pengaruh implementasi kebijakan k-3 terhadap efektivitas ketertiban

advertisement
PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN K-3 TERHADAP
EFEKTIVITAS KETERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA PASAR
BARU KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN BANDUNG
Oleh : DODIAWAN
ABSTRAK
Penelitian ini beranjak dari suatu permasalahan yaitu belum efektifnya
Program ketertiban Pedagang kaki lima Pasar Baru Kecamatan Majalaya
Kabupaten Bandung, yang ditandai dengan semakin bertambah banyaknya para
Pedagang kaki lima yang menjajakan barang dagangannya disepanjang jalan
utama dan diatas jalan trotoar, sehingga menimbulkan kemacetan dan
mengganggu keamanan, ketertiban dan keindahan kota (K-3), karena kurangnya
penyuluhan atau pembinaan oleh Aparat Satpol PP terhadap Pedagang kaki lima
dan kurang tegasnya sanksi-sanksi terhadap Pedagang kaki lima oleh Aparat
Satpol PP.
Teori yang digunakan dalam penelitian adalah faktor-faktor dalam
implementasi kebijakan publik menurut George Edward III sebagaimana dikutip
Santoso (1987 : 4) dalam bukunya Implementing public policy, Komunikasi,
sumber-sumber, disposisi, struktur birokrasi. Sedangkan teori Efektivitas yang
dikemukakan oleh Goggin, et all dalam Soemaryadi (2005 : 111-113), Prosedural,
tujuan/ hasil, monitoring. Hipotesis yang diajukan adalah Seberapa besar
pengaruh implementasi kebijkan K-3 terhadap efektivitas ketertiban Pedagang
kaki lima di pasar baru Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksplamasi
(Explanatory Research). Populasi dalam penelitian ini adalah dari para aparat
Satpol PP dan Pedagang kaki lima, berdasarkan Rumus Yamane (Rahmat) dengan
teknik pengambilan sampel adalah Simple Random Sampling. Adapun rancangan
uji hipotesis untuk menguji besarnya pengaruh antara variabel bebas dan variabel
terikat menggunakan metode analisis koefisien korelasi Rank Spearman.
Hipotesis yang diajukan teruji secara empirik.
Berdasarkan hasil penelitian melalui pengujian hipotesis dapat
disimpulkan bahwa pengaruh implementasi kebijakan K-3 tentang ketertiban
pedagang kaki limadi pasar Baru Majalaya Kabupaten Bandung belum berjalan
dengan baik, berdasarkan pengujian yang ditentukan oleh Komunikasi, Sumbersumber, Disposisi, dan Struktur Birokrasi terhadap efektivitas ketertiban pedagang
kaki limadi pasar Baru Majalaya Kabupaten Bandung.
Kata Kunci : Implementasi kebijakan terhadap efektivitas PKL
1. Latar Belakang Masalah
1
Pedagang kaki lima (PKL) adalah salah satu pekerjaan yang banyak
digeluti penduduk Kabupaten Bandung mereka tersebar diberbagai wilayah
khususnya pasar baru majalaya, baik yang dipasar-pasar tradisional maupun di
pinggir-pinggir jalan. Dari tahun ke tahun jumlah mereka terus bertambah, seiring
dengan itu persoalan merekapun semakin rumit, dari mulai persoalan intern, yaitu
persaingan usaha diantara mereka, sampai persoalan eksternal, yaitu penggusuran
lokasi yang kerap kali mereka hadapi. Pedagang kaki lima adalah korban dari
langkanya pekerjaan produktif yang layak bagi kebanyakan masyarakat, terutama
masyarakat kelas bawah. Dengan kata lain, mereka adalah dampak negatif dari
pembangunan yang belum merata.
Unit Pelaksana Teknis Dinas mencatat bahwa pada tahun 2008 sampai
2010 menunjukan bahwa ketertiban PKL oleh Aparat Satpol PP masih belum
efektif, Sehingga para Pedagang kaki lima terus berkembang karena tidak ada
penanganan yang serius dari pemerintah terhadap Pedagang kaki lima Pasar Baru
Majalaya Kabupaten Bandung.
Hal tersebut merupakan masalah dalam rangka mengoptimalkan
penertiban Pedagang kaki lima di Kabupaten Bandung setiap tahunnya. Fenomena
yang ditemukan di lapangan yang menunjukan tidak efektifnya ketertiban
pedagang kaki lima yaitu kurang tegasnya sanksi dari pemerintah sehingga
jumlah pedagang kaki lima terus melebihi batas aturan dan penentuan tempat
tidak sesuai dengan peruntukannya karena kurangnya loyalitas dari para Pedagang
kaki lima kepada aturan, kurang tegasnya Satpol PP menimbulkan Pedagang kaki
lima terus bertambah seharusnya Satpol PP harus memberantas para pedagang
kaki lima dan memberikan penyuluhan terlebih dahulu, namun kenyataanya para
pedagang kaki lima masih menjajakan dagangannya, seringkali peran Satpol PP
dianggap lalai menjalankan tugasnya.
Dalam peraturan daerah Kabupaten Bandung No 31 Tahun 2000 tentang
Kebersihan, keindahan, ketertiban dan kesehatan lingkungan, pemerintah daerah
mempunyai larangan untuk ketertiban, tercantum pada pasal 31 setiap orang dan
badan hukum dilarang :
a. Mempergunakan jalan selain peraturan bagi lalu lintas umum.
b. Mendirikan bangunan tanpa terlebih dahulu mendapat ijin.
c. Berusaha dan berdagang di trotoar, taman, jalur hijau persimpangan jalan
dan tempat lain yang bukan peruntu untuk itu.
d. Memelihara, menempatkan keramba-keramba ikan di saluran sungai.
e. Mempergunakan fasilitas sosial dan fasilitas umum untuk kegiatan yang
tidak dipergunakan untuk itu.
f. Menggelandang /mengemis ditempat dan di muka umum.
g. Merusak jalan akibat dari suatu kegiatan proyek.
h. Memengkas pohon pelindung mempunyai yang telah mempunyai ijin
terlebih dahulu.
1. Karakteristik Umum Pedagang Kaki Lima.
Mokoginta, (1999: 123) mengemukakan bahwa sebutan kaki lima adalah
Sebagai berikut :
2
Warisan sejarah penjajahan Inggris, yaitu tepi kiri-kanan jalan selebar 5
feets (kaki) yang diperuntukan bagi pejalan kaki dan sekarang lebih
dikenal istilah trotoar. Dengan demikian, pedagang jajanan kaki lima
adalah kegiatan usaha berskala kecil, tidak berbadan hukum yang
memproduksi makanan (jajanan), dengan menggunakan areal tepi jalan
sebagai lokasi usaha.
Mokoginta (1999: 124) membagi karakteristik usaha pedagang kaki lima
menjadi dua pola yaitu pola menetap dan pola berpindah tempat. Bentuk umum
dari pola usaha menetap lazimnya adalah dengan cara membangun warung di
lokasi tertentu yang ramai di kunjungi orang, misalnya disekitar perokantoran,
terminal angkutan umum, atau persimpangan jalan. Sedangkan bentuk umum pola
usaha berpindah tempat aadalah alat usahanya, biasanya terdiri dari gerobak
dorong atau pikulan, yang dapat dibawa keluar masuk ke lokasi pemukiman
penduduk.
Karakteristik pedagang kaki lima secara lebih rinci dikemukakan oleh
An-naf (1986: 3) sebagai berikut :
a. Berdagang di kaki lima umumnya sebagai mata pencaharian pokok.
b. Para pedagang kaki lima umumnya tergolong angkatan kerja
produktif.
c. Tingkat pendidikan mereka umumnya rendah.
d. Sebagian besar pedagang kaki lima pendatang dari daerah dan belum
memiliki kependudukan yang sah di kota.
e. Pemodalan mereka umumnya lemah dan omset penjualannya relatif
rendah.
f. Kemampuan wiraswasta mereka umumnya lemah dan kurang mampu
memupu modal.
g. Umumnya mereka memperdagangkan bahan pangan, sandang, dan
kebutuhan sekunder.
h. Pada hakekatnya mereka telah terkena pajak dengan adanya retribusi
maupun pungutan-pungutan tidak resmi.
2. Teori
Penjelasan tentang faktor-faktor dalam implementasi kebijakan publik
menurut George Edward III sebagaimana dikutip Santoso (1987 : 4) dalam
bukunya Implementing public policy adalah sebagai berikut :
1. Komunikasi
Komunikasi memegang peranan penting dalam implementasi kebijakan. Ada
tiga hal penting menyangkut komunikasi yakni trasmisi, konsistensi dan
kejelasan (clarity). Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah harus
diteruskan kepada pelaksana sehingga mereka mengetahui apa yang akan
mereka kerjakan, petunjuk pelaksanaan harus dapat dipahami oleh para
pelaksana, perintah untuk mengerjakan atau melaksanakan kebijakan harus
diterapkan kepada aparat dan pemerintah harus konsisten.
2. Sumber-sumber
Sumber-sumber merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan.
Sumber-sumber yang penting meliputi: staf yang memadai serta keahian yang
3
menunjang untuk pelaksanaan tugas-tugas, wewenang dan fasilitas-fasilitas
yang diperlukan.
3. Disposisi
Disposisi atau sikap pelaksana yang diartikan sebagai kecenderungan sikap
yang menunjukan keinginan dan kesepakatan dikalangan pejabat/administator
maaupun pelaksana untuk menerapkan kebijakan bukan hanya mengetahui
tugas dan memiliki kemampuan saja.
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi hendaknya yang tidak terfokus pada dua karakteristik
birokrasi umum yaitu penggunaan sikap dan prosedur yang rutin serta
fragmentasi dalam pertanggungjawaban diantara berbagai unit organisasi.
Kegunaan dari struktur birokrasi/ organisasi adalah untuk mengetahui satuan
organisasi yang ada, perincian aktivitas masing-masing satuan organisasi dan
pegawainya.
Dalam mengukur dimensi atau kriteria efektivitas, banyak peneliti
menggunakan model yang berfariasi. Ukuran efektivitas yang Universal,
terdapat beberapa perspektif dari hasil ramuan sejumlah kriteria yang dapat
dijadikan ukuran efektivitas, yaitu yang dikemukakan oleh Goggin, et all
dalam Soemaryadi (2005 : 111-113) yakni sebagai berikut :
1. Prosedur (Compliance), adalah semua aktifitas implementasi yang dijalankan
oleh implementor (Pelaksana) sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
dinyatakan secara tegas dan autoritatif dalam petunjuk pelaksana dan
petunjuk teknis.
2. Tujuan /hasil (Result) yaitu menyangkut tujuan dan persoalan dasar
(Substansial) yang hendak dipacahkan melalui kebijakan (Problem solving
oriented)
3. Perlu adanya tindakan-tindakan pemantauan (Monitoring) dan Evaluasi
sebagai upaya untuk memantau secara berkala agar efektivitas berjalan tidak
menyimpang dari tujuan yang telah digariskan, karena dapat melakukan
perbaikan-perbaikan sesegera mungkin. Upaya ini dapat dilakukan secara
langsung yaitu melalui laporan-laporan atau catatan tertulis.
Efektif tidaknya implementasi kebijakan menurut Mazmanian dan Sabatier
(1983:41) bergantung pada enam syarat yang harus ada sebagain parameternya
dan merupakan “proses pembelajaran” sebagai berikut :
1. The enabling legislation or their legal directive mandates policy
objectives which are clear and consistent or at last provides
substantive criteria for resolving goal conflicts (Tujuan yang jelas dan
sehingga dapat menjadi dapat menjadi standar evaluasi legal dan
sumber daya);
2. The enabling legislation incorporates a sound theory identifying the
principal factors and causal linkages affecting policy objectives and
gives implementing officials sufficient jurisdiction over target groups
and other points of leverage to attain, at least pottentially, the desired
goals (Teori kasual yang memadai dan memastikan agar kebijakan
4
3.
4.
5.
6.
mengandung teori yang akurat tentang bagaimana cara melahirkan
perubahan);
The enabling legislation structures the implementation process sa as to
maximize the probability that implementin officials and target groups
will perform as desired (Struktur implementasi yang disusun secara
legal untuk membantu pihak-pihak yang mengimplementasikan
kebijakan dan kelompok yang menjadi sasaran);
The leaders of the implementating agency process substantial
managerial and political skill and committed to statory goals (Para
pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang
menggunakan kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan
kebijakan);
The program is actively supported by organized constituenty groups
and by few key legislators or a cheap executive throughout the
implementation process, with the courts being neutral or supportive
(Dukungan dari kelompok kepentingan dan “penguasa” di legislatif
dan eksekutif);
The relative priority of statutory objectives is not ubdermined overtime
by the emergence of conflicting public policies or by changes in
relevant socio-economic conditions which weaken the statute’s casual
theory or political support (Perubahan dalam kondisi sosio-ekonomi
yang tidak melemahkan dukungan kelompok dan penguasa atau tidak
meruntuhkan teori kasual yang mendasari kebijakan).
Hersey dkk. (1996: 149-151) mengemukakan, efektivitas tidak hanya
berkaitan erat dengan penggunaan sumber daya, dana, sarana, dan prasarana saja,
tetapi juga dengan pencapaian tujuan dalam batas waktu yang telah ditentukan
(jangka pendek atau jangka panjang), dengan tetap memperhatikan variabelvariabel antara (kondisi Sumber Daya Manusia) dan variabel-variabel keluaran
(produktivitas). Jadi pengertian efektivitas disamping dapat di pandang sebagai
keberhasilan dalam pencapaiian tujuan, juga merupakan tolak ukur keberhasilan
dari suatu organisasi.
Tabel 1
Model Hubungan Antara Implementasi Kebijakan Tntang K-3 dengan
Efektivitas Penertiban Pedagang Kakilima
Implementasi Kebijakan K-3
Efektivitas Penertiban PKL
1. Komunikasi
1. Prosedural
2. Sumber-sumber
2. Tujuan/ Hasil
3. Disposisi
3. Monitoring dan Evaluasi
4. Struktur Birokrasi
3. Hipotesis Penelitian
(George Edward III, 1987: 4)
( Goggin, et all (2005 :111113)
5
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut diatas peneliti mengajukan hipotesis
sebagai berikut : Besarnya pengaruh implementasi kebijakan (K-3) ketertiban
PKL di Pasar Baru Majalaya Kabupaten Bandung, ditentukan oleh dimensidimensi Komunikasi, sumber-sumber, disposisi, struktur Birokrasi
4. Metode Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui Implementasi
Kebijakan penertiban terhadap PKL yang berjualan di pasar Baru Majalaya
Kabupaten Bandung. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah
1. Mendeskripsikan implementasi kebijakan Penertiban Pedagang Kaki lima di
pasar Baru Majalaya.
2. Mendeskripsikan hasil yang dicapai dari implementasi kebijakan Penertiban
Pedagang Kaki lima di pasar Baru Majalaya.
Penelitian eksplanasi (explanantory research), menggunakan data yang
sama, menjelaskan hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesis.
Rancangan penelitian eksplanasi (penjelasan) yaitu bagaimana variabel-variabel
yang diteliti itu akan menjelaskan obyek yang diteliti melalui data yamg
terkumpul dan pengamatan hanya dilakukan satu kali saja (Sugiono 1999:83).
Seluruh data yang diperoleh akan diproses dan diolah dengan suatu analisa
kuantitatif.
3.
Operasionalisasi Variabel
Untuk mengukur variabel penelitian, maka masing-masing variabel yang
digunakan dioprasionalisasikan sebagaimana tabel berikut ini :
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel Penelitian
6
K-3
Variabel
(X)
Implementasi
Kebijakan K-3
Dimensi
Indikator
Transmisi
1. Pegawai memahami tugasnya dengan
baik.
1. Komunikasi
( George Edward,
1987: 4)
Konsistensi
1. Pegawai loyal dalam tugasnya
Kejelasan
1. Pegawai mendapatkan kejelasan
informasi yang memadai
Staff
1. Kesempatan mengembangkan diri
2. Sumber Daya
Informasi
1. Pelaksanaan berdasarkan juklak dan
juknis.
njkn
Kewenangan
1. Jelasnya kewenangan yang dimiliki
pegawai
Fasilitas-fasilitas
1. Peralatan yang memadai
3. Disposisi atau
Sikap Pelaksana
Efek Disposisi
1. Optimis dalam bekerja.
Staffing Birokrasi
1. Loyalitas antar pegawai
Struktur Organisasi/ (Standar
Operating Prosedurs)
4. Struktur Birokrasi
1. Pembagian dalam tugas
2. Melaksanakan prosedur kerja
Fragmentasi Organisasi
1. Koordinasi antar unit.
Tabel 3.2
7
Operasionalisasi Variebel Efektivitas
Penertiban Pedagang Kakilima
Variabel
(Y)
Dimensi
1. Prosedural
Efektivitas
Ketertiban PKL
Goggin et, all
(111-113)
2
Tujuan/ Hasil
Indikator
1. Pelaksanaan kebijakan sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan
2. Pemahaman
Pedagang
kaki
lima
mengenai kebijakan K-3
3. Kepatuhan dalam bekerja
1. Kesesuaian antara hasil yang dicapai
dengan rencana yang telah di tentukan
2. Hasil sesuai dengan juklak dan juknis
3. Waktu pkerjaan sesuai kebutuhan
2 Monitoring dan Evaluasi
1. Tegasnya sanksi-sanksi
2. Jelasnya tanggung jawab
5. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
a. Populasi
Populasi sasaran adalah seluruh unsur Aparatur pelaksana kebijakan yakni
aparatur Satpol PP Kabupaten Bandung dan PKL Pasar Baru Majalaya Kabupaten
Bandung, secara rinci, unsur populasi adalah sebagai berikut :
Aparatur Satpol PP Kabupaten Bandung dalam hubungan dengan objek
penelitian ini, maka yang menjadi populasi sasaran adalah seluruh pegawai Satpol
PP Kabupaten Bandung yaitu sebagai berikut :
a.
b.
Data yang diperoleh oleh dari Kantor Satpol PP Kabupaten Bandung
berjumlah 61 orang sebagaimana tercantum pada tabel berikut :
= 1 orang
n1 Kepala Satpol PP
= 1 orang
n 2 Bendahara
n3 Kepala TU dan anggotanya
= 7 orang
= 11 orang
n 4 Sub bagian Umum dan Keuangan dan anggotanya
n5 Bidang Penyidikan dan Pendidikan dan anggotanya
= 11 orang
n 6 Bidang Pengendalian dan Trantibum dan anggotanya
= 14 orang
n 7 Linmas dan anggotanya
= 13 orang
Jumlah populasi (N)
= 58 orang
Pedagang Kakilima Kabupaten Bandung
8
Berdasarkan Data dari UPTD Pasar bahwa PKL di pasar Baru Majalaya
berjumlah 991 dengan rincian sbagai berikut :
= 385 Pedagang
n1 PKL yang menjajakan berupa Sandang
= 398 Pedagang
n 2 PKL yang menjajakan berupa Pangan
= 208 Pedagang
n3 PKL yang menjajakan berupa Jajanan
Jumlah Populasi (N)
= 991 Pedagang
c. Penarikan Sampel dari Pedagang kakilima
N
n
Nd 2 1
991
n
991(0.1) 2 1
991
991(0,01) 1
991
90,8 91 orang
10,91
Jadi jumlah sampel untuk penelitian ini dibulatkan menjadi 91 orang
responden dengan pertimbangan sebagai berikut:
n1
385
91 35.6 36 orang
991
n2
389
91 35.7 36 orang
991
n3
208
91 19 orang
991
Dengan demikian jumlah Sampel adalah :
Aparat Satpol PP
:
Pedagang kakilima
:
Jumlah sampel sebanyak
:
58 Orang
91 Orang +
149 Orang
6. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran terhadap kedua variabel penelitian dan
pengujian hipotesis penelitian, diketahui bahwa terdapat pengaruh positif dan
signifikan antara implementasi kebijakan terhadap efektivitas ketertiban pedagang
kaki limadi pasar Baru Majalaya Kabupaten Bandung. Pengukuran terhadap
variabel-variabel penelitian menunjukan besarnya variabel implementasi
kebijakan terhadap efektivitas ketertiban pedagang kaki limadi pasar Baru
9
Majalaya Kabupaten Bandung di tentukan oleh dimensi-dimensi komunikasi,
sumber-sumber, disposisi dan strukturbirokrasi mempunyai pengaruh kuat atau
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah/ Aparat Satpol PP sudah terlaksana
dengan baik.
Selain itu hasil penelitian menunjukan adanya pengaruh variabel lain
selain variabel (X) pengaruh Implementasi Kebijakan yang mempengaruhi
terhadap efektivitas ketertiban pedagang kaki limadi pasar Baru Majalaya
Kabupaten Bandung yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Dengan demikian hipotesis penelitian yang di ajukan yaitu besarnya
pengaruh Implementasi kebijakan K3 terhadap efektivitas ketertiban pedagang
kaki lima pasar baru majalaya kabupaten bandung ditentukan oleh dimensidimensi komunikasi, sumber-sumber, disposisi dan strukturbirokrasi teruji secara
empirik dalam pengujuan hasil penelitian ini apabila tindak lanjut dan
memberikan arahan serta pembinaan kepada pedagang kaki lima maka efektivitas
ketertiban pedagang kaki lima di pasar baru majalaya Kabupaten Bandung akan
lebih baik dalam penertiban pedagang kaki lima.
7. Saran
Dengan melihat hasil penelitian ini, Dalam melaksanakan Kebijakan oleh
Satpol PP terhadap ketertiban pedagang kaki lima pasar baru majalaya
Kabupaten Bandung, hendaknya menerapkan syarat-syarat kebijakan semaksimal
mungkin mengingat syarat-syarat kebijakan tersebut dapat dijadikan pedoman
agar sistem kebijakan yang dilakukan oleh Satpol PP mencapai sasaran.
1. Untuk meningkatkan pengaruh implementasi kebijakan yaitu dengan
melaksnakan prosedur kerja secara jelas dan rinci, hubungan antar Unit kerja
yang spesifik, kerjasama dan meningkatkan wewenang dan aparat pelaksana
ketertiban.
2. Peranan Aparat Satpol PP harus ditingkatkan lagi terutama dalam
memberikan penyuluhan, pengarahan atau pembinaan terhadap ketertiban
pedagang kaki lima bertujuan untuk mengoptimalkan penertiban pedagang
kaki lima.
3. Aparat Satpol PP memberikan kesempatan kepada Pedagang kaki lima untuk
memberikan ide-ide atau gagasan-gagasan sehingga dapat mempermudah
dan memperlancar dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan program
ketertiban pedagang kaki lima.
2. Aparat Satpol PP harus meningkatkan upaya sosialisasi terhadap para
Pedagang kaki lima sehingga diharapkan Aparat Satpol PP Pasar Baru
Majalaya mampu dan pedagang lebih memehami hak dan kewajiban masingmasing, dalam rangka program ketertiban Pedagng kaki lima pasar baru
majalaya Kabupaten Bandung.
10
Download