pengecualian aplikasi tindakan pengamanan perdagangan

advertisement
1 PENGECUALIAN APLIKASI TINDAKAN PENGAMANAN
PERDAGANGAN (SAFEGUARD MEASURE) TERHADAP
NEGARA-NEGARA BERKEMBANG DALAM WORLD TRADE
ORGANIZATION
RUHUT MARHATA
PEMBIMBING : ADIJAYA YUSUF DAN HADI RAHMAT PURNAMA
ABSTRAK
Judul
: “Pengecualian Aplikasi Tindakan Pengamanan Perdagangan
(Safeguard Measure) terhadap Negara-Negara Berkembang
dalam World Trade Organization”
Pengaturan tindakan safeguard dalam ketentuan World Trade Organization
(WTO), yaitu Pasal XIX The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan
Agreement on Safeguards (SA). Dalam menerapkan tindakan safeguard, harus
diperhatikan unsur prosedural dan substantifnya. Dalam unsur prosedural, harus
dipenuhi langkah-langkah investigasi, notifikasi, dan konsultasi. Dalam unsur
substantif harus diperhatikan kenaikan impor yang menyebabkan kerugian serius
atau ancamannya terhadap industri domestik. Selain itu, terdapat batasan-batasan
yang harus diperhatikan dalam mengenakan tindakan safeguard terhadap negara
lain, khususnya terhadap negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang
memiliki hak khusus berdasarkan Pasal 9.1 SA yang dapat dikecualikan atas
dikenakannya tindakan safeguard, jika memenuhi persyaratan de minimis levels.
Kasus tindakan safeguard di negara-negara berkembang terkait Pasal 9.1 SA ini
terdapat dalam kasus US – Line Pipe (2002), US – Steel Safeguards (2003), dan
Dominican Republic – Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012).
Kata Kunci:
WTO, perdagangan internasional, safeguard, negara berkembang, GATT, Agreement
on Safeguards.
ABSTRACT
Title
: “The Exception of Safeguard Measure for Developing
Countries under World Trade Organization”
The regulations concerning safeguard measure under the provisions of World
Trade Organization (WTO), which are Article XIX of The General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) and Agreement on Safeguards (SA). In order to apply
safeguard measure, the procedural and substantive elements must be observed.
Procedurally, it shall meet the requirements of investigation, notification, and
consultation. Substantively, it shall consider the increase of import that causes a
serious injury or threat thereof to the domestic industry. Furthermore, there are limits
in applying safeguard measure to other countries, especially developing countries.
Developing countries have special rights pursuant to Article 9.1 SA, where they can
be excluded from the safeguard measure application, if they fulfill the requirement of
2 de minimis levels. Studies some cases of safeguard measure in developing countries
pursuant to Article 9.1 SA is contained in US – Line Pipe (2002), US – Steel
Safeguards (2003), and Dominican Republic – Polypropylene Bags and Tubular
Fabric (2012).
Keyword(s):
WTO, international trade, safeguard, developing country, GATT, Agreement on
Safeguards.
PENDAHULUAN
Pada tahun 1948, keberlakuan The General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) awalnya merupakan perjanjian interim, kemudian menjadi satu-satunya
instrumen di bidang perdagangan yang mengisi kekosongan kelembagaan
perdagangan pada tingkat internasional akibat gagalnya pendirian ITO tersebut. 1
Dengan demikian, sistem perdagangan internasional yang diupayakan GATT ialah
sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di seluruh
dunia. 2 Dalam mengatur permasalahan-permasalahan perdagangan dalam GATT
maka terdapat Putaran Perdagangan (Trade Round). Hasil akhir Putaran Uruguay,
memuat dokumen “The Final Act Embodying The Results of the Uruguay Round of
Multilateral Trade Negotiations”, dokumen utama tersebut ialah The Agreement
Establishing The World Trade Organization, atau yang lebih dikenal dengan nama
Marrakesh Agreement mengenai pembentukan World Trade Organization (WTO).
Prinsip yang terpenting sebagai negara anggota WTO ini adalah dilarang
melakukan diskriminasi (pembedaan) terhadap negara anggota WTO lain, menjadi
kunci utama dari hukum WTO tersebut dan sering menjadi subyek sengketa
perdagangan antar anggota WTO. Larangan ini dapat ditemukan dalam dua
kewajiban, yaitu most favoured nation (perlakuan MFN) dan national treatment
(perlakuan nasional).3 Prinsip-prinsip dasar GATT/WTO jelas mendukung terciptanya
sistem perdagangan internasional yang harmonis, adil (fair), dan terbuka. Namun,
disisi lain dalam mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai
1
Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, dan Petros C. Mavroidis, The World Trade
Organization Law, Practice, and Policy, (New York: Oxford University Press, 2003), hlm. 2.
2
Olivier Long, Law and Limitations in the GATT Multilateral Trade System, Martinus Nijhoff
Publisher, 1987, hlm. 6.
3
Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnadi, Pengantar Hukum
WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 8.
3 implikasi dari hubungan bisnis internasional, maka perlu dibentuk ketentuanketentuan sebagai instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dipergunakan oleh
seluruh negara anggota untuk melindungi kepentingannya dari praktik-praktik
perdagangan curang yang dilakukan mitra bisnisnya. Jika dilihat dari beberapa
pengecualian dari prinsip-prinsip GATT/WTO, terdapat beberapa unsur yang terkait
dengan pengamanan perdagangan yang diakui oleh GATT/WTO dan negara-negara
anggota diperkenankan untuk mempergunakan instrumen ini dalam melindungi
industri dalam negerinya (domestic industry). Pengaturan antidumping, subsidi, dan
safeguard mulai diakomodasi dalam GATT 1947 dan kemudian dipertegas lagi dalam
GATT 1994.
Kemudian, adanya pengecualian dalam keadaan ekonomi darurat yang telah
diatur oleh WTO, pengecualian ini disebut safeguard. Terminologi safeguard atau
safeguard measure ditujukan pada tindakan perdagangan yang diterapkan untuk
melindungi industri domestik dari kompetisi impor yang menyebabkan kerugian atau
ancaman kerugian serius padanya.4 Terminologi safeguard ini dalam bahasa sering
disebut sebagai tindakan pengamanan. 5 Pada istilah safeguard ini merupakan
pengecualian yang memungkinkan negara anggota tertentu untuk menghindari
kewajibannya sebagai anggota WTO dalam melakukan langkah darurat sementara
(escape clause). Safeguard ini seperti halnya MFN merupakan salah satu prinsip
perdagangan internasional yang penting. MFN menimbulkan akibat terjadinya
pemerataan manfaat (sharing benefits) diantara semua anggota WTO, sementara
dalam hal safeguard dimaksudkan untuk pembagian beban (sharing burdens).6 Pada
Pasal XIX GATT dan Perjanjian WTO mengenai safeguard yang disebut dengan “the
Safeguard Agreement” atau “SA” memberi kewenangan pada para anggota dalam
mengenakan pembatasan impor untuk memulihkan ke keadaan semula atau mencegah
kerugian serius pada industri domestik yang disebabkan oleh kenaikan impor.
Kemudian, telah dibedakannya tindakan umum safeguard (general safeguard
measures) dari tindakan khusus safeguard (special safeguard measures) lainnya.
4
Patrick F.J. Macrory, Arthur E. Appleton, and Michael G. Plummer, ed., The World Trade
Organization: Legal, Economic and Political Analysis, Volume 1, (New York: Springer Science +
Business Media, Inc., 2005), hlm. 751.
5
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan
Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 1 ayat (3).
6
Dian Ediana Rae, “Pengantar Singkat World Trade Organization”, dalam Transaksi
Perdagangan Internasional, cet.2, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 51.
4 Secepatnya, hal ini menjadi jelas bahwa tindakan tersebut selain dari Pasal XIX,
tindakan safeguard terpaksa dilakukan oleh beberapa negara peserta jika suatu impor
dipertimbangkan terdapat suatu kerugian. Hal ini timbulnya “grey area measure” atau
daerah abu-abu yang juga meliputi Pembatasan Ekspor Secara Sukarela (Voluntary
Export Restraints-VERs),7 Kesepakatan Pengendalian Sukarela (Voluntary Restraint
Arrangements-VRAs)
dan
Persetujuan
Pasar
Teratur
(Orderly
Marketing
Arrangements-OMAs). 8 Dalam menerapkan safeguard, negara anggota pun harus
memberitahukannya kepada Komite Safeguard, serta negara anggota harus
menempuh beberapa prosedur khusus, yaitu konsultasi sebelum menerapkan
safeguard tersebut.
9
Jika negara anggota WTO ingin menerapkan tindakan
pengamanan (safeguard measure), terdapat persyaratan-persyaratan yang sangat ketat
dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement on Safeguards yang harus terpenuhi.
Selanjutnya dalam tindakan pengamanan perdagangan ini dikenakan terhadap
perdagangan yang adil (fair), yaitu tidak terdapatnya kesalahan dari pengekspor atau
tidak dijual dengan harga dumping ataupun telah diberikannya subsidi terhadap
produk impor tersebut. Namun, hanya dikarenakan bahwa produk impor yang sangat
kompetitif sehingga mereka memenangkan persaingan terhadap produk domestik di
pasar. Karakteristik atau bentuk-bentuk dari safeguard, ialah bea masuk di atas batas
tarif yang diperbolehkan untuk masing-masing negara atau berdasarkan kuota.
Kemudian, difasilitasinya negara-negara berkembang anggota WTO terhadap
sistem perdagangan dunia ini agar dapat mendorong pembangunan ekonominya.
Negara-negara berkembang ini telah mendapatkan perlakuan yang khusus dan
berbeda (special and differential treatment/S&D treatment) sebagaimana telah diatur
oleh hampir semua perjanjian WTO. Perjanjian WTO 10 adalah suatu perjanjian
7
VER pada dasarnya merupakan suatu usaha negara untuk “membujuk” eksportir (negara
maupun perusahaan swasta) agar sukarela membatasi ekspornya ke wilayah negara tersebut. Sistem ini
pada dasarnya juga merupakan kuota yang inisiatifnya datang dari pihak pengekspor, dan bukannya
pengimpor. Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional, (Yogyakarta : Kanisius, 2002),
hlm. 67.
8
Perjanjian serupa dengan kuota antara sebuah negara pengimpor dan sebuah negara
pengekspor pada pembatasan volume ekspor. Juga dikenal dengan voluntary export restraints
(pembatasan ekspor sukarela). Lihat Cateora Graham, Pemasaran Internasional [International
Marketing]. Diterjemahkan oleh Diana Angelica, ed. 13, (Jakarta : Salemba Empat, 2007), hlm. 535.
9
Bhagirath Lal Das, The World Trade Organization, A Guide to the Framework for
International Trade, (Penang: Zed Books Ltd. and Thirld World Network, 1999), hlm. 78.
10
Perjanjian WTO (WTO Agreement) yang dimaksud adalah hasil dari negosiasi tentang
perdagangan Multilateral Putaran Uruguay.
5 perdagangan untuk mempromosikan perdagangan internasional, serta menaikkan laju
arus impor dengan konsesi yang saling menguntungkan. Tidak hanya itu, dalam
mengenakan safeguard negara-negara berkembang telah mendapatkan perlakuan
khusus di WTO, yaitu mereka dapat mengenakan safeguard dengan jangka waktu
maksimum lebih dari delapan tahun sesuai Pasal 9.2 Agreement on Safeguards,11
bahwa durasi dalam penerapan safeguard tersebut lebih panjang dibandingkan negara
maju. Terlebih lagi, penerapan safeguard terhadap negara berkembang juga mendapat
perlakuan khusus di WTO, bahwa negara pengimpor hanya bisa menerapkan tindakan
safeguard dari barang negara berkembang jika negara berkembang menyuplai lebih
dari 3% dari barang impor, atau jika anggota negara berkembang dengan kurang dari
3% saham kolektif impor dihitung lebih dari 9% dari total impor barang yang
bersangkutan sesuai dengan Pasal 9.1 Agreement on Safeguards.12 Oleh karena itu,
hal ini sangat menarik perhatian bagaimana negara berkembang mendapat perlakuan
khusus tidak hanya dalam negara berkembang menerapkan safeguard terhadap negara
lain, namun juga penerapan safeguard terhadap produk negara berkembang. Tujuan
umum penerapan safeguard ini yang terpenting guna melindungi kepentingan
nasional, baik di dalam negeri maupun diluar negeri. Perlindungan di dalam negeri
berarti menerapkan safeguard secara tepat guna melindungi kepentingan nasional
ketika industri domestik terancam, tanpa harus melanggar ketentuan hukum
internasional dan khususnya ketentuan WTO.
PEMBAHASAN
Sejak berlakunya GATT 1947, selalu disediakan skema katup pengaman tersebut,
yang salah satunya adalah tindakan safeguard. Negara Amerika Serikat sebagai
negara pertama kali yang memperkenalkan bentuk safeguard ini dikenal dengan
11
Pasal 9.2 SA, “A developing country Member shall have the right to extend the period of
application of a safeguard measure for a period of up to two years beyond the maximum period
provided for in paragraph 3 of Article 7. Notwithstanding the provisions of paragraph 5 of Article 7, a
developing country Member shall have the right to apply a safeguard measure again to the import of a
product which has been subject to such a measure, taken after the date of entry into force of the WTO
Agreement, after a period of time equal to half that during which such a measure has been previously
applied, provided that the period of non-application is at least two years.”
12
Pasal 9.1 SA, “Safeguard measures shall not be applied against a product originating in a
developing country Member as long as its share of imports of the product concerned in the importing
Member does not exceed 3 per cent, provided that developing country Members with less than 3 per
cent import share collectively account for not more than 9 per cent of total imports of the product
concerned.”
6 sebutan escape clause. Bentuk tersebut dapat kita temukan pada perjanjian
perdagangan bilateral antara Amerika Serikat dan Meksiko pada tahun 1943,13 yang
berbunyi:
“If, as result of unforeseen developments and of the concession granted
on any article enumerated and described in the schedules annexed to
this agreement, such article is being imported in such increased
quantities and under such conditions as to cause or threaten serious
injury to domestic producers of like, or similar articles, the governments
of either country shall be free to withdraw the concessions, in whole or
in part, or to modify it to the extent and for such time as may be
necessary to prevent such injury (Agreement between the United States
and Mexico Respecting Reciprocal Trade Dec 23, 1942, Article XI).”
Klausula diatas menjadi acuan bagi pembentukan Pasal XIX GATT. Hal ini dapat
kita lihat pada unsur-unsur atau syarat-syarat penerapan tindakan safeguard, yaitu
adanya perkembangan yang tidak terduga (unforeseen development), adanya
peningkatan impor yang berlebihan, mengakibatkan kerugian bagi industri dalam
negeri, kewenangan negara importir untuk menarik atau mengubah pemberian konsesi
perdagangan dalam jangka waktu yang diperlukan.14 Perhatikan kata “if” pada ayat
(1) butir a di atas, kata “if” merupakan syarat (conditional) yang artinya dalam situasi
dimaksud berikut ini adalah kondisi tindakan safeguard dapat dilakukan.
Sehubungan dengan tujuan escape clause dalam dokumen asli GATT, terdapat
sedikit kontroversi mengenai hal tersebut, yaitu:
1. Penawaran perlindungan jangka pendek;
2. Ketentuan rebus sic stantibus15, karena hal itu berlaku pada keadaan yang
tidak terduga “unforeseen”, bahwa tidak dapat diprediksi pada saat
perjanjian tersebut dibuat; 16
3. Tanggapan sementara untuk mengubah keadaan perekonomian, dalam
eksternal dan internal; 17 dan
13
Iman Rizani, “Kebijakan Safeguard dalam Kerangka Pedagangan Internasional Ditinjau dari
Hukum Internasional,” (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003), hlm. 34.
14
Ibid.
15
Asas yang dapat digunakan untuk memutuskan perjanjian secara sepihak apabila terdapat
perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian internasional
yang telah disepakati. Lihat Pasal. 27 jo. Pasal. 46 ayat (1) VCLT dan Pasal 62 VCLT.
16
Kenneth W. Dam, “The GATT, Law and International Economic Organization”, (Chicago:
The University of Chicago Press, 1970), hlm. 99.
7 4. Seharusnya memungkinkan pemerintah untuk membantu industri lokal
yang tidak dapat berhasil untuk bersaing dengan beberapa impor.
Walaupun Pasal XIX GATT secara eksplisit tidak menyatakannya, dapat
diterimanya penangguhan atau penarikan kewajiban atau konsesi yang diterapkan
berdasarkan asas non-diskriminasi.18 Namun, dapat terlihat adanya justifikasi dalam
selektivitas safeguard.19 Singkatnya, ketentuan safeguard ini menunda akibat dari
cepatnya produk yang berkompetisi masuk dan memberikan peluang pada produsen
lokal untuk menyesuaikan dengan situasi yang baru dari sudut pandang struktural.20
Safeguard dilakukan bukan untuk melindungi industri dalam negeri dari praktek
perdagangan tidak adil (unfair), seperti dumping atau subsidi. Pengaturan tindakan
pengamanan (safeguard) bertujuan untuk melakukan perlindungan/proteksi terhadap
industri dalam negeri dari lonjakan barang-barang impor yang merugikan atau
mengancam terjadinya kerugian pada industri dalam negeri. Prasyaratan yang tinggi
atas kerugian serius “serious injury” ini menjustifikasikan penggunaan escape clause,
dibandingkan dengan standar kerugian material “material injury” pada antidumping,21
tindakan safeguard pada awalnya menawarkan standar yang lebih rendah untuk
melakukan proteksi. Selain itu, sifat dari tindakan antidumping, tepat diterapkan pada
negara tertentu atau pemasok yang membuat kerugian dari praktek dumping tersebut.
Sedangkan, tindakan safeguard ini diterapkan atas dasar non-diskriminasi. Sampai
pada akhir tahun tujuh puluhan, sembilan puluh lima tindakan safeguard ini telah
17
Olivier Long, Op. cit., hlm. 57-59.
18
John H. Jackson, “The World Trading System, Law and Policy of International Economic
Relations”, MIT Press, 1989. Lihat juga Mark Koulen, “The Non-Discriminatory Interpretation of
GATT article XIX(1): A Reply”, 9 (Deventer: Legal Issues of Eur. Integration, 1983) hlm. 87.
19
Lihat Marco C. E. J. Bronckers, Selective Safeguard Measures in Multilateral Trade
Relations, (New York: Springer, 1985), hlm. 245. Tujuan dari selektivitas penerapan Pasal XIX bahwa
hak negara pengimpor atas gangguan pasarnya “market disruption”, terhadap pemasok yang telah
mengganggu“disruptive” atas pasarnya, tanpa mempertimbangkan negara pengekspor tersebut. Untuk
pembahasan lebih lanjut mengenai justifikasi tersebut, Lihat Brian Hindley, Voluntary Export
Restraints and Article XIX of the GATT,” in Current Issues in Commercial Policy and Diplomacy (John
Black & Brian Hindley, eds. 1979). Pada negosiasi Putaran Tokyo, anggota Persatuan Eropa
“European Community” menganjurkan konsep selektivitas safeguard “selective safeguard,”
contohnya, hak untuk perlindungan darurat melawan pemasok tertentu, yang telah melanggar filosofi
GATT atas non-diskriminasi. Negara berkembang dengan lantang menentang usulan EEC, dan karena
kebuntuan itu, tidak ada perjanjian untuk meningkatkan Safeguard Code.
20
21
John H. Jackson, Loc. cit.
J.F. Beseler, & A.N. Williams, Anti-Dumping and Anti-Subsidy: The European
Communities, (London: Sweet & Maxwell , 1986), hlm. 50.
8 tercatat. 22 Safeguards telah lama dikenal pada praktek perdagangan internasional,
bahkan sebelum GATT 1947 ditandatangani. 23 Pada 1 Desember 1993, hanya
berjumlah 150 tindakan safeguard yang berdasarkan Pasal XIX GATT dilaporkan
kepada Sekretariat GATT, banyak juga beberapa tindakan tersebut yang telah
diberhentikan. Pada Desember 1992, hanya dua tindakan tersebut dilakukan oleh
“European Community” berkaitan dengan anggur kering dan ceri olahan.24
Amerika Serikat bukan hanya sebagai pelaku utama Pasal XIX GATT dalam
negosiasi GATT pada pertengahan tahun 1940-an, namun juga sebagai kunci
pendorong dalam Agreement on Safeguard pada tahun 1986-1994 dalam negosiasi
Putaran Uruguay.25 Seperti yang ditujukan Administrasi Clinton dalam Statement of
Administrative Action on the Agreement on Safeguards, Amerika Serikat mempunyai
perhatian terhadap beberapa isu dalam S. 201 yang meninggalkan ketidakjelasan
dalam Pasal XIX GATT. 26 Dalam Putaran Uruguay, negosiator Amerika Serikat
berhasil menyakinkan rekan-rekan mereka untuk bekerja sama atas konsep S. 201 ke
dalam Agreement on Safeguard pada WTO.27
Pada Statement of Administrative Action mengindikasikan, Amerika Serikat
memperhatikan dua ketentuan pada Pasal XIX GATT:28
1. Persyaratan tindakan escape clause dilakukan pada non-diskriminasi,
dasar MFN; dan
2. Kemampuan suatu negara yang ekspornya diakibatkan oleh escape
clause untuk melakukan retaliasi terhadap negara yang menerapkan
escape clause jika mereka tidak memberikan kompensasi terhadap
negara tersebut.
22
Modalities of Aplication of Art. XIX: Note by the Secretariat, GATT Doc. L/4679 at 10
(July 5, 1978).
23
J.F. Beseler, & A.N. Williams, Loc. cit.
24
Ernesto M. Hizon, “The Safeguard Measure/VER Dilemma: The Jekyll and Hyde of Trade
Protection”, Volume 15 Issue 1 Fall, Northwestern Journal of International Law & Business, 1994,
hlm. 108-110.
25
Raj Bhala, Modern GATT Law A Treatise on The General Agreement on Tariffs and Trade,
(London : Sweet & Maxwell Limited, 2005), hlm. 941.
26
Ibid., hlm. 941-942 .
27
Ibid., hlm. 942 .
28
Ibid., hlm. 941-943 .
9 Amerika Serikat berpendapat bahwa ketentuan ini menghalangi kegunaan dari
escape clause. Ketentuan pertama membebankan sejumlah negara peserta lainnya
dalam menyesuaikan biaya pada persaingan asing yang adil yang dikeluarkan oleh
industri negara peserta yang telah menerapkan escape clause. Ketentuan kedua
mengatur biaya retaliasi atau kompensasi pada negara peserta yang menerapkan
escape clause. Dengan demikian, ketentuan kedua adalah disinsentif yang jelas dalam
mengenakan escape clause. Efek individu dan gabungan dari ketentuan tersebut,
mendesak Amerika Serikat, serta negara peserta menghindari Pasal XIX GATT.
Namun, adanya lonjakan impor ini mereka malah menggunakan hal yang disebut
sebagai daerah abu-abu (contohnya pembatasan ekspor sukarela voluntary export
restraints). Oleh karena itu, "tujuan pelaku utama AS" dalam negosiasi Putaran
Uruguay mengenai safeguard adalah untuk mengembangkan aturan pemakaian Pasal
XIX GATT dan mendorong anggota WTO untuk menggunakan daripada
menghindarinya. Tujuan ini sebagian besar telah tercapai. Perjanjian WTO mengenai
safeguard, yang berlaku pada 1 Januari 1995, telah mengklarifikasi ketidakjelasan
yang terdapat dalam Pasal XIX GATT. Kemudian, juga mengembangkan pengaturan
Pasal XIX GATT agar dapat mendorong anggota WTO untuk menggunakan Pasal
XIX GATT ini. Amerika Seikat dalam Putaran Uruguay mengidentifikasikan kedua
kepentingan
Agreement on Safeguard mengenai Pasal XIX GATT, bahwa pada
klausa kedua dalam preamble, menyatakan:
“the need to clarify and reinforce the disciplines of…Article XIX,...To
re-establish multilateral control over safeguards and eliminate measures
that escape such control.”
Kebutuhan untuk mengklarifikasi dan memperkuat disiplin Pasal XIX, dalam
membangun kembali penguasaan multilateral safeguard dan mengeliminasi tindakantindakan yang telah dikecualikan atau ditanggalkan dari safeguard tersebut.
Persetujuan safeguard (safeguard agreement) terdiri atas 14 pasal dan 1 lampiran,
serta terdiri atas empat komponen. 29 Berdasarkan ketentuan yang berlaku secara
internasional, yaitu Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement on Safeguard (Safeguard
Agreement), ada dua persyaratan harus dipenuhi dalam menentukan peningkatan
impor yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan safeguard. Pertama,
29
World
Trade
Organization
(WTO),
Agreement
on
http://www.wto.org/english/tratop_e/safeg_e/safeint.htm, diunduh pada 7 Mei 2013.
Safeguards,
10 peningkatan impor yang harus disebabkan oleh adanya perkembangan yang tidak
diperkirakan sebelumnya sebagai akibat dari tindakan memenuhi kewajiban
internasional dalam rangka liberalisasi perdagangan. Kedua, peningkatan impor
tersebut mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri
dalam negeri.
Inti pada Pasal XIX GATT 1947 tetap dipertahankan tanpa diubah kedalam
GATT 1994. Dalam perkembangannya, ketentuan tentang safeguard ditulis kembali
kedalam formulasi yang agak berbeda dari yang dicantumkan dalam Persetujuan
tentang Safeguard atau Agreement on Safeguards (Safeguard Agreement) yang
merupakan salah satu bagian dalam Persetujuan WTO. Walaupun begitu,
sebagaimana diterapkan oleh Appellate Body, pelaksanaan ketentuan Pasal XIX
GATT 1994 dan Persetujuan Safeguard tetap dilakukan secara bersama. Kemudian,
tujuan daripada Agreement on Safeguard ini secara eksplisit menerapkan kesetaraan
terhadap negara-negara anggota. 30 Pada ketentuan mengenai perkembangan tidak
terduga (unforeseen development) ini tidak terdapat pada Agreement on Safeguard,
namun tercantum dalam Pasal XIX GATT 1994. Pada kasus Korea-Dairy Products,
Korea dan Amerika Serikat keduanya berpendapat bahwa Agreement on Safeguards
adalah satu-satunya yang mengatur mengenai ketentuan safeguard31 sementara Uni
Eropa berpendapat bahwa Pasal XIX GATT tetap berlaku dan menyediakan ketentuan
tambahan yang tidak disebutkan pada SA.32 SA tidak berisi ketentuan apapun yang
mendiskripsikan mengenai hubungan hukumnya terhadap Pasal XIX GATT.. 33
Namun, Pasal II:2 pada Marrakesh Agreement Establishing the World Trade
Organization, menetapkan bahwa :
30
World Trade Organization, “Technical Information on Safeguard Measures”,
http://www.wto.org/english/tratop_e/safeg_e/safeg_info_e.htm, diunduh pada 7 Mei 2013.
31
Panel Report, Korea—Definitive Safeguard Measure on the Imports of Certain Dairy
Products (“Korea—Dairy Products”), WT/DS98/R (Report of the Panel, dated June 21, 1999), par.
4.418, 4.169–4.195, 5.4–5.8.
32
33
Ibid., par. 4.142–4.146 dan 4.149–4.168.
SA hanya menetapkan bahwa Perjanjian menetapkan aplikasi safeguard measures “terdapat
dalam Pasal XIX GATT 1994” (Pasal 1). Sebaliknya, Pasal 1 pada Agreement on Implementation of
Article VI GATT 1994 menetapkan hubungan hukum antara Perjanjian tersebut dengan ketentuan yang
relevan pada GATT: [A]n antidumping measure shall be applied only under the circumstances
provided for in Article VI of GATT 1994 and pursuant to investigations initiated and conducted in
accordance with this Agreement. The following provisions govern the application of Article VI of
GATT 1994 in so far as action is taken under antidumping legislation or regulation.
11 “the agreements and associated legal instruments included in Annexes
1,2, and 3 [hereinafter referred to as ‘Multilateral Trade Agreements’]
are integral parts of this Agreement, binding on all Members,”
Hal ini mengkonfirmasikan keberlakuan umum Pasal XIX GATT 1994, sejak
dimasukkan pada Annex 1 dalam perjanjian Marrakesh sebagai bagian dari GATT
1994. 34 Hal ini terjadi adanya konflik antara ketentuan Pasal XIX GATT dan
ketentuan SA, kemudian seharusnya berlaku sesuai dengan General Interpretative
Note pada Annex 1A dalam perjanjian WTO. 35 Pada Korea-Dairy Products, Uni
Eropa berpendapat bahwa keberadaan “unforeseen development” merupakan
ketentuan dari Pasal XIX: 1 (a) GATT yang harus dibuktikan oleh negara yang
menerapkan tindakan safeguard, walaupun klausa tertentu tidak dimasukkan pada
perjanjian.36 Sebaliknya, Korea berpendapat bahwa terdapat konflik antara ketentuan
Pasal XIX: 1 (a) GATT dan Pasal 2.1 Perjanjian SA, dan ketentuan “unforeseen
development” tidak efektif sejak ketentuan baru pada Pasal 2.1 SA tidak terdapat
frasa tersebut. Amerika Serikat sebagai pihak ketiga, berpendapat sama dengan sudut
pandang Korea. 37 Panel pada kasus Korea-Dairy Products menemukan bahwa tidak
ada suatu konflik antara Pasal XIX (1) (a) GATT dan ketentuan yang relevan pada
Agreement on Safeguards.38 Namun, terdapat kontradiksi pendapat dari Uni Eropa,
Panel tersebut mengkarakteristikan bahwa “unforeseen development” tidak sebagai
prasyarat dalam penerapan safeguard namun hanya:
“An explanation of why an Article XIX measure may be needed, taking
into account the fact that at the time (1947) the CONTRACTING
PARTIES had just agreed (for the first time) on multilateral tariff
bindings and on a general prohibition against quotas”. 39
34
Posisi ini ditegaskan oleh Panel pada Korea—Dairy Products, yang menetapkan, “It is now
well established that the WTO Agreement is a ‘Single Undertaking’ and therefore all WTO obligations
are generally cumulative and Members must comply with all of them simultaneously unless there is a
formal conflict between them.” Panel Report, Korea—Dairy Products, par. 7.38.
35
Dengan Catatan bahwa: In the event of conflict between a provision of the General
Agreement on Tariffs and Trade 1994 and a provision of another agreement in Annex 1A to the
Agreement Establishing the World Trade Organization (referred to in the agreement in Annex 1A as
the “WTO Agreement”), the provision of the other agreement shall prevail to the extent of the conflict.
36
Panel Report, Korea—Dairy Products, par. 4.142–4.146 dan 4.149–4.168.
37
Ibid., par. 4.418, 4.169–4.195, 5.4–5.8.
38
Ibid., par. 7.39.
39
Ibid., par. 7.42.
12 Sebagai
penjelasan
mengapa
tindakan
Pasal
XIX
dapat
dibutuhkan,
dipertimbangkan bahwa fakta pada saat tahun 1947, Negara Peserta telah menyetujui
pertama kalinya pengikatan tarif bea masuk multilateral (multilateral tariff bindings)
dan larangan umum kuota (general prohibition against quotas). Namun, Panel
menyatakan prinsip, bahwa “the Safeguards Agreement does not supersede or replace
Article XIX”, dengan artian Safeguard Agreement tidak meniadakan atau
menggantikan Pasal XIX GATT.40 Panel pada Argentina-Footwear41 berkesimpulan
sama, bahwa penyelidikan safeguard yang diselenggarakan dan tindakan safeguard
yang diterapkan setelah berlakunya perjanjian WTO telah memenuhi prasyaratan
mengenai ketentuan Safeguard agreement yang baru harus memenuhi ketentuan Pasal
XIX GATT. Pada Agreement on Safeguard (Safeguard Agreement) mengajukan
aturan-aturan penerapan tindakan safeguard sesuai dengan Pasal XIX GATT 1994.
Hubungan ini diuraikan dalam Pasal 1: General Provision, Agreement on Safeguard,
yang berbunyi:
“This Agreement establishes rules for the application of safeguard
measures which shall be understood to mean those measures provided
for in Article XIX GATT 1994.”
Dalam Pasal 2.1 SA42 terdapat pedoman untuk mengidentifikasikan peningkatan
impor, yaitu bahwa barang impor yang masuk dalam wilayah kepabeanan suatu
negara meningkat dalam jumlah secara absolut dan relatif dibandingkan dengan
produksi dalam negeri serta mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian
serius bagi industri yang menghasilkan barang yang serupa atau secara langsung
tersaingi oleh barang impor tersebut.43 Ada perbedaan mengenai pengidentifikasian
40
Ibid., par. 8.56.
41
Panel Report, Argentina—Safeguard Measure on the Imports of Footwear (“Argentina –
Footwear (EC)”), WT/DS121/R (Report of the Panel, dated June 25, 1999), par. 8.69.
42
Pasal 2.1 SA, “1. A member may apply a safeguard measures to a product only if that
Member has determined, pursuant to the provisions set out below, that such product is being imported
into its territory in such increased quantities, absolute or relative to domestic production, and under
such conditions as to cause or threaten to cause serious injury to the domestic industry that produces
like or directly competitive product.”
43
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), Perlindungan Industri dalam Negeri
Melalui Tindakan Safeguard World Trade Organization, Jakarta, Agustus 2005, hlm. 5.
13 peningkatan impor antara Pasal XIX GATT 1994 dan Pasal 2.1 SA dalam Pasal 2.1
SA pengidentifikasian impor lebih diperjelas dengan pencantuman unsur pembedaan
antara peningkatan absolut dan relatif yang tidak disinggung dalam Pasal XIX GATT
1994. Menurut Pasal 2.1 SA peningkatan impor dilihat dalam dua bentuk, yaitu secara
absolut (misalnya, dalam ton atau satuan ukur lainnya) dan perbandingan secara
relatif terhadap produksi dalam negeri atas barang serupa atau barang yang secara
langsung tersaingi. Ketentuan peningkatan secara absolut dan relatif ini tidak
mengikat. Misalnya, pada saat impor meningkat, terjadi juga peningkatan produksi
dalam negeri sehingga secara relatif tidak terlihat peningkatan yang besar, atau
sebaliknya, mungkin terjadi volume tidak menunjukkan peningkatan atau konstan,
tetapi karena terjadi penurunan produksi dalam negeri yang besar mengakibatkan
perbandingan antara impor dan produksi dalam negeri menjadi tinggi. Appellate Body
membuat suatu guidance (pedoman) yang bersifat umum, yaitu bahwa peningkatan
impor yang terjadi dalam rentang waktu yang paling akhir (recent), bersifat mendadak
(sudden), cukup tajam dan cukup signifikan dalam hal kuantitas dan kualitas
impornya yang menyebabkan kerugian serius (serious injury) atau ancaman kerugian
serius (threaten serious injury) bagi industri dalam negeri.
Anggota WTO dapat menerapkan tindakan safeguard perdagangan selama
tindakan tersebut diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian atau
ancaman
kerugian
dan
memberikan
industri
domestik
kesempatan
dalam
memperbaiki industrinya. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal XIX GATT
1994 dan Pasal 2 Agreement on Safeguard, tindakan safeguard perdagangan hanya
dapat diterapkan bila memenuhi tiga persyaratan substantif, yaitu persyaratan
lonjakan/kenaikan impor, persyaratan kerugian serius atau ancaman daripadanya, dan
persyaratan hubungan sebab-akibat (causal link) antara kenaikan impor dengan
kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Selain memenuhi persyaratan
substantif, juga dipenuhinya persyaratan prosedural. Persyaratan prosedural tersebut
terdiri dari penyelidikan, notifikasi, dan konsultasi. Jika persyaratan prosedural ini
tidak dipenuhi, maka penerapan tindakan pengamanan perdagangan tersebut
melanggar ketentuan WTO. 44 Selanjutnya, dalam menerapkan tindakan safeguard
perlu diperhatikan batasan-batasan untuk mengaplikasikan tindakan tersebut. Dengan
demikian, dalam menaikkan tarif, kuota, kuota tarif, atau tindakan safeguard lainnya,
44
Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit., hlm. 75.
14 haruslah dipertimbangkan mengenai paralelisme antara investigasi dengan penerapan
safeguard, jangkauan safeguard dalam Pasal 5.1 SA, selektivitas penerapan
safeguard, pengecualian negara-negara berkembang, peraturan administrasi atas
hambatan kuantitatif dan tarif kuota menurut Pasal XIII GATT, dan jangka waktu dan
peninjauan safeguard.
Dalam sistem WTO bahwa negara-negara berkembang mendapatkan perlakuan
istimewa, “Special and Differential Treatment” khususnya dalam penerapan tindakan
safeguard. Kasus yang akan dianalisa adalah US – Line Pipe (2002), US – Steel
Safeguards (2003), dan Dominican Republic – Polypropylene Bags and Tubular
Fabric (2012), yang akan dianalisa ini mengenai penerapan tindakan safeguard
dengan mengecualikan negara-negara berkembang berdasarkan Pasal 9.1 SA, dalam
Pasal tersebut tercantum bahwa:
tindakan safeguard harus tidak dikenakan terhadap produk yang berasal dari
negara-negara berkembang sepanjang impor produk tersebut di negara
pengimpor tidak melampaui 3%, bila anggota negara berkembang memiliki
impor kurang dari 3% secara kolektif yang memuat tidak lebih dari 9% dari
impor produk keseluruhan.45
Dengan dasar itulah negara berkembang mendapatkan perlakuan istimewa
mengenai penerapan tindakan safeguard-nya, serta hubungan paralelisme antara
penyelidikan safeguard dengan pengecualian aplikasi tindakan safeguard. Pada kasus
US – Line Pipe (2002) ini, berdasarkan bukti statistik, Appellate Body menegakkan
keputusan Panel 46 dan menyimpulkan bahwa negara pengimpor bertindak tidak
konsisten berdasarkan Pasal 9.1 SA dengan gagalnya mengambil seluruh langkah
yang wajar “take all reasonable steps” yang dapat dilakukan, dan mengecualikan
negara berkembang yang ekspornya kurang dari de minimis levels berdasarkan Pasal
45
46
Pasal 9.1 Agreement on Safeguards.
Panel menemukan bahwa tindakan safeguard tersebut tidak berisi pengecualian secara
eksplisit “express exclusion” terhadap negara berkembang yang memenuhi syarat yang telah
dideskripsikan dalam impor de minimis berdasarkan Pasal 9.S SA dan “in the absence of any other
elevant documentation,” tindakan safeguard diterapkan terhadap negara berkembang dengan impor de
minimis. Panel juga menetapkan bahwa Pasal 9.1 SA berisi kewajiban untuk tidak mengaplikasikan
tindakan safeguard, namun tindakan tersebut dalam kasus US-Line Pipe telah diaplikasikan“applies”
terhadap seluruh negara berkembang. Dengan demikian, Amerika Serikat tidak mentaati ketentuan
berdasarkan Pasal 9.1 SA. Panel Report, United States—Definitive Safeguard Measures on Imports of
Circular Welded Carbon Quality Line Pipe From Korea (“United States—Line Pipe”), WT/DS202/R
(Report of the Panel, dated October 29, 2001), par. 7.180-7.181.
15 9.1 SA. 47 Bagaimanapun Appellate Body dalam kasus US-Line Pipe menetapkan
bahwa Pasal 9.1 tidak mengindikasikan bagaimana negara anggota harus memenuhi
kewajibannya dalam menyediakan secara khusus tidak diaplikasikannya (nonapplication) tindakan safeguard dan hal tersebut memungkinkan untuk memenuhi
Pasal 9.1 SA tanpa meyediakan daftar khusus negara anggota yang dikecualikan dari
tindakan safeguard:48
“There is nothing, for example, in the text of Article 9.1 to the effect that
countries to which the measure will not apply must be expressly excluded
from the measure. Although the Panel may have a point in saying that it is
‘reasonable to expect’ an express exclusion, we see nothing in Article 9.1
that requires one.”
Appellate Body juga setuju dengan Amerika Serikat bahwa dimungkinkannya
untuk memenuhi ketentuan Pasal 9.1 tanpa memberika daftar secara khusus negara
anggota baik yang diikut-sertakan atau dikecualikan dari tindakan safeguard.
Walaupun daftar tersebut dapat berguna dan membantu dalam memberikan
transparansi untuk kepentingan seluruh negara anggota yang berkepentingan, namun
Appellate Body melihat pada Pasal 9.1 SA tidak memberikan mandat seperti itu.49
Pada kasus US-Line Pipe ini, tindakan safeguard yang diterapkan dalam bentuk
tarif tambahan (supplemental duty), bahwa dikenakannya tarif terhadap impor yang
melebihi kuota 9.000 ton, hal ini merupakan bentuk dari kadar kuota tarif (tariff rate
quota). Dalam tindakan safeguard inilah yang hanya dapat menggunakan tariff rate
quota. 50 Kemudian dalam kasus ini, tidak adanya bukti yang telah dibawakan
sebelum Panel bahwa, negara anggota pengimpor mengusahakan negara berkembang
yang impornya de minimis ini dikecualikan dari tindakan safeguard. Pada poin ini,
Appellate Body mengamati bahwa negara anggota WTO diwajibkan untuk memenuhi
ketentuan Pasal 9.1 SA. Dokumen yang tersedia telah mengungkapkan bahwa tidak
adanya usaha apapun dari Amerika Serikat, terlepas dari klaim mengenai:
47
Panel Report, United States—Line Pipe, par. 132.
48
World Trade Organization (a). WTO Analytical Index: Guide to WTO Law and Practice,
vol. 1, ed. 2, (New York : Cambridge University Press, 2007), hlm. 238.
49
50
Panel Report, United States—Line Pipe, par. 127-128.
World Trade Organization. World Trade Report 2009 Trade Policy Commitments and
Contingency Measures, (Geneva: WTO Publications, 2009), hlm.114.
16 “automatic structure of the measure itself, to make certain that de minimis
imports from developing countries were excluded from the application of
the measure.”51
Bahwa terdapat struktur otomatis tindakan safeguard sendiri, yang membuat
impor de minimis dari negara berkembang dikecualikan dari tindakan safeguard.52
Kesimpulannya, berdasarkan keputusan Appellate Body pada kasus ini, dalam
menerapkan tindakan safeguard terhadap negara berkembang yaitu53:
a. Daftar secara khusus anggota-anggota WTO yang diterapkan atau
dikecualikan dari safeguard tidak wajib berdasarkan Pasal 9.1 SA;
b. Kalkulasi presentasi harus dilakukan berdasarkan data terakhir yang
tersedia pada saat tindakan safeguard diterapkan berdasarkan pada
Pasal 9.1 SA; dan
c. Negara Anggota yang menerapkan tindakan safeguard harus
mengambil seluruh tindakan yang layak untuk beberapa negara
berkembang perngekspor yang memenuhi Pasal 9.1 SA dikecualikan
dari tindakan safeguard.
Kemudian pada kasus US – Steel Safeguards (2003), keputusan Appellate Body
bahwa menolak untuk diaturnya banding bersyarat (conditional appeals) oleh pihak
penggugat mengenai Pasal 9.1 SA. 54 Pada kasus ini Panel menjalankan judicial
economy, karena menyadari bahwa dibutuhkannya penyelesaian sengketa segera
(prompt settlement) berdasarkan Pasal 3.3 DSU. 55 Berdasarkan prinsip judicial
economy penolakan Panel dapat diduga, dalam kaitannya dengan efisiensi.
Sebagaimana dinyatakan oleh Raj Bhala:
51
Ibid., par. 129 dan 132.
52
World Trade Organization (a). Op.cit., hlm. 947, par. 239.
53
United Nations Conference on Trade and Development, Dispute Settlement World Trade
Organization 3.8 Safeguard Measures, (New York and Geneva: United Nations, 2003), hlm. 51-52.
54
Appellate Body Report, United States—Definitive Safeguard Measures on Imports of
Certain Steel Products (“United States—Steel Products”), WT/DS 248∼DS259/R (Report of the Panel,
dated July 11, 2003), WT/DS 248∼DS259/AB/R (Report of the Appellate Body, dated November 10,
2003), par. 513 (i).
55
Pasal 3.3 DSU, “The prompt settlement of situations in which a Member considers that any
benefits accruing to it directly or indirectly under the covered agreements are being impaired by
measures taken by another Member is essential to the effective functioning of the WTO and the
maintenance of a proper balance between the rights and obligations of Members”.
17 judicial economy didasarkan pada lebih sekedar untuk menjaga sumber
daya yudisial dan menghapus persoalan secara efisiensi. Ini merupakan
sebuah prinsip utuk menahan diri. Bila adjudikator WTO memutuskan
setiap isu yang dikemukakan oleh penggugat, mereka membuat hukum
lebih dari yang seharusnya, tapi hanya “menemukan” hukum bagi
penyelesaian sengketa.56
Penolakan Panel mungkin dalam jangka pendek dapat dipahami, namun hal
tersebut
akan
mempengaruhi
jangka
panjang,
karena
telah
menciptakan
ketidakpastian bagi kasus-kasus di masa yang akan datang terkait dengan tindakan
safeguard. Membiarkan persoalan negara berkembang untuk tidak dipecahkan telah
menghasilkan ambiguitas, terkait dengan apakah perujukan terhadap ketentuan negara
berkembang seperti itu secara hukum benar. 57
Selanjutnya, kesimpulan Keputusan Panel dalam kasus Dominican Republic –
Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012) adalah:58
1. Republik Dominika telah konsisten dengan kewajibannya berdasarkan
Pasal 2.1, 2.2, 3.1, 4.2, 6, dan 9.1 SA dengan tidak gagal atas
penyelenggaraan analisa baru dalam menentukan kenaikan impor,
kerugian, dan hubungan sebab-akibat (causal link) ketika mengecualikan
impor dari Kolumbia, Indonesia, Meksiko, dan Panama.
2. Repubilk Dominika tidak konsisten terhadap kewajibannya berdasarkan
Pasal 9.1 SA dengan gagalnya mengambil seluruh ukuran yang wajar (all
reasonable measures) yang tersedia untuk mengecualikan Thailand dari
aplikasi ketentuan tindakan safeguard.
Pada Appellate Body dalam kasus US-Steel Safeguards yang telah ditetapkan,59
prinsip paralelisme ini menggabungkan bahasa paralel yang digunakan dalam Pasal
2.1 dan 2.2 SA. Impor harus dipertimbangkan untuk tujuan penyelidikan safeguard
dengan produk yang diterapkan safeguard (Pasal 2.2 SA) haruslah sama, dalam kasus
56
Raj Bhala, The Preceden Setters: De facto Stare Decisis in WTO Adjudication: Part Two of
a Trilogy, 9 J. Tech. L. & Pol’y 1,51 (1999).
57
Nandang Sutrisno, Pemajuan Kepentingan Negara-Negara Berkembang dalam Sistem
WTO: Studi Atas Mekanisme Perlakuan Khusus & Berbeda Dengan Referensi Khusus Terhadap
Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), hlm. 189.
58
Panel Report, Dominican Republic—Polypropylene Bags and Tubular Fabric, par. 8.1 (h)
59
Appellate Body Report, United States—Steel Products, par. 441.
dan (i).
18 ini klaim oleh Komplainan bahwa Republik Dominika tidak memberikan analisa yang
baru, pada saat penyelidikan impor dan telah dikecualikannya negara berkembang, hal
inilah merupakan hubungan paralelisme karena pengaruhnya penyelidikan impor
dengan negara yang sudah dikecualikan dari tindakan safeguard. Pada kasus US-Line
Pipe, Appellate Body menegakkan keputusan Panel 60 dan menyimpulkan bahwa
negara pengimpor bertindak tidak konsisten berdasarkan Pasal 9.1 SA dengan
gagalnya mengambil seluruh langkah yang wajar “take all reasonable steps” yang
dapat dilakukan, dan mengecualikan negara berkembang yang ekspornya kurang dari
de minimis levels berdasarkan Pasal 9.1 SA. 61 Pada kasus ini, negara Republik
Dominika tidak mengambil seluruh langkah yang wajar dalam mengecualikan negara
Thailand sebagai negara berkembang yang impornya memenuhi de minimis
berdasarkan Pasal 9.1 SA.
PENUTUP
Kesimpulan
Maka dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan pokok
permasalahan yang telah dirumuskan, maka penulis memberikan kesimpulan, yaitu:
1.
Negara anggota diberi kewenangan dalam mengenakan pembatasan impor
untuk memulihkan kepada keadaan semula atau mencegah kerugian serius
pada industri domestik yang disebabkan oleh kenaikan impor ini disebut
sebagai tindakan safeguard yang tercantum pada Pasal XIX GATT dan
Agreement on Safeguards. Tujuan dari safeguard ialah untuk memberikan
kebebasan bagi industri domestik serta memberikan waktu bagi industri
domestik untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi pasar yang baru.
2.
Dalam Agreement on Safeguards melarang penerapan gray area
measures, namun menyarankan agar tindakan safeguard dapat diterapkan
60
Panel menemukan bahwa tindakan safeguard tersebut tidak berisi pengecualian secara
eksplisit “express exclusion” terhadap negara berkembang yang memenuhi syarat yang telah
dideskripsikan dalam impor de minimis berdasarkan Pasal 9.S SA dan “in the absence of any other
elevant documentation,” tindakan safeguard diterapkan terhadap negara berkembang dengan impor de
minimis. Panel juga menetapkan bahwa Pasal 9.1 SA berisi kewajiban untuk tidak mengaplikasikan
tindakan safeguard, namun tindakan tersebut dalam kasus US-Line Pipe telah diaplikasikan“applies”
terhadap seluruh negara berkembang. Dengan demikian, Amerika Serikat tidak mentaati ketentuan
berdasarkan Pasal 9.1 SA. Panel Report, United States—Line Pipe, par. 7.180-7.181.
61
Panel Report, United States—Line Pipe, par. 132.
19 dengan memenuhi persyaratan sesuai dengan Pasal XIX GATT 1994 dan
SA. Kemudian, dalam menerapkan tindakan safeguard harus memenuhi
persyaratan substantif dan prosedural. Pertama, persyaratan prosedural
yang harus dipenuhi adalah investigasi/penyelidikan, notifikasi, dan
Konsultasi.
Kedua,
dipenuhinya
persyaratan
substantifnya
yakni
terdapatnya kenaikan impor secara absolut maupun relatif dan diakibatkan
oleh unforeseen development, kenaikan tersebut menyebabkan kerugian
serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri domestik, serta
adanya hubungan sebab-akibat (causal link) antara kenaikan impor
dengan kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Tindakan safeguard
harus dikenakan dengan memperhatikan batasan-batasan yang ada
berdasarkan ketentuan GATT dan SA. Bahwa harus memperhatikan
paralelisme antara investigasi dengan penerapan tindakan safeguard
tersebut, jangkauan safeguard menurut Pasal 5.1 SA, selektivitas
penerapan safeguard, pengecualian negara berkembang menurut Pasal 9.1
SA, peraturan administrasi atas hambatan kuantitatif dan tarif kuota
menurut Pasal XIII GATT, dan jangka waktu serta peninjauan safeguard.
Negara anggota WTO harus mengecualikan negara berkembang yang
pangsa impornya kurang dari 3% dari penerapan tindakan safeguard,
kecuali jika total pangsa impor dari semua negara lebih dari 9%. Hal ini
tercantum pada Pasal 9.1 SA. Haruslah dilakukan semua langkah yang
wajar “all reasonable steps” untuk disesuaikan dengan pengecualian
tersebut.
3.
Perkembangan isu safeguard terhadap negara berkembang berdasarkan
Pasal 9.1 SA ini ditandai dengan munculnya kasus-kasus yang berkaitan
dengan hal tersebut Kasus-kasus tersebut antara lain adalah kasus US –
Line Pipe (2002), kasus US – Steel Safeguard, dan kasus Dominican
Republic – Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012). Dalam kasus
US – Line Pipe (2002) ini mengenai tindakan safeguard berbentuk tarif
kuota yang dikenakan terhadap negara anggota WTO yang impornya
melebihi 9,000 ton, dalam kasus ini juga dapat dikenakan terhadap negara
berkembang, jika telah melebihi 9,000 ton ketika 9,000 ton tersebut
bukanlah lagi representasi dari de minimis levels. Dalam kasus US – Steel
20 Safeguard mengenai klaim tindakan safeguard ini pada produk baja
diangkat dalam suatu judicial economy. Pada khususnya, klaim dari
negara Cina mengenai status negara berkembang menurut GSP Amerika
Serikat atau Protokol Aksesi Cina, namun kedua hal tersebut tidak
diangkat atau diatur lagi dalam putusan Appellate Body. Pada kasus
Dominican Republic – Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012)
mengenai tindakan safeguard yang mengecualikan beberapa negara
berkembang, dengan hubungan paralelisme berdasarkan Pasal 9.1 SA,
serta harusnya mengambil seluruh ukuran yang wajar (all reasonable
measures) dengan mengecualikan negara Thailand sebagai negara
berkembang.
WTO pada intinya sudah mengakomodir kepentingan masing-masing negara
anggota dengan mencantumkan pengecualian-pengecualian dan juga ketentuanketentuan
dalam
perjanjian-perjanjin
multilateralnya.
Keberadaan
ketentuan-
ketentuan tersebut sudah merupakan bentuk komitmen WTO dalam mensinergikan
praktik perdagangan internasional.
Saran
Setelah menguraikan kesimpulan dari skripsi ini, maka saran yang dapat
diberikan oleh penulis adalah kepada negara-negara anggota WTO, yaitu:
1.
Sebaiknya pemerintah negara-negara memaksimalkan penerapan tindakan
safeguard, karena tindakan tersebut yang dapat melindungi industri dalam
negeri dari kerugian maupun ancaman kerugian serius yang diakibatkan
oleh adanya gelombang impor tetapi dalam praktik perdagangan yang adil
(fair trade).
Kemudian, dalam penerapan safeguard ini harus
diperhatikan juga batasan-batasan yang ada, khususnya terhadap negara
berkembang.
2.
Harus benar-benar diselidiki dan dipisahkan dari faktor kenaikan impor
dan faktor lainnya (non-attribution) dalam menerapkan tindakan
safeguards agar dapat meminimalkan tuduhan melakukan tindakan
safeguard tersebut secara berlebihan, yang dapat menyebabkan retaliasi.
21 DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Beseler, J.F., & A.N. Williams. Anti-Dumping and Anti-Subsidy: The European
Communities. London: Sweet & Maxwell, 1986.
Bronckers, Marco C. E. J., Selective Safeguard Measures in Multilateral Trade
Relations. New York: Springer, 1985.
Bhala, Raj. Modern GATT Law A Treatise on The General Agreement on Tariffs and
Trade. London : Sweet & Maxwell Limited, 2005.
__________, The Preceden Setters: De facto Stare Decisis in WTO Adjudication:
Part Two of a Trilogy, 9 J. Tech. L. & Pol’y 1,51. 1999.
Graham, Cateora. Pemasaran Internasional [International Marketing].
Diterjemahkan oleh Diana Angelica, Ed. 13. Jakarta : Salemba Empat, 2007.
Hadiwinata, Bob Sugeng. Politik Bisnis Internasional. Yogyakarta : Kanisius, 2002.
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Perlindungan Industri dalam
Negeri Melalui Tindakan Safeguard World Trade Organization. Jakarta:
Agustus 2005.
Lal Das, Bhagirath. The World Trade Organization, A Guide to the Framework for
International Trade. Penang: Zed Books Ltd. and Thirld World Network. 1999.
Long, Oliver. Law and Limitations in the GATT Multilateral Trade System, Martinus
Nijhoff Publisher, 1987.
Macrory, Patrick F.J., Arthur E. Appleton, and Michael G. Plummer. Ed. The World
Trade Organization: Legal, Economic and Political Analysis. Volume 1. New
York: Springer Science + Business Media, Inc., 2005.
Matsushita, Mitsuo, Thomas J. Schoenbaum, dan Petros C. Mavroidis, The World
Trade Organization : Law, Practice, and Policy, Ed.1. Oxford : Oxford
University Press, 2003.
Sutrisno, Nandang. Pemajuan Kepentingan Negara-Negara Berkembang dalam
Sistem WTO: Studi Atas Mekanisme Perlakuan Khusus & Berbeda Dengan
Referensi Khusus Terhadap Indonesia. Cianjur: IMR Press, 2012.
United Nations Conference on Trade and Development. Dispute Settlement World
Trade Organization 3.8 Safeguard Measures. New York and Geneva: United
Nations, 2003.
van den Bossche, Peter, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi. Pengantar
Hukum WTO (World Trade Organization). Ed.1. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2010.
22 World Trade Organization (a). WTO Analytical Index Guide to WTO Law and
Practice. Ed. 2 New York: Cambridge University Press, 2007.
World Trade Organization. World Trade Report 2009 Trade Policy Commitments and
Contingency Measures. Geneva: WTO Publications, 2009.
ARTIKEL DAN JURNAL
Dam, Kenneth W., “The GATT, Law and International Economic Organization”.
Chicago: The University of Chicago Press, 1970.
Hizon, Ernesto M., “The Safeguard Measure/VER Dilemma: The Jekyll and Hyde of
Trade Protection.” Volume 15 Issue 1 Fall. Northwestern Journal of
International Law & Business, 1994.
Jackson, John H., “The World Trading System, Law and Policy of International
Economic Relations”. MIT Press, 1989.
Rae, Dian Ediana. “Pengantar Singkat World Trade Organization”. dalam Transaksi
Perdagangan Internasional. Cet.2. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.
Rizani, Iman, “Kebijakan Safeguard dalam Kerangka Pedagangan Internasional
Ditinjau dari Hukum Internasional”. Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Jakarta, 2003.
PERATURAN
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Tindakan Antidumping,
Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Nomor 34 Tahun
2011. LN No. 66. TLN No. 5225.
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969
WTO. Agreement on Safeguards, 15 April 1994, Marrakesh Agreement Establishing
the World Trade Organization, Annex 1A.
_____, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), 15 April 1994, Marrakesh
Agreement Establishing the World Trade Organization, Annex 1A.
_____, Dispute Settlement Understanding (DSU), 15 April 1994, Marrakesh
Agreement Establishing the World Trade Organization, Annex 2.
DAFAR KASUS-KASUS DI WTO
23 Argentina—Safeguard Measure on the Imports of Footwear (“Argentina – Footwear
(EC)”). WT/DS121/R, 25 Juni 1999. WT/DS121/AB/R, 14 Desember 1999.
Dominican Republic—Safeguard Measures on Imports of Polypropylene Bags and
Tubular Fabric (“Dominican Republic—Polypropylene Bags and Tubular
Fabric”). WT/DS 415∼DS418/R, 31 January 2012.
Korea—Definitive Safeguard Measure on the Imports of Certain Dairy Products
(“Korea—Dairy Products”). WT/DS98/R, 21 Juni 1999. WT/DS98/AB/R, 14
Desember 1999.
United States—Definitive Safeguard Measures on Imports of Certain Steel Products
(“United States—Steel Products”). WT/DS 248∼DS259/R, 11 Juli 2003.
WT/DS 248∼DS259/AB/R, 10 November 2003.
United States—Definitive Safeguard Measures on Imports of Circular Welded Carbon
Quality Line Pipe From Korea (“United States—Line Pipe”). WT/DS202/R, 29
Oktober 2001. WT/202/AB/R, 15 Februari 2002.
HALAMAN INTERNET
World
Trade
Organization
(WTO).
Agreement
on
Safeguards,
http://www.wto.org/english/tratop_e/safeg_e/safeint.htm. Diunduh pada 15 Mei
2013.
________,
“Technical
Information
on
Safeguard
Measures”.
http://www.wto.org/english/tratop_e/safeg_e/safeg_info_e.htm. Diunduh pada 7
Mei 2013.
Download