluasan masalah maka diperlukan pembatasan
masalah untuk memudahkan dalam penulisan.
Pembatasan masalah berguna untuk menghasilkan penulisan skripsi
yang baik, maka ruang lingkup yang akan dibahas meliputi:
12
1. Membahas kekaburan norma terkait kewenangan KPK yang terdapat
dalam pasal 9 UU KPK dan pengaturan kewenangan pengambilaihan
kewenangan oleh KPK.
2. Membahas eksistensi kewenangan KPK sebagai Lembaga Negara yang
diberikan wewenang yang sangat besar.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Dalam sebuah karya ilmiah perlu adanya jaminan keaslian penelitian
guna menghindari plagiasi ataupun duplikasi dari hasil karya orang lain.
Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi ini maka dapat
dilihat perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu sebagai
berikut :
1. Judul skripsi
: Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Penulis
: I Gede Winartha Indra Bhawana
Tempat
: Fakultas Hukum Universitas Udayana
Tahun
: 2011
Rumusan Masalah
:
1) Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak diberi
kewenangan oleh pembentuk Undang-undang untuk menerbitkan Surat
13
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKP2)?
2) Apa tindakan KPK yang diakukan, jika perkara tindak pidana korupsi
di
tingkat
penyidikan,
oeh
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
tersangkanya tidak cukup bukti?
2. Judul skripsi
: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Penulis
: Putu Eka Citra Erliana
Tempat
: Fakultas Hukum Universitas Udayana
Tahun
: 2011
Rumusan Masalah
:
1) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diatur dalam UndangUndang, apakah memiliki fungsi berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman?
2) Bagaimana eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
3. Judul skripsi
: Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam Upaya Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Penulis
: Diah Yustiasari
14
Tempat
: Fakultas Hukum Universitas Udayana
Tahun
: 2007
Rumusan Masalah
:
1) Bagaimanakah Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam Upaya Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi?
2) Bagaimanakah Upaya-Upaya yang dilakukan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam Penanggulangan tindak Pidana Korupsi?
1.5. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini, meliputi :
a. Tujuan Umum :
Adapun tujuan umum penulisan penelitian ini adalah :
1. Untuk memberikan penjelasan tentang kewenangan KPK perspektif
peraturan
Perundang-undangan
yang
berlaku
pada
sistem
ketatanegaraan Indonesia.
2. Untuk mengetahui sejauh mana eksistensi KPK sebagai lembaga ad hoc
di masa yang akan datang.
3. Sebagai
sumbangan
pikiran
khususnya
yang
membutuhkan
pengetahuan lebih dalam pada bidang Hukum Ketatanegaraan,
khususnya Hukum Kelembagaan Negara.
b. Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
15
1. Untuk
mengetahui
kewenangan
KPK
dalam
penyidikan
dan
penuntutan tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengidentifikasi
kekaburan norma dalam pasal 9 UU KPK.
2. Untuk mengetahui peranan KPK dalam menangani kasus tindak pidana
korupsi sebagai lembaga penyidik terkait kewenangannya dalam
peraturan Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku saat ini.
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang
kewenangan lembaga Negara khususnya KPK. Selain itu juga dapat
memberikan pemahaman tentang kewenangan KPK sebagai lembaga
penyelidik, penyidik, dan penuntutan tindak pidana korupsi sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat digunakan
sebagai pengembangan ilmu di bidang hukum tata negara khususnya
hukum kelembagaan negara dan dapat dijadikan refrensi bagi dosen dan
mahasiswa dalam perkuliahan.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberi
sumbangan pemikiran tentang perlunya keteraturan dalam membentuk
undang-undang, agar tidak terjadinya kekeburan norma ataupun konflik
16
norma dalam pemberian kewenangan bagi setiap Lembaga Negara
khususnya pengaturan kewenangan KPK itu sendiri. Selain itu diharapkan
pula dalam praktiknya dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam
pemerintahan kedepannya dan pembuatan naskah akademik maupun
rancangan undang-undang. Selain itu, rakyat dan negara juga mendapat
jaminan bahwa tindak pidana korupsi dapat segera diberantas oleh KPK
dengan memperhatikan check and balences. Selain itu juga manfaat yang
dapat menegakkan prinsip negara hukum dalam konstitusi yang menjadi
prinsip utama negara tidak diabaikan.
1.7 Landasan Teoritis
Dalam bagian ini dideskripsikan konsep-konsep, asas-asas hukum dan
pendapat para sarjana yang berkaitan kewenangan KPK sebagai lembaga
penegak hukum. Selain itu dideskripsikan juga tentang peraturan Perundangundangan sebagai justifikasi yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Kegunaan dari tinjauan pustaka ini selain untuk memberikan
pembenaran akademis juga untuk melakukan klarifikasi-klarifikasi. Adapun
Teori-teori yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.7.1
Teori Jenjang Norma Hukum
Teori jenjang norma hukum ini dikemukakan oleh
Hans
Kelsen. Teori ini juga dikenal dengan sebutan Stufentheory. Teori ini
menyatakan bahwa norma-norma hukum berjenjang-jenjang dan
17
berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan peraturan, yaitu
bahwa suatu norma yang lebih tinggi, lalu norma yang lebih rendah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, lalu
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikianlah seterusnya sampai pada norma
dasar. Norma dasar ini merupakan aturan yang terlebih dahulu
ditetapkan oleh masyarakat sebagai gantungan bagi norma-norma
yang ada di bawahnya.11
Salah satu ciri khas dari hukum yang satu menentukan cara
untuk membuat norma hukum lainnya hingga pada derajat tertentu
menentukan isi dari norma lainnya. Karena batas berlakunya suatu
norma hukum dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma
hukum lainnya. Hubungan antara norma hukum yang mengatur
pembentukan norma lain dengan norma yang dibentuk menurut cara
yang ditentukan oleh norma hukum lain: dapat digambarkan sebagai
hubungan antara super ordinant dan sub ordinant . norma yang
menetukan norma lainnya adalah norma yang lebih tinggi, lalu norma
yang dibentuk berdasarkan peraturan itu adalah norma yang lebih
rendah. Kesatuan norma ini, ditunjukkan oleh fakta bahwa
pembentukan norma yang lebih rendah, ditentuka oleh norma yang
lebih tinggi, yang pembentukanya juga ditentukan oleh norma dasar
11
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar Dan
Pembentukannya, cet. 1. Kanisius, Yogyakarta, h. 25.
18
tertinggi yang menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata
hukum dalam suatu negara.12
1.7.2
Konsep Pembagian Kekuasaan
Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang
pengorganisasian
kekuasaan
dan
tentang
organisasi
negara
berkembang sangat pesat. Variasi struktur dan fungsi organisasi dan
institusi kenegaraan itu berkembang dalam banyak ragam dan bentuk,
baik ditingkat pusat dan lokal. Gejala perkembangan seperti
ini,merupakan kenyataan yang tak terelakkan karena tuntutan keadaan
dan kebutuhan yang nyata, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan
budaya. 13
Teori pembagian kekuasaan mengajarkan bahwa dalam suatu
negara terdapat tiga jenis kekuasaan yang disebut Trias Politica.
Konsep tentang pembagian kekuasaan yang paling berpengaruh
adalah gagasan dari Montesquieu. Hal itu karena doktrin trias politica
yang dinisbatkan oleh Mostesquieu yang mengandaikan bahwa tiga
fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin di dalam tiga jenis
organ negara.
12
Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Soemardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, h.
155.
13
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan Dan Konsiliasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta, h.35.
19
Menurut Montesquieu di setiap negara selalu terdapat tiga
cabang
kekuasaan
yang
diorganisasikan
ke
dalam
struktur
pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan cabang
kekuasaan yudikatif yang berhubungan dengan pembentukan hukum
dan undang - undang negara, dan cabang kekuasaan eksekutif yang
berhubungan dengan penerapan hukum sipil. (in every government,
there are three sorts of powers: the legislative in respect to things
dependent on the law of nations; and the executive in regard to
matters that depend on civil law).14
Menurut Lee Cameron Mcdonald, yang dimaksudkan oleh
Montesquieu dengan perkataan “the executive in regard to matters
that depend on the civil law” itu tidak lain adalah the yudiciary.
Ketiga fungsi kekuasaan tersebut, yaitu legislative, executive atau
pemerintah dan yudiciary.15
Yang diidealkan oleh Baron de Montesquieu (1689-1785)
adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu harus dilembagakan
masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh
menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri
urusan masing-masing dalam arti yang mutlak.
Konsepsi trias politica yang diidealkan oleh Montesquieu ini
memang dikenal luas dengan pandangannya tentang konsep
pemisahan kekuasaan atau separation of powers. Misalnya oleh Lee
14
Lee Cameron Mcdonald, 1968, Western Political Theory, Part I, Pomona Collage,
1968, h. 377-379.
15
Jimly Asshiddiqie, op.cit.
20
Cameron Mcdonald dikatakan, “ in dozens of books and thousands of
lectures of examination papers the name Montesquieu mean one thing
separation of powers”.16
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga negara itu
dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif.
1.7.3
Teori Kewenangan
Wewenang dalam bahasa Inggris disebut authority atau dalam
bahasa Belanda bovedegheid. Arti singkat dari wewenang adalah
kekuasaan yang sah/ legitim. Menurut Philipus M. Hadjon, “
wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum
(rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan
dengan kekuasaan.”17
F.P.C.L.
Tonner
dalam
Ridwan
HR
berpendapat
“Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het
vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen
tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen”
(kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai
kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu
16
Charles Louis De Secondat, 1968, “Baron De La Brede Et De Montesquieu”, Pomona
Collage, h. 377-379.
17
Philipus M. Hadjon, 1997, ”Tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII,
September – Desember, h.1
21
dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga
negara)18
Ferrazi
mendefinisikan kewenangan sebagai hak untuk
menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi
pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan
pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.19
Adapun unsur-unsur kewenangan dapat dibagi menjadi tiga,
yakni:
a. Pengaruh: ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku subyek hukum.
b. Dasar hukum: bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk
dasar hukumnya, dan
c. Konformitas hukum:
mengandung makna
adanya standard
wewenang, yaitu standard umum (semua jenis wewenang) dan
standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu)”.
Menurut Indroharto, mengemukakan tiga macam kewenangan
yang bersumber dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan
itu, meliputi:
1. Atribusi;
2. Delegasi; dan
3. Mandat.20
18
Ridwan HR, 2006,Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta , h. 100
Ganjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia
Indonesia, h. 93
20
Ridwan HR. 2008, Hukum Administrasi Negara, : Raja Grafindo Persada, Jakarta , h. 104.
19
22
Sedangkan menurut F.A,M. Stroink dan J.G. Steenbeek, seperti
dikutip oleh Ridwan HR, mengemukakan bahwa dua cara organ
pemerintah memperoleh kewenangan, yaitu:
1. Atribusi; dan
2. Delegasi.21
Kedua cara organ pemerintah dalam memperoleh kewenangan
itu, dijadikan dasar atau teori untuk menganalisis kewenangan dari
aparatur negara di dalam menjalankan kewenangannya.
Selain itu Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh
wewenang atas dua cara, yaitu:
1. Atribusi; dan
2. Delegasi dan kadang-kadang juga mandat.22
Pengertian atribusi merupakan wewenang untuk membuat
keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-Undang
dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal
untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Sehingga tampak jelas
bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ
pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh
langsung dari peraturan perundang-undangan (utamanya UUD 1945).
Dengan kata lain, atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang
21
Ibid, h. 105.
Philipus M. Hadjon, 1998, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid), Pro
Justitia Tahun XVI Nomor I Januari 1998, h. 90.
22
23
sebelumnya kewenangan itu, tidak dimiliki oleh organ pemerintah
yang bersangkutan.
Sedangkan delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang
untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha
Negara) kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini
berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi
delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris).
Selain itu mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang
kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang
kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata
Usaha Negara yang memberi mandat. Tanggungjawab tidak berpindah
ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan
pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan
demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya
keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si
pemberi mandat.
Setiap wewenang itu dibatasi oleh isi/materi (materiae),
wilayah/ruang (locus), dan waktu (tempus). Cacat dalam aspek-aspek
tersebut menimbulkan cacat wewenang atau dalam artian bahwa di
luar-luar batas-batas itu suatu tindakan pemerintahan merupakan
tindakan tanpa wewenang (onbevoegdheid).
Suatu perbuatan hukum yang cacat hukum jika perbuatan
tersebut dilakukan tanpa wewenang/alas hak yang jelas (cacat
24
wewenang), dilakukan melalui prosedur yang tidak benar (cacat
prosedur), dan substansi perbuatan itu sendiri (cacat substansi). Cacat
wewenang mengakibatkan suatu perbuatan menjadi batal demi hukum
(van
rechtswege
nietig).
Cacat
prosedur
hanya
tidak
akan
menyebabkan suatu perbuatan menjadi batal demi hukum, melainkan
hanya dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar). Cacat substansi
dapat berakibat pada batalnya suatu perbuatan hukum (nietig).
1.7.5 Penerapan Hukum
Konsep dan teori mengenai penerapan hukum dalam konteks
civil law system hakikatnya konsep dan teori mengenai penemuan
hukum atau Law finding oleh hakim. Dikemukakan oleh Peter
Mahmud Marzuki bahwa” The issue of law finding is a typical
continental European jurisprudence issue. This is not the case in
Anglo American legal system.”23
Dalam konteks demikian, menurut Achmad Ali , yuris Eropa
Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi
dengan metode kontruksi , yang dapat dilihat pada buku-buku
karangan Paul Scholten, Pitlo, ataupun Sudikno Mertokusumo.
Berdasarkan kelaziman, metode yang digunakan oleh hakim
untuk menemukan hukum, diantaranya : metode interpretasi atau
23
Peter Mahmud Marzuki (II) , 2004, The Juds Taskto find Law Under the Indonesian law,
fakultas Hukum Universitas Airlangga, h.85.
25
hermeuneutika, metode argumentasi, dan penemuan hukum bebas.
Metode interpretasi meliputi:
1. menurut bahasa atau gramatikal,
2. teleologis atau sosiologis,
3. sistematis atau logis,
4. historis,
5. perbandingan hukum (komparatif),
6. futuristis,
7. penegakan hukum wajib menurut hukum.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum wajib mengikuti
ketentuan aturan hukum, penegakan hukum yang dilakukan tidak
menurut hukum dapat berakibat batal demi hukum atau null and void,
van rechtwege nieting.
Asas equality before the law yang artinya perlakuan hukum
yang sama bagi semua orang , dalam eksistensinya masih sangat jauh
dari norma yang ada. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman, dalam Pasal 4 ayat (1) mengatakan bahwa “ Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang,
karena alasan ras, suku, agama maupun latar belakang bukan hanya
berlaku dalam pengadilan saja tetapi maknanya juga dalam
pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang lain
26
untuk melaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan tidak
membeda-bedakan orang.
Peran penegak hukum harus dapat menjamin keseimbangan
antara rasa keadilan, kegunaan atau kemanfaatan, dan kepastian hukum
dalam pelaksanaan penegakan hukum untuk menemukan kepuasan
bagi mereka yang mendambakan keadilan.
1.8 Metode Penelitian
Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan disini adalah yuridis normatif.
Penelitian yang dikaji secara yuridis normatif adalah mengkaji
permasalahan yang timbul dengan berlandasakan aturan-aturan hukum,
teori-teori dan penerapan aturan hukum yang berlaku.24
b. Jenis Pendekatan
Dalam penulisan skripsi ini, dirasakan perlu untuk menggunakan
pendekatan masalah agar tercermin sebagai karya ilmiah. Pendekatan
masalah yang digunakan adalah pendekatan analisis konsep hukum
(analitical dan conseptual approach), Pendekatan Perundang-undangan
24
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada Jakarta, h. 14.
27
(the statute approach) dan pendekatan fakta (the Fact Approach).
Pendekatan konseptual dilakukan dengan menelaah aturan-aturan hukum
yang ada dalam UU KPK maupun Peraturan Perundang-undangan terkait
dengan kewenangan lembaga negara tersebut.
Pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang menyangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
c. Bahan hukum
Dalam penulisan karya ilmiah ini diperlukan bahan hukum guna
menunjang penelitian yang akan dilaksanakan. karena penelitian ini
bersifat yuridis normatif, maka bahan hukum yang digunakan terdiri atas:
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan
mengikat.25 Jika ditinjau dari hukum nasional, maka bahan hukum primer
yang digunakan dalam skripsi ini adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
25
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 10.
28
5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
2. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer.26 Contohnya: buku, artikel,
laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya. 27 Bahan
hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berupa
buku-buku literatur, karya ilmiah/pendapat para sarjana dan artikel
yang berkaitan erat dengan pokok bahasan yang dibahas dalam
permasalahan.
3. Bahan hukum tersier, yaitu sumber bahan hukum berupa sumber
nonhukum yang menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder.
Bahan hukum tersier dalam penulisan ini terdiri atas kamus hukum,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan buku-buku pelajaran yang bersifat
non hukum.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk menunjang penelitian penulisan skripsi ini, maka teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode bola salju
(snow ball methode).
e. Teknis analisis
Penulisan skripsi ini pada dasarnya adalah bersifat mencari dasardasar hukum dari ketentuan Pasal dalam peraturan Perundang-undangan
26
27
Ibid, h. 12.
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 103.
29
yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu teknik
analisis terhadap bahan hukum yang digunakan adalah dengan
menggunakan teknik deskripsi dan interpretasi dalam bentuk sistematis
dan gramatikal, yaitu
dengan memperhatikan fenomena hukum yang ada di masyarakat,
seperti mendeskripsikan salah satu kasus tindak pidana korupsi BLBI yang
diambilaih oleh KPK karena penanganannya yang berlarut-larut dan lainlain seperti alasan yang ada dalam Pasal 9 UU KPK.
30
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
(KPK) SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM KETATANEGARAAN
INDONESIA
2.1 Istilah dan Pengertian Lembaga Negara
Lembaga Negara bukanlah konsep yang secara terminologis memiliki
istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut
lembaga Negara digunakan istilah political institution, sedangkan dalam
terminology Bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu,
bahasa Indonesia menggunakan lembaga Negara, badan Negara, atau organ
Negara.28
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),kata “lembaga ”
diartikan sebagai (1) asal mula (yang menjadi sesuatu) ; bakal (binatang,
manusia, dan tumbuhan); (2) bentuk (rupa, wujud) yang asli; (3) acuan; ikatan;
(tentang mata cincin dsb); (4) badan (organisasi) yang tujuannya melakukan
sesuatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (5) pola
prilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu
kerangka nilai yang relevan. Kamus tersebut juga memberi contoh frasa
menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintahan yang diartikan
badan-badan
pemerintahan
dalam
lingkungan
eksekutif.
Jika
kata
pemerintahan diganti dengan kata Negara, diartikan badan-badan Negara di
28
Sri Soemantri, 2004, Eksistensi System Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD
1945, Makalah Proseeding diskusi Publik, komisi Revormasi hokum Nasional (KRHN), Jakarta
31
semua lingkungan pemerintahan Negara (khususnya di lingkungan eksekutif,
yudikatif, legislatife).
Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu Negara atau yang lazim
disebut sebagai lembaga Negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna
melaksanakan fungsi-fungsi Negara.29 Berdasarkan teori-teori klasik mengenai
Negara setidaknya terdapat beberapa fungsi Negara yang paling penting
seperti fungsi membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (fungsi
legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau penyelenggaraan pemerintahan
(fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif).
Lembaga Negara adalah organ Negara yang menjalankan fungsi
Negara untuk mewujudkan tujuan Negara.30 Lembaga Negara dapat dibedakan
berdasarkan:31
1. Fungsi yang dimilikinya,
2. Kedududkan, atau
3. Peraturan yang menjadi dasar pemebentukannya.
Menurut George Jellinek, lembaga Negara berdasarkan kedudukan
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:32
1. Lembaga Negara langsung (unmittenbare organ), yaitu lembaga Negara
yang menentukan ada atau tidak adanya Negara.
29
Moh. Kusnardi dan Bintang Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media
Pratama, Jakarta.
30
H. Ahmad roestandi, SH, 2006, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, Sekretariat
Jenderal dan kepaniteraan mahkamah Konstitusi, Jakarta, h. 53.
31
ibid, h. 107.
32
Ibid.
32
2. Lembaga Negara yang tidak langsung (mittenbare organ), yaitu lembaga
Negara yang bergantung pada lembaga negara yang langsung.
Selain itu penggolongan lain berdasarkan kedudukannya dibedakan
menjadi:
1. Lembaga Negara utama atau lembaga Negara primer (main state’s
organ/primary constitutional organ), yaitu lembaga Negara yang dibentuk
untuk menjalankan salah satu cabang kekuasaan Negara (legislative,
eksekutif, yudikatif).
2. Lembaga Negara penunjang atau lembaga Negara pendukung (auxiliary
organs), yaitu lembaga Negara yang dibentuk untuk memperkuat lembaga
Negara utama dalam menjalankan kekuasaannya.
Khusus di Indonesia , lembaga Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang membentuknya dapat dibedakan menjadi33:
1. Lembaga Negara yang dibentuk/disebut/atau diberi wewenang oleh UUD
NRI Tahun 1945.
2. Lembaga Negara yang dibentuk/disebut/atau diberi wewenang oleh
undang-undang, seperti KPK.
3. Lembaga Negara yang dibentuk/disebut/atau diberi wewenang oleh
Keputusan Presiden.
Sebagaimana dikutip oleh Alder, menurut Jennings terdapat beberapa
alasan yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara pembantu, alasanalasan tersebut yakni:34
33
Firmansyah Arifin et.Al, Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara. Konsorsium reformasi hokum Nasional (KRHN), Jakarta, h. 66.67.
33
1. The need to provide cultural or personal service supposedly free from the
risk of political interference.
2. The desirability of non-political regulation of markets.
3. The regulation of independent professions such as medicine and the law.
4. The provision of technical service
5. The creations of informal judicial machinery for setting disputes
Selain itu, menurut Alder berdasarkan kedudukan hukumnya lembaga
tersebut dapat dibagi kedalam 5 (lima) klasifikasi, yakni:35
1. Most are statutory and have separate legal identity. Their powers and
duties depend entirely on the particular statute.
2. Some are created by administrative actions.
3. Some are created by contract agreement within an organisation.
4. Some are entirely voluantary creations whose members have non special
legal status and who depend upon either consent or back government.
5. Some are ordinary companies in which the government has acquired
substantial shareholdings.
Dengan demikian KPK dapat dikatakan sebagai lembaga Negara
pembantu (auxiliary organs). Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga
Negara atau alat-alat kelengkapan Negara adalah selain untuk menjalankan
fungsi Negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.
Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan
34
John Alder, Constitutions and Administrative Law, (London: The Macmillan Press
LTD, 1989), h. 225
35
Gerry Stoker, The Politic of Local Government, (London: The Mac. Millian Press,
1991), h. 63.
34
proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan
fungsi Negara atau istilah yang digunakan Sri Soemantri adalah actual
governmental process.36 Meskipun dalam prakteknya tipe lembaga-lembaga
Negara yang adopsi setiap Negara bisa berbeda, secara konsep lembagalembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga
membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi Negara
dan secara ideologis mewujudkan tujuan Negara jangka panjang.
2.2 Sejarah KPK
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan.
Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui
pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen
serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
professional serta berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi
hukum, pemerintah telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam
usaha menerangi tindak pidana korupsi.
Gagasan pembentukan KPK sebenarnya diawali oleh TAP MPR No.
11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Menindaklanjuti amanat itu, DPR dan pemerintah
kemudian membuat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
36
Sri Soemantri, 2004, Eksistensi System Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD
1945, Makalah Proseeding diskusi Publik, komisi Revormasi hokum Nasional (KRHN), Jakarta.
35
Ketika pembahasan UU itulah, muncul gagasan dari beberapa orang Fraksi
PPP seperti Zein Badjeber, Ali Marwan Hanan dkk. Mereka mengusulkan
untuk menambah bab tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.”Yang saya
ingat usulan itu bukan ketikan komputer, tetapi manual,” kenang Ketua KPK
Taufiequrachman Ruki. Mereka ingin agar ini dijadikan bab tersendiri,
merupakan bagian dari RUU tersebut.
Tapi usulan itu ditolak Fraksi ABRI. “Argumentasinya, adalah tidak
logis menambah bab dalam RUU. Kalau penambahan satu pasal atau ayat
biasa. Kedua, dilihat dari usulannya, penambahan bab ini belum dikaji secara
yuridis maupun semantik,” tutur Ruki yang ketika itu adalah juru bicara Fraksi
ABRI. Menurut Ruki, untuk membangun sebuah lembaga atau komisi yang
diberikewenangan sebesar itu, tidak bisa dirancang dengan pemikiran sesaat.
Harus dilakukan pengkajian yang betul dengan segala aspeknya. Karena itu,
Fraksi ABRI terpaksa menolak penambahan satu bab ini. Tapi soal
pembentukan KPK,mereka setuju.Karena itu, kemudian disepakati amanat
pembentukan KPK akan dimuat dalam aturan peralihan UU No. 31 tahun
1999. Akhirnya, aturan peralihan UU No. 31 tahun 1999 mengamanatkan agar
paling lambat 2 tahun setelah UU itu disahkan, KPK sudah dibentuk.
Menurut kesaksian
Zain
Badjeber, konsep
dari Fraksi
PPP
menginginkan agar seluruh penanganan perkara korupsi dialihkan ke KPK,
namun fraksi lain tidak setuju. "Agar barang itu (KPK) cepat jadi, akhirnya
36
PPP mengalah, sehingga kepolisian dan kejaksaan juga berwenang menangani
korupsi", katanya.37
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri resmi dibentuk pada
Desember 2003 berdasarkan UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk
karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana
korupsi.
KPK adalah suatu komisi organik, yaitu komisi yang lahir dari
Undang-Undang yakni selanjutnya disebut UU KPK. Pengertian KPK yang
termaktub dalam Pasal 3 UU KPK berbunyi :
“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun.”
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU KPK, Komisi Pemberantasan
Korupsi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan wilayah
kerjanya
meliputi
seluruh
wilayah
Negara
Indonesia
dan
Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah Provinsi.
37
Pradirwan, 2014, “Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”, available from :
URL : http://www.pradirwan.tk/2014/07/sejarah-komisi-pemberantasan-korupsi-kpk.html, diakses
tahun 2014.
37
KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi meningkatkan daya
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
1.
Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
2.
Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
3.
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
4.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 UU KPK, KPK berasaskan pada:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. kepentingan umum; dan
e. proporsionalitas.
38
Adapun visi dan misi KPK adalah sebagai berikut:
Visi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari
Korupsi
Misi
Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi Menjadi
Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia yang
Bebas dari Korupsi
Regulasi KPK
Pengaturan mengenai dasar hokum dan kewenangan KPK sebagai
Lembaga Negara dapat dilihat pada beberapa peraturan Perundang-Undangan
berikut ini:38
Dasar hukum KPK
1.
UU RI No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2.
Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3.
PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
38
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 2015, “Komisi Pemberantasan
Korupsi
Republik
Indonesia”,
available
from
:
URL
:
https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indonesia,
diakses
tanggal 21 Mei 2015.
39
Undang-Undang
1.
UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih dan Bebas Dari KKN
2.
UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
3.
UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4.
UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun
2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Peraturan Pemerintah
1.
PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2.
PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Sampai dengan saat ini, tercatat ada 5 orang yang telah memimpin KPK.
Mereka adalah :39
No
Nama
1
2
3
Taufiequrachman Ruki
Antasari Azhar
Tumpak
Hatorangan
Panggabean
(Pelaksana
Tugas)
Busyro Muqoddas
Abraham Samad
4
5
39
Ibid.
Mulai
Jabatan
2003
2007
2009
Akhir
Jabatan
2007
2009
2010
2010
2011
2011
2015
40
2.3 Struktur KPK
Struktur organisasi KPK ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal
21 sampai dengan Pasal 28 UU KPK, sebagai berikut:40
Pasal 21
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
terdiri atas
a.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima)
Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
(2)
b.
Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan
c.
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a disusun sebagai berikut:
a.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan
b.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat)
orang, masing-masing jika merangkap Anggota.
(3)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a adalah pejabat negara.
(4)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum.
40
Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,
Jakarta,h.197.
41
(5)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) bekerja secara kolektif.
(6)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a adalah penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal 22
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh
panitia seleksi pemilihan.
(2)
Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)
Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan
kegiatan mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan
dari masyarakat.
(4)
Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan
sebelum ditunjuk dan diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan calon yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan.
42
(5)
Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan
mengajukan 8 (delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk dipilih 4 (empat) orang anggota.
(6)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
panitia seleksi pemilihan dibentuk.
Pasal 23
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan
kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas
dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 24
(1)
Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah
warga negara Indonesia yang karena kepakarannya diangkat oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(2)
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena
keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
43
Pasal 25
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi:
a.
menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b.
mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat,
Kepala Subbidang, dan
pegawai yang bertugas pada Komisi
Pemberantasan Korupsi;
c.
(2)
menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.
Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 26
(1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
membawahkan 4 (empat) bidang yang terdiri atas:
a. Bidang Pencegahan;
b. Bidang Penindakan;
c. Bidang Informasi dan Data; dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
44
(3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
membawahkan:
a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara;
b. Subbidang Gratifikasi;
c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan
d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan.
(4)
Bidang penindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b
membawahkan:
(5)
a.
Subbidang Penyelidikan;
b.
Subbidang Penyidikan; dan
c.
Subbidang Penuntutan.
Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
membawahkan:
(6)
a.
Subbidang Pengolahan Informasi dan Data;
b.
Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi
c.
Subbidang Monitor.
Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d membawahkan:
a.
Subbidang Pengawasan Internal;
b.
Subbidang Pengaduan Masyarakat.
45
(7)
Subbidang
Penyelidikan,
Subbidang
Penyidikan,
dan
Subbidang
Penuntutan, masing-masing membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai
dengan kebutuhan subbidangnya.
(8)
Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6),
dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal 27
(1)
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan
Korupsi dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang
Sekretaris Jenderal.
(2)
Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia.
(3)
Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4)
Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih
lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 28
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain
dalam rangka pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan
Korupsi.
46
Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi No. PER-08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja KPK.41 Adapun penjelasan mengenai keputusan
tersebut dapat dijelaskan melalui bagan berikut ini:
41
KPK, 2015, “Struktur KPK ”, available from : URL : http/www.kpk.go.id/id/tentangkpk/struktur-organisasi, diakses tahun 2015.
47
Berdasarkan bagan diatas dapat dijelaskan deputi masing-masing
bagian sebagai berikut:
a) Deputi Pencegahan
Deputi Bidang Pencegahan mempunyai tugas menyiapkan
rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi.
Deputi Bidang Pencegahan menyelenggarakan fungsi:42
a.
Perumusan
kebijakan
untuk
sub
bidang
Pendaftaran
dan
Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP
LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta
Penelitian dan Pengembangan;
b.
Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendataan, pendaftaran dan
pemeriksaan LHKPN;
c.
Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penerimaan pelaporan dan
penanganan gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara
d.
Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendidikan anti korupsi,
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi dan kampanye
antikorupsi;
e.
Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penelitian, pengkajian dan
pengembangan pemberantasan korupsi;
42
KPK,
2015,
“Deputi
Pencegahan
”,
available
from
:
URL
:http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pencegahan, diakses tahun 2015
48
f.
Koordinasi dan supervisi pencegahan tindak pidana korupsi kepada
instansi terkait dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
publik;
g.
Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di
lingkungan Deputi Bidang Pencegahan.
h.
Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan
hubungan kerja pada sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN),
Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian
dan Pengembangan;
i.
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan
bidangnya.
Deputi Bidang Pencegahan dipimpin oleh Deputi Bidang Pencegahan
dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan
KPK;
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Pencegahan
dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari
satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pencegahan
yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Pencegahan.
Deputi Bidang Pencegahan membawahkan:43
1)
Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (PP LHKPN);
43
Ibid.
49
2)
Direktorat Gratifikasi;
3)
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat;
4)
Direktorat Penelitian dan Pengembangan;
5)
Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan.
b) Deputi Penindakan
Deputi Bidang Penindakan mempunyai tugas menyiapkan rumusan
kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Penindakan Tindak
Pidana Korupsi.
Deputi Bidang Penindakan menyelenggarakan fungsi :44
a.
Perumusan kebijakan untuk sub bidang Penyelidikan, Penyidikan
dan Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara
TPK oleh penegak hukum lain;
b.
Pelaksanaan penyelidikan dugaan TPK dan bekerjasama dalam
kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
lain;
c.
Pelaksanaan penyidikan perkara TPK dan bekerjasama dalam
kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain;
d.
Pelaksanaan penuntutan, pengajuan upaya hukum, pelaksanaan
penetapan hakim & putusan pengadilan, pelaksanaan tindakan
hukum lainnya dalam penanganan perkara TPK sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
44
KPK, 2015, “Deputi Penindakan ”, available from : URL
http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-penindakan, diakses tahun 2015
:
50
e.
Pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap aparat
penegak hukum lain yang melaksanakan kegiatan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan perkara TPK;
f.
Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan, pembinaan sumberdaya dan
dukungan operasional di lingkungan Deputi Bidang Penindakan;
g.
Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan
hubungan kerja pada bidang Penyelidikan, Penyidikan dan
Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK
oleh penegak hukum lain; dan
h.
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan
bidangnya.
Deputi Bidang Penindakan dipimpin oleh Deputi Bidang Penindakan
dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan
KPK.
Deputi Bidang Penindakan membawahkan:45
45
1)
Direktorat Penyelidikan;
2)
Direktorat Penyidikan;
3)
Direktorat Penuntutan;
4)
Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi; dan
5)
Sekretariat Deputi Bidang Penindakan.
Ibid.
51
c) Deputi Informasi dan Data
Deputi Bidang Informasi dan Data mempunyai tugas menyiapkan
rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan pada Bidang Informasi
dan Data.
Deputi Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi:46
a.
Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengolahan Informasi dan
Data, Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi dan
Monitor;
b.
Pemberian dukungan sistem, teknologi informasi dan komunikasi di
lingkungan KPK;
c.
Pelaksanaan pembinaan jaringan kerja antar komisi dan instansi
dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK;
d.
Pengumpulan
dan
analisis
informasi
untuk
kepentingan
pemberantasan tindak pidana korupsi, kepentingan manajerial
maupun dalam rangka deteksi kemungkinan adanya indikasi tindak
pidana korupsi dan kerawanan korupsi serta potensi masalah
penyebab korupsi;
e.
Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di
lingkungan Deputi Bidang Informasi dan Data;
f.
Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan
hubungan kerja pada bidang Pengolahan Informasi dan Data,
46
KPK, 2015, “Deputi Informasi dan Data ”, available from URL:
http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-informasi-dan-data, diakses tahun
2015
52
Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi dan Monitor;
dan
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan
g.
bidangnya.
Deputi Bidang Informasi dan Data dipimpin oleh Deputi Informasi
dan Data serta bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada
Pimpinan KPK;
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Informasi
dan Data dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya
berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi
Bidang Informasi dan Data yang ditetapkan dengan Keputusan
Deputi Bidang Informasi dan Data;
Deputi Bidang Informasi dan Data membawahkan:47
1)
Direktorat Pengolahan Informasi dan Data;
2)
Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi;
3)
Direktorat Monitor; dan
4)
Sekretariat Deputi Bidang Informasi dan Data;
d) Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
Deputi
Masyarakat
47
Ibid.
Bidang
mempunyai
Pengawasan
tugas
Internal
menyiapkan
dan
Pengaduan
kebijakan
dan
53
melaksanakan kebijakan di bidang Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat.
Deputi
Bidang
Pengawasan
Internal
dan
Pengaduan
Masyarakat menyelenggarakan fungsi :48
a)
Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat;
b)
Pelaksanaan pengawasan internal terhadap pelaksanaan tugas dan
fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan
Pimpinan;
c)
Penerimaan dan penanganan laporan / pengaduan dari masyarakat
tentang dugaan tindak pidana korupsi yang disampaikan kepada
KPK, baik secara langsung maupun tidak langsung;
d)
Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya
di lingkungan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat;
e)
Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan
hubungan kerja pada bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat; dan
f)
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai
dengan bidangnya.
48
KPK, 2015, “Deputi Pengawasan internal dan Masyarakat ”, available from : URL :
http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pengawasan-internal-danmasyarakat, diakses Tahun 2015.
54
Deputi
Bidang
Pengawasan
Internal
dan
Pengaduan
Masyarakat dipimpin oleh Deputi Bidang Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat dan bertanggungjawab atas pelaksanaan
tugasnya kepada Pimpinan KPK.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat dapat membentuk
Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat
atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi
Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
membawahkan:49
1)
Direktorat Pengawasan Internal;
2)
Direktorat Pengaduan Masyarakat; dan
3)
Sekretariat
Bidang
Pengawasan
Internal
dan
Pengaduan
Masyarakat.
5. Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyiapkan kebijakan
dan pelaksanaan kebijakan administrasi, sumber daya, pelayanan
umum, keamanan dan kenyamanan, hubungan masyarakat dan
pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK
Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi:50
49
Ibid.
55
a)
Perumusan kebijakan pada sub bidang administrasi, sumber daya,
pelayanan umum, keamanan dan kenyamanan, hubungan masyarakat
dan pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK;
b)
Pelaksanaan perencanaan jangka menengah dan pendek, pembinaan
dan pengelolaan perbendaharaan, pengelolaan dana hibah/ donor serta
penyusunan laporan keuangan dan kinerja KPK;
c)
Pelaksanaan
pemberian
dukungan
logistik,
urusan
internal,
pengelolaan aset, pengadaan, pelelangan barang sitaan/ rampasan,
serta pengelolaan dan pengamanan gedung bagi pelaksanaan tugas
KPK;
d)
Pelaksanaan
pengelolaan
sumber
daya
manusia
melalui
pengorganisasian fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia
yang berbasis kompetensi dan kinerja;
e)
Pelaksanaan perancangan peraturan, litigasi, pemberian pendapat dan
informasi hukum dan bantuan hukum;
f)
Pelaksanaan
pembinaan
hubungan
dengan
masyarakat,
pengkomunikasian kebijakan dan hasil pelaksanaan pemberantasan
korupsi kepada masyarakat, penyelenggaraan keprotokoleran KPK
serta pembinaan ketatausahaan KPK;
g)
Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan
hubungan kerja pada bidang Sekretariat Jenderal; dan
50
KPK,
2015,
“Sekretariat
Jendral
”,
available
from
:
URL
:http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/secretariat-jendral, diakses tahun 2015
56
h)
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan
bidangnya.
Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan
bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK;
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Sekretariat Jenderal dapat
membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu
Biro atau lintas Biro yang ditetapkan dengan Keputusan Sekretaris
Jenderal;
Sekretariat Jenderal membawahkan:51
1.
Biro Perencanaan dan Keuangan;
2.
Biro Umum;
3.
Biro Sumber Daya Manusia;
4.
Biro Hukum;
5.
Biro Hubungan Masyarakat; dan
6.
Sekretariat Pimpinan
3.3 Badan-Badan
Lain
Yang
Berwenang
Penyidikan, Dan Penuntutan
Melakukan
Penyelidikan,
dalam Peraturan Perundang-undangan
Indonesia
Telah banyak upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk
untuk
51
mengedepankan
Ibid.
hukum
sebagai
landasan
dalam
melakukan
57
pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi upaya tersebut belum terlihat
hasilnya dan belum memuaskan masyarakat dan hampir tidak menimbulkan
efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi merajalela dan hampir merata di
seluruh sektor pembangunan.
Semakin menjalarnya praktek tindak pidana korupsi disebabkan karena
pada masa orde baru sejak tahun 1965 sampai dengan 1997, bahwa aparat
penegak hukum yang melaksanakan tugas memberantas kejahatan korupsi
oleh jaksa, sehingga pemberantasan kasus-kasus kejahatan korupsi tidak
optimal.”52
Dalam Peratuan Perundang-undangan yang ada, terdapat beberapa
institusi yang memiliki kewenangan dan kapasitas masing-masing dalam hal
pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun institusi tersebut dapat
digolongkan menjadi 3 (tiga) berdasarkan Undang-Undang, antara lain :
1. Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002)
2. Kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004)
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002)
Adapun komisi/ lembaga yang juga memiliki wewenang dalam halnya
melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu “ Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) sesuai
dengan keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) No. 11 Tahun 2005
tanggal 2 Mei 2005.” 53
52
Evi Hertanti, 2009, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23.
Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, P.T Alumni , Bandung.
53
58
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim
Tastipikor) dibentuk atas dasar pemenuhan janji kampanye terdahulu Susilo
Bambang Yudhoyono sebelum dirinya dilantik menjadi Presiden Republik
Indonesia.
Timtas Tipikor ini dipertanggungjawabkan langsung oleh Presiden.
Namun pembentukan timtas tipikor ini hanya membuat kinerja pemberantasan
tindak pidana korupsi semakin rumit. Itu sebabnya mengapa tak lama tim ini
dibubarkan sendiri oleh Presiden dan hanya berfokus untuk memperkuat dan
memberdayakan 3 institusi yang memang memiliki kewenangan dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi yakni kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.
3.3.1
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Polri melaksanakan penyidikan terhadap kejahatan korupsi sejak
KUHAP diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 dan adanya kerjasama
organisasi Polri dengan dibentuknya Direktorat Pidana Korupsi, baik ditingkat
pusat maupun kewilayahan. Walaupun polri telah diberikan kewenangan
untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana Korupsi berdasarkan KUHP
tetapi masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi, karena setiap
hasil pentidikan (berkas perkara) yang telah dibuat oleh penyidik polri oleh
kejaksaan selalu diambilalih untuk ditangani sendiri atau penuntut jaksa yang
sulit untuk dipenuhi
Berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia selanjutnya disebut UU POLRI, dalam Pasal 14
huruf g ditegaskan “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas
59
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.
Dasar hukum yang digunakan kepolisian dalam wewenangnya
melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi antara lain:
1. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana Pasal 6
ayat (1) bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal 2 juga disebutkan bahwa penyidik melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana, tidak ada istilah pidana umum maupun khusus.
Dengan demikian semau tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun
diluar KUHP penyidik berwenang untuk menanganinya.
2. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana korupsi dalam
Pasal 3 menyebutkan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak
ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
3. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Pasal
26.
4. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undangundang No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Pasal 26
berbunyi,
penyidikan
terhadap
tindak
pidana
korupsi
dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam KUHAP.
5. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik
Indonesia Pasal 14 huruf g menyatakan melakukan penyelidikan dan
60
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
2.1.2 Kejaksaan Republik Indonesia
Pada Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa “jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan UndangUndang”.
Bertolak dari penjelasan tersebut kejaksaan Republik Indonesia ini
sebagai lembaga Negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan dari pihak
manapun baik pengaruh dari kekuasaan Pemerintah dan kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum dituntut lebih berperan
dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,
penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).”54
Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
54
Op Cit, h. 34.
61
Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui
secara jelas semua pekerjaan yang harus dilakuakan penyidik dari permulaan
hingga terakhir yang seluruhnya harus dilakukan berdasarkan hukum. Dasar
hukum yang digunakan dalam wewenangnya melakukan penyelidikan dan
penyidikan dalam tindak pidana korupsi adalah:
a. Pasal 91 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa untuk
mengambil alih berita cara pemeriksaan.
b. Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan ,” dalam waktu dua tahun setelah
Undang-undang ini
diundangkan, maka terhadap semua perkara
diberlakukan ketentuan Undang-undang ini, dengan pengecualian untuk
sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada Undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan
tidak berlaku lagi.”
c. Peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 58 tahun 2010 tentang
parubahan atas peraturan pemerintah nomor 27 tahun1983 tentang
pelaksanaan kitab Undang-undang hukum acara pidana.
d. Pasal 30 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia menjelaskan di bidang pidana. Kejaksaan memiliki
tugas dan wewenang:
1. Melakukan penuntutan;
2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap ;
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan bersyarat;
62
4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Undang-Undang;
5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoodinasikan dengan penyidik.
2.4.3 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Landasan dibentuknya KPK adalah Undang-undang No. 30 Tahun
2002 yang mengatur banyak hal tentang KPK. Dengan diundangkannya
Undang-undang tersebut, telah ditambah banyak ketentuan dalam hal
penyelidikan,penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan yang
menangani kasus korupsi.
Dasar pertimbangan pemerintah menerbitkan UU KPK menurut
pendapat Anwari antara lain:
a.
Bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sekarang
belum
dapat
dilaksanakan
secara
optimal.
Oleh
karena
itu
pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara
professional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah
merugikan keuangan Negara, perekonomian Negara, dan menghambat
Pembangunan Nasional.
63
b. Bahwa lembaga pemerintah yang menangani Tindak Pidana Korupsi
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas Tindak
Pidana Korupsi. 55
Menurut Adami Chazawi, “Undang-undang tersebut pada dasarnya
bersifat menambah atau melengkapi hukum tindak pidana korupsi yang
telah ada dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”.56
Dibentuknya UU KPK digunakan juga sebagai pelengkap hukum
pidana korupsi yang telah ada dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999
jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang
penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Undang-undang ini juga digunakan sebagai landasan
dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang berwenang mengadili
dan memutuskan perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK
sendiri.
Selain itu juga UU KPK digunakan sebagai dasar dalam
memberantas Tindak Pidana Korupsi dengan metode penegakan hukum
secara luar biasa.
55
Anwari, 2012, Perang Melawan Korupsi Di Indonesia, Institute Pengkajian Masalah
Politik Dan Social Ekonomi, Jakarta, h.6.
56
Adami Chazawi, 2003, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,
BayuMedia Publishing, Jawa Timur, h. 448.
64
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah
meletakkan landasan yang kuat dalam usaha memerangi Tindak pidana
korupsi, yaitu melalui pembentukan badan khusus yang memiliki
kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam
upaya pemebrantasan tindak pidana korupsi. Usaha tersebut diantaranya
dengan
memberikan
kewenangan
penyelidikan,
penyidikan
dan
penuntutan dalam tindak pidana korupsi.
Landasan yang digunakan KPK dalam melakukan wewenangnya
sebagai institusi adalah:
a. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi Pasal 34 sebagaimana diubah dengan Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
berbunyi:
1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini
mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi;
2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas
dan wewenang melakukan koordinasi dan supervise, termasuk
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. Keanggotaan komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri
atas unsure pemerintah dan unsure masyarakat;
4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan
komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)
diatur dengan Undang-Undang.
b. Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Pasal 6 huruf
c menyebutkan Komisi
pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
65
BAB III
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM
MENGAMBIL ALIH KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN
PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI
6.1 Pengambil alihan Kewenangan oleh KPK dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002
Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar
keseluruh tubuh pemerintahan sehingga sejak tahun 1960-an langkah-langkah
pemberantasannya
pun
masih
tersendat-sendat
sampai
masa
kini.57
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas
yang dilakukan secara sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Tindak pidana korupsi yang meluas dan
sistematis juga merupakan pelanggaran terhada hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi
dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah telah menja58di
kejahatan luar biasa.
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, dan
14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung pelaksanaan
57
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Jakarta, h. 1.
66
tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002.59 Salah satu kewenangan KPK yang terdapat dalam UU KPK
adalah mengambil alih wewenang Polisi dan Kejaksaan dalam melakukan
penyidikan dan penuntutan yang termakub dalam Pasal 8 UU KPK yang
berbunyi sebagai berikut ini:
(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan
atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka
dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang
diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja,
terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan
Korupsi
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala
tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan
tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) tersebut dijelaskan bahwa kewenangan
KPK adalah mengambil alih penyidikan dan penututan yang sudah menjadi
kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Dalam menjalankan tugasnya KPK
dapat melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi serta melakukan penyidikan
dan penuntutan. Maksud dari pasal tersebut bahwa KPK dapat melakukan
59
Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,
Jakarta,h.191.
67
pengambilalihan wewenang lembaga lain. Dalam menjalankan tugasnya
tersebut, maka KPK juga perlu diberikan batasan ataupun alasan yang jelas
untuk mengambil alih kewenangan Lembaga Negara lain. Sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 9 UU KPK yang berbunyi:
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam ketentuan Pasal 9 tersebut dijelaskan bahwa KPK berhak
mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan jika ada laporan
masyarakat yang tidak ditindaklanjuti oleh Polisi ataupun Kejaksaan. Selain
itu dalam Pasal ini juga disebutkan bahwa proses penanganan korupsi yang
berlarut-larut
atau
tertunda-tunda
tanpa
alasan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan diambil alih penanganannya oleh KPK dan
seterusnya.
Berdasarkan bunyi Pasal tersebut jelas bahwa KPK berhak
melakukan penyidikan dan penuntutan dengan alasan yang diberikan oleh
UU KPK Pasal 9. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 9 tersebut
tentunya ada beberapa hambatan yang menyebabkan pengambil alihan
wewenang dari Kepolisian dan Kejaksaan ke KPK. Hal ini menunjukkan
68
bahwa ada masalah yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh Kepolisian
dan Kejaksaan sehingga kewenangan mereka diberikan kepada KPK. Oleh
karena itu peran KPK disini sangat dibutuhkan untuk menindaklanjuti
tindak pidana korupsi yang belum bisa ditangani oleh aparat penegak
hukum . Adapun beberapa pokok masalah yang penting terhambatnya
penanganan korupsi selama ini yang ditangani oleh Kejaksaan maupun
Kepolisian, adalah:
1. banyaknya laporan dari masyarakat tentang terjadinya tindak pidana
korupsi yang tidak direspon oleh institusi kejaksaan ataupun
kepilisian baik itu ditingkat pusat maupun daerah, hal ini diperburuk
dengan tindakan institusi kejaksaan atau kepolisian yang tidak
pernah memberikan penjelasan mengenai alasan menagapa laporan
korupsi tersebut tidak ditindak-lanjuti.
2. Hampir sebagaian besar permasalahan yang terjadi dalam
penanganan
kasus
korupsi
berlarut-larut.
Banyak
ditemui
penanganan yang dilakukan hanya sebatas formalitas seperti
pemeriksaan saksi-saksi dan selanjutnya tidak jelas penanganannya.
3. Dihentikan penyidikan atau penuntutan oleh instansi kepolisian atau
kejaksaan, padahal kenyataanya, padahal perbuatan tersangka
tersebut telah merugikan uang Negara.
4. Hanya menjerat sebagian pelaku, kerap kali kasus penanganan
korupsi tidak menjerat pelaku utamanya, namun hanya meneyentuh
pada level pelaku lapangan saja.
69
5. Tidak dilakukan eksekusi meskipun sudah divonis bersalah oleh
pengadilan, hal ini disebabkan karena putusan bersalah tersebut
tidak diikuti dengan perintah hakim untuk segera memasukkan
terdaka ke dalam penjara
6. Adanya ancaman dan kriminalisasi dari orang tertentu dalam
pelapor kasus korupsi menerima ancaman berupa intimidasi dan
kekeasan terhadap pelaku korupsi.60
Sesuai dengan opini atas hambatan-hambatan yang dihadapi oleh
penegak hukum tersebut, maka KPK telah diberikan wewenang yang luas
oleh pemerintah berupa mengambil alih penyidikan atau penuntutan tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan apabila
telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam Pasal 9 UU KPK.
Perkembangan korupsi sampai saat inipun sudah merupakan akibat
dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan
tidak terawasi secara baik karena landasan hukum yang digunakan juga
mengandung banyak kelemahan-kelemahan dalam implementasinya.61 Oleh
sebab itu diperlukan adanya kerjasama antar Lembaga Pemerintahan dalam
menangani kasus korupsi, salah satunya adalah pengambilalihan kewenangan
penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi yang diberikan kepada
KPK.
60
Wacana pengambilalihan kasus-kasus korupsi yang macet, tgl. 20 Juli 2006, www.
Legalitas.com.
61
Ibid, h.1
70
Pengambilalihan kewenangan penyidikan atau penuntutan tindak
pidana korupsi oleh KPK merupakan suatu tindakan dalam rangka untuk
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.
Karena penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa
melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,
indpenden, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif,
efektif, proporsional dan berkesinambungan.
Awal terbentuknya KPK sama halnya dengan awal terbentuknya
komisi pemberantasan korupsi yang ada di Hongkong yaitu ICAC merupakan
lembaga anti korupsi yang independen. Sama halnya dengan ICAC, KPK juga
diberikan wewenang yang sangat luas dan powerfull dalam melaksanakan
tugas untuk memberantas tindak pidana korupsi. Sehingga wewenang KPK
adalah menerapkan prinsip “keteladanan” yang mengedepankan transparansi,
akuntabilitas, dan akses masyarakat ke dalam kinerja KPK serta kepastian
hukum dan perlindungan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Prinsip ini
dikenal sebagai “Trigger Mechanism” atau pemicu kinerja baik terhadap
kepolisian maupun kejaksaan dalam penenganan tindak pidana korupsi.62
Sebagai konsekuensi logis dari pelakasanaan prnsip tersebut, maka
KPK diberikan wewenang mengambilalih
62
(take over) penyelidikan,
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Jakarta, h. 33.
71
penyidikan dan penuntutan perkara tidak pidana korupsi yang sedang
ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut jika alasan yang ada dalam
ketentuan dalam Pasal 9 UU KPK sudah terpenuhi.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang
menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan
keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenangnya.
2. Asas keterbukaan adalah asas yang membujka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak
diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
3. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir kegatan KPK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara
sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
72
4. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
5. Asas proporsional adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara
tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban KPK.
Selain itu juga, dengan diundangkannya Undang-undang No. 28 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, asas-asas
umum pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan pada Pasal 3
dapat dijadikan acuan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK
untuk mengmbilalih wewenang penyidikan. Adapun bunyi Pasal 3 UU No. 28
Tahun 2009 sebagai berikut:
Asas-asas Umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas, dan
7. Asas Akuntabilitas.
Berdasarkan asas-asas umum tersebut dapat dilihat dasar KPK dalam
mengambil alih wewenang penyidikan yang sebelumnya dilakukan Kepolisian
dan Kejaksaan, seperti asas kepastian hukum
yang memprioritaskan
kepentingan Negara sesuai peraturan perundang-undangan, kepatutan dan
keadilan dalam setiap penyelenggara Negara.
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
pengambilalihan
kewenangan penyidikan atau penuntutan tidak pidana korupsi oleh KPK bisa
dilihat dari latar belakang meningkatnya kasus
korupsi yang terjadi di
73
Indonesia. Selain itu aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan
mengalami berbagai hambatan, diantaranya sulitnya aparat penegak hukum
untuk melakukan penangkapan tersangka korupsi karena kepolisian atau
kejaksaan
memerlukan
ijin
pimpinan
tersangka
untuk
melakukan
penangkapan. Yang lebih mengecewakan lagi kepolisian atau kejaksaan yang
menangani kasus korupsi dengan mudahnya bisa disuap untuk membebaskan
tersangka dari proses pemeriksaan karena kebanyakan yang melakuan korupsi
adalah orang yang memiliki kekuasaan, seperti hak eksekutif, legislatif dan
juga yudikatif.
KPK diberikan kewenangan untuk mengambilalih penyidikan atau
penuntutan kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan
adalah untuk mempercepat penangan kasus korupsi yang selama ini tertundatunda atau berlarut-larut karena tidak ditindak lanjuti oleh kepolisian atau
kejaksaan, penanagan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi dan
juga karena adanya campur tangan pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sehingga KPK diberikan kewenangan yang sangat luas karena dalam
melakukan penangkapan izin korupsi KPK tidak memerlukan izin khusus dari
pimpinan
tersangka
untuk
melakukan
penangkapan,
hanya
cukup
memberitahukan pimpinan tersangka untuk memberhentikan tersangka dari
jabatan.
6.2 Kerjasama KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian dalam memberantas
Tindak Pidana Korupsi
74
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK harus memiliki
kerjasama dengan Kepolisian ataupun Kejaksaan untuk menyelesaikan kasus
korupsi. Kerjasama tersebut dapat dilihat dari tugas KPK itu sendiri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU KPK menjelaskan bahwa KPK memiliki
tugas sebagai berikut: 63
1. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang :
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;
d. Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.
2. Melakukan supervisi dalam bentuk penelitian atau penelaahan, serta gelar
perkara hasil penyidikan atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi
63
KPK, 2015, “Struktur KPK ”, available from URL: http/www.kpk.go.id/id/tentangkpk/struktur-organisasi, diakses tahun 2015.
75
yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan berdasarkan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SDPD) yang dilaporkan kepada
KPK.
3. KPK dan kejaksaan meminta bantuan Kepolisian untuk melakaukan
penangkapan atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani.
4. KPK bekerjasama dengan Kejaksaan sesuai dengan Keputusan Bersama
ketua KPK dan Jaksa Agung RI No. Kep-111212005, No. Kep-11212005
tentang kerjasama antara KPK dengan Kejaksaan RI dalam rangka
pemberantasan tindak pidana korupsi.
-
Kerjasama ini meliputi :
a. Bantuan personil : dalam rangka peningkatan kemampuan personil,
KPK dapat meminta bantuan dalam bidang pendidikan dan
pelatihan dengan memanfaatkan lembaga pendidikan kejaksaan.
Bantuan ini dapat diberikan setelah ada permintaan tertulis, kecuali
jika dalam keadaan mendesak, permintaan dapat disampaikan secara
lisan atau selanjutnta disusul dengan permintaan secara tertulis.
b. Bantuan operasional:
1. Bantuan fasilitas: jika kejaksaan memerlukan bantuan fasilitas
dari KPK meliputi peralatan penyadapan dan perekaman, atau
fasilitas sejenis lainnya.
2. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
KPK meminta bantuan Jaksa Agung untuk mendistribusikan
76
formulir LHKPN di lingkungan Kejaksaan serta pemutakhiran
data bagi yang berkewajiban memuat LHKPN di lingkungan
kejaksaan.
3. Gratifikasi : KPK meminta bantuan Jaksa Agung untuk
mendistribusikan formulir gratifikasi di lingkungan Kejaksaan.
4. Perlingdungan saksi dan atau pelapor: kejaksaan membantu
KPK melindungi saksi dan atau pelapor terhadap adanya dugaan
tindak pidana korupsi yang meliputi jaminan keamanan dan
jaminan tidak disidik terhadap saksi atau pelapor yang sedang
dilindungi.
5. Pertukaran informasi: KPK dan kejaksaan dapat melakukan
pertukaran informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan
kewenangan masing-masing.
Dengan adanya kerjasama antar para penegak hukum yaitu antar
kejaksaan, kepolisian dan KPK diatas maka adapun tujuannya adalah sebagai
berikut:
1. Kejaksaan , kepolisian dan juga KPK dapat bekerjasama sehingga dapat saling
membantu meringankan tugas masing-masing sehingga kasus tindak pidana
korupsi yang sedang ditangani dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat.
2. Dapat menjalin solidaritas dan menumbuhkan rasa kekeluargaan antar sesame
penegak hukum
77
3. Antar penegak bisa saling mengawasi sehingga tidak ada lagi kasus tindak
pidana korupsi yang terjadi di dalam tubuh masing-masing penegak hukum
tersebut.
4. Dengan adanya kerjasama ini diharapkan tingkat kasus korupsi yang selama
ini terjadi di Indonesia dapat ditekan jumlahnya.64
Sehingga dalam proses pengambil alihan penyidikan atau penuntutan tindak
pidana korupsi yang dilakukan KPK diperlukan kerjasama kepolisian atau
kejaksaan. Agar proses pengambilalihan penyidikan atau penuntutan tindak
pidana korupsi tersebut berjalan dengan lancar. Dalam kerjasama dengan
kepolisian ataupun kejaksaan harus bersifat terbuka kepada KPK. Apabila KPK
meminta keterangan tentang penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi
yang sebelumnya ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan agar KPK dapat
mempercepat proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi untuk
dilimpahkan ke pengadilan.
3.3. Kekaburuan Norma Hukum yang Terdapat Dalam Pasal 9 UU KPK
KPK sebagai lembaga independen diberikan kewenangan yang sangat
luas, salah satu kewenangan tersebut adalah mengambialih kewenangan
penyidikan Kepolisian dan Kejaksaan. Namun dalam UU KPK juga telah
64
Ibid.
78
disebutkan mengenai ketentuan yang harus ada agar bisa mengambilalih
penyidikan dan penuntutan tersebut.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa alasan yang
digunakan KPK untuk bisa mengambilalih kewenangan Kepolisian dan
Kejaksaan adalah:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Permasalahan yang terdapat dalam bunyi Pasal 9 tersebut adalah tidak
adanya pengaturan yang jelas mengenai alasan yang disebutkan dalam
mengambil alih penyidikan maupun penuntutan yang sudah terjadi sebelum
KPK terbentuk maupun UU KPK ini diundangkan. Jika melihat pada masamasa sebelum dibentuknya KPK, banyak permasalahan korupsi maupun
penanganannya belum bisa dikatan berjalan secara maksimal dalam prosesnya.
Oleh karena itu perlu adanya kewenangan untuk mengambil alih dan
melakukan penyidikan korupsi yang terjadi sebelum dibentuknya KPK.
Permasalahan yang terdapat dalam Pasal tersebut, apakah KPK berhak
untuk mengambil alih kasus yang terjadi sebelum dibentuknya KPK. Oleh
karena itu diperlukan interpretasi hukum untuk menjelaskan Pasal 9 UU KPK,
79
sehingga dalam bunyi Pasal tersebut mengandung kekaburan norma yang
pengaturannya tidak dijelaskan lebih lanjut.
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini melalui
pendekatan Perundang-undangan (statute approach). Pendekatan Perundangundangan
(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani, yaitu : UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu untuk menjawab permasalahan yang ada dalam norma
hukum tersebut harus menggunakan interpretasi hukum atau disebut juga
penafsiran hukum . interpretasi
atau penafansiran, merupakan metode
penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks
Undang-undang
agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan
dengan peristiwa tertentu. Teknik interpretasi adalah sarana atau alat untuk
mengetahui makna Undang-Undang. Interpretasi adalah metode penemuan
hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan
dalam peristiwanya.
Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa
teknik, yaitu secara:
1. gramatikal, yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti
perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak
80
pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam
kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang.65
2. Historis, yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah
terjadinya suatu undang-undang itu dibuat.
3. Sistematis, penafsiran ini memperhatikan susunan yang berhubungan
dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun
undang –undang lainnya.
4. Teleologis, yaitu Penafsiran secara sosiologis adalah suatu penafsiran yang
dilakukan dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undangundang di dalam masyarakat.
5. Perbandingan hukum , yaitu penafsiran dengan cara membandingkan
dengan faedah hukum di tempat lain.
6. Futuristis yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada Undangundang yang belum mempunyai kekeuatan hukum .
Berdasarakan penjelasan tersebut diatas teknik yang akan digunakan untuk
menjawab permasalahan tersebut adalah dengan teknik sistematis, yakni dengan
cara menafsirkan undang-undang
sebagai bagian dari keseluruhan sistem
Perundang-Undangan. Selain itu juga digunakan teknik gramatikal, yaitu
penafsiran menurut bahasa sehari-hari yang ditemukan dalam kasus hukum seperti
pengambilalihan kewenangan penyidikan BLBI oleh KPK.
Dalam kasus BLBI hampir tidak ada alasan bagi KPK untuk menolak
pengambil alihan kasus tersebut. Kerugian negara dalam jumlah sangat besar,
65
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), 67.
81
yang mencapai Rp. 138,4 triliun dari Rp. 144,5 triliun dari BLBI yang
dikucurkan; penyelewengan anggaran Rp. 84,4 triliun oleh 48 bank penerima;
beratnya beban APBN dari tahun ke tahun untuk melunasi utang BLBI;
kebangkrutan negara yang luar biasa; dan bahkan kebusukan di institusi kejaksaan
yang mulai terkuak setidaknya telah lebih dari cukup sebagai alasan sosial politik
agar KPK turun tangan.66
Harus diakui, banyak pro dan kontra terkait dengan kewenangan KPK
dalam pengambilalihan kasus BLBI ini, hingga saat ini masih terdapat perbedaan
pendapat tentang rentang waktu kewenangan KPK untuk menangani perkara. Jika
dilakukan beberapa analisa mengenai hal tersebut, setidaknya perdebatan hukum
tersebut terpolarisasi menjadi beberapa point sentral, yaitu : 67
1). KPK dinilai hanya berwenang menangani perkara yang terjadi setelah UU 30
Tahun 2002 tentang KPK terbentuk, atau sejak 27 Desember 2002. Perdebatan
ini hangat dibicarakan setelah Mahkamah Konstitusi memutus permohonan
Bram Mannopo. Saat itu didalilkan, KPK tidak berwenang menangani perkara
sebelum 27 Desember 2002, sehingga Pasal 68 UU No. 30 Tahun 2002
tentang KPK, menyatakan harus dibatalkan karena bersifat retroaktif atau
berlaku surut.
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan dan menyatakan Pasal 68 yang
berbicara tentang kewenangan KPK mengambil alih semua pekara sebelum
KPK terbentuk bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Sehingga, pasal
66
Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK
dengan
Institusi
Penegak
Hukum,
available
from
:
http://www.
journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, diakses tanggal 15 April 2009.
67
Ibid.
82
tersebut jelas tidak mengandung unsur berlaku surut dan tidak melanggar
konstitusi. Dalam bagian pertimbangan lebih ditegaskan, sifat prospektif
berarti KPK hanya melanjutkan penanganan perkara yang telah dimulai
sebelumnya oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Di titik ini, perdebatan tentang
berlaku surut atau tidaknya kewenangan KPK dapat dinilai tuntas. Dengan
penekanan, KPK punya kewenangan penuh melanjutkan penanganan perkara
korupsi yang ada sebelum KPK terbentuk. Ini yang sering disebut dengan
kewenangan pengambilalihan. Dengan demikian, poin pertama tentang
kewenangan KPK yang terbatas pada perkara yang terjadi setelah UU KPK
terbentuk telah dapat dibantah.
2). KPK boleh menangani perkara yang terjadi sebelum UU KPK terbentuk, tetapi
terbatas pada waktu sejak UU 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, yaitu sejak 16
Agustus 1999. Pendirian ini cenderung mendasarkan dalilnya pada Pasal 1
angka (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Disebutkan; “tindak Pidana
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 31
Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi”. Sehingga, kemudian dipahami, KPK yang dibentuk untuk
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti yang dicantumkan
pada konsideran “menimbang huruf (a)” hanya terbatas pada pengertian tindak
pidana korupsi yang diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
83
Jika dianalisa lebih lanjut, ada dua catatan hukum yang dapat diajukan
terhadap pandangan diatas. Pertama, telah terjadi pencampur-adukan antara aturan
yang berada di wilayah hukum materiil dengan aturan yang berada di wilayah
hukum formil. Bagian yang mengatur tentang definisi Tindak Pidana Korupsi
(Pasal 1 angka (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK) dalam posisinya sebagai
ketentuan yang menunjuk ketentuan lain (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) merupakan aturan
hukum materiil. Kedua, dalil tersebut memahami Pasal 1 angka (1) UU KPK yang
merujuk pada UU Tipikor secara terpotong-potong, alias tidak komprehensif.
Padahal, merupakan konsep hukum yang diterima umum, sebuah Undang-Undang
harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh.
Perhatikan Pasal 43A ayat (1) UU 20/2001 jo UU 31 Tahun 1999 (UU
Tipikor).Bagian yang terletak di Bab VI A, ketentuan Peralihan ini menyebutkan,
” Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31 Tahun 1999
diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UU No. 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tipikor, sehingga, dapat dikatakan UU Tipikor juga
menganut definisi “Tindak Pidana Korupsi” yang mengacu pada UU No. 3 Tahun
1971. Artinya, Pasal 1 angka (1) UU KPK mengantarkan pengertian Tipikor
seperti yang diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20/2001 sekaligus UU No.
3 Tahun 1971.
Konsekuensi hukumnya, KPK mempunyai kewenangan penuh menangani
perkara yang berada pada yurisdiksi UU No. 3 Tahun 1971 sepanjang tidak
melewati masa daluarsa penuntutan.
84
Dengan kata lain, persoalan bukanlah pada apakah KPK berwenang atau
tidak berwenang menangani perkara sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999,
melainkan hanya soal kapan tindak pidana tersebut terjadi. Jika tindak pidana
terjadi sebelum UU 31/1999 diundangkan, maka dalam menangani perkara, KPK
menggunakan UU 3/1971 sebagai dasar hukum materiil penuntutan terhadap
terdakwa.
Dan, ketiga, KPK berwenang mengambil alih perkara sebelum UU KPK
dan UU Tipikor terbentuk, sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan
pidana. Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat (1), 68
UU KPK dan Pasal 1 No. UU 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum acara
Pidana/KUHAP). Pasal 8, 9, 68 UU KPK mengatur dua hal prinsipil, yaitu:
kewenangan supervisi KPK dan pengambilalihan “proses” penanganan perkara.
Berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor, kata “proses” mengacu pada frasa
“penyelidikan, penyidikan dan penuntutan”. Dan, definisi frasa tersebut dapat
dicari pada KUHAP, yang pada prinsipnya diartikan sebagai “serangkaian
tindakan”. Maka jelaslah kewenangan pengambil alihan KPK yang diatur pada
Pasal 68 UU KPK sesungguhnya adalah kewenangan untuk melakukan
serangkaian tindakan.
Artinya, sepanjang KPK melakukan tindakan (Penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan) berdasarkan UU KPK dan KUHAP, meskipun perkara terjadi
sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999, maka KPK tidak dapat dikatakan
melakukan sesuatu yang berlaku surut. Karena KPK hanya melakukan
“serangkaian tindakan” berdasarkan UU KPK yang telah ada sebelum
85
“serangkaian tindakan” KPK itu dilakukan. Dalam kasus BLBI yang terjadi
sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999, KPK tidak dapat dikatakan melakukan
sesuatu yang berlaku surut (retroaktif) jika KPK melakukan itu berdasarkan UU
KPK, kecuali jika KPK mendasarkan dakwaannya pada undang-undang (hukum
materiil) yang belum ada ketika perbuatan (tindak pidana BLBI) dilakukan.
Berdasarkan hal diatas, pembahasan pengambilalihan kasus BLBI oleh
KPK dapat merujuk kembali pada UU KPK. Pasal 9 UU KPK mengatur syarat
dapat dilakukannya pengambilalihan.
Dalam kasus BLBI, tertangkap-tangannya Ketua Tim Penyelidik berinisial
UTG dari Kejaksaan Agung Minggu sore (2 Maret 2008) menunjukan
terkandungnya unsur korupsi dalam penanganan BLBI. Dengan demikian unsur
Pasal 9 butir (d) UU KPK terpenuhi, “pengambilalihan dapat dilakukan jika dalam
penanganan kasus korupsi terdapat unsur korupsi”. Selain itu, penanganan BLBI
juga berlarut-larut dan tertunda-tunda tanpa dapat dipertanggungjawabkan seperti
disebutkan pada Pasal 9 butir (b). Dan, mengingat alasan yang diatur pada Pasal 9
bersifat alternatif yang ditunjukan dengan penggunaan kata “atau“, maka tidak
dibutuhkan pemenuhan semua unsur dari butir (a) sampai dengan (f) untuk
melakukan pengambilalihan kasus BLBI. Bahkan, terpenuhinya salah satu unsur
saja dari Pasal 9 telah dapat dijadikan dasar bagi KPK mengambil alih kasus
BLBI.
Dengan demikian berdasarkan analisis hukum terhadap tiga polarisasi
pendapat tentang pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK ini, dapat dilihat secara
gamblang, bahwa KPK sudah memenuhi standar yuridis untuk mengambilalih
86
kasus BLBI. Satu masalah yang harus dipikirkan dalam prosesnya adalah,
bagaimana KPK bisa bekerjasama dengan lembaga penegak hukum yang lain,
seperti Kejaksaan dan Kepolisian untuk saling melengkapi kekurangan lembaga
masing-masing, sehingga kasus ini dapat diselesaikan dengan penuh keadilan.
Sebagaimana diketahui, salah satu penyebab diambil alihnya kasus BLBI ini dari
tangan Kejaksaan adalah karena lembaga Kejaksaan dikatakan tidak mampu
menangani kasus BLBI yang ditandai dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri
Gunawan yang telah tertangkap tangan menerima uang success fee dari Artalyta
sebesar 1,6 milyar yang ditandai dengan adanya pengumuman Kejaksaan Agung
yang menyatakan menghentikan penyelidikan kasus BLBI pada tanggal 29
Februari 2008.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KPK dapat melakukan
pengambilalhan kewenangan dari Kepolisian dan Kejaksaan cukup dengan
terpenuhinya salah satu unsur saja dari Pasal 9 maka telah dapat dijadikan dasar
bagi KPK mengambil alih kasus Korupsi.
87
BAB IV
PERANAN KPK SEBAGAI LEMBAGA PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
10.1
Istilah Peranan
Istilah peranan dapat ditemukan dari bahan hukum tersier, seperti
kamus hukum, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan buku-buku pelajaran
yang bersifat non hukum.
Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” tersebut
mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan
makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat.
Lebih jelasnya kata “peran” atau “role” dalam kamus oxford dictionary
diartikan : Actor’s part; one’s task or function. Yang berarti aktor; tugas
seseorang atau fungsi.
Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka
seseorang yang diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan
menjalankan perannya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pekerjaan
tersebut. Karena itulah ada yang disebut dengan role expectation. Harapan
mengenai peran seseorang dalam posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari
si pemberi tugas dan harapan dari orang yang menerima manfaat dari
pekerjaan/posisi tersebut.
88
Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan
psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan
oleh kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial (misalnya ibu, manajer,
guru). Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma,
dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini
didasarkan pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak dengan cara yang
dapat diprediksikan, dan bahwa kelakuan seseorang bergantung pada
konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain. Teater adalah
metafora yang sering digunakan untuk mendeskripsikan teori peran.
Meski kata 'peran' sudah ada di berbagai bahasa Eropa selama
beberapa abad, sebagai suatu konsep sosiologis, istilah ini baru muncul sekitar
tahun 1920-an dan 1930-an. Istilah ini semakin menonjol dalam kajian
sosiologi melalui karya teoretis Mead, Moreno, dan Linton. Dua konsep
Mead, yaitu pikiran dan diri sendiri, adalah pendahulu teori peran.68
Dari beberapa pengertian dan penjelasan diatas istilah "peran" kerap
dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran" dikaitkan
dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu drama.
Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role dalam bahasa
Inggrisnya, memang diambil dari dramaturgy atau seni teater. Dalam seni
teater seorang actor diberi peran yang harus dimainkan sesuai dengan plotnya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya.
68
Hindin, Micelle J. ,2007, "role theory" in George Ritzer (ed.) The Blackwell
Encyclopedia of Sociology, Blackwell Publishing, p. 3959-3962
89
Dengan demkian peranan merupakan sebuah norma yang mengatur
tentang fungsi seseorang untuk melakukan suatu kewajibannya agar dapat
memenuhi harapan yang dapat dicapai secara optimal. Jika dikaitkan dengan
peranan sebuah lembaga Negara maka dapat diartikan bahwa peranan
merupakan sebuah norma yang mengatur sebuah lembaga Negara tertentu
untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga Negara agar dapat memenuhi
tujuan Negara dan mensejahterakan masyarakat.
4.2 Independensi KPK sebagai Lembaga Negara di Indonesia
KPK diklasifikasikan sebagai komisi Negara. Komisi Negara sering
disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di Amerika Serikat dikenal
dengan administrative agencies. Komisi Negara independen adalah organ
Negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada diluar
cabang kekuasaan eksekutif, legistalif maupun yudikatif; namun justru
mempunyai fungsi “campur sari” ketiganya. Dalam bahasa Funk dan Seamons
komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan “quasi legislative”,
“executive power” dan “quasy judicial”.69
Beberapa komisi Negara independen adalah juga organ konstitusi
(konstitusional organs), yang berarti eksistensi dan fungsinya diatur di dalam
konstitusi; sebutlah seperti yang ada di Afrika Selatan dan Thailand. Di Afrika
Selatan, Pasal 181 ayat 1 UUD-nya menyebutkan ada Human Right
Commission; Commission for the Promotion and Protection of the Right of
Cultural, Religious and Linguistic Communities; Commission for Gender
69
Rudini silaban, 2010, Keberadaan KPK Sebagai Lembaga Independen dan Komisi
Negara, www.Kompas.com, diakses tanggal 03 Juni 2010.
90
Aquality, dan Electoral Commission. Di Thailand, Pasal 5 konstitusinya
mengatur bahwa Negara wajib menyediakan anggaran bagi komisi Negara
independen seperti : Election Commission, Ombudsment, National Human
Right Commission, National Corruption Commission dan State Audit
Commission. 70
Namun, ini bukan berarti bahwa semua komisi Negara independen
pastilah diatur dalam konstitusi. Misalnya ada sekitar 15 negara di komisi
Negara independen di Amerika Serikat, antara lain : federal communicratin
commission, securities and exchange commission dan federal reserved board.
Komisi Negara independen berbeda dengan komisi Negara biasa (state
commission). Menurut Michael R. Ashimow, komisi negara biasa hanyalah
bagian dari eksekutif dan tidak mempunyai peran yang tidak terlalu penting.
Mengutip keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara
Humprey’s Executor Vs United States, Asimow berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan independen berkait erat dengan pemberhentian anggota
komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam
Undang-Undang
komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya
komisi Negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh Presiden ,
karena jelas tegas merupakan bagian dari eksekutif. Hampir serupa William F.
Fox Jr berargumen bahwa suatu komisi Negara adalah independen bila
dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam Undang-Undang komisi yang
bersangkutan. Atau, bila Presiden
70
Ibid.
dibatasi untuk tidak secara bebas
91
memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan komisi.
Selain masalah pemberhentian yang terbatas dari intervensi Presiden , Funk
dan Seamon menambahkan bahwa sifat independen juga tercermin dari: (1)
kepemimpinan yang kolektif, bukan suatu pimpinan, (2) kepemimpinan tidak
dikuasai/ mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan (3) masa jabatan
para pimpinan komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian
(staggered terms).
Berdasarkan ciri-ciri independen diatas berarti KPK termasuk komisi
independen. Misalnya, Presiden tidak punya hak diskresi untuk sewaktu-waktu
mengganti pimpinan KPK, kepemimpinannya, kolektif dilakukan oleh lima
komisioner.
Output dari reformasi telah membawa harapan baru dengan lahirnya
KPK. Lembaga KPK yang telah dibidangi melalui UU KPK secara fungsional
diharapkan dapat menjadi terhadap komitmen pemberantasan korupsi yang
selama ini merugikan Negara.
Namun dalam tataran pelaksanaan untuk mewujudkan komitmennya
ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Surat dengan keterbatasan
sebagai kedala sehingga harapan banyak pihak terhadap KPK dalam upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal dilaksanakan. Dalam
praktik, KPK menjalankan tugas dan wewenangnya tidak mampu menjangkau
semua lembaga Negara karena alasan normatif. KPK kesulitan melakukan
akses pemberantasan korupsi terhadap Lembaga Negara yang legitimasinya
merupakan ketentuan langsung amanat UUD NRI Tahun 1945. Sementara
92
keberadaan KPK secara kelembagaan lahir dari rahim Undang-Undang , bukan
UUD NRI Tahun 1945.
4.3 Peranan KPK dalam Memberantas Korupsi Pada Masa Kini dan Akan
Datang
Karakteristik korupsi di Indonesia teramat kompleks dan mengakar
sehingga diperlukan upaya pemberantasan korupsi secara sistematis, integratif,
dan fokus. Sesuai amanat Undang-Undang untuk mengatasi korupsi tersebut,
KPK mengambil peran sebagai pendorong pemberantasan korupsi dengan
melibatkan institusi penegak hukum lainnya serta lembaga pemerintah ditambah
lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi
dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi,
dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.71
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni
Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah
kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya
71
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 9
93
sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya
jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di
Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992
sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari
berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya
mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana
korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak
terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye
antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas
korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang
dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini
dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat
atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Sampai saat ini KPK dinilai berhasil melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai berhasil
mempertahankan reputasinya sebagai lembaga pemberantasan korupsi dan
94
penegakan hukum. Banyak kasus-kasus korupsi berskala besar, sedang dan kecil
yang digarap KPK.72
Hal itu disampaikan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), "Namun demikian, perlu dilakukan
upaya lebih sistematis, terencana, dan terukur dalam upaya KPK melakukan
tugas pencegahan korupsi".
Menurutnya, tugas pencegahan barangkali akan kurang mendapatkan
porsi pemberitaan media massa yang memadai. Pasalnya, tidak ada unsur
sensasional dan politisnya. "Karena tugas pencegahan sangat penting di masa
yang akan datang, maka harus lebih diprioritaskan lagi oleh pimpinan KPK,"
ujar Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP ini.73
Dia juga berharap tunggakan kasus-kasus korupsi besar yang ditangani
KPK segera diselesaikan. "Harus dituntaskan sebelum masa jabatan Pimpinan
KPK saat ini berakhir pada 2015 nanti," tegasnya.
Dia menambahkan, peranan KPK tetap dibutuhkan demi melakukan
upaya pencegahan dan pemberantasan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.
Namun, lanjutnya, perlu dilakukan berbagai upaya untuk lebih mengefektifkan
tugas-tugas KPK. Dengan demikian, KPK dapat menghapuskan atau minimal
menurunkan tingkat korupsi di Indonesia.
Sejak perubahan ketiga UUD 1945, Negara Republik Indonesia
meneguhkan statusnya sebagai Negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
72
Carlos KY Paath 2014, “KPK Dinilai Berhasil Pertahankan Reputasi”, available from :
URL : http://www.beritasatu.com/nasional/236696-kpk-dinilai-berhasil-pertahankan-reputasi.html,
diakses tanggal 29 Desember 2014.
73
Ibid.
95
dengan tegas menyebutkan Negara Indonesia adalah Negara hukum. oleh karena
segala tata laku , dan tata kelola Negara dan pemerintahan didasarkan atas 12
prinsip-prinsip Negara hukum, diantaranya supremasi hukum dan legalitas.74
Ini berlaku tak terkecuali kepada KPK, keberadaan KPK dilandasi oleh
legalitas melalui UU KPK, dan KPK tidak impun (bebas dari hukum) terhadap
Peraturan Perundang-undangan lainnya. KPK juga terkait dengan prinsip
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip pembagian kekuasaan
yang keduanya juga merupakan bagian dari prinsip Negara hukum.
Pasal 3 UU KPK memang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya lembaga ini bersifat independen dan bebas dari
kekuasaan manapun. Namun pengaturan ini harus ditafsirkan dalam suasana
atau cita Negara hukum, yang berarti sifat independen dan bebas dari kekuasaan
manapun yang dimaksud tidak bersifat mutlak, tetapi sesuai dengan koridor
hukum.
Fungsi KPK sebagai lembaga Negara yang khusus bertugas mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi, serta pimpinan KPK sendiri termasuk
pejabat Negara, secara kelembagaan memegang peran multifungsi seperti :
1.
KPK dapat melakukan jaringan kerja (networking) dengan aparat penegak
hukum ;
2.
KPK sebagai counterpartner sesame atau antar penegak hukum;
3.
KPK sebagai trigger mechanism (pemicu dan pemberdaya yang telah ada);
74
Jimly Ass hiddiqie, 2004, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Simbur Cahaya
No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614.
96
4.
KPK sebagai superbody dalam pemberantasan tindak pidana korupsi;
5.
KPK sebagai lembaga Negara.
Dari peran yang tampak seperti superiror tersebut bukan berarti KPK
dapat memonopoli dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia,
karena walaupun KPK diakui sebagai lembaga Negara, bukan berarti lembaga
ini sebagai aparat penegak hukum (seperti polisi, jaksa dan hakim) yang
memiliki wewenang yang tetap lebih luas selaku aparat penegak hukum yang
masuk dalam lingkup lingkaran sitem peradilan.
Benar bahwa ketiga kewenangan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan, serta pelbagai upaya paksa diberikan kepada KPK. Namun
pemberian dilakukan due process of law; terikat pada aturan hukum baik itu UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun UU tindak pidana
korupsi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38 dan 39 UU KPK.
Begitupun dengan kewenangan supervisi dan pengambilalihan kasus
yang ditangani kepolisian atau kejaksaan oleh KPK. Ini harus dilakukan sesuai
dengan koridor yang ditentukan dalam UU, dalam hal ini Pasal 9 UU KPK
pengambilalihan hanya dapat dilakukan jika memenuhi alasan yang ditentukan
sebagai berikut :
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditunjukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau
97
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Jika tidak dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut, pejabat KPK
berpotensi dikenakan pidana penyalahgunaan kewenangan.
Selain sebagai lembaga yang bersifat independen, KPK juga memiliki
kewenangan yang lebih besar jika dibandingkan dengan lembaga penegakan
hukum lainnya, dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Istilah yang
lebih tepat untuk KPK adalah extraordinary body (lembaga luar biasa), karena
besarnya kewenangan yang dimiliki oleh KPK memang lebih dari kewenangan
yang dimiliki oleh institusi penegakan hukum lainnya, tentu dengan catatan
terbatas di bidang pemberantasan korupsi saja.
Keberadaan KPK sebagai lembaga extraordinary (luar biasa) bukan tanpa
sebab. Dia dilahirkan tidak nihil konteks. Setidaknya ada dua alasan yang bisa
dilihat dari konsideran maupun penjelasan UU KPK. Pertama, bahwa korupsi
dianggap sebagai exstraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang merugikan
Negara, perekonomian Negara, dan menghambat pembangunan nasional
sehingga dibutuhkan pendekatan extraordinary (luar biasa) pula dalam
membasminya.
Kedua, bahwa KPK didirikan karena lembaga konvensional yang
menangani pemberantasan korupsi belum berfungsi secara efektif dan efesien,
ini tidak hanya merujuk pada kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga lembagalembaga pemberantasan korupsi lainnya yang pernah didirikan sebelum KPK
98
berdiri seperti Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Tim
Gabungan pemberantasan Tindak Pidana korupsi dan lain-lain.
Berpijak pada dua alasan inilah KPK diberi kewenangan extraordinary
demi menjadikan pemberantasan korupsi lebih efektif dan efesien. Terbukti
sejak pendiriannya di tahun 2003 hingga kini, KPK menunjukkan performa
yang lebih baik dalam memberantas korupsi. Ini dapat terlihat pada peningkatan
signifikan indeks prestasi korupsi Indonesia.
Berdasarkan hasil catatan Transparacy Internasional Indonesia (TII)
Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia pada 2009 dan 2010 mendapat skor
2,8; pada 2011 dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan skor 3,2; serta
pada 2014 IPK-nya meningkat menjadi 3,4.75
"IPK tersebut terus mengalami peningkatan sejak 2009. Indonesia masih
dipandang sebagai negara yang rawan korupsi dibandingkan negara tetangga,
seperti Singapura, Brunei Darusalam, Malaysia, Thailand, dan Myanmar," ujar
Widyo dalam diskusi publik bertema 'Bersama Melawan Korupsi' di Gedung
Joeang, Menteng, Jakarta, Sabtu (18/4/2015).
Kemudian dari sejumlah perkara korupsi yang ditangani petugas
penegak hukum tersebut, pejabat daerah sebagai pelaku tindak pidana korupsi
sejak 2005 sampai dengan Agustus 2014 dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Kepala Daerah sebanyak 331 orang yang melakukan korupsi;
2. Anggota DPRD sebanyak 3.169 orang yang melakukan korupsi; dan
75
Gunawan Wibisono , 2015,” Setiap Tahun Indeks Korupsi Indonesia Meningkat
”, http://news.okezone.com/read/2015/04/18/337/1136257/setiap-tahun-indeks-korupsi-indonesiameningkat, diakses tanggal 18 April 2015
99
3. Pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 1.211 orang yang melakukan korupsi.76
Indonesia juga berada di urutan ke-111 dari 180 negara, berada dalam
kelompok sama dengan Aljazair, Djibouti, Mesir, Mali, Kepulauan Solomon,
dan Togo.77
Publik juga melihat bagaimana KPK berkiprah membasmi korupsi yang
dilakukan oleh kepala-kepala Daerah, Bekas Menteri, Menteri, Duta Besar,
Mantan Polisi, bahkan besan Presiden sekalipun.
Gaung keberhasilan KPK semakin terdengar ketika banyak kasus korupsi
yang berhasil dilaporkan ke KPK. Selama tahun 2006 KPK telah menerima 774
Surat pemberitahuan Dimulainya penyelidikan (SPDP) perkara tindak pidana
korupsi dari kejaksaan dan kepolisian. Penanganan kasus atau perkaratindak
pidana korupsi selama tahun 2006, mulai dari tahap penyelidikan dan
penyidikan hingga penuntutan adalah sebagai berikut : penyelidikan ada 36
kasus, penyidikan ada 18 kasus, penuntutan pada pengadilan Tipikor ada 10
kasus dan beberapa perkara korupsi yang sudah mendapatkan putusan hukum
tetap (inkracht van Gewijsde) salah yang menarik publik salah satunya adalah
perkara yang berhubungan dengan perkara keterlihatan dalam tindak pidana
korupsi terdakwa mantan Gubernur NAD dan perkara dugaan korupsi yang
menyeret ketua KPU Nazarudin Samsudin.
76
Ibid.
Jimbon, 2009, “Indeks Korupsi Indonesia Rawan”, available from : URL:
http://nasional.kompas.com/read/2009/11/18/05303146/Indeks.Korupsi.Indonesia.Rawan , diakses
tanggal 18 November 2009 .
77
100
Kiprah KPK dalam pemberantasan korupsi semakin terlihat di tahun 2008
dengan keberhasilannya menyeret beberapa penguasa dan penjahat Negara yang
terlibat korupsi. Dan publik dikejutkan dengan skandal BLBI yang menyeret
nama-nama penjahat Negara, kemudian kasus terbaru penyalahgunaan hak alih
fungsi hutan yang menyeret beberapa nama, dan yang tak kalah menarik adalah
mulai terkuaknya korupsi dikalangan elit DPR. Media mulai ramai
menayangkan berbagai fakta dan hasil investigasi kepada khalayak atas
beberapa kasus korupsi yang menjalar dalam lini birokrasi. Keberhasilan KPK
dalam menguak berbagai kasus korupsi ini membuat eksistensi KPK semakin
diakui oleh masyarakat.
Melekatnya KPK di hati publik, tidak heran jika pasca pembebasan BibitChandra muncul opini yang mengidikasikan akan adanya pelemahan KPK.
Banyak kalangan meyakini bahwa eksistensi KPK akan selalu diotak atik oleh
mereka yang memiliki kepentingan egoisentrisme individualistic.
Bahkan, upaya pelemahan terhadap institusi ini sudah lama tercium.
Misalnya pengajuan uji material (judicial review) terhadap sejumlah UndangUndang
dalam ranah pemberantasan korupsi, termasuk Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Tahun 2006, baik pendaftaran maupun penyelesaian, perkara pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terus mengalami peningkatan sebesar 56%
dibandingkan pada tahun 2005, sementara penyelesaian perkara, jumlah sisa
perkara pada akhir tahun 2006 juga tiga perkara lebih banyak dibandingkan di
101
awal tahun. Peningkatan yang terjadi dalam perkara pendaftaran perkara
merupakan cerminan dari meningkatnya kegiatan KPK dan penghargaan atas
integritas dan kerja keras dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini juga
mendukung dan memberikan arti bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam
upaya yang dilakukan oleh negara tercinta untuk memberantas korupsi di tingkat
pemerintahan.
Pada titik ini sampai pada kesimpulan awal bahwa meski di satu sisi bisa
dipandang sebagai lembaga yang eksistensinya selalu diotak-atik, tetapi di sisi
lain, KPK ternyata “kurang” berani melakukan gerakan taktis dalam penuntasan
kasus korupsi.
Bagaimanapun, kondisi pemberantasan korupsi di negeri ini masih jauh
dari berhasil. Terus-menerus mencatat perbuatan korup di pelbagai instansi
pemerintahan. Itulah sebabnya mengapa persepsi internasional tentang indeks
korupsi Indonesia masih sangat buruk. Seharusnya, ukuran ini menjadi
peringatan tentang beban yuridis yang masih harus dipikul KPK.
KPK harus merujuk pada istilah Frans H. Winarta (2009) dalam Koruptor
Melakukan perlawanan bahwa pemberantasan korupsi telah menjadi gerakan
global dan universal di seluruh dunia. Dunia pun menjadi desa kecil (small
village), terlebih setelah revolusi informasi. Kabar dari tempat terisolasi pun
dapat disebarluaskan ke seluruh dunia, termasuk kabar pemberantasan korupsi.78
78
Fathorrahman Hasbul.” Sinyal melemahnya KPK”. Harian Umum Duta Masyarakat. 7
januari 2010.
102
Di sinilah pentingnya menanamakan kembali etos pengabdian KPK
melalui pemberantasan korupsi demi perbaikan negara Indonesia. Sebagai
lembaga yang telah mendapatkan posisi terhormat di hati masyarakat, KPK
harus selalu memberikan kepercayaan dan integrasi solid dalam rangka
meringkus para maling negara yang tidak bertanggung jawab. Di sini,
menajamkan kesabaran dan meletakan etos memberantasan korupsi secara
holistik merupakan syarat mutlak.12
Sebagai negara yang mengakui adanya persamaan kedudukan di dalam
hukum dan pemerintahan serta persamaan hak antar warganegara untuk
mewujudkan keadilan sosial secara merata, eksistensi KPK di dalam
kelembagaan hukum merupakan sarana pendukung yang harusnya bisa
memperkokoh kedudukan hukum sebagai status tertinggi serta menegaskan
kewibawaan lembaga hukum dalam melaksanakan amanat konstitusi demi
terwujudnya law enforcement di Indonesia.
Selain itu, pelaksanaan penanganan pemberantasan korupsi harus lebih
ditingkatkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu
UU No. 30 Tahun 2002 tanpa tebang pilih. Artinya, dalam memberantas korupsi
penanganan yang dilakukan tidak memilih perkara maupun pihak yang
melakukan korupsi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejak dibentuknya KPK dari
awal periode sampai sekarang, lembaga tersebut sudah membuktikan
keberhasilan
yang
signifikan
dalam
memberantas
korupsi
maupun
103
meminimalisir tindak pidana korupsi di tanah air. Dengan keberhasilan yang
dihasilkan oleh KPK dalam menjalankan fungsinya , maka alangkah baiknya
jika lembaga tersebut dipertahankan untuk masa yang akan
datang guna
menstabilkan perekonomian Negara dan dapat memberikan kepuasan bagi
masyarakat luas agar tidak ada lagi kasus korupsi yang bermunculan.
Dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa
Undang-Undang sebagai Peraturan Perundang-undangan yang kedudukannya
di bawah UUD. Ketentuan demikian dapat dipahami dalam Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 7 yang menyebutkan bahwa:
Jenis hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden ;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan ketentuan diatas dengan mengacu pada asas Lex Posteriori
Derogal Lex Inferiori, dapat dimengerti bahwa KPK yang lahir dari UndangUndang akan mengalami berbagai kendala dalam rangka memberantas korupsi
terhadap lembaga Negara yang lahir dari UUD. Persoalannya tidak lebih
menyangkut dalih kesetaraan kelembagaan.
Keberadaan KPK sebagai Lembaga Negara yang tidak diatur dalam
UUD berpengaruh dalam menjalankan fungsi yang dimiliki. Peran KPK dalam
merealisasikan tugas, kewajiban dan kewenangan yang dimiliki dalam
104
memberantas tindak pidana korupsi masih sagat terbatas. Hal ini dikarenakan
sempitnya ruang gerak KPK di dalam Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan
UU
KPK,dalam
melakukan
kegiatannya
KPK
mendapatkan pengawasan dari Presiden , Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan
Pemeriksa Keuangan. Hal ini membuktikan bahwa peran KPK masih dibatasi
oleh ketiga lembaga tersebut. Dilain pihak kenyataan demikian akan
menimbulkan suatu masalah apabila yang menjadi sasaran dari pemberantasan
tindak pidana korupsi oleh KPK adalah salah satu dari lembaga tersebut.
Karena itulah, demi mendukung optimalisasi kinerja dan produktivitas KPK
maka tidak saja dibutuhkan pembenahan secara internal dalam tubuh KPK
namun juga perluasan ruang gerak KPK dalam Peraturan Perundang-undangan.
Perluasan ruang gerak KPK yang diatur dalam Perturan PerundangUndangan hendaknya tidak hanya pada aturan setingkat Undang-Undang saja.
Namun secara normatif lebih tepat jika diletakkan pada agenda amandemen
UUD. Hal ini untuk menjaga agar KPK mampu menjadi sebuah lembaga
dibidang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berkompeten dan
independen serta memiliki otoritas untuk mengakses suatu lembaga. Perluasan
ruang gerak KPK ke dalam UUD sangat memungkinkan. Mengacu pada asas
hukum “Lex Posterori Derogate Lex Inferiori” yaitu peraturan yang lebih
tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Sehingga pada jangka
panjang, diharapakan nantinya menjadi sebuah lembaga Negara yang mampu
105
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi pada segala aspeknya. Tidak
hanya hilirnya saja yang tersentuh, tetapi juga hulu.79
KPK dibentuk sebagai upaya dan konsekuensi pemerintah terhadap
maraknya korupsi di Indonesia, sehingga dianggap perlu adanya suatu lembaga
Negara baru yang berwenang dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
yaitu dengan lahirnya UU KPK. Namun demikian , KPK dalam upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia terkendala terhadap kedudukan KPK yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang , terlebih jika KPK menangani perkara
korupsi yang terjadi di dalam lembaga yang di atur dalam UUD.
Dengan pendekatan asas Lex Posterori Derogate Lex Inferiori,
sehingga tidak mudah bagi lembaga inferior mampu secara keseluruhan
mengawasi lembaga superior. Maksudnya KPK dalam menangani perkara
tersebut tidak akan mungkin secara maksimal untuk bisa menuntaskan
permasalahan korupsi di Indonesia jika hanya di atur dalam Undang-Undang .
Dalam realitas, bahwa yang dikatakan sebagai proses pemberantasan
korupsi tidak lain merupakan fenomena yang kental bernuansa politik yang
diskriminatif atau tebang pilih pelaku korupsi. 80 Contohnya jika ada dua sosok
yang sama-sama patut di diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana
korupsi, tetapi dalam realitasnya, salah satunya yang dekat dengan kekuasaan
tidak di proses. Sebaliknya sosok lain yang di tenggarai merupakan bagian dari
kelompok yang memiliki pandangan politik yang berbeda dari kekuasaan itulah
79
Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada Revormasi Ketatanegaraan.
Kompas, Jakarta, h.29.
80
Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan
Bidang Hukum, kencana, Jakarta, h. 198-199.
106
yang dijadikan sasaran penindakan. Namun semua itu akan berhenti tanpa
berkepastian jika pelaku merupakan oknum dalam lembaga Negara yang secara
konstitusional diatur langsung oleh UUD.
Namun ada fenomena baru di era reformasi ini, yaitu tindakan yang
lebih sadis dibandingkan tindakan yang hanya sekedar tebang pilih, yaitu
cruelty by order atau tebang pesanan. Sosok yang tidak bersalah, tetapi hanya
karena pesanan atau order dari petinggi hukum, akibat kebencian pribadi
terhadap sosok yang tidak bersalah, kemudian dicarikan, direkayasa, dan
dipaksakan untuk menjadi tersangka atau didakwa bersalah. Jadi ketika KPK
tidak mempunyai kesetaraan dengan lembaga Negara yang diawasi dalam
rangka pemberantasan korupsi, maka yang dikhawatirkan adalah hukum
dijadikan (lage abitur, instrumento criminis).
81
Maksudnya UU KPK hanya
sebagai suatu simbol terhadap pemberantasan korupsi, akan tetapi tidak ada
jiwa untuk memberantas tindak pidana korupsi terhadap penegak hukum.
Sehingga korupsi tumbuh semakin subur tanpa adanya penindakan yang
terpadu dan tekad kuat terhadap para pembuat Undang-Undang
dan para
penegak hukumnya. Tidak berlebihan jika dikatakan keberadaan KPK sama
dengan ketidakberadaannya karena energy dan motivasi untuk memberantas
korupsi merupakan cermin inisiatif pihak lain yang diwarnai kepentingan
politik. KPK menjadi tidak substantive dan disorientasi. Disinilah letak
pentingnya melakukan reposisi hierarki KPK agar setara dengan lembaga
81
Ibid, h. 199.
107
Negara lainnya secara konstitusional yang juga diatur langsung oleh UUD
1945.
Sehingga dasar kedudukan dan dasar pembentukan KPK perlu
ditingkatkan ke dalam UUD. Hal ini mengingat amandemen ke-lima UUD 1945
terhadap upaya mengangkat kesetaraan DPR dan DPD, Calon Presiden
independen, dan hak asasi manusia mulai diwacanakan. Sehingga cukup
strategis gagasan untuk memposisikan KPK sebagai organ UUD 1945 menjadi
agenda yang serius untuk ditindaklanjuti sebagai komitmen reformasi.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pernanan KPK untuk masa
kini sangatlah penting dan dibutuhkan oleh masyarakat yang disebabkan oleh
maraknya tindakan Korupsi dikalangan pejabat Negara. Begitupun dengan masa
yang akan datang, tentunya Negara masih membutuhkan KPK sebagai wadah
dalam memeberantas korupsi di Negara kita. Bagaimana tidak, jika sekarang
saja pejabat masih sangat banyak diberitakan melakukan korupsi bagaimana
tidak mungkin jika KPK memiliki peran sentral dalam memberantas korupsi.
Terlebih lagi kinerja KPK sampai saat ini sudah sangat baik dalam melalakukan
kewengangannya sebagai lembaga Negara.
Namun adapun kendala-kendala yang masih menjadi kendala dalam
melakukan kewenangannya sebagai sebuah Lembaga, salah satunya terdapat isu
yang dapat dilihat di media masssa yang menyatakan bahwa kewenangan KPK
akan dikurangi oleh DPR untuk menjadikan KPK sebagai lembaga Pencegah
tindak pidana korupsi dan mengembalikan system peradilan pidana pada tatanan
konvensinal yang semula yakni Kepolisian dan kejaksaan.
108
Adapun peranan KPK untuk masa yang akan datang dapat ditinjau dari
beberapa faktor dalam memberantas korupsi di Indonesia dan melihat efektifitas
dari Undang-Undang yang mengatur tentang KPK.
Urgensi keberadaan KPK menjadi lebih penting jika dilihat dari segi
sosiologis pemberantasan korupsi. KPK dibutuhkan sebagai trigger mechanism
untuk mendorong lembaga-lembaga penegakan hukum yang selama ini belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Jadi, membaca UU KPK harus diletakkan dalam konteks upaya luar
biasa memberantas korupsi bukan hanya melihat bunyi teks pasal per pasal UU
tersebut. UU KPK harus dibaca secara utuh sebagai suatu kesatuan semangat
pemberantasan korupsi.
Tentang KPK sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di
tanah air merupakan lembaga lembaga yang bukan berada di luar system
ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945 Pasal 24
ayat (3). Selain itu juga bahwa kedudukan organ lapis kedua dapat disebut
lembaga Negara saja, ada yang mendapat kewenangan dari UUD 1945,
misalnya adalah Komisi Yudisial, Tentara Negara Indonesia (TNI), dan
kepolisian; sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya dari UndangUndang
, misalnya Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, KPK,dan
sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga Negara tersebut meskipun
kedudukannya tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat karena keberadaannya
disebutkan secara implisit dalam Undang-Undang , sehingga tidak dapat
109
ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk UndangUndang.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diharapkan upaya untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dapat lebih efektif, karena
tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara dan menghambat pembangunan nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat memberikan perlindungan
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.82
Selain aspek sosiologis, secara yuridis eksistensi KPK adalah dalam
rangka menjalankan amanat UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, menyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
yang
independen
dengan
tugas
dan
wewenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dibuat juga atas dasar Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakayat di Indonesia Nomor XI/MPR/1998/ untuk
82
Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,
Jakarta,h. 29.
110
menggantikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 untuk menjamin
kepastian hukum dan menghindari keragaman penafsiran hukum. 83
Adapun unsur filosofis pembentukan lembaga KPK ini yakni dilihat dari
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dibuat dalam rangka untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dibuat dalam rangka untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.84
Namun dalam menjalankan perannya untuk masa yang akan datang,
terdapat beberapa kewenangan KPK yang sifatnya masih memiliki kekurangan
yang membatasi ruang gerak
KPK itu sendiri, sehingga perlu adanya
penambahan ataupun perombakan kewenagan dalam UU KPK itu sendiri guna
mempermudah KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Anggota Komisi III Martin Hutabarat mengatakan, beberapa tahun
terakhir KPK mulai menunjukkan taringnya dengan mengungkap sejumlah
kasus besar. Malahan, kasus yang melibatkan banyak sejumlah pejabat negara
dan anggota dewan. Namun, sebagai lembaga, KPK di mata Martin masih
belum optimal.85
Adanya rencana DPR melakukan revisi UU KPK memang ditentang
masyarakat. Ganjar berpendapat, usulan revisi yang diajukan DPR mengacu
83
Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,
Jakarta,h. 28.
84
Ibid.
85
RFQ , 2014, “Inilah Alasan Mengapa Kewenangan KPK Harus Diperkuat”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5405a3693b037/inilah-alasan-kewenangan-mengapakpk-harus-diperkuat, diakses tanggal 02 September 2014 .
111
pada dua hal. Pertama penyadapan, dan kedua kewenangan penuntutan,
khususnya dalam bidang TPPU. Sejatinya KPK memang berhak melakukan
penyidikan terhadap TPPU. Meskipun UU TPPU tidak menyebut secara
gamblang, tetapi dalam praktiknya KPK telah melakukan penyidikan dalam
kasus TPPU.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki KPK tak boleh dilepaskan.
Sebaliknya, legislatif jikalau menginginkan merevisi UU KPK, justru
kewenangan penyidikan mesti diperkuat. Menurutnya metode penyadapan
menjadi alat bantu dalam rangka KPK membuktikan tindak pidana korupsi
terhadap koruptor. “Jadi KPK ini harus diperkuat. Sampai sekarang saya yakin
KPK bergerak tidak atas dasar kepentingan politik. Tapi sangat mungkin atas
tekanan politik”.86
Salah satu calon pimpinan KPK Bambang Widjojanto angkat bicara.
Menurut dia, wacana pemberian kewenangan SP3 perlu mendapat perhatian
khusus dan kajian mendalam. Sebab, ketiadaan kewenangan SP3 di KPK seperti
saat ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Positifnya, lanjut Bambang, KPK dituntut untuk sangat berhati-hati
dalam menetapkan seorang tersangka. Harus ada bukti kuat yang mendasarinya.
"Tidak bisa lagi bermain-main untuk segera menyatakan seseorang itu sebagai
tersangka."
86
Ibid.
112
Sedangkan kelemahannya jika terjadi kesalahan manusia (human error)
di tubuh penegak hukum dalam menangani suatu perkara, berimplikasi buruk
bagi lembaga itu sendiri. Karena ia yakin, aparat hukum yang juga manusia tak
lepas dari kesalahan. Menurutnya, jika human error terjadi, audit kinerja di
suatu lembaga sangat diperlukan.87
Mudzakir dan Tama sependapat dengan Bambang. Kewenangan
penyidikan sekaligus penuntutan yang dipunyai KPK dianggap sudah pas. “Dari
sejak pertama kali dibentuk, gagasannya KPK adalah untuk menangani korupsi
sebagai kejahatan luar biasa, sehingga harus ada cara yang luar biasa juga,”.
Kalau proses penyidikan dan penuntutannya dipisah dan dikembalikan
kepada kepolisian atau kejaksaaan, jadinya akan kurang bagus. Selama ini
mungkin KPK kurang produktif karena menjadi kompetitor polisi atau jaksa
padahal KPK seharusnya menjadi koordinator dan supervisor dalam
pemberantasan korupsi”.88
Seperti diketahui, Pemerintah berencana untuk merevisi UU Tipikor.
Organisasi Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan pelemahan dalam
revisi tersebut, salah satunya pelaku kasus korupsi dibawah Rp25 juta
dilepaskan dalam jerat hukum.
Dalam pandangan Busryo, revisi pasal tersebut mencerminkan
perumusan revisi UU Tipikor tidak mempunyai visi pendidikan dan visi
87
Fathan Qorib/Kartini L Makmur, 2011, , “Plus-Minus KPK Tak Punya Kewenangan
SP3”, “URL: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ea6b2fddb4e9/plusminus-kpk-takpunya-kewenangan-sp3”, diakses tanggal 25 Oktober 2011.
88
Ibid.
113
pemberantasan korupsi secara utuh. Pasalnya, revisi itu membiarkan korupsi
dibawah Rp25 juta bukan sebagai tindakan korupsi.89
Bagi KPK, UU Tipikor yang ada sekarang sudah bagus dan tidak perlu
diubah. Namun jika ingin diubah, Busyro mengusulkan agar UU Tipikor
menambah ketentuan mengenai sanksi gratifikasi yang lebih tegas, perampasan
harta koruptor, dan hukuman badan bagi koruptor.
"Ketika hukuman kurungan dinilai tidak efektif, LP sudah dinilai tidak
memiliki fungsi semestinya maka Hukuman badan perlu dipertimbangkan," .
Salah satu bentuk hukuman badan misalnya dengan menyapu jalan
menggunakan baju khusus bertuliskan "Saya Koruptor". Hukuman ini
diharapkan bisa menimbulkan efek psikologis yang besar. "Karena sekarang ini
ada kecenderungan korupsi itu bangga, keluar penjara bangga, ini fenomena
menarik untuk Indonesia sehingga hukuman badan patut dipertimbangkan,"
jelasnya.90
Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, program legislasi
nasional juga semestinya mempertimbangkan skala prioritas dalam hal revisi
undang-undang. Bila dicermati, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi
sebagai hukum materil yang menjadi acuan pokok dalam pemberantasan
89
Syahid Latif, Iwan Kurniawan, 2011, KPK: Pasal UU Tipikor Harusnya Ditambah,
“URL:
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/215137-kpk--pasal-uu-tipikor-harusnyaditambah”, diakses tanggal: 16 April 2011.
90
Ibid.
114
korupsi, masih mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut sangat
berdampak pada efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Kelemahankelemahan undang-undang Tipikor sebagaimana disebutkan dalam sebuah
Naskah Akademis yang disusun oleh Koalisi Pemantau Peradilan antara lain:
adanya tumpang tindih pengaturan, adanya beberapa modus korupsi yang belum
diatur dalam UU Tipikor, dan belum diaturnya daluarsa tindak pidana korupsi.
Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian mendasari dibuatnya
sebuah Naskah Akademis Undang-Undang Tipikor oleh Koalisi Pemantau
Peradilan yang dikatakan sebagai sebuah usul inisiatif masyarakat untuk
mengawal perubahan UU Tipikor. Hal-hal mendasar yang diatur dalam
rancangan UU tersebut antara lain: 91
1)
Pemberian sanksi pidana terhadap pejabat publik yang tidak melaporkan
harta kekayaannya.
2)
Kriminalisasi illicit enrichment. Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa
"Pejabat Publik yang memiliki peningkatan kekayaan yang tidak seimbang
dengan pendapatannya secara sah dipidana penjara paling singkat 2 th....
dst."
3)
Dipertegas
pengaturan
mengenai
pembalikan
beban
pembuktian
(pembuktian terbalik) dalam hal adanya dugaan suap dan illicit
enrichment.
91
Hasanuddin M M Talib, 2012, “UU Tipikor Yang Mesti Direvisi, UU KPK Belum
Perlu”, URL: http://www.kompasiana.com/hasanmtalib/uu-tipikor-yang-mesti-direvisi-uu-kpkbelum-perlu_551806d3a333113107b663d6, diakses tanggal 26 September 2012.
115
Ketiga hal tersebut di atas yakni pelaporan harta kekayaan pejabat
publik, illicit enrichment, dan sistem pembuktian terbalik adalah "tiga
serangkai" yang tidak bisa dipisahkan untuk mengefektifkan pemberantasan
korupsi. Ketiganya lebih penting dan lebih perlu mendapat prioritas untuk
dijadikan materi muatan dalam suatu undang-undang. Jauh lebih penting dari
pada mempersoalkan revisi dari undang-undang KPK. Revisi Undang-Undang
KPK bisa berubah manjadi bola liar yang berujung pada pelemahan KPK
sedangkan revisi UU Tipikor dengan menambahkan pelaporan harta kekayaan,
illicit enrichment, dan pembuktian terbalik jelas akan berdampak positif pada
kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.92
Selain itu dalam hal kewenangan yang dimiliki KPK perlu dipertegas
lagi mengenai kewenangan supervisi dengan lembaga Negara lainnya yang telah
ada dalam UU KPK. Hal ini membantu KPK dalam melakukan kerjasama
dalam menangani kasus korupsi dilingkungan lembaga Negara yang ada.
Apabila melihat ketentuan kewenangan KPK dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002, maka dapat disimpulkan kelebihan kewenangan KPK
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kewenangan yang sangat luas dan terlihat lebih tinggi dan terlihat lebih
tinggi dibandingkan dengan Lembaga Negara lainnya yang dibentuk
berdasarkan konstitusi, seperti mengawasi Lembaga Tinggi Negara;
92
Ibid.
116
2.
Kewenangan yang luar biasa seperti melakukan supervisi terhadap pejabat
ataupun lembaga Negara tertentu. Seperti melakukan pemblokiran rekening,
pembatalan transaksi keuangan, pemeriksaan rekening bank ataupun harta
kekayaan pejabat.
Sedangkan kekurangan KPK tersebut adalah dasar pembentukan KPK
yang masih berdasarkan UU saja mengakibatkan ancaman terhadap kewenangan
dan pembentukan KPK dapat dialihfungsikan, seperti pengurangan kewenangan
KPK dalam hal memberantas korupsi ataupun pembubaran KPK.
Jadi berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
keberadaan maupun peran KPK dimasa yang akan datang masih sangat
diperlukan oleh Negara dan masyrakat untuk memberantas korupsi. Hat tersebut
dapat dilihat dari unsur yuridis yang fungsinya untuk menjamin kepastian
hukum; unsur sosiologis yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi agar lebih efektif ; dan unsur filosofis yang memberi
perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat agar tercipta rasa
adil dalam masyarakat.
117
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tentang korupsi tersebut, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Bahwa KPK dapat mengambil alih kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan
dalam hal penyidikan dan penyelidikan, baik itu sebelum UU KPK dan
UU Tipikor terbentuk sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan
. Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat (1), 68
UU KPK dan Pasal 1 No. UU 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang
Hukum acara Pidana/KUHAP).
2. Peranan KPK sebagai lembaga Negara adalah untuk mendorong lembagalembaga penegakan hukum yang selama ini belum berfungsi secara
efektif, dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi dan
mewujudkan amanat UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
yang menyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang berfungsi secara efektif dan
efesien.
Jika dilihat dari perspektif norma yang mengatur tentang KPK ,
maka peran Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
118
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dengan melalui upaya
koordinasi dan supervisi dalam melakukan menjalankan fungsi sebagai
lembaga penegak hukum dapat mempererat keharmonisan antar lembaga
dan menghasilkan penanganan yang lebih baik.
5.2 SARAN
Adapun saran-saran yang dapat diajukan adalah:
1. Perlunya peningkatan dalam hal mengharmonisasikan hubungan antara
Kepolisian dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi dengan cara
mengoptimalkan fungsi supervisi yang sudah ada dalam kewenangan KPK
agar terhindarnya masalah atau konflik antar lembaga Negara terse
2. Keberadaan KPK sebagai Lembaga Negara yang bersifat independen tetap
harus dipertahankan, sementara reformasi penegak hukum dapat
ditingkatkan.
119
Download