INTISARI ANALISIS KUALITATIF PARASETAMOL DALAM JAMU PEGAL LINU YANG DIJUAL DI KECAMATAN SATUI SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS Aulia Rahmi1; Erna Prihandiwati2; Aditya Maulana Perdana Putra3 Dewasa ini, ditemukan banyak jamu atau obat tradisioanal yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) karena masyarakat menggemari jamu yang berkhasiat cepat. Salah satu bahan kimia obat yang sering ditambahkan pada jamu adalah Parasetamol. Parasetamol memiliki efek samping hepatotoksik jika dikonsumsi lebih dari dosis lazim atau dalam jangka panjang. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui ada tidaknya Parasetamol dalam jamu pegal linu yang dijual di Kecamatan Satui. Jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat deskriptif. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode analisis kualitatif dengan kromatografi lapis tipis. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Banjarmasin dari tanggal 20 April sampai 2 Mei 2016. Teknik sampling yang digunakan yaitu sampling jenuh. Sampel diambil dari toko obat di Kecamatan Satui, didapatkan 11 sampel jamu pegal linu dengan merek yang berbeda. Analisis KLT menggunakan eluen dari campuran metanol, etil asetat dan ammonia dengan perbandingan 85:10:5 dan plat KLT silica gel GF254 dengan Rf Parasetamol yaitu 0,84. Dari hasil penelitian didapatkan 10 dari 11 sampel atau 91% dari total sampel positif mengandung Parasetamol. Kata Kunci : Parasetamol, Jamu Pegal Linu, KLT 1 Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin 2 ABSTRACT QUALITATIVE ANALYSIS ON PARACETAMOL IN HERBAL MEDICINES FOR STIFF AND PAIN SOLD IN THE DISTRICT OF SATUI USING THIN LAYER CHROMATOGRAPHY Aulia Rahmi1; Erna Prihandiwati2; Aditya Maulana Perdana Putra3 In the present days, we can find plenty of traditional herbs or drugs that contain chemicals material of drug (BKO). This is caused by people’s tendency to take medicines with quick effect. One of the chemical materials that is often added to herbal medicine is Paracetamol. Paracetamol has hepatotoxic side effects if taken more than usual dose, or in the long term. Therefore, it is necessary to investigate whether there is a Paracetamol in herbal medicine for stiff and pain sold in the District of Satui. The type of research is descriptive. The method used was qualitative analysis by thin layer chromatography. Research was conducted at the Laboratory of Health Banjarmasin from April 20 to May 2, 2016. The sampling technique used was saturatedsampling. Samples were taken from a drug store in the District of Satui. The researcher obtained 11 samples of herbs for stiff and pain with different brands. TLC analysis was conducted by using an eluent of a mixture of methanol ethyl acetate and ammonia in the ratio 85: 10: 5 and the TLC plate of silica gel GF 254 with RfParacetamol of 0.84. From the results, it was found that 10 of 11 samples or 91% of the total samples positively contained Paracetamol. Keywords: Paracetamol, Herbs For Stiff And Pain, TLC 1 Academy of Pharmacy ISFI Banjarmasin 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi Indonesia kayaa kan berbagai ragam tanaman,baik tanaman yang bernilai ekonomi tinggi atau tanaman yang tidak bernilai. Semuanya tumbuh subur diIndonesia. Indonesia memiliki sekitar 25.000-30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman didunia dan 90% dari jenis tanaman diAsia (Dewoto, 2007). Untuk tanaman yang berkhasiat sebagai obat Indonesia sekurang-kurangnya memiliki 9.600 spesies dan kurang lebih 300 spesies telah digunakan sebagai bahan pembuatan obat tradisional oleh industri obat tradisional (Depkes RI, 2007). Obat tradisional merupakan salah satu bagian penting dalam upaya pemeliharaan kesehatan masyarakat Indonesia. Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk kembali ke alam (back to nature) serta krisis berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat, membuat semakin meningkatnya penggunaan bahan alam, baik sebagai obat maupun tujuan lainnya. Masyarakat beranggapan bahwa penggunaan obat tradisional relatif lebih aman dan murah dibandingkan obat sintesis (Oktora, 2006). Hal ini membuat produsen yang bergerak di bidang industri obat tradisional berusaha meningkatkan kapasitas produksinya dalam peredaran obat tradisional (BPOM, 2006). Obat tradisional menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebutyang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.Jamu merupakan obat tradisional indonesia yang paling sering di konsumsi, dilihat dari banyaknya beredar jamu dengan merek danprodusen tertentu. Jamu ini banyak dijual di pasar-pasar Indonesia dalam bentuk serbuk siap seduh atau dalam bentuk rebusan 1 4 segar yang biasanya dijajakan para penjual jamu gendong. Pada umumnya jamu dalam kelompok ini diracik berdasarkan resep peninggalan leluhur yang belum diteliti secara ilmiah yang mana khasiat dan keamanannya hanya diketahui secara empiris (Yuliarti, 2008). Sejalan dengan perkembangan obat tradisonal yang semakin pesat, juga dipicu persaingan yang semakin ketat cenderung membuat industri obat tradisional menghalalkan segala cara untuk tetap bertahan hidup. Pencampuran obat tradisional dengan bahan-bahan kimia berbahaya sering dilakukan untuk menjadikan obat tradisional tersebut semakin berkhasiat secara instan (Hermanto, 2007). Pemerintah jelas telah melarang produksi dan peredaran produk obat tradisional yang dicemari bahan kimia obat, salah satunya adalah larangan menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat (BPOM, 2005). Dikarenakan penggunaan bahan kimia obat dalam obat tradisional telah melanggar UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2006) Bahan Kimia Obat (BKO) yang sering ditambahkan pada jamu yaitu obat-obat yang termasuk ke dalam golongan NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) seperti Fenilbutason, Antalgin, Natrium Diklofenak, Piroksikam, Parasetamol, Prednison dan Deksametason. Bahan-bahan tersebut jika digunakan tanpa pengawasan dokter dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan pada konsumen. Tahun 2008 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 54 produk jamu yang telah dilakukan pengujian laboratorium terbukti mengandung bahan kimia obat. Jamu-jamu tersebut ditemukan di 15 provinsi di Indonesia yaitu Medan, Yogyakarta, DKI Jakarta, Banjarmasin, Kendari, Mataram, Lampung, Bengkulu, Banda Aceh, Padang, Makassar, Pontianak, Bandung, Pekan Baru dan Kupang. Artikel Kompas tanggal 30 Januari 2013 memuat tentang hasil temuan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) jamu mengandung bahan kimia 5 obat yang sebelumnya pernah ditarik oleh BPOM ternyata masih banyak ditemukan di pasaran. Survei produk jamu mengandung BKO oleh YPKKI dilakukan di 5 kota besar Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya. Setelah melakukan survei dalam waktu satu bulan, YPKKI menemukan 56 produk yang masih beredar dari sekitar 200 produk jamu mengandung BKO yang sudah diumumkan oleh BPOM. Selain itu, melalui surat Peringatan No. HM.03.05.1.43.11.13.4940 tanggal 8 November 2013, BPOM kembali menemukan 59 produk jamu yang mengandung bahan kimia obat. Konsumsi jamu di Kecamatan Satui tergolong tinggi, dikarenakan efek terapi yang dihasilkan oleh jamu terbilang lambat menjadikan masyarakat mengkonsumsi jamu tersebut secara terus-menerus untuk mendapatkan efek yang diharapkan. Akan tetapi, jamu yang sekarang beredar di pasaran banyak dicampur dengan bahan kimia obat oleh produsenprodusen obat tradisional yang ingin mendapatkan keuntungan besar. Salah satu jamu yang sering dicampur dengan bahan kimia obat adalah jamu pegal linu. Dimana, Bahan kimia obat yang biasanya dicampurkan ke dalam jamu pegal linu tersebut adalah parasetamol. Parasetamol merupakan obat yang berkhasiat sebagai analgetika (menghilangkan nyeri) dan antipiretika (menurunkan demam). Efek samping dari parasetamol tersebut adalah kerusakan hati (hepatotoksik) dan ginjal (Tjay dan Kirana, 2007). Dimana kerusakan hati (hepatotoksik) dan ginjal, dapat terjadi apabila seseorang tersebut mengkonsumsi jamu pegal linu yang di dalamnya terkandung parasetamol dalam jangka waktu pemakaian yang lama secara terus menerus.Menurut hasil penelitian Dahana (2013) tentang “Analisis Kualitatif Parasetamol pada Jamu Pegal Linu dalam Kemasan yang Beredar di Kota Banjarmasin” positif mengandung bahan kimia obat yaitu parasetamol. Berdasarkan uraian diatas diperlukan penelitian lanjutan sebagai bahan evaluasi untuk mengetahui apakah jamu pegal linu yang dijual di Pasar Satui Kecamatan Satui mengandung bahan kimia obat berupa parasetamol. Penelitian ini menggunakan metode 6 Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Metode ini dipilih karena pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah, dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan metode ini setiap saat secara tepat (Gandjar dan Abdul, 2012). Selain itu, kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis senyawa obat termasuk salah satunya parasetamol. Untuk pengambilan sampel peneliti mengambil lokasi di Pasar Satui karena berdasarkan survei pendahuluan yang telah di lakukan oleh peneliti pasar tersebut mendominasi penjualan jamu di Kecamatan Satui.