BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Self Regulation 2.1.1. Definisi Self

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Self Regulation
2.1.1. Definisi Self Regulation
Self Regulation merupakan salah satu komponen penggerak kepribadian
manusia (Alfiana, 2013). Istilah self regulation pertama kali di munculkan oleh
Albert Bandura dalam teori belajar sosialnya, yang diartikan sebagai kemampuan
seseorang untuk mengotrol perilakunya sendiri (Alfiana, 2013). Self regulation
merupakan motivasi internal, yang berakibat timbulnya keinginan seseorang untuk
menentukan tujuan – tujuan dalam hidupnya, merencanakan strategi yang akan
digunakan, serta mengevaluasi dan memodifikasi perilaku yang akan dilakukan
(Pervin & Cervone, 2010)
Self Regulation mengacu pada kapasitas seseorang untuk mengabaikan
atau mengubah respon mereka. Ini adalah proses dimana seseorang berusaha
untuk membatasi respon yang mendesak dan tidak diinginkannya lalu
mengontrolnya menjadi respon yang baru dan sesuai dengan keinginannya.
Regulation berarti mengubah, terutama melakukan perubahan untuk membawa
perilaku pada beberapa standar tertentu seperti ide dan tujuan dalam diri
seseorang. Perubahan perilaku tersebut sama seperti mengikuti sebuah aturan,
menyesuaikan diri dengan cita – cita atau mengejar suatu tujuan merupakan
bentuk yang sangat berguna pada self regulation (Baumeister & Vohs, 2007).
7
Self Regulation digambarkan sebagai sebuah siklus karena feedback dari
tingkah laku sebelumnya digunakan untuk membuat penyesuaian dalam usahanya
saat ini. Penyesuaian seperti itu diperlukan karena faktor – faktor personal,
tingkah laku, dan lingkungan secara konstan berubah selama proses belajar dan
berperilaku. Faktor – faktor tersebut harus diobservasi dengan feedback yang
mengarah pada dirinya (Susanto, 2006).
Kemudian menurut Zimmerman & Schunk (2008) dari persektif kognitif
sosial Self Regulation melibatkan :
1. Menetapkan tujuan yang spesifik.
2. Memanfaatkan
strategi kerja seperti elaborating, organizing, dan
rehearshing.
3. Menampilkan tingkat kemajuan diri yang tinggi serta motivasi internal.
4. Melakukan self monitoring dan self reflecting pada hasil kinerja.
2.1.2. Komponen Dalam Self Regulation
Pada awalnya Baumeister (Beumeister & Vohs, 2007) menekankan 3
komponen utama dalam proses self regulation. Namun saat ini terdapat satu
komponen yang harus disertakan dan dibutuhkan dalam self regulation yaitu
motivasi. Agar lebih jelas berikut adalah penjelasan mengenai 4 komponen dalam
self regulation.
Komponen pertama dalam self regulation adalah standards. Standards
menunjukkan bahwa regulation berarti mengubah perilaku atau respon yang
sesuai dengan beberapa standards yang diinginkan dan dimiliki oleh seseorang.
Oleh karena itu, self regulation akan efektif jika perilaku atau respon yang
8
ditunjukkan oleh seseorang sesuai dengan standards yang terdapat dalam dirinya.
Standards yang ambigu, tidak konsisten dan bertentangan membuat self
regulation menjadi sulit untuk dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Higgins
(Baumeister & Vohs, 2007) menunjukkan bahwa perbedaan dalam membuat
standards dalam diri seseorang dapat mengubah reaksi emosional dan proses
perilaku sosial seseorang.
Komponen yang kedua adalah self regulation requires monitoring atau
pangawasan. Self regulation membutuhkan pengawasan agar perilaku dan respon
yang muncul dalam diri seseorang telah sesuai dengan standards yang
diinginkannya. Teori self Regulation dipengaruhi oleh penelitian yang dilakukan
oleh Cerver dan Scheier (Baumeister & Vohs, 2007). Satu kontribusi yang
berguna dari mereka adalah teori feedback – loop dalam self regulation seseorang.
Mereka melakukan tes dengan membandingkan antara self (atau yang sesuai
dengan aspek dalam self) dengan standards yang dimiliki oleh seseorang. Jika self
terlalu rendah maka self regulation memerlukan beberapa usaha untuk memulai
perubahan diri agar perilaku atau respon yang muncul sama seperti apa yang
seharusnya terjadi. Pada pertemuan berikutnya mereka melakukan evaluasi
terhadap kemajuan self yang sesuai dengan tujuan dalam diri seseorang hingga
akhirnya dapat diketahui bahwa saat ini self telah sesuai dengan standards yang
dimiliki oleh seseorang.
Komponen ketiga dalam self regulation adalah kekuatan self ragulation,
atau secara umum dikenal dengan kemauan atau keinginan. Usaha yang bertujuan
untuk mengubah self sulit dilakukan dan hal tersebut membutuhkan kekuatan dari
9
self regulation itu sendiri. Mengatur dan mengubah self sepertinya tergantung
pada sumber daya yang terbatas seperti kekuatan atau energi dalam diri seseorang
yang dapat habis ketika perubahan self tersebut telah dilakukan sehingga
menciptakan penipisan pada ego.
Komponen keempat dari self regulation adalah motivasi. Secara khusus
motivasi digunakan untuk mencapai tujuan atau standards yang dimiliki oleh
seseorang yang dalam praktiknya sejumlah motivasi diperlukan untuk mengatur
self. Bahkan jika standards dalam diri seseorang sudah jelas, pengawasannya pun
telah maksimaal dan sumber daya atau kekutatan yang dimilikinya berlimpah.
Seseorang mungkin masih gagal dalam melakukan self regulation karena ia tidak
mempedulikan tentang tujuan yang ingin dicapainya.
2.1.3. Proses Self Regulation
Self regulation merupakan kemampuan dalam diri seseorang untuk
mengembangkan, menerapkan, dan menjaga perilaku untuk sampai pada tujuan
yang diinginkan. Terdapat 7 proses dalam self regulation, yaitu : Receiving
(penerimaan
informasi),
Evaluating
(pengevaluasian
informasi
dan
membandingkannya dengan norma – norma), Triggering (mendorong berubah),
Searching (mencari pilihan), Formulating (merumuskan rencana), Implementing
(menerapkan rencana), Assesing (menilai evektifitas rencana) (Alfiana, 2013).
a. Receiving atau menerima informasi yang relevan merupakan proses awal
seseorang ketika ia menerima informasi dari berbagai sumber. Dari
informasi yang diterimanya seseorang dapat mengetahui karakter dari
lingkungannya atau dari permasalahan yang ia hadapi.
10
b. Evaluating atau mengevaluasi. Setelah melakukan receiving seseorang
menuju proses selanjutnya yaitu evaluating. Evaluating merupakan proses
ketika individu melakukan evaluasi terhadap informasi yang diterimanya
serta menganalisis informasi tersebut dengan membandingkan suatu
masalah yang muncul dari luar dirinya dengan pendapat pribadi yang
tercipta dari pengalaman sebelumnya.
c. Triggering atau membuat perubahan. Proses ini muncul sebagai akibat dari
proses perbandingan dari hasil evaluasi pada proses sebelumnya
muncullah perasaan positif dan negaatif dalam diri seseorang. Seseorang
mencoba menghindari sikap atau pemikiran yang tidak sesuai dengan
informasi yang diterimanya dengan norma yang ada. Dalam proses ini
kecenderungan perilaku seseorang mengarah pada perubahan.
d. Searching atau mencari solusi. Pada proses ini seseorang mulai mencari
jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Sebagai akibat dari proses
evaluasi yang memunculkan pertentangan pada sikap seseorang dalam
memahami masalahnya ia menyadari ada beberapa jenis tindakan atau aksi
yang dapat ia lakukan untuk mengurangi pertentangan tersebut. Sehingga
pada akhirnya ia dapat mencari jalan keluar untuk mengatasi pertentangan
tersebut.
e. Formulating atau merancang suatu rencana. Dalam proses ini seseorang
mulai menyusun rencana untuk mencapai target yang diinginkannya.
Begitu pula dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan
mempertimbangkan aspek – aspek seperti waktu, aktivitas yang
11
dijalaninya tempat, dan aspek lain yang dapat mendukung efektivitas dan
efisiensi dalam proses penyelesaian masalah juga dalam pencapaian
tujuan.
f. Implementing atau menerapkan rencana. Setelah melakukan formulating
seseorang masuk ke proses implementing yaitu mengarahkan perilaku dan
tindakannya
kearah
penyelesaian
masalah
yang
diinginkan
juga
disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapainya.
g. Assesing atau mengukur efektifitas dari rencana yang telah dibuat. Ini
adalah proses terakhir dari self regulation. Yakni seseorang melakukan
pengukuran terhadap perilaku atau tindakan yang telah ia lakukan dalam
rangka penyelesaian masalah juga dalam rangka pencapaian tujuannya.
Pengukuraan ini dapat membantu dalam menentukkan apakah perencanaan
yang telah dibuat sebelumnya efektif atau tidak serta menimbilkan hasil
yang sesuai dengan yang diinginkan oleh seseorang atau tidak.
Self regulation adalah cara seseorang dalam mengatur, mengubah dan
meregulasi dirinya dalam hubungan interpersonal serta hubungannya dalam
kehidupan sehari – hari. Self regulation penting dimiliki oleh seseorang karena
self regulation dikatakan sebagai penggerak dan motivasi internal dalam diri
seseorang untuk mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkannya serta dalam
penyesuaian dirinya terhadap berbagai respon yang muncul dari lingkungannya.
12
2.2. 5 Dimensi Kepribadian
2.2.1. Definisi 5 Dimensi Kepribadian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan 20 tahun lalu, klasifikasi sifat
kepribadian sangat dipengaruhi oleh atensi dan dorongan yang dilakukan oleh
peneliti kepribadian menjadi five factor models yang biasa disebut five factor
model, the big five, dan the high five. Dimensi dalam the big five ini antara lain :
Surgency or Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Emotional Stability,
dan Openness-Intellect. Lewis R. Goldberg menyimpulkan sebuah penelitian yang
sistematis menjadikan the big 5 lebih sederhana dengan dimensi sebagai berikut
(Larsen & Buss, 2002) :
1. Surgency
or
Extraversion
:
talkactive,
extraverted,
assertive,
forward,outspoken, versus shy, quite, introverted, bashful, inhibited.
2. Agreeableness : sympathetic, kind, warm, understanding, sincere, versus
unsympathetic, unkind, harsh, cruel.
3. Conscientiousness : organized, neat, orderly, practical, prompt,
meticulous, versus disorganized, disorderly, careless, sloppy, impractical.
4. Emotional stability : calm, relaxed, stable, versus moody, anxious,
insecure.
5. Intellect or imagination : creative, imaginative, intellectual, versus
uncreative, unimaginative, unintellectual.
Kemudian McRae & Costa mengembangkan Faktor 5 besar kepribadian
(big 5 factor of personality) disebut dengan NEO-PI-R yaitu the neoriticism-
13
extraversion-opennes (NEO), Personality Inventory (PI), Revised (R) (Larsen &
Buss, 2008). “Trait super” yang diduga menggambarkan berbagai dimensi utama
kepribadian
adalah
neuroticism,
extraversion,
openness
to
experience,
agreeableness, dan conscientiousness (King, 2010). Meski urutan tersebut
memiliki kombinasi huruf depan yang disatukan menjadi N untuk Neuroticism, E
untuk Extraversion, O untuk Openess to Experience, A untuk Agreeableness, dan
C untuk Conscientiousness atau N, E, O, A, dan C untuk mempermudah dalam
pembacaannya urutan tersebut diubah menjadi O.C.E.A.N. Agar lebih mudah
dalam pendefinisian dan melihat perbedaannya, perhatikan tabel 2.1 berikut ini
(King, 2010 ) :
Tabel 2.1
Definisi O.C.E.A.N
Big 5 Personality
Openess to Experient (O)
Definisi
Imaginatif, praktis, tertarik pada
keragaman atau rutinitas, mandiri atau
menyesuaikan diri.
Conscientiousness (C)
Teratur atau berantakan, saksama atau
ceroboh, disiplin atau impulsive.
Mudah bergaul atau menyendiri, riang
atau muram, hangat atau diam.
Lembut atau kasar, percaya atau curiga,
membantu atau tidak membantu.
Tenang atau cemas, aman atau tidak
aman, puas terhadap diri sendiri atau
mengasihani diri sendiri.
Extraversion (E)
Agreeableness (A)
Neuroticism (N)
14
2.2.2. Karakteristik Sifat dan Komponen dalam 5 Dimensi Kepribadian
Faktor dalam Big 5 personality ini secara teoretis berdiri sendiri, seseorang
dapat merupakan kombinasi dari kelimanya (King, 2010). Kemudian adapun
karakteristik sifat - sifat Big 5 Personality ini dengan skor tinggi atau rendah yang
ditunjukkan pada table 2.2 berikut (Pervin & Cervone, 2010).
Tabel 2.2
Sifat dan Skor pada Big 5 Personality
Karakteristik dengan skor
tinggi
Kuatir,
cemas,
emosional, merasa tidak
nyaman,
kurang
penyesuaian, kesedihan
tak beralasan
Mudah bergaul, aktif,
berorientasi
pada
seseorang disekitarnya,
optimis, menyenangkan,
penuh kasih sayang.
Rasa ingin tahu tinggi,
ketertarikan
yang
luas,memiliki pemikiran
orisinil, imajinatif, tidak
ketinggalan jaman.
Sifat
Karakteristik dengan
skor rendah
Neuroticism (N)
Tenang, santai, tidak
Mengukur
penyesuaian emosional,
tabah,
Vs ketidak stabilan emosi. nyaman, penerimaan diri.
Mengidentifikasi
kecenderungan
akan
distress psikologi, ide –
ide yang tidak realistis,
kebutuhan/keinginan yang
berlebihan, dan respon
coping yang tidak sesuai.
Extraversion (E)
Pendiam,
tenang,
Mengukur kuantitas dan terasing,
berorientasi
intensitas
interaksi pada tugas, pemalu, tidak
interpersonal,
level periang.
aktivitas,membutuhkan
stimulasi,
kapasitas
kesenangan.
Openess (O)
Mengikuti kebiasan yang
Mengukur
keinginan sudah ada, down to
untuk
mencari,
dan earth, tertarik pada satu
menghargai pengalaman hal saja, tidak memiliki
baru, bertoleransi dan mau jiwa
seni,
kurang
berexplorasi
terhadap analitis.
sesuatu
yang
tidak
familiar.
15
Berhati lembu, baik, suka
menolong,
dapat
dipercaya,
mudah
memaafkan,
mudah
untuk
dimanfaatkan,
terus terang.
Agreeableness (A)
Mengukur
kualitas
orientasi
interpersonal,
mulai
dari
perasaan
kasihan sampai pada sikap
permusuhan
dalam
pikiran, perasaan, dan
tindakan.
Teratur, dapat dipercaya, Conscientiousness (C)
pekerja keras, disiplin, Mengukur
tingkat
tepat waktu, teliti, rapih, keteraturan
seseorang,
tekun, ambisius.
ketahanan dan motivasi
dalam mencapai tujuan,
berlawanan
dengan
ketergantungan,
dan
kecenderungan
untuk
menjadi pemalas dan
lemah.
Sinis, kasar, rasa curiga,
tidak mau bekerja sama,
pendendam,
kejam,
mudah
marah,
manipulatif.
Tidak bertujuan, tidak
dapat dipercaya, malas,
kurang perhatian, lalai,
sembrono, tidak disiplin,
keinginan lemah, suka
bersenang – senang.
Selain sifat dan skor dalam Big 5 Personality yang ditunjukkan diatas, Big
5 Personality juga memiliki beberapa facet. Facet Dari lima faktor didalam big
five personality, masing-masing faktor terdiri dari beberapa facet. Facet
merupakan trait yang lebih spesifik, merupakan komponen dari 5 faktor tersebut.
Komponen dari big five faktor tersebut menurut NEO PI-R yang dikembangkan
oleh Costa & McCrae (Pervin & John, 2010) dapat dilihat pada tabel 2.3.
Big 5 Personality adalah salah satu teori kepribadian dari sekian banyak
teori kepribadian yang dikembangkan oleh para tokoh psikologi. Dalam big 5
personality ini terdapat 5 dimensi yang masing – masing dimensinya terdapat atau
pasti dimiliki oleh seseorang antara lain ; Extraversion, Agreeableness,
Conscientiousness, Neuroticism, dan Openness to Experient.
16
Tabel 2.3
Komponen dalam Big 5 Personality
Big 5 Personality
Extraversion
Agreeableness
Conscientiousness
Neuroticism
Opennes to Experience
Komponen
Minat berteman (Friendliness)
Minat berkelompok (Gregariousness)
Kemampuan asertif (Assertiveness)
Tingkat aktivitas (Activity-level)
Mencari kesenangan (Excitement-seeking)
Kebahagiaan (Cheerfulness).
Kepercayaan (Trust)
Moralitas (Morality)
Berperilaku menolong (Altruism)
Kemampuan bekerja sama (Cooperation)
Kerendahan hati (Modesty)
Simpatik (Sympathy)
Kecukupan diri (Self efficacy)
Keteraturan (Orderliness)
Rasa tanggung jawab (Dutifulness)
Keinginan untuk berprestasi (AchievementStriving)
Disiplin diri (Self-disciplin)
Kehati-hatian (Cautiosness)
Kecemasan (Anxiety)
Kemarahan (Anger)
Depresi (Depression)
Kesadaran diri (Self-consciousness)
Kurangnya kontrol diri (Immoderation)
Kerapuhan (Vulnerability)
Kemampuan imajinasi (Imagination)
Minat terhadap seni (Artistic interest)
Emotionalitas (Emotionality)
Minat berpetualangan (Adventurouness)
Intelektualitas (Intellect)
Kebebasan (Liberalism)
17
2.3. Hubungan 5 Dimensi Kepribadian dengan Self Regulation
Penelitian sebelumnya menguji implikasi 5 dimensi kepribadian dengan
Self Regulation. Penelitian tersebut fokus kepada pendekatan korelasional yang
menghubungkan dimensi kepribadian pada tingkatan disposisional dari self
regulation dengan sedikit mengacu kepada proses dari self regulation (Hoyle,
2010).
Selama satu decade variasi dari proses model self regulation telah
dikemukakan walau pun secara teori dan pendekatan berbeda dengan penekanan
relative pada aspek perbedaan seperti proses, lebih banyak dibagi kepada
komponen yang diinsipari dari pendekatan cybermatic (Hoyle, 2010). Komponen
– komponen tersebut antara lain standard perilaku, dan mekanisme evaluasi yang
menentukkan seseorang yang memiliki standard perilaku tersebut. Reaksi afektif
untuk seseorang untuk melakukan self evaluation dan pada akhirnya melakukan
mekanisme perbaikan. Secara konsep 5 dimensi kepribadian dapat mempengaruhi
semua komponen ini (Hoyle,2010).
Standard perilaku dan penetapan tujuan. Dimensi kepribadian dapat
mempengaruhi standard perilaku dan tujuan spesifik seseorang yang dapat diambil
dan bersumber dari diri mereka. Pada level yang paling dasar kepribadian dapat
mempengaruhi seseorang dalam meraih hasil yang diinginkan atau menghindari
hasil yang negatif. Beberapa kerangka pemikiran berkumpul pada ide dimana
perilaku diatur oleh dua sistem motivasi independent. Sebuah sistem pendekatan
yang menghubungkan pada aspek positif dan mengejar tujuan dan sebuah sistem
18
penghindaran atau penarikan yang berhubungan dengan aspek negatif dan
akibatnya (Cerver, Sutton, & Scheier, 2000).
Berkaitan dengan konsentrasi pencapaian tujuan, seseorang harus berharap
bahwa pendekatan orientasi dari dimensi kepribadian extraversion. Begitu juga
ketegasan dan kegiatan mereka akan membawa mereka mengambil level yang
lebih tinggi dalam menghadapi tantangan. Pertimbangan, organisasi, dan orientasi
prestasi dimensi kepribadian conscientiousness seperti menterjemahkan secara
lebih explisit pada tantangan dalam pencapaian tujuan tersebut. Sedangkan
seseorang dengan skor neuroticism tinggi berjuang dengan impulsive dan
terutama
memotivasi
untuk
menghindari antigoal
dan
dari
kegagalan
(Hoyle,2010) dan akan mendefinisikan pencapaian tujuan dan memiliki self level
yang rendah dalam menghadapi tantangan sama seperti sebuah konsekuensi. Bukti
empiris mensupport pola assosiasi ini, sebuah pengujian meta analisis yang
berhubungan antara 5 dimensi kepribadian dan penetapan tujuan menemukan
bahwa seseorang dengan dimensi kepribadian tinggi pada conscientiousness dan
extraversion dan rendah pada neuroticism dapat
mengatur diri mereka lebih
tertantang dalam mencapai tujuannya seperti pada konteks tugas dan prestasi kerja
(Hoyle, 2010).
Pada level yang lebih spesifik, panelitian pada proyek kepribadian
melakukan pengujian yang saling berhubungan dengan rangkaian aksi seseorang
dalam pencapaian tujuan seperti sukses dalam ujian atau dalam hubungan
interpersonal
(Hoyle,
2010).
Konsisten
dengan
fokus
penghidarannya,
pengalaman dalam diri orang – orang yang neurotik cenderung lebih stress dan
19
tidak memiliki makna dalam hidupnya dan merasa kurang berhasil kemajuan
dirinya pada masa sekarang dan yang akan datang, sebaliknya seorang yang
extravert dan conscientious lebih berhasil dalam melakukan pekerjaannya (Hoyle,
2010).
Kepribadian bisa juga mempengaruhi jenis dari berbagaai tujuan dari
seseorang. Extraversion dan Agreeableness misalnya, lebih memiliki assosiasi
yang kuat pada hubungan interpersonalnya dari pada kehidupan akademiknya.
Namun efek dari Conscientiousness dan Neuroticism tidak seluruhnya berbeda
(Hoyle, 2010). Konsisten dengan fokus mereka pada harmoni interpersonal,
dimensi kepribadian agreeableness juga fokus dalam bekerja sama untuk
mencapai tujuannya dan mengatur diri mereka untuk mengurangi tantangan dalam
pencapaian tujuan ketika mengerjakan pekerjaannya dan unjuk kerjanya. Dimensi
kepribadian Openness, pada gilirannya tidak terkait dengan tujuan spesifiknya tapi
memprediksi jumlah dari tugas pribadinya dicapai tepat pada waktu yang
diberikan (Hoyle, 2010).
Aspek afektif dari self evaluation. Ketika seseorang memiliki suatu tujuan,
seseorang membutuhkan jalur untuk menuju tujuan yang diinginkannya. Ini
membutuhkan suatu pemikiran yang akurat dari seseorang yang telah menetapkan
tujuan dan jalur pencapaian tujuannya tersebut, yang dapat dibandingkan dengan
hasrat pencapaian tujuannya. Tidak mengejutkan, jika keakutaran self assessments
bergantung pada jumlah perhatian yang diarahkan pada kemajuan dirinya (Hoyle
2010). Walaupun self focused attention pada awalnya diuji sebagai sebuah konsep
disposisional independent (Hoyle, 2010) baru – baru ini memberi suggesti bahwa
20
self awareness berhubungan dengan kepribadian (Hoyle, 2010). Secara spesifik,
Neuroticism berhubungan dengan ruminasi seperti ketidakadilan, kekalahan, dan
ancaman. Sedangkan Openness berkatian dengan lebih banyak refleksi di tandai
dengan rasa ingin tahu motivasi epistemik. Seseorang yang tinggi pada Openess
lebih akurat dalam menilai penampilan mereka sendiri (Hoyle, 2010).
Fokus ruminasi pada materi negatif disebagian orang dengan level
neuroticism yang tinggi pada kenyataannya sangat beragam tidak hanya pada
jumlah self focused attentionnya, tapi juga pada bias yang mewarnai self
judgement mereka. Dimensi kepribadian Extraversion dan Neuroticism masing masing dengan pengalaman keadaan emosi yang positif dan negatif (Hoyle,
2010). Karena keadaan emosi dapat mempengaruhi penilaian evaluasi keadaan
mood seseorang. Seseorang yang extravert akan memiliki estimasi yang tinggi
dalam hasrat pencapaian tujuannya. Sedangkan seorang yang neurotik, cenderung
memiliki estimasi yang rendah pada statusnya (Hoyle, 2010).
Trait kepribadian dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespon
dan mengatur emosinya. Khususnya mereka dapat menentukkan apakah seseorang
dapat mengambil pendekatan hedonistic yang dapat memaksimalkan pengalaman
emosi positif pada semua hal atau pendekatan utilitarian dimana seseorang
berharap untuk mendapatkan beberapa emosi negatif jika mereka merasa berharga
atau berguna (Tamir, Chiu, & Gross, 2007). Penelitian baru – baru ini
mengindikasikan bahwa beberapa situasi yang dialami oleh orang dengan level
neuroticism tinggi akan menggunakan pendekatan paling akhir. Sebelum
menampilkan tugas yang diminta seorang yang neurotic dengan sengaja memilih
21
menambah level kecemasan mereka (Tamir, 2005). Konsisten dengan model
utilitarian dari regulasi emosi, strategi ini muncul untuk memberi manfaat pada
kemampuan kognitif mereka (Tamir, 2005). Neuroticism juga berhubungan
dengan defensife pessimism, strategi motivasi yang dimiliki olehnya tidak realistis
dan memiliki estimasi yang rendah dari kemampuan mereka, agar dapat
menciptakan kecemasan yang dapat membantu mereka sebagai insentif dari kerja
kerasnya (Hoyle, 2010).
Bagaimana pun diantara orang yang neurotic, emosi negative tidak selalu
bermanfaat untuk self control. Jika seseorang terlalu cemas, dia dapat meyakinkan
dirinya bahwa pada ujian selanjutnya ia tidak akan berhasil. Untuk melindungi
self esteemnya dari kegagalan mereka akan melakukan sabotase pada
kesuksesanna sendiri (Hoyle, 2010).
Trarit
kepribadian dan strategi self
regulation. Untuk menutup
kesenjangan antara self perception dengan seseorang yang ingin menjadi dirinya
sendiri. Seseorang harus memilih, memulai dan mempertahankan strategi
perbaikannya. Trait kepribadian memprediksi kedua strategi yang dimiliki oleh
seseorang terlibat dengan kesuksesan dalam hasil strategi modifikasi perilaku
yang dilakukannya (Hoyle, 2010).
Untuk
meningkatkan
self
regulationnya,
seseorang
juga
dapat
memanfaatkan kekuatan dari hubungan dengan dunia sosialnya dengan mencari
bantuan atau dukungan sosial dari orang lain. Dimensi kepribadian Extraversion
dan Agreeableness memiliki hubungan seperti pada pendekatan yang telah
22
dijelaskan sebelumnya. Dimensi kepribadian Extraversion misalnya, akan dengan
senang hati meminta bantuan dari rekan – rekannya dalam konteks akademik
(Bidjerano & Dai, 2007) dan mereka memilih untuk mengerjakan tugas dalam
sebuah grup (Hoyle, 2010). Antara extraversion dan agreeableness juga memilih
untuk bekerja dalam setting kerja sama (Ross et al, 2003).
Tanpa memperhatikan strategi yang self regulation yang dipilih, maka
pepatah lama Will Roger’s berlaku : “Even if you’re on the right track you’ll get
run over if you just sit there.” Atau yang dalam bahasa Indonesia “Meskipun anda
berada pada jalur yang benar anda akan terlindas jika anda hanya duduk disana.”
Begitu juga dengan startegi self regulation yang akan gagal jika tidak pernah di
cobaa untuk di praktekan. Diantara kelima dimensi kepribadian yang ada, dimensi
kepribadian conscientiousness yang rendah menunjukkan assosiasi yang kuat
dengan penundaan yang berlebihan (Steel, 2007). Sedangkan orang yang neurotic
juga lebih mungkin melakukan penundaan, terutama disebabkan oleh tingkat
impulsifitas yang tinggi (Steel, 2007).
2.4. Relawan
2.4.1. Definisi Relawan
Pengertian relawan dalam lingkup Palang Merah Indonesia adalah
seseorang yang melaksanakan kegiatan kepalangmerahan baik secara tetap
maupun tidak tetap sesuai dengan prinsip – prinsip dasar Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional serta diorganisasikan oleh Palang Merah
23
Indonesia (PMI). Sedangkan kerelawanan didefinisikan dalam Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit merah adalah kegiatan yang (Susilo, 2008) ;
1. Dilakukan secara sukarela, tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan
keuntungan materi maupun financial serta tanpa adanya tekanan sosial,
ekonomi maupun politik.
2. Mendatangkan manfaat bagi masyarakat rentan beserta lingkungannya
sesuai dengan prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional.
3. Terorganisasi oleh perhimpunan nasional yang diakui.
Dalam
Booklet
Relawan
P2KP
(Konsultan
Manajemen
Pusat)
mengemukakan bahwa Relawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang
secara ikhlas karena panggilan nuraninya memberikan apa yang dimilikinya
(pikiran, tenaga, waktu, harta, dsb) kepada masyarakat sebagai perwujudan
tanggung jawab sosialnya tanpa mengharapkan pamrih baik berupa imbalan
(upah), kedudukan, kekuasaan, kepentingan maupun karier. Sedangkan dalam
Website PNPM Mandiri Perkotaan menuliskan bahwa, relawan adalah orangorang atau warga masyarakat setempat yang bersedia mengabdi secara ikhlas dan
tanpa pamrih, tidak digaji atau diberi imbalan, rendah hati, berkorban, diusulkan
serta dipilih oleh masyarakat berdasarkan kualitas sifat kemanusiaan atau
moralitasnya, dan memiliki kepedulian serta komitmen yang sangat kuat untuk
memperbaiki kondisi lingkungan sekitarnya (Jayanti,2013).
24
Kemudian dalam booklet Palang Merah Indonesia terdapat 4 elemen yang
dapat disebut sebagai relawan, antara lain :
1. Palang Merah Remaja (PMR)
Adalah wadah kegiatan remaja disekolah atau lembaga pendidikan normal
dalam kepalangmerahan melalui program ekstra kurikuler. PMR MULA,
usia 7 – 12 tahun atau setingkat sekolah dasar. PMR MADYA, usia 12 –
16 tahun atau setingkat Sekolah Menengah Pertama. PMR WIRA, usia 16
– 20 tahun atau setingkat Sekolah Menengah Atas.
2. Korps Sukarela (KSR)
Adalah kesatuan unit Palang Merah Indonesia yang menjadi wadah
anggota biasa dan perseorangan yang atas kesadaran sendiri menyatakan
menjadi anggota KSR. Syarat menjadi KSR adalah :
a. Berdomisili di Indonesia,
b. Usia Min. 20 tahun,
c. Bersedia mengikuti pendidikan dan pelatihan,
d. Bersedia Menjalankan tugas kepaalangmerahan scara terorganisir dan
mentaati peraturan yang berlaku.
3. Tenaga Sukarela (TSR)
Adalah anggota Palang Merah Indonesia yang direkrut dari perseorangan
dari kalangan masyarakat yang berlatar belakang profesi atau memiliki
keterampilan tertentu.Syarat menjadi TSR adalah ;
a. Setia pada Pancasila dan UUD 1945,
b. Usia minimal 18 tahun,
25
c. Memiliki keterampilan/keahlian/profesi tertentu yang mendukung
tugas dan kegiatan Palang Merah Indonesia baik yang didapat dari
pendidikan formal maupun nonformal.
d. Memiliki kesanggupan secara fisik dan mental
e. Bersedia mengabdikan diri pada Palang Merah Indonesia.
f. Bersedia mengikuti orientasi kepalangmerahan.
4. Donor Darah Sukarela (DDS)
Adalah seseorang yang menyumbangkan darahnya secara sukarela tanpa
pamrih.
2.5. Kerangka Pemikiran
Extraversion
Agreeableness
Conscientiousness
Self Regulation
Neuroticism
Openness to
Experient
26
2.6. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran pada bagian sebelumnya maka peneliti
mengajukan hipotesis sebagai berikut :

Ada hubungan yang signifikan antara extraversion dengan self regulation.

Ada hubungan yang signifikan antara agreeableness dengan self
regulation.

Ada hubungan yang signifikan antara conscientiousness dengan self
regulation.

Ada hubungan yang signifikan antara neuroticism dengan self regulation.

Ada hubungan yang signifikan antara openness to experient dengan self
regulation.
27
Download