UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI AIR DAUN

advertisement
1
PENDAHULUAN
Tanaman gambir merupakan tanaman
perdu dari famili Rubiaceae (kopi-kopian)
yang memiliki nilai ekonomi tinggi
karenamengandung asam kateku tannat
(tanin), katekin, pirokatekol, florisin, lilin,
dan fixed oil. Tanaman ini telah banyak
digunakan
sebagai
obat
tradisional,
diantaranya untuk obat luka bakar, obat diare
dan disentri serta obat kumur-kumur pada
sakit kerongkongan (Nazir 2000).
Berbagai potensi gambir telah banyak
diteliti, diantaranya sebagai anti nematode
(Bursapeleucus xyphylus) dari ekstrak gambir
(Alen et al. 2004), bahan infus untuk
penyembuhan terhadap gangguan pada
pembuluh darah (Sukati & Kusharyono 2004),
dan obat tukak lambung (Tika et al. 2004).
Penelitian telah dilakukan sehubungan dengan
kemampuan ekstrak gambir sebagai anti
mikroba (Rahayuningsih et al. 2004), anti
bakteri (Lisawati 2004), serta sebagai bahan
toksisitas terhadap organ ginjal, hati dan
jantung (Armenia et al. 2004).
Potensi antibakteri yang dimiliki tanaman
gambir mendorong penelitian aktivitas
antibakterinya. Berbagai metode untuk
mengukur nilai konsentrasi hambat minimum
(KHTM) telah digunakan, seperti difusi agar
dan dilusi (pengenceran) secara berseri.
Metode difusi agar telah digunakan sejak lama
untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak
tanaman. Teknik difusi agar bekerja baik
dengan inhibitor tertentu, tetapi akan
menimbulkan masalah ketika menentukan
ekstrak yang mengandung komponen yang
tidak diketahui. Dampak antimikroba dapat
dihambat atau ditingkatkan oleh kontaminan.
Jenis agar, konsentrasi garam, suhu inkubasi,
dan ukuran molekul senyawa antibakteri dapat
mempengaruhi hasil yang diperoleh dengan
teknik difusi agar. Teknik ini juga
membutuhkan waktu yang lama dan bahan
materi yang cukup banyak (Ellof 1998).
Keterbatasan-keterbatasan tersebut menjadi
alasan untuk mencari metode lain yang lebih
baik dan ekonomis.
Metode yang dapat dijadikan alternatif
untuk menentukan konsentrasi hambat
tumbuh minimum ekstrak tanaman adalah
metode dilusi yang mencakup makrodilusi
dan mikrodilusi. Metode mikrodilusi sedang
dikembangkan karena memiliki sensitivitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik
difusi agar. Menurut Ellof (1998), sensitivitas
mikrodilusi inimencapai 30 kali lebih sensitif.
Teknik mikrodilusi dapat digunakan untuk
beberapa sampel yang berbeda dengan jumlah
sampel yang sedikit. Hal ini sangat berguna
jika jumlah senyawa antibakteri yang
didapatkan sedikit dan terbatas. Teknik
mikrodilusi juga dapat membedakan antara
efek bakteriostatik dan bakterisidal serta dapat
menentukan nilai konsentrasi hambat tumbuh
minimum (KHTM) (Langfield et al. 2004).
Mikrodilusi tidak membutuhkan waktu
yang lama karena pengujian dilakukan dalam
waktu satu kali pada satu microplate dengan
jumlah
sumur
yang
banyak.Metode
mikrodilusi ini dapat digunakan untuk
berbagai macam mikroorganisme, murah, dan
menghasilkan hasil dapat diulang.Mikrodilusi
menggunakan sampel yang diencerkan secara
berseri. Volume kultur bakteri yang
dimasukkan ke dalam sumur seragam. Ukuran
inokulum yang biasa digunakan yaitu 106
sampai 108 CFU/mL. Kultur bakteri yang
digunakan memiliki optical density 0.4 pada
620 nm atau kultur yang telah distandardisasi
dengan larutan standar McFarland 0.5 (Baris
et al. 2006). Larutan McFarland 0.5 adalah
larutan standar yang terdiri dari barium
klorida dan asam sulfat. Volume dan ukuran
sel sama untuk semua perlakuan, maka
pengaruh konsentrasi sampel yang berbedabeda dalam menghambat pertumbuhan bakteri
uji dapat diamati.
Penelitian ini bertujuan menentukan
konsentrasi hambat tumbuh minimum fraksi
air daun gambir (Uncaria gambir Roxb)
dengan metode mikrodilusi berdasarkan
kekeruhan, serta mengidentifikasi senyawa
yang terkandung di dalamnya dengan
Pyrolysis Gas Chromatography and Mass
Spectrometry (Py GC-MS). Hipotesis yang
diajukan adalahkonsentrasi hambat tumbuh
minimum fraksi air daun gambir dapat
ditentukan dengan metode mikrodilusi. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi
ilmiah
mengenai
metode
mikrodilusi sebagai metode alternatif yang
memberikan banyak keuntungan untuk
menguji aktivitas suatu senyawa antibakteri
yang berasal dari suatu jaringan.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambir
Gambir (Uncaria gambir Roxb) termasuk
tanaman dalam famili Rubiaceae (kopikopian). Taksonomi tanaman gambir yaitu
kingdom Plantae, divisi Angiospermae, sub
divisi Eudicots, kelas Asterid, ordo
Gentianales, familia Rubiaceae, genus
2
Uncaria, dan spesies Uncaria gambir Roxb
(Dhalimi 2006).
Tanaman gambir memiliki batang tegak,
bulat, percabangan simpodial, warna cokelat
pucat. Daunnya tunggal, berhadapan, bentuk
lonjong, tepi bergerigi, pangkal bulat, ujung
meruncing, dan berwarna hijau (Gambar 1).
Bunganya merupakan bunga majemuk,
memiliki mahkota sebanyak 5 helai yang
berbentuk lonjong, terletak di ketiak daun,
warna ungu, buah berbentuk bulat telur,
panjang lebih kurang 1.5 cm, warna hitam
(Soedibyo 1998).
Komponen utama tanaman gambir yaitu
katekin dan asam kateku tannat (Hayani
2003). Menurut Amos et al. (2004), katekin
termasuk ke dalam struktur flavonoid, tidak
berwarna, dan dalam keadaan murni sedikit
tidak larut dalam air dingin tetapi sangat larut
dalam air panas, larut dalam alkohol dan etil
asetat. Komposisi kimia ekstrak gambir
adalah katekin 7-33%, asam kateku tannat 2055%, pirokatekol 20-30%, gambir fluorensi 13%, kateku merah3-5%, kuersetin 2-4%, fixed
oil 1-2%, lilin, dan sedikit alkaloid (Nazir
2000). Katekin dan asam kutekutannat
merupakan komponen yang memiliki potensi
sebagai zat antibakteri. Tanaman gambir
berguna untuk zat pewarna dalam industri
batik, industri penyamak kulit, ramuan makan
sirih sebagai obat, dan digunakan pula sebagai
bahan baku pembuatan permen dalam acara
adat di India serta sebagai penjernih pada
industri air (Susilobroto 2000).
Potensi tanaman gambir sebagai senyawa
antibakteri
membuat
gambir
banyak
digunakan sebagai obat, diantaranya sebagai
obat tukak lambung (Tika et al. 2004) dan
sebagai bahan baku obat sakit perut dan sakit
gigi (Nazir 2000). Penelitian yang dilakukan
oleh Idris (1997) membuktikan bahwa
patogen
Fusarium
sp
sebagai
penyebabpenyakit bercak daun tanaman
klausena
dapat
dikendalikan
dengan
menggunakan pestisida nabati yang berasal
dari ekstrak daun gambir.
Gambar 1 Tanaman Gambir.
Gambir juga banyak manfaatnya untuk
dunia
farmasi,
diantaranya
sebagai
perangsang
sistem
syaraf
otonom
(Kusharyono 2004), bahan anti feedan
terhadap hama Spodoptera litura Fab.
(Handayani et al. 2004). Senyawa yang
terkandung di dalam tanaman gambir
kebanyakan adalah senyawa flavonoid dan
senyawa fenolik lainnya. Flavonoid adalah
suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang
ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini
merupakan zat warna merah, ungu dan biru,
dan sebagian zat warna kuning yang
ditemukan dalam tumbuhan. Flavonoid
memiliki kerangka dasar karbon yang terdiri
atas 15 atom karbon, di mana dua cincin
benzen (C6) terikat pada suatu rantai propan
(C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6
(Lenny 2006).
Flavonoid merupakan senyawa metabolit
sekunder yang terdapat pada tanaman hijau,
kecuali alga. Flavonoid yang banyak
ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi
adalah flavon, flavonol, isoflavon, flavanon,
kalkon dan dihidrokhalkon, proantosianidin
dan
antosianin,
serta
auron
dan
dihidroflavonol.
Flavon, flavonol, dan antosianidin adalah
jenis yang banyak ditemukan di alam
sehingga sering disebut sebagai flavonoid
utama. Banyaknya senyawa flavonoid ini
disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi,
alkoksilasi atau glikosilasi dari struktur utama
(Lenny 2006). Flavonoid berfungsi sebagai
antibakteri dengan cara membentuk senyawa
kompleks terhadap protein ekstraseluler yang
mengganggu integritas membran sel bakteri
(Cowan 1999).
Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat
mengganggu pertumbuhan atau bahkan
mematikan bakteri dengan cara mengganggu
metabolisme mikroba yang merugikan.
Antibakteri hanya dapat digunakan jika
mempunyai sifat toksik selektif, artinya dapat
membunuh bakteri yang menyebabkan
penyakit
tetapi
tidak
beracun
bagi
penderitanya. Faktor-faktor yang berpengaruh
pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, suhu
stabilitas senyawa, jumlah bakteri yang ada,
lamanya inkubasi, dan aktivitas metabolisme
bakteri.
Antibakteri dapat dibedakan berdasarkan
mekanisme kerjanya, yaitu antibakteri yang
menghambat pertumbuhan dinding sel,
antibakteri yang mengakibatkan perubahan
permeabilitas membran sel atau menghambat
3
pengangkutan aktif melalui membran sel,
antibakteri yang menghambat sintesis protein,
dan antibakteri yang menghambat sintesis
asam nukleat sel. Aktivitas antibakteri dibagi
menjadi
2
macam
yaitu
aktivitas
bakteriostatik (menghambat pertumbuhan
tetapi tidak membunuh patogen) dan aktivitas
bakterisidal (dapat membunuh patogen dalam
kisaran luas). Pengendalian mikroorganisme
khususnya bakteri, dapat dilakukan secara
kimia seperti pemberian antibiotik dan zat-zat
kimia lainnya, ataupun pengendalian secara
fisik seperti pemberian panas, pendinginan,
radiasi, dan pengeringan (Brooks et al. 2001).
Metode Pengujian Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan
dengan
metode
difusi
dan
metode
pengenceran (dilusi). Disc diffusion test atau
uji difusi cakram dilakukan dengan mengukur
diameter zona bening (clear zone) yang
merupakan
petunjuk
adanya
respon
penghambatan pertumbuhan bakteri oleh
suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak.
Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan
(sensitivitas)
yaitu
105-108
CFU/mL
(Hermawan et al. 2007).
Metode difusi merupakan salah satu
metode yang sering digunakan. Metode difusi
dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode
silinder, metode lubang (sumuran) dan metode
cakram kertas. Metode lubang (sumuran)
yaitu membuat lubang pada agar padat yang
telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan
letak lubang disesuaikan dengan tujuan
penelitian, kemudian lubang diinjeksikan
dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah
dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri
diamati untuk melihat ada tidaknya daerah
hambatan di sekeliling lubang (Kusmayati &
Agustini 2007). Prinsip metode pengenceran
adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga
diperoleh beberapa macam konsentrasi,
kemudian
masing-masing
konsentrasi
ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media
cair. Perlakuan tersebut akan diinkubasi pada
suhu 37ºC selama 18-24 jam dan diamati ada
atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang
ditandai dengan terjadinya kekeruhan. Larutan
uji senyawa antibakteri pada kadar terkecil
yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan
bakteri uji, ditetapkan sebagai Kadar Hambat
Tumbuh Minimum (KHTM) atau Minimal
Inhibitory Concentration (MIC). Selanjutnya
biakan dari semua tabung yang jernih
diinokulasikan pada media agar padat,
diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 18-24
jam, lalu diamati ada atau tidaknya koloni
bakteri yang tumbuh. Media cair yang tetap
terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan
sebagai Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau
Minimal Bactericidal Concentration (MBC)
(Pratiwi 2008).
Metode Mikrodilusi
Metode mikrodilusi saat ini sedang
dikembangkan karena metode difusi agar
yang sering digunakan memiliki keterbatasan.
Metode
mikrodilusi
memungkinkan
penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh
Minimum (KHTM) dari beberapa macam
sampel dan sampel yang dibutuhkan dalam
jumlah sedikit.Hal ini penting jika senyawa
antimikrob yang ingin diuji jumlahnya
terbatas, seperti yang terjadi pada banyak
bahan alam. Metode ini juga dapat digunakan
untuk mikroorganisme yang beragam, tidak
mahal, dan menghasilkan hasil yang dapat
diulang (Ellof 1998). Selain itu, dengan
menggunakan metode mikrodilusi, dapat
dibedakan antara efek bakteriostatik dan
bakterisidal, serta dapat menentukan nilai
KHTM secara kuantitatif (Langfield et al.
2004). Mikrodilusi lebih sensitif dibandingkan
dengan metode lain. Pengerjaan teknisnya
tidak membutuhkan keahlian yang tinggi dan
hemat waktu.
Metode
mikrodilusi
menggunakan
microplate sebagai instrumennya. Setiap
sumur pada microplate diisi oleh media
pertumbuhan, ekstrak yang ingin diuji
aktivitasnya, dan kultur bakteri.Jumlah
kulturbakteri yang digunakan pada metode
mikrodilusi biasanya 1x106CFU/mL (Basri &
Fan 2005). Beberapa peneliti menggunakan
kultur bakteri yang memiliki optical density
0.4 (fase log) pada panjang gelombang 620
nm atau kultur cair yang telah distandardisasi
dengan larutan standar kekeruhan McFarland
0.5 (Baris et al. 2006). Larutan McFarland
dibuat dari campuran barium klorida dan asam
sulfat sehingga menghasilkan larutan yang
keruh. Kultur cair bakteri disamakan
absorbannya dengan absorban McFarland 0.5
(antara 0.08 sampai 0.1) sehingga dihasilkan
bakteri dengan jumlah 1.5 x 108CFU/mL.
.Beberapa teknik
digunakan dalam
pengamatan pertumbuhan bakteri pada
metode mikrodilusi, yaitu menggunakan
larutan indikator, pengamatan kekeruhan, atau
dengan pembacaan absorban menggunakan
plate reader. Beberapa peneliti menggunakan
larutan pewarna indikator (Ellof 1998) atau
spektrofotometri
untuk
menentukan
4
keberadaan pertumbuhan di microplate
(Devienne & Raddi 2002). Penggunaan
indikator
kolorimetrik
menghilangkan
kebutuhan untuk plate reader dan mencegah
keambiguan dengan pengamatan visual.
Larutan indikator yang digunakan diantaranya
adalah garam tetrazolium (Ellof 1998) dan
diasetat fluorescein (Chand 1994). Namun,
berdasarkan penelitian Kreander et al. (2005),
larutan tersebut tidak sesuai sehingga
mendorong pada pengendapan atau fluoresens
non-spesifik.
Beberapa penelitian menggunakan larutan
indikator pada metode mikrodilusi. Mothana
et al. (2010) meneliti aktivitas antimikroba
minyak atsiri dari
kulit kayu tanaman
Commiphora ornifolia dengan metode
mikrodilusi dengan menggunakan larutan
indikator
p-iodonitro-tetrazolium
violet.
Perubahan warna kuning menjadi merah muda
mengindikasikan reduksi larutan akibat
pertumbuhan bakteri. Rakotoniriana et al.
(2009) menguji aktivitas antibakteri 23
tanaman endemik di Madagaskar dengan
metode mikrodilusi dengan menggunakan
larutan indikator methylthiazoyltetrazolium
chloride (MTT). Konsentrasi hambat tumbuh
minimum ekstrak tanaman-tanaman tersebut
adalah konsentrasi terkecil yang tidak
menunjukkan adanya perubahan warna MTT.
Kelemahan penggunaan larutan indikator
dalam mikrodilusi membuat Kreander et al.
(2005) menemukan pengukuran absorbansi
sederhana suspensi bakteri untuk menjadi
pengukuran pertumbuhan yang terpercaya dan
reproducible, yaitu metode mikrodilusi
berdasarkan kekeruhan. Kekeruhan dijadikan
sebagai indikator ada atau tidaknya
pertumbuhan bakteri. Konsentrasi terkecil
yang menunjukkan kejernihan ditetapkan
sebagai konsentrasi hambat tumbuh minimum
ekstrak.Beberapa penelitian menggunakan
metode mikrodilusi ini. Zaenab et al. (2004)
menguji
aktivitas
antibakteri
siwak
(Salvadora persica Linn.) terhadap bakteri
Streptococcus mutans dan Bacteroides
melaninogenicus dengan melihat kekeruhan
yang terjadi. Basri &Fan (2005) menentukan
nilai KHTM ekstrak air dan ekstrak aseton
tanaman
quercus
infectoria
dengan
mengamati kekeruhan pada microplate setelah
diinkubasi selama satu malam.Teknik ini juga
digunakan oleh Darwish dan Aburjai (2010)
untuk menentukan konsentrasi hambat
tumbuh minimum ekstrak tanaman terhadap
Escherichia coli.
Teknik mikrodilusi dengan pembacaan
spektrofotometer menggunakan absorban
pada panjang gelombang 620 nm. Konsentrasi
yang menunjukkan penurunan nilai absorban
yang tajam (Devienne & Raddi 2002) atau
konsentrasi terendah yang menunjukkan nilai
absorban nol dianggap sebagai KHTM (Salie
et al. 1996). Beberapa penelitianmenggunakan
metode ini. Yogisha S&Koteshwara AR
(2009) melakukan metode mikrodilusi
berdasarkan metode turbidimetri, yaitu
pengukuran
absorban
pada
panjang
gelombang 620 nm dengan plate reader.
Pengujian aktivitas antibakteri kitosan
terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang
dilakukan oleh Tin et al. (2010) menggunakan
panjang gelombang 600 nm untuk pengukuran
absorban, sama halnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh Tadtong et al. (2009)
mengenai pengujian aktivitas minyak atsiri
dari tanaman Etlingera punicea (Roxb.) yang
juga menggunakan panjang gelombang 600
nm.
Kromatografi Gas-Spektrometri Massa
(GC-MS)
Kromatografi adalah metode pemisahan
secara fisiko-kimia senyawa yang terkandung
di dalam suatu larutan, cair maupun gas.
Kromatografi memisahkan sebuah sampel
menjadi beberapa fraksi dan mengukurnya
atau
mengidentifikasi
fraksi
tersebut.
Komponen
yang
akan
dipisahkan
didistribusikan di antara dua fase yang tidak
bercampur. Salah satu komponen penting
dalam kromatografi adalah fase diam, yang
bisa berbentuk padatan atau cairan. Fase diam
ditarik ke sebuah bahan pendukung yang
inert. Sampel yang biasanya berbentuk uap
atau terlarut dalam pelarut, digerakkan
melalui fase diam dengan didorong oleh
sebuah cairan atau gas, yang disebut sebagai
fase gerak. Saat fase gerak bergerak melewati
fase tetap, komponen sampel mengalami
sejumlah pertukaran (partisi) di antara dua
fase. Hal yang dimanfaatkan dalam
kromatografi adalah perbedaan dalam sifat
kimia dan fisik dari komponen sampel.
Perbedaan ini menyebabkan perpindahan
(migrasi) setiap komponen. Ketika sampel
telah muncul dari corong kromatograf, hal itu
dinamakan terelusi(Patnaik 2004).
Jika fase diam terdapat di dalam kolom
disebut kromatografi kolom. Fase diam
juga dapat menggunakan kertas penyaring.Ini
disebut kromatografi planar yang meliputi
kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas,
dan elektroforesis. Kromatografi kolom dibagi
menjadi kromatografi gas dan kromatografi
5
cair berdasarkan bentuk fisik fase gerak yang
digunakan (Patnaik 2004).
Sejak tahun 1952, kromatografi gas
berkembang sangat pesat. Senyawa apapun,
organik maupun anorganik, yang dapat
mendapat tekanan uap sebesar 60 torr (suhu
kolom dapat meningkat sampai 350°C) dapat
dielusi dari kolom kromatografi gas.
Keterbatasan kromatografi gas adalah sampel
atau derivatifnya harus volatil pada suhu
kolom yang terprogram. Komponen dasar
sebuah kromatografi gas adalah gas pembawa
dengan regulator tekanan dan pengontrol
aliran, katup dan splitter, kolom pemisah,
detektor, oven dengan suhu yang diatur, dan
perekam data. Spektrofotometer massa
memiliki komponen-komponen, yaitu sistem
masuknya sampel, sumber ion, sistem
akselarasi ion, penganalisis massa, sistem
pengumpulan-ion
(biasanya
detektor
pengganda elektron), sistem data, dan sistem
vakum. Tekanan pada spektrofotometer harus
kurang dari 10-6 torr untuk menghindari
tabrakan ion pada jalannya (Patnaik 2004).
Instrumen GC-MS merupakan gabungan
antara kromatografi gas dan spektrometri
massa. Kromatografi gas dapat memisahkan
senyawa volatil dan semi volatil dengan
resolusi yang baik, tetapi tidak dapat
mengidentifikasi senyawa-senyawa tersebut.
Spektroskopi massa dapat menyediakan
informasi struktur detail sebagian besar
senyawa, tetapi tidak dapat memisahkan
senyawa tersebut. Oleh karena itu, kombinasi
antara kedua teknik tersebut disarankan
(Jeffery et al. 1989).
Ada tiga syarat untuk GC-MS, yaitu:
volume gas dari kromatografi gas harus
dikurangi sehingga sesuai dengan katup
spektrofotometer massa dan juga konsentrasi
analit dikurangi, spektrum analit
harus
diperoleh dalam watu yang cepat, serta sistem
data harus mampu mengatasi volume data
yang dihasilkan oleh scanning cepat
spektrofotometer
massa.
Penghubung
langsung dengan kolom tabung terbuka adalah
ujung yang dipanjangkan dari kromatografi
gas ke sumber ion pada spektrometr
massa.Aliran kromatografi gas cukup lambat
dan pompa vakumnya cukup tinggi sehingga
vakum
yang
dibutuhkan
oleh
spektrofotometer massa dapat dijaga tanpa
penghubung
apapun.
Kerugian
yang
didapatkan dari GC-MS adalah semua
buangan kolom tersimpan di sumber ion
spektrofotometer
massa
sehingga
terkontaminasi lebih cepat. Selain itu, kolom
GC tidak bisa diubah tanpa menghentikan MS
karena tidak ada cara untuk memisahkan satu
dengan yang lain. Penghubung split terbuka
membuat jarak antara kolom GC dan katup
MS yang dijaga pada tekanan atmosfer
dengan menggunakan sumber gas sekunder
dan vakum pemisah. Jumlah gas murni dapat
dikontrol untuk mematikan kolom tanpa
mematikan MS. Selain itu, komponen sampel
yang tidak dinginkan dapat dihilangkan
sebelum memasuki MS (Patnaik 2004).
Salah satu bentuk GC-MS adalah GC-MS
pirolisis. GC-MS pirolisis adalah sebuah
teknik untuk mempirolisis sampel yang nonvolatil di bawah kondisi yang diatur, biasanya
tanpa oksigen dan dekomposisi produk
dipisahkan di dalam kolom kromatografi gas.
Kromatogram yang dihasilkan (pirogram)
digunakan untuk analisis kuantitatif dan
kualitatif sampel. GC-MS pirolisis telah
banyak digunakan untuk banyak macam
sampel, tetapi kegunaan utamanya adalah
untuk analisis polimer untuk investigasi
polimer alami ataupun polimer sintetik
(Jeffery et al. 1989).
Bakteri Uji
Staphylococcus aureus
Staphylococcus berasal dari kata staphyle
yang berarti kelompok buah anggur dan kokus
yang berarti benih bulat. Staphylococcus
aureus berbentuk bola dengan diameter 1 µm
yang tersusun dalam bentuk kluster yang tidak
teratur. Stafilokokus bersifat nonmotil dan
tidak membentuk spora. Staphylococcus
aureus dapat menyebabkan pneumonia,
meningitis, empiema, endokarditis atau sepsis
dengan supurasi di tiap organ (Jawetz et al.
2001).
Bakteri S. aureus berbentuk seperti untaian
buah anggur yang bulat sferis. Pada lempeng
agar, koloninya berbentuk bulat, diameter 1-2
mm, cembung, buram, mengkilat dan
konsistensinya lunak. Warna khasnya adalah
kuning keemasan, hanya saja intensitas
warnanya dapat bervariasi (Todar 2004).
Bakteri S. aureus tidak bergerak, tidak
berspora, dan merupakan bakteri Gram
positif. Terkadang pada bakteri yang telah
difagositosis dan pada biakan tua yang hampir
mati dapat ditemukan bakteri Gram negatif
pada bagian tengah gerombolan bakteri.
Klasifikasi S. aureus menurut Bergey
dalam Brooks et al. (2001) adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Prokariota
Divisi
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
6
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Bacillales
: Staphylococcaceae
: Staphylococcus
: Staphylococcus aureus
Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri gram
negatif yang termasuk dalam famili
Enterobacteriaceae, bakteri ini merupakan
flora normal yang terdapat dalam usus dan
merupakan kelompok besar yang berbentuk
batang, bersifat anaerob fakultatif dan habitat
alaminya adalah saluran usus manusia dan
hewan Morfologinya berupa koloni yang
bundar, cembung, tipis dengan tepi yang nyata
(Jawetz et al. 2001).
Klasifikasi E. coli menurut Brookset al.
(2001) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Procaryota
Divisi
: Gracilicutes
Kelas
: Scotobacteria
Ordo
: Eubacteriales
Famili
: Entobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Spesies
: Escherichia coli
E. coli dapat menyebabkan berbagai
penyakit, seperti infeksi saluran kemih (ISK)
dan diare. Beberapa strain E. coli
menyebabkan diare yaitu Enterophatogenic E.
coli (EPEC), Enterotoxigenic E. coli (ETEC)
merupakan
penyebab
penyakit
diare.
Enterohemoragic
E.
coli
(EHEC)
dihubungkan dengan hemoragic colitis,
Enteroinvasive E. coli (EIEC) menyebabkan
penyakit
mirip
shigellosis
sedangkan
Enteroagregative
E.
coli
(EAEC)
menyebabkan diare yang akut dan kronis
(Brooks et al. 2001).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada
penelitian ini terdiri atas bahan untuk
ekstraksi daun gambir dan bahan untuk uji
aktivitas antibakteri. Bahan-bahan untuk
ekstraksi daun gambir terdiri atas daun
gambir, metanol, akuades, n-heksana, dan
kloroform. Bahan-bahan untuk penentuan
(uji) aktivitas antibakteri terdiri atas fraksiair
daun gambir, kultur cair bakteri uji (E.coli
dan S. aureus), alkohol 70%, spirtus, media
pertumbuhan bakteriNutrient Agar (NA) dan
Nutrient Broth(NB) steril, larutan BaCl2 1 %,
dan larutan H2SO4 1%.
Alat-alat yang digunakan terdiri atas
peralatan untuk ekstraksi daun gambir dan uji
aktivitas antibakteri. Alat yang digunakan
untuk ekstraksi daun gambir di antaranya
gelas piala, blender, rotary evaporator, oven,
pengaduk bergoyang, vakum, penangas air,
corong pisah, neraca analitik, dan kertas
saring. Alat-alat yang digunakan untuk uji
antibakteri di antaranya tabung reaksi, lampu
spiritus, labu Erlenmeyer, autoklaf, oven,
pipet mikro 10 dan 1000 μL, tips steril,
inkubator, vorteks, kuvet, spektrofotometer
dan cawan mikro 96 sumur.
Metode
Persiapan Sampel (Harborne 1987)
Daun gambir yang digunakan diperoleh
dari kebun gambir di Payakumbuh, Sumatera
Barat. Daun yang dipilih adalah daun yang
sudah tua (siap panen). Sebelum digunakan
daun
dikeringkan
selama
seminggu,
pengeringan dilakukan sekitar jam 8-11 pagi.
Kemudian daun dioven pada suhu 50°C
sampai kadar air kurang dari 10% dan
dilakukan penggilingan dengan blender lalu
serbuk disaring sehingga diperoleh serbuk
berukuran 80 mesh.
Ekstraksi Daun Gambir (Modifikasi
Markham 1982 dan Sukadana 2010)
Ekstraksi daun gambir dilakukan dengan
metode maserasi bertingkat, yaitu modifikasi
dari metode Markham (1982). Selanjutnya
dilakukan fraksinasi dengan menggunakan
metode modifikasi Sukadana (2010). Serbuk
daun gambir dimaserasi dengan 200 mL
larutan metanol:air (9:1) selama 3 kali.
Setelah itu dilakukan penyaringan. Residunya
dimaserasi kembali dengan 200 mL
metanol:air (1:1) selama tiga kali. Maserasi
dilakukan selama 24 jam disertai dengan
pengadukan yang teratur pada 200 rpm.
Seluruh filtrat yang diperoleh dipekatkan
dengan rotary evaporator. Selanjutnya
ekstrak dilarutkan dengan campuran metanolair (1:1), kemudian dipartisi dengan heksana
250 mL menghasilkan fraksi kental n-heksana
dan fraksi metanol-air. Fraksi metanol-air
diuapkan kandungan metanolnya sehingga
diperoleh fraksi air. Fraksi air kemudian
dipartisi dengan 250 mL kloroform dan
dihasilkan fraksi kental kloroform dan air.
Pembuatan Media Nutrient Agar (NA)
Media NA dibuat dengan konsentrasi 2%.
Sebanyak 2 gram media NA dilarutkan dalam
100 mL akuades. Kemudian diaduk dengan
Download