BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Konsep dan Batasan Konsep 1. Upaya a. Pengertian Upaya Menurut Tim Penyusun Departemen Pendidikan Nasional (2008:1787), “upaya adalah usaha, akal atau ikhtiar untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dan sebagainya”. Selanjutnya menurut Tim Penyusun Departemen Pendidikan Nasional (2008: 1787), “mengupayakan adalah mengusahakan, mengikhtiarkan, melakukan sesuatu untuk mencari akal (jalan keluar) dan sebagainya”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upaya adalah suatu usaha yang dilakukan dengan maksud tertentu agar semua permasalahan yang ada dapat terselesaikan dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Upaya di sini dimaksudkan sebagai usaha dari PDI Perjuangan untuk memenuhi kuota 30% calon legislatif perempuan melalui berbagai kegiatan-kegiatan khususnya dalam merekrut calon legislatif perempuan pada pemilu legislatif tahun 2014 di PDI Perjuangan Kota Surakarta. 2. Partai Politik a. Pengertian Partai Politik Salah satu sarana untuk ikut berpartispasi dalam politik adalah dengan dibuatnya partai politik. Secara etimologis kata partai berasal dari bahasa Latin yaitu partire yag berarti membagi atau memilah atau juga bisa disejajarkan dengan kata benda “part” dalam bahsa Inggris yang berarti bagian. Apabila “part” dikembangkan menjadi kata kerja berubah jadi “to participate”, yang berarti turut ambil bagian. dari penelusuran etimologis tersebut, partai memiliki makna “memilah” dan “turut ambil bagian “. Dengan pengertian tersebut, partai bisa dipahami sebagai “bagian dari masyarakat yang turut ambil bagian dalam kegiatan bertujuan.” (Damsar, 2012:245). Sedangkan politik sendiri dipahami sebagai : 14 15 “kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict and conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decisionmaking), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) ( Damsar, 2012: 11-12).” Jika digabungkan , maka partai politik dapat diartikan sebagai bagian dari masyarakat yang turut ambil bagian dalam kegiatan yang bertujuan kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict and conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decisionmaking), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Definisi partai politik menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang No.2 Tahun 1999 adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehedak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentigan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Meriam Budiardjo dalam Damsar (2012: 246) mengartikan partai politik sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama dan yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan mereka. Sedangkan menurut Neuman dalam Damsar (2007:221) mengatakan bahwa partai politik adalah organisasi aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah sebuah kelompok yang terorganisir yang ditandai dengan adanya visi, misi, tujuan, platform, dan program dan agenda serta mengikuti pemilihan umum untuk meraih kekuasaan atau jabatan legislatif dan eksekutif. 16 b. Fungsi Partai Politik Setiap lembaga pastilah mempunyai fungsinya masing-masing termasuk juga partai politik. Akan tetapi, fungsi partai poitik berbeda satu dengan yang lainnya khususnya dalam hal pengejawantahannya jika sudah dikaitkan dengan sistem politik yang dianut oleh suatu negara. Berdasarkan pengamatan berbagai ahli, partai politik memiliki fungsi sebagai berikut (Damsar, 2012:247-257): 1) Sebagai Wahana Representasi Politik Partai politik dibentuk dengan bertujuan untuk mempresentasikan kepentingan politik kepada lembaga perwakilan rakyat (legislatif) dan lembaga pemegang kekuasaan pemerintah (eksekutif) seperti presiden, gubernur, bupati, atau wali kota. Kepentingan politik setiap partai berbeda dan akan mempresentasikan kepentingan yang berbeda pula seperti kepentingan agama, ideologi, kelompok, daerah, dan suku bangsa. 2) Sebagai Sarana Komunikasi Politik Komunikasi politik diartikan sebagai proses pengalihan pesan (berupa data, informasi, atau citra), yang mengandung suatu maksud atau arti, dari pengirim yang melibatkan proses pemaknaan terhadap kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict and conflict resolution), kebijakan pengambilan keputusan (decisionmaking), dan (policy), pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Di sini, partai politik mengomunikasikan politik secara berkelanjutan. Jika tidak, maka akan menyebabkan suatu keadaan hampa (vacuum) informasi politik. Sehingga, setiap partai selalu memanfaatkan berbagai momen agar tidak terjadi kehampaan informasi politik pada masyarakat. Komunikasi politik dilakukan secara holistik berarti politik yang dikomunikasikan tidak sepotong-sepotong, parsial, atau sektoral. Dalam konteks itu, komunikator politik yang andal sehingga dapat 17 menerjemahkan apa yang diinginkan atau dimaksud oleh suatu partai secara utuh. Komunikasi politik memang dikonstruksi secara parsial karena komunikasi politik holistik memerlukan konsistensi dan harmonisasi yang tinggi antara visi, misi, tujuan, dan platform partai dengan program dan kegiatan partai serta perilaku individual anggota partai. Selain hal tersebut, biayanya cukup tinggi. Adapun komunikasi parsial yang dibangun jika efektif dilakukan akan memberi dampak yang tidak sedikit, terutama berhubungan dengan pencitraan terhadap partai. Biaya yang dikeluarkan untuk itu relatif tidak besar dibandingkan dengan komunikasi holistik. Oleh sebab itu, bisa dipahami kenapa partai membangun citra melalui ketokohan individual, sehingga visi, misi, tujuan, dan platform partai tidak perlu diharmonisasikan dengan program dan kegiatan partai serta tindakan anggota partai yang sedang menempati posisi di legislatif dan eksekutif. 3) Sebagai Sarana Sosialisasi Politik Sosialisasi politik diartikan sebagai suatu transmisi pengetahuan, sikap, niali, norma, dan perilaku esensial dalam kaitannya dengan politik agar mampu berpartisipasi efektif dalam kehidupan politik. Kebanyakan partai politik di Indonesia belum bisa menjalankan fungsi ini dengan baik. Kebanyakan partai berbasis pada massa yang mengambang, di mana massa diperlukan hanya pada saat pemilihan legislatif saja. Setelah itu, massa dibiarkan memahami politik sendiri. Sosialisasi politik merupaka kegiatan yang berbiaya tinggi, karena untuk melaksanakan pengumpulan massa, menarik massa untuk berkumpul, dan membujuk massa untuk betah menerima nilai dan pandangan partai harus mengeluarkan ang yang tidak sedikit. Alhasil, masyarakat menganggap partai politik itu sama saja dengan perusahaan yaitu sama-sama memiliki tujuan “membeli dengan harga sangat murah, tapi menjual dengan harga yang sangat tinggi”. Oleh karena itulah partai dipandang sebagai perusahaan pembeli “suara 18 rakyat” dengan semurah mungkin dan menjaul “suara partai” melalui anggota dewannya kepada siapa yang membutuhkan seperti para individual yang ingin menduduki jabatan publik. Dengan memahami cara berpikir masyarakat seperti itu, maka bisa dipahami mengapa partai politik tidak melakukan sosialisasi politik. Sebab massa menganggap semua partai sama yang berbeda adalah jumlah uang yang diterima pada saat kampanye atau menjelang hari pemilihan. 4) Sebagai Sarana Partisipasi Politik Partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan turut ambil bagian, ikut serta atau bereperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict and conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decisionmaking), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Sebagai sarana partisipsi politik, partai politik seharusnya menciptakan suatu mekanisme di mana kebijakan dan pengambilan keputusan para anggota legislatif dari partainya yang mengikutsertakan aspirasi, keinginan, dan harapan para konstituen, simpatisan, dan kader partai. Dengan demikian, semua kebijakan dan pengambilan keputusan partai berbasis aspirasi dan suara rakyat. 5) Sebagai Sarana Perekrutan Politik Perekrutan politik merupakan suatu proses melakukan pemilihan, pengangkatan, dan penetapan sehingga seseorang atau kelompok orang untuk jabatan politik dan pemerintahan. Di Indonesia, proses perekrutan politik dilakukan oleh kebanyakan partai hanya pada saat menjelang pemilihan umum. Setelah direkrut pada jabatan politik tertentu, tidak ada jaminan loyalitas terhadap partai yang merekrut. Seseorang bisa saja menjadi “kutu loncat politik” di mana seseorang dapat saja berpindah atau meloncat partai dari satu partai ke partai 19 lainnya. Ini adalah salah satu cermin bagaimana tidak ada etika dalam dunia perpolitikan di Indonesia. 6) Sebagai Sarana Persuasi dan Represi Politik Persuasi politik diartikan sebagai proses mempengaruhi orang lain sehingga melakukan, melaksanakan atau mengubah sesuatu seperti yang diharapkan oleh pemberi pesan (pengirim/sumber). Fungsi persuasi ini dilakukan secara intens ketika musim pemilu tengah berlangsung. Partai politik melakukan kampanye pemilihan umum bertujuan agar penerima pesan (konstituen, simpatisan, anggota) melakukan, melaksanakan atau mengubah sesuatu yang dengan keinginan atau kehendak partai politik. Sedangkan represi politik merupakan suatu proses tekanan terhadap orang lain sehingga melakukan, melaksanakan atau mengubah sesuatu sperti yang diharapkan oleh pelaku pembuat tekanan (partai politik). Pada persuasi politik bisanya digunakan media massa sehingga lebih berkesan positif. 7) Sebagai Sarana Mobilisasi Politik Mobilisasi politik merupakan proses pengarahan massa dalam prosesproses politik. Apabila pengarahan massa tersebut ditujukan untuk melakukan, melaksanakan atau mengubah sesuatu seperti yang diharapkan oleh partai politik, maka seperti ini bisa dimasukkan ke dalam represi politik. Adapun pengerahan massa dilakukan untuk menghadiri kegiatan transmisi pengetahuan, sikap, nilai, norma politik dari suatu partai maka mobilisasi politik dapat dimasukkan dalam kategori partisipasi atau komunikasi politik. 8) Sebagai Sarana Mobilitas Sosial Mobilitas sosial merupakan suatu proses gerakan naik turun individu atau kelompok dalam suatu perjenjangan sosial (hierarki sosial). Keikutsertaan seseorang dalam partai politik dapat menyebabkan terjadinya dua mobilitas sosial sekaligus yaitu naik dan turun. Seseorang yang ikut mnjadi pengurus partai sehingga melalui 20 pemilihan umum dapat menjadi anggota legislatif telah mengalami mobilitas sosial menaik. Namun, jika pada saat itu orang tersebut ikut dalam arus penyalahgunaan uang negara, maka ketika hal tersebut diketahui dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan masuk penjara maka mobilitasnya menurun. 9) Sebagai Kendaraan Politik Kendaraan politik menunjuk pada suatu proses di mana seseorang melakukan suatu perjalanan politik, ingin bersaing untuk mendapatkan jabatan politik tertentu seperti presiden, gubernur, wali kota dan lainlain. Kendaraan tersebut brupa partai politik yang memeiliki representasinya di lembaga legislatif. Di Indonesia, ada dua macam kendaraan politik yang dipakai yaitu kendaraan pribadi dan kendaraan sewa. Kendaraan pribadi merupakan partai politik yang hanya bisa digunakan oleh kader partai itu sendiri. Sedangkan kendaraan sewa adalah partai politik yang bisa digunakan oleh siapapun sebagai penyewa. Semakin tinggi penawaran yang dibuat, maka semakin besar seseorang memperoleh kendaraan tersebut. 10) Sebagai Bunker Politik Banker politik merupakan suatu tempat perlindungan terhadap terpaan atau konsekuensi politik sebagai politisi atau pejabat publik. Banyak politisi yang bermasalah dengan hukum akhirnya menyeberang ke partai agar dapat diselamatkan dari hukuman dan dapat bersembunyi dengan aman. 11) Sebagai Agen Resolusi Konflik Dalam suatu negara pasti memiliki sebuah potensi konflik di mana masyarakat yang memiliki banyak perbedaan-perbedaan saling bertemu dan akan menyebabkan terjadinya benturan atau konflik. Partai sebagai agen resolusi konflik membantu mengatasi atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatif dari konflik tersebut dapat ditekan seminimal mungkin. Partai politik akan menumbuhkan pengertian di antara mereka yang 21 berkonflik serta meyakinkan pendukungnya. Untuk mengendalikan konflik yang semakin besar maka partai politik akan berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan ke dalam musyawarah DPR/DPRD untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan konflik. c. Tipologi Partai Politik Untuk mengetahui bagaimana tipe dan partai politik itu, maka kita dapat mengetahuinya dari sudut tipologi yang telah dibuat. Ada tiga tipologi yang dibedakan berdasarkan pada asas dan orientasi, komposisi dan fungsi, basis sosial dan tujuan (Gatra dan Dzulkiah, 2007:229-230). i. Dari sisi asas dan orientasi a) Partai politik pragmatis adalah suatu partai yang program dan kegiatannya tidak terikat kaku pada suatu ideologi tertentu. b) Partai politik doktriner adalah suatu partai yang memiliki sejumlah program dan kegiatan yang nyata sebagai penjabaran ideologi. c) Partai kepentingan adalah suatu partai yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani, etnis, buruh, dan lain-lain. ii. Dari sisi komposisi dan fungsinya a) Partai massa adalah partai yang mengandalakan kekutan pada keunggulan jumlah anggota dengan cara memobilisasi massa. b) Partai kader adalah partai yang mengandalkan kualitas anggota, kedekatan organisasi, dan disiplin anggota sebagai sumber kekuatan utama. iii. Dari sisi basis soail dan tujuannya a) Partai politik yang beranggotakan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat seperti kelas bawah , menengah, dan atas. b) Partai politik yang anggotanya berasal dari kalangan kelompok kepentingan seperti petani, buruh, dan lain-lain. 22 c) Partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari pemeluk agama tertentu seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Budha. d) Partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari budaya tertentu sperti suku bangsa, bahasa, dan daerah tertentu. 3. Partai Demokrasi Indonesaia Perjuangan (PDIP) a. Sejarah PDI Perjuangan PDI Perjuangan sebagai salah satu bentuk atau wujud nyata dari partai politik mempunyai sejarah yang panjang dalam sitem perpolitikan di Indonesia. PDI Perjuangan merupakan partai politik yang secara langsung memiliki tali kesejarahan dengan partai politik masa orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia itu lahir dari hasil fusi 5 (lima) partai politik, yaitu: 1) Partai Nasional Indonesia (PNI) PNI didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Dengan mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian berkembang pesat dalam waktu singkat. Karena dianggap berbahaya oleh penguasa kolonial, tanggal 29 Desember 1929 semua kantor dan rumah pimpinan PNI digeledah. Bung Karno, Maskun, Supriadinata dan Gatot Mangkupraja ditangkap. 2) Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Parkindo adalah partai yang didirikan karena ada maklumat pada waktu itu, ia baru berdiri tahun 1945 tepatnya pada tanggal 18 November 1945 yang diketuai Ds Probowinoto. Parkindo merupakan penggabungan dari partai-partai Kristen lokal seperti PARKI (Partai Kristen Indonesia) di Sumut, PKN (Partai Kristen Nasional) di Jakarta dan PPM (Partai Politik Masehi) di Pematang Siantar. 3) Partai Katolik Partai Katolik lahir kembali pada tanggal 12 Desember 1945 dengan nama PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia) merupakan kelanjutan dari atau sempalan dari Katolik Jawi, yang dulunya bergabung dengan partai Katolik. 23 4) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) IPKI atau Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia adalah partai yang didirikan terutama oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi dan UUD 1945 sebagai cirinya. 5) Murba didirikan pada tanggal 7 November 1948 setelah Tan Malaka keluar dari penjara. Murba adalah gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka ( Divaro dan Yugha E, 2014:102). Musyawarah nasional adalah bentuk pertemuan besar PDI yang pertama pasca fusi. Setelah mendapat restu Presiden Soeharto tanggal 18 Juni 1973 dan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 19 Juni 1973, DPP PDI melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas). Kongres I PDI berlangsung dari tanggal 12 -13 April 1976. Pelaksanaan Kongres I ini sempat mengalami penundaan akibat adanya konflik internal. Pada Kongres I ini intervensi pemerintah sangat kuat, pemerintah memplot Sanusi Hardjadinata agar terpilih. Dan hasilnya Sanusi Hardjadinata terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP PDI. Susunan DPP hasil Kongres I yang susunan personalianya sudah disempurnakan atas kesepakatan antara Mh Isnaeni dan Sunawar. Kepengurusan tersebut karena adanya konflik diantara pengurus DPP, maka pada tanggal 16 Januari 1978, susunan DPP PDI hasil penyelesaian politik bersama Bakin ( Divaro dan Yugha E, 2014:102-103). Kongres II dilaksanakan pada tahun 1981 di Jakarta, meskipun ada penolakan dari "Kelompok Empat" (Usep, Abdul Madjid, Walandauw dan Zakaria Ra'ib) yang mengajukan keberatan atas penyelenggaraan Kongres II kepada pemerintah. Namun Kongres II PDI tetap berlangsung pada tanggal 13-17 Januari 1981 mengambil tema "Dengan Menggalang Persatuan dan Kesatuan Dalam Rangka Memantapkan Fusi, Meningkatkan Peranan dan Partisipasi PDI Untuk Mensukseskan Pembangunan". Di dalam Kongres II ini campur tangan pemerintah semakin kuat. Meskipun ada keberatan terhadap pelaksanaan Kongres tersebut, Di dalam Kongres 24 II PDI menghasilkan kesepakatan- kesepakatan diantara partai-partai pendukung PDI yang berkonflik. Kongres II PDI akhirnya menyepakati bahwa fusi telah tuntas. Pasca Kongres II PDI konflik internal masih terjadi yaitu perselisihan antara Hardjanto dengan Sunawar. Kelompok Hardjanto mendesak diselenggarakannya Kongres Luar Biasa sedangkan Kubu Sunawar hanya menghendaki Munas. Kubu Sunawar menginginkan Kongres III PDI diselenggarakan setelah pemilu 1987, sementara kubu Hardjanto menginginkan sebelum Pemilu (Divaro dan Yugha E, 2014:103). Akhirnya Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu yaitu pada tanggal 15-18 April 1986 di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta. Kongres III dapat diselenggarakan karena Sunawar Soekawati meninggal dunia. Di dalam Kongres ini semaki menegaskan kuatnya ketergantungan PDI pada Pemerintah. Kongres III PDI gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah. Pada waktu itu yang berperan adalah Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal Benny Moerdani dan Menteri Muda Sekretaris Kabinet Moerdiono. Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya (Divaro dan Yugha E, 2014:103) . Kongres IV PDI di Medan. Kongres IV PDI diselenggarakan tanggal 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel Tiara, Medan, Sumatera Utara dengan peserta sekitar 800 orang. Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon Ketua Umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro, kemudian muncul nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta. Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung Pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon Ketua Umum didukung penuh oleh Megawati Soekarnoputri. Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan. 25 Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI jatim pada tanggal 25-27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI . Setelah gagalnya Kongres IV PDI yang berlangsung di Medan, muncul nama Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh warga PDI untuk tampil menjadi Ketua Umum. Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menjadi tokoh pemersatu PDI. Dukungan tersebut muncul dari DPC berbagai daerah yang datang ke kediamannya pada tanggal 11 September 1993 sebanyak lebih dari 100 orang yang berasal dari 70 DPC. Mereka meminta Megawati tampil menjadi kandidat Ketua Umum DPP PDI melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada tanggal 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya (Divaro dan Yugha E, 2014:100-102). Dukungan terhadap Megawati semakin kuat dan semakin melejit dalam bursa calon Ketua Umum DPP PDI. Muncul kekhawatiran Pemerintah dengan fenomena tersebut. Pemerintah tidak ingin Megawati tampil dan untuk menghadang laju Megawati ke dalam bursa pencalonan Ketua Umum, dalam acara Rapimda PDI Sumatera Utara tanggal 19 Oktober 1993 yang diadakan dalam rangka persiapan KLB muncul larangan mendukung pencalonan Megawati. Kendati penghadangan oleh Pemerintah terhadap Megawati untuk tidak maju sebagai kandidat Ketua Umum sangat kuat, keinginan sebagian besar peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak dapat dihalangi hingga akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto. Untuk menyelesaikan konflik PDI, beberapa hari setelah KLB, Mendagri bertemu Megawati, DPD-DPD dan juga caretaker untuk menyelenggarakan Munas dalam rangka membentuk formatur dan menyusun kepengurusan DPP PDI (Divaro dan Yugha E, 2014:100-102). Akhirnya Musyawarah Nasional (Munas) dilaksanakan tanggal 22-23 Desember 1993 di Jakarta dan secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI. Dalam Munas ini dihasilkan 26 kepengurusan DPP PDI periode 1993-1998. Berakhirnya Munas ternyata tidak mengakhiri konflik internal PDI. Di samping itu kelompok Soerjadi sangat gencar melakukan penggalangan ke daerah-daerah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan menggelar Kongres. Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil dirangkulnya untuk menggelar Kongres (Divaro dan Yugha E, 2014:100-102). Ketua Umum DPP PDI, Megawati Soekarnoputri menolak tegas diselenggarakannya "Kongres", kemudian pada tanggal 5 Juni 1996, empat orang deklaratir fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pers menolak Kongres. kawat berduri setinggi dua meter. Di samping itu di persimpangan jalan dilakukan pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk terhadap orang-orang yang melintas Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati demonstrasi secara besar-besaran pada tanggal 20 Juni 1996 memprotes Kongres rekayasa yang diselenggarakan oleh kelompok Fatimah Achmad, demontrsi itu berakhir bentrok dengan aparat dan saat ini dikenal dengan "Peristiwa Gambir Berdarah" (Divaro dan Yugha E, 2014:100-102). Meskipun masa pendukung Megawati yang menolak keras Kongres Medan, namun pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu tahun 1997. Masa pendukung Megawati mengadakan "Mimbar Demokrasi" dihalaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga pada tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu oleh ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Pasca peristiwa 27 Juli, Megawati beserta jajaran pengurusnya masih tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan dibawah pantauan pemerintah (Divaro dan Yugha E, 2014:100102). Pada Pemilu 1997 Megawati melalui Pesan Hariannya menyatakan bahwa PDI dibawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI. 27 Pemilu 1997 diikuti oleh PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena hasil pemilu merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR (Divaro dan Yugha E, 2014:100-102). Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan Megawati. Pasca Lengsernya Soeharto, dukungan terhadap PDI dibawah kepemimpinan Megawati semakin kuat, sorotan kepada PDI bukan hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati (Divaro dan Yugha E, 2014:103). Kongres V PDI berlangsung di Denpasar, Bali. Kongres ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri oleh para duta besar negara sahabat. Kongres ini disebut dengan "Kongres Rakyat". Di dalam Kongres V PDI, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi. Agar dapat mengikuti Pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal, kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istoran Senayan Jakarta. Dalam perjalananya kemudian, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid yang terpilih didalam Sidang Paripurna MPR sebagai Presiden Republik Indonesia (Divaro dan Yugha E, 2014:103-106). Untuk pertama kalinya setelah berganti nama dari PDI menjadi PDI Perjuangan, pengurus DPP PDI Perjuangan memutuskan melaksanakan Kongres I PDI Perjuangan meskipun masa bakti kepengurusan DPP sebelumnya baru selesai tahun 2003. Salah satu alasan diselenggarakannya kongres ini adalah untuk memantapkan konsolidasi organisasi. Kongres I PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 27 Maret - 1 April 2000 di Hotel Patra Jasa Semarang-Jawa Tengah. Kongres I PDI Perjuangan akhirnya menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara aklamasi tanpa pemilihan 28 karena 241 dari 243 DPC mengusulkan nama Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (Divaro dan Yugha E, 2014:106-108). Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 28 -31 Maret 2005 di Hotel Grand Bali Beach, Denpasar Bali, tempat dimana Kongres V PDI diselenggarakan pada tahun 1998. Kongres ini selesai 2 hari lebih cepat dari yang dijadwalkan yaitu 28 Maret - 2 April 2005. Kongres II PDI Perjuangan akhirnya berakhir pada tanggal 31 Maret 2005 setelah Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum terpilih karena seluruh peserta dalam pemandangan umumnya mengusulkan Megawati menjadi Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2005-2010 (Divaro dan Yugha E, 2014:106-108). b. Identitas PDI Perjuangan 1) Visi PDI Perjuangan Mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Membangun masyarakat Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis, adil, dan makmur. 2) Misi PDI Perjuangan a) Menghimpun dan membangun kekuatan politik rakyat. b) Mempertimbangkan kepentingan rakyat di bidang ekonomi, sosial, dan budaya secara demokratis. c) Berjuang mendapatkan kekuasaan politik secara konstitusional guna mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban duni. (Divaro dan Yugha E, 2014:110-111). 29 3) Lambang PDI Perjuangan Gambar 2.1 Lambang PDI Perjuangan Lambang PDI Perjuangan berupa gambar banteng hitam bermoncong putih dengan latar merah di dalam lingkaran bergaris hitam dan putih. Gambar tersebut mempunyai arti khusus, yaitu: Banteng dengan tanduk yang kekar melambangkan kekuatan rakyat dan selalu memperjuangkan kepentingan rakyat. Lingkaran melambangkan tekad yang bulat dan perjuangan yang terus-menerus tanpa terputus. Selain gambar, warna yang terdapat dalam gambar tersebut juga mempunyai arti khusus, yaitu: Warna dasar merah melambangkan berani mengambil resiko dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran untuk rakyat. Mata merah dengan pandangan tajam melambangkan selalu waspada terhadap ancman dalam berjuang. Moncong putih melambangkan dapat dipercaya dan berkomitmen dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran (Divaro dan Yugha E, 2014:111-112). 30 d. Struktur Kepengurusan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) PDI Perjuangan (2015-2020) Dalam menjalankan tugasnya sebagai partai politik yang mengawal aspirasi masyarakat, PDI Perjuangan mempunyai struktur organisasi yang lengkap. Berikut stuktur organisasi DPP Pusat PDI Perjuangan: 1) Ketua Umum : Megawati Soekarnoputri 2) Ketua Bidang Kehormatan Partai : Komarudin Watubun 3) Ketua Bidang Pemenangan Pemilu : Bambang Dwi Hartono 4) Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi : Idam Samawi 5) Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi : Djarot Syaiful Hidayat 6) Ketua Bidang Politik dan Keamanan : Puan Maharani 7) Ketua Bidang Hukum HAM dan Perundang-undangan : Trimedya Panjaitan 8) Ketua Bidang Perekonomian : Hendrawan Pratikno 9) Ketua Bidang Kehutanan dan Lingkungan : Muhammad Prakosa 10) Ketua Bidang Kemaritiman : Rohmin Dahuri 11) Ketua Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan : Andreas Hugo Pareira 12) Ketua Bidang Sosial dan Penanggulangan Bencana : Ribka Tjiptaning 13) Ketua Bidang Buruh Tani dan Nelaya : Mindo Sianipar 14) Ketua Bidang Kesehatan dan Anak : Sri Rahayu 15) Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan : I Made Urip 16) Ketua Bidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) : Nusirwan Sujono 17) Ketua Bidang Pariwisata : Sarwo Budi Wiranti Sukamdani 18) Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga : Sukur Nababan 19) Ketua Bidang Keagamaan dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa : Hamka Haq 20) Ketua Bidang Ekonomi Kreatif : Prananda Prabowo 31 21) Sekretaris Jenderal : Hasto Kristiyanto 22) Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Internal : Utut Adianto 23) Wakil Sekretaris Jenderal Bidang-Bidang Program Kerakyatan : Erico Sotarduga 24) Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Program Pemerintahan : Ahmad Basarah 25) Bendahara Umum : Olly Dondokambey 26) Wakil Bendum Bidang Internal : Rudiyanto Chen 27) Wakil Bendum Bidang Program : Yuliari Peter Batubara 4. Rekruitmen Politik a. Pengertian Rekruitmen Politik Ketika seorang individu ikut berpartisipasi secara aktif dalam bidang politik maka kemungkinan besar ia akan menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan baik jabatan administrasi maupun publik. Jabatan-jabatan tersebut berada dalam tingkatan yang paling rendah seperti staf perkantoran emerintah sampai pada tingkat yang paling tinggi seperti presiden. Proses politik yang biasanya mengantarkan untuk menuju jabatan-jabatan tersebut dalah rekruitmen politik (Gatara dan Dzulkiah, 2007: 109). Sedangkan menurut Miriam Budiardjo (2004:164) mendefinisikan bahwa: “rekruitmen politik sebagai seleksi kepemimpinan (selection of leadership) , mencari dan mengajak orang-orang yang berbakat untuk t urun aktif dalam kegiatan politik. Dari sini, rekruitmen politik merupakan fungsi dari partai politik yaitu rangkaian perluasan dari partisipasi politik. “ Ramlan Surbakti (1992:188) juga mengemukakan dalam bukunya “Memahami Ilmu Politik” bahwa rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi ini semakin besar posisinya manakala partai politik itu merupakan partai politik tunggal seperti dalam sistem politik totaliter, atau mana kala partai politik 32 ini merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi. Fungsi rekruitmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup sistem politik akan terancam. Proses rekruitmen ini bersifat sangat terbatas. Oleh sebab itu, rekruitmen politik sering dikenal sebagai proses politis daripada proses populis. Hal ini tentunya berbeda dengan sosialisasi politik ataupun partisipasi politik yang cenderung berproses luas dan populis. Ada dua alasan mengapa proses rekruitmen politik menjadi sangat populis, yaitu: i. Proses penentuan siapa orang-orang yang akan menjalankan kekuasaan politik biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang telah menduduki jabtan kekuasaan sebelumnya, meskipun kadang kala proses akhirnya dilakukan melalui pemilu. ii. Proporsi orang-orang untuk direkrut cenderung berasal dari kelompok minoritas alam masyarakat atas keseluruhan penduduk bahkan dari kelas yang sama. Kelompok minoritas ini adalah orang-orang yang aktif pada tingkatan tertinggi dalam partisipasi politik. Dari sinilah, dapat dilihat bahwa rekruitmen politik dikatakan sebagai proses elit atau elitis. Dari semua pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa intinya rekruitmen politik adalah sebuah proses penempatan individu-individu pada suatu jabatan politik atau jabatan administratif melalui berbagai seleksi yang dilakukan oleh pihak partai selaku pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses rekruitmen ini. Proses seleksi bisa dilakukan secara formal seperti pemilihan maupun secara informal yaitu melalui penunjukan. Dari pengertian ini, ada beberapa sifat proses rekruitmen politik , yaitu (Gatara dan Dzulkiah, 2007:116) : 33 i. Top-down. Arinya rekruitmen politik yang berasal dari atas orangorang yang sedang menjabat. Sifat ini misalnya adalah pengangkatan pribadi dan seleksi pengangkatan. ii. Bottou-up. Artinya proses rekruitmen politik berasal dari masyarakat bawah seperti proses mendaftarkan diri dari individu-individu untuk menduduki suatu jabatan. iii. Bersifat campuran. Artinya, proses seleksi tahap pertama dilaksanakan di tingkat atas kemudian proses selanjutnya diserahkan ke masyarakat bawah. Dan begitu pula sebaliknya, proses seleksi pertama dilaksanakan di tingkat bawah, kemudian diserahkan kepada keputusan tingkatan paling atas. b. Bentuk dan Pola Rekruitmen Politik Sistem politik di Indonesia pada umumnya berusaha memisahkan antara jabatan politik dan jabatan birokratis dengan melembagakan satu doktrin netralitas politik bagi para individu administrator. Di Indonesia misalnya pegawai-pegawai sipil direkrut oleh Badan Kepegawaian Naional (BKN) melalui lembaga birokratis yang tersebar di departemendepartemen dan pemerintah daerah. (Gatara dan Dzulkiah, 2007:116). Ada beberapa bentuk-bentuk pola rekruitmen politik, antara lain (Gatara dan Dzulkiah, 2007:117-119) : i. Seleksi pemilihan melalui ujian dan latihan. Pola ini dianggap paling penting bagi perekrutan politik. Pola ini bisa ditujukan bagi partai politik bertipe partake kader, yang menjadikan kaderisasi sebagai prioritas utama dalam programnya guna mencapai tujuan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan. Biasanya pola ini dilaksanakan di semua negara dalam pengadaan jabatan-jabatan birokratis administratif dan pegawai negeri sipil . Latihan dan ujian ini merupakan langkah pengangkatan pegawai kemudian untuk perekrutan ke jenjang tingkatan yang lebih tinggi lazimnya melalui pelatihanpelatihan seperti prajabatan ataupun kursus singkatan kepemimpinan. 34 ii. Penyortiran atau pengundian. Pola ini merupakan pola tertua dalam sistem perekrutan politik. Pola ini dilakukan dalam rangka memperkokoh kedudukan pemimpin politik. iii. Relasi atau giliran. Pola ini sebenarnya hampir sama dengan pola penyortiran yakni untuk mengamankan dominasi kelompok yang sedang berkuasa dari ancaman dominasi kelompok individu tertentu. iv. Pola perebutan kekuasaan dengan jalan menggunakan atau mengancamkan kekerasan. Ppenggulingan dengan kekerasan ini biasanya berlangsung melalui revolusi, intervensi militer, pembunuhan atau kerusuhan rakyat bisa dijadikan sarana untuk mengaktifkan perubahan radikal pada personal di tingkat lebih tinggi dalam partisipasi politiknya. Namun, akibat langsung dari pola ini adalah pergantian para pemegang jabatan politik. v. Patronage. Patronage merupakan sistem yang dianggap tetap penting di banyak negara berkembang. Sistem ini bisa dikatakan lebih bersifat negatif daripada positifnya. Hal ini dikarenakan pola ini penuh dengan penyuapan dan korupsi yang rumit. vi. Koopsi. Koopsi merupakan pemilihan anggota-anggota baru. Koopsi melihat harus ada pemulihan seseorang ke dalam suatu badan oleh anggota-anggota yang ada. c. Mekanisme Rekruitmen Politik Menurut Fadillah Putra, (2003:209) dalam bukunya “Partai Politik dan Kebijakan Publik” terdapat beberapa mekanisme rekruitmen politik antara lain: i. Rekrutmen terbuka Dalam rekrutmen ini syarat dan prosedur untuk menampilkan seseorang tokoh dapat diketahui secara luas. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai alat bagi elit politik yang berkualitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Cara ini memberikan kesempatan bagi rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit politiknya. Dengan demikian cara ini sangat kompetitif. Jika dihubungkan dengan paham demokrasi, maka cara 35 ini juga berfungsi sebagai sarana rakyat mengontrol legitimasi politik para elit. Adapun manfaat yang diharapkan dari rekrutmen terbuka adalah: 1. Mekanismenya demokratis. 2. Tingkat kompetisi politiknya sangat tinggi dan masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang benar-benar mereka kehendaki. 3. Tingkat akuntabilitas pemimpin tinggi. 4. Melahirkan sejumlah pemimpin yang demokratis dan mempunyai nilai integritas pribadi yang tinggi. ii. Rekrutmen tertutup Dalam rekrutmen tertutup, syarat dan prosedur pencalonan tidak dapat secara bebas diketahui umum. Partai berkedudukan sebagai promotor elit yang berasal dari dalam tubuh partai itu sendiri. Cara ini menutup kemungkinan bagi anggota masyarakat untuk melihat dan menilai kemampuan elit yang ditampilkan. Dengan demikian cara ini kurang kompetitif. Hal ini menyebabkan demokrasi berfungsi sebagai sarana elit memperbaharui legitimasinya. Jadi, mekanisme rekrutmen politik yang dilakukan partai politik terdiri dari dua sistem yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka akan memungkinkan lahirnya calon-calon legislatif yang betul-betul demokratis dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Hal ini dikarenakan oleh proses pengangkatan calon tersebut dilakukan secara terbuka. Sedangkan sistem tertutup merupakan kebalikan dari sistem terbuka, dimana para pemilih tidak mengenal seseorang calon legislatif, karena sistem pengangkatan calon legislatif tersebut dilakukan secara tertutup. Hal ini memungkinkan timbulnya calon legislatif yang tidak kompetitif, berhubung proses pengangkatan tidak diketahui oleh umum. 5. Sistem Kuota Affirmative action adalah sebuah tindakan khusus yang merupakan semacam pemaksaan untuk pemerataan dalam suatu kelompok yang 36 mengalami diskriminasi. Ada beberapa definsi untuk istilah ini, yang sebagian besar mengandung pengertian yang terkait pada masalah diskriminasi ras, sesuai dengan sejarahnya, yang berasal dari Amerika Serikat, yang pernah mengalami masalah diskriminasi ras. Lincoln ( 1980 ) mengatakan: “Affirmative action is an instrument of justice, “a copmpensation by white America” for past discrimination against Blacks”. Clayton & Crosby ( 1992 ) juga menyebutkan: “Affirmative action mandates a consideration of race, athnicity, and gender. Remedial measures may be court ordered, in response to finding of previous discrimination, they may be required by law, as they are for federal contractors and subcontractors; or they may be voluntarily adopted.” Salah satu kebijakan afirrmatif yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di bidang legislated adalah dengan membuat sistem kuota. Sistem kuota 30 % caleg perempuan merupakan suatu intervensi yang telah dilakukan di Indonesia, yang merupakan kebijakan kuota bagi perempuan agar bisa masuk ke dalam jajaran politik melalui calon legislatif. Dengan sistem kuota 30% ini menyatakan bahwa partai harus mengikutsertakan minimal 30% perempuan dari 100% jumlah caleg yang akan dicalonkan sebagai calon legislatif pada pemilu. Misalnya dari sepuluh caleg yang dicalonkan maka partai politik harus mengikutsertakan minimal tiga caleg perempuan. 6. Calon Legislatif (Caleg) Perempuan a. Pengertian Calon Legislatif (Caleg) Perempuan Calon legilatif (caleg) perempuan adalah seorang perempuan yang berdasarkan pertimbangan, aspirasi, kemampuan atau adanya dukungan masyarakat, dan dinyatakan telah memenuhi syarat oleh peraturan diajukan partai untuk menjadi anggota legislatif (DPR/DPRD) dengan mengikuti pemilihan umum yang sebelumnya ditetapkan KPU sebagai 37 caleg tetap. Calon legislatif nantinya akan bertindak untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif yang di pilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Untuk mengukur calon anggota legislatif dapat dilihat dari apakah sudah menjalani proses rekruitmen caleg. Caleg itu bisa perempuan atau laki-laki. B. Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, peneliti mengkaji beberapa hasil penelitian yang relevan antara lain sebagai berikut : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Mike Elisbeth F. Panjaitan di Jurnal Politik MudaVolume 4 No 2 tahun 2015 yang berjudul “Upaya Partai Politik Dalam Memenuhi Affirmative Action Calon Legislatif Pada Pemilihan Legislatif 2014 Di Kota Surabaya”. Latar belakang penelitian ini adalah berdasarkan pada pemlihan legislatif 2014 di Kota Surabaya, jumlah caleg laki-laki sebanyak 379 orang (65,34%) dan caleg perempuan sebanyak 201 orang (34,66%). Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan keterwakilan perempuan jika dibandingkan dengan pemilihan legislatif sebelumnya dan peningkatan ini merupakan bentuk peran partai politik dalam memenuhi peraturan-peraturan pemilihan. Jatah 50 kursi pada pileg 2014 di Kota Surabaya menjadi kesempatan untuk setiap partai politik mengirimkan nama-nama caleg yang mampu bersaing dengan caleg-caleg dari partai lainnya. Jumlah caleg perempuan pada pemilihan legislatif sebelumnya sebanyak 15 orang yang mana pada pemilihan legislatif 2014 bertambah menjadi 17 orang dengan persentase sebanyak 34. Terlampauinya jumlah 30% keterwakilan perempuan harusnya mampu meloloskan calon-calon perempuan pada pileg 2014 di Kota Surabaya, salah satunya yaitu dengan bantuan partai politik dalam menjalankan peran dan fungsi partai. Apabila partai politik menjalankan peran dan fungsi partai secara maksimal maka akan menghasilkan calon-calon perempuan yang berkualitas. Partai politik sebagai kereta yang membawa para caleg baik caleg laki-laki maupun perempuan harus lebih fokus dalam mempersiapkan perwakilan masing-masing partai dengan kualitas sebagai prioritas. 38 Dari sinilah peneliti akan mengetahui bagaimana upaya partai politik (Partai Golongan Karya, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hati Nurani Rakyat) dal dalam pemenuhan Affirmative Action pada pemilihan legislatif 2014 di Kota Surabaya dan apa saja hambatan yang dihadapi partai politik dalam menjalankan fungsi partai. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pelembagaan partai politik. Menurut Randal Vicky dan Lars Svasand (2002), teori pelembagaan partai politik adalah proses pemantapan partai politik dengan memantapkan organisasi maupun individu-individu di dalam partai untuk menciptakan partai politik yang mampu menjalankan fungsinya dengan pemolaan perilaku atau sikap atau budaya. Pelembagaan perilaku yang dimaksudkan adalah pelembagaan perilaku yang berkaitan dengan bagaimana peran partai politik (secara internal) dapat mempertahankan keberadaan partai untuk menjalankan fungsi dan peran partai dengan kelembagaan yang memadai dan terstruktur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatifdeskriptif, dalam Denzin (2011) penelitian dilakukan untuk mengukur kedalaman fenomena yang terjadi dan metodepenelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah, (lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti merupakan instrumen kunci. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ada pemilihan legislatif 2014 di Surabaya, partai politik yaitu Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB dan Hanura menjalankan perannya untuk menghadapi hambatanhambatan partai politik dalam meningkatkan keterwakilan perempuan, yaitu hambatan institusional, keterbatasan sumber daya manusia (SDM), budaya patriarki dan keterbatasan finansial. Partai Demokrat melakukan penyesuaian dengan memberikan kesempatan kepada kader-kader perempuan untuk terlibat dalam kepengurusan sehingga peran perempuan semakin meningkat yang kemudian perempuan memenuhi kuota 30% sesuai peraturan. PKB dengan basis keagamaan lebih sulit menyesuaikan untuk melibatkan perempuan dalam kegiatan politik karena partai dengan tradisi keagamaan yang kuat sehingga menganut nilai-nilai politik bahwa laki-laki merupakan sosok pemimpin yang paling layak. Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB dan Partai Hanura membutuhkan upaya yang lebih dalam proses rekruitmen. 39 Upaya yang dilakukan partai politik dapat dilihat dari proses rekruitmen politik, pembekalan caleg, penempatan dapil yang tepat dan mencegah pencurian suara. Untuk proses rekruitmen, partai Golkar hanya melibatkan internal saja dan belum melibatkan instansi lain untuk ikut berperan. Proses rekruimen dilakukan oleh tim seleksi yang disebut dengan tim pileg dan berasal dari partai Golkar sendiri. Untuk menjadi tim seleksi sudah ditentukan di struktur, tim seleksi terpilih bukan karena jabatannya sebagai ketua atau wakil ketua yang sekian banyak. Caleg yang datang ke Partai Demokrat harus mempunyai niat dari dalam diri untuk mengabdi dan bekerja di partai, dapat dilihat dari keseriusan caleg mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh partai sehingga partai dapat mempercayai bahwa caleg-caleg tersebut mempunyai komitmen dan loyalitas tinggi sehingga caleg yang hanya mengandalkan faktor finansial saja tidak akan disambut baik oleh partai. Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB dan Partai Hanura telah menjalankan fungsi dan peran partai pada pemilihan legislatif 2014 di Surabaya namun masih banyak kekurangan partai baik dari internal maupun eksternal partai. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah tema yang sama yaitu mengenai bagaimana peran partai dalam meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah penelitian ini lebih menitikberatkan peran partai dalam memenuhi Affirmative Acation sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah lebih menitikberatkan pada peran partai dalam proses rekrutimen caleg perempuan dalam upaya meningkatkan kuota 30% perempuan di bidang legislatif. Selain itu teori dan metode penelitian yang digunakan juga berbeda. Penelitian yang akan dilakukan menggunakan teori struktural fungsional Talcott Parsons dan metode penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Ghea Clarisa Tuasuun di Jurnal Politik Muda Volume 4 No 1 Tahun 2015 yang berjudul “Kandidasi Perempuan Caleg Di Kota Surabaya Dalam Pemilihan Legislatif 2014”. 40 Latar belakang penelitian ini adalah berdasarkan pada pemilihan legislatif tahun 2014 di mana banyaknya nama-nama perempuan yang berlaga dalam kontestasi politik ini, namun hal tersebut tetap tidak terlepas dari berbagai konflik di dalamnya, mengingat dalam proses kandidasi tersebut setiap perempuan berangkat dari latar belakang dan motif yang berbeda-beda. Tetapi hal tersebut merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang mulai berani unjuk kebolehan di panggung politik. Salah satu hal yang terlihat cukup fenomenal dalam pemilu legislatif tahun 2014 ini adalah meningkatnya perempuan caleg di berbagai daerah. Dewasa ini, keterlibatan perempuan dalam dunia politik diakui mulai menunjukan dinamika yang baik. Salah satu bukti nyatanya adalah peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di kursi perwakilan rakyat adalah di DPRD Kota Surabaya. Proses kandidasi menjadi penting untuk melihat apakah mereka yang lolos sebagai caleg sudah benar benar qualified sebagai wakil rakyat. Persaingan dari masing-masing perempuan caleg tentu sangatlah sengit, mengingat dalam pemilihan legislatif kali ini berlaku pasar bebas, tidak lagi bergantung pada tata urutan penomoran calon. Perempuan caleg tidak hanya bersaing dengan caleg di luar partai, tetapi juga persaingan tersebut berlaku di dalam internal partai nantinya, oleh sebab itu partai politik sebagai kendaraan awal harus benar-benar mempertimbangkan siapa saja kandidat yang layak dan pantas mewakili partainya. Bagi partai politik yang sebelumnya telah aktif melakukan kaderisasi dalam berbagai organisasi sayap partai yang mereka miliki, tentu hal ini bukanlah menjadi hal yang sulit karena rekam jejak masing-masing kader jelas telah dimiliki. Pada pemilu 2014 ini, perempuan caleg benar-benar berhadapan dengan mekanisme pasar bebas, artinya kepopuleran yang dimiliki perempuan caleg tentunya juga menjadi pertimbangan. Bagi partai politik yang tidak siap dengan sistem dan kader perempuan yang berkompeten akhirnya berdampak pada rekrutmen asal-asalan khususnya bagi perempuan. Dari sinilah penelitan ini bertujuan untuk melihat apa motivasi perempuan caleg untuk menjadi kandidat suatu partai politik dan juga untuk memahami proses kandidasi caleg perempuan dalam pemilihan legislatif 2014 di DPRD Kota 41 Surabaya. Teori yang digunakan adalah teori kandidasi dari Matland. Teori ini cukup relevan untuk mengkaji fenomena kandidasi dalam pileg 2014 khususnya di Kota Surabaya. Tahap kandidasi yang dilakukan diawal dengan pola rekrutmen oleh partai menjadi hal yang penting sebelum akhirnya nanti perempuan kandidat tersebut ditetapkan untuk maju sebagai calon legislatif. Pola proses kandidasi dibagi menjadi 3 tahapan oleh Matland ( Matland, 2005: 1-5). Tahap pertama adalah seleksi diri (Ambition Resources) yaitu sejauh mana perempuan berkeinginan untuk mengikatkan diri pada sistem politik dan mendapat pengakuan akan eksistensi diri dalam jabatan publik sehingga dirinya layak (eligibles). Kedua, seleksi partai yakni cara perempuan mampu menembus tim seleksi (gatekeepers) yang mayoritas adalah kaum pria sehingga akhirnya perempuan tersebut dikandidatkan. Tahapan yang terakhir adalah pemilihan, basis dukungan yang dimiliki perempuan caleg nyatanya juga menjadi pertimbangan penting dalam tahap kandidasi ini. Metode penelitian adalah kualitatif-deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan proses kandidasi perempuan caleg di Kota Surabaya beserta apa yang menggambarkan apa yang menjadi motivasi perempuan tersebut hingga memutuskan untuk running for office. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa keputusan perempuan caleg di Kota Surabaya untuk running for office dalam pileg 2014 rupanya paling besar didasari oleh ambisi personal mereka masing-masing. Ambisi itu tidak muncul semata-mata tanpa didukung dengan kualitas dan potensi yang baik dari dalam diri mereka yang memang sudah mapan dalam karier mereka sebelum terjun dalam dunia politik. Rasa percaya diri itu muncul dalam diri perempuan caleg di Kota Surabaya, karena dalam kesehariannya mereka juga sudah berinteraksi dengan publik. Motivasi ideologis dan dukungan eksternal dari berbagai pihak walaupun bukan menjadi motivator utama, tetapi hal itu memiliki pengaruh dalam majunya perempuan caleg di pemilihan legislatif 2014. Berangkat dari teori Matland maka dapat disimpulkan bahwa proses kandidasi perempuan caleg di Surabaya melewati tiga tahap yaitu seleksi diri, seleksi partai, dan pemilihan. Para perempuan caleg yang berani melibatkan diri 42 dalam ruang politik, mampu mengekspresikan semangat politik yang lugas. Ambisi dan kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing perempuan caleg akhirnya mampu membuat mereka memutuskan untuk running for office. Dalam tahap kandidasi ini patut diacungi jempol bagi perempuan caleg karena mampu menembus petinggi partai politik yang didominasi oleh laki-laki. Kemampuan dan berbagai modal termasuk kedekatan dengan petinggi-petinggi parpol di dalamnya, tidak luput dimanfaatkan oleh masing-masing perempuan caleg dalam proses lobying politik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah tema yang sama yaitu mengenai partisipasi perempuan di bidang politik khususnya bidang legislatif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah pada tujuan penelitian di mana penelitian yang akan dilakukan peneliti lebih bertujuan untuk menggambarkan peran partai dalam proses rekruitmen caleg perempuan. Selain itu, teori dan metode yang digunakan juga berbeda. Penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan teori struktural fungsional Talcott Parsons dan metode studi kasus. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Fitri Rahmadania di Jurnal Politik Muda Volume 3 No 1 Tahun 2014 yang berjudul “Rekrutmen Calon Legislatif Pada Pemilu 2014 (Studi Kasus Mengenai Rekrutmen Politik PPP di Dapil I dan V di Kabupaten Sampang, Jawa Timur)”. Latar belakang penelitian ini adalah dari ketiga partai politik (PPP, PDI, dan Golkar) yang sudah eksis sejak Orde Baru, PPP dalam perhitungan nasional mengalami penurunan suara hingga mencapai 5%. Sementara PDI dan Golkar walaupun juga sama-sama mengalami penurunan tetapi masih memperoleh suara di atas 10%. Penurunan suara PPP diatas menunjukkan bahwa konstruksi ideologi Islam yang diusung PPP tidak menjadi jaminan untuk menarik massa pemilih Islam. Dalam perhitungan suara PPP di tingkat nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu penyumbang suara nasional yang tergolong penyumbang suara rendah dibandingkan dengan Jawa barat dan Jawa tengah. Perolehan suara PPP pada sistem multi partai tersebut berbanding terbalik ketika masa Orde Baru. 43 Pada masa Orde Baru perolehan suara PPP itu kuat, karena PPP merupakan yang direkomendasikan kyai-kyai. Di Kabupaten Sampang memiliki tokoh PPP nasional sosok kyai yang digadang-gadang dan pernah menjadi nominasi tokoh terkenal urutan 10 besar di Asia yaitu K.H. Alawi. Keadaannya berbanding terbalik pada saat sistem multi partai disebabkan para kyai-kyai dukungannya terpecah untuk diberikan kepada partai-partai yang baru seperti PKB dan PKS. Dengan adanya multi partai ini, maka setiap partai akan saling bersaing untuk mendapatkan perolehan suara terbanyak di dalam pemilihan umum dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menarik minat para pemilih melalui para calon legislatif yang maju di dalam pemilihan umum. Pada pemilu 2014 PPP memiliki strategi untuk mengangkat perolehan suara dengan menggunakan salah satunya yaitu rekrutmen politik calon legislatif Kabupaten Sampang dengan menggunakan dua faktor yaitu formalitas dan informalitas. Pada dasarnya, bakal calon legislatif yang telah memenuhi kriteria dan terpilih secara formal merupakan hasil keputusan yang sah yang ada di dalam sebuah partai politik. Tetapi, dalam pembuatan keputusan mengenai calon legislatif yang akan maju di dalam pemilihan umum terkadang tidak terlepas dari pengaruh faktor informal, seperti adanya pengaruh kyai yang ada di Sampang. Fenomena seperti ini terjadi di suatu daerah yang masih kental dan berpegang teguh dengan agama. Perilaku pemilih masih kental dengan budaya keagamaannya dan sangat santun pada kyai. Oleh karena itu peran kyai sangat besar dalam perolehan suara di Sampang karena kyai memiliki wewenang dan kekuasaan tersendiri serta dihormati oleh masyarakat. Selain peranan kyai pertimbangan informalitas lainnya dengan menggunakan kekuatan kekerabatan, jaringan, blater (tokoh bajingan), dan sumber daya keuangan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori rekruitmen politik. Rekrutmen politik merupakan seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Studi rekrutmen berada di titik temu antara penelitian partisipasi politik masa, 44 pemilu, dan perilaku pemilihan elit politik, anggota legislatif, organisasi partai, dan lobbyist, juga baru-baru ini dengan adanya globalisasi timbulnya masalah gender dan etnis menjadi permasalahan dalam rekrutmen. Untuk memahami rekrutmen studi ini berusaha untuk menghubungkan dua elemen dari prespektif ini. Studi elit politik berhubungan dengan komposisi sosial dalam parlemen. Jika studi organisasi partai berfokus pada bagaimana prosesnya dan bagaimana proses seleksi itu menunjukkan distribusi kekuatan dalam suatu partai. Partai memiliki fungsi menghubungkan masyarakat dengan pemerintah, fungsi ini dijalankan dengan mempersiapkan agenda-agenda legislatif yang diperuntukan kepada pemerintah dan merekrut kandidat-kandidat legislatif. Dalam memilih kandidat selectorate menentukan target perolehan kursi dan jabatan yang diperoleh di dalam parlemen itu sendiri dan akhirnya menyaring kandidat-kandidat yang masuk kriteria pada penetuan calon anggota legislatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa PPP Sampang melakukan rekrutmen politik terhadap calon legislatif Kabupaten Sampang dengan menggunakan proses formalitas dan mengutamakan adanya kader partai tersebut. Prosedur formalitas ini dilakukan dengan menggunakan aturan-aturan partai dan aturan Komisi Pemilihan Umum. Seperti adanya pendaftaran, pengumpulan data-data administrasi keterangan pendidikan, keterangan kependudukan, keterangan surat berperilaku baik dan keterangan yang lain. Jalur informal politik juga menjadi sebuah pertimbangan yang cukup penting karena secara sosiokultural perkembangan politik yang ada di Sampang memiliki pengauh besar terhadap peranan kyai yang hingga saat ini masih diyakini oleh masyarakat Sampang. Pengaruh ketokohan kyai yang kuat mengakibatkan pertimbangan informalitas politik memberikan daftar calon tetap pada dapil V yang didalamnya memiliki calon-calon yang masih berhubungan dengan keluarga kyai, disisi lain kecamatan yang terdapat pada dapil V terdapat pondok pesantren yang cukup banyak. banyak calon anggota legislatif Partai PPP Dapil V berkompetisi untuk 45 merebutkan mendapatkan dukungan dari kyai hal ini di karenakan wilayah Dapil V terdapat pondok pesantren cukup banyak dari pada Dapil lainnya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah sama-sama menitikberatkan pada proses rekruitmen calon legislatif yang dilakukan oleh partai politik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah pada teori dan metode penelitian yang digunakan. Teori yang digunakan oleh peneliti adalah teori struktural fungsional Talcott Parsons dan teori struktural fungsional Robert K. Merton serta metode penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Amanda Bullough, K. Galen Kroeck William Newburry, Sumit K. Kundu dan Kevin B. Lowe di Journal of The Leadership Quarterly No 23 (2012) yang berjudul “Women's political leadership participation around the world: An institutional analysis”. Latar belakang penelitian ini adalah masih rendahnya tingkat partisipasi perempuan di berbagai bidang baik itu sosial, ekonomi terutama di bidang politik. Kepemimpinan politik perempuan masih dianggap sebelah mata oleh berbagai lembaga baik itu lembaga sosial, ekonomi, maupun politik. Kepemimpinan politik perempuan yang masih rendah ini disebabkan oleh banyak hal di antaranya faktor sosial budaya, lembaga, masyarakat dan lain-lain. Penelitian ini dilakukan di 8 lembaga yang berbeda di 181 negara dan bertujuan untuk mengetahui lebih jelas bagaimana kekuatan dari sebuah lembaga (enam pengaruh lembaga) dalam mempengaruhi tingkat partisipasi perempuan dalam kepemimpinannya di dalam sebuah pemerintahan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kelembagaan. Teori ini mengatakan bahwa kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan sosial dan pembangunan disediakan oleh keterampilan bersama dan pengetahuan bukan berdasarkan pada struktur kelembagaan (North, 1990). Tema utama dari teori institusional adalah bahwa aturan, persyaratan, dan norma-norma yang mengatur lingkungan, dan pada gilirannya memberikan dukungan dan legitimasi (Scott, 1987). Hal ini menyebabkan kekuatan institusional yang menyebabkan organisasi 46 dan orang-orang untuk bertindak dan menjadi lebih mirip, sesuai dengan normanorma, Dalam upaya pada peningkatan legitimasi dan kelangsungan hidup, konsep disebut sebagai isomorfisma. Organisasi diberikan akses yang lebih besar ke sumber daya dan dapat memperkuat kapasitas mereka untuk bertahan hidup ketika mereka sesuai dengan aturan andrequirements didirikan pada institusi di mana mereka beroperasi (Kostova & Zaheer, 1999; Oliver, 1991). Aktor berfungsi dalam lembaga-lembaga sesuai dengan harapan normatif, nilai-nilai sosial (Maret & Olsen, 1984, 1996), aturan, dan insentif, dan mempertimbangkan prioritas mereka sendiri sekaligus beroperasi dalam parameter lembaga (Peters, 2000). Lembaga mendapatkan legitimasi ketika praktek-praktek sosial menjadi diterima dan secara keseluruhan diharapkan sebagai perilaku yang jelas (Lucas, 2003; Montgomery & Oliver, 1996). Dalam mengamati kepemimpinan politik perempuan dan dalam posisi yang berpengaruh, perilaku tersebut akan menjadi skema yang diterima dalam masyarakat. Legitimasi dicapai ketika keberhasilan pemimpin perempuan diakui oleh satu kelompok, yang pada gilirannya mempengaruhi kelompok lain, dan sebagainya (Lucas, 2003). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan metode analisis regresi linier. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan partisipasi kepemimpinan politik perempuan, kita perlu mengevaluasi beberapa hal berikut antara lain peraturan perdagangan, korupsi, kesenjangan gender dalam pemberdayaan politik, pendidikan politik, kelayakan ekonomi dari suatu negara, akses ke kekuasaan, dan politik bebas dom, variabel budaya seperti orientasi kinerja, kolektivisme, serta batas kekuasaan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah tema yang sama yaitu mengenai partisipasi perempuan di bidang politik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah fokus penelitian di mana fokus penelitian peneliti adalah lebih kepada upaya partai politik dalam memenuhi kuota 47 caleg perempuan. Teori dan metode yang digunakan juga berbeda di mana teori yang akan dilakukan peneliti adalah teori struktural fungsional Talcott Parsons dan metode yang akan digunakan adalah studi kasus. 5. Penelitian yang dilakukan oleh Láyla Cleonice Silva dos Santos di Journal of Procedia - Social and Behavioral Sciences No 161 ( 2014) yang berjudul “The Women’s Parliament Production Legislative of Almir Gabriel’s Government (1995-2002)”. Latar belakang penelitian ini adalah melihat banyaknya para perempuan yang sudah berpartisipasi di bidang politik dan mulai menduduki kursi-kursi legislatif. Pada zaman dahulu, para perempuan di dunia masih dianggap rendah dan tidak bisa terjun ke ranah-ranah publik terutama di ranah politik. Para perempuan Mesir kuno misalnya semua kegiatannya harus di bawah kontrol laki-laki. Para perempuan harus fokus untuk membesarkan anak-anaknya untuk memastikan kelanjutan keturunan keluarga mereka. Di India, perempuan mempunyai peran yang suci yaitu untuk memelihara keluarga dan sebagai salah satu jalan penghubung antara manusia dengan dewa. Di Timur Tengah, perempuan lagi-lagi hanya berkutat pada ranah domestik saja seperti mengurus rumah tangga, membesarkan dan merawat anaknya serta harus taat pada suami. Sama seperti halnya di negara lain, perempuan-perempuan di Brazil juga harus fokus pada ranah-ranah domestik saja. Namun sejak terjadi revolusi di Brazil, perempuan-perempuan di sana mulai menunjukkan hak-haknya sebagai warga negara yang boleh berpartisipasi dalam segala hal termasuk dalam bidang politik. Ada berbagai kebijakan yang dikeluarkan sejalan dengan meningkatnya partisipasi perempuan di bidang politik. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori partisipasi politik perempuan termasuk Fanny Tabak dan Heleieth Saffioti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pendekatan narasi argumentatif. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa kemajuan partisipasi perempuan dalam politik dihasilkan dari proses perjuangan perempuan di mana saat ini merupakan representasi dalam kebijakan formal, terutama dalam legislatif. Hal ini karena 48 perempuan sepanjang sejarah memang benar-benar memperjuangkan hakhaknyadengan memasukkan berbagai kebijakan dalam masyarakat sampai dimasukkan dalam proses demokrasi.Hal itu perlu bahwa partisipasi perempuan dalam politik formal yang diakui hukum yang didapatkan oleh gerakan gerakan ini adalah untuk diakui dan disahkan dalam undang-undang. Setelah beberapa dekade perjuangan mereka dalam masyarakat dan upaya pemberdayaan perempuan sebagai anggota legislatif, pembentuk opini dan pemikir yang merupakan prestasi besar adalah bukti bahwa demokrasi telah memasukkan perempuan dalam peran norma-norma sosial yang ada. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah mempunyai tema yang sama yaitu partisipasi perempuan di bidang politik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada fokus penelitian di mana penelitian yang akan dilakukan peneliti lebih berfokus pada peran parpol dalam rekruitmen caleg perempuan. Teori dan metode yang digunakan juga berbeda. Penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan teori struktural fungsional Talcott Parsons dan metode yang digunakan adalah studi kasus. C. Landasan Teori 1. Struktural Fungsional Talcott Parsons Pada mulanya Parsons menggunakan tindakan sosial sebagai konsep yang penting dalam teori sosiologi, namun pada akhirnya studi intelektual Parsons mulai bergeser dari tekanan atas tindakan sosial ke struktur dan fungsi masyarakat. Konseptualisasi struktur dibuat dalam kaitannya dengan sistem yang saling mempengaruhi dan bagian-bagian yang tidak otonom (Parsons dalam Poloma, 2003:171). Parsons menganggap bahwa sistem sosial sebagai satu dari tiga cara di mana tindakan sosial bisa terorganisisr dengan baik. Masyarakat di sini di pandang sebagai sebuah sistem sosial yang dilihat secara menyeluruh. Jika sistem sosial dilihat sebagai suatu sistem yang parsial, maka masyarakat itu dapat berupa setiap jumlah dari sekian banyak sistem yang kecil-kecil seperti sistem pemerintahan, lembaga-lembaga agama, lembagalembaga politik, dan lain-lain. 49 Tindakan sosial dalam kerangka Parsons berupa asumsi dasar mengenai Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi suatu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling memiliki ketergantungan. Teori struktural fungsional mengansumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Dari sini, kita dapat menghubungkan individu dengan dua sistem sosial dan menganalisisnya melalui konsep status dan peran (Parsons dalam Poloma, 2003:171). Status adalah kedudukan dalam sistem sosial, seperti polisi, ibu, menteri, ayah. Sedangkan peranan adalah perilaku yang diharapkan atau perilaku normatif yang melekat pada status yang dimiliki seseorang atau kelompok. Dengan kata lain, dalam sebuah sistem sosial individu atau kelompok menduduki suatu tempat (status) dan bertindak (peranan) sesuai dengan norma-norma atau aturan yang dibuat oleh sistem. Menurut Parsons, sosiologi itu tidak berdiri sendiri tetapi sangat berkaitan dengan ilmu-ilmu perilaku termasuk ilmu ekonomi dan politik serta biologi, antropologi, dan psikologi. Parsons setuju terhadap kesatuan ilmu-ilmu perilaku di mana keseluruhan studinya adalah tentang ssistem yang hidup (living system). Parsons terus menganalisis pemikirannya tentang sistem yang hidup dan menyatakan bahwa “konsep fungsi merupakan inti untuk memahami semua sistem yang hidup”. Parsons berusaha melihat persamaan antara masyarakat dan organism hidup. Parsons menunjukkan: “(1) bahwa suatu sistem itu hidup dalam dan berekasi terhadap lingkungan, dan (2) sistem itu berusaha mempertahankan kelangsungan pola organisasi serta fungsi-fungsi yang keduanya berbeda dari lingkungan dan bisa stabil daripada lingkungannya (Parsons dalam Poloma, 2003:179).” 50 Dari sini dapat dinyatakan bahwa ada dua dimensi dalam analisis sistem yang hidup tersebut. Pertama adanya saling keterkaitan antara tiap-tiap bagian yang juga merupakan sistem. Kedua, keterkaitan tersebut mencakup pertukaran antara sistem dengan lingkungannya. Ciri –ciri umum yang ada dalam seluruh sistem yang hidup dalam sebuah sistem yang hidup adalah prasyarat atau functional imperative . Terdapat fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh suatu sistem yang hidup demi kelangsungan hidupnya. Dua pokok penting yang termasuk dalam kebutuhan fungsional yaitu yang berhubungan dengan kebutuhan sistem internal atau kebutuhan sistem ketika berhubungan dengan lingkungannya (sumbu internal-eksternal) dan yang berhubungan dengan pencapaian sasaran atau tujuan serta sarana yang diperoleh ntuk mencapai tujuan tersebut (sumbu instrumental-consummatory). Ada empat empat fungsi penting untuk semua sistem tindakan yang terkenal dengan skema AGIL Suatu fungsi (function) adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu/kebutuhan sistem. Dengan menngunakan defenisi ini, Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting diperlukan semua sistem. Parsons mengatakan bahwa empat fungsi ini harus ada dan tertanam kuat dalam suatu sistem yang hidup baik itu pada tingkat organisasi maupun tingkat perkembangan evolusioner. Secara bersama-sama keempat imperative fungsional ini dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan, suatu sistem harus memilki empat fungsi ini yaitu: 1). Adaptation (adaptasi) merupakan sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Sistem harus mampu menjamin apa yang dibutuhkan lingkungannya dan mendistribusikan sumber-sumber tersebut ke dalam seluruh sistem. 2.) Goal Attainment (pencapaian tujuan) merupakan sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 51 3). Integration (integrasi) merupakan sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya. 4). Latency (Latensi atau pemeliharaan pola) merupakan sebuah sistem harus memperlengkapi, baik motivasi individual maupun pola-pola cultural yang menciptakan dan menopang motivasi. 2. Struktural Fungsional Robert King Merton Karya-karya awal Merton pada awalnya sangat dipengaruhi oleh Weber seperti yang terlihat dalam disertasinya yang menganalisis bagaimana perkembangan ilmu pada abad ke-17 di dataran Inggris. Model analisis fungsional Merton adalah hasil dari perkembangan pengetahuannya tentang ahli-ahli teori klasik seperti Max Weber, Emile Durkheim, dan William I,Thomas. Pada awalnya, analisis fungsional Merton dimulai dengan menunjukkan beberapa postulat yang dianggap masih tidak jelas yang terdapat dalam teori fungsionalisme. Merton kemudian mulai menyempurnakan postulat-postulat tersebut. Sebagaimana sudah kita ketahui, Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsional. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional ( net balance of functional consequences) yang menimbang fungsi positif terhadap fungsi negatif. Postulat ketiga adalah postulat indispensability. Merton menyatakan bahwa “ dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan ( Poloma, 2003: 35-37). Analisis struktural fungsional Merton memusatkan perhatiannya pada kelompok, oragansasi, masyarakat, dan kultur. Merton menyatakan bahwa setiap objek yang dijadikan sasaran analisis struktural artinya terpola dan berulang fungsional tentu mencerminkan hal yang standar (artinya terpola dan 52 berulang) ( Merton dalam Ritzer dan Goodman, 2007: 137). Fungsionalisme struktural awal lebih terpusat hanya pada fungsi satu struktur sosial atau satu institusi sosial tertentu. Perhatian analisis struktur fungsional Merton lebih dipusatkan pada suatu fungsi sosial. Menurut Merton, fungsi didefinisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu (Merton dalam Ritzer dan Goodman, 2007:139). Tetapi di sini jelas akan terjadi bias ketika orang hanya memusatkan perhatiannya pada adaptasi atau penyesuaian diri saja, karena adaptasi pasti selalu mempunyai akibat positif saja. Padahal satu faktor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap fakta sosial lainnya. Dari sinilah akhirnya Merton mengembangkan gagasannya tentang disfungsi yang artinya struktur atau institusi dapat pula menimbulkan akibat negatif terhadap suatu sistem sosial. Untuk mengetahui apakah fungsi positif lebih banyak daripada disfungsi maka Merton juga mengembangkan konsep “keseimbangan bersih” (net balance). Konsep ini menyatakan bahwa baik fungsi positif tidak akan pernah diketahui mana yang lebih banyak dikarenakan masalah yang kompleks dan banyaknya penilaian subjektif yang melandasinya sehingga tidak mudah dihitung dan ditimbang. Untuk mengatasi ini, Merton menambahkan gagasan bahwa harus ada tingkatan analisis fungsional. Di sini, analisis dapat dilakukan terhadap sebuah organisasi, institusi atau kelompok. Merton juga memperkenalkan konsep fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (laten) . Fungsi nyata berarti adalah fungsi yang diharapkan sedangkan fungsi tersembunyi adalah fungsi yang tidak diharapkan. Pemikiran ini dapat dihubungkan dengan konsep Merton yang lain yaitu akibat yang tak diharapkan (unanticipated concequences) . Sebuah tindakan mempunyai akibat baik yang diharapkan maupun yang tak diharapkan. Merton menjelaskan bahwa akibat yang tidak diharapkan tidaklah sama dengan fungsi yang tersembunyi. Di sini fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari akibat yang tak diharapkan, satu jenis yang fungsional untuk sistem 53 tertentu. Merton berpendapat bahwa tak semua struktur diperlukan untuk berfungsinya suatu sistem sosial. D. Kerangka Pemikiran PDI Perjuangan Fungsi Rekruitmen Politik UU No 2 tahun 2011dan UU No 8 tahun 2012 tentang Kuota 30% peremp Proses Rekruitmen Caleg Kuota 30% terpenuhi Upaya PDI Perjuangan 1. Koordinasi di tiap tingkat kepengurusan 2. Kaderisasi Struktural Fungsional 3. Sosialisasi Struktural Fungsional Merton 4. Parsons 1. Fungsi nyata karir politik 5. 2. Fungsi tersembunyi Mengembangkan Merekrut perempuan 1. Adaptation caleg yang berkualitas 6. 2. Goal Attainment 3. Integration 4. Latency Pendampingan caleg 1.Meningkatnya jumlah caleg perempuan di DPRD 2. Meningkatnya kualitas anggota legislatif perempuan Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran 54 Berdasarkan UU No. 2 tahun 2011 dan UU No. 8 Tahun 2012 mengenai pengikutsertaan 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota DPR/D maka setiap partai harus mengikutsertakan perempuan dalam proses pemilhan. Berdasarkan hasil pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Surakarta menghasilkan 45 caleg terpilih yang terdiri dari 37 caleg laki-laki (82%) dan 9 caleg perempuan (18%) . Hasil ini tentunya tidak sesuai dengan yang diharapkan di mana seharusnya kuota perempuan yang berada di legislatif adalah sebesar 30%. Sedangkan, PDI Perjuangan selaku partai pemenang pemilu yang tentunya jumlah kursi di DPRD jauh lebih banyak dibandingkan partai-partai yang lain dijadikan bahan pertimbangan bagi peneliti untuk meneliti lebih jauh tentang bagaimana proses rekruitmen caleg perempuan di PDI Perjuangan. Dari 24 kursi yang berhasil diduduki, hanya terdapat lima saja caleg perempuan yang lolos ke kursi dewan dan laki-laki sebanyak 19 orang. Dan hasil ini juga tidak sesuai dengan ketetapan kuota 30% untuk perempuan. PDI Perjuangan sebagai partai politik pemenang pemilu 2014 tentulah mengetahui dan seharusnya menjalankan ketetapan kuota 30% tersebut. PDI Perjuangan sebagai salah satu partai politik di Indonesia mempunyai status sebagai lembaga politik yang tentunya mempunyai fungsi-fungsi yang harus dijalankan. Salah satu fungsi parpol yaitu sebagai sarana perekrutan politik. Rekruitmen politik di sini berarti adalah merupakan suatu proses melakukan pemilihan, pengangkatan, dan penetapan sehingga seseorang atau kelompok orang untuk jabatan politik dan pemerintahan. Sesuai dengan teori struktural fungsional Talcott Parsons yang menyatakan bahwa dalam sistem yang hidup harus ada empat prasayarat fungsional yaitu Adaptation (A), Goal attainment (G), Integration (I),dan Latency (L). Sistem di sini adalah partai politik. Masyarakat Indonesia dipandang sebagai sebuah sistem yang menyeluruh dan jika dipandang sebagai secara parsial maka partai politik merupakan sebuah sistem sosial. Partai politik sebagai sebuah sistem mengorganisir semua tindakan sosial yang dilakukan oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Seperti telah dijelaskan di atas, Parsons melihat sistem sosial 55 sebagai sebuah interaksi dengan menggunakan status dan peran sebagai unit dasar dari sistem. PDI Perjuangan sebagai salah satu partai politik di Indonesia mempunyai status sebagai lembaga politik yang tentunya mempunyai fungsifungsi yang harus dijalankan. Salah satu fungsi parpol yaitu sebagai sarana perekrutan politik. Rekruitmen politik di sini berarti adalah merupakan suatu proses melakukan pemilihan, pengangkatan, dan penetapan sehingga seseorang atau kelompok orang untuk jabatan politik dan pemerintahan. Peran partai sebagai tempat untuk melakukan rekruitmen tentunya sangatlah penting. Dari sini akan terlihat bagaimana upaya-upaya PDI Perjuangan dalam memenuhi kuota 30% caleg perempuan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh partai antara lain melalui proses pengkoordinasiaan setiap tingkat kepengurusan untuk merekrut sebanyak mungkin caleg perempuan, kaderisasi, sosialisasi, merekrut caleg perempuan yang berkualitas, dan regenerasi. Peran yang diharapkan di sini berupa perilaku dan usaha-usaha dari partai politik untuk melakukan rekruitmen caleg perempuan agar ketetapan kuota 30% dapat terpenuhi. Peran di sini juga bersifat timbal balik dalam arti pengharapan yang sifatnya timbal balik pula. Jadi status sebagai “lembaga politik” mengandung peran normatif (sebagai rekruitmen politik), tetapi ini bukan merupakan peran yang satu-satunya yang dimiliki partai politik. Peran sebagai partai politik bersifat timbal balik dalam arti mencakup saling ketergantungan dengan peran caleg perempuan untuk ikut serta dalam proses rekruitmen yang diadakan partai. Dengan perannya sebagai lembaga yang berwenang dalam rekruitmen maka nantinya akan terlihat bagaimana upaya-upaya PDI Perjuangan dalam memenuhi kuota 30% caleg perempuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Adaptation menunjuk pada kemampuan sistem menjamin apa yang dibutuhkannya dari lingkungan serta mendistribusikannya kepada sumber-sumber ke dalam seluruh sistem. Di sini pemerintah melakukan adaptasi melalui penetapan. UU No. 2 tahun 2011 dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang pengikutsertaan 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota DPR/D. Adaptasi dari partai politik (PDIP) adalah dengan mengeluarkan SK proses 56 rekruitmen serta menjamin dan memastikan bahwa ada perempuan yang akan menjadi caleg dan menjamin bahwa caleg perempuan yang akan direkrut sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan sehingga kualitas caleg perempuan tersebut juga mumpuni. Partai harus membuat peraturan yang jelas mengenai rekruitmen caleg perempuan sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang. Bagi caleg perempuan juga harus mempersiapkan dirinya dengan baik untuk terpilih sebagai salah satu caleg serta dapat lolos sebagai salah satu anggota di DPRD. Persiapan tersebut bisa berupa meningkatkan pendidikannya, kemauan yang kuat untuk terjun ke dunia politik, kesehatan baik fisik maupun rohani, dan lain-lain. Goal attainment adalah pemenuhan tujuan sistem dan penetapan prioritas di antara tujuan-tujuan tersebut. Dalam rangka pemenuhan tujuan yaitu untuk memenuhi kuota 30 % perempuan maka partai politik melakukan berbagai cara dan salah satunya adalah meningkatkan upaya-upaya dalam proses rekruitmen caleg perempuan. Selain untuk pemenuhan kuota, merekrut caleg perempuan juga bertujuan untuk menguatkan kedudukan partai dalam pemerintahan. Dalam proses rekruitmen haruslah benar-benar mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender . PDI Perjuangan tidak boleh sekedar “ambil” saja hanya untuk pemenuhan kuota 30% yang ditetapkan oleh pemerintah. Syarat-syarat harus jelas dan sesuai dengan UU guna mendapatkan caleg perempuan yang benar-benar berkualitas. Integration adalah di mana sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya. Pemerintah dengan mengeluarkan UU No. 2 Tahun 2011 dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota DPR/D berupaya untuk mengatur hubungan antara partai politik dan para caleg perempuan. Di sini partai harus mengatur berbagai komponen yang terkait dengan proses rekruitmen baik itu ketua, sekretris, pengurus maupun caleg perempuan. Semua kepengurusan mulai dari tingkat DPP Pusat sampai tingkat anak ranting dikoordinasikan dalam proses perekrutan caleg 57 perempuan. Latency adalah sebuah sistem harus melengkapi, baik motivasi individual maupun pola-pola cultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Di sini partai politik harus memberikan motivasi dan dorongan bagi para pengurus dan caleg perempuan untuk melaksanakan proses rekruitmen yang adil dan jujur. Melalui berbagai kaderisasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh partai diharapkan sebuah sistem akan terpelihara pola-polanya sehngga akan memberikan motivasi dan dorongan bagi setiap pengurus, anggota, dan caleg perempuan. Jika para perempuan tidak mau untuk maju menjadi caleg , maka partai seharusnya juga memberikan motivasi agar perempuan berani maju sebagai caleg. Partai harus meyakinkan bahwa kedudukan caleg perempuan di bidang legislatif sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan partai sekaligus kebutuhan para perempuan itu sendiri. Sedangkan Robert K. Merton menyatakan bahwa fungsi didefinisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu”. Merton menyatakan bahwa suatu sistem sosial bisa mempunyai fungsi yang positif ataupun disfungsi bagi suatu sistem sosial yang lain. Namun kita tidak dapat melihat mana yang lebih banyak antara funsgi yang positif atau disfungsi karena kompleksnya suatu masalah yang terjadi. Kemudian Merton juga menyatakan bahwa dalam suatu organisasi akan ditemukan suatu fungsi yang nyata(manifest) dan fungsi tersembunyi (laten). Fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan sedangkan fugsi tersembunyi adalah fungsi yang tidak diharapkan. PDI Perjuangan sebagai suatu sistem sosial yang berstatus sebagai lembaga politik mempunyai fungsi-fungsi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan di antara fungsi tersebut adalah fungsinya sebagai sarana perekrutan politik. Sebagai sarana perekrutan politik, PDI Perjuangan mulai melakukan adaptasi atau penyesuaian diri untuk melakukan proses perekrutan bagi caleg yang akan duduk di DPRD. PDI Perjuangan membuat aturan-aturan yang mendukung proses rekruitmen sehingga proses rekruitmen dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Adanya penyesuian yang dilakukan oleh PDIP pada akhirnya akan 58 berakibat positif pada proses rekruitmen di mana proses rekruitmen akan berjalan dengan baik dan caleg perempuan yang direkrut juga mempunyai kualitas yang baik pula. Namun, penyesuaian ini dapat pula menyebabkan suatu disfungsi di mana jumlah caleg perempuan yang direkrut dan lolos sebagai anggota DPRD tidak sesuai dengan kuota 30% caleg perempuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Fungsi nyata (manifes) dari partai yaitu dapat menjalankan fungsi rekruitmennya dengan baik sehingga kuota 30% caleg perempuan dapat terpenuhi. Dengan menjalankan proses rekruitmen ini maka partai akan berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi kuota 30% caleg perempuan. Berbagai upaya yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan kuota tersebut.Namun, fungsi tersembunyi (laten) dari partai juga bisa terjadi di mana partai seolah hanya asal “ambil” para caleg perempuan agar kuota 30 % dapat terpenuhi. Dari penjelasan di atas, peneliti akan mengetahui lebih jauh bagaimana upaya-upaya yang dilakukan PDI Perjuangan selaku gatekeeper dalam proses rekruitmen caleg perempuan untuk memenuhi kuota 30% caleg perempuan sesuai dengan ketetapan UU. Dalam melakasanakan berbagai upaya pemenuhan tersebut PDI Perjuangan juga pasti mengalami beberapa hambatan. Hambatan-hambatan tersebut harus dapat diminimalisir untuk tetap memenuhi kuota 30% caleg perempuan. Partai politik di sini diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa mereka bisa memenuhi ketentuan UU No. 2 Tahun 2011 dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang 30% perempuan dalam pencalonan anggota DPR/D. Berbagai hal pun dilakukan terutama dalam proses rekruitmen caleg perempuan guna pemenuhan kuota 30% tersebut. Dengan berbagai upaya partai politik yang optimal maka diharapkan jumlah perempuan yang akan lolos sebagai anggota DPRD dapat meningkat, para celeg perempuan juga dapat mandiri dan dapat meningkatkan kualitasnya sehingga dapat mengoptimalkan dirinya sebagai wakil rakyat.