5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kutukebul Kutukebul termasuk ke dalam ordo Hemiptera yang memiliki alat mulut bertipe menusuk-mengisap, serta subordo Sternorrhyncha yang secara umum memiliki fase pradewasa yang tidak aktif bergerak (sessile) dan/atau imago yang bersayap pada beberapa superfamili. Subordo Sternorrhyncha terdiri dari empat superfamili, yaitu Psylloidea, Aleyrodoidea, Aphidoidea, dan Coccoidea. Kutukebul termasuk ke dalam superfamili Aleyrodoidea yang merupakan kelompok serangga yang memiliki ciri peralihan antara superfamili Psylloidea dengan Coccoidea. Superfamili Aleyrodoidea mirip dengan Psylloidea karena fase imago memiliki sayap dan dapat bereproduksi secara seksual maupun partenogenesis, sedangkan dikatakan mirip dengan Coccoidea karena memiliki fase pradewasa yang tidak aktif bergerak. Superfamili Aleyrodoidea hanya terdiri dari satu famili, yaitu Aleyrodidae. Ciri dari famili ini di antaranya imago jantan dan betina memiliki dua pasang sayap dengan venasi yang sederhana; nimfa dan pupa memiliki vasiform orifice, lingula, dan operculum yang merupakan struktur yang sangat terspesialisasi di sekitar anus. Struktur ini berasosiasi dengan sekresi embun madu. Selain itu, struktur ini merupakan karakteristik utama dari famili Aleyrodidae yang tidak dimiliki oleh kelompok serangga lainnya (Watson 2007). Famili Aleyrodidae terdiri dari dua subfamili, yaitu Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Perbedaan yang mendasar di antara kedua subfamili tersebut adalah adanya pori majemuk abdomen (abdominal compound pores) di bagian subdorsal tubuh dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Subfamili Aleurodicinae umumnya memiliki 4-6 pasang pori majemuk abdomen dan vasiform orifice yang berbentuk setengah bola dengan lingula berbentuk spatula berukuran besar yang memanjang hingga melewati tepi posterior vasiform orifice, serta 1-2 pasang seta di bagian ujung lingula tersebut. Subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen, meskipun ada spesies tertentu yang memiliki pori sederhana yang mirip dengan pori majemuk, tetapi strukturnya 6 berbeda dengan pori majemuk. Selain itu, subfamili Aleyrodinae memiliki bentuk dan ukuran vasiform orifice yang sangat beragam dengan lingula yang relatif kecil, tidak memanjang, dan tidak melewati tepi posterior vasiform orifice, serta hanya terdapat satu pasang seta di bagian ujungnya (Watson 2007, Martin 2008). Pada tahun 1758, Linnaeus mengklasifikasikan kutukebul sebagai kelompok ngengat dan baru dimasukkan ke dalam ordo Homoptera (sekarang Hemiptera) pada tahun 1795 oleh Lattreille. Penamaan whitefly dalam bahasa Inggris mengacu pada imago kutukebul yang berbentuk seperti lalat dengan permukaan tubuh tertutupi oleh tepung lilin berwarna putih (Martin 2008), sedangkan nama umum kutukebul dalam bahasa Indonesia berasal dari perilaku serangga ini yang jika diganggu, imago yang berwarna putih akan berterbangan seperti ‘kebul’ (asap). Bioekologi Kutukebul Fase pradewasa kutukebul dapat ditemukan di bagian permukaan bawah daun. Telur kutukebul memiliki pedisel di salah satu bagian ujungnya yang berfungsi untuk melekat pada permukaan daun. Nimfa instar I (crawler) aktif bergerak untuk mencari tempat makan yang sesuai. Pada saat instar II dan III, nimfa sudah menetap di tempat tertentu. Nimfa instar IV sering disebut juga dengan fase pupa. Hal ini disebabkan pada fase ini kutukebul sudah berhenti makan (seperti pada fase pupa sejati), terjadi pembentukan bakal sayap dan antena, serta pematangan alat kelamin (Watson 2007). Oleh karena itu, kutukebul memiliki tipe metamorfosis peralihan antara paurometabola dengan holometabola. Imago betina aktif mencari tempat peletakan telur yang biasanya pada daun-daun tanaman yang relatif muda. Setiap imago betina dapat menghasilkan sekitar 30 telur yang diletakkan pada permukaan bawah daun. Sebelum bertelur, imago betina biasanya akan menusukkan stiletnya pada daun sebagai pusat tumpuan, kemudian mulai berputar sambil meletakkan telur-telurnya dengan pola melingkar. Selanjutnya telur-telur tersebut akan ditutupi dengan lilin. Ada pula beberapa spesies kutukebul meletakkan telur-telurnya secara acak. Di daerah beriklim subtropik, kutukebul menghasilkan satu atau dua generasi per tahun (univoltine 7 atau bivoltine), sedangkan di daerah beriklim tropik, kutukebul dapat menghasilkan banyak generasi per tahun (polyvoltine) dengan setiap generasi berkembang selama 6-8 minggu (Watson 2007). Kutukebul termasuk ke dalam kelas serangga yang merupakan organisme yang bersifat poikiloterm, yaitu memiliki suhu tubuh yang bervariasi tergantung suhu permukaan dan lingkungan tempat hidupnya. Semakin tinggi suhu tubuh, maka reaksi metabolisme yang terjadi akan semakin cepat. Hal ini berarti setiap proses yang terjadi pada kutukebul, seperti pertumbuhan dan perkembangan tergantung pada suhu lingkungannya. Suhu merupakan bagian dari faktor iklim pada suatu kisaran wilayah yang luas, sedangkan kondisi atmosfer pada waktu dan tempat tertentu yang berhubungan dengan panas, dingin, sinar matahari, hujan, awan, dan sebagainya yang sering disebut dengan cuaca. Iklim dan cuaca merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam ekologi serangga, yang meliputi reproduksi dan penyebaran serangga agar dapat tumbuh dan berkembang (Speight et al. 1999). Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, serangga herbivora sering dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu monofag, oligofag, dan polifag. Serangga monofag adalah serangga yang memakan satu spesies tanaman inang atau spesies tanaman lain yang hubungan kekerabatannya sangat erat; serangga oligofag memakan beberapa jenis tanaman inang yang masih termasuk ke dalam famili yang sama; sedangkan serangga polifag memakan banyak spesies tanaman inang dari famili yang berbeda-beda. Namun pengelompokan ini bersifat tidak konsisten, khususnya pada saat membedakan antara serangga monofag dengan oligofag. Pada kenyataannya sulit untuk membedakan serangga yang hanya memakan satu jenis tanaman dengan serangga yang memakan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan senyawa sekunder yang hampir sama. Selain itu, individu dari spesies yang sama dapat memakan tanaman inang yang berbeda atau memiliki preferensi tanaman inang yang berbeda tergantung tempat tinggal dari masing-masing serangga tersebut. Hal ini disebabkan individu serangga lebih spesifik dalam memilih tanaman inangnya daripada populasi serangga secara keseluruhan. Berkaitan dengan hal tersebut, pengelompokkan serangga berdasarkan kisaran tanaman inangnya sering pula dibedakan menjadi kelompok 8 serangga spesialis (mencakup serangga monofag dan oligofag) dan generalis (polifag) (Schoonhoven et al. 1998). Kunci Identifikasi Serangga Salah satu alat yang paling dikenal dan sering digunakan dalam identifikasi untuk sebagian besar organisme adalah kunci identifikasi, khususnya kunci dikotom. Kunci dikotom terdiri atas suatu seri divisi atau dikotomi yang masingmasing mengandung dua alternatif karakter yang dimiliki oleh kelompok taksa tertentu yang membedakannya dengan taksa lainnya. Alternatif pernyataan yang menyusun masing-masing set dikotomi dalam suatu kunci dinamakan kaplet (couplet). Masing-masing kaplet tersebut terdiri atas dua set alternatif karakter yang sering disebut dengan lead (= leg) (Quicke 1993). Kunci identifikasi yang baik harus dapat digunakan secara luas, baik oleh kalangan taksonom maupun kalangan lain yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda. Suatu kunci identifikasi idealnya harus dibuat oleh seorang ahli yang mempelajari spesimen tertentu. Karakter yang digunakan dalam kunci identifikasi diusahakan tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Pemakaian karakter yang terlalu banyak dalam suatu kaplet dapat menyebabkan munculnya kebingungan pada penggunanya. Selain itu, pengguna dapat kehilangan kepercayaan diri terhadap kunci yang ada sehingga dapat membuat keputusan yang salah. Sebaliknya, pemakaian karakter yang terlalu sedikit, misalnya hanya satu karakter pada kunci monotetik, dapat pula menyebabkan kebingungan pada penggunanya terutama jika berhadapan dengan spesimen yang bentuknya sudah tidak sempurna. Sebagai contoh, antena atau tungkai serangga yang rusak atau hilang, sedangkan karakter ini menjadi salah satu karakter yang biasanya digunakan pada awal penggunaan kunci monotetik. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan 2-3 karakter utama pada setiap lead sehingga dapat mengatasi permasalahan jika salah satu karakternya rusak atau hilang (Quicke 1993). Kunci identifikasi kutukebul yang umum digunakan biasanya berupa kunci dikotom. Kunci identifikasi yang banyak digunakan saat ini di antaranya kunci 9 identifikasi kutukebul untuk kawasan Amerika bagian tengah, Eropa, dan sebagian kawasan di Asia. Kunci identifikasi kutukebul yang cukup dikenal adalah Martin (1987). Selain itu, Martin juga pernah membuat kunci identifikasi yang spesifik untuk kawasan Papua New Guinea (Martin 1985). Kedua jenis kunci tersebut menyertakan gambar yang berupa sketsa. Kunci identifikasi yang menyertakan gambar spesimen berwarna (foto) terdapat pada kunci identifikasi Dooley (2007). Kutukebul sebagai Serangga Vektor Beberapa kelompok serangga dapat berperan sebagai vektor penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen. Hemiptera merupakan salah satu ordo serangga yang sering menjadi vektor patogen penyebab penyakit tanaman. Ordo ini memiliki alat mulut yang fungsinya termodifikasi untuk menusuk dan melukai epidermis tanaman inang, lalu terjadi transfer cairan di dalamnya. Seperti halnya serangga secara umum, keberadaan serangga vektor juga dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik, di antaranya kondisi cuaca, reproduksi, dan penyebaran. Adanya musuh alami dan kompetisi dapat membatasi kelimpahan serangga vektor. Selain itu, keberadaan tanaman inang juga dapat mempengaruhi keberadaan serangga vektor di suatu habitat dan penyebaran antar habitat. Serangga vektor dapat memiliki kisaran tanaman inang yang sempit (spesifik) maupun luas. Gulma dapat menjadi inang alternatif bagi serangga vektor, sebagai contoh pada tahun 1938, Bemisia tabaci menjadi vektor virus penyebab penyakit pseudomosaik pada tembakau. B. tabaci dapat hidup pada gulma Eupatorium odoratum yang ada di sekitar pertanaman tembakau (Kalshoven dan Vecht 1950). Penularan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus bersifat sangat spesifik. Terdapat hubungan yang khusus antara serangga vektor dengan virus yang dibawanya. Kemampuan, efisiensi, dan cara penularan ditentukan oleh struktur alat mulut yang dimiliki oleh serangga vektor (Bos 1994). Terdapat 3 spesies kutukebul yang diketahui dapat berperan sebagai vektor virus tanaman, yaitu B. tabaci, Trialeurodes vaporariorum, dan T. abutiloneus. Kutukebul B. tabaci diketahui dapat menjadi vektor dari cassava mosaic virus, cassava mosaic 10 geminiviruses, tomato yellow leaf curl virus, dan sebagainya (Lapidot dan Polston 2010). B. tabaci menularkan penyakit tanaman secara persisten non-sirkulatif. Virus yang terambil ketika makan akan menuju saluran pencernaan dan menembus dinding usus, selanjutnya bersirkulasi di dalam cairan tubuh (haemolymph) dan mengkontaminasi cairan ludah. Hal ini menyebabkan serangga vektor tetap bersifat infektif pada aktivitas makan berikutnya. Daya tular dapat bertahan selama beberapa hari tergantung pada jumlah virus yang terbawa ketika proses makan berlangsung pada tanaman sakit (Bos 1994). Pengukuran Keanekaragaman Spesies Serangga Keanekaragaman hayati adalah variasi antar organisme dari berbagai sumber, yang mencakup organisme yang hidup di darat, laut, dan ekosistem perairan lainnya beserta perannya dalam ekologi. Keanekaragaman hayati mencakup kenekaragaman dalam suatu spesies, antar spesies, dan dalam suatu ekosistem (Speight et al. 1999). Keanekaragaman spesies terdiri dari dua komponen, yaitu variasi dan kelimpahan relatif spesies. Keanekaragaman spesies diukur berdasarkan kekayaan (jumlah) spesies (species richness) dan kemerataan spesies (eveness) dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Pada dasarnya, keanekaragaman spesies dibagi menjadi tiga, yaitu keanekaragaman α (alpha), β (beta), dan γ (gamma). Keanekaragaman α adalah keanekaragaman pada suatu wilayah atau lanskap tempat pengambilan sampel, keanekaragaman β adalah keanekaragaman antar wilayah pengambilan sampel untuk melihat komposisi spesies dari komunitas yang berbeda, sedangkan keanekaragaman γ adalah keanekaragaman spesies pada kisaran wilayah yang luas atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa keanekaragaman γ merupakan hasil penggabungan dari keanekaragaman α dan β (Magurran 1988). Pengukuran keanekaragaman spesies dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu indeks kekayaan spesies, yang pada dasarnya merupakan suatu ukuran bagi jumlah spesies yang diperoleh dalam suatu unit pengambilan sampel; model kelimpahan spesies yang menggambarkan distribusi dari kelimpahan spesies; dan indeks yang berdasarkan pada proporsi kelimpahan spesies. Keanekaragaman 11 serangga, termasuk kutukebul dapat diukur dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Penggunaan indeks dalam melakukan pengukuran keanekaragaman spesies disesuaikan dengan tujuannya. Pengukuran keanekaragaman α biasanya terbagi menjadi tiga tujuan, yaitu untuk mengetahui kekayaan, dominasi, dan kemerataan spesies. Indeks yang dapat digunakan untuk mengukur kekayaan spesies di antaranya α (log series), λ (log normal), Q statistic, S (kekayaan spesies), indeks Margalef, Shannon, Brillouin, dan McIntosh U. Indeks untuk mengukur dominasi spesies di antaranya indeks Simpson, BergerParker, dan McIntosh D. Kemerataan spesies biasanya diukur dengan menggunakan indeks Shannon dan Brillouin. Keanekaragaman β di antaranya diukur dengan menggunakan indeks Jaccard, Sorenson, dan Morista-Horn (Magurran 1988). Kutukebul sebagai Spesies Invasif Secara umum, spesies invasif didefinisikan sebagai spesies asing yang dapat dengan cepat menyebar di suatu wilayah yang baru. Biasanya keberadaan spesies invasif dapat menyebabkan perubahan dalam hal keanekaragaman organisme, perubahan fungsi dalam ekosistem, serta berdampak pada aspek sosial-ekonomi dan kesehatan manusia di daerah baru tersebut. Spesies asing sendiri didefinisikan sebagai spesies organisme yang berada di luar wilayah tempat tinggal aslinya yang berpotensi mengalami penyebaran, salah satunya melalui aktivitas manusia. Pada dasarnya spesies invasif yang menginvasi daerah baru harus dapat melewati tahapan-tahapan, di antaranya suatu spesies baru yang masuk ke suatu daerah baru harus mampu bertahan hidup di daerah baru tersebut; lalu spesies tersebut mampu berkembang biak dan melakukan kolonisasi; selanjutnya spesies baru tersebut mampu mempertahankan keberadaan populasinya dan melakukan penyebaran ke daerah di sekitarnya (Walther et. al. 2009). Keberadaan spesies invasif di suatu lingkungan dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap tanaman inang atau organisme lain di suatu lingkungan yang sama. Spesies invasif dapat secara langsung menyerang, melemahkan, dan/atau membunuh tanaman inang atau organisme lain yang ada di 12 lingkungan tersebut, sedangkan secara tidak langsung dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di suatu wilayah (Carruthers 2003). Jika dilihat dari aspek yang berhubungan dengan manusia, dampak keberadaan spesies invasif berhubungan dengan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dampak keberadaan spesies invasif terhadap aspek ekonomi berkaitan langsung dengan penurunan atau kehilangan hasil di pertanaman, sedangkan terhadap aspek lingkungan berupa gangguan terhadap struktur ekosistem yang terkadang mengacu pada penurunan keanekaragaman suatu organisme di suatu wilayah. Keberadaan spesies invasif juga berdampak terhadap aspek sosial, di antaranya pada kesehatan, kenyamanan dan kualitas hidup manusia, rekreasi, budaya, dan sebagainya (Charles dan Dukes 2007). Dalam bidang pertanian, serangga merupakan organisme yang sering menjadi spesies invasif, termasuk di antaranya kutukebul. Terdapat kutukebul yang berstatus sebagai spesies invasif di beberapa negara, di antaranya Aleurodicus dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci. Spesies-spesies tersebut menyebabkan kerugian secara ekonomi dalam bidang pertanian (Muniappan 2011).