120 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta

advertisement
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No.2 , Agustus 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta:
Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Oleh:
Reza Putradarma1
Abstraksi
Dewasa ini melihat perkembangan industri musik tanah air di Indonesia dari jalur profesional (major
label) dengan genre yang itu-itu saja terasa semakin membosankan bagi banyak pemirsa. Dalam
merespon situasi itu, para musisi yang muncul dari bawah melalui latar-belakang jalur non-profesional
(indie label) mencoba hadir untuk memberikan jalur musik alternatif kepada para pendengarnya. Di
Yogyakarta terdapat dua kelompok musik yang berusaha mengakulturasi suatu genre yang terbilang
unik, yaitu Hiphop-Jawa, dimana jenis musik ini mampu mereka bungkus sedemikian rupa sehingga
menyadarkan kita akan nilai-nilai kearifan lokal yang ternyata mampu mengadaptasi budaya global.
Dalam studi ini, ada dua kelompok musik yang diteliti yaitu grup D.P.M.B dan grup NDX, dimana keduanya
membawakan hiphop dari sudut pandangan kelokalan. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk
menganalisis fenomena Hiphop Jawa melalui perspektif teoritis subkultur. Hasil studi ini menyimpulkan
bahwa kedua kelompok grup musik Hiphop Jawa telah mengembangkan suatu strategi hegemonitanding (counter hegemony) dalam upaya kebertahanan hidup mereka melalui skema
glokalisasi/hibridasi.
Kata kunci: subkultur, hiphop Jawa, Indie label, hegemoni tanding (counter hegemony)
Abstract
Nowadays, the development of music industry in Indonesia, as can be seen from the proffesional works
(major label) on producing almost similarity-genre is considered boring to some audience (listeners). In
response to such situation, the musicians who arise from below of the non-proffesional background
(indie label) are trying to provide an alternative music path to their listeners. In Yogyakarta, two musical
groups are attempting to acculturate a unique genre so called Javanese Hiphop. They manage to entertain
the audience by exposing the values of local wisdom and adapting the style to fit into the global culture.
The musicians involved this study are D.P.M.B and NDX groups, by which both of them bring the hiphop
from a point of view of the local wisdom. The study is thus aimed at analyzing the phenomenon of the
Javanese Hiphop from a theoretical perspective of subculture. The study summarizes that both of the
groups of Javanese Hiphop have diployed a strategy of “counter hegemony” in their struggle of existence
through the glocalization/ hybridation schemes.
Keywords: subculture, Javanese Hiphop, Indie Label, counter-hegemony
A. Pendahuluan:
macam genre musik yang muncul di Indonesia,
keberagaman ini juga yang membuat pasar musik di
Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi
Indonesia menjadi lebih berwarna. Selain itu, pasar
begitu pesat berkembang, hal ini berbanding lurus
seyogyanya mampu mengakomodasi kepentingan
dengan masifnya perkembangan musik di Indonesia
khalayak musik Indonesia secara menyeluruh,
khususnya, dapat kita lihat dari banyaknya berbagai
1 Reza
Putradarma menyelesaikan studi sarjana di Departemen Sosiologi, Fisipol UGM pada bulan September 2017.
Artikel ini disusun sebagai sebagian dari studi skripsi yang telah berhasil diuji dan dipertahankannya di
Departemen Sosiologi UGM.
120
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
namun pada kenyataannya pasar musik di Indonesia
kelokalannya, dengan irama dangdut syahdu, juga
kurang bisa menyentuh seluruh segmen genre
hampir 75% liriknya yang memakai bahasa jawa, ini
sampai bagian yang terkecil sekalipun. Isu tersebut
akan menjadi akulturasi yang harmonis. Atau ada
kemudian menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut
juga sebuah kelompok Hiphop Oldschool yang
lagi apakah fungsi dari pasar dalam mengakomodasi
menamai
kepentingan khalayak telah berjalan dengan baik
Membawa
ataupun malah sebaliknya, mengingat warna budaya
mengembalikan semangat hiphop terdahulu era-
dan musik Indonesia yang sangat kompleks dan
80/90’
beragam.
tentunya.
Dalam teori subkultur dijelaskan adanya sebuah
Terlebih, peneliti melihat temuan pergerakan musik
pandangan hegemonik yang menganggap suatu
indie yang masif di Yogyakarta, dan yang paling unik
budaya lebih superior daripada budaya yang
salah satunya adalah kemunculan sebuah genre
lainnya, dalam kasus ini musik indie hadir sebagai
musik baru yang dengan lantang diperjuangkan oleh
bagian
yang
sekelompok masyarakat dari kaum grassroot.
menciptakan “perlawanan” terhadap hegemoni
Mengelaborasikan musik dangdut dengan hiphop,
pasar yang mendominasi. Perlawanan ini dapat
melanggengkan
berupa suatu kecenderungan ke arah perpaduan
identitas subkultur, tentunya akan menjadi analisa
secara eksplisit dan terang-terangan terhadap
yang menarik, sebab musik ini belum banyak
berbagai macam aliran dan genre musik secara
diketahui oleh masyarakat secara menyeluruh,
langsung dan sadar (Hebdige, dalam Strinati, 1987).
apalagi dalam konteks budaya Yogyakarta yang
Perpaduan ini berkisar antara perpaduan ulang
beragam. Akhirnya pertanyaan penelitian yang
secara langsung dari lagu-lagu yang sudah direkam
dapat ditarik adalah: Bagaimana hiphop indie label
dari era yang sama atau berbeda pada rekaman yang
muncul
sama, sampai mengambil dan “mencicipi” musik,
mainstream? Apakah hiphop indie label merupakan
bunyi, dan instrumen yang berbeda dengan tujuan
strategi menciptakan pasar baru?
kecil
dari
eksklusifitas
seni
diri
mereka
D.P.M.B
Bencana)
dengan
yang
nuasa
dengan
kelokalan
kelokalan
sebagai
(Dua
alternatif
atau
dari
Petaka
bangga
Yogyakarta
menciptakan
pasar musik
menciptakan identitas subkultural dan pankultural
baru (Strinati, 1995).
B. Metodologi dan Kerangka Teoritis
Iklim tersebut lantas menciptakan kemungkinan-
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif,
kemungkinan baru, termasuk menciptakan suatu
dengan menggunakan pendekatan studi kasus yang
genre baru dalam dunia musik. Di Yogyakarta
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menafsirkan
sendiri misalnya, muncul sebuah genre Hiphop-
suatu spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu
Dangdut yang diperkenalkan oleh sebuah grup
yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun
bernama NDX A.K.A FAMILIA, mereka dengan
suatu potret kehidupan, yang dalam hal ini
lantang membawakan musik dangdut dalam sudut
dipergunakan
pandang hiphop yang berkembang luas di dunia
untuk
mengamati
“kehidupan”
hiphop indie label di Yogyakarta dalam upaya
barat. Tetapi uniknya NDX tetap memasukan unsur
121
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
counter hegemony-nya. Seperti kita ketahui indie
Waktu
label telah menjelma sebuah komunitas kritis, yang
berlangsung
memiliki
setiap
Informan utama dalam penelitian ini adalah dua
kelompok/kolektifnya, oleh karena itu pendekatan
grup atau duo grup hiphop asal Yogyakarta yaitu:
ini dipakai sebagai pisau bedah analisis.
NDX A.K.A FAMILIA dengan Yonanda Frisna Damara
ciri
identik
pada
yang
diambil
dalam
penelitian
sepanjang
tahun
2017.
ini
Adapun
sebagai frontman, dan D.P.M.B dengan “Donnero”
Lebih lanjut (Creswell, 2013) mengemukakan
Alexander Sinaga sebagai frontman. Oleh karena itu
beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu:
wawancara mendalam akan dilakukan kepada
(1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi;
Yonanda dan Donnero. Selain itu personil, crew, dan
(2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang
management yang lainnya juga akan diwawancarai
terikat” oleh waktu dan tempat;
perihal kehidupan kolektivitas band mereka, dan
(3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber
juga yang akan diamati adalah narasumber yang
informasi dalam pengumpulan datanya untuk
berasal dari official store, records label, dan kolega-
memberikan
kolega yang berhubungan langsung dengan NDX
gambaran
secara
terinci
dan
mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan;
maupun D.P.M.B.
(4) Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti
Pergerakan musik indie
akan
dalam
taringnya di tanah air pada sekitar tahun 90-an,
menggambarkan konteks atau setting untuk suatu
ditandai dengan munculnya berbagai macam jenis
kasus.
genre musik yang diakomodasi oleh label-label
Lokasi yang diambil dalam penelitian ini adalah
mandiri, tidak terikat kepada pasar yang massive,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan struktur
juga dengan produksi musik yang sederhana namun
budaya yang kuat dan mengakar, karena peneliti
mengena, dalam perkembangannya skena musik
juga memiliki pengalaman dalam menyaksikan
indie
langsung event indie music di sekitar wilayah
kemunculan beberapa band seperti: The Upstairs,
Yogyakarta, juga melakukan pengamatan mengenai
Goodnight Electric, Mocca, Maliq and D’Essentials,
perkembangan
awalnya
Sore, Pure Saturday, bahkan Endank Soekamti dan
dilakukan dalam lingkup micro gigs hingga sampai
Shaggydog yang akrab dengan Doggyhouse Record-
saat ini telah mampu menembus acara sekelas
nya (Tantagode, 2008).
festival. Alhasil penelitian ini akan mengeksplorasi
Dalam perkembangannya, dewasa ini banyak
dan mengamati kehidupan bermusik informan
musisi-musisi yang menciptakan sendiri musiknya
mulai
lewat
“menghabiskan
dari
musik
latihan,
waktu”
Hiphop
yang
rekaman,
pertujukan
tanah
air
mulai
mungkin
rumah-rumah
tidak
produksi
mempertajam
asing
kecil
oleh
yang
langsungnya ataupun dengan mendatangi official
mengandalkan kolektivitas sederhana ataupun
store merchendise, dan kelompok-kelompok terkait
sebuah organisme atas rasa saling percaya.
informan.
Kemudian musik ini juga dipasarkan dengan cara
yang tidak biasa, hanya dari mulut ke mulut (lisan),
maupun serangkaian silaturahmi antar penggiatnya
122
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
(buddy to buddy). Akhirnya musik ini mampu
Resiko
muncul ke permukaan akibat dari rasa perlunya
mendominasi itu ternyata memunculkan hegemoni
memberi alternatif lain atas apa yang masyarakat
atas kedudukan musik yang diperdengarkan.
dengarkan, sebab musik-musik yang dengan mudah
Memaknai analisis hegemoni yang dijelaskan oleh
didapatkan
Gramsci sebagai sebuah dominasi yang akan terus
dipasaran
akan
terasa
makin
membosankan dari waktu ke waktu.
hadirnya
musik
yang
makin
berlanjut pada masyarakat kapitalis, Stuart Hall
(dalam Hebdige, 1979) menerangkan bahwasanya
Walaupun pada perkembangannya musik indie
lewat sub-genre hiphop di
dari
terminologi hegemoni merujuk kepada situasi
Yogyakarta juga
alienasi sebagian kelompok atau grup yang
mendapat tantangan yang sulit dalam kontestasinya
mendominasi otoritas sosial dari kelompok sub-
terhadap industri yang lebih mapan (major), karena
ordinasi, bukan hanya dengan kekerasan atau
major label menguasai hampir seluruh aspek atas
mempengaruhi ideologi secara langsung, tetapi
pasar. Sementara itu musisi dari jalur mandiri terus
dengan
berusaha mencari cara agar tetap dapat bertahan
cara
memenangkan
dan
membentuk
persetujuan sehingga kekuatan kelas yang dominan
hidup dari gempuran industri yang makin terasa
muncul dengan cara yang sah dan alami.
tidak adil. Untuk itu dalam konsep sosiologis hal ini
bisa dijelaskan oleh rangkaian teori hegemoni dan
Dua kekuatan ini akan saling tarik menarik dalam
subkultur yang dibawa oleh Gayatri Spivak dan Dick
“pasar”nya masing-masing, oleh karena itu arah
Hebdige.
tulisan ini akan memaknai penjelasan Dick Hebdige
mengenai subkultur yang ada didalam relasi sosialkebudayaan.
Lebih
lanjut
dijelaskan
bahwa
“…ketegangan antara kelompok dominan dengan
bawahan dapat ditemukan pantulannya pada
tampilan subkultur – dalam gaya yang disusun dari
objek-objek sepele yang bermakna ganda” (Hebdige,
1979). Untuk itu musik indie lahir sebagai counter
hegemony simbolis atas tampilan atau gaya hidup
yang
dilakukan
sebagian
golongan
yang
mendominasi. Artinya mereka yang berada pada sisi
indie akan menampilkan gimmick yang unik dan
bahkan
ironis
hanya
untuk
membuktikan
bahwasanya budaya dan cara berpakaian yang
seperti itu juga merupakan sisi yang humanis dan
juga bagian dari kebudayaan masyarakat.
Gambar 01. Skema Alur Kerangka Teoritis (Sumber:
penelusuran kerangka teoritis oleh Reza
Putradarma, 2017)
Kemudian merujuk kepada semiotika Barthes
(dalam Hebdige, 1979), bahwasanya para pelaku
musisi yang merepresentasikan subkultur itu
123
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
mencoba mencari perbedaan atas simbol yang
hegemoni dalam perkembangannya menciptakan
mereka kenakan, yang tidak bisa mereka temukan
suatu
pada budaya populer. Pada dasarnya Barthes
hegemony’, sebagaimana kutipan berikut ini;
hendak
mempelajari
(humanity)
memaknai
bagaimana
hal-hal
kemanusiaan
(things)
kritik
yang
dikenal
sebagai
‘counter
“Of these new levels, the homological has become
yang
famous as an account of how particular items reflect
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai
the structured concerns and typical feelings of a
kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari
group, as, say, the black leather jacket does for bikers.
pengalaman kultural dan personal). Teori ini akan
Each homology arises from an ‘integral’ process of
menjembatani konsep yang ada di dalam budaya
selection and cultural work on an object or item, in a
musik hiphop-dangdut dan hiphop-oldschool yang
complex dialectical way, naturally. As a result, current
muncul di Yogyakarta sebagai sebuah proses
members of a group are not subjectively aware of
hegemoni tanding atau counter hegemony terhadap
these structural meanings, embedded in the history of
hegemoni industri musik dominan. Subkultur dalam
the black leather jacket in previous cycles of provision,
kajian ini menunjuk pada sebuah simbol atas
transformation and resistance” (David Harris, 1992:
pemaknaan ganda bahwasanya musik dangdut itu
69)
mampu “disejajarkan” dengan musik-musik lainnya
Memaknai pandangan David Harris (1992) bahwa
di dunia, terutama budaya lokalnya yang mampu
pada tingkatan yang lebih lanjut, counter hegemony
diakulturasikan dengan musik hiphop Barat yang
dibentuk oleh sebuah homologi (kesamaan asal-
juga sarat dengan pergerakan para kelompok
usul) yang mencerminkan sebuah pandangan
gangster, walaupun sekarang telah menjadi industri
terstruktur dan keterwakilan yang diakomodasi
yang dominan. Akibat dari hadirnya hegemoni
dalam sebuah kelompok kolektif, cerminannya
budaya ini juga yang akhirnya membuat musisi-
dapat dikatakan seperti identitas jaket kulit pada
musisi indie sebagai sebuah kelompok subkultur
“bikers”,
menciptakan daya defensifnya tersendiri, dalam
tentang
bagaimana
simbol
tersebut
terbentuk menjadi sebuah identitas subkultur.
bentuk hegemoni tanding (counter hegemony) yang
aplikasinya tercermin pada aktivisme-aktivisme
Di dalam konteks ini gaya berpakaian ataupun
musisi dalam menjalankan sebuah kehidupan
gimmick yang ditampilkan oleh para pelaku
bermusik. Sebab itu dimungkinkan karena konsep
subkultur bersifat kompleks, namun alami. Artinya
counter hegemony adalah jawaban dari lahirnya
mereka sebagai kelompok yang terdominasi secara
hegemoni.
kultur akan menunjukan bagaimana gaya yang
“ironis” seperti yang kelompok mereka tampilkan
Istilah counter hegemony atau hegemoni tanding
sebagai
sendiri muncul dan dibawa oleh para intelektual
sebuah
bentuk
perlawanan,
padahal
sebenarnya ini adalah sebuah kebudayaan yang
neo-gramscian yang ingin melengkapi pandangan
nampak, dan hadir secara sederhana, berdampingan
tentang bagaimana hegemoni itu hadir dan
dengan budaya dominan.
bagaimana perlawanan pada sebuah hegemoni
akhirnya “pecah”, oleh karena itu, hadirnya
124
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
Berangkat dari hal ini, musisi indie kemudian juga
ditemukan di major label, karena secara ideologi
menciptakan
mereka akan mempertahankan musik dengan genre
sebuah
“perlawanan”.
Melihat
pandangan Hebdige (dalam Harris 1992) adapun
populer yang tentu atas asas keuntungan.
perlawanan ini dibentuk oleh sebuah konsep
Selanjutnya dalam hal fashion, isolasi, dan kondisi
homologi yang memiliki peran utama, ini juga dapat
homogenitas (keseragaman), musisi indie ini
menjelaskan bagaimana “sacred object” menjadi
mencoba
begitu penting, dimana “benda sakral” ini tertanam
menampilkan
bentuk
khusus,
yang
berbeda dari kelompok dominan. McRobbie (1991)
pada tiap indentitas kelompok, memberikan makna
menjelaskan hal ini sebagai istilah kaum “hippy”,
kode sistem nilai, dalam hubungannya dengan
mereka menciptakan gaya pribadi yang lebih unik,
subkultur.
bahkan aneh, dan hal ini di ekspresikan dalam gaya
Dalam konteks musisi hiphop indie label, baik grup
berpakaian tanpa memperhitungkan status sosial
D.P.M.B dan NDX melalukan strategi hegemoni
ataupun pekerjaannya, misalnya apakah dia adalah
tanding sebagai bentuk perlawanan mereka, dengan
seorang pegawai kantoran atau seorang pelajar,
musik hiphop-jawa tentunya, hingga akhirnya
tetapi justru dengan hadirnya gaya unik tersebut
konsep
mampu
ini
membawa
mereka
pada
praktik
menembus
batas-batas
“moralitas”.
aktivisme pemberdayaan dan suatu bentuk counter
Pandangan ini juga menyempurnakan pandangan
hegemony secara simbolik. Sebagai contoh dalam
Hebdige yang meneliti tentang gaya dan subkultur
tiap lawatan tour-nya kedua kelompok ini kerap
anak “punk” yang menurutnya sangat berbeda
menampilkan kebudayaan Jogja yang begitu bangga
dengan anak jalanan pada umumnya. Karena anak
mereka representasikan, atau sekedar melihat
punk ini memiliki ideologi konsisten dalam
kesederhanaan
memandang sebuah sistem dan juga sebagai agensi
mereka
dalam
keseharian
kehidupan bermasyarakat.
perlawanan itu sendiri.
Karena disadari atau tidak, dengan kehadiran
Dari semua penjelasan tersebut akhirnya counter
mereka
menjadi
hegemony ini muncul dalam berbagai bentuk
penyemarak “aktivisme” produktivitas yang masif
aktivisme yang diciptakan oleh para musisi indie
bagi para pelaku industri mandiri lainnya di Jogja.
label untuk membentuk sebuah adaptasi budaya
Sebagai contoh di sepanjang tahun 2000-an ini
yang
belasan label dengan jalur indie muncul ke
bagaimana para musisi indie ini hidup dalam
permukaan dalam setiap tahunnya, tak terkecuali di
kerangka komunitas-kolektif. Sehingga hal ini
Yogyakarta. Yogyakarta pun memiliki banyak
dimaknai oleh para musisi non-profesional sebagai
records label mandiri yang didirikan secara kolektif
bentuk celah, peluang, dan pembuktian bahwasanya
(Doggyhouse Record, Yesnowave, Hellhouse dan
mereka memiliki kemungkinan untuk menciptakan
lain sebagainya). Berbagai macam genre pun
sebuah bentuk perlawanan yang lain, misalnya
nyatanya mampu mereka wadahi (Punk, Jazz, Metal,
lewat skema glokalisasi dan hibridasi, dalam
Folk, ataupun Hiphop), kemajemukan ini juga
kerangka subkultur tentunya, karena di dalam
ke
permukaan
juga
turut
memberikan warna lain yang mungkin tidak bisa
pemaknaanya
dapat
tercermin
pada
subkultur ini menjelaskan bagaimana indie label
125
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
hidup, memperkuat solidaritas in-group mereka
Glokalisasi pertama kali diperkenalkan oleh seorang
lewat komunitas-kolektif, dan apa saja aktivisme
sosiolog bernama Roland Robertson (1992) yang
dalam skema defensif-oposisifnya. Alhasil bentuk-
berarti pertemuan antara budaya lokal dan global,
bentuk baru ini menjadi sebuah jawaban atas
dimana
lahirnya akulturasi budaya yang di aplikasikan oleh
sehingga dalam pengertian yang lebih luas bentuk
dua kelompok hiphop lokal Yogyakarta, mereka
ini menjelaskan makna “berfikir global, bertindak
mengakuisisi kelompok mereka dengan nama
lokal”. Untuk itu pengertian ini dipakai dalam
D.P.M.B (Dua Petaka Membawa Bencana) dan NDX
menjelaskan fenomena lahirnya hiphop-Jawa yang
A.K.A FAMILIA. Keduanya sama-sama lahir di
kerap membuat para pendengarnya penasaran
Yogyakarta, D.P.M.B lahir dari rahim komunitas
dengan siasat apa yang mereka bawa.
hobby yang kuat, sementara NDX lahir dengan
kepercayaan
diri
yang
tinggi,
kontestasi
ini
direfleksikan
kembali
Musik hiphop-Dangdut adalah salah satu alternatif
dalam
lain dalam memandang kebudayaan universal lewat
memperdengarkan sebuah adaptasi genre yang baru
kacamata kelokalan, sebab musik ini baru di
dan sarat makna, yaitu hiphop-dangdut. Namun
adaptasi, bahkan menjadi salah satu yang pertama di
keduanya dari mereka sama-sama membawakan
dunia. Salah satu aktornya adalah grup NDX A.K.A
hiphop pada sudut pandang kelokalan yang hasilnya
Familia, sebuah kelompok kolektif pertemanan yang
terbilang unik.
berdiri di Kabupaten Bantul, musik yang mereka
Baik D.P.M.B dan NDX pun nyatanya memiliki
mainkan nampak sangat lazim di kuping orang
aktivisme yang bermacam-macam pula dalam
indonesia dengan lirik yang sederhana tentang
memaknai counter hegemony ini, mulai dari
keresahan dan kekalutan kaum muda akan cinta.
penyelenggaraan event kreatif, studi diskursif,
Namun jika ditelaah lebih jauh sebenarnya kita akan
pemberdayaan
propaganda
temukan potongan lirik padat sarat makna ala
ideologi lewat media massa. Kehadiran mereka juga
hiphop dengan rap terselip di dalamnya, sebab itu
dapat dimaknai sebagai suatu strategi dalam
mereka mengakuisisi kelompok mereka beraliran
melakukan konsep glokalisasi-hibridasi terhadap
hiphop-dangdut. Atau mencoba melihat musik
budaya global yang mampu diserap dengan baik
hiphop-jawa yang dibawakan D.P.M.B dengan skema
dengan tetap mempertahankan unsur kelokalan.
yang lebih menggigit, terang-terangan dan dengan
Glokalisasi-hibridasi
nuansa oldschool-nya yang hangat, maka kita akan
masyarakat,
secara
dan
umum
dipahami
sebagai;
dibuat heran apakah yang mereka cari dalam
menciptakan sebuah aktivisme bermusik.
“it is these cultural barriers that separate “us”; it
defines us; ultimately, it finished us: “culture, rather
Akibatnya adaptasi genre baru yang menjadi
than being added on, so to speak, to finished or
alternatif tersebut membawa kita pada aktivisme
virtually finished animal, was ingredient, and
seni yang lainnya, hingga kemudian konsep ini lebih
centrally ingredient, in the production of that animal
dikenal sebagai “hibridasi” yaitu sebagai aktor sosial
itself” Geertz (on Robertson, 2007).
yang mensintesis fenomena budaya lokal dan
lainnya untuk menghasilkan praktik budaya yang
126
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
berbeda dalam bentuk hybrid, baik bersifat institusi
C. Indie Label di Yogyakarta: Hellhouse dan NDX
Home Records Label
ataupun makna (Friedman, dalam Robertson, 1992).
Karena musik hiphop lokal yang kemudian hidup
Indie label di Indonesia sendiri pada umumnya
dari jalan mandiri ini menciptakan sebuah bentuk
berkembang sejak era 70-an, pada masa itu
glokalisasi, maka hal ini menurut Friedman (1992)
sebagai
sebuah
kemampuan
budaya
kemudian lebih dikenal dengan musik underground.
lokal
Istilah underground itu sendiri sebenarnya telah
mengadaptasi budaya kuat lainnya (global). Padahal
digunakan ‘Majalah Aktuil’ asal Bandung yang
hal ini ditampilkan oleh D.P.M.B dan NDX dalam
banyak membahas tentang musik dan gaya hidup,
bentuk yang laten, tidak terlihat, namun memiliki
dengan mengidentifikasi band-band yang beraliran
keterwakilannya sendiri sebagai sebuah grup musik
hiphop
“kabupaten”
yang
lahir,
besar,
“liar” dan “ekstrem” (Tantagode, 2008). Sebagai
dan
pendahulu mungkin band-band seperti God Bless,
berkembang di ranah ke-Yogyakartaan.
Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), SAS (Surabaya),
Mereka sangat bangga menampilkan bagaimana
Giant Step, Super Kid (Bandung), hingga Rawa
kearifaan lokal itu terjaga, dengan lirik berbahasa
Rontek (Banten) mungkin tidak asing lagi di telinga
jawa, dengan penggambaran-penggaraman makna
penikmat skena musik undergorund pada tahun-
ruang pada tiap video musiknya, bahkan dalam
tahun
pemakaian atribut-atribut. Akhirnya dari ke tiga
tersebut.
perkembangan
kerangka analisis teoritis ini kemudian dipakai
Di
musik
Yogyakarta
ini
sangat
sendiri
menggila,
dibuktikan oleh awal-awal kemunculan komunitas
untuk menganalisis berbagai bentuk aktivisme yang
undergorund Yogyakarta, salah satunya adalah Jogja
coba dijalankan oleh kedua grup hiphop NDX dan
Corpsegrinder, dalam komunitas ini juga diproduksi
D.P.M.B lewat komunitas dan tentunya skema
fanzine
pemberdayaan sebagai bentuk pertahanan “hidup”
Megaton,
mereka. Sebab musik adalah jalan dari berbagai
underground
dan
yang
seperti
paling
Human
Waste,
menonjol
adalah
kehadiran gig “Jogja Brebeg” yang hingga saat ini
macam pemberdayaan, dibuktikan seiring dengan
telah terlaksana sepuluh kali.2
berdirinya official store, brand merchandise, ataupun
Yogyakarta juga menjadi salah satu wadah dalam
diskursif seminar kreatif yang mengajak masyarakat
aktivisme musik Hip-Hop yang telah ada setidaknya
untuk tetap memperjuangkan kemauannya.
hingga saat ini, nama-nama seperti Los Pakualamos,
NOK37, Xaqhala, Jogja Hiphop Foundation, sampai
yang teranyar D.P.M.B tidak asing lagi di telinga
skena Hip-Hop Yogyakarta, walaupun personilnya
masih berisi orang-orang lama yang telah berkiprah
di dalam macam-macam genre yang ada di
Yogyakarta. Mengambil contoh seperti Mamok
Wawancara dengan Donnero personel D.P.M.B pada
tanggal 22-3-2017
2
127
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
(M2MX) yang pernah terlibat dalam sebuah
kemudian berpindah di warung angkringan sekitar
kelompok hiphop “Jahanam” yang disajikan dengan
Jalan Wijilan Yogyakarta, berangkat dari situ
nuansa lokal, lalu sembari melahap Jogja Hiphop
kemudian mereka mulai memiliki keinginan untuk
Foundation, dan aktif pula di D.P.M.B. Sebab
mendirikan sebuah records label yang mandiri,
aktivisme yang dilakukan di Yogyakarta menjadi
tetapi belum memliki tempat yang layak. Namun
sangat cair, terutama antar pelaku seni hiphop,
pada saat itu mereka-mereka yang terlibat dalam
mereka berangkat dari satu kolektivitas, satu tujuan,
skena tersebut telah menginisiasikan banyak event
dan yang terpenting sama-sama ingin mengangkat
hiphop
budaya lokal mereka dalam sudut pandang hiphop.
mendatangkan Iwa K ke Yogyakarta. Adalah
sampai
pada
puncaknya
berhasil
“Donnero” Alexander Sinaga yang dibantu oleh
Tidak terkecuali sebuah records label hiphop yang
Pampam dan Negro yang kemudian mampu
dibentuk oleh sekelompok anak muda Yogyakarta
mendirikan sebuah records label mandiri yang
yang kendalinya menjadi sangat humanis, dengan
mereka sebut HellHouse.3
asas pertemanan tetapi pun mereka mampu
bertindak secara profesional, sebab balik lagi ke
Hellhouse pula banyak menginisiasi berbagai
persoalan tersebut bahwasanya mereka berdiri
macam aktifisme seni dalam jaringan network
pada visi yang sama. Apa yang mereka lihat akan
online dan offline, mulai dari membuat berbagai
menjadi bermacam-macam, namun mereka sepakat
macam challenge musik, diskursif seni, maupun
untuk berada pada tujuan dan cita-cita yang ajeg,
studi-studi produktivitas lainnya. Bahkan yang
mungkin
dan
paling dekat, mereka akan mencoba membuat event
mempertahankan
“Beat to school” yang tujuannya adalah menggugah
produktivitas itu sampai saat ini, atau memang
produktivitas seni anak muda bukan cuma dalam
mereka seperti memiliki sebuah semangat yang
musik Hiphop, tetapi mereka akan diajarkan perihal
terus membara untuk dapat menghangatkan skena
cara membuat musik yang proper, dengan segala
hiphop di Yogyakarta, karena hiphop saat ini pun
macam
sangat berkembang luas di Indonesia, apalagi kalau
bagaimanakah semangat itu dibentuk dalam segala
kita mau menengok ke Jakarta, beberapa musisi
macam aktifitas yang mereka sukai. Hal ini di-
dengan sadar membelok ke ranah hiphop tanpa
inisiasi untuk mengarahkan kreatifitas anak muda
memperdulikan apa yang mereka kuasai.
Jogja kearah yang lebih positif, karena menurut
memang
keberuntungan
Pertama
ada
sebuah
untuk
sebuah
dapat
kebetulan
kolektivitas
edukasi
mixing,
mastering,
dan
Donnero budaya klitih dan tawuran itu sangat tidak
bernama
keren.
HellHouse Indo (Yogyakarta), yang mencuat ke
permukaan pada tahun 2007. Cerita bermula dari
sebuah obrolan di rumah Mas Negro yang juga
menjadi tongkrongan para fans hiphop saat itu,
Wawancara dengan Yonanda Frisna Damara personel
NDX tanggal 27/03/2017
3
128
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
itu mereka juga sangat suka mendengarkan musik
dangdut, dan tanpa pikir penjang mereka mencoba
mengaplikasikannya kedalam sebuah akulturasi
genre hiphop-dangdut, dengan melodi yang syahdu
tetapi liriknya menjadi khas karena memakai bahasa
jawa dan diiringi dengan potongan-potongan padat
lirik ala Rap.
Setidaknya dalam perkembangan bermusiknya NDX
telah mampu memproduksi 30-an lebih karya
orisinil yang mereka buat sendiri di bawah NDX
Gambar 02. “Beat to School” Hellhouse x Desle Shoes
(Sumber: data primer penelitian, Reza Putradarma,
2017)
Home Record Label. Sebab mereka merasa memang
musik mereka sulit untuk masuk kedalam pasar
yang lebih dominan, mereka dengan bangga
Kemudian yang kedua ada seorang anak muda
menyebut diri mereka hip-hop kabupaten, tanpa
bernama Yonanda, yang memulai karier dengan
pernah tersadar bahwasanya mereka akan terus
mengupload karya-karya musiknya pada sebuah
berkembang dan terkenal secara nasional. Dari
website streaming online http://reverbnation.com ,
record label yang mereka dirikan pula mereka
Yonanda
mencari
pernah merasakan dibayar dengan nasi kotak,
peruntungan dalam dunia hip hop, awalnya ia hanya
sampai sekarang mereka mengaku fee hasil
iseng-iseng mengkomposisi lagu sendiri mulai dari
manggung mereka sebanyak maksimal 35 juta
yang paling sederhana menggunakan editor audio
rupiah. Kesuksesan ini pun tidak mereka sangka-
gratisan,
kalangan
sangka akan sebegitu di apresiasi oleh begitu banyak
masyarakat banyak yang menyukai karyanya,
masyarakat yang mendengarkan, tidak hanya dari
sehingga langsung mendapat respon positif.
kalangan root, tetapi yang menengang keatas pun
Frisna
Damara
kemudian
mencoba
ternyata
dari
nyatanya mampu ikut bergoyang dan berdendang.
Akhirnya Nanda mulai memberanikan diri untuk
terjun kedunia hip hop yang lebih serius, ia kali ini
Pun sebenarnya Home Record Label yang coba
mulai belajar menciptakan musik yang lebih proper
dibangun oleh NDX tidak dapat dilakukan secara
dan lebih terakomodasi dengan baik. Lewat NDX
maksimal. Sebab menurut Yonanda Frisna Damara
Home Record Label, Nanda mencoba bekerja sama
salah seorang Frontman dari NDX:
dengan Pjr MC yang juga teman seperjuangannya,
“Wah kalo Home Record Label itu dulu mas, dulu saya
nama NDX kian melejit di kancah radio kabupaten
punya teman bisa audio tapi engga punya pekerjaan,
seperti Radio Nganjuk, Magelang dan tentunya
yowis lah saya tarik buat home record tapi kok ga
Yogyakarta. Padahal, mereka dahulu bekerja sebagai
jalan, dia kurang serius, trus tak bubarin, tapi itu
buruh bangunan dan mengaku hanya dalam rangka
bukan untuk ndx, karena ndx engga rekaman disitu,
gambling dalam menciptakan sebuah musik, ketika
129
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
tetep di studio Crazygila, itu buat orang orang yang
The DJ) nyatanya hingga sekarang telah sampai
pengen nyalurin lagunya itu aja mas.”
kepada pasar nasional bahkan internasional.
Sebab lanjut Nanda ia merasa terkadang dengan
Perkembangan pasar hiphop di Yogyakarta juga
hadirnya orang-orang terdekat pada management
sebenarnya tidak dapat dikatakan pada situasi yang
justru akan menghambat perkembangan tim, karena
stagnan, nyatanya justru perkembangan musik
masih adanya perasaan “tidak enak” jika harus
hiphop
“mengeluarkan” mereka alih-alih tidak bekerja
Yogyakarta pada dunia internasional, dan lagi-lagi
dengan usaha yang maksimal.
JHF menjadi aktor utama dalam pengembangbiakan
memang mereka bekerja dengan kesadaran yang
sama, yaitu sama-sama menggemari hiphop sebagai
itu
Nanda
kepada
romansa
jawa
kalangannya
berangkat dengan harapan yang seadanya, untungkarena
kembali
membuktikan
jalan hidup mereka. Tetapi NDX tidak, mereka
oleh
yang
memperkenalkan
budaya
kultur hiphop Yogyakarta ke seluruh antero global,
Sedikit berbeda dengan Hellhouse-nya D.P.M.B yang
untungan,
ini
atmosfer
klasik
bahwa
yang
sederhana
justru
mereka
luas,
JHF
dengan
mampu
digemari
seperti
yang
oleh
kerap
digaungkan kelompok ini bahwasanya mereka
bercerita
memang berangkat pada budaya yang melatar
bahwasanya ia dan PJR MC (personil NDX yang lain)
belakangi mereka tetapi dengan wujud dan kerja
mulai memikirkan untuk membuat tim yang
keras yang juga tidak main-main, alhasil keadaan ini
mengurusi segala urusan dari mulai produksi hingga
mampu menjadi “bonus” bagi keberlanjutan karier
distribusi baik di musik maupun merchendise.
mereka.
Akhirnya terpilihlah orang-orang seperti Mas Andi
Bendol pada arranger, PJR sebagai personil, Ibu Heni
Setelah itu mungkin tidak banyak yang lebih
Noviyani sebagai manager, Adit sebagai disk jookey,
berkembang
Baruna yang menjadi asisten artis, Gunawan dan
eksistensional, namun kemunculan band-band
Rudi memegang merchendise, dan Heri Putra
hiphop gaya baru pun tidak membutuhkan waktu
Manunggal yang didaulat sebagai cameraman.
yang lama untuk dapat tumbuh di Yogyakarta, Los
daripada
JHF
dalam
skala
Pakualamos, NOK37, Begundal Clan, Xaqhala, dan
Mario Zwinkle nampaknya menjadi jajaran musisi
D. Hiphop dan Yogyakarta
hiphop-lokal yang patut diperhitungkan namanya,
Setidaknya hiphop telah muncul di Yogyakarta sejak
bahkan orang-orang yang berasal dari fanbase
tahun 90-an, dan perkembangannya dimulai dari
hiphop dan rumah produksi di daerah Jakarta
tahun 2000-an, pada awal-awal perkembangannya
tertarik untuk membawa nama-nama tersebut ke
kemunculan hiphop di Yogyakarta dimulai dari para
dalam belantika industri musik mereka, entah untuk
pendahulnya seperti Jahanam, dan Jogja Hiphop
suatu acara, wadah advertising, maupun produksi
Foundation (JHF). Jahanam yang menampilkan
rekaman yang tentunya sangat menggiurkan.
Mamox (M2MX) dan Jogja Hiphop Foundation yang
Di Yogyakarta itu pula hiphop hidup, menyatu
banyak dipublikasikan Marzuki Mohammad (Kill
dengan segala kultur jawa, budaya, bahasa, krama,
130
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
dan dari pergaulan hidup sehari-hari. Dalam
bahwa musik mereka dapat diterima secara luas
beberapa kali kesempatan penulis menyaksikan
oleh masyarakat berkat lirik-lirik yang mereka
event musik yang menghadirkan musisi hiphop,
tawarkan adalah sebuah keresahan anak muda yang
dengan model apapun mereka hampir dipastikan
terwakili, oleh karena itu mereka mengakuisisi
dapat membaur dengan segala macam wadah.
musik mereka sebagai “dangdutnya anak muda”.
Mengambil contoh kolaborasi Shaggy Dog yang
dimotori oleh Heru Wahyono dengan NDX A.K.A
FAMILIA pada gelaran Mocosik Festival di JEC (Jogja
Expo Center) pada bulan maret 2017. Sifat-sifat
kuluwesan ini yang menyebabkan kehidupan musik
di Yogyakarta bisa langgeng, karena para pelaku
dapat membaur menjadi satu tanpa membuat
perbedaan, oleh karena itu sifat kolektivisme musik
hiphop di Yogyakarta menjadi cair.4
Dalam wawancara Donnero mengakui jika harus
menjalani ini dengan ikhlas dan nyaman, ia yakin
dengan begitu akan banyak orang yang mampu
mengapresiasi
karyanya.
Hasilnya
D.P.M.B
dianugerahi penghargaan oleh Rolling Stones
Gambar 03. Yonanda dan Peneliti di Lokasi NDX
Store (Sumber: dokumentasi Reza Putradarma,
2017)
Indonesia sebagai “20 Album Indonesia Terbaik
2015” dan mampu menempati urutan ke-11 dalam
tajuk “Re-Attitude”, mengalahkan album-album
nasional lainnya yang mungkin namanya sudah
Dari temuan langsung hasil pengamatan dan
tidak asing lagi.5
wawancara di lapangan pun penulis merasakan
Sedikit berbeda dari Donnero, bagi Nanda dan Fajar
atmosfir yang luar biasa, disebuah desa berbatasan
kesederhanaan itu yang utama. Dengan sadar
dengan Sungai Progo NDX Store berdiri, juga
mereka mencari peruntungan yang lain dengan jalur
kebetulan sebagai tempat tinggal Nanda dengan
hiphop-dangdut, walaupun mereka mengaku bukan
neneknya. Meskipun begitu para penggemarnya
yang pertama dalam mengadopsi musik ini, karena
yang loyal terus berdatangan ke tokonya untuk
sebelumnya akulturasi musik hiphop dangdut telah
sekedar berdiskusi sembari berbelanja dan berfoto,
ada di Yogyakarta, beberapa tahun sebelum
Gunawan (store management NDX) mengakui
kemunculan NDX. Namun Nanda tetap mempercayai
bahwsanya walaupun terletak jauh dari pusat kota
Wawancara dengan Donnero personel D.P.M.B pada
tanggal 22/03/2017.
5http://www.rollingstone.co.id/article/read/2016/01/0
4
7/140505788/81/20-album-indonesia-terbaik-2015
diakses pada tanggal 26/5/2017, pukul 14.45.
131
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
tokonya tak pernah sepi, banyak dari para teman
mementingkan pandangan untung-rugi, tentang
dan pendengar setia NDX yang berdatangan untuk
industri, yang padahal mereka sendiri (para musisi)
sekedar mampir “menjenguk” Nanda, hal yang
menyadari dan tahu betul tentang bagaimanakah
sangat cair, berupaya membuat fans seperti
seharusnya
keluarga sendiri, dan merangkulnya.
masyarakat, tetapi sejarah tetaplah sejarah yang
untuk
mendapatkan
tempat
di
hanya bisa dicatatkan oleh pribadi itu sendiri.
Yogyakarta menjadi salah satu dari beberapa kota di
Indonesia dengan perkembangan industri musik
E. Menjawab Analisis Indie label Lewat Perpektif
Subkultur Hiphop: Sebuah Alternatif atau Siasat
dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
yang dominan selain Jakarta, Bandung, dan
Surabaya.
Hal
ini
dapat
dibuktikan
dengan
massivenya perkembangan industri media rekaman
Pada catatan sejarahnya tersendiri skena musik
yang ada di Yogyakarta, melihat pada tahun 2012
hiphop tanah air memang tidak semegah di barat,
misalnya menurut data badan pusat statistik:
melihat kepada negara-negara Eropa dan Amerika,
dimana hiphop menjadi begitu dominan dan
tentunya mendapat tempat di dalam industri pun
masyarakat.
Pergerakan
ini
menjadi
begitu
menggeliat atas kehendak ketidak-inginan untuk
melanggengkan sistem politik yang bobrok, ataupun
sekadar meletakan kegelisahan pribadi agar dapat
diapresiasi.
Begitu pula di Yogyakarta, dua kelompok musisi
hiphop lokal mencoba mencatatkan sejarah yang
harapannya akan terkenang dalam ranah hiphop
Indonesia.
Mengutip
pendapat
Marx
(dalam
Sutresna, 2017) “man makes his own history”,
“manusia membuat pelajaran sejarahnya sendiri, ia
dapat mengubah alam sekitarnya sedemikian rupa
agar ia dapat hidup... “Diperlukan dasar materialis
atas penulisan sejarah di mana pada saat itu ia pun
menemukan cara membaca sejarah berdasarkan
pengetahuan
tentang
hukum-hukum
objektif
perkembangan masyarakat.
Dalam kacamata sosiologis hal ini dapat dimaknai
dengan bagaimana seseorang dapat berkarya tanpa
132
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
konsep ini dapat dimaknai sebagai sebuah proses
industrialisasi yang lebih masif lagi. Dalam konteks
ini Gramci juga menyebutkan bahwa hegemoni
adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat
melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui
penindasan terhadap kelas sosial lainnya (Sutiyono,
2012).
Artinya, menganalisis pada jangkauan yang lebih
luas lagi, menyoal kepada sebuah counter hegemony
atas hegemoni kultural dominan yang dirasakan
oleh musisi hiphop terhadap ruang industri yang
sulit “dikejar” menciptakan sebuah pengertian yang
lain. Bahwasanya pada saat ini hegemoni tidak
melulu adalah sebuah penindasan dari kelas dengan
dominasi kuat terhadap kelas-kelas sub-ordinat
yang lainnya, tetapi lebih kepada mekanisme
konsensus (persetujuan) yang lebih fleksibel.
Misalnya, untuk seorang atau sekelompok musisi
yang ingin karyanya mendapat tempat di industri
dan dikenal oleh masyarakat luas mereka harus
menjadi “budak pasar”, setidaknya mereka harus
mengubah
sedikit
banyak
ideologinya
untuk
menjadi seperti yang pasar inginkan, walaupun
tidak semua industri (major) mengisyarakatkan hal
yang sama dalam maharnya.
Kembali melihat pada subkultur yang menjadi
Tabel 01. Jumlah Perusahaan Industri Besar dan
Sedang di DIY (Sumber: Data BPJS).6
perspektif utama dalam penelitian ini adalah
bagaimana indie label ini terbentuk dan apa sajakah
faktor dari terbentuk indie label ini. Dalam kacamata
Melihat pada analisis sosiologisnya indie label
semata-mata
tidak
dapat
dipandang
yang lebih sempit lagi misalnya bagaimanakah
secara
hiphop akan terus hidup sebagaimana periodisasi
sederhana, misalnya dengan mengaitkan bahwa
sejarahnya sejak zaman dahulu sebagai sebuah
movement ini adalah sebagai bentuk perlawanan
dalam segi budaya saja. Lebih jauh daripada itu
6
https://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/32
diakses pada tanggal 7/6/2017, pukul 12.32.
133
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
musik dengan ideologi hipster dapat dijelaskan oleh
hidup dengan jalur mandiri adalah sebuah sikap,
Stuart Hall (dalam Hebdige, 1979):
tidak hanya menyoal kepada musik tentunya.
“It
is precisely its
quality, its
Sebuah sikap ini tentunya yang menjadi pegangan
transparency, its ‘naturalness’, its refusal to be made
mereka dalam mencerminkan nilai-nilai kehidupan
to examine the premises on which it is founded, its
dan dituangkan dalam lirik dan musik yang
resistance to change or to correction, its effect of
diciptakan. Tentang bagaimana karakter kelokalan
instant recognition, and the closed circle in which it
yang dalam hal ini Yogyakarta mampu digambarkan
moves which makes common sense, at one and the
secara lunak dan jujur tentunya, sehingga mampu
same
and
membawa kita pada ingatan-ingatan terdahulu
unconscious. You cannot learn, through common
tentang bagaimana kota itu hadir dalam kehidupan,
sense, how things are: you can only discover where
apalagi musisi-musisi ini selalu membawa realitas
they fit into the existing scheme of things. In this way,
yang terjadi di sekitar: mengkritisi bagaimana
its very taken-for-grantedness is what establishes it as
ketidakadilan itu hadir, krisis ruang, dan tentunya
a medium in which its own premises and
pemberdayaan terhadap sekitar.
time,
‘spontaneous’
‘spontaneous’,
ideological
presuppositions are being rendered invisible by its
Situasi seperti ini menjadi lebih kompleks untuk
apparent transparency.”
dijelaskan sebab mereka memaknai hidup dengan
Membaca pada pengertian Hall, musik indie lewat
musik,
subkultur hiphop tidak dapat juga dimaknai secara
penggambaran tersebut juga hadir dengan dan
sempit, karena justru kualitasnya berada pada sisi
tanpa sengaja, jadi musik indie tersebut memang
“spontanitas” dalam berkarya, dan karena sifatnnya
dapat dijelaskan dari kedua belah kutub dalam
alami, maka counter hegemony terhadap perubahan
faktor pembentuknya. Di satu sisi musik indie
juga
Dimana
dimaknai sebagai alternatif pasar baru, di sisi yang
kemungkinan-kemungkinan ini tidak pasti dan
bersebrangan ternyata indie label adalah sebuah
dinamis, yang dapat dieksplorasi adalah bagaimana
subkultur yang hadir tanpa adanya niat dan
kultur ini dapat cocok dengan skema yang sama,
cenderung “apa adanya”.
menjadi
sesuatu
yang
wajar.
dilihat dari persamaan kebudayaan yang bersifat
atau
sebaliknya.
Penggambaran-
Oleh sebab itu subkultur hiphop menjadi sesuatu
eksklusif, berdasarkan kolektivitas. Menebak-nebak
yang menarik untuk dibahas, apalagi di Yogyakarta
tentang bagaimana tujuan mereka dalam bermusik,
ada dua kelompok hiphop lokal yang mencoba
dan apa yang menjadi latar belakang mereka (musisi
“menjajal” panggung nasional dengan gebrakan
indie) dalam bermusik akan menjadi sulit, sebab
yang terbilang unik, keduanya mampu tetap
seperti apa yang telah dituliskan oleh Hall tadi
membawa isu-isu lokal pada frame hiphop, namun
bahwasanya hal ini menjadi sesuatu yang “taken-for-
tidak justru keluar dari hakikat hiphop itu sendiri,
grantedness”, sebagai apa yang telah ditetapkan.
mereka mengamalkan hiphop dengan caranya
Kesederhanaan mereka tercermin bukan hanya dari
masing-masing, namun tetap pada koridor mandiri
perilaku bermusiknya, tetapi dari bagaimana
(indie label). Untuk itu pertanyaan besar penelitian
ideologi itu mereka tuangkan dalam hidup, sebab
134
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
ini adalah menjawab “Bagaimana indie label muncul
indie label dalam sifat counter hegemony-nya.
sebagai alternatif dari pasar musik mainstream?
Keduanya sama-sama memiliki basis ideologis sama,
Ataukah indie label merupakan strategi menciptakan
dengan kacamata alternatif tentunya, berusaha
pasar baru?”
mencari peluang selebar-lebarnya dalam memasuki
ranah industri, atau sekedar memperlihatkan
kepada dunia bahwa dengan keterbatasan mereka
F. Hiphop Indie Label Sebagai Musik Alternatif
Pasar
tetap
dapat
berkarya,
jauh
dari
pandangan
mainstream.
Hiphop dan indie label memang memiliki ruang
Hal tersebut mewakili pandangan kaum alternatif
analisis yang sangat luas, sebab lingkup dominan
dalam bidang seni, seperti misalnya musisi indie
kajian ilmu ini sangat beririsan antara satu dengan
atau genre-genre diluar pop seperti: jazz, reggae,
yang lainnya. Hiphop dalam kacamata industrial
punk, hiphop dan sebagainya. Adorno dengan jelas
adalah sebuah alternatif-oposisif dari sebuah
menggambarkan musik pop sebagai musik yang
produksi musik, tetapi dalam sudut pandang
bahkan lama-kelamaan akan makin terlihat rupa
subkultural, hiphop dapat dimaknai sebagai sebuah
yang sama, dengan sumber yang dapat diselidiki,
kultur yang telah ada dan tercipta begitu saja atas
perbedaan hanya terdapat pada “sampingannya”
kehendak alamiah. Walaupun kedua variabel ini
yang
(Hiphop dan Indie label) memiliki cerminan yang
“menelusurinya”. Menilai musik pop memang akan
sama dalam “menentang” industri budaya dan musik
sangat naif jika hanya melihat dari bagaimana
populer.
kesamaannya terbentuk, tetapi memang pola
Karena
itu
Adorno
(dalam
Strinati,
juga
akan
terlihat
jika
kita
mau
tersebut memiliki ketergantungannya tersendiri
1995)
terhadap industri yang digambarkan pula oleh
berpendapat bahwa musik pop yang dihasilkan oleh
Adorno sebagai sebuah “beban pasar”.
industri budaya didominasi oleh dua proses:
standarisasi dan idividualisasi semu. Di sini
Apalagi musik hiphop telah menjadi sebuah
gagasannya adalah bahwa lagu-lagu pop makin lama
subkultur dominan yang sangat diminati di dunia
makin kedengaran mirip satu sama lain. Lagu-lagu
barat. Walaupun di Indonesia sendiri kultur ini sulit
itu semakin banyak dicirikan oleh suatu struktur
mendapat tempat di industri, alih-alih hal ini malah
inti, yang bagian-bagiannya dapat dipertukarkan
makin menggambarkan sejarah musik hiphop itu
satu
Namun
demikian,
ini
sendiri yang seperti tidak akan pernah menjadi
oleh
tambahan-tambahan
“populer” di Indonesia. Jatuh bangun genre ini dari
sampingan, kebaruan, atau variasi gaya yang
masa ke masa makin menggambarkan bagaimana
direkatkan pada lagu-lagu tersebut sebagai tanda
pasang surut industri hiphop di Indonesia hidup,
kekhasannya yang sudah diduga.
banyak juga dari para pelaku dan musisi hiphop
sama
lain.
disembunyikan
Memaknai
analisis
Adorno
tersebut
inti
Indonesia “hijrah” ke jalur profesional, walaupun
dapat
tidak sedikit pula yang mampu bertahan.
direfleksikan dari bagaimana musik hiphop dan
135
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
Hiphop memang tidak selalu dan harus berada pada
walaupun secara tidak langsung menurut Donnero
jalur mandiri, yang terpenting adalah bagaimana
“Kalo aku malah justru bukan berhasil atau tidak
nilai-nilai “ke-hiphop-an” itu terus tercermin dari
menciptakan sebuah alternatif lain, karena hmm
sebuah karya. Namun sepertinya akan lebih mudah
maksudku dpmb itu adalah salah satu genre yang
juga merefleksikan hiphop dengan jalur yang
sangat susah untuk masuk ke permukaan, dan
mandiri, merdeka, dan tentunya dengan kolektivitas
diterima untuk industri musik, ketika kita bikin
yang cair, oleh karena itu hal ini menjadi sebuah
album dan masuk di 20 besar rollingstone itu kita
perdebatan yang tiada ujungnya. Ideologi seorang
juga ga percaya, tapi kami menjadi lebih yakin oh
musisi dalam memilih jalur alternatif dari sebuah
musik
pasar yang mainstream tentu adalah pilihannya
menciptakan alternatif lain dalam bermusik kalo
sendiri,
keuntungan
aku sih gitu mikirnya”. Jadi dalam menjawab apa
manifestasi yang didapat dari berkarya dalam jalur
maksud dari kelompok musik berada pada label
ini, selain memiliki kolektivitas-pertemanan yang
mandiri harus dilihat dengan berbagai macam
solid, ataupun sekedar mengasah sisi kritis sebuah
perspektif yang luas. Bukan hanya sekedar menilai
pandangan.
bahwa musik ini berbeda dengan musik yang
karena
tidak
banyak
punya
tempat,
bukan
baik NDX dan D.P.M.B juga mengakui mereka tidak
pasar musik lokal (Yogyakarta). D.P.M.B hadir
dengan sengaja mencipkan sebuah aliran musik
dengan hiphop yang lawas atau biasa disebut
baru, tetapi murni berangkat dari hobby dan
dengan hiphop “oldschool”, dan NDX yang dengan
genre
juga
belum pernah ditampilkan sebelumnya, padahal
mereka sama-sama mencoba melihat peluang dari
membawakan
tuh
lainnya, atau bagaimana genre musik tersebut
Kemudian melihat dalam konteks NDX dan D.P.M.B,
unik
kita
ketertarikan mereka sendiri.
hiphop-dangdut,
keduanya banyak memelihara perbendaharaan
bahasa lokal yang mampu digambarkan dengan
G. Strategi Menciptakan Pasar Baru
baik, oleh karena itu keduanya memaknai proses ini
Dalam menciptakan eksistensinya tersendiri, NDX
memang sebagai sebuah alternatif lain dari musik
dan D.P.M.B memiliki beberapa cara dan faktor di
yang diperdengarkan masyarakat, walaupun tidak
dalamnya, diantaranya mereka mampu dengan
secara langsung.
cermat mengelaborasikan sebuah karya menjadi
Yonanda mengakui “Itu genre hiphop dangdut
sebuah “local wisdom”. Dengan sedikit ketekunan
sebenernya bukan NDX yang pertama, dulu banyak
dan juga keberuntungan baik Nanda maupun
hiphop dangdut dari Jogja juga tapi NDX lebih
Donnero mampu membuat masyarakat menerima
memodifikasi dengan tampilan, rap bernada juga,
musiknya.
terus liriknya unik, gitu paling mas”. Hal ini menjadi
Cara-caranya
mungkin
terbilang
sederhana, dengan menciptakan suatu atmosfir
bukti bahwa kreatifitas dan kecerdikan melihat
pemberdayaan,
peluang digunakan NDX sebagai “power” mereka
yang
sangat
dekat
dengan
masyarakat, bahkan menjadi keterwakilan bagi
dalam menggebrak pasar. Juga D.P.M.B yang sukses
masyarakat itu sendiri.
merambah pasar bawah tanah lewat komunitasnya,
136
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
Mereka yakin dengan konsistensi mereka yang
sosial dengan aktivisme yang menurut Donnero
berasaskan pemberdayaan lewat komunitas akan
cukup
memiliki nilai kebermanfaatan yang lebih langgeng
perkembangan musisi mandiri di Jogja kearah yang
daripada
memiliki
positif, aku bilang iya, karena komunitas musik yang
penilaiannya tersendiri, apa yang orang lain
lain juga kaya jazz trus mereka juga punya koneksi
apresiasi akan berbeda-beda pula pada tiap
yang kuat kan antara jazz di Jogja sehingga rame
individunya, sikap ini diyakini dengan sederhana
terus, terus acara hardcore, komunitas di Jogja tu
oleh kedua kelompok ini. Apalagi kedua frontman
banyak banget dan solid, aku salut”. Lebih jauh lagi
grup hiphop ini lahir dari lingkungan yang
Donnero menjelaskan:
apapun.
Sebab
pasar
sederhana, namun justru hidup dibawah lingkungan
industri
musik
menurutnya:
“Untuk
musisi-musisi di Jogja tu sekarang cenderung untuk
berkembang dalam kedewasaanya. Membicarakan
perkembangan
sehingga
“Mungkin seperti yang kita pernah obrolin yang lalu,
yang seperti itulah kedua kelompok ini mampu
mengenai
aktif,
mandiri ya, soalnya kan juga semuanya pernah
di
musisi-musisi yang besar di band di Jogja tu pernah
Yogyakarta, Donnero punya pandangan tersendiri,
mencicipi major semua dan keluar semua, kaya gitu
menurutnya:
mm misalnya Sheila tu masih sama sony atau engga
“Secara umum di Jogja sih, kalo aku liatnya musisi-
ya? Kayaknya udah engga juga, itu jadi bukti bahwa
musisi di Jogja tu itu keren, kita ga ngomongin hmm,
major itu bukan jaminan lagi, untuk menjual
maksudnya keren tu banyak yang dari musisi di Jogja
musikmu bikin lebih besar itu engga, justru dengan
tu yang kita ambil untuk belajar gimanasi caranya
kemajuan teknologi seperti sekarang ini semua bisa
jualan ke luar negeri, banyak banget manfaatnya...
sangat benefit dilakukan mandiri”.
walaupun ada aja yang gitu-gitu ajasih banyak kalo
Sedikit
diliat secara umum untuk yang kita tau kan kaya
berbeda
dengan
Donnero,
Nanda
menganggap bahwa dia secara pribadi menilai arah
Endank Soekamti udah punya tanah sendiri untuk
perkembangan musisi indie di Yogyakarta menjadi
bikin apa markas besar itu juga luar biasa, trus Stars
begitu “gemerlap’ karena saat ini justru banyak
and Rabbit tur di Inggris, itu tanpa sponsor mereka
bermunculan solois, duo, atau grup musik indie yang
ngurusin sendiri, juga Jogja Hiphop Foundation,
dengan percaya diri memproduksi album musik
banyak dari kita-kita itu secara umum belajar, yang
yang belum tentu “sukses” secara daya beli, namun
jelas ya itu tadi bisa diambi sisi positifnya.”
hal ini menurut Nanda tetap menjadi suatu ritme
Melihat penjelasan Donnero tersebut memang layak
positif baik secara atmosfir maupun persaingan
kita memberi apresiasi pada industri mandiri yang
tentunya akan menjadi “panas”. Lanjutnya menurut
justru sedang berkembang di Yogyakarta, banyak
ia, sebenarnya pun NDX tidak berusaha mencari
bermunculan musisi-musisi yang luar biasa berani
pasar atau malah menciptakan pasar yang baru,
menciptakan kultur dominan, seperti membuat
karena ia hadir dengan begitu sederhana, dan
museum, rumah belajar, sampai menyelenggarakn
menurutnya:
tur mandiri ke Eropa. Apalagi lanjut Donnero, Jogja
juga menjadi “markas” bagi banyak komunitas seni137
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
“Kalo untuk luar kota bukan Jogja mungkin kita
aku mau bikin lagu kek gini, kamu mau suka apa
menciptakan pasar sendiri ya, karena kalo untuk
engga ya seperti ini, itu masih tetap kita pegang
hiphop dangdut luar kota itu masih belum ya, kalo di
untuk karya-karya berikutnya, cuma dalam hal
Jogja kan sudah”.
pertanggungjawaban
udah jadi harus upgrade entah itu dari segi lirik isi
dalam membangun sebuah komitmen bermusik,
lagu, trus pesan-pesan yang dibawain, itu menurutku
memang hingga saat ini nama NDX dan D.P.M.B
secara
nasional
dikenal
luas,
karya-karya
sebelumnya tuh pasti lebih kaya ee... oh ya ini kemarin
Kuncinya adalah menempatkan kesederhanaan
belum
terhadap
itu harus ada upgrade, dengan perduli atau tidak
tetapi
memperdulikan pasar itu sendiri”.
setidaknya mereka tetap mempertahakan nilai
tersebut, namun tetap dengan keluwesan. Karena
Oleh karena itu pada dasarnya dari pengertian
dengan idealisme yang kolot mereka juga tidak akan
kedua kelompok ini tercermin bahwasanya mereka
mampu diapresiasi dengan baik hingga saat ini,
menyadari bahwa hidup dengan jalur mandiri
pasar tetap mengandung aspek peluang dan ruang,
memang memiliki keluwesannya tersendiri, tetapi
mereka menerka bahwasanya justru apakah pasar
sadar
dalam
begitu
“memperhatikan” respon pasar sebagai acuan dan
sederhana, seperti memperlihatkan bahwasanya
pertanggungjawaban atas hasil karya sebelumnya
hidup dengan jalur indie adalah upaya dalam
untuk menciptakan hasil karya selanjutnya. Soal
membuat alternatif pasarnya tersediri, Donnero
apakah proses ini adalah sebuah siasat dalam
menjelaskan:
menciptakan pasarnya yang baru, Donnero dan
pengertian
indie
ini
menjadi
atau
tidak
sadar
mereka
tetap
Nanda mewakili teman-teman mengakui tidak
“Kalo aku malah justru engga, bukan berhasil atau
secara
tidak menciptakan sebuah alternatif lain, karena
langsung
mereka
ingin
menciptakan
pasarnya yang baru.
emm maksudku D.P.M.B itu adalah salah satu genre
yang sangat susah untuk masuk ke permukaan dan
Walaupun pada aplikasinya mereka memiliki
diterima untuk industri musik. Ketika kita bikin
pandangan yang berbeda dalam melihat pasar.
album dan masuk di 20 besar album terbaik majalah
Nanda
rollingstone itu kita sudah... hmm ya kami menjadi
menciptakan jenis musik baru tersebut di Jogja,
lebih yakin oh musik kita tuh juga punya tempat,
karena sebelumnya telah ada kelompok yang
bukan menciptakan alternatif lain dalam bermusik
memankan jenis musik yang mereka bawakan,
kalo aku sih gitu mikirnya... disitu awalnya kan kita
tetapi dengan itu mereka justru menyadari bahwa
cuma pingin genre ini di denger, ternyata kita sudah
NDX
di denger dan punya tempat ga asal lagi dong karena
kelompok-kelompok sebelumnya dengan genre
sudah punya pendengar, jadi jangan sampe merusak
yang sama. Kalau Donnero berpendapat bahwa dia
nama itu, justru kita udah susah cari tempat tapi
semakin yakin bahwa D.P.M.B juga memiliki
malah merusak tempat itu sendiri, maksudnya gitu,
pasarnya
lebih pengin melihara tempat itu biar lebih adem biar
penghargaan dari majalah Rollingstones tersebut,
lebih luas, biar lebih diterima. Awalnya kan dulu ya
menganggap
memiliki
ia
“potensi”
tersendiri
tidak
yang
justru
serta
lain
setelah
merta
daripada
mendapat
dan ia akhirnya sadar bahwa musik yang ia dan
138
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
teman-teman mainkan dapat memiliki apresiasinya
dangdutnya, namun yang terpenting keduanya hadir
tersendiri.
dengan penggambaran kedaerahan yang kental, lirik
berbahasa jawa, dan tentunya penggunaan istilahistilah pergaulan lokal.
H. Kesimpulan
Karena itu penelitian ini bertujuan untuk menjawab
Perkembangan industri musik dari jalur proffesional
apakah kehadiran mereka (D.P.M.B dan NDX) adalah
(major label) makin terasa mendominasi musisi dari
sebagai alternatif dari musik yang telah ada di pasar,
kalangan non-profesional (indie label), sebab
ataukah sebagai sebuah siasat dalam menciptakan
mereka mengusai berbagai macam faktor, terutama
pasarnya tersendiri dari sudut pandang subkultur
kemudahan akses terhadap eksistensi dan nilai
tentunya. Dari analisis yang telah dilakukan
promosionalnya. Oleh karena itu beberapa musisi
terhadap kedua objek kajian, didapatkan beberapa
dari jalur indie label berusaha memutar otak untuk
kesimpulan sebagai berikut.
mencari cara agar musik mereka mampu diapresiasi
Pertama,
masyarakat, caranya dapat bermacam-macam, salah
NDX
mengakui
mereka sukai, hal ini dimaknai bukan sebagai siasat
Sementara itu Yogyakarta menjadi salah satu tempat
dalam menciptakan pasar baru.
yang paling nyaman di dalam perkembangan musik
aktivisme
dan
memproduksi sebuah musik murni dari apa yang
budaya atau glokalisasi.
kebudayaan,
D.P.M.B
bahwasanya tujuan mereka dalam memainkan dan
satunya adalah dengan menggunakan adaptasi
dan
baik
kebudayaan
Kedua, adapun apresiasi yang mereka dapatkan
di
seperti: lawatan tour skala nasional atau tawaran
Yogyakarta menjadi salah satu yang masif di
bergabung hingga 7 (tujuh) label mayor yang
Indonesia, dengan berbagai macam event kesenian
diterima NDX, ataupun album “Re-Attitude” milik
bertaraf nasional bahkan internasional diadakan di
D.P.M.B yang sukses masuk kedalam 20 album
kota ini. Oleh karena itu Yogyakarta juga menjadi
terbaik tahun 2015 versi majalah Rollingstone
wadah yang paling luwes bagi tumbuh-kembang
Indonesia setidaknya mereka anggap sebagai batu
berbagai macam genre dan jenis musik yang hadir,
loncatan mereka dalam mempertanggung-jawabkan
sebagai contoh hiphop, walaupun tidak terlalu
karya mereka selanjutnya. Sebab pasar menurut
terlihat ke permukaan, tetapi nyatanya genre ini
Donnero adalah sebuah tempat yang mereka tidak
tetap mendapat tempat yang nyaman, lewat basis
ingin merusaknya.
kolektif-komunitas yang solid, dan kearifan lokal
yang tentunya masih terus dijaga.
Ketiga, eksistensi yang telah diraih oleh D.P.M.B dan
NDX
Ternyata hal ini juga yang menjadi pemicu dua
setidaknya
membuktikan
kelompok hiphop lokal: D.P.M.B (Dua Petaka
dalam
bahwasanya
ranah
Yogyakarta
mereka
sukses
memberikan gambaran kepada para pendengar
Membawa Bencana) dan NDX A.K.A FAMILIA untuk
mereka tentang bagaimana seharusnya unsur
mendalami sebuah adaptasi musik yang terbilang
lokalitas dibawakan dalam model subkultur Barat.
unik. D.P.M.B muncul dengan nuansa hiphop
Karena hal ini mampu merepresentasikan orang-
oldschool, sementara NDX hadir dengan hiphop
139
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
orang dengan latar belakang yang sama, masyarakat
Akhirnya kedua kelompok hiphop lokal ini menjadi
lapisan bawah, sebab masyarakat pada umumnya
bukti paling otentik dari penggambaran akulturasi
akan terwakili ketika mendengarkan musik mereka
dua budaya dengan latar belakang yang berbeda,
sebagai sesuatu yang mampu membawa keresahan
atau malah sebagai bentuk pembuktian bahwanya
dan aspirasi mereka. Terlebih, karena D.P.M.B dan
seperti
NDX memiliki daya promosionalnya tersendiri
Identitas lokal tetap menjadi suatu hal yang penting
sebagai seorang “bintang”.
didalam kejujuran bermusik, karena originalitas
itulah
seharusnya
musik
dihadirkan.
nyatanya mampu menjadi “penolong” mereka. Bagi
Keempat, dalam konteks subkultur, D.P.M.B dan
NDX, kesuksesan yang mereka raih dengan ribuan
NDX tetap berupaya mempertahankan ideologi
pendengarnya saat ini memang bukan semata-mata
mereka dari gempuran hegemoni kultural dan
sebuah kebetulan, pun karena mereka hidup di
industrialisasi yang ada, namun dengan etika
tempat yang bahkan jauh dari kemudahan akses
mereka tetap harus pula mempertanggungjawabkan
produksi dan hal-hal industrial lainnya.
kualitas bermusik mereka. Karena “hegemoni hanya
bisa dipertahankan sepanjang kelas dominan
Tetapi justru hal ini membuat mereka lebih apa
berhasil ‘membingkai’ semua persaingan dalam
adanya dalam menjual karya, dan itulah hasil yang
jangkauan mereka” Hall (dalam Hebdige, 1979).
mereka raih. Sedikit berbeda dengan NDX, D.P.M.B
Sebab itu, wujud “pertahanan” yang dilakukan baik
lewat Donnero dan Mamox memang sudah terlebih
oleh
sebatas
dahulu malang-melintang di skena hiphop lokal,
pertanggung-jawaban karya, bukan serta-merta
dengan basis komunitas yang kuat dan tetap
untuk meraimakan pertarungan pasar.
mempertahankan wacana-wacana lokal, kelompok
D.P.M.B
maupun
NDX
hanya
ini nyatanya mendapatkan satu tempat yang
Kelima, cara-cara yang mereka lakukan untuk tetap
“nyaman” di dalam industri musik, dengan segudang
dapat hidup diantaranya adalah:
1) Memperkuat
kolektivitas-komunitas
apresiasi. Tetapi ternyata yang paling penting
dengan
adalah setidaknya kedua kelompok ini telah mampu
merangkul pendengar, kolega dengan hobi yang
menggapai harapan-harapan sederhana mereka
sama, serta menyelenggarakan kajian yang
yaitu untuk memproduksi sebuah karya musik yang
bersifat edukatif.
kemudian dapat diapresiasi oleh masyarakat luas.
2) Menciptakan suatu aktivisme pemberdayaan.
Meminta
masyarakat
untuk
turut
aktif
menciptakan ritme positif, misalnya dengan
kegiatan-kegiatan sosial, sharing audio basic di
sekolah-sekolahan, atau melibatkan orangorang sekitar dalam tim produksi.
3) Tetap membawa unsur budaya lokal dalam hal
apapun, baik dalam kehidupan bermusik,
maupun kehidupan sehari-hari.
140
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017
Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru?
Reza Putradarma
Daftar Pustaka
Creswell, John. W. 2013. “Penelitian Kualitatif &
Desain Riset Memilih di antara
Lima
Pendekatan”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harris, David. 1992. “From Class Struggle to The
Politics of Pleasure: The Effect of
Gramscianism on Cultural Studies”. London
and New York: Routledge.
Hebdige, Dick. 1979. “SUBCULTURE: The meaning of
Style”. London: Routledge.
McRobbie, Angela. 1991. “Feminism and Youth
Culture: From Jackie to Just Seventeen”.
London: MacMillan Education.
Robertson, Roland. 1992. “Globalization. Social
Theory and Global Culture”. London: Sage
Publication.
Strinati, Dominic. 1995. “Popular Culture: An
Introduction to Theories of Popular
Culture”. London: Routledge.
Sutresna, Herry. 2017. “Setelah Boombox Usai
Menyalak”. Jakarta: Elevation Books.
Tantagode, Jube. 2008. “Musik Underground
Indonesia:
Revolusi
Indie
Label”.
Yogyakarta: Harmoni.
Jurnal, Skripsi, Tesis, Disertasi
Giulianotti, Richard & Robertson, Roland 2007.
“SAGE Journals
Online: Forms of
Glocalization;
Glocalization
and
the
Entertaiment: The psychology of its appeal
(pp. 175-196). Mahwah, NJ; Lawrence
Erlaum Associates.
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. “Antonio Gramsci
Negara dan Hegemoni”. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, pp. 115-118.
Sperling, James. 2001. “Neither Hegemony Nor
Dominance: Reconsidering German Power in
Post Cold-war Europe”. British journal of
Political Science, March.
Surbakti, Ramlan. 1996. “Suksesi atau Demokrasi?”
Bestari: Universitas Negeri Malang.
Sutiyono. 2012. “Hegemoni Budaya: Represi Politik
Kekuasaan Pada Dunia Seni”. Yogyakarta:
FBS, UNY.
Sumber Online
http://www.rollingstone.co.id/article/read/2016/
01/07/140505788/81/20-albumindonesia-terbaik-2015
diakses
pada
tanggal 26 Mei 2017, pukul 14.45.
https://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/
id/32 diakses pada tanggal 7 Juni 2017,
pukul 12.32.
141
Download