BAB VII. PENUTUP 7.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa proposisi pertama “Proses transformasi pada permukiman tepi sungai melalui cara perpindahan, penambahan, pengurangan, ataupun kombinasi ketiganya pada site”. Terdapat elemen yang continue dan/atau change pada transformasi tersebut yang dapat diperkuat dan diperkaya dengan temuan penelitian. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perpindahan RL, elemen titian, batang dan dermaga penambahan RBS dan RTS. Orientasi-fungsitipologi bangunan dan material konstruksi yang mengalami perubahan (change). Terdapat keunikan kasus 1 dan 3 yang memperkaya pada cara pemotongan kavling pada site, (pemotongan kavling untuk makam/alkah dan dimensi RBS sebagai upaya berbagi lahan dengan keluarga batih/anak yang sudah menikah). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa transformasi permukiman tepian sungai dipengaruhi fungsi kawasan dan kedudukan permukiman terhadap kota. Konsep ini didasarkan temuan penelitian bahwa : a. Sungai dan jalan memiliki fungsi dan peran yang sangat penting bagi kawasan dan masyarakatnya. Mata pencaharian masyarakat (pekerja wantilan dan bansaw) sangat bergantung dengan sungai sebagai area galangan kayu dan jalur distribusi bahan mentah maupun bahan siap pakai. Bagi para peladang yang sebagian besar wanita, jalur sungai menjadi transportasi utama menuju sawah dan ladang yang berada di seberang pulau. b. Pada pusat kota lama (kasus 1) dan pada pinggiran kota (kasus 3) terdapat cara transformasi yang dipengaruhi suku asal dan tingkat kekerabatan antara keluarga (tema pemotongan kavling dan dimensi rumah). Pengaruh suku asal sebagai asli orang Kuin dan Alalak ditunjukkan dengan besarnya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap fungsi sungai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proposisi kedua “Transformasi permukiman tepi sungai dapat diidentifikasi berdasar posisi elemen transformasi berdasar sifat core yang berubah sangat lambat, dalam periode yang sangat lama atau malahan tidak mengalami perubahan, pherial (elemen yang cepat mengalami perubahan dan tidak banyak mempengaruhi culture) dan hadirnya 314 elemen-elemen yang baru (new element) dapat diperkuat dengan temuan penelitian”. Hal ini ditunjukkan dengan keterikatan terhadap tempat berupa budaya kehidupan sungai sebagai core culture pada fase 1, posisi SUNGAI dan JALAN pada fase 2, dan posisi JALAN pada fase 3. Posisi SUNGAI sebagai core ketika elemen-elemen permukiman dan aktivitas masyarakatnya berbasis sungai. Dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Aspek fisik : a. Pola hunian mengikuti bentuk sungai, akses dan orientasi bangunan mengutamakan sungai sebagai area depan. b. Adanya jembatan, jembatan ringkap, dermaga, batang, jamban dan titian sebagai bagian elemen arsitektur sungai. Elemen-elemen ini selain berfungsi sebagai penunjang aktivitas berbasis sungai juga berfungsi sebagai konektivitas antara sungai dan darat. c. Transportasi sungai dan budaya kehidupan sungai menjadi gambaran keseharian masyarakatnya. 2. Aspek non fisik : Keterikatan akan tempat (place attachment) yang diwujudkan pada : a. Besarnya kesadaran, pengetahuan, dan ketergantungan akan fungsi dan peran sungai. b. Besarnya kesadaran menjaga dan memelihara lingkungan sungai, pengetahuan membangun dan berhuni pada lingkungan sungai dan rawa. c. Besarnya ketergantungan terhadap fungsi dan peran sungai dalam kehidupan sehari hari. Fungsi dan peran tersebut antara lain sebagai fungsi ekonomi, sosial dan budaya (penunjang transportasi, penunjang mata pencaharian, sumber air untuk kebutuhan sehari hari, dan lain-lain). Posisi sungai dan jalan sebagai elemen yang dominan adalah ketika adanya koeksistensi sungai dan jalan dalam elemen-elemen permukiman maupun aktivitas masyarakatnya. Diuraikan sebagai berikut : 1. Aspek fisik: Pola hunian mengikuti bentuk sungai, akses dan orientasi bangunan mengutamakan sungai sebagai area depan. Adanya batang, jamban dan titian sebagai bagian elemen arsitektur sungai. Elemen-elemen ini 315 selain berfungsi sebagai penunjang aktivitas berbasis sungai juga berfungsi sebagai konektivitas antara sungai dan darat. 3. Aspek non fisik : Keterikatan akan tempat (place attachment) yang diwujudkan pada : Besarnya kesadaran, pengetahuan, dan ketergantungan akan fungsi dan peran sungai. 2. Besarnya kesadaran menjaga dan memelihara lingkungan sungai, pengetahuan membangun dan berhuni pada lingkungan sungai dan rawa. 3. Besarnya ketergantungan terhadap fungsi dan peran sungai dalam kehidupan sehari hari. Fungsi dan peran tersebut antara lain sebagai fungsi ekonomi, sosial dan budaya (penunjang transportasi, penunjang mata pencaharian, sumber air untuk kebutuhan sehari hari, dan lain-lain). Proposisi ke 3 “Faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi meliputi aspek: sosio kultur, budaya, akulturasi, peraturan pemerintah, tingkat pendapatan, politik, ekonomi, gaya hidup dapat berupa transformasi struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya penemuanpenemuan baru mengenai manusia dan lingkungannya seperti penggunaan teknologi baru” dapat diperkuat dan diperkaya dengan faktor kekerabatan dalam mempertahankan kavling tradisional untuk menghindari sengketa waris. Faktor budaya kehidupan sungai yang mempengaruhi pengetahuan membangun, dan kesadaran mempertahankan kelestarian sungai. Faktor kebijakan pemerintah yang “belum tegas” dalam penerapannya (IMB, kerusakan lingkungan sungai, pengurukan dan lain-lain), penataan area sungai dan bantarannya namun tidak menerapkan secara utuh identitas lokal dan karakter arsitektur tepian sungai. Transformasi fisik disebabkan oleh adanya kekuatan non fisik yaitu transformasi budaya, sosial, ekonomi dan politik (Rossi, 1982 ; Sari, 2007). Aspek sosial budaya lebih dominan dalam mempengaruhi bentuk bangunan dibandingkan dengan aspek fisik, seperti material, teknologi, serta kondisi tapak. Hal dasar terjadinya transformasi adalah berkaitan dengan perkembangan pengetahuan dan kemampuan manusia dalam mengendalikan alam (Rapoport, 1969:49). Faktor-faktor dominan yang berpengaruh dalam transformasi adaptif permukiman tepi sungai adalah : kebijakan pemerintah, kerusakan lingkungan, mitigasi bencana, peningkatan ekonomi, morfologi sungai, keterbatasan material, 316 identitas diri/aktualisasi diri, pendidikan, kekerabatan, dan basis ekonomi kawasan Penelitian ini menunjukkan bahwa proses transformasi yang terjadi pada permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin sejak awal mula berdirinya permukiman (fase 1) hingga saat ini (fase 3) dapat dijelaskan sebagai sebuah transformasi yang adaptif. Transformasi adaptif adalah transformasi lingkungan fisik permukiman dan aktivitas masyarakat yang berbasis sungai ke lingkungan fisik permukiman dan aktivitas masyarakat yang berbasis darat. Konsep ini sebagai gambaran proses transformasi dari lingkungan fisik permukiman dan aktivitas masyarakat yang berbasis sungai ke berbasis darat. Secara fisik, terdapat fase eksistensi sungai dalam kehidupan, fase eksistensi sungai dan jalan dalam transisi bermukim, dan fase dominasi jalan darat dalam perkembangan permukiman. Secara non fisik, terdapat budaya kehidupan sungai sebagai core culture masyarakatnya yang masih dipertahan-kan yang terimplikasi dalam cara/strategi adaptasi pada lingkungan fisik dan aktivitas di sungai dan darat. Elemen-elemen fisik permukiman dan aktivitas masyarakat yang bertransformasi dari basis sungai ke basis darat adalah: orientasi bangunan, fungsi bangunan, material, konstruksi, pola kavling, lokasi bangunan dan luasan, infrastruktur lingkungan sungai, dan aktivitas keseharian (daily life). Cara-cara transformasi melalui cara perpindahan, penambahan dan kombinasi keduanya, dan cara/strategi adaptasi yang digunakan adalah adaptation by adjusment, adaptation by reaction, and adaptation by withdrawl, serta kombinasi ketiganya. Faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi permukiman tepi sungai adalah kebijakan pemerintah, kerusakan lingkungan sungai, peningkatan ekonomi kawasan, upaya mitigasi bencana (banjir), penyempitan morfologi sungai, keterbatasan material konstruksi, identitas diri/aktualisasi, perkembangan teknologi, privasi, gaya hidup, budaya kekerabatan, peningkatan ekonomi dan pengetahuan. 317 7.2 Kontribusi Teoritik Berdasar fokus penelitian, temuan penelitian ini dapat mengisi pada tataran teoritik transformasi dan teori adaptasi permukiman (settlements), khususnya permukiman tepian sungai. Selain itu, temuan penelitian ini juga dapat mengisi pada tataran teori transformasi, khususnya aspek proses, bentuk, dan faktor yang mempengaruhinya, teori adaptasi, teori keterikatan terhadap tempat (attachment to place). Mengacu pada proposisi penelitian, maka Konsep Transformasi Adaptif ini mengisi dan memperkaya teori permukiman tepian sungai khususnya yang terkait dengan teori transformasi, teori adaptasi, teori continuity and change, dan teori keterikatan terhadap tempat (attachment to place). Kontribusi teoritik terkait dengan teori transformasi dan teori adaptasi, yang berada pada tataran keilmuan arsitektur dan psikologi lingkungan. Transformasi dengan cara penambahan pada unit analisis massa bangunan, struktur, material konstruksi, jumlah lantai dan ketinggian bangunan, fungsi bangunan dan jenis dan ruang dalam bangunan. Transformasi dengan cara perpindahan lokasi massa bangunan, fungsi bangunan, aktivitas keseharian (daily life) berbelanja di pasar terapung berpindah ke pasar di darat, aktivitas mandi dan mencuci di batang berpindah ke kamar mandi dan area cuci di dalam bangunan, aktivitas kakus di toilet komunal (outdoor) berpindah ke toilet individual di rumah (indoor) Pada transformasi dari permukiman berbasis sungai ke permukiman berbasis darat tidak ditemukan transformasi dengan cara pengurangan. Temuan ini menegaskan adanya keterbatasan memiliki luasan kavling dan bangunan di area sungai dan keleluasaan memiliki kavling dan membangun rumah yang lebih besar serta tipe ruang yang lebih bervariasi di area darat. 7.3 Implikasi Kebijakan Hasil penelitian berupa konsep transformasi adaptif ini dapat menjadi acuan dalam memprediksi transformasi permukiman tepi sungai lainnya di Kota Banjarmasin. Konsep ini dapat menjadi landasan bagi penyusunan kebijakan dalam dokumen perencanaan tata bangunan dan lingkungan maupun praktek arsitektural di bidang permukiman, khususnya permukiman di tepian sungai. 318 Diperlukan penelitian pendahuluan terkait karakter kawasan dan elemen permukiman lainnya jika digunakan untuk membaca/memprediksi transformasi permukiman tepian sungai di luar Kota Banjarmasin. Berdasar pengamatan dan analisis selama proses penelitian hingga menemukan simpulan transformasi permukiman tepian sungai ini, terdapat beberapa hal penting untuk menjadi dasar pertimbangan pemerintah dalam menyusun kebijakan-kebijakan. Dasar-dasar pertimbangan tersebut sebagai berikut : 1. Menghidupkan aktivitas di kawasan tepian sungai melalui pengembangan kawasan tourism perairan (pasar terapung, kampung wisata tepi sungai, dan lain-lain). 2. Pentingnya penetapan peraturan/kebijakan pemerintah terkait pembangunan di lingkungan sungai. Pengawasan pembangunan di tepi sungai sehingga sesuai dengan aturan Garis Sempadan Sungai (GSS). Perlunya perhatian terhadap penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) di bantaran sungai sehingga konsisten dengan aturan GSS. Perlunya regulasi tentang pembangunan baru yang ada di wilayah bantaran sungai. Bangunan baru yang berada diatas bantaran memiliki kontrol ketat dalam aturan yang dilakukan oleh satuan kerja pemerintah kota. Aturan bangunan baru diperketat dengan memperhatikan aspek lingkungan, kesehatan, budaya dan sosial masyarakat setempat. 3. Pendekatan kepada masyarakat melalui penyuluhan dan penggalian partisipasi masyarakat terkait pemahaman dan upaya penguatan identitas lokal berupa implikasi penggunaan tipologi bangunan tradisional-vernakular. Bentukan keruangan dengan struktur panggung maupun terapung dengan modifikasi material yang adaptif. 4. Penghargaan dan penegakan peraturan melalui insentif dan disentif. Warga yang melanggar peraturan wajib dikenakan sanksi atau denda dan warga yang taat peraturan memperoleh insentif berupa bantuan pengembangan usaha produktif atau pengurangan bea pajak. Perlunya tindakan tegas tentang bangunan-bangunan yang berada di bantaran sungai dengan jumlah lapisan yang berlebih. Maksimal jumlah lapisan selanjutnya ditentukan dalam peraturan daerah atas pertimbangan pelestarian budaya dan lingkungan. 319 5. Bangunan bantaran sungai yang memiliki muatan sejarah dan sosial yang penting harus dipertahankan sebagai bagian dari objek pariwisata kota. Elemen lokal seperti pembaharuan dengan batang, jamban, dan titian perlu di lakukan bentuk perencanaan yang komprehensif. Pembangunan batang, jamban, dan titian perlu tercatat dalam dokumen perencanaan kawasan seperti RTBL yang pada proses pembangunannya dapat dikontrol dan tidak tumbuh spontan. Upaya-upaya ini diharapkan dapat memperbaiki atau meminimalisir kerusakan lingkungan dan dapat meningkatkan identitas lokal di kawasan permukiman tepian sungai. 7.4 Rekomendasi Penelitian Selanjutnya Secara umum, penelitian transformasi arsitektur permukiman tepi sungai ini merupakan penelitian awal yang masih berpotensi untuk digali dan dikembangkan lebih lanjut. Rekomendasi untuk penelitian lanjutan dapat dilihat dari metode yang digunakan selain studi kasus, ataupun topik transformasi yang melihat dari unit analisis yang lebih makro (skala kota). Tidak terkecuali unit analisis yang lebih mikro terkait tradisi budaya kehidupan sungai dan latar belakang budaya masyarakatnya. Berdasar konsep transformasi adaptif dan kedudukan temuan penelitian ini dalam ranah keilmuan, maka peneliti menyarankan adanya penelitian lanjutan terkait topik mitigasi dan resiliensi (kebertahanan) masyarakat di tepian sungai. Topik transformasi dengan fokus pada budaya Suku Banjar dalam tradisi membangun dan berhuni juga masih berpotensi untuk digali lebih lanjut. Aspek batasan fase transformasi juga masih dapat dipersempit sehingga aspek-aspek penting yang belum diungkapkan dalam penelitian ini dapat digali oleh penelitipeneliti selanjutnya. 320