TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENYIMPANGAN SEKSUAL DENGAN BINATANG (BESTIALITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) Oleh Edi Rohaedi 102045125121 Di Bawah Bimbingan Asmawi, M.Ag NIP. 150 282 394 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M Pengesahan Panitia Ujian Skripsi yang berjudul TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENYIMPANGAN SEKSUAL DENGAN BINATANG (BESTIALITY) telah diajukan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Oktober 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam Jakarta, 4 Oktober 2007 Disahkan Oleh Dekan, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 150 210 422 Panitia Ujian Munaqosah Ketua : Asmawi, M.Ag. (………………………) NIP. 150 282 394 Sekretaris (………………………) : Sri Hidayati, M.Ag NIP. 150 282 403 Pembimbing : Asmawi, M.Ag (………………………) NIP. 150 282 394 Penguji I (………………………) : Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, MA NIP. 150 326 896 Penguji II (………………………) : Sri Hidayati, M.Ag NIP. 150 282 394 KATA PENGANTAR ِِْ ِِْ اِ ا َِْ ا Puji dan syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan hidayah, taufiq, serta nikmatNya sehingga alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam mudah-mudahan tercurahkan selalu kepada baginda Nabi Muhammad saw, kepada para keluarganya, sahabatnya, dan seluruh ummatnya yang senantiasa setia mengikuti ajarannya. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga kesulitan dan hambatan dapat penulis atasi dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis berterima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Asmawi M.Ag, selaku ketua program studi Jinayah Siyasah dan ibu Sri Hidayati M.Ag, selaku sekretaris program studi Jinayah Siyasah yang tak bosanbosannya membantu penulis. 3. Bapak Asmawi M.Ag selaku pembimbing penulis yang telah mrmberikan kontribusi pemikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Pimpinan dan staf perpustakaan Syariah yang telah memberikan fasilitas bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Ayahanda tercinta Jahudin dan Ibunda tercinta Siti Rohimah yang tak hentihentinya memberikan motivasi, cinta dan kasih sayangnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Kakak-kakakku tercinta “ceu” Nur dan Aa Dayat, serta Adik-adiku: Oji, Irpan, Dede, Salsa, yang setia dalam duka, canda dan tawa, dan tak henti-hentinya mensupport penulis. 7. “Neng” Sen-Sen dan keluarga besar alm. H. Hanafi terima kasih atas kasih sayang dan semangatnya kepada penulis.(tetap semangat…karena hidup adalah arah dan tujuan) 8. Rekan-rekan sekaligus sahabat Pidana Islam angkatan 02: Akbar (makasih tuk amunisinya) Ikwann Ableh (makasih wat mpek2nya), Mamak (Buruuuan) Cecep (makasih tuk editannya), Oman (punten ti payun) Arie (kapan nyusul), bewok, Andre, Dian, Eva, ofah, Sari, Cutka, Wafa (makasih wat petuahnya), yang selalu mewarnai pemikiran penulis dan kisah sejati penulis dalam hidup ini. 9. Rekan-rekan Himata Jakarta Raya dan rekan-rekan Picaso Komputer Rental ( A Ata, Rendra) Thank’s For All. Jakarta, 4 Oktober 2007 Penulis DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................................................. Daftar Isi ........................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ............................................. 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 6 D. Metode Penelitian .......................................................................... 7 E. Sistematika Penulisan .................................................................... 8 BAB II PENYIMPANGAN SEKSUAL DAN BESTIALITY BAB III A. Pengertian Penyimpangan Seksual ................................................. 10 B. Bentuk-Bentuk Penyimpangan Seksual .......................................... 14 C. Faktor-Faktor Penyimpangan Seksual ............................................. 25 D. Pengertian Bestiality ...................................................................... 28 E. Bestiality Sebagai Penyimpangan Seksual ..................................... 29 TATA KEHIDUPAN SEKSUAL DALAM HUKUM ISLAM A. Pernikahan Sebagai Upaya Penyaluran Kebutuhan Seksual BAB IV Secara Legal .................................................................................. 32 B. Etika Hubungan Seksual Antara Suami dan Istri ............................ 39 C. Penyimpangan Seksual Sebagai Jarimah (tindak pidana) ................ 48 BESTIALITY DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM A. Bestiality dan Dampak Negatifnya ................................................. 53 B. Bestiality Sebagai Jarimah (Tindak pidana) ................................... 56 C. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Bestiality ............................................ 62 D. Pandangan Hukum Islam Tentang Bestiality dan Relevansinya dengan HAM ............................................................ 67 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................... 75 B. Saran-saran .................................................................................... 78 Daftar Pustaka ................................................................................................... 89 BAB I TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENYIMPANGAN SEKSUAL DENGAN BINATANG (BESTIALITY) A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam merupakan suatu sistem hukum yang sesuai dengan manusia, karena pembentukannya senantiasa memperhatikan kemaslahatan manusia dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan kehidupannya. Hal ini disebabkan Allah mengetahui hakikat jiwa manusia dan kemampuannya dalam membentuk akhlak. Akhlak yang diajarkan Islam bukan hanya memuat larangan dan pencegahan, tetapi juga dorongan untuk mewujudkan kepribadian yang bertaqwa kepada Allah. Akhlak Islam menganjurkan kebaikan dan memberantas kejahatan. Ini berdasarkan pandangan Islam bahwa manusia cenderung berbuat baik. Sebab, manusia diciptakan dari proses alam yang suci, yang substansi jiwanya berasal dari Yang Maha Suci, Allah. Akan tetapi, di luar itu ada kehendak hawa nafsu manusia yang ingin melampiaskan seks di luar ketentuan hukum Islam yang merupakan penyimpangan biologis yang melanggar fitrah manusia. 1 Islam mengakui bahwa manusia mempunyai hasrat yang sangat besar untuk melangsungkan hubungan seks, terutama terhadap lawan jenisnya. Untuk itu Islam, melalui hukum yang berdasarkan al-Quran dan al-Hadits, mengatur 1 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiah, (Jakarta: CV. Mas Agung, 1998), hal. 53 penyaluran seks melalui perkawinan. Melalui perkawinan inilah fitrah manusia bisa terpelihara dengan baik. Sebab, perkawinan mengatur hubungan seks antara pria dan wanita dengan ikatan yang sah dalam bentuk monogami atau poligami. Perkawinan merupakan lembaga yang mempertautkan hati, memelihara kemaslahatan dan memadukan cinta kasih antara kedua belah pihak yang berteman hidup. Kendati Islam telah mengatur hubungan biologis yang halal dan sah, penyimpangan-penyimpangan tetap saja terjadi, baik berupa delik perzinaan, lesbian, homoseks, maupun bestiality (hubungan seksual dengan binatang). Ini semua terjadi karena adanya dorongan biologis yang tidak terkontrol dengan baik, yang disebabkan kurangnya memahami serta menjalankan ajaran agama. Naluri seks itu sendiri merupakan naluri yang paling kuat, yang menuntut penyaluran, dan jika penyaluran tidak memuaskan maka orang akan mengalami kegoncangan dan kehilangan kontrol untuk mengendalikan nafsu birahinya dan timbullah hubungan seks di luar ketentuan hukum seperti bestiality. Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar pada diri manusia. Namun, kebutuhan-kebutuhan yang bersifat naluri terkadang menjadikan manusia lepas kontrol. Manusia berlomba-lomba mereguk kenikmatan dunia, meskipun cara yang ditempuhnya tidak lagi memperhatikan segi-segi moralitas yang ada di masyarakat.2 2 Ayip Syafrudin, Islam dan Pendidikan Seks Anak, (Solo: Pustaka Mantiq, 1991), cet. ke 1 Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa pandangan mata ibarat anak panah yang akan menodai hati, karena sebuah pandangan akan menjerat hati dalam kerusakan. Karena itu perintah Allah untuk menjaga pandangan disejajarkan dengan perintah Allah untuk menjaga kehormatan (al-faraj).3 Dewasa ini, terjadi berbagai bentuk penyimpangan seksual di tengah masyarakat. Pola perilaku seksual yang menyimpang ini, baik yang ditinjau dari sudut penyimpangan etikanya seperti perzinaan dan pelacuran, maupun yang ditinjau dari sudut kelainan objeknya seperti homoseks, lesbian, dan bestiality, merupakan hal yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Bestiality adalah tindakan untuk mencari kepuasan seksual dengan jalan berhubungan dengan binatang.4 Walaupun kasusnya jarang sekali terjadi, namun gejalanya tetap ada. Pada tahun 1768, di Jerman pernah ada seorang petani yang diajukan ke pengadilan atas tuduhan melakukan hubungan seksual dengan binatang peliharaannya. Penyimpangan seksual ini dalam Islam disebut dengan al-syudzudz bi al-hayawaniyyah, yang mana perbuat ini dilakukan dengan binatang, baik oleh pria maupun wanita. Pada zaman dahulu perbuatan ini lebih banyak dilakukan oleh kaum pria dibandingkan wanita.5 Akan tetapi pada saat ini keadaannya telah berbalik, kaum wanita justru lebih banyak melakukan perbuatan ini dibandingkan pria, khususnya 3 Imam Abi al-Fida’i Ismail Ibnu Katsir, Ibnu Katsir, (Beirut: Dar al-Filur, 1986), juz. III, hal. 89 4 Ma’ruf Asrori dan Anang Zamroni, Bimbingan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), hal. 75 5 Dr. Marwan Ibrahim al-Qaisy, Seksual dalam Islam, (Bandung: Mujahid Press, 2004), hal. 140-141 di negara-negara Barat. Hewan yang banyak digunakan untuk melakukan hubungan ini adalah anjing, sebab selain pintar, populasi hewan ini justru lebih banyak dibanding dengan yang lain. Dari sudut kriminologi dan sosiologi, misalnya menurut teori Edwin H. Suterland, dengan teori Differential Association, dinyatakan bahwa sesungguhnya suatu perbuatan yang merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang merupakan hasil dari proses pembelajaran yang merupakan alih budaya yang dilakukan oleh seseorang yang berdasarkan pergaulan dalam interaksinya dengan lingkungan sekitarnya di mana ia bertempat tinggal, sehingga perilaku menyimpang dan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya berasal dari interaksi sosial yang ia lakukan dalam kehidupannya.6 Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan seksual pada diri manusia adalah kebutuhan mendasar dan fitrah manusia itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: َ ِ ِزَُ ِ سِ ُ ا" !َ َاتِ َِ اَءِ وَاََِْْ وَاََِِْْ اَََُْْة ََِ ة+ُْ ا5َ4َ َ3ِ ذ01 َِْث+ِْ وَا,َ-َْﻥ/ِْ وَا%َ َُِْ ا#َْ$َِْ وَا% &ِ'ْا) هَِ وَا (14) ُِ ُُْ اَْ;َب:َ6ِْ9 ُ8 وَا07 َْﻥ6ا Artinya:“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Al-Imran: 14) 6 Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 90 Moderenisasi mengakibatkan merosotnya penghargaan terhadap nilai-nilai Islam yang merupakan pegangan bagi setiap orang, yang mana pada hakikatnya Islam itu menyangkut pembinaan terhadap moral dan spiritual, sehingga selaras dengan tujuan yang diinginkan. Sehubungan dengan itu Islam sebagai agama fitrah sangat erat sekali dengan nilai-nilai, termasuk pengetahuan seks. Karena pada dasarnya kehidupan manusia senantiasa diwarnai oleh permasalahan seks. Apa yang menjadi penyebab perkembangan masalah penyimpangan seksual ini tidak hanya disebabkan oleh satu faktor. Akan tetapi, banyak hal yang berkaitan erat dengan masalah ini, yakni pergeseran nilai, perubahan sosial, pengaruh budaya asing dan depresi keagamaan seseorang atau masyarakat itu sendiri tentang seks. Oleh karena itu, sulit untuk memberantas pola perilaku seksual yang menyimpang tersebut walaupun banyak pihak yang telah mengupayakannya. Namun hal tersebut tidak berarti kita tidak bisa mencegah berkembangnya masalah seksual ini. Kita dapat memulai dari lembaga yang terkecil yaitu keluarga. Memberikan pemahaman yang baik sejak dini diharapkan mampu mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan seks yang tidak normal. Melihat banyaknya bentuk penyimpangan seksual yang terjadi dan pengaruh negatif yang ditimbulkan terhadap masyarakat, penulis tertarik membahas salah satu bentuk penyimpangan seksual, yaitu bestiality. Hal tersebut di atas kiranya mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENYIMPANGAN SEKSUAL DENGAN BINATANG (BESTIALITY)”. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Masalah bestiality dapat ditinjau dengan sejumlah sudut pandang, misalnya sudut pandang medis, sudut pandang psikologi, sudut pandang sosiologi, sudut pandang antropologi, dan sudut pandang hukum. Dalam penelitian ini, masalah bestiality akan ditinjau dengan sudut pandang hukum, yakni hukum Islam. Adapun pokok masalah penelitian ini ialah bagaimana tinjauan hukum Islam tentang bestiality ? Dari pokok masalah ini dibuat rincian pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah gambaran bestiality sebagai penyimpangan seksual itu ? 2. Bagaimanakah gambaran hukum Islam mengenai tata kehidupan seksual ? 3. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam tentang bestiality sebagai penyimpangan seksual ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan umum yang telah dirumuskan, maka kegiatan penelitian yang penulis lakukan bertujuan: 1. Memberikan gambaran penyimpangan seksual. atau penjelasan tentang bestiality sebagai 2. Memberikan gambaran atau penjelasan tentang pandangan hukum Islam mengenai tata kehidupan seksual. 3. Memberikan gambaran atau penjelasan tentang pandangan hukum Islam mengenai bestiality. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Menyediakan penjelasan dan informasi kepada masyarakat luas tentang penyimpangan seksual dengan binatang (bestiality) dalam konsep hukum Islam, serta membangunkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh perilaku seks menyimpang, khususnya penyimpangan seksual dengan binatang (bestiality). 2. Memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka penyelesaian masalah penyimpangan seksual yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. 3. Memberikan kontribusi pemikiran yang dapat digunakan oleh akademisi hukum pidana Islam dalam rangka mengembangkan khazanah pemikiran di bidang hukum pidana Islam. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian a. Dilihat dari segi datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena data-datanya berupa data kualitatif. b. Dilihat dari segi tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif karena bertujuan untuk memberikan gambaran atau penjelasan tentang suatu pokok masalah yakni tinjauan hukum Islam tentang penyimpangan seksual dengan binatang (bestiality). 2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang penulis terapkan ialah teknik dokumentasi. 3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang penulis terapkan ialah teknik analisis isi secara kualitatif (qualitative content analysis). Adapun teknik penulisan yang diterapkan oleh penulis mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2005. E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari sub-sub sebagai berikut: BAB I Merupakan bab pertama yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Bab ini menguraikan tentang penyimpangan seksual dan bestiality, dengan sub judul yang meliputi: pengertian penyimpangan seksual, bentuk-bentuk penyimpangan seksual, faktor penyebab terjadinya penyimpangan seksual, dan bestiality sebagai penyimpangan seksual. BAB III Bab ini membahas tata kehidupan seksual dalam hukum Islam yang meliputi: pernikahan sebagai upaya penyaluran kebutuhan seksual secara legal, etika hubungan seksual antara suami dan isteri, dan penyimpangan sebagai jarimah (tindak pidana). BAB IV Bab ini menguraikan bestiality dalam pandangan hukum Islam yang meliputi: bestiality dan dampak negatifnya, bestiality sebagai jarimah (tindak pidana), sanksi pidana dalam bestiality, dan pandangan hukum Islam tentang bestiality dan relevansinya dengan HAM. BAB V Bab ini merupakan penutup dan kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya. BAB II PENYIMPANGAN SEKSUAL DAN BESTIALITY A. Pengertian Penyimpangan Seksual Penyimpangan seksual terdiri atas dua suku kata yaitu penyimpangan dan seksual. Penyimpangan berasal dari kata dasar “simpang“ yang memiliki empat pengertian. Pertama, berarti proses, cara perbuatan yang menyimpang atau menyimpangkan. Kedua, membelok menempuh jalan yang lain. Ketiga, tidak menurut apa yang sudah ditentukan, tidak sesuai dengan rencana. Keempat, menyalahi kebiasaan, menyeleweng dari hukum, kebenaran, dan agama.7 Kata “seksual” mempunyai dua pengertian. Pertama, berarti menyinggung hal reproduksi atau perkembangan lewat penyatuan dua individu yang berbeda yang masing-masing menghasilkan sebutir telur dan sperma. Kedua, secara umum berarti menyinggung tingkah laku, perasaan, atau emosi yang berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin, daerah-daerah erogenous, atau dengan proses perkembangbiakan. 8 Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Penyimpangan Seksual adalah perilaku seksual seseorang yang dianggap menyimpang atau menyalahi aturan yang sudah ditetapkan. 7 Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan Bahasa, kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 488 8 J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Biologi, terjemahan. Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.ke-9, hal. 460 Dalam kehidupan sehari-hari istilah seks lebih populer diucapkan, bahkan sering digunakan untuk menggantikan istilah seksual. Seks sebenarnya mempunyai arti jenis kelamin (laki-laki atau perempuan), hubungan kelamin antara laki-laki (jenis jantan) dan wanita (jenis betina), dan juga bisa diartikan benih jantan (sperma) dan benih betina (sel telur).9 Sedangkan seksualitas (kehidupan seks, atau dorongan seks) diartikan pengetahuan tentang cara yang normal maupun yang abnormal, serta tentang aspek-aspek mental yang membuat individu mudah tertarik dengan lawan jenisnya.10 Karena itu untuk mengetahui arti istilah seks yang sebenarnya dalam suatu kalimat, harus dilihat dalam konteks apa istilah tersebut digunakan, bisa jadi yang dimaksud dengan istilah seks adalah alat kelamin secara biologis atau mungkin seksualitas, atau mungkin pula hubungan seksual. James Drever dalam bukunya Dictionary of Psychology, berpendapat bahwa seks adalah suatu perbedaan mendasar yang berhubungan dengan reproduksi dalam satu jenis yang membagi jenis ini menjadi dua bagian, yaitu jantan dan betina sesuai dengan sperma (jantan) dan sel telur (betina) yang di produksi.11 Dalam bahasa Arab seks diartikan dengan (AB) yang berarti jenisjenis kelamin atau setiap yang berkaitan dengan bentuk tubuh. Sedangkan seks dalam Islam adalah kekuatan naluri yang disebut nafsu atau syahwat. Menurut 9 Save M. Dugan, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (IPKN), (Jakarta: Lembaga Pengkajian Nusantara, t.th) hal. 1011 10 Ibid. hal. 1011 11 James Drever, Dictionary of Psychology, terjemahan Nanay Simanjuntak (Jakarta: PT. Bina Aksara. 1988), Cet. Ke-2. hal. 439 Kartini Kartono seks adalah suatu mekanisme, yang mana manusia mampu mengadakan evolusi sepanjang sejarah kehidupan manusia.12 Dalam kehidupan manusia, penyimpangan seksual semakin marak dan meresahkan masyarakat. Aktivitas seksual yang tinggi itu akan menjadi lahan subur bagi terjadinya konflik yang berkaitan dengan masalah seksual. Islam memandang seksualitas sebagai suatu aspek kehidupan yang amat penting karena banyak mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan manusia. Di dalam Al-qur’an ditegaskan bahwa Allah swt menciptakan manusia dilengkapi dengan nafsu seksual. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt: (2:14 : ان9 زَُ ِ سِ ُ ا" !َ َاتِ َِ اَءِ )ال Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita (Q.S. Ali Imran / 3 : 14) Akan tetapi nafsu seksual tersebut haruslah diarahkan kepada sesuatu hal yang positif, yaitu untuk mengatur, menjelaskan, dan mempertahankan kehidupan dunia. Menurut H.C. Witherington mengemukakan adanya tiga motivasi dasar pada diri manusia, yaitu; lapar, proteksi diri, dan seks.13 Sebagaimana kita ketahui bahwa motivasi adalah sebab-sebab yang menjadi dasar seseorang terdorong melakukan sesuatu. 12 Kartini Kartono, Psikologi Wanita: Wanita Sebagai Ibu dan Nenek (Bandung: Alumni. 1997) jilid II. h. 344 13 Ma’ruf Asrori dan Anang Zamroni, Bimbingan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda. 1997) Cet. Ke-1. hal. 3 Motivasi lapar misalnya, berlangsung untuk menjaga diri dari segala yang membahayakannya. Adapun motivasi seks secara umum bisa disimak dalam firman Allah swt: ً إِن%ََْْ َ َد ةً وَر,ُKَََْ ﺏ#َ-َBَُُ ا إَِْ!َ وKَْ4ِ ًBْ أَزْوَا,ُKُِ'ْْ ِْ أَﻥ,ُKَ َIََِ أَنْ ﺥFِوَِْ ءَاَﺕ . ُونKَ'َ4َ ٍَتٍ َِ ْمTَ َ3َِ ذQِR Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S.Ar-Ruum:21) Dari ayat di atas, ditegaskan bahwa Allah swt menciptakan makhluk berpasang-pasangan, dalam hal ini adalah manusia, agar mereka memperoleh kesenangan dan ketentraman.14 Dengan demikian, motivasi dasar seks bersifat alami dan jika hal ini di kembalikan kepada pendapat H.C. Witherington, motivasi dasar seks tersebut menempati sepertiga dari seluruh motivasi dasar yang ada pada diri manusia. Bahkan Sigmound Freud berpendapat lebih ekstrim, bahwa nafsu seks merupakan penggerak satu-satunya dalam tingkah laku dan perbuatan manusia.15 Menurutnya, semua kesenangan atau kegembiraan bersumber kepada dorongan seks yang berfungsi sejak lahir dalam bentuk tertentu. Terlepas dari perbedaan tersebut, yang jelas dorongan seks itu bersifat biologis, naluriah, dan berlaku bagi semua orang. Apabila pengendalian diri, dalam hal ini iman dan intelegensinya lemah, maka dorongan seks tersebut bisa 14 15 Ibid, hal. 6 Ibid, hal. 198 menguasai dirinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak wajar, termasuk penyimpangan seksual. B. Bentuk-bentuk Penyimpangan Seksual Agama Islam adalah agama fitrah, universal, dan yang paling kaffah sepanjang zaman. Islam adalah agama yang mampu menjawab tantangan zaman, mengatasi setiap permasalahan dalam hidup kehidupan umat manusia, agama yang memiliki ketentuan-ketentuan yang tepat dan bijaksana yang berakar pada dasar pondasi yang kokoh. Diantara permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat sekarang ini adalah permasalahan seksual. Seks merupakan kebutuhan biologis yang ada pada setiap makhluk hidup. Tetapi, dalam memenuhi atau menyalurkan kebutuhan seksual ini tentulah tidak terlepas dari aturan-aturan dan norma-norma agama yang berlaku. Allah swt telah menciptakan manusia dengan segala nafsunya. Akan tetapi nafsu tersebut haruslah disalurkan sesuai dengan syari’at agama yaitu kepada isteri-isteri yang sah, yaitu melalui tali pernikahan. Pernikahan adalah satusatunya jalan untuk menyalurkan libido seksualnya, karena pernikahan merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Islam. Dalam hal ini Allah swt berfirman: . َِ6َ4ْ-ُِْ ا+ُ َ َF ُوا إِن ا6َ4ْ-َْ وََ ﺕ,ُKَ ُF ا#ََََتِ َ أV َُ ا+ُأَ!َ ا )َِ ءَاَُ ا َ ﺕ (87 : ة6)اﺉ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S.Al-Maidah:87) Dari uraian di atas tampak, bahwa di satu sisi Allah tidak menghendaki manusia mengingkari atau membunuh hasrat seksual yang ada pada dirinya dengan memilih hidup berpantang kawin (membujang), sementara di sisi lain Allah juga tidak menghendaki manusia bertingkah laku seperti makhluk lainnya yang bebas menyalurkan naluri seksnya. Khusus bagi manusia, Allah swt mengamanatkan agar libido seksual itu disalurkan untuk tujuan suci dan dengan cara yang suci pula. Namun, ternyata masih ada saja manusia yang berbuat hanya berdasarkan kepada nafsu dan atau mengesampingkan pertimbangan akal sehatnya sehingga melahirkan penyimpangan-penyimpangan seksual. Ada banyak penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat, diantaranya adalah: 1. Incest, yaitu keinginan untuk melakukan hubungan seksual dengan muhrim, seperti dengan ibunya, bapaknya, anaknya, atau dengan saudara kandungnya sendiri. Seringkali kita dengar seorang bapak menghamili anaknya, anak memperkosa ibunya, dan lain sebagainya. Menurut para psikolog incest adalah perilaku penyimpangan seksual dan menurut hukum Islam incest adalah berhubungan dengan wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi dan melakukannya termasuk penyimpangan seksual serta merupakan pelanggaran ketentuan hukum. Menurut Ernaldi Bahar berpendapat bahwa incest adalah perilaku penyimpangan seksual yang menjadikan keluarga sebagai objek seksual. 16Sedangkan menurut Boyke Dian Nugraha mengemukakan, incest ialah jenis perlakuan atau penyakit secara seksual yang melibatkan dua orang keluarga.17 Anton Indra Caya berpendapat bahwa Incest ialah hubungan seksual antara dua orang yang bertalian darah secara sadar maupun secara paksa.18 Dalam kamus Psikologi dikemukakan bahwa Incest ialah hubungan terlarang antara orang yang bertalian darah dekat dan tingkat kekeluargaanya ditentukan oleh hukum masyarakat.19 Dalam hukum Islam melarang hubungan incest dan menganggap hubungan tersebut sebagai zina. Dikarenakan zina merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pernikahan. Incest pun merupakan perilaku yang dipandang sebagai kemaksiatan. Dalam hukum perkawinan Islam, pelarangan terhadap wanita-wanita yang diharamkan disebut (mawani’ al-nikah) dan pelarangan ini mempunyai dua sifat: sifat yang muabbad (abadi) dan muaqqat (sementara). Larangan pernikahan yang bersifat muabbad (abadi) adalah pelarangan menikah terhadap wanita yang diharamkan untuk selamanya tanpa batas waktu. 16 Ernaldi Bahar, Makalah prilaku sosial dan Aids: Tinjauan sosial-psikologis, (palembang, 5 september 1999. hal.75 17 Boyke Dian Nugraha. Apa Yang Ingin Diketahui Remaja Tentang Seks, (Jakarta: Bumi Aksara, November 1997), Cet. I,hal. 152 18 Anton Indra Caya, Menyingkap Tirai Psikologi,Psiseksual, dan Seksologi, (Jakarta: Galang Press, 2000), hal. 44 19 James Draver, Kamus Psikologi, terjemahan Nanay Simanjuntak, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), Cet.ke-2, hal.213 Sedangkan muaqqat adalah pelarangan menikah dengan wanita yang sifatnya sementara dikarenakan ada hal yang menutup kemungkinan untuk menikah. Larangan pernikahan yang bersifat muabbad itulah yang dikatakan incest. Menurut hukum Islam pelarangan pada wanita-wanita tersebut dikarenakan terdapat unsur kenasaban dan ikatan darah. 20 Para ulama sepakat bahwa yang termasuk kategori wanita-wanita yang haram untuk dinikahi ada tiga sebab yaitu: sebab nasab, perkawinan dan sebab persusuan. Dalam hukum Islam Incest dipandang sebagai tindakan yang hina dan sangat tidak bermoral, oleh karena itu, Islam mengatur tentang haramnya hubungan tersebut. Selain dipandang sebagai perbuatan amoral, hubungan incest juga mengakibatkan rusaknya hubungan nasab dan akan menghasilkan keturunan yang cacat. 2. Necropilia, yaitu seseorang yang mencari kepuasan seksualnya dengan menyetubuhi mayat bahkan terkadang ia bersikap kanibal, yakni dengan melahapnya sekaligus. Korban biasanya orang yang ia senangi. Untuk memenuhi hasrat seksualnya, orang yang ia senangi tersebut ia bunuh, kemudian mayatnya ia setubuhi. Dalam kasus tindak pidana menyetubuhi mayat ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari mazhab Syafi’i dan Hambali, bahwa perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai zina yang dikenakan hukuman had. Dengan demikian pelaku hanya dikenakan hukuman ta’zir. Alasanya adalah bahwa persetubuhan dengan mayat dapat dianggap seperti tidak terjadi persetubuhan, 20 Lihat al-Qur’an surat An-Nisa, ayat 23. karena organ tubuh mayat sudah tidak berfungsi dan menurut kebiasaannya hal itu tidak menimbulkan syahwat.21 Menurut pendapat yang kedua dari madzhab Syafi’i dan Hambali, perbuatan tersebut dianggap sebagai zina yang dikenai hukuman had apabila pelakunya bukan suami isteri. Sebabnya adalah karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang diharamkan bahkan lebih berat daripada zina dan lebih besar dosanya, karena di dalamnya terdapat dua kejahatan, yaitu zina dan pelanggaran kehormatan.22 Imam Malik berpendapat apabila seseorang menyetubuhi mayat, baik pada qubulnya maupun pada duburnya, dan bukan pula isterinya maka perbuatan itu dianggap sebagai zina dan pelakunya dikenai hukuman had. Akan tetapi, apabila yang disetubuhinya itu adalah isterinya sendiri yang telah meninggal, ia tidak dikenai hukuman had. Demikian pula apabila yang melakukannya itu seorang wanita maka ia hanya dikenai hukuman ta’zir 23 3. Homoseks, istilah homoseks terambil dari kata Sadum, nama sebuah kota kuno dekat Laut Mati, sebuah daerah di Jordan. 24Dalam arti lain homoseks yaitu hubungan seks yang dilakukan dengan sesama jenis dimana si pelaku merasa tertarik dan mencintai sesama jenis. Sedangkan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) homoseks adalah keadaan tertarik terhadap orang 21 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut:Dar Alk-Kitab,t.th), juz II, hal.353 22 Ibid, hal.354 Ibid. 24 Fathi Yakan, Islam dan Seks, (Jakarta: CV. Firdaus, 1997), hal.28 23 dari jenis kelamin yang sama.25 Biasanya kaum gay ini melakukan hubungan seksualnya dengan memasukkan penis (zakar) kedalam anus laki-laki. 26 Dari literatur-literatur yang telah ditemukan, homoseks atau liwath (dalam bahasa arab) merupakan abnormalitas hubungan seks dari segi cara pemuasannya, yakni menggunakan anus sebagai alat coitus, baik dengan manusia maupun dengan hewan. Menurut Dr. Boyke, pantat terbentuk oleh syaraf perasa. Otot yang berada di bagian bawah berperan penting dalam proses mekanik selama hubungan seks normal. Namun dari semua bagian hanya anus dan rektum (bagian usus besar dekat anus) termasuk daerah yang amat sensitif terhadap rangsangan seksual. Dikatakan olehnya juga, bahwa anus memang mirip dengan vagina, kedua-duanya sama-sama dipenuhi dengan syaraf. Begitu pula dengan rektum, hampir sama dengan lubang vagina. Menurut hukum Islam, liwath atau homoseks merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara.’dan merupakan jarimah yang lebih keji daripada zina. Liwath merupakan perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia dan sebenarnya berbahaya bagi kehidupan manusia yang melakukannya.27 Liwath atau Homoseksual semula merupakan perbuatan kaum Nabi Luth yang sudah mendarah daging. Nabi Luth sudah sering 25 Departemen pendidikan dan kebudayaan, KBBI(Jakarta: Balai Pustaka,1998),Cet.ke-1, hal. 312 26 27 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1994), hal. 42 Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunah, juz 11, Dar Al-Fikr, Beirut, 1980, hlm.361 memperingatkan mereka tetapi mereka tidak mengindahkanya, sehingga akhirnya mereka dihukum oleh Allah swt dan mereka mati kecuali Nabi Luth dan para pengikutnya yang beriman kepada Allah. Kisah tentang peristiwa ini diungkapkan oleh Allah swt dalam Surah al-A’raaf ayat 80 sampai dengan 84: ⌧! ./0 $,- *+ ') "#$%& "9:;< 5678 12☺-4%! %>?@A! = EFH +0 BC'%D QS< NO M IJK0L! 56W8 .F?AKV TU \] Z[!%> .FXY +0 "`>?AZ ^!_ ef<g "d;< ^ "9:=cA CLk%l< 56j8 Ahdi=c mZop! n] m!` 1st7! ./ *q<⌧r "dH-4u <Ai 56?8 .F⌧r %!kXY Aw9< ^ !vAif 568 .x2?A*l☺! $7 Artinya: “Dan (Kami juga Telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?". Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu Ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain Hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri." Kemudian kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”.(Q.S.Al-A’raaf: 80-82) Di samping itu, larangan dan ancaman hukuman bagi orang yang melakukan homoseksual ini terdapat dalam hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Ahmad, Ibn Majah, dan Imam Turmudzi (Imam yang lima kecuali Nasa’i): َ, َِ وَﺱFََْ9 ُ8 ا0 َ7 ِ8َلَ رَﺱُ ْلُ ا1 :ََل1 ٍَ س9 َِِْ اﺏ9 َ%َِْKِ9 َْ9َو :ِ )رواFُِ ْلَ ﺏ-ْ'ََْ وَا#ِ9َ'ُُْ ْا ا4ْ1َR ٍَ ْمِ ُ ْط1 َ#ََ9 ُ#َْ-َ ُ:ْ ُُْﺕ6َBَ َْ و: (0 اﺉZ إ%$ا Artinya: “Dari Ikrimah dari Ibn Abbas ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: ‘Barang siapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (homoseksual) maka bunuhlah si pelaku dan yang dikerjainya (objeknya). (HR. Lima ahli hadis kecuali Nasa’i)28 Meskipun para ulama sepakat dilarangnya homoseksual ini, namun dalam menetapkan hukumnya mereka berbeda pendapat. Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, serta Syi’ah Zaidiyah dan Imammiyah, homoseksual itu hukumnya sama dengan zina. Pendapat ini juga diikuti oleh Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah. Alasan disamakannya kedua jenis tindak pidana ini adalah bahwa, baik wathi di dubur (homoseksual) maupun wathi di qubul (zina), kedua-duanya dalam al-Qur’an disebut dengan fahisyah. Dalam surat al-Ankabut ayat 28 disebutkan: = "9:;< "9::%& ⌧! 28 hal.128 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Fikr,1993), juz II, ./0 $,% *+ ') 5j68 .x2☺-4%! Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika Luth Berkata pada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu".(Q.S.AlAnkabut:28) 4. Lesbian, yaitu perbuatan menggesekkan atau menyentuhkan alat vital yang berupa ejakulasi.29 Cara mereka melakukan hubungan seks ini mirip dengan saktitis atau sebagai pasif feminim. Islam memandang bahwa lesbian merupakan perbuatan haram, dan Para ulama telah sepakat mengharamkan perilaku ini. Sebagaimana Imam Nawawi berkata:”wanita diharamkan berhubungan seksual dengan wanita, jika hal itu terjadi maka wanita tersebut harus dicela dan diperingatkan.30 Sebagaimana Rosulullah saw bersabda: #B [ اZ :ل1 F اﻥ, وﺱF9 8 ا#7 0 ا9 6- ﺱ0 اﺏ9 \' ﺕZ رة اأة و9 0 ﺕ[ اأة اZ و#B رة ا9 09 ا] ب01 اأة0اأة اZ وا6 ا] ب ا ا0R #B ا0 ا#ا 31 ()ى4 راﺏ داود وا6B ا: )روا6ا ا Artinya “Dari abi said dari Rasulullah Saw bersabda laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain dan perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain. Dan seorang laki-laki tidak boleh tidur bersama laki-laki dalam satu kain dan 29 Sayyid Sabiq, Terjemahan Fiqh Sunah, (Bandung: al-Maarif, 1996), hal.139 Drs. H. Ahmad Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,2004), hal.140 31 Imam Abu Husain Muslim bin Hajaj, Sohih Muslim (Beirut dar el Fikr, 1993), Juz II Hal 30 398 seorang perempuan tidak boleh tidur bersama perempuan lain dalam satu kain. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Turmudzi) 5. Onani (masturbasi), yaitu menyalurkan hasrat seksual dengan cara merangsang alat kelamin, baik dengan menggunakan tangan dan sebagainya. Beberapa pakar kedokteran dan pendidikan menganggap masturbasi tidak menimbulkan efek samping yang serius bagi kesehatan, sedangkan sebagian yang lain menganggap perbuatan tersebut sangat merusak kesehatan. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum onani tersebut. Ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Zaidiyah, mengharamkan perbuatan onani tersebut.32 Berdasarkan Firman Allah swt: "d>A9 "` 1syI! !z- n] 58 w9% *q#-4 "d>| tA⌧ "'f "'~%☺c Me⌧=O! 5+%☺ 58 .x24 %$;g %$ I! 58 H%! "` Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.(Q.S.al-Mu’Minuun:5-7) Sedangkan ulama Hanafi mengharamkanya dalam keadaan tertentu, dan membolehkannya dalam keadaan tertentu pula. Bahkan mewajibkannya dalam keadaan lain, apabila merasa khawatir akan berbuat zina apabila tidak melakukan 32 Anang Zamroni, Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda,1997), cet.1, hal.177-178 onani. Adapun ulama Hambali mengharamkannya, kecuali dilakukan atas dasar kekhawatiran akan berbuat zina. 6. Pedophilia, yaitu seseorang yang baru mendapatkan kepuasan seksual jika melakukan hubungan dengan anak-anak. Perilaku menyimpang ini jelas menghancurkan masa depan anak-anak, sehingga dikutuk oleh agama. Imam Syafi’i dan Imam Hambali berpendapat bahwa perbuatan ini dikategorikan sebagai perbuatan zina, yang dapat dikenai hukuman had terhadap pelakunya, baik pelakunya laki-laki atau perempuan. 33 7. Voyeurisme, yaitu suka mengintip lawan jenisnya yang telanjang atau mengintip hubungan seksual. Perbuatan ini bisa jadi tidak sekedar untuk memenuhi rasa ingin tahunnya saja, akan tetapi lebih ia utamakan dan lebih mendatangkan kepuasan daripada hubungan seksual yang normal. 8. Masochisme, yaitu penderita akan merasakan kenikmatan seksual jika ia disakiti oleh pasangannya, misalnya dipukul dengan tangan, cambuk, dan lain sebagainya atau seolah-olah ia diperkosa. Rasa sakit yang ia terima itu akan mendatangkan kenikmatan yang luar biasa baginya, bahkan lebih nikmat daripada hubungan kelamin. 9. Bestiality, yaitu tindakan mencari kepuasan seksual dengan jalan berhubungan seksual dengan binatang. Para ulama sepakat tentang haramnya perbuatan ini, akan tetapi berbeda pendapat dalam memberikan sanksi pidana bagi pelaku 33 hal.294 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut:Dar Alk-Kitab,t.th), juz II, bestiality. Imam Malik dan Imam Hambali berpendapat bahwa bestiality bukan merupakan perbuatan zina, tetapi merupakan perbuatan maksiat yang dikenai sanksi ta’zir. Sedangkan di kalangan mazhab Syafi’i dan Hambali terdapat dua pendapat. Pendapat yang paling rajih (kuat) dari pendapat Imam Syafi’i sama dengan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Sedangkan menurut pendapat Imam Syafi’I yang kedua, perbuatan tersebut dianggap zina dan hukumanya adalah hukuman mati. Demikianlah, beberapa prilaku seks menyimpang yang ada di masyarakat, yang gejalanya akan sangat merusak terhadap masyarakat. Perilaku-prilaku tersebut timbul dan berkembang karena terompet-terompet iblis terus-menerus memanggilnya dalam pemuasan brutal dan lepas kontrol. C. Faktor-faktor Penyebab Penyimpangan Seksual Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar pada diri manusia. Namun, kebutuhan-kebutuhan yang bersifat naluri terkadang menjadikan manusia lepas kontrol. Manusia berlomba-lomba mereguk kenikmatan dunia, meskipun cara yang ditempuhnya tidak lagi memperhatikan segi-segi moralitas yang ada di masyarakat.34 Menurut pendapat H.C. Witherington, motivasi dasar seks tersebut menempati sepertiga dari seluruh motivasi dasar yang ada pada diri manusia. Bahkan Sigmound Freud berpendapat lebih ekstrim, menurutnya bahwa nafsu 34 1, hal. 28 Ayip Syarifuddin, Islam Dan Pendidikan Seks Anak, (Solo: Pustaka Mantiq, 1991), Cet, ke- seks merupakan penggerak satu-satunya dalam tingkah laku dan perbuatan manusia.35 Menurut Sigmound Freud bahwa faktor penyebab penyimpangan seksual ialah lemahnya pengendalian diri, dalam hal ini iman dan intelegensi. Apabila kedua faktor tersebut tidaklah menjadi senjata ampuh bagi seseorang untuk mengontrol dan menguasai dirinya dari dorongan seks yang tidak terkontrol, maka dorongan seks tersebut dapat menguasai dirinya untuk melakukan penyimpangan seksual. Perilaku seks menyimpang ini dapat saja terjadi akibat hasrat seksual yang sangat tinggi dan tak bisa dikontrol dengan baik. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwasanya penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat dapat terjadi karena multifaktoral, mencakup gejala-gejala di dalam dan di luar pribadi (kelompok gejala yang intrinsik dan ekstrintik) yang saling berhubungan. Kartini Kartono menyebutkan ada dua faktor yang menyebabkan penyimpangan seks : 1. Faktor intrinsik ialah faktor-faktor herediter atau keturunan, berupa predisposisi dan konstitusi jasmaniah dan mentalnya. 2. Faktor ekstrinsik ialah mencakup adanya kerusakan-kerusakan psikis dan fisik disebabkan oleh pengaruh-pengaruh luar, atau oleh adanya interaksi pengalaman dengan lingkungan yang traumatis sifatnya. 36 35 Ma’ruf Asrori dan Anang Zamroni, Bimbingan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), Cet. Ke-1, hal. 198 36 Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 252 Sedangkan menurut Ma’ruf Asrori dalam bukunya Bimbingan Seks Islami, dorongan seks yang tidak terkendali disebabkan oleh dua faktor : 1. Faktor Endogin (dari dalam), yakni lemahnya iman dan intelegensinya tidak dapat mengendalikan hawa nafsu. 2. Faktor eksogin, yakni datangnya dari hampir setiap aspek kehidupan modern yang tumbuh dan berkembang tidak atas dasar konsep agama. Misalnya, trend mode, make up, pergaulan bebas, film dan bacaan porno, panti pijat, klub malam, bar dan lain-lain.37 Dari beberapa faktor yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor utama yang dapat menyebabkan penyimpangan seksual, yaitu pengaruh genetik, ketidakdisiplinan diri dan lingkungan yang tidak baik. Walaupun terdapat hubungan yang jelas antara masalah penyimpangan seksual dan ketiga faktor tersebut, tetapi lingkungan menempati posisi yang signifikan. Hal ini dikarenakan lingkungan menghimpun banyak faktor yang saling mengikat yang dapat membentuk suatu iklim kondisi bagi tumbuhnya berbagai penyimpangan. Seks memang salah satu alternatif untuk menghancurkan generasi bangsa, umat Islam saat ini sedang ditimang-timang dan diberikan permainan seks sehingga melupakan mereka kepada tugas utama yaitu ibadah kepada Allah swt. Hal ini dapat terlihat dari semakin suburnya tempat-tempat prostitusi yang legal 37 Ma’ruf Asrori dan Anang Zamroni, Bimbingan Seks Islam, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), Cet. Ke-1, hal. 213 maupun illegal, iklan-iklan yang selalu menampilkan wanita-wanita pesolek dan lain sebagainya, dan ini harus segera disadari oleh umat Islam itu sendiri dan ulama serta pemerintah khususnya. D. Pengertian Bestiality Bestiality berasal dari kata bestialis atau bestia yang artinya ialah binatang liar. Akan tetapi Bestiality yang penulis maksud di sini ialah tindakan mencari kepuasan seksual dengan jalan berhubungan seksual dengan binatang. Penyimpangan seks dengan binatang (Bestiality) dianggap menyimpang karena menjadikan binatang sebagai objek pemuasan seksualnya dan perilaku ini dipandang menyimpang baik dari norma hukum, kaidah agama dan tata susila yang berlaku di masyarakat. Pada zaman dahulu perbuatan ini lebih banyak dilakukan oleh kaum pria dibandingkan wanita. Akan tetapi pada saat ini keadaannya telah terbalik, kaum wanita justru lebih banyak melakukan perbuatan ini dibandingkan pria, khususnya di negara-negara barat. Hewan yang banyak digunakan untuk melakukan hubungan ini adalah anjing dan kera, sebab selain pintar, populasi hewan ini justru lebih banyak dibanding dengan yang lain. Walaupun kasusnya jarang sekali terjadi, namun gejalanya tetap ada. Pada tahun 1768, di Jerman pernah ada seorang petani yang diajukan ke pengadilan atas tuduhan melakukan hubungan seksual dengan binatang peliharaannya. Penyimpangan seksual ini dalam Islam disebut dengan al-Syudzudz al- Hayawaniyyah,. dimana perbuatan ini dilakukan dengan binatang, baik oleh pria maupun wanita. E. Bestiality Sebagai Penyimpangan Seksual Seks adalah suatu mekanisme yang mana manusia mampu mengadakan keturunan, oleh karena itu, seks merupakan suatu mekanisme vital, yang mana manusia mengadakan evolusi sepanjang sejarah kehidupan manusia. Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskan, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan serta melakukan penyimpangan seksual. Bestiality sebagai solusi pemuasan hasrat seksual yang menjadikan binatang sebagai objek pemuas hasrat seksual yang gejalanya semakin dirasakan di masyarakat dan pelakunya semakin bertambah. Pada awalnya bestiality banyak dilakukan oleh pria, akan tetapi seiring berjalanya waktu perbuatan ini banyak dilakukan oleh wanita. Menurut pakar kesehatan bestiality dapat terjadi akibat tingginya hasrat seksual yang tidak terkontrol, dimana para pelaku bestiality merasa tidak puas ketika hanya bersenggama dengan isterinya. Bisa juga perilaku tersebut muncul akibat pengaruh pergaulan seseorang dengan para pelaku bestiality lainnya.38Bahkan ada pula (meski tidak banyak) yang dilatarbelakangi tujuan 38 Ma’ruf Asrori dan Anang Zamroni, Bimbingan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda,1997),Cet. Ke-1.hal.42 mengamalkan ilmu hitam atau ilmu kebatinan tertentu yang mengisyaratkan “pengelmu” untuk menyetubuhi binatang.39 Sawitri Supardi Sadarjun mengemukakan bahwa bestiality merupakan deviasi seksual (gangguan perkembangan psikoseksual) yang sangat membahayakan kejiwaan seseorang. Menurutnya perilaku seks menyimpang ini terjadi karena banyak orang yang terangsang secara seksual bila melihat binatang berhubungan seksual, sehingga membayangkan dirinya berperan sebagai binatang dan terobsesi oleh imajinasi tersebut, dan akhirnya membuka peluang bagi perkembangan ke arah bestiality. Menurut beliau bestiality dapat disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Penderita didominasi oleh pikiran pola relasi seksual pada binatang 2. Refleksi ketakutan dan tidak ada kekuatan dalam melakukan pendekatan terhadap jenis kelamin lain. 3. Hambatan dalam kemampuan bergaul dengan lingkungan sosial pada umumnya dan jenis kelamin lain pada khususnya.40 Boyke Dian Nugraha mengemukakan bahwa perilaku seksual menyimpang dengan binatang (bestiality) termasuk kedalam kategori paraphilias (diluar batas normal). Menurut Boyke “di Indonesia kasus penyimpangan seksual dengan binatang mungkin masih bisa dihitung oleh jari (yang teridentifikasi). Akan tetapi di luar negeri, misalnya Amerika Serikat kasusnya sudah mencapai 39 Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita, (Jakarta: Gema Insani Press,1997), Cet.Ke- 1,hal.157 40 Http:www.Kompas .com/Kesehatan /News/21/7/2007 ratusan bahkan ribuan. Missouri yang merupakan negara bagian Amerika Serikat, bahkan telah melegalisasi hubungan seksual menyimpang tersebut.41 BAB III TATA KEHIDUPAN SEKSUAL DALAM HUKUM ISLAM A. Pernikahan Sebagai Upaya Penyaluran Kebutuhan Seksual Secara Legal Manusia menurut fitrahnya tidak akan sanggup menahan nafsu seksualnya, kecuali manusia yang tidak normal yang dapat meninggalkan perkawinan. Islam adalah agama fitrah yang menyalurkan sesuatu menurut semestinya, karena kerusakan di atas dunia berpangkal kepada keserakahan hawa nafsu, dan nafsu 41 http:/www.Cerita Remaja.com/14/02/2007 kebirahian kepada wanita menjadi dorongan untuk mencapai tujuan bagi yang tidak dapat mengendalikan dirinya.42 Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyak manusia yang mengalami kegoncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Seks merupakan kebutuhan biologis yang ada pada setiap makhluk hidup. Tetapi, dalam memenuhi atau menyalurkan kebutuhan seksual ini tentulah tidak terlepas dari aturan-aturan dan norma-norma agama yang berlaku. Allah swt telah menciptakan manusia dengan segala nafsu seksualnya, akan tetapi nafsu tersebut haruslah disalurkan sesuai dengan syari’at agama yaitu kepada isteri-isteri yang sah, yaitu melalui pernikahan. Islam bahkan telah melarang manusia untuk mengibiri nafsu syahwatnya dengan tidak menikah sebagai satu-satunya jalan untuk menyalurkan libido seksualnya, karena pernikahan merupakan sesuatu yang diajarkan oleh Islam. Rasulullah saw mencela orang-orang yang berjanji akan berpuasa setiap hari, akan beribadah setiap malam, dan berjanji tidak akan menikah. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: 6َ َِ َ, َِ وَﺱFََْ9 ُ8 ا0َ7 ِّQِ ُ أَن اFَْ9 ُ8َ اQٍِ رَﺽ3َِ ٍِْ اﺏAََْ أَﻥ9َو ََو جُ اَِءbَُِْ وَأَﺕRُُ ْمُ وَأ7َ وَأَﻥَمُ وَأ0َِّ7ُ أَﻥَ أ0ِِّKَ ََل1َِ وFََْ9 0ََْ وَاﺙ8ا (,رى و$ ا:)روا. ْQِِّ َAََْR ْQِ4 َُْ ﺱ9 َِdَََْ رR Artinya: 42 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak, Rujuk, dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumudin, 1971), cet. ke-1, jilid 1, hal. 78 “Dari Anas bin Malik r.a. Sesungguhnya Nabi memuji Allah dan memuji kepadanya. Dan ia bersabda: Tetapi saya shalat, saya tidur, saya berpuasa, saya berbuka, dan saya mengawini wanita, maka barang siapa yang benci kepada sunahku bukanlah ia termasuk ummatku.” (Bukhari dan Muslim). 43 Menikah adalah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks. hukum Islam menerangkan, wajib hukumnya untuk menikah bagi yang sudah mampu menikah, yang nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinahan.44 Sunnah hukumnya menikah, bagi orang yang nafsunya telah mendesak, tetapi masih dapat menahan dirinya dari perbuatan zina, menikah baginya lebih utama dari bertekun diri dalam ibadah. Haram hukumnya menikah, bagi seseorang yang tidak mampu membiayai isterinya serta nafsunya pun tidak mendesak. Makruh hukumnya menikah, bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi nafkah isterinya. Walaupun tidak merugikan isteri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan ibadah atau menuntut ilmu sesuatu. Mubah hukumnya menikah, bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasanalasan yang mewajibkan atau alasan-alasan yang mengharamkan untuk menikah.. Jadi Islam menganjurkan pernikahan sebagaimana tersebut, karena ia mempunyai 43 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim,(Beirut: Daar al-Fikr:1993), juz I, hal.234 44 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terjemahan Muhammad Thalib,(Bandung: al-Ma’arif,tth), cet. Ke-15, hal.22-26 pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Rasulullah saw selaku mengingatkan bahwa perkawinan dan hidup berpasang-pasangan merupakan salah satu sunnahnabi, untuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan dalam kehidupannya masing-masing. Sebagaimana firman Allah: CL-4%Z [e⌧ 8 N9Y + Ayr⌧k O#4% 812%+%| 58 Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah (Q.S. Adzariyyat:49) Dan firman Allah swt: ffB! '.,;c yI! "#DO ^!9! C%,- ;< +0 O#-4 %d%>%| '~ -4%Z B]%+ '~ h~O M ☯IJK !BtA⌧r yI! yI! ^!9f! O IJK ⌧r yI! f M U-S! 5W8 L:H "#k-4u Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanyaAllah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (Q. S. an-Nisaa: 1) Islam memandang bahwa pernikahan merupakan cara alami untuk memenuhi kebutuhan seks secara manusiawi, maka islam memerintahkan untuk menikah, serta memerintahkan kepada para pemuda yang sudah sanggup dan mempunyai kesempatan untuk melaksanakan pernikahan secepatnya. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: ِ َgَِْ \َdَُ أF ِﻥfَR َْو جbَ4ََْR َُ اَْءَة,ُKِْ َََع4ْْ"ََ ا" َبِ َِ اﺱ-َ َ (F9 I'4) .ٌَءBُِ وFَ ُF ِﻥfَR ِ ْمgِِ ﺏFََْ-َR ْ5َِ4َْ ْ, َََُْ ِْ'َْجِ وgَْوَأ Artinya: “Wahai para pemuda barangsiapa yang sanggup di antaramu memberi nafkah, maka hendaklah menikah, karena menikah membatasi pandangan dan memelihara kemaluan, barangsiapa yang belum mampu (memberi nafkah) maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu melemahkan nafsu”. (HR. Bukhari dan Muslim)45 Fredick Kahn mengemukakan bahwa pernikahan adalah satu-satunya cara yang benar untuk menyalurkan naluri seks dan untuk memecahkan problema seksual secara mendasar di lingkungan masyarakat. Dia mengungkapkan bahwa: “Di zaman dahulu banyak orang menikah dalam usia muda, hal itu merupakan suatu pemecahan yang benar terhadap problema seksual. Sekarang usia menikah sudah mulai ditambah seperti halnya banyak orang yang tidak senang bila pernikahan sering terjadi. Suatu pemerintahan akan sukses apabila ia membolehkan perkawinan secara dini. Pemerintahan seperti ini pantas dihargai karena ia telah menyelesaikan persoalan seks”.46 45 Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim,(Beirut:Daar al-Fikr,1993), juz I, hal.638 46 Sebagaimana dikutip oleh Fathi Yakan, Islam dan Seks, terjemahan Sayril Halim, (Jakarta: CV. Firdaus, 1990), cet. ke-2, hal. 32 Pernikahan sangat diperintahkan oleh syari’at Islam, karena ia merupakan jalan yang paling sehat dan tepat untuk menyalurkan kebutuhan biologis. Pernikahan juga merupakan sarana yang ideal untuk memperoleh keturunan, agar suami isteri dapat mendidik serta membesarkannya dengan penuh kasih sayang dan kemuliaan, perlindungan serta kebesaran jiwa. Tujuannya adalah agar keturunan itu mampu mengemban tanggung jawab untuk selanjutnya berjuang untuk memajukan dan meningkatkan kehidupan.47 Selain merupakan sarana penyaluran kebutuhan biologis, pernikahan juga merupakan pencegahan penyaluran kebutuhan seks pada jalan yang tidak dikehendaki oleh syari’at Islam (penyimpangan seks). Pernikahan mengandung arti larangan untuk menyalurkan potensi seks dengan cara-cara di luar ajaran agama Islam atau penyimpangan seks. Itulah sebabnya Islam melarang pergaulan bebas, gambar-gambar porno, serta cara-cara lain yang dapat menenggelamkan nafsu birahi atau menjerumuskan orang kepada penyimpangan seks yang tidak dibenarkan oleh agama. Dengan larangan ini dimaksudkan agar terhindar dari pergaulan bebas dan penyimpangan seksual. Pada umumnya orang beranggapan, bahwa tujuan perkawinan ialah untuk menghalalkan hubungan biologis antara seorang laki-laki dan perempuan. Tetapi tujuan itu bukanlah yang paling utama menurut Islam, sebab ada tujuan-tujuan lain yang dipandang lebih utama yang terkandung dalam perkawinan, yaitu: 47 Ibnu Hajar al-Asqalani, Buluq al-Maram, (Surabaya: Nabhan, tt), hal.149 1. Untuk melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-cita di masa mendatang. Firman Allah SWT: "%☺KK! i4k⌧ I A I M 5S! j⌧*☺-4⌧r n] KK! M i[A ` ?AJ:! e⌧ 8 N9Y Mz- yI! nF 58 ⌦Ac, Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah (Q.S. An- Nahl:77) 2. Untuk menjaga diri dari perbuatan –perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Sesungguhnya hubungan yang terjadi diantara seorang laki-laki dan wanita yang bukan muhrim yang lebih dikenal dengan masa berpacaran lebih mendekatkan diri pada perbuatan-perbuatan maksiat, karena setiap manusia memiliki rasa ingin disayang dan menyayangi sehingga bisa saja rasa itu berkembang menjadi perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Karena tergoda gairah yang dituntun oleh setan. 3. Untuk menimbulkan ketentraman jiwa karena adanya rasa kasih sayang diantara Suami Isteri. Allah swt telah menanamkan pada umat manusia rasa saling menyayangi dan rasa ingin disayangi, rasa kasih dan ingin dikasihi. Sehingga dengan ikatan perkawinan akan tersalur rasa saling mengasihi dan menyayangi sesuai dengan yang diinginkan oleh Agama. Dari perasaan inilah maka akan timbul ketenangan dan ketentraman jiwa di hati Suami Isteri, bahkan akhirnya ketentraman di lingkungan keluarga dan juga masyarakat luas. sebagaimana firman Allah swt: -4% =c! *+ "#K9< *+0 O# ^!_B#KS ☯+| "9:BO XN%%> %dH z1 f M %☺* BCfHf ) qc% %$ 5jW8 Ay#⌧=c Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S.Ar-Ruum:21) 4. Untuk mengikuti sunnah Rasulullah saw Rasulullah saw mencela orang-orang yang berjanji akan berpuasa setiap hari, akan beribadah setiap malam dan tidak akan menikah. Secara singkat Abdul Muhaimin As’ad berpendapat bahwa tujuan perkawinan adalah menuruti perintah Allah swt. Dan mengharap ridhoNya dan mengikuti sunnah Rasulullah saw. Serta memperoleh keturunan yang sah dan terpuji dalam masyarakat, dalam membina rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, serta penuh cinta kasih diantara suami isteri. Pernikahan juga dimaksudkan untuk menahan pandangan mata dari hal-hal yang dilarang, menjaga kemaluan dan menjauhkan manusia dari bentukbentuk hubungan yang tercela. Nafsu seksual adalah anugerah Allah swt. Keberadaan nafsu penting untuk kelangsungan manusia, untuk mewujudkan kekhalifahan yang di berikan Allah kepada manusia di atas permukaan bumi dan untuk beribadah kepadaNya. Jika demikian halnya, maka seks bukanlah sesuatu yang kotor apabila diletakkan pada tempatnya yang telah disyari’atkan Allah swt, yaitu melalui pernikahan. B. Etika hubungan seksual antara Suami dan Isteri Pernikahan ialah sebuah institusi manusia yang alamiah. Al-Qur’an menggambarkan pernikahan sebagai hubungan yang kuat dan mendalam karena perkawinan merupakan perlindungan dari kebutuhan biologis merupakan bagian dari beberapa hak yang harus dipenuhi oleh pasangan suami – isteri. Hubungan seksual dalam Islam, tidak hanya dalam persoalan pleasure (nafsu) semata. Akan tetapi erat dengan etika dan nilai-nilai agama. Sangat wajar apabila hubungan seksual dalam Islam sangat berorientasi pada seks halal. Dengan demikian Islam sebenarnya telah melakukan sakralisasi. Yang dimaksud sakralisasi di sini adalah hubungan seks dapat menghasilkan nilai pahala ketika dilakukan oleh pasangan Suami - Isteri. Karena itu menolak seks halal yang dikehendaki oleh salah satu pasangan berarti telah berbuat dosa selama memang tidak ada unsur yang menyebabkan hal itu bisa ditinggalkan. Hal ini tercermin dari sabda Rasulullah Saw: ُ ُB َ ا9ََ إِذَا د, َِ وَﺱFََْ9 ُ8 ا0 َ7 ِ8َلَ رَﺱُ ْلُ ا1: ََل1 َْ هََُْةQَِْ أَﺏ9 # 0 4َ ُ%َKَِﺉlَْْ!َ ا4ََ-َ َ!ََْ9 ََ&َْنd َََتR ِFِْﺕkَْ ﺕ,ََR ِFَِِاﺵR 0َُِ إFَاَْأَﺕ ( وأﺏ داود,ر و$ ا: )روا.َmِْgُﺕ Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a berkata Rasulullah SAW bersabda: “apabila seseorang suami memanggil istrinya datang ke tempat tidurnya (berhubungan seks). Lalu istrinya menolak dan ia marah sepanjang malam, maka istri tersebut akan dilaknat oleh malaikat semalam suntuk” (H.R Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)”.48 Seks halal yang penulis maksud berdasarkan ketentuan-ketentuan agama, di sini adalah seks yang dilakukan seperti harus melalui lembaga perkawinan dan bersifat heteroseksual (hubungan seksual yang terjadi antara lakilaki dan perempuan), karena itu, segala bentuk tindakan dan orientasi seksual yang berada di luar definisi kehalalan menurut Islam dianggap sebagai tindakan dan orientasi seks yang haram dan menyimpang. Islam merupakan jalan hidup total. Masing-masing bagiannya perlu dipahami secara penuh. Ibn al- Qayyim dalam bukunya. al- Thib al- Nabawiy (pengobatan nabi) , menyajikan satu bab khusus yang membahas sikap Islam terhadap persoalan seksual antara suami dan isteri, diantaranya yaitu: 1. Dalam Islam, seks selalu dipandang secara serius dan seharusnya tetap demikian. Seks bukanlah sarana untuk bersenang-senang belaka. Dalam Islam 48 hal.157 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Fikr,1993),cet. Ke-4, hubungan seksual antara suami dan isteri merupakan ibadah dan dapat menciptakan hubungan yang harmonis diantara keduanya. 2. Dalam Islam, seks tidak pernah dipandang untuk kesenangan belaka. Seks selalu berkaitan dengan kehidupan keluarga. Seks dipandang sebagai hubungan manusia yang luar biasa yang tunduk kepada aturan-aturan yang ketat. Dengan demikian, seks di luar hubungan perkawinan merupakan dosa yang dikenai hukuman. 3. Seks merupakan khusus diantara suami-isteri. Apa yang terjadi dalam hubungan itu merupakan rahasia dan tidak seharusnya diberitakan kepada pihak-pihak lain. 4. Islam menjelaskan bahwa seks tidak tunduk pada perubahan (yang dibuat) oleh kelompok-kelompok berpengaruh atau oleh perubahan dalam kehidupan seksual. 5. Pengetahuan seputar ayat-ayat dan hadis-hadis tentang permasalahan seks tidak ada spesifikasinya yang menyangkut usia untuk seseorang memulai mempelajarinya pada usia tertentu. Akan tetapi ketika seorang mukmin mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah, ia akan menemukan ajaran-ajaran atau permasalahan ini.49 Rasulullah saw selalu mengajarkan ummatnya agar selalu memerhatikan isteri dengan baik, penuh kasih sayang dan saling menghargai. Banyak sekali 49 Abdul Wahab Bouhdiba, Sexuality In Islam terjemahan Fauzi Abbas Penerbit Alinea, 2004) , cet. Ke-1 hal. 207-208 (Yogyakarta : petunjuk dari Al-Qur’an dan hadits tentang tata cara atau etika hubungan seksual antara suami dan isteri. Firman Allah Swt: َF ْ وَاﺕ ُ ا ا,ُKُِ'َْﻥkِ ُ ا6َ1َْ و,ُ4ْ;ِ ﺵ0 ْ أَﻥ,ُKَْﺕُ ا َْﺙkَR ْ,ُKَ ٌْ َْث,ُﻥَِؤُآ . َِِْpُُْ وَﺏَ"ِ ا: ُ1َُ ْ,ُK َُْ ا أَﻥ9وَا Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.(Q.S al-Baqarah:222) Dari ayat di atas dijelaskan, bahwa Allah swt memberikan kebebasan kepada suami isteri dalam hubungan seks dengan cara apapun, asalkan tidak bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku. Rasulullah mengajarkan etika hubungan seksual antara suami dan isteri, diantaranya: a. Tidak telanjang bulat ( membuka aurat seluruhnya) ketika bersenggama Rasulullah bersabda: إِذَا: َ, َِ وَﺱFََْ9 8 ا0َ7 ِ8َلَ رَﺱُ ْلُ ا1 0َِِْ ا6َْ9 َِْ ﺏ%َْ4ُ9 َْ9 (FB اﺏ: )روا.ََِْْ-َْدَ اqََ دَ ﺕqَ4َ َZَِْ و4َ4ََْْR ُFَْْ أَه,ُُآ6ََ أ0َأَﺕ Artinya : “Dari Utbah bin Abdus Salami, Rasulullah saw bersabda: jika seorang diantara kamu mendatangi istri kamu hendaklah memakai tutup dan jangan sama-sama telanjang sama telanjangnya dua ekor keledai.” (H.R Ibnu majjah) 50 b. Membaca doa ketika hendak berjimak (bersenggama). 50 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung PT. Al-Maa’rif) Jilid 4, cet ke-I, h.115 Disunahkan membaca basmalah dan taawuz ketika hendak bersenggama. Rasulullah saw bersabda: َ ََ ْ آ: ََل1 َ, َِ وَﺱFََْ9 ُ8 ا0 َ7 ِ8َ سٍ أَن رَﺱُ ْلَ ا9 َِِْ اﺏ9 ن َََِّْ ا" َْنB ,ُ! َِ ا,ِْ ِ ا َِْ ا8ِ ا,ِْ: ََل1 ُFَْ أَه0َْ إِذَا أَﺕ,ُُآ6ََأ َ6ََ َْ ا3ََِ َْ َ&ُ ذ3َِِ ذQR َُ!ََْرَ ﺏ6ُ1 ِْنfَR ََ4ْ1ََِِّ ا" َْنَ َ رَزBَو (,رى و$ ا: )روا.ًا6َا" َْنُ أَﺏ Artinya : “Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda : jika seseorang diantara kamu hendak mendatangi istrinya maka bacalah basmalah: Allahumma Jannibna asyyai thana wa jannibni as-syaithana maa rajaqtana. Jika diwaktu itu antara keduanya ditakdirkan terjadi anak, maka setan tidak akan membahayakan anak itu selamanya.” (H.R Bukhari dan Muslim)51 c. Tidak menyenggamai perempuan pada duburnya Bersetubuh dengan isteri pada dubur merupakan perbuatan yang ditolak oleh fitrah dan tabiat sehat serta diharamkan oleh agama. Allah SWT berfirman: َF ْ وَاﺕ ُ ا ا,ُKُِ'َْﻥkِ ُ ا6َ1َْ و,ُ4ْ;ِ ﺵ0 ْ أَﻥ,ُKَْﺕُ ا َْﺙkَR ْ,ُKَ ٌْ َْث,ُﻥَِؤُآ . َِِْpُُْ وَﺏَ"ِ ا: ُ1َُ ْ,ُK َُْ ا أَﻥ9وَا Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”(Q.S.al-Baqarah:222) Dianalogikan sebagai tempat bercocok tanam karena menjadi tempat menaburkan benih anak, jadi perintah untuk mendatangi tempat bercocok 51 hal.155 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Fikr,1993), juz 4, tanam berarti perintah untuk mendatangi pada alat kelamin yang khusus. Allah hanya memerintahkan bersenggama di tempat bercocok tanam (faraj), dan tempat bercocok tanam itu adalah tumbuhnya tanaman. Demikian juga halnya dengan kaum wanita (isteri), bahwa tujuan menyetubuhi mereka itu adalah untuk mencari keturunan, bukan untuk sekedar pemenuhan kebutuhan nafsu syahwat. Dan untuk mendapat keturunan itu hanyalah persetubuhan melalui qubulnya. Oleh karena itu, Allah mengharamkan persetubuhan pada selain qubulnya. Tidak boleh dikiaskan selainnya kepada itu karena memang tidak ada persamaan dalam keadaannya sebagai tempat bercocok tanaman. 52 Di antara dalil yang mengharamkan bersetubuh pada dubur ialah : Fِ ََْ9 ُ8 ا0 َ7 ِ8َلَ رَﺱُ ْلُ ا1: ََل1 َُ!َْ9 ُ8َ اQَِ سٍ رَﺽ9 َِِْ اﺏ9 : )روا.َِ دُﺏُِهQR ًً أَوِ اَْأَةlُBَ ر0ٍَ أَﺕ#ُBَ ر0َُِ إ8َ َْ[ُُ اZ َ, َوَﺱ ()ى وائ واﺏ ن4ا Artinya : “Dari Ibnu Abbas R.A. beliau berkata : Allah tidak akan memandang kepada lelaki yang menyetubuhi lelaki atau wanita pada duburnya. (H.R alTirmidzi, al-Nasai’ dan Ibnu Hibban)53 d. Tidak bersetubuh (bersenggama) dengan isteri yang sedang haid Allah sangat menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Haid adalah kotoran, karena itu hendaknya para suami menahan diri mereka untuk tidak melakukan hubungan badan dengan isterinya hingga ia suci. 52 Drs. Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam, ( Surabaya : Al-Ikhlas, 1995) cet ke. 1. h 496 53 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Fikr,1993), juz IV, hal.148 Firman Allah SWT : ِ ِ+َْ اQِR َُِ ا اَءbَ4ْ9َR ْ هُ َ أَذًى#ُ1 ِ\ِ+ََِْ ا9 َ3ََُ ﻥkََْو \ ُF ُ ا,ُُ أَََآsَْ ِْ ُْﺕُ هkَR َِذَا ﺕََ! ْنfَR َ َْ!ُْن0 4َ ُوََ ﺕََْﺏُ ه . َِ!ََ4ُِْ ا+َُ اﺏَِ و4ِ ا+ُ َF ن ا ِإ Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”(Q.S.al-Baqarah:221) e. Larangan membuka rahasia bersenggama Suami dan isteri berkewajiban menjaga rahasia kehidupan rumah tangga mereka. Menjaga rahasia ini dimaksud untuk menjaga ketentraman keluarga, keharmonisan suami isteri dan kehormatan rumah tangga. Membuka rahasia kehidupan rumah tangga yang tidak patut diketahui orang lain berakibat menanam benih kecurigaan dan prasangka yang merugikan. Kalau masing-masing suami dan isteri bisa memegang rahasia, maka sulitlah orang lain untuk masuk ke celah-celah kelemahan kehidupan rumah tangganya, sehingga selamat dari fitnah dari luar rumah tangganya. 54 Sebagaimana yang diungkapkan Rasulullah saw: ُ ا0 َ7 ِ8َلَ رَﺱُ ْلُ ا1: ََل1 ُFَْ9 ُ8َ اQِْرِيِّ رَﺽ6ُ$ٍْ ا6ِْ-َ ﺱQَِْ أَﺏ9 8 ُ#ُB ِ ا%ًََِْ َ ْمَ ا%َِbَْ ِ8َ ا6ِْ9 َِ ِإن ِْ أَﺵَ ا س, َِ وَﺱFََْ9 (, : )روا.َ َْ"ُُ ﺱِ ه,ُِ ﺙFَِْ إ0ِ&ْ'ُ اَْْأَةِ وَﺕ0َِ إ0ِ&ْ'ُ 54 1 hal. 57. Drs. M. Thalib, 60 pedoman rumah tangga islami, (PT. Tiara wacana Yogya, 1993) cet Ke. Artinya: “Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah SAW Bersabda, “orang yang paling jahat kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang suami yang melepaskan hajatnya kepada isterinya dan isterinya melepaskan hajatnya pada suaminya, kemudian ia siarkan rahasia itu.”55 f. Isteri tidak boleh menceritakan wanita lain kepada suaminya secara detail Seorang isteri yang baik akan berusaha mencurahkan perhatiannya kepada suaminya, dan tidak akan membicarakan wanita lain di hadapan suaminya. Ini adalah normal dan bisa diterima, karena berarti ia masih mempunyai rasa cinta terhadap suaminya. Sebagaimana yang diungkapkan Rasulullah saw: ,َ َِ وَﺱFََْ9 ُ8 ا0 َ7 ِ8َلَ رَﺱُ ْلُ ا1 ُFَْ9 ُ8َ اQُِ ْدٍ رَﺽ-َْ َِِْ اﺏ9 (F9 I'4) .َ!َُِْ َْ[ُُ إF َﻥkَِ!َ آBَْوbِ َ!َ'ِgَ4َR ََﺕَُﺵُِ اَْأَةُ اَْْأَةZ Artinya : “Dari Ibnu Mas’ud Rasulullah SAW bersabda, “janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain, Lalu ia ceritakan kepada suaminya ciriciri wanita tersebut, sehingga suaminya seolah-olah ia melihat wanita itu.” (H.R. Bukkhari dan Muslim). 56 Hadits ini memberikan isyarat kepada kita bahwa banyak sekali faktorfaktor yang menyebabkan retaknya kehidupan suami isteri, salah satunya ialah seorang isteri menceritakan fisik wanita secara detail kepada suaminya. 57 55 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut:Daar al-Fikr,1993), juz 4, 56 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut:Daar al-Fikr,1993), juz IV, 57 Drs. Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam Op. cit. hal. 58 hal.157 hal.149 C. Penyimpangan Seksual Sebagai Jarimah (Tindak Pidana) Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar pada manusia, namun kebutuhan-kebutuhan yang bersifat naluri yang terkadang menjadikan manusia lepas kontrol. Manusia berlomba-lomba mereguk semua kenikmatan dunia, meskipun cara yang ditempuhnya salah dan tidak lagi memperhatikan segi-segi moralitas yang ada di masyarakat. Seks adalah hal yang sangat fital bagi kehidupan manusia, tanpa adanya hubungan seks akan sulit untuk menjaga kelestarian umat manusia. Secanggih apapun alat pembiakan manusia melalui teknologi tidak akan bisa mengalahkan proses reproduksi manusia secara alamiah melalui hubungan seks yang normal antara laki-laki dan wanita. Tapi, perilaku seks yang dari sisi ajaran agama dilarang, kini semakin banyak dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah sedikit pun. Begitu juga untuk mencari cara yang lebih mengasyikan dalam melakukan seks semakin marak walaupun terasa sangat tidak wajar, tetapi demi sebuah kepuasan seks perbuatan semacam itu terus dilakukan. 58 Penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat semakin mewabah dan meresahkan, serta dapat menghancurkan generasi Islam secara perlahan-lahan. Ini disebabkan terompet Iblis terus menerus ditiupkan untuk melupakan manusia kepada Allah. 58 8 Asmawi Fokpal (ed), Lika Liku Seks Menyimpang, (Yogyakarta: Darussalam, 2005), hal.7- Imam al-Mawardi mendefinisikan jarimah (Tindak pidana) sebagai berikut: “segala larangan syara (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) diancam oleh Allah swt dengan hukuman had atau ta’zir.59 Sedangkan menurut ‘Abdul Qadir ‘Audah menjelaskan jarimah itu sama dengan Imam al-Mawardi, yaitu: ٍّ6َ+َِْ!َ ﺏ9 ُ8ََاBٌَ ز% ِ9َْْ[ُ ْرَاتٌ ﺵ+َ ُF َﻥkُِ ﺏ% َِlِْﺱuِ ا% ِ9ْ " ا0ِR ُ,ََِاﺉqَْا ٍِْbْ-َأَوْ ﺕ Artinya: “Jarimah menurut syari’at Islam adalah larangan syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau syara”60 M.Ali Hasan Umar berpendapat bahwa, “penyimpangan seksual selain sebagai perbuatan yang melanggar syari’at Islam juga dapat merusak jiwa, akhlak, dan agama serta tidak sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila, dan tidak sesuai dengan budaya bangsa. 61 Dia juga berpendapat naluri seks merupakan instink biologis bagi setiap manusia normal yang telah sampai usianya. Akan tetapi apabila masalah seks itu dilakukan di luar pernikahan, maka benar-benar akan mendapat kutukan Allah. Menurut Ali Akbar “penyimpangan yang terjadi di Indonesia selama ini disebabkan karena tidak seiringnya bentuk hukuman yang ditetapkan dengan realisasi hukum yang dilaksanakan di lapangan. Menurutnya dalam menanggulangi penyimpangan seksual syari’at Islam telah menetapkan 59 Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah. 1997, hal. 219, Cf dikutip dari bukunya Prof.Drs..H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah Upaya Untuk Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.Ke-3, hal.11 60 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut:Daar al-Kitab Al-Arabi,t.th), hal.67 61 M. Ali Hasan Umar, Kejahatan Seks dan Kehamilan di luar Nikah dalam Pandangan Islam, (Semarang: Panca Agung,1990) cet. Ke-1, hal.107 sanksi hukum yang berat sebagai efek jera agar masyarakat tidak melakukan penyimpangan seksual.62 Dia menambahkan bahwa Islam telah menetapkan hukuman yang bersifat mendidik dan preventif yang dapat menjamin ketentraman masyarakat dan individu dari segala bentuk kejahatan atau penyimpangan. Hukuman adalah penghalang sebelum terjadinya kejahatan, dan pencegahan setelah itu. Maksudnya ialah mengetahui hukuman atau ancaman hukuman dapat menghalangi pelakunya untuk berbuat sesuatu, dan terlaksananya hukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan dapat mencegahnya mengulangi kejahatan tersebut.63 Sedangkan menurut Neng Jubaedah, penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat selain sebagai tindak pidana (jarimah) juga dapat merusak sendisendi kehidupan di masyarakat. Penyimpangan seksual juga dapat membentuk individu yang gemar melakukan kejahatan di lingkungan masyarakat, penyimpangan seksual ini terjadi karena maraknya tayangan pornografi dan pornoaksi yang ditayangkan oleh media cetak dan elektronik yang semakin memprihatinkan keberadaannya.64 Murthadha Muthahari mengemukakan bahwa penyimpangan seksual merupakan penyimpangan biologis yang melangg0ar fitrah manusia. Dia menambahkan bahwa penyimpangan seksual adalah pelanggaran terhadap nilai62 Ali Akbar, Seksualitas Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1982), cet. Ke- 1, hal 35 63 Fathi Yakan, Islam dan Seks, (Jakarta: CV. Firdaus,1990), cet.ke-1, hal.59 Neng Jubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, (Bogor: Kencana, 2003), cet.ke-1, hal.154 64 nilai yang telah ditentukan oleh Allah swt dalam al-Quran., sehingga dikategorikan sebagai jarimah (tindak pidana). Menurut dia bahwa orang-orang yang melakukan penyimpangan seksual, dan menenggelamkan dirinya dalam kelezatan syahwat, maka akan pudar perasaan agamanya. 65 Sedangkan Sayyid Sabiq berpendapat bahwa penyimpangan seksual selain sebagai perbuatan jarimah (tindak pidana) juga dapat merusak serta menghancurkan masyarakat. Jika individu enggan untuk menikah, dan melampiaskan nafsu seksnya secara tidak legal, dengan sendirinya akan merusak sistem dan merapuhkan landasan kemasyarakatan. Selanjutnya menimbulkan kehancuran akhlak, dan merenggangkan ikatan nilai-nilai dan norma agama yang akhirnya membawa kebebasan tanpa batas.66 Mahmud Salthut mengemukakan bahwa Islam telah mengatur segala bentuk seks halal yang telah dijelaskan Allah dalam al-Quran dan al-Sunah. Dan apabila tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut maka boleh memakai ar-Ra’yu yang dilihat dari al-Mashali al-Khamsa, yaitu lima pokok dalam kehidupan manusia itu sendiri, yaitu: hifzh al-mal, hifzh al-nafs, hifzh al-din, hifzh al-aql, dan hifzh al-nasl. Sehingga apabila seseorang melanggar salah satu pokok dalam kehidupan manusia, maka perbuatan tersebut termasuk kedalam perbuatan yang dilarang oleh Syara atau disebut jarimah. Menurut dia bila naluri seks tidak disalurkan melalui perkawinan, 65 66 maka manusia akan mengalami kekacauan. Zina Murthadha Muthahari, Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan 1984), hal. 58 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunah, (Libanon: Darul Fikr,1981), hal.361-365 umpamanya, akan membawa kekacauan nasab, sebab anak yang dilahirkan tidak mempunyai garis keturunan yang jelas dari silsilah bapaknya. Maka segala bentuk penyimpangan seksual yang dilakukan oleh seseorang haruslah mendapatkan sangsi hukum yang sesuai dengan perbuatannya. 67 67 Mahmud Salthut, Al-islam ‘Aqidatun wa Syari’atun, (Mesir: Darul-Qalam,1968) hal.303 BAB IV BESTIALITY DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM A. Bestiality dan Dampak Negatifnya Sebagai konsekuensi logis dari perilaku seks menyimpang adalah munculnya berbagai penyakit kelamin (veneral diseases, atau VD), atau disebut juga ‘penyakit hubungan seksual’ (sexually transmitted diseases, atau STD). Berbagai penyakit kelamin yang kini terkenal dalam dunia kedokteran adalah: sifilis, gonore, herpes simplex, limprogranuloma venerium, granula Inguinale, trikomonas, kondiloma akuminata, dan Aids (Acquired Immune Difeciency Syndrome). Dari berbagai penyakit itu yang paling terkenal, paling berbahaya, dan paling banyak diderita oleh pelaku seks bebas dan pelaku seks menyimpang (termasuk pelaku seks menyimpang dengan binatang) adalah : sifilis, gonore, herpes progenitalis, dan aids. Sifilis adalah jenis penyakit kelamin yang banyak diderita oleh para pelaku seks menyimpang, sifatnya sulit hilang dan apabila sembuh pada bulan ini akan muncul pada bulan berikutnya dengan rasa sakit dan luka yang hebat. Sifilis sering juga disebut “penyakit raja singa” penyakit ini disebabkan oleh kuman Treponema Pallidium yang jumlahnya lebih banyak terdapat dalam binatang daripada manusia. Penyakit ini dapat ditularkan melalui persenggamaan dengan manusia atau dengan binatang. Sedangkan gonore adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh kuman neisseria gonorrhoeae, Yang mana kuman ini menyerang selaput lendir pada beberapa organ tubuh. Selaput yang paling sering diserang adalah selaput lendir rektum, mata, mulut, dan anus. Kejangkitan Gonore yang paling tinggi terdapat pada saluran kantung kemih( uretra). Gejala penyakit ini selain keluarnya nanah berwarna kuning pada alat kelamin, juga terasa nyeri dan panas. Pada dasarnya penyakit ini ditularkan melalui hubungan seksual, sama seperti Sifilis, penyakit ini pun dapat menyebabkan cacat bawaan. Herpes progenitalis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus harpes simpleks yang secara bertahap berkembang dan menyebabkan luka lecet yang sangat menyakitkan di sekitar kemaluan, baik laki-laki maupun perempuan. Karena letaknya di permukaan alat kelamin, maka penyakit ini sangat mudah sekali menular. Gejala yang timbul berupa rasa kelenjar (rasa digigit-gigit) dan gatal. Setelah 2-15 hari muncul bisul kecil, dan pada serangan berikutnya akan timbul infeksi, dan timbul demam dan sakit kepala. Sedangkan penyakit aids (acquired immune difeciency syndrome) adalah suatu momok yang menakutkan sejak kemunculannya tahun 1980—an sampai saat ini. Menurut hemat penulis, penyakit ini muncul akibat perilaku manusia yang sudah melewati batas normal, maka kehadiran penyakit ini merupakan sebuah laknat dari Allah swt yang telah murka melihat hambanya yang sudah melampaui batas. Kemunculan penyakit ini mulai dirasakan sekitar tahun 1981. Dan pada tahun 1983, Luc Montagnier dari lembaga Pasteur Paris mengumumkan tentang adanya suatu virus maut. Setahun kemudian, Galo membuktikan tentang keberadaan virus ini dengan gejala kehilangan kekebalan tubuh manusia. Adapun cara penularan virus Hiv ( human immodefeciency syndrome) ini adalah melalui berbagai jalan: berhubungan seks, tranfusi darah, alat-alat medis, ibu hamil dan cairan tubuh. Saat ini penularan aids menurut who sekitar 3 orang permenit, Dan sampai akhir 2000, sekitar 21,8 juta orang dewasa dan anak-anak telah meninggal karena hiv/aids. Selain berbagai penyakit di atas, dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh penyimpangan seksual dengan binatang (bestiality) ialah: 1. Dari segi psikologis, bestiality dapat mengakibatkan gangguan pada perkembangan psikoseksual seseorang. Sehingga naluri kejiwaan untuk bersetubuh dengan normal menjadi suatu yang tabu karena memandang bestiality sebagai fantasi seks yang dapat memenuhi libido seksualnya. 2. Dari aspek sosial-psikologis, penyimpangan seks dengan binatang (bestiality) akan menyebabkan pelakunya memiliki perasaan dan kecemasan tertentu, sehingga bisa mempengaruhi kondisi kualitas sumber daya manusia dimasa yang akan datang.68 Kualitas sumber daya manusia ini diantaranya adalah: a) Kualitas mentalitas. Kualitas mentalitas pelaku yang terlibat penyimpangan seksual dengan binatang (bestiality) akan rendah, bahkan cenderung memburuk. pelaku bestiality tidak memiliki etos kerja dan disiplin yang tinggi, karena dibayangi masa lalunya. Pelaku bestiality juga cepat menyerah 68 www. Kompas, Jurnal Kesehatan. Com, 28/09/2007 kepada nasib (subnitif), tidak sanggup menghadapi tantangan dan ancaman hidup, rendah diri, dan tidak sanggup berkompetisi. b) Kualitas keberfungsian keluarga. Seandainya pelaku bestiality menikah dengan cara terpaksa, maka akan mengakibatkan kurang difahaminya peranperan baru yang disandangnya dalam membentuk keluarga sakinah. c) Kualitas pendidikan. Pelaku bestiality akan memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan formal. d) Kualitas ekonomi keluarga. Seandainya pelaku bestiality menikah, maka kualitas ekonomi yang dibangun olehnya tidak akan memiliki kesiapan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. e) Kualitas partisipasi dalam pembangunan. Karena kondisi fisik, mental dan sosial yang kurang baik, maka pelaku bestiality tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan. 3. Dari aspek medis, menurut Budi Martino Limonon, pelaku penyimpangan seksual dengan binatang (bestiality) memiliki banyak konsekuensi, diantaranya: dapat tertular penyakit menular seksual (PMS), dapat menyebakan infeksi pada alat vital, dan selain itu, dapat menyebabkan kanker.69 B. Bestiality Sebagai Jarimah (Tindak Pidana) Manusia adalah makhluk Allah swt yang diberi beban sebagai khalifah di dunia untuk memimpin dan memelihara alam sekitar dengan diberi bekal hidup 69 Pikiran Rakyat, Bahaya Penyimpangan Seksual, edisi: tanggal 10-Mei-2005, hal.5 berupa aturan-aturan untuk dijadikan tolak ukur antara baik dan buruk, benar dan salah, agar tidak menyimpang dari garis-garis yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Dalam hukum pidana Islam sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jarimah apabila memenuhi tiga unsur, diantaranya ialah: 1) Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu disertai ancaman hukuman atas perbuatannya. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal”(al-Rukn al-Syar’i). 2) Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material”(al-Rukn al-Madi). 3) Pelaku kejahatan ialah orang yang dapat menerima khitab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan adalah mukallaf. Sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini lebih dikenal dengan istilah “unsur moral”(alRukn al-Adabi). Islam memandang seksualitas tidak hanya persoalan pleasure (nafsu) semata, akan tetapi terkait erat dengan nilai etika dan nilai-nilai agama. Sangat wajar apabila seksualitas dalam Islam sangat berorientasi pada seks halal, seks halal adalah seks yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan agama, seperti harus melalui lembaga perkawinan, dan bersifat heteroseksual (hubungan seksual yang terjadi antara laki-laki dan perempuan). Oleh karena itu, segala bentuk tindakan dan orientasi seksual yang berada di luar kehalalan menurut Islam dianggap sebagai tindakan dan orientasi seks yang haram dan menyimpang. Di dalam hukum Islam bestiality merupakan perbuatan yang dilarang, karena tidak sesuai dengan fitrah Islam. Karena dalam Islam telah diatur tatacara hubungan seks yang baik, sehingga manusia dapat menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah swt. Dengan demikian bestiality dalam pidana Islam digolongkan sebagai perbuatan jarimah (melanggar ketentuan agama), apabila seseorang melakukannya maka akan dikenakan hukuman atau sanksi berupa had atau ta’zir. Hubungan seksual adalah kebutuhan yang mutlak hanya bagi suami dan isteri melalui lembaga perkawinan, sedangkan bestiality ialah hubungan yang tidak melalui lembaga perkawinan, dan hubungan yang telah berganti obyek yang tidak sah. Dalam hukum islam segala perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum disebut maksiat yang dapat dijatuhkan hukuman ta’zir. Karena hukuman ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumanya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumanya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir. Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan kifarat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang dilarang.70 Bestiality merupakan perbuatan yang dilarang oleh syariat islam, dan oleh karenanya disebut maksiat. Seks yang sesuai dengan syariat agama ialah: pertama, kegiatan seks dilakukan dalam suatu wadah perkawinan. Kedua, kegiatan seks tersebut dilakukan secara heteroseksual. Ketiga. Kegiatan seks tersebut memiliki tujuan reproduksi (untuk mendapatkan anak) agar terjadi kaderisasi dan regenerasi umat.71 Dalam melakukan hubungan seksual yang sehat dan sesuai dengan syari’at islam hendaknya mempunyai empat dimensi, yaitu dimensi prokreasi, dimensi rekreasi, dimensi relasi, dan dimensi institusi.72 Dimensi prokreasi menilai seks sebagai upaya memperoleh keturunan melalui hubungan seksual. Dimensi rekreasi ditunjukan untuk memperoleh kenikmatan dan kesenangan. Dimensi ini sering kali disalah artikan sehingga seks dipandang sebagai kegiatan bersenang-senang belaka, tanpa ada unsur tanggung jawab dari pasangan yang melakukanya. Dimensi relasi dilakukan dengan tujuan membina hubungan pribadi yang lebih intim dan akrab. Pada usia lanjut, dimensi inilah yang tepat diterapkan dalam berhubungan dengan pasangan masing- masing. Sedangkan dimensi institusi ditunjukan untuk membentuk dan memperkokoh lembaga perkawinanya, sekaligus pelindung kehidupan suami dan isteri. Apabila kegiatan seksual memenuhi unsur di atas, maka kegiatan seks 70 Abdul Azis Amir, al-ta’zir fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah,(Dar Al- Fikr alArabi,1969),hal.83 71 Badiatul Muchlisin Asti, Seks Indah Penuh Berkah , (Semarang: Pustaka Adnan,2006), Cet. Ke-1, hal.130 72 Klinik Pria.com tersebut bukan merupakan seks menyimpang, dan bukan merupakan perbuatan jarimah. Pernikahan sebagai hubungan yang sah dan benar yang menghargai harkat dan martabat serta aspek kehidupan manusia. Perkawinan adalah akad yang kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.73 Allah swt menciptakan manusia dan menghiasinya dengan akal dan hawa nafsu sebagai anugerah tertinggi yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, akal berfungsi sebagai penimbang segala keputusan yang akan diambil dan dengan akal pula manusia dapat berpikir dan mencari hakikat suatu kebenaran, sedangkan hawa nafsu merupakan objek penalaran akal yang mendorong akal untuk berpikir dan memutuskan. Dengan akal yang sehat dan iman yang kuat, maka manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya untuk tidak melakukan penyimpangan seksual seperti bestiality. Allah swt telah memerintahkan hambanya agar senantiasa memelihara kemaluanya (faraj), karena kehormatan manusia merupakan suatu hal yang prinsip dan mahkota yang harus dilindungi dan dipelihara dari berbagai bentuk penyimpangan seksual dengan binatang. Kecuali hubungan seksual yang dianjurkan oleh ajaran agama, yaitu melalui perkawinan. Sebagaimana Firman Allah swt: 5W8 B☺! %⌧-4 *, "'X⌧J z1 "` 1syI! "` 1syI! 5j8 %Z 5?8 .F9W?A 8;4! 5+ CM⌧rf4 "` 1syI! "` 1syI! 58 4 73 Departemen Agama RI, KHI, Pasal 2 n] 58 w9% "d>A9 "d>| !z- "'f "'~%☺c *q#-4 58 .x24 tA⌧ Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orangorang yang khusyu' dalam sembahyangnya,Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada bergunaDan orang-orang yang menunaikan zakat Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.” (Q.S. AlMu’minuun:1-6) Islam memandang bahwa perbuatan bestiality ialah perbuatan jarimah, karena dalam melakukan hubungan seksualnya dilakukan dengan menyetubuhi binatang, dan ini sangat jelas telah keluar dari koridor Islam yang telah memerintahkan umatnya dalam memenuhi libido seksual hanya dilakukan oleh suami dan isterinya yang sah. Perkawinan merupakan cara yang manusiawi dan terpuji untuk menyalurkan nafsu seks bagi setiap orang, dan tidak menimbulkan kerusakan bagi masyarakat. Perkawinan merupakan oasis alami, tempat bertemunya pria dan wanita dalam usaha mencari ketenangan rohani dan jasmani. 74 Persepsi terhadap fitrah manusia senantiasa menghubungkannya dengan naluri seks, memandang bahwa seks merupakan suatu kekuatan alami yang terdapat dalam diri manusia. Naluri seks memerlukan penyaluran biologis dalam bentuk perkawinan, Islam 74 tidak menganggap bahwa naluri seks merupakan Ibnu Arabi, Ahkam Al-Qur’an (‘isya AL-Babi Al-Jalabi wa Syirkahu,t.th), hal 1313, sesuatu yang jahat,dan tabu bagi manusia. Tetapi mengaturnya sesuai dengan fitrahnya. Oleh karena itu Islam sangat menentang segala bentuk penyimpangan seksual, termasuk bestiality (penyimpangan seksual dengan binatang) C. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Bestiality Para ulama telah sepakat tentang keharaman bersetubuh dengan binatang. Akan tetapi masih berbeda pendapat dalam menentukan hukuman bagi orang yang melakukan hal tersebut. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa menyetubuhi binatang tidak dianggap sebagai zina, tetapi merupakan perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman ta’zir. Demikian pula apabila hal tersebut dilakukan oleh seorang wanita terhadap binatang jantan. Seperti kera, atau anjing.75 Di kalangan Mazhab Syafi’iyah dan Hambali terdapat dua pendapat. Pendapat yang rajih (kuat) dari pendapat Imam Syafi’i sama dengan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik, sedangkan menurut pendapat Imam Syafi’i yang kedua, perbuatan tersebut dianggap sebagai zina dan hukumanya adalah hukuman mati.76 Pendapat ini didasarkan kepada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi: 75 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy al-Islamiy, Juz II, Beirut: Daar Al-Kitab AlArabi,t.th., hal 347 76 Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah, (Bandung: Asysyamil,1997), cet. Ke-1, hal.128 َْ: ََل1 َ, َِ وَﺱFِvَِ وFََْ9 ُ8 ا0 َ7 Qِ َ سٍ أَن ا9 َِِْ اﺏ9 َ%َِْKِ9 َْ9 وأﺏ داود6 أ: )روا.َ%َِْ!َُُْ ْا ا4ْ1ُ وَا:ْ ُُ4ْ1َR ٍ%َِْ!َ ﺏ0ََ9 َ5َ1َو ()ى4وا Artinya: “Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas Bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Barang siapa yang menyetubuhi binatang maka bunuhlah ia dan bunuhlah pula binatang itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi)77 Tetapi sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hukumanya sama dengan zina. Apabila muhshan maka hukumanya rajam, dan apabila ia ghair muhsan maka hukumanya didera seratus kali ditambah dengan pengasingan selama satu tahun. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Ash-Samit bahwa Rasulullah saw bersabda: %ٍ َُ ِﺉ6َْB ِْKُِِْْ ﺏKَِْ ا،ًlَُِْ َ!ُ ﺱ8 ا# َ َ-َB ْ6َ1 0َ9 ﺥُ)ُوْا0َ9 ﺥُ)ُوْا وأﺏ داود, : )روا.ُ,ْB ٍ وَا%َُ ِﺉ6َْB ِِّ ]ٍِ وَا] ُِّ ﺏ%ََ ﺱQ ُ ْ'ْوَﻥ ()ى4وا Artinya: “Ambillah dari diriku, ambilah dari diriku, sesungguhnya Allah swt telah memberikan jalan keluar bagi mereka (pezina). Jejaka dengan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumanya dera seratus kali dan rajam. (Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, a dan Turmudzi).78 Sedangkan pendapat yang rajih (kuat) dalam mazhab Syi’ah Zaidiyah,sama dengan pendapat Imam Syafi’i. Sementara pendapat yang marjuh (lemah) sama dengan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah. Selanjutnya 77 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Fikr,1993), juz IV, hal.179 78 78 hal.235 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Fikr,1993), juz III, apabila yang melakukan persetubuhan dengan binatang itu seorang wanita maka menurut mazhab Syafi’i dan Hambali hukumanya sama dengan pelaku laki-laki. Adapun menurut sebagian Syafi’iyah, pelaku wanita hanya dikenai hukuman ta’zir. Ali Daud menjelaskan bahwa, bestiality melewati qubul maupun dubur tidak dijatuhi hukuman had menurut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Dzhahiri.79 Kemudian dijelaskan pula bahwa para ulama empat telah sepakat bahwa pelaku bestiality itu harus di ta’zir oleh hakim dengan sesuatu yang dapat mencegahnya, karena akal yang sehat tidak akan melakukan hal tersebut, sehingga tidak harus diberi pidana had, tetapi cukup diberi ta’zir saja.80 Para ulama dalam menetapkan bestiality bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah yaitu: : ََل1 َ, َِ وَﺱFِvَِ وFََْ9 8 ُ ا0 َ7 Qِ َْ!َ أَن ا9 ُ8َ اQَِ سٍ رَﺽ9 َِِْ اﺏ9 ََِْ وFُِ ْلَ ﺏ-ْ'ََْ وَا#ِ9َ'ُُْ ْا ا4ْ1َR ٍَ ْمِ ُ ْط1 َ#ََ9 ُ#َْ-َ ُ:ْ ُُْﺕ6َBََْ و 6 أ: )روا.َ%َِْ!َُُْ ْا ا4ْ1ُ وَا:ْ ُُ4ْ1َR ٍ%َِْ!َ ﺏ0ََ9 َ5َ1َُ و:ْ ُُْﺕ6َBَو (%-رﺏ/وا Artinya: “Dari Ibnu Abbas R.A. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang mengetahui seseorang melakukan pekerjaan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah yang mengerjainya dan yang dikerjainya. Dan barang siapa yang melihat seseorang melakukan Bestiality, maka bunuhlah ia dan bunuh pula binatangnya.(Hadist diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah)81 79 Ali Daud Muhammad Jufal, Al-Taubah wa Asaraha Fi Istiqali al-Hudud fi al-Fiqh alIslami,(Beirut: Dar al Nahdati al Arabiyah,1989) hal.98 80 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu,(Beirut: Dar Al Fikri,1989) juz 6, hal.66 81 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Fikr,1993), juz IV, hal.181 Menurut Imam Syafi’i bahwa dalam hadits ini menunjukan pengharaman bestiality, dan menunjukan bahwa orang yang menyetubuhi binatang itu adalah hukuman mati. Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad dan Imam Hambali pelakunya cukup dihukum dengan hukuman ta’zir, karena perbuatan itu bukan merupakan perzinaan. Hadits di atas pun menerangkan tentang bagaimanakah hukum binatang itu baik yang halal dikonsumsi dan yang haram dikonsumsi. Ibnu Abbas pernah ditanya “ bagaimanakah hukum binatang itu? Beliau menjawab : Saya tidak mendengar sesuatu hal itu dari Rasulullah saw, akan tetapi menurutnya binatang itu makruh untuk di konsumsi dagingnya setelah di setubuhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah saw : ٍَْو9 َْ9 ٍ6 َ+ُ ُِْ ﺏbِْbَ-ُْ ا6َْ9 ََ ﺙ6َ ََُِ وَا َاق9 ُُْ ﺏ6 َ+ُ ََﺙ6 َ ُ8 ا0 َ7 ِ8َلَ رَﺱُ ْلُ ا1 ٍَ س9 ْQَِْ أَﺏ9 َ%َِْKِ9 َ9َََُ و9 Qِﺏِْ أَﺏ َ#َِْR َ%َِْ!َُُْ ْا ا4ْ1ُ وَا:ْ ُُ4ْ1َR ٍ%َِْ!َ ﺏ0ََ9 َ5َ1َُ و:ْ ُُْﺕ6َBََ َْ و, َِ وَﺱFََْ9 ُ8 ا0 َ7 ِ8ُ ِْ رَﺱُ ْلِ اzْ-َََِلَ َ ﺱR ِ؟%َِْ!َْْنُ اkََ سٍ َ ﺵ9 ِْﺏZِ َ:َََ آ, َِ وَﺱFََْ9 ُ8 ا0 َ7 ِ8ِْ أَرَى رَﺱُ ْلُ اKَََ ﺵَْ;ً و3َِ ذQِR َ, َِ وَﺱFََْ9 . َ#ََ-َْ ﺏِ!َ ذَاكَ ا#َِ9 ْ6َ1َُ ﺏِ!َ و5ِ'َ4َْ ِْْ!َ أَو+َ ِْ َ#ُْآkَ ْأَن Artinya: “Barang siapa mengetahui seseorang yang melakukan bestiality, maka bunuhlah dia dan bunuh pula binatangnya. Ditanyakan kepada sahabat Ibnu Abbas, bagaimanakhah hal binatang yang disetubuhi itu? Sahabat Ibnu Abbas menjawab: saya tidak sedikitpun mendapat penjelasan dari Rasulullah saw dari masalah tersebut. Tetapi saya menduga Rasulullah saw memakruhkan untuk memakan dagingnya dan memenfaatkanya. Amalanamalan seperti itu betul-betul dilaksanakan. Hadits ini saya tidak ketahui kecuali dari hadits Umar bin Abi Bakar dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw. Kemudian Sofian As-Sauri meriwayatkan dari ‘Ashim dari Abi Ruzaini dari Ibnu Abbas, Ia berkata: “ Siapa yang melakukan bestiality maka tidak ada had baginya.82(Hadist diriwayatkan oleh Imam Ahmad) Para ulama Al-Hadawiyah (Syi’ah) dan ulama Hanafiah berpendapat bahwa binatang itu makruh dimakan, dan tidak diwajibkan membunuh binatang yang sudah disetubuhi. Menurut Al-Khatabi, hadits ini bertentangan dengan larangan Nabi membunuh binatang, kecuali untuk dimakan. Sedangkan menurut Sayyid Muhammad Syatha Dimyati tidak diwajibkan had terhadap orang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang, tetapi diwajibkan atasnya hukuman ta’zir. Sedangkan mengenai binatang yang disetubuhi, tidak diwajibkan membunuhnya apabila binatang tersebut termasuk binatang yang biasa dikonsumsi, karena adanya perbedaan pendapat tentang binatang apa yang dimaksud dengan hadits di atas.83 Menurut Sayyid Muhammad Syatha Dimyati bahwa binatang yang dimaksud dalam hadits ini adalah binatang yang tidak biasa dikonsumsi oleh manusia, maka binatang tersebut boleh dibunuh. Sedangkan binatang yang biasa dikonsumsi tidak wajib atasnya, tetapi apabila binatang tersebut disembelih, maka boleh memakannya. Dari uraian di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kebanyakan para ulama berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku penyimpangan seksual dengan binatang ialah hukuman ta’zir. 82 Abdul al- Rahman, Majmu’ al-Fatawa Syikh al- Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah, (Riyad: Dar al- ‘Alam al- Kutub,1991), jld.34, hal.182 83 Sayyid Muhammad Syatha Dimyati, I’anatu al-Thalibin, (Semarang: Toha Putra), juz 4, hal.143 D. Pandangan Hukum Islam tentang Bestiality dan Relevansinya dengan HAM Islam adalah agama yang universal, yang di dalamnya mengatur hidup dan kehidupan dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Islam mengatur hubungan seks antara laki-laki dan wanita sebagai hubungan yang sah dan benar yang menghargai harkat, martabat dan aspek manusia, yaitu melalui pernikahan. Karena satu-satunya jalan yang dihalalkan oleh Islam untuk memenuhi kebutuhan biologis hanya dengan jalan pernikahan yang sah. Begitu juga Islam tidak melarang seseorang laki-laki untuk menikahi wanita dan menggaulinya darimana pun ia suka. Sebagaimana firman Allah swt: "#y eA% "rIJK Mz; "#QA% ^! ^!`, ^ ¡¢£y yI! ^!9f! M O#K9<¡ "9:;< ^!_☺-4*! ?A C¤ # -9-4V 5jj?8 .x2B☺! Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.’ (Q.S. Al-Baqarah:223) Dalam hukum Islam tindakan penyimpangan seksual seperti bestiality tidak dibahas secara khusus dan terperinci, akan tetapi walaupun tindakan penyimpangan tersebut tidak dibahas secara terperinci, namun bukanlah berarti pelakunya tidak dikenai hukuman atas perbuatannya. Karena bestiality tetap merupakan bentuk penyimpangan seksual yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt dalam Al-Quran. Sebagaimana firman Allah swt: ;< ffB! '.,;c A⌧r +0 O#CL-4%Z "#CL4%%> Mev<g XNI$ vOy f M ^!_%= I! %,L O#A¥Y ¡¦4 yI! f M "# 5W?8 TtA$%Z Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dalam hukum Islam, hubungan seksual adalah kebutuhan yang mutlak bagi suami-isteri yang normal. Namun demikian dalam hukum Islam banyak halhal yang harus diperhatikan baik dari segi etika maupun hukum agama. Perjalanan manusia memang selalu dirongrong oleh godaan hawa nafsu yang membawa manusia pada perbuatan menyimpang dari jalan yang benar. Firman Allah swt: M 1e§< |?@AOg I ©Cfª ¨fB! f ZQ n] _KO ⌦9⌧ z-« f M _z-« 5 T¡¦ Artinya: Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang. (Q.S. Yusuf:53) Bestiality dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan maksiat yang dapat dikenakan sanksi pidana ta’zir bagi pelakunya. Islam selalu memerintahkan umatnya agar menjauhi perbuatan yang menjijikan, dan perbuatan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Hubungan seksual yang diperintahkan oleh islam ialah hubungan seksual yang memiliki nilai ibadah yang berpahala (melalui lembaga pernikahan), halal, dan sebagai upaya pengembangbiakan (reproduksi) manusia agar terjadi kesinambungan generasi. Firman Allah swt: *+0 "# XN%%>X I! BC%,⌧% 12BO "9:>| O#K9< *+0 "# Z+0 "#%| ☯+| M q:@kyi! Bc 8Ni:: "` I! q%☺BO 5j8 A9#c Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"(Q.S. An-Nahl:72) Tuntunan Islam dalam mencegah penyimpangan seksual dengan binatang yang tentunya dapat merusak kesehatan manusia, ialah memberikan sanksi yang cukup berat terhadap pelaku penyimpangan seksual dengan binatang. Karena bestiality merupakan perbuatan maksiat, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai jarimah. Yang dapat diberi sanksi pidana ta’zir. Mayoritas ulama sepakat bahwa hukuman bagi pelaku bestiality ialah hukuman ta’zir Pernikahan adalah ketetapan hukum yang telah diperintahkan Allah kepada hambaNya, Karena hanya dengan pernikahanlah segala bentuk permasalahan penyimpangan seksual dapat dikendalikan. Dalam ajaran Islam selain untuk memenuhi kebutuhan biologis maka perkawinan dimaksudkan sebagai cara yang utama untuk mendapatkan keturunan dan menciptakan tali silaturahmi antar manusia. Itulah alasanya mengapa agama menetapkan ketentuan-ketentuan pernikahan yang sah agar kesakralan hubungan seks terjamin tanpa seenaknya melakukan penyimpangan seks dengan berbagai cara untuk memenuhi kenikmatan sesaat. Oleh karena itu, menurut hemat penulis perbuatan bestiality lebih berat hukumanya daripada perzinaan berdasarkan dua sisi, yaitu dari sisi tindak pidana dan dari sisi pengaruh dampak negatif yang ditimbulkan. Dari sisi tindak pidana, perbuatan bestiality merupakan penyimpangan seksual dan merusak ekosistem binatang serta menghilangkan keturunan bagi manusia. Sedangkan dari segi dampak negatifnya sangat berbahaya bagi kesehatan dan psikologis seseorang. Demikianlah Islam memandang perbuatan bestiality adalah perbuatan penyimpangan seksual yang dilakukan terhadap binatang yang berdampak buruk bagi perkembangan hidup di masyarakat. Oleh karena itu hukum Islam sudah menjelaskan secara tegas bahwa kehormatan manusia merupakan suatu hal yang prinsip dan mahkota yang harus dilindungi dan dipelihara dari bentuk penyimpangan seksual, ancaman maupun gangguan. Allah swt akan memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi setiap umat Islam yang menjaga pandangnya, dan menjaga kemaluannya ( Faraj). Sebagaimana firman Allah swt: 5W8 B☺! %⌧-4 *, "'X⌧J z1 "` 1syI! "` 1syI! 5j8 %Z 5?8 .F9W?A 8;4! 5+ CM⌧rf4 "` 1syI! "` 1syI! 58 4 n] 58 w9% "d>A9 "d>| !z- "'f "'~%☺c *q#-4 58 .x24 tA⌧ Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,(yaitu) orangorang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela. (QS. AlMu’minun: 1-6) Perkawinan merupakan solusi efektif untuk menghindarkan diri agar tidak melakukan penyimpangan seksual, karena dalam perkawinan hubungan seksual diatur sebagai hubungan yang sah dan benar yang menghargai harkat dan martabat serta aspek kehidupan manusia.84 Perkawinan merupakan satu-satunya jalan yang halal untuk memenuhi kebutuhan biologis, serta sesuai dengan lima pokok tujuan syari’at (al-Maqasidu as-Syari’ah al-Khamsa): 1. Memelihara Agama (hifzh al-din), 2. Memelihara Jiwa (hifzh al-nafs) 3. Memelihara Akal (hifzh al-‘aql) 4. Memelihara Keturunan/Kehormatan (hifzh al-nasl) 5. Memelihara Harta (hifzh al-mal) Ide hak asasi manusia muncul pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas masehi, pada awalnya ide ini muncul sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan. Masyarakat di zaman silam terdiri dari dua lapis besar: lapisan atas, minoritas yang mempunyai hak-hak, dan lapisan bawah , mayoritas yang mempunyai kewajiban. Dalam lapisan bawah mereka tidak mempunyai hak-hak, mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa atas diri mereka. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbulah gagasan adanya persamaan derajat antara lapisan bawah dengan lapisan atas. Maka muncullah ide persamaan , persaudaraan, dan kebebasan, yang ditonjolkan oleh Revolusi Perancis. Pada akhir abad kedelapan belas. Semua manusia adalah sama, tidak ada budak yang dimiliki, tetapi semua merdeka dan bersaudara. 84 Ayip Syafruddin, Islam dan Pendidikan Seks Anak, ( Solo: Pustaka Mantik, 1991), hal.79 HAM sebagai hak dasar manusia yang dalam perjalanan peranannya mengisyaratkan kebebasan yang didalamnya terdiri 3 kelompok hak, yaitu: 1. Hak kebebasan 2. Hak persamaan 3. Hak hidup Seks adalah salah satu fitrah manusia yang diberikan Allah kepada manusia, yang tidak seorang pun berhak menahan, bahkan melarang seseorang untuk melakukan hubungan seks. Begitu pula dengan kebebasan melakukan seksual dengan siapa atau dengan apapun melakukannya itu adalah merupakan hak asasi manusia. Akan tetapi kebebasan melakukan seksual yang diberikan Allah kepada makhluknya hanyalah kebebasan yang bersandar pada ketentuan Allah. Sebagaimana yang telah Nabi Muhammad saw sampaikan dalam khutbahnya dihadapan masyarakat pada peristiwa haji wada, beliau bersabda:”Darah dan hak milikmu merupakan hal yang amat suci sehingga kamu bertemu dengan Allah swt. Sebagaimana hari ini dan bulan ini adalah suci, ketahuilah bahwa setiap muslim adalah saudara, yang boleh diambil adalah apa yang diberikannya kepada kamu dengan sukarela.85 Pada dasarnya kebebasan melakukan bestiality ialah merupakan kebebasan individu yang tidak dapat dilarang oleh siapapun. Tetapi kehidupan 85 Harun Nasution dan Bachtiar Efendi, Hak Asasi Manusia dalam Islam,(Jakarta:Pustaka Firdaus,1987), cet. Ke-1,hal.65 adalah pemberian Allah swt, yang dalam perjalanan hidup manusia Allah swt selalu memberikan peringatan kepada manusia agar menjauhi perbuatan yang keji dan menjijikan seperti bestiality. Firman Allah swt. N ^!% N n] ^ "9:H-4u "9:.O UA% ^ vk⌧y O ^!rt*­N 81sIO ^!_4S X] ^ LBJK* ^ -4 s/0 "9Y%, ^ "`Dc "9:|A< +;< J⌧! ^!OA X] ^ ./iO %dL A%d .☯fB! ^!4= X] n] I! UA% e7¡y! "#©¯ O# M 8`%O 47 O#4% O 5WW8 Artinya: Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatanperbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (Al-An’am: 151) Bestiality sebagai penyaluran seks secara illegal sebagai bentuk kebebasan HAM yang tidak diimbangi dengan KAM (kewajiban asasi manusia) tentu sangat tidak relevan dengan hukum Islam, ajaran Islam sendiri menjadikan kebebasan sebagai fitrah, yang diberikan Allah kepada manusia. Kebebasan dalam Islam, artinya kebebasan yang sesuai dengan koridor agama, bukan kebebasan yang menuju pada sikap radikal. Kebebasan yang seperti inilah yang dijunjung tinggi karena justru pada kebebasan itulah terletak perbedaan asasi antara manusia dengan makhluk yang lain. Islam menganjurkan manusia untuk mengatur dan mengontrol nafsunya dan mencari kepuasanya itu dalam perkawinan. Hak asasi manusia dalam Islam bersumber dari suatu kepercayaan bahwa Allah, dan hanya Allah, adalah pemberi hukum dan sumber dari seluruh hak asasi manusia.86 86 Harun Nasution, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), cet. Ke-1, hal.156 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyimpangan seksual adalah perilaku seksual seseorang yang dianggap menyimpang atau menyalahi aturan yang sudah ditentukan. Bestiality sebagai salah satu bentuk penyimpangan seksual, dimana para pelaku bestiality mencari kepuasan seksual dengan menjadikan binatang sebagai objek pemuasan seksualnya, dan perilaku ini dianggap menyimpang baik dari norma hukum, kaidah agama dan tata susila yang berlaku di masyarakat. Faktor penyebab penyimpangan seksual dengan binatang (bestiality) adalah lemahnya pengendalian diri, dalam hal ini iman dan intelegensi. Apabila keduanya tidaklah menjadi senjata ampuh bagi seseorang untuk mengontrol dan menguasai dirinya dari dorongan seks yang tidak terkontrol, maka dorongan seks tersebut dapat menguasai dirinya untuk melakukan penyimpangan seksual. Kondisi tersebut dapat juga disebabkan oleh: 1. Penderita didominasi oleh pikiran pola relasi seksual pada binatang 2. Refleksi ketakutan dan tidak ada kekuatan dalam melakukan pendekatan terhadap jenis kelamin lain 3. Hambatan dalam kemampuan bergaul dengan lingkungan sosial pada umumnya dan jenis kelamin lain pada khususnya Menikah adalah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks, bahkan Islam menganjurkan seseorang untuk menikah, bagi yang sudah mampu menikah, dan nafsunya telah mendesak. Pernikahan sangat dianjurkan oleh syariat Islam, karena pernikahan merupakan pencegahan kebutuhan seks pada jalan yang tidak di kehendaki oleh syariat Islam. Bestiality sebagai penyimpangan seks secara tidak sehat, mengakibatkan berbagai penyakit yang dapat menjangkiti para pelakunya. Boyke Dian Nugraha mengatakan bahwa hewan sangatlah rentan dengan kotoran, maka ketika seseorang melakukan hubungan seksual dengan binatang maka akan mudah terkena virus dan penyakit. Boyke menambahkan pelaku bestiality rentan terhadap penyakit kuning dan Hiv Aids. Para ulama telah sepakat tentang keharaman bersetubuh dengan binatang. Akan tetapi masih berbeda pendapat dalam menentukan hukuman bagi orang yang melakukannya. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa menyetubuhi binatang tidak di anggap sebagai zina, tetapi tetap merupakan maksiat yang dikenakan hukuman ta’zir. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali berpendapat: 1. Pendapat yang rajih (kuat) sama dengan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. 2. Pendapat yang kedua, perbuatan tersebut di anggap sebagai zina dan hukumanya adalah hukuman mati. Hukum Islam memandang bahwa bestiality merupakan penyaluran seksual yang abnormal, menjijikan, dan keluar dari koridor syariat Islam. Maka pelakunya dikenakan hukuman yang sesuai dengan syariat Islam, baik had maupun tazir karena bestiality merupakan jarimah (tindak pidana). HAM sebagai hak dasar manusia yang dalam perjalanan peranannya mengisyaratkan kebebasan (yang di dalamnya terdiri 3 kelompok hak, yaitu: 4. Hak Kebebasan 5. Hak Persamaan 6. Hak Hidup Bestiality sebagai penyaluran seks illegal sebagai bentuk kebebasan HAM(hak asasi manusia) yang tidak diimbangi dengan KAM (kewajiban asasi manusia) tentu sangatlah tidak relevan dengan hukum Islam, ajaran Islam sendiri menjadikan kebebasan sebagai fitrah, yang diberikan Allah kepada manusia. Kebebasan dalam Islam, artinya kebebasan yang sesuai dengan koridor agama, bukan kebebasan yang menuju pada sikap radikal. Kebebasan yang seperti inilah yang dijunjung tinggi karena justru pada kebebasan itulah terletak perbedaan asasi antara manusia dengan makhluk yang lain B. Saran Problematika seks memang tak henti-hentinya menjadi wacana publik. Karena seks bersifat biologis, naluriah, dan berlaku bagi semua orang. Frekuensi seks yang tinggi menyebabkan manusia melakukan penyimpangan seksual untuk memenuhi libido seksualnya. Jika diteliti dan ditelaah, banyak sekali permasalahan yang timbul dari dorongan seks yang tidak terkendali ini, diantaranya adalah perilaku homoseks, lesbian, bestiality, onani dan lain sebagainya. Hal ini merupakan fenomena yang timbul dan berkembang karena terompet-terompet iblis terus memanggilnya dalam pemuasan brutal dan lepas kontrol. Menurut penulis hanya keimanan dan intelegensi yang kuat yang dapat menyelamatkan kita, karena keduanya berfungsi sebagai pengendalian diri. Namun apabila iman dan intelegensi lemah maka dorongan seks bisa menguasai seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak wajar, termasuk penyimpangan seksual dengan binatang (bestiality). Menurut penulis tindak pidana penyimpangan seksual apapun bentuknya tidak akan dapat dimusnahkan kecuali dengan kesadaran masyarakat tentang bahaya dan pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh penyimpangan seksual tersebut. Pernikahan adalah solusi efektif untuk mencegah penyimpangan yang semakin merajalela di masyarakat. Dan penulis berharap adanya peraturan hukum yang dapat menimalisir segala cara yang dapat menjerumuskan masyarakat melakukan tindak pidana penyimpangan seksual. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab al-Umm, Beirut Libanon: Dar al-Qalam, Jilid 3-6.t.th. Abu Bakar, Sayyid, I’anatu Al-Thalibin, Semarang: Toha Putra, juz 4, t.th. Akbar, Ali, Seksualitas Ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke2,1982 Al-Asqolani,Ibnu Hajar, Buluq al-Maram, Surabaya: Nabhan, t.th. Al-Qaisy, Ibrahim Marwan, Dr., Seksual Dalam Islam, Bandung: Mujahid Press, 2004. As’ad, Kalali, Kamus Indonesia-Arab, Jakarta: Bulan Bintang, cet. ke-7,1997 Asrori, Ma’ruf, dan Zamroni, Anang, Bimbingan Seks Islami, Surabaya: Pustaka Anda, cet. ke-1,1997 Asy-Syaukani, Luthfi, Politik, HAM, Dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, Bandung: Pustaka Hidayah, cet. Ke-1, 1989 ----------------, Ali, Ibnu, Muhammad, Nail al-Authar, Damasakus: Daar al-Fikr, juz 7,t.th. Audah, Abdul Qodir, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islami, Beirut: Daar Al-Fikr, t.th. Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Daar Al-Fikr, juz 4,1984 Bukhori, Muhammad, Hubungan Seks Menurut Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 ------------------------- , Islam dan Adab Seksual, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi, Terjemahan Kartini Kartono, Jakarta: Grafindo Persada, cet. Ke-9,2004 Fokpal, Asmawi, Lika-Liku Seks Menyimpang, Yogyakarta: Darussalam, 2005 Ghozali, Abdul Muqsit, dkk, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan, Yogyakarta: LKIS, cet. Ke-1, 2002 Hanafi, Ahmad, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-3, 2003 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Imam Abi al-Fida’i Ismail Ibnu Katsir, Ibnu Katsir, Beirut: Dar al-Filur, Juz III,1986 Kartono, Kartini, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar Maju, 1989 -------------------, Psikologi Wanita: Wanita Sebagai Ibu dan Nenek, Bandung: Alumni, Jilid II,1997 Madan, Yusuf, Sex Education For Children : Panduan Islam Bagi Orang Tua Dalam Pendididkan Seks Pada Anak, tert. Ija Suntana, Jakarta: Hikmah, cet. Ke-1, 2004 Muhammad, Abu Bakar, Terjemahan Subul al-Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, cet. Ke-1, 1995 Muslih, Wardi, Ahmad, H, Drs, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Nasution, Harun, Hak Azasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cet. Ke-1, 1987 Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-1, 1995 Sa’bah, Umar, Marzuki, Seks dan Kita, Jakarta: Gema Insani, cet. Ke-1, 1997 Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Maarif, cet. Ke-1, t.th. Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asysymiel, cet. Ke-1, 2002 Sayid, Abu Bakar, I’anah at-Thalibin, Semarang: Toha Putra, Juz 4,t.th. Soekanto, Soejono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Syafrudin Ayip, Islam Dan Pendidikan Seks Anak, Solo: Pustaka Mantiq, cet. ke1,1991 Tebba, Sudirman, Tafsir Al-Quran: Ayat-Ayat Seks, Jakarta: Pustaka Irvan, 2006 Umar, Hasan, Muhammad Ali, Kejahatan Seks dan Kehamilan diluar Nikah dalam Pandangan Hukum Islam, Semarang: Panca Agung, cet. Ke-1, 1990 Yanggo, T, Chuzaimah, H, DR., Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ke-3, 2002 Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiah, Jakarta: Haji Mas Agung, 1998