Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 KAJIAN NILAI PENDIDIKAN TENTANG KESETIAAN SEORANG ISTRI TERHADAP SUAMI DALAM RAMAYANA1 Oleh : Dewa Putu Suandiani Ramayana adalah merupakan sebuah epos yang berisi riwayat perjalanan hidup Rama yang dituliskan oleh Bhagawan Walmiki. Rumusan masalahnya adalah bagaimana konsep kesetiaan seorang istri terhadap suami di masa sekarang. Dalam hasil kajian pustaka Ramayana dan berbagai sumber penelitian, konsep kesetiaan istri dalam Ramayana antara lain kesetiaan seorang istri, kesetiaan suami, keteguhan hati, bhakti istri dengan melakukan kewajiban agama, serta istri sebagai penyambung generasi. Nilai-nilai keagamaan dan nilai kesetiaan dalam kisah Ramayana yang masih relevan dan tetap eksis dimasa sekarang adalah keberadaan istri sebagai pendamping suami. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa nilai-nilai kesetiaan yang dijaga oleh Sita dalam kisah Ramayana adalah dharma keluarga yang dia jalankan dalam kehidupan rumah tangganya, sedangkan penerapannya pada kehidupan saat ini sangat jarang dijumpai karena pengaruh dari globalisasi yang membuat pandangan manusia modern terhadap agama dianggap sebagai sesuatu yang kolot. Dalam susatra Hindu, agama dan kesetiaan menjadi elemen yang sangat fundamental didalam kehidupan rumah tangga untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera dan bahagia. Kata kunci yaitu kesetiaan, suami, istri, dan Ramayana Abstract Ramayana is an epic that contains a history of Rama's life which was written by Bhagavan Valmiki. The formulation of the problem is how the concept of loyalty to a wife against her husband in the present. In the Ramayana literature results and various sources of research, the concept of loyalty wife in Ramayana include loyalty of a wife, husband loyalty, courage, devotion to his wife doing a religious duty, and his wife as a connector generation. Religious values and the value of loyalty in the Ramayana story that is still relevant and still exist in the present is the presence of the wife as a companion to her husband. Dati conclusion of this research is that the values of loyalty, guarded by Sita in the Ramayana is dharma family he run his home life, while its application to life today very rare due to the influence of globalization that makes modern human view of religion is considered as something old-fashioned. In susatra Hindu religion and loyalty become a fundamental element in the life of the household to achieve a prosperous and happy families. Keywords: fidelity, husband, wife, and the Ramayana 1 Direview oleh Iin Retno Wulandari 63 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 PENDAHULUAN Itihasa adalah sebuah epos yang isinya menceritakan sejarah perkembangan raja-raja dari kerajaan Hindu dimasa lampau. Itihasa terdiri dari Ramayana dan Mahabharata yang merupakan cerita kunoyang penuh fantasi, roman, dan kepahlawanan serta dibungkus dengan nilai-nilai etika, moral, dan lain-lain. Ramayana adalah merupakan epos atau cerita yang mengisahkan perjalanan hidup Sri Rama dan Dewi Sita. Ramayana terdiri dari tujuh kanda, dimana pada setiap kanda diceritakan kejadian-kejadian menarik dari masa kecil Rama dan Sita sampai pada masa perkawinan (Grhasta) serta kembalinya Rama menjadi Wisnu. Hindu mengenal adanya empat tingkatan kehidupan, yaitu Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta, Bhiksuka. Masa Grhasta adalah masa ketika menuju kearah hidup berumah tangga. Pada tahap ini kedewasaan sikap manusia dimulai untuk menjalankan kehidupan rumah tangga, tahap ini diawali dengan upacara yang disebut dengan pawiwahan. Dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa “ Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa” Dalam wiracarita Ramayana Sita rela membakar diri dalam kobaran api untuk membuktikan kesetiaan yang dijaganya kepada Rama. Hal ini menunjukkan bahwa kesetiaan dalam keluarga begitu susah untuk dipertahankan oleh seorang istri. Perkawinan pada dasarnya adalah suatu ikatan yang sakral dan sui yang terjalin antara dua orang, sehingga dapat menumbuhkan rasa saling percaya, kasih sayang, pengabdian, an komunikasi, yang akhirnya akan mlahirkan suatu keluarga yang bahagia. Akan tetapi dewasa ini, kesetiaan dan kejujuran semakin banyak diabaikan dalam kehidupan perkawinan, sehingga muncul kebohongan- kebohongan dan perselingkuhan yang sebagian besar mengorbankan kaum wanita. Wanita sering dipandang sebagai makhluk yang lemah yang selalu bergantung kepada laki-laki, padahal sesungguhnya wanita memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam rumah tanga, tanpa harus menghilangkan sifat feminimnya. 64 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 BAHASAN UTAMA A. Nilai-Nilai Kesetiaan dalam Ramayana A.1. Kesetiaan Seorang Istri Dalam kehidupan rumah tangga yamg harmonis, kesetiaan adalah salah satu faktor yang sangat fundamental yang harus dijaga. Dalam hal ini seorang istri harus dapat bersikap berani dalam menghadapai ancaman terhadap keutuhan rumah tangganya. Pada jaman dahulu wanita merupakan benih suci dari keunggulan karakter, etika, moral, serta kepbribadian. Wanita bahkan dihormati dan dipuja sebagai dewi kemakmuran. Menurut falsafah Jawa, wanita itu sendiri dikatakan sebagai ”satru mungwing congklakan” yang berarti musuh dari ketidakteraruran, karena itu wanita diharapkan mempunyai hati yang tulus untuk mengatur kehidupan. Wanita juga diterjemahkan sebagai ”wani ing tata”, dengan bekal etika itu selanjutnya bisa juga wani nata, yang artinya menata kehidupan rumah tangga agar harmonis, bahagia, dan sejahtera. Itulah sebabnya wanita perlu menyadari kodratnya (Suwardi, 2003:151-153) Sedangkan wanita dalam Veda disebut Stri (akhirnya menjadi istri) yang mengandung pengertian, ”S” melambangkan Sathya binava yang berarti memiliki rasa peduli, malu, gengsi, dan kehormatan, ”T” melambangkan Tyagha yang berarti pengorbanan, ”R” melambangkan rasa manis. Ketiga kata tersebut menjadi kata ”istri” atau wanita, telah mencakup pengorbanan, sifat yang manis, dan memiliki rasa peduli (wibawa, 2006:1) Berdasarkan penjelasan tersebut, citra wanita inilah yang menajdi sumber kebijaksanaan wanita di mata dunia. Sikap-sikap mulia yang menjadi jiwa dari seorang wanita. Salah satu sikap yang harus tetap dipegang teguh adalah sikap setia. Hal ini sesuai dengan ajaran agam Hindu yaitu Satya. Dalam Manawadharmasastra Bab IX 101,102 dijelaskan bahwa sikap setia itu harus selalu dijaga dalam kehiudpan manusia, terutama dalam kehidupan rumah tangga. ”Hendaknya supaya hubungan yang setia diantara suami dan istri berlangsung sampai mati. Ini merupakan hukum yang tertinggi bagi pasangan suami istri” (IX.101) 65 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 “Hendaknya laki-laki dan permpuanyang terikat dalam ikatan perkawiananmengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak berceraidan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain: (IX.102) (Pudja, Tjok Rai Sudharta. 2003:553) Hal ini ditegaskan pula dalam Slokantara sebagai berikut : ”Membuat sebuah telaga untuk umum itu lebih baik dari pada menggali seratus sumur, melakukan yajna lebih tinggi mutunya dari pada membuat seratus telaga. Mempunyai seorang putra lebih berguna daripada melakukan seratus yajna, dan menjadi manusia setia jauh lebih tinggi mutunya dari pada mempunyai seratus putra” (Jaman. 1998:28) Sloka di atas menggambarkan bahwa sikap setia seseorang adalah hal yang sangat penting, lebih penting dari pada mempunyai seratus putra. Dalam sebuah epos Hindu yaitu Ramayana yang dituliskan oleh Maharsi Valmiki diceritakan tentang nilai-nilaikesetiaan, terutama kesetiaan istri terhadap suami. Dalam Ayodhya Kanda yang dituliskan oleh Kamala Subramaniam, diceritakan bahwa suami adalah merupakan tempat bersandar bagi seorang wanita yang telah menikah. Oleh karena itu Sita rela meninggalkan kemewahan istana dan mengikuti suaminya ke hutan, hal itu adalah merupakan penggambaran bahwa kebahagiaan tertinggi bagi seorang istri adalah melayani suami. Pelayanan Sita kepada Rama juga diceritakan dengan sangat indah dalam Aranyaka Kanda. Dalam kanda ini Sita juga memberikan teguran kepada Rama yang senantiasa membela penghuni hutan dan bertarung dengan para raksasa. Sita mengingatkan Rama mengenai posisi mereka yang saat itu tengah menjalani hidup sebagai seorang tapaswin, bukan sebagai seorang ksatriya. Hal itu menggambarkan bahwa pelayanan Sita kepada Rama tidak semata pada kesejahteraan fisik suaminya, melainkan juga pada aspek non fisik. Selain dalam kedua kanda tersebut kesetiaan Sita juga di gambarkan dalam masa penculikannya. Sita dengan teguh mempertahankan kesetiaannya kepada Rama meskipun dibujuk dengan berbagai bentuk kenyamanan dan kemewahan oleh Rahwana. Dalam Yuddhakadanda Sita kembali menunjukkan keteguhan hatinya, Sita menunjukkan kesucian serta kesetiaannya kepada Rama dengan sebuah ujian. Sita berjalan melewati kobaran api dengan memohon kepada Dewa Agni untuk menjadi saksi dari kesucian dirinya. Saat itu Dewa Agni muncul dengan 66 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 membawa Sita yang tak trsentuh sedikitpun oleh api dan memberikan kesaksian tentang kesucian Sita. Puncak dari kesetiaan Sita sebagai seorang istri digambarkan dalam Uttarakanda, dimana setelah menjalani masa pembuangan karena keraguan rakyat Ayodhya pada kesucian dirinya, serta melahirkan dua putra kembar Rama yaitu Kusa dam Lava di pertapaan Maharsi Valmiki, Sita kembali melakukan pembuktian kesucian dirinya di hadapan Rama dan seluruh rakyat Ayodhya. Dalam pembuktian dirinnya tersebut Sita diterima oleh Dewi Bumi. Penggambaran kesetiaan Sita sebagai seorang istri juga digambarkan dengan sama indahnya dalam bentuk kekawin: ”Bahaya, bencana menyeramkan, dan berbagai resiko yang kakanda sebutkan sebagai halangan dan bencana sungguh-sungguh merupakan nilai yang mendorong saya untuk mengikuti kakanda , untuk tinggal bersama disana. Karena Cinta hamaba hanya kepada kakanda ”(Val. Ram. II:29.2) Berdasarkan pemaparan kanda-kanda tersebut dapat disimpulkan nilai-nilai kesetiaan yang terkandung dalam Ramayana, bahwa : 1. Meskipun sebagai wanita normal Sita merasa sedih karena Rama harus menjalani masa pembuangan selama 14 tahun dihutan, namun Sita memberikan semangat kepada suaminya dan dengan sukarela mendampinginya ke hutan. Sita menganggap suaminya sebagai tempat besandar yang tidak dapat dibandingkan dengan kemewahan apapun. 2. Sita sebagai istri selalu melayani semua keperluan suaminya dalam keadaan suka maupun duka dan dimanapun. 3. Sita mengabaikan segala kemewahan yang ditawarkan oleh Rahwana dan hanya memusatkan pikirannya kepada Rama walaupun dalam keadaan yang sangat menderita 4. Sita tanpa ragu-ragu membuktikan kesucian dan kesetiaan dirinya kepada Rama meskipun harus dengan mempertaruhkan nyawa Menurut Jero Mangku Suwecw pada tanggal 30 Juli 2008, Sita adalah sosok istri yang dapat dijadikan panutan bagi seluruh wanita. Sita adalah simbol yang harus dihormati dan tidak menjadikan kemewahan sebagai tujuan hidup. 67 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 A.2. Kesetiaan Suami Dalam sebuah keluarga yang bahagia tidak hanya istri yang dituntut untuk memiliki kesetiaan, melainkan juga suami. Hubungan harmonis antara suami istri akan terjaga apabila ada komunikasi yang baik dianatara kesua belah pihak, serta pemahaman yang mantap terhadap kewajiban masing-masing. Menurut kitab Manawadharmasastra adhyaya IX Sloka 3,7,11,74, dan 102, dinyatakan bahwa kewajiban suami pada intinya adalah : 1. Melindungi istri serta putra-putrinya dan mengawinkannya apabila sudah tiba saatnya 2. Menyerahkan harta/penghasilannya kepada istri untuk mengurus rumah tangga. 3. Menjamin hidup dan memberi nafkah kepada istri 4. Memelihara kehidupan yang suci dan saling mempercayai 5. Memberi kebagiaan kepada istri dan puta-putrinya Kesetiaan seorang suami kepada istrinya dijelaskan dalam Atharva Weda XIV.1.52 sebagai berikut : ” Wahai mempelai wanita, kami genggam tanganmu bagi kemakmuran (kesuburan), semoga engkau hidup bersama sampai akhir kehidupan (akhir hayat)” Lebih jauh dijelaskan harapan seorang suami kepada istrinya dalam Atharva Weda XIV.1.57 : ”Wahai mempelai wanita, lihatlah kecantikanm dan dengarlah tabiat dan tingkah laku yang baik. Aku akan merangkul kepala dan hatimu, saya tidak akan mencari kesenangan diluar rumah. Saya tidak akan memenuhi pikran-pikiran yang demikian. Semogalah tingkah laku saya sesuai dengan kitab suci” (Jaman, 1998 : 28) Kesetiaan suami dalam kisah Ramayana tercermin dari sifat-sifat Rama yang selalu berusaha menjaga dan melindungi Sita. Peristiwa pembakaran diri Dewi Sita tidak lebih dari pembuktian dirinya setelah sekian lama berada dalam kekusaaan Rahwana, namun hal tersebut tidak membuat Rama menjadi suami yag tidak setia. Titib dalam bukunya ” Itihasa Ramayana dan Mahabharata” (2008:157) memberikan penjelasan bahwa Sita yang berada dalam tawanan Rahwana adalah Sita Maya (Sita palsu) yang diciptakan untuk mengelabuhi Rahwana, sementara Sita asli ditipkan kepada Dewa Agni dan dikembalikan pada saat Sita melakukan pembuktian diri dengan memasuki kobaran api. 68 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 A.3. Keteguhan Hati Keteguhan hati dalam hubungan suami istri menekankan pada keteguhan dalam memegang prinsip-prinsp dan konsekuensi-konsekuensi dalam kehisupan rumah tangga. Hal ini memegang pranan penting dalam keberhasilan sebuah hubungan rumah tangga seperti yang dijelaskan dalam Rg Veda IV.4.12 : ”Hanya orang-orang yang giat, tulus hati dan tidak kenal lelah dan kukuh hati yang akan berhasil dalam kehidupan” (Titib. 2004:75) Sementara sikap istri dalam mempertahanakan keteguhan hati dijelaskan dalam Manawadharmasastra IX.29 sebagai berikut: ”Wanita yang mengendalikan pikiran, perkataan, dan perbuatan, tidak melanggar kewajiban terhadap suaminya akan memperolahtempat tinggal bersamanya disuraga setelah meninggal, dan di dunia ini dia disebut sadhwi, istri yang baik dan setia” (Pudja dan Sudharta, 2002:533) Kualitas seorang wanita dalam menjaga martabatnya adalah benih dari kesejahteraan keluarga dan negara, realitas menunjukkan bahwa jika wanita tetapmampu menjaga kesucian dan kepribadiannya sebagai wanita ideal, maka orang lain pun akan menghormatinya. A.4. Bhakti Istri dengan Melaksanakan Kewajiban Agama Bhakti kepada suami dan Sang Hyang Widhi dewasa ini telah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah wanita di Bali yang melaksanakan praktik-praktik yajnaa setiap hai baik yang bersifat sederhana seperti menghaturkan banten saiban atau banten lainnya yang dihaturkan setiap hari hingga mempersiapkan upacara agama yang besar dan bersifat periodik. A.5. Istri sebagai Penyambung Generasi Seorang istri memiliki swadharma yang telah dikodratkan dalam kehidupan yakni melahirkan penerus keluarga. Memiliki keturunan adalah suatu kewajiban dalam rumah tangga. Karena seorang putra akan dapat menuntun orang tuanya untuk mencapai kebebasan atau moksa seperti yang dijelaskan dalam sloka Atharava Veda VI.122.1 sebagai berikut : ” Kita dapat menyebrangi lautan kehidupan dengan memelihara garis keturunan, melahirkan putra yang suputra” (Ttib, 2003:397) 69 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 B. Relevansi Pendidikan Tentang Kesetiaan Seorang istri Tehadap Suami dalam Ramayana di Masa Sekarang Sejak lahir manusia telah dikodratkan untuk hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup untuk memenuhi kebutuhsn lahir maupun batin. Dalam suatu masyarakata dapat terjalin suatu ikatan yang harmonis, dan bisa menjadi suatu iketan yang lebih kecil yaitu melalui perkawinan. B.1. Perkawinan Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa Dalam asas undang-undang perkawianan nomor I tahun 1974 dijelaskan bahwa : 1. Tujuan perkawianan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal 2. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Setiap perkawianan juga harus dicatat menurut peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. 3. Undang-undang perkawinan menganut asas monogamy. 4. Undang-undang ini mengandung prinsip bahwa calon suami istri harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawianan. 5. Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. 6. Hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Berdasarkan undang-undang No.1 tahun 1974 syarat tersebut menyangkut keadaaan calon pengantin dan administrasi sebagai berikut : a. Pasal 6 menyebutkan bahwa harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai dan mendapatkan ijin dari kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon penganti. Jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi ijin adalah keluarga, wali, yang masih ada hubungan darah. Berdasarkan 70 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi. b. Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidak mutlak. Apabila belum mencapai usia minimal untuk melangsungkan pernikahan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain. c. Selain itu persyaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin antara lain, surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang oeang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto 4 x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, fotocopy KTP, fotocopy kartu keluarga, dan surat ijin orang tua. Dalam jenjang catur asrama, perkawinan atau Grhasta adalah masa berumah tangga, dan mengembangkan keturunan. Berkeluarga memiliki arti dan kedudukan khusus dalam kehidupan manusia, karena melalui perkawinan lahirlah anak-anak yang disebut putra, yang dikemudian hari bertugas melakukan sradha Pitra Yajna bagi kedua orangtuanya. Oleh karena itu perkawianan dalam masyarakat Hindu mempunyai kedudukan yang sangat dimuliakan. Namun era globalisasi saat ini membawa tantangan tersendiri bagi masyarakat, terutama dalam hal spiritualisme. Pandangan globalisasi yang lebih modern membuat benyak terjadi pergeseran pandangan terhadap nilai-nilai moral agama yang dewasa ini seriang dianggap kolot dan kuno. Hal ini juga berpengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap perkawinan. Merosotnya pandangan manusia terhadap nilai-nilai agama membuat sebagian masyarakat menghapuskan landasan agama dalam membangun rumah tangga. B.2. Keluarga Harmonis dan Bahagia Dari hasil wawancara dengan Dewa Putu Surye pada tanggal 18 Juni 2008, ada beberapa upaya yang dapat dicapai apabila antar anggota keluarga tumbuh rasa saling pengertian, memupuk rasa cinta dan kasih sayang, menjadikan keluarga sebagai 71 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 tempat ibadah dan tempat pendidikan. Hal yang hampir senanda juga disampaikan oleh Ida Bagus Swastiaka, dalam sebuah keluarga perlu dicapai rasa saling pengertian, dapt saling mengerti dan menyesuaikan diri, memupuk rasa cinta dan kasih sayang, menjadikan keluarga sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan maupun untuk berkomunikasi dan berdiskusi. Sementara Ika Santi dan Fatmawati dalam wawancara pada atanggal 26 Juli 2008 mengatakan bahwa adalam membina keluarga yang bahagia diperlukan kejujuran dan kesetiaan itu sendiri, yaitu dengan memupuk rasa kasih sayang, pengertian, menjalin komunikasi yang baik antar pasangan, saling menghormati dan percaya. Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya faktor kesetiaan dan komunikasi dalam membentuk keluarga yang harmonis. Sedangkan menurut Wayan Sudarma dalam makalah ” Keluarga Sukinah” yang disampaikan dalam seminar & Dharma Shanti Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1929 di Jakarta Timur pada tanggal 1 April 2007, diapaprkan beberapa upaya yang harus ditempuh dalam membina keluarga menuju terciptanya keluarga yang harmonis, bahagia, serta kokoh. Beberapa upaya tersebut adalah sebagai berikut : a. Membina rumah tangga yang harmonis dengan mewujudkan harmonisasi hubungan antara anggota keluarga, sehingga dapat terwujud: 1) Saling pengertian antar anggota keluargatentang keadaan masing-masing baik secara fisik maupun mental 2) Saling menerima kenyataan yang ada pada masing-masing anggota keluarga sebagai anugerah dari Hyang Widhi (Penerimaan) 3) Saling melakukan penyesuaian diri dalam keluarga, sehinga dapat saling melengkapi kekurangan yang satu dengan yang lain 4) Memupuk dan menumbuhkan rasa cinta serta kasih saying sehingga terwuju ketentraman, keamanan, dan kedamaian dalam kehidupan keluarga. 5) Melaksanakan musyawarahterhadapa permasalahan yang mungkin dihadapi dalam keluarga. 72 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 6) Saling memaafkan antar anggota keluarga, sehingga tidak ada rasa saling dendam maupun benci 7) Saling membantu dan berperan dalam mewujudkan kemajuan kehidupan keluarga. b. Membina hubungan keluarga dalam lingkup yang lebih besar, tidak hanya antara ayah, ibu, dan anak melainkan juga hubungan amtara keluarga satu dengan keluarga lain dalam lingkungan masyarakat. c. Membina keluarga sehat sejahtera, baik jasmani maupun rohani d. Menjadikan keluarga sebagai tempat ibadah dengan ibu berperan sebagai pendeta utama. e. Menjadikan keluarga sebagai pusat pendidikan f. Menjadikan keluarga sebagai lembaga komunikasi dan diskusi Menurut ajaran Hindu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang sukinah, yaitu keluarga yang bahagia seperti yang terungkap dalam mantra Suhashita ” Om Sarve Bhavantu Sukinah” yang berarti ” Om Hyang Widhi, semoga semua memperoleh kebahagiaan” Bedasarkan keterangan tersebut maka nilai-nilai kesetiaan yang dilakukan Sita terhadap Rama adalah merupakan ajaran moral dharma dalam mewujudkan kehidupan rumah tangga untuk mencapai keluarga yang bahagia. B.3. Eksistensi Kesetiaan di masa Sekarang Terwujudnya keluarga bahagia merupakan tujuan pokok dari sebuah perkawinan. Untuk itu ajaran tentang kesetiaan merupakan modal untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera. Melihat permasalahan yang terjadi dalam rimah tangga, menurut I Nengah Putra, pada tanggal 26-30 Juli 2008, menyatakan bahwa seorang istri harus bisa menjagasikap, prilaku, maupun penampilannya , setia terhadap suami, dan melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga walaupun dia adalah seorang wanita karir. Sedangkan seorang suami harus mampu menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab, menjadikan rumah (keluarga) sebagai tempat ibadah, menghargai istri dan mengetahui kewajibannya dan menjalin komunikasi antara kedua belah pihak. 73 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 Pernyataan tersebut dipertegas dalam buku ”Membina Keluarga Sejahtera” . Mengemban misi dalam keluarga, maka seorang istri sebagai Dwi, ibu, dan permaisuri mempunyai tugas dan swadharma sebagai berikut : 1. Memenuhi doa dan harapan yang menikahkannya. Wanita Hindu sebelum bersatu dengan badan suaminya dan diresmikan sebagai suami istri harus mendapatkan restu dari ayahnya. 2. Harapan seorang suami kepada istrinya : a) dapat bertingkah laku yang baik b) dapat melahirkan putra yang perwira c) dapat menjadi pelopor (dalam kebaikan), cerdas, teguh, mandiri, mampu merawat atau memelihara dan senantiasa taat kepada keluarga. d) Dapat mengendalikan keluarga, mengatur seluruh keluarga dan mendukung seluruh kehidupan keluarga. 3. Setia kepada suaminya, senantiasa waspada, tahan uji, menghormati yang lebih tua. Hal ini jga ditegaskan dalam Atharva Weda XIV.2.27 : ”Wahai mempelai wanita, serasilah (ramahlah) kepada ayah mertua, anggota keluarga suamimu dan para pembantu (pelayan). Semoga engkau bermanfaat kepada semuanya” (Jaman, 1998:27-30) Terwujudnya keluarga yang bahagia merupakan tujuan pokok perkawinan yang bahagia. Kebahagiaan yang dimaksud tentu saja meliputi kebahagiaan jasamani maupun kebahagiaan rohani. Seperti yang dijelaskan dalam kitab Manawadharmasastra bahwa tujuan dari sebuah perkawinan meliputi Praja (melahirkan keturunan) dan Rati (menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan indriya lainnya) Menurut Ida Bagus Swastika pada wawancara yang dilakukan pada tanggal 30 Juli 2008, disimpulkan bahwa nilai-nilai keagamaan dan kesetiaan dalam kisah Rama Sita yamng masih relevan dan tetap eksis hingga saat ini adalah : a. Istri sebagai pendamping suami Seorang suami memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sulitnya perekonomian dan susahnya mencari pekerjaan menjadi kendala tersendiri dalamrumah tangga. Terkadang karena tuntutan keadaan seorang suami harus meninggalkan keluarga maupun kampung halaman untuk mencari nafkah. Saat tuntutan profesi mengharuskan suami 74 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 berpindah kerja hingga keluar kota maupun keluar daerah, tentu saja seorang istri berkewajiban untuk dapat selalu mendampingi suaminya, dimanapun dan dalam keadaan apapun. b. Istri memberikan pelayanan kepada suami dengan tulus ikhlas Begitu banyak profesi maupun bidang-bidang pekerjaan yang dikerjakan oleh wanita, bahkan pekerjaan laki-laki. Bahkan tak jarang wanita menjadi tumpuan ekonomi dalam sebuah keluarga, namun hal ini hendaknya tidak menjadikan wanita lupa pada kewajibannya untuk selalu melayani suami dalam keadaan suka maupun duka. c. Istri tidak tergoda dengan kemewahan dan tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga Pikiran manusia yang tercemar dengan berbagai macam keinginan untuk memiliki bermacam-macam bentuk kehidupan yang mewah dan nyaman membuat seseorang berubah menjadi ambisius. Suami istri yang trjerat dalam ambisi kehidupan mewah tidak akan dapat memikirkan keharmonisan dan segala sesuatu yang menyangkut keluarga, bahkan tidak jarang ambisi terhadap kemewahan dapat menjerat seseorang dalam perselingkuhan. d. Istri sebagai penyambung generasi Istri yang mulia adalah istri yang mampu melahirkan penerus keluarga. Memiliki keturunan adlah suatu kewajiban dalam rumah tangga. Karena dengan memiliki keturunan, akan dapat membawa leluhur pada kebebasan atau moksa Meskipun dalam pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesetiaan dalam keluarga meliputi keteguhan hati dan ketaatan dalam membina keluarga, namun sejalan dengan perkembangan jaman secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kesetiaan seseorang. Namun permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan rumah tangga dewasa ini bukan dikarenakan standar kehidupan rumah tangga ideal yang tidak relevan, melainkan karena perubshsn moral dari masing-masing individu. Sedangakan idealisme terhadap nilai kesetiaan seorang istri adalah hal yang akan tetap relevan dimasa sekarang ini. Dalam ajaran Hindu sendiri kesetiaan seorang istri pada hakekatnya adalah ajaran kesusilaan yang telah tersurat dalam Veda maupun dalam susastra Hindu lainnya seperti: 75 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 1. Kesetiaan Seorang Istri dalam Mahabharata Cerita Mahabharata menjelaskan tentang kestiaan Dewi Drupadi terhadap Pandawa. Drupadi adalah putri raja Pancala yang menjadi istri Pandawa. Meskipun memiliki lima suami, namun Dewi Drupadi tidak pernah berusaha untuk menbeda-bedakan kelima suaminya. Rasa Bhakti Dewi Drupadi yang begitu besar terhadap suaminya membuat Dewi Drupadi senantiasa setia mendampingi Pandawa menjalani masa pembuangan selama 12 tahun dan bersembunyi tahun ke 13 karena kecurangan Korawa. Perjuangan Dewi Drupadi dalam memberikan yang terbaik bagi suaminya sampai pada saat Pandawa kembali berjaya membuat Drupadai digambarkan sebagai figur istri yang tegar. Cerita tersebut menyimpulkan bahwa kehormatan seorang istri terletak pada bhaktinya kepada suami. Semakin besar kesetiaan seorang wanita serta tegar dalam menghadapi cobaan dan masalah hidup, maka semakin terhormatlah dia sebaai istri yang baik. 2. Kesetiaan Seorang Istri dalam Cerita Dewi Sawitri dan Satyawan Dewi Sawitri adalah putri dari raja Aswapati disebuah kerajaan Madra. Dewi Sawitri adalah merupakan istri Satiawan yang oleh Bhatara Narada diramalkan usianya tinggal satu tahun lagi, namun Dewi Sawitri tetap setia kepada suaminya walaupun sudah tidak bernyawa. Dewi Sawitri mengikuti Bhatara Yama yang membawa mayat Satiawan. Dalam percakapan antara Dewi Sawitri dengan Bhatara Yama digambarkan bagaimana kesetiaan seorang istri terhadap suaminya adalah merupakan swadharma yang harus dilaksanakan dalam ikatan perkawinan. Baik dalam naskah Ramayana, Mahabharata, maupun SawitriSatiawan memberikan sebuah makna bagaimana kesetiaaan harus senantiasa diepgang teguh oleh seorang istri dalam kehidupan rumah tangganya. Keetiaan akan berbuah kemuliaan yang merupakan inti dari ajaran dharma sebagai wujud kesetiaan seorang istri terhadap suami. Hal ini senada disiratkan dalam kitab-kitab Hindu lainnya seperti Manawadharmasastra dan Rg. Veda. Sikap setia seorang istri adalah prilaku utama yang menjadikan hubungan suami istri menjadi hubunan yanga damai, tentram, dan harmonis. 76 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 Baik agama maupun kesetiaan, keduanya adalah elemen fundamental dalam kehidupan rumah tangga untuk mewujudkan tujuan catur asrama yang kedua (Grhasta), yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera sesuai dengan ajaran agama. KESIMPULAN Ramayana adalah sebuah epos yang menceritakan riwayat perjalanan Rama yang dituliskan pleh Maharsi Valmiki dan terdiri dari 24.000 sansa yang terbagi daam tujuh kanda. Dalam kanda-kanda tersebut disimpulkan suatu konsep kesetiaan seorang istri yang digambarkan dalam prilaku Dewi Sita. Dewi Sita dalam cerita Ramayana digambarkan sebagai figur wanita serta istri ideal yang menjunjung tinggi kesetian, selalu menjalankan swadharmanya, serta tidak silau oleh kemegahan dan kemewahan. Sita menemptakan Rama, suaminya sebagai satu-satunya Dewa yang di puja. Kesetiaan pada hakekatnya adalah merupakan sikap yang dibutuhkan dalam mewujudkan keterikatan dan kepedulian dalam ikatan perkawinan oleh pasangan suami istri. Oleh karena itu dalam suatu kehidupan perkawinan kesetiaan menjadi elemen yang sangat fundamental dalam mewujudkan keluarga yang harmonis, selain itu perlu juga diwujudkan sikap konsisten dalam menjalankan komitmen dalam keluarga, saling mengetahui kewajiban masing-masing, serta saling menjaga keselarasan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Nilai-nilai keagamaan serta kesetiaan dalam kisah Rama-Sita masih sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan saat ini. Beberapa nilai yang masih eksis hingga saat ini diantaranya adalah peran istri sebagai pendamping suami, peran istri dalam memberikan pelayanan kepada suami secara tulua ikhlas, tidak tergoda dengan kemewahan serta tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga. Seorang istri selain memiliki peran sebagai penyambung generasi, juga memiliki pera dan tanggung jawab dalam mempertahankan kesetiaan. Semua itu pada hakekatnya adalah merupakan ajaran kesusilaan yang telah disuratkan dalam Veda maupun kisah-kisah suci agama Hindu, seperti Ramayana, Mahabharata, maupun kisah Dewi Sawitri. Baik agama maupun kesetiaan, keduanya adalah faktor fundamental dalam mewujudkan kehidupan keluarga yang bahagia, namun keharmonisan dalam kehidupan keluarga tidak terlepas dari hubungan timbal balik antara suami istri,. Baik 77 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 suami maupun istri hendaknya saling berkomitmen terhadap ikatan perkawinan serta kewajiban masing-masing, dan menjalankannya dengan berpedoman pada ajaran agama. Kesetiaan Dewi Sita dala cerita Ramayana dapat menjadi tolak ukur bagi para wanita dalam menjalankan perannya sebagai istri yang ideal, serta dalam menjalankan komitmen pada kesetiaan. Karena dalam sastra Hindu telah banyak digambarkan bahwa kesetiaan seorang istri dapat membawa keagungan serta kemuliaan. RUJUKAN Pudja, G dan Tjokorda Rai Sudhartha. 2002. Manawa Dharmasatra atau Weda Smerti Compedium hukum Hindu. Jakarta : CV. Nitra Kencana Buana. Purwanto.1995. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Subramaniam, Komala. 2004. Ramayana. Surabaya : Paramita. Sudharta, Tjok Rai. 2006. Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha. _________________.2003.Slokantara Untaian Ajaran Etika. Surabaya : Paramitha Sukardi.2003.Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta : Bumi Aksara Sura, I Gede. 1997. Pengendalian Diri dan Etika dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha. Suratmini, Ni Wayan, dkk. 2003. Agama Hindu untuk SMU Kelas III. Jakarta: Ganeca Exact Tim Penyusun.2007. Pedoman Kerukunan Umat Bragama Hindu. Jakarta: Mitra Abadi Press ___________________.2005. Pengarusutamaan Gender. Surabaya: Paramita ___________________.2005. Undang-Undang Perkawinan. Bandung : Fokus Media ___________________. 2003. SISDIKNAS. Jakarta : Sinar Grafika. ___________________. 2001. Modul Kelidrga Bahagia Sejahtera. Jakarta: Departemen Agama RI Direktirat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha. ___________________. 2000. Hita Grha. Jakarta : Departemen Agama RI Proyek Bimbingan dan Da’wah Agama Hindu. __________________. 1998. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Paramita. 78 Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012 __________________. 2000. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Jakarta. __________________.1996. Kebijaksanaan Pembanguna Nasional, Pendidikan Nasional dan Pembangunan Bidang Agama. Jakarta: Departemen Pendidikan dam KebudayaanDirektorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. _________________. 1994. Hak Asasi Manusia dalam Hindu. Jakarta: PT. Pustaka Manikgeni. Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta Titib, I Made. 2008. Itihasa Ramayana dan Mahabharata. Surabaya: Paramita ________________. 2003. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita. ________________. 1998. Citra Wanita dalam Kekawin Ramayana. Surabaya: Paramitha. _______________. 1994. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramitha. Titib, I Made dan Ni Ketut Supariani. 2004. Keutamaan Manusia dan Pendidikan Budhi Pekerti. Surabaya: Paramita. Wibawa. 2006. Wanita Hindu Sebuah Emansipasi Kebablasan. Denpasar: Panakom Publishing. Widia, I Gusti Made. 1997. Ramayana. Denpasar: Guna Agung. Makalah/majalah: Sudarma, Wayan.2007. Keluarga Sukinah.Jakarta. _____________.Edisi 27 Mei 2006. Media Hindu. Ganeca Exact. _____________. Edisi Februari. 2005. Sarad. Yayasan Bumi Bali. 79