menyingkap kompetensi guru pendidikan jasmani

advertisement
Kualitas Guru Pendidikan Jasmani di Sekolah:
Antara Harapan dan Kenyataan
Ali Maksum *
Tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa kehadiran pendidikan jasmani; dan tidak ada
pendidikan jasmani berkualitas tanpa kehadiran guru yang berkualitas. Kualitas guru
diyakini sebagai faktor penting dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kualitas guru pendidikan jasmani dilihat dari
kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Selain itu juga mengungkap
gambaran penggunaan waktu oleh guru, termasuk waktu yang dialokasikan untuk
peningkatan profesionalisme mereka.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara terintegrasi.
Subjek penelitiannya adalah guru-guru pendidikan jasmani tingkat Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas pada tiga kota besar di
Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, dan Padang. Sampel diambil secara purposive
sampling sebanyak 36 guru, 12 guru untuk setiap kota.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani
relatif optimal dilihat dari waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam
pembelajaran; sayangnya masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi yang
dimiliki; (2) kompetensi profesional pada saat pre-service maupun in-service masih
sangat kurang; (3) kompetensi kepribadian dan sosial guru relatif tinggi, sayangnya,
semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi kepribadian dan sosialnya; (4)
waktu untuk pengembangan profesionalisme masih relatif rendah, yakni antara 24-42
menit per hari. Guru dengan masa kerja rendah cenderung memanfaatkan waktu untuk
pemenuhan kebutuhan dasar, sementara itu guru dengan masa kerja lama cenderung
memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang bersifat produktif. Berdasarkan temuantemuan di atas, maka dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) Penyegaran
kompetensi pedagogik, profesionalisme, kepribadian, dan sosial perlu dilakukan pada
guru pendidikan jasmani, terutama mereka yang memiliki masa kerja cukup lama; (2)
perlu peningkatan aksesabilitas bagi para guru pendidikan jasmani untuk meningkatkan
kompetensinya; (3) LPTK sebagai penyedia layanan guru perlu memperbaiki diri, baik
dari sisi kurikulum maupun sistem pengajaran.
Kata Kunci: Kualitas Guru, Pendidikan Jasmani, dan Kompetensi
* Penulis adalah Ketua Jurusan Pendidikan Olahraga Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Surabaya. Alamat email: [email protected]
1
I. PENDAHULUAN
Pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan
bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan
bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan
sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang
bermutu. Sementara itu, pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan
guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat.
Tujuan utama diterapkannya program sertifikasi guru, termasuk terhadap guru
pendidikan jasmani, adalah meningkatkan kualitas guru sehingga kualitas pendidikan
semakin meningkat. Faktor guru diyakini memegang peran yang sangat strategis dalam
upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru yang
berkualitas berpengaruh besar terhadap efektivitas pembelajaran (Suherman, 2007; Rink,
2002) dan pada gilirannya mempengaruhi prestasi anak didik (Siedentop & Tannehill,
2000). Keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan
praktik pendidikan yang berkualitas. Sejumlah negara, misalnya Singapura, Korea
Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat, berusaha mengembangkan kebijakan yang
mendorong keberadaan guru yang berkualitas (www.pmptk.net). Salah satu kebijakan
yang dikembangkan adalah intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan
memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai dengan melaksanakan
sertifikasi guru.
Sebagaimana rencana pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas), program sertifikasi diberlakukan untuk semua guru, baik guru yang
berstatus pegawai negeri sipil maupun guru yang berstatus non-pegawai negeri sipil
(swasta). Sampai saat ini, ada sekitar 2,3 juta guru di Indonesia (www.pmptk.net).
Terhadap jumlah guru tersebut, pemerintah melalui Depdiknas secara bertahap akan
melakukan sertifikasi guru, dimulai tahun 2007 sebanyak 190.450 guru, terdiri atas
20.000 guru SD dan SMP yang sudah didaftar pada tahun 2006 dan 170.450 guru SD,
SMP, SMA, SMK, dan SLB yang didaftar pada tahun 2007. Program tersebut diharapkan
rampung pada tahun 2015 (www.sertifikasiguru.org). Sasaran program sertifikasi guru ini
adalah semua guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik sebagaimana
2
diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor 19 tahun 2005
Pasal 28 ayat (2) yaitu minimal sarjana atau diploma empat (S1/D-IV) yang dibuktikan
dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan. Artinya, guru dengan kualifikasi
di bawah sarjana atau D4 tidak dapat disertifikasi.
Pelaksanaan sertifikasi guru merupakan komitmen pemerintah, dalam hal ini
Depdiknas, untuk mengimplementasikan amanat Undang-undang Nomor 14 tahun 2005,
yakni mewujudkan guru yang berkualitas dan profesional. Pertanyaannya, sampai sejauh
mana program sertifikasi mampu menjadi instrumen untuk meningkatkan kompetensi
guru? Adakah jaminan bahwa ketika guru lolos sertifikasi dengan sendirinya adalah guru
yang berkualitas? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mengingat banyak
variabel yang mempengaruhinya, mulai dari sistem dan mekanisme sertifikasi, asesor,
hingga gurunya sendiri sebagai pihak yang akan dinilai. Portofolio sendiri sebagai model
penilaian acapkali membuka peluang terjadinya manipulasi dokumen.
Penelitian ini tidak akan menyoal ikhwal sertifikasi, tetapi berusaha mengungkap
kompetensi riil guru pendidikan jasmani di sekolah. Kompetensi yang dimaksud meliputi
kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Selain keempat kompetensi
tersebut, juga akan diungkap gambaran penggunaan waktu per hari. Dengan demikian
penelitian ini tidak hanya mengkaji secara mendalam kompetensi guru pendidikan
jasmani,
melainkan
juga
menelusuri
kebiasaan
sehari-hari
sebagai
cerminan
profesionalisme.
Masalah Penelitian
Rendahnya kualitas guru hingga saat ini diyakini sebagai penyebab utama
rendahnya kualitas pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Fokus utama penelitian
ini adalah ingin mengungkap kompetensi guru pendidikan jasmani di lingkungan
persekolahan, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Permasalahan tersebut selanjutnya
dirinci sebagai berikut.
1. Bagaimanakah kualitas guru pendidikan jasmani ditinjau dari kompetensi
pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial?
2. Bagaimanakah gambaran rutinitas penggunaan waktu oleh guru pendidikan
jasmani?
3
3. Seberapa besar waktu yang dialokasikan untuk peningkatan profesionalisme
sebagai seorang guru pendidikan jasmani?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kompetensi guru
pendidikan jasmani di lingkungan persekolahan. Secara lebih terperinci tujuan yang ingin
dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengungkap kualitas guru pendidikan jasmani ditinjau dari perspektif
kompetensi pedagogik, profesional, keparibadian, dan sosial.
2. Mengungkap gambaran penggunaan waktu yang dilakukan oleh guru
pendidikan jasmani.
3. Mengungkap seberapa besar waktu yang dialokasikan untuk peningkatan
profesionalisme sebagai seorang guru pendidikan jasmani.
4. Menghasilkan rekomendasi pengembangan profesionalisme guru, baik pada
saat pre-service training maupun in-service training.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yakni penelitian yang dilakukan
untuk menggambarkan gejala, fenomena atau peristiwa tertentu. Pengumpulan data
dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait dengan fenomena, kondisi, atau variabel
tertentu dan tidak dimaksudkan untuk melakukan pengujian hipotesis. Ary, Jacobs, dan
Razavieh, (1990: 381) menyatakan :” ... descriptive research is not generally directed
toward hypotesis testing. The aim to describe “what exists” with respect to variables or
conditions in situation”.
Penelitian ini dilakukan pada tiga kota besar di Indonesia, yakni Jakarta,
Surabaya, dan Padang. Subjek penelitiannya adalah guru-guru pendidikan jasmani tingkat
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas
(SMA). Sampel diambil secara purposive sampling sebanyak 36 guru, 12 guru untuk
setiap kota. Kriteria yang dijadikan dasar untuk menentukan responden adalah: (1) guru
pendidikan jasmani, (2) memiliki masa kerja di bawah lima tahun dan atau di atas
sepuluh tahun, dan (3) berdomisili di salah satu kota di atas.
4
Ada empat jenis instrumen yang dipakai dalam penelitian ini, yakni instrumen
pedagogik, instrumen profesional, instrumen kepribadian dan sosial, dan lembar
observasi harian.
1. Instrumen Pedagogik. Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi ini
diukur dengan proporsi alokasi waktu belajar gerak (active time allotment) dan
proporsi jumlah siswa dalam aktivitas belajar gerak (student’s direct
engagement). Proporsi alokasi waktu belajar gerak adalah alokasi waktu yang
disediakan guru bagi siswa untuk melakukan aktivitas gerak. Sedangkan proporsi
jumlah siswa dalam aktivitas belajar gerak adalah jumlah siswa yang terlibat
langsung dalam aktivitas belajar gerak per jumlah siswa.
2. Instrumen Profesional. Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah
kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Kompetensi ini diukur dengan menggunakan angket yang berisi tentang: (1) profil
kegiatan guru yang meliputi beban mengajar, beban ekstrakurikuler, organisasi
keolahragaan, pelatihan, dan riwayat pendidikan; (2) komponen profesional yang
meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada saat pre-service training dan
in-service training; dan orientasi nilai yang diyakini guru dalam mengembangkan
PBM pendidikan jasmani.
3. Instrumen Kepribadian dan Sosial. Yang dimaksud dengan kompetensi
kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,
dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Sementara itu yang dimaksud
dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kedua kompetensi tersebut
diukur dengan menggunakan Inventori Kepribadian dan Sosial.
4. Lembar Observasi Harian. Lembar Observasi Harian (LOH) digunakan untuk
mengungkap aktivitas harian responden selama 24 jam dalam kurun waktu satu
minggu. Secara teoretis, waktu dibagi kedalam tiga kategori, yaitu existence time,
subsistence time, dan free time (Jansen, 1995). Existence time terkait dengan
pengunaan waktu untuk kelangsungan hidup seperti makan, tidur, dan perawatan
5
diri; biasanya sekitar 10 jam. Subsistence time terkait dengan penggunaan waktu
untuk kepentingan yang bersifat produktif seperti bekerja; biasanya sekitar 9 jam.
Sementara itu free time berkaitan dengan penggunaan waktu senggang; biasanya
sekitar 5 jam. LOH dikembangkan berdasarkan konsep waktu sebagaimana
dikemukakan oleh Jansen.
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden.
Secara garis besar prosedur penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Tahap persiapan
(1) Memberikan pembekalan kepada dua belas mahasiswa Fakultas Ilmu
Keolahragaan tingkat akhir sebagai petugas pengumpul data. Setiap
mahasiswa mengumpulkan data untuk satu responden.
(2) Materi pembekalan terkait dengan tujuan penelitian, karakteristik
responden, instrumen penelitian, dan prosedur pengumpulan data.
(3) Poin 1 dan 2 tersebut di atas dilakukan di tiga kota, masing-masing
Jakarta, Surabaya, dan Padang.
b. Tahap pelaksanaan
(1) Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada
kesepakatan yang dicapai antara petugas pengumpul data dengan
responden.
(2) Instrumen Profesional diberikan kepada responden untuk diisi (self
assessment); Instrumen Pedagogik diisi oleh pengumpul data (observer)
dengan cara mengamati salah satu praktek pembelajaran guru; Instrumen
Kepribadian dan Sosial diisi oleh orang-orang yang pernah berhubungan
dengan responden, dalam hal ini adalah sesama guru, siswa, dan tetangga;
dan LOH diisi oleh observer dengan konfirmasi kepada responden yang
sedang di amati. Khusus LOH dilakukan selama 7 x 24 jam.
(3) Instrumen yang telah diisi dikumpulkan oleh koordinator pengumpulan
data masing-masing kota untuk kemudian dilakukan verifikasi.
(4) Instrumen yang telah dinyatakan lengkap selanjutnya siap diolah sesuai
dengan kepentingan penelitian.
6
Analisis data dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Data kualitatif
dianalisis melalui proses pengkodean (coding) dengan menggunakan pola pikir induktif
untuk menemukan faktor-faktor atau tema-tema baru di lapangan. Data yang diolah
secara kualitatif berasal dari Instrumen Profesional dan sebagian dari Lembar Observasi
Harian. Untuk menjaga kredibilitas penelitian, peneliti menggunakan langkah-langkah
seperti triangulation, peer debriefing, dan intellectual sharing. Sementara itu, data
kuantitatif diperoleh dari Instrumen Pedagogik, Instrumen Kepribadian dan Sosial, dan
sebagian dari Lembar Observasi Harian. Data-data tersebut diolah dengan stastistik
deskriptif berupa persentase.
II. KAJIAN TEORETIS
Pendidikan Jasmani
Pendidikan Jasmani, yang dalam kurikulum disebut secara paralel dengan istilah
lain menjadi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, merupakan salah satu mata
pelajaran yang disajikan di sekolah, mulai dari SD sampai dengan SMA. Pendidikan
Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk
mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir
kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, pola hidup
sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani terpilih yang
direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (CDC, 2000;
Disman, 1990; Pate dan Trost, 1998).
Pengalaman gerak yang didapatkan siswa dalam Pendidikan Jasmani merupakan
kontributor penting bagi peningkatan angka partisipasi dalam aktivitas fisik dan olahraga
yang sekaligus juga merupakan kontributor penting bagi kesejahteraan dan kesehatan
siswa (Siedentop, 1990; Ratliffe, 1994; Thomas and Laraine, 1994; Stran and Ruder
1996; CDC, 2000). Untuk itu tidak mengherankan, peningkatan kualitas dan efektivitas
proses belajar mengajar (PBM) Pendidikan Jasmani selalu menjadi fokus perhatian
semua pihak yang peduli terhadap pendidikan.
7
Kompetensi Guru
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan
bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.
Harapan tersebut tentu saja ujungnya adalah terwujudnya guru yang profesional yang
mampu menjalankan profesinya sesuai dengan berbagai tuntutan tempat melaksanakan
tugasnya. Dengan kata lain usaha sertifikasi ini pada dasarnya adalah meningkatnya
efektivitas pembelajaran yang dilakukan para guru pada tingkat satuan pendidikan atau
sekolah.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007
tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, uji kompetensi guru dilakukan melalui
penilaian portofolio. Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan
pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai
guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman,
karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen
pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial). Komponen
portofolio meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3)
pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari
atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8)
keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan
sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru (khususnya guru dalam jabatan) adalah
untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen
pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi
akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara
lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas.
Kompetensi profesional
dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan,
pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi
akademik.
8
Portofolio juga berfungsi sebagai: (1) wahana guru untuk menampilkan dan/atau
membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui
karya-karya utama dan pendukung; (2) informasi/data dalam memberikan pertimbangan
tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah
ditetapkan; (3) dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi
(layak mendapatkan sertifikat pendidikan atau belum); dan (4) dasar memberikan
rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai
representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru.
Sebagaimana di sebutkan di atas, salah satu indikator profesionalisme guru antara
lain adalah guru tersebut mampu melaksanakan proses pembelajaran secara efektif.
Efektivitas pembelajaran pada dasarnya merupakan cerminan dari efektivitas pengelolaan
proses pembelajaran yang dilakukan oleh gurunya. Targetnya adalah siswa belajar.
Sementara itu, pengelolaan proses pembelajaran itu sendiri pada dasarnya merupakan
proses interaksi pedagogis antara guru, siswa, materi, dan lingkungannya. Makin efektif
proses interaksi pedagogis dilakukan guru, maka makin efektiflah proses pembelajaran
yang dilakukan guru tersebut. Secara garis besar pengelolaan proses pembelajaran ini
dapat dibagi ke dalam tiga katagori yaitu pengelolaan rutinitas, pengelolaan inti proses
belajar, serta pengelolaan lingkungan dan materi pembelajaran.
Rutinitas adalah aktivitas yang cenderung diulang-ulang pada setiap kali mengajar
dan apabila tidak dikelola dengan baik sangat potensial mengganggu kelancaran bahkan
menghambat jalannya proses pembelajaran. Pada awal pembelajaran aktivitas rutin
diarahkan agar siswa siap untuk mengikuti proses pembelajaran inti, beberapa kegiatan
tersebut, misalnya: cek kehadiran, berdo’a, pemanasan, dan penyampaian tujuan
pembelajaran. Pada akhir pembelajaran, aktivitas rutin seringkali dilakukan dalam bentuk
misalnya: reviu, penenangan, dan berdoa.
Pengelolaan inti proses belajar dilakukan setelah siswa siap belajar. Proses
pengelolaan inti belajar harus dilakukan secara baik. Pengelolaan inti proses belajar
merupakan pengelolaan terhadap seperangkat kejadian yang berlangsung secara
sistematis dan terus menerus, dimulai dari penyajian tugas gerak, siswa meresponnya,
guru mengobservasi dan mengevaluasi respon siswa, dan mendesain ulang tugas gerak
berdasarkan respon siswa. Proses seperti ini menurut Kemis (1982) di sebut juga sebagai
9
Action Research. Kegiatan ini berlangsung seperti spiral, dilakukan secara berulangulang hingga mendapatkan aktivitas belajar yang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa.
Ring (1993) menggambarkan pengelolaan inti proses belajar yang diberi nama Movement
Task-Student Response to Task sebagai berikut.
Presentation of task
Organizational arrangements for task
Movement task
Student response to task
Teacher observation of response
Teacher redesign of task
Gambar 2.1
Pengelolaan Inti Proses Belajar Pendidikan Jasmani menurut Ring (1993)
Tugas gerak (movement task) merupakan aktivitas belajar gerak yang terkait
dengan materi dan dirancang oleh guru baik secara eksplisit maupun implisit untuk
belajar siswa. Tugas gerak dirancang guru untuk meraih tujuan pembelajaran. Untuk itu
tugas gerak pada umumnya bersifat progressive, dari mulai yang mudah hingga yang
sulit, dari mulai yang sederhana hingga yang kompleks. Tugas gerak dapat
dikomunikasikan langsung oleh gurunya maupun tidak langsung misal melalui lembaran
kerja siswa. Untuk mengetahui tugas gerak yang diberikan guru terhadap siswa dalam
proses
pembelajaran
Pendidikan
Jasmani,
seorang
observer
harus
mampu
mengidentifikasi ”apa yang ditugaskan guru agar dilakukan siswanya”.
Respon siswa (student response) berlangsung setelah guru menyampaikan tugas
gerak dan siswa melakukan tugas gerak tersebut. Tanggung jawab guru pada saat siswa
melakukan tugas gerak ini adalah mengobservasi dan memberikan feedback terhadap
penampilan siswa baik secara individual maupun kelompok, misalnya apakah siswa
berlatih di tempat yang aman, apakah siswa melakukan tugas gerak sesuai perintah
10
gurunya, apakah melakukannya dengan benar, dst. Selanjutnya guru memberikan respon
terhadap respon siswa tersebut untuk menentukan apa yang harus dilakukan guru
selanjutnya.
Respon guru (reacher response) terhadap respon siswa akan beraneka ragam
bergantung pada hasil observasi dan penilaian guru terhadap respon siswa, beberapa
diantaranya mungkin saja dalam bentuk memperjelas atau mengulang kembali tugas
gerak, mengatasi masalah keamanan tempat berlatih, memotivasi siswa berlatih, atau
memelihara dan meningkatkan proses belajar siswa. Respon guru lainnya mungkin saja
dalam bentuk pemberian aktivitas yang tidak berhubungan sama sekali dengan tugas
gerak sebelumnya. Namun demikian, respon guru yang paling sering adalah berupa
pemberian informasi tambahan dan tambahan tugas gerak yang terfokus pada membantu
siswa
meningkatkan
penampilan
tugas
gerak
yang
sedang
dipelajari
mengembangkan tingkat kesulitan dan kompleksitas tugas gerak, atau
siswa,
memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian sendiri atau simulasi kompetisi.
Apabila tugas gerak yang diberikan guru merupakan fokus yang baru, maka siklus
pengelolaan inti proses pembelajaran (Movement Task-Student Response to Task),
dimulai lagi.
Planning
Revised
Planning
Improving
Revised
Implementing
Planning
Improving
Implementing
Reflecting
Reflecting
Gambar 2.2
Reflective Teaching dari Tinning (1992)
11
Tinning (1992), mengemukakan proses tersebut dengan istilah Reflective
Teaching. Walaupun beberapa komponen yang dilibatkan dalam Reflective Teaching
menggunakan istilah yang berbeda namun tahapan, tujuan dan makna dari masingmasing kegiatannya relative sama. Secara sederhana proses pengelolaan pembelajaran
Reflective Teaching dimaksud dapat dilihat pada gambar 2.2. Sementara itu, Siedentop
(1991) menggambarkan pengelolaan inti proses belajar yang diberi nama A ContingencyDeveloped Task sebagai berikut
Teacher state task
Student responds (congruent or modified)
Teacher Supervises
Teacher responds to student task-efforts
Actual task develops
Gambar 2.3
Pengelolaan Inti Proses Belajar Pendidikan Jasmani dari Siedentop (1991)
Berdasarkan beberapa tinjauan teoretis tersebut dapatlah dikatakan bahwa
walaupun istilah yang digunakan tentang pengelolaan inti proses pembelajaran berbedabeda namun pada umumnya memiliki tahapan, makna, dan tujuan yang relative sama
yaitu mendapatkan tugas ajar yang paling baik dan efektif melalui proses yang berulangulang, progresif dan berkembang secara berkelanjutan.
Pengelolaan lingkungan belajar adalah kegiatan guru yang berhubungan dengan
pengaturan siswa, alat, ruang, dan waktu dimana proses belajar berlangsung. Termasuk
dalam kegiatan ini adalah mengendalikan kedisiplinan siswa pada saat proses
pembelajaran berlangsung. Sedangkan pengelolaan materi pembelajaran adalah kegiatan
guru yang berhubungan dengan bagaimana menjabarkan materi kurikulum, tugas gerak
12
dilakukan siswa, membantu siswa menguasai tugas gerak, dan memodifikasi serta
mengembangkan tugas gerak. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini.
Tabel. 2.1
Garis Besar Lingkup Pengelolaan Lingkungan dan Materi Pembelajaran Pendidikan
Jasmani dari Siedentop (1991)
Pengelolaan Lingkungan
Pengelolaan Materi
ƒ
Pengaturan siswa, alat, ruang, dan
waktu
ƒ
bagaimana menjabarkan materi
dokumen kurikulum
ƒ
Pengendalikan kedisiplinan siswa
ƒ
bagaimana tugas gerak dilakukan,
ƒ
bagaimana membantu siswa
menguasai tugas gerak,
ƒ
bagaimana memodifikasi serta
mengembangkan tugas gerak
Peran Guru dalam Pembelajaran
Untuk dapat manjalankan proses pembelajaran Pendidikan Jasmani sebagaimana
diuraikan di atas secara lebih baik, maka seorang guru harus mampu memerankan fungsi
mengajar pada saat menjalankan pembelajarannya. Fungsi mengajar adalah fungsi guru
dalam proses belajar mengajar. Penggunaan istilah ini ditujukan agar guru terfokus pada
tujuan perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terfokus
pada perilaku mengajarnya itu sendiri. Siedentop (1991) mengemukakan tiga fungsi
utama guru pada saat melakukan pembelajaran sebagai berikut, “three major functions
occupy most of the attention of physical educators as they teach: managing students,
directing and instructing students, and monitoring/supervising students”
Managing students merujuk para perilaku verbal maupun nonverbal yang
ditampilkan guru untuk tujuan mengorganisir, merubah aktivitas belajar, mengarahkan
formasi atau peralatan, memelihara rutinitas baik yang bersifat akademis maupun non
akademais termasuk pengelolaan waktu transisi. Directing and instructing students
meliputi demonstrasi, eksplanasi, feedback kelompok, dan kegiatan penutup. Monitoring
merujuk pada perilaku observasi guru terhadap siswa secara pasif, sedangkan supervising
13
merujuk pada perilaku guru yang ditujukan untuk memlihara siswa tetap aktif belajar
seperti mengarahkan, mengingatkan, dan memberikan feedback
perilaku sosial
(behavioral interactions) maupun penampilan belajar siswa (skill interactions).
Sementara itu, Rink (1993) menjelaskan fungsi guru dalam proses belajar
mengajar secara lebih rinci lagi ke dalam tujuh kegiatan sebagai berikut, “identifying
outcomes, planning, presenting tasks, organizing and managing the learning
environment, monitoring the learning environment, developing the content, and
evaluating”.
Walaupun kedua pendapat ahli tersebut berbeda secara kuantitas, namun
keduanya sama-sama merujuk pada esensi dari proses pembelajaran Pendidikan Jasmani.
Pendapat pertama lebih menekankan pada fungsi pokok proses pembelajaran, yaitu pada
saat menjalankan siklus Movement Task-Student Response to Task hingga fungsi lainnya
seperti persiapan mengajar tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan pendapat yang kedua
lebih bersifat menyeluruh mulai dari kegiatan persiapan (identifikasi hasil belajar dan
perencanaan) hingga evaluasi terhadap proses pembelajaran. Perbedaan ini masuk akal
mengingat siklus Movement Task-Student Response to Task merupakan bagian kritis dari
proses pembelajaran sehingga fungsi mengajar termasuk keterampilan mengajar
(teaching skills) yang pokok seringkali dikaitkan dengan peristiwa siklus ini.
Untuk dapat meraih proses pembelajaran yang lebih efektif, para guru dapat
memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar secara efektif.
Keputusan mengenai teknik dan keterampilan mengajar bagaimana yang akan dipilih
untuk menampilkan fungsi mengajar bergantung pada apa yang diketahui (what they
know), apa yang diyakini (what they believe), minat (interest), keterampilan (skills), dan
kepribadian (personality) gurunya itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep Ring (1993)
mengenai fungsi mengajar yaitu agar guru terfokus pada “tujuan” perilaku yang
ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terpokus pada “perilaku”
mengajarnya itu sendiri.
Walaupun para guru memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan
berbagai teknik dan keterampilan mengajar, kriteria dan prinsip efektivitas pembelajaran
yang sifatnya umum masih tetap bisa dibuat, misalnya: penyampaian tugas gerak yang
baik membuahkan siswa memahami cara melakukannya demikian juga tujuannya. Hal ini
14
perlu diketahui oleh setiap guru sebagai alat untuk mengevaluasi efektivitas proses
pembelajaran yang dilakukannya. Demikian juga berbagai teknik dan keterampilan
mengajar perlu diketahui dan dimiliki para guru agar dapat diterapkan dan disesuaikan
dengan konteks tempat mereka mengajar Pendidikan Jasmani.
Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Jasmani
Gambaran umum tentang efektivitas mengajar ditandai oleh gurunya yang selalu
aktif dan siswanya secara konsisten aktif belajar. Dalam lingkungan pembelajaran yang
efektif, siswa tidak bekerja sendiri melainkan selalu diawasi oleh gurunya dan mereka
tidak banyak waktu yang terbuang begitu saja: siswa jarang pasif. Jalannya aktivitas
belajar begitu aktif, sibuk, dan menantang bagi siswa akan tetapi tetap masih berada
diantara tingkat perkembangan dan kemampuan siswanya. Yang pada akhirnya siswa
dapat menerima pesan atau instruksi dari gurunya dengan baik dan dapat melakukan
latihan secara independen mempelajari sesuatu sesuai dengan tujuan pembelajarannya.
Berikut ini merupakan beberapa gambaran ringkas dari temuan-temuan melalui
penelitian-penelitian tentang efektivitas mengajar Pendidikan Jasmani (Smith, 1983;
Brophy &Good,1986; Rosenshill & Stevens, 1986; Evertson, 1989) sebagai berikut:
a.
Waktu, kesempatan belajar, dan materi yang diberikan. Guru selalu memfokuskan
pembelajaran agar siswa mempelajari bahan pelajaran yang menjadi tujuan
belajarnya. Selanjutnya guru tersebut juga mengalokasikan waktu sebanyakbanyaknya untuk pencapaian tujuan pembelajaran dan memberi kesempatan yang
sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sementara
penggunaan waktu untuk aspek-aspek lain selain untuk tujuan akademis selalu
dibatasi.
b.
Harapan dan aturan. Guru mengkomunikasikan harapan kepada siswa yang secara
jelas dapat diobservasi. Harapan guru tersebut sangat realistik dan sangat
mendukung kelancaran PBM yang akan dilakukannya. Selain itu, peranan guru dan
siswa dirumuskan dengan teliti, dikomunikasikan, dan dilatihkan kepada siswa
c.
Pengelolaan kelas dan keterlibatan siswa (student engagement). Guru nampak
seperti seorang manajer yang baik, guru menetapkan kegiatan rutin pada setiap awal
tahun ajaran dan mengelolanya dalam pelaksanaan PBM dengan struktur organisasi
15
yang ditata rapih, aturan ditetapkan dan diterapkan melalui strategi pemberian
motivasi yang positif kepada siswa, pengelolaan kelas ditujukan untuk
mengoptimalkan keterlibatan siswa dalam aktivitas-aktiviats akademis. Selama
PBM berlangsung, perilaku guru yang bersifat negatif hampir tidak pernah muncul.
d.
Tugas belajar yang “meaningful” dan tingkat keberhasilan yang tinggi. Aktivitas
belajar yang diberikan sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dan cukup
memberi tantangan kepada siswa akan tetapi memberi kemungkinan terhadap
tingkat keberhasilan belajar yang cukup tinggi, sehingga aktivitas belajar sangat
berarti bagi siswa.
e.
Kelancaran dan momentum. Guru menciptakan dan memelihara jalannya PBM serta
berusaha menghindari kejadian-kejadian yang dapat mengganggu jalannya PBM.
Aktivitas belajar disusun secara bertahap melalui tahapan dan pembagian yang
runtun dan spesifik untuk menjamin keberhasilan.
f.
Mengajar secara aktif. Guru cenderung menyampaikan isi pelajaran kepada siswa
tanpa harus tergantung pada media pelajaran yang tercantum pada kurikulum.
Demonstrasi dilakukan secara singkat dan diikuti oleh latihan terbimbing secara
berulang-ulang serta diselingi pengecekan terhadap pemahaman siswa mengenai
latihan yang dilakukannya
g.
Pengawasan yang aktif. Pada saat latihan terbimbing, tampak dengan jelas bahwa
siswa mengerti dan tidak banyak melakukan kesalahan, selanjutnya siswa diberi
kesempatan untuk berlatih secara independen. Latihan independen tersebut diawasi
oleh guru secara aktif. Demikian juga guru memantau kemajuan belajar siswa,
memelihara agar siswa tetap berlatih, dan memberi bantuan kepada siswa apabila
diperlukan
h.
Tanggung jawab. Guru memberi tanggung jawab kepada siswa mengenai tugas yang
harus diselesaikannya. Macam-macam strategi, yang biasanya berorientasi positif,
digunakan untuk mendapatkan rasa tanggung jawab siswa
i.
Kejelasan, antusiasme, dan kehangatan. Guru selalu jelas dalam memberi uraian,
guru selalu antusias terhadap isi pelajaran juga terhadap siswanya, guru selalu
mengembangkan dan memelihara kehangatan lingkungan belajar sehingga siswa
mempunyai sikap yang positif
16
Perlu kiranya digaris bawahi bahwa banyak guru Pendidikan Jasmani sekarang ini
melakukan sesuatu yang termasuk dalam satu atau beberapa kategori tersebut di atas.
Namun untuk mengetahui seberapa jauh lingkungan pembelajaran Pendidikan Jasmani
sekarang
ini
mendekati
kategori-kategori tersebut
di atas, tentu saja
perlu
membandingkannya dengan cara-cara yang bisa dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan uaraian mengenai proses pembelajaran di atas, maka akan terdapat
tiga variabel pembelajaran yang secara sinergi bekerja merefleksikan efektivitas
pembelajaran. Ketiga variabel tersebut adalah variabel proses guru, variabel proses siswa,
dan variabel hasil belajar. Keterkaitan dari ketiga variabel tersebut digambarkan oleh
Siedentop (1991), sebagaimana tertera dalam gambar 2.4 berikut ini.
Umpan Balik Hasil
Umpan Balik Proses
Variabel Proses Guru
(Penampilan Guru)
Variabel Proses Siswa
(Perilaku Siswa)
• Pengelolaan Rutinitas
• Pengelolaan Proses Pembelajaran
• Pengelolaan Lingkungan dan Materi
Pembelajaran
•
•
•
•
•
Waktu transisi
Perilaku menyimpang
Waktu Aktif Belajar
Kesempatan
Menerima Informasi
Variabel Hasil Belajar
•
•
•
•
•
•
Short Term
Skill
Fitness
Sikap
Pengetahuan
Raihan Tujuan Belajar
Raihan tingkat
kriteria
Long Term
• Fitness
• Participasi
berkelanjuta
• Kelayakan
kemampuan
gerak dan
olahraga
Gambar 2.4
Keterkaitan antar Variabel Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Jasmani
dari Siedentop (1991)
Gambar di atas menunjukkan keterkaitan antara variabel proses pada guru dan
siswa yang pada akhirnya akan mempengaruhi variabel hasil belajar siswa. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dari gambar tersebut yang pertama adalah garis feedback dan
garis yang menghubungkan variabel proses guru dan proses siswa yang dua arah.
Garis umpan balik yang pertama (umpan balik proses) maksudnya adalah guru
menggunakan informasi variabel proses siswa untuk merubah perilaku dan strategi
17
mengajarnya. Sebagai contoh misalnya sebuah penilaian terhadap salah satu variabel
proses siswa menunjukkan bahwa keterlibatan siswa dalam aktivitas belajar sangat
kurang, maka selanjutnya informasi tersebut menyebabkan guru merubah gaya
mengajarnya agar keterlibatan siswa dalam belajar lebih meningkat.
Garis umpan balik yang kedua (umpan balik hasil) maksudnya adalah guru
menggunakan informasi variabel hasil belajar untuk merubah strategi mengajar yang
digunakan oleh gurunya. Misalnya salah satu hasil tes variabel hasil belajar menunjukkan
bahwa kekuatan tubuh bagian atas siswa sangat kurang, maka selanjutnya informasi
tersebut menyebabkan guru merubah strategi mengajarnya dengan cara memfokuskan
banyak waktu mengajarnya terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat memberi sumbangan
terhadap peningkatan kekuatan anggota tubuh bagian atas untuk mengatasi masalah
rendahnya kekuatan tubuh bagian atas pada siswa.
Garis dua arah yang menghubungkan variabel proses guru dan variabel proses
siswa maksudnya adalah untuk mengingatkan kembali bahwa kedua variabel tersebut
saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam beberapa kasus mungkin kita sulit
mengatakannya: apakah dalam proses belajar mengajar, guru yang mempengaruhi siswa
atau siswa yang mempengaruhi guru. Kecuali jika guru memahami apa yang disebut
“dual-directional influences” yaitu proses siswa dipengaruhi proses guru demikian juga
proses guru dipengaruhi proses siswa, maka kesalah pahaman mungkin terjadi di dalam
menginterpretasikan kejadian-kejadian dalam proses belajar mengajar.
Sebagai contoh manakala guru mendengar bahwa “antusias” akan mempengaruhi
keberhasilan proses belajar mengajar, maka guru seringkali hanya mengharapkan siswa
agar belajar dengan penuh semangat (one-directional influence). Mungkin kita setuju
bahwa semangat guru dalam mengajar akan mempengaruhi semangat siswanya dalam
belajar, demikian juga sebaliknya, semangat siswa dalam belajar akan mempengaruhi
juga semangat guru dalam mengajar yang pada akhirnya akan mempengaruhi efektivitas
proses belajar mengajar yang sangat penting bagi tercapainya keberhasilan variabel hasil
belajar siswa.
Gambar tersebut di atas mempunyai asumsi bahwa guru dan siswa berinteraksi
satu sama lain untuk mempengaruhi apa yang dilakukan siswa pada waktu proses belajar
mengajar. Kalau kita analisa lebih jauh, kenyataannya adalah bahwa apa yang sebenarnya
18
dilakukan siswa di dalam proses belajar mengajar itulah yang akan mempengaruhi
keberhasilan belajar siswa baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan
kata lain, guru tidak mempengaruhi secara langsung fitness, skill, dan self-concepsts
siswa. Apa yang dapat dilakukan guru dalam kelas pada dasarnya adalah mempengaruhi
apa yang dilakukan siswa di dalam kelas dan karakteristik-karakteristik apa yang
dilakukan guru itulah yang pada akhirnya akan mempengaruhi fitness, skill, dan selfconcepts siswa.
Relevansi penilaian portofolio sebagai parameter profesionalisme guru,
khususnya guru pendidikan jasmani, secara teoretis masih memungkinkan untuk dapat
diterima walaupun keterkaitannya tidak secara linear. Namun demikian bukti empiris
dalam bentuk hasil penelitian masih tetap diperlukan dan bahkan kehadirannya sangat
urgen. Bukti empiris tersebut sampai saat ini belum ada, oleh karena itu, penelitian
mengenai standar minimal kompetensi guru pendidikan jasmani ini diharapkan dapat
memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan penilaian portofolio sebagai
parameter profesionalisme guru pendidikan jasmani seperti sudah ditetapkan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kualitas Guru Pendidikan Jasmani
a. Kompetensi Pedagogik
Dalam penelitian ini kompetensi pedagogik diungkap berdasarkan efektivitas
pembelajaran penjas yang dilakukan guru. Kriteria efektivitas yang digunakan adalah
proporsi jumlah waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam belajar
gerak. Selanjutnya, efektivitas proses pembelajaran penjas tersebut dibedakan
berdasarkan masa kerja gurunya, hasilnya sebagaimana terlihat pada gambar 3.1 berikut
ini.
19
60
50
51.7 50.8
42.9 42.6
40
30
Masa Kerja <5 thn
Masa Kerja >10 thn
20
10
0
waktu aktif belajar
jml siswa aktif
Gambar 3.1: Waktu Aktif Belajar dan Jumlah Siswa Aktif (%) dalam pembelajaran
Pendidikan Jasmani
Secara umum, dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa rerata proporsi waktu
aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa di atas 40% merupakan indikator yang
termasuk dalam katagori baik. Oleh karena itu berdasarkan instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini, cukup jelas bahwa kompetensi pedagogis guru pendidikan jasmani
termasuk kategori bagus. Namun demikian apabila dianalisis berdasarkan masa kerja
terlihat jelas bahwa semakin lama masa kerja, maka semakin menurun kompetensi
pedagogisnya. Hasil penelitian ini seiring dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suherman (2007) yang pada dasarnya menyatakan masa kerja berbanding terbalik dengan
kesungguhan guru dalam menjalankan tugas pedagogisnya.
Kondisi yang demikian sudah barang tentu merupakan suatu ironi. Lazimnya,
masa kerja berbanding lurus dengan kemampuan yang dimiliki. Ada kemungkinan hal ini
terjadi karena kurang efektifnya mekanisme evaluasi dan supervisi pelaksanaan
pembelajaran. Longgarnya sistem tersebut seolah memberikan peluang bagi guru untuk
melakukan tugas tisak sebagaimana yang dituntut.
b. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional berkaitan dengan kemampuan guru dalam penguasaan
materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi ini diukur dengan menggunakan
20
angket yang berisi tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh pada
saat pre-service training dan in-service training. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kompetensi profesional pada saat pre-service, yakni ketika mereka ada di perguruan
tinggi dirasa masih sangat kurang, yakni sebesar 52,78% dan hanya 5,56% yang
menyatakan memadai. Kondisi tersebut sungguh sangat memprihatinkan. Jika
pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan sebagai bekal menjalankan profesi
guru masih jauh dari apa yang diharapkan, bisa dibayangkan bagaimana mereka dapat
menjalankan tugas secara profesional. Sudah barang tentu, hal ini menjadi catatan
penting bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang notabene
mencetak calon-calon guru.
60
52.78
50
41.67
40
30
20
10
5.56
5.56
0
sangat kurang
cukup
memadai
Tidak Tahu
Gambar 3.2: Materi Perkuliahan yang diterima Guru pada saat Pre Service Training
Minimnya pengetahuan yang diperoleh saat pre-service training tampaknya juga
berpengaruh pada keyakinan guru dalam menjalankan profesinya. Sebanyak 36,11%
menyatakan bahwa mereka merasa tidak layak menjalankan tugas mengajar secara
profesional. Mereka yang menyatakan cukup layak sebesar 55,56%, dan hanya 2,78%
yang menyatakan sangat layak.
21
60
55.56
50
40
36.11
30
20
10
5.56
2.78
0
Tidak Layak
Cukup Layak
Sangat Layak
Tidak Tahu
Gambar 3.3: Keyakinan Guru dalam Melaksanakan Tugas Mengajar
Ketika mereka ditanya bekal apa saja yang dirasa kurang? Sebesar 22,73%
menyatakan kekurangan dalam bidang keilmuan; 27,27% merasa kurang dalam hal
teaching skill; dan 25% menyatakan kekurangan dalam hal substansi cabang olahraga.
30
27.27
25
25
22.73
20
15.91
15
10
9.09
5
0
Keilmuan
teaching skill
cabor
lainnya
tidak tahu
Gambar 3.4: Bekal kompetensi yang dirasa kurang saat di Perguruan Tinggi
22
Logikanya, ketika bekal matakuliah dari perguruan tinggi dirasa masih sangat kurang,
mestinya para guru diberi kesempatan seluas-luasnya untuk akses terhadap upaya
peningkatan kompetensi profesionalnya. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Justru dari data
yang diperoleh menunjukkan bahwa 83,33% mereka menyatakan sangat kurang
mendapatkan akses. Sebanyak 13,89% menyatakan cukup dan 0% menyatakan memadai.
Ironi memang! Tetapi itulah realitas yang terjadi.
90
80
83.33
70
60
50
40
30
20
10
0
13.89
0
sangat kurang
cukup
memadai
Gambar 3.5: Aksesabilitas guru Pendidikan Jasmani terhadap pelatihan
c. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merujuk pada kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa meskipun secara umum cukup memadai, tetapi yang menyedihkan
adalah masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi kepribadian. Semakin lama
masa kerja, semakin menurun kompetensi kepribadiannya. Penurunan terjadi di semua
aspek, mulai dari kejujuran, kedisiplinan, keterbukaan, etos kerja, dan inovasi.
23
4
3
2
1
0
Kejujuran
Disiplin
Terbuka Etos kerja
Masa kerja <5 thn
Inovasi
Masa kerja >10 thn
Gambar 3.6: Perbedaan kompetensi kepribadian antara masa kerja ≤5 tahun dan ≥10 thn
Tampaknya, hasil ini linier dengan kompetensi pedagogis sebagaimana
dikemukakan di atas. Hal ini semakin meneguhkan bahwa mereka, dalam hal ini guru
pendidikan jasmani, kurang mendapatkan pembinaan yang memadai. Perlu diberi catatan
di sini bahwa guru pendidikan jasmani merupakan komunitas dengan ciri khusus.
Komunitas tersebut memiliki solidaritas yang tinggi, ikatan moral yang longgar, dan
pragmatis. Solidaritas tanpa diikuti bimbingan moral memiliki kecenderungan untuk
melahirkan tindakan-tindakan yang dari perspektif kepribadian kurang terpuji. Misalnya
karena alasan pertemanan rela melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kejujuran, kedisiplinan, dan keterbukaan. Demikian juga dengan semangat pragmatisme
yang mengedepankan prinsip ”pokoknya jalan” pada gilirannya cenderung melahirkan
tindakan-tindakan yang kontraproduktif terhadap etos kerja dan inovasi.
d. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik,
dan masyarakat sekitar Bagaimana dengan kompetensi sosial? Sebagaimana yang terjadi
pada kompetensi kepribadian terjadi pula pada kompetensi sosial. Penjelasan yang
24
diberikan pada kompetensi kepribadian dapat juga diterapkan pada konteks kompetensi
kepribadian.
4
3.5
3
2.5
Masa kerja <5 thn
2
Masa kerja >10 thn
1.5
1
0.5
0
Keteladanan
Ketaatan
Komunikasi
Kerjasama
Tanggung
Jawab
Gambar 3.7: Perbedaan kompetensi sosial antara masa kerja ≤5 tahun dan ≥10 tahun
2. Gambaran Penggunaan Waktu oleh Guru Pendidikan Jasmani
Persoalan lain terkait dengan kondisi kualitas guru pendidikan jasmani adalah bagaimana
mereka menggunakan waktu. Penggunaan waktu merupakan cerminan bagaimana
seseorang mengisi hidupnya dengan aktivitas-aktivitas yang berdampak bagi dirinya.
14
12.6
11.5
12
10
8
8.7 8.3
Masa kerja <5 thn
6
3.8
4
3
Masa kerja >10 thn
2
0
Kebutuhan
dasar
Produktif
Rekreatif
Gambar 3.8: Perbedaan penggunaan waktu antara masa kerja ≤5 tahun dan ≥10 tahun
25
Menurut Jansen (1995), secara garis besar penggunaan waktu dibagi ke dalam tiga
kategori besar, yakni waktu untuk kebutuhan dasar (existence time), waktu produktif
(subsistence time), dan waktu rekreatif (free time) yang masing-masing secara berturutturut alokasinya adalah 10 jam, 9 jam, dan 5 jam. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan waktu guru pendidikan jasmani relatif optimal, apalagi terkait dengan
penggunaan waktu produktif. Bagaimana halnya dengan penggunaan waktu yang terkait
dengan peningkatan profesionalisme? Dari data lapangan ditemukan bahwa angkanya
sebesar 0,7 jam atau 42 menit per hari pada kelompok subjek masa kerja lima tahun ke
bawah. Sementara itu pada kelompok subjek masa kerja sepuluh tahun ke atas sebesar 0,4
jam atau 24 menit per hari.
0.7
0.7
0.6
0.5
0.4
0.4
Masa kerja <5 thn
0.3
Masa kerja >10 thn
0.2
0.1
0
waktu pengembangan profesi
Gambar 3.9: Perbedaan penggunaan waktu antara masa kerja ≤5 tahun dan ≥10 tahun
Dari data tersebut dapat dibayangkan bagaimana peningkatan pengetahuan yang
diperoleh. Yang jelas, tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi jika dalam waktu
tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal. Kondisi yang demikian tentu sangat
memprihatinkan, mengingat banyaknya waktu yang digunakan oleh seseorang untuk
mengerjakan sesuatu merupakan indikator penting bagaimana orang yang bersangkutan
berkomitmen kepada profesinya.
26
IV. SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kualitas guru pendidikan jasmani masih
sangat memprihatinkan, terutama pada kompetensi profesional, kepribadian, dan
sosial. Secara lebih khusus dapat dikemukakan sebagai berikut.
a) Kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani relatif optimal dilihat dari
waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam pembelajaran.
b) Kompetensi profesional pada saat pre-service maupun in-service dirasa
masih sangat kurang.
c) Kompetensi kepribadian guru relatif tinggi. Kompetensi kepribadian guru
dipengaruhi oleh masa kerja, semakin lama masa kerja semakin menurun
kompetensi kepribadiannya.
d) Kompetensi sosial guru relatif tinggi. Kompetensi sosial guru dipengaruhi
oleh masa kerja, semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi
sosialnya.
2. Gambaran penggunaan waktu dalam sehari, sebanyak 8,5 jam untuk kebutuhan
dasar; 12,05 jam untuk kegiatan produktif; dan 3,45 jam untuk kegiatan rekreatif.
3. Pemanfaatan waktu untuk pengembangan profesionalisme guru pendidikan
jasmani masih relatif rendah, yakni antara 24-42 menit per hari. Guru dengan
masa kerja rendah cenderung memanfaatkan waktu untuk pemenuhan kebutuhan
dasar, sementara itu guru dengan masa kerja lama cenderung memanfaatkan
waktu untuk kegiatan yang bersifat produktif.
Saran
1. Perlu dilakukan penyegaran kompetensi pedagogik, terutama kepada mereka yang
memiliki masa kerja cukup lama. Langkah ini dapat dilakukan oleh Depdiknas,
misalnya melalui PMPTK yang memiliki kewenangan meningkatkan kompetensi
guru dalam jabatan (in-service training).
27
2.
LPTK sebagai penyedia layanan guru perlu memperbaiki diri, baik dari sisi
kurikulum maupun sistem pengajaran. Langkah ini difokuskan terutama pada
kelompok matakuliah substansi keilmuan dan teaching learning process.
3. Perlu adanya peningkatan aksesabilitas bagi para guru yang sudah mengajar untuk
meningkatkan kompetensi profesionalnya. Akses bisa diperluas melalui bentuk
pelatihan, seminar, lokakarya, sampai pada peningkatan tingkat kesarjanaan.
4. Perlu adanya penyegaran kompetensi kepribadian dan sosial, terutama bagi guru
yang memiliki masa kerja relatif lama. Hal ini juga dapat dilakukan oleh PMPTK
melalui program-program yang terencana dan sistematis.
5. Perlu adanya program peningkatan penyediaan sumber belajar bagi para guru
dalam rangka optimalisasi motivasi belajar. Kuat dugaan rendahnya waktu yang
digunakan oleh guru diantaranya disebabkan oleh kurang tersedianya sumbersumber belajar yang tersedia seperti buku yang dapat diperoleh dengan mudah.
28
Daftar Pustaka
Aliance American for Health, Physical Education, Recreation, and Dance. (1999).
Physical Education for Lifelong Fitness: The Physical Best Teacher’s Guide.
AAHPERD. Champaign, IL: Human Kinetics.
Ary, D., Jacobs, L.C., dan Razavieh, A. (1990). Introduction to Research in Education.
Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.
Baranowski, T. et al. (1987). “Aerobic Physical Activity among Third-to Sixth-grade
Children”. Journal of Developmental and Pediatrics. 8 (4).
Baumgartner, T. A. and Jackson, A.S. (1995). Measurement for Evaluation in Physical
Education and Exercise Science. (5th Ed.). WMC Brown: Dubuque. Iowa.
Behets, D. (2001). Value Orientations of Physical Education Preservice and Inservice
Teachers. Dalam Journal of Teaching in Physical Education [Online]. Vol 20
(2). Tersedia: http://www.jtpe/abstract. [21 Juni 2004]
Belka, D. E. (1994). Teaching Children Games: Becoming a Master Teacher.
Champaign, IL: Human Kinetics.
Borg, W. R., dan Meredith, D.G. (1989). Educational Research: An Introduction. Fifth
Edition. New York: Longman.
Bucher, C. A. dan Krotee, M. L. (1993). Management of Physical Education and Sport.
Tenth Edition. Toronto: Mosby.
Buschner, C. A. (1994). Teaching Children Movement Concepts and Skills: Becoming a
Master Teacher. Champaign, IL: Human Kinetics.
Centers for Disease Control and Prevention. (2000). Guidelines for School and
Community Programs to Promote Lifelong Physical Activity among Young
People. [Online]. Tersedia: http://www.cdc.gov. [12 Maret 2003]
Cooper, K. (1991). Kid Fitness. Bantam: New York.
Covaleskie, J. F. (1994). The Educational System and Resistence to Reform: The Limit
of Policy. Dalam Educational Policy Analysis Archives [Online], Vol 2 (4).
Tersedia: http://epaa.asu/epaa/v2n4.html [04 Maret 2002]
Crum, B. (2003). The Identity Crisis of Physical Education – to Teach or not to Be, That
is the Question. Makalah pada SPEF Conference, Bandung.
Dauer, V. P. dan Pangrazi, R. P. (1992). Dynamic Physical Education for Elementary
School Children. (10th Ed.), Mayfield, CA: Macmillan Publishing Company.
29
Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi: Panduan KTSP. [Online]. Tersedia:
http://www.depdiknas.go.id/publikasi/ [27 April 2006]
Depdiknas (2007). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
[Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/[12 Desember 2007]
Depdiknas (2007). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/[12 Desember 2007]
Depdiknas (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007
tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. [Online]. Tersedia:
http://www.depdiknas.go.id/[12 Desember 2007]
Depdiknas (2007). Meningkatkan kompetensi guru. [Online]. Tersedia dalam
http://www.pmptk.net/ [12 Desember 2007]
Digest. Number: 00 – 10. (2001). Health Risk Behaviors of Children and Youth. [Online].
Tersedia: http://www.eric.org [21 Juni 2004]
Digest. Number: 97 – 10. (2001). Promoting Health Behavior Change. [Online].
Tersedia: http://www.eric.org. [21 Juni 2004]
Disman, R. K. (1990). Determinants of Participation in Physical Activity in Exercise,
Fitness, and Health, edited by Claude Bouchard, et al. Champaign, IL: Human
Kinetics.
Dunkin, M, dan Biddle, B. (1974). The Study of Teaching. New York: Holt, Rinehart &
Winston.
Ennis, C. D., Mueller L. K. dan Hooper, L.M. (1990). “The Influence of Teacher Value
Orientations on Curriculum Planning within the Parameters of Theoretical
Framework”. Research Quarterly for Exercise and Sport. 61 (4).
Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. (1990). How to Design and Evaluate Research in
Education. New York: McGraw-Hill Inc.
Freeman, W. H. (2001). Physical Education and Sport in a Changing Society. Boston:
Allyn and Bacon.
Gallahue, D. L. (1982). Developmental Movement Experiences for Children. New York.
John Willey and Sons.
Gallahue, D. L. (1991). Developmental Physical Education for Today’s Elementary
School Children. New. York: Macmillan Publishing Company.
Graham, G. (1992). Teaching Children Physical Education: Becoming a Master Teacher.
Campaign, Illinois: Human Kinetics Publishers.
30
Graham, G. (1993). AMTP Pedagogy Course Study Guide: American Master Teacher
Program for Children’s Physical Education. Campaign, Illinois: Human
Kinetics Publishers.
Graham, G., Holt, S. A., Parker, M. (1993). Children Moving, A Reflective Approach to
Teaching Physical Education. California: Mayfield.
Grineski, S. (1996). Cooperative Learning in Physical Education. Campaign, Illinois:
Human Kinetics Publishers.
Hellison, D. (1984). Goal and Strategies for Teaching Physical Education. Champaign,
IL.: Human Kinetics.
Hellison, D. (1995). Teaching Responsibility through Physical Activity. Champaign, IL:
Human Kinetics.
Hellison, D. (2003). Teaching Responsibility through Physical Activity. Champaign, IL:
Human Kinetics.
Hyllelard, R., Mood, D. P., dan Morrow, J.R.(1996). Interpreting Research in Sport and
Exercise Science. Dubuque, IOWA: The C.V. Mosby Company.
Issac, S. dan Michael, W. B. (1982). Handbook in Research and Evaluation. California:
EdiTS Publisher.
Jansen, C.R. (1995). Outdoor recreation in America (5th edition). Champaign, IL: Human
Kinetics.
Joyce, B. dan Weil, M. (1996). Models of Teaching. Fifth Edition. Boston: Allyn and
Bacon
Laray/Ron F., Barry W. dan Henderson, H. L. (1997). Positive Behavior Management
Strategies for Physical Educators. Champaign, IL: Human Kinetics.
McPherson, B. D., Curtis, J. E., dan Loy, J. W. (1989). The Social Significance of Sport:
An Introduction to The Sociology of Sport. Champaign, Illinois: Human Kinetics
Books.
Melograno, V. (1985). Designing the Physical Education Curriculum. A Self Directed
Approach. Ohio: Kendall/ Hunt Publishing Company.
Metzler, M. W. (2000). Instructional Models for Physical Education. Bosto: Allyn &
Bacon.
Pate, R. R. dan Trost, S. G. (1998). “How to Create a Physically Active Future for
American Kids”. American College of Sport Medicine, Health & Fitness. 2 (6).
31
Powell, K. E. and Wayne, D. (1987). “Childhood Participation in Organized School
Sports and Physical Education as Precursors of Adult Physical Activity”.
American Journal of Preventive Medicine. 3 (5).
Ratliffe, T. dan Ratliffe, L. M. (1994). Teaching Children Fitness: Becoming A Master
Teacher. Illinois: Human Kinetics.
Rink, J. E. (1993). Teaching Physical Education for Learning. Second Edition. Toronto:
Mosby.
Rink, J. E. (2002). Teaching Physical Education for Learning. Fourth Edition. New
York: Mc Graw Hill.
Schmidt, R. A. dan Wrisberg, C. A. (2000). Motor Learning and Performance: A
Problem-Based Learning Approach. (2nd Ed.). Champaign,Illinois: Human
Kinetics.
Siedentop, D. (1990). Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. California:
Mayfield Publishing Company.
Siedentop, D. (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education. California:
Mayfield Publishing Company.
Siedentop, D. (1994). Quality PE through Positive Sport Experiences: Sport Education.
Illinois: Human Kinetics.
Stran, B. dan Ruder, S. (1996). “Increasing Physical Activity through Fitness
Integration”. Journal of Physical Education, Recreation, and Dance. 67 (3)
Suherman, A. (2007). Teacher’s curricullum value orientations dan implikasinya pada
pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan jasmani. Disertasi.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Thomas dan Laraine (1994). Teaching Children Fitness: Becoming a Master Teacher.
Illinois: Human Kinetics.
Tinning, R. et al. (2001). Becoming a Physical Education Teacher: Contemporary and
Enduring Issues. Australia: Prentice Hall.
32
Download