MAKALAH DISKUSI SERIAL TERBATAS ISLAM, HAM DAN GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA Penegakkan Syariah Islam dan Refleksi HAM Oleh: Dr. H. Amir Mahmud, M.A Yogyakarta, 13 – 14 Agustus 2008 Penegakkan Syariah Islam dan Refleksi HAM Oleh : Dr. H. Amir Mahmud, M.A Islam dan Ajarannya 1. Islam adalah aturan dan sistem hidup yang universal, seperti dapat disimpulkan setidaknya dari dua ayat dalam Qur’an berikut. “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (al - Maidah 3) “dan ‘…tetapi dia adalah rasulullah dan penutup para nabi” (al Ahzab 40). Kesempurnaan dan universalitas konsep sistem hidup Islam ini telah nyata-nyata ditulis dalam ayat yang pertama tadi, sebagaimana juga dinyatakan dalam ayat berikutnya bahwa pembawa sistem itu, nabi Muhammad saw, adalah tahap akhir dari rangkaian misi kenabian selama ribuan tahun. Dengan demikian, tidaklah akan ada lagi pembaharuan terhadap sistem nilai Islam ini, seperti halnya tidaklah bakal turun seorang nabi lagi. “Di dalam Islam, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan hak kepada manusia sebelum ia lahir ke dunia lagi (dalam keadaan janin)! Setelah dilahirkan , manusia itu ‘tidak bebas’ dan tidak sama di dalam semua masalah hak. Manusia dilahirkan tidak bebas, yang dimaksud manusia itu ‘terikat’ dengan hukum syara’. Dari segi hak , manusia ada yang sama dan ada yang berbeda tergantung pada beberapa keadaan dan peringkat (i) Hak janin (yakni) bermula dari umur 40 hari hingga dilahirkan (ii) Hak manusia (kanak-kanak) yang belum mumayyiz (altufla) (yakni) dari saat dilahirkan hingga mumayyiz (iii) Hak manusia (kanak-kanak) yang telah mumayyiz sehingga akil baligh (al-tamyiz) (iv) Hak manusia yang telah baligh (al-bulugh) hingga mati (v) Hak manusia setelah mati (hak ke atas mayat). Selain kelima tahap ini, Islam juga membedakan beberapa hak dan tanggungjawab di antara lelaki dan wanita, seperti di dalam hal aurat, perkahwinan dan harta pusaka. Islam juga membedakan hak antara anak zina dengan anak yang dilahirkan hasil dari perkahwinan yang sah.” Universalitas sistem Islam ini berlaku setidaknya dalam 3 hal: Pertama, universal dalam waktu. 1 Islam dan seluruh sistem nilainya dapat berlaku dan diberlakukan disemua jaman, kapan saja. Mulai dari dahulu ketika Rasulullah Muhammad saw masih hidup, disekitar tahun 610 sampai tahun 630 an, berlanjut ke jaman kekhalifahan dan kerajaan-2 Islam selama lebih dari 15 abad, sampai kini dan yang akan datang hingga hari akhir. Kedua, universal dalam tempat. Sistem nilai Islam juga dapat berlaku dan diberlakukan disemua tempat didunia ini, dimana saja. Dari daerah-2 di utara seperti Canada, Siberia, Rusia, Swedia, daerah kutub utara dll sampai di daerah-2 selatan seperti Amerika Latin, Australia, Afrika Selatan dan kutub selatan. Ini penting disebut karena dalam sholat misalnya, waktu-2nya berbeda secara signifikan dengan daerah dimana Islam lahir. Pelaksanaan ajaran Islam tidak bergantung atau tergantung kepada dimensi tempat. Ketiga adalah perkembangan peradaban. Ini artinya, sistem Islam dapat berlaku dan diberlakukan dalam semua jenis peradaban manusia yang pernah, sedang dan akan berlangsung. Didalam masyarakat yang sederhana dan kuno, Islam dapat berlaku dan diberlakukan. Didalam negara yang dijalankan dengan sistem komunis, sosialis ataupun kapitalis, bagi penduduk ditempat-tempat seperti itu, Islam masih bisa berlaku dan diberlakukan. Tidak tertinggal, didalam masyarakat yang sangat modern seperti sekarang inipun, nilai-2 Islam juga masih dapat diterapkan dan diberlakukan. 2. Pengertian Syaria’at dan fiqh, Syari’at Secara etimologis, Syaria’at berarti jalan yang lurus, sebagaimana firman Allah: ‘Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu Syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama) maka ikutilah syari’at itu” ( Q.S : Al-Jatsyiah:18 ). Secara istilah (terminologis) adalah hokum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah kepada para hambanya agar mereka beriman dan mengamalkan hal-hal yang membawa kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat ( QS: 7:5) Fiqh Secara etimologis, berarti faham, setelah Al-Qur’an diturunkan, kata fiqh mempunyai pengertian: memahami hal-hal yang berhubungan 2 dengan agama. Sebagaimana sabda nabi: “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi baik, niscaya ia memahamkan orang itu tentang Agamanya” Bukhari. Sehingga muncul dengan Illmu Fiqh, yaitu Ilmu pengertahuan mengenai hokum syari’at dengan jalan berijtihad.JAdi ilmu fiqh itu memeuat kumpulan dari hokum-hukum Syari’at, hokum syariat itu dapat diketahui setelah dapat menemukan suatu dalil dan dalil itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan sesuatu hokum dalam agama islam, sedangkan hokum-hukum tadi diperoleh dengan jalan ijtihad; yakni dengan susah payah dan kesungguhan para ulama yang ahli menjadi ilmu Fiqh. Tersusun demikian rupa diberi bab-bab dan fasal yang tertentu. Menurut sejarah sepanjang riwayat yang mula-mula menyusun ilmu Fiqh adalah: Imam Abu Hanifah (80-150 H) di Bagdad. Contoh Hukum syara’: niyat itu wajib hukumnya bagi semua perbuatan. Orang sholat harus suci tubuhnya. Dan lain sebaginya. Islam dan Pergerakan dalam sorotan Pada perkembangan dan aktivitas keagamaannya Umat Islam mengalami proses identitas keyakinan yang menjadikan pola dalam memmenuhi tegaknya syatiat Menurut pembahasan ini diawali dengan peta pemikiran Islam. Sayyed Hussein Nasr,1 menyebutkan ada empat tipe pemikiran Islam, yaitu: Pertama, Muslim modernis yang berupaya memberikan penafsiran terhadap Islam melalui cara pandang Barat dengan sifat liberalismenya. Tokoh-tokoh golongan ini, Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun, sering kali atas dasar rasa rendah diri vis-à-vis Barat dan ingin sekali mengimbangi setiap sesuatu yang Barat, pembaru-pembaru masa awal menjadi kekuatan yang kuat selama model Barat itu sendiri tampak aktif dan dalam kenyataannya, mendominasi dunia. Kedua, Messianisme, yaitu suatu paham yang menantikan datangnya seorang “yang akan menyelamatkan umat manusia dan mewujudkan keadilan bagi penduduk bumi.” Pemandanga ini mengambil bentuk yang sangat berlainan dalam bermacam-macam konteks yang melahirkan al-Mahdi di Sudan serta al-Bab di Persia, tetapi basis fenomena hampir sama di mana saja.Yaitu sebagai penampilan seorang figur karismatik yang menyatakan diri sebagai al-Mahdi atau wakilnya yang berhubungan langsung dengan Tuhan dan agenagennya di alam semesta. Secara umum, gerakan ini muncul karena Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (Kuala Lumpur: Foundation for Traditional Studies,1987), hlm. 299-316. 1 3 frustasi atas keagamaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka yakini sendiri untuk diwujudkan, maka reaksinya adalah sejenis politiko-sosial. Yang mana reaksinya tentu adalah yang menjanjikan kemenangan dengan bantuan sang ilahi akan tetapi atas dasar penghancuran sistem yang ada. Maka itulah kaum Muslim tradisional meyakini bahwa hanya al-Mahdi yang muncul sebelum akhir zaman. Ketiga, Fundamentalisme. Istilah ini diambil dari konteks Kristen dengan konotasi yang berlainan sama sekali. Fundamentalisme dalam konteks Kristen, terutama di Amerika, merujuk kepada bentuk-bentuk konservatif protestanisme. Gerakan ini yang biasanya anti modernis dan memiliki interpretasi sempit dan harfiah terhadap Bibel dan dengan penekanan yang tandas atas etika Kristen. Karakteristik ini tentu berbeda dengan fundamentalisme dalam Islam, bahkan jauh lebih banyak perbedaannya daripada kemiripannya, terutama dalam aliran-aliran yang lebih anti-Barat. Dalam pandangan Islam, yang termasuk dalam kategori paham “fundamentalisme” adalah gerakangerakan yang bermaksud mengislamkan masyarakat sepenuhnya melalui penerapan syariat dengan cara damai. Sejalan dengan paparan Nasr, R. Garaudy memberikan karakteristik dasar yang ada pada fundamentalisme secara umum, yaitu pertama, ciri statisme, yang menentang penyesuaian dan kejumudan yang menentang setiap perkembangan atau perubahan. Kedua, adanya konsep ‘kembali ke masa lalu’, keterikatan pada warisan dan tradisi, Ketiga, sifat tidak memiliki toleransi, tertutup, menganut kekerasan dalam bermazhab, “penentangan dan perlawanan “beku”.2 Berdasarkan paparan di atas, baik Nasr maupun Garaudy, menunjukkan bahwa “fundamentalisme” adalah sisi lain dari modernisme, yang muncul sebagai reaksi atas gerakan modernis, dengan menegaskan kembali jati dirinya sebagai Muslim, yang disertai dengan upaya interpretasi literal terhadap kitab suci (al-Qur’an dan Hadits) sebagai fundamen agama Islam. Dengan demikian, fundamentalisme Islam berbeda dengan fundamentalisme dalam agama Kristen Protestan di Amerika Serikat yang menekankan kebenaran Bibel dan menekankan temuan-temuan sains modern yang bertentangan dengan ajaran yang tertuang dalam kitab suci umat Kristen3 Roger Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1993), hlm. 4. 3 Encyclopedia Americana (USA: Glrier Incorporated, 1993), hlm. 123. 2 4 Keempat, Islam tradisional, menurut Nasr, cenderung bertahan kepada sebuah amalan dan lebih menekankan kepada hubungan langsung antara manusia dan Tuhan dan tiadanya otoritas religius sentral, artinya lebih terfokus kepada sebuah esensial spiritual. Islam tradisional menerima al-Qur’an sebagai Kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya, dan juga menerima komentarkomentar tradisional atas al-Quran, yang berkisar dari komentarkomentar linguistik dan historis hingga yang metafisikal. Islam tradisional menginterpretasikan al-Qur’an bukan berdasarkan makna literal dan eksternal, tetapi berdasarkan tradisi penafsiran, yang sudah menjadi lazim di zaman Nabi saw. Islam tradisional mempertahankan syariat sebagai hukum ilahi sebagaimana ia dipahami dan diartikan selama berabad-abad dan telah menjadi madzhab-madzhab klasik hukum. Ia menerima kemungkinan ijtihad dan memanfaatkan alat-alat penerapan hukum lain dalam situasisituasi yang baru muncul, namun selalu selaras dengan prinsip-prinsip legal tradisional seperti qiyas dan ijma’.4 Fenomena agama sebagai kenyataan sosial sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Wilayah kerja agama, secara sosiologis, adalah kehidupan manusia konkret-historis dari sejak lahir sampai matinya. Dalam realitasnya, agama mengandung wajah ganda (double face), di satu sisi agama memberi dorongan atas terwujudnya etos saling menghormati dan menghargai sesama manusia. Agama juga dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim.5 Menurut pandangan Durkheim, corak utama dari semua agama adalah berhubungan dengan suatu yang suci (sacred real). Dia mendefinisikan agama sebagai berikut: “A Religion is a united system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, thing set a part and forbidden beliefs and prectices which unite into one single moral community called a church, all those who adhere to them”.6 Analisis utama Durkheim meliputi usaha mencari sumber ide mengenai sesuatu yang suci itu. Dengan kata lain, apa yang menjadi pengalaman manusia, yang menimbulkan munculnya ide mengenai suatu dunia yang suci itu, seluruhnya berbeda dari yang biasa, dari kehidupan Syamsul Hidayat, SUHUF, No. 1 Tahun IX-1997, hlm. 14. Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 1. 6 Emile Durkheim, “Search for positive Definition” dalam Louis Schneider (ed), Religion, Culture and Society (New York: John Wiley and Sons, 1964), hlm. 59. 4 5 5 sehari-hari. Meskipun demikian, pengalaman agama dan ide tentang yang suci adalah kehidupan kolektif. Sebagaimana terdapat di kalangan kaum Muslimin yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa madzhab salaf adalah apa yang ada pada para sahabat mulia, para pengikut mereka (tabi’ n), pengikut-pengikut para tabi’in (tabi’it tabi’ n), dan imam-imam agama yang diakui kepemimpinannya sebagai pengganti dari pendahulunya, seperti imam empat (Imam Ahmad, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah). Sufyan ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, Ibn Mubarak, Bukhari, Muslim, serta penulis-penulis kitab-kitab sunan (Ab Dawud, Tirm dzi, Nasa’i, dan Ibn Majah). Sehingga setiap yang iltizam pada akidah sesuai dengan para imam tersebut, bisa dinisbahkan salafi kepada mereka walaupun mereka berjauhan tempat dan waktu.7 Jika kata salaf itu ditinjau dari arti bahasa, maka maknanya sangatlah nisbi (relatif), karena sangat terkait dengan zaman (waktu) yang datang sesudahnya. Seperti halnya dengan kalimat “qablu” (masa lampau) dari zaman yang datang sesudahnya dan sebagai “khalaf” (zaman baru). Persoalan salaf tidaklah hanya terbatas pada kata dan namanya saja, atau mengambil contoh sebagian saja dari mereka. Tetapi juga menjadikan mereka sebagai ittiba’ (contoh), paling tidak dalam hal kaidah-kaidah menafsirkan dan menakwilkan nas, dan dasar-dasar ijtihad untuk memahami prinsip-prinsip hukum Islam. Oleh karenanya, kewajiban tersebut merupakan tanggung jawab bersama bagi semua golongan umat Islam, dengan tidak membedakan waktu dan tempat. Dalam hal ini, golongan salaf tidaklah istimewa dari khalaf kecuali mereka mempunyai keutamaan dan atensi yang besar terhadap kaidah-kaidah tersebut. Perkembangan Islam dalam suatu masyarakat Indonesia, kini telah mengalami suatu proses dinamika pemikiran yang sangat pesat, terutama pada 15 tahun terakhir ini. Pada tingkat tatanan berfikir tersebut banyak mengalami perubahan sikap dan prilaku yang mengarah kepada sebuah gerakan pemikiran “Ideologi”, sehingga tidak sedikit dari ajaran yang berkembang memunculkan antagonisme diantara berbagai komunitas muslim. Fatalnya sesuatu ajaran atau pemikiran yang di agungkan tersebut menjadikan pembelaan dan perwujudan serta pendukung bagi ideologi Barat atau Jahiliyah. Peta pemikiran Umat Islam, menurut Prof. Von Grunebaum(1) dalam gejalanya ada empat: 1. Kelompok apologetic, yaitu golongan yang hanya mengagungkan dengan pembelaan diri semata. Ala’ Bakar, Malamih Ra’isiyah li al-Manh j al-Sal fi: Muhadharat Fissalafiyah (Darul Aqidah, 1422 H), hlm. 46. 7 6 2. Kelompok reformis yang “reactionary theology” atau “reaksioner kolot” 3. Kelompok yang berjiwa Westernisasi (kebaratan ). 4. Kelompok propagandis politik. Munculnya berbagai pemikiran Islam sebagai wacana kekinian membuktikan sebagai sikap pemerhati keislaman dari kegelisahan akademis yang melahirkan teori-teori baru, namun dalam kenyataannya tokoh-tokoh/ pemikir Islam tersebut justeru telah terbiasa berinteraksi bahkan mengadopsi teori-teori barat untuk dikolaborasikan dengan teori Islam yang dianggap perlunya ada kritik terhadap Alqur’an. Diantara tokoh-tokoh tersebut seperti: Fazlur Rahman dengan nomodernismenya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan Strukturalismenya, Muhammad Abed al-Jabiri dengan posttradisionalismenya, Hasan Hanafi dengan oksidentalismenya, Muhammad Arkun dengan post modernismenya dan M. Syahrur dengan marxismenya. Islam dan Hak Asasi Manusia Sejak pendeklarasiannya tahun 1948, isu tentang HAM terus hangat dibicarakan sampai sekarang, baik itu oleh akademisi, pers, organisasi pemerintah, lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, maupun para aktivis HAM disemua level; domestik, regional, dan internasional. Isu ini terus menggelinding dari mulai mendiskusikan tentang pentingnya suatu negara menjunjung tinggi HAM sampai perlu diadilinya para pelanggar HAM, bahkan perlunya mengembargo negara yang tidak memerdulikan hak yang paling asasi bagi manusia tersebut. Tulisan ini akan mencoba mendiskusikan dua isu yang berkaitan dengan hal ini. Pertama, kontroversi apakah HAM harus dipahami sebagai prinsip universal yang bisa diterapkan bagi seluruh umat manusia atau hanya dipandang sebagai nilai esensial yang dibentuk oleh suatu negara yang hanya berlaku bagi negara tertentu. Kedua, hubungan Universal Declaration of Human Rights di satu sisi dan nilai-nilai universal Islam di sisi lain, adakah kontradiksi atau konflik nilai di dalamnya? Apakah Declaration of Human Rights itu Universal? Pertanyaan tentang apakah human rights bersifat universal atau partikular sudah lama dibicarakan oleh para ilmuwan sosial diberbagai penjuru dunia. Apakah setiap pasal yang ditulis dalam deklarasi itu 7 mengandung nilai-nilai universal? Bisakah semua nilai itu diaplikasikan di setiap negara dan setiap masa dengan melampau batas-batas budaya? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul karena PBB mencantumkan kata "universal" dalam judul deklarasi tersebut. Padahal, Universal Declaration of Human Rights bukanlah kebenaran wahyu dari Dzat yang transenden untuk manusia di dunia. Deklarasi ini tidak lebih dari sekadar sebuah dokumen yang disepakati oleh sekelompok orang dalam konteks sociohistoris yang spesifik. Menurut Honey (1999) deklarasi itu merupakan hasil dari pergulatan politik, sosial, budaya, dan ekonomi dalam suatu masa. Kita perlu mengkritisi mengapa universalitas deklarasi ini perlu dikritisi dan dipertanyakan: *menurut Cassese dalam "Human Rights in a Changing World" (1994), ada banyak perbedaan filosofis yang fundamental dalam memandang konsep hak asasi. Cassese memberi contoh tentang adanya perbedaan konsep hak asasi antara negara-negara Barat kapitalis dan negara-negara sosialis. *Bagi Barat, hak asasi adalah sesuatu yang melekat pada setiap individu dan merupakan faktor intrinsik setiap manusia sehingga negara harus menghargai hak asasi rakyatnya. Sementara bagi negara-negara sosialis, hak asasi hanya ada dan melekat pada masyarakat dan negara sebagai suatu kelompok, bukan sebagai individu. *Persoalan lain adalah perbedaan culture. Adalah perlu untuk dicatat bahwa hampir tidak ada sistem nilai yang bisa disebut universal. Sistem nilai biasanya adalah sesuatu yang dibatasi oleh persepsi budaya. Tharoor (1999) menulis: "...if there is no universal culture, there can be no universal human rights" (Jika tidak ada kultur yang universal, tidak ada HAM universal). Sebagai contoh, bagi kultur masyarakat Barat, hak asasi individu adalah di atas segala-galanya dan setiap individu harus mendapatkan perlindungan dan kebebasan menghadapi penyalahgunaan kekuasaan dari pemerintah yang sewenang-wenang. Sementara bagi kultur Yunani, kebebasan itu adalah hak kolektif suatu masyarakat yang dibentuk berdasarkan kesepakatan kelompok. Perbedaan cara pandang dan kultur seperti ini memiliki implikasi praktis dalam penerapan nilai-nilai asasi bagi masyarakat. *Kritik para agamawan tentang definisi universalitas hak asasi. banyak menjadi sorotan terbanyak di berbagai media barat dan perbincangan dalam setiap diskusi berkenaan dengan ideology asing.Bagi mereka, tidak ada sesuatu yang universal, termasuk human rights, tatkala sesuatu itu bukan berasal dari Tuhan dan tidak memiliki nilai-nilai transenden (transcendent values). Oleh karena itu adalah tidak pas untuk 8 menempatkan human rights sebagai manifestasi tertinggi dari spritual etik sejarah kemanusiaan. Nilai-nilai yang terkandung dalam deklarasi itu belum bisa menggantikan, misalnya nilai-nilai kasih universal dalam etika Kristen, nilai solidaritas dalam Islam atau etika rasa ikut menanggung penderitaan orang lain dalam agama Buddha. Deklarasi itu tidak lebih hanya berkonsentrasi pada political justice dengan cara mengakomodasi beberapa standar normatif dalam kehidupan manusia. *Jika dilihat secara histories keberadaan konsep human rights tersebut adalah merupakan hasil perkembangan peradaban Barat. Ini merupakan produk historis Eropa sebagai bentuk perlawanan gerakan pluralisme terhadap feodalisme yang berkembang di Eropa ketika itu. Oleh karena itu, penting untuk dicatat bahwa, human rights bagi Bielefeldt (1995) memiliki hubungan eksklusif dengan kultur dan filsafat hidup Barat yang lebih cocok diterapkan pada masyarakat Barat. Karena isu human rights merupakan respons politik terhadap munculnya modern-state di Eropa Barat, menurut Afshari (1994) adalah sangat logis dan natural kalau konsep itu lebih mudah diterima dan diterapkan pada kultur masyarakat Barat. Dari penjelasan di atas tampak dengan jelas bahwa adalah cukup sulit untuk menerapkan standar human rights yang diformulasikan Barat diterapkan pada kultur non-Barat, termasuk pada masyarakat yang memegang etika religius yang ketat seperti pada umumnya masyarakat Timur. Lalu, bagaimana hubungan antara Declaration Human Rights dan nilai-nilai etika Islam? Sebagaimana Kung dan Moltmann dalam "The Ethics of World Religions and Human Rights" (1990) menulis bahwa hampir semua agama besar di dunia memiliki masalah dalam mewujudkan pasal-pasal hak asasi yang tercantum dalam Declaration of Human Rights. Adalah menarik untuk mendiskusikan hubungan antara Islam dan HAM. Salah satu kesulitan yang dihadapi ketika mendiskusikan hubungan antara Islam dan HAM adalah adanya fakta bahwa dalam Islam ada beberapa mazhab dan aliran pemikiran yang berkembang. Meskipun demikian, cendekiawan Muslim yang konsen terhadap isu relativisme budaya dan HAM secara garis besar terbagi kepada dua kelompok. Afshari (1994) menyebutnya sebagai kelompok old-traditionalist dan newtraditionalist, sementara Bielefeldt (1995) menyebut mereka sebagai kelompok konservatif dan liberal. Kelompok konservatif menolak untuk memaksakan standard Barat diterapkan pada masalah-masalah publik masyarakat Muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam masyarakat Islam telah diatur secara jelas 9 oleh norma agama. Bagi kelompok ini, universalitas HAM yang dipromosikan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Muslim. Meskipun demikian, kelompok ini tidak serta-merta menolak seluruh konsep tentang HAM yang ditawarkan Barat, mereka menawarkan solusi dengan penekanan pada perlunya masyarakat Islam merumuskan konsep HAM dengan framework yang islami. Kelompok liberal di pihak lain telah jauh melangkah dengan mencoba menafsirkan teks-teks sakral agama dengan cara mengembangkan metodologi penafsiran baru. Bagi kelompok ini diperlukan reinterpretasi baru atas nilai-nilai Islam untuk memenuhi tuntunan norma global. Ahmed An-Naim (1994), seorang cendekiawan hukum Islam yang konsen dengan HAM, mengatakan bahwa secara substantif nilai-nilai Islam sangat mendukung dan sejalan dengan norma legal HAM yang dikembangkan Barat jika nilai-nilai Islam ditafsirkan secara akurat. Untuk mendukung pernyataannya, Naim menunjuk elastisitas Islam yang memiliki kafabilitas tinggi dalam mengakomodasi variasi interpretasi teks. Lebih jauh, kaum liberal Muslim memandang bahwa tidak ada kontradiksi yang prinsipil antara nilai-nilai Islam dan standard HAM internasional yang dikembangkan PBB. Ide-ide Al Quran tentang tingginya martabat manusia, perlunya solidaritas kemanusiaan bahkan tidak adanya pemaksaan dalam beragama menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai HAM. Sampai sekarang, kontroversi antara kaum konservatif dan liberal Muslim tentang hubungan antara Islam dan HAM masih belum berakhir. Namun, untuk menyinergikan dan membangun suatu konsep tentang HAM dengan framework islami, seperti ditekankan kaum konservatif, masyarakat Muslim telah berhasil menyusun dua deklarasi tentang HAM: The Universal Islamic Declaration of Human Rights yang dirumuskan oleh Islamic-Council Eropa pada tahun 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam pada Agustus 1991 sebagai acuan HAM dalam Islam. Untuk melihat apakah ada kontradiksi antara deklarasi HAM produksi Barat yang dipromosikan PBB dan Islam, beberapa contoh pasal yang diambil dari Universal Declaration of Human Rights dan Universal Islamic Declaration of Human Rights dicoba didiskusikan di sini. Pasal 16 deklarasi HAM versi PBB menyebutkan bahwa "wanita dan lakilaki dewasa, tanpa batasan ras, warga negara, atau agama berhak untuk menikah dan memiliki keluarga". Keduanya baik laki-laki maupun wanita memiliki hak yang sama untuk menikah, selama pernikahan dan hak untuk bercerai. Pasal ini jelas kontradiktif dengan norma Islam yang melarang wanita Islam menikah dengan non-Muslim. Pasal 18 menyebutkan bahwa, 10 "Setiap orang memiliki hak kebebasan untuk berpendapat dan beragama, termasuk hak untuk pindah agama". Hak untuk pindah agama banyak ditentang oleh beberapa negara Islam. Meskipun Al Quran mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Isu krusial tentang larangan konversi agama dari Islam kepada non-Islam masih banyak ditentang dalam konsep kebebasan beragama di negara-negara Islam. Beberapa pasal dalam Universal Islamic Declaration of Human Rights juga sangat terbuka untuk dikritik. Sebagai contoh pasal 6 menyebutkan bahwa, "Wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki", padahal dalam tataran realitas masih ada negara-negara Islam yang memosisikan wanita sebagai makhluk kelas dua. Poin lain yang menarik adalah pasal 23 yang mengatakan bahwa, "Karena dalam pandangan Islam negara Islam adalah Ummah Islamiah, maka setiap Muslim memiliki hak untuk secara bebas keluar-masuk negara Islam". Dalam realitas sosial ini sangat sulit untuk diterapkan. Sebagaimana dunia global sekarang mengenal batasan negara dan bangsa, tentunya adalah tidak mungkin misalnya, Muslim Indonesia dengan seenaknya keluar masuk Saudi Arabia, Kuwait, atau negara Islam lainnya tanpa memiliki paspor dan visa. Pemaparan di atas dengan jelas mengindikasikan bahwa perbedaan tafsir atas konsep HAM muncul di mana-mana termasuk dalam tradisi Islam. Sekarang, tantangan bagi Universal Declaration of Human Rights bukan hanya pada tataran konsep "universalitasnya" yang sering dipertanyakan, tetapi lebih penting lagi adalah masalah aplikasi konsep yang harus melintas batas kultur dan masa. Ketika masyarakat global sekarang ini banyak ditandai dengan beragamnya konflik kepentingan, adalah sangat susah, untuk tidak mengatakan mustahil, deklarasi HAM bisa diterima oleh setiap negara dan diterapkan di setiap waktu dan tempat. 11