Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama

advertisement
BAB IV
ANALISA
Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 Menurut Perspektif Kebebasan Beragama Dalam
UUD Pasal 29 ayat (2)
IV.1. Pendahuluan
Jaminan kebebasan beragama dengan jelas diatur dalam UUD pasal 29 ayat (2)
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan
kepercayaannya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” 1 Ada dua
kebebasan beragama yang dijamin dalam Pasal 29 ayat 22 UUD 1945. Pertama, kemerdekaan
setiap warga negara untuk memeluk agama atau kepercayaanya. Kedua, kemerdekaan setiap
warga negara untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Pasal 28I UUD 1945
menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Secara
khusus tulisan ini akan membahas jaminan kebebasan warga negara untuk beribadat menurut
agama atau kepercayaannya. Hal ini juga dijamin dalam deklarasi HAM PBB sebagai bagian
dari forum eksternum.
Namun pada kenyataannya jaminan kebebasan beribadat menurut agamanya terus
terusik oleh kejadian pelanggaran kebebasan beragama. Berdasarkan laporan Forum
Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) mencatat sebanyak 786 gereja dirusak, dibakar atau
ditutup sejak prokalmasi 17 Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember 2000. Sementara
menurut laporan pengurus Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Wali Gereja
Indonesia kepada Komnas HAM, sejak tahun 2004-2007 telah terjadi 108 kasus penutupan,
penyerangan dan pengrusakan gereja.
1
Moh. Mahfud MD, Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Konstitusi (Jakarta: Mahkama Konstitusi
Indonesia, 2009), 1.
60
Menurut hasil laporan PGI dan hasil penelitian para penggiat kebebasan beragama di
Indonesia, tindakan intoleransi tersebut didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri No. 9
dan 8 Tahun 2006 yang mengatur mekanisme pendirian rumah ibadat dan sekaligus menjadi
syarat ijin mendirikan rumah ibadah. Walaupun PBM berlaku untuk semua agama, namun
syarat-syarat dalam PBM sangat sulit dipenuhi oleh agama minoritas. Dengan demikian PBM
memberi peluang terciptanya tindakan intoleransi dan diskriminatif bagi agama minoritas.
Pelanggaran kebebasan beragama yang diakibatkan PBM seakan bertolak belakang
dengan jaminan kebebasan beragama yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2).
Sedangkan salah satu dasar hukum dari PBM ini adalah UUD pasal 29 ayat (2) hal ini
dikuatkan dengan pernyataan pemerintah bahwa peraturan ini tidak melanggar jaminan
kebebasan beragama. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah PBM ini sesuai atau
tidak dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Hal tersebut dilakukan dengan mengkaji
kebebasan beragama yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri menurut perspektif
kebebasan beragama UUD 1945 pasal 29 ayat (2).
Hasil kajian kebebasan beragama UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) kemudian ditinjau
menurut perspektif kebebasan beragama dalam konven-konven internasional atau deklarasi
HAM. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah semangat kebebasan beragama dalam UUD
pasal 29 ayat (2) sesuai dengan semangat kebebasan beragama dalam konven internasional
atau deklarasi HAM. Sebab, Indonesia telah meratifikasi hasil konven-konven internasional
dan Deklarasi Hak Asasi Manusia tentang jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan
ke dalam UUD 1945 dan UU. Indonesia akan mendapat sanksi dari dunia internasional
apabila tidak dapat melaksanakan jaminan kebebasan beragama secara konsisten.
Peraturan Bersama Menteri mengatur pendirian rumah ibadah. Pengaturan pendirian
rumah ibadah merupakan pembatasan pendirian rumah ibadah. Dengan dibatasinya pendirian
rumah ibadah sekaligus membatasi umat untuk beribadah. UUD 1945 Pasal 29 ayat (2)
61
dengan jelas menjamin kebebasan setiap warga negara untuk beribadat menurut agama atau
kepercayaanya. Berdasarkan urian di atas penulis menyimpulkan, bahwa dengan diaturnya
pendirian rumah ibadah sama dengan mengatur kebebasan beragama. Oleh karena itu, tulisan
ini ingin mengkaji apa makna pengaturan kebebasan beragama dalam peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terhadap jaminan kebebasan beragama? Untuk
maksud menjawab pertanyaan tersebutlah pembahasan dalam bab IV dilakukan.
IV.2. Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Konvenan Internasioanal tentang Jaminan
Kebebasan Beragama
Menurut John Locke Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karena itu tidak ada
kekuasan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya.2 Pengertian ini secara substansi tidak
berbeda dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 yang
menyatakan “Hak Asasi Manusia adalah seprangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintahan dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Berdasarkan
rumusan di atas diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada
diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugerah Tuhan yang harus
dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat dan negara.
Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan bagian hak asasi manusia
(HAM) yang telah dimufakati dan dideklarasikan dalam konvensi-konvensi internasioanl
baik yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) atau Internasional
2
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2003), 200.
62
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan konvenan Internasional lainnya tentang
hak sipil.3 Kebebasan sendiri menurut perspektif HAM adalah kekuasaan atau kemampuan
bertindak tanpa paksaan, ketiadaan kendala (hambatan), kekuasan untuk memilih tindakan
seseorang atau sering disebut kebebasan dasar (fundamental freedom).4
Kebebasan beragama atau berkeyakinan menurut Deklarasi Universal tentang HakHak Asasi Manusia dalam artikel ke 18 adalah “Setiap orang mempunyai hak kebebasan
berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk beralih agama atau
kepercayaan, dan juga kebebasan, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan
orang lain, serta baik di depan umum maupun pribadi, untuk memperlihatkan agama atau
kepercayaannya, dengan jalan mengajarkan, mempraktekkan, beribadat atau melakukan
kewajiban-kewajiban agama”.5
Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan menurut perspektif Hak Asasi
Manusia (HAM) terbagi dalam dua aspek. Pertama, kebebasan internal (forum internum),
pada dasarnya setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak
ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaan. Kedua, kebebasan
eksternal (forum externum) pada dasarnya setiap orang memiliki kebebasan, secara individu
di dalam masyarakat, di muka publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau
kepercayaan di dalam pengajaran, pengamalan dan peribadahannya.6
Komentar umum komite HAM PBB yang merupakan penafsiran otoritatif atas
ketentuan Konvenan internasional hak sipil dan politik mempertegas uraian di atas dengan
3
Nicola Colbran,
KebebasanBeragamaatauberkeyakinan:SeberapaJauh(Yogyakarta:Kanisius,2010),685-686.
4
John Kelsay & Sumner B. Twiss, Agama dan Hak-hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Interfidei, 2007),Iii.
5
Olaf H Schumann, Dialog AntarUmatBeragama(Jakarta:BPKGunungMulia, 2008), 534.
6
SitiMusdahMulia,MerayakanKebebasanBeragama, ed. ElzaPeldiTaher, (Jakarta: ICRP&KOmpas,
2009), 335.
63
menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan pada dasarnya meliputi
dua dimensi, yaitu individual dan kolektif. Ketentuan ini memberikan perlindungan kepada
individu maupun individu harus melakukannya bersama-sama dengan orang lain. Dengan
demikian sebuah kelompok keagamaan juga mempunyai hak untuk mengekspresikan atau
melaksanakan kepercayaan agama mereka.7 Komentar umum pasal 18 juga mengandung 2
aspek yaitu kebebasan berkeyakinan atau beragama dan kebebasan untuk menjalankan agama
atau kepercayaan. Dengan demikian pasal ini melindungi dua aspek kebebasan beragama
yaitu kebebasan spiritual seseorang (forum internum) dan kebebasan mengeluarkan
(manifestasi) keberadaan spiritual tersebut serta mempertahankannya di depan publik (forum
eksternum).8
Untuk jaminan kebebasan memilih atau memeluk agama (forum internum) tidak dapat
dikurangi
atau
dibatasi
(non-derogable
rights)
sedangkan
jaminan
kebebasan
mengekspresikan (manifestasi) ajaran agama dapat dibatasi (derogable). Pembatasan negara
terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama (forum eksternum) harus didasarkan pada
alasan untuk menjaga ketertiban umum (public order), kesehatan dan moral masyarakat
(public health and morals). Dan bentuk pembatasan ini harus dinyatakan dengan Undangundang. Sebagai contoh, pelarangan terhadap sekte David Coresh di New Mexico dan
Children of God. Sekte ini dilarangan karena dianggap membahayakan nyawa orang lain dan
nyawa para pengikutnya. Sedangkan untuk Children of God sekte ini dilarangan karena
berpotensi menimbulkan ganguan terhadap moral masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah
harus terus memperhatikan norma-norma hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945
maupun instrumen internasional hak asasi manusia.
7
Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme,34.
Ibid.,34-35.
8
64
Dalam komentar umum komite HAM PBB terhadap pasal 18 “pembatasan harus
terkait secara langsung dan sepadan dengan kebutuhan khusus yang mendasarinya. Pebatasan
tidak boleh dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara
diskriminatif.9 Secara umum perbuatan tidak toleran dan diskriminasi berbasis agama atau
keyakinan memiliki pengertian berikut “setiap pembedaan, penyampingan, pelarangan atau
pengutamaan berbasis agama atau keyakinan yang tujuan atau akibatnya penghilangan atau
pengurangan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar berdasarkan kesetaraan.”10 Prinsip ini tidak berbeda dengan deklarasi HAM tentang
Penghapusan semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau
Keyakinan Pasal 2 ayat (2) “ungkapan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau
kepercayaan berarti pembedaan, pengeluaran, pelarangan atau pilih kasih berdasarkan agama
atau
kepercayaan yang bertujuan atau berakibatkan pembatalan atau peruskan pada
pengakuan penikmatan atau pelaksanaan HAM dan kebebasan fundamental atas dasar
kesetaraan.”11
Penghapusan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama menjadi salah satu
prinsip utama dalam dalam jaminan kebebasan beragama menurut perspektif HAM. Itulah
sebabnya PBB membuat deklarasi khusus tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
dan intoleransi atas dasar agama/kepercayaan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) “tidak
seorangpun menjadi target diskriminasi yang dilakukan oleh negara, institusi, kelompok
orang atau orang atas dasar agama/kepercayaan”. Ayat (2) tidak seorangpun dapat dipaksa
yang mengurangi kebebasan beragama/berkeyakinan sesuai dengan pilihannya terkait dengan
diskriminasi berbasis agama atau keyakinan ini, negara memiliki kewajiban sebagai berikut
“mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah dan menghilangkan diskriminasi
9
Kebebasan beragama, 212.
Stanley Adi Prasetyo,Pluralisme,39.
11
Ibid., 40.
10
65
mengerahkan segala upaya untuk mengundangkan atau menghapuskan perundang-undangan
apabila diperlukan untuk melarang diskriminasi apapun mengambil segala langkah yang tepat
untuk memerangi diskriminasi berbasis agama atau keyakinan.
Uraian di atas memberikan keterangan bahwa negara berkewajiban melindungi setiap
warga negaranya bahkan setiap orang yang ada di wilayahnya dari tindakan intoleransi dan
diskriminasi. Negara berkewajiban mengambil segala langkah dan upaya untuk memerangi
diskriminasi berbasis agama tersebut. Ketentuan ini kemudian diatur dalam norma hukum
Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan bahwa pemangku kewajiban HAM sepenuhnya
tak lain adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah.12 Ketentuan tersebut merujuk pada
penjelasan dalam komentar Umum Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan
bahwa perwujudan HAM sepenuhnya kewajiban negara. Dalam menjalankan kewajibannya
pemerintah sebagai representasi negara mengemban tiga tugas. Pertama, pemerintah harus
menghormati, kedua melindungi dan ketiga, pemerintah memenuhi hak asasi manusia
tersebut.
Pemerintah yang berfungsi sebagai penyelenggara negara semestinya harus berfungsi
sebagai penjamin sekaligus penjaga agar hak-hak setiap warga negara tidak ada yang
terlanggar. Namun, dalam menjalankan tugas tersebut pemerintah tidak boleh campur tangan
dan mengintervensi dalam menentukan hak-hak yang tak dapat ditangguhkan (non-derogable
rights).13 Hal ini dikarenakan, memiliki kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan sesuatu
yang dianugerahkan oleh negara atau pemerintah, namun sesuatu yang dimiliki setiap
individu dan kelompok agama semata-mata karena mereka manusia.
12
Stanley AdiPrasetyo, Pluralisme, Dialog danKeadilan, 26.
Ibid., 30.
13
66
IV.3. Kebebasan Beragama Menurut UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) Ditinjau Menurut
Perspektif Kebebasan Beragama Hak Asasi Manusia (HAM)
Perdebatan tentang HAK Asasi Manusia (HAM) menurut Jimly Asshiddiqei, telah
mencuat sejak proses pembentukan negara Indonesia sedang gencar-gencarnya diperjuangkan
oleh para pendiri bangsa. Perdebatan itu terekam dengan jelas di dalam sidang-sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang membahas draf konstitusi untuk negara Indonesia yang
akan dibentuk.14 Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya tanggal 18 Agustus 1945 PPKI
mengesahkan UUD 1945. Ada lima Hak Asasi Manusia yang termuat dalam UUD 1945.
Pertama pasal 27, tentang persamaan dan kesamaan hukum serta mendapatkan hak
penghidupan yang layak. Kedua pasal 28, tentang hak berserikat, berkumpul dan menyatakan
pendapat. Ketiga, pasal 29, tentang hak memeluk dan menjalankan agama atau kepercayaan.
Keempat, pasal 31 hak mendapatkan pengajaran/pendidikan. Dan kelima, hak farkir miskin
dan anak terlantar.15 Sedangkan seperti kita ketahui deklarasi HAM baru dilaksanakan tahun
1948. Jadi sebagai bangsa kita boleh bangga karena pengakuan dan perlindungan terhadap
HAM telah terlebih dahulu kita lakukan.
Namun kebanggaan tersebut hanya isapan jempol belaka apabila kita memperhatikan
laporan dari para pemerhati HAM di Indonesia yang menunjukan kasus pelanggran
kebebasan beragama sangat tinggi. Tercatat 135 pelanggran kebebasan beragama sepanjang
tahun 2007 menurut
SETARA Institut.16 Sementara tahun 2010 terjadi 216 pelanggran
kebebasan beragama,17 dan ditahun 2011 baru sampai pertengah tahun sudah tercatat 99
14
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta :Prenada Media, 2005), v.
Ibid.,11.
16
Siti Musdah Mulia, Merayakan Kebebasan Beragama, 352.
17
Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme & Dialog Keadilan, 26.
15
67
kasus pelanggran kebebasan beragama.18 Tidaklah heran apabila komite Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2012 mendesak Indonesia untuk
menghapuskan diskriminasi berdasarkan agama.19 Melihat kenyataan ini menimbulkan
pertanyaan, apakah jaminan kebebasan beragama yang terdapat dalam konstitusi belum dapat
sepenuhnya menjamin kebebasan beragama? Dan apakah kebebasan beragama yang
dimaksud UUD 1945 pasal 29 ayat (2) sesuai atau tidak dengan kebebasan beragama yang
dimaksud dalam deklarasi HAM?
Pada prinsipnya UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) merupakan bagian dari pengakuan
negara atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dihormati dan dijamin pelaksanaannya.
Jaminan yang diberikan negara terhadap Pasal 29 merupakan bentuk penegasan dari
pemerintah terhadap kebebasan beragama dalam memeluk agama dan menjalankan ibadah
menurut kepercayaan masing-masing warga negara.20 Menurut pengertian ini
negara
berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya terhadap pelanggran kebebasan
beragama. Prinsip ini sesuai dengan komentar Umum Deklarasi Hak Asasi Manusia
(DUHAM) menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya kewajiban negara. Bahkan
negara berkewajiban mengambil segala langkah dan upaya untuk memerangi diskriminasi
berbasis agama.
Pemerintah menurut Pasal 29 ayat (2) secara eksplisit hanya diberikan tugas untuk
menjamin kebebasan beragama. Namun kata “menjamin” menurut kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “menanggung dan memenuhi.” Pengertian ini dapat
dikatakan sama dengan kewajiban pemerintah menurut Deklarasi HAM bahwa dalam
18
Aries setiawan&SyahrulAnsyari,Pelanggaran Kebebasan Beragama
Tinggi.http://life.viva.co.id/news/read/275815-2011--pelanggaran-kebebasan-beragama-tinggi, diakses 12
June 2012.
19
http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2012/11/14/brk,20121114-441745,uk.html, diakses
5 January 2013.
20
Moh. Mahfud MD, Kebebasan Beragam Dalam Perspektif UUD, 11.
68
menjalankan kewajibannya sebagai representasi negara mengemban tiga tugas. Pertama,
pemerintah harus menghormati, kedua melindungi dan ketiga, pemerintah memenuhi hak
asasi manusia tersebut. Menurut penulis atas dasar kesesuaian prinsip tersebut pemerintah
dengan mudah meratifikasi ketentuan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dalam Pasal 71 yang berbunyi “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab
menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
Undang - undang ini, peraturan perundang- undangan lain, dan hukum internasional tentang
hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia.”21
Kebebasan beragama setiap individu untuk memeluk agamanya dan beribadat
menurut agamanya dijamin secara utuh dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Tidak ada
pembedaan jaminan kebebasan antara keduanya. Dengan kata lain sifat jaminan kebebasan
yang diberikan pada kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama sama. Hal ini
berbeda dengan jaminan kebebasan beragama menurut deklarasi HAM. Menurut perspektif
HAM kebebasan memeluk agama merupakan bagian dari kebebasan internal (forum
internum) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat nasional sekalipun. Sedangkan
kebebasan beribadat menurut agamanya merupakan bagian dari kebebasan eksternal (forum
eksternum) dalam hal ini pemerintah diberikan kewenangan untuk membatasi kebebasan
tersebut. Jaminan kebebasan beragama untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut
agamanya dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) menurut Soepomo tidak boleh dibatasi. Karena
tidak ada perbedaan jaminan antara memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, maka
hal ini berlaku sama. Berdasarkan keterangan di atas penulis berpendapat pembatasan
kebebasan beragama baik itu memeluk agama ataupun beribadat menurut agama merupakan
pelanggaran kebebasan.
21
Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme, 71.
69
Walaupun pembatasan dapat dilakukan pemerintah terhadap kebebasan eksternal
(forum eksternum), namun syarat ketentuan pembatasan tetap menjamin kebebasan
beragama. Berdasarkan komentar umum Komite HAM PBB nomor 22 terhadap Pasal 18,
Pemerintah hanya boleh melakukan pembatasan dengan alasan untuk menjaga ketertiban
umum (public order), kesehatan dan moral masyarakat (public health and morals) dan
kebebasan
fundamental
lainnya.
Ketentuan
selanjutnya
adalah
pembatasan
tidak
diperbolehkan apabila peraturan tersebut mengintervensi kebebasan memanisfestasikan
agama atau keyakinan seseorang.22 Dan pembatasan terhadap manisfestasi agama seseorang
hanya diperbolehkan jika pembatasan tersebut tidak diskriminatif.
Rumusan Pasal 29 ayat (2) dengan rumusan Pasal 18 deklarasi HAM secara prinsip
sama. Siti Musdah Mulia juga menyatakan bahwa jaminan kebebasan beragama dalam Pasal
29 senafas dengan Pasal 18 deklarasi HAM. Menurut penulis hal yang membedakan adalah
Pasal 18 DUHAM memiliki operasional hukum untuk melaksanakan jaminan kebebasan
tersebut, sehingga memberikan kejelasan kebebasan apa yang dijamin secara penuh dan
kebebasan apa yang dapat dibatasi serta bagaimana membatasinya. Dengan adanya kejelasan
seperti ini, pembatasan tidak menjadi persoalan dalam jaminan kebebasan beragama.
Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dalam Deklarasi Penghapusan intoleransi dan
diskriminasi berdasarkan agama dengan jelas melarang segala tindakan intoleransi dan
diskriminasi berdasarkan agama dan negara diberi tugas untuk mencegah serta memberikan
perlindungan bagi setiap orang yang mendapat perlakuan intoleransi dan diskriminasi
berdasarkan agama. Ketentuan ini secara eksplisit tidak ada diatur dalam Pasal 29 ayat (2).
Namun, para pendiri bangsa dalam perdebatannya menegaskan bahwa pokok pikiran UUD
yang disusun menerima aliran pengertian negara persatuan yang melindungi dan meliputi
segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham
22
Manfred Nowak & Tanja Vospernik, Kebebasan beragama atau Bekeyakinan Seberapa Jauh, 210.
70
perseorangan. Negara berdaarkan pikiran ini adalah negara “persatuan” meliputi segenap
bangsa Indonesia seluruhnya tanpa ada perbedaan berdasarkan etnis, suku, golongan dan
agama. Pokok pikiran tersebut semakin dikuatkan dengan bersepaktanya para pendiri bangsa
untuk menghapuskan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Dengan dihapusnya 7 kata
dalam sila pertama pancasila mengakibatkan hilangnya keistimewaan Islam. Hilangnya
keistimewaan Islam sebagai agama mayoritas menurut penulis adalah penegasan para pendiri
bangsa seluruh warga negara sama, setara kedudukannya dan derajatnya.
Dihapusnya ketujuh kata dalam sila pertama Pancasila (dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) menurut Yudi Latif adalah penolakan
ideologi Islam sebagai ideologi negara. Dengan demikian, negara kembali kepada gagasan
negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Menurut pemahaman
ini hubungan negara dan agama menjadi netral. Kenetralan negara atas agama secara tegas
ditekankan dalam deklarasi HAM tentang agama dan tentang penghapusan intoleransi dan
diskriminasi. Dalam menjalankan kewenangannya negara berkewajiban untuk tetap netral
dan tidak memihak23
IV.4. Kebebasan Beragama Menurut Perspektif PBM Ditinjau Dalam Kebebasan
Beragama Menurut UUD 1945 Pasal 29 ayat (2)
Peraturan Bersama Menteri bertujuan untuk mengatur kehidupan beragama. Konteks
kehidupan beragama di Indonesia yang majemuk membutuhkan pengaturan kehidupan
beragama. Hanya saja, dalam membuataturan hukum harus konsisten dengan amanat
Pancasila dan UUD 1945. Hukum tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasi
kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama.24 Oleh sebab itu,
pengaturan kehidupan beragama bertujuan untuk melindungi dan menjamin keamanan umat
23
Ibid., 357.
Ibid., 8.
24
71
beragama dari tindakan intimidasi dan diskriminasi jika warganya akan melaksanakan ajaran
agama. Tujuan di atas merupakan bagian dari prinsip kebebasan beragama.
Kebebasan Beragama yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2)
sebagaimana telah diuraikan dalm Bab II menjadi perspektif untuk melihat apakah peraturan
Bersama Menteri menjamin kebebasan beragama dan tidak melanggar prinsip kebebasan
beragama. Untuk menguji apakah Peraturan Bersama Menteri tidak melanggar prinsip
kebebasan beragama dan bersifat diskriminatif atau tidak , ada dua hal pokok dalam
Peraturan Bersama Menteri yang akan dikaji menurut perspektif UUD 1945 Pasal 29 ayat (2).
Pertama, maksud dan tujuan pembentukan Peraturan Bersama Menteri. Kedua, dampak yang
ditimbulkan akibat Peraturan Bersama Menteri terhadap pendirian rumah ibadah.
Pertama, maksud dan tujuan peraturan Bersama Menteri dibentuk untuk mengontrol
dan mengatur pendirian rumah ibadah. Pengontrolan dan pengaturan pendirian rumah ibadah
sama dengan bentuk pembatasan pendirian rumah ibadah. Pembatasan pendirian rumah
ibadah secara tidak langsung merupakan pembatasan umat beragama untuk beribadah. Sebab
untuk beribadah umat beragama memerlukan rumah ibadah. Dengan demikian beribadah
tidak dapat dipisahkan dari rumah ibadah. Oleh sebab itu, pembatasan pendirian rumah
ibadah merupakan upaya penghambatan pemeluk agama untuk dapat beribadah menurut
agama atau kepercayaannya.
Dalam kaitannya tentang jaminan kebebasan beragama, UUD 1945 Pasal 29 ayat (2)
dengan tegas memberikan jaminan kebebasan beragama bagi setiap warga negara untuk
memeluk agama yang diyakininya dan beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Ada
dua kebebasan beragama yang dijamin dalam pasal 29 ayat (2). Pertama, jaminan kebebasan
untuk memilih dan/atau memeluk agama atau kepercayaannya. Kedua, jaminan kebebasan
untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya.
72
Berdasarkan uraian di atas bahwa beribadah tidak dapat dipisahkan dari rumah ibadah,
maka pendirian rumah ibadah bagian dari kebebasan beribadah. Apabila negara menjamin
kebebasan warga negara untuk beribadah menurut agama atau kepercayaannya, maka negara
juga harus menjamin kebebasan warga negara untuk membangun rumah ibadahnya. Menurut
hemat penulis pembatasan pendirian rumah ibadah mengakibatkan terhambatnya pemeluk
agama untuk beribadah. Selain menghambat pemeluk agama untuk beribadah, pembatasan
pendirian rumah ibadah adalah upaya menghalang-halangi pemeluk agama untuk beribadah
menurut agamanya. Dengan terhambat dan terhalang-halanginya umat beragama untuk
beribadah, maka pada saat itu umat beragama kehilangan kebebasan beragamanya dalam
beribadah. Hilangnya kebebasan umat beragama untuk beribadah sama dengan hilangnya
jaminan kebebasan warga negara untuk beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Jadi
pembatasan pendirian rumah ibadah merupakan pelanggran terhadap jaminan kebebasan
beragama.
Hilangnya jaminan kebebasan warga negara untuk beribadah menurut agama atau
kepercayaannya menurut penulis merupakan pengingkaran terhadap semangat para pendiri
bangsa pada saat merumuskan UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2). Menurut Moh. Yamin
rumusan Undang-undang ini merupakan jaminan hak rakyat sebagai manusia merdeka.
Pernyataanya Yamin ditegaskan pula oleh Soepomo sebagai panitia perancang UUD 1945
dengan menyatakan bahwa negara berdasarkan pada ke-Tuhanan dan dasar kemanusiaan, atas
dasar ini negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun
dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Pengakuan dasar
kemanusiaan yang kemudian dijamin kemerdekaannya oleh para pendiri bangsa tidak hanya
pada jaminan untuk memeluk agamanya, tetapi juga jaminan untuk beribadat menurut
agamanya. Jadi dengan hilangannya jaminan kebebasan untuk beribadah menurut agamanya,
maka hilang pula pengakuan dasar kemanusiaan warga negara.
73
Tafsiran Moh Mahfud MD terhadap pasal 29 tidak jauh berbeda dengan semangat
para pendiri bangsa dalam merumuskan pasal ini. MenurutMoh. Mahfud MD pasal 29 ayat
(2) merupakan pengakuan agama sebagai hak asasi manusia. Pasal itu juga menegaskan soal
tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama dalam memeluk
agama dan menjalankan ibadah menurut kepercayaan masing-masing warga negara.25
Berdasarkan uraian di atas negara tidak berhenti pada pengakuan agama sebagai hak asasi
manusia. Konsekuensi dari itu, negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan
kepada warga negara apabila kebebasan beragama tersebut dirampas/hilang berupa
pembatasan atau penghalang-halangan warga negara dalam memeluk agama atau beribadah
menurut agama atau kepercayaanya.
Berdasarkanpemahaman di atas penulis berpendapat ketidak-mampuannegara
memberikan perlindungan bagi warga negara yang hak kebebasan beragamanya dirampas
oleh kelompok intoleran adalah kegagalan negara melaksanakan amanat konstitusi yang juga
merupakan
amanat
para
pendiri
bangsa.
Namun,
apabila
justru
yang
merampas/menghilangkan jaminan kebebasan beragama dari warga negara adalah
pemerintah, maka pemerintah telah mengkhianati konstitusi negara ini dan sekaligus para
pendiri bangsa. Jadi pembatasan pendirian rumah ibadah yang dilakukan pemerintah melalui
Peraturan Bersama Menteri merupakan pengkhianatan pemerintah terhadap konstitusi negara
dan para pendiri bangsa.
Kedua,untuk kajiandampak-dampak pengaturan pendirian rumah ibadah dalam PBM
terhadap jaminan kebebasan beragama menurut perspektif UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) akan
menjadikan ketentuan keperluaan nyata menjadi pokok pembahasaan. Menurut ketentuan
dalam Peraturan Bersama Menteri pendirian rumah ibadah berdasarkan pada keperluan nyata
dan sungguh-sungguh. Keperluan nyata disini adalah rumah ibadah yang hendak dibangun
25
Ibid.,9.
74
digunakan minimal oleh 90 orang dan mendapat dukungan masyarakat sekitar minimal 60
orang. Menurut Weinata Sairin ketentuan minimal 90 orang pengguna rumah ibadah
menunjukan Peraturan Bersama ini lebih mementingkan kuantitas/jumlah pengguna rumah
ibadah, dan ini jelas lebih menguntungkan kelompok mayoritas agama di mana pun berada di
seluruh wilayah Indonesia.
Tidak jauh berbeda dengan uraian di atas, Setara Institut juga menilai ketentuan
minimal 90 orang pengguna/umat untuk mendirikan rumah ibadah merupakan produk hukum
untuk membatasi kelompok lain dalam hal ini kelompok minoritas. Sebab pengaturan ini
tidak menjadi masalah bagi pemeluk agama mayoritas sedangkan merugikan bagi pemeluk
agama minoritas. Dengan memperhatikan keterangan di atas menurut penulis ketentuan ini
telah merampas jaminan kebebasan beragama pemeluk agama minoritas. Tidak hanya itu,
ketentuan ini menciptakan ketidak setaraan warga negara dalam beragama atau berkeyakinan.
Tidak hanya ketentuan pengguna rumah ibadah 90 orang yang menjadi kesulitan
agama minoritas. Ketentuan pendirian rumah ibadah yang harus mendapat dukungan
masyarakat sekitar minimal 60 orang juga sulit dipenuhi oleh agama minoritas. Apalagi
menurut hasil penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS)
menunjukkan mayoritas penduduk negeri ini masih belum dapat menerima adanya rumah
ibadah pemeluk agama lain berdiri di daerahnya. Sebanyak 68.2% masyarakat tidak suka ada
rumah ibadah agama lain di lingkungannya dan hanya 22.1% masyarakat yang tidak
keberatan. Berdasarkan fakta di atas, maka ketentuan ini dapat digunakan kelompok intoleran
dari agama mayoritas untuk membenarkan tindakannya dengan tidak memberikan ijin
pendirian rumah ibadah.Dalam situasi ini kelompok intoleran telah merampas jaminan
kebebasan beragama dari pemeluk agama minoritas.
75
Urian di atas mendeskripsikan pengaturan pendirian rumah ibadah yang berdasarkan
keperluaan nyata dan sungguh-sungguh yaitu pengguna rumah ibadah minimal 90 orang dan
mendapat dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang merupakan pengaturan yang
memberikan keistimewaan bagi agama mayoritas. Keistimewaan tersebut digunakan untuk
merampas kebebasan beragama pemeluk agama minoritas. Sedangkan jaminan kebebasan
beragam menurut UUD 1945 pasal 29 ayat (2) menurut penulis tidak memberikan ruang
kepada siapa pun melakukan pembatasan kebebasan beragama apalagi sampai pada tindakan
perampasan kebebasan beragama.
Hal ini sesuai dengan tanggapan Soepomo sebagai panitia perancang UUD 1945 pada
saat peserta rapat memperdebatkan jaminan kebebasan beragama dalam pasal 29. Soepomo
dengan tegas memberikan penjelasan bahwa Pasal 29 ayat 2 merupakan penegasan bahwa
negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut
agamanya. Selanjutnya Soepomo menegaskan pasal ini tidak memberikan peluang terhadap
pembasatan kebebasan beragama.Walaupun pasal ini awalnya hasil kompromis, namun
kompromi sekali-kali bukan bermaksud untuk membatasi kemerdekaan penduduk untuk
beragama. Jadi pengaturan kebebasan beragama yang bersifat pembasatan berdampak pada
terampasanya jaminan kebebasan beragama warga negara tidak sesuai dengan semangat
UUD 1945 pasal 29 ayat (2).
Jaminan kebebasan untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya atau
kepercayaannya berlaku untuk setiap warga negara. Hal ini merupakan dasar dan cita-cita
bersama pendiri bangsa pada saat merancang UUD 1945. Menurut Soepomo dasar-dasar
pokok pikiran dan cita-cita itu adalah menerima aliran pengertian negara persatuan yang
melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham
golongan dan segala paham perseorangan. Negara menurut paham
“persatuan” meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya.
76
ini adalah negara
Menurut penulis berdasarkan uraian di atas negara menjadikan dan sekaligus
menjamin setiap warga negara dengan latar belakang suku, agama dan golongnnya
mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama.Dalam perspektif demikian, maka
pengaturan pengguna rumah minimal 90 orang yang hanya mengakibatkan sulitnya pemeluk
agama minoritas mendirikan rumah ibadah bertentangan dengan semangat pokok-pokok
pikiran para pendiri bangsa ini. Sebab, walaupun pengaturan ini berlaku untuk semua warga
negara, namun sifat pengaturan ini cenderung hanya untuk mempersulit atau membatasi
kebebasan
beragama dari agama minoritas. Dapatlah dikatakan pengaturan ini bersifat
diskriminatif bagi pemeluk agama minoritas. Dan hal ini tidak sesuai dengan pokok-pokok
pikiran dan cita-cita para pendiri bangasa.
Setelah syarat keperluan nyata di atas terpenuhi ijin mendirikan rumah ibadah belum
dapat dikeluarkan apabila belum mendapat rekomendasi dari FKUB setempat dalam tingkat
kabupaten/ kota atau provinsi. Keanggotaan FKUB berdasarkan representatif jumlah
perbandingan pemeluk agama setempat. Tentu saja perwakilan agama mayoritas akan lebih
banyak dari perwakilan agama minoritas. Dalam situasi seperti ini tidaklah sulit bagi agama
mayoritas untuk mendapatkan rekomendasi, namun menyulitkan bagi agama minoritas. Salah
satu hasil inventalisir permasalahan pemberdayaan FKUB yang dilakukan Prof. Dr. HM.
Atho. Mudzharmenemukan justru FKUB yang mempersulit ijin pendirian rumah ibadah.
Dari urian di atas penulis berpendapat bahwa ketentuan rekomendasi masyarakat
sekitar minimal 60 orang dan rekomendasi FKUB pada prinsip sama yaitu pemberian hak
istimewa bagi agama mayoritas. Hak istimewa tersebut ialah agama mayoritas diberikan
kewenangan untuk menentukan apakah agama minoritas bisa beribadah di rumah ibadahnya
atau tidak. Pemberian hak istimewa bagi agama mayoritas merupakan tindakan diskriminatif
bagi agama minoritas. Dan hal ini berbenturan dengan semangat para pendiri bangsa saat
merumusakan dasar negara dan UUUD 1945. Sebab sepakatnya para pendiri bangsa untuk
77
menghapuskan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”, merupakan kesepakatan para pendiri bangsa untuk menghilangkan
keistimewaan satu kelompok atau golongan yang dalam hal ini adalah agama Islam.
Pemberian hak istimewa diberikan karena agama Islam adalah agama mayoritas.
Kesepakatan menghilangkan keistimewaan Islam berarti kesepakatan untuk
menjadikan semua warga negara sama, punya hak dan kewajiban yang sama, tidak ada
kelompok, golongan atau agama yang lebih tinggi dan tidak ada kelompok, golongan atau
agama yang lebih rendah. Penghapusan ke-tujuh kata tersebut bukan hanya menghilangkan
keistimewan Islam, namun penegasan para pendiri bangsa bahwa setiap warga negara bebas
memeluk agamanya dan beribadat sesuai dengan agamanya. Hal ini sekaligus penegasan para
pendiri bangsa bahwa tidak boleh ada pembatasan bagi setiap warga negara untuk
menjalankan ajaran agamanya dan beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Dengan
prinsip seperti ini, maka tidak boleh ada tindakan intimidasi dan diskriminasi dari satu
kelompok pada kelompok lainnya.
Hasil kajian pengaturan kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama Menteri
memperlihatkan bahwa pengaturan ini bersifat membatasi dan mengontrol pendirian rumah
ibadah. Pembatasan dan pengontrolan rumah ibadah mengakibatkan terhambat dan terhalanghalanginya umat untuk beragama menurut agamanya. Dan pada situasi tersebut warga negara
telah kehilangan jaminan kebebasan beribadah menurut agamanya yang telah berikan negara
melalui UUD 1945 pasal 29 ayat (2). Berdasarkan hal ini penulis berpendapat bahwa
pengaturan kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama menteri bertentangan dengan
prinsip jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Dengan demikian
dibuatnya Peraturan Bersama Menteri oleh pemerintah adalah bukti pemerintah tidak
konsisten memberikan jaminan kebebasan beragama bagi warga negaranya.
78
IV.5. Kebebasan Beragama Menurut Peraturan Bersama Menteri Ditinjau Menurut
Perspekitf Kebebasan Beragama Deklarasi HAM
Penutupan dan pengruskan rumah ibadah khususnya gereja di Indonesia dalam kondisi
yang sangat memprihatinkan. Tercatat dalam kurun waktu 2004-2010 sebanyak 2.442 gereja
mengalami ganguan berupa penutupan dan pengruskan.26 Data ini tidaklah mengejutkan
apabila mengacu pada hasil penelitian lembaga studi Center of Strategic and International
Studies (CSIS) menunjukkan toleransi beragama terhadap pembangunan rumah ibadah sangat
rendah. Hasil survey menunjukan sebanyak 68.2% masyakat tidak suka ada rumah ibadah
agama lain dilingkungannya dan hanya 22.1% masyarakat yang tidak keberatan. Hal yang
paling sangat disesalkan adalah pemerintah justru memfasilitasi masyarakat untuk
mengekspresikan sikap intoleran tersebut melalui Peraturan Bersama Menteri tentang
pendirian rumah ibadah.
Pemerintah mengkleim pendirian rumah ibadah merupakan bagian dari ekspresi
keagamaan (manifestasi agama) yang dapat dibatasi. Jaminan kebebasan beragama menurut
perspektif HAM juga memberikan pembatasan terhadap manifestasi agama. Pembatasan
manifestasi agama dalam perspektif HAM tidak boleh mengakibatkan pengurangan
penikmatan jaminan kebebasan beragama. Sedangkan dalam uraian di atas terlihat
pembatasan pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri justru mengakibatkan
pengurangan penikmatan jaminan kebebasan beragama. Melihat kenyataan ini menimbulkan
pertanyaan, apakah pembatasan manifestasi agama (pendirian rumah ibadah) sesuai dengan
prinsip pembatasan manifestasi agama dalam jaminan kebebasan beragama menurut
perspektif HAM.
26
http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/120904152456/limit/0/DaftarGereja-Yang-Dirusak-dan-Ditutup. Diakses 9 February 2013.
79
Berdasarkan urian dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa maksud pemerintah
melakukan pengaturan pendirian rumah ibadah dalam PBM untuk menjaga ketertiban umum.
Tujuan ini bersesuain dengan komentar umum pasal 18 paragraf 8 yang menyatakan
pemabatasan terhadap kebebasan eksternal harus didasarkan pada alasan untuk menjaga
ketertiban umum. Ketertiban publik yang dimaksud menurut perspektif HAM adalah
pencegahan kekacauan publik.27 Berdasarkan pengertian ini penulis berpendapat bahwa
pemerintah menganggap kehadiran rumah ibadah dapat membawa kekacauan dalam
masyarakat.
Pembatasan manifestasi agama yang bertujuan untuk menjaga keamanan publik tidak
diperbolehkan kalau peraturan tersebut mengintervensi kebebasan untuk memanifestasikan
agama atau keyakinan seseorang. Sedangkan pembatasan dalam PBM telah mengakibatkan
terhambat atau terhalang-halanginya umat untuk beribadah menurut agamanya. Terhambat
dan terhalanginya umat untuk beribadah jelas merupakan tindakan intervensi terhadap
kebebasan beribadah menurut agamanya. Dampak intervensi terhadap kebebasan beribadah
di atas mengakibatkan pengurangan atau bahkan hilangnya jaminan kebebasan beragama.
Sebab dalam Pasal 29 ayat (3) deklarasi HAM pembatasan tidak boleh mengurangi jaminan
kebebasan beragama yang telah diberikan.28
Mengacu pada deklarasi penghapusan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama,
pembatasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya intoleransi dan diskriminasi berdasarkan
agama.29 Komentar Umum komite HAM PBB juga menyatakan pembatasan tidak boleh
dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara-cara diskriminatif.
Secara umum perbuatan tidak toleran dan diskriminasi berbasis agama atau keyakinan
memiliki
pengertian
berikut
“setiap
pembedaan,
27
penyampingan,
Manfred Nowak & Tanja Vospernik, Kebebasan Berkeyakinan , 209.
Ibid., 210.
29
Ibid., 230.
28
80
pelarangan
atau
pengutamaan berbasis agama atau keyakinan yang tujuan atau akibatnya penghilangan atau
pengurangan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar berdasarkan kesetaraan.” Pembatasan yang bersifat intoleransi dan diskriminasi
merupakan pelanggaran kebebasan beragama.30
Secara eksplisit pengaturan pendirian rumah ibadah dalam PBM tidak ada ketentuan
yang bersifat intoleran dan diskriminasi terhadap satu agama tertentu. Namun ketentuan
pendirian rumah ibadah yang harus mendapat dukungan masyarakat sekitar terbukti dijadikan
pembenaran sikap intoleransi berdasarkan agama. Sikap intoleransi berdasarkan agama
tersebut dapat dilihat dari sikap masyarakat yang menolak pendirian rumah ibadah agama lain
dilingkungannya. Bahkan masyarakat intoleran ini tidak segan merampas jaminan kebebasan
beragama pemeluk agama tertentu dengan melakukan penutupan bahkan perusakan rumah
ibadah dengan dalih tindakan mereka didasarkan peraturan yang ada dalam PBM. Jadi
walaupun secara jelas tidak ada ketentuan yng bersifat intoleransi dan diskriminasi dalam
PBM, namun tidak dapat dipungkiri dalam penerapannya PBM telah memicu sekaligus
memfasilitasi sikap intoleransi dan diskriminasi dalam masyarakat.
Menurut Pasal 18 ayat (3) Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
dan Pasal 9 ayat (2) Konvensi Eropa bagi Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan
Fundamental Manusia, pembatasan terhadap kebebasan untuk memanifestasikan agama atau
keyakinan hanya dibenarkan apabila ditentukan oleh Undang-undang.31 Namun pemerintah
melakukan pembatasan terhadap manifestasi agama dengan Peraturan Bersama Menteri.
Peraturan Bersama Menteri menurut UU No. 12 Tahun 2011tentang Peraturan Perundangundangan Republik Indonesiamerupakan bagian dari perundang-undangan. Timbul
30
Ibid., 212.
Kebebasan beragama, 206.
31
81
pertanyaan dari sini, mengapa pemerintah melakukan pembatasan terhadap manifestasi
agama bukan dengan Undang-undang melainkan Peraturan Bersama Menteri?
Pembentukan Peraturan Bersama Menteri belum memiliki peraturan yang mengatur
bagimana proses, prosedur dan tata cara pembentukannya. Peraturan Bersama Menteri
dibentuk hanya berdasarkan pada kebiasaan. Menurut kebiasaannya, untuk menyususn
Peraturan Bersama Menteri dibentuk tim antar departemen kementerian yang bekerjasama
untuk merumuskan. Dan sesudahnya masing-masing menteri bertanda tangan.32 Dengan
memperhatikan seluruh proses di atas, untuk membuat Peraturan Bersama Menteri
mekanismenya tidaklah rumit karena tanpa harus melibatkan DPR. Penulis menduga
kemudahan untuk membentuk Peraturan Bersama Menteri inilah yang menjadi pertimbangan
mengapa pembatasan manifestasi agama dalam hal ini pendirian rumah ibadah dilakukan
dengan Peraturan Bersama Menteri.Namun yang harus ditegaskan adalah penggunaan PBM
untuk membatasi menifestasi agama telah melanggar ketentuan yang diatur dalam deklarasi
HAM tentang jaminan kebebasan beragama. Peraturan Bersama Menteri telah mengatur
sesuatu hal diluar kewenangnnya.
Menurut perspektif HAM dalam melaksanakan tugasnya pemerintah tidak boleh
mencampuri atau mengintervensi kebebasan beragama. Namun pemerintah diberikan
wewenang untuk membatasi kebebasan memanifestasikan agama. Peraturan Bersama
Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 adalah bentuk campur tangan pemerintah terhadap
kebebasan beragama. Peraturan Bersama Menteri ini mengatur mekanisme pendirian rumah
ibadah. Sedangkan beribadah tidak dapat dipisahkan dari rumah ibadah. Sedangkan
pengaturan dalam PBM menyebabkan terampasnya jaminan kebebasan pemeluk agama untuk
beribadat menurut agamanya.
32
Ibid., 91-92.
82
Apabila memperhatikan pengaturan dalam PBM tidak ada pelarangan beribadah
terhadap satu kelompok agama tertentu. Pengaturan dalam PBM berlaku untuk semua agama
tanpa ada perbedaan. Dalam hal ini PBM jelas tidak melanggar prinsip kebebasan beragama.
Karena Indonesia telah meratifikasi kebebasan beragama menurut HAM, maka pembatasan
terhadap manifestasi agama tidaklah bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa banyak rumah ibadah yang tidak
diperbolehkan dibangun? Dan mengapa banyak rumah ibadah yang ditutup bahkan
dirusakan? Dan seluruh tindakan tersebut didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri.
Menurut penulis justru disitulah keunggulan Peraturan Bersama Menteri ini semua
terlihat normal dan tidak ada yang salah. Namun pada waktu ketentuan ini diterapkan baru
dampaknya akan terlihat. Akan ada pelarangan pendirian rumah ibadah, penutupan bahkan
pengrusakan. Semua tindakan tersebut didasari Peraturan Bersama Menteri. Walaupun
seluruh tindakan tersebut didasari Peraturan yang dibuat pemerintah, namun yang melakukan
perampasan jaminan kebebasan beragama bukan pemerintah melainkan masyarakat.
Dalam situasi seperti di atas tidak tahu siapa yang harus bertanggungjawab terhadap
tindakan perampasan jaminan kebebasan beragama tersebut. Kelompok masyarakat intoleran
tidak dapat dipersalahkan karena tindakannya didasarkan pada sebuah peraturan yang di buat
pemerintah. Pemerintah tidak dapat sepenuhnya dikatakan gagal memberikan jaminan
kebebasan beragama, sebab pemilik rumuh ibadah juga salah melanggar ketentuan yang
sudah di atur. Dengan memperhatikan seluruh urian tersebut penulis berpendapat, ketidak
mampuan pemerintah untuk bersikap netral terhadap desakan masyoritas kemudian
mengambil jalan keluar dengan membuat PBM. PBM memfasilitasi kelompok intoleran yang
merasa punya hak lebih mengekspresikan tindakannya. Mekaniksme PBM yang ada ditangan
masyarakat menjadikan pemerintah tidak dapat disalahkan.
83
Download