JURNAL PENELITIAN VOL. 11 PERAN ASRAMA MAHASISWA DALAM MEMBANGUN INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA TERWUJUDNYA KUALITAS MASYARAKAT YOGYAKARTA YANG HARMONIS Oleh: Fadjarini Sulistyowati & Tri Agus Susanto ABSTRACT Yogyakarta is a miniature of Indonesia. The citizens of Yogyakarta consist of various religions, ethnics and languages. The most important for the society of Yogyakarta is to be able to coexist with them regardless of the differences. The city has a huge appeal for migrants from various regions, especially who want to continue their education in Yogyakarta. The existence of various cultures is not always able to represent the good communication and interaction. This study was to determine the role of the student dormitories as regional representatives in establishing cross-cultural communication with the community and to develop its role to interact with Yogyakarta society harmoniously. A method of qualitative descriptive study was conducted with the interactive analysis. A technique of data collection is done on interviews, focus group discussion (FGD) and observation. Research results assert that the role of a student dormitory in establishing cross-cultural communication can occur when both parties respect to each other as human beings. Efforts to develop the role of dormitory in establishing interaction with the community of Yogyakarta can be done by: 1) Require student dormitory to have a space program as an interaction between students and the community; 2) Government establishes communication with the origin government student and the accomplishment of cooperation programs related to its interaction with the local community and give sanction to the troubled student dormitories; 3) Conducting joint activities to introduce art and culture of Yogyakarta to them, and provide cultural artistic activities from various regions to be displayed together in the community. Keywords: student dormitory, cross-cultural community, interaction A. Pendahuluan Citra Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan cukup kondang di berbagai wilayah Indonesia. Kota ini dikenal cukup nyaman dan menjadi impian anak muda untuk meneruskan pendidikannya. Citra ini diperkuat realitas sosial yang ada dengan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan dan maraknya kegiatan mahasiswa (Kurniawan, 2012: 139). Seiring dengan makin banyaknya mahasiswa dari luar daerah, bermunculan pula asrama mahasiswa dari berbagai provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Menurut catatan pemerintah, saat ini ada 30 provinsi se-Indonesia yang memiliki asrama mahasiswa di DIY. Jumlah asrama daerah bahkan lebih dari angka itu, sebab beberapa kabupaten dari provinsi tertentu juga ikut mendirikan asrama sendiri. Di Kota Yogyakarta sendiri ada 73 asrama mahasiswa dari sejumlah daerah, (Republika.com: 2013). Pada awalnya kehadirannya, asrama-asrama daerah di Yogyakarta dimaksudkan sebagai sarana pemerintah daerahnya untuk membantu para mahasiswa daerah masing-masing yang belajar di Yogyakarta. Tujuannya agar mereka, mendapatkan tempat tinggal yang jelas dan pantas selama masa belajar, (Zudianto, 2008: 82). Asrama mahasiswa ini memang sangat membantu mahasiswa. Calon pemimpin dan intelektual itu bisa tinggal tanpa membayar sewa di asrama. Mereka hanya diwajibkan memelihara fasilitas, menjaga ketertiban, lama tinggal dan syarat ringan lainnya. Mahasiswa dikondisikan untuk belajar lebih tekun dan diharapkan lulus tepat waktu, sehingga putra-putri daerah yang berikutnya bisa memanfaatkan fasilitas yang ditinggalkan. Menyusul kejadian tindak kekerasan yang berbau atau dikaitkan etnis beberapa waktu, lalu memunculkan wacana untuk membatasi izin pendirian asrama daerah di Yogyakarta. Pernyataan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X agar pemerintah daerah memperketat penambahan asrama mahasiswa, (Kedaulatan Rakyat. com). Salah satu alasannya, keberadaan asrama tersebut menghambat pembauran mahasiswa penghuninya dengan masyarakat. Mahasiswa yang datang ke Yogyakarta seharusnya tidak sekadar menuntut ilmu, tetapi juga belajar mengenal dan berbaur dengan masyarakat dan budaya lokal. Sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Herry Zudianto, 100 JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 kehadiran asrama daerah semakin lama semakin menimbulkan kesan eksklusif dan dalam konteks tertentu terkesan angker, orang luar tidak berani masuk ke dalam asrama tersebut, (2008:82). Asrama daerah sebenarnya bisa berperan lebih dari sekadar tempat pondokan bagi mahasiswa perantau. Asrama bisa menjadi etalase dalam mengenalkan budaya daerah asal, sekaligus tempat mahasiswa beradaptasi dengan budaya lokal, bahkan lebih jauh bisa menjadi pusat informasi bisnis dan wisata daerah. Kecenderungan terjerumusnya asrama daerah ke dalam eksklusivisme etnik karena berjarak dengan warga sekitar harus dihindari. Eksklusivisme menjadikan para mahasiswa secara tidak sadar memagari diri dengan identitas daerah dan etnik. Di asrama, mereka setiap hari bertemu dengan teman sedaerah, kemudian berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Topik perbincangan tidak lepas dari isu yang berkembang di daerah asal. Bisa dimaklumi apabila ego-daerah atau etnik terus mengental, ementara ketertarikan pada budaya lokal tak juga menebal. Wacana pengetatan pemberian izin dari Pemerintah Kota Yogyakarta untuk pendirian asrama daerah perlu dicermati oleh seluruh penghuni asrama daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se Indonesia, juga warga Kota Yogyakarta. Wacana itu tak akan menjadi realita jika terjalin komunikasi lintas budaya yang baik antara warga kota dan mahasiswa penghuni asrama. Pada hakikatnya Pemerinta kota Yogyakarta sejak jamannya Hery Zudianto telah menggulirkan kebijakan Menyapa Anak Kos dan kebijakan ini menurut Haryadi, saat ini program sambang kos masih berjalan. Instansi pemerintah yang ada di wilayah atau kecamatan diminta menjalin koordinasi dengan perangkat RT dan RW. Sambang kos tersebut, ungkapnya, sudah menjadi program rutin untuk menjalin hubungan persuasif antara penghuni kos, warga sekitar dan tokoh masyarakat, (Kedaulatan Rakayat.Com). Untuk itu, saat ini perlu ditingkatkan peran asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan masyarakat. Asrama-asrama mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah (IKMD) secara rutin mendapat dana bantuan dari KesBangPor (Kesatuan Bangsa Pemuda dan Olahraga Kota Yogyakarta). Namun, program ini tampaknya belum memberikan dampak interaksi yang harmonis antara masyarakat dan asrama mahasiswa. Seharusnya, interaksi antara asrama mahasiswa dan masyarakat dapat terjalin efektif secara formal dan informal sehingga tidak ada kesenjangan antara pendatang dengan masyarakat Yogyakarta. Berkaitan dengan ini penting perlu adanya penelitian tentang peran dan fungsi asrama mahasiswa dalam upaya untuk menjalin interaksi dengan masyarakat kota Yogyakarta. Interaksi yang positif akan mendukung harmonisasi antara masyarakat dengan asrama mahasiswa. Persepsi dan stereotyp negatif dari masyarakat terhadap budaya tertentu tentunya akan semakin berkurang bila asrama mahasiswa membuka diri. Image masyarakat yang baik terhadap asrama mahasiswa juga menjadikan pendatang dari luar daerah akan membuat betah sehingga akhirnya citra kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang nyaman juga akan semakin meningkat. Hal ini tentunya akan berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakat kota Yogyakarta. B. Tujuan dan Manfaat 1. 2. 3. Untuk mengetahui peranan asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah dalam menjalin komunikasi lintas budaya dengan masyarakat Yogyakarta Untuk mengembangkan peranan asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan masyarakat Yogyakarta menuju terwujudnya kualitas kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta yang harmonis. Untuk memberikan rekomendasi terhadap pihak terkait yakni: Kesbang dan Dinas Pariwisata dalam upaya menjalin interaksi antara mahasiswa dengan berbagai daerah dan warga masyarakat Kota Yogyakarta C. Tinjauan Pustaka Asrama adalah bangunan tempat tinggal bagi kelompok orang yang bersifat homogen (Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid II). Asrama adalah suatu penginapan yang ditujukan untuk anggota suatu kelompok yang umumnya pelajar (anak sekolah). Asrama biasanya berupa bangunan yang terdiri kamar-kamar yang dapat ditempati oleh beberapa penghuni untuk setiap kamarnya. Para penghuni asrama menginap dalam jangka waktu 101 JURNAL PENELITIAN VOL. 11 relatif lebih lama daripada di hotel. Alasan untuk memilih asrama karena tempat tinggal si penghuni lebih jauh atau biaya yang terbilang lebih murah, (http://id.wikipedia.org/ wiki/asrama). Asrama mahasiswa dalam penelitian ini adalah asrama mahasiswa daerah, sehingga asrama ini didirikan oleh Pemerintah daerah untuk putera-putera daerah yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta. Walaupun, terkadang pendiriannya bukan diinisiasi pemerintah daerah secara langsung. Pertumbuhan asrama daerah semakin banyak di Kota Yogyakarta. Hal ini dimungkinkan karena jumlah putera daerah yang melanjutkan studi di Kota Yogyakarta semakin banyak dan keberadaan asrama lebih mengefektifkan komunikasi mahasiswa dengan pemerintah daerah yang mendanai perkuliahan mereka. Namun, pendirian asrama mahasiswa daerah juga memunculkan sikap eksklusifisme asrama mahasiswa di hadapan masyarakat sekitar. Kelompok yang se-daerah akan memunculkan arogansi masing-masing daerah padahal untuk menciptakan kehdiupan yang harmonis diperlukan komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya dapat dilakukan bila masing-masing budaya mau memahami dan saling berempati dengan budaya lain. Perbedaan antarbudaya memang mudah memunculkan prasangka dan stereotip yang melekat sehingga menghambat kefektivan komunikasi dan akan berakibat konflik berkepanjangan. Untuk itu, agar terjadi komunikasi lintas budaya yang baik semua pihak dapat memahami budaya dan menghilangkan sikap prasangka dan stereotip yang buruk. Jika suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; dalam budaya hal tersebut dapat dikatakan pluralism budaya (cultural pluralism). Teori Pluralisme budaya pertama kali dikembangkan oleh Horace Kallen yang menggambarkan pluralism sebagai upaya menghargai berbagai tingkat perbedaan dalam rangka menjaga persatuan nasional, (http://pjjgsd.dikti.go.id). Yogyakarta adalah kota yang multikulturalisme seperti yang dikatakan Herry Zudianto, struktur masyarakat Yogyakarta yang sebelumnya secara kultural homogen secara bertahap semakin multikultural, (2008: 5). Untuk menumbuhkan pluralisme dalam masyarakat tentunya dibutuhkan komunikasi yang efektif antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Asrama mahasiswa merupakan suatu kelompok yang dianggap pendatang dalam masyarakat Yogyakarta, untuk dapat terjalin interaksi maka diawali dengan komunikasi yang efektif. Komunikasi dari kelompok masyarakat yang berbeda budaya bukanlah hal yang mudah seperti yang dikatakan oleh Gudykunst dan Kim (dalam Mulyana, 1996: Viii), ketika berkomunikasi dengan orang lain maka dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Sehingga kelompok budaya pendatang tentunya bukan hal yang mudah untuk dapat menjalin komunikasi dengan kelompok budaya yang didatangi. Seperti yang dikatakan oleh Edward T. Hall ( dalam Mulyana, 1996: vi) culture is communication dan communication is culture. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya akan menentukan tujuan hidup yang berbeda. Artinya, cara berkomunikasi akan ditentukan oleh budaya kita; bahasa, aturan dan norma masing-masing Perbedaan dalam berbahasa, norma bahkan perilaku dengan orang lain yang dipengaruhi oleh budaya. Budaya secara pasti mempengaruhi seseorang sejak di ada dalam kandungan hingga mati bahkan setelah mati pun penguburan seseorang ditentukan cara-cara dalam budayanya. Seperti yang disampaikan oleh Porter dan Samovar (dalam Mulyana, 1996: 19), budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya menjadi landasan dalam berkomunikasi. Untuk dapat menjalin komunikasi efektif dengan orang lain , maka seseorang harus dapat mengembangkan beberapa hal sebagai berikut, (DeVito, 1999): 1) keterbukaan; 2) empati; 3) sikap mendukung; 4) sikap kepositivan dan 5) kesamaan. Salah satu hambatan dalam komunikasi antarbudaya adalah sikap etnosentrisme, sikap yang memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya, (Gudykunst dan Kim dalam Mulyana, 1996:5). Sedangkan persyaratan seseorang untuk dapat berkomunikasi lintasbudaya, (Wilbur Schramm dalam Mulyana, 1996: 6): 1. 2. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya. Menghormati budaya lain apa adanya bukan sebagaimana yang kita kehendaki, tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya harus dihormati. 102 JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Penafsiran seseorang tentang budaya bersifat relatif artinya kita tidak boleh menilai budaya berbeda berdasarkan budaya kita yang terbatas. D. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu suatu metode untuk memaparkan serta menjelaskan kegiatan atau objek yang diteliti yang berkaitan dengan pengkajian fenomena secara lebih rinci atau membedakannya dengan fenomena yang lain (Denzin dan Lincoln, 2009 :223). Dalam pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran penelitian adalah kehidupan sosial atau masyarakat sebagai satu kesatuan atau sebuah kesatuan yang menyeluruh. Dalam penelitian ini tidak dikenal adanya sampel namun penelitian dilakukan secara mendalam dan menyeluruh untuk mendapatkan gambaran mengenai prinsipprinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum berkenaan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial dari suatu komunitas yang diteliti sebagai kasus, (Rudito dan Famiola, 2008:79) Teknik pemilihan dilakukan secara purposif, yakni dipilih beberapa asrama dengan pertimbangan asrama tersebut dapat mewakili asrama-asrama dari seluruh wilayah Indonesia dan tergabung dalam Ikatan Pemuda Mahasiswa Daerah Yogyakarta. Pemilihan anggota asrama yang dipilih berdasarkan keragaman subjek penelitian. Di dalam organisasi IKPMDY ada sekitar 73 asrama mahasiswa. Dari sekitar 73 diambil 10 asrama mahasiswa yakni: asrama mahasiswa Kepulauan Riau kabupaten Natuna, asrama mahasiswa Papua (Jl. Kusumanegara), asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, asrama mahasiswa Todilaling (Polewali Mandar), asrama mahasiswa Maluku, asrama mahasiswa Kalimantan Timur, asrama mahasiswa Timur Tengah Selatan NTT,asrama mahasiswa Bundo Kanduang Sumatera Barat dan asrama mahasiswa Ciamis. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan staf Kesbang dan Ketua Ikatan keluarga Pelajar Mahasiswa Yogyakarta dan beberapa warga masyarakat yang tinggal berdekatan dengan asrama di atas. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisa interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Hubermann (dalam Sutopo: 2006), 1) Pengumpulan data; 2) Reduksi data; 3)Penyajian data; 4) Penarikan simpulan dan verifikasi. E. Hasil Penelitian 1. Peranan asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah dalam menjalin komunikasi lintas budaya dengan masyarakat Yogyakarta. Asrama mahasiswa daerah merupakan asrama yang didirikan dalam rangka menghimpun mahasiswa yang berasal dari daerah yang sama di kota ini dalam rangka untuk memudahkan mereka mendapat tempat tinggal. Di asrama mahasiswa daerah, komunikasi yang dilakukan tentunya lebih banyak dengan bahasa daerah setempat sehingga terkadang mahasiswa yang di daerahnya tidak bisa dan tidak menyukai seni dan budaya daerahnya tetapi karena tinggal dengan orang sedaerah maka muncul perasaan memiliki budaya tersebut sehingga mereka terpacu untuk belajar bahasa, seni dan budaya daerahnya. Untuk itu, dibutuhkan komunikasi lintas budaya, komunikasi ini akan terjadi apabila seseorang dari budaya yang berbeda saling berkomunikasi. Menurut Dood (1991), komunikasi lintas budaya bukan hanya antarpribadi tetapi juga kelompok, sehingga ketika mahasiswa dari luar daerah di asrama berinteraksi dengan masyarakat Kota Yogyakarta yang berlatarbelakang budaya Jawa maka terjadilah komunikasi. Kegiatan komunikasi yang dilakukan mahasiswa dari berbagai daerah dengan masyarakat tidak selamanya berlangsung efektif. Ada beberapa mahasiswa dari daerah tertentu merasa mudah untuk berinteraksi dengan masyarakat namun di sisi lain ada mahasiswa yang mengalami hambatan dalam berinteraksi. Sesuai dengan teori De Vito (DeVito, 1999): 1) keterbukaan; 2) empati; 3) sikap mendukung; 4) sikap kepositivan dan 5) kesamaan. Untuk terwujudnya komunikasi efektif maka pertama, penghuni asrama mahasiswa daerah perlu untuk memiliki sikap terbuka terhadap setiap warga sekitar, keterbukaan akan tampak bila asrama mahasiswa juga selalu mengundang warga sekitar untuk mengikuti kegiatan yang ada dalam asrama misalnya pengajian. Kedua, memiliki 103 JURNAL PENELITIAN VOL. 11 sikap empati dapat dimunculkan bila penghuni asrama juga peka dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar. Ketiga, sikap mendukung dan kepositivan yang akan muncul bila penghuni asrama mahasiswa juga selalu berpartisipasi dalam kegiatan warga misalnya dalam perayaan 17 Agustus, pengajian bersama, perayaan keagamaan dan lain-lain. Keempat, kesamaan akan dapat diperlihatkan bila penghuni asrama tidak menonjolkan perbedaan budaya yang ada. Masyarakat Yogyakarta sebagai warga yang didatangi seringkali menganggap bahwa penghuni asramalah yang seharusnya aktif dalam menjalin komunikasi dan interaksi dengan masyarakat sekitar. Hal inilah tentunya akan mempersulit dalam menjalin komunikasi lintas budaya, sesuai dengan teori dari Wilbur Shcramm (dalam Mulyana, 1996: 6), komunikasi lintas budaya akan mudah terwujud bila; 1) Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya;2). Menghormati budaya lain apa adanya bukan sebagaimana yang kita kehendaki, tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya harus dihormati; 3). Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Penafsiran seseorang tentang budaya bersifat relatif artinya kita tidak boleh menilai budaya berbeda berdasarkan budaya kita yang terbatas. Masyarakat haruslah memahami bahwa budaya dari daerah lain memang berbeda dan tidaklah perbedaan ini menjadi suatu hambatan dalam berkomunikasi. Tetapi perbedaan itu harus dimaknai sebagai upaya untuk menghormati budaya yang berbeda tersebut, sama halnya dengan perbedaan agama tidaklah berarti itu menjadi hambatan dalam berkomunikasi tetapi kita dapat menghargai perbedaan agama tersebut Beberapa kelompok mahasiswa masih ada yang mengalami hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi sehingga mereka merasa masyarakat Kota Yogyakarta sebagai masyarakat yang kaku dan feodal. Bahkan beberapa masyarakat dari daerah Timur merasa masyarakat Kota Yogyakarta sebagai masyarakat yang tidak hangat karena mereka mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga seringkali mereka merasa dilecehkan. Hal ini mungkin akan terus terjadi karena seringkali masyarakat dapat mudah menerima pendatang dari daerah tertentu namun kadangkala mereka juga dengan mudah menolak kehadiran pendatang dari daerah lain. Perbedaan ini muncul sesuai dengan konsep Gudykunst dan Kim, seseorang berkomunikasi dengan orang lain maka dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Perbedaan yang terlampau besar dan upaya dari pihak pendatang untuk tidak mengurangi perbedaan dengan lebih bersikap memahami budaya setempat akan mengakibatkan hambatan komunikasi semakin besar. Upaya untuk mengurangi perbedaan dapat dilakukan bila seseorang tidak bersikap etnosentrisme. Kemauan seseorang untuk membuka diri dan mempelajari budaya orang lain akan mengurangi sikap etnosentrisme. Hambatan komunikasi juga seringkali terjadi ketika muncul stereotype dari masyarakat. Sterotype ini mucul karena adanya tindakan dari rekan se-daerah yang buruk pada lingkungan sehingga masyarakat memberikan persepsi yang buruk terhadap semua mahasiswa yang berasal dari daerah mereka. Stereotype dalam komunikasi antarmanusia akan menghambat keefektivan komunikasi bahkan pada gilirannnya akan menghambat integrasi bangsa, (Mulyana: 1996). Masyarakat menjadi curiga akan kehadiran mereka, dan mahasiswa sendiri menjadi takut untuk memulai berkomunikasi. Upaya untuk menghilangkan stereotype akan dapat dilakukan oleh dua pihak yakni dengan menciptakan iklim komunikasi yang positif. 2. Mengembangkan peranan asrama mahasiswa daerah dalam menjalin interaksi dengan masyarakat Yogyakarta menuju terwujudnya kualitas kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta yang harmonis Asrama mahasiswa memiliki peranan yang cukup besar karena pada hakikatnya asrama mahasiswa sering menjadi rujukan baik dari pemerintah atau masyarakat apabila ada kasus-kasus yang berkaitan dengan mahasiswa dari daerah tertentu. Namun, peranan asrama ini sulit dilakukan tanpa dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu. perlu adanya upaya yang dilakukan dalam mendorong asrama mahasiswa agar tidak menjadi ruang yang eksklusif. Beberapa mahasiswa dari daerah yang ditemui dalam penelitian mengakui bahwa sebetulnya mereka juga ingin tahu tentang budaya dan tradisi masyarakat Kota Yogyakarta. Untuk itu pemerintah kota dapat mendorong agar komunikasi lintas budaya ini tercipta dengan baik. Hambatan-hambatan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat yang akhirnya membuat mereka memilih untuk menutup dan menarik diri dari masyarakat 104 JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 perlu dihilangkan. Penghuni asrama diwajibkan untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Untuk itu, pihak pemerintah kota dalam hal harus selalu melakukan sambang asrama. Program yang sudah rutin dijalankan ini ditingkatkan dengan memilih asrama-asrama yang memiliki kesan tertutup dan tidak ada kegiatan berkomunikasi dengan masyarakat. Kesbang perlu juga untuk mempersuasi asrama-asrama yang selama ini dianggap penghuninya bermasalah dengan masyarakat untuk mengadakan kegiatan bersama dengan masyarakat baik yang berupa kegiatan seni budaya atau kegiatan sosial bersama. Asrama adalah suatu kelompok yang homogen ketika kelompok ini cenderung memilih menutup diri di asrama maka kesan eksklusif asrama akan semakin menguat. Sikap menutup diri dan mencoba tidak memahami budaya masyarakat setempat akan semakin membuat hambatan berkomunikasi. Sikap individu untuk tidak belajar memahami budaya setempat sehingga menutup informasi dirinya dari masyarakat setempat akan memperkuat stereotype yang melekat dalam masyarakat. Masyarakat akan tetap curiga dan berprasangka buruk terhadap kelompok yang menutup diri. Yogyakarta sebagai salah satu kota yang memiliki kondisi multikulturalisme sangat penting untuk mewujudkan kota pluralis, yakni kota yang dapat menghargai berbagai budaya. Asrama mahasiswa memiliki peran yang strategis dalam membuka ruang komunikasi dengan masyarakat setempat. Untuk itu salah yang harus dilakukan adalah meningkatkan peran asrama mahasiswa sebagai ruang perwakilan daerah untuk menjalin komunikasi antarbudaya. Dorongan pemerintah kepada asrama mahasiswa daerah akan semakin efektif apabila pemerintah juga mengikutsertakan para tetua yang dihormati oleh penghuni asrama. Seperti yang kita ketahui masyarakat luar Jawa berkecenderungan lebih menghormati para senior mereka, mereka dianggap sebagai bagian dari keluarga. Selain juga perlu untuk berkomunikasi dengan pihak pemerintah daerahnya agar asrama yang dibantu oleh pendanaan Pemda bukan hanya berupa bangunan fisik, tetapi pihak pemerintah daerah setempat juga perlu bertanggung jawab dalam membina karakter penghuni asramanya. Beberapa upaya yang harus dilakukan: 1) Asrama mahasiswa memiliki program kegiatan yang merupakan ruang untuk berkomunikasi dengan masyarakat misalnya, mengadakan pengajian bersama dengan masyarakat, panggung kesenian terbuka dengan mengundang masyarakat untuk hadir; 2) Perlu adanya aturan yang berupa tata tertib untuk semua penghuni asrama, yang salah satunya mengharuskan anggota untuk menghormati budaya dan norma yang ada dalam masyarakat; 3) Asrama mahasiswa memiliki kegiatan bersama dengan asrama lain yang terprogram untuk mengenal lebih jauh tentang budaya masyarakat Yogyakarta. Dengan beberapa upaya yang harus dilakukan asrama mahasiswa maka instansi pemerintah Kota Yogyakarta juga wajib memantau keberadaan asrama di wilayahnya. Kegiatan pemantauan ini dapat dilakukan dengan mengadakan kunjungan rutin ke beberapa asrama atau mengundang asrama-asrama dalam waktu tertentu. Pemerintah Kota Yogyakarta perlu mengeluarkan kebijakan yang berupa aturan atau tata tertib yang wajib ditaati asrama-asrama. Apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh penghuni asrama maka pemerintah kota wajib untuk memberikan sanksi bahkan bila perlu memberikan tembusan ke daerahnya. F. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Peranan asrama mahasiswa dalam menjalin komunikasi lintas budaya akan muncul apabila kedua pihak dapat saling menghormati anggota budaya lain sebagai manusia, komunikasi akan berhasil, jika komunikasi yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi bukanlah dilihat dari perbedaan budayanya. Penghuni asrama perlu untuk menghormati budaya lain apa adanya demikian pula dengan masyarakat sehingga kita tidak menilai mereka sebagaiman yang kita kehendaki. Pada prinsipnya tidak ada budaya yang tidak baik, semuanya harus dihormati. Kedua pihak perlu untuk menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Asrama mahasiswa harus memiliki kepengurusan yang jelas dan aturan yang wajib ditaati penghuni. Dengan adanya aturan dan pengorganisasi yang jelas maka pihak masyarakat dapat dengan mudah menegur penghuni asrama. Pada prinsipnya putera daerah ini adalah saudara kita sebagai satu bangsa sehingga pembentukan 105 JURNAL PENELITIAN VOL. 11 karakter mahasiswa dengan adanya komunikasi dan dialog bersama akan lebih memungkinkan terjadi komunikasi lintas budaya. Upaya-upaya dalam mengembangkan peranan asrama mahasiswa dalam menjalin interaksi dengan masyarakat Yogyakarta akan dapat dilakukan dengan: 1. 2. 3. 4. Mewajibkan asrama mahasiswa untuk memiliki program yang merupakan ruang interaksi antar mahasiswa dengan masyarakat Menjalin komunikasi dengan pihak pemerintah daerah asrama mahasiswa tersebut agar diwujudkan program kegiatan yang berkaitan dengan interaksi dengan masyarakat setempat. Pihak pemerintah perlu tegas dalam memberikan sanksi bila ada asrama mahasiswa dianggap tidak memiliki organisasi dan mengganggu kenyamanan masyarakat. Mengadakan kegiatan bersama yang juga dilakukan dalam rangka lebih memperkenalkan seni dan budaya Yogyakarta kepada mereka, serta mewadahi kegiatan seni budaya dari berbagai daerah untuk ditampilkan bersama ke masyarakat. Rekomendasi 1. 2. 3. 4. Bagi asrama mahasiswa : a. Setiap asrama mahasiswa wajib memiliki program kegiatan yang mengharuskan penghuninya untuk menjalin kegiatan bersama warga masyarakat sekitar dan ini menjadi perjanjian yang mengikat antara pemerintah daerah yang memberikan dana pembangunan asrama dengan warga masyarakat b. Setiap asrama mahasiswa wajib memiliki organisasi dan aturan yang jelas serta wajib memberikan sanksi kepada penghuni asrama yang dianggap melanggar. c. Asrama mahasiswa juga perlu menggandeng mahasiswa asal daerah yang sama untuk melakukan kegiatan dalam program bersama walaupun mereka tidak menjadi penghuni asrama. Bagi pihak pemerintah daerah a. Setiap pemerintah daerah yang membangun asrama mahasiswa di Kota Yogyakarta wajib untuk mengutus salah satu pihak perwakilan pemkab/pemda yang bertugas untuk menjadi wali bagi para mahasiswa di asrama tersebut. Wali mahasiswa ini bisa jadi tidak harus tinggal di asrama namun ia akan selalu berkomunikasi dengan masyarakat sekitar asrama mahasiswa dan pemerintah Kota Yogyakarta mengenai kondisi para mahasiswa di asrama. b. Wali mahasiswa juga bertindak sebagai induk semang para mahasiswa sehingga kontrol terhadap asrama mahasiswa bisa lebih dikoordinasikan. Bagi Kesatuan Bangsa a. Perlu adanya “sapaan dari pemerintah Yogyakarta” melalui kegiatan bersama dengan menggandeng asrama-asrama di Yogyakarta b. Kesbang bukan hanya memberikan wawasan kebangsaan namun mengadakan kegiatan yang mencoba mengenalkan lebih jauh tentang kebudayaan dan keistimewaan Yogyakarta c. Perlu adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran aturan di asrama sehingga tiap asrama juga mewajibkan penghuninya mematuhi tata tertib Bagi Dinas Pariwisata: a. Perlu untuk selalu menggandeng asrama-asrama mahasiswa dalam setiap event budaya b. Mewajibkan setiap asrama untuk mengenalkan budaya daerah mereka ke masyarakat kota Yogyakarta Daftar Pustaka A., Joseph, DeVito. 1999. Komunikasi Antarmanusia Kuliah dasar.Jakarta: Proffesional Books Denzin, K, Norman. & Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Penerjemah: Dariyatno, Badrus Samsul dkk. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Kurniawati, Asti. 2012. Membangun (?) Narasi Menghadirkan Pesona Akar dan Perjalanan Citra “Kota Pendidikan. Penerbit Ombak: Yogyakarta 106 JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin (Editor). 1996. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Rosda Karya: Bandung. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT Remadja Rosdakarya: Bandung. Rudito, Bambang dan Famiola. 2009. Social Mapping. Metode Pemetaan Sosial. Bandung: Rekayasa Sains. Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. UNS Press: Solo. Zudianto, Herry. 2008. Kekuasaan sebagai Wakaf Politik: Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur. Yogyakarta. http://pjjgsd.dikti.go.id. Sutarno. Modul Multikultur Republika.com. Asrama Mahasiswa Yogyakarta Didata Ulang. 26 Maret 2013 Kedaulatan Rakyat.com. Walikota Galakkan Sambang Kos.1 April 2013 107 Kanisius: