BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENENTUAN NASIB SENDIRI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 2.1. Penentuan Nasib Sendiri Sejak tumbangnya komunisme di Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya di Eropa Timur pada akhir tahun 1990an, telah memberikan isyarat bagi berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur dan sekaligus telah berpengaruh terhadap hubungan antarnegara dan mempunyai dampak dalam tatanan hukum internasional. Namun, di pihak lain perubahan-perubahan yang cepat dan mendasar semacam itu juga telah menimbulkan fenomena-fenomena baru seperti timbulnya pertentangan etnis di banyak negara yang dapat memporak-porandakan kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah negara dan kemudian memicu terjadinya disintegrasi atau terpecah-pecahnya negara.31 Hal itu terjadi pada negara bekas Uni Soviet yang kini telah terpecahpecah menjadi 15 negara dengan personalitas hukum yang baru. Termasuk juga apa yang telah terjadi di bekas Negara Republik Demokrasi Sosialis Yugoslavia yang kini telah terpecah menjadi lima negara baru seperti Serbia dan Montenegro, Kroasia, Slovenia, Bosnia Herzegovina dan Macedonia, belum lagi yang terjadi di bekas Negara Cekoslovakia yang kemudian menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia. Kejadian-kejadian semacam ini sudah tentu bisa menimbulkan preseden yang sangat berbahaya bukan saja bagi perkembangan dan kelangsungan hidup 31 Sumaryo Suryokusumo, 2001, Praktek Diplomasi, Universitas Indonesia, Jakarta, h.64- 65. 18 negara, tetapi juga kemerdekaan (independence), kedaulatan (sovereignity) serta yang terpenting lagi adalah keutuhan wilayah (territorial integrity) suatu negara. Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai perjanjian internasional, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang memuat tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tertentu dan hak ini menyatakan bahwa semua negara (all states) atau bangsa (peoples) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya alam mereka yang dianggap cocok. Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak dari suatu masyarakat kolektif tertentu seperti untuk menentukan masa depan politik dan ekonominya sendiri dari suatu bangsa, tunduk pada kewajibankewajiban menurut hukum internasional.32 Dalam berbagai literatur hukum internasional belum didefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan bangsa (peoples) dalam rangka menuntut (claiming) hak untuk menentukan nasib sendiri. Terdapat banyak kontroversi dan kebingungan dalam hal ruang lingkup (scope) dan penerapan dari hak ini. Namun, demikian hak untuk menentukan nasib sendiri secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain, yaitu Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB yang menyatakan bahwa salah satu tujuan dari PBB adalah untuk membangun hubungan baik antara bangsa-bangsa berdasarkan 32 H. Victor Conde, 1999, A Handbook of International Human Rights Terminology, University of Nebraska Press, Nebraska, h.135. 19 kehormatan untuk prinsip kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat.33 Pasal 1 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Internastional Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) menyatakan bahwa semua orang telah diberikan kebebasan untuk menentukan status politik, perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan.34 Dengan kata lain, setiap bangsa adalah bebas untuk membangun institusi politik, membangun sumber daya ekonominya, dan untuk mengatur perubahan sosiokulturalnya sendiri, tanpa ada intervensi dari bangsa lain. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada bangsa dan negara terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kerjasama dan Hubungan Bersahabat di antara negara-negara dan hubungan bersahabat sesuai dengan Piagam PBB; Deklarasi Wina Tahun 1993 yang mengkonfirmasi ulang dalam hubungannya dengan bagian Pasal 1 dari Kovenan PBB tentang HAM. Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514/1960 dan Kovenan Hakhak SIpil dan Politik (ICCPR) memang tidak dibedakan antara “right to” dan “right of self-determination”. Juga dalam praktek, keduanya digunakan secara rancu. Sebenarnya terdapat dua jenis atau tingkatan penentuan nasib sendiri, yaitu Right to self-determination dan Right of self-determination.35 33 Piagam PBB Pasal 1 ayat (2). Kumbaro, Op.Cit, h.13. 35 Hassan Wirajuda, 1999, Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Komnas HAM, Jakarta, h.126-127. 34 20 2.1.1. Pengertian Right to Self-Determination Merupakan hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah, untuk membentuk suatu negara (Integrasi atau Asosiasi). Pelaksanaan “right to selfdetermination” yang diwujudkan melalui kemerdekaan dalam rangka membentuk atau mendirikan negara (state), baik untuk membebaskan diri dari penjajahan, maupun untuk berintegrasi atau berasosiasi dengan negara yang lain. Hal itu dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya.36 2.1.2. Pengertian Right of Self-Determination Hak menentukan nasib sendiri (right of self determination) diakui sebagai suatu norma yang mengikat dalam masyarakat internasional dan telah diakui menjadi prinsip dasar hukum internasional umum yang diterima yang sering disebut dengan Jus Cogens.37 Prinsip ini membatasi kehendak bebas negara dalam menangani masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya dengan tetap mengacu pada kaidah hukum internasional yang mengancam validitas setiap persetujuan-persetujuan ataupun aturan dan cara-cara yang ditempuh negara yang bertentangan dengan hukum internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui oleh masyarakat Internasional sebagai HAM yang harus dihormati.38 Pengertian hak untuk menentukan nasib sendiri (the rights of self determination) dapat dijelaskan dalam dua arti. Pertama dapat diartikan sebagai hak dari suatu bangsa dalam sebuah negara untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri. Hak demikian sudah diakui dalam hukum internasional. 36 Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, 1999, Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta, h.126-127. 37 Rafika Nur, Op.Cit, h.71. 38 Ibid. 21 Kedua, hak menentukan nasib sendiri dapat berarti sebagai hak dari sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri suatu negara yang merdeka. Konsep self determination ini menjadi perhatian serius oleh PBB ketika pada tanggal 26 Juni 1945 Piagam PBB ditandatangani di SanFransisco. Hak penentuan nasib sendiri (The Right of Self Determination) oleh suatu bangsa pada prakteknya berawal dari Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis di abad ke delapan belas. Hak ini berkembang sejalan dengan perkembangan politik dunia, permasalahan etnis, dan pemberontakan dari etnis di Amerika dan Eropa. Gagasan self determination yang dikemukakan oleh Presiden Wilson dalam pidatonya di depan Kongres Amerika serikat pada tanggal 8 Januari 1918, yang kemudian ditegaskan lagi dalam naskah Konvenan Liga Bangsa-bangsa (LBB) yang diusulkan, yang antara lain menyebutkan: The contracting powers unite guaranteeing...territorial readjustment...as many in the future become necessary by reason of change in the present social conditions and aspirations or present social and political relationship, pursuant to the principle of self determination.39 Maksud dari gagasan tersebut sebenarnya adalah agar diberikan kesempatan pasca perang dunia I berdasarkan asas demokrasi kepada golongangolongan minoritas di Eropa untuk menentukan nasibnya sendiri dengan membentuk negara-negara merdeka yang tidak dimasukan dalam wilayah negaranegara yang menang perang. 39 Sefriani, 2009, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, h.113. 22 2.2. Pengaturan Penentuan Nasib Sendiri Dalam perkembangan selanjutnya, prinsip penentuan nasib sendiri telah dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 55 Piagam PBB. Dengan pencantuman prinsip tersebut sebagai aturan hukum internasional untuk menyetujui prinsip tersebut. Dengan demikian, pasal 1 ayat (2) dan Pasal 55 Piagam PBB mengenai prinsip penentuan nasib sendiri merupakan ketentuanketentuan dari suatu perjanjian internasional yang mengikat semua anggota negaranya. Hak menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) untuk pertama kali dirumuskan dalam Piagam PBB yang ditandatangani tanggal 26 Juni 1945. Prinsip penentuan nasib sendiri merupakan salah satu dari empat tujuan PBB. Prinsip ini telah memainkan peran penting dalam pemberian kemerdekaan kepada negara-negara jajahan, wilayah-wilayah perwalian dan negara-negara yang tidak berpemerintahan sendiri yang lain.40 Prinsip penentuan nasib sendiri memungkinkan bagi rakyat di satuan wilayah jajahan dapat menentukan secara bebas status politiknya sendiri. Penentuan nasib sendiri semacam itu dapat menciptakan kemerdekaan, bergabung dengan negara tetangga dan persekutuan secara bebas dengan suatu negara merdeka atau status politik lainnya yang diputuskan secara bebas oleh rakyat yang bersangkutan. Penentuan nasib sendiri juga mempunyai peranan dalam hubungannya dengan pembentukan negara, mempertahankan kedaulatan dan 40 Malcolm N. Shaw, 1997, International Law, Third Edition, Grotius Publication, Cambridge, England, h.177 23 kemerdekaan negara, dalam merumuskan kriteria untuk penyelesaian perselisihan dan di bidang kedaulatan yang tetap dari negara terhadap sumber alam.41 Lebih dari 80 bangsa yang rakyatnya berada di bawah pemerintahan kolonial telah bergabung ke dalam PBB sebagai negara-negara merdeka yang berdaulat sejak organisasi dunia itu berdiri tahun 1945. Banyak wilayah lain yang telah mencapai penentuan nasib sendiri melalui penggabungan politik dengan negara-negara merdeka lainnya, atau melalui integrasi dengan negara-negara lain. PBB telah memainkan peran yang sangat penting dalam perubahan bersejarah tersebut dengan mendorong aspirasi bangsa-bangsa yang belum merdeka dan dengan menetapkan tujuan dan standar guna meningkatkan pencapaian kemerdekaan bagi mereka. PBB juga telah melakukan pengawasan terhadap pemilihan umum yang membuka pintu menuju kemerdekaan.42 Instrumen-instrumen Hukum Internasional yang mengatur tentang hak menentukan nasib sendiri untuk dapat merdeka dan bebas dari kekuasaan asing antara lain sebagai berikut : 1. Piagam PBB Meskipun Piagam PBB hanya sedikit memberikan pengaturan tentang “self-determination,” akan tetapi Piagam PBB telah memberikan beberapa doktrin mengenai hak penentuan nasib sendiri. Prinsip-prinsip mengenai penentuan nasib sendiri dengan jelas 41 Tsani B. Maimoen S., 1997, Instrumen Internasional Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia, Obor Indonesia, Jakarta, h.261. 42 The United Nation, 2003, Basic Fact About The United Nations (Pengetahuan dasar tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa), United Nations Department of Public Information, New York, h.290. 24 disebutkan adalah pertama kali pada Pasal 1 ayat (2) dan kemudian pada Pasal 55 Piagam PBB. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa salah satu tujuan dari PBB adalah untuk membangun hubungan baik antara bangsa-bangsa berdasarkan kehormatan untuk prinsip kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat. Pasal 55 mendorong PBB untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat dunia, mencari solusi terhadap masalah kesehatan dan kebudayaan masyarakat dunia, serta penghormatan universal terhadap Hak Asasi Manusia; “With a view to the creation of conditions of stability and well-being which are necessary for peaceful and friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self determination of peoples…” Pengaturan Piagam PBB ini secara keseluruhan masih belum lengkap dalam hal substansi dari self-determination. Penentuan nasib sendiri dalam Piagam PBB hanya terkesan sebagai sebuah prinsip saja dan bukan merupakan suatu hak yang dimiliki setiap bangsa di dunia. Piagam PBB tidak mengatur bagaimana hak suatu bangsa yang belum merdeka bisa mendapatkan kemerdekaannya.43 Oleh karena itu, mengenai penentuan nasib sendiri diatur lebih lanjut dalam konvensikonvensi yang lahir berikutnya. 43 Thornberry P, 1993, The Democratic or Internal Aspect of Self-determination, dalam Tomuscat, C. (ed), Modern Law of Self-determination, Martinus Nijhoff Publishers, h.108. 25 2. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) (DUHAM) (1948) Menurut pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, termasuk cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik. Hal ini dapat dicapai salah satu dengan diciptakannya kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik yang diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional. 3. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant of Civil and Political Rights, Economic, Social and Cultural Rights) (ICCPR) (1966) Menurut Pasal 1 ayat 1 dari Kovenan, semua orang telah diberikan kebebasan untuk menentukan status politik, perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dengan kata lain, setiap bangsa adalah bebas untuk membangun institusi politik, membangun sumber daya ekonominya, dan untuk mengatur perubahan sosio-kulturalnya sendiri, tanpa ada intervensi dari bangsa lain. Meskipun demikian banyak usulan dari sarjana hukum internasional bahwa hak suatu bangsa untuk menentukan “status politik” harus dimasukkan dalam suatu pasal tersendiri di dalam ICCPR dan serupa dengan itu, hak untuk menentukan status ekonomi, sosial dan kebudayaan juga harus dimasukkan dalam pasal tersendiri di dalam ICCPR.44 Suatu bangsa 44 Dajena Kumbaro, 2001, The Kosovo Crisis in an International Law Perspective; SelfDetermination, Territorial Integrity and The NATO Intervention, NATO Office of Information and Press 2001, h.8. 26 atau negara yang tidak dapat menentukan sendiri status politiknya juga tidak dapat menentukan hak ekonomi, sosial, dan kebudayaannya sendiri dan sebaliknya. 2.3. Kasus-Kasus Penentuan Nasib Sendiri 2.3.1. Kemerdekaan Kosovo atas Serbia dalam Perspektif Hukum Internasional Sejak berakhirnya perang dingin, mayoritas konflik yang terjadi di dunia muncul dalam bentuk pertentangan etnis, agama dan konflik yang bersifat lokal. Secara faktual, tatanan dunia dewasa ini ditandai dengan penghancuran suatu negara nasional sebagai akibat dari perang sipil antar etnis.45 Hal tersebut dibuktikan dengan kenyataan yang terjadi di belahan Eropa Timur, antara lain, seperti yang terjadi di Republik Federal Yugoslavia, yaitu terjadinya pemecahan negara tersebut sebagai suatu kasus suksesi negara (state succession) dan kemudian negara Yugoslavia yang baru hanya terdiri dari Serbia dan Montenegro. Pada hari Minggu, tanggal 17 Februari 2008, Parlemen Kosovo secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaannya serta menetapkan Hashim Taci sebagai Perdana Menteri dan Fatmir Sejdiu sebagai Presiden. Kemerdekaan secara sepihak ini, kemudian menimbulkan polemik dan reaksi yang 45 John A. Macinnis, 2006, The Role of United Nations with respect to the Means for Accomplishing the Maintenance and Restoration of Peace, 26 (1) Georgia Journal of International and Comparative Law, h.2 27 bermacam-macam (pro dan kontra), bahkan menimbulkan perpecahan di kalangan negara-negara yang duduk sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, padahal, kesatuan sikap sangat dibutuhkan untuk memutuskan status final dari Kosovo. Di dalam negara Serbia, kemerdekaan Kosovo justru telah menimbulkan masalah baru, yaitu timbulnya gejolak berupa protes hingga aksi kekerasan yang menolak kemerdekaan tersebut. Hal itu, misalnya, terjadi di wilayah yang didominasi oleh etnis Serbia seperti di Mitrovica, di mana dua granat tangan dilemparkan ke sebuah gedung pengadilan PBB dan kemudian meledak. Sementara yang satunya dilemparkan ke arah sebuah rumah misi Uni Eropa yang baru, tapi meleset. Kemudian di Belgrade, para demonstran yang berkisar 1.000 orang telah melempari dengan batu dan merusak jendelajendela Kedutaan Besar Amerika.46 Kosovo yang merupakan provinsi Yugoslavia/Serbia itu berpenduduk 2,1 juta, terdiri dari 90% etnis Albania yang Muslim, 5,3% etnis Serbia yang Katholik Ortodoks, selebihnya etnis Bosnia dan minoritas lan. Selama bertahun-tahun, etnis Albania merasa didiskriminasi oleh Pemerintah Serbia di Belgrade, menjadi sasaran kekerasan dan tindakan represif. Perkembangan situasi ini mendorong terjadinya perang antara 46 http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/europe/7249034.stm 04/04/2008 28 kelompok etnis Albania yang menamakan diri “Kosovo Liberation Army” (KLA) melawan pasukan Yugoslavia yang dengan kekuatan militer ingin mencegah Kosovo memisahkan diri. Perang tahun 1996-1998 dapat dihentikan dengan kampanye pengeboman NATO secara besar-besaran terhadap sasaran-sasaran Yugosalvia, dengan tujuan sebagaimana juru bicara NATO “Serbs out, peacekeepers in, refugees back”.47 Keterlibatan Dewan Keamanan PBB baru terjadi dalam masalah Kosovo dengan diadopsinya Resolusi 1244 (1999) pada tanggal 10 Juni 1999, yang menempatkan Kosovo di bawah administrasi PBB dengan tugas membentuk pemerintahan sementara untuk Kosovo, agar rakyat Kosovo mendapat otonomi luas dan “self-government” di Kosovo dalam Republik Federal Yugoslavia, sementara penyelesaian final atas kasus Kosovo belum ditentukan. Resolusi tidak menyebut bentuk penyelesaian final atas masalah Kosovo, tetapi hanya memutuskan, solusi politik atas krisis Kosovo harus mempertimbangkan kedaulatan dan integritas territorial Republik Federal Yugoslavia.48 Status final Kosovo dirintis melalui negosiasi yang dimulai tahun 2006 di bawah pimpinan Utusan Khusus Sekjen PBB yang merupakan mantan fasilitator Perundingan Helsinki 47 Nugroho Wisnumurti: “Kosovo Merdeka, Hak atau Separatisme?”. Kompas, Jakarta, 23 Februari 2008. 48 Ibid. 29 mengenai Aceh. Negosiasi amat alot karena kedua pihak, Serbia dan Kosovo bersikukuh pada posisinya, yakni Serbia hanya bisa menerima otonomi luas bagi Provinsi Kosovo, sedangkan Kosovo hanya bisa menerima kemerdekaan Kosovo. Akhirnya, pada tanggal 26 Maret 2007, kepada Dewan Keamanan PBB, Utusan Khusus Sekjen PBB melaporkan bahwa perundingan disampaikan draf mengalami penyelesaian kemacetan. status Kosovo Namun, yang mengusulkan agar Kosovo diberi kemerdekaan di bawah supervisi sementara Uni Eropa dengan angkatan perang NATO dan polisi Eropa. Usulan ini ditolak Rusia dan China. Karena itu, Dewan Keamanan tidak dapat menyetujui usulan mantan fasilitator tersebut. Upaya selanjutnya, perundingan langsung antara Serbia dan Kosovo diupayakan dalam waktu 120 hari yang difasilitasi “Troica Contact Group” (Amerika Serikat, Rusia dan Uni Eropa). Hasil perundingan dilaporkan oleh Sekjen kepada Dewan Keamanan PBB pada tanggal 19 Desember 2007. Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa di Dewan Keamanan menyatakan perundingan telah gagal dan mendesak agar status akhir Kosovo segera diputuskan. Sedangkan Rusia, China, Ghana, Kongo, Panaman dan Afrika Selatan menyarankan agar perundingan diteruskan. Namun, Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Barat lain 30 menolak. Perkembangan ini berujung pada deklarasi kemerdekaan Kosovo yang didukung oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Uni Eropa, tetapi ditolak antara lain oleh Rusia, China, beberapa negara Uni Eropa dan Vietnam.49 Berdasarkan hukum internasional, Serbia sebagai negara berdaulat mempuyai hak untuk menumpas gerakan separatisme yang terjadi di Kosovo. Namun tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Serbia terhadap etnis Muslim Albania di Kosovo kemudian mengundang intervensi internasional (dalam hal ini NATO, PBB dan Uni-Eropa). Tindakan represif yang bertentangan dengan norma hukum HAM internasional maupun hukum humaniter inilah yang kemudian memicu terjadinya disintegrasi negara yang berujung pada dideklarasikannya kemerdekaan Kosovo atas Serbia. Tindakan-tindakan represif dalam wujud diskriminasi, sesungguhnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Hal tersebut, misalnya pernah terjadi di Afrika Selatan ketika pemerintahan kulith putih yang berkuasa menerapkan kebijakan diskriminatif berdasarkan atas pembedaan warna kulit (apartheid). Golongan kulit hitam yang menjadi korban dari kebijakan tersebut, kemudian berjuang untuk mendapatkan kesetaraan (equality). Dihubungkan dengan apa yang terjadi di 49 Ibid. 31 Kosovo, apabila dasar persoalannya adalah masalah tindakan diskriminasi dari pemerintah Serbia, maka yang harus diperjuangkan adalah masalah kesetaraan (seperti halnya yang terjadi di Afrika Selatan). Hal ini justru sejalan dengan ketentuan atau prinsip-prinsip dasar hukum (HAM) internasional, yaitu setiap individu memiliki HAM yang sama tanpa membedakan agama maupun latar belakang etnis yang dimilikinya. Apalagi Serbia sebagai anggota PBB memiliki kewajiban hukum (legal obligation) yang bersifat wajib (mandatory) untuk melindungi HAM (khususnya terhdap etnis minoritas Muslim Albania) sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Piagam PBB. Hal itu misalnya telah dinyatakan dalam bagian Preambul dari Piagam PBB.50 Anggota PBB yang terus menerus mengadakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB dapat diusir keanggotaannya oleh Majelis Umum PBB atas rekomendasi Dewan Keamanan berdasarkan Pasal 6 Piagam PBB. Sanksi ini merupakan cara terakhir yang diambil jika suatu negara selalu membangkang dan terus menerus mengabaikan kewajiban internasional. Sanksi mengenai pengusiran ini telah diterapkan dalam tahun 1992 terhdap Yugoslavia (Resolusi 47/1) yang 50 Dalam bagian Preambul Piagam PBB dinyatakan bahwa : “We the peoples of the United Nations determined…, and to a reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person,… 32 isinya sebagai berikut: “Yugoslavia yang terdiri dari Serbia dan Montenegro tidak dapat meneruskan keanggotaannya di PBB dan harus mengajukan lagi keangotaannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Piagam dan tidak lagi dapat ikut serta dalam persidangan.”51 Tindakan untuk memerdekakan diri Kosovo atas Serbia, di satu sisi, dapat dipahami sebagai bentuk kekecewaan atau rasa frustasi dari etnis Muslim Albania atas perlakuan sewenangwenang pemerintah Serbia. Namun, tindakan tersebut akan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum internasional yang melarang pembentukan negara di dalam negara, karena hal itu merupakan preseden yang dapat membahayakan prinsipprinsip keutuhan wilayah (territorial integrity) dan kemerdekaan politik (political independence) dari negara. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kenyataan yang terjadi di Kosovo sesungguhnya merupakan tindakan separatisme yang jelas-jelas dilarang oleh hukum internasional. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Serbia tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar (justification) bagi etnis Muslim Kosovo untuk memerdekakan diri dari Serbia. Oleh karena itu, secara yuridis pendirian negara Kosovo adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum internasional. 51 Sumaryo Suryokusumo, 2007, Studi Kasus Hukum Internasional, PT Tatanusa, Jakarta, h.271. 33 Kemerdekaan juga tidak dapat ditentukan berdasarkan rekayasa secara ekstern berupa “pemaksaan” oleh pihak-pihak dari luar. Dalam kasus Kosovo terlihat, bahwa negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara Uni Eropa telah melakukan tindakan “unilateralisme kolektif” dengan mendukung kemerdekaan Kosovo. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional, khususnya terhadap Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB secara jelas mengatur bahwa negara-negara anggota PBB dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan internasional harus menahan diri (shall refrain) dari mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap keutuhan wilayah (territorial integrity) atau kemerdekaan politik (territorial independence) suatu negara.52 Di samping itu, tindakan “unilateral kolektif” juga merupakan tindakan yang dapat mengurangi kredibilitas PBB sebagai organisasi internasional yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berpotensi akan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan internasional. Namun, disadari atau tidak, terkait dengan kasus di Kosovo, sesungguhnya PBB telah dilemahkan oleh ulah 52 Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB mengatur bahwa “All Members shall refrain in their relations from the threat or use of force against territorial integrity and political independence of any state, or in other manner inconsistent with the Purpose of the United Nations.” 34 beberapa negara anggotanya sendiri yang memilih sikap sendiri-sendiri di luar kerangka PBB. Dalam kaitan ini, seharusnya Dewan Keamanan PBB dapat menggunakan kewenangannya untuk menyelesaikan masalah Kosovo. Namun, mekanisme “veto” dalam pengambilan keputusan seringkali digunakan oleh negara-negara besar (the big five), yaitu: Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis dan Rusia, dalam rangka kepentingan politiknya, bukan demi kepentingan yang lebih besar. Berkaitan dengan pengakuan terhadap kemerdekaan Kosovo, Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, menyatakan bahwa pemerintah tak terburu-buru untuk menyatakan dukungan atas kemerdekaan Kosovo. Selain akan melihat perkembangan kondisi negara pecahan Serbia itu, pemerintah dilematis jika mengakui Kosovo. “Memang ada dilemanya dari masalah Kosovo. Di satu sisi, kita berharap semua negara menghormati prinsip keutuhan dan kedaulatan nasional, separatisme kita tak toleransi. Sebab itu bertentangan dengan prinsip kehormatan dan kedaulatan”, ujar Hassan kepada pers seusai rapat koordinasi di Kantor Departemen Keuangan, Jakarta, Kamis, 21 Februari 2008.53 53 Kompas, Jakarta, 22 Februari 2008. 35 2.3.2. Kasus Papua dalam Perspektif Hukum Internasional untuk Penentuan Nasib Sendiri suatu bangsa Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) di Indonesia menyarankan penggunaan antropologi untuk lebih memahami aspirasi Papua dalam rangka membantu pemerintah menjaga stabilitas di daerah yang tidak stabil. Pandangan ini menyatakan bahwa antropologi diperlukan karena ada berbagai suku lebih dari 400 bahasa di Papua. Selain itu, perspektif anthropologic diperlukan untuk menentukan perilaku yang tepat untuk meningkatkan kesadaran di antara orang Papua tentang hubungan mereka dengan pemerintah pusat, yang telah diberikan hak otonomi khusus bagi provinsi Papua dan Papua Barat.54 Di balik gagasan ini ada perlu untuk mengundang para ahli antropologi untuk penelitian ini sebagai bagian dari pendekatan lunak untuk pemahami aspirasi Papua yang lebih baik. Dalam beberapa tahun terakhir, hak asasi manusia memperoleh hak hidup, hubungan internasional, dalam hal politik internasional, hak penentuan nasib sendiri dianggap sebagai topik diperdebatkan saat ini. Tampaknya ada perang pendapat antara 54 http://politik.kompasiana.com/2011/08/11/kasus-papua-dalam-perspektif-hukuminternasional-untuk-penentuan-nasib-sendiri-satu-bangsa-387251.html. 36 realis dan liberalists yang percaya pada prinsip mereka sendiri antara hak negara absolut dan hak asasi manusia kolektif.55 Amerika Serikat mantan Presiden Woodrow Wilson, dalam Empat belas Pasal Poin nya, memperkenalkan konsep Diri Penentuan-Nasional kepada dunia untuk pertama kalinya pada tanggal 8 Januari 1918. Salah satu tujuan utama Wilson adalah untuk menjaga perdamaian dunia. Dalam teorinya, Wilson berpendapat bahwa hak penentuan nasib masyarakat nasional „dimaksudkan untuk administrate penduduk mereka. Dia menekankan hak masyarakat bukan hak-hak kelompok etnis. Dalam bukunya: Pendahuluan Kritis, Tom Campbell didefinisikan penentuan nasib sendiri sebagai hak masyarakat untuk menentukan nasib mereka sendiri dan bagaimana sesuai dengan pengalaman hidup mereka. Selain itu, penentuan nasib sendiri berarti orang lain tidak harus menentukan hidup seseorang karena itu adalah hak orang yang sangat universal.56 Berdasarkan pengalaman bekas Yugoslavia tentang munculnya negara baru, hak penentuan nasib sendiri diakui seluruh dunia sebagai hak dasar. Di komunitas Internasional, kita dapat menemukan beberapa gerakan kemerdekaan, yang mengejar pemisahan seperti di Sudan di wilayah Afrika, Kosovo di Eropa Timur, dan Tibet di kawasan Asia. Di Asia, 55 56 Ibid. Ibid. 37 perjuangan untuk penentuan nasib sendiri di wilayah Papua Indonesia adalah kasus nyata. Setelah sejarah singkat dan definisi penentuan nasib sendiri, sekarang saatnya untuk menjawab pertanyaan apakah penentuan nasib sendiri bagi Papua adalah resolusi alternatif yang memuaskan.57 Penentuan Nasib Sendiri dalam Hukum Internasional Beberapa orang berpendapat bahwa penentuan nasib sendiri bagi Papua adalah tidak sah menurut prinsip-prinsip internasional PBB. Alasan mengapa PBB mengabaikan hak masyarakat untuk mengatur diri mereka sendiri dan memisahkan diri dari negara mereka saat ini adalah untuk menjaga perdamaian Untuk tujuan ini PBB hanya diakui negara sebagai aktor utama dalam urusan internasional.58 Untuk tujuan ini PBB hanya diakui negara sebagai aktor utama dalam urusan internasional. Setiap partai di negaranegara yang ada yang mencoba untuk memisahkan akan menghadapi kendala. Dalam hal ini, beberapa orang percaya bahwa tidak ada kesempatan bagi orang Papua untuk memerintah diri mereka sendiri. Contoh Basque di Spanyol dan Quebec di Kanada menunjukkan skala hambatan. 57 58 Ibid. http://arsip.tabloidjubi.com/?p=12956 38 Namun, sejak Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, persepsi baru dalam hukum internasional integritas wilayah negara muncul. Hal ini menyebabkan pengakuan penentuan nasib sendiri berdasarkan hak asasi manusia dan minoritas.59 Sebagai negara Castellino dan Gilbert, hari ini permintaan untuk persepsi baru dari hak untuk menentukan nasib sendiri, yang akan kembali masyarakat pribumi terpinggirkan „, merupakan prioritas tinggi. Pandangan konvensional penentuan nasib sendiri adalah bahwa ia harus reformasi melalui transformasi dalam upaya untuk mengakomodasi hak-hak penduduk asli untuk memerintah diri mereka sendiri melalui pendekatan hak asasi manusia. Ini adalah upaya terakhir untuk mendapatkan status politik baru PBB pendekatan pada kasus Yugoslavia adalah turunan dari ini. Walaupun ada ambiguitas dalam konvensi internasional tentang hak-hak politik rakyat, beberapa provinsi di Yugoslavia diakui sebagai negara merdeka dan mereka segera diatur sendiri. Jika orang Papua belajar dari pengalaman ini, ada celah dalam hukum internasional, yang dapat dimanfaatkan.60 59 60 Ibid. Ibid. 39 Otonomi Khusus VS Succesion Dalam upaya untuk menangani gerakan kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengalokasikan status otonomi khusus untuk Papua pada tahun 2001. Nasionalis Indonesia membenarkan bahwa setiap masalah dalam semangat Papua termasuk penentuan nasib sendiri dapat diakomodasi dalam batas-batas nasional Indonesia melalui otonomi khusus.61 Untuk membuktikan pembenaran mereka, Jakarta memberikan posisi politik penting untuk orang Papua dengan harapan besar ini akan mengurangi gerakan kemerdekaan di Papua Namun, penentuan nasib sendiri adalah pengakuan kemerdekaan dan sangat berbeda dari otonomi. Meskipun otonomi khusus hibah kebebasan, itu terbatas. Ini berarti bahwa Papua akan tetap dikendalikan oleh pemerintah pusat Indonesia dan ini kontradiktif dengan prinsip penentuan nasib sendiri, yang menawarkan hak mutlak bagi masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri di wilayah mereka. Isu-isu politik terbaru di Papua menunjukkan bahwa otonomi khusus telah gagal. Papua terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Salah satu penyebabnya adalah ketidakseimbangan tumbuh antara jumlah transmigran dan 61 http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141201_papua_barat. 40 pribumi. Non-Papua mendominasi hampir semua sektor publik seperti pasar, perusahaan menengah dan transportasi. The Act of Free Choice Tahun 1969 Klaim militer Indonesia bahwa integritas Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah legal dan final. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia tidak memungkinkan negosiasi apapun untuk transformasi status politik Papua. Pernyataan ini berasal dari tindakan pilihan bebas pada tahun 1969, yang memutuskan untuk mengintegrasikan Papua dengan anggota Indonesia dan PBB diterima.62 Di sisi lain, penting untuk dicatat bahwa integrasi Papua ke Indonesia merupakan proses yang kontroversial. Ada pelanggaran hukum, yang dilakukan oleh PBB di bawah tekanan dari Amerika Serikat. Dalam konteks penyebaran komunisme di Asia Tenggara Amerika Serikat menekan Belanda dalam Perjanjian New York. Akhirnya, Belanda ditransfer Papua Barat ke Indonesia, setelah lima tahun oleh Otoritas pengawasan Nation Temporary Executive Serikat. Indonesia memutuskan untuk mengadakan referendum yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat, secara harfiah, penentuan 62 pendapat orang bertindak umumnya, yang Ibid. 41 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai tindakan dari pilihan bebas. Tindakan ini tidak dipegang oleh referendum benar, seperti tuntutan mayoritas penduduk Papua, atau bahkan oleh berbisik. Ini tidak digunakan secara langsung oleh Belanda di daerah pedesaan, di mana tingkat buta huruf sangat tinggi, tetapi dengan musyawarah, diskusi yang mengarah ke konsensus, sebuah sistem yang didasarkan pada tradisi Jawa.63 Orang-orang Papua bahwa mereka yang menginginkan kebebasan harus pergi untuk menemukan sebuah pulau di Samudra Pasifik karena “Irian” (Papua Barat) adalah bagian dari Indonesia dan suara yang hanya formalitas. Ini adalah semacam teror dan intimidasi Indonesia. Sementara itu, sepupu Papua Barat, rakyat Papua Nugini, didorong oleh Australia untuk membangun sistem parlementer dan pengambilan keputusan yang demokratis. Di sisi lain, Indonesia mengatakan pada dunia bahwa Papua Barat terlalu “primitif” untuk menentukan nasib mereka. Bahkan, itu tidak logis untuk memanggil orang-orang Papua “primitif” karena dua tahun kemudian orang-orang Papua dianggap cukup maju untuk berpartisipasi dalam pemilu di Indonesia pada tahun 1971. 63 Ibid. 42 Selain itu, bahwa tindakan pilihan bebas tidak lebih dari sebuah tindakan pilihan. Dengan demikian dasar hukum integrasi Papua ke dalam Indonesia dapat secara legal ditantang. pada saat itu 2.000.000 (2juta) orang Papua hanya pemimpin kepala suku mewakili orang papua dengan jumlah 800.000 penduduk asli Papua dan tidak ada perempuan. Tindakan pilihan bebas (pepera) ini terjadi pada saat teror militer Indonesia. Untuk alasan itu, Komisi Internasional Ahli Hukum membuat berusaha di tinjau ulang dari tindakan pilihan bebas 1969. Ini sejarah yang kontroversial memiliki kecenderungan untuk dibahas oleh lembaga internasional seperti Institut Internasional untuk Penentuan Nasib Sendiri (IISD). Keterlibatan internasional memainkan peran kunci, yang dapat menyebabkan tindakan nyata dari pilihan bebas. Pelaksanaan hak-hak penentuan nasib sendiri diperlukan karena orang Papua hidup di masa sekarang dan waktu mereka sekarang tidak menuntungkan masa depan mereka. Hak Adat Rakyat (Sosial, Politik, Ekonomi dan Budaya) Hak-hak masyarakat adat adalah hak asasi manusia. Masyarakat adat dan Pemerintah yang mendominasi mereka perlu bekerja sama untuk mencapai persamaan hak, 43 kesempatan dan perlakuan yang sama. Ini adalah tanggung jawab pemerintah, yang mengelola negara untuk mengambil prosedur dan alamat semua hak warga negara yang sipil, di bidang politik dan ekonomi baik pribumi dan imigran.64 Tidak ada keraguan bahwa ada persepsi umum yang dibangun dalam pikiran para aktivis politik yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia, pertanyaan tentang ilegalitas konstitusional, ketidakadilan politik, eksploitasi ekonomi, degradasi lingkungan, ketidakadilan sosial, penindasan budaya, perlakuan militer dan masif pelanggaran hak asasi manusia menjadi pemicu. Papua memiliki kompleks yang dihadapi masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya sejak alih oleh Indonesia. Dalam aspek sosial-ekonomi misalnya, Freeport, korporasi multinasional Amerika Serikat telah beroperasi tambang emas terbesar di dunia di Papua. Freeport menghasilkan hampir $ 1500000000 pendapatan tahunan. Hal ini juga telah diukur cadangan emas lebih dari 3.046.000 ton, 31 juta ton tembaga, dan 10 juta ton perak. Namun, ini tidak berpengaruh banyak pada standar hidup Papua. Data menunjukkan bahwa 60% dari populasi 64 http://wiyainews.com/hak-menentukan-nasib-sendiri-adalah-hak-asasi-manusia.html 44 Papua tidak memiliki akses ke pendidikan, 35,5% tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan, dan lebih dari 70% hidup tanpa air bersih. 45