Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No.2 , Agustus 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Oleh: Reza Putradarma1 Abstraksi Dewasa ini melihat perkembangan industri musik tanah air di Indonesia dari jalur profesional (major label) dengan genre yang itu-itu saja terasa semakin membosankan bagi banyak pemirsa. Dalam merespon situasi itu, para musisi yang muncul dari bawah melalui latar-belakang jalur non-profesional (indie label) mencoba hadir untuk memberikan jalur musik alternatif kepada para pendengarnya. Di Yogyakarta terdapat dua kelompok musik yang berusaha mengakulturasi suatu genre yang terbilang unik, yaitu Hiphop-Jawa, dimana jenis musik ini mampu mereka bungkus sedemikian rupa sehingga menyadarkan kita akan nilai-nilai kearifan lokal yang ternyata mampu mengadaptasi budaya global. Dalam studi ini, ada dua kelompok musik yang diteliti yaitu grup D.P.M.B dan grup NDX, dimana keduanya membawakan hiphop dari sudut pandangan kelokalan. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisis fenomena Hiphop Jawa melalui perspektif teoritis subkultur. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa kedua kelompok grup musik Hiphop Jawa telah mengembangkan suatu strategi hegemonitanding (counter hegemony) dalam upaya kebertahanan hidup mereka melalui skema glokalisasi/hibridasi. Kata kunci: subkultur, hiphop Jawa, Indie label, hegemoni tanding (counter hegemony) Abstract Nowadays, the development of music industry in Indonesia, as can be seen from the proffesional works (major label) on producing almost similarity-genre is considered boring to some audience (listeners). In response to such situation, the musicians who arise from below of the non-proffesional background (indie label) are trying to provide an alternative music path to their listeners. In Yogyakarta, two musical groups are attempting to acculturate a unique genre so called Javanese Hiphop. They manage to entertain the audience by exposing the values of local wisdom and adapting the style to fit into the global culture. The musicians involved this study are D.P.M.B and NDX groups, by which both of them bring the hiphop from a point of view of the local wisdom. The study is thus aimed at analyzing the phenomenon of the Javanese Hiphop from a theoretical perspective of subculture. The study summarizes that both of the groups of Javanese Hiphop have diployed a strategy of “counter hegemony” in their struggle of existence through the glocalization/ hybridation schemes. Keywords: subculture, Javanese Hiphop, Indie Label, counter-hegemony A. Pendahuluan: macam genre musik yang muncul di Indonesia, keberagaman ini juga yang membuat pasar musik di Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi Indonesia menjadi lebih berwarna. Selain itu, pasar begitu pesat berkembang, hal ini berbanding lurus seyogyanya mampu mengakomodasi kepentingan dengan masifnya perkembangan musik di Indonesia khalayak musik Indonesia secara menyeluruh, khususnya, dapat kita lihat dari banyaknya berbagai 1 Reza Putradarma menyelesaikan studi sarjana di Departemen Sosiologi, Fisipol UGM pada bulan September 2017. Artikel ini disusun sebagai sebagian dari studi skripsi yang telah berhasil diuji dan dipertahankannya di Departemen Sosiologi UGM. 120 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma namun pada kenyataannya pasar musik di Indonesia kelokalannya, dengan irama dangdut syahdu, juga kurang bisa menyentuh seluruh segmen genre hampir 75% liriknya yang memakai bahasa jawa, ini sampai bagian yang terkecil sekalipun. Isu tersebut akan menjadi akulturasi yang harmonis. Atau ada kemudian menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut juga sebuah kelompok Hiphop Oldschool yang lagi apakah fungsi dari pasar dalam mengakomodasi menamai kepentingan khalayak telah berjalan dengan baik Membawa ataupun malah sebaliknya, mengingat warna budaya mengembalikan semangat hiphop terdahulu era- dan musik Indonesia yang sangat kompleks dan 80/90’ beragam. tentunya. Dalam teori subkultur dijelaskan adanya sebuah Terlebih, peneliti melihat temuan pergerakan musik pandangan hegemonik yang menganggap suatu indie yang masif di Yogyakarta, dan yang paling unik budaya lebih superior daripada budaya yang salah satunya adalah kemunculan sebuah genre lainnya, dalam kasus ini musik indie hadir sebagai musik baru yang dengan lantang diperjuangkan oleh bagian yang sekelompok masyarakat dari kaum grassroot. menciptakan “perlawanan” terhadap hegemoni Mengelaborasikan musik dangdut dengan hiphop, pasar yang mendominasi. Perlawanan ini dapat melanggengkan berupa suatu kecenderungan ke arah perpaduan identitas subkultur, tentunya akan menjadi analisa secara eksplisit dan terang-terangan terhadap yang menarik, sebab musik ini belum banyak berbagai macam aliran dan genre musik secara diketahui oleh masyarakat secara menyeluruh, langsung dan sadar (Hebdige, dalam Strinati, 1987). apalagi dalam konteks budaya Yogyakarta yang Perpaduan ini berkisar antara perpaduan ulang beragam. Akhirnya pertanyaan penelitian yang secara langsung dari lagu-lagu yang sudah direkam dapat ditarik adalah: Bagaimana hiphop indie label dari era yang sama atau berbeda pada rekaman yang muncul sama, sampai mengambil dan “mencicipi” musik, mainstream? Apakah hiphop indie label merupakan bunyi, dan instrumen yang berbeda dengan tujuan strategi menciptakan pasar baru? kecil dari eksklusifitas seni diri mereka D.P.M.B Bencana) dengan yang nuasa dengan kelokalan kelokalan sebagai (Dua alternatif atau dari Petaka bangga Yogyakarta menciptakan pasar musik menciptakan identitas subkultural dan pankultural baru (Strinati, 1995). B. Metodologi dan Kerangka Teoritis Iklim tersebut lantas menciptakan kemungkinan- Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, kemungkinan baru, termasuk menciptakan suatu dengan menggunakan pendekatan studi kasus yang genre baru dalam dunia musik. Di Yogyakarta bertujuan untuk mendeskripsikan dan menafsirkan sendiri misalnya, muncul sebuah genre Hiphop- suatu spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu Dangdut yang diperkenalkan oleh sebuah grup yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun bernama NDX A.K.A FAMILIA, mereka dengan suatu potret kehidupan, yang dalam hal ini lantang membawakan musik dangdut dalam sudut dipergunakan pandang hiphop yang berkembang luas di dunia untuk mengamati “kehidupan” hiphop indie label di Yogyakarta dalam upaya barat. Tetapi uniknya NDX tetap memasukan unsur 121 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma counter hegemony-nya. Seperti kita ketahui indie Waktu label telah menjelma sebuah komunitas kritis, yang berlangsung memiliki setiap Informan utama dalam penelitian ini adalah dua kelompok/kolektifnya, oleh karena itu pendekatan grup atau duo grup hiphop asal Yogyakarta yaitu: ini dipakai sebagai pisau bedah analisis. NDX A.K.A FAMILIA dengan Yonanda Frisna Damara ciri identik pada yang diambil dalam penelitian sepanjang tahun 2017. ini Adapun sebagai frontman, dan D.P.M.B dengan “Donnero” Lebih lanjut (Creswell, 2013) mengemukakan Alexander Sinaga sebagai frontman. Oleh karena itu beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu: wawancara mendalam akan dilakukan kepada (1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi; Yonanda dan Donnero. Selain itu personil, crew, dan (2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang management yang lainnya juga akan diwawancarai terikat” oleh waktu dan tempat; perihal kehidupan kolektivitas band mereka, dan (3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber juga yang akan diamati adalah narasumber yang informasi dalam pengumpulan datanya untuk berasal dari official store, records label, dan kolega- memberikan kolega yang berhubungan langsung dengan NDX gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan; maupun D.P.M.B. (4) Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti Pergerakan musik indie akan dalam taringnya di tanah air pada sekitar tahun 90-an, menggambarkan konteks atau setting untuk suatu ditandai dengan munculnya berbagai macam jenis kasus. genre musik yang diakomodasi oleh label-label Lokasi yang diambil dalam penelitian ini adalah mandiri, tidak terikat kepada pasar yang massive, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan struktur juga dengan produksi musik yang sederhana namun budaya yang kuat dan mengakar, karena peneliti mengena, dalam perkembangannya skena musik juga memiliki pengalaman dalam menyaksikan indie langsung event indie music di sekitar wilayah kemunculan beberapa band seperti: The Upstairs, Yogyakarta, juga melakukan pengamatan mengenai Goodnight Electric, Mocca, Maliq and D’Essentials, perkembangan awalnya Sore, Pure Saturday, bahkan Endank Soekamti dan dilakukan dalam lingkup micro gigs hingga sampai Shaggydog yang akrab dengan Doggyhouse Record- saat ini telah mampu menembus acara sekelas nya (Tantagode, 2008). festival. Alhasil penelitian ini akan mengeksplorasi Dalam perkembangannya, dewasa ini banyak dan mengamati kehidupan bermusik informan musisi-musisi yang menciptakan sendiri musiknya mulai lewat “menghabiskan dari musik latihan, waktu” Hiphop yang rekaman, pertujukan tanah air mulai mungkin rumah-rumah tidak produksi mempertajam asing kecil oleh yang langsungnya ataupun dengan mendatangi official mengandalkan kolektivitas sederhana ataupun store merchendise, dan kelompok-kelompok terkait sebuah organisme atas rasa saling percaya. informan. Kemudian musik ini juga dipasarkan dengan cara yang tidak biasa, hanya dari mulut ke mulut (lisan), maupun serangkaian silaturahmi antar penggiatnya 122 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma (buddy to buddy). Akhirnya musik ini mampu Resiko muncul ke permukaan akibat dari rasa perlunya mendominasi itu ternyata memunculkan hegemoni memberi alternatif lain atas apa yang masyarakat atas kedudukan musik yang diperdengarkan. dengarkan, sebab musik-musik yang dengan mudah Memaknai analisis hegemoni yang dijelaskan oleh didapatkan Gramsci sebagai sebuah dominasi yang akan terus dipasaran akan terasa makin membosankan dari waktu ke waktu. hadirnya musik yang makin berlanjut pada masyarakat kapitalis, Stuart Hall (dalam Hebdige, 1979) menerangkan bahwasanya Walaupun pada perkembangannya musik indie lewat sub-genre hiphop di dari terminologi hegemoni merujuk kepada situasi Yogyakarta juga alienasi sebagian kelompok atau grup yang mendapat tantangan yang sulit dalam kontestasinya mendominasi otoritas sosial dari kelompok sub- terhadap industri yang lebih mapan (major), karena ordinasi, bukan hanya dengan kekerasan atau major label menguasai hampir seluruh aspek atas mempengaruhi ideologi secara langsung, tetapi pasar. Sementara itu musisi dari jalur mandiri terus dengan berusaha mencari cara agar tetap dapat bertahan cara memenangkan dan membentuk persetujuan sehingga kekuatan kelas yang dominan hidup dari gempuran industri yang makin terasa muncul dengan cara yang sah dan alami. tidak adil. Untuk itu dalam konsep sosiologis hal ini bisa dijelaskan oleh rangkaian teori hegemoni dan Dua kekuatan ini akan saling tarik menarik dalam subkultur yang dibawa oleh Gayatri Spivak dan Dick “pasar”nya masing-masing, oleh karena itu arah Hebdige. tulisan ini akan memaknai penjelasan Dick Hebdige mengenai subkultur yang ada didalam relasi sosialkebudayaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa “…ketegangan antara kelompok dominan dengan bawahan dapat ditemukan pantulannya pada tampilan subkultur – dalam gaya yang disusun dari objek-objek sepele yang bermakna ganda” (Hebdige, 1979). Untuk itu musik indie lahir sebagai counter hegemony simbolis atas tampilan atau gaya hidup yang dilakukan sebagian golongan yang mendominasi. Artinya mereka yang berada pada sisi indie akan menampilkan gimmick yang unik dan bahkan ironis hanya untuk membuktikan bahwasanya budaya dan cara berpakaian yang seperti itu juga merupakan sisi yang humanis dan juga bagian dari kebudayaan masyarakat. Gambar 01. Skema Alur Kerangka Teoritis (Sumber: penelusuran kerangka teoritis oleh Reza Putradarma, 2017) Kemudian merujuk kepada semiotika Barthes (dalam Hebdige, 1979), bahwasanya para pelaku musisi yang merepresentasikan subkultur itu 123 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma mencoba mencari perbedaan atas simbol yang hegemoni dalam perkembangannya menciptakan mereka kenakan, yang tidak bisa mereka temukan suatu pada budaya populer. Pada dasarnya Barthes hegemony’, sebagaimana kutipan berikut ini; hendak mempelajari (humanity) memaknai bagaimana hal-hal kemanusiaan (things) kritik yang dikenal sebagai ‘counter “Of these new levels, the homological has become yang famous as an account of how particular items reflect mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai the structured concerns and typical feelings of a kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari group, as, say, the black leather jacket does for bikers. pengalaman kultural dan personal). Teori ini akan Each homology arises from an ‘integral’ process of menjembatani konsep yang ada di dalam budaya selection and cultural work on an object or item, in a musik hiphop-dangdut dan hiphop-oldschool yang complex dialectical way, naturally. As a result, current muncul di Yogyakarta sebagai sebuah proses members of a group are not subjectively aware of hegemoni tanding atau counter hegemony terhadap these structural meanings, embedded in the history of hegemoni industri musik dominan. Subkultur dalam the black leather jacket in previous cycles of provision, kajian ini menunjuk pada sebuah simbol atas transformation and resistance” (David Harris, 1992: pemaknaan ganda bahwasanya musik dangdut itu 69) mampu “disejajarkan” dengan musik-musik lainnya Memaknai pandangan David Harris (1992) bahwa di dunia, terutama budaya lokalnya yang mampu pada tingkatan yang lebih lanjut, counter hegemony diakulturasikan dengan musik hiphop Barat yang dibentuk oleh sebuah homologi (kesamaan asal- juga sarat dengan pergerakan para kelompok usul) yang mencerminkan sebuah pandangan gangster, walaupun sekarang telah menjadi industri terstruktur dan keterwakilan yang diakomodasi yang dominan. Akibat dari hadirnya hegemoni dalam sebuah kelompok kolektif, cerminannya budaya ini juga yang akhirnya membuat musisi- dapat dikatakan seperti identitas jaket kulit pada musisi indie sebagai sebuah kelompok subkultur “bikers”, menciptakan daya defensifnya tersendiri, dalam tentang bagaimana simbol tersebut terbentuk menjadi sebuah identitas subkultur. bentuk hegemoni tanding (counter hegemony) yang aplikasinya tercermin pada aktivisme-aktivisme Di dalam konteks ini gaya berpakaian ataupun musisi dalam menjalankan sebuah kehidupan gimmick yang ditampilkan oleh para pelaku bermusik. Sebab itu dimungkinkan karena konsep subkultur bersifat kompleks, namun alami. Artinya counter hegemony adalah jawaban dari lahirnya mereka sebagai kelompok yang terdominasi secara hegemoni. kultur akan menunjukan bagaimana gaya yang “ironis” seperti yang kelompok mereka tampilkan Istilah counter hegemony atau hegemoni tanding sebagai sendiri muncul dan dibawa oleh para intelektual sebuah bentuk perlawanan, padahal sebenarnya ini adalah sebuah kebudayaan yang neo-gramscian yang ingin melengkapi pandangan nampak, dan hadir secara sederhana, berdampingan tentang bagaimana hegemoni itu hadir dan dengan budaya dominan. bagaimana perlawanan pada sebuah hegemoni akhirnya “pecah”, oleh karena itu, hadirnya 124 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma Berangkat dari hal ini, musisi indie kemudian juga ditemukan di major label, karena secara ideologi menciptakan mereka akan mempertahankan musik dengan genre sebuah “perlawanan”. Melihat pandangan Hebdige (dalam Harris 1992) adapun populer yang tentu atas asas keuntungan. perlawanan ini dibentuk oleh sebuah konsep Selanjutnya dalam hal fashion, isolasi, dan kondisi homologi yang memiliki peran utama, ini juga dapat homogenitas (keseragaman), musisi indie ini menjelaskan bagaimana “sacred object” menjadi mencoba begitu penting, dimana “benda sakral” ini tertanam menampilkan bentuk khusus, yang berbeda dari kelompok dominan. McRobbie (1991) pada tiap indentitas kelompok, memberikan makna menjelaskan hal ini sebagai istilah kaum “hippy”, kode sistem nilai, dalam hubungannya dengan mereka menciptakan gaya pribadi yang lebih unik, subkultur. bahkan aneh, dan hal ini di ekspresikan dalam gaya Dalam konteks musisi hiphop indie label, baik grup berpakaian tanpa memperhitungkan status sosial D.P.M.B dan NDX melalukan strategi hegemoni ataupun pekerjaannya, misalnya apakah dia adalah tanding sebagai bentuk perlawanan mereka, dengan seorang pegawai kantoran atau seorang pelajar, musik hiphop-jawa tentunya, hingga akhirnya tetapi justru dengan hadirnya gaya unik tersebut konsep mampu ini membawa mereka pada praktik menembus batas-batas “moralitas”. aktivisme pemberdayaan dan suatu bentuk counter Pandangan ini juga menyempurnakan pandangan hegemony secara simbolik. Sebagai contoh dalam Hebdige yang meneliti tentang gaya dan subkultur tiap lawatan tour-nya kedua kelompok ini kerap anak “punk” yang menurutnya sangat berbeda menampilkan kebudayaan Jogja yang begitu bangga dengan anak jalanan pada umumnya. Karena anak mereka representasikan, atau sekedar melihat punk ini memiliki ideologi konsisten dalam kesederhanaan memandang sebuah sistem dan juga sebagai agensi mereka dalam keseharian kehidupan bermasyarakat. perlawanan itu sendiri. Karena disadari atau tidak, dengan kehadiran Dari semua penjelasan tersebut akhirnya counter mereka menjadi hegemony ini muncul dalam berbagai bentuk penyemarak “aktivisme” produktivitas yang masif aktivisme yang diciptakan oleh para musisi indie bagi para pelaku industri mandiri lainnya di Jogja. label untuk membentuk sebuah adaptasi budaya Sebagai contoh di sepanjang tahun 2000-an ini yang belasan label dengan jalur indie muncul ke bagaimana para musisi indie ini hidup dalam permukaan dalam setiap tahunnya, tak terkecuali di kerangka komunitas-kolektif. Sehingga hal ini Yogyakarta. Yogyakarta pun memiliki banyak dimaknai oleh para musisi non-profesional sebagai records label mandiri yang didirikan secara kolektif bentuk celah, peluang, dan pembuktian bahwasanya (Doggyhouse Record, Yesnowave, Hellhouse dan mereka memiliki kemungkinan untuk menciptakan lain sebagainya). Berbagai macam genre pun sebuah bentuk perlawanan yang lain, misalnya nyatanya mampu mereka wadahi (Punk, Jazz, Metal, lewat skema glokalisasi dan hibridasi, dalam Folk, ataupun Hiphop), kemajemukan ini juga kerangka subkultur tentunya, karena di dalam ke permukaan juga turut memberikan warna lain yang mungkin tidak bisa pemaknaanya dapat tercermin pada subkultur ini menjelaskan bagaimana indie label 125 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma hidup, memperkuat solidaritas in-group mereka Glokalisasi pertama kali diperkenalkan oleh seorang lewat komunitas-kolektif, dan apa saja aktivisme sosiolog bernama Roland Robertson (1992) yang dalam skema defensif-oposisifnya. Alhasil bentuk- berarti pertemuan antara budaya lokal dan global, bentuk baru ini menjadi sebuah jawaban atas dimana lahirnya akulturasi budaya yang di aplikasikan oleh sehingga dalam pengertian yang lebih luas bentuk dua kelompok hiphop lokal Yogyakarta, mereka ini menjelaskan makna “berfikir global, bertindak mengakuisisi kelompok mereka dengan nama lokal”. Untuk itu pengertian ini dipakai dalam D.P.M.B (Dua Petaka Membawa Bencana) dan NDX menjelaskan fenomena lahirnya hiphop-Jawa yang A.K.A FAMILIA. Keduanya sama-sama lahir di kerap membuat para pendengarnya penasaran Yogyakarta, D.P.M.B lahir dari rahim komunitas dengan siasat apa yang mereka bawa. hobby yang kuat, sementara NDX lahir dengan kepercayaan diri yang tinggi, kontestasi ini direfleksikan kembali Musik hiphop-Dangdut adalah salah satu alternatif dalam lain dalam memandang kebudayaan universal lewat memperdengarkan sebuah adaptasi genre yang baru kacamata kelokalan, sebab musik ini baru di dan sarat makna, yaitu hiphop-dangdut. Namun adaptasi, bahkan menjadi salah satu yang pertama di keduanya dari mereka sama-sama membawakan dunia. Salah satu aktornya adalah grup NDX A.K.A hiphop pada sudut pandang kelokalan yang hasilnya Familia, sebuah kelompok kolektif pertemanan yang terbilang unik. berdiri di Kabupaten Bantul, musik yang mereka Baik D.P.M.B dan NDX pun nyatanya memiliki mainkan nampak sangat lazim di kuping orang aktivisme yang bermacam-macam pula dalam indonesia dengan lirik yang sederhana tentang memaknai counter hegemony ini, mulai dari keresahan dan kekalutan kaum muda akan cinta. penyelenggaraan event kreatif, studi diskursif, Namun jika ditelaah lebih jauh sebenarnya kita akan pemberdayaan propaganda temukan potongan lirik padat sarat makna ala ideologi lewat media massa. Kehadiran mereka juga hiphop dengan rap terselip di dalamnya, sebab itu dapat dimaknai sebagai suatu strategi dalam mereka mengakuisisi kelompok mereka beraliran melakukan konsep glokalisasi-hibridasi terhadap hiphop-dangdut. Atau mencoba melihat musik budaya global yang mampu diserap dengan baik hiphop-jawa yang dibawakan D.P.M.B dengan skema dengan tetap mempertahankan unsur kelokalan. yang lebih menggigit, terang-terangan dan dengan Glokalisasi-hibridasi nuansa oldschool-nya yang hangat, maka kita akan masyarakat, secara dan umum dipahami sebagai; dibuat heran apakah yang mereka cari dalam menciptakan sebuah aktivisme bermusik. “it is these cultural barriers that separate “us”; it defines us; ultimately, it finished us: “culture, rather Akibatnya adaptasi genre baru yang menjadi than being added on, so to speak, to finished or alternatif tersebut membawa kita pada aktivisme virtually finished animal, was ingredient, and seni yang lainnya, hingga kemudian konsep ini lebih centrally ingredient, in the production of that animal dikenal sebagai “hibridasi” yaitu sebagai aktor sosial itself” Geertz (on Robertson, 2007). yang mensintesis fenomena budaya lokal dan lainnya untuk menghasilkan praktik budaya yang 126 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma berbeda dalam bentuk hybrid, baik bersifat institusi C. Indie Label di Yogyakarta: Hellhouse dan NDX Home Records Label ataupun makna (Friedman, dalam Robertson, 1992). Karena musik hiphop lokal yang kemudian hidup Indie label di Indonesia sendiri pada umumnya dari jalan mandiri ini menciptakan sebuah bentuk berkembang sejak era 70-an, pada masa itu glokalisasi, maka hal ini menurut Friedman (1992) sebagai sebuah kemampuan budaya kemudian lebih dikenal dengan musik underground. lokal Istilah underground itu sendiri sebenarnya telah mengadaptasi budaya kuat lainnya (global). Padahal digunakan ‘Majalah Aktuil’ asal Bandung yang hal ini ditampilkan oleh D.P.M.B dan NDX dalam banyak membahas tentang musik dan gaya hidup, bentuk yang laten, tidak terlihat, namun memiliki dengan mengidentifikasi band-band yang beraliran keterwakilannya sendiri sebagai sebuah grup musik hiphop “kabupaten” yang lahir, besar, “liar” dan “ekstrem” (Tantagode, 2008). Sebagai dan pendahulu mungkin band-band seperti God Bless, berkembang di ranah ke-Yogyakartaan. Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), SAS (Surabaya), Mereka sangat bangga menampilkan bagaimana Giant Step, Super Kid (Bandung), hingga Rawa kearifaan lokal itu terjaga, dengan lirik berbahasa Rontek (Banten) mungkin tidak asing lagi di telinga jawa, dengan penggambaran-penggaraman makna penikmat skena musik undergorund pada tahun- ruang pada tiap video musiknya, bahkan dalam tahun pemakaian atribut-atribut. Akhirnya dari ke tiga tersebut. perkembangan kerangka analisis teoritis ini kemudian dipakai Di musik Yogyakarta ini sangat sendiri menggila, dibuktikan oleh awal-awal kemunculan komunitas untuk menganalisis berbagai bentuk aktivisme yang undergorund Yogyakarta, salah satunya adalah Jogja coba dijalankan oleh kedua grup hiphop NDX dan Corpsegrinder, dalam komunitas ini juga diproduksi D.P.M.B lewat komunitas dan tentunya skema fanzine pemberdayaan sebagai bentuk pertahanan “hidup” Megaton, mereka. Sebab musik adalah jalan dari berbagai underground dan yang seperti paling Human Waste, menonjol adalah kehadiran gig “Jogja Brebeg” yang hingga saat ini macam pemberdayaan, dibuktikan seiring dengan telah terlaksana sepuluh kali.2 berdirinya official store, brand merchandise, ataupun Yogyakarta juga menjadi salah satu wadah dalam diskursif seminar kreatif yang mengajak masyarakat aktivisme musik Hip-Hop yang telah ada setidaknya untuk tetap memperjuangkan kemauannya. hingga saat ini, nama-nama seperti Los Pakualamos, NOK37, Xaqhala, Jogja Hiphop Foundation, sampai yang teranyar D.P.M.B tidak asing lagi di telinga skena Hip-Hop Yogyakarta, walaupun personilnya masih berisi orang-orang lama yang telah berkiprah di dalam macam-macam genre yang ada di Yogyakarta. Mengambil contoh seperti Mamok Wawancara dengan Donnero personel D.P.M.B pada tanggal 22-3-2017 2 127 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma (M2MX) yang pernah terlibat dalam sebuah kemudian berpindah di warung angkringan sekitar kelompok hiphop “Jahanam” yang disajikan dengan Jalan Wijilan Yogyakarta, berangkat dari situ nuansa lokal, lalu sembari melahap Jogja Hiphop kemudian mereka mulai memiliki keinginan untuk Foundation, dan aktif pula di D.P.M.B. Sebab mendirikan sebuah records label yang mandiri, aktivisme yang dilakukan di Yogyakarta menjadi tetapi belum memliki tempat yang layak. Namun sangat cair, terutama antar pelaku seni hiphop, pada saat itu mereka-mereka yang terlibat dalam mereka berangkat dari satu kolektivitas, satu tujuan, skena tersebut telah menginisiasikan banyak event dan yang terpenting sama-sama ingin mengangkat hiphop budaya lokal mereka dalam sudut pandang hiphop. mendatangkan Iwa K ke Yogyakarta. Adalah sampai pada puncaknya berhasil “Donnero” Alexander Sinaga yang dibantu oleh Tidak terkecuali sebuah records label hiphop yang Pampam dan Negro yang kemudian mampu dibentuk oleh sekelompok anak muda Yogyakarta mendirikan sebuah records label mandiri yang yang kendalinya menjadi sangat humanis, dengan mereka sebut HellHouse.3 asas pertemanan tetapi pun mereka mampu bertindak secara profesional, sebab balik lagi ke Hellhouse pula banyak menginisiasi berbagai persoalan tersebut bahwasanya mereka berdiri macam aktifisme seni dalam jaringan network pada visi yang sama. Apa yang mereka lihat akan online dan offline, mulai dari membuat berbagai menjadi bermacam-macam, namun mereka sepakat macam challenge musik, diskursif seni, maupun untuk berada pada tujuan dan cita-cita yang ajeg, studi-studi produktivitas lainnya. Bahkan yang mungkin dan paling dekat, mereka akan mencoba membuat event mempertahankan “Beat to school” yang tujuannya adalah menggugah produktivitas itu sampai saat ini, atau memang produktivitas seni anak muda bukan cuma dalam mereka seperti memiliki sebuah semangat yang musik Hiphop, tetapi mereka akan diajarkan perihal terus membara untuk dapat menghangatkan skena cara membuat musik yang proper, dengan segala hiphop di Yogyakarta, karena hiphop saat ini pun macam sangat berkembang luas di Indonesia, apalagi kalau bagaimanakah semangat itu dibentuk dalam segala kita mau menengok ke Jakarta, beberapa musisi macam aktifitas yang mereka sukai. Hal ini di- dengan sadar membelok ke ranah hiphop tanpa inisiasi untuk mengarahkan kreatifitas anak muda memperdulikan apa yang mereka kuasai. Jogja kearah yang lebih positif, karena menurut memang keberuntungan Pertama ada sebuah untuk sebuah dapat kebetulan kolektivitas edukasi mixing, mastering, dan Donnero budaya klitih dan tawuran itu sangat tidak bernama keren. HellHouse Indo (Yogyakarta), yang mencuat ke permukaan pada tahun 2007. Cerita bermula dari sebuah obrolan di rumah Mas Negro yang juga menjadi tongkrongan para fans hiphop saat itu, Wawancara dengan Yonanda Frisna Damara personel NDX tanggal 27/03/2017 3 128 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma itu mereka juga sangat suka mendengarkan musik dangdut, dan tanpa pikir penjang mereka mencoba mengaplikasikannya kedalam sebuah akulturasi genre hiphop-dangdut, dengan melodi yang syahdu tetapi liriknya menjadi khas karena memakai bahasa jawa dan diiringi dengan potongan-potongan padat lirik ala Rap. Setidaknya dalam perkembangan bermusiknya NDX telah mampu memproduksi 30-an lebih karya orisinil yang mereka buat sendiri di bawah NDX Gambar 02. “Beat to School” Hellhouse x Desle Shoes (Sumber: data primer penelitian, Reza Putradarma, 2017) Home Record Label. Sebab mereka merasa memang musik mereka sulit untuk masuk kedalam pasar yang lebih dominan, mereka dengan bangga Kemudian yang kedua ada seorang anak muda menyebut diri mereka hip-hop kabupaten, tanpa bernama Yonanda, yang memulai karier dengan pernah tersadar bahwasanya mereka akan terus mengupload karya-karya musiknya pada sebuah berkembang dan terkenal secara nasional. Dari website streaming online http://reverbnation.com , record label yang mereka dirikan pula mereka Yonanda mencari pernah merasakan dibayar dengan nasi kotak, peruntungan dalam dunia hip hop, awalnya ia hanya sampai sekarang mereka mengaku fee hasil iseng-iseng mengkomposisi lagu sendiri mulai dari manggung mereka sebanyak maksimal 35 juta yang paling sederhana menggunakan editor audio rupiah. Kesuksesan ini pun tidak mereka sangka- gratisan, kalangan sangka akan sebegitu di apresiasi oleh begitu banyak masyarakat banyak yang menyukai karyanya, masyarakat yang mendengarkan, tidak hanya dari sehingga langsung mendapat respon positif. kalangan root, tetapi yang menengang keatas pun Frisna Damara kemudian mencoba ternyata dari nyatanya mampu ikut bergoyang dan berdendang. Akhirnya Nanda mulai memberanikan diri untuk terjun kedunia hip hop yang lebih serius, ia kali ini Pun sebenarnya Home Record Label yang coba mulai belajar menciptakan musik yang lebih proper dibangun oleh NDX tidak dapat dilakukan secara dan lebih terakomodasi dengan baik. Lewat NDX maksimal. Sebab menurut Yonanda Frisna Damara Home Record Label, Nanda mencoba bekerja sama salah seorang Frontman dari NDX: dengan Pjr MC yang juga teman seperjuangannya, “Wah kalo Home Record Label itu dulu mas, dulu saya nama NDX kian melejit di kancah radio kabupaten punya teman bisa audio tapi engga punya pekerjaan, seperti Radio Nganjuk, Magelang dan tentunya yowis lah saya tarik buat home record tapi kok ga Yogyakarta. Padahal, mereka dahulu bekerja sebagai jalan, dia kurang serius, trus tak bubarin, tapi itu buruh bangunan dan mengaku hanya dalam rangka bukan untuk ndx, karena ndx engga rekaman disitu, gambling dalam menciptakan sebuah musik, ketika 129 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma tetep di studio Crazygila, itu buat orang orang yang The DJ) nyatanya hingga sekarang telah sampai pengen nyalurin lagunya itu aja mas.” kepada pasar nasional bahkan internasional. Sebab lanjut Nanda ia merasa terkadang dengan Perkembangan pasar hiphop di Yogyakarta juga hadirnya orang-orang terdekat pada management sebenarnya tidak dapat dikatakan pada situasi yang justru akan menghambat perkembangan tim, karena stagnan, nyatanya justru perkembangan musik masih adanya perasaan “tidak enak” jika harus hiphop “mengeluarkan” mereka alih-alih tidak bekerja Yogyakarta pada dunia internasional, dan lagi-lagi dengan usaha yang maksimal. JHF menjadi aktor utama dalam pengembangbiakan memang mereka bekerja dengan kesadaran yang sama, yaitu sama-sama menggemari hiphop sebagai itu Nanda kepada romansa jawa kalangannya berangkat dengan harapan yang seadanya, untungkarena kembali membuktikan jalan hidup mereka. Tetapi NDX tidak, mereka oleh yang memperkenalkan budaya kultur hiphop Yogyakarta ke seluruh antero global, Sedikit berbeda dengan Hellhouse-nya D.P.M.B yang untungan, ini atmosfer klasik bahwa yang sederhana justru mereka luas, JHF dengan mampu digemari seperti yang oleh kerap digaungkan kelompok ini bahwasanya mereka bercerita memang berangkat pada budaya yang melatar bahwasanya ia dan PJR MC (personil NDX yang lain) belakangi mereka tetapi dengan wujud dan kerja mulai memikirkan untuk membuat tim yang keras yang juga tidak main-main, alhasil keadaan ini mengurusi segala urusan dari mulai produksi hingga mampu menjadi “bonus” bagi keberlanjutan karier distribusi baik di musik maupun merchendise. mereka. Akhirnya terpilihlah orang-orang seperti Mas Andi Bendol pada arranger, PJR sebagai personil, Ibu Heni Setelah itu mungkin tidak banyak yang lebih Noviyani sebagai manager, Adit sebagai disk jookey, berkembang Baruna yang menjadi asisten artis, Gunawan dan eksistensional, namun kemunculan band-band Rudi memegang merchendise, dan Heri Putra hiphop gaya baru pun tidak membutuhkan waktu Manunggal yang didaulat sebagai cameraman. yang lama untuk dapat tumbuh di Yogyakarta, Los daripada JHF dalam skala Pakualamos, NOK37, Begundal Clan, Xaqhala, dan Mario Zwinkle nampaknya menjadi jajaran musisi D. Hiphop dan Yogyakarta hiphop-lokal yang patut diperhitungkan namanya, Setidaknya hiphop telah muncul di Yogyakarta sejak bahkan orang-orang yang berasal dari fanbase tahun 90-an, dan perkembangannya dimulai dari hiphop dan rumah produksi di daerah Jakarta tahun 2000-an, pada awal-awal perkembangannya tertarik untuk membawa nama-nama tersebut ke kemunculan hiphop di Yogyakarta dimulai dari para dalam belantika industri musik mereka, entah untuk pendahulnya seperti Jahanam, dan Jogja Hiphop suatu acara, wadah advertising, maupun produksi Foundation (JHF). Jahanam yang menampilkan rekaman yang tentunya sangat menggiurkan. Mamox (M2MX) dan Jogja Hiphop Foundation yang Di Yogyakarta itu pula hiphop hidup, menyatu banyak dipublikasikan Marzuki Mohammad (Kill dengan segala kultur jawa, budaya, bahasa, krama, 130 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma dan dari pergaulan hidup sehari-hari. Dalam bahwa musik mereka dapat diterima secara luas beberapa kali kesempatan penulis menyaksikan oleh masyarakat berkat lirik-lirik yang mereka event musik yang menghadirkan musisi hiphop, tawarkan adalah sebuah keresahan anak muda yang dengan model apapun mereka hampir dipastikan terwakili, oleh karena itu mereka mengakuisisi dapat membaur dengan segala macam wadah. musik mereka sebagai “dangdutnya anak muda”. Mengambil contoh kolaborasi Shaggy Dog yang dimotori oleh Heru Wahyono dengan NDX A.K.A FAMILIA pada gelaran Mocosik Festival di JEC (Jogja Expo Center) pada bulan maret 2017. Sifat-sifat kuluwesan ini yang menyebabkan kehidupan musik di Yogyakarta bisa langgeng, karena para pelaku dapat membaur menjadi satu tanpa membuat perbedaan, oleh karena itu sifat kolektivisme musik hiphop di Yogyakarta menjadi cair.4 Dalam wawancara Donnero mengakui jika harus menjalani ini dengan ikhlas dan nyaman, ia yakin dengan begitu akan banyak orang yang mampu mengapresiasi karyanya. Hasilnya D.P.M.B dianugerahi penghargaan oleh Rolling Stones Gambar 03. Yonanda dan Peneliti di Lokasi NDX Store (Sumber: dokumentasi Reza Putradarma, 2017) Indonesia sebagai “20 Album Indonesia Terbaik 2015” dan mampu menempati urutan ke-11 dalam tajuk “Re-Attitude”, mengalahkan album-album nasional lainnya yang mungkin namanya sudah Dari temuan langsung hasil pengamatan dan tidak asing lagi.5 wawancara di lapangan pun penulis merasakan Sedikit berbeda dari Donnero, bagi Nanda dan Fajar atmosfir yang luar biasa, disebuah desa berbatasan kesederhanaan itu yang utama. Dengan sadar dengan Sungai Progo NDX Store berdiri, juga mereka mencari peruntungan yang lain dengan jalur kebetulan sebagai tempat tinggal Nanda dengan hiphop-dangdut, walaupun mereka mengaku bukan neneknya. Meskipun begitu para penggemarnya yang pertama dalam mengadopsi musik ini, karena yang loyal terus berdatangan ke tokonya untuk sebelumnya akulturasi musik hiphop dangdut telah sekedar berdiskusi sembari berbelanja dan berfoto, ada di Yogyakarta, beberapa tahun sebelum Gunawan (store management NDX) mengakui kemunculan NDX. Namun Nanda tetap mempercayai bahwsanya walaupun terletak jauh dari pusat kota Wawancara dengan Donnero personel D.P.M.B pada tanggal 22/03/2017. 5http://www.rollingstone.co.id/article/read/2016/01/0 4 7/140505788/81/20-album-indonesia-terbaik-2015 diakses pada tanggal 26/5/2017, pukul 14.45. 131 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma tokonya tak pernah sepi, banyak dari para teman mementingkan pandangan untung-rugi, tentang dan pendengar setia NDX yang berdatangan untuk industri, yang padahal mereka sendiri (para musisi) sekedar mampir “menjenguk” Nanda, hal yang menyadari dan tahu betul tentang bagaimanakah sangat cair, berupaya membuat fans seperti seharusnya keluarga sendiri, dan merangkulnya. masyarakat, tetapi sejarah tetaplah sejarah yang untuk mendapatkan tempat di hanya bisa dicatatkan oleh pribadi itu sendiri. Yogyakarta menjadi salah satu dari beberapa kota di Indonesia dengan perkembangan industri musik E. Menjawab Analisis Indie label Lewat Perpektif Subkultur Hiphop: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? yang dominan selain Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan massivenya perkembangan industri media rekaman Pada catatan sejarahnya tersendiri skena musik yang ada di Yogyakarta, melihat pada tahun 2012 hiphop tanah air memang tidak semegah di barat, misalnya menurut data badan pusat statistik: melihat kepada negara-negara Eropa dan Amerika, dimana hiphop menjadi begitu dominan dan tentunya mendapat tempat di dalam industri pun masyarakat. Pergerakan ini menjadi begitu menggeliat atas kehendak ketidak-inginan untuk melanggengkan sistem politik yang bobrok, ataupun sekadar meletakan kegelisahan pribadi agar dapat diapresiasi. Begitu pula di Yogyakarta, dua kelompok musisi hiphop lokal mencoba mencatatkan sejarah yang harapannya akan terkenang dalam ranah hiphop Indonesia. Mengutip pendapat Marx (dalam Sutresna, 2017) “man makes his own history”, “manusia membuat pelajaran sejarahnya sendiri, ia dapat mengubah alam sekitarnya sedemikian rupa agar ia dapat hidup... “Diperlukan dasar materialis atas penulisan sejarah di mana pada saat itu ia pun menemukan cara membaca sejarah berdasarkan pengetahuan tentang hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat. Dalam kacamata sosiologis hal ini dapat dimaknai dengan bagaimana seseorang dapat berkarya tanpa 132 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma konsep ini dapat dimaknai sebagai sebuah proses industrialisasi yang lebih masif lagi. Dalam konteks ini Gramci juga menyebutkan bahwa hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya (Sutiyono, 2012). Artinya, menganalisis pada jangkauan yang lebih luas lagi, menyoal kepada sebuah counter hegemony atas hegemoni kultural dominan yang dirasakan oleh musisi hiphop terhadap ruang industri yang sulit “dikejar” menciptakan sebuah pengertian yang lain. Bahwasanya pada saat ini hegemoni tidak melulu adalah sebuah penindasan dari kelas dengan dominasi kuat terhadap kelas-kelas sub-ordinat yang lainnya, tetapi lebih kepada mekanisme konsensus (persetujuan) yang lebih fleksibel. Misalnya, untuk seorang atau sekelompok musisi yang ingin karyanya mendapat tempat di industri dan dikenal oleh masyarakat luas mereka harus menjadi “budak pasar”, setidaknya mereka harus mengubah sedikit banyak ideologinya untuk menjadi seperti yang pasar inginkan, walaupun tidak semua industri (major) mengisyarakatkan hal yang sama dalam maharnya. Kembali melihat pada subkultur yang menjadi Tabel 01. Jumlah Perusahaan Industri Besar dan Sedang di DIY (Sumber: Data BPJS).6 perspektif utama dalam penelitian ini adalah bagaimana indie label ini terbentuk dan apa sajakah faktor dari terbentuk indie label ini. Dalam kacamata Melihat pada analisis sosiologisnya indie label semata-mata tidak dapat dipandang yang lebih sempit lagi misalnya bagaimanakah secara hiphop akan terus hidup sebagaimana periodisasi sederhana, misalnya dengan mengaitkan bahwa sejarahnya sejak zaman dahulu sebagai sebuah movement ini adalah sebagai bentuk perlawanan dalam segi budaya saja. Lebih jauh daripada itu 6 https://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/32 diakses pada tanggal 7/6/2017, pukul 12.32. 133 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma musik dengan ideologi hipster dapat dijelaskan oleh hidup dengan jalur mandiri adalah sebuah sikap, Stuart Hall (dalam Hebdige, 1979): tidak hanya menyoal kepada musik tentunya. “It is precisely its quality, its Sebuah sikap ini tentunya yang menjadi pegangan transparency, its ‘naturalness’, its refusal to be made mereka dalam mencerminkan nilai-nilai kehidupan to examine the premises on which it is founded, its dan dituangkan dalam lirik dan musik yang resistance to change or to correction, its effect of diciptakan. Tentang bagaimana karakter kelokalan instant recognition, and the closed circle in which it yang dalam hal ini Yogyakarta mampu digambarkan moves which makes common sense, at one and the secara lunak dan jujur tentunya, sehingga mampu same and membawa kita pada ingatan-ingatan terdahulu unconscious. You cannot learn, through common tentang bagaimana kota itu hadir dalam kehidupan, sense, how things are: you can only discover where apalagi musisi-musisi ini selalu membawa realitas they fit into the existing scheme of things. In this way, yang terjadi di sekitar: mengkritisi bagaimana its very taken-for-grantedness is what establishes it as ketidakadilan itu hadir, krisis ruang, dan tentunya a medium in which its own premises and pemberdayaan terhadap sekitar. time, ‘spontaneous’ ‘spontaneous’, ideological presuppositions are being rendered invisible by its Situasi seperti ini menjadi lebih kompleks untuk apparent transparency.” dijelaskan sebab mereka memaknai hidup dengan Membaca pada pengertian Hall, musik indie lewat musik, subkultur hiphop tidak dapat juga dimaknai secara penggambaran tersebut juga hadir dengan dan sempit, karena justru kualitasnya berada pada sisi tanpa sengaja, jadi musik indie tersebut memang “spontanitas” dalam berkarya, dan karena sifatnnya dapat dijelaskan dari kedua belah kutub dalam alami, maka counter hegemony terhadap perubahan faktor pembentuknya. Di satu sisi musik indie juga Dimana dimaknai sebagai alternatif pasar baru, di sisi yang kemungkinan-kemungkinan ini tidak pasti dan bersebrangan ternyata indie label adalah sebuah dinamis, yang dapat dieksplorasi adalah bagaimana subkultur yang hadir tanpa adanya niat dan kultur ini dapat cocok dengan skema yang sama, cenderung “apa adanya”. menjadi sesuatu yang wajar. dilihat dari persamaan kebudayaan yang bersifat atau sebaliknya. Penggambaran- Oleh sebab itu subkultur hiphop menjadi sesuatu eksklusif, berdasarkan kolektivitas. Menebak-nebak yang menarik untuk dibahas, apalagi di Yogyakarta tentang bagaimana tujuan mereka dalam bermusik, ada dua kelompok hiphop lokal yang mencoba dan apa yang menjadi latar belakang mereka (musisi “menjajal” panggung nasional dengan gebrakan indie) dalam bermusik akan menjadi sulit, sebab yang terbilang unik, keduanya mampu tetap seperti apa yang telah dituliskan oleh Hall tadi membawa isu-isu lokal pada frame hiphop, namun bahwasanya hal ini menjadi sesuatu yang “taken-for- tidak justru keluar dari hakikat hiphop itu sendiri, grantedness”, sebagai apa yang telah ditetapkan. mereka mengamalkan hiphop dengan caranya Kesederhanaan mereka tercermin bukan hanya dari masing-masing, namun tetap pada koridor mandiri perilaku bermusiknya, tetapi dari bagaimana (indie label). Untuk itu pertanyaan besar penelitian ideologi itu mereka tuangkan dalam hidup, sebab 134 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma ini adalah menjawab “Bagaimana indie label muncul indie label dalam sifat counter hegemony-nya. sebagai alternatif dari pasar musik mainstream? Keduanya sama-sama memiliki basis ideologis sama, Ataukah indie label merupakan strategi menciptakan dengan kacamata alternatif tentunya, berusaha pasar baru?” mencari peluang selebar-lebarnya dalam memasuki ranah industri, atau sekedar memperlihatkan kepada dunia bahwa dengan keterbatasan mereka F. Hiphop Indie Label Sebagai Musik Alternatif Pasar tetap dapat berkarya, jauh dari pandangan mainstream. Hiphop dan indie label memang memiliki ruang Hal tersebut mewakili pandangan kaum alternatif analisis yang sangat luas, sebab lingkup dominan dalam bidang seni, seperti misalnya musisi indie kajian ilmu ini sangat beririsan antara satu dengan atau genre-genre diluar pop seperti: jazz, reggae, yang lainnya. Hiphop dalam kacamata industrial punk, hiphop dan sebagainya. Adorno dengan jelas adalah sebuah alternatif-oposisif dari sebuah menggambarkan musik pop sebagai musik yang produksi musik, tetapi dalam sudut pandang bahkan lama-kelamaan akan makin terlihat rupa subkultural, hiphop dapat dimaknai sebagai sebuah yang sama, dengan sumber yang dapat diselidiki, kultur yang telah ada dan tercipta begitu saja atas perbedaan hanya terdapat pada “sampingannya” kehendak alamiah. Walaupun kedua variabel ini yang (Hiphop dan Indie label) memiliki cerminan yang “menelusurinya”. Menilai musik pop memang akan sama dalam “menentang” industri budaya dan musik sangat naif jika hanya melihat dari bagaimana populer. kesamaannya terbentuk, tetapi memang pola Karena itu Adorno (dalam Strinati, juga akan terlihat jika kita mau tersebut memiliki ketergantungannya tersendiri 1995) terhadap industri yang digambarkan pula oleh berpendapat bahwa musik pop yang dihasilkan oleh Adorno sebagai sebuah “beban pasar”. industri budaya didominasi oleh dua proses: standarisasi dan idividualisasi semu. Di sini Apalagi musik hiphop telah menjadi sebuah gagasannya adalah bahwa lagu-lagu pop makin lama subkultur dominan yang sangat diminati di dunia makin kedengaran mirip satu sama lain. Lagu-lagu barat. Walaupun di Indonesia sendiri kultur ini sulit itu semakin banyak dicirikan oleh suatu struktur mendapat tempat di industri, alih-alih hal ini malah inti, yang bagian-bagiannya dapat dipertukarkan makin menggambarkan sejarah musik hiphop itu satu Namun demikian, ini sendiri yang seperti tidak akan pernah menjadi oleh tambahan-tambahan “populer” di Indonesia. Jatuh bangun genre ini dari sampingan, kebaruan, atau variasi gaya yang masa ke masa makin menggambarkan bagaimana direkatkan pada lagu-lagu tersebut sebagai tanda pasang surut industri hiphop di Indonesia hidup, kekhasannya yang sudah diduga. banyak juga dari para pelaku dan musisi hiphop sama lain. disembunyikan Memaknai analisis Adorno tersebut inti Indonesia “hijrah” ke jalur profesional, walaupun dapat tidak sedikit pula yang mampu bertahan. direfleksikan dari bagaimana musik hiphop dan 135 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma Hiphop memang tidak selalu dan harus berada pada walaupun secara tidak langsung menurut Donnero jalur mandiri, yang terpenting adalah bagaimana “Kalo aku malah justru bukan berhasil atau tidak nilai-nilai “ke-hiphop-an” itu terus tercermin dari menciptakan sebuah alternatif lain, karena hmm sebuah karya. Namun sepertinya akan lebih mudah maksudku dpmb itu adalah salah satu genre yang juga merefleksikan hiphop dengan jalur yang sangat susah untuk masuk ke permukaan, dan mandiri, merdeka, dan tentunya dengan kolektivitas diterima untuk industri musik, ketika kita bikin yang cair, oleh karena itu hal ini menjadi sebuah album dan masuk di 20 besar rollingstone itu kita perdebatan yang tiada ujungnya. Ideologi seorang juga ga percaya, tapi kami menjadi lebih yakin oh musisi dalam memilih jalur alternatif dari sebuah musik pasar yang mainstream tentu adalah pilihannya menciptakan alternatif lain dalam bermusik kalo sendiri, keuntungan aku sih gitu mikirnya”. Jadi dalam menjawab apa manifestasi yang didapat dari berkarya dalam jalur maksud dari kelompok musik berada pada label ini, selain memiliki kolektivitas-pertemanan yang mandiri harus dilihat dengan berbagai macam solid, ataupun sekedar mengasah sisi kritis sebuah perspektif yang luas. Bukan hanya sekedar menilai pandangan. bahwa musik ini berbeda dengan musik yang karena tidak banyak punya tempat, bukan baik NDX dan D.P.M.B juga mengakui mereka tidak pasar musik lokal (Yogyakarta). D.P.M.B hadir dengan sengaja mencipkan sebuah aliran musik dengan hiphop yang lawas atau biasa disebut baru, tetapi murni berangkat dari hobby dan dengan hiphop “oldschool”, dan NDX yang dengan genre juga belum pernah ditampilkan sebelumnya, padahal mereka sama-sama mencoba melihat peluang dari membawakan tuh lainnya, atau bagaimana genre musik tersebut Kemudian melihat dalam konteks NDX dan D.P.M.B, unik kita ketertarikan mereka sendiri. hiphop-dangdut, keduanya banyak memelihara perbendaharaan bahasa lokal yang mampu digambarkan dengan G. Strategi Menciptakan Pasar Baru baik, oleh karena itu keduanya memaknai proses ini Dalam menciptakan eksistensinya tersendiri, NDX memang sebagai sebuah alternatif lain dari musik dan D.P.M.B memiliki beberapa cara dan faktor di yang diperdengarkan masyarakat, walaupun tidak dalamnya, diantaranya mereka mampu dengan secara langsung. cermat mengelaborasikan sebuah karya menjadi Yonanda mengakui “Itu genre hiphop dangdut sebuah “local wisdom”. Dengan sedikit ketekunan sebenernya bukan NDX yang pertama, dulu banyak dan juga keberuntungan baik Nanda maupun hiphop dangdut dari Jogja juga tapi NDX lebih Donnero mampu membuat masyarakat menerima memodifikasi dengan tampilan, rap bernada juga, musiknya. terus liriknya unik, gitu paling mas”. Hal ini menjadi Cara-caranya mungkin terbilang sederhana, dengan menciptakan suatu atmosfir bukti bahwa kreatifitas dan kecerdikan melihat pemberdayaan, peluang digunakan NDX sebagai “power” mereka yang sangat dekat dengan masyarakat, bahkan menjadi keterwakilan bagi dalam menggebrak pasar. Juga D.P.M.B yang sukses masyarakat itu sendiri. merambah pasar bawah tanah lewat komunitasnya, 136 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma Mereka yakin dengan konsistensi mereka yang sosial dengan aktivisme yang menurut Donnero berasaskan pemberdayaan lewat komunitas akan cukup memiliki nilai kebermanfaatan yang lebih langgeng perkembangan musisi mandiri di Jogja kearah yang daripada memiliki positif, aku bilang iya, karena komunitas musik yang penilaiannya tersendiri, apa yang orang lain lain juga kaya jazz trus mereka juga punya koneksi apresiasi akan berbeda-beda pula pada tiap yang kuat kan antara jazz di Jogja sehingga rame individunya, sikap ini diyakini dengan sederhana terus, terus acara hardcore, komunitas di Jogja tu oleh kedua kelompok ini. Apalagi kedua frontman banyak banget dan solid, aku salut”. Lebih jauh lagi grup hiphop ini lahir dari lingkungan yang Donnero menjelaskan: apapun. Sebab pasar sederhana, namun justru hidup dibawah lingkungan industri musik menurutnya: “Untuk musisi-musisi di Jogja tu sekarang cenderung untuk berkembang dalam kedewasaanya. Membicarakan perkembangan sehingga “Mungkin seperti yang kita pernah obrolin yang lalu, yang seperti itulah kedua kelompok ini mampu mengenai aktif, mandiri ya, soalnya kan juga semuanya pernah di musisi-musisi yang besar di band di Jogja tu pernah Yogyakarta, Donnero punya pandangan tersendiri, mencicipi major semua dan keluar semua, kaya gitu menurutnya: mm misalnya Sheila tu masih sama sony atau engga “Secara umum di Jogja sih, kalo aku liatnya musisi- ya? Kayaknya udah engga juga, itu jadi bukti bahwa musisi di Jogja tu itu keren, kita ga ngomongin hmm, major itu bukan jaminan lagi, untuk menjual maksudnya keren tu banyak yang dari musisi di Jogja musikmu bikin lebih besar itu engga, justru dengan tu yang kita ambil untuk belajar gimanasi caranya kemajuan teknologi seperti sekarang ini semua bisa jualan ke luar negeri, banyak banget manfaatnya... sangat benefit dilakukan mandiri”. walaupun ada aja yang gitu-gitu ajasih banyak kalo Sedikit diliat secara umum untuk yang kita tau kan kaya berbeda dengan Donnero, Nanda menganggap bahwa dia secara pribadi menilai arah Endank Soekamti udah punya tanah sendiri untuk perkembangan musisi indie di Yogyakarta menjadi bikin apa markas besar itu juga luar biasa, trus Stars begitu “gemerlap’ karena saat ini justru banyak and Rabbit tur di Inggris, itu tanpa sponsor mereka bermunculan solois, duo, atau grup musik indie yang ngurusin sendiri, juga Jogja Hiphop Foundation, dengan percaya diri memproduksi album musik banyak dari kita-kita itu secara umum belajar, yang yang belum tentu “sukses” secara daya beli, namun jelas ya itu tadi bisa diambi sisi positifnya.” hal ini menurut Nanda tetap menjadi suatu ritme Melihat penjelasan Donnero tersebut memang layak positif baik secara atmosfir maupun persaingan kita memberi apresiasi pada industri mandiri yang tentunya akan menjadi “panas”. Lanjutnya menurut justru sedang berkembang di Yogyakarta, banyak ia, sebenarnya pun NDX tidak berusaha mencari bermunculan musisi-musisi yang luar biasa berani pasar atau malah menciptakan pasar yang baru, menciptakan kultur dominan, seperti membuat karena ia hadir dengan begitu sederhana, dan museum, rumah belajar, sampai menyelenggarakn menurutnya: tur mandiri ke Eropa. Apalagi lanjut Donnero, Jogja juga menjadi “markas” bagi banyak komunitas seni137 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma “Kalo untuk luar kota bukan Jogja mungkin kita aku mau bikin lagu kek gini, kamu mau suka apa menciptakan pasar sendiri ya, karena kalo untuk engga ya seperti ini, itu masih tetap kita pegang hiphop dangdut luar kota itu masih belum ya, kalo di untuk karya-karya berikutnya, cuma dalam hal Jogja kan sudah”. pertanggungjawaban udah jadi harus upgrade entah itu dari segi lirik isi dalam membangun sebuah komitmen bermusik, lagu, trus pesan-pesan yang dibawain, itu menurutku memang hingga saat ini nama NDX dan D.P.M.B secara nasional dikenal luas, karya-karya sebelumnya tuh pasti lebih kaya ee... oh ya ini kemarin Kuncinya adalah menempatkan kesederhanaan belum terhadap itu harus ada upgrade, dengan perduli atau tidak tetapi memperdulikan pasar itu sendiri”. setidaknya mereka tetap mempertahakan nilai tersebut, namun tetap dengan keluwesan. Karena Oleh karena itu pada dasarnya dari pengertian dengan idealisme yang kolot mereka juga tidak akan kedua kelompok ini tercermin bahwasanya mereka mampu diapresiasi dengan baik hingga saat ini, menyadari bahwa hidup dengan jalur mandiri pasar tetap mengandung aspek peluang dan ruang, memang memiliki keluwesannya tersendiri, tetapi mereka menerka bahwasanya justru apakah pasar sadar dalam begitu “memperhatikan” respon pasar sebagai acuan dan sederhana, seperti memperlihatkan bahwasanya pertanggungjawaban atas hasil karya sebelumnya hidup dengan jalur indie adalah upaya dalam untuk menciptakan hasil karya selanjutnya. Soal membuat alternatif pasarnya tersediri, Donnero apakah proses ini adalah sebuah siasat dalam menjelaskan: menciptakan pasarnya yang baru, Donnero dan pengertian indie ini menjadi atau tidak sadar mereka tetap Nanda mewakili teman-teman mengakui tidak “Kalo aku malah justru engga, bukan berhasil atau secara tidak menciptakan sebuah alternatif lain, karena langsung mereka ingin menciptakan pasarnya yang baru. emm maksudku D.P.M.B itu adalah salah satu genre yang sangat susah untuk masuk ke permukaan dan Walaupun pada aplikasinya mereka memiliki diterima untuk industri musik. Ketika kita bikin pandangan yang berbeda dalam melihat pasar. album dan masuk di 20 besar album terbaik majalah Nanda rollingstone itu kita sudah... hmm ya kami menjadi menciptakan jenis musik baru tersebut di Jogja, lebih yakin oh musik kita tuh juga punya tempat, karena sebelumnya telah ada kelompok yang bukan menciptakan alternatif lain dalam bermusik memankan jenis musik yang mereka bawakan, kalo aku sih gitu mikirnya... disitu awalnya kan kita tetapi dengan itu mereka justru menyadari bahwa cuma pingin genre ini di denger, ternyata kita sudah NDX di denger dan punya tempat ga asal lagi dong karena kelompok-kelompok sebelumnya dengan genre sudah punya pendengar, jadi jangan sampe merusak yang sama. Kalau Donnero berpendapat bahwa dia nama itu, justru kita udah susah cari tempat tapi semakin yakin bahwa D.P.M.B juga memiliki malah merusak tempat itu sendiri, maksudnya gitu, pasarnya lebih pengin melihara tempat itu biar lebih adem biar penghargaan dari majalah Rollingstones tersebut, lebih luas, biar lebih diterima. Awalnya kan dulu ya menganggap memiliki ia “potensi” tersendiri tidak yang justru serta lain setelah merta daripada mendapat dan ia akhirnya sadar bahwa musik yang ia dan 138 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma teman-teman mainkan dapat memiliki apresiasinya dangdutnya, namun yang terpenting keduanya hadir tersendiri. dengan penggambaran kedaerahan yang kental, lirik berbahasa jawa, dan tentunya penggunaan istilahistilah pergaulan lokal. H. Kesimpulan Karena itu penelitian ini bertujuan untuk menjawab Perkembangan industri musik dari jalur proffesional apakah kehadiran mereka (D.P.M.B dan NDX) adalah (major label) makin terasa mendominasi musisi dari sebagai alternatif dari musik yang telah ada di pasar, kalangan non-profesional (indie label), sebab ataukah sebagai sebuah siasat dalam menciptakan mereka mengusai berbagai macam faktor, terutama pasarnya tersendiri dari sudut pandang subkultur kemudahan akses terhadap eksistensi dan nilai tentunya. Dari analisis yang telah dilakukan promosionalnya. Oleh karena itu beberapa musisi terhadap kedua objek kajian, didapatkan beberapa dari jalur indie label berusaha memutar otak untuk kesimpulan sebagai berikut. mencari cara agar musik mereka mampu diapresiasi Pertama, masyarakat, caranya dapat bermacam-macam, salah NDX mengakui mereka sukai, hal ini dimaknai bukan sebagai siasat Sementara itu Yogyakarta menjadi salah satu tempat dalam menciptakan pasar baru. yang paling nyaman di dalam perkembangan musik aktivisme dan memproduksi sebuah musik murni dari apa yang budaya atau glokalisasi. kebudayaan, D.P.M.B bahwasanya tujuan mereka dalam memainkan dan satunya adalah dengan menggunakan adaptasi dan baik kebudayaan Kedua, adapun apresiasi yang mereka dapatkan di seperti: lawatan tour skala nasional atau tawaran Yogyakarta menjadi salah satu yang masif di bergabung hingga 7 (tujuh) label mayor yang Indonesia, dengan berbagai macam event kesenian diterima NDX, ataupun album “Re-Attitude” milik bertaraf nasional bahkan internasional diadakan di D.P.M.B yang sukses masuk kedalam 20 album kota ini. Oleh karena itu Yogyakarta juga menjadi terbaik tahun 2015 versi majalah Rollingstone wadah yang paling luwes bagi tumbuh-kembang Indonesia setidaknya mereka anggap sebagai batu berbagai macam genre dan jenis musik yang hadir, loncatan mereka dalam mempertanggung-jawabkan sebagai contoh hiphop, walaupun tidak terlalu karya mereka selanjutnya. Sebab pasar menurut terlihat ke permukaan, tetapi nyatanya genre ini Donnero adalah sebuah tempat yang mereka tidak tetap mendapat tempat yang nyaman, lewat basis ingin merusaknya. kolektif-komunitas yang solid, dan kearifan lokal yang tentunya masih terus dijaga. Ketiga, eksistensi yang telah diraih oleh D.P.M.B dan NDX Ternyata hal ini juga yang menjadi pemicu dua setidaknya membuktikan kelompok hiphop lokal: D.P.M.B (Dua Petaka dalam bahwasanya ranah Yogyakarta mereka sukses memberikan gambaran kepada para pendengar Membawa Bencana) dan NDX A.K.A FAMILIA untuk mereka tentang bagaimana seharusnya unsur mendalami sebuah adaptasi musik yang terbilang lokalitas dibawakan dalam model subkultur Barat. unik. D.P.M.B muncul dengan nuansa hiphop Karena hal ini mampu merepresentasikan orang- oldschool, sementara NDX hadir dengan hiphop 139 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma orang dengan latar belakang yang sama, masyarakat Akhirnya kedua kelompok hiphop lokal ini menjadi lapisan bawah, sebab masyarakat pada umumnya bukti paling otentik dari penggambaran akulturasi akan terwakili ketika mendengarkan musik mereka dua budaya dengan latar belakang yang berbeda, sebagai sesuatu yang mampu membawa keresahan atau malah sebagai bentuk pembuktian bahwanya dan aspirasi mereka. Terlebih, karena D.P.M.B dan seperti NDX memiliki daya promosionalnya tersendiri Identitas lokal tetap menjadi suatu hal yang penting sebagai seorang “bintang”. didalam kejujuran bermusik, karena originalitas itulah seharusnya musik dihadirkan. nyatanya mampu menjadi “penolong” mereka. Bagi Keempat, dalam konteks subkultur, D.P.M.B dan NDX, kesuksesan yang mereka raih dengan ribuan NDX tetap berupaya mempertahankan ideologi pendengarnya saat ini memang bukan semata-mata mereka dari gempuran hegemoni kultural dan sebuah kebetulan, pun karena mereka hidup di industrialisasi yang ada, namun dengan etika tempat yang bahkan jauh dari kemudahan akses mereka tetap harus pula mempertanggungjawabkan produksi dan hal-hal industrial lainnya. kualitas bermusik mereka. Karena “hegemoni hanya bisa dipertahankan sepanjang kelas dominan Tetapi justru hal ini membuat mereka lebih apa berhasil ‘membingkai’ semua persaingan dalam adanya dalam menjual karya, dan itulah hasil yang jangkauan mereka” Hall (dalam Hebdige, 1979). mereka raih. Sedikit berbeda dengan NDX, D.P.M.B Sebab itu, wujud “pertahanan” yang dilakukan baik lewat Donnero dan Mamox memang sudah terlebih oleh sebatas dahulu malang-melintang di skena hiphop lokal, pertanggung-jawaban karya, bukan serta-merta dengan basis komunitas yang kuat dan tetap untuk meraimakan pertarungan pasar. mempertahankan wacana-wacana lokal, kelompok D.P.M.B maupun NDX hanya ini nyatanya mendapatkan satu tempat yang Kelima, cara-cara yang mereka lakukan untuk tetap “nyaman” di dalam industri musik, dengan segudang dapat hidup diantaranya adalah: 1) Memperkuat kolektivitas-komunitas apresiasi. Tetapi ternyata yang paling penting dengan adalah setidaknya kedua kelompok ini telah mampu merangkul pendengar, kolega dengan hobi yang menggapai harapan-harapan sederhana mereka sama, serta menyelenggarakan kajian yang yaitu untuk memproduksi sebuah karya musik yang bersifat edukatif. kemudian dapat diapresiasi oleh masyarakat luas. 2) Menciptakan suatu aktivisme pemberdayaan. Meminta masyarakat untuk turut aktif menciptakan ritme positif, misalnya dengan kegiatan-kegiatan sosial, sharing audio basic di sekolah-sekolahan, atau melibatkan orangorang sekitar dalam tim produksi. 3) Tetap membawa unsur budaya lokal dalam hal apapun, baik dalam kehidupan bermusik, maupun kehidupan sehari-hari. 140 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2, 2017 Subkultur Hiphop Indie Label di Yogyakarta: Sebuah Alternatif atau Siasat dalam Menciptakan “Pasar” Baru? Reza Putradarma Daftar Pustaka Creswell, John. W. 2013. “Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih di antara Lima Pendekatan”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harris, David. 1992. “From Class Struggle to The Politics of Pleasure: The Effect of Gramscianism on Cultural Studies”. London and New York: Routledge. Hebdige, Dick. 1979. “SUBCULTURE: The meaning of Style”. London: Routledge. McRobbie, Angela. 1991. “Feminism and Youth Culture: From Jackie to Just Seventeen”. London: MacMillan Education. Robertson, Roland. 1992. “Globalization. Social Theory and Global Culture”. London: Sage Publication. Strinati, Dominic. 1995. “Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture”. London: Routledge. Sutresna, Herry. 2017. “Setelah Boombox Usai Menyalak”. Jakarta: Elevation Books. Tantagode, Jube. 2008. “Musik Underground Indonesia: Revolusi Indie Label”. Yogyakarta: Harmoni. Jurnal, Skripsi, Tesis, Disertasi Giulianotti, Richard & Robertson, Roland 2007. “SAGE Journals Online: Forms of Glocalization; Glocalization and the Entertaiment: The psychology of its appeal (pp. 175-196). Mahwah, NJ; Lawrence Erlaum Associates. Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. “Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp. 115-118. Sperling, James. 2001. “Neither Hegemony Nor Dominance: Reconsidering German Power in Post Cold-war Europe”. British journal of Political Science, March. Surbakti, Ramlan. 1996. “Suksesi atau Demokrasi?” Bestari: Universitas Negeri Malang. Sutiyono. 2012. “Hegemoni Budaya: Represi Politik Kekuasaan Pada Dunia Seni”. Yogyakarta: FBS, UNY. Sumber Online http://www.rollingstone.co.id/article/read/2016/ 01/07/140505788/81/20-albumindonesia-terbaik-2015 diakses pada tanggal 26 Mei 2017, pukul 14.45. https://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/ id/32 diakses pada tanggal 7 Juni 2017, pukul 12.32. 141