BAB III TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, HIPOTESIS 3.1. Sikap Etis Sikap etis terdiri dari dua kata yaitu sikap dan etis. Sikap adalah reaksi individu terhadap suatu objek. Sedangkan etis adalah nilai-nilai yang dapat diterima sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Dani, 2002) didefinisikan sikap sebagai perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pendirian, pendapat atau keyakinan. Sementara definisi sikap menurut para ahli hingga saat ini masih berbeda pandangan, yang secara umum pandangan tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok. 1. Kelompok pertama yang diwakili oleh Thurstone, Likert, dan Osgood memandang sikap sebagai berikut: Sikap merupakan bentuk evaluasi atau reaksi perasaan terhadap suatu objek, yang dapat berupa mendukung atau memihak maupun tidak mendukung atau tidak memihak. 2. Kelompok kedua yang diwakili oleh Chave, Bogardus, LaPieree, Mead, dan Allport memandang sikap sebagai berikut: Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. 17 3. Kelompok ketiga yang diwakili oleh Secord & Backman memandang sikap sebagai berikut: Sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek (Azwar, 2004). Menurut Robbin dan Judge (2008), sikap (attitude) merupakan pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu atau peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Dalam sikap terdapat 3 (tiga) komponen utama yaitu : Pertama komponen kognitif (cognitive component) berkeyakinan bahwa “diskriminasi itu salah” merupakan sebuah pernyataan evaluatif, opini semacam ini adalah bagian dari sikap yang menentukan tingkatan untuk bagian yang lebih penting dari sebuah sikap. Kedua komponen afektif (affective component) merupakan segmen emosional atau perasaan dari sebuah sikap, perasaan bisa menimbulkan hasil akhir perilaku. Ketiga komponen perilaku (behavior component) dari sebuah sikap merujuk pada suatu maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Ketiga komponen dari sikap tersebut diatas terdiri atas tiga komponen yaitu kesadaran, perasaan dan perilaku sangat bermanfaat dalam memahami kerumitan hal ini dan hubungan potensial antara sikap dan perilaku. Perlu penekanan bahwa komponen-komponen ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. 18 Terkadang setiap manusia dihadapkan pada situasi dimana antara sikap dan perilaku tidaklah seimbang atau terjadi inkonsistensi. Untuk melihat konsistensi sebuah sikap, Robbin dan Judge (2008) menyatakan tahun 1950-an Leon Festinger mengemukakan teori ”ketidakseimbangan kognitif (cognitive dissonance)” bahwa teori ini berusaha menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku, merujuk pada ketidaksesuaian yang dirasakan oleh seorang individu antara dua sikap atau lebih, atau antara perilaku dan sikap. Tentunya tidak ada seorangpun yang individu yang bisa sepenuhnya menghindari ketidaksesuaian, apapun bentuk ketidakkonsistenan tidaklah menyenangkan dan bahwa individu akan berusaha mengurangi ketidaksesuaian dan ketidaknyamanan tersebut. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat didefinisikan bahwa sikap adalah reaksi individu terhadap suatu obyek yang merupakan konstelasi kognitif, afektif, dan konatif yang disebabkan oleh suatu stimulus yang menghendaki adanya respon (pendirian). Berbagai penelitian tentang etika memberikan bukti empiris mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku etis seseorang yang dapat dikelompokkan kedalam tiga aspek, yaitu: 1) Aspek individual; 2) Aspek organisasional; dan 3) Aspek lingkungan. Penelitian tentang etika yang berfokus pada aspek individual menunjukkan berbagai faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku etis seseorang antara lain: a) Religiusitas b) Kecerdasan emosional c) Gender d) Suasana etis (ethical climate) individu e) Sifat-sifat personal dan f) Kepercayaan bahwa orang lain lebih tidak etis (Clark, 1996). Sedangkan aspek lingkungan yang mempengaruhi sikap dan perilaku etis 19 seseorang meliputi: a)Lingkungan organisasi (Verbeke dkk, 1996), dan b) Lingkungan sosial/masyarakat (Ludigdo, 2005). Kata etis berasal dari kata etika yang mana etika adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. (Kochen, 1987) Pendapat lain mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk. Etiket adalah ajaran sopan santun yang berlaku bila manusia bergaul atau berkelompok dengan manusia lain. Etiket tidak berlaku bila seorang manusia hidup sendiri misalnya hidup di sebuah pulau terpencil atau di tengah hutan. Dan etis artinya sesuai dengan ajaran moral. (Basuki, 2007). Menurut Santoso (2002), perhatian terhadap pentingnya etika ini dilakukan mengingat banyaknya kasus yang lepas akibat dari diabaikannya masalah etika yang menimbulkan citra yang negatif terhadap pekerja. Kasus pelanggaran etika seharusnya tidak terjadi apabila setiap pekerja mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dalam diri mereka dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial. Jadi dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan Etis adalah hal-hal yang menyangkut nilai-nilai yang dapat diterima dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Sikap etis merupakan sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial yang diterima secara umum sehubungan dengan tindakan-tindakan yang 20 bermanfaat dan tindakan-tindakan yang membahayakan (Griffin & Ebert, 1998 dalam Ludigdo, 2005). Dari beberapa defenisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sikap etis adalah sikap dan prilaku yang sesuai dengan aturan-aturan dan norma-norma sosial yang berlaku dan dapat diterima secara umum. Dalam menilai sikap etis banyak hal bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam penelitian ini terdapat beberapa indikator dari sikap etis (Verbeke dkk, 1996) yaitu: 1. Tanggungjawab, dimana seseorang menyelesaikan apa yang menjadi prioritas utama. Robbin dan Judge (2008) menyatakan ini merupakan komitmen afektif (affektive komitmen) dalam hal pekerjaan yang dilakukan. 2. Kepentingan Publik, hal ini cenderung kepada kepentingan secara umum bukan untuk suatu golongan tertentu yang nantinya akan berdampak pada kepuasan pelanggan. 3. Suasana Etis (ethical climate) Individu, menggambarkan hubungan antar pribadi yang melebur dalam satu satuan kerja dimana norma dan etika kerja tetap menjadi acuan utama 4. Integritas, menunjukkan pengabdian yang telah diberikan oleh karyawan dan tingkat sampai mana karyawan yakin organisasi menghargai kontribusi mereka dan pedui dengan kesejahteraan mereka. 5. Perilaku Profesional, merupakan komitmen berkelanjutan (continuance commitmen) yang menggambarkan komitmen untuk bertahan di sebuah 21 6. Aturan Etika, terdapat dalam komitmen normatif (normative commitmen) yaitu bertahan dengan organisasi untuk alasan moral dan etis, bukan untuk memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh organisasi atau perusahaan. 3.1.1. Etika dan Ajaran Moral Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia. Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya) (Basuki, 2007). 3.1.2. Fungsi Etika Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, itu ajaran moral, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. 22 Orientasi etis ini diperlukan dalam mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena: 1. Pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan. 2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional. 3. Berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masingmasing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup. (Basuki, 2007). Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi: (1) Sikap terhadap sesama, (2) Etika keluarga, (3) Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang informasi, (4) Etika politik, (5) Etika lingkungan hidup dan (6) Kritik ideologi (Pendit, 2000) Etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral (Magnis-Suseno, 2005). Etika meliputi suatu proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus dilakukan seseorang dalam situasi tertentu yang disifati oleh kombinasi dari pengalaman dan pembelajaran masing-masing individu. Etika sebagai ajaran moral pada umumnya tidak tertulis. Namun bagi lembaga pendidikan perguruan tinggi, perilaku etis dituangkan dalam aturan tertulis yang disebut kode etik. Kode etik tersebut dibuat untuk dijadikan sebagai 23 aturan tindakan etis bagi pekerja yang bertujuan menjaga reputasi serta kepercayaan masyarakat agar dapat menjadi teladan di dalam masyarakat. 3.1.3. Ajaran Moral Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja. Nilai merupakan suatu komponen yang tidak berdiri sendiri, karena setiap nilai pasti diawali dari sebuah sikap individu. Winardi (2004) menyatakan bahwa sikap merupakan determinan perilaku karena mereka berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Untuk mengubah sikap bukanlah suatu hal mudah karena ada beberapa hal yang dapat mengubah sikap tersebut yaitu : kepercayaan pada pihak yang mengirim pesan, pesan itu sendiri dan situasi yang dihadapi. Sikap dan nilai merupakan nilai-nilai terikat dengan sikap dalam arti bahwa sebuah nilai berguna sebagai suatu cara untuk mengorganisasi sejumlah sikap. Nilai didefinisikan sebagai konstitusi perasaan suka atau tidak menyukai, sudut suatu pandangan, sikap kecendrungan dalam diri sendiri, penilaian-penilaian rasional maupun yang irasional, prasangka-prasangka dan pola-pola asosiasi yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap dunia. 24 Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket dan tingkah laku. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber. Pemaknaan moral haruslah secara keseluruhan, bukan secara parsial. Pada hakikatnya moral merupakan perwujudan dari sesuatu yang bersumber dari dalam diri, semakin baik jiwa seseorang maka akan semakin baik moral orang tersebut. Hal ini akan terlihat dari pergaulan sehari-hari mulai dari keluarga, masyarakat lingkungan tempat tinggal hingga ditempat bekerja. Hal yang berperan dalam pembentukan moral seseorang dimulai dari lingkungan keluarga, bagaimana orang tua membangun persepsi seorang anak untuk memandang suatu hal yang ada didepanya. Shaleh (2008) berpendapat bahwa persepsi merupakan proses yang menggabungkan dan mengorganisir data-data indra kita (pengindraan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari disekeliling kita, termasuk sadar akan diri kita sendiri. Jika dari kecil seorang anak tidak dibimbing dalam menterjemahkan apa yang dilihat, maka anak tersebut akan mencari jawabannya pada orang disekitar bahkan bisa diterjemahkan sendiri, jika persepsi itu salah dari awal maka hal ini akan terbawa sampai dewasa dan terjadi penyimpangan secara moral. 3.1.4. Sensitivitas Sikap Etis Kemampuan seorang pekerja untuk berperilaku etis sangat dipengaruhi oleh sensitivitas individu tersebut. Faktor yang penting dalam menilai perilaku etis adalah adanya kesadaran para individu bahwa mereka adalah agen moral. 25 Kesadaran individu tersebut dapat dinilai melalui kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etis dalam suatu keputusan yang disebutkan sebagai sensitivitas etika (Velasque dan Rostankowski, 1985). Proses berpikir, moral individual dan perilaku individu dalam mengambil keputusan mempengaruhi perilaku moral dan kegagalan pada komponen dapat menyebabkan perilaku yang tidak etis. Dalam dunia kerja sangat memungkinkan terjadi sifat sensitive apalagi jika seorang karyawan memiliki beban kerja yang cukup tinggi dan mengalami stress, maka akan sangat mudah tersinggung oelh orang sekitarnya. Karyawan seperti inilah yang bisa merusak harmonisasi suasana kerja yang pada awalnya begitu akrap, namun karena sikap yang kurang etis dari seseorang mengakibatkan orang lain terganggu. Sebagai professional yang bertanggung jawab kondisi demikian bisa dihindari dengan catatan bahwa apa yang akan dilakukan harus dipikirkan secara dewasa dan bijak. Bagaimana efek dari tindakan tersebut terhadap image secara pribadi? siapa saja yang akan terkena imbasnya? dan seberapa besar efek yang akan terjadi terhadap suasana kerja diperusahaan tersebut?. Dalam praktek keseharian dunia kerja, memang sering kita jumpai orangorang yang memiliki sifat sensitive terutama kaum wanita, karena pada dasarnya wanita lebih banyak menggunakan perasaan. Fenomena wanita karir zaman sekarang tidak bisa dianggap sebelah mata karena wanita zaman sekarang tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga namun juga berkarir dalam segala bidang. 26 Sikap yang cenderung sensitif merupakan bagian dari kepribadian, menurut Thoha (1983) bahwa susunan elemen dalam sebuah kepribadian terdapat 3 (tiga) konsepsi yaitu : 1) Id (cenderung tidak sadar), kawah mendidih berisi pengharapan dan keinginan-keinginan yang memerlukan pemuasan secepatnya, pengharapan ini berasal dari insting-insting psikologis yang dimilliki setiap orang sejak lahir. Dalam rangka memenuhi kepuasaan Id tersebut manusia tidak terbelenggu oleh faktor-faktor pembatas seperti etika, moral, dan alasan/logika. Id ini adalah sub sistem dari kepribadian, merupakan upaya mendapatkan penghargaan, pemuasan dan kesenangan yang diwujudkan lewat libido dan agresi. Libido merupakan keinginan sexual dan kesenangan-kesenangan tetapi juga kehangatan, makanan dan kofortable. Agresi merupakan lebih cenderung untuk berbuat kerusakan seperti perang, berkelahi, berkuasa, dan menginnginkan jabatan tertentu dengan jalan menjatuhkan rekan kerja, mencari kesalahan orang lain, menjilat didepan atasan. 2) Ego (cenderung sadar), merupakan sub sistem yang berfungsi ganda yaitu melayani sekaligus mengendalikan 2 (dua) sub sistem lainnya (Id dan Superego) dengan cara berinteraksi dengan dunia luar/lingkungan luar. Ego mewakili logika dan yang dihubungkan dengan prinsip-prinsip realitas. Tujuan dari ego adalah melindungi kehidupan dengan cara menafsirkan dan menggali apa yang terjadi didalam lingkungan luar, sehingga ego menjadi sadar tentang apa yang terjadi didunia dan apa yang dialaminya. 27 3) Superego, merupakan sub sistem yang melahirkan kekuatan moral dari personality, sumber norma/standar yang tidak sadar yang menilai dari semua aktivitas ego. Superego menetapkan suatu norma yang memungkinkan ego memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah. Setiap individu tidaklah sama, adakalanya yang lebih dominan Id yang cenderung merusak, seperti dalam dunia kerja bahwa untuk mencapai jabatan tertentu sengaja menjatuhkan rekan kerja, mencari-cari kesalahan serta berusaha menjadi pribadi yang paling benar, individu seperti ini adalah orang-orang yang lebih mengedepankan Id Agresi yang negatif. Disisi lain terdapat individu yang mengedepankan ego yang positif yaitu mampu mengendalikan Id dan superego sehingga setiap tindakan selalu mengacu pada norma baik atau benar. Bukan ego yang negatif yang mengikuti Id. Untuk mencapai ego positif butuh pembelajaran hidup, menyadari segala kekurangan tanpa menyombongkan kelebihan. Jika ini gagal maka yang terjadi adalah sikap pribadi yang egois. 3.2. Kecerdasan Emosional (EQ) Model kecerdasan emosional untuk pertama kalinya diusulkan dalam tulisan pada "Emotional Intelligences", Imagination, Cognition, and Personality (Mayer, 1997). Lima wilayah utama kecerdasan emosi adalah mengenali diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Akar kata emosi adalah movere kata kerja bahasa latin yang berarti menggerakkan atau bergerak ditambah awalan ”e” menjadi emovere yang berarti 28 bergerak jauh. Menyiratkan bahwa kecendrungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. (Goleman, 2006) Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan mengetahui perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan tersebut menuntun pikiran dan perilaku seseorang (Salovey dalam Sadana, 2006). EQ adalah kemampuan mengetahui perasaan sendiri dan perasaan orang lain, serta menggunakan perasaan tersebut menuntun pikiran dan perilaku seseorang (Mayer, 1990 dalam Svyantek, 2003). Selain itu, Goleman (2005) mendefinisikan EQ adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Goleman (2005) juga mengadaptasi model Salovey-Mayer, membagi EQ dalam lima sosial yang meliputi: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kelima sosial tersebut dikelompokkan kedalam dua kecakapan, yaitu: a). kecakapan pribadi; yang meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi; serta b). Kecakapan sosial; yang meliputi empati dan keterampilan sosial (Goleman, 2005). Steiner (1997) menyatakan bahwa EQ mencakup lima komponen, yaitu: mengetahui perasaan diri sendiri, memiliki empati, belajar mengatur emosi sendiri, memperbaiki kerusakan sosial , dan interaktifitas emosional. Cooper dan Sawaf (1998) merumuskan EQ sebagai sebuah titik awal model empat batu penjuru yang terdiri dari: kesadaran emosi, kebugaran emosi, dan kedalaman emosi. (Armansyah, 2006). 29 Untuk mengukur Emotional Question terdapat 5 (lima) pendekatan yang dilakukan menurut Tikollah (2006). a. Mengenali diri sendiri, mampu mengenali kekurangan dan kelemahan secara pribadi b. Mengelola emosi, mampu mengendalikan emosi dalam kondisi normal maupun dalam kondisi tertekan, atau dengan kata lain mampu mengelola emosi secara cerdas. c. Memotivasi diri sendiri, tidak takut akan tantangan pekerjaan yang akan dihadapi bahkan mampu memberikan sumbangan ide atau pemikiran. d. Mengenali emosi orang lain, mampu menempatkan posisi disaat orang lain membutuhan kita untuk memberikan masukan ataupu ide serta mampu mengintrospeksi diri sendiri e. Membina hubungan, dalam berkomukasi baik secara verbal maupun non verbal tetap menjaga sopan santun dan etika dengan orang lain. Bradberry (2007) menjelaskan bahwa Kecerdasan emosional adalah dua produk dari dua skill utama : kompetensi personal dan kompetensi sosial. Kompetensi personal lebih berfokus pada diri sendiri sebagai seorang individu dan terbagi kedalam skill kesadaran diri dan menejemen diri. Kompetensi sosial lebih berfokus pada bagaimana hubungan seseorang dengan orang lain dan terbagi kedalam skill kesadaran sosial dan skill manajemen hubungan sosial. Disamping itu kecerdasan emosional (EQ) juga dapat menentukan seberapa baik seseorang menggunakan dimilikinya, termasuk keterampilan intelektual. 30 keterampilan-keterampilan yang Dari berbagai pendapat ahli diatas dapat disimpulakan bahwa EQ adalah kemampuan seorang individu untuk memahami diri sendiri dan orang lain, dan kemampuan untuk membina hubungan dengan khalayak banyak. 3.2.1. Mengenali Keadaan-keadaan Emosi pada Diri Sendiri Bagi sebagian kita yang tidak menderita alexythymia, tidak tahu hal pun di dunia ini yang bersifat alamiah daripada memiliki suatu emosi dan mengetahui apakah sebenarnya ini. Kita semua dapat mengingatnya beberapa kali ketika suasana hati (mood) kita sangat kuat (kelahiran seorang anak) atau sangat jernih (memperoleh keberhasilan yang tidak diharap-harapkan) sehingga kita sama sekali tidak memiliki kesulitan dalam semua hal dalam mengenali semua itu. Lebih dari sekedar menciptakan respon-respon emosi yang agak ringan, situasi-situasi lain memancing bukan saja suatu respon tunggal yang secara jelas diberikan label, tetapi suatu campuran perasaan yang kompleks. Dalam kasus lain, tugas untuk mengidentifikasi perasaan kita sebenarnya secara benar bisa jadi sulit, dan beberapa orang cenderung secara lebih baik untuk melakukannya daripada orang lain (Stein, 2010). Mengapa suatu kemampuan untuk mengenal keadaan emosi kita adalah berguna, banyak alasan yang mungkin dan inilah alasan yang paling pokok yaitu: emosi memberi kita informasi mengenai penilaian kita. Alasan pertama didasarkan pada suatu argumentasi bahwa emosi merupakan suatu jenis informasi, karena emosi secara jelas memberi tahu kita bagaimana mengevaluasi sesuatu-orang, hal-hal, situasi, gagasan-suatu pemahaman yang akurat atas emosi kita artinya bahwa kita memiliki informasi yang lebih akurat mengenai evaluasi-evaluasi. Secara akurat kita mengetahui emosi diri akan 31 memberikan kita kesadaran yang lebih baik atas apa yang kita suka, tidak suka bahkan ditengah-tengah itu (Stein, 2001). 3.2.2. Emosi sebagai Kata Kunci untuk Bersikap Dengan memiliki informasi mengenai penilaian-penilaian terhadap diri sendiri maka memberikan kita kata-kata kunci yang penting mengenai cara-cara yang lazim untuk berperilaku dalam berbagai situasi yang ada. Banyak emosi merupakan sinyal bagi kita mengenai dimana kita harus mengarahkan energi, jika kita tidak mengidentifikasi secara akurat emosi tersebut maka kita tidak akan dapat bertindak dengan cara yang paling layak (Stein, 2010). Perasaan tidak enak merupakan suatu sinyal dimana sesuatu pelanggaran telah terjadi dan sinyal tersebut memacu untuk mengarahkan perhatian dan upaya ke arah memperbaiki kerusakan tersebut. Suatu kegagalan untuk mengenali secara akurat dan memberikan label perasaan-perasaan ini bisa jadi menghasilkan karya penting untuk dilakukan. Selama stress dan gejolak yang tinggi, mereka yang memiliki pengenalan lebih jelas mengenai keadaan emosi mereka secara aktual menunjukkan hal yang lebih baik. Pada saat pertama kali terlihat kesulitan kecil untuk berbicara mengenali kesultan-kesulitan dalam mengenali keadaan emosi diri kita sendiri, tidak kelihatan sama sekali keanehan untuk berbicara mengenai kesulitan-kesulitan dalam mengidentifikasi emosi orang lain. Orang lain sangat sulit ”membaca”, seringkali pada saat kita paling ingin untuk dapat membaca mereka. Kesulitan-kesulitan dalam memahami apa yang ”sebenarnya” dialami seseorang yang menyedihkan bagi semua orang norman. 32 3.2.3. Emosi Merupakan Informasi Sama hal nya seperti emosi merupakan sinyal bagi kita tentang apa yang kita nilai tinggi dan apa yang kita nilai tidak tinggi sama sekali, kondisi emosional orang lain menyampaikan infomasi yang sama mengenai apa yang mereka suka dan tidak suka. Pengenalan yang akurat atas emosi orang lain berguna bagi kita dalam mengejar cita-cita. Ini bisa terjadi dengan beragam cara, pada tingkatan paling dasar adalah bertemu dengan orang satu per satu. Kegunaan pengenalan emosi tidak terbatas kepada menghadapi orang per orang. Suatu kemampuan untuk mengenal secara tepat emosi orang lain juga memberikan lebih umum. Sama halnya berguna untuk mengetahui keadaan suasana hati seseorang dengan mengetahui jaringan kerja sosialnya yang lebih uas dan berguna. Emosi bisa merupakan sebuah informasi, tetapi ini merupakan informasi yang tidak dikomunikasikan kepada kita melalui saluran yang umum yaitu bahasa. Disamping itu informasi mengenai emosi dapat disampaikan melalui roman muka yang manis, perubahan-perubahan dalam detak jantung otot yang tegang dan suatu kumpulan besar sinyal dari tubuh. 3.3. Kecerdasan Spritual (SQ) Penggagas istilah teknis SQ (kecerdasan spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’ dalam kehidupannya. (Zohar, 2002). 33 Begitu luasnya aspek spritual, jika dibahas semua maka akan memakan waktu yang lama dan akan terjadi bias dalam pembahasan, maka dapat dipilah dalam beberapa aspek menurut Zohar (2002) sebagai berikut: a) Kemampuan untuk bersikap fleksibel, memiliki kesadaran secara moral dan tidak terlalu kaku dalam bertindak. b) Adanya tingkat kesadaran diri yang tinggi, setiap tindakan dan ucapan selalu penuh pertimbangan karena semuanya itu akan dipertanggungjawabkan dihadapan tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. c) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, selalu bangkit dan terus berusahan karena percaya bahwa tuhan itu tidak tidur, dan juga percaya setiap usaha yang sungguh-sungguh pasti akan berhasil. d) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui perasaan sakit, yaitu penuh rasa optimis dan pantang untuk mengeluh. e) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, yaitu memahami dan memiliki tujuan yang ingin dicapai kemudian hari dan tidak memandang segala sesuatu dari materi, serta mampu untuk saling berbagi. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. (Armansyah, 2006). SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yang 34 menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks yang lebih luas dan kaya yang memungkinkan seseorang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain (Zohar, 2002). Wujud dari SQ ini adalah sikap moral yang dipandang luhur oleh pelaku (Ummah dkk, 2003). Zohar (2002) mendefinisikan Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ melampaui kekinian dan pengalaman manusia, serta merupakan bagian terdalam dan terpenting dari manusia (Sukidi, 2004). SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. SQ mendahului seluruh nilai spesifik dan budaya manapun, serta mendahului bentuk ekspresi agama manapun yang pernah ada. Namun untuk sebagian orang SQ boleh jadi menemukan bentuk ekspresinya lewat agama formal. Tetapi dengan beragama tidaklah menjamin tingkat SQ yang tinggi. Banyak orang yang humanis dan ateis memiliki SQ yang tinggi, dan sebaliknya justru orang yang beragama yang memiliki SQ yang rendah (Sukidi, 2004). 3.4. SQ, Agama, dan Etika SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. SQ mendahului seluruh nilai spesifik dan budaya manapun, serta mendahului bentuk ekspresi agama manapun 35 yang pernah ada. Namun bagi sebagian orang mungkin menemukan cara pengungkapan SQ melalui agama formal sehingga membuat agama menjadi perlu (Zohar, 2002). SQ memungkinkan seseorang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan orang lain (Zohar dalam Mahzar 2006). Wujud dari kecerdaan spiritual ini adalah sikap moral yang dipandang luhur oleh pelaku (Ummah dkk, 2003). Matinya etika lama dan seluruh kerangkan pikiran yang mendasarinya, memberi kesempatan yang berharga untuk menciptakan ajaran etika baru berdasarkan SQ (Zohar dalam Mahzar 2006). 36 3.5. Penelitian Terdahulu Tabel 1. Skema Penelitian Terdahulu No 1 Nama Maryani dan Ludigdo (2001) Judul Penelitian Survei atas faktor faktor Yang mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan. Variabel Sikap dan perilaku etis (variabel dependen).Religiusitas, pendidikan, organisasional, emotional quotient, lingkungan keluarga, pengalaman hidup, imbalan yang diterima, hukum, dan posisi atau kedudukan (variabel independen). Hasil Penelitian Religiusitas adalah faktor yang berpengaruh dominan terhadap perilaku etis akuntan, kecerdasan emosional juga berpengaruh terhadap sikap etis akuntan. 2 Darufitri Kartikandari (2002) Pengaruh kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan intelektual (IQ) dan iklim organiasasi terhadap kinerja karyawan Kinerja karyawan (variabel dependen). Kecerdasan emosional (EQ), Kecerdasan intelektual (IQ) dan iklim organiasasi (variabel independen). 3 Deeter, Schmelz, Sojka (2003) Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja tenaga penjualan (sales) Kinerja tenaga penjualan/sales (variabel dependen). Kecerdasan emosional (variable independen). Kecerdasan emosioanl (EQ), kecerdasan intelektual dan iklim organisasi secara bersamasama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan Aspek kecerdasan emosional membantu para salesman untuk menjalankan tugasnya dengan lebih baik dan akhirnya berpengaruh terhadap kesuksesan dalam penjualan. 37 4 Reza Surya dan Santosa Tri Hananto (2004) Pengaruh kecerdasan emosional (EQ) terhadap kinerja auditor di kantor akuntan publik Kinerja (variabel dependen). Kecerdasan emosional (EQ) (variabel independen). 5 Chrismastuti dan Purnamasari (2004) Hubungan sifat Machiavellian, pembelajaran etika dalam mata kuliah etika, dan sikap etis akuntan: suatu analisis perilaku etis akuntan dan mahasiswa akuntansi. Perilaku etis, tingkat kecenderungan sifat Machiavellian (variabel dependen). Gender, status, pendidikan, usia dan mata kuliah etika (variabel independen). Kecerdasan emosional yang memiliki subvariabel ketrampilan EQ, kecakapan EQ, nilai dan keyakinan EQ secara signifikan mempengaruhi kinerja optimal auditor Sifat Machiavellian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku etis akuntan dan mahasiswa akuntansi. 6 R.A Fabiola Meirnayati Trihandini, SPsi (2005) Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan Kinerja Karyawan (variabel dependen). Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual (variabel independen). Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan 7 Martadi dan Suranta (2006) Persepsi akuntan, mahasiswa akuntansi, dan karyawan bagian akuntansi dipandang dari segi gender terhadap etika bisnis dan etika profesi. Persepsi etika bisnis dan etika profesi dan gender. Tidak terdapat perbedaan persepsi antara akuntan pria dan wanita serta mahasiswa akuntansi pria dan wanita. Terdapat perbedaan persepsi antara karyawan bagian akuntansi pria dan wanita. 38 8 Tikollah, Triyuwono dan Ludigdo (2006) Pengaruh kecerdasan intelektual, Kecerdasan emosional, dan Kecerdasan spiritual terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi. Sikap etis (variabel dependen). Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual (variable independen). Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi,tetapi secara parsial hanya kecerdasan intelektual yang berpengaruh signifikan serta berpengaruh dominan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi. 9 Laras Tris Ambar Suksesi Edwardin (2006) Analisis pengaruh kompetensi komunikasi, kecerdasan emosional, dan budaya organisasi terhadap kinerja karyawan Kinerja karyawan (variabel dependen). Kompetensi komunikasi, kecerdasan emosional, dan budaya organisasi (variabel independen). Kompetensi komunikasi, kecerdasan emosional dan budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. 10 Nina Astari Widaryabti (2008) Hubungan antara kecerdasan emotional dengan agresivitas pada polisi yang mendapatkan inventaris senjata api. Agresivitas (Variabel Dependent) kecerdasan emotional (Variabel independent) Kecerdasan Emotionl berpengaruh terhadap agresivitas 39 11 Indira Januarti & Ashari Bunyaanudin Pengaruh komitmen Organisasi dan keterlibatan kerja Terhadap hubungan antara etika kerja islam dengan sikap terhadap perubahan organisasi Etika kerja dan perubahan organisasi (Variabel dependent) komitmen Organisasi dan keterlibatan kerja (Variabel Independend) komitmen Organisasi dan keterlibatan kerja berpengaruh Terhadap hubungan antara etika kerja islam dengan sikap terhadap perubahan organisasi 12 R.A Fabiola Meirnayati Trihandini, SPsi (2005) Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan Kinerja Karyawan (Variabel Dependent) dan Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual (Variabel Independent) Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual mempunyai pengaruh terhadap Kinerja Karyawan 13 Anik Lestasi Andjarwati & Setijo Budiadi (2008) Etika Bisnis dan Perilaku Etis Manajer Pengaruhnya Terhadap Tanggung Jawab Perusahaan pada Lingkungan Sosial Tanggung Jawab Perusahaan (Variaebl Dependent) dan Etika Bisnis dan Perilaku Etis (Variabel Independent) Etika Bisnis dan Perilaku Etis berpengaruh terhadap tanggung jawab perusahaan pada lingkungan sosial 40 14 Ardi Hamzah & Paramitha Perbedaan Prilaku Etis dan Tekanan Kerja Perspektif Gender dalam audit Judgment Laporan Keuangan Historis dan Kompleksitas Tugas. Perspektif Gender (Variabel Dependent) dan Perbedaan Prilaku Etis dan Tekanan Kerja(Variabel Independent) Terdapat perbedaan prilaku etis dan tekanan kerja antara auditor laki-laki dan perempuan. 15 Payne (2005) Mengkaji hubungan antara kompetensi komunikasi, performa kerja dan peran kepenyeliaan Peran Kepenyeliaan (Variabel Dependent) dan kompetensi komunikasi, performa kerja (Variabel Independent) Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif dari motivasi untuk menyesuaikan komunikasi, pengetahuan komunikasi dan ketrampilan komunikasi terhadap kinerja karyawan 16 Riggio and Taylor (2000) Pengaruh Dimensi-Dimensi Kompetensi Komunikasi terhadap Kinerja Perawat. Kinerja perawat (Variabel Dependent) dan dimensi-dimensi kompetensi komunikasi (Variabel Independent) Terdapat pengaruh yang signifikan positif dimensi kompetensi komunikasi khususnya dimensi empati (empathic concern, perspectivetaking) terhadap Kinerja perawat 41 17 Deeter, Schmelz, Sojka (2003) Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Kinerja Tenaga Penjualan (sales) Kinerja tenaga penjualan (Variabel Dependent) dan kecerdasan Emosional (Variabel Independent) 42 Aspek kecerdasan emosional membantu para salesman untuk menjalankan tugasnya dengan lebih baik dan akhirnya berpengaruh terhadap kesuksesan dalam penjualan. 3.6. Kerangka Berpikir 3.6.1. Pengaruh EQ terhadap Sikap Etis Goleman (2005) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut kecerdasan Emosional (Golemen, 1995). Dari nama teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat. Goleman (2005) menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional (EQ) berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-kanak hingga dewasa. EQ dapat dipelajari dan tidak tetap secara genetis, melainkan dapat meningkat sepanjang kita masih hidup. Hal ini berarti semakin bertambah umur seseorang, maka semakin banyak pula pengalaman hidup yang pada gilirannya akan menambah tingkat EQ seseorang tersebut. Dan bagi orang yang memiliki EQ yang tinggi lebih mempunyai keseimbangan dalam mengelola emosi mereka, baik dalam bersikap maupun dalam berhubungan. Agustian (2006) menyatakan bahwa EQ merupakan kemampuan untuk merasa, dan kunci kecerdasan emosi adalah pada kejujuran suara hati, dan suara hati itulah yang harus dijadikan pusat prinsip yang mempu memberi rasa aman, pedoman kekuatan serta kebijaksanaan. EQ menentukan potensi seseorang untuk mempelajari keterampilanketerampilan praktis yang didasarkan pada kelima unsurnya. Sedangkan 43 kecakapan emosi menunjukkan seberapa banyak potensi itu yang telah dipelajari, dimiliki, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Memiliki IQ yang tinggi tidak menjamin seseorang memiliki kecakapan emosi. Namun ia hanya mempunyai potensi maksimum untuk mempelajarinya. Sehingga seseorang berEQ tinggi mampu mengambil sikap yang lebih objektif dalam kehidupannya. Wibowo (2002), berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah untuk menggunakan emosi sesuai dengan keinginan, dan kemampuan untuk mengendalikan emosi sehingga memberikan dampak yang positif. EQ dapat pula membantu membangun hubungan dalam menuju kebahagiaan dan kesejahteraan Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa EQ menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menggapainya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi dan emosi dalam kegiatan dan pekerjaan sehari-hari sehingga mampu membuat keseimbangan dalam kehidupan. Jadi bagi seorang pekerja yang memiliki EQ yang stabil dan tinggi berarti mereka dapat mengelola emosi mereka dengan baik. Dengan begitu mereka akan lebih memiliki pertimbangan yang komprehensif dalam bersikap dan berhubungan dengan orang lain. Setiap perkataan dan tingkah laku yang akan dia lakukan tentu akan dipertimbangkan agar tidak menyinggung orang-orang disekitar. 3.6.2. Pengaruh SQ Terhadap Sikap Etis Zohar (2002) mengatakan SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Agustian, 2006). 44 SQ juga dapat menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal, serta menjembatani antara diri dan orang lain (Zohar, 2002). Wujud SQ ini adalah sikap moral yang dipandang luhur oleh pelaku. Matinya etika lama dan seluruh kerangka pikiran yang mendasarinya, memberi kesempatan yang berharga untuk menciptakan ajaran etika baru berdasarkan kecerdasan spritual. SQ digunakan untuk menjangkau hati seseorang lebih dalam untuk mengetahui potensi mereka dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Masing-Masing dari kita membentuk suatu karakter melalui suatu kombinasi pengalaman dan visi, suatu hubungan antara apa yang kita lakukan dan yang lebih berarti sera berbagai hal yang mungkin lebih baik kita lakukan. Kecerdasan spritual memotivasi orang-orang untuk menyeimbangkan rencana kerja mereka untuk meluangkan waktu antara kerja dengan keluarga mereka. Atau seorang eksekutif dengan SQ tinggi mungkin selain melihat margin keuntungan perusahaan yang baik dengan dan mempersembahkan waktu untuk sukarela memberi bantuan kepada yatim piatu. Kecerdasan spritual juga menunjukkan kebutuhan hidup seseorang di dalam suatu konteks yang sangat berharga dan memberikan arti bahwa semua hal yang ada mempunyai peran artinya masing-masing. Agustian (2006) mengatakan kecerdasan spritual (SQ) adalah kemampuan memberi makna spritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu mensinergikan IQ dan EQ secara komprehensif. Orang yang memiliki SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna 45 yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif. Jika seorang pekerja yang memiliki kecerdasan spritual yang tinggi maka mereka dapat lebih tenang dalam mengadapi masalah-masalah dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan, dan mereka juga akan lebih tenang dalam mengambil keputusan dan bersikap. Mereka juga dapat memilih dan memilah apa yang mereka kerjakan bermanfaat atau tidak, atau yang mereka lakukan akan berakibat baik atau buruk. 3.6.3. Pengaruh EQ dan SQ Terhadap Sikap Etis EQ dan SQ berpengaruh terhadap sikap etis seseorang memiliki kontribusi yang tidak sama. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Agustian (2006) membuktikan bahwa EQ memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan. Pola relasi antara EQdan SQ ini mengandalkan terjadinya relasi positif diantara keduanya meskipun tetap mengakui adanya diferensiasi. Kecerdasan emosional berada disekitar emosi diri yang mengembangkan emosi supaya menjadi cerdas. EQ bersifat asosiatif dan lebih mengacu pada kebahagiaan secara insting emosional (Sukidi, 2004). Meskipun demikian EQ saja tidaklah cukup untuk membawa diri seseorang, perusahaan, masyarakat atau bangsa dalam mencapai kebahagiaan dan kebenaran yang hakiki. Masih ada nilai-nilai lain yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya yaitu SQ (Agustian, 2006). SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan lainnya secara efektif. 46 SQ mengambil tempat diseputar jiwa, hati (yang merupakan wilayah spirit) dan bersifat unitif (menyatukan) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual (Sukidi, 2004). Beberapa keunggulan SQ dipandang dari beberapa segi. 1. Segi Prenerial: SQ mampu mengungkap segi prenerial yaitu sisi yang abadi, yang asasi, yang spiritual dan yang fitrah dalam struktur kecerdasan manusia. 2. Segi mind-body-soul: SQ menjadi lokus kecerdasan (locus Of Intelligence) yang berfungsi sebagai pusat kecerdasan dan memfasilitasi pusat kecerdasan tersebut (merupakan faktor kunci yang lebih penting daripada EQ). 3. Segi kesehatan spiritual: SQ menyajikan beragam resep yang menjadi faktor penentu aktifitas EQ. Jika SQ tidak sehat maka EQ tidak bisa berjalan secara normal dan cerdas (Agustian, 2001). Dari beberapa keunggulan diatas dapat diartikan bahwa SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia yang diwujudkan dalam sikap moral yang luhur (Zohar, 2002). 47 Kecerdasan Spritual : a) Kemampuan untuk bersikap fleksibel, b) Adanya tingkat kesadaran diri yang tinggi, c) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, d) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui perasaan sakit, e) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, H2 H3 Kecerdasan Emosional : a. Mengenali diri sendiri, b. Mengelola emosi, c. Memotivasi diri sendiri, d. Mengenali emosi orang lain, dan e. Membina hubungan Sikap Etis : a. Tanggung jawab b. Kepentingan publik c. Suasana etis (ethical climate) individu d. Integritas e. Perilaku Profesional f. Aturan Etika H1 Gambar1. Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian 3.7. Hipotesis Dari uraian diatas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap sikap etis pekerja. 2. Kecerdasan spritual berpengaruh signifikan terhadap sikap etis pekerja. 3. Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap sikap etis pekerja. 48