File

advertisement
PERIODESASI
SEJARAH PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Disusun Oleh :
Muhammad Jayus
Prodi Ilmu Syari’ah
Dosen Pembimbing :
1. Prof. Dr. H. Said Aqil Siradj, MA.
2. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag.
3. Dr. Alamsyah, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2011
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupannya manusia tidak akan terlepas dari yang namanya hukum,
baik dari Tuhan maupun hukum yang dibuat oleh manusia sendiri yang meliputi
hukun Negara, adat dan lain sebagainya. Hukum tersebut akan terus mengikat
selama hayat masih dikandung badan dan selama dunia ini belum berakhir.
Hukum-hukum tersebut diciptakan tidak lain hanyalah demi untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri. Hukun diciptakan agar manusia bisa saling
menghargai diatara sesama. Itulah yang menjadi tujuan awal dari terbentuknya
hukum.
Islam merupakan sumber hukum dan pemikiran dimana Rasulullah hidup
selama tiga belas tahun di Mekkah untuk menyiarkan dan mengingatkan kepada
pemduduk Mekkah pada masa itu untuk menyembah Allah semata dan
meninggalkan segala macam bentuk sesembahan kepada selain-Nya, kemudian
datang fase madinah dimana Rasulullah menegakkan pilar-pilar hukum Islam
yang berdiri dan tegak di atas fondasi utama yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, pada
masa inilah hukum Islam terlembagakan dibawah pimpinan seorang rasul yang
mulia penutup para nabi Muhammad Saw.
Setelah meninggalnya sang nabi akhir zaman dan penyempurna seluruh risalah
Allah di muka bumi kemudian Allah memilih empat diantara para sahabat beliau
untuk meneruskan risalah yang mulia ini dan menegakkan seluruh hukum-hukum
yang terkandung di dalamnya mereka adalah Abu Bakar, Umara bin al-Khaththab,
Usman bin Affan dan Ali bin Abi thalib –semoga ridha Allah senantiasa
terlimpahkan kepada mereka- yang pada masa mereka terbentuklah beberapa
kaidah-kaidah hukum dan perundang-undangan Islam yang bernaung dibawah alQur’an dan as-Sunnah.
Dalam perkembangannya, permasalahan yang berkenaan dengan hukum pun
semakin berkembang dan meluas, maka hukum Islam pun semakin berkembang.
1
B. Rumusan Masalah
Dalam masalah yang telah penulis ungkapkan di atas, maka dalam
makalah ini yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana
perkembangan
pemikiran
hukum
Islam
pada
masa
pertumbuhan?
b. Bagaimana perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa kejayaan?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Periode Pertumbuhan Hukum Islam
a. Masa Rasul dan Pra Islam
Agama Islam sebagai induk hukum Islam, muncul di semenanjung Arabiah, di
satu daerah yang tandus dan panas. Alam yang begitu keras membentuk manusiamanusia yang individualistis. Perjuangan mereka memperoleh air dan padang
rumput menjadi sumber penyebab konflik di antara mereka. Karena itu pula
mereka hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis patrilineal, yang
saling bertentangan.
Rasulullah Muhammad saw. tinggal di Mekkah selama 13 tahun atau 12
tahun 5 bulan dan 13 hari. Sedang setelah hijrahnya ke Madinah adalah masa
tasyri’ yang sebenarnya karena pada masa inilah turunlah beberapa ayat-ayat alQur’an dengan berbagai hal tentang hukum. Setelah al-Qur’an datanglah hadis
dalam berbagai situasi dan kondisi yang bersifat perkataan, perbuatan ataupun
pengakuan serta penetapan untuk menjelaskan berbagai macam peristiwa yang
terjadi.1
Hingga menjelang Muhammad saw diangkat menjadi Rasulullah saw,
bangsa Arab pra Islam percara kepada Allah sebagai pencipta, namun
ditransformasikan dengan menjadikan berhala, pepohonan, binatang dan jin
sebagai sekutu Allah (syirik).Walau pun begitu ada sebagian kecil bangsa Arab
yang masih mempertahankan akidah monoteism seperti yang diajarkan nabi
Ibrahim as. Dari kalangan minoritas inilah, Muhammad saw dilahirkan dan
dibesarkan.
Dalam bidang hukum, bangsa Arab pra Islam menjadikan adat sebagai
hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan mereka mengenal
beberapa macam perkawinan, di antaranya adalah:
1 Muhammad Dja’far, Pengantar Ilmu Fiqhi, Suatu Pengantar tentang Ilmu Hukum Islam
dalam Berbagai Mazhab, Cet. I, Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, September 1993, h. 53-54
3
(1) Istibda, yaitu seorang suami meminta kepada isterinya agar berhubungan
biologis dengan lelaki yang dipandang mulia atau mempunyai kelebihan
tertentu. Tujuannya agar memperoleh anak yang berasal dari orang
terhormat/mempunyai keunggulan tertentu.
(2) Poliandri, yaitu beberapa lelaki bergaul dengan seorang perempuan. Setelah
hamil dan melahirkan, ia memanggil dan memberitahu lelaki yang pernah
menggaulinya, bahwa ia telah memperoleh anak dari hasil hubungannnya
dengan mereka. Lalu ia menunjuk salah seorang dari mereka sebagai bapak
anak itu.
(3) Maqtu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya
meninggal dunia.
(4) Badal, yaitu tukar menukar isteri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan
untuk memuaskan hubungan seks dan terhindar dari kebosanan
(5) Sigar, yaitu seorang wali menikahi anak atau saudara perempuannya dengan
seorang laki-laki tanpa mahar.
Hukum Arab pra Islam bersumber dari adat istiadat. Dalam bidang
muamalah, dibolehkan transaksi barter, jual beli, kerjasama pertanian, dan riba,
serta jual beli spekulatif. Di antara hukum keluarga yang berlaku adalah
dibolehkannya berpoligami dengan perempuan tanpa batas, serta anak kecil dan
perempuan tidak berhak menerima harta warisan.
Setelah Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah, maka mulailah fase
baru dalam kehidupan bangsa Arab. Hukum Islam yang berkembang pada zaman
Nabi saw melalui dua fase, aitu fase Mekkah dan fase Madinah. Pada fase
Mekkah dititikberatkan pada perbaikan akidah. Perbaikan akidah diharapkan
dapat menyelamatkan umat Islam dari kebiasaan sebelumnya seperti kebiasaan
berperang (membunuh), zina, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Juga
diharapkan dapat ditegakkan keadilan, kebaikan dan saling menolong dalam
kebaikan dan takwa serta menghindari saling menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan.
Tasyri’ Islam atau perintisan hukum-hukum dan pelembagaannya hanya
ada pada masa Rasulullah SAW karena Allah SWT tidak akan memberikan
4
wewenang untuk tasyri’ bagi seseorang selain daripada Rasul-Nya dan tasyri’
selalu bersandar pada wahyu yang nyata yaitu pada al-Qur’an dan wahyu yang
tidak nyata yaitu Suunah. Adapun ijtihad Rasulullah SAW rujukannya juga pada
wahyu karena Allah SWT tidak akan membiarkan Rasul-Nya dalam kekeliruan
(Q.S An-Najm : 3-5) :
   
     
   

Artinya :
(3)Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. (4) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (5) Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.2 (QS.
An Najm : 3-5)
Maka penetapannya adalah pembetulan baginya yang setingkat dengan
wahyu. Oleh sebab itu pada masa hidupnya, tercipta dasar-dasar hukum yang
bersifat menyeluruh, dirinci mujma’nya, dibatasi mutlaknya, ditakhsiskan
umumnya dan dihapus yang dikehendaki Allah menghapusnya. Kesemuanya telah
dikokohkan dasar-dasarnya dan telah ditetapkan asas-asasnya, semuanya telah
sempurna di masa risalah sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surah alMaidah ayat 3 dan pada riwayat al-Hakim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
SAW bersabda, yang artinya :
ِ
ِ
ِِ َّ َ‫ت فِ ْي ُكم اَ ْمريْ ِن ما اِ ْن ََت‬
‫ (رواه‬3‫اب هللا َو ُسن َِّة َر ُس ْولِِه‬
ُ ‫تَ َرْك‬
ُ َ‫س ْكتُ ْم ِب َما لَ ْن تَضلُّ ْوا اَبَ ًدا كت‬
َ َ ْ
)‫املالك‬
“Saya tinggalkan di tengah-tengah kamu sekalian yang apabila kamu
memegang teguh padanya kamu tidak akan tersesat sesudah aku (tinggalkan
kamu) yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).
Kalau kita membaca al-Qur’an dan mengamatinya secara seksama akan
kita dapatkan penetapan hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan
masyarakat. Hukum-hukum fiqhiyyah kebanyakan berupa jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kaum muslimin terhadap Rasulullah SAW
2 Departemen agama RI, Al qur’an dan Terjemahnya, Diponegoro, hlm.
3 )‫ (مكتبة الشاملة اصدار الثانى‬371 ,5 .‫ ج‬,‫موطأ المالك‬
5
ketika menghadapi masalah-masalah tertentu. Dengan kata “Yasaluunaka”atau
“Yastaftunaka” terdapat 15 tempat dalam al-Qur’an yang semuanya ada pada
surah-surah yang diturunkan di Madinah dan 8 diantaranya erat sekali degan ilmu
fiqh dari berbagai masalah.4
Dengan demikian Rasulullah SAW tidak akan meninggalkan ummatnya
kecuali setelah pokok fiqhi yang menyeluruh dan kaedah-kaedah umum telah
lengkap dan sempurnanya pembinaan syari’ah Islam. Dimana pada akhir periode
Rasulullah SAW, Allah SWT menurunkan ayat 3 dari surah al-Maidah sebagai
penutup tasyri’. Jadi tiada sumber selain al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.5
b. Masa Khulafaur Rasyidin
Adapun ijtihad pada masa sahabat dan tabi’in atau sesudah wafatnya
Rasulullah SAW bukanlah tasyri’ pada hakikatnya akan tetapi suatu
pengembangan dalam dasar-dasar yang universal dan menetapkannya dalam
berbagai peristiwa yang sering terjadi atau istinbat dari pengertian hukum serta
melakukan qiyas padanya dalam hal-hal yang tiada nasnya.
Pada masa Sahabat merupakan masa perkembangan fiqh yang diistilahkan
sebagai masa muda remaja yang dimulai dari periode Khulafaur Rasyidin dan
sahabat-sahabat senior hingga lahirnya imam mazhab dari tahun 11-132 H.
Meliputi periode Khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M) dan periode
Umayyah (40-132 H = 661-750 M)
Pada masa Khulafaur Rasyidin, kekuasaan Islam berkembang diberbagai
daerah jazirah Arab yang meliputi Irak, Syiria, Mesir, daerah-daerah di Afrika
Utara dan lain-lainnya. Walaupun sebagai pasukan militer yang menaklukkan
suatu daerah namun mereka lebih menonjolkan misi dakwah lalu menghadapi
masyarakat dengan hikmah dan ramah tamah. Sehingga mudah berinteraksi dan
berbaur dengan masyarakat penduduk daerah baru yang mendorong adanya
pemikiran-pemikiran baru seperti halnya :
4 Muhammad Dja’far, Op. Cit., h. 57-58
5 Ibid. , h. 56
6
1) Munculnya berbagai peristiwa dan kasus yang menuntut penyelesaian hukum
dan pemecahan suatu problem yang berdampak positif dalam perkembangan
fiqh dan tasyri’
2) Situasi dan kondisi masyarakat secara alami memberikan motivasi besar
terhadap fiqh dan munculnya mujtahidin dan ijtihadnya. Dengan dibekali
kemampuan ilmiah, potensi pemehaman serta pendalaman dirasah al-Qur’an
serta Sunnah sehingga mereka dapat mengistinbat hukum-hukum untuk
memenuhi hajat masyarakat.6
Pada masa tersebut proses terbentuknya hukum Islam dengan dasar yang
jelas dan kuat dilengkapi dengan qiyas dan ijma serta diperkaya dengan adat
istiadat dan peraturan-peraturan dari berbagai daerah yang bernaung dibawah
bendera Islam.
Ijma pada waktu itu diartikan sebagai kunci perkembangan dalam syari’at
Islam karena dapat menjamin kehidupan yang baru yang sejalan dengan tuntunan
perubahan masa. Dapat ditegaskan pada masa Khulafaur Rasyidin dalil-dalil
tasyri’ Islam menjadi 4 yaitu: al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma dan Qiyas.
Sepanjang sejarah Khulafaur Rasyidin hingga penyerahan pemerintahan
dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan terjadi
perpecahan kaum muslimin dalam berbagai golongan yang berpengaruh dalam
perkembangan fiqh. Diantara firqah yang paling penting adalah Khawarij dan
Syi’ah, masing-masing punya pandangan prinsipil dalam agama dan metode
tertentu dalam menetapkan hukum fiqih dan tasyri’mereka.
Adapun ijtihad pada masa Khulafaur Rasyidin terbatas pada fatwa yang
diberikan seseorang yang menanyakan hukum sesuatu peristiwa. Fatwa ini tidak
keluar dari lingkaran al-Qur’an dan Sunnah karena didasarkan pada kenyataan
dalil dan pemahamannya. Sehingga menjadi ra’yu, ijtihad atau qiyas, suatu
kegiatan yang punya peranan penting dalam perkembangan pokok-pokok syari’ah
pada masa berikutnya.7 Ada 3 keistimewaan yang menonjol pada masa Khulafaur
Rasyidin, yaitu:
6
http://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/23/perkembangan-pemikiran-hukum-islam/
Diakses pada : 10 Oktober 2011
7 Muhammad Dja’far, Op. Cit, h. 74
7
a) Kodifikasi ayat-ayat al-Qur’an serta menyebarkannya yang dimaksudkan
untuk mempersatukan umat Islam dalam satu wajah tentang bacaan alQur’an agar tidak ada perbedaan yang berakibat perpecahan.
b) Pertumbuhan tasyri’ dengan ra’yu sebagai motivasi besar terhadap para
fuqaha untuk menggunakan rasio sebagai sumber ketiga yaitu qiyas.
c) Pengaturan peradilan.8
Setelah masa Khulafaur Rasyidin kemudian diganti dengan masa Dinasti
Umayyah, berkembanglah Ahlul Hadist disamping Ahlu Ra’yi. Bahkan perbedaan
pendapat antara 2 kelompok ini semakin tajam pada dinasti Abbasiyah (132-656
H) dan kian bertambah subur dan berkembang dengan baik serta menjadi gerakan
ilmiah yang berpengaruh luas yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fiqhi
dalam Islam.9
c. Masa Bani Umayyah
Dalam data sejarah Islam, pada masa Umayyah inilah, para sahabat mulai
meninggalkan Madinah menuju kota-kota baru yang dibangun seperti Syam,
Kufah, Mesir, Bashrah dan lain-lainnya. Di tempat-tempat inilah mereka
mengajarkan fiqih, mengembangkan agama dan meriwayatkan hadist. Sehingga
banyak yang menerima fiqh dan ilmu dari para sahabat-sahabat. Murid-murid para
sahabat inilah yang dinamakan tabi’in. Berkat pelajaran-pelajaran itulah terdapat
banyak tabi’in yang pandai, cakap, menyamai bahkan melebihi gurunya dalam
fiqh dan hukum Islam.
Pada periode ini fiqh mulai dipandang suatu ilmu yang berdiri sendiri dan
secara tegasnya perselisihan paham menjadi sangat jelas sampai pada derajatnya
saling menyalahkan. Kebanyakan ulama Hijz masuk dalam golongan Ahli Hadist
sedang ulama Iraq masuk dalam golongan Ahli Qiyas.10
Tabi’in yang memberikan fatwa dalam periode ini, ialah:
1.
Abul Khair Al-Jazimi (wafat 90 H)
2.
Said bin Musayyab (13-94 H)
8 Muhammad Dja’far, Loc. Cit.
9 Ibid,
10 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Cet. I, Edisi II, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, Oktober 1997, h. 60
8
3.
Ibrahim bin An-Nakha’i (46-96 H)
4.
Amir bin Syurahbil (19-103 H)
5.
Thaus bin Kaisan Al-Yamani (wafat 106 H)
6.
Atha bin Abi Rabah (27-115 H)
Fatwa-fatwa para mufti dan keputusan-keutusan para qadhi (hakim) pada
masa ini belum dibukukan dan berlangsung hingga akhir abad pertama hijriyah
dan tidak ada suatu buku pegangan sebagai sumber hukum Islam bagi kaum
muslimin selain al-Qur’an kecuali buku catatan milik pribadi beberapa orang
sahabat.
Pada masa Tabi’in (generasi yang belajar pada sahabat Nabi SAW)
dikenal dengan sebutan “Fuqaha at-Tabi’in” meskipun sebutan “Faqih” pada
waktu itu belum dikenal dan mereka hanya disebut “Mufti” (orang yang memberi
fatwa atas masalah yang terjadi di masyarakat) dan tentunya orang yang dimintai
fatwa adalah orang yang telah diakui ilmunya dalam bidang syari’at.
B. Periode Perkembangan Kejayaan (bani Abbasiyah)
Setelah kuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam dilanjutkan
oleh dinasti Abbasiah. Periode ini dikenal sebagai zaman keemasan dalam sejarah
pemikiran hukum Islam, atau fase fikih menjadi ilmu yang mandiri atau fase
kesempurnaan.
Faktor-faktor yang mendorong perkembangan pemikiran dalam hukum Islam
pada periode ini, adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam itu disebabkan oleh:
1.
Banyaknya mawali yang masuk Islam. Mereka dimanfaatkan untuk
menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk filsafat
karya Aristoteles, Plato dan Galen.
2.
Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan.
3.
Adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Alquran dengan dua cara;
dicatat (dikumpulkan dalam satu mushaf), dan dihafal. Pelestarian Alquran
melalui hafalam dilakukan dengan mengembangkan cara membacanya
sehingga saat itu dikenal corak bacaan Alquran (qira’at). Adanya perbedaan
9
qira’at (bacaan( tentunya akan mengakibatkan munculnya perbedaan dalam
mengistinbatkan hukum Islam.
Pada zaman Abbasiah ini pemikiran dalam hukum Islam berkembang pesat,
yang melahirkan beberapa mazhab yang masih eksis hingga sekarang, di
antaranya Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah yang dikemukakan secara
ringkas dalam uraian selanjutnya.
Mazhab Hanafiah dirintis oleh imam Abu Hanifah. Di antara hasil pemikiran
hukum Islam yang dikembangkan Abu Hanifah, adalah:
(1) benda wakaf masih tetap milik wāqif. Kedudukan wakaf dipandang sama
dengan ‘ariyah (pinjam meminjam). Karena itu benda wakaf dapat dijual,
diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada orang lain, kecuali wakaf
untuk mesjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf
wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas, bahwa wakaf itu terus
dilanjutkan meski pun wāqif telah meninggal.
(2) wanita boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani
perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena wanita tidak dibolehkan
menjadi saksi pidana, ia hanya boleh menjadi saksi perkara perdata.
(3) salat gerhana (matahari dan bulan) dilakukan dua rakaat seperti salat ‘Id,
tidak dilakukan dua kali ruku dalam satu rakaat.
Mazhab Malikiah dirintis oleh imam Malik bin Anas. Di antara pemikiran
hukum Islam yang dikembangkan oleh imam Malik, adalah:
(1) kesucian mustahadah.
Menurut imam Malik, wanita yang mengalami istihadah diwajibkan satu kali
mandi, kesuciannya setelah itu cukup dengan berwudu, berdasarkan amal
ulama Madinah.
(2) berjimak dengan wanita mustahadah.
Laki-laki diharamkan berjima dengan isterinya yang sedang haid dan nifas.
Tetapi boleh berjima dengan isterinya yang sedang istihadah.
(3) qamat salat, dilakukan satu kali satu kali.
10
(4) bacaan salat di belakang imam, makmum disunatkan membaca bacaan salat
saat bacaan salat imam tidak terdengar.
(5) takbir zawa’id dalam salat hari raya idul fitri dan idul adha, adalah 6 kali
takbir, selain tabiratul ihram pada rakaat pertama, sedangkan pada rakaat
kedua adalah 5 kali takbir, selain takbir bangkit dari sujud.
Mazhab Syafi’iah dirintis oleh Imam Syafi’i. Hasil pemikiran Imam
Syafi’i berkembang dalam dua model; qaul al-qadīm dan qaul al-jadīd, di
antaranya:
Qaul qadim Qaul jaded
1) Tertib dalam salat. Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah
sah. Orang yg wudunya tidak tertib, meskipun lupa, adalah tidak sah
2) Berturut-turut dalam wudu. Berturut-turut dalam memba-suh anggota
badan yang wajib dibasuh dalam berwudu adalah wajib. Berturut-turut
dalam membasuh anggota badan yang wajib dibasuh dalam berwudu
adalah sunat
3) Menyentuh dubur. Menyentuh dubur tidak membatalkan wudu.
Menyentuh dubur membatalkan wudu
4) Tayamum dengan pasir. Seseorang dibolehkan tayamum dengan pasir.
Seseorang tidak dibolehkan tayamum dengan pasir
5) Keutamaan salat isya. Salat isya lebih utama dilaksanakan dengan
segera. Salat isya lebih utama dilaksanakan dengan diakhirkan
6) Hukum umrah. Ibadah umrah adalah sunnah. Ibadah umrah adalah wajib
Selain itu imam Syafi’i juga mengembangkan pemikiran hukum Islam di
antaranya:
(1) masalah imamah termasuk masalah agama, karena itu mendirikan imamah
merupakan kewajiban agama. Pemimpin umat Islam harus beragama
Islam, dan dari kalangan Quraisy serta orang-orang non muslim
terlindungi.
(2) wanita tidak boleh menjadi hakim secara mutlak.
11
Mazhab Hanabilah dirintis oleh imam Ahmad bin Hanbal. Di antara hasil
pemikiran hukum Islam yang dikembangkan imam Ahmad, adalah:
1) Pencuri yang dapat dipotong tangannya, harus mukallaf, dapat
memilih, merdeka, dan bukan pemilik walau pun syubhat. Nisab harta
yang dicuri minimal ¼ dinar atau 3 dirham
2) khalifah harus dari kalangan Quraisy. Ketaatan kepada khalifah adalah
mutlak.
Dengan demikian dapat diungkapkan, bahwa pemikiran dalam hukum
Islam mencapai kemajuan pesat di zaman dinasti Abbasiah, ditandai oleh: (1)
lahirnya para ahli hukum Islam serta (2) munculnya berbagai teori hukum Islam
yang masih dianut hingga sekarang. Jadi pada periode ini pemikiran hukum Islam
terkristali-sasi oleh para imam mazhab, Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Hanbali. Jika
masa-masa sebelumnya metodologi formulasi hukum Islam belum jelas, maka
pada masa imam mazhab, telah diformulasikan secara jelas. Di samping itu di
zaman ini dihasilkan pula berbagai kitab hadis mu’tabar yang dikenal dengan
kutub al-sittah. Dengan demikian perkembangan pemikiran dalam hukum Islam
mencapai kejayaannya di zaman dinasti Abbasiah.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dipaparkan tentang periodesasi sejarah perkembangan pemikiran
hukum Islam maka dapat disimpulkan bahwa : perkembangan pemikiran hukum
Islam dimulai dari zaman Rasulullah saw. Berada di madinah, yaitu sejak zaman
tasyri’ atau pensyari’atan Islam, dimana pada masa itu dalam pengambilan hukum
masih langsung bertanya kepada Rasulullah saw. Untuk memberikan penyelesaian
terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
Adapun pada masa puncak kejayaannya (pada masa Abbasiyah),
pemikiran hukum Islam berkembang dengan pesat, meliputi berbagai aspek,
seperti yang sudah dijelaskan di bab terdahulu.
B. Penutup
Demikian makalah singkat tentang periodesasi perkembangan pemikiran
hukum Islam yang dimulai dari masa Arab Pra Islam sampai dengan masa
kejayaan yaitu pada masa Dinasti Abbasiyah, yang tentunya terdapat banyak
kekeliruan dan kesalahan. Wallahua’lam bis Shawaab. Semoga makalah singkat
ini dapat berguna untuk kita semua, amiin..
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam-imam Madzhab dalam
Membina Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III;
Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Hanafi, A. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
http://ikhsanu.blogspot.com/2009/09/sejarah-perkembangan-hukum-islam.html
http://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/23/perkembangan-pemikiranhukum-islam/
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 2000.
14
Download