KEANEKARAGAMAN SPESIES DAN KUNCI IDENTIFIKASI KUTUKEBUL (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT LIA NURULALIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2012 Lia Nurulalia NIM A351100051 ii iii ABSTRACT LIA NURULALIA. Diversity and Identification Key of Whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae) Species on Agricultural Crops in West Java. Under supervision of PURNAMA HIDAYAT and DAMAYANTI BUCHORI. Whiteflies are one of the most important insect group of pests in agricultural crops which can cause direct and indirect damages to plants, i.e. disturb photosynthesis and plant aesthetics, and transmit plant viruses. Whiteflies have been reported in Indonesia since 1900’s. There are 37 whiteflies species that have been recorded in Indonesia, but it is believed that many more are unidentified. The aims of this research was to identify the whiteflies species in agricultural crops and study their diversity at different altitudes. Whiteflies were collected at five areas in West Java: Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, and Garut. The identification of whiteflies were using fourth instar nymph or known as pupa. Slide preparation followed Watson’s protocol that has been modified. Morphological characters for such species were recorded for identification. Identification key was constructed in the dichotomous and digital forms using Lucid Phoenix Key program. Diversity of whiteflies was analysed using Shannons’s (H’), Simpson’s (D) and Sorenson’s (C) diversity index. Whitefly natural enemies that were found in the field or parasitized whiteflies were identified. There were 38 whiteflies species found and 10 were still unidentified. About 89.5% whiteflies found were the member of subfamily Aleyrodinae. Whiteflies were more commonly found in the plants with complex architecture (fruit trees) than the plants with simple architecture (vegetables, ornamental plants, etc). Plant with complex architecture can provide more space and food for organism to live. Aleurodicus dispersus and Aleurodicus dugesii are cosmopolitan species that can be found in various types of plants and altitudes. Bemisia tabaci was commonly found in lower altitude, whereas Trialeurodes vaporariorum was mainly found in higher altitude. Both species are become important pests in vegetable crops and transmit plant diseases. The highest whitefly species richness and diversity was found in lowland (0-500 m above sea level (asl)) (H’=2.14; 1D=5.53). Similarity analysis (C) showed that number of whitefly species found at lowland was 64% similar to midland (501-1000 m asl). The natural enemies that commonly found were coccinellid beetle, aphelinid, and encyrtid wasp. Key word: key identification, altitude, insect vector, diversity index iv v RINGKASAN LIA NURULALIA. Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT dan DAMAYANTI BUCHORI. Kutukebul merupakan kelompok kutu tanaman yang termasuk ke dalam famili Aleyrodidae. Imago bersayap dan aktif terbang untuk berpindah tempat, sedangkan pradewasa melekat pada permukaan bawah daun. Kutukebul dapat menyebabkan gangguan secara langsung di antaranya mengganggu proses fotosintesis dan respirasi tanaman, dan mengurangi estetika tanaman (hias); serta menyebabkan gangguan secara tidak langsung dengan menularkan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus. Keberadaan kutukebul di Indonesia sudah diketahui sejak tahun 1900-an. Pada saat itu, beberapa spesies kutukebul menyebabkan permasalahan pada tanaman, di antaranya Aleurodes pada tebu, Aleuroctrarthrus (Aleurodicus) destructor pada kelapa, dan Bemisia tabaci pada tembakau. Hingga saat ini sudah diketahui sekitar 37 spesies kutukebul yang ada di Indonesia. Penelitian bertujuan mengetahui spesies kutukebul pada tanaman pertanian dan mengetahui keanekaragamannya berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies kutukebul pada tanaman pertanian, keanekaragaman dan karakteristik morfologi spesies, tanaman inang, serta penyebaran kutukebul, sehingga dapat menjadi dasar bagi identifikasi dan pengendalian kutukebul pada tanaman pertanian. Penelitian dilakukan sejak Juni 2011 sampai dengan Juni 2012. Sampel kutukebul diambil dari lima daerah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Garut yang diambil dari komoditas tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), tanaman pangan, serta tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung (purposive sampling). Identifikasi kutukebul dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel diukur dengan menggunakan GPS. Pada pengamatan keanekaragaman, tempat pengambilan sampel kutukebul dikelompokkan menjadi 3 kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah (0–500 m di atas permukaan laut (dpl)), dataran sedang (501–1000 m dpl), dan dataran tinggi (1001-1500 m dpl). Pembuatan preparat kutukebul mengacu pada metode Watson yang dimodifikasi. Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi pupa kutukebul. Karakter umum morfologi kutukebul yang menjadi ciri identifikasi adalah keberadaan compound pores (pori majemuk), dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Data jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh pada ketiga kelompok ketinggian dianalisis dengan indeks Shannon, Simpson, dan Sorenson. Kunci identifikasi kutukebul dibuat dengan sistem dikotom. Kemudian dibuat format digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix Key. Sebanyak 38 spesies kutukebul ditemukan pada tanaman pertanian. Sebanyak 28 spesies sudah teridentifikasi, sedangkan 10 spesies lainnya belum vi teridentifikasi. Famili Aleyrodidae terdiri dari dua subfamili utama, yaitu subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Subfamili Aleurodicinae memiliki 4-6 pasang pori majemuk abdomen dan vasiform orifice yang berbentuk setengah lingkaran dengan lingula yang besar, sedangkan subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen dan bentuk vasiform orifice beragam. Sebagian besar spesies kutukebul yang diperoleh (34 spesies) merupakan anggota dari subfamili Aleyrodinae, sedangkan empat spesies lainnya dari subfamili Aleurodicinae. Empat spesies kutukebul yang relatif mudah ditemukan adalah Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii, Bemisia tabaci, dan Trialeurodes vaporariorum. Keempat spesies tersebut memiliki kisaran tanaman inang yang luas dan sering menyebabkan permasalahan di pertanaman. Berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada masing-masing kisaran ketinggian tempat, diperoleh informasi bahwa keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi terdapat di dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies. Dominasi spesies terjadi di dataran tinggi, yaitu dari spesies A. dispersus dan A. dugesii. Kedua spesies tersebut juga dominan di semua kisaran ketinggian tempat. A. dugesii cenderung lebih mudah ditemukan pada dataran tinggi. Spesies kutukebul lain yang memiliki kecenderungan yang khusus dalam hal ketinggian tempat hidup adalah B. tabaci dan T. vaporariorum. B. tabaci dominan ditemukan pada dataran rendah hingga sedang, sedangkan T. vaporariorum dominan ditemukan pada dataran sedang hingga tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh masing-masing virus yang dibawa oleh kedua spesies kutukebul tersebut. Hasil analisis dengan indeks Sorenson menunjukkan terdapat kemiripan wilayah sebesar 64% di antara dataran rendah dengan dataran sedang berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh. Beberapa spesies kutukebul sering ditemukan berada pada daun yang sama sehingga terjadi populasi campuran pada satu daun. Sebagian besar spesies kutukebul ditemukan pada tanaman buah-buahan, yang umumnya memiliki struktur tanaman yang kompleks dan merupakan tanaman tahunan yang dapat menyediakan ruang hidup yang lebih luas dan lebih lama daripada kelompok tanaman lainnya, seperti sayuran, tanaman hias, pangan, dan sebagainya yang memiliki struktur yang sederhana. Kata kunci: kunci identifikasi, dominasi, serangga vektor, keanekaragaman vii © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. viii ix KEANEKARAGAMAN DAN KUNCI IDENTIFIKASI SPESIES KUTUKEBUL (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT LIA NURULALIA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 x Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. xi Judul Penelitian Nama Mahasiswa NRP : Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat : Lia Nurulalia : A351100051 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Mayor Entomologi Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Tanggal ujian: 14 Agustus 2012 Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal lulus: xii xiii PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat. Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. dan Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku dosen pembimbing; kepada Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku dosen penguji luar dan Dr. Ir. Pudjianto, M.Si selaku ketua program studi Entomologi yang telah memberikan saran dan masukan dalam tesis ini. Terimakasih pula penulis sampaikan kepada I-MHERE IPB atas pendanaan dari sebagian penelitian ini, serta kepada Dr. Jon Martin dari Natural History Museum of London, serta Profesor Soemartono Sosromarsono atas bantuan literatur pada penelitian ini. Ungkapan terimakasih disampaikan kepada ibu serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Aisyah dan ibu Atiek Sinarwati selaku laboran lab Biosistematika Serangga dan Museum Serangga. Terimakasih pula kepada sahabat-sahabat penulis, Anik Larasati, Yani Maharani, Sari Nurulita, Sudarsono, Damayanti, Isamu Kondo, Shinichi Kato, dan Angie Higuchi; teman-teman di laboratorium, Radhian Ardy Prabowo, Osmond Vito Eliazar, M. Khoeruddin Latip, Heny Emilia, Irma Utami Siagian, Bagus Kukuh Urdianto, Aceu Wulandari, dan Van Basten Tambunan; rekan-rekan Entomologi dan Fitopatologi IPB, serta rekan-rekan Summer-Winter Course IPB 2011 atas bantuan dan dorongan motivasinya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2012 Lia Nurulalia xiv xv RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Mei 1983 dari ayah Lili Gozali (alm) dan ibu Nurlaela Salamah. Penulis merupakan puteri pertama dari lima bersaudara. Tahun 2001, penulis lulus dari SMU Negeri I Ciawi, Bogor, Jawa Barat dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2010, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Entomologi dengan bantuan dana beasiswa dari IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency) IPB. Pada tahun 2005-2006, penulis membantu kegiatan penelitian di Cianjur yang dibiayai oleh dana penelitian Hibah Bersaing. Tahun 2007, penulis membantu kegiatan penelitian di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman (DPT), IPB. Tahun 2008 hingga sekarang, penulis bekerja di Museum Serangga DPT, IPB. Pada tahun 2008, penulis membantu kegiatan penelitian di pertanian organik yang didanai oleh Academic Research Frontier Project (ARFP), Tokyo University of Agriculture (TUA), Jepang. Tahun 2009-2010, penulis ikut membantu penelitian yang didanai oleh I-MHERE IPB dan pada tahun yang sama, penulis ikut membantu penelitian mahasiswa dari TUA, Jepang. Pada tahun 2011, penulis mengikuti kegiatan Summer-Winter Course yang diselenggarakan oleh I-MHERE IPB yang merupakan kerjasama antara IPB dengan Universitas Ibaraki, Jepang. Penulis ikut aktif dalam kegiatan kepanitiaan Seminar dan Kongres Internasional ISSAAS (The International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences) Indonesia Chapter 2011 dan Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi (PEI) cabang Bogor 2012 di Bogor. Saat ini penulis aktif sebagai sekretaris dalam Forum Mahasiswa Pascasarjana Entomologi-Fitopatologi IPB periode tahun 2012/2013. xvi xvii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................. xix DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xxi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xxiii BAB I PENDAHULUAN UMUM ...................................................... 1 Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................. 1 3 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 5 Klasifikasi dan Morfologi Kutukebul ................................................... Bioekologi Kutukebul ........................................................................... Kunci Identifikasi Serangga .................................................................. Kutukebul sebagai Serangga Vektor ..................................................... Pengukuran Keanekaragaman Spesies Serangga .................................. Kutukebul sebagai Spesies Invasif ........................................................ 5 6 8 9 10 11 BAB III SPESIES KUTUKEBUL YANG DITEMUKAN PADA TANAMAN PERTANIAN DI BEBERAPA DAERAH DI JAWA BARAT DAN KUNCI IDENTIFIKASINYA ........ 13 Abstrak .................................................................................................. Pendahuluan .......................................................................................... Metode Penelitian .................................................................................. Koleksi Sampel Kutukebul di Lapangan .......................................... Pembuatan Preparat Mikroskop Kutukebul ...................................... Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Pucat ......... Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Hitam ........ Pembuatan Preparat Mikroskop dari Eksuvia ............................... Identifikasi Kutukebul ...................................................................... Pembuatan Kunci Identifikasi Kutukebul ......................................... Hasil Penelitian ..................................................................................... Hasil Identifikasi dan Karakter Morfologi Kutukebul ..................... Kunci Identifikasi Kutukebul ............................................................ Pembahasan ........................................................................................... Deskripsi Spesies Kutukebul ............................................................ a. Subfamili Aleurodicinae .......................................................... b. Subfamili Aleyrodinae ............................................................. 13 13 15 15 15 15 17 17 17 18 19 19 21 21 22 22 26 xviii Kunci Identifikasi Kutukebul pada Tanaman Pertanian .................... Kesimpulan ............................................................................................. Daftar Pustaka ....................................................................................... 45 45 46 BAB IV KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA KETINGGIAN TEMPAT BERBEDA DI JAWA BARAT 49 Abstrak .................................................................................................. Pendahuluan .......................................................................................... Metode Penelitian .................................................................................. Pengambilan Sampel Kutukebul di Lapangan .................................. Pengukuran Keanekaragaman Kutukebul ........................................ Identifikasi Musuh Alami Kutukebul ............................................... Hasil Penelitian ..................................................................................... Analisis Keanekaragaman Kutukebul .............................................. Tanaman Inang Kutukebul ................................................................ Musuh Alami Kutukebul .................................................................. Pembahasan ........................................................................................... Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan Ketinggian Tempat ........ Gangguan Kutukebul pada Tanaman ................................................ Kutukebul dan Tanaman Inangnya ................................................... Kutukebul dan Musuh Alaminya ....................................................... Spesies Kutukebul Invasif ................................................................ Kesimpulan ............................................................................................. Daftar Pustaka ....................................................................................... 49 49 51 51 52 53 53 53 56 57 58 58 58 59 60 62 63 64 BAB V PEMBAHASAN UMUM ....................................................... 67 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN UMUM ................................ Kesimpulan Umum ............................................................................ Saran Umum ...................................................................................... 75 75 76 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 77 LAMPIRAN ......................................................................................... 81 xix DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1 Jumlah individu kutukebul yang ditemukan pada tiga kisaran ketinggian tempat di Jawa Barat dan hasil analisis dengan indeks Shannon dan Simpson ................................. 54 Tabel 4.2 Perbandingan kemiripan spesies kutukebul antar wilayah pengambilan sampel pada tiga kisaran ketinggian dengan indeks Sorenson .................................................................. 56 xx xxi DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1 Ciri morfologi umum eksuvia kutukebul subfamili Aleurodicinae (a), dan Aleyrodinae (b) berdasarkan pori majemuk abdomen dan vasiform orifice .............. 20 Tampilan kunci identifikasi kutukebul dikotomi dalam format digital menggunakan program Lucid Phoenix ........................................................................ 21 Koloni A. destructor pada permukaan bawah daun kelapa (a), imago (b), pupa (c), dan pupa (d) A. destructor ..................................................................... 23 Koloni A. dispersus pada permukaan bawah daun kastuba (a), pupa (b), dan eksuvia A. dispersus .......... 24 Koloni A. dugesii pada permukaan bawah daun kembang sepatu ........................................................... 25 Nimfa (a), dan imago (b) P. minei pada permukaan bawah daun jeruk, serta eksuvia P. minei ................... 26 Gambar 3.7 Eksuvia A. citriperdus.................................................. 27 Gambar 3.8 Pupa (a) dan imago (b) A. spiniferus pada daun nangka, serta eksuvia A. spiniferus ............................. 28 Gambar 3.9 Eksuvia A. woglumi .................................................... 29 Gambar 3.10 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. aucubae ........................... 30 Gambar 3.11 Eksuvia A. canangae dengan seta (a) dan tanpa seta (b) ................................................................................ 30 Gambar 3.12 Eksuvia A. jasmini dengan seta (a) dan tanpa seta (b) 31 Gambar 3.13 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. psidii ............................... 32 Gambar 3.14 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. marlatti .......................... 32 Gambar 3.15 Pupa (a) dan eksuvia (b) Aleurotrachelus sp. 1 .......... 33 Gambar 3.16 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 2 ..................................... 34 Gambar 3.17 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 3 ..................................... 34 Gambar 3.18 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. antidesmae ...................... 35 Gambar 3.19 Pupa (a) dan eksuvia (b) B. tabaci pada daun singkong ...................................................................... 36 Gambar 3.20 Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) C. psidii ................... 36 Gambar 3.21 Eksuvia Cockerelliella sp. 1 ........................................ 37 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 xxii Gambar 3.22 Eksuvia Cockerelliella sp.2 ......................................... 38 Gambar 3.23 Eksuvia D. kirkaldyi .................................................... 38 Gambar 3.24 Pupa (a) dan eksuvia (b) Dialeurodes sp. .................... 39 Gambar 3.25 Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) D. decempuncta pada permukaan daun yang halus (mangga), pupa (c) dan eksuvia (d) pada permukaan daun kasar (jambu biji) .............................................................................. 40 Gambar 3.26 Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) Lipaleyrodes sp. 41 Gambar 3.27 Eksuvia M. minuta ....................................................... 41 Gambar 3.28 Koloni O. mammaeferus pada daun puring (a), pupa (b), dan eksuvia (c) O. mammaeferus........................... Koloni Rusostigma sp. pada daun salam (a), imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) Rusostigma sp. ............. 43 Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) T. vaporariorum pada daun tomat .......................................................... 44 Gambar 4.1 Titik-titik tempat pengambilan sampel kutukebul ....... 52 Gambar 4.2 Jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada lima jenis komoditas tanaman pertanian ............................. 56 Serangga predator yang ditemukan di sekitar koloni kutukebul di lapangan ................................................. 57 Serangga parasitoid yang ditemukan memarasit kutukebul .................................................................... 57 Gambar 3.29 Gambar 3.30 Gambar 4.3 Gambar 4.4 42 xxiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Bagian dorsal eksuvia dan karakter morfologi yang umum digunakan pada kunci identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleurodicinae (contoh spesies: Aleurodicus pulvinatus (Maskell)) ................................. 82 Bagian ventral dan dorsal eksuvia serta karakter morfologi yang umum digunakan pada kunci identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleyrodinae 83 Kantung pupa spesies kutukebul yang belum teridentifikasi .................................................................. 84 Keberadaan spesies kutukebul pada tanaman pertanian (sayuran, buah-buahan, hias, pangan, serta obat dan rempah) .......................................................................... 85 Kunci identifikasi kutukebul .......................................... 86 BAB I PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu serangga kelompok kutu tanaman yang menjadi hama penting pada beberapa jenis tanaman, seperti famili Solanaceae (cabai, tomat, terung, dan sebagainya). Serangga dewasa bersayap dan aktif berpindah tempat dengan cara terbang antar tanaman maupun antar pertanaman, sedangkan pradewasa melekat pada permukaan bawah daun. Kutukebul memiliki alat mulut bertipe menusuk-mengisap (haustelata) yang umumnya menimbulkan kerusakan pada tingkat sel atau jaringan tanaman sehingga dapat menyebabkan nekrosis jaringan. Pada saat aktifitas makan berlangsung, kutukebul akan mengeluarkan cairan (ludah) yang mengandung enzim yang dapat membantu menguraikan dinding sel tanaman, sehingga memudahkan serangga untuk mengisap cairan dari sel-sel tanaman. Kehilangan cairan tanaman secara terus menerus dapat menyebabkan tanaman menjadi layu, terjadinya pertumbuhan yang abnormal, sampai dengan kekerdilan tanaman. Cairan (ludah) ini juga dapat menjadi media bagi penyebaran virus penyebab penyakit tanaman. Perpindahan kutukebul yang bersifat viruliferous (mengandung virus), baik antar tanaman maupun antar pertanaman dapat mempengaruhi penyebaran penyakit tanaman (Gullan dan Cranston 2000). Di Indonesia, kutukebul telah dikenal sejak tahun 1900-an terkait peranannya sebagai hama pada tanaman, di antaranya tebu, kelapa, dan tembakau. Pada tahun 1915 dilaporkan terjadi peledakan populasi kutukebul Aleuroctarthrus (= Aleurodicus) destructor pada perkebunan kelapa di Pulau Selayar dan Sulawesi. Pada tahun 1930-an, didatangkan parasitoid dari Jawa dalam jumlah besar untuk mengendalikan populasi A. destructor. Sejak tahun 1940-an, tidak ada lagi laporan mengenai kerusakan yang disebabkan oleh kutukebul tersebut. Spesies kutukebul lainnya yaitu Bemisia tabaci dilaporkan pada tahun 1938 terkait dengan penyebaran penyakit pseudomosaik dan krupuk pada pertanaman tembakau di Deli. Pada tahun 1940, van der Laan membuktikan bahwa kejadian penyakit 2 pseudomosaik berhubungan erat dengan adanya inang alternatif dari B. tabaci, yaitu gulma Eupatorium odoratum yang mulai menyebar luas di Asia Tenggara sejak tahun 1931. Di Jawa, kutukebul B. tabaci dapat menularkan penyakit krupuk dari beberapa jenis gulma ke tanaman tembakau. Penularan terutama terjadi di tempat pembibitan (Kalshoven dan Vecht 1950). Pada kisaran tahun 1994-1999, terjadi invasi spesies B. tabaci yang menjadi vektor penyakit pepper yellow leaf curl dari Thailand ke Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Bali). Saat ini penyakit tersebut lebih dikenal sebagai penyakit kuning pada tanaman cabai (De Barro et al. 2008). Penelitian mengenai kutukebul di Indonesia masih terbatas pada spesiesspesies tertentu, seperti B. tabaci dan Trialeurodes vaporariorum West terkait peranannya sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman pada berbagai komoditas sayuran. Oleh karena itu, istilah kutukebul lebih sering mengacu pada kedua spesies tersebut. Pada kenyataannya, jumlah spesies kutukebul sangat banyak. Watson (2007) menyatakan bahwa terdapat sekitar 1200 spesies kutukebul yang telah diketahui berdasarkan laporan dari berbagai negara dan baru 35% di antaranya yang telah dideskripsikan. Sebagian besar dari keanekaragaman hayati di dunia berada di daerah tropik, sehingga Indonesia sebagai salah satu wilayah yang terletak di daerah tropik berpotensi menjadi salah satu sumber keanekaragaman spesies di dunia (Ubaidillah dan Sutrisno 2009). Oleh karena itu, kemungkinan masih banyak spesies kutukebul yang dapat ditemukan, khususnya pada tanaman pertanian. Pendekatan taksonomi merupakan salah satu aspek yang penting dalam memahami keanekaragaman hayati. Pengetahuan mengenai karakter morfologi yang unik pada setiap spesies penting dipahami agar karakter antar spesies kutukebul yang ditemukan dapat dengan jelas dibedakan. Salah satu aspek dari taksonomi adalah identifikasi dan bagi para pelaku taksonomi, aspek ini merupakan hal yang paling penting. Salah satu alat yang sering digunakan dalam proses identifikasi adalah kunci identifikasi, khususnya berupa kunci dikotom. Adanya kunci identifikasi tersebut diharapkan dapat memudahkan proses identifikasi agar lebih cepat dan akurat (Quicke 1993). 3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi berbagai spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman pertanian, mempelajari keanekaragaman spesies kutukebul, serta membuat kunci identifikasi spesies kutukebul yang ditemukan di wilayah Jawa Barat. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian, tanaman inang, penyebaran, serta kunci identifikasi kutukebul, sehingga dapat menunjang upaya pengendalian kutukebul pada tanaman pertanian. 4 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kutukebul Kutukebul termasuk ke dalam ordo Hemiptera yang memiliki alat mulut bertipe menusuk-mengisap, serta subordo Sternorrhyncha yang secara umum memiliki fase pradewasa yang tidak aktif bergerak (sessile) dan/atau imago yang bersayap pada beberapa superfamili. Subordo Sternorrhyncha terdiri dari empat superfamili, yaitu Psylloidea, Aleyrodoidea, Aphidoidea, dan Coccoidea. Kutukebul termasuk ke dalam superfamili Aleyrodoidea yang merupakan kelompok serangga yang memiliki ciri peralihan antara superfamili Psylloidea dengan Coccoidea. Superfamili Aleyrodoidea mirip dengan Psylloidea karena fase imago memiliki sayap dan dapat bereproduksi secara seksual maupun partenogenesis, sedangkan dikatakan mirip dengan Coccoidea karena memiliki fase pradewasa yang tidak aktif bergerak. Superfamili Aleyrodoidea hanya terdiri dari satu famili, yaitu Aleyrodidae. Ciri dari famili ini di antaranya imago jantan dan betina memiliki dua pasang sayap dengan venasi yang sederhana; nimfa dan pupa memiliki vasiform orifice, lingula, dan operculum yang merupakan struktur yang sangat terspesialisasi di sekitar anus. Struktur ini berasosiasi dengan sekresi embun madu. Selain itu, struktur ini merupakan karakteristik utama dari famili Aleyrodidae yang tidak dimiliki oleh kelompok serangga lainnya (Watson 2007). Famili Aleyrodidae terdiri dari dua subfamili, yaitu Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Perbedaan yang mendasar di antara kedua subfamili tersebut adalah adanya pori majemuk abdomen (abdominal compound pores) di bagian subdorsal tubuh dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Subfamili Aleurodicinae umumnya memiliki 4-6 pasang pori majemuk abdomen dan vasiform orifice yang berbentuk setengah bola dengan lingula berbentuk spatula berukuran besar yang memanjang hingga melewati tepi posterior vasiform orifice, serta 1-2 pasang seta di bagian ujung lingula tersebut. Subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen, meskipun ada spesies tertentu yang memiliki pori sederhana yang mirip dengan pori majemuk, tetapi strukturnya 6 berbeda dengan pori majemuk. Selain itu, subfamili Aleyrodinae memiliki bentuk dan ukuran vasiform orifice yang sangat beragam dengan lingula yang relatif kecil, tidak memanjang, dan tidak melewati tepi posterior vasiform orifice, serta hanya terdapat satu pasang seta di bagian ujungnya (Watson 2007, Martin 2008). Pada tahun 1758, Linnaeus mengklasifikasikan kutukebul sebagai kelompok ngengat dan baru dimasukkan ke dalam ordo Homoptera (sekarang Hemiptera) pada tahun 1795 oleh Lattreille. Penamaan whitefly dalam bahasa Inggris mengacu pada imago kutukebul yang berbentuk seperti lalat dengan permukaan tubuh tertutupi oleh tepung lilin berwarna putih (Martin 2008), sedangkan nama umum kutukebul dalam bahasa Indonesia berasal dari perilaku serangga ini yang jika diganggu, imago yang berwarna putih akan berterbangan seperti ‘kebul’ (asap). Bioekologi Kutukebul Fase pradewasa kutukebul dapat ditemukan di bagian permukaan bawah daun. Telur kutukebul memiliki pedisel di salah satu bagian ujungnya yang berfungsi untuk melekat pada permukaan daun. Nimfa instar I (crawler) aktif bergerak untuk mencari tempat makan yang sesuai. Pada saat instar II dan III, nimfa sudah menetap di tempat tertentu. Nimfa instar IV sering disebut juga dengan fase pupa. Hal ini disebabkan pada fase ini kutukebul sudah berhenti makan (seperti pada fase pupa sejati), terjadi pembentukan bakal sayap dan antena, serta pematangan alat kelamin (Watson 2007). Oleh karena itu, kutukebul memiliki tipe metamorfosis peralihan antara paurometabola dengan holometabola. Imago betina aktif mencari tempat peletakan telur yang biasanya pada daun-daun tanaman yang relatif muda. Setiap imago betina dapat menghasilkan sekitar 30 telur yang diletakkan pada permukaan bawah daun. Sebelum bertelur, imago betina biasanya akan menusukkan stiletnya pada daun sebagai pusat tumpuan, kemudian mulai berputar sambil meletakkan telur-telurnya dengan pola melingkar. Selanjutnya telur-telur tersebut akan ditutupi dengan lilin. Ada pula beberapa spesies kutukebul meletakkan telur-telurnya secara acak. Di daerah beriklim subtropik, kutukebul menghasilkan satu atau dua generasi per tahun (univoltine 7 atau bivoltine), sedangkan di daerah beriklim tropik, kutukebul dapat menghasilkan banyak generasi per tahun (polyvoltine) dengan setiap generasi berkembang selama 6-8 minggu (Watson 2007). Kutukebul termasuk ke dalam kelas serangga yang merupakan organisme yang bersifat poikiloterm, yaitu memiliki suhu tubuh yang bervariasi tergantung suhu permukaan dan lingkungan tempat hidupnya. Semakin tinggi suhu tubuh, maka reaksi metabolisme yang terjadi akan semakin cepat. Hal ini berarti setiap proses yang terjadi pada kutukebul, seperti pertumbuhan dan perkembangan tergantung pada suhu lingkungannya. Suhu merupakan bagian dari faktor iklim pada suatu kisaran wilayah yang luas, sedangkan kondisi atmosfer pada waktu dan tempat tertentu yang berhubungan dengan panas, dingin, sinar matahari, hujan, awan, dan sebagainya yang sering disebut dengan cuaca. Iklim dan cuaca merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam ekologi serangga, yang meliputi reproduksi dan penyebaran serangga agar dapat tumbuh dan berkembang (Speight et al. 1999). Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, serangga herbivora sering dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu monofag, oligofag, dan polifag. Serangga monofag adalah serangga yang memakan satu spesies tanaman inang atau spesies tanaman lain yang hubungan kekerabatannya sangat erat; serangga oligofag memakan beberapa jenis tanaman inang yang masih termasuk ke dalam famili yang sama; sedangkan serangga polifag memakan banyak spesies tanaman inang dari famili yang berbeda-beda. Namun pengelompokan ini bersifat tidak konsisten, khususnya pada saat membedakan antara serangga monofag dengan oligofag. Pada kenyataannya sulit untuk membedakan serangga yang hanya memakan satu jenis tanaman dengan serangga yang memakan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan senyawa sekunder yang hampir sama. Selain itu, individu dari spesies yang sama dapat memakan tanaman inang yang berbeda atau memiliki preferensi tanaman inang yang berbeda tergantung tempat tinggal dari masing-masing serangga tersebut. Hal ini disebabkan individu serangga lebih spesifik dalam memilih tanaman inangnya daripada populasi serangga secara keseluruhan. Berkaitan dengan hal tersebut, pengelompokkan serangga berdasarkan kisaran tanaman inangnya sering pula dibedakan menjadi kelompok 8 serangga spesialis (mencakup serangga monofag dan oligofag) dan generalis (polifag) (Schoonhoven et al. 1998). Kunci Identifikasi Serangga Salah satu alat yang paling dikenal dan sering digunakan dalam identifikasi untuk sebagian besar organisme adalah kunci identifikasi, khususnya kunci dikotom. Kunci dikotom terdiri atas suatu seri divisi atau dikotomi yang masingmasing mengandung dua alternatif karakter yang dimiliki oleh kelompok taksa tertentu yang membedakannya dengan taksa lainnya. Alternatif pernyataan yang menyusun masing-masing set dikotomi dalam suatu kunci dinamakan kaplet (couplet). Masing-masing kaplet tersebut terdiri atas dua set alternatif karakter yang sering disebut dengan lead (= leg) (Quicke 1993). Kunci identifikasi yang baik harus dapat digunakan secara luas, baik oleh kalangan taksonom maupun kalangan lain yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda. Suatu kunci identifikasi idealnya harus dibuat oleh seorang ahli yang mempelajari spesimen tertentu. Karakter yang digunakan dalam kunci identifikasi diusahakan tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Pemakaian karakter yang terlalu banyak dalam suatu kaplet dapat menyebabkan munculnya kebingungan pada penggunanya. Selain itu, pengguna dapat kehilangan kepercayaan diri terhadap kunci yang ada sehingga dapat membuat keputusan yang salah. Sebaliknya, pemakaian karakter yang terlalu sedikit, misalnya hanya satu karakter pada kunci monotetik, dapat pula menyebabkan kebingungan pada penggunanya terutama jika berhadapan dengan spesimen yang bentuknya sudah tidak sempurna. Sebagai contoh, antena atau tungkai serangga yang rusak atau hilang, sedangkan karakter ini menjadi salah satu karakter yang biasanya digunakan pada awal penggunaan kunci monotetik. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan 2-3 karakter utama pada setiap lead sehingga dapat mengatasi permasalahan jika salah satu karakternya rusak atau hilang (Quicke 1993). Kunci identifikasi kutukebul yang umum digunakan biasanya berupa kunci dikotom. Kunci identifikasi yang banyak digunakan saat ini di antaranya kunci 9 identifikasi kutukebul untuk kawasan Amerika bagian tengah, Eropa, dan sebagian kawasan di Asia. Kunci identifikasi kutukebul yang cukup dikenal adalah Martin (1987). Selain itu, Martin juga pernah membuat kunci identifikasi yang spesifik untuk kawasan Papua New Guinea (Martin 1985). Kedua jenis kunci tersebut menyertakan gambar yang berupa sketsa. Kunci identifikasi yang menyertakan gambar spesimen berwarna (foto) terdapat pada kunci identifikasi Dooley (2007). Kutukebul sebagai Serangga Vektor Beberapa kelompok serangga dapat berperan sebagai vektor penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen. Hemiptera merupakan salah satu ordo serangga yang sering menjadi vektor patogen penyebab penyakit tanaman. Ordo ini memiliki alat mulut yang fungsinya termodifikasi untuk menusuk dan melukai epidermis tanaman inang, lalu terjadi transfer cairan di dalamnya. Seperti halnya serangga secara umum, keberadaan serangga vektor juga dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik, di antaranya kondisi cuaca, reproduksi, dan penyebaran. Adanya musuh alami dan kompetisi dapat membatasi kelimpahan serangga vektor. Selain itu, keberadaan tanaman inang juga dapat mempengaruhi keberadaan serangga vektor di suatu habitat dan penyebaran antar habitat. Serangga vektor dapat memiliki kisaran tanaman inang yang sempit (spesifik) maupun luas. Gulma dapat menjadi inang alternatif bagi serangga vektor, sebagai contoh pada tahun 1938, Bemisia tabaci menjadi vektor virus penyebab penyakit pseudomosaik pada tembakau. B. tabaci dapat hidup pada gulma Eupatorium odoratum yang ada di sekitar pertanaman tembakau (Kalshoven dan Vecht 1950). Penularan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus bersifat sangat spesifik. Terdapat hubungan yang khusus antara serangga vektor dengan virus yang dibawanya. Kemampuan, efisiensi, dan cara penularan ditentukan oleh struktur alat mulut yang dimiliki oleh serangga vektor (Bos 1994). Terdapat 3 spesies kutukebul yang diketahui dapat berperan sebagai vektor virus tanaman, yaitu B. tabaci, Trialeurodes vaporariorum, dan T. abutiloneus. Kutukebul B. tabaci diketahui dapat menjadi vektor dari cassava mosaic virus, cassava mosaic 10 geminiviruses, tomato yellow leaf curl virus, dan sebagainya (Lapidot dan Polston 2010). B. tabaci menularkan penyakit tanaman secara persisten non-sirkulatif. Virus yang terambil ketika makan akan menuju saluran pencernaan dan menembus dinding usus, selanjutnya bersirkulasi di dalam cairan tubuh (haemolymph) dan mengkontaminasi cairan ludah. Hal ini menyebabkan serangga vektor tetap bersifat infektif pada aktivitas makan berikutnya. Daya tular dapat bertahan selama beberapa hari tergantung pada jumlah virus yang terbawa ketika proses makan berlangsung pada tanaman sakit (Bos 1994). Pengukuran Keanekaragaman Spesies Serangga Keanekaragaman hayati adalah variasi antar organisme dari berbagai sumber, yang mencakup organisme yang hidup di darat, laut, dan ekosistem perairan lainnya beserta perannya dalam ekologi. Keanekaragaman hayati mencakup kenekaragaman dalam suatu spesies, antar spesies, dan dalam suatu ekosistem (Speight et al. 1999). Keanekaragaman spesies terdiri dari dua komponen, yaitu variasi dan kelimpahan relatif spesies. Keanekaragaman spesies diukur berdasarkan kekayaan (jumlah) spesies (species richness) dan kemerataan spesies (eveness) dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Pada dasarnya, keanekaragaman spesies dibagi menjadi tiga, yaitu keanekaragaman α (alpha), β (beta), dan γ (gamma). Keanekaragaman α adalah keanekaragaman pada suatu wilayah atau lanskap tempat pengambilan sampel, keanekaragaman β adalah keanekaragaman antar wilayah pengambilan sampel untuk melihat komposisi spesies dari komunitas yang berbeda, sedangkan keanekaragaman γ adalah keanekaragaman spesies pada kisaran wilayah yang luas atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa keanekaragaman γ merupakan hasil penggabungan dari keanekaragaman α dan β (Magurran 1988). Pengukuran keanekaragaman spesies dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu indeks kekayaan spesies, yang pada dasarnya merupakan suatu ukuran bagi jumlah spesies yang diperoleh dalam suatu unit pengambilan sampel; model kelimpahan spesies yang menggambarkan distribusi dari kelimpahan spesies; dan indeks yang berdasarkan pada proporsi kelimpahan spesies. Keanekaragaman 11 serangga, termasuk kutukebul dapat diukur dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Penggunaan indeks dalam melakukan pengukuran keanekaragaman spesies disesuaikan dengan tujuannya. Pengukuran keanekaragaman α biasanya terbagi menjadi tiga tujuan, yaitu untuk mengetahui kekayaan, dominasi, dan kemerataan spesies. Indeks yang dapat digunakan untuk mengukur kekayaan spesies di antaranya α (log series), λ (log normal), Q statistic, S (kekayaan spesies), indeks Margalef, Shannon, Brillouin, dan McIntosh U. Indeks untuk mengukur dominasi spesies di antaranya indeks Simpson, BergerParker, dan McIntosh D. Kemerataan spesies biasanya diukur dengan menggunakan indeks Shannon dan Brillouin. Keanekaragaman β di antaranya diukur dengan menggunakan indeks Jaccard, Sorenson, dan Morista-Horn (Magurran 1988). Kutukebul sebagai Spesies Invasif Secara umum, spesies invasif didefinisikan sebagai spesies asing yang dapat dengan cepat menyebar di suatu wilayah yang baru. Biasanya keberadaan spesies invasif dapat menyebabkan perubahan dalam hal keanekaragaman organisme, perubahan fungsi dalam ekosistem, serta berdampak pada aspek sosial-ekonomi dan kesehatan manusia di daerah baru tersebut. Spesies asing sendiri didefinisikan sebagai spesies organisme yang berada di luar wilayah tempat tinggal aslinya yang berpotensi mengalami penyebaran, salah satunya melalui aktivitas manusia. Pada dasarnya spesies invasif yang menginvasi daerah baru harus dapat melewati tahapan-tahapan, di antaranya suatu spesies baru yang masuk ke suatu daerah baru harus mampu bertahan hidup di daerah baru tersebut; lalu spesies tersebut mampu berkembang biak dan melakukan kolonisasi; selanjutnya spesies baru tersebut mampu mempertahankan keberadaan populasinya dan melakukan penyebaran ke daerah di sekitarnya (Walther et. al. 2009). Keberadaan spesies invasif di suatu lingkungan dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap tanaman inang atau organisme lain di suatu lingkungan yang sama. Spesies invasif dapat secara langsung menyerang, melemahkan, dan/atau membunuh tanaman inang atau organisme lain yang ada di 12 lingkungan tersebut, sedangkan secara tidak langsung dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di suatu wilayah (Carruthers 2003). Jika dilihat dari aspek yang berhubungan dengan manusia, dampak keberadaan spesies invasif berhubungan dengan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dampak keberadaan spesies invasif terhadap aspek ekonomi berkaitan langsung dengan penurunan atau kehilangan hasil di pertanaman, sedangkan terhadap aspek lingkungan berupa gangguan terhadap struktur ekosistem yang terkadang mengacu pada penurunan keanekaragaman suatu organisme di suatu wilayah. Keberadaan spesies invasif juga berdampak terhadap aspek sosial, di antaranya pada kesehatan, kenyamanan dan kualitas hidup manusia, rekreasi, budaya, dan sebagainya (Charles dan Dukes 2007). Dalam bidang pertanian, serangga merupakan organisme yang sering menjadi spesies invasif, termasuk di antaranya kutukebul. Terdapat kutukebul yang berstatus sebagai spesies invasif di beberapa negara, di antaranya Aleurodicus dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci. Spesies-spesies tersebut menyebabkan kerugian secara ekonomi dalam bidang pertanian (Muniappan 2011). 13 BAB III SPESIES KUTUKEBUL YANG DITEMUKAN PADA TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT DAN KUNCI IDENTIFIKASINYA Abstrak Kutukebul merupakan salah satu serangga hama yang penting karena dapat menyebabkan kerusakan langsung dan tidak langsung pada tanaman. Serangan kutukebul dapat mengganggu fotosintesis dan respirasi tanaman, estetika tanaman hias, serta menularkan penyakit tanaman. Sebanyak 37 spesies kutukebul telah dilaporkan keberadaannya di Indonesia dan kemungkinan masih banyak spesies kutukebul yang belum teridentifikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui spesiesspesies kutukebul pada tanaman pertanian di Jawa Barat dan membuat kunci identifikasi kutukebul berdasarkan karakter morfologinya. Sampel kutukebul dikoleksi dari lima daerah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Garut. Identifikasi kutukebul berdasarkan pada nimfa instar keempat atau lebih dikenal dengan pupa. Pembuatan preparat mikroskop mengacu pada metode Watson yang dimodifikasi. Kunci identifikasi dibuat dalam format dikotomi dan digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix Key. Sebanyak 38 spesies kutukebul ditemukan pada tanaman pertanian, 10 spesies di antaranya belum teridentifikasi. Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, empat spesies kutukebul yang bersifat generalis adalah Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii, Bemisia tabaci, dan Trialeurodes vaporariorum. Kunci identifikasi kutukebul diharapkan digunakan sebagai panduan untuk identifikasi spesiesspesies kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian. Kata kunci: pupa, karakter morfologi, preparat mikroskop, kunci identifikasi Pendahuluan Keberadaan kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) di Indonesia sudah diketahui sejak tahun 1900-an. Pada saat itu, famili serangga ini dikenal dengan Aleurodidae (Koningsberger 1908). Koningsberger melaporkan terdapat tiga spesies kutukebul yang menjadi hama penting pada tanaman tebu di Jawa, di antaranya Aleurodes bergi Sign, A. longicornis Zehnt, dan A. lactea Zehnt. Selanjutnya Dammerman (1929) melaporkan adanya tiga spesies kutukebul lainnya, yaitu Aleurocanthus spiniferus Quaint, Aleurodicus cocois Corb, dan Aleurodicus destructor Mask. Pada saat itu, A. destructor menjadi hama penting 14 yang menyerang pohon buah-buahan dan kelapa di Jawa. Pada kisaran tahun 1930-an, Kalshoven dan Vecht melaporkan 20 spesies kutukebul (Kalshoven dan Vecht 1950), termasuk spesies-spesies yang telah dilaporkan oleh Koningsberger dan Dammerman. Kemudian berdasarkan penelitian Bintoro dan Hidayat (2008) di Bogor, Jawa Barat diperoleh 17 spesies kutukebul yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, sehingga sudah diketahui 37 spesies yang ada di Indonesia, baik pada tanaman pertanian maupun bukan tanaman pertanian. Penelitian mengenai kutukebul di Indonesia masih terbatas pada spesies seperti Bemisia tabaci Genn dan Trialeurodes vaporariorum West. Kedua spesies tersebut berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman. Spesies kutukebul lainnya yang menjadi hama penting di indonesia adalah Aleurodicus dispersus Russell dan A. dugesii Cockerell. A. dispersus dan A. dugesii merupakan serangga asli di kawasan Amerika Selatan dan memiliki kisaran inang yang luas. Pada tahun 1989, A. dispersus diketahui telah menyebar di sebagian wilayah Jawa dan Sumatera yang memiliki tanaman inang sebanyak 22 spesies dari 14 famili tanaman (Kajita et. al. 1991). A. dugesii pertamakali dilaporkan pada tahun 2007 di Bogor oleh Hidayat dan Watson (2008) yang menyerang pada tanaman kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis). A. dispersus dan A. dugesii merupakan spesies kutukebul yang kosmopolitan dan memiliki kisaran tanaman inang sangat luas. Hasil penelitian Murgianto menunjukkan bahwa A. dispersus memiliki tanaman inang sebanyak 111 spesies dari 53 famili tanaman, sedangkan A. dugesii sebanyak 40 spesies dari 27 famili tanaman. Sebagian besar dari tanaman inang A. dispersus dan A. dugesii merupakan kelompok tanaman dari komoditas hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias) (Murgianto 2010). Beberapa spesies kutukebul diketahui dapat menyebabkan kerusakan langsung maupun tidak langsung pada tanaman, khususnya pada kelompok tanaman budidaya yang bersifat komersial. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui spesies-spesies kutukebul yang umum ditemukan pada tanaman pertanian di beberapa daerah di Jawa Barat. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies-spesies kutukebul yang umum ditemukan pada tanaman pertanian, mengetahui karakteristik morfologi kutukebul, 15 dan tanaman inangnya, sehingga dapat menunjang proses identifikasi dan upaya pengendalian kutukebul khususnya di tanaman pertanian. Metode Penelitian Koleksi Kutukebul di Lapangan Pengambilan sampel kutukebul dilakukan pada lima wilayah di Jawa Barat, di antaranya Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Garut sejak Juni 2011 sampai dengan April 2012. Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel diukur dengan menggunakan aplikasi GPS (Global Positioning System) dari Pocket PC Mio P550. Sampel diambil dari berbagai jenis tanaman, di antaranya dari tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), pangan, serta beberapa jenis tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung (purposive sampling). Daun-daun yang terinfestasi pupa atau eksuvia kutukebul diambil dan ditutupi dengan kertas tisu, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik bening, dan diberi label. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dibuat menjadi preparat mikroskop. Pembuatan Preparat Mikroskop Kutukebul Pembuatan preparat kutukebul dilakukan dengan metode Watson (2007) yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada saat membuat preparat kutukebul yang pupanya berwarna hitam. Pupa direndam terlebih dahulu di dalam larutan KOH 10% selama 24 jam. Pada penelitian ini, pembuatan preparat mikroskop dilakukan dengan dengan metode preparat permanen untuk identifikasi dan penyimpanan dalam jangka waktu yang lama. Pada dasarnya, pembuatan preparat mikroskop kutukebul disesuaikan dengan tipe pupa atau eksuvia yang diperoleh. Terdapat dua macam spesimen yang umumnya digunakan dalam pembuatan preparat mikroskop kutukebul, yaitu pupa dan eksuvia. Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Pucat. Pupa kutukebul diambil dengan hati-hati dari daun tanaman inang dengan 16 menggunakan jarum mikro. Kemudian pupa dimasukkan ke dalam alkohol 80% dan didiamkan selama 5-10 menit. Sebanyak lima ml KOH 10% dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dipanaskan di atas kompor listrik. Kemudian larutan KOH tersebut dimasukkan ke dalam cawan sirakus. Pupa kutukebul secara satu persatu dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi larutan KOH 10% dengan menggunakan jarum mikro, lalu didiamkan hingga pupa terlihat transparan. Di bawah mikroskop cahaya, pupa dibersihkan dari lilin-lilin yang masih menempel dengan menggunakan jarum mikro. Selain itu, isi tubuh kutukebul dikeluarkan secara perlahan-lahan hingga hanya tersisa eksuvia-nya. Selanjutnya eksuvia dibilas dengan akuades sebanyak dua kali. Lilin yang masih tersisa pada eksuvia dapat dibersihkan dengan cara merendam eksuvia tersebut di dalam larutan carbol xylene selama 10 detik. Lalu eksuvia dibilas kembali dengan akuades. Setelah itu, eksuvia direndam di dalam larutan asam alkohol 50% selama 10 menit. Kemudian eksuvia direndam di dalam campuran larutan pewarna asam fuchsin dan asam asetat glasial dengan perbandingan 1:1 selama 15 menit. Eksuvia yang telah diwarnai direndam di dalam alkohol 80% selama 1-2 menit atau hingga diperoleh warna eksuvia yang diinginkan. Lalu direndam di dalam alkohol 100% selama satu menit. Setelah itu eksuvia dimasukkan ke dalam minyak cengkeh. Gelas objek (25.4 x 76.2 cm) disiapkan untuk perentangan eksuvia kutukebul. Pada permukaan atas gelas objek di bagian tengah diberi satu tetes minyak cengkeh. Sebanyak satu eksuvia diletakkan pada minyak cengkeh tersebut. Lalu eksuvia direntang dengan posisi ventral tubuh menghadap ke atas. Kemudian minyak cengkeh yang ada di sekitar eksuvia diserap dengan menggunakan kertas tisu. Selanjutnya pada eksuvia tersebut diteteskan balsam canada. Larutan medium dioleskan ke sekeliling eksuvia hingga hampir menyamai ukuran dari gelas penutup yang akan digunakan. Posisi eksuvia diatur kembali hingga letaknya tepat di bagian tengah. Gelas penutup (18 x 18 cm) diletakkan secara perlahan-lahan di atas spesimen dengan bantuan pinset. Preparat miroskop diberi label di sisi kanan dan kiri. Pada label di bagian kanan spesimen diberi keterangan lokasi dan waktu pengambilan sampel, tanaman inang, dan kolektor. Label di bagian kiri spesimen dikosongkan yang selanjutnya akan diisi dengan keterangan taksonomi spesimen setelah dilakukan identifikasi. Preparat 17 mikroskop kutukebul dikeringkan di atas hotplate Fisher Scientific Slide Warmer dengan suhu 60ºC selama 6-8 minggu. Identifikasi dapat dilakukan pada saat preparat sudah dikeringkan selama satu minggu. Selanjutnya preparat diletakkan kembali di atas hotplate hingga medium pada preparat tersebut benar-benar mengering. Preparat mikroskop kutukebul yang telah selesai dikeringkan disimpan di dalam kotak preparat. Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Hitam. Pupa kutukebul yang telah diambil dari daun dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi larutan KOH 10%. Selanjutnya didiamkan selama 24 jam. Setelah itu, isi tubuh pupa kutukebul dikeluarkan sehingga hanya tertinggal eksuvia-nya. Eksuvia dibilas dengan akuades sebanyak dua kali. Sisa lilin yang masih terdapat pada eksuvia dibersihkan dengan cara merendam eksuvia di dalam larutan carbol xylene selama 10 detik, lalu dibilas kembali dengan akuades. Kemudian eksuvia direndam di dalam alkohol 80% selama 1-2 menit, lalu direndam di dalam alkohol 100% selama satu menit. Eksuvia selanjutnya dimasukkan ke dalam minyak cengkeh. Cara perentangannya sama dengan cara perentangan pada eksuvia yang telah dijelaskan sebelumnya. Pembuatan Preparat Mikroskop dari Eksuvia. Eksuvia kutukebul diambil secara hati-hati dari daun dengan menggunakan jarum mikro. Kemudian eksuvia dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi alkohol 80%, dan didiamkan selama 5-10 menit. Selanjutnya eksuvia direndam di dalam larutan asam alkohol 50% selama 10 menit. Setelah itu, eksuvia diwarnai dengan merendamnya di dalam campuran larutan asam fuchsin dengan asam asetat glasial selama 15 menit. Langkah selanjutnya sama seperti pada pembuatan preparat mikroskop dari pupa berwarna pucat yang telah dijelaskan sebelumnya. Identifikasi Kutukebul Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi pupa kutukebul. Hal ini disebabkan pupa kutukebul memiliki karakter yang spesifik untuk masingmasing spesies (Watson 2007). Secara umum, karakter kutukebul yang menjadi ciri identifikasi di antaranya adanya compound pores (pori majemuk) di bagian 18 subdorsal dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Struktur vasiform orifice terdiri dari lingula (struktur seperti lidah) yang memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi untuk masing-masing spesies. Beberapa spesies kutukebul memiliki karakter yang khusus, seperti adanya barisan duri atau seta pada bagian submargin, adanya papila dan tuberkel, keberadaan serta bentuk pori trakea (tracheal pore), dan sebagainya. Karakter morfologi umum dari kutukebul subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Identifikasi kutukebul dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi kutukebul, di antaranya Russell (1964), Martin (1985), Martin (1987), Dooley (2007), dan Dubey et al. (2009) dengan bantuan mikroskop majemuk. Berdasarkan frekuensi penemuannya di lapangan, kutukebul dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kutukebul yang sering ditemukan (lebih dari tiga kali ditemukan) dan jarang ditemukan (kurang dari tiga kali ditemukan). Pembuatan Kunci Identifikasi Kutukebul Kunci identifikasi kutukebul dibuat dengan sistem dikotomi. Karakter dari masing-masing kutukebul dibuat ke dalam matriks karakter. Matriks karakter tersebut akan menjadi dasar bagi pembuatan kunci identifikasi dikotom. Kunci identifikasi dibuat pula dalam format digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix (2004). Gambar yang digunakan pada kunci identifikasi berupa foto berwarna yang diambil dengan menggunakan kamera digital SONY DSC-W520 di bawah mikroskop cahaya dan mikroskop majemuk (untuk preparat mikroskop). Pengukuran spesimen dibantu oleh perangkat lunak Dino Capture (2009). Selanjutnya pada gambar yang telah diperoleh diberi keterangan, khususnya untuk karakter yang bersifat spesifik untuk masing-masing spesies kutukebul. Gambargambar tersebut juga digunakan pada kunci identifikasi dengan format digital, tetapi gambar-gambar tersebut harus dirubah dahulu dalam format resolusi rendah (sekitar 10 kilobit (kb)) agar komposisi tampilan gambar pada format digital terlihat baik. 19 Hasil Penelitian Hasil Identifikasi dan Karakter Morfologi Kutukebul Berdasarkan hasil pengambilan sampel, jumlah kutukebul yang diperoleh adalah 38 spesies. Kutukebul dari subfamili Aleurodicinae ditemukan sebanyak empat spesies, sedangkan Aleyrodinae 34 spesies. Dari 38 spesies kutukebul yang ditemukan, sebanyak 28 di antaranya sudah teridentifikasi, sedangkan 10 spesies lainnya belum teridentifikasi. Kesepuluh spesies kutukebul yang belum teridentifikasi tersebut termasuk ke dalam subfamili Aleyrodinae (Lampiran 3). Jika dilihat dari frekuensi penemuannya di lapangan, terdapat 14 spesies yang sering ditemukan di pertanaman, sedangkan 24 spesies lainnya jarang ditemukan. Dari 14 spesies kutukebul tersebut di atas, sebanyak 6 spesies ditemukan pada tanaman sayuran (Lampiran 4). Hasil identifikasi spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman pertanian adalah sebagai berikut: Subfamili Aleurodicinae: 1. Aleuroctarthrus destructor* 2. Aleurodicus dispersus** 3. Aleurodicus dugesii** 4. Paraleyrodes minei** Subfamili Aleyrodinae: 5. Aleurocanthus citriperdus** 6. Aleurocanthus spiniferus** 7. Aleurocanthus woglumi* 8. Aleuroclava aucubae* 9. Aleuroclava canangae* 10. Aleuroclava jasmini** 11. Aleuroclava psidii* 12. Aleurolobus marlatti* 13. Aleurotrachelus sp.1** 14. Aleurotrachelus sp.2* 15. Aleurotrachelus sp.3* 16. Asiothrixus antidesmae** 17. Bemisia tabaci** 18. Cockerelliella psidii** 19. Cockerelliella sp. 1* 20. Cockerelliella sp. 2* 21. Dialeurodes kirkaldyi* 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. Dialeurodes sp.* Dialeuropora decempuncta** Lipaleyrodes sp.* Minutaleyrodes minuta* Orchamoplatus mammaeferus** Rusostigma sp.** Trialeurodes vaporariorum** Spesies 1* Spesies 2* Spesies 3* Spesies 4* Spesies 5* Spesies 6* Spesies 7* Spesies 8* Spesies 9* Spesies 10* Keterangan: *jarang ditemukan, ** sering ditemukan (berdasarkan frekuensi penemuan di lapangan). 20 Kutukebul subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae dapat dibedakan dari karakter morfologi umum berupa pori majemuk abdomen dan vasiform orifice (Gambar 3.1). Subfamili Aleurodicinae memiliki pori majemuk di bagian subdorsal abdomen tubuhnya. Selain itu, di bagian posterior tubuhnya terdapat vasiform orifice yang berbentuk setengah lingkaran dengan lingula (struktur seperti lidah) yang berukuran besar hingga melewati batas vasiform orifice. Subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen; bentuk vasiform orifice beragam, tergantung spesiesnya masing-masing; dan biasanya memiliki seta kauda di bagian posterior tubuh. Selain itu, bentuk dan warna eksuvianya subfamili Aleyrodinae sangat beragam, mulai dari berwarna pucat hingga gelap. Gambar 3.1 Ciri morfologi umum eksuvia kutukebul subfamili Aleurodicinae (a), dan Aleyrodinae (b) berdasarkan pori majemuk abdomen dan vasiform orifice 21 Kunci Identifikasi Kutukebul Karakter morfologi dari masing-masing spesies kutukebul yang ditemukan dapat dilihat pada kunci identifikasi pada Lampiran 5. Kunci identifikasi dikotom dibuat dalam format digital (Gambar 3.2). Gambar 3.2 Tampilan kunci identifikasi kutukebul dikotomi dalam format digital menggunakan program Lucid Phoenix Pembahasan Hasil pengambilan sampel menunjukkan bahwa jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman pertanian sebagian besar merupakan anggota dari subfamili Aleyrodinae. Menurut laporan Watson (2007), jumlah spesies dari subfamili Aleyrodinae lebih banyak daripada Aleurodicinae. Subfamili Aleurodicinae meliputi 120 spesies dari 18 genus, sedangkan subfamili Aleyrodinae meliputi 1080 spesies dari 112 genus. Kutukebul dari subfamili Aleurodicinae sangat umum ditemukan di kawasan Neotropik, sedangkan Aleyrodinae penyebarannya sangat luas. Spesies kutukebul dari subfamili Aleurodicinae umumnya memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, sedangkan spesies dari subfamili Aleyrodinae memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil daripada Aleurodicinae. Hal ini menyebabkan spesies kutukebul dari subfamili 22 Aleyrodinae dapat lebih aktif terbang dan lebih mudah terbawa oleh angin dalam berpindah tempat daripada spesies kutukebul dari subfamili Aleurodicinae. Selain itu, venasi sayap yang dimiliki oleh imago subfamili Aleyrodinae lebih sederhana daripada Aleurodicinae. Hal ini menunjukkan bahwa subfamili Aleyrodinae merupakan serangga yang lebih maju daripada Aleurodicinae dari segi evolusinya (Gullan dan Martin 2003). Hal ini kemungkinan yang menyebabkan beberapa spesies dari subfamili Aleyrodinae dapat berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman dan berkembang menjadi biotipe tertentu, contohnya pada B. tabaci. Deskripsi Spesies Kutukebul a. Subfamili Aleurodicinae 1. Aleuroctarthrus destructor Martin Sinonim: Aleurodicus destructor Mackie; Aleurodes albofloccosa Froggatt Nama umum: coconut whitefly Tanaman inang: Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera). Tempat ditemukan: Bogor. Deskripsi: A. destructor biasanya dapat ditemukan pada permukaan bawah daun pohon kelapa. Imago berwarna putih dan memiliki ukuran tubuh yang relatif besar (Gambar 3.3b). Ciri khas dari kutukebul ini dapat dilihat dari bentuk lilin yang dihasilkannya. Masing-masing pupa dapat menghasilkan lilin berwarna putih yang tebal di bagian tengah dorsal tubuhnya yang mengarah ke atas (Gambar 3.3c). Pada bagian tepi tubuhnya dihasilkan lilin putih yang lebih tipis yang jika dilihat secara keseluruhan akan membentuk jalinan-jalinan lilin yang tidak beraturan sehingga terlihat seperti gumpalan-gumpalan lilin (Gambar 3.3a). Pada eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen yang berukuran relatif besar (Gambar 3.3d). A. destructor dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam. Keberadaan A. destructor di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 1915 (Kalshoven dan Vecht 1950). 23 Gambar 3.3 Koloni A. destructor pada permukaan bawah daun kelapa (a), imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) A. destructor 2. Aleurodicus dispersus Russell Nama umum: spiralling whitefly Tanaman inang: Apocynaceae: kamboja (Plumeria alba); Araceae: talas (Colocasia esculenta); Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Caricaceae: pepaya (Carica papaya); Euphorbiaceae: kastuba (Euphorbia pulcherrima), singkong (Manihot esculenta); Fabaceae: kecipir (Psophocarpus tetragonolobus), buncis (Phaseolus vulgaris); Lauraceae: alpukat (Persea americana); Malvaceae: kapas (Gossypium arboretum); Musaceae: pisang (Musa paradisiaca); Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense), jambu biji (Psidium guajava); Orchidaceae: anggrek tanah (Spathoglottis plicata); Rutaceae: jeruk manis (Citrus sinensis), jeruk limau (Citrus amblycarpa); Solanaceae: cabai merah besar (Capsicum annuum), tomat (Lycopersicon esculentum). Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung, Sukabumi, dan Garut. Deskripsi: Spesies A. dispersus merupakan kutukebul yang bersifat polifag dan kosmopolitan. Imago A. dispersus berwarna putih dengan tubuh berukuran relatif besar, tetapi relatif lebih kecil daripada A. destructor. Pada pupa A. dispersus terdapat dua struktur lilin yang ukurannya panjang di bagian posterior tubuhnya yang bentuknya menyerupai ekor (Gambar 3.4b). A. 24 dispersus umumnya hidup secara berkelompok. Pada populasi yang tinggi, koloni kutukebul dapat menutupi hampir seluruh permukaan bawah daun (Gambar 3.4a). Pada eksuvia terdapat empat pasang pori majemuk abdomen (Gambar 3.4c). A. dispersus dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam. Kutukebul A. dispersus dilaporkan keberadaannya di Indonesia sejak tahun 1989 (Kajita et al. 1991). Gambar 3.4 Koloni A. dispersus pada permukaan bawah daun kastuba (a), pupa (b), dan eksuvia A. dispersus 3. Aleurodicus dugesii Cockerell Sinonim: Aleurodicus poriferus Sampson & Drews Nama umum: giant whitefly Tanaman inang: Annonaceae: srikaya (Annona squamosa); Apocynaceae: kamboja (P. alba); Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Asteraceae: dahlia (Dahlia pinnata); Begoniaceae: begonia (Begonia grandis, Begonia sp.); Cannaceae: kana (Canna indica); Cucurbitaceae: labu siam (Sechium edule); Euphorbiaceae: ekor kucing (Acalypha hispida), akalifa (Acalypha wilkesiana); Lauraceae: alpukat (Persea americana); Malvaceae: Kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis); Moraceae: murbei (Morus alba), nangka (Artocarpus heterophyllus); Musaceae: pisang hias (Heliconia colisiana), pisang (Musa paradisiaca); Myrtaceae: dewandaru (Eugenia uniflora); 25 Orchidaceae: anggrek tanah (Spathoglottis plicata); Rubiaceae: kopi (Coffea arabica); Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia); Solanaceae: cabai keriting, cabai merah besar (Capsicum annuum), melati kosta (Brunfelsia uniflora). Tempat ditemukan: Bandung, Bogor, Cianjur, Sukabumi, dan Garut. Deskripsi: Kutukebul A. dugesii dapat dengan mudah dikenali di lapangan dengan adanya lilin-lilin putih yang banyak dan memanjang ke bawah hingga menyerupai janggut (Gambar 3.5a). Imago A. dugesii berwarna putih dengan corak berwarna kelabu pada bagian sayap depannya (Gambar 3.5b). Nimfa berwarna kuning hingga transparan (Gambar 3.5c). Pada eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen (dua pasang pori majemuk di bagian posterior ukurannya tereduksi) (Gambar 3.5d). A. dugesii merupakan spesies kutukebul yang bersifat polifag dan cenderung lebih banyak ditemukan di daerah dataran tinggi daripada dataran rendah dan dataran sedang. Pada populasi yang tinggi, koloni kutukebul dan lilinnya dapat menutupi seluruh permukaan bawah daun. A. dugesii dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam. Gambar 3.5 Koloni A. dugesii pada permukaan bawah daun kembang sepatu (a), imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) A. dugesii 26 4. Paraleyrodes minei Iaccarino Nama umum: nesting whitefly Tanaman inang: Lauraceae: alpukat (Persea americana); Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense); Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk bali (Citrus maxima). Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Sukabumi. Deskripsi: Imago P. minei berwarna putih dengan ukuran tubuh yang mirip dengan A. dispersus (Gambar 3.6b). Imago betina sering meletakkan telurtelurnya secara melingkar dengan ditutupi oleh lapisan lilin sehingga menyerupai sarang burung. Kemudian imago tersebut berdiam diri di bagian tengah. Pupa P. minei berwarna kuning hingga transparan (Gambar 3.6a). Permukaan tubuhnya sering tertutupi oleh lapisan lilin yang dihasilkannya. Di sepanjang tepi tubuhnya dikelilingi oleh lilin yang berwarna putih. Pada eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen (dua pasang pori majemuk di bagian anterior ukurannya tereduksi) (Gambar 3.6c). Kutukebul ini baru diketahui keberadaannya di Indonesia pada tahun 2011 (Nurulalia et al. 2012). Gambar 3.6 Nimfa (a), dan imago (b) P. minei pada permukaan bawah daun jeruk, serta eksuvia P. minei b. Subfamili Aleyrodinae 5. Aleurocanthus citriperdus Quaintance and Baker Sinonim: Aleurocanthus cameroni Corbett Tanaman inang: Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk bali (Citrus maxima). Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur. 27 Deskripsi: A. citriperdus merupakan spesies kutukebul yang umum ditemukan pada tanaman jeruk. Kutukebul ini belum pernah dilaporkan ditemukan pada tanaman selain jeruk. Kutukebul genus Aleurocanthus umumnya ditemukan hidup secara berkelompok, termasuk A. citriperdus. A. citriperdus dapat dikenali dengan warna tubuh yang hitam mengkilat dengan lilin yang berwarna putih di bagian tepi tubuhnya. Pada bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri kaku yang juga berwarna hitam. Pada saat di lapangan, A. citriperdus relatif sulit dibedakan dengan kutukebul genus Aleurocanthus lainnya. Identifikasi kutukebul Aleurocathus hanya dapat dipastikan berdasarkan karakter eksuvianya, yaitu adanya duri-duri pada bagian submarginal tubuh. Spesies A. citriperdus memiliki duri-duri sebanyak 16 pasang (Gambar 3.7). Gambar 3.7 Eksuvia A. citriperdus 6. Aleurocanthus spiniferus Quaintance Sinonim: Aleurocanthus spinifera Quaintance; Aleurodes citricolus Newstead; Aleurocanthus spiniferus Quaintance & Baker; Aleurocanthus spiniferus var. intermedia Silvestri; Aleurocanthus rosae Singh Nama umum: orange spiny whitefly Tanaman inang: Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Moraceae: nangka (Artocarpus heterophyllus); Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava); Rutacaeae: jeruk manis (Citrus sinensis). Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung. Deskripsi: A. spiniferus merupakan spesies kutukebul yang umum ditemukan pada tanaman jeruk, kelapa, dan nangka. Seperti halnya A. citriperdus, 28 kutukebul ini juga umumnya hidup secara berkelompok. Jika dilihat secara langsung pada daun, A. spiniferus sulit dibedakan dari A. citriperdus karena memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu memiliki warna tubuh yang hitam mengkilat dengan lilin yang berwarna putih di bagian tepi tubuhnya. Pada bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri kaku yang juga berwarna hitam. Kadang-kadang di bagian ujung duri tersebut sering terdapat cairan yang lengket berwarna kuning yang kemungkinan merupakan cairan embun madu yang dihasilkan oleh kutukebul (Gambar 3.8). Imago memiliki tubuh berwarna jingga dengan sayap bercorak warna hitam. Seperti halnya A. citriperdus, identifikasi A. spiniferus hanya dapat dipastikan berdasarkan karakter eksuvianya, yaitu adanya duri-duri pada bagian submarginal tubuh sebanyak 11 pasang yang semua ukuran panjangnya sama. Gambar 3.8 Pupa (a) dan imago (b) A. spiniferus pada daun nangka, serta eksuvia A. spiniferus 7. Aleurocanthus woglumi (Ashby) Sinonim: Aleurocanthus punjabensis Corbett; Aleurocanthus woglumi var formisana Takahashi Nama umum: citrus blackfly Tanaman inang: Rutaceae: jeruk manis (Citrus sinensis). Tempat ditemukan: Bogor. Deskripsi: Kutukebul A. woglumi merupakan spesies kutukebul yang biasanya ditemukan pada tanaman jeruk. Seperti halnya spesies dari genus Aleurocanthus lainnya, A. woglumi juga umumnya hidup secara berkelompok. Jika dilihat secara langsung pada daun, A. woglumi sulit dibedakan dari A. 29 citriperdus dan A. spiniferus karena memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu memiliki warna tubuh yang hitam mengkilat dengan lilin yang berwarna putih di bagian tepi tubuhya. Pada bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri kaku yang juga berwarna hitam. Perbedaan secara pasti hanya dapat dilakukan dengan cara melihat karakter spesifik yang dimiliki oleh masing-masing eksuvia. Pada eksuvia A. woglumi terdapat duri-duri pada bagian submarginal tubuh sebanyak 11 pasang. Satu pasang duri di bagian posteror tubuh ukurannya lebih panjang daripada duri-duri lainnya sehingga menyerupai ekor (Gambar 3.9). Gambar 3.9 Eksuvia A. woglumi 8. Aleuroclava aucubae (Kuwana) Sinonim: Aleyrodes aucubae Kuwana; Tetraleurodes aucubae Quaintance and Baker; Aleurotuberculatus aucubae Takahashi Nama umum: aucuba whitefly, coral whitefly Tanaman inang: Myrtaceae: jambu bol (Syzigium malaccense) Tempat ditemukan: Bogor, Sukabumi Deskripsi: Pupa A. aucubae berwarna hitam dengan bentuk menyerupai buah pir. Pada bagian dorsal pupa terdapat pola-pola (rhachis) yang permukaannya cembung yang tertutupi oleh lapisan lilin berwarna putih (Gambar 3.10). 30 Gambar 3.10 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. aucubae 9. Aleuroclava canangae (Corbett) Sinonim: Martiniella canangae Corbett; Aleurotuberculatus canangae Corbett Tanaman inang: Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava) Tempat ditemukan: Bogor Deskripsi: Pada pupa terdapat pigmentasi berwarna cokelat pada bagian-bagian tertentu, di antaranya pada bagian mulut, anterior abdomen, dan di sekitar vasiform orifice. Ciri kutukebul A. canangae di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Pada eksuvia A. canangae terdapat granul yang sangat banyak yang letaknya beraturan, terdapat satu pasang seta pada bagian sefalotoraks dan tungkai ketiga yang masing-masing terdiri dari satu ruas (Gambar 3.11a), tetapi ada juga yang seta-nya tidak terlihat (Gambar 3.11b). Gambar 3.11 Eksuvia A. canangae dengan seta (a) dan tanpa seta (b) 10. Aleuroclava jasmini Takahashi Sinonim: Aleurotuberculatus jasmini Takahashi 31 Nama umum: jasmine whitefly Tanaman inang: Myrtaceae: salam (Syzygium polyanthum); Oleaceae: Melati (Jasminum sambac); Sapindaceae: rambutan (Nephelium lappaceum) Tempat ditemukan: Bogor Deskripsi: A. jasmini merupakan kutukebul yang umumnya ditemukan pada tanaman melati. Ciri kutukebul A. jasmini di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Tepian eksuvia umumnya bergerigi, dan biasanya ada yang memiliki satu pasang seta pada bagian sefalotoraks dan tungkai ketiga yang masing-masing terdiri dari satu ruas (Gambar 3.12a), dan ada juga yang tidak memiliki seta (Gambar 3.12b). Gambar 3.12 Eksuvia A. jasmini dengan seta (a) dan tanpa seta (b) 11. Aleuroclava psidii (Singh) Sinonim: Aleurotuberculatus psidii (Singh); Aleurotuberculatus psidii Singh Nama umum: asian guava whitefly Tanaman inang: Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava). Tempat ditemukan: Bogor Deskripsi: Kutukebul A. psidii merupakan kutukebul yang sering ditemukan pada tanaman jambu biji. Pupa A. psidii berwarna kuning hingga transparan. Pada bagian dorsal terdapat pola pigmentasi berwarna hitam (Gambar 3.13a). Pada eksuvia terdapat pola granul yang letaknya beraturan, selain itu di bagian margin terdapat pola yang bergerigi (Gambar 3.13b). 32 Gambar 3.13 Pupa (s) dan eksuvia (b) A. psidii 12. Aleurolobus marlatti Quaintance and Baker Sinonim: Aleurolobus niloticus Priesner and Hosny; Aleyrodes marlatti (Quaintance) Nama umum: marlatt whitefly Tanaman inang: Musaceae: pisang (Musa paradisiaca) Tempat ditemukan: Bogor Deskripsi: Kutukebul A. marlatti ditemukan pada pohon pisang. Kutukebul ini memiliki warna tubuh hitam. Permukaan bagian dorsal tubuh tidak rata (terdapat pola rhachis atau lekukan-lekukan). Pada bagian lekukan tersebut biasanya terdapat lapisan lilin berwarna putih. Pada bagian tepi tubuhnya terdapat struktur yang transparan yang mengelilingi tepian tubuhnya. Pada bagian anterior eksuvia terdapat pola bentuk mata yang berbentuk seperti tanda baca “koma” yang berwarna lebih terang daripada warna eksuvia (Gambar 3.14). Gambar 3.14 Pupa (a), dan eksuvia (b) A. marlatti 33 13. Aleurotrachelus sp. 1 Tanaman inang: Fabaceae: kecipir (Psophocarpus tetragonolobus). Tempat ditemukan: Bogor. Deskripsi: Ciri kutukebul Aleurotrachelus sp. 1 di lapangan berwarna hitam dengan permukaan tubuh tertutupi oleh lilin berwarna putih. Permukaan bagian dorsal tubuh tidak rata (terdapat pola rhachis atau lekukan-lekukan). Terdapat lilin-lilin yang berwarna putih yang mengelilingi bagian tepi pupa (Gambar 3.15a). Pada eksuvia di bagian abdomen terdapat pola lekukan (rhachis). Terdapat pola lipatan transversal di bagian submargin toraks hingga ke bagian anterior abdomen (Gambar 3.15b). Gambar 3.15 Pupa (a), dan eksuvia (b) Aleurotrachelus sp. 1 14. Aleurotrachelus sp. 2 Tanaman inang: Annonaceae: srikaya (Annona squamosa); Gnetaceae: melinjo (Gnetum gnemon). Tempat ditemukan: Bogor, Sukabumi. Deskripsi: Ciri kutukebul Aleurotrachelus sp. 2 di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Pada eksuvia Aleurotrachelus sp. 2 terdapat alur longitudinal di bagian submargin toraks, terdapat rhacis pada submargin abdomen, dan terdapat sepasang seta pada masing-masing ruas toraks (Gambar 3.16). 34 Gambar 3.16 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 2 15. Aleurotrachelus sp. 3 Tanaman inang: Sapindaceae: rambutan (Nephelium lappaceum). Tempat ditemukan: Bogor. Deskripsi: Ciri kutukebul Aleurotrachelus sp. 3 di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvianya. Seperti halnya eksuvia Aleurotrachelus sp. 2, pada eksuvia Aleurotrachelus sp. 3 juga terdapat alur longitudinal di bagian submargin toraks, terdapat rhachis pada submargin abdomen, tetapi tidak dan terdapat sepasang seta pada ruas toraks (Gambar 3.17). Gambar 3.17 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 3 16. Asiothrixus antidesmae (Takahashi) Sinonim: Aleurothrixus antidesmae Takahashi Tanaman inang: Gnetaceae: melinjo (Gnetum gnemon); Lauraceae: alpukat (Persea Americana); Rubiaceae: asoka (Ixora coccinea); Sapindaceae: rambutan (Nephelium lappaceum). 35 Tempat ditemukan: Bogor. Deskripsi: Di lapangan, pupa A. antidesmae berwarna putih hingga transparan dengan lilin berwarna di bagian median tubuhnya yang memanjang mulai dari toraks hingga ke abdomen. Pada sepanjang tepian pupa terdapat barisan lilin yang berwarna putih hingga transparan (Gambar 3.18a). Tepian eksuvia bergerigi sebanyak dua baris (Gambar 3.18b). Di bagian anterior abdomen terdapat dua pasang seta dengan ujung yang melekuk ke arah dalam. Gambar 3.18 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. antidesmae 17. Bemisia tabaci Gennadius Sinonim: Bemisia gossypiperda Misra & Lamba; Bemisia longispina Priesner & Hosny; Bemisia nigeriensis Corbett Nama umum: Tobacco whitefly, sweet potato whitefly, cotton whitefly, cassava whitefly. B. tabaci biotipe-B dikenal dengan nama B. argentifolia atau silverleaf whitefly Tanaman inang: Cucurbitaceae: mentimun (Cucumis sativus); Euphorbiaceae: singkong (Manihot esculenta); Fabaceae: kacang panjang (Vigna unguiculata sesquivedalis), kedelai (Glycine max), kecipir (Psophocarpus tetragonolobus); Solanaceae: terung (Solanum melongena), cabai merah keriting (Capsicum annuum), tomat (Lycopersicon esculentum). Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Garut. Deskripsi: Pada daun, pupa B. tabaci berwarna putih hingga kekuningan. Di bagian anterior terdapat pola mata berwarna merah. Pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat pola warna kuning. Jika dilihat secara keseluruhan, 36 pupa B. tabaci menyerupai buah pir (Gambar 3.19a). Vasiform orifice B. tabaci berbentuk segitiga. Di bagian posterior tubuhnya terdapat satu pasang seta kauda yang strukturnya kokoh (Gambar 3.19b). Gambar 3.19 Pupa (a) dan eksuvia (b) B. tabaci pada daun singkong 18. Cockerelliella psidii (Corbett) Sinonim: Dialeurodes psidii (Corbett); Dialeurodes lumpurensis Corbett Tanaman inang: Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava), salam (Syzygium polyanthum) Tempat ditemukan: Bogor, Bandung, Sukabumi Deskripsi: Ciri pupa kutukebul C. psidii di lapangan berwarna putih hingga transparan. Pada bagian permukaan dorsal terdapat tiga baris pola lilin yang memanjang mulai dari toraks hingga ke abdomen. Di sepanjang tepian pupa terdapat barisan lilin berwarna putih (Gambar 3.20a). Pada eksuvia terdapat sutura longitudinal dan transversal yang terlihat jelas sebagai jalan keluar imago ketika akan keluar dari pupa (Gambar 3.20b). Gambar 3.20 Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) C. psidii 37 19. Cockerelliella sp. 1 Tanaman inang: Myrtaceae: salam (Syzygium polyanthum), jambu bol (Syzigium malaccense) Tempat ditemukan: Bogor Deskripsi: Ciri kutukebul Cockerelliella sp. 1 di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Bentuk eksuvia lebih memanjang daripada C. psidii. Pada eksuvia terdapat sutura longitudinal dan transversal yang terlihat jelas sebagai jalan keluar bagi imago ketika keluar dari pupa (Gambar 3.21). Gambar 3.21 Eksuvia Cockerelliella sp. 1 20. Cockerelliella sp. 2 Tanaman inang: Gnetaceae: melinjo (Gnetum gnemon); Rubiaceae: kopi (Coffea arabica); Sapotaceae: sawo (Manilkara zapota) Tempat ditemukan: Bogor, Sukabumi Deskripsi: Ciri kutukebul Cockerelliella sp. 2 di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Eksuvia Cockerelliella sp. 2 berbentuk bulat. Seperti halnya genus Cockerelliella lainnya, pada eksuvia Cockerelliella sp. 2 juga terdapat sutura longitudinal dan transversal sebagai jalan keluar dari imago ketika keluar dari pupa (Gambar 3.22). 38 Gambar 3.22 Eksuvia Cockerelliella sp. 2 21. Dialeurodes kirkaldyi (Kotinsky) Sinonim: Aleyrodes kirkaldyi Kotinsky Nama umum: arabian jasmine whitefly, kirkaldyi whitefly Tanaman inang: Oleaceae: Melati (Jasminum sambac) Tempat ditemukan: Bogor Deskripsi: Ciri kutukebul D. kirkaldyi di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Pada eksuvia D. kirkaldyi terdapat pola pigmentasi berwarna gelap yang memanjang mulai dari bagian toraks hingga ke abdomen. Vasiform orifice biasanya berbentuk setengah lingkaran (Gambar 3.23). Gambar 3.23 Eksuvia D. kirkaldyi 39 22. Dialeurodes sp. Cockerell Tanaman inang: Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense), jambu bol (Syzigium malaccense) Tempat ditemukan: Bogor Deskripsi: Pupa Dialeurodes sp. berwarna kekuningan hingga transparan. Pada bagian tracheal fold terdapat pola warna kuning yang lebih gelap. Menjelang menjadi imago, pada pupa akan terlihat pola bentuk mata berwarna gelap (Gambar 3.24a). Vasiform orifice umumnya berbentuk setengah lingkaran dengan ukuran yang relatif kecil. Bagian tepi posterior tubuh biasanya melekuk ke arah dalam (Gambar 3.24b). Gambar 3.24 Pupa (a) dan eksuvia (b) Dialeurodes sp. 23. Dialeuropora decempuncta (Quaintance and Baker) Sinonim: Dialeurodes decempuncta Quaintance and Baker; Dialeurodes setigerus Takahashi; Dialeurodes dothioensis Dumbelton Nama umum: breadfruit whitefly Tanaman inang: Anacardiaceae: mangga (Mangifera indica); Lauraceae: alpukat (Persea americana); Moraceae: nangka (Artocarpus heterophyllus); Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava); Sapindaceae: rambutan (Nephelium lappaceum ) Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung, Garut Deskripsi: Secara langsung, D. decempuncta dapat dikenali dengan adanya lilin yang berwarna biru mengkilat di sekitar nimfa dan pupanya (Gambar 3.25c). Bentuk pupa D. decempuncta dipengaruhi oleh struktur permukaan daun tanaman inangnya. Pada daun mangga yang permukaannya halus, eksuvia D. decempuncta memiliki tepian yang bentuknya rapi dan sering 40 ditemukan hidup secara berkelompok (Gambar 3.25a dan b), sedangkan pada daun jambu biji biasanya ditemukan hidup soliter dengan tepian pupa agak berkerut (Gambar 3.25d). Kutukebul spesies D. decempuncta pernah dilaporkan oleh Bintoro dan Hidayat (2008). Gambar 3.25 Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) D. decempuncta pada permukaan daun yang halus (mangga), pupa (c) dan eksuvia (d) pada permukaan daun kasar (jambu biji) 24. Lipaleyrodes sp. Takahashi Tanaman inang: Euphorbiaceae: meniran (Phyllanthus niruri), katuk (Sauropus androgynus) Tempat ditemukan: Bogor Deskripsi: Berdasarkan hasil pengambilan sampel, kutukebul Lipaleyrodes merupakan spesies kutukebul yang biasanya dapat ditemukan pada tanaman dari famili Euphoriaceae, terutama meniran dan katuk. Pupa kutukebul ini berwarna kuning hingga transparan dengan permukaan tertutupi oleh lapisan lilin berwarna putih (Gambar 3.26a). Imago memiliki tubuh berwarna kuning dengan sayap berwarna putih yang sekilas mirip dengan imago B. tabaci (Gambar 3.26b). Pada bagian submargin eksuvia terdapat pola tuberkel yang berbentuk bulat (Gambar 3.26c). Lipaleyrodes merupakan spesies kutukebul 41 yang biasanya dapat ditemukan pada tanaman dari famili Euphorbiaceae, terutama meniran dan katuk. Genus Lipaleyrodes Takahashi merupakan sinonim junior dari genus Bemisia Quaintance and Baker (Dubey et al. 2009). Gambar 3.26 Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) Lipaleyrodes sp. 25. Minutaleyrodes minuta Singh Sinonim: Aleurotuberculatus minutus (Singh); Dialeurodes minuta Singh Tanaman inang: Myrtaceae: jambu bol (Syzigium malaccense); Rubiaceae: asoka (Ixora coccinea) Tempat ditemukan: Bogor Deskripsi: Ciri kutukebul M. minuta di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Eksuvia dari genus Minutaleyrodes berukuran sangat kecil jika dibandingkan dengan eksuvia kutukebul lainnya dan memiliki ciri yang sangat unik yang sekilas mirip dengan bentuk bunga (Gambar 3.27). Gambar 3.27 Eksuvia M. minuta 26. Orchamoplatus mammaeferus (Quaintance and Baker) Sinonim: Aleuroplatus (Orchamus) mammaeferus Quaintance and Baker; Aleuroplatus (Orchamus) samoanus Liang 42 Nama umum: croton whitefly Tanaman inang: Euphorbiaceae: puring (Codiaeum variegatum) Tempat ditemukan: Bogor, Bandung Deskripsi: O. mammaeferus merupakan spesies kutukebul yang umum dapat ditemukan pada tanaman puring. Kutukebul ini memiliki pupa berwarna putih dan dengan sedikit lilin pada permukaan atas tubuhnya (Gambar 3.28b). Di sepanjang tepian pupa biasanya terdapat lilin transparan yang membantu untuk melekat pada permukaan daun. Ketika pupa diambil dari daun, lapisan lilin ini akan ikut terangkat. O. mammaeferus hidup secara berkelompok dibagian daun tua dari tanaman puring (Gambar 3.28a). Pada populasi yang sangat tinggi, massa dari kutukebul O. mammaeferus biasanya dapat menutupi hampir seluruh bagian permukaan bawah daun. Pada bagian submargin eksuvia terdapat satu baris pola berbentuk seperti gigi. Pada abdomen ruas pertama biasanya terdapat satu pasang seta. Memiliki pori trakea yang berbentuk seperti sisir. Kutukebul O. mammaeferus pertamakali dilaporkan di Indonesia oleh Watson (2007). Gambar 3.28 Koloni O. mammaeferus pada daun puring (a), pupa (b), dan eksuvia (c) O. mammaeferus 43 27. Rusostigma sp. Quaintance and Baker Tanaman inang: Anacardiaceae: mangga (Mangifera indica); Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense), jambu bol (Syzigium malaccense); salam (Syzigium polyanthum) Tempat ditemukan: Bogor, Bandung, Cianjur, Sukabumi Deskripsi: Kutukebul Rusostigma sp. sering ditemukan pada tanaman dari famili Myrtaceae, seperti jambu air dan jambu bol. Imago memiliki sayap berwarna kelabu dengan ukuran tubuh realtif besar (3.29b). Ukuran pupa dan eksuvia Rusostigma sp. juga berukuran relatif besar dan umumnya berwarna kecokelatan (Gambar 3.29c). Pada eksuvia dapat terlihat adanya pola granul hampir di seluruh bagian tubuhnya yang letaknya agak berjauhan satu sama lain. Terdapat pola toraks yang biasanya terlihat berwarna lebih terang daripada bagian tubuh lainnya setelah eksuvia diwarnai dan dibuat menjadi preparat mikroskop (Gambar 3.29d). Gambar 3.29 Koloni Rusostigma sp. pada daun salam (a), imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) Rusostigma sp. Rusostigma sp. hidup secara berkelompok sehingga pada populasi yang tinggi biasanya pupa dapat menyebar hampir di seluruh permukaan daun. Pada populasi yang tinggi, kutukebul ini juga dapat ditemukan pada bagian permukaan atas daun (Gambar 3.29a). Tempat pupa menempel biasanya akan 44 membentuk cekungan sehingga jika dilihat dari bagian permukaan daun lainnya akan terlihat tonjolan-tonjolan kecil seperti puru. Kutukebul genus Rusostigma sp. pernah dilaporkan keberadaannya di Indonesia oleh Bintoro dan Hidayat (2008). 28. Trialeurodes vaporariorum (Westwood) Sinonim: Aleurodes nicotianae Maskell; Aleurodes papillifer Maskell; Aleurodes vaporariorum Asterochiton lecanoides Westwood; Maskell; Aleyrodes Trialeurodes sonchi Kotinsky; mossopi Corbett; Trialeurodes natalensis Corbett; Trialeurodes sesbaniae Corbett Nama umum: greenhouse whitefly Tanaman inang: sesquivedalis); Fabaceae: kacang panjang Solanaceae: terung (Solanum (Vigna unguiculata melongena), tomat (Lycopersicon esculentum) Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung, Garut Deskripsi: T. vaporariorum merupakan spesies kutukebul yang banyak ditemukan pada tanaman famili Solanaceae di daerah dataran sedang hingga tinggi. Secara sekilas, imago kutukebul ini mirip dengan B. tabaci. Namun imago T. vaporariorum memiliki sayap yang lebih melebar daripada B. tabaci ketika hinggap pada tanaman (Gambar 3.30b). Pupa T. vaporariorum berbentuk memanjang dan biasanya terdapat seta-seta di bagian tepi lateral tubuh pupa (Gambar 3.30a). Pada eksuvia T. vaporariorum biasanya terdapat barisan tuberkel kecil di bagian margin dan beberapa tuberkel berukuran besar di bagian toraks dan abdomen (Gambar 3.30c). Gambar 3.30 Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) T. vaporariorum pada daun tomat 45 Kunci Identifikasi Kutukebul pada Tanaman Pertanian Kunci identifikasi kutukebul yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu panduan dalam identifikasi kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian. Selain itu, kunci identifikasi kutukebul yang dilengkapi dengan gambar berwarna dan dibuat dalam format digital juga diharapkan dapat mempermudah proses identifikasi. Kunci identifikasi juga dapat dibuat dengan sistem on-line sehingga dapat diakses oleh semua pihak yang memerlukannya selama ada akses dengan internet. Seringkali pengguna kunci identifikasi hanya memiliki pengalaman dan pengetahuan yang relatif terbatas pada taksa tertentu sehingga dapat mengalami sedikit kesulitan pada awal penggunaan kunci identifikasi. Adanya kata-kata yang bersifat ambigu dapat menuntun pada ketidakpastian terhadap arti dari karakter yang disebutkan pada suatu kaplet. Oleh karena itu, diperlukan karakter yang kontras dan tidak saling tumpang tindih. Pada kunci identifikasi yang umumnya tidak dilengkapi dengan gambar atau jika terdapat gambar, gambarnya tidak terlalu jelas. Kunci identifikasi sebaiknya dilengkapi dengan gambar yang jelas sehingga tidak menyebabkan kesalahan identifikasi. Pemakaian suatu kunci identifikasi juga tergantung pada penulisan yang jelas dan sederhana (mudah dimengerti). Kunci dikotom dirasakan merupakan bentuk kunci yang lebih baik daripada kunci polikotom yang akan membuat keputusan menjadi sulit karena terlalu banyak karakter yang digunakan. Kunci yang sudah dibuat sebaiknya diuji terlebih dahulu oleh orang lain sebelum dipublikasikan. Hal ini berguna untuk mengurangi kesalahan (error), keambiguan kalimat, dan ketidak konsistenan (Quicke 1993). Kesimpulan Sebanyak 28 spesies kutukebul pada tanaman pertanian dari lima daerah di Jawa Barat telah teridentifikasi. Sebagian besar dari spesies kutukebul yang ditemukan merupakan anggota dari subfamili Aleyrodinae. Adanya kunci identifikasi kutukebul dalam bahasa Indonesia yang mencakup kisaran wilayah yang lebih spesifik dapat memudahkan proses identifikasi dalam upaya 46 pengendalian kutukebul di tanaman pertanian. Kutukebul banyak ditemukan pada komoditas tanaman buah-buahan. Terdapat tiga spesies kutukebul yang memiliki kisaran tanaman inang yang sangat luas, yaitu A. dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci. Daftar Pustaka Bintoro D, Hidayat P. 2008. Keanekaragaman dan tanaman inang kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor [abstrak]. Di dalam: Buku Panduan Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) Cabang Bogor; 2008 Mar 18-19; Bogor (ID): PEI. Abstr O31. Dammerman KW. 1929. The Agricultural Zoology of The Malay Archipelago: The Animals Injurious and Beneficial to Agriculture, Horticulture, and Forestry in The Malay Peninsula, The Dutch East Indies and The Philippines. Amsterdam (UK): JH de Bussy Ltd. Dino Capture. 2009. Dino Capture Application for Digital Microscope 3.3.0.0. Hsinchu (TA): AnMo Electronics Corporation. Tersedia pada http://www.anmo.com.tw. Dooley J. 2007. Key to the Commonly Intercepted Whitefly Pests [internet], [diunduh 2011 Mar 14]. Tersedia pada: http://keys.lucidcentral.org/keys/ v3/whitefly/PDF_PwP%20ETC/Key%20to%20commonly%20intercepted% 20pests%20embedded%20images%20.pdf. Dubey AK, Ko CC, David BV. 2009. The genus Lipaleyrodes Takahashi, a junior synonym of Bemisia Quaintance and Baker (Hemiptera: Aleyrodidae): a revision based on morphology. Zoological Studies [internet], [diunduh 2012 Feb 2]; 48(4):539-557. Tersedia pada: http://zoolstud.sinica.edu.tw/Journals/ 48.4/539.pdf. Gullan PJ, Martin JH. 2003. Sternorrhyncha (Jumping Plant Lice, Whiteflies, Aphids, and Scale Insects). Resh VH, Carde RT. 2003. Encyclopedia of Insect. Florida (US): Elsevier Inc. Hidayat P, Watson GW. 2008. Recognition of Giant Whitefly, Aleurodicus dugesii Cockerell (Hemiptera: Aleyrodidae), a Potential Pest Newly Introduced to Indonesia. Poster Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), Cabang Bogor: Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. LIPI Cibinong, Bogor, 2008 Mar 2008. Kajita H, Samudra IM, Naito A. 1991. Discovery of the spiraling whitefly Aleurodicus dispersus Russell (Homoptera: Aleyrodidae) from Indonesia, with notes on its host plants and natural enemies. Japanese Society of Applied Entomology and Zoology [internet], [diunduh 2011 Jun 23]; 26:397400. Tersedia pada: http://ci.nii.ac.jp/els/110001105211.pdf?id= ART0001 268496&type=pdf&lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_s w=&no=1308798020&cp= 47 Kalshoven LGE, Vecht JVD. 1950. De Plagen Van De Cultuurgewassen in Indonesie [dalam bahasa Belanda]. Deel 1. Bandung (ID): NV Uitgeverij W. Van Hoeve. Lucid Key Phoenix 1.0. 2004. CBIT Quensland University. Tersedia pada: http://www.lucidcentral.org/phoenix/. Koningsberger JC. 1908. Tweede Over Zicht der Schadelijke en Nuttige Insecten van Java [dalam bahasa Belanda]. Jakarta (ID): G. Kolff and Co. Martin JH. 1985. The whitefly of New Guinea (Homoptera: Aleyrodidae). Bulletin of the British Museum (Natural History) Entomology [internet]. [diunduh 2012 Mar 9]; 50(3):303-351. Tersedia pada: http://biostor.org/ reference/151. Martin JH. 1987. An identification guide to common whitefly species of the world (Homoptera: Aleyrodidae). Tropical Pest Management 33(4):298-322. Murgianto F. 2010. Kisaran inang kutukebul Aleurodicus destructor Mackie, Aleurodicus dispersus Russell, dan Aleurodicus dugesii Cockerell (Hemiptera: Aleyrodidae) di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dan daerah lain di sekitarnya [skripsi]. Bogor (ID): IPB. Nurulalia L, Hidayat P, Buchori D. 2012. Hama baru kutukebul Paraleyrodes minei Iaccarino (Hemiptera: Aleyrodidae) di Jawa. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); 2012 Jan 24-25; Bogor. Bogor (ID): PEI. hlm 110. Quicke DLJ. 1993. Principles and Techniques of Contemporary Taxonomy. Glasgow (UK): Blackie Academic and Professional. Russell LM. 1964. Dialeurodes kirkaldyi (Kotinsky), a whitefly new to the United States (Homoptera: Aleyrodidae). The Florida Entomologist [internet]. [diunduh 2011 Ags 8]; 47(1):1-4. Tersedia pada: http://journals.fcla.edu/ flaent/issue/view/2698. Watson GW. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur, Malaysia, 2007 Apr 16-26. Institute of Biological Sciences, University Malaya. 48 49 BAB IV KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA TANAMAN PERTANIAN DENGAN KETINGGIAN TEMPAT BERBEDA DI JAWA BARAT Abstrak Kutukebul sering terbawa melalui material tanaman pada kegiatan perdagangan antar wilayah maupun antar negara sehingga menyebabkan penyebarannya semakin luas. Sejak tahun 1980-an, beberapa spesies kutukebul baru masuk ke indonesia dan menyebabkan gangguan pada tanaman pertanian. Penelitian ini bertujuan mempelajari keanekaragaman spesies kutukebul pada tanaman pertanian dengan kisaran ketinggian tempat yang berbeda. Kutukebul dikoleksi dari tanaman hortikultura, pangan, serta beberapa jenis tanaman obat dan rempah di lima wilayah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Garut. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah (0-500 m di atas permukaan laut (dpl)), sedang (501-1000 m dpl), dan tinggi (1001-1500 m dpl). Data jumlah spesies dan individu kutukebul dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman Shannon (H’), Simpson (1/D), dan Sorenson (C). Jumlah spesies kutukebul terbanyak ditemukan di dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies. Keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi juga terdapat di dataran rendah (H’ = 2.14 dan 1/D = 5.53). Sebaliknya, dominasi spesies kutukebul terjadi di dataran tinggi (D = 0.54) meskipun nilainya relatif tidak berbeda jauh dengan di dataran sedang (D = 0.48). Spesies kutukebul yang mendominasi di semua kelompok ketinggian tempat adalah Aleurodicus dispersus dan Aleurodicus dugesii. Analisis dengan indeks Sorenson menunjukkan bahwa terdapat kemiripan wilayah antara dataran rendah dengan sedang sebesar 64% berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan. Dua spesies kutukebul yang menjadi vektor virus penyebab penyakit tanaman adalah Bemisia tabaci dan Trialeurodes vaporariorum. Musuh alami kutukebul yang ditemukan adalah Coccinellidae, Mantidae, Drosophilidae, Aphelinidae, dan Encyrtidae. A. dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci merupakan spesies kutukebul yang bersifat invasif di Indonesia. Kata kunci: ketinggian tempat, indeks keanekaragaman, serangga vektor, musuh alami, spesies invasif Pendahuluan Status serangga sebagai hama dipengaruhi oleh kelimpahan populasi dan gangguan pada tanaman akibat aktivitas makan serangga. Gangguan tersebut dapat mempengaruhi fisiologi tanaman sehingga menyebabkan terjadinya 50 kehilangan hasil tanaman, baik secara kualitas maupun kuantitas (Gullan dan Cranston 2000). Kondisi cuaca saat ini yang semakin sulit diprediksi menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam dan pergeseran musim tanam. Hal ini mempengaruhi permasalahan hama di pertanaman. Suhu lingkungan yang relatif mengalami peningkatan saat ini dapat mempengaruhi populasi kutukebul di pertanaman. Siklus hidup kutukebul cenderung menjadi semakin pendek seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan, sehingga dapat menghasilkan banyak generasi dalam satu tahun. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa siklus hidup kutukebul Bemisia tabaci berlangsung lebih cepat pada suhu 29°C dibandingkan pada suhu 23 dan 26°C (Purbosari 2008). Dalam hal ini, kenaikan suhu memiliki pengaruh yang nyata terhadap siklus hidup B. tabaci. Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, serangga herbivora sering dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu monofag, oligofag, dan polifag. Pengelompokkan serangga berdasarkan kisaran tanaman inang sering pula dibedakan menjadi kelompok serangga spesialis (mencakup serangga monofag dan oligofag) dan generalis (polifag). Secara umum, serangga dari subordo Sternorrhyncha dan Auchenorrhyncha memiliki kisaran inang yang cenderung bersifat spesialis, meskipun ada beberapa spesies yang generalis. Sebagai contoh, sebagian besar kutu daun bersifat spesialis dan hanya 6% yang bersifat generalis. Begitu juga halnya dengan wereng-werengan yang sebagian besar bersifat spesialis (Schoonhoven et al. 1998). Serangga pradewasa kutukebul sering dimangsa oleh serangga predator yang secara spesifik memakan mangsa yang memiliki tubuh lunak yang umumnya melekat pada daun. Serangga predator tersebut di antaranya larva dan imago kumbang Coccinellidae (Coleoptera), larva Chrysopidae Dermaptera, beberapa jenis larva lalat Syrphidae, (Neuroptera), Cecidomyiidae, dan Chamaemyiidae. Imago kutukebul sering dimangsa oleh serangga predator yang bersayap, seperti lalat Dolichopodidae dan Asilidae (Watson 2007). Musuh alami yang penting bagi kutukebul adalah serangga parasitoid, terutama dari famili Aphelinidae, di antaranya dari genus Eretmocerus, Encarsia, dan Ablerus (Begum et al. 2011). Selain itu, kutukebul juga sering terserang oleh cendawan patogen, di 51 antaranya Aschersonia aleyrodis, Paecilomyces fumosoroseus, dan Verticillium lecanii (Watson 2007). Salah satu aspek untuk melihat adanya perbedaan suhu lingkungan adalah dari ketinggian tempat. Pada dataran rendah, suhu lingkungan relatif lebih tinggi daripada dataran tinggi. Salah satu representasi dari kondisi tersebut dapat dilihat dari keanekaragaman spesies organisme yang menghuni ketinggian tempat tertentu. Salah satu organisme yang menjadi objek penelitian ini adalah kutukebul. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman spesies kutukebul pada tanaman pertanian di beberapa daerah di Jawa Barat berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keanekaragaman kutukebul berdasarkan ketinggian tempat, sehingga dapat menjadi pengetahuan dasar dalam upaya pengendalian hama di pertanaman. Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul di Lapangan Pengumpulan sampel kutukebul dilakukan di lima wilayah di Jawa Barat, di antaranya Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Cirebon, dan Garut sejak Juni 2011 sampai dengan April 2012. Tempat pengambilan sampel disajikan dalam bentuk peta dengan menggunakan program Quantum GIS 1.7.3-Wroclaw (QGIS 2012) (Gambar 4.1). Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel diukur dengan menggunakan aplikasi GPS (global positioning system) dari Pocket PC Mio P550. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah (0-500 m dpl), dataran sedang (501-1000 m dpl), dan dataran tinggi (1001-1500 m dpl). Sampel diambil dari berbagai jenis tanaman, di antaranya dari tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), pangan, serta beberapa jenis tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung (purposive sampling). Pupa atau eksuvia kutukebul yang terdapat pada daun tanaman diambil, kemudian ditutupi dengan kertas tisu, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik bening, dan diberi label. Selanjutnya 52 sampel dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Sebelum diidentifikasi, eksuvia kutukebul dibuat menjadi preparat mikroskop dengan menggunakan metode pada Watson (2007) yang dimodifikasi. Gambar 4.1 Titik-titik tempat pengambilan sampel kutukebul Pengukuran Keanekaragaman Kutukebul Data jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh pada ketiga kelompok ketinggian dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon, Simpson dan Sorenson. Indeks Shannon digunakan untuk melihat kekayaan spesies (species richness) pada suatu wilayah; indeks Simpson digunakan untuk mengetahui dan membandingkan keanekaragaman dan dominasi spesies antar wilayah; sedangkan indeks Sorenson digunakan untuk mengetahui kemiripan wilayah berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh (Magurran 1988). Rumus dari indeks Shannon, Simpson, dan Sorenson adalah sebagai berikut: 1. Indeks Shannon (H’) = - Σ pi (ln pi), dimana pi = ni/N n (n -1) i 2. Indeks Simpson (D) = Σ Ni (N-1) Indeks keanekaragaman Simpson = 1−D Simpson’s reciprocal index = 1/D 3. Indeks Sorenson: C = 2j/(a+b) 53 Keterangan: pi = proporsi individu spesies ke-i ni = jumlah individu spesies ke-i N = total jumlah individu a = jumlah individu pada wilayah A b = jumlah individu pada wilayah B j = jumlah individu yang terendah yang terdapat pada perbandingan antara wilayah A dan B Identifikasi Musuh Alami kutukebul Musuh alami kutukebul yang ditemukan di lapangan di identifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi, di antaranya Grissell dan Schauff (1990), Goulet dan Huber (1993), dan informasi dari media elektronik (internet). Hasil Penelitian Analisis Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan hasil pengambilan sampel kutukebul pada kisaran ketinggian tempat yang berbeda, diperoleh sebanyak 38 spesies kutukebul dari berbagai jenis tanaman pertanian dan sebanyak 10 spesies di antaranya belum teridentifikasi (Lampiran 3). Jumlah spesies kutukebul yang terbanyak ditemukan pada dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies, sedangkan pada dataran tinggi hanya ditemukan 9 spesies kutukebul (Tabel 4.1). Sebanyak 14 spesies di antaranya relatif sering ditemukan, sedangkan 24 spesies lain umumnya hanya ditemukan sebanyak 1-2 kali pada saat pengambilan sampel. Dari 14 spesies kutukebul tersebut di atas, sebanyak 6 spesies ditemukan pada tanaman sayuran (Lampiran 4). Sebanyak 4 spesies di antaranya merupakan spesies kutukebul yang telah diketahui sering menimbulkan permasalahan di pertanaman, yaitu A. dispersus, A. dugesii, B. tabaci, dan T. vaporariorum. Jumlah individu A. dispersus dan A. dugesii ditemukan cukup banyak dan mendominasi di semua kisaran ketinggian tempat. Kedua spesies tersebut merupakan spesies yang bersifat kosmopolitan dan memiliki kisaran tanaman inang yang luas. A. dispersus dapat ditemukan pada tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman pangan; sedangkan A. dugesii ditemukan pada tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias. 54 Tabel 4.1 Jumlah individu kutukebul yang ditemukan pada tiga kisaran ketinggian tempat di Jawa Barat dan hasil analisis dengan indeks Shannon dan Simpson No. Spesies kutukebul Kisaran ketinggian (m dpl) Dataran rendah Dataran sedang Dataran tinggi (0−500) (501−1000) (1001-1500) Subfamili Aleurodicinae: 1. Aleuroctarthrus destructor 2. Aleurodicus dispersus 3. Aleurodicus dugesii 4. Paraleyrodes minei 24 1803 2856 109 0 1983 4490 18 0 3994 11739 0 Subfamili Aleyrodinae: 5. Aleurocanthus citriperdus 6. Aleurocanthus spiniferus 7. Aleurocanthus woglumi 8. Aleuroclava aucubae Aleuroclava canangae 9. 10. Aleuroclava jasmini 11. Aleuroclava psidii 12. Aleurolobus marlatti 13. Aleurotrachelus sp.1 14. Aleurotrachelus sp.2 15. Aleurotrachelus sp.3 16. Asiothrixus antidesmae 17. Bemisia tabaci 18. Cockerelliella psidii 19. Cockerelliella sp. 1 20. Cockerelliella sp. 2 21. Dialeurodes kirkaldyi 22. Dialeurodes sp. 23. Dialeuropora decempuncta 24. Lipaleyrodes sp. 25. Minutaleyrodes minuta 26. Orchamoplatus mammaeferus 27. Rusostigma sp. 28. Trialeurodes vaporariorum 29. Spesies 1 30. Spesies 2 31. Spesies 3 32. Spesies 4 33. Spesies 5 34. Spesies 6 35. Spesies 7 36. Spesies 8 37. Spesies 9 38. Spesies 10 547 85 0 0 18 178 14 25 52 2 10 625 78 62 60 31 1 8 354 325 19 171 1234 0 0 0 0 5 2 54 3 17 4 10 71 0 24 4 0 0 0 0 0 0 0 0 45 31 0 11 0 47 187 0 0 0 79 104 1 5 2 0 0 0 0 0 0 7 118 31 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 32 0 0 67 194 736 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah individu (N) Jumlah spesies (S) 8786 32 7109 17 16918 9 Indeks Shannon (H’) Indeks Simpson (D) Indeks keanekaragaman Simpson (1-D) Simpson’s reciprocal index (1/D) 2.14 0.18 0.82 5.53 1.05 0.48 0.52 2.09 0.87 0.54 0.46 1.85 55 Hasil analisis keanekaragaman dengan menggunakan indeks Shannon (H’) menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di daerah dataran rendah dengan nilai indeks keanekaragaman sebesar 2.14 (Tabel 4.1). Hasil yang diperoleh pada indeks Shannon sejalan dengan hasil analisis dengan menggunakan indeks Simpson (Tabel 4.1). Keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di dataran rendah dengan nilai indeks sebesar 0.82 dan nilai 1/D = 5.53. Nilai indeks keanekaragaman Simpson berbanding terbalik dengan nilai indeks dominasinya, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman spesies di suatu wilayah, maka dominasi spesies akan semakin rendah (Magurran 1988). Dalam hal ini, dominasi spesies terjadi di dataran tinggi dengan nilai indeks sebesar 0.54. Nilai indeks dominasi pada dataran tinggi sebenarnya relatif tidak berbeda jauh dengan nilai indeks pada dataran sedang (D = 0.48). Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada kedua kisaran ketinggian tersebut, jumlah individu kutukebul yang ditemukan didominasi oleh spesies A. dispersus dan A. dugesii. Berdasarkan hasil analisis kemiripan wilayah dengan menggunakan indeks Sorenson, nilai indeks tertinggi terdapat pada perbandingan antara dataran rendah dengan dataran sedang yaitu sebesar 0.64 (Tabel 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemiripan wilayah sebesar 64% antara dataran rendah dengan dataran sedang berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang ditemukan pada masing-masing kisaran ketinggian. Hal ini dapat disebabkan oleh jenis tanaman yang dominan yang terdapat pada masing-masing ketinggian tempat (Idris et al. 2002). Pada dataran tinggi, komoditas tanaman umumnya didominasi oleh tanaman sayuran, khususnya jenis sayuran dataran tinggi, seperti kubis-kubisan (brokoli dan kembang kol), wortel, bawang daun, dan sebagainya yang sebagian besar bukan merupakan tanaman inang dari kutukebul. Pada dataran tinggi, kutukebul khususnya dapat ditemukan pada tanaman sayuran dari famili Solanaceae, seperti tomat, cabai, dan terung. Tanaman-tanaman tersebut dapat pula ditemukan pada dataran rendah maupun dataran sedang. Spesies-spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman sayuran dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada dataran rendah banyak ditemukan tanaman buah-buahan, baik berupa tanaman pekarangan rumah, tanaman pinggir, maupun dalam suatu areal pertanaman, sebagai contoh jambu biji, jambu bol, lengkeng, jeruk, dan 56 sebagainya. Hal serupa juga dapat dijumpai di dataran sedang. Pada dataran rendah dan sedang dapat dijumpai pula beberapa jenis komoditas sayuran, seperti tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan sebagainya. Hal inilah yang mendukung ditemukannya spesies kutukebul yang lebih banyak pada dataran rendah dan sedang daripada dataran tinggi. Tabel 4.2 Perbandingan kemiripan spesies kutukebul antar wilayah pengambilan sampel pada tiga kisaran ketinggian dengan indeks Sorenson Dataran rendah Dataran sedang Dataran tinggi − 0.64 0.40 − 0.56 Dataran rendah Dataran sedang − Dataran tinggi Keterangan: Dataran rendah (0−500 m dpl), dataran sedang (500−1000 m dpl), dan dataran tinggi (1001-1500 m dpl). Tanaman Inang Kutukebul Spesies kutukebul banyak ditemukan pada komoditas tanaman buah-buahan, yaitu sebanyak 31 spesies (Gambar 4.2). Jumlah spesies kutukebul 40 30 20 10 0 sayuran buah-buahan tanaman hias pangan dan palawija obat dan rempah Komoditas tanaman inang Gambar 4.2 Jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada lima jenis komoditas tanaman pertanian 57 Musuh Alami Kutukebul Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung di lapangan maupun pengamatan di laboratorium, terdapat musuh alami yang ditemukan berasosiasi dengan beberapa spesies kutukebul, di antaranya termasuk ke dalam kelompok serangga predator dan parasitoid. Serangga predator yang ditemukan antara lain kumbang Menochilus sexmaculatus, Harmonia axyridis, Coccinella transversalis, Verania lineata (Coleoptera: Coccinellidae), belalang sembah Hierodula ovata (Mantodea: Mantidae), dan lalat Acletoxenus indicus (Diptera: Drosophilidae) (Gambar 4.3). Gambar 4.3 Serangga predator yang ditemukan di sekitar koloni kutukebul di lapangan Selain serangga predator, ditemukan pula parasitoid yang memarasit kutukebul yang merupakan famili Aphelinidae (Eretmocerus) dan Encyrtidae (Gambar 4.4). Gambar 4.4 Serangga parasitoid yang ditemukan memarasit kutukebul 58 Pembahasan Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan Ketinggian Tempat Keanekaragaman spesies kutukebul pada dataran rendah lebih tinggi daripada dataran tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Idris et al. (2002) yang menyatakan bahwa keanekaragaman serangga pada ketinggian 1100 m dpl lebih rendah daripada keanekaragaman serangga pada dataran kurang dari 1000 m dpl. Indeks Shannon menilai keanekaragaman spesies berdasarkan kekayaan spesies (species richness), sehingga hasilnya secara langsung berkaitan dengan jumlah spesies kutukebul yang yang ditemukan pada masing-masing kisaran ketinggian tempat. Kekayaan spesies pada tumbuhan biasanya akan mengalami peningkatan dari dataran tinggi ke dataran rendah (Magurran 1998). Berdasarkan analisis dengan menggunakan indeks Sorenson, diperoleh nilai terendah pada perbandingan antara dataran rendah dengan dataran tinggi. Faktor yang membedakan antara dataran rendah dengan dataran tinggi di antaranya adalah adanya perbedaan dalam hal suhu lingkungan, presipitasi, tekanan gas atmosfer, kecepatan angin, radiasi ultraviolet (UV), dan sebagainya yang secara langsung dapat mempengaruhi keberadaan serangga pada masing-masing tempat tersebut (Hodkinson 2005). Serangga sangat dipengaruhi oleh iklim mikro dari tempat hidupnya, dalam hal ini vegetasi tanaman. Suhu lingkungan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan ketinggian tempat. Secara umum hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan serangga di dataran tinggi berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan dataran rendah. Selain suhu lingkungan yang relatif rendah, kadar oksigen pada dataran tinggi juga lebih rendah daripada dataran rendah. Serangga-serangga yang ada di dataran tinggi harus meningkatkan kapasitas sistem pernafasannya melalui trakea. Dalam hal ini, terjadi kompensasi terhadap kondisi kadar oksigen yang rendah sehingga akan mempengaruhi alokasi energi yang digunakan untuk pertumbuhan (Hodkinson 2005). 59 Gangguan Kutukebul pada Tanaman Gangguan kutukebul secara langsung pada tanaman umumnya sering disebabkan oleh kutukebul dari subfamli Aleurodicinae, di antaranya Aleurodicus dispersus dan Aleurodicus dugesii. Kedua spesies tersebut umumnya sering ditemukan dalam koloni yang dapat menutupi seluruh permukaan bawah daun. Akibat aktivitas makan dari serangga tersebut, biasanya tanaman dapat kehilangan cairan nutrisi yang cukup berarti sehingga tanaman menjadi layu dan mengering. Selain itu, embun madu yang dihasilkan kutukebul dapat merangsang pertumbuhan cendawan jelaga yang dapat menutupi permukaan atas daun. Cendawan jelaga tersebut dapat mengganggu proses fotosintesis dan respirasi, serta menurunkan produksi tanaman (Martin 2008). Spesies kutukebul lainnya, B. tabaci dan T. vaporariorum, dapat menyebabkan gangguan secara tidak langsung pada tanaman. Kedua spesies tersebut secara spesifik dapat ditemukan pada tanaman sayuran, di antaranya tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan sebagainya. B. tabaci dan T. vaporariorum bersifat spesifik dalam hal ketinggian tempat hidupnya. B. tabaci umumnya dapat ditemukan pada tanaman sayuran dataran rendah hingga sedang, sedangkan T. vaporariorum dapat ditemukan pada tanaman sayuran di dataran sedang hingga tinggi. B. tabaci dan T. vaporariorum dapat berperan sebagai serangga vektor virus penyebab penyakit tanaman. Lapidot dan Polston (2010) menyatakan bahwa B. tabaci dapat menjadi vektor virus di antaranya genus Begomovirus dan Crinivirus, sedangkan T. vaporariorum di antaranya dapat menjadi vektor dari Crinivirus. Pada dataran sedang dapat ditemukan individu atau populasi B. tabaci dan T. vaporariorum pada satu tanaman maupun pertanaman yang sama. Adanya kekhususan dalam hal ketinggian tempat hidup ini kemungkinan dapat mempengaruhi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh masing-masing virus yang dibawa oleh kedua spesies kutukebul tersebut. Kutukebul dan Tanaman Inangnya Berdasarkan hasil pengambilan sampel, kutukebul lebih banyak ditemukan pada tanaman buah-buahan daripada kelompok tanaman lainnya. Hal ini disebabkan tanaman buah-buahan memiliki ukuran yang besar dan kompleks 60 sehingga dapat menyediakan ruang hidup yang luas bagi berbagai jenis organisme, termasuk kutukebul. Lawton (1983) menyatakan bahwa terdapat peningkatan jumlah spesies herbivora seiring dengan peningkatan ukuran dan kompleksitas tanaman. Selain itu, struktur tanaman yang kompleks dapat melindungi serangga dari musuh alaminya. Sebagian besar tanaman buah-buahan termasuk ke dalam tanaman dikotil. Dubey dan Ko (2006) melaporkan terdapat sebanyak 136 spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman dikotil, sedangkan sebanyak 17 spesies ditemukan pada tanaman monokotil. Kelompok tanaman buah-buahan juga umumnya merupakan jenis tanaman tahunan yang dapat menyediakan sumber makanan dan tempat hidup yang lebih lama bagi kutukebul. Oleh karena itu, kutukebul lebih banyak ditemukan pada tanaman berkayu (pepohonan) daripada tanaman sayuran, tanaman hias, dan tanaman-tanaman lain yang memiliki struktur yang sederhana. Tanaman yang memiliki struktur sederhana, seperti tanaman hias dan sayuran biasanya dihuni oleh 1−2 spesies kutukebul. Tanaman dengan struktur kompleks, seperti pohon buah-buahan atau jenis pohon berkayu lain biasanya merupakan kelompok tanaman tahunan yang memiliki struktur kompleks sehingga sering ditemukan 3−4 spesies kutukebul, baik dalam satu pohon maupun satu daun. Adanya beberapa spesies kutukebul yang memanfaatkan tanaman yang sama sebagai tempat hidupnya menyebabkan terjadinya populasi campuran pada satu tanaman tersebut. Sebagai contoh, populasi kutukebul campuran yang terjadi pada tanaman jeruk, yaitu antara A. citriperdus dengan P. minei atau antara P. minei dengan A. dispersus, dan sebagainya. Kutukebul dan Musuh Alaminya Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kutukebul merupakan salah satu kelompok serangga yang dapat menghasilkan embun madu. Embun madu terdiri dari komponen-komponen gula seperti fruktosa, glukosa, sukrosa, trehalose dan melezitose, serta beberapa senyawa asam amino. Pada dasarnya sekresi embun madu ditujukan bagi semut yang berada di sekitar tanaman untuk melindungi serangga dari musuh alaminya. Namun kadang-kadang embun madu tidak mengandung protein yang dibutuhkan oleh semut untuk makanannya (terutama 61 bagi keturunannya) sehingga pada akhirnya semut akan memangsa kutu tanaman penghasil embun madu tersebut. Selain itu, embun madu juga dapat menjadi salah satu sumber makanan bagi serangga lain, di antaranya serangga-serangga predator seperti Chrysopidae, Coccinellidae, Cantharidae, Tachinidae, Syrphidae, dan berbagai jenis Hymenoptera parasitoid (Schoonhoven et al. 1998). Pernyataanpernyataan di atas menjelaskan bahwa terdapat hubungan tritrofik antara tanaman inang, serangga herbivora, dan musuh alaminya. Hal inilah yang dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan populasi kutukebul di lapangan. Coccinellidae merupakan serangga predator yang bersifat generalis dalam memilih mangsanya. Sebagai contoh, kumbang M. sexmaculatus yang pada kenyataannya memiliki preferensi yang lebih tinggi terhadap kutu daun daripada kutukebul. Preferensi makan M. sexmaculatus terhadap kutu daun adalah sebanyak 29.36 individu/daun, diikuti oleh kutukebul (20.16 individu/daun), dan trips (17.08 individu/daun) (Mari dan Lohar 2012). Meskipun demikian, peranan kumbang Coccinellidae dinilai cukup penting sebagai agens pengendali hayati. Hal ini dikarenakan larva dan imago Coccinellidae berperan sebagai predator serangga, khususnya kelompok kutu tanaman. Selain Coccinellidae, ditemukan pula belalang sembah H. ovata di sekitar koloni kutukebul. Belalang sembah terutama memangsa imago kutukebul yang berterbangan disekitar koloninya. Ditemukan pula lalat A. indicus yang termasuk ke dalam famili Drosophilidae yang merupakan lalat berukuran kecil yang berwarna kekuningan dan memiliki mata berwarna merah. Beberapa spesies larva lalat Drosophilidae memakan bahan organik seperti buah-buahan yang membusuk dan cendawan. Ada pula yang menjadi pengorok daun, dan beberapa spesies lainnya menjadi predator serangga famili Coccidae (kutu tempurung) dan Aleyrodidae (kutukebul). A. indicus terutama memangsa kutukebul Trialeurodes ricini, Siphoninus phyllireae, dan Aleurocanthus spiniferus (Ananthakrishnan 2004). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Yu et al. (2012) yang menyatakan bahwa larva A. indicus diketahui merupakan predator dari kutukebul A. dispersus dan Aleurocanthus sp. 62 Selain serangga predator, parasitoid kutukebul juga berperan penting dalam mengendalikan populasi kutukebul di lapangan. Parasitoid kutukebul yang sering ditemukan adalah Eretmocerus (Aphelinidae). Kutukebul ini memang sering digunakan untuk mengendalikan kutukebul di tanaman pertanian (Begum et al. 2011). Namun keberadaan populasi parasitoid di lapangan dapat dipengaruhi oleh adanya penggunaan insektisida yang intensif (Gullan dan Cranston 2000). Spesies Kutukebul Invasif Kutukebul dapat berpindah tempat, baik secara aktif maupun pasif. Perpindahan secara aktif dilakukan dengan cara terbang dari satu tanaman ke tanaman lain atau dari satu pertanaman ke pertanaman lainnya. Saat ini perpindahan tempat kutukebul lebih sering terjadi secara pasif melalui perpindahan material tanaman yang terjadi pada kegiatan perdagangan produkproduk pertanian secara internasional sehingga penyebarannya semakin meluas. Pada akhirnya kutukebul dapat menyebabkan permasalahan pada pertanaman di tempat yang baru. Hal ini biasanya terjadi pada spesies-spesies kutukebul yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan, terutama iklim, di tempat yang baru yang kemungkinan mirip dengan kondisi di daerah asalnya. A. dipersus dan A. dugesii merupakan contoh spesies kutukebul yang bersifat invasif di Indonesia. Kedua spesies tersebut merupakan serangga asli dari kawasan Amerika Selatan, Amerika bagian tengah, dan kepulauan Karibia (Gullan dan Martin 2003). Keberadaan A. dispersus di Indonesia dilaporkan pertama kali pada tahun 1991 (Kajita et al. 1991). A. dugesii juga merupakan spesies kutukebul yang relatif baru diketahui di Indonesia. Spesies ini pertama kali diketahui di Bogor pada tahun 2007 (Hidayat dan Watson 2008). Hingga saat ini, A. dugesii sudah menyebar luas di beberapa daerah di Jawa Barat. Selain A. dugesii, spesies kutukebul yang berstatus sebagai spesies invasif di beberapa negara adalah Paraleyrodes minei Iaccarino. Spesies ini baru diketahui keberadaannya di Indonesia pada tahun 2011 adalah P. minei (Nurulalia et al. 2012). Spesies ini memiliki kisaran tanaman inang yang relatif spesifik. Berdasarkan hasil pengambilan sampel, P. minei ditemukan pada tanaman jeruk, alpukat, dan jambu air. P. minei merupakan serangga asli di kawasan Amerika bagian tengah yang 63 menyerang tanaman jeruk dan menyebabkan kerugian secara ekonomi. Selanjutnya kutukebul ini dilaporkan menjadi spesies invasif di pertanaman jeruk di Syria (CDFA 1991). Pada tahun 2009, IITA juga menetapkan status kutukebul ini sebagai spesies invasif di Afrika. Menurut Martin (2011, komunikasi pribadi), saat ini P. minei menyebar dengan cepat di berbagai wilayah di Asia, di antaranya Hongkong dan Malaysia. Menyikapi hal tersebut, diperlukan kewaspadaan dan upaya identifikasi yang akurat untuk mencegah masuknya spesies-spesies serangga baru ke Indonesia. Seringkali data-data yang ada di pihak karantina tidak diperbaharui secara terjadwal, sehingga spesies-spesies baru yang masuk ke suatu negara dapat luput dari pengawasan. Sebagai contoh, kutukebul Bemisia argentifolii tidak termasuk ke dalam daftar hama karantina sehingga dapat lolos dalam proses karantina, sedangkan spesies ini sebenarnya adalah Bemisia tabaci biotipe-B yang dapat menularkan penyakit tanaman (Watson 2007). Oleh karena itu, pengetahuan mengenai deskripsi dan identifikasi yang akurat sangat diperlukan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap masuknya spesies-spesies hama baru ke suatu negara (Martin 2008). Kesimpulan Jumlah spesies kutukebul terbanyak ditemukan di dataran rendah yang berbanding lurus dengan indeks keanekaragamannya. Keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi terdapat pada dataran rendah, sebaliknya dominasi spesies kutukebul terjadi pada dataran tinggi. Spesies kutukebul yang mendominasi adalah A. dispersus dan A. dugesii yang dapat ditemukan pada semua kisaran ketinggian tempat. Berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan, ternyata wilayah pengambilan sampel pada dataran rendah mirip dengan dataran sedang sebesar 64%. Pada tanaman buah-buahan yang memiliki struktur tanaman yang kompleks ditemukan lebih banyak spesies kutukebul dibandingkan dengan tanaman yang memiliki struktur sederhana. Musuh alami kutukebul yang ditemukan diantaranya berasal dari famili Coccinellidae, Mantidae, Drosophilidae, Aphelinidae, dan Encyrtidae. 64 Daftar Pustaka Ananthakrishnan TN. 2004. General Applied Entomology. 2 nd ed. New Delhi (IN): Tata McGraw Hill Publishing Company Ltd. Begum S, Anis SB, Farooqi MK, rehmat T, Fatma J. 2011. Aphelinid parasitoids (Hymenoptera: Aphelinidae) od whiteflies (Homoptera: Aleyrodidae) from India). Biology and Medicine 3(2):222-231. [CDFA] California Department of Food and Agriculture. 1991. California Pest Plant and Disease Report [internet], [diunduh 2011 Des 12]; 10(1-2):1-29. Tersedia pada: http://www.cdfa.ca.gov/plant/ppd/PDF/CPPDR_1991_10_12.pdf. Dubey AK, Ko CC. 2006. Toward an understanding of host plant associations of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae): an evolutionary approach. Formosan Entomol. [internet], [diunduh 2012 Ags 29]; 26: 197-201. Tersedia pada: http://140.112.100.38/chinese/publication/journal/pdf/t2602/26-2-09.pdf. Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of The World: An Identification Guide to Families. Canada: Canada Communication Group. Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insect: An Outline of Entomology. 2 nd Ed. London (UK): Blackwell Science Ltd. Gullan PJ, Martin JH. 2003. Sternorrhyncha (Jumping Plant Lice, Whiteflies, Aphids, and Scale Insects). Resh VH, Carde RT. 2003. Encyclopedia of Insect. US: Elsevier Inc. Grissell EE, Schauff ME. 1990. A Handbook of The Families of Nearctic Chalcidoidea (Hymenoptera). Washington (US): The Entomological Society of Washington. Hidayat P, Watson GW. 2008. Recognition of Giant Whitefly, Aleurodicus dugesii Cockerell (Hemiptera: Aleyrodidae), a Potential Pest Newly Introduced to Indonesia. Poster Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), Cabang Bogor: Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. LIPI Cibinong, Bogor, 2008 Mar 2008. Hodkinson ID. 2005. Terrestrial insects along elevation gradients: species and community responses to altitude. Biol. Rev. 80:489-513. Doi: .... Idris AB, Nor SM, Rohaida R. 2002. Study on diversity of insect communities at different altitudes of Gunung Nuang in Selangor, Malaysia. J of Biological Sciences [internet], [diunduh 2012 Jul 10]; 2(7):505-507. Tersedia pada: http://docsdrive.com/pdfs/ansinet/jbs/2002/505-507.pdf. Kajita H, Samudra IM, Naito A. 1991. Discovery of the spiraling whitefly Aleurodicus dispersus Russell (Homoptera: Aleyrodidae) from Indonesia, with notes on its host plants and natural enemies. Japanese Society of Applied Entomology and Zoology [internet], [diunduh 2011 Jun 23]; 26:397400. Tersedia pada: http://ci.nii.ac.jp/els/110001105211.pdf?id=ART0001 268496&type=pdf&lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_s w=&no=1308798020&cp= Lapidot M, Polston JE. 2010. Biology and Epidemiology of Bemisia-Vectored Viruses. Di dalam: Stansly PA, Naranjo SE, editor. Bemisia: Bionomics and Management of a Global Pest. New York (US): Springer. hlm 227-231. 65 Lawton JH. 1983. Plant architecture and the diversity of phytophagous insects. Annual Review of Entomology 28:23-39. DOI: 10.1146/annurev.en. 28.010183.000323. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey (US): Princeton University Press. Mari JM, Lohar MK. 2012. Interrelationship between zigzag beetle (Menochilus sexmaculatus)) with sucking insect pests in chili ecosystem. Minia International Conference for Agriculture and Irrigation in the Nile Basin Countries, 26th -29th March 2012, El-Minia, Egypt. Martin JH. 2008. A revision of Aleurodicus Douglas (Sternorrhyncha, Aleyrodidae), with two new genera proposed for palaeotropical natives and an identification guide to world genera of Aleurodicinae. Zootaxa 1835:1100. Martin JH. 2011. Komunikasi Pribadi [15 Desember 2011]. Nurulalia L, Hidayat P, Buchori D. 2012. Hama baru kutukebul Paraleyrodes minei Iaccarino (Hemiptera: Aleyrodidae) di Jawa. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); 2012 Jan 24-25; Bogor. Bogor (ID): PEI. hlm 110. Purbosari S. 2008. Neraca Kehidupan Kutukebul Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Suhu 23, Ruang, dan 29°C [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [QGIS] Quantum Geographic Information Systems. 2012. Versi: 1.7.3-Wroclaw. Tersedia pada: http://qgis.org/. Schoonhoven LM, Jermy T, van Loon JJA. 1998. Insect-Plant Biology: From Physiology to Evolution. London (UK): Chapman and Hall. Watson GW. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur, Malaysia, 2007 Apr 16-26. Institute of Biological Sciences, University Malaya. Yu G, Wu L, Lu J, Chen H. 2012. Discovery of a predaceous drosophilid Acletoxenus indicus Malloch in South China, with descriptions of the taxonomic, ecological and molecular characters (Diptera: Drosophilidae) [abstrak]. Journal of Natural History [internet]; 46(5-6). Tersedia pada: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00222933.2011.639466. 66 67 BAB V PEMBAHASAN UMUM Jumlah kutukebul yang dilaporkan di Indonesia cenderung mengalami peningkatan sejak dilaporkan oleh Koningsberger pada tahun 1908 (Koningsberger 1908). Pada saat itu, Koningsberger melaporkan mengenai daftar serangga yang bersifat menguntungkan dan merugikan di Jawa. Kutukebul menjadi salah satu hama penting pada tanaman tebu. Spesies-spesies kutukebul tersebut masih menjadi hama penting sampai dengan tahun 1920-an. Selanjutnya dilaporkan spesies kutukebul lainnya, yaitu Aleurodicus destructor (sekarang Aleuroctarthrus destructor) yang menjadi hama penting pada tanaman buahbuahan dan kelapa di Jawa. Menurut Kalshoven dan Vecht (1950), kutukebul A. destructor mengalami peledakan populasi pada tahun 1915 di perkebunan kelapa di Sulawesi dan pulau Selayar. Pengendalian A. destructor di Sulawesi dilakukan dengan cara mendatangkan musuh alaminya dari Jawa. Hingga saat ini, populasi A. destructor selalu terkendalikan di pertanaman. Adanya peningkatan jumlah kutukebul yang dilaporkan, khususnya pada tanaman pertanian disebabkan adanya penelitian-penelitian terbaru dan adanya spesies-spesies kutukebul baru yang masuk ke Indonesia, terutama sejak tahun 1980-an. Sebagai contoh, kutukebul Aleurodicus dispersus pertama kali diketahui keberadaannya di Indonesia pada tahun 1989 melaui kegiatan survei yang dilakukan oleh Kajita et al. (1991). Kemudian diikuti oleh kutukebul A. dugesii pada tahun 2007 (Hidayat dan Watson 2008). Kedua spesies tersebut menjadi spesies invasif di ndonesia. A. dispersus merupakan serangga asli dari kawasan Amerika Selatan dan kepulauan Karibia, sedangkan A. dugesii merupakan serangga asli dari kawasan Amerika bagian tengah. Kutukebul memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil sehingga dapat dengan mudah terbawa melalui material tanaman, misalnya melalui kegiatan perdagangan baik antar wilayah maupun antar negara. Kutukebul telah diketahui menjadi salah satu hama penting pada tanaman buah-buahan (terutama jeruk), tanaman di rumah kaca, dan tanaman sayuran. 68 Bahkan beberapa spesies kutukebul memiliki penyebaran yang luas dan bersifat kosmopolitan. Kutukebul dapat menyebabkan gangguan secara langsung pada tanaman, misalnya nekrosis daun, perubahan warna daun, kerontokan daun, dan tertutupinya permukaan daun oleh cendawan jelaga akibat sekresi embun madu oleh kutukebul (Gullan dan Martin 2003). Secara tidak langsung, kutukebul dapat menjadi vektor virus penyebab penyakit tanaman. Berkaitan dengan kebutuhan nutrisi, secara umum serangga memerlukan protein sebesar 8-14% untuk menunjang pertumbuhannya sedangkan tanaman biasanya hanya menyediakan sekitar 2-4% protein yang dibutuhkan oleh serangga. Dalam hal ini, serangga herbivora harus mengkonsentrasikan pada unsur nitrogen ketika mengkonversi makanan dari tanaman untuk membentuk sel-sel baru pada jaringan tubuhnya. Seperti halnya serangga dengan tipe alat mulut menusukmengisap lainnya, kutukebul memerlukan protein dalam jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Oleh karena itu, kutukebul perlu mengisap cairan tanaman dalam jumlah banyak agar protein yang terkandung di dalamnya dapat diekstrak. Sisa cairan akan dikeluarkan melalui anus dalam bentuk embun madu (Schoonhoven et al. 1998). Kutukebul makan dengan cara mengisap cairan di bagian floem tanaman yang kaya akan nutrisi, terutama gula. Kutukebul memiliki organ filter chamber yang secara langsung menghubungkan sistem pencernaan bagian depan (foregut) dengan bagian belakang (hindgut). Organ ini dapat melewatkan air dan molekul-molekul berukuran kecil, termasuk gula, secara cepat tanpa proses penyerapan di bagian mesenteron (midgut). Oleh karena itu, cairan yang mengandung gula yang masuk ke foregut akan lagsung menuju hindgut dan segera dikeluarkan melalui anus. Cairan yang kaya akan gula inilah yang sering disebut dengan embun madu yang dapat menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga. Cendawan jelaga dapat menutupi bagian permukaan atas daun sehingga akan mengganggu proses fotosintesis dan mempengaruhi respirasi aktivitas tanaman. tanaman Terganggunya dalam fotosintesis menghasilkan nutrisi dapat bagi pertumbuhannya sehingga dapat menyebabkan tanaman layu dan mengering hingga kematian pada tanaman (Gullan dan Cranston 2000). 69 Spesies kutukebul yang diketahui dapat menjadi vektor virus penyebab penyakit tanaman adalah B. tabaci (sweetpotato whitefly) dan T. vaporariorum (greenhouse whitefly). B. tabaci merupakan kutukebul yang memiliki kisaran inang yang luas, khususnya pada kelompok tanaman hias dan tanaman berserat. B. tabaci dapat menularkan sekitar 70 jenis virus tanaman. Populasi kutukebul B. tabaci mengalami peningkatan secara drastis sejak tahun 1970-an, terutama di kawasan tropik dan subtropik. Jumlah imago kutukebul B. tabaci yang tertangkap dari tanaman melon dan kapas di California pada tahun 1971, 1981, dan 1991 mengalami peningkatan yaitu berturut-turut sebesar 100, 5000, dan 35000 individu. Penyebab peningkatan ini belum diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan berkaitan dengan dampak peningkatan penggunaan insektisida sintetik dan terjadinya resistensi serangga terhadap pestisida; terjadinya perubahan kondisi iklim; intensifikasi pertanian; dan perpindahan material tanaman secara internasional di tempat pembibitan (nursery) maupun perdagangan komoditas hortikultura. B. tabaci diketahui memiliki biotipe-biotipe, di antaranya biotipe-A dan B yang dapat menularkan virus-virus penting pada tanaman pertanian. Hingga akhir tahun 1980-an, B. tabaci biotipe-A merupakan biotipe yang utama di bagian selatan Amerika Serikat. Pada tahun 1991, B. tabaci biotipe-B telah menggantikan biotipe-A. B. tabaci biotipe-B menyebabkan gejala keperakan pada daun tanaman squash sehingga nama umum dari biotipe-B adalah silverleaf whitefly. Beberapa peneliti sering menyebutnya sebagai spesies Bemisia argentifolii, tetapi secara umum kutukebul ini lebih dikenal sebagai B. tabaci biotipe-B (Wisler et al. 1998). Secara umum, aktivitas makan serangga bertipe alat mulut menusukmengisap menyebabkan gejala yang tidak terlalu jelas terlihat pada tanaman. Hal ini disebabkan serangan serangga penusuk-pengisap berada pada tingkat sel atau jaringan tanaman. Kerusakan yang terjadi pada tanaman sulit dinilai secara kuantitatif meskipun pada kenyataannya serangga mengisap sumber nutrisi tanaman, baik dari xylem maupun floem. Dampak dari serangan serangga bertipe alat mulut menusuk-mengisap hanya dapat dideteksi melalui percobaan dengan membandingkan tanaman terinfestasi dengan tidak terinfestasi serangga. Pada saat mengisap cairan tanaman, serangga ini dapat menghasilkan cairan yang mirip dengan ludah yang mengandung enzim yang dapat menyebabkan nekrosis pada 70 jaringan tanaman (Gullan dan Cranston 2000). Cairan ludah ini juga yang dapat menjadi media bagi penyebaran virus yang dibawa oleh spesies kutukebul yang berperan sebagai serangga vektor. Spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman pertanian jumlahnya relatif banyak. Sebagian besar dari spesies tersebut hidup pada komoditas tanaman buah-buahan. Hal ini disebabkan pohon buah-buahan umumnya memiliki arsitektur tanaman yang kompleks. Semakin kompleks suatu tanaman maka kemungkinan jumlah spesies serangga herbivora yang hidup pada tanaman tersebut akan semakin banyak (Lawton 1983). Selain itu, pohon buah-buahan umumnya termasuk ke dalam kelompok tanaman tahunan yang lebih stabil daripada tanaman setahun, dalam hal ini menyangkut stabilitas keanekaragaman serangga yang hidup pada masing-masing kelompok tanaman. Pada umumnya, keanekaragaman serangga pada tanaman tahunan tidak mudah berubah dan jarang terjadi pergantian spesies. Tanaman pertanian lain yang termasuk ke dalam kelompok tanaman setahun, misalnya sayuran dan tanaman pangan, umumnya mengalami suksesi awal yang rentan terhadap serangan serangga hama sehingga sering diaplikasikan pestisida. Oleh karena itu, keanekaragaman serangga pada tanaman setahun lebih sering mengalami perubahan dan terjadi pergantian spesies serangga. Spesies-spesies serangga yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dapat terus ada dan akhirnya dapat mendominasi di suatu pertanaman (Feeny 1975). Pohon buah-buahan dapat tumbuh pada ketinggian tempat yang beragam, sedangkan kelompok tanaman sayuran, tanaman hias, dan pangan di antaranya sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, ketinggian tempat, dan suhu lingkungan. Di lapangan seringkali ditemukan banyak imago kutukebul yang hinggap dan makan pada suatu pertanaman, tetapi serangga pradewasanya sangat sedikit ditemukan. Sebagai contoh, imago B. tabaci pada tanaman cabai relatif lebih mudah ditemukan jika dibandingkan dengan nimfanya. Hal ini berhubungan dengan preferensi kutukebul terhadap tanaman inangnya. Preferensi kutukebul terhadap tanaman inangnya di antaranya dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik tanaman, kandungan senyawa kimia tanaman, dan keberadaan musuh alaminya. Dalam memilih tanaman inang, imago betina kutukebul biasanya akan memilih 71 tempat oviposisi (meletakkan telur) yang dapat mendukung sumber makanan bagi keturunannya. Tempat oviposisi identik dengan kisaran tanaman yang dapat dimakan oleh nimfa. Seleksi tanaman inang untuk oviposisi diatur oleh genom yang berbeda dengan seleksi tanaman inang untuk makan. Oleh karena itu, preferensi oviposisi berkaitan erat dengan sumber makanan yang dibutuhkan oleh keturunannya untuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang, dan bereproduksi (Schoonhoven et al. 1998). Karakter permukaan daun dan bagian tanaman lainnya merupakan faktor penting bagi serangga betina untuk mencari dan memutuskan tempat untuk oviposisi. Serangga pradewasa akan tertarik pada tanaman yang memiliki kandungan makanan yang tepat, sedangkan pemilihan tanaman inang oleh imago selain untuk tempat makan, biasanya terkait pula dengan fungsinya sebagai fase penyebaran, mencari pasangan, dan oviposisi (Schoonhoven et al. 1998). Jika dilihat dari faktor fisik tanaman, kutukebul ternyata lebih menyukai daun yang permukaannya berambut daripada daun yang permukaannya halus. B. tabaci lebih banyak meletakkan telur pada tanaman terung yang memiliki trikoma pada bagian permukaan atas dan bawah daun, diikuti oleh tomat dan cabai. Kemampuan hidup nimfa B. tabaci yang tertinggi terdapat pada tanaman terung, sedangkan yang terendah pada tanaman cabai. Pada daun terung, nimfa instar satu (crawler) B. tabaci biasanya tidak akan berpindah tempat terlalu jauh karena terhambat oleh keberadaan trikoma (Khan et al. 2011). Oleh karena itu, pada daun tanaman yang berambut atau memiliki trikoma, nimfa kutukebul lebih sering ditemukan mengelompok pada daun tertentu dibandingkan dengan nimfa yang cenderung menyebar pada daun yang permukaannya halus pada suatu tanaman. Faktor kimia tanaman juga dapat mempengaruhi preferensi tanaman inang kutukebul. Faktor kimia tersebut di antaranya berupa senyawa primer dan sekunder yang terdapat di dalam tanaman. Nimfa kutukebul lebih sering ditemukan pada daun yang terdapat di bagian bawah tanaman daripada pada bagian atas daun maupun tunas. Daun muda maupun tunas memiliki jaringan yang sel-selnya sedang aktif tumbuh, sehingga biasanya kandungan senyawa sekunder pada bagian tersebut cenderung lebih tinggi daripada daun yang sudah tua. Senyawa sekunder tanaman dapat bersifat racun terhadap kelompok serangga tertentu (Schoonhoven et al. 1998). 72 Selain faktor fisik dan kimia tanaman, preferensi kutukebul dalam memilih tanaman inangnya ternyata berkaitan pula dengan keberadaan musuh alaminya. Kutukebul memiliki kemampuan untuk menolak suatu tanaman sebagai inangnya yang kemungkinan mengandung musuh alami atau pun dapat menarik kedatangan musuh alami. Kutukebul dapat belajar dari pengalamannya dan mengurangi resiko terhadap terjadinya pemangsaan maupun parasitisasi oleh musuh alami. Oleh karena itu, distribusi relatif kutukebul pada suatu pertanaman dapat berubah dengan adanya mangsa atau inang alternatif bagi serangga predator atau parasitoid. Sebagai contoh, selain memakan kutukebul, tungau predator dapat juga memakan polen untuk bertahan hidup dan bereproduksi, sehingga populasi kutukebul dapat tetap ada. Namun pada saat tidak ada polen, tungau predator akan memakan kutukebul yang ditemukannya pada suatu tanaman sehingga akan dapat menurunkan populasi kutukebul (Namikou et al. 2003). Keberadaan trikoma dan rambut-rambut pada permukaan daun juga dapat mempengaruhi keberadaan musuh alami. Sebagai contoh, pada daun tanaman mentimun yang sedikit berambut, parasitoid Encarsia formosa lebih efisien dalam mencari inangnya yang berupa nimfa kutukebul daripada tanaman mentimun yang berambut banyak. Dalam hal ini parasitoid dapat bergerak bebas dan memparasit inang dengan lebih baik. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat parasitisasi nimfa kutukebul oleh E. formosa pada daun tanaman yang berambut sedikit ternyata 20% lebih tinggi daripada daun yang berambut banyak (Schoonhoven et al. 1998). Secara umum, musuh alami kutukebul yang potensial adalah parasitoid. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang lebih spesifik antara kutukebul dengan parasitoid dibandingkan dengan serangga predator. Aphelinidae dan Encyrtidae merupakan famili serangga parasitoid yang sering ditemukan memarasit nimfa kutukebul. Biasanya satu individu parasitoid akan memarasit satu individu kutukebul (Begum et al. 2011). Serangga predator kutukebul yang sering ditemukan di lapangan umumnya dominan dari kelompok kumbang Coccinellidae. Verania lineata merupakan salah satu spesies kumbang Coccinellidae yang memiliki preferensi mangsa utama berupa kutukebul (B. tabaci) (Udiarto et al. 2012). Kumbang Coccinellidae lain memiliki preferensi mangsa utama pada jenis kutu-kutu tanaman lainnya. 73 Peristiwa masuknya serangga baru ke Indonesia semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Beberapa spesies serangga baru tersebut ada yang bersifat sebagai spesies invasif yang menimbulkan permasalahan baru di pertanaman. Sebagai contoh, terdapat beberapa spesies kutukebul menjadi spesies invasif di Indonesia, di antaranya A. dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci. Salah satu ciri spesies invasif adalah memiliki sifat agresif dari spesies tersebut. Namun sifat ini sangat dipengaruhi oleh variasi kondisi lingkungan dan area geografi, sehingga pertumbuhan dan perkembangan spesies invasif tertentu akan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik yang dapat membatasi penyebarannya. Pada sisi lain, spesies invasif seringkali sangat mudah beradaptasi dengan kondisi habitatnya yang baru sehingga dapat menyebar dengan luas, baik antar wilayah maupun antar negara (Carruthers 2003). Kegiatan perdagangan material tanaman hidup dapat menjadi salah satu cara penyebaran kutukebul. Beberapa spesies kutukebul telah menyebar dari daerah aslinya ke berbagai negara dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Hal yang menjadi kekhawatiran utama adalah penyebaran virus penyebab penyakit tanaman bersama dengan penyebaran kutukebul yang menjadi serangga vektor (Watson 2007). Data-data yang ada di pihak karantina seringkali tidak diperbaharui secara kontinu, sehingga spesies-spesies baru yang masuk ke suatu negara dapat luput dari pengawasan. Sebagai contoh, kutukebul Bemisia argentifolii tidak termasuk ke dalam daftar hama karantina sehingga dapat lolos dalam proses karantina. Pada kenyataannya, nama spesies ini adalah sinonim dari Bemisia tabaci biotipe-B yang dapat menularkan penyakit tanaman (Watson 2007). Oleh karena itu, pengetahuan mengenai deskripsi dan identifikasi yang akurat sangat diperlukan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap masuknya spesies-spesies hama baru ke suatu negara (Martin 2008). 74 75 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN UMUM Kesimpulan Umum Kutukebul merupakan salah satu kutu tanaman yang sering ditemukan di tanaman pertanian. Sebagian besar dari spesies kutukebul yang ditemukan termasuk ke dalam anggota dari subfamili Aleyrodinae. Jumlah spesies kutukebul terbanyak ditemukan di dataran rendah. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi yang ditemukan pada tanaman pertanian terjadi di dataran rendah. Keanekaragaman spesies kutukebul mengalami penurunan seiring dengan peningkatan ketinggian tempat. Pada dataran sedang dan tinggi terjadi dominasi spesies dari dua spesies kutukebul, yaitu A. dispersus dan A. dugesii. Sebagian besar dari spesies kutukebul ditemukan pada komoditas tanaman buah-buahan yang memiliki struktur tanaman yang kompleks dan umumnya merupakan tanaman tahunan. Secara umum, kutukebul merupakan kutu tanaman yang bersifat spesifik dalam hal kisaran tanaman inang, meskipun terdapat beberapa spesies yang memiliki kisaran tanaman inang yang luas dan bersifat kosmopolitan, di antaranya A. dispersus dan A. dugesii, dan B. tabaci. Kutukebul B. tabaci dan T. vaporariorum merupakan spesies kutukebul yang dapat berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman yang keberadaannya dipengaruhi oleh ketinggian tempat hidup. B. tabaci umumnya ditemukan pada dataran rendah hingga sedang, sedangkan T. vaporariorum ditemukan pada dataran sedang sampai dengan tinggi. Musuh alami kutukebul yang sering ditemukan adalah kumbang predator dari famili Coccinellidae, serta parasitoid dari famili Aphelinidae dan Encyrtidae. Beberapa spesies kutukebul berstatus sebagai spesies invasif, baik di Indonesia maupun di negara lain, di antaranya A. dispersus, A. dugesii, B. tabaci, dan P. minei. Kunci identifikasi kutukebul dengan sistem dikotom merupakan salah satu alat identifikasi yang dihasilkan pada penelitian ini yang dapat digunakan sebagai panduan dalam melakukan identifikasi kutukebul, khususnya untuk spesiesspesies kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian di Jawa Barat. 76 Saran Umum Perlu kiranya dapat dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman kutukebul di Jawa sehingga mencakup jenis tanaman inang yang lebih banyak dan beragam. 77 DAFTAR PUSTAKA Begum S, Anis SB, Farooqi MK, rehmat T, Fatma J. 2011. Aphelinid parasitoids (Hymenoptera: Aphelinidae) od whiteflies (Homoptera: Aleyrodidae) from India). Biology and Medicine 3(2):222-231. Bos L. 1994. Pengantar Virologi Tumbuhan. Triharso, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction to Plant Virology. Carruthers R. 2003. Invasive species research in the United States Department of Agriculture-Agricultural Research Service. Pest Manag Sci [internet]; 59:827-834. Tersedia pada: http://naldc.nal.usda.gov/download/23572/PDF. DOI: 10.1002/ps.616. Charles H, Dukes JS. 2007. Impacts of invasive species on ecosystem services. Ecological Studies [internet], [diunduh 2011 Des 12]; 193:217-237. Tersedia pada: http://globalecology.stanford.edu/DGE/Dukes/Charles_ Dukes_inpress.pdf. De Barro PJ, Hidayat SH, Frochlich D, Subandiyah S, Ueda S. 2008. A virus and its vector, pepper yellow leaf curl virus and Bemisia tabaci, two new invaders of Indonesia. Biol. Invasions 10:411-433. DOI: 10.1007/s10530007-9141-x. Dooley J. 2007. Key to the Commonly Intercepted Whitefly Pests [internet], [diunduh 2011 Mar 14]. Tersedia pada: http://keys.lucidcentral.org/keys/v3/ whitefly/PDF_PwP%20ETC/Key%20to%20commonly%20intercepted%20 pests%20embedded%20images%20.pdf. Feeny P. 1975. Biochemical Coevolution between Plants and Their Insects Herbivores. Di dalam: Gilberts LE, Raven PH, editor, Coevolution of Animal and Plants. Austin (US): University of Texas Press. hlm. 3-19. Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insect: An Outline of Entomology. 2 nd Ed. London (UK): Blackwell Science Ltd. Gullan PJ, Martin JH. 2003. Sternorrhyncha (Jumping Plant Lice, Whiteflies, Aphids, and Scale Insects). Resh VH, Carde RT. 2003. Encyclopedia of Insect. US: Elsevier Inc. Hidayat P, Watson GW. 2008. Recognition of Giant Whitefly, Aleurodicus dugesii Cockerell (Hemiptera: Aleyrodidae), a Potential Pest Newly Introduced to Indonesia. Poster Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), Cabang Bogor: Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. LIPI Cibinong, Bogor, 2008 Mar 2008. Kajita H, Samudra IM, Naito A. 1991. Discovery of the spiraling whitefly Aleurodicus dispersus Russell (Homoptera: Aleyrodidae) from Indonesia, with notes on its host plants and natural enemies. Japanese Society of Applied Entomology and Zoology [internet], [diunduh 2011 Jun 23]; 26:397400. Tersedia pada: http://ci.nii.ac.jp/els/110001105211.pdf?id=ART0001 268496&type=pdf&lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_s w=&no=1308798020&cp= 78 Kalshoven LGE, Vecht JVD. 1950. De Plagen Van De Cultuurgewassen in Indonesie [dalam bahasa Belanda]. Deel 1. Bandung (ID): NV Uitgeverij W. Van Hoeve. Khan MR, Ghani IA, Khan MR, Ghaffar A, Tamkeen A. 2011. Host plant selection and oviposition behavior of whitefly Bemisia tabaci (Gennadius) in a mono and simulated polyculture crop habitat. African Journal of Biotechnology [internet]; 10(8):1467-1427. Tersedia pada: http://www. academicjournals.org/AJB. DOI: 10.5897/AJB10.523. Koningsberger JC. 1908. Tweede Over Zicht der Schadelijke en Nuttige Insecten van Java [dalam bahasa Belanda]. Jakarta (ID): G. Kolff and Co. Lapidot M, Polston JE. 2010. Biology and Epidemiology of Bemisia-Vectored Viruses. Di dalam: Stansly PA, Naranjo SE, editor. Bemisia: Bionomics and Management of a Global Pest. New York (US): Springer. hlm 227-231. Lawton JH. 1983. Plant architecture and the diversity of phytophagous insects. Annual Review of Entomology 28:23-39. DOI: 10.1146/annurev.en. 28.010183.000323. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey (US): Princeton University Press. Martin JH. 1985. The whitefly of New Guinea (Homoptera: Aleyrodidae). Bulletin of the British Museum (Natural History) Entomology [internet]. [diunduh 2012 Mar 9]; 50(3):303-351. Tersedia pada: http://biostor.org/ reference/151. Martin JH. 1987. An identification guide to common whitefly species of the world (Homoptera: Aleyrodidae). Tropical Pest Management 33(4):298-322. Martin JH. 2008. A revision of Aleurodicus Douglas (Sternorrhyncha, Aleyrodidae), with two new genera proposed for palaeotropical natives and an identification guide to world genera of Aleurodicinae. Zootaxa 1835:1100. Muniappan R. 2011. Recent invasive hemipterans and their biological control in Asia [internet], [diunduh 2011 Apr 21]. Tersedia pada: http://icac.org/tis/ regional_networks/asian_network/meeting_5/documents/papers/PapMuniap panR.pdf. Namikou M, Janssen A, Sabekis MW. 2003. Herbivore host plant selection: whitefly learns to avoid host plants that are unsafe for her offspring. Oecologia [internet]; 136(3):484-488. DOI: 10.1007/s00442-003-1289-1. Quicke DLJ. 1993. Principles and Techniques of Contemporary Taxonomy. Glasgow (UK): Blackie Academic and Professional. Schoonhoven LM, Jermy T, van Loon JJA. 1998. Insect-Plant Biology: From Physiology to Evolution. London (UK): Chapman and Hall. Speight, MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insects. London (UK): Blackwell & Science. Ubaidillah R, Sutrisno H. 2009. Pengantar Biosistematika: Teori dan Praktek. Jakarta (ID): LIPI Press. Udiarto BK, Hidayat P, Rauf A, Pudjianto, Hidayat SH. 2012. Kajian potensi predator Coccinellidae untuk pengendalian Bemisia tabaci (Gennadius) pada cabai merah. J Hort 22(1):76-84. 79 Walther GR, Roques A, Hulme PE, Sykes MT, Pysek P, Kuhn I, Zobel M, Bacher S, Botta-Dukat Z, Bugmann H, et al. 2009. Alien species in a warmer world: risks and opportunities. Trends in Ecology and Evolution [internet]. 24(12):686-693. Tersedia pada: http://ac.els-cdn.com/S0169534709002031/ 1-s2.0-S0169534709002031-main.pdf?_tid=ae418d98edd193992f40671971 483f19&acdnat=1344574873_9f6dd007dd7ea0779d7a32d9848fb48e. DOI: 10.1016/j.tree.2009.06.008. Watson GW. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur, Malaysia, 2007 Apr 16-26. Institute of Biological Sciences, University Malaya. Wisler GC, Duffus JE, Liu HY, Li RH. 1998. Ecology and Epidemiology of Whitefly Transmitted Closteroviruses. Plant Disease [internet], [diuduh 2011 Mar 24]; 82(3):270-280. Tersedia pada: http://apsjournals.apsnet.org/ doi/pdf/10.1094/PDIS.1998.82.3.270. 80 81 LAMPIRAN 82 Lampiran 1 Bagian dorsal eksuvia dan karakter morfologi yang umum digunakan pada kunci identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleurodicinae (contoh spesies: Aleurodicus pulvinatus (Maskell)) (sumber: Martin 2008) 83 Lampiran 2 Bagian ventral dan dorsal eksuvia serta karakter morfologi yang umum digunakan pada kunci identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleyrodinae (sumber: Martin 1987) 84 Lampiran 3 Kantung pupa spesies kutukebul yang belum teridentifikasi 85 Lampiran 4 Keberadaan spesies kutukebul pada tanaman pertanian (sayuran, buah-buahan, hias, pangan, serta obat dan rempah) Komoditas tanaman inang No. Spesies kutukebul Subfamili Aleurodicinae: 1. Aleuroctarthrus destructor 2. Aleurodicus dispersus 3. Aleurodicus dugesii 4. Paraleyrodes minei Subfamili Aleyrodinae: 5. Aleurocanthus citriperdus 6. Aleurocanthus spiniferus 7. Aleurocanthus woglumi 8. Aleuroclava aucubae 9. Aleuroclava canangae 10. Aleuroclava jasmini 11. Aleuroclava psidii 12. Aleurolobus marlatti 13. Aleurotrachelus sp.1 14. Aleurotrachelus sp.2 15. Aleurotrachelus sp.3 16. Asiothrixus antidesmae 17. Bemisia tabaci 18. Cockerelliella psidii 19. Cockerelliella sp. 1 20. Cockerelliella sp. 2 21. Dialeurodes kirkaldyi 22. Dialeurodes sp. 23. Dialeuropora decempuncta 24. Lipaleyrodes sp. 25. Minutaleyrodes minuta 26. Orchamoplatus mammaeferus 27. Rusostigma sp. 28. Trialeurodes vaporariorum 29. Spesies 1 30. Spesies 2 31. Spesies 3 32. Spesies 4 33. Spesies 5 34. Spesies 6 35. Spesies 7 36. Spesies 8 37. Spesies 9 38. Spesies 10 Jumlah spesies Sayuran Buahbuahan Hias Pangan dan palawija Obat dan rempah √ √ - √ √ √ √ - √ √ √ - - √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ √ √ √ - - - √ - - √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - √ - 6 31 6 5 5 86 Lampiran 5 Kunci identifikasi kutukebul 1a Memiliki 4-6 pasang abdominal compound pores di bagian subdorsal tubuh, lingula berukuran besar berbentuk seperti lidah dan terdapat 1-2 pasang seta di bagian ujungnya (Gambar 1), nimfa dan pupa dapat menghasilkan lilin yang berwarna putih yang cukup banyak sehingga menutupi permukaan tubuhnya ........................................... Subfamili Aleurodicinae (2) Gambar 1 1b Tidak memiliki abdominal compound pores di bagian subdorsal tubuh dan jika ada hanya berupa 5 pasang pori sederhana (Gambar 2), bentuk dan ukuran lingula sangat bervariasi, warna pupa bervariasi, nimfa dan pupa tidak mengeluarkan lilin atau sedikit menghasilkan lilin pada permukaan tubuhnya ............... Subfamili Aleyrodinae (5) Gambar 2 87 2a Memiliki 6 pasang abdominal compound pores yang besar dan berukuran sama, pada lingula terdapat 1 pasang seta (Gambar 3), umumnya ditemukan pada pohon kelapa .............. Aleuroctarthrus destructor (Martin) Gambar 3 2b Memiliki 4-6 pasang abdominal compound pores yang ukurannya sama. Pada ujung lingula terdapat 2 pasang seta (Gambar 4) ....... 3 Gambar 4 3a Memiliki 6 pasang abdominal compound pores dengan bagian tengahnya berbentuk splines, 2 pasang abdominal compound pores di bagian anterior ukurannya tereduksi, terdapat discal pore di antara abdominal compound pore ruas VIII dengan vasiform orifice (Gambar 5), imago betina biasanya membentuk lilin yang dihasilkannya menyerupai sarang burung .................. Paraleyrodes minei Iaccarino 88 Gambar 5 3b Terdapat 4-6 pasang abdominal compound pores, terdapat poripori kecil yang jumlahnya banyak di bagian subdorsal tubuh, memiliki kisaran inang yang sangat luas (polifag) ........................ 4 4a Memiliki 4 pasang abdominal compound pores yang berukuran sama pada ruas III-VI (Gambar 6), pupa memiliki pola bentuk lilin yang mirip ekor di bagian posterior ............ Aleurodicus dispersus Russell Gambar 6 4b Memiliki 6 pasang abdominal compound pores pada ruas III-VIII, abdominal compound pores ruas III-VI ukurannya sama, sedangkan ruas VII dan VIII tereduksi (Gambar 7), pupa menghasilkan lilin yang banyak dan memanjang seperti janggut ........................................ Aleurodicus dugesii (Cockerell) 89 Gambar 7 5a Terdapat duri-duri dengan ujung lancip pada bagian subdorsal tubuhnya, pupa berwarna gelap (Gambar 8), umum ditemukan pada daun jeruk ............................................................................. 6 Gambar 8 5b Tidak terdapat duri-duri pada bagian subdorsal tubuhnya, pupa berwarna pucat atau gelap ............................................................. 8 6a Terdapat 11 pasang duri pada bagian subdorsal ............................ 7 6b Terdapat 16 pasang duri lancip pada bagian subdorsal yang ukurannya sama (Gambar 9), umum ditemukan pada daun jeruk ................. Aleurocanthus citriperdus Quaintance & Baker 90 Gambar 9 7a Terdapat 11 pasang duri lancip pada bagian subdorsal yang berukuran sama (Gambar 10), dapat ditemukan pada daun jeruk, jambu biji, dan nangka ...... Aleurocanthus spiniferus Quaintance Gambar 10 7b Terdapat 11 pasang duri lancip pada bagian subdorsal, sepasang duri dibagian posterior ukurannya lebih panjang daripada duri yang lainnya yang menyerupai ekor (Gambar 11), umum ditemukan pada daun jeruk .......... Aleurocanthus woglumi Ashby Gambar 11 91 8a Memiliki rachis (pola lekukan-lekukan) pada bagian subdorsal abdomen (Gambar 12), pupa berwarna pucat atau gelap .............. 9 Gambar 12 8b Tidak memiliki rachis pada bagian dorsal abdomen ................... 12 9a Terdapat alur longitudinal di bagian subdorsal yang memanjang mulai dari sefalotoraks hingga ke bagian anterior abdomen, (Gambar 13) ................................................................................ 10 Gambar 13 9b Warna pupa gelap, terdapat pola rachis pada abdomen, terdapat pola mata berbentuk “koma” yang warnanya lebih terang di bagian anterior subdorsal, terdapat pola seperti 3 gigi di bagian margin posterior tubuh, vasiform orifice berbentuk segitiga (Gambar 14) ............................................ Aleurolobus marlatti Quaintance 92 Gambar 14 10a Terdapat sepasang seta masing-masing di bagian sefalotoraks, mesotoraks, dan metatoraks; pupa berwarna pucat atau gelap (Gambar 15) ................................................................................ 11 Gambar 15 10b Tidak terdapat seta di bagian sefalotoraks, mesotoraks, dan metatoraks; pupa berwarna pucat (Gambar 16) ................................................................ Aleurotrachelus sp. 3 Gambar 16 11a Terdapat abdominal pocket pada sutura di antara ruas VII dengan 93 VIII; terdapat pori tuberkel berbentuk bulat di bagian subdorsal dan submedian, pupa berwarna pucat (Gambar 17) ................................................................ Aleurotrachelus sp. 2 Gambar 17 11b Tidak terdapat abdominal pocket pada sutura di antara ruas VII dengan VIII, tidak memiliki pori tuberkel di bagian subdorsal dan submedian, pupa berwarna gelap (Gambar 18) ................................................................ Aleurotrachelus sp. 1 Gambar 18 12a Memiliki 5 pasang pori sederhana di bagian subdorsal tubuh (Gambar 19), jika terlihat biasanya terdapat 12 pasang seta submarginal dan sepasang seta sefalotoraks yang berbentuk lanceolate, pupa dapat menghasilkan lilin berwarna biru mengkilat ............................................ Dialeuropora decempuncta (Quaintance & Baker) 94 Gambar 19 12b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 13 13a Pada bagian submargin terdapat pola garis yang berlekuk-lekuk, beberapa spesies memiliki papilla-papilla di bagian subdorsal (Gambar 20) ................................................................................ 14 Gambar 20 13b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 17 14a Pada mesotoraks terdapat sepasang tuberkel berbentuk bulat (Gambar 21), warna pupa pucat ................................................. 15 95 Gambar 21 14b Tidak terdapat tuberkel pada mesotoraks, warna pupa gelap (Gambar 22) ............................... Aleuroclava aucubae (Kuwana) Gambar 22 15a Terdapat pola seperti bentuk huruf “T” pada bagian sefalotoraks; terdapat tuberkel di sepanjang median abdomen (Gambar 23); pupa berwarna kuning hingga transparan dengan pola pigmentasi di bagian sefalotoraks, median abdomen, dan vasiform orifice ................................................... Aleuroclava psidii (Singh) Gambar 23 96 15b Tidak terdapat pola seperti bentuk huruf “T” di bagian sefalotoraks, ada atau tidak ada sepasang seta di bagian sefalotoraks dan tungkai ketiga, terdapat barisan papilla di bagian subdorsal ...................................................................................... 16 16a Jika ada, seta pada sefalotoraks dan tungkai ketiga biasanya terdiri dari 1 ruas (Gambar 24), bentuk tubuh bagian tengah melebar (mulai dari mesotoraks hingga abdomen ruas ke-5), lipatan pada sefalotoraks tidak terlalu jelas terlihat, umum ditemukan pada melati ........................................... Aleuroclava jasmini Takahashi Gambar 24 16b Seta pada sefalotoraks dan tungkai ketiga (jika ada) biasanya terdiri dari 2 ruas, bentuk tubuh oval, lipatan pada sefalotoraks terlihat jelas (Gambar 25), umum ditemukan pada jambu biji .............................................. Aleuroclava canangae (Corbett) Gambar 25 17a Pupa berbentuk bulat atau oval, terdapat lipatan yang memisahkan area submargin dengan dorsal disc, terdapat sutura molting longitudinal dan transversal yang bersatu dengan sutura 97 sefalotoraks, yang konsentris dengan margin yang mudah lepas ketika imago keluar dari pupa (Gambar 26) ..... Cockerelliella (18) Gambar 26 17b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 20 18a Bentuk pupa bulat atau oval, terdapat papilla di bagian subdorsal tubuh, sutura transversal tidak mencapai bagian tepian pupa ..... 19 18b Bentuk pupa memanjang, tidak terdapat papilla di bagian subdorsal tubuh, sutura transversal mencapai bagian tepian pupa (Gambar 27) ..................................................... Cockerelliella sp. 2 Gambar 27 19a Bentuk pupa oval, terdapat barisan papilla di bagian subdorsal tubuhnya, sutura submarginal tidak sampai ke bagian abdomen (Gambar 28) ................................... Cockerelliella psidii (Corbett) 98 Gambar 28 19b Pupa berbentuk oval dan lebar, terdapat sutura submarginal yang memisahkan bagian margin dengan dorsal disc, vasiform orifice berbentuk setengah lingkaran dan berukuran kecil dengan lingula yang tidak terlihat jelas (Gambar 29) .............. Cockerelliella sp. 1 Gambar 29 20a Pupa berukuran sangat kecil, berbentuk oval dengan area melebar mulai dari bagian metatoraks hingga ke abdomen ruas ke-2 (Gambar 30) ................................... Minutaleyrodes minuta Singh Gambar 30 99 20b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 21 21a Tepian pupa bergerigi, pada bagian median anterior abdomen terdapat 2 pasang seta (Gambar 31) ......... Asiothrixus antidesmae (Takahashi) Gambar 31 21b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 22 22a Pori trakea toraks berbentuk seperti sisir, terdapat 1 baris kelenjarkelenjar yang berbentuk seperti gigi-gigi, pada abomen ruas pertama terdapat 1 pasang seta (Gambar 32) ......... Orchamoplatus mammaeferus (Quaintance and Baker) Gambar 32 22b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 23 23a Pada bagian dorsal disc terdapat pola-pola berbentuk bulat (granul), terdapat retikulasi di sekitar tracheal cleft dan di bagian caudal furrow, bentuk pupa membulat dengan ukuran yang relatif besar (Gambar 33) ................................................. Rusostigma sp. 100 Gambar 33 23b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 24 24a Terdapat barisan papilla di bagian submarginal (Gambar 34), pada pupa yang ditemukan pada daun yang berambut biasanya terdapat papilla-papilla yang berukuran lebih besar daripada papilla di bagian submarginal, terdapat seta pendek pada masing-masing bagian pangkal tungkai tengah dan belakang ............. Trialeurodes vaporariorum (Westwood) Gambar 34 24b Tidak terdapat barisan papilla di bagian submarginal, tidak memiliki karakter seperti yang disebutkan di atas ...................... 25 25a Vasiform orifice berbentuk segitiga, terdapat sepasang seta pada ruas abdomen VIII dan sepasang seta kauda di bagian ujung posterior tubuhnya (Gambar 35) ................................................. 26 101 Gambar 35 25b Vasiform orifice ukurannya relatif kecil dan tidak memiliki karakter seperti yang disebutkan di atas, biasanya terdapat pola pigmentasi warna pada bagian tertentu, seperti bagian median toraks dan abdomen, serta thoracic tracheal fold (Gambar 36) ............................................................................. Dialeurodes (27) Gambar 36 26a Memiliki seta kauda yang kokoh di bagian posterior yang panjangnya hampir sama dengan ukuran panjang vasiform orifice (Gambar 37), bentuk pupa beragam (tergantung pada jenis inang) ............................................................ Bemisia tabaci (Gennadius) 102 Gambar 37 26b Caudal furrow tidak terlalu jelas, seta kauda berbentuk seperti rambut, terdapat kumpulan wax plates di bagian submargin (Gambar 38) .......................................................... Lipaleyrodes sp. Gambar 38 27a Terdapat garis median berupa pigmentasi berwarna cokelat hingga hitam pada kantung pupa mulai dari bagian alat mulut hingga ruas abdomen ke-1, seta abdomen ruas ke-8 letaknya di bagian terlebar dari vasiform orifice (Gambar 39) ............... Dialeurodes kirkaldyi (Kotinsky) 103 Gambar 39 27b Tidak terdapat garis pigmentasi median, terdapat alur warna yang lebih tua di bagian thoracic tracheal fold (Gambar 40) ............... Dialeurodes sp. Gambar 40