I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat erat dan saling ketergantungan satu sama lain. Akan tetapi, interaksi negatif dari manusia kepada sumber daya alam hutan misalnya lebih dominan dibanding interaksi positifnya. Proses pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia yang tidak diikuti dengan pengaturan dan pengelolaan yang baik, pasti menyebabkan kehancuran sumber daya alamnya (Awang, 2004). Pengelolaan hutan menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan meliputi 4 kegiatan, yaitu (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (2) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan (4) perlindungan hutan dan konservasi alam. Pemanfaatan hutan dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang baik yaitu tetap menjaga asas kelestarian dan keseimbangan antara pemanenan dan penanaman. Kelestarian sumber daya alam terwujud apabila adanya keseimbangan ekosistem hutan dan peran dari fungsi hutan dapat tetap terjaga. Sumber daya hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan perlu dikelola dan dipertahankan keberadaannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 1 Pengelolaan hutan perlu memperhatikan beberapa fungsi diantaranya fungsi ekonomi, sosial dan ekologi (Prasetyo, 2006). Fungsi ekonomi yaitu masyarakat disekitar hutan dapat menikmati hasil dari hutan yang mereka kelola dengan harapan ada peningkatan ekonomi yang stabil dan menciptakan lapangan kerja bagi generasi mendatang dengan pola peningkatan pengelolaan hutan yang berteknologi ramah lingkungan. Fungsi sosial dengan terciptanya solidaritas masyarakat sekitar hutan dan menghindari kesenjangan sosial diantara kelompok masyarakat, maka dalam hal ini pengelolaan hutan dilakukan secara kolektif. Fungsi ekologi yaitu hutan berfungsi sebagai konservasi, untuk mencegah terjadinya bencana banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran serta memberikan perlindungn terhadap masyarakat disekitarnya (dari segi keamanan dan kesehatan). Jawa Barat hanya memiliki percentage 18,2 % luas kawasan hutan dari total wilayah Jawa barat. Padahal UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mengharuskan bahwa kawasan hutan memenuhi 30% dari total wilayahnya. Artinya bahwa Jawa Barat dalam kondisi kritis dari sisi luasan hutan (Ramdan, 2011). Akibatnya, krisis ekosistem dan keanekaragaman hayati yang semakin meningkat, krisis ketersediaan kualitas dan kuantitas air bersih, banjir dan longsor di musim penghujan semakin meluas, dan menurunnya kualitas daerah aliran sungai, waduk dan situ. Menurut BPS Kabupaten Tasikmalaya tahun 2013, luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya yaitu 270.882 Ha yang terdiri dari 218.701 Ha lahan pertanian dan 52.181 Ha lahan bukan pertanian. Total jumlah jiwa Kabupaten 2 Tasikmalaya sebanyak 1.716.178 jiwa terdiri dari 483.939 rumah tangga. Oleh karena itu tingkat kepadatan penduduk berkisar 634 jiwa/km2, dengan rata-rata luas lahan pertanian per rumah tangga adalah 0,45 Ha/rumah tangga. Pertumbuhan penduduk telah membawa peningkatan kebutuhan untuk lahan pertanian dan kebutuhan kayu bakar. Usaha-usaha peningkatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut telah semakin mempercepat terjadinya deforestasi dan praktek-praktek ketergantungan penggunaan lahan yang tidak lestari. Lahan kritis di Kabupaten Tasikmalaya semakin luas, menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya bahwa lahan kritis pada tahun 2012 mencapai 6.136,50 Ha (BPS, 2013). Berdasarkan data kerusakan hutan yang terjadi di KPH Tasikmalaya terjadi di RPH Cikalong dan RPH Cikatomas. Akibat penebangan illegal, dari 2.704,68 Ha wilayah RPH Cikalong mengalami kerusakan sekitar 52,8 Ha pada tahun 2012. Fakta lain kerusakan hutan di lahan Perhutani Jawa Barat Banten pada tahun 2013 ini sebanyak 7.768 Ha (Anonim, 2013). Berdasarkan data lansat mengenai perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Citanduy Hulu memperlihatkan peningkatan yang signifikan pada daerah terbangun dan kebun campur sementara hutan tanaman dan sawah mengalami penurunan yang tajam. Hutan tanaman mengalami penurunan sebesar 31.900 Ha di semua Sub DAS dalam trend perubahan lahan periode 1991-2003. Perubahan tersebut menyebabkan terjadinya proses degradasi lingkungan DAS. Proses 3 degradasi lahan dan kekritisan lahan DAS Citanduy akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk (Prasetyo, 2004). Saat ini, terdapat banyak kawasan hutan yang rusak akibat eksploitasi secara berlebihan, yang banyak diantaranya melibatkan perusahaan-perusahaan. Jika hal ini dibiarkan terus berlangsung, maka akan berakibat buruk bukan hanya terhadap keseimbangan ekosistem, melainkan juga menurunnya pendapatan ekonomi keluarga dan rusaknya tatanan sosial-budaya masyarakat setempat. Dikatakan demikian karena hutan mempunyai fungsi yang sangat besar terhadap alam kehidupan, yaitu menjaga keseimbangan ekosistem, sumber mata pencaharian masyarakat disekitar, serta memiliki fungsi sosial, budaya dan religi (Mariane, 2014). Di Tasikmalaya masih ada hutan yang terjaga kelestarian, yaitu di Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Desa Neglasari terletak antara 107o - 109o BT dan 7o - 7o LS. Desa ini berada di jalur jalan Provinsi yang menghubungkan antara Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut. Komunitas adat Kampung Naga ini adalah salah satu kelompok masyarakat yang masih menjunjung dan patuh terhadap aturan-aturan atau norma-norma dan pengetahuan lokalnya dalam kaitannya dengan keseimbangan ekosistem hutan. Kampung Naga merupakan kampung adat yang masih bertahan di Jawa Barat selain Baduy di Banten dan Kampung Kuta di Ciamis (Agustapraja, 2012). Masyarakat adat Kampung Naga ini memiliki beberapa tradisi, adat-istiadat, dan tatanan nilai budaya lokal yang dijadikan sebagai penuntun dan patokan dalam kegiatan hidup sehari-hari. Salah satu tata cara yang terkait dengan kearifan hutan 4 dan lingkungan adalah cara mereka dalam mengelola dan memanfaatkan lahan (hutan, air, dan tanah) dan segala kandungan yang terdapat di permukaan bumi. Tata cara pengelolaan ini didasarkan pada sistem pengetahuan lokal orang Naga itu sendiri yaitu berdasarkan adat-istiadat dan budaya lokal yang mereka miliki. Pada tahun 2004 Masyarakat Adat Kampung Naga mendapatkan penghargaaan Kampataru sebagai penyelamat lingkungan (Anonim, 2004). Cara pengelolaan alam yang dimiliki oleh masyarakat adat ini boleh dikatakan merupakan pengetahuan turun-temurun, walaupun sifatnya sederhana dengan peralatan dan teknologi apa adanya sesuai dengan kemampuan mereka, tetapi mereka dapat mengembangkan pengetahuan dan cara-cara yang efektif untuk mempertahankan wilayahnya, mengelola sumber daya alam dan lingkungannya secara arif berdasarkan pengetahuan mereka (Lobja, 2003). Di Kampung Naga terdapat hutan adat yang disebut sebagai leuweung larangan yang tidak boleh ditebang maupun didatangi oleh masyarakat dalam maupun luar Kampung Naga itu sendiri, kecuali pada hari-hari tertentu untuk melaksanakan prosesi ritual (Mariane, 2014). Bentuk pengelolaan hutan (leuweung) itu sebagai upaya untuk menjaga hutan tetap lestari. Oleh karena itu segala sesuatu yang dirasakan tidak mendukung akan cara dan gaya mereka dalam memanfaatkan lingkungannya dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat. Masyarakat adat Naga masih menyimpan mitos dan pesan leluhur yang berisi larangan, ajakan, dan sanksi dalam mengelola hutan mereka. 5 Selain hutan larangan yang dikelola secara arif, lahan milik masyarakat untuk bertani dan berkebun pun mereka kelola dengan kearifan mereka yang khas. Kegiatan penanaman yang masih tradisional dan perhitungan hari baik untuk menanam, kegiatan perlindungan yang ramah lingkungan, serta penggunaan alat penebangan yang masih sederhana. Kegiatan pemanfaatan hasil berkebun pun mereka lakukan dengan cara yang bijaksana sesuai dengan kearifan lokal yang mereka dapatkan secara turun temurun. Kampung Naga yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, merupakan tempat bermukim masyarakat yang mempertahankan adat dan kebudayaan leluhur, dan menghindari peralatan modern. Kearifan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan di Kampung Naga belum banyak terangkat ke permukaan. Kearifan masyarakat lokal secara turun temurun dari nenek moyang mulai mengalami beberapa perubahan sosial seiring berjalan waktu ini disebabkan karena adanya faktor luar dan faktor kebutuhan masyarakat untuk hidup. 1.2 Perumusan Masalah Jumlah pohon yang hilang akibat illegal loging di Kawasan Jawa Barat dan Banten sebanyak 6.777 batang pohon pada tahun 2008. Wilayah Tasikmalaya merupakan daerah yang kasus pembalakan terbanyak. Sebagai contoh di KPH Tasikmalaya terjadi perambahan hutan seluas 1.928 Ha yang tercatat pada tahun 2008 (Anonim, 2008). Semakin meningkatnya kerusakan hutan terjadi dengan 6 fakta kerusakan hutan di lahan Perhutani Jawa Barat Banten pada tahun 2013 dengan luas 7.768 Ha (Anonim, 2013). Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya, lahan kritis pada tahun 2012 mencapai 6.136,50 Ha (BPS, 2013). Berdasarkan data kerusakan hutan yang terjadi di KPH Tasikmalaya terjadi di RPH Cikalong dan RPH Cikatomas. Akibat penebangan illegal, dari 2.704,68 Ha wilayah RPH Cikalong mengalami kerusakan sekitar 52,8 Ha pada tahun 2012. Fakta lain menyatakan bahwa dalam jangka waktu satu tahun, Kabupaten Tasikmalaya kehilangan 128 Ha lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi pemukiman (Anonim, 2014). Untuk mengantisipasi meluasnya kegiatan eksploitasi dan ketidakserasian pola perilaku masyarakat terhadap keutuhan kawasan hutan, maka pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan menjadi hal penting. Selama ini kebijakan pengelolaan sumber daya hutan masih memarjinalkan masyarakat yang berdomisili di areal hutan, sehingga masyarakat masih dianggap sebagai salah satu ancaman bagi kelestarian hutan. Padahal masyarakat lokal memiliki kearifan dalam mengelola hutan yang sudah terbukti keunggulannya dalam melestariakan sumber daya hutan dan lingkungan (Dimuna, 2010). Pengelolaan hutan semestinya tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan kayu pertukangan saja, melainkan untuk menjaga ekosistem permukaan bumi dan fungsi ekonomi hanya sebagai hasil sampingan. Bentuk pengelolaan hutan seperti ini, menurut Simon (2008) disebut Pengelolaan Ekosistem Hutan (Forest 7 Ecosystem Management). Pengelolaan hutan membutuhkan keterampilan teknis di bidang kehutanan dan kemampuan memecahkan masalah sosial kehutanan. Sebagai Negara agraris yang sangat membutuhkan lahan pertanian, pertambahan penduduk merupakan permasalahan besar dalam pembangunan wilayah termasuk di dalamnya pembangunan kehutanan. Pertambahan penduduk akan berakibat pada peningkatan kebutuhan pangan, kayu bakar, lahan pertanian, kayu pertukangan, dan pemukiman. Pada masyarakat desa sekitar hutan, keterbatasan lahan yang dimilikinya akan berdampak pada kondisi hutan disekelilingnya (Senoaji, 2012). Masyarakat Kampung Naga melakukan pengelolaan dengan kearifan mereka dan mengatasi keterbatasan lahan dengan melakukan migrasi ke luar kampung. Masyarakat mempunyai aturan dan norma adat dalam melakukan pengelolaan hutan. Seiring perkembangan zaman, jumlah masyarakat semakin meningkat dalam luasan wilayah yang tidak berubah, maka dinamika kehidupan sosial, ekonomi, adat, budaya, dan pemanfaatan lahan di Kampung Naga pun pasti terjadi. Seberapa besar perubahan yang terjadi dalam adat dan budayanya, apa yang boleh berubah, dan bagaimana menyikapi keterbatasan lahan; merupakan hal yang perlu dipelajari dan diteliti. Konsep pengelolaan hutan dan lingkungan oleh masyarakat Kampung Naga dengan segala aturannya diharapkan bisa memperkaya kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan di Indonesia dalam rangka penyusunan strategi pengelolaan hutan untuk tetap menjaga kelestarian hutannya yang mengedepankan keseimbangan fungsi lingkungan dan ekonomi. 8 Berdasarkan kondisi tersebut di atas, rumusan masalah yang ingin di jawab dalam penelitian ini adalah: 1. Kearifan lokal seperti apa yang dilakukan masyarakat Kampung Naga dalam pengelolaan sumber daya hutan? 2. Bagaimana dinamika sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kampung Naga? 3. Strategi pengelolaan hutan seperti apa yang bisa diterapkan untuk mempertahankan kondisi hutan di Kampung Naga? 1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kearifan lokal masyarakat Kampung Naga dalam pengelolaan sumberdaya hutan. 2. Mengetahui dinamika sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kampung Naga. 3. Menyusun strategi pengelolaan sumber daya hutan untuk menjaga kelestarian hutan di Kampung Naga. 9 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu: 1. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal. 2. Memberikan gambaran tentang kearifan lokal masyarakat dalam kegiatan pengelolaan sumber daya hutan di Kampung Naga. 3. Masukan bagi pemerintah daerah dalam rangka pengembangan konsep pengelolaan hutan. 10