Keragaman cendawan Botryodiplodia theobromae

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Nilai Ekonomi Cendawan Botryodiplodia theobromae
B. theobromae dilaporkan telah menyebabkan berbagai penyakit
diantaranya mati ujung, busuk akar, busuk buah, bercak daun, dan sapu setan
(Punithalingam 1980). Pada jeruk, B. theobromae menyebabkan kematian cabang,
pada kakao dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker batang, pada
karet menyebabkan mati pucuk, pada pisang dan manggis cendawan B.
theobromae dapat menyebabkan busuk buah.
Di pulau Jawa, cendawan B. theobromae mempunyai arti penting terutama
di daerah dataran rendah. Jenis jeruk keprok (Citrus nobilis) dan jeruk besar
(Citrus grandis) sering sangat menderita karena serangannya. Di Kabupaten
Magetan sekitar 500 ha pertanaman jeruk besar yaitu 85% dari jumlah pohon telah
terserang oleh cendawan ini dengan tingkat serangan ringan sampai sedang (22 37%) (Wiratno dan Nurbanah 1997). Serangan juga terjadi di Kamerun pada
tahun 1985 pada kakao dan menjadi faktor pembatas produksi kakao (Mbenoun et
al. 2008). Pohon karet di Vietnam tahun 1921 terdeteksi terserang cendawan ini
dan menjadi wabah pertama pada tahun 1998 di daerah penanaman karet
tradisional di Vietnam (Pha et al. 2010).
B. theobromae telah diketahui
menyerang pada pisang sejak 1931 dan mampu menyebabkan pembusukan cepat
buah pisang di gudang (Goos et al. 1961). Di Brasil, cendawan ini dianggap
sebagai masalah utama bagi pertanian karena hal ini terkait dengan beberapa
penyakit buah-buahan tropis (Nunes et al. 2008).
Gejala Penyakit Blendok pada Berbagai Tanaman
Gejala pada tanaman jeruk (penyakit kulit diplodia)
Cendawan B. theobromae menyerang kulit kayu seperti pada ranting jeruk
keprok dan batang jeruk limau (Davis et al. 1987). Serangan ditandai dengan
keluarnya blendok (gum) yang berwarna kuning emas dari batang atau cabangcabang yang besar. Kadang-kadang serangan terbatas pada jalur yang sempit.
Setelah beberapa lama kulit yang mengelupas dan luka menjadi sembuh namun
sering penyakit berkembang terus sehingga meluas dan menyerang hingga masuk
ke dalam kulit kayu, merusak kambium, kemudian cabang digelang dan mati.
Serangan patogen dengan gejala seperti ini disebut diplodia basah. Pada diplodia
kering lebih berbahaya, karena gejala permulaan sulit diketahui. Infeksi baru
diketahui jika daun telah menguning sehingga cabang yang sakit tidak dapat
tertolong. Kulit mengering, dan jika dipotong, kulit dan kayu di bawahnya
berwarna hitam kehijauan. Kulit yang sakit membentuk celah-celah kecil, dari
dalamnya keluar massa spora yang semula berwarna putih, tetapi akhirnya
berwarna hitam (Semangun 2007). B. theobromae tumbuh secara saprofit di kayu
mati untuk meningkatkan potensi inokulum sebelum dapat menyebabkan
kerusakan yang signifikan pada jaringan sehat (Davis et al. 1987).
Gejala pada tanaman kakao (penyakit botryodiplodia)
Cendawan B. theobromae berperan sebagai parasit lemah pada cabang dan
ranting. Cendawan ini hanya dapat menginfeksi jaringan-jaringan yang lemah,
atau menjadi patogen sekunder, atau menginfeksi melalui luka-luka karena
serangga. Botryodiplodia dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker
batang (Semangun 2000).
Gejala pada tanaman karet
Gejala awal ditandai dengan terbentuknya pustul secara sporadis dan
kemudian mereka menyatu menjadi lesio luas pada batang karet. Infeksi berat
menyebabkan perdarahan pada lateks, retak, kulit membusuk dan gumosis. Pada
tanaman yang masih muda, infeksi awal pada tunas muda berupa lesio kecil
berwarna cokelat gelap, menyebar cepat, kemudian kulit membusuk, bagian daun
yang terinfeksi menjadi kuning karena kurangnya pasokan gizi dan air. Infeksi
yang parah menyebabkan kematian pada ranting mulai dari ujung (mati pucuk)
(Pha et al. 2010).
Gejala pada tanaman pisang (busuk buah)
Serangan Cendawan B. theobromae mengakibatkan buah yang mulai
matang-peram mengalami pembusukan menjadi berwarna cokelat atau hitam.
Spora cendawan sudah terdapat pada permukaan buah di lapangan sehingga
4 apabila buah mulai matang spora akan berkecambah dan mengadakan infeksi.
Gejala mulai timbul pada tangkai buah kemudian meluas ke seluruh bagian buah.
Gejala yang timbul yaitu buah menjadi lunak dan berair, serta mengeluarkan bau
(aroma) yang khas. B. theobromae menyebabkan busuk ujung buah (tip rot),
busuk telapak, dan busuk pangkal. Penyakit ini merusak buah pisang yang matang
dalam pengangkutan atau simpanan (Semangun 2007).
Gejala pada tanaman manggis
Penyakit busuk buah manggis menunjukkan gejala awal berupa kerak atau
burik pada buah muda. Burik berwarna cokelat, pecah-pecah, dan mengeluarkan
getah berwarna kuning. Burik biasanya berawal dari ujung buah, lalu menjalar
kearah sepal atau sebaliknya (AgroMedia 2009). Kulit tampak kehitaman dan
mengkilat kemudian menjadi burik karena cendawan membentuk banyak
piknidium yang menghasilkan konidium (Semangun 2007).
Pengendalian Penyakit B. theobromae
Bentuk kegiatan pengendalian penyakit B. theobromae dapat dilakukan
dengan cara kultur teknis, mekanis dan kimia. Pengendalian secara kultur teknis
yaitu dengan menjaga kebersihan kebun, memangkas ranting-ranting kering, dan
memperbaiki drainase kebun. Pengendalian secara mekanis yaitu dengan
memotong bagian cabang yang terinfeksi dan bekas potongannya diolesi parafin,
membakar atau menimbun bekas pemangkasan, pemotongan dan pembongkaran.
Pengendalian secara kimia yaitu dengan menjaga kebersihan alat pertanian seperti
pisau, gunting pangkas maupun gergaji atau alat lainnya, sebelum dan setelah
digunakan diolesi kapas yang dibasahi alkohol 70% atau 10% pemutih atau
klorox, menyaput batang utama, cabang primer dan sekunder dengan fungisida
yang ada (bahan aktif benomil atau Cu) atau dengan bubur California yang dapat
dibuat sendiri. Penyaputan batang dilakukan paling sedikit dua kali setahun, yaitu
pada awal dan akhir musim hujan. Bagian tanaman yang akan disaput, dibersihkan
dari blendok dan kulit kering yang mengelupas dengan cara disikat (Wiratno dan
Nurbanah 1997).
5 Taksonomi & Morfologi Cendawan B. theobromae
Taksonomi Cendawan B. theobromae
Menurut Semangun (2007) penyakit kulit diplodia disebabkan oleh
cendawan Botryodiplodia theobromae Pat., yang dulu banyak dikenal dengan
nama Diplodia natalensis P. Evans.
Klasifikasi B.
theobromae adalah
(Alexopoulos 1960) :
Kingdom : Fungi
Phylum
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Sphaeropsidales
Famili
: Sphaeropsidaceae
Genus
: Botryodiplodia
Spesies
: Botryodiplodia theobromae
Morfologi Cendawan B. theobromae
Botryodiplodia theobromae (Pat.) merupakan sinonim dari Lasiodiplodia
theobromae (Pat.) Griff. & Maubl.
yang memiliki perkembangbiakan secara
aseksual dari genus Botryosphaeria rhodina (Berk. & MA Curtis) ARX (Mohali
2005). Lasiodiplodia theobromae adalah bentuk anamorf dari Botryosphaeria
rhodina (Berkeley & Curtis) von ARX dan sebagai cendawan yang memiliki kelas
deuteromycetes (Nunes 2008).
Punithalingam (1976) menyebutkan bahwa karakter morfologi cendawan
B. theobromae ditandai dengan pertumbuhan miselia dari isolat B. theobromae
seperti benang rambut halus atau kapas, miselium udara berlimpah. Koloni mulamula berwarna sepia berubah menjadi abu-abu kemudian menjadi hitam. Piknidia
sederhana, bergerombol, sering agregat, stromatik, ostiolate, lebar sampai dengan
5 mm. Konidia awalnya uniseluler, hialin, granulosa, subovoid sampai ellipsoidooblong, berdinding tebal, memotong seperti sekat; konidia matang uniseptate,
coklat seperti warna kayu manis, berukuran 20-30 µm x 10-15 µm.
Pada jeruk B. theobromae membentuk piknidium yang tersebar, mulamula tertutup, kelak pecah, hitam, berpapil, berukuran 150 - 180 µm. Konidium
jorong, bersekat satu, tidak berkonstriksi, berwarna gelap, rata-rata berukuran 24
6 µm x 15 µm, eksosporanya mempunyai jalur-jalur (Semangun 2007). Berbeda
dengan pada jeruk, pembentukan piknidium cendawan B. theobromae pada kakao
memerlukan cahaya. Piknidium berukuran 135 - 230 µm x 95 - 155 µm. konidium
(piknidiospora) mula-mula berwarna coklat muda dan tidak bersekat, tetapi
menjelang dilepaskan coklat tua dengan satu sekat melintang, dengan dinding
spora sekunder. Konidium berukuran 24 - 30 µm x 11.5 - 13.5 µm, keluar melalui
lubang ostiol seperti masa lengket berwarna putih sampai coklat muda.
(Semangun 2000). Botryodiplodia theobromae pada pisang memiliki konidia
berbentuk elips, mula-mula hialin dan uniseluler kemudian menjadi coklat dan
bersekat tunggal. Konidia berukuran 20-30 µm x 10-18 µm (Goos et al. 1961).
A,B: Piknidia
C: Sel konidiogen
dan konidia
D: Konidia
Gambar 1 Piknidia dan konidia cendawan B. theobromae (Punithalingam 1976).
Pavlic et al. (2004) dalam penelitiannya menemukan ciri umum pada isolat
B. theobromae yang berasal dari Amerika Serikat, Amerika Selatan, Afrika
Selatan dan Asia memiliki konidia berukuran 18–30 x 10–15 µm.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah
metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen
7 nukleotida tertentu secara in vitro. Metode PCR sangat sensitif. Sensitivitas
tersebut membuatnya dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA.
Dengan metode PCR, dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA sebesar
200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit. Hal ini
menunjukkan bahwa pelipatgandaan suatu fragmen DNA dapat dilakukan secara
cepat. Kelebihan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan
dengan menggunakan template DNA dalam jumlah sangat sedikit (Yuwono
2006).
Prosedur reaksi PCR terdiri dari tiga tahap yaitu denaturasi, annealing
(penempelan primer) dan ekstensi (sintesis DNA). Reaksi PCR ditentukan oleh
kondisi suhu, denaturasi template, primer, annealing (penempelan primer) dan
ekstensi (sintesis DNA). Pada langkah pertama, denaturasi template DNA untai
ganda pada suhu 90-95 °C. Kemudian suhu diturunkan hingga sekitar 55 °C,
primer menempel ke ujung 5 pada template yang telah terpisah menjadi untai
tunggal. Untuk langkah ekstensi, suhu dinaikkan menjadi 72 °C dan primer-target
berfungsi sebagai titik awal untuk sintesis DNA baru. Waktu untuk setiap langkah
biasanya 1-2 menit. Tiga langkah berurutan ini disebut sebagai satu siklus PCR.
Pada siklus kedua, untai DNA yang baru disintesis dipisahkan dari untai asal oleh
denaturasi dan masing-masing untai berfungsi lagi sebagai template dalam
penempelan dan ekstensi. Secara teoritis, siklus PCR memungkinkan amplifikasi
2n kali lipat DNA target. Biasanya PCR dilakukan sebanyak 30-40 siklus. Namun
banyaknya siklus tergantung pada konsentrasi DNA target didalam campuran
reaksi (Edel 1998).
Random Amplified Polymorphic DNA Polymerase Chain Reaction (RAPDPCR)
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) merupakan salah satu
teknik molekuler berupa penggunaan penanda tertentu untuk mempelajari
keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR
yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara in vitro. Teknik ini melibatkan
penempelan primer tertentu yang dirancang sesuai dengan kebutuhan. Tiap primer
dapat berbeda untuk menelaah keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda.
Penggunaan teknik RAPD memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme
8 fragmen DNA yang diseleksi dengan menggunakan satu primer arbitrasi, terutama
karena amplifikasi DNA secara in vitro dapat dilakukan dengan baik dan cepat
dengan adanya PCR. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana dan mudah
dalam hal penyiapannya. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat
dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu
menghasilkan jumlah karakter yang relatif tidak terbatas, sehingga sangat
membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak
diketahui latar belakang genomnya. Teknik RAPD sering digunakan untuk
membedakan organisme tingkat tinggi (eucaryote). Namun demikian beberapa
peneliti menggunakan teknik ini untuk membedakan organisme tingkat rendah
(procaryote) atau melihat perbedaan organisme tingkat rendah melalui piranti
organel sel seperti mitokondria (Suryanto 2003).
Menurut WSSP (2009) RAPD PCR memiliki keterbatasan diantaranya
hampir semua penanda RAPD adalah dominan karena tidak mampu membedakan
apakah suatu segmen DNA dari lokus yang heterozigot (1 salinan) atau homozigot
(2 salinan). PCR adalah reaksi enzimatik, sehingga kualitas dan konsentrasi DNA
template, konsentrasi komponen PCR, dan kondisi siklus PCR dapat sangat
mempengaruhi hasil dari amplifikasi DNA. Ketidaksesuaian antara primer dan
DNA template dapat berpengaruh terhadap total produk PCR serta penurunan
dalam jumlah produk sehingga mengakibatkan hasil RAPD sulit diinterpretasikan.
Penggunaan RAPD-PCR dalam Analisis DNA Cendawan
Teknik RAPD-PCR memanfaatkan primer acak oligonukleotida pendek
(dekamer) untuk mengamplifikasi DNA genom organisme. Prinsip teknik RAPD
didasarkan pada kemampuan primer menempel pada DNA template. Primer yang
didesain berupa primer tunggal pendek agar dapat menempel secara acak pada
DNA genom organisme. Dengan demikian akan terdapat banyak pola fragmen
DNA. Perbedaan ini dapat dilihat dengan adanya pola pita pada gel agarosa
setelah diwarnai dengan pewarnaan DNA seperti seperti etidium bromide
(Sambrook et al. 1989).
Saat ini pendekatan RAPD PCR banyak digunakan untuk menghasilkan
molekul penanda yang berguna untuk taksonomi dan untuk karakterisasi populasi
9 cendawan. Keuntungan utama dari pendekatan ini adalah informasi terkait urutan
DNA sebelumnya tidak diperlukan, sehingga setiap primer acak dapat diuji untuk
mengamplifikasi DNA setiap cendawan. Primer RAPD dipilih secara empiris dan
diuji eksperimental untuk menemukan pola pita RAPD yang polimorfik diantara
taksa yang diteliti. Metode RAPD telah berhasil digunakan untuk membedakan
dan mengidentifikasi cendawan pada tingkat intraspesifik dan tingkat interspesifik
(Edel 1998).
10 
Download