JURNAL BENCANA ASAP DALAM ESAI FOTO

advertisement
JURNAL
BENCANA ASAP DALAM ESAI FOTO
(Studi Analisis Semiotika terhadap Makna Dampak Bencana Asap dalam
Esai Foto Jurnalistik “Riau Lautan Asap” dalam Majalah National
Geographic Indonesia edisi September 2015)
Oleh:
RADITYO KUSWIHATMO
D0212086
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
1
BENCANA ASAP DALAM ESAI FOTO
(Studi Analisis Semiotika terhadap Makna Dampak Bencana Asap dalam
Esai Foto Jurnalistik “Riau Lautan Asap” dalam Majalah National
Geographic Indonesia edisi September 2015)
Radityo Kuswihatmo
Hamid Arifin
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
This study aims to determine the meaning of disaster impact in the
photojournalistic essay titled “Riau Lautan Asap‖ in the National Geographic
Indonesia Magazine September 2015 edition using the semiotics analysis method
and theory. Semiotic analysis in this research uses Roland Barthes‟s model of
semiotic analysis, using the „order of signification‟ in the form of withdrawal the
denotation and connotation meaning, and also uses the stage of „connotation
procedure‟ that include the procedure of trick effect, objects, pose, photogenia,
aestheticism, and syntax to delve the meaning in every aspect in each of the
photograph.
The results of this study concluded that the meaning of the impacts of
disasters appears varies in different aspects of life in Riau smoke catastrophic
events in past 2015. There is not just negative impacts that shown in this photo
essay, but also indirectly display positive values that appear in Riau smoke haze
problem.
Keywords: semiotics, roland barthes, photojournalistic, Riau smoke disaster
2
Pendahuluan
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang telah cukup lama
memiliki masalah dengan asap. Penduduk setempat menyebutnya jerebu; suatu
kondisi udara saat diliputi pekatnya asap, abu, atau debu akibat kebakaran lahan.
Kondisi penuh jerebu inilah yang dialami oleh masyarakat Riau dan sekitarnya
pada setiap musim kemarau, selama 18 tahun terakhir.1)
Masalah asap yang dihadapi Riau dipengaruhi oleh kondisi geografisnya
yang merupakan wilayah bergambut terbesar di Sumatera. Berdasarkan data dari
website SiPongi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun
2015, terdapat 2.643 hektare kebakaran yang terjadi di Riau. Jumlah tersebut
merupakan yang terbesar dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, disusul
dengan kebakaran Jambi seluas 2.217 hektare dan Kalimantan Tengah dengan
luas 1.220,40 hektare.2)
Secara ilmiah, penyebab dari kebakaran hutan dan lahan gambut tersebut
dipicu oleh fenomena el nino dan dipole mode yang keduanya menyebabkan
kekeringan yang sering kali disinyalir menjadi pemicu kebakaran. Di sisi lain,
investigasi lapangan dan badan-badan terkait menemukan fakta lain, terdapat
unsur-unsur kesengajaan dengan berbagai modus operandi pada sebagian besar
peristiwa kebakaran hutan di Indonesia. Hal tersebut mengubah pandangan
masyarakat luas terhadap kebakaran yang telah terjadi di tanah Sumatera selama
bertahun-tahun.
Peristiwa kabut asap dan kebakaran hutan yang berulang terjadi terus
menjadi sorotan dari berbagai media, baik media lokal maupun media
internasional. Besaran dampak tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat yang
tidak berada dalam lingkungan terdampak. Mereka ingin menyaksikan mengenai
1
Irma Tambunan, ―Riau Lautan Asap‖, Majalah National Geographic Indonesia edisi
September (2015), hlm. 23.
2
SiPongi: Data Luas Kebakaran, Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan (Ha) Per Provinsi di
Indonesia. http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran, diakses pada 14 Maret 2016, pukul
21.05 WIB.
3
peristiwa yang tidak mereka alami. Aspek visual menjadi aspek yang dapat
memuaskan keinginan masyarakat tersebut.
Aspek visual dalam media elektronik terdapat dalam media televisi,
sedangkan dalam pemberitaan tertulis, aspek visual dihadirkan dengan adanya
foto-foto jurnalistik. Hal tersebut membuat fotografi jurnalistik tetap memiliki
eksistensi tersendiri.
Roland Barthes dalam Camera Lucida menuliskan, ―The Photograph does
not necessarily say „what is no longer‟, but only and for certain „what has
been‟.‖3) Pandangan ini menjelaskan bahwa fotografi (terutama fotografi
jurnalistik) memiliki kemampuan untuk menjadi representasi dari sebuah
peristiwa. Hal inilah yang menjadi salah satu kekuatan dalam fotografi jurnalistik.
Banyak media yang telah menyadari kekuatan foto jurnalistik akhirnya turut
mengembangkan kemampuan pewartanya dalam bidang fotografi untuk dapat
memberikan liputan yang lebih lengkap dengan tambahan foto jurnalistik terutama
dalam membingkai isu-isu besar.
Di Indoensia, salah satu media yang memiliki fokus dalam hal foto
jurnalistik adalah National Geographic Indonesia yang merupakan versi lokal dari
majalah National Geographic. Majalah tersebut juga turut menyoroti peristiwa
bencana asap yang terjadi dalam edisi September 2015. Tidak seperti kebanyakan
media lain yang menyajikan visual bencana berupa foto peristiwa, National
Geographic Indonesia membingkai esai foto dengan sudut pandang yang lebih
luas. Beberapa foto diambil dengan sudut pandang dampak bencana asap dalam
aspek-aspek yang berbeda.
Dari latar belakang tersebut, penelitian ini berusaha menggali makna
dampak bencana yang terkandung dalam esai foto jurnalistik ―Riau Lautan Asap‖.
Untuk dapat menemukan makna tersebut, penelitian ini menggunakan metode
studi analisis semiotika untuk mengungkap dan menguraikan makna yang
dihasilkan dari tiap elemen yang terdapat di dalam foto.
3
Roland Barthes, (1982), Camera Lucida: Reflections on Photography, New York: Hill and
Wang, hlm. 85.
4
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang hendak dijawab penelitian ini adalah makna
dampak bencana asap apakah yang dapat dibangun dari foto jurnalistik dalam esai
foto ―Riau Lautan Asap‖ di majalah National Geographic Indonesia edisi
September 2015?
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dampak bencana
asap yang dapat dibangun dari foto jurnalistik dalam esai foto ―Riau Lautan Asap‖
di majalah National Geographic Indonesia edisi September 2015.
Tinjauan Pustaka
1. Proses Komunikasi
Nawiroh Vera dalam bukunya mengutip pernyataan L.E. Sarbaugh
yaitu: ―Communication is the process of using signs and symbols which elicit
meanings in another person or persons”.4) Atau dikatakan bahwa komunikasi
merupakan sebuah proses dalam menggunakan tanda atau simbol yang
mendatangkan makna pada orang atau orang-orang lain.
Carl I. Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses
mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the
behavior of other individuals).5) Maksudnya, komunikasi merupakan sebuah
proses atau alur yang tidak terjadi begitu saja melainkan memiliki tahaptahapan tertentu, dan tujuan dari komunikasi yang utama adalah mengubah
perilaku orang lain.
Penjelasan mengenai tahapan dari komunikasi dapat dilihat dari aspek
komunikasi yang dikemukakan oleh Harold D. Laswell, seorang pakar ilmu
4
Nawiroh Vera, (2014), Semiotika dalam Riset Komunikasi, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 1.
Onong Uchjana Effendy, (2003), Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Rosdakarya,
hlm. 10.
5
5
komunikasi yang terkemuka. Laswell menjelaskan ilmu komunikasi dengan
sebuah pertanyaan yakni; ―Who Says What In Which Channel To Whom With
What Effect?”6) Dari pertanyaan tersebut maka dapat dijabarkan lima unsur
komunikasi yaitu, komunikator (communicator, source, sender), pesan
(message), media (channel, media), komunikan (communicant, receiver,
audience), dan efek (effect, impact, influence). Jika kelima unsur komunikasi
terpenuhi bisa dikatakan komunikasi telah berjalan dengan baik. Namun
dalam praktiknya, dalam proses komunikasi terjadi hambatan-hambatan atau
yang biasa disebut dengan noise. Hambatan yang kerap terjadi salah satunya
adalah perbedaan penaftisan pesan, hambatan tersebut terjadi karena
penyampaian pesan oleh komunikatior kurang efektif sehingga makna sulit
ditangkap komunikan atau penerima.
Perbedaan penafsiran pesan yang terjadi karena kesalahan pemaknaan
bisa dikategorikan sebagai hambatan atau gangguan sematik. Gangguan jenis
ini bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi
rusak.7) Pada dasarnya untuk dapat dikatakan efektif maka komunikan harus
dapat menangkap makna dari komunikator.
2. Foto Jurnalistik
Wilson Hick, menjelaskan bahwa foto jurnalistik adalah media
komunikasi yang menggabungkan elemen verbal dan visual.8) Perkataan Hick
tersebut memperlihatkan bahwa foto jurnalistik tidak berdiri sendiri namun
terdiri dari dua elemen penting yakni foto (visual) dan teks keterangan
(verbal). Elemen verbal tersebut dalam foto jurnalistik biasa disebut caption.
Fred S. Parrish dalam bukunya, Photojournalism An Introduction,
mendefinisikan bahwa caption membantu mengarahkan persprektif sebuah
6
Ibid.
Onong Uchjana Effendy, (1993), Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya
Bakti, hlm. 46.
8
Pernyataan Wilson Hick seperti dikutip oleh Taufan Wijaya, (2014), Foto Jurnalistik, Jakarta:
Gramedia, hlm. 17.
7
6
foto dan menjelaskan detail informasi yang tidak ada dalam gambar,
membingungkan atau tidak jelas.9)
Wijaya membagi jenis foto jurnalistik ke dalam tiga bagian besar,
yakni foto spot, feature, foto cerita dan foto olahraga.10) Foto spot yakni foto
yang membingkai kejadian utama sebuah peristiwa, foto feature pada
dasarnya adalah foto dengan menggambarkan sisi lain dari sebuah peristiwa,
sedangkan foto cerita adalah serangkaian foto tunggal yang berfungsi untuk
menampilkan keutuhan cerita.
Dalam media massa, foto cerita tampil berupa rangkaian empat foto
atau lebih dalam satu terbitan yang sama. Dalam level internasional, foto
cerita terbagi menjadi tiga macam11):
a. Descriptive – fotografer menampilkan hal yang menarik dari sudut
pandangnya berupa kompilasi foto hasil observasinya. Susunan
foto descriptive bisa diubah atau dibalik tanpa mengubah isi cerita.
b. Narrative – foto cerita yang memiliki tema dan penggambaran
situasi atau struktur yang spesifik. Foto cerita narrative memiliki
alur dan penanda yang tidak bisa sembarangan diubah susunannya.
c. Photo Essay – adalah sebuah cerita dengan sudut pandang tertentu
menyangkut pertanyaan atau rangkaian argumen. Bisa juga berupa
analisis.
3. Semiotika
Menurut Preminger, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau
masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tandatanda tersebut mempunyai arti.12) Sedangkan tanda disebutkan oleh Danesi
adalah segala sesuatu—warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus
9
Fred S. Parrish dalam Taufan Wijaya, Ibid., hlm. 53.
Taufan Wijaya, Ibid., hlm. 69.
11
Ibid., hlm. 76.
12
Rachmat Kriyantono, (2007), Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana, hlm. 261.
10
7
matematika, dan lain-lain—yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain
dirinya.13)
Penelitian ini mencoba menggunakan pemikiran Roland Barthes.
Proses penandaan Barthes memiliki ciri khas lain dibanding semiolog lainnya,
yakni ada aspek penandaan lain yang dilihatnya, yakni ―mitos‖. Mitos disini
bukan memiliki makna seperti arti klasiknya.
Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan.14)
Tingkat kedua yang dimaksudkan adalah tingkatan di atas penandaan tandapenanda-petanda. Penandaan tingkat pertama disebutkannya sebagai sebuah
bahasa, dan konstruksi penandaan kedua adalah mitos. Barthes menyebut
konstruksi penandaan tingkat kedua ini sebagai metabahasa (metalanguage).15)
Konsep penandaan dua tahap tersebutlah yang nantinya lebih dikenal sebagai
penandaan (signifikasi) dua tahap atau order of signification.
Dalam konsep order of signification, Barthes memperkenalkan konsep
konotasi (connotation), dan denotasi (denotation). Denotasi menjelaskan
makna objek secara gamblang, atau bisa disebut sebagai makna kamus dari
sebuah kata atau terminologi atau objek.16) Sedangkan makna konotasi adalah
makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminologi.17) Makna
denotasi dihasilkan dari penanda dan petanda, dan makna konotasi diambil
dari tanda denotatif dan petanda yang bisa berupa tanda-tanda yang terdapat di
masyarakat maupun tanda-tanda historis.
Dalam bukunya Imaji Musik Teks (Image Music Text), Barthes
menjabarkan bagaimana menganalisis foto dalam tahap konotasi, hal ini
disebut Barthes dengan connotation procedures atau tahap-tahap konotasi.
Didalamnya terdapat enam tahapan, yakni efek tiruan, pose atau sikap, objek,
13
Marcel Danesi, (2010), Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika
dan Teori Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 7.
14
Danesi, Op.Cit., hlm. 22.
15
Ibid., hlm. 23.
16
Rachmat Kriyantono, (2007), Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana, hlm. 268.
17
Ibid.
8
fotogenia, estetisme, dan sintaksis.18) Keenamnya dijelaskan seperti berikut
ini:
1. Efek tiruan (trick effect) berarti manipulasi foto, seperti penggabungan dua
foto atau lebih, menambah atau mengurangi objek di dalam foto dengan
tujuan-tujuan tertentu.
2. Pose atau sikap, adalah bentuk gerakan atau gestur, sikap, ekspresi atau
bisa disebut sebagai tanda non-verbal. Pose atau sikap objek di depan
kamera menentukan makna dari foto.
3. Objek yang dimaksud di sini adalah sesuatu (baik benda maupun objek)
yang dikomposisikan sedemikian rupa untuk dapat menimbulkan makna
tertentu.
4. Fotogenia (Photogenia) adalah teknik dalam memotret, di dalam fotogenia
pesan yang dikonotasikan adalah foto itu sendiri. Salah satu fokus dalam
telaah fotogenia adalah mengenai penggunaan lensa. Dalam sebuah foto,
pemilihan lensa serta peletakan dan jarak objek dari kamera menentukan
dimensi dari gambar. Paul menyebutkan pemlihan lensa memiliki makna
tertentu, yaitu:
“A standard lens gives balanced image, connoting
everydayness and normality, a telephoto lens allows us to
get closer to an object and therefore become more intimate
(it also has connotations with voyeurism). Finally the wide
angle lens makes the image more dramatic as the distance
between objects is exaggerated.”19)
Selain dari pemilihan lensa, bagaimana aspek komposisi yang digunakan
oleh fotografer pada saat memotret juga akan menghasilkan makna-makna
tertentu, hal itu dijelaskan oleh Lovelance dengan mengutip Messaris
seperti ini:
“According to Messaris (1994), some aspects of the
composition can communicate different meanings to the
audience. The audience is more likely to identify with a
18
Roland Barthes, (2010), Imaji Musik Teks, Jakarta: Jalasutra, hlm. 6.
Paul Charter, (April 2000), Jurnal: A Semiotic Analysis of Newspaper Front-Page
Photographs, hlm. 4.
19
9
subject that is in the foreground of a photo rather than in
the background. The more a subject is turned to the
camera, the more open they are to being understood by the
viewer. And lastly, a subject taken from a high angle is
considered powerless while those taken from a low angle
tend to be viewed as having more power.”20)
5. Estetisme atau estetika dalam hal ini berhubungan dalam komposisi dalam
foto serta aspek-aspek visual dalam fotografi. Barthes memberi catatan
khusus mengenai estetisme, bahwa sefasih apa pun orang berbicara
tentang estetisme dalam foto, penjelasan-penjelasannya pasti masih
ambigu.21)
6. Sintaksis dapat ditemukan dalam rangkaian foto yang terbentuk dari
rangkaian yang bersambung dengan foto lain. Sintaksis juga terkait dengan
elemen tambahan lainnya yakni berupa judul foto dan juga caption.
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dengan metode
analisis semiotika. Penelitian ini mengambil sebuah esai foto dengan judul ―Riau
Lautan Asap‖ yang terdapat dalam Majalah National Geographic Indonesia edisi
September 2015 yang membahas mengenai bencana asap Riau sebagai data
primer dalam penelitian. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini
menggunakan dari wawancara, buku-buku, jurnal, artikel, majalah, surat kabar,
portal berita online yang relevan dengan objek penelitian yang diamati.
Triangulasi data dilakukan dengan menggunakan triangulasi sumber, yakni
membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh dari sumber yang berbeda.22) Validitas data dalam penelitian ini
menggunakan interteks sebagai referen dari berebagai literatur pendukung serta
dilakukan wawancara untuk menggali bagian data yang diperlukan. Teknik
20
Messaris Paul dalam Angie Lovelance, (2010), Jurnal: Iconic Photos of The Vietnam War
Era: A Semiotic Analysis as a Means of Understanding, Elon University, hlm. 35.
21
Roland Barthes, (2010), Imaji Musik Teks, Jakarta: Jalasutra, hlm. 10.
22
Rachmat Kriyantono, (2007), Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana, hlm. 71.
10
analisis data didasarkan kepada model semiotika Roland Barthes, yakni
menggunakan tahapan dalam order of signification serta telaah tiap foto dengan
connotation procedures.
Sajian dan Analisis data
Sajian dan Analisis data yang dilakukan menggunakan prosedur yang
dikemukakan oleh Barthes. Meski demikian, dalam jurnal ini analisis data
dirangkum dalam format penyajian denotasi – konotasi untuk lebih mudah
memperlihatkan hasil dari analisis yang telah dilakukan.
1. Korpus pertama
a. Makna Denotasi
Sebuah foto yang diambil dari udara yang menggambarkan sebuah
foto mengenai kondisi kebakaran yang terjadi tepat berseberangan dengan
sebuah perkebunan kelapa sawit. Foto ini memperlihatkan tiga bagian
utama foto; perkebunan kelapa sawit, hamparan hutan yang tegah terbakar,
serta hutan yang masih hijau.
b. Makna Konotasi
Dalam foto ini terdapat asosiasi antar objek berupa perkebunan
kelapa sawit, hutan yang terbakar, serta hutan yang masih hijau yang
menyiratkan perluasan lahan perkebunan. Komposisi sepertiga ruang
dalam foto juga memperkuat asosiasi antar objek tersebut. Teknik bird‟s
eye view dan penggunaan extreme long shot juga difungsikan untuk
11
memperlihatkan lingkungan secara luas sehingga foto tersebut dapat
tercipta. Caption foto dalam foto juga memperkuat adanya konotasi makna
tersebut. Selain itu caption foto juga membuat makna yang benar-benar
baru yang belum terdapat dalam foto, yakni: ―...juga menghadirkan
julukan baru bagi Indonesia di mata dunia: negara pengekspor asap.‖23
Fotografer atau Redaktur foto terlihat berusaha memasukan makna
sampingan yakni dampak bencana asap bagi nama baik Indonesia.
2. Korpus kedua
a. Makna Denotasi
Helikopter BNPB sedang melakukan pengeboman air di atas
pepohonan yang terlihat diselimuti asap yang membumbung. Terlihat
perubahan format foto berwarna menjadi monokrom dalam foto ini.
b. Makna Konotasi
Meski tidak ada api, tapi asap yang ditampilkan merepresentasikan
kebakaran. Objek helikopter dalam foto ini memberi beberapa makna
yakni sulitnya pemadaman kebakaran hutan yang terjadi dan sebagai
gambaran dampak ekonomi yang dikeluarkan dalam proses pemadaman.
Pengubahan format warna menjadi monokrom menurut pamungkas
23
Irma Tambunan, Op.Cit., hlm. 18.
12
memperkuat kesan dramatis dalam usaha pemadaman tersebut.24) Di sisi
lain, pengambilan gambar dengan memberi perbandingan ukuran antara
helikopter dan pepohonan yang terbakar menandakan pemadaman yang
tengah dilakukan tidak efektif dalam menanggulangi bencana asap yang
sedang terjadi.
3. Korpus ketiga
a. Makna Denotasi
Seorang perempuan menemani seorang anak yang sedang dirawat.
Terlihat beberapa perlengkapan medis seperti selang infus yang berada di
tangan sang anak, serta nebulizer yang berada di hidung anak tersebut.
b. Makna Konotasi
Dihadirkannya objek ibu dan anak dalam foto ini berusaha
mengangkat sisi emosional dan simpati. Pose sang ibu yang membungkuk,
menghadap dan menatap si anak memperlihatkan perhatian. Baju sang ibu
berwarna hitam, yang memiliki asosiasi dengan berkabung atau
kesedihan.25) Peralatan medis nebulizer menandakan kondisi pernafasan
yang serius. Foto ini berusaha menyampaikan dampak bencana bagi
24
Wawancara dengan Pamungkas W.S., tanggal 10 November 2016, di Fakultas Seni Media
Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pukul 10.06 WIB.
25
Kompasiana:
Pakaian Hitam Saat Melayat Budaya
atau Kebiasaan?
http://www.kompasiana.com/sitifatimahnasutionikom/pakaian-hitam-saat-melayat-budaya-ataukebiasaan_551fa83ca33311d42bb6728d , diakses pada 19 Juli 2016, pukul 20.34 WIB.
13
kesehatan, di sisi lain dipilihnya objek anak menurut pamungkas berusaha
menyampaikan bahwa dampak bencana asap juga memiliki dampak bagi
suatu generasi.26)
4. Korpus keempat
a. Makna Denotasi
Korpus keempat merupakan foto usaha pemadaman langsung oleh
dua orang dengan seragam yang berbeda. Terlihat pemadaman dilakukan
dengan selang air yang di semprotkan ke arah bawah.
b. Makna Konotasi
Objek dan pose adalah yang ditonjolkan dalam foto ini. Terlihat
makna kerja sama dalam usaha pemadaman kebakaran, terlihat dari pose
dari objek manusia yang memberi arahan kepada rekannya. Dua seragam
yang berbeda menandakan mereka berada dalam dua instansi berbeda,
memberi makna bahwa terdapat kerja sama antar instansi dalam kejadian
pemadaman. Di sisi lain, terdapat kritik dalam foto ini, di mana detail dari
objek memperlihatkan kelengkapan keselamatan seadanya. Namun foto ini
berusaha menonjolkan makna kerja sama yang terjalin dalam usaha
pemadaman kebakaran dalam bencana asap. Pamungkas memaknainya
26
Wawancara dengan Pamungkas W.S., tanggal 10 November 2016, di Fakultas Seni Media
Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pukul 10.06 WIB.
14
sebagai respon ketika terjadi bencana, bahwa bencana bukan hanya
tanggung jawab perseorangan maupun kelompok tertentu, namun
tanggung jawab semua.27
5. Korpus kelima
a. Makna Denotasi
Foto kelima memperlihatkan adanya kanal air di sebuah lahan yang
tidak terlihat tertata. Kanal tersebut membelah lahan di dalam foto
tersebut. Terlihat seorang pria berpakaian muslim melintasi sekat kanal
yang terlihat besar.
b. Makna Konotasi
Secara visual, foto ini kurang dapat bercerita, tetapi dapat memberi
kesan-kesan tertentu. Yakni pepohonan mati di sekitar kanal air,
menandakan pembangunan kanal air yang tidak mengindahkan keberadaan
alam. Objek
manusia
dalam foto
terlihat
sebagai
pembanding,
memperlihatkan seberapa besar kanal air tersebut. Pose manusia tersebut
sedang berjalan dengan pandangannya tertuju pada arah yang akan
dilaluinya, memberi kesan kehati-hatian. Dimunculkannya objek manusia
27
Wawancara dengan Pamungkas W.S., tanggal 10 Januari 2017, di Fakultas Seni Media
Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pukul 10.20 WIB.
15
dengan pakaian muslim juga berusaha memberi kesanr religius pada objek
manusia tersebut.
Jika dikaitkan dengan caption, foto lebih bercerita mengenai sekat
kanal (yang dilalui objek manusia) yang dibangun oleh masyarakat
berfungsi menjaga ketersediaan air bagi lahan. korpus ini dapat dimaknai
sebagai kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat sekitar untuk turut
mengatasi bencana yang terjadi.
6. Korpus keenam
a. Makna Denotasi
Foto ini memperlihatkan asap terlihat mengepul di sekitar area
perumahan memberi suasana gelap di latar belakang menutupi pepohonan
di bagian belakang perumahan. Terlihat sesosok manusia hadir dalam foto
ini. Kesan suram dan sepi hadir dalam foto ini.
b. Makna Konotasi
Rumah merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. berupa
perumahan yang terdampak asap bermakna bahwa dampak bencana telah
menyentuh langsung kepada kehidupan manusia. Sedangkan objek
manusia memiliki pose berjalan biasa, memberi kesan normalitas atau
rutinitas. Diperkuat dengan atribut atau pakaian yang dikenakan oleh objek
manusia yang menyiratkan pakaian sehari hari. Dengan hadirnya satu
manusia dalam foto juga turut menghadirkan kesan sepi.
16
Asap yang berada sangat dekat pada perumahan juga merupakan
ulah manusia, dalam caption tertulis bahwa asap berasal dari lahan yang
sengaja dibakar. Hal tersebut menimbulkan ironi dalam foto ini. Namun
sekaligus memperlihatkan bahwa kebakaran adalah sebuah normalitas
yang terjadi di Riau.
7. Korpus ketujuh
a. Makna Denotasi
Banyak orang dari berbagai kalangan melakukan salat Idul Fitri di
Masjid Agung An-Nur. Pada baris-baris depan dalam bingkai foto, wajah
mereka terekam memperlihatkan sikap khusyuk dan bersungguh-sungguh
dalam menjalankan ibadah.
b. Makna Konotasi
Secara teori, penggunaan high angle dalam foto memberi kesan
tidak berdaya.28) Namun dibanding tidak berdaya makna yang timbul lebih
mengarah kepada sikap berserah diri, dikaitkan dengan posisi objek yang
sedang melakukan rangkaian ibadah. Pengambilan gambar subjek sedang
menjalankan ibadah tersebut dapat dimaknai sebagai suatu bentuk
kepasrahan serta kesabaran dalam menghadapi bencana asap. Dari segi
pose, terlihat sikap menunduk dan berdiri atau qiyam dalam salat yang
28
Louis D. Giannetti, (2008), Understanding Movies, Eleventh Edition, New Jersey: Pearson,
hlm. 17.
17
memiliki makna ketiadaan kesombongan serta kerendahan hati.29) Dalam
bukunya, Berger juga
menyebutkan mengenai
modifikasi
tanda,
diantaranya adalah intensifier atau penguatan yang digunakan unetuk
memperkuat elemen tanda. Salah satu bentuk intensifier adalah
digunakannya pengulangan terhadap tanda.30) Penggunaan pola berulang
dalam foto ini juga dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penguatan tanda.
Foto ini menyiratkan rasa sabar serta penyerahan diri dari seluruh lapisan
masyarakat kepada Tuhan dalam menghadapi bencana.
8. Korpus kedelapan
a. Makna Denotasi
Foto ini memperlihatkan dua orang yang sedang berboncengan
menggunakan skuter roda dua melintas di sebelah area yang tengah
terbakar. Tampak asap berwarna putih dan api yang membumbung.
b. Makna Konotasi
Objek dan pose dari objek dalam foto memberi kesan atau
keseharian yang terjadi di masyarakat. Seringnya kebakaran terjadi
membuat manusia acuh tak acuh terhadap dampak bencana asap terhadap
alam, serta sense of crisis masyarakat dalam menghadapi bencana sudah
29
HakikatIslam.com:
Apa
Makna
Gerakan-gerakan
dalam
Sholat,
http://www.hakikatislam.com/pertanyaan-jawaban/ibadah/apa-makna-gerakan-gerakan-dalamsholat , diakses pada 7 September 2016 pukul 10.40 WIB.
30
Arthur Asa Berger, (2010), Pengantar Semiotika: Tanda-tanda Dalam Kebudayaan
Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 177.
18
mulai terkikis. Foto ini juga memberi gambaran bahwa lokasi kebakaran
tidak hanya di hutan-hutan yang jauh dari masyakarat, namun juga terjadi
dekat dengan kehidupan manusia.
9. Korpus kesembilan
a. Makna Denotasi
Foto
kesembilan kembali
menghadirkan foto udara
yang
memperlihatkan sebuah sungai yang lebar beserta pemandangan hutan
yang hijau. Pemandangan yang indah tersebut tampak terganggu dengan
adanya kabut putih yang merupakan kabut asap yang menyelimuti bagian
belakang foto, hingga horizon menjadi tak tampak.
b. Makna Konotasi
Dari segi objek, baik hutan dan sungai dalam foto ini bermakna
kehidupan serta kekayaan alam. Segi fotogenia, objek hutan dan sungai
ditempatkan di bagian tengah yang menandakan objek itu penting.
Sementara itu kabut asap ditempatkan di bagian atas bidang foto,
penempatan di atas yang memberi kesan berkuasa. Estetisme dalam korpus
ini tampil dengan komposisi leading line yang mengarahkan pandangan
dari sungai menuju ke arah asap. Hal ini memperlihatkan bahwa fotografer
berusaha mengarahkan pandangan ke horizon yang tertutup asap.
19
Kesimpulan
Berdasarkan tahapan analisis yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan bahwa makna dampak bencana tampil dominan hampir pada tiap
korpus dengan berbagai aspek yang meliputi dampak negatif maupun positif.
Makna negatif dimunculkan dalam beberapa aspek seperti aspek kesehatan, yang
digambarkan membahayakan kesehatan pernafasan manusia; memberi label buruk
bagi Indonesia sebagai negara pengekspor asap; kebakaran hutan dan bencana
asap menguras anggaran negara; dampak asap yang mengganggu aktivitas seharihari manusia; bencana asap juga membahayakan kelestarian keanekaragaman
hayati Riau. Selain itu bencana asap dalam esai foto ini juga menggambarkan
dampak positif yakni timbulnya kerja sama antar instansi dalam memecahkan
persoalan asap; timbulnya kesadaran pada masyarakat untuk turut mengatasi
permasalahan tersebut; memupuk kesabaran dan sikap religiusitas dari masyarakat
Riau.
Saran
Bagi penelitian selanjutnya, penelitian semiotika bersifat subjektif
sehingga perlu bagi peneliti untuk memperluas referensi sehingga dapat
mempertajam analisis semiotik yang dihasilkan. Pada penelitian selanjutnya dapat
digunakan tahapan analisis semiotika Roland Barthes yang lebih dalam untuk
membedah makna hingga taraf etis-ideologis.
Karena adanya keterbatasan peneliti untuk mendapatkan informan dalam
penelitian ini, dalam penelitian selanjutnya pada validitas data, jika wawancara
dirasa perlu dilakukan, peneliti menyarakan untuk melakukan wawancara pada
beberapa informan dengan keberagaman latar belakang karena analisis semiotika
memiliki subjektivitas yang tinggi yang muncul dari persepsi yang dipengaruhi
oleh latar belakang manusia.
20
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. (2010). Imaji Musik Teks. Jakarta: Jalasutra.
_____________. (1982). Camera Lucida: Reflections on Photography. New
York: Hill and Wang.
Charter, Paul. (April 2000). Jurnal: A Semiotic Analysis of Newspaper Front-Page
Photographs.
Danesi, Marcel. (2010). Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Effendy, Onong Uchjana. (1993). Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
_____________________. (2003). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Rosdakarya.
Giannetti, D. Louis. (2008). Understanding Movies, Eleventh Edition. New
Jersey: Pearson.
HakikatIslam.com:
Apa
Makna
Gerakan-gerakan
dalam
Sholat.
http://www.hakikatislam.com/pertanyaan-jawaban/ibadah/apa-maknagerakan-gerakan-dalam-sholat , diakses pada 7 September 2016 pukul 10.40
WIB.
Irma Tambunan. (2015). ―Kala Jerebu Menyerbu”. Majalah National Geographi
Indonesia. Edisi September.
Kriyantono, Rachmat. (2007). Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh
Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi,
Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana.
Kompasiana: Pakaian Hitam Saat Melayat Budaya atau Kebiasaan?
http://www.kompasiana.com/sitifatimahnasutionikom/pakaian-hitam-saatmelayat-budaya-atau-kebiasaan_551fa83ca33311d42bb6728d , diakses pada
19 Juli 2016, pukul 20.34 WIB.
Lovelance, Angie. (2010). Jurnal: Iconic Photos of The Vietnam War Era: A
Semiotic Analysis as a Means of Understanding. Elon University.
Parrish, Fred S.. (2002). Photojournalism An Introduction. Belmont:
Wadsworth/Thomas Learning.
Wijaya, Taufan. (2014). Foto Jurnalistik. Jakarta: Gramedia.
Vera, Nawiroh. (2014). Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia
Indonesia.
SiPongi: Data Luas Kebakaran, Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan (Ha) Per
Provinsi di Indonesia. http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran.
Diakses pada 14 Maret 2016, pukul 21.05 WIB.
Download