keanekaragaman spesies dan kunci identifikasi

advertisement
KEANEKARAGAMAN SPESIES DAN KUNCI IDENTIFIKASI
KUTUKEBUL (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA
TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT
LIA NURULALIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Spesies dan
Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian
di Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2012
Lia Nurulalia
NIM A351100051
ii
iii
ABSTRACT
LIA NURULALIA. Diversity and Identification Key of Whiteflies (Hemiptera:
Aleyrodidae) Species on Agricultural Crops in West Java. Under supervision of
PURNAMA HIDAYAT and DAMAYANTI BUCHORI.
Whiteflies are one of the most important insect group of pests in agricultural
crops which can cause direct and indirect damages to plants, i.e. disturb
photosynthesis and plant aesthetics, and transmit plant viruses. Whiteflies have
been reported in Indonesia since 1900’s. There are 37 whiteflies species that have
been recorded in Indonesia, but it is believed that many more are unidentified. The
aims of this research was to identify the whiteflies species in agricultural crops
and study their diversity at different altitudes. Whiteflies were collected at five
areas in West Java: Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, and Garut. The
identification of whiteflies were using fourth instar nymph or known as pupa.
Slide preparation followed Watson’s protocol that has been modified.
Morphological characters for such species were recorded for identification.
Identification key was constructed in the dichotomous and digital forms using
Lucid Phoenix Key program. Diversity of whiteflies was analysed using
Shannons’s (H’), Simpson’s (D) and Sorenson’s (C) diversity index. Whitefly
natural enemies that were found in the field or parasitized whiteflies were
identified. There were 38 whiteflies species found and 10 were still unidentified.
About 89.5% whiteflies found were the member of subfamily Aleyrodinae.
Whiteflies were more commonly found in the plants with complex architecture
(fruit trees) than the plants with simple architecture (vegetables, ornamental
plants, etc). Plant with complex architecture can provide more space and food for
organism to live. Aleurodicus dispersus and Aleurodicus dugesii are cosmopolitan
species that can be found in various types of plants and altitudes. Bemisia tabaci
was commonly found in lower altitude, whereas Trialeurodes vaporariorum was
mainly found in higher altitude. Both species are become important pests in
vegetable crops and transmit plant diseases. The highest whitefly species richness
and diversity was found in lowland (0-500 m above sea level (asl)) (H’=2.14; 1D=5.53). Similarity analysis (C) showed that number of whitefly species found at
lowland was 64% similar to midland (501-1000 m asl). The natural enemies that
commonly found were coccinellid beetle, aphelinid, and encyrtid wasp.
Key word: key identification, altitude, insect vector, diversity index
iv
v
RINGKASAN
LIA NURULALIA. Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul
(Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat. Dibimbing oleh
PURNAMA HIDAYAT dan DAMAYANTI BUCHORI.
Kutukebul merupakan kelompok kutu tanaman yang termasuk ke dalam
famili Aleyrodidae. Imago bersayap dan aktif terbang untuk berpindah tempat,
sedangkan pradewasa melekat pada permukaan bawah daun. Kutukebul dapat
menyebabkan gangguan secara langsung di antaranya mengganggu proses
fotosintesis dan respirasi tanaman, dan mengurangi estetika tanaman (hias); serta
menyebabkan gangguan secara tidak langsung dengan menularkan penyakit
tanaman yang disebabkan oleh virus. Keberadaan kutukebul di Indonesia sudah
diketahui sejak tahun 1900-an. Pada saat itu, beberapa spesies kutukebul
menyebabkan permasalahan pada tanaman, di antaranya Aleurodes pada tebu,
Aleuroctrarthrus (Aleurodicus) destructor pada kelapa, dan Bemisia tabaci pada
tembakau. Hingga saat ini sudah diketahui sekitar 37 spesies kutukebul yang ada
di Indonesia. Penelitian bertujuan mengetahui spesies kutukebul pada tanaman
pertanian dan mengetahui keanekaragamannya berdasarkan ketinggian tempat
yang berbeda. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
spesies kutukebul pada tanaman pertanian, keanekaragaman dan karakteristik
morfologi spesies, tanaman inang, serta penyebaran kutukebul, sehingga dapat
menjadi dasar bagi identifikasi dan pengendalian kutukebul pada tanaman
pertanian.
Penelitian dilakukan sejak Juni 2011 sampai dengan Juni 2012. Sampel
kutukebul diambil dari lima daerah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Cianjur, Sukabumi,
Bandung, dan Garut yang diambil dari komoditas tanaman hortikultura (sayuran,
buah-buahan, dan tanaman hias), tanaman pangan, serta tanaman obat dan rempah.
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung
(purposive sampling). Identifikasi kutukebul dilakukan di Laboratorium
Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.
Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel diukur dengan
menggunakan GPS. Pada pengamatan keanekaragaman, tempat pengambilan
sampel kutukebul dikelompokkan menjadi 3 kisaran ketinggian, yaitu dataran
rendah (0–500 m di atas permukaan laut (dpl)), dataran sedang (501–1000 m dpl),
dan dataran tinggi (1001-1500 m dpl). Pembuatan preparat kutukebul mengacu
pada metode Watson yang dimodifikasi. Identifikasi dilakukan berdasarkan
karakter morfologi pupa kutukebul. Karakter umum morfologi kutukebul yang
menjadi ciri identifikasi adalah keberadaan compound pores (pori majemuk), dan
bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Data jumlah spesies dan
individu kutukebul yang diperoleh pada ketiga kelompok ketinggian dianalisis
dengan indeks Shannon, Simpson, dan Sorenson. Kunci identifikasi kutukebul
dibuat dengan sistem dikotom. Kemudian dibuat format digital dengan
menggunakan program Lucid Phoenix Key.
Sebanyak 38 spesies kutukebul ditemukan pada tanaman pertanian.
Sebanyak 28 spesies sudah teridentifikasi, sedangkan 10 spesies lainnya belum
vi
teridentifikasi. Famili Aleyrodidae terdiri dari dua subfamili utama, yaitu
subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Subfamili Aleurodicinae memiliki 4-6
pasang pori majemuk abdomen dan vasiform orifice yang berbentuk setengah
lingkaran dengan lingula yang besar, sedangkan subfamili Aleyrodinae tidak
memiliki pori majemuk abdomen dan bentuk vasiform orifice beragam. Sebagian
besar spesies kutukebul yang diperoleh (34 spesies) merupakan anggota dari
subfamili Aleyrodinae, sedangkan empat spesies lainnya dari subfamili
Aleurodicinae. Empat spesies kutukebul yang relatif mudah ditemukan adalah
Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii, Bemisia tabaci, dan Trialeurodes
vaporariorum. Keempat spesies tersebut memiliki kisaran tanaman inang yang
luas dan sering menyebabkan permasalahan di pertanaman.
Berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada masing-masing
kisaran ketinggian tempat, diperoleh informasi bahwa keanekaragaman spesies
kutukebul tertinggi terdapat di dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies.
Dominasi spesies terjadi di dataran tinggi, yaitu dari spesies A. dispersus dan A.
dugesii. Kedua spesies tersebut juga dominan di semua kisaran ketinggian tempat.
A. dugesii cenderung lebih mudah ditemukan pada dataran tinggi. Spesies
kutukebul lain yang memiliki kecenderungan yang khusus dalam hal ketinggian
tempat hidup adalah B. tabaci dan T. vaporariorum. B. tabaci dominan ditemukan
pada dataran rendah hingga sedang, sedangkan T. vaporariorum dominan
ditemukan pada dataran sedang hingga tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi
penyebaran penyakit yang disebabkan oleh masing-masing virus yang dibawa
oleh kedua spesies kutukebul tersebut. Hasil analisis dengan indeks Sorenson
menunjukkan terdapat kemiripan wilayah sebesar 64% di antara dataran rendah
dengan dataran sedang berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang
diperoleh.
Beberapa spesies kutukebul sering ditemukan berada pada daun yang sama
sehingga terjadi populasi campuran pada satu daun. Sebagian besar spesies
kutukebul ditemukan pada tanaman buah-buahan, yang umumnya memiliki
struktur tanaman yang kompleks dan merupakan tanaman tahunan yang dapat
menyediakan ruang hidup yang lebih luas dan lebih lama daripada kelompok
tanaman lainnya, seperti sayuran, tanaman hias, pangan, dan sebagainya yang
memiliki struktur yang sederhana.
Kata kunci: kunci identifikasi, dominasi, serangga vektor, keanekaragaman
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
viii
ix
KEANEKARAGAMAN DAN KUNCI IDENTIFIKASI SPESIES
KUTUKEBUL (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA
TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT
LIA NURULALIA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si.
xi
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa
NRP
: Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi
Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman
Pertanian di Jawa Barat
: Lia Nurulalia
: A351100051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc.
Ketua
Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Mayor Entomologi
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.
Tanggal ujian: 14 Agustus 2012
Dekan
Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal lulus:
xii
xiii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul
Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera:
Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. dan Dr.
Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku dosen pembimbing; kepada Dr. Ir. Nina
Maryana, M.Si. selaku dosen penguji luar dan Dr. Ir. Pudjianto, M.Si selaku ketua
program studi Entomologi yang telah memberikan saran dan masukan dalam tesis
ini. Terimakasih pula penulis sampaikan kepada I-MHERE IPB atas pendanaan
dari sebagian penelitian ini, serta kepada Dr. Jon Martin dari Natural History
Museum of London, serta Profesor Soemartono Sosromarsono atas bantuan
literatur pada penelitian ini.
Ungkapan terimakasih disampaikan kepada ibu serta seluruh keluarga atas
doa dan dukungannya. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Aisyah dan
ibu Atiek Sinarwati selaku laboran lab Biosistematika Serangga dan Museum
Serangga. Terimakasih pula kepada sahabat-sahabat penulis, Anik Larasati, Yani
Maharani, Sari Nurulita, Sudarsono, Damayanti, Isamu Kondo, Shinichi Kato, dan
Angie Higuchi; teman-teman di laboratorium, Radhian Ardy Prabowo, Osmond
Vito Eliazar, M. Khoeruddin Latip, Heny Emilia, Irma Utami Siagian, Bagus
Kukuh Urdianto, Aceu Wulandari, dan Van Basten Tambunan; rekan-rekan
Entomologi dan Fitopatologi IPB, serta rekan-rekan Summer-Winter Course IPB
2011 atas bantuan dan dorongan motivasinya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2012
Lia Nurulalia
xiv
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Mei 1983 dari ayah Lili Gozali
(alm) dan ibu Nurlaela Salamah. Penulis merupakan puteri pertama dari lima
bersaudara.
Tahun 2001, penulis lulus dari SMU Negeri I Ciawi, Bogor, Jawa Barat dan
pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa
Departemen Proteksi Tanaman dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2010,
penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana
IPB pada Program Studi Entomologi dengan bantuan dana beasiswa dari IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency)
IPB.
Pada tahun 2005-2006, penulis membantu kegiatan penelitian di Cianjur
yang dibiayai oleh dana penelitian Hibah Bersaing. Tahun 2007, penulis
membantu kegiatan penelitian di Laboratorium Biosistematika Serangga,
Departemen Proteksi Tanaman (DPT), IPB. Tahun 2008 hingga sekarang, penulis
bekerja di Museum Serangga DPT, IPB. Pada tahun 2008, penulis membantu
kegiatan penelitian di pertanian organik yang didanai oleh Academic Research
Frontier Project (ARFP), Tokyo University of Agriculture (TUA), Jepang. Tahun
2009-2010, penulis ikut membantu penelitian yang didanai oleh I-MHERE IPB
dan pada tahun yang sama, penulis ikut membantu penelitian mahasiswa dari
TUA, Jepang. Pada tahun 2011, penulis mengikuti kegiatan Summer-Winter
Course yang diselenggarakan oleh I-MHERE IPB yang merupakan kerjasama
antara IPB dengan Universitas Ibaraki, Jepang. Penulis ikut aktif dalam kegiatan
kepanitiaan Seminar dan Kongres Internasional ISSAAS (The International
Society for Southeast Asian Agricultural Sciences) Indonesia Chapter 2011 dan
Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi (PEI) cabang Bogor 2012 di Bogor.
Saat ini penulis aktif sebagai sekretaris dalam Forum Mahasiswa Pascasarjana
Entomologi-Fitopatologi IPB periode tahun 2012/2013.
xvi
xvii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xxiii
BAB I PENDAHULUAN UMUM ......................................................
1
Latar Belakang ......................................................................................
Tujuan Penelitian ....................................................................................
Manfaat Penelitian .................................................................................
1
3
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
5
Klasifikasi dan Morfologi Kutukebul ...................................................
Bioekologi Kutukebul ...........................................................................
Kunci Identifikasi Serangga ..................................................................
Kutukebul sebagai Serangga Vektor .....................................................
Pengukuran Keanekaragaman Spesies Serangga ..................................
Kutukebul sebagai Spesies Invasif ........................................................
5
6
8
9
10
11
BAB III
SPESIES KUTUKEBUL YANG DITEMUKAN PADA
TANAMAN PERTANIAN DI BEBERAPA DAERAH DI
JAWA BARAT DAN KUNCI IDENTIFIKASINYA ........
13
Abstrak ..................................................................................................
Pendahuluan ..........................................................................................
Metode Penelitian ..................................................................................
Koleksi Sampel Kutukebul di Lapangan ..........................................
Pembuatan Preparat Mikroskop Kutukebul ......................................
Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Pucat .........
Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Hitam ........
Pembuatan Preparat Mikroskop dari Eksuvia ...............................
Identifikasi Kutukebul ......................................................................
Pembuatan Kunci Identifikasi Kutukebul .........................................
Hasil Penelitian .....................................................................................
Hasil Identifikasi dan Karakter Morfologi Kutukebul .....................
Kunci Identifikasi Kutukebul ............................................................
Pembahasan ...........................................................................................
Deskripsi Spesies Kutukebul ............................................................
a. Subfamili Aleurodicinae ..........................................................
b. Subfamili Aleyrodinae .............................................................
13
13
15
15
15
15
17
17
17
18
19
19
21
21
22
22
26
xviii
Kunci Identifikasi Kutukebul pada Tanaman Pertanian ....................
Kesimpulan .............................................................................................
Daftar Pustaka .......................................................................................
45
45
46
BAB IV KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA
KETINGGIAN TEMPAT BERBEDA DI JAWA BARAT
49
Abstrak ..................................................................................................
Pendahuluan ..........................................................................................
Metode Penelitian ..................................................................................
Pengambilan Sampel Kutukebul di Lapangan ..................................
Pengukuran Keanekaragaman Kutukebul ........................................
Identifikasi Musuh Alami Kutukebul ...............................................
Hasil Penelitian .....................................................................................
Analisis Keanekaragaman Kutukebul ..............................................
Tanaman Inang Kutukebul ................................................................
Musuh Alami Kutukebul ..................................................................
Pembahasan ...........................................................................................
Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan Ketinggian Tempat ........
Gangguan Kutukebul pada Tanaman ................................................
Kutukebul dan Tanaman Inangnya ...................................................
Kutukebul dan Musuh Alaminya .......................................................
Spesies Kutukebul Invasif ................................................................
Kesimpulan .............................................................................................
Daftar Pustaka .......................................................................................
49
49
51
51
52
53
53
53
56
57
58
58
58
59
60
62
63
64
BAB V PEMBAHASAN UMUM .......................................................
67
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN UMUM ................................
Kesimpulan Umum ............................................................................
Saran Umum ......................................................................................
75
75
76
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
77
LAMPIRAN .........................................................................................
81
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Jumlah individu kutukebul yang ditemukan pada tiga
kisaran ketinggian tempat di Jawa Barat dan hasil analisis
dengan indeks Shannon dan Simpson .................................
54
Tabel 4.2 Perbandingan kemiripan spesies kutukebul antar wilayah
pengambilan sampel pada tiga kisaran ketinggian dengan
indeks Sorenson ..................................................................
56
xx
xxi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1
Ciri morfologi umum eksuvia kutukebul subfamili
Aleurodicinae (a), dan Aleyrodinae (b) berdasarkan
pori majemuk abdomen dan vasiform orifice ..............
20
Tampilan kunci identifikasi kutukebul dikotomi
dalam format digital menggunakan program Lucid
Phoenix ........................................................................
21
Koloni A. destructor pada permukaan bawah daun
kelapa (a), imago (b), pupa (c), dan pupa (d) A.
destructor .....................................................................
23
Koloni A. dispersus pada permukaan bawah daun
kastuba (a), pupa (b), dan eksuvia A. dispersus ..........
24
Koloni A. dugesii pada permukaan bawah daun
kembang sepatu ...........................................................
25
Nimfa (a), dan imago (b) P. minei pada permukaan
bawah daun jeruk, serta eksuvia P. minei ...................
26
Gambar 3.7
Eksuvia A. citriperdus..................................................
27
Gambar 3.8
Pupa (a) dan imago (b) A. spiniferus pada daun
nangka, serta eksuvia A. spiniferus .............................
28
Gambar 3.9
Eksuvia A. woglumi ....................................................
29
Gambar 3.10
Pupa (a) dan eksuvia (b) A. aucubae ...........................
30
Gambar 3.11
Eksuvia A. canangae dengan seta (a) dan tanpa seta
(b) ................................................................................
30
Gambar 3.12
Eksuvia A. jasmini dengan seta (a) dan tanpa seta (b)
31
Gambar 3.13
Pupa (a) dan eksuvia (b) A. psidii ...............................
32
Gambar 3.14
Pupa (a) dan eksuvia (b) A. marlatti ..........................
32
Gambar 3.15
Pupa (a) dan eksuvia (b) Aleurotrachelus sp. 1 ..........
33
Gambar 3.16
Eksuvia Aleurotrachelus sp. 2 .....................................
34
Gambar 3.17
Eksuvia Aleurotrachelus sp. 3 .....................................
34
Gambar 3.18
Pupa (a) dan eksuvia (b) A. antidesmae ......................
35
Gambar 3.19
Pupa (a) dan eksuvia (b) B. tabaci pada daun
singkong ......................................................................
36
Gambar 3.20
Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) C. psidii ...................
36
Gambar 3.21
Eksuvia Cockerelliella sp. 1 ........................................
37
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
xxii
Gambar 3.22
Eksuvia Cockerelliella sp.2 .........................................
38
Gambar 3.23
Eksuvia D. kirkaldyi ....................................................
38
Gambar 3.24
Pupa (a) dan eksuvia (b) Dialeurodes sp. ....................
39
Gambar 3.25
Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) D. decempuncta
pada permukaan daun yang halus (mangga), pupa (c)
dan eksuvia (d) pada permukaan daun kasar (jambu
biji) ..............................................................................
40
Gambar 3.26
Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) Lipaleyrodes sp.
41
Gambar 3.27
Eksuvia M. minuta .......................................................
41
Gambar 3.28
Koloni O. mammaeferus pada daun puring (a), pupa
(b), dan eksuvia (c) O. mammaeferus...........................
Koloni Rusostigma sp. pada daun salam (a), imago
(b), pupa (c), dan eksuvia (d) Rusostigma sp. .............
43
Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) T. vaporariorum
pada daun tomat ..........................................................
44
Gambar 4.1
Titik-titik tempat pengambilan sampel kutukebul .......
52
Gambar 4.2
Jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada lima
jenis komoditas tanaman pertanian .............................
56
Serangga predator yang ditemukan di sekitar koloni
kutukebul di lapangan .................................................
57
Serangga parasitoid yang ditemukan memarasit
kutukebul ....................................................................
57
Gambar 3.29
Gambar 3.30
Gambar 4.3
Gambar 4.4
42
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Bagian dorsal eksuvia dan karakter morfologi yang
umum digunakan pada kunci identifikasi dan deskripsi
kutukebul famili Aleurodicinae (contoh spesies:
Aleurodicus pulvinatus (Maskell)) .................................
82
Bagian ventral dan dorsal eksuvia serta karakter
morfologi yang umum digunakan pada kunci
identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleyrodinae
83
Kantung pupa spesies kutukebul yang belum
teridentifikasi ..................................................................
84
Keberadaan spesies kutukebul pada tanaman pertanian
(sayuran, buah-buahan, hias, pangan, serta obat dan
rempah) ..........................................................................
85
Kunci identifikasi kutukebul ..........................................
86
BAB I
PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang
Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu serangga
kelompok kutu tanaman yang menjadi hama penting pada beberapa jenis tanaman,
seperti famili Solanaceae (cabai, tomat, terung, dan sebagainya). Serangga dewasa
bersayap dan aktif berpindah tempat dengan cara terbang antar tanaman maupun
antar pertanaman, sedangkan pradewasa melekat pada permukaan bawah daun.
Kutukebul memiliki alat mulut bertipe menusuk-mengisap (haustelata) yang
umumnya menimbulkan kerusakan pada tingkat sel atau jaringan tanaman
sehingga dapat menyebabkan nekrosis jaringan. Pada saat aktifitas makan
berlangsung, kutukebul akan mengeluarkan cairan (ludah) yang mengandung
enzim yang dapat membantu menguraikan dinding sel tanaman, sehingga
memudahkan serangga untuk mengisap cairan dari sel-sel tanaman. Kehilangan
cairan tanaman secara terus menerus dapat menyebabkan tanaman menjadi layu,
terjadinya pertumbuhan yang abnormal, sampai dengan kekerdilan tanaman.
Cairan (ludah) ini juga dapat menjadi media bagi penyebaran virus penyebab
penyakit tanaman. Perpindahan kutukebul yang bersifat viruliferous (mengandung
virus), baik antar tanaman maupun antar pertanaman dapat mempengaruhi
penyebaran penyakit tanaman (Gullan dan Cranston 2000).
Di Indonesia, kutukebul telah dikenal sejak tahun 1900-an terkait
peranannya sebagai hama pada tanaman, di antaranya tebu, kelapa, dan tembakau.
Pada tahun 1915 dilaporkan terjadi peledakan populasi kutukebul Aleuroctarthrus
(= Aleurodicus) destructor pada perkebunan kelapa di Pulau Selayar dan Sulawesi.
Pada tahun 1930-an, didatangkan parasitoid dari Jawa dalam jumlah besar untuk
mengendalikan populasi A. destructor. Sejak tahun 1940-an, tidak ada lagi laporan
mengenai kerusakan yang disebabkan oleh kutukebul tersebut. Spesies kutukebul
lainnya yaitu Bemisia tabaci dilaporkan pada tahun 1938 terkait dengan
penyebaran penyakit pseudomosaik dan krupuk pada pertanaman tembakau di
Deli. Pada tahun 1940, van der Laan membuktikan bahwa kejadian penyakit
2
pseudomosaik berhubungan erat dengan adanya inang alternatif dari B. tabaci,
yaitu gulma Eupatorium odoratum yang mulai menyebar luas di Asia Tenggara
sejak tahun 1931.
Di Jawa, kutukebul B. tabaci dapat menularkan penyakit
krupuk dari beberapa jenis gulma ke tanaman tembakau. Penularan terutama
terjadi di tempat pembibitan (Kalshoven dan Vecht 1950). Pada kisaran tahun
1994-1999, terjadi invasi spesies B. tabaci yang menjadi vektor penyakit pepper
yellow leaf curl dari Thailand ke Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Bali). Saat ini
penyakit tersebut lebih dikenal sebagai penyakit kuning pada tanaman cabai (De
Barro et al. 2008).
Penelitian mengenai kutukebul di Indonesia masih terbatas pada spesiesspesies tertentu, seperti B. tabaci dan Trialeurodes vaporariorum West terkait
peranannya sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman pada berbagai
komoditas sayuran. Oleh karena itu, istilah kutukebul lebih sering mengacu pada
kedua spesies tersebut. Pada kenyataannya, jumlah spesies kutukebul sangat
banyak. Watson (2007) menyatakan bahwa terdapat sekitar 1200 spesies
kutukebul yang telah diketahui berdasarkan laporan dari berbagai negara dan baru
35% di antaranya yang telah dideskripsikan. Sebagian besar dari keanekaragaman
hayati di dunia berada di daerah tropik, sehingga Indonesia sebagai salah satu
wilayah yang terletak di daerah tropik berpotensi menjadi salah satu sumber
keanekaragaman spesies di dunia (Ubaidillah dan Sutrisno 2009). Oleh karena itu,
kemungkinan masih banyak spesies kutukebul yang dapat ditemukan, khususnya
pada tanaman pertanian. Pendekatan taksonomi merupakan salah satu aspek yang
penting dalam memahami keanekaragaman hayati. Pengetahuan mengenai
karakter morfologi yang unik pada setiap spesies penting dipahami agar karakter
antar spesies kutukebul yang ditemukan dapat dengan jelas dibedakan. Salah satu
aspek dari taksonomi adalah identifikasi dan bagi para pelaku taksonomi, aspek
ini merupakan hal yang paling penting. Salah satu alat yang sering digunakan
dalam proses identifikasi adalah kunci identifikasi, khususnya berupa kunci
dikotom. Adanya kunci identifikasi tersebut diharapkan dapat memudahkan
proses identifikasi agar lebih cepat dan akurat (Quicke 1993).
3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi berbagai spesies kutukebul
yang ditemukan pada tanaman pertanian, mempelajari keanekaragaman spesies
kutukebul, serta membuat kunci identifikasi spesies kutukebul yang ditemukan di
wilayah Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies
kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian, tanaman inang,
penyebaran, serta kunci identifikasi kutukebul, sehingga dapat menunjang upaya
pengendalian kutukebul pada tanaman pertanian.
4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Kutukebul
Kutukebul termasuk ke dalam ordo Hemiptera yang memiliki alat mulut
bertipe menusuk-mengisap, serta subordo Sternorrhyncha yang secara umum
memiliki fase pradewasa yang tidak aktif bergerak (sessile) dan/atau imago yang
bersayap pada beberapa superfamili. Subordo Sternorrhyncha terdiri dari empat
superfamili, yaitu Psylloidea, Aleyrodoidea, Aphidoidea, dan Coccoidea.
Kutukebul termasuk ke dalam superfamili Aleyrodoidea yang merupakan
kelompok serangga yang memiliki ciri peralihan antara superfamili Psylloidea
dengan Coccoidea. Superfamili Aleyrodoidea mirip dengan Psylloidea karena fase
imago memiliki sayap dan dapat bereproduksi secara seksual maupun
partenogenesis, sedangkan dikatakan mirip dengan Coccoidea karena memiliki
fase pradewasa yang tidak aktif bergerak. Superfamili Aleyrodoidea hanya terdiri
dari satu famili, yaitu Aleyrodidae. Ciri dari famili ini di antaranya imago jantan
dan betina memiliki dua pasang sayap dengan venasi yang sederhana; nimfa dan
pupa memiliki vasiform orifice, lingula, dan operculum yang merupakan struktur
yang sangat terspesialisasi di sekitar anus. Struktur ini berasosiasi dengan sekresi
embun madu. Selain itu, struktur ini merupakan karakteristik utama dari famili
Aleyrodidae yang tidak dimiliki oleh kelompok serangga lainnya (Watson 2007).
Famili Aleyrodidae terdiri dari dua subfamili, yaitu Aleurodicinae dan
Aleyrodinae. Perbedaan yang mendasar di antara kedua subfamili tersebut adalah
adanya pori majemuk abdomen (abdominal compound pores) di bagian subdorsal
tubuh dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Subfamili
Aleurodicinae umumnya memiliki 4-6 pasang pori majemuk abdomen dan
vasiform orifice yang berbentuk setengah bola dengan lingula berbentuk spatula
berukuran besar yang memanjang hingga melewati tepi posterior vasiform orifice,
serta 1-2 pasang seta di bagian ujung lingula tersebut. Subfamili Aleyrodinae
tidak memiliki pori majemuk abdomen, meskipun ada spesies tertentu yang
memiliki pori sederhana yang mirip dengan pori majemuk, tetapi strukturnya
6
berbeda dengan pori majemuk. Selain itu, subfamili Aleyrodinae memiliki bentuk
dan ukuran vasiform orifice yang sangat beragam dengan lingula yang relatif kecil,
tidak memanjang, dan tidak melewati tepi posterior vasiform orifice, serta hanya
terdapat satu pasang seta di bagian ujungnya (Watson 2007, Martin 2008).
Pada tahun 1758, Linnaeus mengklasifikasikan kutukebul sebagai kelompok
ngengat dan baru dimasukkan ke dalam ordo Homoptera (sekarang Hemiptera)
pada tahun 1795 oleh Lattreille. Penamaan whitefly dalam bahasa Inggris
mengacu pada imago kutukebul yang berbentuk seperti lalat dengan permukaan
tubuh tertutupi oleh tepung lilin berwarna putih (Martin 2008), sedangkan nama
umum kutukebul dalam bahasa Indonesia berasal dari perilaku serangga ini yang
jika diganggu, imago yang berwarna putih akan berterbangan seperti ‘kebul’
(asap).
Bioekologi Kutukebul
Fase pradewasa kutukebul dapat ditemukan di bagian permukaan bawah
daun. Telur kutukebul memiliki pedisel di salah satu bagian ujungnya yang
berfungsi untuk melekat pada permukaan daun. Nimfa instar I (crawler) aktif
bergerak untuk mencari tempat makan yang sesuai. Pada saat instar II dan III,
nimfa sudah menetap di tempat tertentu. Nimfa instar IV sering disebut juga
dengan fase pupa. Hal ini disebabkan pada fase ini kutukebul sudah berhenti
makan (seperti pada fase pupa sejati), terjadi pembentukan bakal sayap dan antena,
serta pematangan alat kelamin (Watson 2007). Oleh karena itu, kutukebul
memiliki tipe metamorfosis peralihan antara paurometabola dengan holometabola.
Imago betina aktif mencari tempat peletakan telur yang biasanya pada daun-daun
tanaman yang relatif muda. Setiap imago betina dapat menghasilkan sekitar 30
telur yang diletakkan pada permukaan bawah daun. Sebelum bertelur, imago
betina biasanya akan menusukkan stiletnya pada daun sebagai pusat tumpuan,
kemudian mulai berputar sambil meletakkan telur-telurnya dengan pola melingkar.
Selanjutnya telur-telur tersebut akan ditutupi dengan lilin. Ada pula beberapa
spesies kutukebul meletakkan telur-telurnya secara acak. Di daerah beriklim
subtropik, kutukebul menghasilkan satu atau dua generasi per tahun (univoltine
7
atau bivoltine), sedangkan di daerah beriklim tropik, kutukebul dapat
menghasilkan banyak generasi per tahun (polyvoltine) dengan setiap generasi
berkembang selama 6-8 minggu (Watson 2007).
Kutukebul termasuk ke dalam kelas serangga yang merupakan organisme
yang bersifat poikiloterm, yaitu memiliki suhu tubuh yang bervariasi tergantung
suhu permukaan dan lingkungan tempat hidupnya. Semakin tinggi suhu tubuh,
maka reaksi metabolisme yang terjadi akan semakin cepat. Hal ini berarti setiap
proses yang terjadi pada kutukebul, seperti pertumbuhan dan perkembangan
tergantung pada suhu lingkungannya. Suhu merupakan bagian dari faktor iklim
pada suatu kisaran wilayah yang luas, sedangkan kondisi atmosfer pada waktu dan
tempat tertentu yang berhubungan dengan panas, dingin, sinar matahari, hujan,
awan, dan sebagainya yang sering disebut dengan cuaca. Iklim dan cuaca
merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam ekologi serangga, yang
meliputi reproduksi dan penyebaran serangga agar dapat tumbuh dan berkembang
(Speight et al. 1999).
Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, serangga herbivora sering
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu monofag, oligofag, dan polifag.
Serangga monofag adalah serangga yang memakan satu spesies tanaman inang
atau spesies tanaman lain yang hubungan kekerabatannya sangat erat; serangga
oligofag memakan beberapa jenis tanaman inang yang masih termasuk ke dalam
famili yang sama; sedangkan serangga polifag memakan banyak spesies tanaman
inang dari famili yang berbeda-beda. Namun pengelompokan ini bersifat tidak
konsisten, khususnya pada saat membedakan antara serangga monofag dengan
oligofag. Pada kenyataannya sulit untuk membedakan serangga yang hanya
memakan satu jenis tanaman dengan serangga yang memakan beberapa jenis
tanaman yang memiliki kandungan senyawa sekunder yang hampir sama. Selain
itu, individu dari spesies yang sama dapat memakan tanaman inang yang berbeda
atau memiliki preferensi tanaman inang yang berbeda tergantung tempat tinggal
dari masing-masing serangga tersebut. Hal ini disebabkan individu serangga lebih
spesifik dalam memilih tanaman inangnya daripada populasi serangga secara
keseluruhan.
Berkaitan
dengan
hal
tersebut,
pengelompokkan
serangga
berdasarkan kisaran tanaman inangnya sering pula dibedakan menjadi kelompok
8
serangga spesialis (mencakup serangga monofag dan oligofag) dan generalis
(polifag) (Schoonhoven et al. 1998).
Kunci Identifikasi Serangga
Salah satu alat yang paling dikenal dan sering digunakan dalam identifikasi
untuk sebagian besar organisme adalah kunci identifikasi, khususnya kunci
dikotom. Kunci dikotom terdiri atas suatu seri divisi atau dikotomi yang masingmasing mengandung dua alternatif karakter yang dimiliki oleh kelompok taksa
tertentu yang membedakannya dengan taksa lainnya. Alternatif pernyataan yang
menyusun masing-masing set dikotomi dalam suatu kunci dinamakan kaplet
(couplet). Masing-masing kaplet tersebut terdiri atas dua set alternatif karakter
yang sering disebut dengan lead (= leg) (Quicke 1993).
Kunci identifikasi yang baik harus dapat digunakan secara luas, baik oleh
kalangan taksonom maupun kalangan lain yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang berbeda. Suatu kunci identifikasi idealnya harus dibuat oleh
seorang ahli yang mempelajari spesimen tertentu. Karakter yang digunakan dalam
kunci identifikasi diusahakan tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit.
Pemakaian karakter yang terlalu banyak dalam suatu kaplet dapat menyebabkan
munculnya kebingungan pada penggunanya. Selain itu, pengguna dapat
kehilangan kepercayaan diri terhadap kunci yang ada sehingga dapat membuat
keputusan yang salah. Sebaliknya, pemakaian karakter yang terlalu sedikit,
misalnya hanya satu karakter pada kunci monotetik, dapat pula menyebabkan
kebingungan pada penggunanya terutama jika berhadapan dengan spesimen yang
bentuknya sudah tidak sempurna. Sebagai contoh, antena atau tungkai serangga
yang rusak atau hilang, sedangkan karakter ini menjadi salah satu karakter yang
biasanya digunakan pada awal penggunaan kunci monotetik. Oleh karena itu,
sebaiknya digunakan 2-3 karakter utama pada setiap lead sehingga dapat
mengatasi permasalahan jika salah satu karakternya rusak atau hilang (Quicke
1993).
Kunci identifikasi kutukebul yang umum digunakan biasanya berupa kunci
dikotom. Kunci identifikasi yang banyak digunakan saat ini di antaranya kunci
9
identifikasi kutukebul untuk kawasan Amerika bagian tengah, Eropa, dan
sebagian kawasan di Asia. Kunci identifikasi kutukebul yang cukup dikenal
adalah Martin (1987). Selain itu, Martin juga pernah membuat kunci identifikasi
yang spesifik untuk kawasan Papua New Guinea (Martin 1985). Kedua jenis
kunci tersebut menyertakan gambar yang berupa sketsa. Kunci identifikasi yang
menyertakan gambar spesimen berwarna (foto) terdapat pada kunci identifikasi
Dooley (2007).
Kutukebul sebagai Serangga Vektor
Beberapa kelompok serangga dapat berperan sebagai vektor penyakit
tanaman yang disebabkan oleh patogen. Hemiptera merupakan salah satu ordo
serangga yang sering menjadi vektor patogen penyebab penyakit tanaman. Ordo
ini memiliki alat mulut yang fungsinya termodifikasi untuk menusuk dan melukai
epidermis tanaman inang, lalu terjadi transfer cairan di dalamnya. Seperti halnya
serangga secara umum, keberadaan serangga vektor juga dipengaruhi oleh faktor
biotik dan abiotik, di antaranya kondisi cuaca, reproduksi, dan penyebaran.
Adanya musuh alami dan kompetisi dapat membatasi kelimpahan serangga vektor.
Selain itu, keberadaan tanaman inang juga dapat mempengaruhi keberadaan
serangga vektor di suatu habitat dan penyebaran antar habitat. Serangga vektor
dapat memiliki kisaran tanaman inang yang sempit (spesifik) maupun luas. Gulma
dapat menjadi inang alternatif bagi serangga vektor, sebagai contoh pada tahun
1938, Bemisia tabaci menjadi vektor virus penyebab penyakit pseudomosaik pada
tembakau. B. tabaci dapat hidup pada gulma Eupatorium odoratum yang ada di
sekitar pertanaman tembakau (Kalshoven dan Vecht 1950).
Penularan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus bersifat sangat
spesifik. Terdapat hubungan yang khusus antara serangga vektor dengan virus
yang dibawanya. Kemampuan, efisiensi, dan cara penularan ditentukan oleh
struktur alat mulut yang dimiliki oleh serangga vektor (Bos 1994). Terdapat 3
spesies kutukebul yang diketahui dapat berperan sebagai vektor virus tanaman,
yaitu B. tabaci, Trialeurodes vaporariorum, dan T. abutiloneus. Kutukebul B.
tabaci diketahui dapat menjadi vektor dari cassava mosaic virus, cassava mosaic
10
geminiviruses, tomato yellow leaf curl virus, dan sebagainya (Lapidot dan Polston
2010). B. tabaci menularkan penyakit tanaman secara persisten non-sirkulatif.
Virus yang terambil ketika makan akan menuju saluran pencernaan dan
menembus dinding usus, selanjutnya bersirkulasi di dalam cairan tubuh
(haemolymph) dan mengkontaminasi cairan ludah. Hal ini menyebabkan serangga
vektor tetap bersifat infektif pada aktivitas makan berikutnya. Daya tular dapat
bertahan selama beberapa hari tergantung pada jumlah virus yang terbawa ketika
proses makan berlangsung pada tanaman sakit (Bos 1994).
Pengukuran Keanekaragaman Spesies Serangga
Keanekaragaman hayati adalah variasi antar organisme dari berbagai
sumber, yang mencakup organisme yang hidup di darat, laut, dan ekosistem
perairan lainnya beserta perannya dalam ekologi. Keanekaragaman hayati
mencakup kenekaragaman dalam suatu spesies, antar spesies, dan dalam suatu
ekosistem (Speight et al. 1999). Keanekaragaman spesies terdiri dari dua
komponen, yaitu variasi dan kelimpahan relatif spesies. Keanekaragaman spesies
diukur berdasarkan kekayaan (jumlah) spesies (species richness) dan kemerataan
spesies (eveness) dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Pada dasarnya,
keanekaragaman spesies dibagi menjadi tiga, yaitu keanekaragaman α (alpha), β
(beta), dan γ (gamma). Keanekaragaman α adalah keanekaragaman pada suatu
wilayah atau lanskap tempat pengambilan sampel, keanekaragaman β adalah
keanekaragaman antar wilayah pengambilan sampel untuk melihat komposisi
spesies dari komunitas yang berbeda, sedangkan keanekaragaman γ adalah
keanekaragaman spesies pada kisaran wilayah yang luas atau secara sederhana
dapat dikatakan bahwa keanekaragaman γ merupakan hasil penggabungan dari
keanekaragaman α dan β (Magurran 1988).
Pengukuran keanekaragaman spesies dapat dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu indeks kekayaan spesies, yang pada dasarnya merupakan suatu ukuran bagi
jumlah spesies yang diperoleh dalam suatu unit pengambilan sampel; model
kelimpahan spesies yang menggambarkan distribusi dari kelimpahan spesies; dan
indeks yang berdasarkan pada proporsi kelimpahan spesies. Keanekaragaman
11
serangga, termasuk kutukebul dapat diukur dengan menggunakan indeks
keanekaragaman.
Penggunaan
indeks
dalam
melakukan
pengukuran
keanekaragaman
spesies
disesuaikan
dengan
tujuannya.
Pengukuran
keanekaragaman α biasanya terbagi menjadi tiga tujuan, yaitu untuk mengetahui
kekayaan, dominasi, dan kemerataan spesies. Indeks yang dapat digunakan untuk
mengukur kekayaan spesies di antaranya α (log series), λ (log normal), Q statistic,
S (kekayaan spesies), indeks Margalef, Shannon, Brillouin, dan McIntosh U.
Indeks untuk mengukur dominasi spesies di antaranya indeks Simpson, BergerParker, dan McIntosh D. Kemerataan spesies biasanya diukur dengan
menggunakan indeks Shannon dan Brillouin. Keanekaragaman β di antaranya
diukur dengan menggunakan indeks Jaccard, Sorenson, dan Morista-Horn
(Magurran 1988).
Kutukebul sebagai Spesies Invasif
Secara umum, spesies invasif didefinisikan sebagai spesies asing yang dapat
dengan cepat menyebar di suatu wilayah yang baru. Biasanya keberadaan spesies
invasif dapat menyebabkan perubahan dalam hal keanekaragaman organisme,
perubahan fungsi dalam ekosistem, serta berdampak pada aspek sosial-ekonomi
dan kesehatan manusia di daerah baru tersebut. Spesies asing sendiri didefinisikan
sebagai spesies organisme yang berada di luar wilayah tempat tinggal aslinya
yang berpotensi mengalami penyebaran, salah satunya melalui aktivitas manusia.
Pada dasarnya spesies invasif yang menginvasi daerah baru harus dapat melewati
tahapan-tahapan, di antaranya suatu spesies baru yang masuk ke suatu daerah baru
harus mampu bertahan hidup di daerah baru tersebut; lalu spesies tersebut mampu
berkembang biak dan melakukan kolonisasi; selanjutnya spesies baru tersebut
mampu mempertahankan keberadaan populasinya dan melakukan penyebaran ke
daerah di sekitarnya (Walther et. al. 2009).
Keberadaan spesies invasif di suatu lingkungan dapat memberikan dampak
langsung dan tidak langsung terhadap tanaman inang atau organisme lain di suatu
lingkungan yang sama. Spesies invasif dapat secara langsung menyerang,
melemahkan, dan/atau membunuh tanaman inang atau organisme lain yang ada di
12
lingkungan tersebut, sedangkan secara tidak langsung dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem di suatu wilayah (Carruthers 2003). Jika dilihat dari
aspek yang berhubungan dengan manusia, dampak keberadaan spesies invasif
berhubungan dengan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dampak keberadaan
spesies invasif terhadap aspek ekonomi berkaitan langsung dengan penurunan
atau kehilangan hasil di pertanaman, sedangkan terhadap aspek lingkungan berupa
gangguan terhadap struktur ekosistem yang terkadang mengacu pada penurunan
keanekaragaman suatu organisme di suatu wilayah. Keberadaan spesies invasif
juga berdampak terhadap aspek sosial, di antaranya pada kesehatan, kenyamanan
dan kualitas hidup manusia, rekreasi, budaya, dan sebagainya (Charles dan Dukes
2007). Dalam bidang pertanian, serangga merupakan organisme yang sering
menjadi spesies invasif, termasuk di antaranya kutukebul. Terdapat kutukebul
yang berstatus sebagai spesies invasif di beberapa negara, di antaranya
Aleurodicus dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci. Spesies-spesies tersebut
menyebabkan kerugian secara ekonomi dalam bidang pertanian (Muniappan
2011).
13
BAB III
SPESIES KUTUKEBUL YANG DITEMUKAN PADA
TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT DAN KUNCI
IDENTIFIKASINYA
Abstrak
Kutukebul merupakan salah satu serangga hama yang penting karena dapat
menyebabkan kerusakan langsung dan tidak langsung pada tanaman. Serangan
kutukebul dapat mengganggu fotosintesis dan respirasi tanaman, estetika tanaman
hias, serta menularkan penyakit tanaman. Sebanyak 37 spesies kutukebul telah
dilaporkan keberadaannya di Indonesia dan kemungkinan masih banyak spesies
kutukebul yang belum teridentifikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui spesiesspesies kutukebul pada tanaman pertanian di Jawa Barat dan membuat kunci
identifikasi kutukebul berdasarkan karakter morfologinya. Sampel kutukebul
dikoleksi dari lima daerah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur,
Bandung, dan Garut. Identifikasi kutukebul berdasarkan pada nimfa instar
keempat atau lebih dikenal dengan pupa. Pembuatan preparat mikroskop mengacu
pada metode Watson yang dimodifikasi. Kunci identifikasi dibuat dalam format
dikotomi dan digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix Key. Sebanyak
38 spesies kutukebul ditemukan pada tanaman pertanian, 10 spesies di antaranya
belum teridentifikasi. Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, empat spesies
kutukebul yang bersifat generalis adalah Aleurodicus dispersus, Aleurodicus
dugesii, Bemisia tabaci, dan Trialeurodes vaporariorum. Kunci identifikasi
kutukebul diharapkan digunakan sebagai panduan untuk identifikasi spesiesspesies kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian.
Kata kunci: pupa, karakter morfologi, preparat mikroskop, kunci identifikasi
Pendahuluan
Keberadaan kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) di Indonesia sudah
diketahui sejak tahun 1900-an. Pada saat itu, famili serangga ini dikenal dengan
Aleurodidae (Koningsberger 1908). Koningsberger melaporkan terdapat tiga
spesies kutukebul yang menjadi hama penting pada tanaman tebu di Jawa, di
antaranya Aleurodes bergi Sign, A. longicornis Zehnt, dan A. lactea Zehnt.
Selanjutnya Dammerman (1929) melaporkan adanya tiga spesies kutukebul
lainnya, yaitu Aleurocanthus spiniferus Quaint, Aleurodicus cocois Corb, dan
Aleurodicus destructor Mask. Pada saat itu, A. destructor menjadi hama penting
14
yang menyerang pohon buah-buahan dan kelapa di Jawa. Pada kisaran tahun
1930-an, Kalshoven dan Vecht melaporkan 20 spesies kutukebul (Kalshoven dan
Vecht 1950), termasuk spesies-spesies yang telah dilaporkan oleh Koningsberger
dan Dammerman. Kemudian berdasarkan penelitian Bintoro dan Hidayat (2008)
di Bogor, Jawa Barat diperoleh 17 spesies kutukebul yang belum pernah
dilaporkan sebelumnya, sehingga sudah diketahui 37 spesies yang ada di
Indonesia, baik pada tanaman pertanian maupun bukan tanaman pertanian.
Penelitian mengenai kutukebul di Indonesia masih terbatas pada spesies
seperti Bemisia tabaci Genn dan Trialeurodes vaporariorum West. Kedua spesies
tersebut berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman. Spesies
kutukebul lainnya yang menjadi hama penting di indonesia adalah Aleurodicus
dispersus Russell dan A. dugesii Cockerell. A. dispersus dan A. dugesii
merupakan serangga asli di kawasan Amerika Selatan dan memiliki kisaran inang
yang luas. Pada tahun 1989, A. dispersus diketahui telah menyebar di sebagian
wilayah Jawa dan Sumatera yang memiliki tanaman inang sebanyak 22 spesies
dari 14 famili tanaman (Kajita et. al. 1991). A. dugesii pertamakali dilaporkan
pada tahun 2007 di Bogor oleh Hidayat dan Watson (2008) yang menyerang pada
tanaman kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis). A. dispersus dan A. dugesii
merupakan spesies kutukebul yang kosmopolitan dan memiliki kisaran tanaman
inang sangat luas. Hasil penelitian Murgianto menunjukkan bahwa A. dispersus
memiliki tanaman inang sebanyak 111 spesies dari 53 famili tanaman, sedangkan
A. dugesii sebanyak 40 spesies dari 27 famili tanaman. Sebagian besar dari
tanaman inang A. dispersus dan A. dugesii merupakan kelompok tanaman dari
komoditas hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias) (Murgianto
2010).
Beberapa spesies kutukebul diketahui dapat menyebabkan kerusakan
langsung maupun tidak langsung pada tanaman, khususnya pada kelompok
tanaman budidaya yang bersifat komersial. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan mengetahui spesies-spesies kutukebul yang umum ditemukan pada
tanaman pertanian di beberapa daerah di Jawa Barat. Hasil penelitian diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai spesies-spesies kutukebul yang umum
ditemukan pada tanaman pertanian, mengetahui karakteristik morfologi kutukebul,
15
dan tanaman inangnya, sehingga dapat menunjang proses identifikasi dan upaya
pengendalian kutukebul khususnya di tanaman pertanian.
Metode Penelitian
Koleksi Kutukebul di Lapangan
Pengambilan sampel kutukebul dilakukan pada lima wilayah di Jawa Barat,
di antaranya Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Garut sejak Juni 2011
sampai dengan April 2012. Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan
sampel diukur dengan menggunakan aplikasi GPS (Global Positioning System)
dari Pocket PC Mio P550. Sampel diambil dari berbagai jenis tanaman, di
antaranya dari tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias),
pangan, serta beberapa jenis tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel
dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung (purposive sampling).
Daun-daun yang terinfestasi pupa atau eksuvia kutukebul diambil dan ditutupi
dengan kertas tisu, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik bening, dan diberi
label. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dibuat menjadi preparat
mikroskop.
Pembuatan Preparat Mikroskop Kutukebul
Pembuatan preparat kutukebul dilakukan dengan metode Watson (2007)
yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada saat membuat preparat kutukebul
yang pupanya berwarna hitam. Pupa direndam terlebih dahulu di dalam larutan
KOH 10% selama 24 jam. Pada penelitian ini, pembuatan preparat mikroskop
dilakukan dengan dengan metode preparat permanen untuk identifikasi dan
penyimpanan dalam jangka waktu yang lama. Pada dasarnya, pembuatan preparat
mikroskop kutukebul disesuaikan dengan tipe pupa atau eksuvia yang diperoleh.
Terdapat dua macam spesimen yang umumnya digunakan dalam pembuatan
preparat mikroskop kutukebul, yaitu pupa dan eksuvia.
Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Pucat. Pupa
kutukebul diambil dengan hati-hati dari daun tanaman inang dengan
16
menggunakan jarum mikro. Kemudian pupa dimasukkan ke dalam alkohol 80%
dan didiamkan selama 5-10 menit. Sebanyak lima ml KOH 10% dimasukkan ke
dalam tabung reaksi dan dipanaskan di atas kompor listrik. Kemudian larutan
KOH tersebut dimasukkan ke dalam cawan sirakus. Pupa kutukebul secara satu
persatu dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi larutan KOH 10% dengan
menggunakan jarum mikro, lalu didiamkan hingga pupa terlihat transparan. Di
bawah mikroskop cahaya, pupa dibersihkan dari lilin-lilin yang masih menempel
dengan menggunakan jarum mikro. Selain itu, isi tubuh kutukebul dikeluarkan
secara perlahan-lahan hingga hanya tersisa eksuvia-nya. Selanjutnya eksuvia
dibilas dengan akuades sebanyak dua kali. Lilin yang masih tersisa pada eksuvia
dapat dibersihkan dengan cara merendam eksuvia tersebut di dalam larutan carbol
xylene selama 10 detik. Lalu eksuvia dibilas kembali dengan akuades. Setelah itu,
eksuvia direndam di dalam larutan asam alkohol 50% selama 10 menit. Kemudian
eksuvia direndam di dalam campuran larutan pewarna asam fuchsin dan asam
asetat glasial dengan perbandingan 1:1 selama 15 menit. Eksuvia yang telah
diwarnai direndam di dalam alkohol 80% selama 1-2 menit atau hingga diperoleh
warna eksuvia yang diinginkan. Lalu direndam di dalam alkohol 100% selama
satu menit. Setelah itu eksuvia dimasukkan ke dalam minyak cengkeh.
Gelas objek (25.4 x 76.2 cm) disiapkan untuk perentangan eksuvia
kutukebul. Pada permukaan atas gelas objek di bagian tengah diberi satu tetes
minyak cengkeh. Sebanyak satu eksuvia diletakkan pada minyak cengkeh
tersebut. Lalu eksuvia direntang dengan posisi ventral tubuh menghadap ke atas.
Kemudian minyak cengkeh yang ada di sekitar eksuvia diserap dengan
menggunakan kertas tisu. Selanjutnya pada eksuvia tersebut diteteskan balsam
canada. Larutan medium dioleskan ke sekeliling eksuvia hingga hampir
menyamai ukuran dari gelas penutup yang akan digunakan. Posisi eksuvia diatur
kembali hingga letaknya tepat di bagian tengah. Gelas penutup (18 x 18 cm)
diletakkan secara perlahan-lahan di atas spesimen dengan bantuan pinset. Preparat
miroskop diberi label di sisi kanan dan kiri. Pada label di bagian kanan spesimen
diberi keterangan lokasi dan waktu pengambilan sampel, tanaman inang, dan
kolektor. Label di bagian kiri spesimen dikosongkan yang selanjutnya akan diisi
dengan keterangan taksonomi spesimen setelah dilakukan identifikasi. Preparat
17
mikroskop kutukebul dikeringkan di atas hotplate Fisher Scientific Slide Warmer
dengan suhu 60ºC selama 6-8 minggu. Identifikasi dapat dilakukan pada saat
preparat sudah dikeringkan selama satu minggu. Selanjutnya preparat diletakkan
kembali di atas hotplate hingga medium pada preparat tersebut benar-benar
mengering. Preparat mikroskop kutukebul yang telah selesai dikeringkan
disimpan di dalam kotak preparat.
Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Hitam. Pupa
kutukebul yang telah diambil dari daun dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang
berisi larutan KOH 10%. Selanjutnya didiamkan selama 24 jam. Setelah itu, isi
tubuh pupa kutukebul dikeluarkan sehingga hanya tertinggal eksuvia-nya. Eksuvia
dibilas dengan akuades sebanyak dua kali. Sisa lilin yang masih terdapat pada
eksuvia dibersihkan dengan cara merendam eksuvia di dalam larutan carbol
xylene selama 10 detik, lalu dibilas kembali dengan akuades. Kemudian eksuvia
direndam di dalam alkohol 80% selama 1-2 menit, lalu direndam di dalam alkohol
100% selama satu menit. Eksuvia selanjutnya dimasukkan ke dalam minyak
cengkeh. Cara perentangannya sama dengan cara perentangan pada eksuvia yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Pembuatan Preparat Mikroskop dari Eksuvia. Eksuvia kutukebul
diambil secara hati-hati dari daun dengan menggunakan jarum mikro. Kemudian
eksuvia dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi alkohol 80%, dan
didiamkan selama 5-10 menit. Selanjutnya eksuvia direndam di dalam larutan
asam alkohol 50% selama 10 menit. Setelah itu, eksuvia diwarnai dengan
merendamnya di dalam campuran larutan asam fuchsin dengan asam asetat glasial
selama 15 menit. Langkah selanjutnya sama seperti pada pembuatan preparat
mikroskop dari pupa berwarna pucat yang telah dijelaskan sebelumnya.
Identifikasi Kutukebul
Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi pupa kutukebul. Hal
ini disebabkan pupa kutukebul memiliki karakter yang spesifik untuk masingmasing spesies (Watson 2007). Secara umum, karakter kutukebul yang menjadi
ciri identifikasi di antaranya adanya compound pores (pori majemuk) di bagian
18
subdorsal dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Struktur
vasiform orifice terdiri dari lingula (struktur seperti lidah) yang memiliki bentuk
dan ukuran yang bervariasi untuk masing-masing spesies. Beberapa spesies
kutukebul memiliki karakter yang khusus, seperti adanya barisan duri atau seta
pada bagian submargin, adanya papila dan tuberkel, keberadaan serta bentuk pori
trakea (tracheal pore), dan sebagainya. Karakter morfologi umum dari kutukebul
subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
Identifikasi kutukebul dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi
kutukebul, di antaranya Russell (1964), Martin (1985), Martin (1987), Dooley
(2007), dan Dubey et al. (2009) dengan bantuan mikroskop majemuk.
Berdasarkan frekuensi penemuannya di lapangan, kutukebul dikelompokkan ke
dalam dua kategori, yaitu kutukebul yang sering ditemukan (lebih dari tiga kali
ditemukan) dan jarang ditemukan (kurang dari tiga kali ditemukan).
Pembuatan Kunci Identifikasi Kutukebul
Kunci identifikasi kutukebul dibuat dengan sistem dikotomi. Karakter dari
masing-masing kutukebul dibuat ke dalam matriks karakter. Matriks karakter
tersebut akan menjadi dasar bagi pembuatan kunci identifikasi dikotom. Kunci
identifikasi dibuat pula dalam format digital dengan menggunakan program Lucid
Phoenix (2004). Gambar yang digunakan pada kunci identifikasi berupa foto
berwarna yang diambil dengan menggunakan kamera digital SONY DSC-W520
di bawah mikroskop cahaya dan mikroskop majemuk (untuk preparat mikroskop).
Pengukuran spesimen dibantu oleh perangkat lunak Dino Capture (2009).
Selanjutnya pada gambar yang telah diperoleh diberi keterangan, khususnya untuk
karakter yang bersifat spesifik untuk masing-masing spesies kutukebul. Gambargambar tersebut juga digunakan pada kunci identifikasi dengan format digital,
tetapi gambar-gambar tersebut harus dirubah dahulu dalam format resolusi rendah
(sekitar 10 kilobit (kb)) agar komposisi tampilan gambar pada format digital
terlihat baik.
19
Hasil Penelitian
Hasil Identifikasi dan Karakter Morfologi Kutukebul
Berdasarkan hasil pengambilan sampel, jumlah kutukebul yang diperoleh
adalah 38 spesies. Kutukebul dari subfamili Aleurodicinae ditemukan sebanyak
empat spesies, sedangkan Aleyrodinae 34 spesies. Dari 38 spesies kutukebul yang
ditemukan, sebanyak 28 di antaranya sudah teridentifikasi, sedangkan 10 spesies
lainnya belum teridentifikasi. Kesepuluh spesies kutukebul yang belum
teridentifikasi tersebut termasuk ke dalam subfamili Aleyrodinae (Lampiran 3).
Jika dilihat dari frekuensi penemuannya di lapangan, terdapat 14 spesies yang
sering ditemukan di pertanaman, sedangkan 24 spesies lainnya jarang ditemukan.
Dari 14 spesies kutukebul tersebut di atas, sebanyak 6 spesies ditemukan pada
tanaman sayuran (Lampiran 4). Hasil identifikasi spesies kutukebul yang
ditemukan pada tanaman pertanian adalah sebagai berikut:
Subfamili Aleurodicinae:
1. Aleuroctarthrus destructor*
2. Aleurodicus dispersus**
3. Aleurodicus dugesii**
4. Paraleyrodes minei**
Subfamili Aleyrodinae:
5. Aleurocanthus citriperdus**
6. Aleurocanthus spiniferus**
7. Aleurocanthus woglumi*
8. Aleuroclava aucubae*
9. Aleuroclava canangae*
10. Aleuroclava jasmini**
11. Aleuroclava psidii*
12. Aleurolobus marlatti*
13. Aleurotrachelus sp.1**
14. Aleurotrachelus sp.2*
15. Aleurotrachelus sp.3*
16. Asiothrixus antidesmae**
17. Bemisia tabaci**
18. Cockerelliella psidii**
19. Cockerelliella sp. 1*
20. Cockerelliella sp. 2*
21. Dialeurodes kirkaldyi*
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
Dialeurodes sp.*
Dialeuropora decempuncta**
Lipaleyrodes sp.*
Minutaleyrodes minuta*
Orchamoplatus mammaeferus**
Rusostigma sp.**
Trialeurodes vaporariorum**
Spesies 1*
Spesies 2*
Spesies 3*
Spesies 4*
Spesies 5*
Spesies 6*
Spesies 7*
Spesies 8*
Spesies 9*
Spesies 10*
Keterangan: *jarang ditemukan, ** sering ditemukan (berdasarkan frekuensi penemuan di
lapangan).
20
Kutukebul subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae dapat dibedakan dari
karakter morfologi umum berupa pori majemuk abdomen dan vasiform orifice
(Gambar 3.1). Subfamili Aleurodicinae memiliki pori majemuk di bagian
subdorsal abdomen tubuhnya. Selain itu, di bagian posterior tubuhnya terdapat
vasiform orifice yang berbentuk setengah lingkaran dengan lingula (struktur
seperti lidah) yang berukuran besar hingga melewati batas vasiform orifice.
Subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen; bentuk vasiform
orifice beragam, tergantung spesiesnya masing-masing; dan biasanya memiliki
seta kauda di bagian posterior tubuh. Selain itu, bentuk dan warna eksuvianya
subfamili Aleyrodinae sangat beragam, mulai dari berwarna pucat hingga gelap.
Gambar 3.1 Ciri morfologi umum eksuvia kutukebul subfamili Aleurodicinae (a),
dan Aleyrodinae (b) berdasarkan pori majemuk abdomen dan
vasiform orifice
21
Kunci Identifikasi Kutukebul
Karakter morfologi dari masing-masing spesies kutukebul yang ditemukan
dapat dilihat pada kunci identifikasi pada Lampiran 5. Kunci identifikasi dikotom
dibuat dalam format digital (Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Tampilan kunci identifikasi kutukebul dikotomi dalam format digital
menggunakan program Lucid Phoenix
Pembahasan
Hasil pengambilan sampel menunjukkan bahwa jumlah spesies kutukebul
yang ditemukan pada tanaman pertanian sebagian besar merupakan anggota dari
subfamili Aleyrodinae. Menurut laporan Watson (2007), jumlah spesies dari
subfamili
Aleyrodinae
lebih
banyak
daripada
Aleurodicinae.
Subfamili
Aleurodicinae meliputi 120 spesies dari 18 genus, sedangkan subfamili
Aleyrodinae meliputi 1080 spesies dari 112 genus. Kutukebul dari subfamili
Aleurodicinae sangat umum ditemukan di kawasan Neotropik, sedangkan
Aleyrodinae penyebarannya sangat luas. Spesies kutukebul dari subfamili
Aleurodicinae umumnya memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, sedangkan
spesies dari subfamili Aleyrodinae memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil
daripada Aleurodicinae. Hal ini menyebabkan spesies kutukebul dari subfamili
22
Aleyrodinae dapat lebih aktif terbang dan lebih mudah terbawa oleh angin dalam
berpindah tempat daripada spesies kutukebul dari subfamili Aleurodicinae. Selain
itu, venasi sayap yang dimiliki oleh imago subfamili Aleyrodinae lebih sederhana
daripada Aleurodicinae. Hal ini menunjukkan bahwa subfamili Aleyrodinae
merupakan serangga yang lebih maju daripada Aleurodicinae dari segi evolusinya
(Gullan dan Martin 2003). Hal ini kemungkinan yang menyebabkan beberapa
spesies dari subfamili Aleyrodinae dapat berperan sebagai vektor virus penyebab
penyakit tanaman dan berkembang menjadi biotipe tertentu, contohnya pada B.
tabaci.
Deskripsi Spesies Kutukebul
a. Subfamili Aleurodicinae
1. Aleuroctarthrus destructor Martin
Sinonim: Aleurodicus destructor Mackie; Aleurodes albofloccosa Froggatt
Nama umum: coconut whitefly
Tanaman inang: Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera).
Tempat ditemukan: Bogor.
Deskripsi: A. destructor biasanya dapat ditemukan pada permukaan bawah
daun pohon kelapa. Imago berwarna putih dan memiliki ukuran tubuh yang
relatif besar (Gambar 3.3b). Ciri khas dari kutukebul ini dapat dilihat dari
bentuk lilin yang dihasilkannya. Masing-masing pupa dapat menghasilkan lilin
berwarna putih yang tebal di bagian tengah dorsal tubuhnya yang mengarah ke
atas (Gambar 3.3c). Pada bagian tepi tubuhnya dihasilkan lilin putih yang
lebih tipis yang jika dilihat secara keseluruhan akan membentuk jalinan-jalinan
lilin yang tidak beraturan sehingga terlihat seperti gumpalan-gumpalan lilin
(Gambar 3.3a). Pada eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen
yang berukuran relatif besar (Gambar 3.3d). A. destructor dapat menghasilkan
embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga
sehingga bagian permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam.
Keberadaan A. destructor di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 1915
(Kalshoven dan Vecht 1950).
23
Gambar 3.3 Koloni A. destructor pada permukaan bawah daun kelapa (a),
imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) A. destructor
2. Aleurodicus dispersus Russell
Nama umum: spiralling whitefly
Tanaman inang: Apocynaceae: kamboja (Plumeria alba); Araceae: talas
(Colocasia esculenta); Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Caricaceae:
pepaya (Carica papaya); Euphorbiaceae: kastuba (Euphorbia pulcherrima),
singkong
(Manihot
esculenta);
Fabaceae:
kecipir
(Psophocarpus
tetragonolobus), buncis (Phaseolus vulgaris); Lauraceae: alpukat (Persea
americana); Malvaceae: kapas (Gossypium arboretum); Musaceae: pisang
(Musa paradisiaca); Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense), jambu
biji (Psidium guajava); Orchidaceae: anggrek tanah (Spathoglottis plicata);
Rutaceae: jeruk manis (Citrus sinensis), jeruk limau (Citrus amblycarpa);
Solanaceae: cabai merah besar (Capsicum annuum), tomat (Lycopersicon
esculentum).
Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung, Sukabumi, dan Garut.
Deskripsi: Spesies A. dispersus merupakan kutukebul yang bersifat polifag dan
kosmopolitan. Imago A. dispersus berwarna putih dengan tubuh berukuran
relatif besar, tetapi relatif lebih kecil daripada A. destructor. Pada pupa A.
dispersus terdapat dua struktur lilin yang ukurannya panjang di bagian
posterior tubuhnya yang bentuknya menyerupai ekor (Gambar 3.4b). A.
24
dispersus umumnya hidup secara berkelompok. Pada populasi yang tinggi,
koloni kutukebul dapat menutupi hampir seluruh permukaan bawah daun
(Gambar 3.4a). Pada eksuvia terdapat empat pasang pori majemuk abdomen
(Gambar 3.4c). A. dispersus dapat menghasilkan embun madu yang sering
menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian
permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam. Kutukebul A. dispersus
dilaporkan keberadaannya di Indonesia sejak tahun 1989 (Kajita et al. 1991).
Gambar 3.4 Koloni A. dispersus pada permukaan bawah daun kastuba (a),
pupa (b), dan eksuvia A. dispersus
3. Aleurodicus dugesii Cockerell
Sinonim: Aleurodicus poriferus Sampson & Drews
Nama umum: giant whitefly
Tanaman inang: Annonaceae: srikaya (Annona squamosa); Apocynaceae:
kamboja (P. alba); Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Asteraceae: dahlia
(Dahlia pinnata); Begoniaceae: begonia (Begonia grandis, Begonia sp.);
Cannaceae: kana (Canna indica); Cucurbitaceae: labu siam (Sechium edule);
Euphorbiaceae: ekor kucing (Acalypha hispida), akalifa (Acalypha
wilkesiana); Lauraceae: alpukat (Persea americana); Malvaceae: Kembang
sepatu (Hibiscus rosa-sinensis); Moraceae: murbei (Morus alba), nangka
(Artocarpus heterophyllus); Musaceae: pisang hias (Heliconia colisiana),
pisang (Musa paradisiaca); Myrtaceae: dewandaru (Eugenia uniflora);
25
Orchidaceae: anggrek tanah (Spathoglottis plicata); Rubiaceae: kopi (Coffea
arabica); Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia); Solanaceae: cabai
keriting, cabai merah besar (Capsicum annuum), melati kosta (Brunfelsia
uniflora).
Tempat ditemukan: Bandung, Bogor, Cianjur, Sukabumi, dan Garut.
Deskripsi: Kutukebul A. dugesii dapat dengan mudah dikenali di lapangan
dengan adanya lilin-lilin putih yang banyak dan memanjang ke bawah hingga
menyerupai janggut (Gambar 3.5a). Imago A. dugesii berwarna putih dengan
corak berwarna kelabu pada bagian sayap depannya (Gambar 3.5b). Nimfa
berwarna kuning hingga transparan (Gambar 3.5c). Pada eksuvia terdapat enam
pasang pori majemuk abdomen (dua pasang pori majemuk di bagian posterior
ukurannya tereduksi) (Gambar 3.5d). A. dugesii merupakan spesies kutukebul
yang bersifat polifag dan cenderung lebih banyak ditemukan di daerah dataran
tinggi daripada dataran rendah dan dataran sedang. Pada populasi yang tinggi,
koloni kutukebul dan lilinnya dapat menutupi seluruh permukaan bawah daun.
A. dugesii dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi
pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian permukaan atas daun biasanya
terlihat berwarna hitam.
Gambar 3.5 Koloni A. dugesii pada permukaan bawah daun kembang sepatu
(a), imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) A. dugesii
26
4. Paraleyrodes minei Iaccarino
Nama umum: nesting whitefly
Tanaman inang: Lauraceae: alpukat (Persea americana); Myrtaceae: jambu air
(Syzigium samarangense); Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk
bali (Citrus maxima).
Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Sukabumi.
Deskripsi: Imago P. minei berwarna putih dengan ukuran tubuh yang mirip
dengan A. dispersus (Gambar 3.6b). Imago betina sering meletakkan telurtelurnya secara melingkar dengan ditutupi oleh lapisan lilin sehingga
menyerupai sarang burung. Kemudian imago tersebut berdiam diri di bagian
tengah. Pupa P. minei berwarna kuning hingga transparan (Gambar 3.6a).
Permukaan tubuhnya sering tertutupi oleh lapisan lilin yang dihasilkannya. Di
sepanjang tepi tubuhnya dikelilingi oleh lilin yang berwarna putih. Pada
eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen (dua pasang pori
majemuk di bagian anterior ukurannya tereduksi) (Gambar 3.6c). Kutukebul ini
baru diketahui keberadaannya di Indonesia pada tahun 2011 (Nurulalia et al.
2012).
Gambar 3.6 Nimfa (a), dan imago (b) P. minei pada permukaan bawah daun
jeruk, serta eksuvia P. minei
b. Subfamili Aleyrodinae
5. Aleurocanthus citriperdus Quaintance and Baker
Sinonim: Aleurocanthus cameroni Corbett
Tanaman inang: Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk bali (Citrus
maxima).
Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur.
27
Deskripsi: A. citriperdus merupakan spesies kutukebul yang umum ditemukan
pada tanaman jeruk. Kutukebul ini belum pernah dilaporkan ditemukan pada
tanaman selain jeruk. Kutukebul genus Aleurocanthus umumnya ditemukan
hidup secara berkelompok, termasuk A. citriperdus. A. citriperdus dapat
dikenali dengan warna tubuh yang hitam mengkilat dengan lilin yang berwarna
putih di bagian tepi tubuhnya. Pada bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri
kaku yang juga berwarna hitam. Pada saat di lapangan, A. citriperdus relatif
sulit dibedakan dengan kutukebul genus Aleurocanthus lainnya. Identifikasi
kutukebul Aleurocathus hanya dapat dipastikan berdasarkan karakter eksuvianya, yaitu adanya duri-duri pada bagian submarginal tubuh. Spesies A.
citriperdus memiliki duri-duri sebanyak 16 pasang (Gambar 3.7).
Gambar 3.7 Eksuvia A. citriperdus
6. Aleurocanthus spiniferus Quaintance
Sinonim: Aleurocanthus spinifera Quaintance; Aleurodes citricolus Newstead;
Aleurocanthus spiniferus Quaintance & Baker; Aleurocanthus spiniferus var.
intermedia Silvestri; Aleurocanthus rosae Singh
Nama umum: orange spiny whitefly
Tanaman inang: Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Moraceae: nangka
(Artocarpus heterophyllus); Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava);
Rutacaeae: jeruk manis (Citrus sinensis).
Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung.
Deskripsi: A. spiniferus merupakan spesies kutukebul yang umum ditemukan
pada tanaman jeruk, kelapa, dan nangka. Seperti halnya A. citriperdus,
28
kutukebul ini juga umumnya hidup secara berkelompok. Jika dilihat secara
langsung pada daun, A. spiniferus sulit dibedakan dari A. citriperdus karena
memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu memiliki warna tubuh yang hitam
mengkilat dengan lilin yang berwarna putih di bagian tepi tubuhnya. Pada
bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri kaku yang juga berwarna hitam.
Kadang-kadang di bagian ujung duri tersebut sering terdapat cairan yang
lengket berwarna kuning yang kemungkinan merupakan cairan embun madu
yang dihasilkan oleh kutukebul (Gambar 3.8). Imago memiliki tubuh berwarna
jingga dengan sayap bercorak warna hitam. Seperti halnya A. citriperdus,
identifikasi A. spiniferus hanya dapat dipastikan berdasarkan karakter eksuvianya, yaitu adanya duri-duri pada bagian submarginal tubuh sebanyak 11 pasang
yang semua ukuran panjangnya sama.
Gambar 3.8 Pupa (a) dan imago (b) A. spiniferus pada daun nangka, serta
eksuvia A. spiniferus
7. Aleurocanthus woglumi (Ashby)
Sinonim: Aleurocanthus punjabensis Corbett; Aleurocanthus woglumi var
formisana Takahashi
Nama umum: citrus blackfly
Tanaman inang: Rutaceae: jeruk manis (Citrus sinensis).
Tempat ditemukan: Bogor.
Deskripsi: Kutukebul A. woglumi merupakan spesies kutukebul yang biasanya
ditemukan pada
tanaman jeruk.
Seperti halnya
spesies dari genus
Aleurocanthus lainnya, A. woglumi juga umumnya hidup secara berkelompok.
Jika dilihat secara langsung pada daun, A. woglumi sulit dibedakan dari A.
29
citriperdus dan A. spiniferus karena memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu
memiliki warna tubuh yang hitam mengkilat dengan lilin yang berwarna putih
di bagian tepi tubuhya. Pada bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri kaku
yang juga berwarna hitam. Perbedaan secara pasti hanya dapat dilakukan
dengan cara melihat karakter spesifik yang dimiliki oleh masing-masing
eksuvia. Pada eksuvia A. woglumi terdapat duri-duri pada bagian submarginal
tubuh sebanyak 11 pasang. Satu pasang duri di bagian posteror tubuh
ukurannya lebih panjang daripada duri-duri lainnya sehingga menyerupai ekor
(Gambar 3.9).
Gambar 3.9 Eksuvia A. woglumi
8. Aleuroclava aucubae (Kuwana)
Sinonim: Aleyrodes aucubae Kuwana; Tetraleurodes aucubae Quaintance and
Baker; Aleurotuberculatus aucubae Takahashi
Nama umum: aucuba whitefly, coral whitefly
Tanaman inang: Myrtaceae: jambu bol (Syzigium malaccense)
Tempat ditemukan: Bogor, Sukabumi
Deskripsi: Pupa A. aucubae berwarna hitam dengan bentuk menyerupai buah
pir. Pada bagian dorsal pupa terdapat pola-pola (rhachis) yang permukaannya
cembung yang tertutupi oleh lapisan lilin berwarna putih (Gambar 3.10).
30
Gambar 3.10 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. aucubae
9. Aleuroclava canangae (Corbett)
Sinonim: Martiniella canangae Corbett; Aleurotuberculatus canangae Corbett
Tanaman inang: Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava)
Tempat ditemukan: Bogor
Deskripsi: Pada pupa terdapat pigmentasi berwarna cokelat pada bagian-bagian
tertentu, di antaranya pada bagian mulut, anterior abdomen, dan di sekitar
vasiform orifice. Ciri kutukebul A. canangae di lapangan tidak begitu jelas
karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Pada
eksuvia A. canangae terdapat granul yang sangat banyak yang letaknya
beraturan, terdapat satu pasang seta pada bagian sefalotoraks dan tungkai
ketiga yang masing-masing terdiri dari satu ruas (Gambar 3.11a), tetapi ada
juga yang seta-nya tidak terlihat (Gambar 3.11b).
Gambar 3.11 Eksuvia A. canangae dengan seta (a) dan tanpa seta (b)
10. Aleuroclava jasmini Takahashi
Sinonim: Aleurotuberculatus jasmini Takahashi
31
Nama umum: jasmine whitefly
Tanaman inang: Myrtaceae: salam (Syzygium polyanthum); Oleaceae: Melati
(Jasminum sambac); Sapindaceae: rambutan (Nephelium lappaceum)
Tempat ditemukan: Bogor
Deskripsi: A. jasmini merupakan kutukebul yang umumnya ditemukan pada
tanaman melati. Ciri kutukebul A. jasmini di lapangan tidak begitu jelas
karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Tepian
eksuvia umumnya bergerigi, dan biasanya ada yang memiliki satu pasang seta
pada bagian sefalotoraks dan tungkai ketiga yang masing-masing terdiri dari
satu ruas (Gambar 3.12a), dan ada juga yang tidak memiliki seta (Gambar
3.12b).
Gambar 3.12 Eksuvia A. jasmini dengan seta (a) dan tanpa seta (b)
11. Aleuroclava psidii (Singh)
Sinonim: Aleurotuberculatus psidii (Singh); Aleurotuberculatus psidii Singh
Nama umum: asian guava whitefly
Tanaman inang: Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava).
Tempat ditemukan: Bogor
Deskripsi: Kutukebul A. psidii merupakan kutukebul yang sering ditemukan
pada tanaman jambu biji. Pupa A. psidii berwarna kuning hingga transparan.
Pada bagian dorsal terdapat pola pigmentasi berwarna hitam (Gambar 3.13a).
Pada eksuvia terdapat pola granul yang letaknya beraturan, selain itu di
bagian margin terdapat pola yang bergerigi (Gambar 3.13b).
32
Gambar 3.13 Pupa (s) dan eksuvia (b) A. psidii
12. Aleurolobus marlatti Quaintance and Baker
Sinonim: Aleurolobus niloticus Priesner and Hosny; Aleyrodes marlatti
(Quaintance)
Nama umum: marlatt whitefly
Tanaman inang: Musaceae: pisang (Musa paradisiaca)
Tempat ditemukan: Bogor
Deskripsi: Kutukebul A. marlatti ditemukan pada pohon pisang. Kutukebul
ini memiliki warna tubuh hitam. Permukaan bagian dorsal tubuh tidak rata
(terdapat pola rhachis atau lekukan-lekukan). Pada bagian lekukan tersebut
biasanya terdapat lapisan lilin berwarna putih. Pada bagian tepi tubuhnya
terdapat struktur yang transparan yang mengelilingi tepian tubuhnya. Pada
bagian anterior eksuvia terdapat pola bentuk mata yang berbentuk seperti
tanda baca “koma” yang berwarna lebih terang daripada warna eksuvia
(Gambar 3.14).
Gambar 3.14 Pupa (a), dan eksuvia (b) A. marlatti
33
13. Aleurotrachelus sp. 1
Tanaman inang: Fabaceae: kecipir (Psophocarpus tetragonolobus).
Tempat ditemukan: Bogor.
Deskripsi: Ciri kutukebul Aleurotrachelus sp. 1 di lapangan berwarna hitam
dengan permukaan tubuh tertutupi oleh lilin berwarna putih. Permukaan
bagian dorsal tubuh tidak rata (terdapat pola rhachis atau lekukan-lekukan).
Terdapat lilin-lilin yang berwarna putih yang mengelilingi bagian tepi pupa
(Gambar 3.15a). Pada eksuvia di bagian abdomen terdapat pola lekukan
(rhachis). Terdapat pola lipatan transversal di bagian submargin toraks
hingga ke bagian anterior abdomen (Gambar 3.15b).
Gambar 3.15 Pupa (a), dan eksuvia (b) Aleurotrachelus sp. 1
14. Aleurotrachelus sp. 2
Tanaman inang: Annonaceae: srikaya (Annona squamosa); Gnetaceae:
melinjo (Gnetum gnemon).
Tempat ditemukan: Bogor, Sukabumi.
Deskripsi: Ciri kutukebul Aleurotrachelus sp. 2 di lapangan tidak begitu jelas
karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Pada
eksuvia Aleurotrachelus sp. 2 terdapat alur longitudinal di bagian submargin
toraks, terdapat rhacis pada submargin abdomen, dan terdapat sepasang seta
pada masing-masing ruas toraks (Gambar 3.16).
34
Gambar 3.16 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 2
15. Aleurotrachelus sp. 3
Tanaman inang: Sapindaceae: rambutan (Nephelium lappaceum).
Tempat ditemukan: Bogor.
Deskripsi: Ciri kutukebul Aleurotrachelus sp. 3 di lapangan tidak begitu jelas
karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvianya. Seperti
halnya eksuvia Aleurotrachelus sp. 2, pada eksuvia Aleurotrachelus sp. 3 juga
terdapat alur longitudinal di bagian submargin toraks, terdapat rhachis pada
submargin abdomen, tetapi tidak dan terdapat sepasang seta pada ruas toraks
(Gambar 3.17).
Gambar 3.17 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 3
16. Asiothrixus antidesmae (Takahashi)
Sinonim: Aleurothrixus antidesmae Takahashi
Tanaman inang: Gnetaceae: melinjo (Gnetum gnemon); Lauraceae: alpukat
(Persea Americana); Rubiaceae: asoka (Ixora coccinea); Sapindaceae:
rambutan (Nephelium lappaceum).
35
Tempat ditemukan: Bogor.
Deskripsi: Di lapangan, pupa A. antidesmae berwarna putih hingga transparan
dengan lilin berwarna di bagian median tubuhnya yang memanjang mulai dari
toraks hingga ke abdomen. Pada sepanjang tepian pupa terdapat barisan lilin
yang berwarna putih hingga transparan (Gambar 3.18a). Tepian eksuvia
bergerigi sebanyak dua baris (Gambar 3.18b). Di bagian anterior abdomen
terdapat dua pasang seta dengan ujung yang melekuk ke arah dalam.
Gambar 3.18 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. antidesmae
17. Bemisia tabaci Gennadius
Sinonim: Bemisia gossypiperda Misra & Lamba; Bemisia longispina Priesner
& Hosny; Bemisia nigeriensis Corbett
Nama umum: Tobacco whitefly, sweet potato whitefly, cotton whitefly,
cassava whitefly. B. tabaci biotipe-B dikenal dengan nama B. argentifolia
atau silverleaf whitefly
Tanaman inang: Cucurbitaceae: mentimun (Cucumis sativus); Euphorbiaceae:
singkong (Manihot esculenta); Fabaceae: kacang panjang (Vigna
unguiculata sesquivedalis), kedelai (Glycine max), kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus); Solanaceae: terung (Solanum melongena), cabai merah
keriting (Capsicum annuum), tomat (Lycopersicon esculentum).
Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Garut.
Deskripsi: Pada daun, pupa B. tabaci berwarna putih hingga kekuningan. Di
bagian anterior terdapat pola mata berwarna merah. Pada bagian kiri dan
kanan abdomen terdapat pola warna kuning. Jika dilihat secara keseluruhan,
36
pupa B. tabaci menyerupai buah pir (Gambar 3.19a). Vasiform orifice B.
tabaci berbentuk segitiga. Di bagian posterior tubuhnya terdapat satu pasang
seta kauda yang strukturnya kokoh (Gambar 3.19b).
Gambar 3.19 Pupa (a) dan eksuvia (b) B. tabaci pada daun singkong
18. Cockerelliella psidii (Corbett)
Sinonim: Dialeurodes psidii (Corbett); Dialeurodes lumpurensis Corbett
Tanaman inang: Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava), salam (Syzygium
polyanthum)
Tempat ditemukan: Bogor, Bandung, Sukabumi
Deskripsi: Ciri pupa kutukebul C. psidii di lapangan berwarna putih hingga
transparan. Pada bagian permukaan dorsal terdapat tiga baris pola lilin yang
memanjang mulai dari toraks hingga ke abdomen. Di sepanjang tepian pupa
terdapat barisan lilin berwarna putih (Gambar 3.20a). Pada eksuvia terdapat
sutura longitudinal dan transversal yang terlihat jelas sebagai jalan keluar
imago ketika akan keluar dari pupa (Gambar 3.20b).
Gambar 3.20 Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) C. psidii
37
19. Cockerelliella sp. 1
Tanaman inang: Myrtaceae: salam (Syzygium polyanthum), jambu bol
(Syzigium malaccense)
Tempat ditemukan: Bogor
Deskripsi: Ciri kutukebul Cockerelliella sp. 1 di lapangan tidak begitu jelas
karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Bentuk
eksuvia lebih memanjang daripada C. psidii. Pada eksuvia terdapat sutura
longitudinal dan transversal yang terlihat jelas sebagai jalan keluar bagi
imago ketika keluar dari pupa (Gambar 3.21).
Gambar 3.21 Eksuvia Cockerelliella sp. 1
20. Cockerelliella sp. 2
Tanaman inang: Gnetaceae: melinjo (Gnetum gnemon); Rubiaceae: kopi
(Coffea arabica); Sapotaceae: sawo (Manilkara zapota)
Tempat ditemukan: Bogor, Sukabumi
Deskripsi: Ciri kutukebul Cockerelliella sp. 2 di lapangan tidak begitu jelas
karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Eksuvia
Cockerelliella sp. 2 berbentuk bulat. Seperti halnya genus Cockerelliella
lainnya, pada eksuvia Cockerelliella sp. 2 juga terdapat sutura longitudinal
dan transversal sebagai jalan keluar dari imago ketika keluar dari pupa
(Gambar 3.22).
38
Gambar 3.22 Eksuvia Cockerelliella sp. 2
21. Dialeurodes kirkaldyi (Kotinsky)
Sinonim: Aleyrodes kirkaldyi Kotinsky
Nama umum: arabian jasmine whitefly, kirkaldyi whitefly
Tanaman inang: Oleaceae: Melati (Jasminum sambac)
Tempat ditemukan: Bogor
Deskripsi: Ciri kutukebul D. kirkaldyi di lapangan tidak begitu jelas karena
pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Pada eksuvia D.
kirkaldyi terdapat pola pigmentasi berwarna gelap yang memanjang mulai
dari bagian toraks hingga ke abdomen. Vasiform orifice biasanya berbentuk
setengah lingkaran (Gambar 3.23).
Gambar 3.23 Eksuvia D. kirkaldyi
39
22. Dialeurodes sp. Cockerell
Tanaman inang: Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense), jambu bol
(Syzigium malaccense)
Tempat ditemukan: Bogor
Deskripsi: Pupa Dialeurodes sp. berwarna kekuningan hingga transparan.
Pada bagian tracheal fold terdapat pola warna kuning yang lebih gelap.
Menjelang menjadi imago, pada pupa akan terlihat pola bentuk mata
berwarna gelap (Gambar 3.24a). Vasiform orifice umumnya berbentuk
setengah lingkaran dengan ukuran yang relatif kecil. Bagian tepi posterior
tubuh biasanya melekuk ke arah dalam (Gambar 3.24b).
Gambar 3.24 Pupa (a) dan eksuvia (b) Dialeurodes sp.
23. Dialeuropora decempuncta (Quaintance and Baker)
Sinonim: Dialeurodes decempuncta Quaintance and Baker; Dialeurodes
setigerus Takahashi; Dialeurodes dothioensis Dumbelton
Nama umum: breadfruit whitefly
Tanaman inang: Anacardiaceae: mangga (Mangifera indica); Lauraceae:
alpukat
(Persea
americana);
Moraceae:
nangka
(Artocarpus
heterophyllus); Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava); Sapindaceae:
rambutan (Nephelium lappaceum )
Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung, Garut
Deskripsi: Secara langsung, D. decempuncta dapat dikenali dengan adanya
lilin yang berwarna biru mengkilat di sekitar nimfa dan pupanya (Gambar
3.25c). Bentuk pupa D. decempuncta dipengaruhi oleh struktur permukaan
daun tanaman inangnya. Pada daun mangga yang permukaannya halus,
eksuvia D. decempuncta memiliki tepian yang bentuknya rapi dan sering
40
ditemukan hidup secara berkelompok (Gambar 3.25a dan b), sedangkan pada
daun jambu biji biasanya ditemukan hidup soliter dengan tepian pupa agak
berkerut (Gambar 3.25d). Kutukebul spesies D. decempuncta pernah
dilaporkan oleh Bintoro dan Hidayat (2008).
Gambar 3.25
Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) D. decempuncta pada
permukaan daun yang halus (mangga), pupa (c) dan eksuvia
(d) pada permukaan daun kasar (jambu biji)
24. Lipaleyrodes sp. Takahashi
Tanaman inang: Euphorbiaceae: meniran (Phyllanthus niruri), katuk
(Sauropus androgynus)
Tempat ditemukan: Bogor
Deskripsi: Berdasarkan hasil pengambilan sampel, kutukebul Lipaleyrodes
merupakan spesies kutukebul yang biasanya dapat ditemukan pada tanaman
dari famili Euphoriaceae, terutama meniran dan katuk. Pupa kutukebul ini
berwarna kuning hingga transparan dengan permukaan tertutupi oleh lapisan
lilin berwarna putih (Gambar 3.26a). Imago memiliki tubuh berwarna kuning
dengan sayap berwarna putih yang sekilas mirip dengan imago B. tabaci
(Gambar 3.26b). Pada bagian submargin eksuvia terdapat pola tuberkel yang
berbentuk bulat (Gambar 3.26c). Lipaleyrodes merupakan spesies kutukebul
41
yang biasanya dapat ditemukan pada tanaman dari famili Euphorbiaceae,
terutama meniran dan katuk. Genus Lipaleyrodes Takahashi merupakan
sinonim junior dari genus Bemisia Quaintance and Baker (Dubey et al. 2009).
Gambar 3.26 Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) Lipaleyrodes sp.
25. Minutaleyrodes minuta Singh
Sinonim: Aleurotuberculatus minutus (Singh); Dialeurodes minuta Singh
Tanaman inang: Myrtaceae: jambu bol (Syzigium malaccense); Rubiaceae:
asoka (Ixora coccinea)
Tempat ditemukan: Bogor
Deskripsi: Ciri kutukebul M. minuta di lapangan tidak begitu jelas karena
pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Eksuvia dari
genus Minutaleyrodes berukuran sangat kecil jika dibandingkan dengan
eksuvia kutukebul lainnya dan memiliki ciri yang sangat unik yang sekilas
mirip dengan bentuk bunga (Gambar 3.27).
Gambar 3.27 Eksuvia M. minuta
26. Orchamoplatus mammaeferus (Quaintance and Baker)
Sinonim: Aleuroplatus (Orchamus) mammaeferus Quaintance and Baker;
Aleuroplatus (Orchamus) samoanus Liang
42
Nama umum: croton whitefly
Tanaman inang: Euphorbiaceae: puring (Codiaeum variegatum)
Tempat ditemukan: Bogor, Bandung
Deskripsi: O. mammaeferus merupakan spesies kutukebul yang umum dapat
ditemukan pada tanaman puring. Kutukebul ini memiliki pupa berwarna putih
dan dengan sedikit lilin pada permukaan atas tubuhnya (Gambar 3.28b). Di
sepanjang tepian pupa biasanya terdapat lilin transparan yang membantu
untuk melekat pada permukaan daun. Ketika pupa diambil dari daun, lapisan
lilin ini akan ikut terangkat. O. mammaeferus hidup secara berkelompok
dibagian daun tua dari tanaman puring (Gambar 3.28a). Pada populasi yang
sangat tinggi, massa dari kutukebul O. mammaeferus biasanya dapat
menutupi hampir seluruh bagian permukaan bawah daun. Pada bagian
submargin eksuvia terdapat satu baris pola berbentuk seperti gigi. Pada
abdomen ruas pertama biasanya terdapat satu pasang seta. Memiliki pori
trakea yang berbentuk seperti sisir. Kutukebul O. mammaeferus pertamakali
dilaporkan di Indonesia oleh Watson (2007).
Gambar 3.28 Koloni O. mammaeferus pada daun puring (a), pupa (b), dan
eksuvia (c) O. mammaeferus
43
27. Rusostigma sp. Quaintance and Baker
Tanaman inang: Anacardiaceae: mangga (Mangifera indica); Myrtaceae:
jambu air (Syzigium samarangense), jambu bol (Syzigium malaccense);
salam (Syzigium polyanthum)
Tempat ditemukan: Bogor, Bandung, Cianjur, Sukabumi
Deskripsi: Kutukebul Rusostigma sp. sering ditemukan pada tanaman dari
famili Myrtaceae, seperti jambu air dan jambu bol. Imago memiliki sayap
berwarna kelabu dengan ukuran tubuh realtif besar (3.29b). Ukuran pupa dan
eksuvia Rusostigma sp. juga berukuran relatif besar dan umumnya berwarna
kecokelatan (Gambar 3.29c). Pada eksuvia dapat terlihat adanya pola granul
hampir di seluruh bagian tubuhnya yang letaknya agak berjauhan satu sama
lain. Terdapat pola toraks yang biasanya terlihat berwarna lebih terang
daripada bagian tubuh lainnya setelah eksuvia diwarnai dan dibuat menjadi
preparat mikroskop (Gambar 3.29d).
Gambar 3.29 Koloni Rusostigma sp. pada daun salam (a), imago (b), pupa (c),
dan eksuvia (d) Rusostigma sp.
Rusostigma sp. hidup secara berkelompok sehingga pada populasi yang tinggi
biasanya pupa dapat menyebar hampir di seluruh permukaan daun. Pada
populasi yang tinggi, kutukebul ini juga dapat ditemukan pada bagian
permukaan atas daun (Gambar 3.29a). Tempat pupa menempel biasanya akan
44
membentuk cekungan sehingga jika dilihat dari bagian permukaan daun
lainnya akan terlihat tonjolan-tonjolan kecil seperti puru. Kutukebul genus
Rusostigma sp. pernah dilaporkan keberadaannya di Indonesia oleh Bintoro
dan Hidayat (2008).
28. Trialeurodes vaporariorum (Westwood)
Sinonim: Aleurodes nicotianae Maskell; Aleurodes papillifer Maskell;
Aleurodes
vaporariorum
Asterochiton
lecanoides
Westwood;
Maskell;
Aleyrodes
Trialeurodes
sonchi
Kotinsky;
mossopi
Corbett;
Trialeurodes natalensis Corbett; Trialeurodes sesbaniae Corbett
Nama umum: greenhouse whitefly
Tanaman
inang:
sesquivedalis);
Fabaceae:
kacang
panjang
Solanaceae:
terung
(Solanum
(Vigna
unguiculata
melongena),
tomat
(Lycopersicon esculentum)
Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung, Garut
Deskripsi: T. vaporariorum merupakan spesies kutukebul yang banyak
ditemukan pada tanaman famili Solanaceae di daerah dataran sedang hingga
tinggi. Secara sekilas, imago kutukebul ini mirip dengan B. tabaci. Namun
imago T. vaporariorum memiliki sayap yang lebih melebar daripada B. tabaci
ketika hinggap pada tanaman (Gambar 3.30b). Pupa T. vaporariorum
berbentuk memanjang dan biasanya terdapat seta-seta di bagian tepi lateral
tubuh pupa (Gambar 3.30a). Pada eksuvia T. vaporariorum biasanya terdapat
barisan tuberkel kecil di bagian margin dan beberapa tuberkel berukuran
besar di bagian toraks dan abdomen (Gambar 3.30c).
Gambar 3.30
Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) T. vaporariorum pada daun
tomat
45
Kunci Identifikasi Kutukebul pada Tanaman Pertanian
Kunci identifikasi kutukebul yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai salah satu panduan dalam identifikasi kutukebul yang
dapat ditemukan pada tanaman pertanian. Selain itu, kunci identifikasi kutukebul
yang dilengkapi dengan gambar berwarna dan dibuat dalam format digital juga
diharapkan dapat mempermudah proses identifikasi. Kunci identifikasi juga dapat
dibuat dengan sistem on-line sehingga dapat diakses oleh semua pihak yang
memerlukannya selama ada akses dengan internet.
Seringkali pengguna kunci identifikasi hanya memiliki pengalaman dan
pengetahuan yang relatif terbatas pada taksa tertentu sehingga dapat mengalami
sedikit kesulitan pada awal penggunaan kunci identifikasi. Adanya kata-kata yang
bersifat ambigu dapat menuntun pada ketidakpastian terhadap arti dari karakter
yang disebutkan pada suatu kaplet. Oleh karena itu, diperlukan karakter yang
kontras dan tidak saling tumpang tindih. Pada kunci identifikasi yang umumnya
tidak dilengkapi dengan gambar atau jika terdapat gambar, gambarnya tidak
terlalu jelas. Kunci identifikasi sebaiknya dilengkapi dengan gambar yang jelas
sehingga tidak menyebabkan kesalahan identifikasi. Pemakaian suatu kunci
identifikasi juga tergantung pada penulisan yang jelas dan sederhana (mudah
dimengerti). Kunci dikotom dirasakan merupakan bentuk kunci yang lebih baik
daripada kunci polikotom yang akan membuat keputusan menjadi sulit karena
terlalu banyak karakter yang digunakan. Kunci yang sudah dibuat sebaiknya diuji
terlebih dahulu oleh orang lain sebelum dipublikasikan. Hal ini berguna untuk
mengurangi kesalahan (error), keambiguan kalimat, dan ketidak konsistenan
(Quicke 1993).
Kesimpulan
Sebanyak 28 spesies kutukebul pada tanaman pertanian dari lima daerah di
Jawa Barat telah teridentifikasi. Sebagian besar dari spesies kutukebul yang
ditemukan merupakan anggota dari subfamili Aleyrodinae. Adanya kunci
identifikasi kutukebul dalam bahasa Indonesia yang mencakup kisaran wilayah
yang lebih spesifik dapat memudahkan proses identifikasi dalam upaya
46
pengendalian kutukebul di tanaman pertanian. Kutukebul banyak ditemukan pada
komoditas tanaman buah-buahan. Terdapat tiga spesies kutukebul yang memiliki
kisaran tanaman inang yang sangat luas, yaitu A. dispersus, A. dugesii, dan B.
tabaci.
Daftar Pustaka
Bintoro D, Hidayat P. 2008. Keanekaragaman dan tanaman inang kutukebul
(Hemiptera: Aleyrodidae) di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
[abstrak]. Di dalam: Buku Panduan Seminar Nasional V Perhimpunan
Entomologi Indonesia (PEI) Cabang Bogor; 2008 Mar 18-19; Bogor (ID):
PEI. Abstr O31.
Dammerman KW. 1929. The Agricultural Zoology of The Malay Archipelago:
The Animals Injurious and Beneficial to Agriculture, Horticulture, and
Forestry in The Malay Peninsula, The Dutch East Indies and The
Philippines. Amsterdam (UK): JH de Bussy Ltd.
Dino Capture. 2009. Dino Capture Application for Digital Microscope 3.3.0.0.
Hsinchu (TA): AnMo Electronics Corporation. Tersedia pada
http://www.anmo.com.tw.
Dooley J. 2007. Key to the Commonly Intercepted Whitefly Pests [internet],
[diunduh 2011 Mar 14]. Tersedia pada: http://keys.lucidcentral.org/keys/
v3/whitefly/PDF_PwP%20ETC/Key%20to%20commonly%20intercepted%
20pests%20embedded%20images%20.pdf.
Dubey AK, Ko CC, David BV. 2009. The genus Lipaleyrodes Takahashi, a junior
synonym of Bemisia Quaintance and Baker (Hemiptera: Aleyrodidae): a
revision based on morphology. Zoological Studies [internet], [diunduh 2012
Feb 2]; 48(4):539-557. Tersedia pada: http://zoolstud.sinica.edu.tw/Journals/
48.4/539.pdf.
Gullan PJ, Martin JH. 2003. Sternorrhyncha (Jumping Plant Lice, Whiteflies,
Aphids, and Scale Insects). Resh VH, Carde RT. 2003. Encyclopedia of
Insect. Florida (US): Elsevier Inc.
Hidayat P, Watson GW. 2008. Recognition of Giant Whitefly, Aleurodicus
dugesii Cockerell (Hemiptera: Aleyrodidae), a Potential Pest Newly
Introduced to Indonesia. Poster Seminar Nasional V Perhimpunan
Entomologi
Indonesia
(PEI),
Cabang
Bogor:
Pemberdayaan
Keanekaragaman
Serangga
untuk
Peningkatan
Kesejahteraan
Masyarakat. LIPI Cibinong, Bogor, 2008 Mar 2008.
Kajita H, Samudra IM, Naito A. 1991. Discovery of the spiraling whitefly
Aleurodicus dispersus Russell (Homoptera: Aleyrodidae) from Indonesia,
with notes on its host plants and natural enemies. Japanese Society of
Applied Entomology and Zoology [internet], [diunduh 2011 Jun 23]; 26:397400. Tersedia pada: http://ci.nii.ac.jp/els/110001105211.pdf?id= ART0001
268496&type=pdf&lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_s
w=&no=1308798020&cp=
47
Kalshoven LGE, Vecht JVD. 1950. De Plagen Van De Cultuurgewassen in
Indonesie [dalam bahasa Belanda]. Deel 1. Bandung (ID): NV Uitgeverij W.
Van Hoeve.
Lucid Key Phoenix 1.0. 2004. CBIT Quensland University. Tersedia pada:
http://www.lucidcentral.org/phoenix/.
Koningsberger JC. 1908. Tweede Over Zicht der Schadelijke en Nuttige Insecten
van Java [dalam bahasa Belanda]. Jakarta (ID): G. Kolff and Co.
Martin JH. 1985. The whitefly of New Guinea (Homoptera: Aleyrodidae).
Bulletin of the British Museum (Natural History) Entomology [internet].
[diunduh 2012 Mar 9]; 50(3):303-351. Tersedia pada: http://biostor.org/
reference/151.
Martin JH. 1987. An identification guide to common whitefly species of the world
(Homoptera: Aleyrodidae). Tropical Pest Management 33(4):298-322.
Murgianto F. 2010. Kisaran inang kutukebul Aleurodicus destructor Mackie,
Aleurodicus dispersus Russell, dan Aleurodicus dugesii Cockerell
(Hemiptera: Aleyrodidae) di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dan
daerah lain di sekitarnya [skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Nurulalia L, Hidayat P, Buchori D. 2012. Hama baru kutukebul Paraleyrodes
minei Iaccarino (Hemiptera: Aleyrodidae) di Jawa. Prosiding Seminar
Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); 2012 Jan 24-25; Bogor.
Bogor (ID): PEI. hlm 110.
Quicke DLJ. 1993. Principles and Techniques of Contemporary Taxonomy.
Glasgow (UK): Blackie Academic and Professional.
Russell LM. 1964. Dialeurodes kirkaldyi (Kotinsky), a whitefly new to the United
States (Homoptera: Aleyrodidae). The Florida Entomologist [internet].
[diunduh 2011 Ags 8]; 47(1):1-4. Tersedia pada: http://journals.fcla.edu/
flaent/issue/view/2698.
Watson GW. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC
Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur, Malaysia,
2007 Apr 16-26. Institute of Biological Sciences, University Malaya.
48
49
BAB IV
KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA
TANAMAN PERTANIAN DENGAN KETINGGIAN TEMPAT
BERBEDA DI JAWA BARAT
Abstrak
Kutukebul sering terbawa melalui material tanaman pada kegiatan
perdagangan antar wilayah maupun antar negara sehingga menyebabkan
penyebarannya semakin luas. Sejak tahun 1980-an, beberapa spesies kutukebul
baru masuk ke indonesia dan menyebabkan gangguan pada tanaman pertanian.
Penelitian ini bertujuan mempelajari keanekaragaman spesies kutukebul pada
tanaman pertanian dengan kisaran ketinggian tempat yang berbeda. Kutukebul
dikoleksi dari tanaman hortikultura, pangan, serta beberapa jenis tanaman obat
dan rempah di lima wilayah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur,
Bandung, dan Garut. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga
kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah (0-500 m di atas permukaan laut (dpl)),
sedang (501-1000 m dpl), dan tinggi (1001-1500 m dpl). Data jumlah spesies dan
individu kutukebul dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman Shannon
(H’), Simpson (1/D), dan Sorenson (C). Jumlah spesies kutukebul terbanyak
ditemukan di dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies. Keanekaragaman spesies
kutukebul tertinggi juga terdapat di dataran rendah (H’ = 2.14 dan 1/D = 5.53).
Sebaliknya, dominasi spesies kutukebul terjadi di dataran tinggi (D = 0.54)
meskipun nilainya relatif tidak berbeda jauh dengan di dataran sedang (D = 0.48).
Spesies kutukebul yang mendominasi di semua kelompok ketinggian tempat
adalah Aleurodicus dispersus dan Aleurodicus dugesii. Analisis dengan indeks
Sorenson menunjukkan bahwa terdapat kemiripan wilayah antara dataran rendah
dengan sedang sebesar 64% berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang
ditemukan. Dua spesies kutukebul yang menjadi vektor virus penyebab penyakit
tanaman adalah Bemisia tabaci dan Trialeurodes vaporariorum. Musuh alami
kutukebul yang ditemukan adalah Coccinellidae, Mantidae, Drosophilidae,
Aphelinidae, dan Encyrtidae. A. dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci merupakan
spesies kutukebul yang bersifat invasif di Indonesia.
Kata kunci: ketinggian tempat, indeks keanekaragaman, serangga vektor, musuh
alami, spesies invasif
Pendahuluan
Status serangga sebagai hama dipengaruhi oleh kelimpahan populasi dan
gangguan pada tanaman akibat aktivitas makan serangga. Gangguan tersebut
dapat mempengaruhi fisiologi tanaman sehingga menyebabkan terjadinya
50
kehilangan hasil tanaman, baik secara kualitas maupun kuantitas (Gullan dan
Cranston 2000). Kondisi cuaca saat ini yang semakin sulit diprediksi
menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam dan pergeseran musim tanam. Hal
ini mempengaruhi permasalahan hama di pertanaman. Suhu lingkungan yang
relatif mengalami peningkatan saat ini dapat mempengaruhi populasi kutukebul di
pertanaman. Siklus hidup kutukebul cenderung menjadi semakin pendek seiring
dengan meningkatnya suhu lingkungan, sehingga dapat menghasilkan banyak
generasi dalam satu tahun. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa
siklus hidup kutukebul Bemisia tabaci berlangsung lebih cepat pada suhu 29°C
dibandingkan pada suhu 23 dan 26°C (Purbosari 2008). Dalam hal ini, kenaikan
suhu memiliki pengaruh yang nyata terhadap siklus hidup B. tabaci.
Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, serangga herbivora sering
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu monofag, oligofag, dan polifag.
Pengelompokkan serangga berdasarkan kisaran tanaman inang sering pula
dibedakan menjadi kelompok serangga spesialis (mencakup serangga monofag
dan oligofag) dan generalis (polifag). Secara umum, serangga dari subordo
Sternorrhyncha dan Auchenorrhyncha memiliki kisaran inang yang cenderung
bersifat spesialis, meskipun ada beberapa spesies yang generalis. Sebagai contoh,
sebagian besar kutu daun bersifat spesialis dan hanya 6% yang bersifat generalis.
Begitu juga halnya dengan wereng-werengan yang sebagian besar bersifat
spesialis (Schoonhoven et al. 1998).
Serangga pradewasa kutukebul sering dimangsa oleh serangga predator
yang secara spesifik memakan mangsa yang memiliki tubuh lunak yang umumnya
melekat pada daun. Serangga predator tersebut di antaranya larva dan imago
kumbang
Coccinellidae
(Coleoptera),
larva
Chrysopidae
Dermaptera, beberapa jenis larva lalat Syrphidae,
(Neuroptera),
Cecidomyiidae, dan
Chamaemyiidae. Imago kutukebul sering dimangsa oleh serangga predator yang
bersayap, seperti lalat Dolichopodidae dan Asilidae (Watson 2007). Musuh alami
yang penting bagi kutukebul adalah serangga parasitoid, terutama dari famili
Aphelinidae, di antaranya dari genus Eretmocerus, Encarsia, dan Ablerus (Begum
et al. 2011). Selain itu, kutukebul juga sering terserang oleh cendawan patogen, di
51
antaranya Aschersonia aleyrodis, Paecilomyces fumosoroseus, dan Verticillium
lecanii (Watson 2007).
Salah satu aspek untuk melihat adanya perbedaan suhu lingkungan adalah
dari ketinggian tempat. Pada dataran rendah, suhu lingkungan relatif lebih tinggi
daripada dataran tinggi. Salah satu representasi dari kondisi tersebut dapat dilihat
dari keanekaragaman spesies organisme yang menghuni ketinggian tempat
tertentu. Salah satu organisme yang menjadi objek penelitian ini adalah kutukebul.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman spesies
kutukebul pada tanaman pertanian di beberapa daerah di Jawa Barat berdasarkan
ketinggian tempat yang berbeda. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai keanekaragaman kutukebul berdasarkan ketinggian tempat,
sehingga dapat menjadi pengetahuan dasar dalam upaya pengendalian hama di
pertanaman.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Kutukebul di Lapangan
Pengumpulan sampel kutukebul dilakukan di lima wilayah di Jawa Barat, di
antaranya Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Cirebon, dan Garut sejak Juni
2011 sampai dengan April 2012. Tempat pengambilan sampel disajikan dalam
bentuk peta dengan menggunakan program Quantum GIS 1.7.3-Wroclaw (QGIS
2012) (Gambar 4.1). Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel
diukur dengan menggunakan aplikasi GPS (global positioning system) dari Pocket
PC Mio P550. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran
ketinggian, yaitu dataran rendah (0-500 m dpl), dataran sedang (501-1000 m dpl),
dan dataran tinggi (1001-1500 m dpl).
Sampel diambil dari berbagai jenis tanaman, di antaranya dari tanaman
hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), pangan, serta beberapa
jenis tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
pengambilan secara langsung (purposive sampling). Pupa atau eksuvia kutukebul
yang terdapat pada daun tanaman diambil, kemudian ditutupi dengan kertas tisu,
lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik bening, dan diberi label. Selanjutnya
52
sampel dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Sebelum diidentifikasi,
eksuvia kutukebul dibuat menjadi preparat mikroskop dengan menggunakan
metode pada Watson (2007) yang dimodifikasi.
Gambar 4.1 Titik-titik tempat pengambilan sampel kutukebul
Pengukuran Keanekaragaman Kutukebul
Data jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh pada ketiga
kelompok ketinggian dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman
Shannon, Simpson dan Sorenson. Indeks Shannon digunakan untuk melihat
kekayaan spesies (species richness) pada suatu wilayah; indeks Simpson
digunakan untuk mengetahui dan membandingkan keanekaragaman dan dominasi
spesies antar wilayah; sedangkan indeks Sorenson digunakan untuk mengetahui
kemiripan wilayah berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang
diperoleh (Magurran 1988). Rumus dari indeks Shannon, Simpson, dan Sorenson
adalah sebagai berikut:
1. Indeks Shannon (H’) = - Σ pi (ln pi), dimana pi = ni/N
n (n -1)
i
2. Indeks Simpson (D) = Σ Ni (N-1)
Indeks keanekaragaman Simpson = 1−D
Simpson’s reciprocal index = 1/D
3. Indeks Sorenson: C = 2j/(a+b)
53
Keterangan:
pi = proporsi individu spesies ke-i
ni = jumlah individu spesies ke-i
N = total jumlah individu
a = jumlah individu pada wilayah A
b = jumlah individu pada wilayah B
j = jumlah individu yang terendah yang terdapat pada perbandingan antara
wilayah A dan B
Identifikasi Musuh Alami kutukebul
Musuh alami kutukebul yang ditemukan di lapangan di identifikasi dengan
menggunakan kunci identifikasi, di antaranya Grissell dan Schauff (1990), Goulet
dan Huber (1993), dan informasi dari media elektronik (internet).
Hasil Penelitian
Analisis Keanekaragaman Kutukebul
Berdasarkan hasil pengambilan sampel kutukebul pada kisaran ketinggian
tempat yang berbeda, diperoleh sebanyak 38 spesies kutukebul dari berbagai jenis
tanaman pertanian dan sebanyak 10 spesies di antaranya belum teridentifikasi
(Lampiran 3). Jumlah spesies kutukebul yang terbanyak ditemukan pada dataran
rendah, yaitu sebanyak 32 spesies, sedangkan pada dataran tinggi hanya
ditemukan 9 spesies kutukebul (Tabel 4.1). Sebanyak 14 spesies di antaranya
relatif sering ditemukan, sedangkan 24 spesies lain umumnya hanya ditemukan
sebanyak 1-2 kali pada saat pengambilan sampel. Dari 14 spesies kutukebul
tersebut di atas, sebanyak 6 spesies ditemukan pada tanaman sayuran (Lampiran
4). Sebanyak 4 spesies di antaranya merupakan spesies kutukebul yang telah
diketahui sering menimbulkan permasalahan di pertanaman, yaitu A. dispersus, A.
dugesii, B. tabaci, dan T. vaporariorum. Jumlah individu A. dispersus dan A.
dugesii ditemukan cukup banyak dan mendominasi di semua kisaran ketinggian
tempat. Kedua spesies tersebut merupakan spesies yang bersifat kosmopolitan dan
memiliki kisaran tanaman inang yang luas. A. dispersus dapat ditemukan pada
tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman pangan; sedangkan A.
dugesii ditemukan pada tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias.
54
Tabel 4.1 Jumlah individu kutukebul yang ditemukan pada tiga kisaran ketinggian
tempat di Jawa Barat dan hasil analisis dengan indeks Shannon dan
Simpson
No.
Spesies kutukebul
Kisaran ketinggian (m dpl)
Dataran rendah
Dataran sedang Dataran tinggi
(0−500)
(501−1000)
(1001-1500)
Subfamili Aleurodicinae:
1.
Aleuroctarthrus destructor
2.
Aleurodicus dispersus
3.
Aleurodicus dugesii
4.
Paraleyrodes minei
24
1803
2856
109
0
1983
4490
18
0
3994
11739
0
Subfamili Aleyrodinae:
5.
Aleurocanthus citriperdus
6.
Aleurocanthus spiniferus
7.
Aleurocanthus woglumi
8.
Aleuroclava aucubae
Aleuroclava canangae
9.
10. Aleuroclava jasmini
11. Aleuroclava psidii
12. Aleurolobus marlatti
13. Aleurotrachelus sp.1
14. Aleurotrachelus sp.2
15. Aleurotrachelus sp.3
16. Asiothrixus antidesmae
17. Bemisia tabaci
18. Cockerelliella psidii
19. Cockerelliella sp. 1
20. Cockerelliella sp. 2
21. Dialeurodes kirkaldyi
22. Dialeurodes sp.
23. Dialeuropora decempuncta
24. Lipaleyrodes sp.
25. Minutaleyrodes minuta
26. Orchamoplatus mammaeferus
27. Rusostigma sp.
28. Trialeurodes vaporariorum
29. Spesies 1
30. Spesies 2
31. Spesies 3
32. Spesies 4
33. Spesies 5
34. Spesies 6
35. Spesies 7
36. Spesies 8
37. Spesies 9
38. Spesies 10
547
85
0
0
18
178
14
25
52
2
10
625
78
62
60
31
1
8
354
325
19
171
1234
0
0
0
0
5
2
54
3
17
4
10
71
0
24
4
0
0
0
0
0
0
0
0
45
31
0
11
0
47
187
0
0
0
79
104
1
5
2
0
0
0
0
0
0
7
118
31
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
0
0
0
0
32
0
0
67
194
736
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah individu (N)
Jumlah spesies (S)
8786
32
7109
17
16918
9
Indeks Shannon (H’)
Indeks Simpson (D)
Indeks keanekaragaman Simpson (1-D)
Simpson’s reciprocal index (1/D)
2.14
0.18
0.82
5.53
1.05
0.48
0.52
2.09
0.87
0.54
0.46
1.85
55
Hasil analisis keanekaragaman dengan menggunakan indeks Shannon (H’)
menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di daerah dataran
rendah dengan nilai indeks keanekaragaman sebesar 2.14 (Tabel 4.1). Hasil yang
diperoleh pada indeks Shannon sejalan dengan hasil analisis dengan menggunakan
indeks Simpson (Tabel 4.1). Keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di dataran
rendah dengan nilai indeks sebesar 0.82 dan nilai 1/D = 5.53. Nilai indeks
keanekaragaman Simpson berbanding terbalik dengan nilai indeks dominasinya,
sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman spesies
di suatu wilayah, maka dominasi spesies akan semakin rendah (Magurran 1988).
Dalam hal ini, dominasi spesies terjadi di dataran tinggi dengan nilai indeks
sebesar 0.54. Nilai indeks dominasi pada dataran tinggi sebenarnya relatif tidak
berbeda jauh dengan nilai indeks pada dataran sedang (D = 0.48). Pada Tabel 4.1
dapat dilihat bahwa pada kedua kisaran ketinggian tersebut, jumlah individu
kutukebul yang ditemukan didominasi oleh spesies A. dispersus dan A. dugesii.
Berdasarkan hasil analisis kemiripan wilayah dengan menggunakan indeks
Sorenson, nilai indeks tertinggi terdapat pada perbandingan antara dataran rendah
dengan dataran sedang yaitu sebesar 0.64 (Tabel 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat kemiripan wilayah sebesar 64% antara dataran rendah dengan dataran
sedang berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang ditemukan pada
masing-masing kisaran ketinggian. Hal ini dapat disebabkan oleh jenis tanaman
yang dominan yang terdapat pada masing-masing ketinggian tempat (Idris et al.
2002). Pada dataran tinggi, komoditas tanaman umumnya didominasi oleh
tanaman sayuran, khususnya jenis sayuran dataran tinggi, seperti kubis-kubisan
(brokoli dan kembang kol), wortel, bawang daun, dan sebagainya yang sebagian
besar bukan merupakan tanaman inang dari kutukebul. Pada dataran tinggi,
kutukebul khususnya dapat ditemukan pada tanaman sayuran dari famili
Solanaceae, seperti tomat, cabai, dan terung. Tanaman-tanaman tersebut dapat
pula ditemukan pada dataran rendah maupun dataran sedang. Spesies-spesies
kutukebul yang ditemukan pada tanaman sayuran dapat dilihat pada Lampiran 4.
Pada dataran rendah banyak ditemukan tanaman buah-buahan, baik berupa
tanaman pekarangan rumah, tanaman pinggir, maupun dalam suatu areal
pertanaman, sebagai contoh jambu biji, jambu bol, lengkeng, jeruk, dan
56
sebagainya. Hal serupa juga dapat dijumpai di dataran sedang. Pada dataran
rendah dan sedang dapat dijumpai pula beberapa jenis komoditas sayuran, seperti
tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan sebagainya. Hal inilah yang mendukung
ditemukannya spesies kutukebul yang lebih banyak pada dataran rendah dan
sedang daripada dataran tinggi.
Tabel 4.2 Perbandingan kemiripan spesies kutukebul antar wilayah pengambilan
sampel pada tiga kisaran ketinggian dengan indeks Sorenson
Dataran rendah
Dataran sedang
Dataran tinggi
−
0.64
0.40
−
0.56
Dataran rendah
Dataran sedang
−
Dataran tinggi
Keterangan: Dataran rendah (0−500 m dpl), dataran sedang (500−1000 m dpl), dan dataran tinggi
(1001-1500 m dpl).
Tanaman Inang Kutukebul
Spesies kutukebul banyak ditemukan pada komoditas tanaman buah-buahan,
yaitu sebanyak 31 spesies (Gambar 4.2).
Jumlah spesies kutukebul
40
30
20
10
0
sayuran
buah-buahan
tanaman hias
pangan dan
palawija
obat dan
rempah
Komoditas tanaman inang
Gambar 4.2 Jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada lima jenis komoditas
tanaman pertanian
57
Musuh Alami Kutukebul
Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung di lapangan maupun
pengamatan di laboratorium, terdapat musuh alami yang ditemukan berasosiasi
dengan beberapa spesies kutukebul, di antaranya termasuk ke dalam kelompok
serangga predator dan parasitoid. Serangga predator yang ditemukan antara lain
kumbang Menochilus sexmaculatus, Harmonia axyridis, Coccinella transversalis,
Verania lineata (Coleoptera: Coccinellidae), belalang sembah Hierodula ovata
(Mantodea: Mantidae), dan lalat Acletoxenus indicus (Diptera: Drosophilidae)
(Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Serangga predator yang ditemukan di sekitar koloni kutukebul di
lapangan
Selain serangga predator, ditemukan pula parasitoid yang memarasit
kutukebul yang merupakan famili Aphelinidae (Eretmocerus) dan Encyrtidae
(Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Serangga parasitoid yang ditemukan memarasit kutukebul
58
Pembahasan
Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan Ketinggian Tempat
Keanekaragaman spesies kutukebul pada dataran rendah lebih tinggi
daripada dataran tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Idris et al. (2002) yang
menyatakan bahwa keanekaragaman serangga pada ketinggian 1100 m dpl lebih
rendah daripada keanekaragaman serangga pada dataran kurang dari 1000 m dpl.
Indeks Shannon menilai keanekaragaman spesies berdasarkan kekayaan spesies
(species richness), sehingga hasilnya secara langsung berkaitan dengan jumlah
spesies kutukebul yang yang ditemukan pada masing-masing kisaran ketinggian
tempat. Kekayaan spesies pada tumbuhan biasanya akan mengalami peningkatan
dari dataran tinggi ke dataran rendah (Magurran 1998). Berdasarkan analisis
dengan menggunakan indeks Sorenson,
diperoleh
nilai
terendah pada
perbandingan antara dataran rendah dengan dataran tinggi. Faktor yang
membedakan antara dataran rendah dengan dataran tinggi di antaranya adalah
adanya perbedaan dalam hal suhu lingkungan, presipitasi, tekanan gas atmosfer,
kecepatan angin, radiasi ultraviolet (UV), dan sebagainya yang secara langsung
dapat mempengaruhi keberadaan serangga pada masing-masing tempat tersebut
(Hodkinson 2005).
Serangga sangat dipengaruhi oleh iklim mikro dari tempat hidupnya, dalam
hal ini vegetasi tanaman. Suhu lingkungan mengalami penurunan seiring dengan
peningkatan ketinggian tempat. Secara umum hal ini dapat menyebabkan
pertumbuhan dan perkembangan serangga di dataran tinggi berlangsung lebih
lambat dibandingkan dengan dataran rendah. Selain suhu lingkungan yang relatif
rendah, kadar oksigen pada dataran tinggi juga lebih rendah daripada dataran
rendah. Serangga-serangga yang ada di dataran tinggi harus meningkatkan
kapasitas sistem pernafasannya melalui trakea. Dalam hal ini, terjadi kompensasi
terhadap kondisi kadar oksigen yang rendah sehingga akan mempengaruhi alokasi
energi yang digunakan untuk pertumbuhan (Hodkinson 2005).
59
Gangguan Kutukebul pada Tanaman
Gangguan kutukebul secara langsung pada tanaman umumnya sering
disebabkan oleh kutukebul dari subfamli Aleurodicinae, di antaranya Aleurodicus
dispersus dan Aleurodicus dugesii. Kedua spesies tersebut umumnya sering
ditemukan dalam koloni yang dapat menutupi seluruh permukaan bawah daun.
Akibat aktivitas makan dari serangga tersebut, biasanya tanaman dapat kehilangan
cairan nutrisi yang cukup berarti sehingga tanaman menjadi layu dan mengering.
Selain itu, embun madu yang dihasilkan kutukebul dapat merangsang
pertumbuhan cendawan jelaga yang dapat menutupi permukaan atas daun.
Cendawan jelaga tersebut dapat mengganggu proses fotosintesis dan respirasi,
serta menurunkan produksi tanaman (Martin 2008).
Spesies kutukebul lainnya, B. tabaci dan T. vaporariorum, dapat
menyebabkan gangguan secara tidak langsung pada tanaman. Kedua spesies
tersebut secara spesifik dapat ditemukan pada tanaman sayuran, di antaranya
tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan sebagainya. B. tabaci dan T.
vaporariorum bersifat spesifik dalam hal ketinggian tempat hidupnya. B. tabaci
umumnya dapat ditemukan pada tanaman sayuran dataran rendah hingga sedang,
sedangkan T. vaporariorum dapat ditemukan pada tanaman sayuran di dataran
sedang hingga tinggi. B. tabaci dan T. vaporariorum dapat berperan sebagai
serangga vektor virus penyebab penyakit tanaman. Lapidot dan Polston (2010)
menyatakan bahwa B. tabaci dapat menjadi vektor virus di antaranya genus
Begomovirus dan Crinivirus, sedangkan T. vaporariorum di antaranya dapat
menjadi vektor dari Crinivirus. Pada dataran sedang dapat ditemukan individu
atau populasi B. tabaci dan T. vaporariorum pada satu tanaman maupun
pertanaman yang sama. Adanya kekhususan dalam hal ketinggian tempat hidup
ini kemungkinan dapat mempengaruhi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh
masing-masing virus yang dibawa oleh kedua spesies kutukebul tersebut.
Kutukebul dan Tanaman Inangnya
Berdasarkan hasil pengambilan sampel, kutukebul lebih banyak ditemukan
pada tanaman buah-buahan daripada kelompok tanaman lainnya. Hal ini
disebabkan tanaman buah-buahan memiliki ukuran yang besar dan kompleks
60
sehingga dapat menyediakan ruang hidup yang luas bagi berbagai jenis organisme,
termasuk kutukebul. Lawton (1983) menyatakan bahwa terdapat peningkatan
jumlah spesies herbivora seiring dengan peningkatan ukuran dan kompleksitas
tanaman. Selain itu, struktur tanaman yang kompleks dapat melindungi serangga
dari musuh alaminya. Sebagian besar tanaman buah-buahan termasuk ke dalam
tanaman dikotil. Dubey dan Ko (2006) melaporkan terdapat sebanyak 136 spesies
kutukebul yang ditemukan pada tanaman dikotil, sedangkan sebanyak 17 spesies
ditemukan pada tanaman monokotil. Kelompok tanaman buah-buahan juga
umumnya merupakan jenis tanaman tahunan yang dapat menyediakan sumber
makanan dan tempat hidup yang lebih lama bagi kutukebul. Oleh karena itu,
kutukebul lebih banyak ditemukan pada tanaman berkayu (pepohonan) daripada
tanaman sayuran, tanaman hias, dan tanaman-tanaman lain yang memiliki struktur
yang sederhana.
Tanaman yang memiliki struktur sederhana, seperti tanaman hias dan
sayuran biasanya dihuni oleh 1−2 spesies kutukebul. Tanaman dengan struktur
kompleks, seperti pohon buah-buahan atau jenis pohon berkayu lain biasanya
merupakan kelompok tanaman tahunan yang memiliki struktur kompleks
sehingga sering ditemukan 3−4 spesies kutukebul, baik dalam satu pohon maupun
satu daun. Adanya beberapa spesies kutukebul yang memanfaatkan tanaman yang
sama sebagai tempat hidupnya menyebabkan terjadinya populasi campuran pada
satu tanaman tersebut. Sebagai contoh, populasi kutukebul campuran yang terjadi
pada tanaman jeruk, yaitu antara A. citriperdus dengan P. minei atau antara P.
minei dengan A. dispersus, dan sebagainya.
Kutukebul dan Musuh Alaminya
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kutukebul merupakan salah satu
kelompok serangga yang dapat menghasilkan embun madu. Embun madu terdiri
dari komponen-komponen gula seperti fruktosa, glukosa, sukrosa, trehalose dan
melezitose, serta beberapa senyawa asam amino. Pada dasarnya sekresi embun
madu ditujukan bagi semut yang berada di sekitar tanaman untuk melindungi
serangga dari musuh alaminya. Namun kadang-kadang embun madu tidak
mengandung protein yang dibutuhkan oleh semut untuk makanannya (terutama
61
bagi keturunannya) sehingga pada akhirnya semut akan memangsa kutu tanaman
penghasil embun madu tersebut. Selain itu, embun madu juga dapat menjadi salah
satu sumber makanan bagi serangga lain, di antaranya serangga-serangga predator
seperti Chrysopidae, Coccinellidae, Cantharidae, Tachinidae, Syrphidae, dan
berbagai jenis Hymenoptera parasitoid (Schoonhoven et al. 1998). Pernyataanpernyataan di atas menjelaskan bahwa terdapat hubungan tritrofik antara tanaman
inang, serangga herbivora, dan musuh alaminya. Hal inilah yang dapat menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan populasi
kutukebul di lapangan.
Coccinellidae merupakan serangga predator yang bersifat generalis dalam
memilih mangsanya. Sebagai contoh, kumbang M. sexmaculatus yang pada
kenyataannya memiliki preferensi yang lebih tinggi terhadap kutu daun daripada
kutukebul. Preferensi makan M. sexmaculatus terhadap kutu daun adalah
sebanyak 29.36 individu/daun, diikuti oleh kutukebul (20.16 individu/daun), dan
trips (17.08 individu/daun) (Mari dan Lohar 2012). Meskipun demikian, peranan
kumbang Coccinellidae dinilai cukup penting sebagai agens pengendali hayati.
Hal ini dikarenakan larva dan imago Coccinellidae berperan sebagai predator
serangga, khususnya kelompok kutu tanaman.
Selain Coccinellidae, ditemukan pula belalang sembah H. ovata di sekitar
koloni kutukebul. Belalang sembah terutama memangsa imago kutukebul yang
berterbangan disekitar koloninya. Ditemukan pula lalat A. indicus yang termasuk
ke dalam famili Drosophilidae yang merupakan lalat berukuran kecil yang
berwarna kekuningan dan memiliki mata berwarna merah. Beberapa spesies larva
lalat Drosophilidae memakan bahan organik seperti buah-buahan yang membusuk
dan cendawan. Ada pula yang menjadi pengorok daun, dan beberapa spesies
lainnya menjadi predator serangga famili Coccidae (kutu tempurung) dan
Aleyrodidae (kutukebul). A. indicus terutama memangsa kutukebul Trialeurodes
ricini, Siphoninus phyllireae, dan Aleurocanthus spiniferus (Ananthakrishnan
2004). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Yu et al. (2012) yang
menyatakan bahwa larva A. indicus diketahui merupakan predator dari kutukebul
A. dispersus dan Aleurocanthus sp.
62
Selain serangga predator, parasitoid kutukebul juga berperan penting dalam
mengendalikan populasi kutukebul di lapangan. Parasitoid kutukebul yang sering
ditemukan adalah Eretmocerus (Aphelinidae). Kutukebul ini memang sering
digunakan untuk mengendalikan kutukebul di tanaman pertanian (Begum et al.
2011). Namun keberadaan populasi parasitoid di lapangan dapat dipengaruhi oleh
adanya penggunaan insektisida yang intensif (Gullan dan Cranston 2000).
Spesies Kutukebul Invasif
Kutukebul dapat berpindah tempat, baik secara aktif maupun pasif.
Perpindahan secara aktif dilakukan dengan cara terbang dari satu tanaman ke
tanaman lain atau dari satu pertanaman ke pertanaman lainnya. Saat ini
perpindahan tempat kutukebul lebih sering terjadi secara pasif melalui
perpindahan material tanaman yang terjadi pada kegiatan perdagangan produkproduk pertanian secara internasional sehingga penyebarannya semakin meluas.
Pada akhirnya kutukebul dapat menyebabkan permasalahan pada pertanaman di
tempat yang baru. Hal ini biasanya terjadi pada spesies-spesies kutukebul yang
mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan, terutama iklim, di tempat yang
baru yang kemungkinan mirip dengan kondisi di daerah asalnya.
A. dipersus dan A. dugesii merupakan contoh spesies kutukebul yang
bersifat invasif di Indonesia. Kedua spesies tersebut merupakan serangga asli dari
kawasan Amerika Selatan, Amerika bagian tengah, dan kepulauan Karibia (Gullan
dan Martin 2003). Keberadaan A. dispersus di Indonesia dilaporkan pertama kali
pada tahun 1991 (Kajita et al. 1991). A. dugesii juga merupakan spesies kutukebul
yang relatif baru diketahui di Indonesia. Spesies ini pertama kali diketahui di
Bogor pada tahun 2007 (Hidayat dan Watson 2008). Hingga saat ini, A. dugesii
sudah menyebar luas di beberapa daerah di Jawa Barat. Selain A. dugesii, spesies
kutukebul yang berstatus sebagai spesies invasif di beberapa negara adalah
Paraleyrodes minei Iaccarino. Spesies ini baru diketahui keberadaannya di
Indonesia pada tahun 2011 adalah P. minei (Nurulalia et al. 2012). Spesies ini
memiliki kisaran tanaman inang yang relatif spesifik. Berdasarkan hasil
pengambilan sampel, P. minei ditemukan pada tanaman jeruk, alpukat, dan jambu
air. P. minei merupakan serangga asli di kawasan Amerika bagian tengah yang
63
menyerang tanaman jeruk dan menyebabkan kerugian secara ekonomi.
Selanjutnya kutukebul ini dilaporkan menjadi spesies invasif di pertanaman jeruk
di Syria (CDFA 1991). Pada tahun 2009, IITA juga menetapkan status kutukebul
ini sebagai spesies invasif di Afrika. Menurut Martin (2011, komunikasi pribadi),
saat ini P. minei menyebar dengan cepat di berbagai wilayah di Asia, di antaranya
Hongkong dan Malaysia. Menyikapi hal tersebut, diperlukan kewaspadaan dan
upaya identifikasi yang akurat untuk mencegah masuknya spesies-spesies
serangga baru ke Indonesia.
Seringkali data-data yang ada di pihak karantina tidak diperbaharui secara
terjadwal, sehingga spesies-spesies baru yang masuk ke suatu negara dapat luput
dari pengawasan. Sebagai contoh, kutukebul Bemisia argentifolii tidak termasuk
ke dalam daftar hama karantina sehingga dapat lolos dalam proses karantina,
sedangkan spesies ini sebenarnya adalah Bemisia tabaci biotipe-B yang dapat
menularkan penyakit tanaman (Watson 2007). Oleh karena itu, pengetahuan
mengenai deskripsi dan identifikasi yang akurat sangat diperlukan untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap masuknya spesies-spesies hama baru ke
suatu negara (Martin 2008).
Kesimpulan
Jumlah spesies kutukebul terbanyak ditemukan di dataran rendah yang
berbanding lurus dengan indeks keanekaragamannya. Keanekaragaman spesies
kutukebul tertinggi terdapat pada dataran rendah, sebaliknya dominasi spesies
kutukebul terjadi pada dataran tinggi. Spesies kutukebul yang mendominasi
adalah A. dispersus dan A. dugesii yang dapat ditemukan pada semua kisaran
ketinggian tempat. Berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan,
ternyata wilayah pengambilan sampel pada dataran rendah mirip dengan dataran
sedang sebesar 64%. Pada tanaman buah-buahan yang memiliki struktur tanaman
yang kompleks ditemukan lebih banyak spesies kutukebul dibandingkan dengan
tanaman yang memiliki struktur sederhana. Musuh alami kutukebul yang
ditemukan diantaranya berasal dari famili Coccinellidae, Mantidae, Drosophilidae,
Aphelinidae, dan Encyrtidae.
64
Daftar Pustaka
Ananthakrishnan TN. 2004. General Applied Entomology. 2 nd ed. New Delhi
(IN): Tata McGraw Hill Publishing Company Ltd.
Begum S, Anis SB, Farooqi MK, rehmat T, Fatma J. 2011. Aphelinid parasitoids
(Hymenoptera: Aphelinidae) od whiteflies (Homoptera: Aleyrodidae) from
India). Biology and Medicine 3(2):222-231.
[CDFA] California Department of Food and Agriculture. 1991. California Pest
Plant and Disease Report [internet], [diunduh 2011 Des 12]; 10(1-2):1-29.
Tersedia pada: http://www.cdfa.ca.gov/plant/ppd/PDF/CPPDR_1991_10_12.pdf.
Dubey AK, Ko CC. 2006. Toward an understanding of host plant associations of
whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae): an evolutionary approach. Formosan
Entomol. [internet], [diunduh 2012 Ags 29]; 26: 197-201. Tersedia pada:
http://140.112.100.38/chinese/publication/journal/pdf/t2602/26-2-09.pdf.
Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of The World: An Identification Guide to
Families. Canada: Canada Communication Group.
Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insect: An Outline of Entomology. 2 nd Ed.
London (UK): Blackwell Science Ltd.
Gullan PJ, Martin JH. 2003. Sternorrhyncha (Jumping Plant Lice, Whiteflies,
Aphids, and Scale Insects). Resh VH, Carde RT. 2003. Encyclopedia of
Insect. US: Elsevier Inc.
Grissell EE, Schauff ME. 1990. A Handbook of The Families of Nearctic
Chalcidoidea (Hymenoptera). Washington (US): The Entomological
Society of Washington.
Hidayat P, Watson GW. 2008. Recognition of Giant Whitefly, Aleurodicus
dugesii Cockerell (Hemiptera: Aleyrodidae), a Potential Pest Newly
Introduced to Indonesia. Poster Seminar Nasional V Perhimpunan
Entomologi
Indonesia
(PEI),
Cabang
Bogor:
Pemberdayaan
Keanekaragaman
Serangga
untuk
Peningkatan
Kesejahteraan
Masyarakat. LIPI Cibinong, Bogor, 2008 Mar 2008.
Hodkinson ID. 2005. Terrestrial insects along elevation gradients: species and
community responses to altitude. Biol. Rev. 80:489-513. Doi: ....
Idris AB, Nor SM, Rohaida R. 2002. Study on diversity of insect communities at
different altitudes of Gunung Nuang in Selangor, Malaysia. J of Biological
Sciences [internet], [diunduh 2012 Jul 10]; 2(7):505-507. Tersedia pada:
http://docsdrive.com/pdfs/ansinet/jbs/2002/505-507.pdf.
Kajita H, Samudra IM, Naito A. 1991. Discovery of the spiraling whitefly
Aleurodicus dispersus Russell (Homoptera: Aleyrodidae) from Indonesia,
with notes on its host plants and natural enemies. Japanese Society of
Applied Entomology and Zoology [internet], [diunduh 2011 Jun 23]; 26:397400. Tersedia pada: http://ci.nii.ac.jp/els/110001105211.pdf?id=ART0001
268496&type=pdf&lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_s
w=&no=1308798020&cp=
Lapidot M, Polston JE. 2010. Biology and Epidemiology of Bemisia-Vectored
Viruses. Di dalam: Stansly PA, Naranjo SE, editor. Bemisia: Bionomics and
Management of a Global Pest. New York (US): Springer. hlm 227-231.
65
Lawton JH. 1983. Plant architecture and the diversity of phytophagous insects.
Annual Review of Entomology 28:23-39. DOI: 10.1146/annurev.en.
28.010183.000323.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey
(US): Princeton University Press.
Mari JM, Lohar MK. 2012. Interrelationship between zigzag beetle (Menochilus
sexmaculatus)) with sucking insect pests in chili ecosystem. Minia
International Conference for Agriculture and Irrigation in the Nile Basin
Countries, 26th -29th March 2012, El-Minia, Egypt.
Martin JH. 2008. A revision of Aleurodicus Douglas (Sternorrhyncha,
Aleyrodidae), with two new genera proposed for palaeotropical natives and
an identification guide to world genera of Aleurodicinae. Zootaxa 1835:1100.
Martin JH. 2011. Komunikasi Pribadi [15 Desember 2011].
Nurulalia L, Hidayat P, Buchori D. 2012. Hama baru kutukebul Paraleyrodes
minei Iaccarino (Hemiptera: Aleyrodidae) di Jawa. Prosiding Seminar
Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); 2012 Jan 24-25; Bogor.
Bogor (ID): PEI. hlm 110.
Purbosari S. 2008. Neraca Kehidupan Kutukebul Bemisia tabaci Genn.
(Hemiptera: Aleyrodidae) pada Suhu 23, Ruang, dan 29°C [skripsi]. Bogor
(ID): Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
[QGIS] Quantum Geographic Information Systems. 2012. Versi: 1.7.3-Wroclaw.
Tersedia pada: http://qgis.org/.
Schoonhoven LM, Jermy T, van Loon JJA. 1998. Insect-Plant Biology: From
Physiology to Evolution. London (UK): Chapman and Hall.
Watson GW. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC
Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur, Malaysia,
2007 Apr 16-26. Institute of Biological Sciences, University Malaya.
Yu G, Wu L, Lu J, Chen H. 2012. Discovery of a predaceous drosophilid
Acletoxenus indicus Malloch in South China, with descriptions of the
taxonomic, ecological and molecular characters (Diptera: Drosophilidae)
[abstrak]. Journal of Natural History [internet]; 46(5-6). Tersedia pada:
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00222933.2011.639466.
66
67
BAB V
PEMBAHASAN UMUM
Jumlah kutukebul yang dilaporkan di Indonesia cenderung mengalami
peningkatan
sejak
dilaporkan
oleh
Koningsberger
pada
tahun
1908
(Koningsberger 1908). Pada saat itu, Koningsberger melaporkan mengenai daftar
serangga yang bersifat menguntungkan dan merugikan di Jawa. Kutukebul
menjadi salah satu hama penting pada tanaman tebu. Spesies-spesies kutukebul
tersebut masih menjadi hama penting sampai dengan tahun 1920-an. Selanjutnya
dilaporkan spesies kutukebul lainnya, yaitu Aleurodicus destructor (sekarang
Aleuroctarthrus destructor) yang menjadi hama penting pada tanaman buahbuahan dan kelapa di Jawa. Menurut Kalshoven dan Vecht (1950), kutukebul A.
destructor mengalami peledakan populasi pada tahun 1915 di perkebunan kelapa
di Sulawesi dan pulau Selayar. Pengendalian A. destructor di Sulawesi dilakukan
dengan cara mendatangkan musuh alaminya dari Jawa. Hingga saat ini, populasi A.
destructor selalu terkendalikan di pertanaman.
Adanya peningkatan jumlah kutukebul yang dilaporkan, khususnya pada
tanaman pertanian disebabkan adanya penelitian-penelitian terbaru dan adanya
spesies-spesies kutukebul baru yang masuk ke Indonesia, terutama sejak tahun
1980-an. Sebagai contoh, kutukebul Aleurodicus dispersus pertama kali diketahui
keberadaannya di Indonesia pada
tahun 1989 melaui kegiatan survei yang
dilakukan oleh Kajita et al. (1991). Kemudian diikuti oleh kutukebul A. dugesii
pada tahun 2007 (Hidayat dan Watson 2008). Kedua spesies tersebut menjadi
spesies invasif di ndonesia. A. dispersus merupakan serangga asli dari kawasan
Amerika Selatan dan kepulauan Karibia, sedangkan A. dugesii merupakan
serangga asli dari kawasan Amerika bagian tengah. Kutukebul memiliki ukuran
tubuh yang sangat kecil sehingga dapat dengan mudah terbawa melalui material
tanaman, misalnya melalui kegiatan perdagangan baik antar wilayah maupun
antar negara.
Kutukebul telah diketahui menjadi salah satu hama penting pada tanaman
buah-buahan (terutama jeruk), tanaman di rumah kaca, dan tanaman sayuran.
68
Bahkan beberapa spesies kutukebul memiliki penyebaran yang luas dan bersifat
kosmopolitan. Kutukebul dapat menyebabkan gangguan secara langsung pada
tanaman, misalnya nekrosis daun, perubahan warna daun, kerontokan daun, dan
tertutupinya permukaan daun oleh cendawan jelaga akibat sekresi embun madu
oleh kutukebul (Gullan dan Martin 2003). Secara tidak langsung, kutukebul dapat
menjadi vektor virus penyebab penyakit tanaman.
Berkaitan dengan kebutuhan nutrisi, secara umum serangga memerlukan
protein sebesar 8-14% untuk menunjang pertumbuhannya sedangkan tanaman
biasanya hanya menyediakan sekitar 2-4% protein yang dibutuhkan oleh serangga.
Dalam hal ini, serangga herbivora harus mengkonsentrasikan pada unsur nitrogen
ketika mengkonversi makanan dari tanaman untuk membentuk sel-sel baru pada
jaringan tubuhnya. Seperti halnya serangga dengan tipe alat mulut menusukmengisap lainnya, kutukebul memerlukan protein dalam jumlah yang cukup
banyak untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Oleh karena itu,
kutukebul perlu mengisap cairan tanaman dalam jumlah banyak agar protein yang
terkandung di dalamnya dapat diekstrak. Sisa cairan akan dikeluarkan melalui
anus dalam bentuk embun madu (Schoonhoven et al. 1998). Kutukebul makan
dengan cara mengisap cairan di bagian floem tanaman yang kaya akan nutrisi,
terutama gula. Kutukebul memiliki organ filter chamber yang secara langsung
menghubungkan sistem pencernaan bagian depan (foregut) dengan bagian
belakang (hindgut). Organ ini dapat melewatkan air dan molekul-molekul
berukuran kecil, termasuk gula, secara cepat tanpa proses penyerapan di bagian
mesenteron (midgut). Oleh karena itu, cairan yang mengandung gula yang masuk
ke foregut akan lagsung menuju hindgut dan segera dikeluarkan melalui anus.
Cairan yang kaya akan gula inilah yang sering disebut dengan embun madu yang
dapat menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga. Cendawan jelaga
dapat menutupi bagian permukaan atas daun sehingga akan mengganggu proses
fotosintesis
dan
mempengaruhi
respirasi
aktivitas
tanaman.
tanaman
Terganggunya
dalam
fotosintesis
menghasilkan
nutrisi
dapat
bagi
pertumbuhannya sehingga dapat menyebabkan tanaman layu dan mengering
hingga kematian pada tanaman (Gullan dan Cranston 2000).
69
Spesies kutukebul yang diketahui dapat menjadi vektor virus penyebab
penyakit tanaman adalah B. tabaci (sweetpotato whitefly) dan T. vaporariorum
(greenhouse whitefly). B. tabaci merupakan kutukebul yang memiliki kisaran
inang yang luas, khususnya pada kelompok tanaman hias dan tanaman berserat. B.
tabaci dapat menularkan sekitar 70 jenis virus tanaman. Populasi kutukebul B.
tabaci mengalami peningkatan secara drastis sejak tahun 1970-an, terutama di
kawasan tropik dan subtropik. Jumlah imago kutukebul B. tabaci yang tertangkap
dari tanaman melon dan kapas di California pada tahun 1971, 1981, dan 1991
mengalami peningkatan yaitu berturut-turut sebesar 100, 5000, dan 35000
individu. Penyebab peningkatan ini belum diketahui dengan pasti, tetapi
kemungkinan berkaitan dengan dampak peningkatan penggunaan insektisida
sintetik dan terjadinya resistensi serangga terhadap pestisida; terjadinya perubahan
kondisi iklim; intensifikasi pertanian; dan perpindahan material tanaman secara
internasional di tempat pembibitan (nursery) maupun perdagangan komoditas
hortikultura. B. tabaci diketahui memiliki biotipe-biotipe, di antaranya biotipe-A
dan B yang dapat menularkan virus-virus penting pada tanaman pertanian. Hingga
akhir tahun 1980-an, B. tabaci biotipe-A merupakan biotipe yang utama di bagian
selatan Amerika Serikat. Pada tahun 1991, B. tabaci biotipe-B telah menggantikan
biotipe-A. B. tabaci biotipe-B menyebabkan gejala keperakan pada daun tanaman
squash sehingga nama umum dari biotipe-B adalah silverleaf whitefly. Beberapa
peneliti sering menyebutnya sebagai spesies Bemisia argentifolii, tetapi secara
umum kutukebul ini lebih dikenal sebagai B. tabaci biotipe-B (Wisler et al. 1998).
Secara umum, aktivitas makan serangga bertipe alat mulut menusukmengisap menyebabkan gejala yang tidak terlalu jelas terlihat pada tanaman. Hal
ini disebabkan serangan serangga penusuk-pengisap berada pada tingkat sel atau
jaringan tanaman. Kerusakan yang terjadi pada tanaman sulit dinilai secara
kuantitatif meskipun pada kenyataannya serangga mengisap sumber nutrisi
tanaman, baik dari xylem maupun floem. Dampak dari serangan serangga bertipe
alat mulut menusuk-mengisap hanya dapat dideteksi melalui percobaan dengan
membandingkan tanaman terinfestasi dengan tidak terinfestasi serangga. Pada saat
mengisap cairan tanaman, serangga ini dapat menghasilkan cairan yang mirip
dengan ludah yang mengandung enzim yang dapat menyebabkan nekrosis pada
70
jaringan tanaman (Gullan dan Cranston 2000). Cairan ludah ini juga yang dapat
menjadi media bagi penyebaran virus yang dibawa oleh spesies kutukebul yang
berperan sebagai serangga vektor.
Spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman pertanian jumlahnya
relatif banyak. Sebagian besar dari spesies tersebut hidup pada komoditas tanaman
buah-buahan. Hal ini disebabkan pohon buah-buahan umumnya memiliki
arsitektur tanaman yang kompleks. Semakin kompleks suatu tanaman maka
kemungkinan jumlah spesies serangga herbivora yang hidup pada tanaman
tersebut akan semakin banyak (Lawton 1983). Selain itu, pohon buah-buahan
umumnya termasuk ke dalam kelompok tanaman tahunan yang lebih stabil
daripada tanaman setahun, dalam hal ini menyangkut stabilitas keanekaragaman
serangga yang hidup pada masing-masing kelompok tanaman. Pada umumnya,
keanekaragaman serangga pada tanaman tahunan tidak mudah berubah dan jarang
terjadi pergantian spesies. Tanaman pertanian lain yang termasuk ke dalam
kelompok tanaman setahun, misalnya sayuran dan tanaman pangan, umumnya
mengalami suksesi awal yang rentan terhadap serangan serangga hama sehingga
sering diaplikasikan pestisida. Oleh karena itu, keanekaragaman serangga pada
tanaman setahun lebih sering mengalami perubahan dan terjadi pergantian spesies
serangga. Spesies-spesies serangga yang memiliki kemampuan adaptasi yang
tinggi dapat terus ada dan akhirnya dapat mendominasi di suatu pertanaman
(Feeny 1975). Pohon buah-buahan dapat tumbuh pada ketinggian tempat yang
beragam, sedangkan kelompok tanaman sayuran, tanaman hias, dan pangan di
antaranya sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, ketinggian tempat, dan suhu
lingkungan.
Di lapangan seringkali ditemukan banyak imago kutukebul yang hinggap
dan makan pada suatu pertanaman, tetapi serangga pradewasanya sangat sedikit
ditemukan. Sebagai contoh, imago B. tabaci pada tanaman cabai relatif lebih
mudah ditemukan jika dibandingkan dengan nimfanya. Hal ini berhubungan
dengan preferensi kutukebul terhadap tanaman inangnya. Preferensi kutukebul
terhadap tanaman inangnya di antaranya dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik
tanaman, kandungan senyawa kimia tanaman, dan keberadaan musuh alaminya.
Dalam memilih tanaman inang, imago betina kutukebul biasanya akan memilih
71
tempat oviposisi (meletakkan telur) yang dapat mendukung sumber makanan bagi
keturunannya. Tempat oviposisi identik dengan kisaran tanaman yang dapat
dimakan oleh nimfa. Seleksi tanaman inang untuk oviposisi diatur oleh genom
yang berbeda dengan seleksi tanaman inang untuk makan. Oleh karena itu,
preferensi oviposisi berkaitan erat dengan sumber makanan yang dibutuhkan oleh
keturunannya untuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang, dan
bereproduksi (Schoonhoven et al. 1998).
Karakter permukaan daun dan bagian tanaman lainnya merupakan faktor
penting bagi serangga betina untuk mencari dan memutuskan tempat untuk
oviposisi. Serangga pradewasa akan tertarik pada tanaman yang memiliki
kandungan makanan yang tepat, sedangkan pemilihan tanaman inang oleh imago
selain untuk tempat makan, biasanya terkait pula dengan fungsinya sebagai fase
penyebaran, mencari pasangan, dan oviposisi (Schoonhoven et al. 1998). Jika
dilihat dari faktor fisik tanaman, kutukebul ternyata lebih menyukai daun yang
permukaannya berambut daripada daun yang permukaannya halus. B. tabaci lebih
banyak meletakkan telur pada tanaman terung yang memiliki trikoma pada bagian
permukaan atas dan bawah daun, diikuti oleh tomat dan cabai. Kemampuan hidup
nimfa B. tabaci yang tertinggi terdapat pada tanaman terung, sedangkan yang
terendah pada tanaman cabai. Pada daun terung, nimfa instar satu (crawler) B.
tabaci biasanya tidak akan berpindah tempat terlalu jauh karena terhambat oleh
keberadaan trikoma (Khan et al. 2011). Oleh karena itu, pada daun tanaman yang
berambut atau memiliki trikoma, nimfa kutukebul lebih sering ditemukan
mengelompok pada daun tertentu dibandingkan dengan nimfa yang cenderung
menyebar pada daun yang permukaannya halus pada suatu tanaman. Faktor kimia
tanaman juga dapat mempengaruhi preferensi tanaman inang kutukebul. Faktor
kimia tersebut di antaranya berupa senyawa primer dan sekunder yang terdapat di
dalam tanaman. Nimfa kutukebul lebih sering ditemukan pada daun yang terdapat
di bagian bawah tanaman daripada pada bagian atas daun maupun tunas. Daun
muda maupun tunas memiliki jaringan yang sel-selnya sedang aktif tumbuh,
sehingga biasanya kandungan senyawa sekunder pada bagian tersebut cenderung
lebih tinggi daripada daun yang sudah tua. Senyawa sekunder tanaman dapat
bersifat racun terhadap kelompok serangga tertentu (Schoonhoven et al. 1998).
72
Selain faktor fisik dan kimia tanaman, preferensi kutukebul dalam memilih
tanaman inangnya ternyata berkaitan pula dengan keberadaan musuh alaminya.
Kutukebul memiliki kemampuan untuk menolak suatu tanaman sebagai inangnya
yang kemungkinan mengandung musuh alami atau pun dapat menarik kedatangan
musuh alami. Kutukebul dapat belajar dari pengalamannya dan mengurangi resiko
terhadap terjadinya pemangsaan maupun parasitisasi oleh musuh alami. Oleh
karena itu, distribusi relatif kutukebul pada suatu pertanaman dapat berubah
dengan adanya mangsa atau inang alternatif bagi serangga predator atau parasitoid.
Sebagai contoh, selain memakan kutukebul, tungau predator dapat juga memakan
polen untuk bertahan hidup dan bereproduksi, sehingga populasi kutukebul dapat
tetap ada. Namun pada saat tidak ada polen, tungau predator akan memakan
kutukebul yang ditemukannya pada suatu tanaman sehingga akan dapat
menurunkan populasi kutukebul (Namikou et al. 2003). Keberadaan trikoma dan
rambut-rambut pada permukaan daun juga dapat mempengaruhi keberadaan
musuh alami. Sebagai contoh, pada daun tanaman mentimun yang sedikit
berambut, parasitoid Encarsia formosa lebih efisien dalam mencari inangnya yang
berupa nimfa kutukebul daripada tanaman mentimun yang berambut banyak.
Dalam hal ini parasitoid dapat bergerak bebas dan memparasit inang dengan lebih
baik. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat parasitisasi nimfa kutukebul oleh E.
formosa pada daun tanaman yang berambut sedikit ternyata 20% lebih tinggi
daripada daun yang berambut banyak (Schoonhoven et al. 1998).
Secara umum, musuh alami kutukebul yang potensial adalah parasitoid. Hal
ini disebabkan adanya hubungan yang lebih spesifik antara kutukebul dengan
parasitoid dibandingkan dengan serangga predator. Aphelinidae dan Encyrtidae
merupakan famili serangga parasitoid yang sering ditemukan memarasit nimfa
kutukebul. Biasanya satu individu parasitoid akan memarasit satu individu
kutukebul (Begum et al. 2011). Serangga predator kutukebul yang sering
ditemukan di lapangan umumnya dominan dari kelompok kumbang Coccinellidae.
Verania lineata merupakan salah satu spesies kumbang Coccinellidae yang
memiliki preferensi mangsa utama berupa kutukebul (B. tabaci) (Udiarto et al.
2012). Kumbang Coccinellidae lain memiliki preferensi mangsa utama pada jenis
kutu-kutu tanaman lainnya.
73
Peristiwa masuknya serangga baru ke Indonesia semakin sering terjadi
akhir-akhir ini. Beberapa spesies serangga baru tersebut ada yang bersifat sebagai
spesies invasif yang menimbulkan permasalahan baru di pertanaman. Sebagai
contoh, terdapat beberapa spesies kutukebul menjadi spesies invasif di Indonesia,
di antaranya A. dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci. Salah satu ciri spesies invasif
adalah memiliki sifat agresif dari spesies tersebut. Namun sifat ini sangat
dipengaruhi oleh variasi kondisi lingkungan dan area geografi, sehingga
pertumbuhan dan perkembangan spesies invasif tertentu akan dipengaruhi oleh
faktor biotik dan abiotik yang dapat membatasi penyebarannya. Pada sisi lain,
spesies invasif seringkali sangat mudah beradaptasi dengan kondisi habitatnya
yang baru sehingga dapat menyebar dengan luas, baik antar wilayah maupun antar
negara (Carruthers 2003). Kegiatan perdagangan material tanaman hidup dapat
menjadi salah satu cara penyebaran kutukebul. Beberapa spesies kutukebul telah
menyebar dari daerah aslinya ke berbagai negara dalam kurun waktu 30 tahun
terakhir. Hal yang menjadi kekhawatiran utama adalah penyebaran virus
penyebab penyakit tanaman bersama dengan penyebaran kutukebul yang menjadi
serangga vektor (Watson 2007).
Data-data yang ada di pihak karantina seringkali tidak diperbaharui secara
kontinu, sehingga spesies-spesies baru yang masuk ke suatu negara dapat luput
dari pengawasan. Sebagai contoh, kutukebul Bemisia argentifolii tidak termasuk
ke dalam daftar hama karantina sehingga dapat lolos dalam proses karantina. Pada
kenyataannya, nama spesies ini adalah sinonim dari Bemisia tabaci biotipe-B
yang dapat menularkan penyakit tanaman (Watson 2007). Oleh karena itu,
pengetahuan mengenai deskripsi dan identifikasi yang akurat sangat diperlukan
untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap masuknya spesies-spesies hama baru
ke suatu negara (Martin 2008).
74
75
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN UMUM
Kesimpulan Umum
Kutukebul merupakan salah satu kutu tanaman yang sering ditemukan di
tanaman pertanian. Sebagian besar dari spesies kutukebul yang ditemukan
termasuk ke dalam anggota dari subfamili Aleyrodinae. Jumlah spesies kutukebul
terbanyak ditemukan di dataran rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi yang ditemukan pada tanaman
pertanian terjadi di dataran rendah. Keanekaragaman spesies kutukebul
mengalami penurunan seiring dengan peningkatan ketinggian tempat. Pada
dataran sedang dan tinggi terjadi dominasi spesies dari dua spesies kutukebul,
yaitu A. dispersus dan A. dugesii. Sebagian besar dari spesies kutukebul
ditemukan pada komoditas tanaman buah-buahan yang memiliki struktur tanaman
yang kompleks dan umumnya merupakan tanaman tahunan. Secara umum,
kutukebul merupakan kutu tanaman yang bersifat spesifik dalam hal kisaran
tanaman inang, meskipun terdapat beberapa spesies yang memiliki kisaran
tanaman inang yang luas dan bersifat kosmopolitan, di antaranya A. dispersus dan
A. dugesii, dan B. tabaci. Kutukebul B. tabaci dan T. vaporariorum merupakan
spesies kutukebul yang dapat berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit
tanaman yang keberadaannya dipengaruhi oleh ketinggian tempat hidup. B. tabaci
umumnya ditemukan pada dataran rendah hingga sedang, sedangkan T.
vaporariorum ditemukan pada dataran sedang sampai dengan tinggi.
Musuh alami kutukebul yang sering ditemukan adalah kumbang predator
dari famili Coccinellidae, serta parasitoid dari famili Aphelinidae dan Encyrtidae.
Beberapa spesies kutukebul berstatus sebagai spesies invasif, baik di Indonesia
maupun di negara lain, di antaranya A. dispersus, A. dugesii, B. tabaci, dan P.
minei. Kunci identifikasi kutukebul dengan sistem dikotom merupakan salah satu
alat identifikasi yang dihasilkan pada penelitian ini yang dapat digunakan sebagai
panduan dalam melakukan identifikasi kutukebul, khususnya untuk spesiesspesies kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian di Jawa Barat.
76
Saran Umum
Perlu kiranya dapat dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman
kutukebul di Jawa sehingga mencakup jenis tanaman inang yang lebih banyak dan
beragam.
77
DAFTAR PUSTAKA
Begum S, Anis SB, Farooqi MK, rehmat T, Fatma J. 2011. Aphelinid parasitoids
(Hymenoptera: Aphelinidae) od whiteflies (Homoptera: Aleyrodidae) from
India). Biology and Medicine 3(2):222-231.
Bos L. 1994. Pengantar Virologi Tumbuhan. Triharso, penerjemah. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction to Plant
Virology.
Carruthers R. 2003. Invasive species research in the United States Department of
Agriculture-Agricultural Research Service. Pest Manag Sci [internet];
59:827-834. Tersedia pada: http://naldc.nal.usda.gov/download/23572/PDF.
DOI: 10.1002/ps.616.
Charles H, Dukes JS. 2007. Impacts of invasive species on ecosystem services.
Ecological Studies [internet], [diunduh 2011 Des 12]; 193:217-237.
Tersedia pada: http://globalecology.stanford.edu/DGE/Dukes/Charles_
Dukes_inpress.pdf.
De Barro PJ, Hidayat SH, Frochlich D, Subandiyah S, Ueda S. 2008. A virus and
its vector, pepper yellow leaf curl virus and Bemisia tabaci, two new
invaders of Indonesia. Biol. Invasions 10:411-433. DOI: 10.1007/s10530007-9141-x.
Dooley J. 2007. Key to the Commonly Intercepted Whitefly Pests [internet],
[diunduh 2011 Mar 14]. Tersedia pada: http://keys.lucidcentral.org/keys/v3/
whitefly/PDF_PwP%20ETC/Key%20to%20commonly%20intercepted%20
pests%20embedded%20images%20.pdf.
Feeny P. 1975. Biochemical Coevolution between Plants and Their Insects
Herbivores. Di dalam: Gilberts LE, Raven PH, editor, Coevolution of
Animal and Plants. Austin (US): University of Texas Press. hlm. 3-19.
Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insect: An Outline of Entomology. 2 nd Ed.
London (UK): Blackwell Science Ltd.
Gullan PJ, Martin JH. 2003. Sternorrhyncha (Jumping Plant Lice, Whiteflies,
Aphids, and Scale Insects). Resh VH, Carde RT. 2003. Encyclopedia of
Insect. US: Elsevier Inc.
Hidayat P, Watson GW. 2008. Recognition of Giant Whitefly, Aleurodicus
dugesii Cockerell (Hemiptera: Aleyrodidae), a Potential Pest Newly
Introduced to Indonesia. Poster Seminar Nasional V Perhimpunan
Entomologi
Indonesia
(PEI),
Cabang
Bogor:
Pemberdayaan
Keanekaragaman
Serangga
untuk
Peningkatan
Kesejahteraan
Masyarakat. LIPI Cibinong, Bogor, 2008 Mar 2008.
Kajita H, Samudra IM, Naito A. 1991. Discovery of the spiraling whitefly
Aleurodicus dispersus Russell (Homoptera: Aleyrodidae) from Indonesia,
with notes on its host plants and natural enemies. Japanese Society of
Applied Entomology and Zoology [internet], [diunduh 2011 Jun 23]; 26:397400. Tersedia pada: http://ci.nii.ac.jp/els/110001105211.pdf?id=ART0001
268496&type=pdf&lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_s
w=&no=1308798020&cp=
78
Kalshoven LGE, Vecht JVD. 1950. De Plagen Van De Cultuurgewassen in
Indonesie [dalam bahasa Belanda]. Deel 1. Bandung (ID): NV Uitgeverij W.
Van Hoeve.
Khan MR, Ghani IA, Khan MR, Ghaffar A, Tamkeen A. 2011. Host plant
selection and oviposition behavior of whitefly Bemisia tabaci (Gennadius)
in a mono and simulated polyculture crop habitat. African Journal of
Biotechnology [internet]; 10(8):1467-1427. Tersedia pada: http://www.
academicjournals.org/AJB. DOI: 10.5897/AJB10.523.
Koningsberger JC. 1908. Tweede Over Zicht der Schadelijke en Nuttige Insecten
van Java [dalam bahasa Belanda]. Jakarta (ID): G. Kolff and Co.
Lapidot M, Polston JE. 2010. Biology and Epidemiology of Bemisia-Vectored
Viruses. Di dalam: Stansly PA, Naranjo SE, editor. Bemisia: Bionomics and
Management of a Global Pest. New York (US): Springer. hlm 227-231.
Lawton JH. 1983. Plant architecture and the diversity of phytophagous insects.
Annual Review of Entomology 28:23-39. DOI: 10.1146/annurev.en.
28.010183.000323.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey
(US): Princeton University Press.
Martin JH. 1985. The whitefly of New Guinea (Homoptera: Aleyrodidae).
Bulletin of the British Museum (Natural History) Entomology [internet].
[diunduh 2012 Mar 9]; 50(3):303-351. Tersedia pada: http://biostor.org/
reference/151.
Martin JH. 1987. An identification guide to common whitefly species of the world
(Homoptera: Aleyrodidae). Tropical Pest Management 33(4):298-322.
Martin JH. 2008. A revision of Aleurodicus Douglas (Sternorrhyncha,
Aleyrodidae), with two new genera proposed for palaeotropical natives and
an identification guide to world genera of Aleurodicinae. Zootaxa 1835:1100.
Muniappan R. 2011. Recent invasive hemipterans and their biological control in
Asia [internet], [diunduh 2011 Apr 21]. Tersedia pada: http://icac.org/tis/
regional_networks/asian_network/meeting_5/documents/papers/PapMuniap
panR.pdf.
Namikou M, Janssen A, Sabekis MW. 2003. Herbivore host plant selection:
whitefly learns to avoid host plants that are unsafe for her offspring.
Oecologia [internet]; 136(3):484-488. DOI: 10.1007/s00442-003-1289-1.
Quicke DLJ. 1993. Principles and Techniques of Contemporary Taxonomy.
Glasgow (UK): Blackie Academic and Professional.
Schoonhoven LM, Jermy T, van Loon JJA. 1998. Insect-Plant Biology: From
Physiology to Evolution. London (UK): Chapman and Hall.
Speight, MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insects. London (UK):
Blackwell & Science.
Ubaidillah R, Sutrisno H. 2009. Pengantar Biosistematika: Teori dan Praktek.
Jakarta (ID): LIPI Press.
Udiarto BK, Hidayat P, Rauf A, Pudjianto, Hidayat SH. 2012. Kajian potensi
predator Coccinellidae untuk pengendalian Bemisia tabaci (Gennadius)
pada cabai merah. J Hort 22(1):76-84.
79
Walther GR, Roques A, Hulme PE, Sykes MT, Pysek P, Kuhn I, Zobel M, Bacher
S, Botta-Dukat Z, Bugmann H, et al. 2009. Alien species in a warmer
world: risks and opportunities. Trends in Ecology and Evolution [internet].
24(12):686-693. Tersedia pada: http://ac.els-cdn.com/S0169534709002031/
1-s2.0-S0169534709002031-main.pdf?_tid=ae418d98edd193992f40671971
483f19&acdnat=1344574873_9f6dd007dd7ea0779d7a32d9848fb48e. DOI:
10.1016/j.tree.2009.06.008.
Watson GW. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC
Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur, Malaysia,
2007 Apr 16-26. Institute of Biological Sciences, University Malaya.
Wisler GC, Duffus JE, Liu HY, Li RH. 1998. Ecology and Epidemiology of
Whitefly Transmitted Closteroviruses. Plant Disease [internet], [diuduh
2011 Mar 24]; 82(3):270-280. Tersedia pada: http://apsjournals.apsnet.org/
doi/pdf/10.1094/PDIS.1998.82.3.270.
80
81
LAMPIRAN
82
Lampiran 1 Bagian dorsal eksuvia dan karakter morfologi yang umum digunakan
pada kunci identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleurodicinae
(contoh spesies: Aleurodicus pulvinatus (Maskell)) (sumber: Martin
2008)
83
Lampiran 2 Bagian ventral dan dorsal eksuvia serta karakter morfologi yang
umum digunakan pada kunci identifikasi dan deskripsi kutukebul
famili Aleyrodinae (sumber: Martin 1987)
84
Lampiran 3 Kantung pupa spesies kutukebul yang belum teridentifikasi
85
Lampiran 4
Keberadaan spesies kutukebul pada tanaman pertanian (sayuran,
buah-buahan, hias, pangan, serta obat dan rempah)
Komoditas tanaman inang
No.
Spesies kutukebul
Subfamili Aleurodicinae:
1.
Aleuroctarthrus destructor
2.
Aleurodicus dispersus
3.
Aleurodicus dugesii
4.
Paraleyrodes minei
Subfamili Aleyrodinae:
5.
Aleurocanthus citriperdus
6.
Aleurocanthus spiniferus
7.
Aleurocanthus woglumi
8.
Aleuroclava aucubae
9.
Aleuroclava canangae
10. Aleuroclava jasmini
11. Aleuroclava psidii
12. Aleurolobus marlatti
13. Aleurotrachelus sp.1
14. Aleurotrachelus sp.2
15. Aleurotrachelus sp.3
16. Asiothrixus antidesmae
17. Bemisia tabaci
18. Cockerelliella psidii
19. Cockerelliella sp. 1
20. Cockerelliella sp. 2
21. Dialeurodes kirkaldyi
22. Dialeurodes sp.
23. Dialeuropora decempuncta
24. Lipaleyrodes sp.
25. Minutaleyrodes minuta
26. Orchamoplatus
mammaeferus
27. Rusostigma sp.
28. Trialeurodes vaporariorum
29. Spesies 1
30. Spesies 2
31. Spesies 3
32. Spesies 4
33. Spesies 5
34. Spesies 6
35. Spesies 7
36. Spesies 8
37. Spesies 9
38. Spesies 10
Jumlah spesies
Sayuran
Buahbuahan
Hias
Pangan
dan
palawija
Obat
dan
rempah
√
√
-
√
√
√
√
-
√
√
√
-
-
√
√
√
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
√
√
√
√
-
-
-
√
-
-
√
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
-
√
-
6
31
6
5
5
86
Lampiran 5 Kunci identifikasi kutukebul
1a
Memiliki 4-6 pasang abdominal compound pores di bagian
subdorsal tubuh, lingula berukuran besar berbentuk seperti lidah
dan terdapat 1-2 pasang seta di bagian ujungnya (Gambar 1),
nimfa dan pupa dapat menghasilkan lilin yang berwarna putih
yang
cukup
banyak
sehingga
menutupi
permukaan
tubuhnya ........................................... Subfamili Aleurodicinae (2)
Gambar 1
1b
Tidak memiliki abdominal compound pores di bagian subdorsal
tubuh dan jika ada hanya berupa 5 pasang pori sederhana (Gambar
2), bentuk dan ukuran lingula sangat bervariasi, warna pupa
bervariasi, nimfa dan pupa tidak mengeluarkan lilin atau sedikit
menghasilkan lilin pada permukaan tubuhnya ............... Subfamili
Aleyrodinae (5)
Gambar 2
87
2a
Memiliki 6 pasang abdominal compound pores yang besar dan
berukuran sama, pada lingula terdapat 1 pasang seta (Gambar 3),
umumnya ditemukan pada pohon kelapa .............. Aleuroctarthrus
destructor (Martin)
Gambar 3
2b
Memiliki 4-6 pasang abdominal compound pores yang ukurannya
sama. Pada ujung lingula terdapat 2 pasang seta (Gambar 4) ....... 3
Gambar 4
3a
Memiliki 6 pasang abdominal compound pores dengan bagian
tengahnya berbentuk splines, 2 pasang abdominal compound pores
di bagian anterior ukurannya tereduksi, terdapat discal pore di
antara abdominal compound pore ruas VIII dengan vasiform
orifice (Gambar 5), imago betina biasanya membentuk lilin yang
dihasilkannya menyerupai sarang burung .................. Paraleyrodes
minei Iaccarino
88
Gambar 5
3b
Terdapat 4-6 pasang abdominal compound pores, terdapat poripori kecil yang jumlahnya banyak di bagian subdorsal tubuh,
memiliki kisaran inang yang sangat luas (polifag) ........................ 4
4a
Memiliki 4 pasang abdominal compound pores yang berukuran
sama pada ruas III-VI (Gambar 6), pupa memiliki pola bentuk lilin
yang mirip ekor di bagian posterior ............ Aleurodicus dispersus
Russell
Gambar 6
4b
Memiliki 6 pasang abdominal compound pores pada ruas III-VIII,
abdominal compound pores ruas III-VI ukurannya sama,
sedangkan ruas VII dan VIII tereduksi (Gambar 7), pupa
menghasilkan lilin yang banyak dan memanjang seperti
janggut ........................................ Aleurodicus dugesii (Cockerell)
89
Gambar 7
5a
Terdapat duri-duri dengan ujung lancip pada bagian subdorsal
tubuhnya, pupa berwarna gelap (Gambar 8), umum ditemukan
pada daun jeruk ............................................................................. 6
Gambar 8
5b
Tidak terdapat duri-duri pada bagian subdorsal tubuhnya, pupa
berwarna pucat atau gelap ............................................................. 8
6a
Terdapat 11 pasang duri pada bagian subdorsal ............................ 7
6b
Terdapat 16 pasang duri lancip pada bagian subdorsal yang
ukurannya sama (Gambar 9), umum ditemukan pada daun
jeruk ................. Aleurocanthus citriperdus Quaintance & Baker
90
Gambar 9
7a
Terdapat 11 pasang duri lancip pada bagian subdorsal yang
berukuran sama (Gambar 10), dapat ditemukan pada daun jeruk,
jambu biji, dan nangka ...... Aleurocanthus spiniferus Quaintance
Gambar 10
7b
Terdapat 11 pasang duri lancip pada bagian subdorsal, sepasang
duri dibagian posterior ukurannya lebih panjang daripada duri
yang lainnya yang menyerupai ekor (Gambar 11), umum
ditemukan pada daun jeruk .......... Aleurocanthus woglumi Ashby
Gambar 11
91
8a
Memiliki rachis (pola lekukan-lekukan) pada bagian subdorsal
abdomen (Gambar 12), pupa berwarna pucat atau gelap .............. 9
Gambar 12
8b
Tidak memiliki rachis pada bagian dorsal abdomen ................... 12
9a
Terdapat alur longitudinal di bagian subdorsal yang memanjang
mulai dari sefalotoraks hingga ke bagian anterior abdomen,
(Gambar 13) ................................................................................ 10
Gambar 13
9b
Warna pupa gelap, terdapat pola rachis pada abdomen, terdapat
pola mata berbentuk “koma” yang warnanya lebih terang di bagian
anterior subdorsal, terdapat pola seperti 3 gigi di bagian margin
posterior tubuh, vasiform orifice berbentuk segitiga (Gambar
14) ............................................ Aleurolobus marlatti Quaintance
92
Gambar 14
10a
Terdapat sepasang seta masing-masing di bagian sefalotoraks,
mesotoraks, dan metatoraks; pupa berwarna pucat atau gelap
(Gambar 15) ................................................................................ 11
Gambar 15
10b
Tidak terdapat seta di bagian sefalotoraks, mesotoraks, dan
metatoraks;
pupa
berwarna
pucat
(Gambar
16) ................................................................ Aleurotrachelus sp. 3
Gambar 16
11a
Terdapat abdominal pocket pada sutura di antara ruas VII dengan
93
VIII; terdapat pori tuberkel berbentuk bulat di bagian subdorsal
dan
submedian,
pupa
berwarna
pucat
(Gambar
17) ................................................................ Aleurotrachelus sp. 2
Gambar 17
11b
Tidak terdapat abdominal pocket pada sutura di antara ruas VII
dengan VIII, tidak memiliki pori tuberkel di bagian subdorsal dan
submedian,
pupa
berwarna
gelap
(Gambar
18) ................................................................ Aleurotrachelus sp. 1
Gambar 18
12a
Memiliki 5 pasang pori sederhana di bagian subdorsal tubuh
(Gambar 19), jika terlihat biasanya terdapat 12 pasang seta
submarginal dan sepasang seta sefalotoraks yang berbentuk
lanceolate, pupa dapat menghasilkan lilin berwarna biru
mengkilat ............................................ Dialeuropora decempuncta
(Quaintance & Baker)
94
Gambar 19
12b
Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 13
13a
Pada bagian submargin terdapat pola garis yang berlekuk-lekuk,
beberapa spesies memiliki papilla-papilla di bagian subdorsal
(Gambar 20) ................................................................................ 14
Gambar 20
13b
Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 17
14a
Pada mesotoraks terdapat sepasang tuberkel berbentuk bulat
(Gambar 21), warna pupa pucat ................................................. 15
95
Gambar 21
14b
Tidak terdapat tuberkel pada mesotoraks, warna pupa gelap
(Gambar 22) ............................... Aleuroclava aucubae (Kuwana)
Gambar 22
15a
Terdapat pola seperti bentuk huruf “T” pada bagian sefalotoraks;
terdapat tuberkel di sepanjang median abdomen (Gambar 23);
pupa berwarna kuning hingga transparan dengan pola pigmentasi
di bagian sefalotoraks, median abdomen, dan vasiform
orifice ................................................... Aleuroclava psidii (Singh)
Gambar 23
96
15b
Tidak terdapat pola seperti bentuk huruf “T” di bagian
sefalotoraks, ada atau tidak ada sepasang seta di bagian
sefalotoraks dan tungkai ketiga, terdapat barisan papilla di bagian
subdorsal ...................................................................................... 16
16a
Jika ada, seta pada sefalotoraks dan tungkai ketiga biasanya terdiri
dari 1 ruas (Gambar 24), bentuk tubuh bagian tengah melebar
(mulai dari mesotoraks hingga abdomen ruas ke-5), lipatan pada
sefalotoraks tidak terlalu jelas terlihat, umum ditemukan pada
melati ........................................... Aleuroclava jasmini Takahashi
Gambar 24
16b
Seta pada sefalotoraks dan tungkai ketiga (jika ada) biasanya
terdiri dari 2 ruas, bentuk tubuh oval, lipatan pada sefalotoraks
terlihat jelas (Gambar 25), umum ditemukan pada jambu
biji .............................................. Aleuroclava canangae (Corbett)
Gambar 25
17a
Pupa berbentuk bulat atau oval, terdapat lipatan yang memisahkan
area submargin dengan dorsal disc, terdapat sutura molting
longitudinal dan transversal yang bersatu dengan sutura
97
sefalotoraks, yang konsentris dengan margin yang mudah lepas
ketika imago keluar dari pupa (Gambar 26) ..... Cockerelliella (18)
Gambar 26
17b
Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 20
18a
Bentuk pupa bulat atau oval, terdapat papilla di bagian subdorsal
tubuh, sutura transversal tidak mencapai bagian tepian pupa ..... 19
18b
Bentuk pupa memanjang, tidak terdapat papilla di bagian
subdorsal tubuh, sutura transversal mencapai bagian tepian pupa
(Gambar 27) ..................................................... Cockerelliella sp. 2
Gambar 27
19a
Bentuk pupa oval, terdapat barisan papilla di bagian subdorsal
tubuhnya, sutura submarginal tidak sampai ke bagian abdomen
(Gambar 28) ................................... Cockerelliella psidii (Corbett)
98
Gambar 28
19b
Pupa berbentuk oval dan lebar, terdapat sutura submarginal yang
memisahkan bagian margin dengan dorsal disc, vasiform orifice
berbentuk setengah lingkaran dan berukuran kecil dengan lingula
yang tidak terlihat jelas (Gambar 29) .............. Cockerelliella sp. 1
Gambar 29
20a
Pupa berukuran sangat kecil, berbentuk oval dengan area melebar
mulai dari bagian metatoraks hingga ke abdomen ruas ke-2
(Gambar 30) ................................... Minutaleyrodes minuta Singh
Gambar 30
99
20b
Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 21
21a
Tepian pupa bergerigi, pada bagian median anterior abdomen
terdapat 2 pasang seta (Gambar 31) ......... Asiothrixus antidesmae
(Takahashi)
Gambar 31
21b
Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 22
22a
Pori trakea toraks berbentuk seperti sisir, terdapat 1 baris kelenjarkelenjar yang berbentuk seperti gigi-gigi, pada abomen ruas
pertama terdapat 1 pasang seta (Gambar 32) ......... Orchamoplatus
mammaeferus (Quaintance and Baker)
Gambar 32
22b
Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 23
23a
Pada bagian dorsal disc terdapat pola-pola berbentuk bulat
(granul), terdapat retikulasi di sekitar tracheal cleft dan di bagian
caudal furrow, bentuk pupa membulat dengan ukuran yang relatif
besar (Gambar 33) ................................................. Rusostigma sp.
100
Gambar 33
23b
Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 24
24a
Terdapat barisan papilla di bagian submarginal (Gambar 34), pada
pupa yang ditemukan pada daun yang berambut biasanya terdapat
papilla-papilla yang berukuran lebih besar daripada papilla di
bagian submarginal, terdapat seta pendek pada masing-masing
bagian pangkal tungkai tengah dan belakang ............. Trialeurodes
vaporariorum (Westwood)
Gambar 34
24b
Tidak terdapat barisan papilla di bagian submarginal, tidak
memiliki karakter seperti yang disebutkan di atas ...................... 25
25a
Vasiform orifice berbentuk segitiga, terdapat sepasang seta pada
ruas abdomen VIII dan sepasang seta kauda di bagian ujung
posterior tubuhnya (Gambar 35) ................................................. 26
101
Gambar 35
25b
Vasiform orifice ukurannya relatif kecil dan tidak memiliki
karakter seperti yang disebutkan di atas, biasanya terdapat pola
pigmentasi warna pada bagian tertentu, seperti bagian median
toraks dan abdomen, serta thoracic tracheal fold (Gambar
36) ............................................................................. Dialeurodes
(27)
Gambar 36
26a
Memiliki seta kauda yang kokoh di bagian posterior yang
panjangnya hampir sama dengan ukuran panjang vasiform orifice
(Gambar 37), bentuk pupa beragam (tergantung pada jenis
inang) ............................................................ Bemisia tabaci
(Gennadius)
102
Gambar 37
26b
Caudal furrow tidak terlalu jelas, seta kauda berbentuk seperti
rambut, terdapat kumpulan wax plates di bagian submargin
(Gambar 38) .......................................................... Lipaleyrodes sp.
Gambar 38
27a
Terdapat garis median berupa pigmentasi berwarna cokelat hingga
hitam pada kantung pupa mulai dari bagian alat mulut hingga ruas
abdomen ke-1, seta abdomen ruas ke-8 letaknya di bagian terlebar
dari vasiform orifice (Gambar 39) ............... Dialeurodes kirkaldyi
(Kotinsky)
103
Gambar 39
27b
Tidak terdapat garis pigmentasi median, terdapat alur warna yang
lebih tua di bagian thoracic tracheal fold (Gambar 40) ...............
Dialeurodes sp.
Gambar 40
Download