BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ganyong ( Canna

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Ganyong (Canna edulis)
Ganyong adalah tanaman yang cukup potensial sebagai sumber
karbohidrat dan termasuk jenis tanaman umbi-umbian minor. Hasilnya
selain dapat digunakan untuk penganekaragaman menu rakyat, juga
mempunyai aspek yang penting sebagai bahan dasar industri. Ganyong
(Canna edulis Kerr) telah tersebar dari Sabang sampai Merauke terutama
di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Ganyong ditanam sebagai
tanaman sela bersama jagung sesudah panen padi (Rukmana, 2000).
Ganyong (Canna edulis) berasal dari Amerika Selatan, yang
dibawa oleh bangsa Portugis ke beberapa wilayah dan saat ini telah
tersebar di Asia, Australia, dan Afrika. Nama lokal ganyong antara lain
laos jambe, lumbong, nyindro, senitra, laos mekah, buah tasbeh, midro
(Jawa) dan ubi pikul (Sumatera), banyar dan manyor (Madura). Ciri-ciri
ganyong merah dan ganyong putih yang berada di Indonesia mempunyai
kemiripan dengan ganyong yang berada di wilayah Amerika Selatan
(Suhartini dan Hadiatmi, 2010).
Fungsinya sebagai sumber pati komersial membuat ganyong telah
dibudidayakan tidak hanya di Amerika, tapi juga di beberapa daerah
tropis termasuk Asia Tenggara. Tanaman ganyong telah dibudidayakan
di berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa Tengah, Jawa Timur,
Yogyakarta, Jambi, Lampung dan Jawa Barat. Pada umumnya para
petani
yang
telah
membudidayakan
tanaman
ganyong
tersebut
melakukan penyiangan tetapi belum melaksanakan pemberantasan
hama/penyakit (Ashary, 2010).
Ganyong dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu ganyong merah dan
ganyong putih. Ganyong merah memiliki warna daun hijau kemerahan,
pinggiran daun ungu kemerahan, tangkai daun dan pelepah daun merah
hingga ungu, warna bunga merah, sisik umbi kecoklatan hingga ungu).
Sedangkan, ganyong putih memiliki warna sisik umbi kecoklatan, warna
daun hijau terang, tangkai dan pelepah daun hijau, dan warna bunga ada
dua macam, yaitu kuning dan orange. Kedua jenis ganyong tersebut
memiliki beberapa perbedaan karakter, antara lain tanaman ganyong
merah lebih tinggi, daun lebih panjang dan lebar (Suhartini dan
Hadiatmi, 2010). Pada penelitian ini digunakan ganyong putih sebagai
bahan utama pembuatan tepung komposit dari ganyong dan kara pedang.
Umbi ganyong bentuknya tidak teratur, dikelilingi ruas bersisik
dengan akar serabut tebal. Rimpang ganyong putih lebih kecil dan
pendek daripada ganyong merah. Ganyong putih juga kurang tahan
terhadap sinar tetapi tahan terhadap kekeringan. Ganyong putih ditandai
dengan warna batang, daun, dan pelepahnya hijau serta sisik umbinya
berwarna coklat (Yulfia dkk., 2012).
Gambar 2.1 Ganyong (Tyas, 2014)
Umbi ganyong memiliki kandungan gizi yang berpotensi untuk
dijadikan sumber pangan alternatif pengganti beras karena tiap 100 gram
terdiri dari kalori 95 kkal, protein 1 g, lemak 0.11 g, karbohidrat 22.60 g,
kalsium 21 g, fosfor 70 g, zat besi 1.90 mg, vitamin B1 0.10 mg, vitamin
C 10 mg, air 75 g (Noriko dan Risa, 2013). Umbi ganyong yang berasal
dari beberapa daerah di Indonesia memiliki rata-rata kandungan
karbohidrat, pati, dan amilosa berturut-turut adalah 78.9%, 26.5%, dan
35.1% (Richana dan Sunarti, 2004 dalam Astuti dan Rifda, 2011).
Dalam
pengujian
secara
in
vitro
dari
ekstrak
ganyong
menggambarkan adanya tingkat polifenol, flavonoid, dan antioksidan
yang tinggi (Mishra et al., 2011). Hal ini menunjukkan bahwa ganyong
dapat digunakan sebagai alternatif pangan fungsional di Indonesia.
Berikut perbandingan kandungan komposisi tepung ganyong dengan
beberapa komoditas sumber karbohidrat di Indonesia yang telah
dihimpun oleh Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY
(2014), yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia beberapa Komoditas dalam 100 g Bahan
Karakteristik
Kalori (kal)
Protein (gr)
Lemak (gr)
Karbohidrat (gr)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (g)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Tepung
Ganyong
95
1
0.1
226
21
70
20
0.1
10
Tepung
Beras
364
7
0.5
80
5
140
0.8
0.12
0
Tepung
Jagung
355
9.2
3.9
73.3
10
256
2.4
0.38
0
Tepung
Terigu
365
8.9
1.3
77.3
16
106
1.2
0.12
0
Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY (2014)
Hasil utama tanaman ganyong adalah umbi ganyong. Umbi
ganyong diolah secara tradisional dengan teknik olah digoreng, direbus,
atau dibakar. Produk olahan umbi ganyong yang lain adalah keripik
ganyong, tepung ganyong, dan pati ganyong. Tepung dan pati ganyong
dapat digunakan sebagai bahan baku industri pangan, misalnya mie, roti,
cake, cookies, dan makanan tradisional seperti cendol, jenang atau ongolongol. Bahkan saat ini sudah diteliti produksi etanol dari tepung ganyong
(Ratnaningsih dkk., 2009).
2. Tepung Ganyong
Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara
pengawetan hasil panen, terutama untuk komoditas yang berkadar air
tinggi, seperti umbi-umbian. Keuntungan lain dari pengolahan produk
setengah jadi adalah sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri
pengolahan lanjutan, aman selama proses distribusi, menghemat tempat
dan biaya penyimpanan (Histifarina, 2012). Teknologi ini mencakup
teknik pembuatan ganyong menjadi tepung ganyong. Menurut Nasution
(2005), dalam Martini (2013), ganyong dapat diolah menjadi tepung
karena tepung lebih fleksibel dan daya simpannya tinggi. Selain itu,
bahan dalam bentuk tepung akan mempermudah pengguna mengolahnya
menjadi berbagai jenis produk pangan.
Proses pembuatan tepung ganyong meliputi proses sortasi umbi
ganyong, pengupasan, pencucian, pengirisan dengan ukuran sekitar 2
mm. Proses selanjutnya adalah irisan ganyong dikeringkan menggunakan
cabinet dryer pada suhu 55-60°C, kemudian digiling dan diayak dengan
ayakan 80 mesh (Slamet, 2010). Hasil penelitian Richana dan Titi (2004),
menunjukkan bahwa rendemen tepung ganyong paling rendah dibanding
umbi lainnya. Rendahnya rendemen tepung ini karena ganyong berserat
kasar yang tinggi dan sulit untuk dihaluskan sehingga dalam proses
pengayakan tidak lolos. Dengan demikian, prospek ganyong untuk
diproses menjadi tepung memiliki kendala dalam hal serat yang tinggi.
Pati ganyong berwarna coklat dan dapat menurunkan kualitas warna
apabila diolah menjadi produk dibandingkan dengan tepung pati umbi
lainnya karena ganyong memiliki kadar serat dan enzim fenolase yang
tinggi sehingga mudah terjadi reaksi pencoklatan (Lestari et al., 2012).
3. Kara Pedang (Canavalia ensiformis)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kara adalah tumbuhan
berbuah polongan, pohonnya merambat, buahnya sepanjang 5-7 cm,
lebar, dan kurang berdaging, kalau sudah tua berwarna hijau keputih-
putihan. Kara pedang (Canavalia ensiformis) merupakan tanaman famili
Leguminoceae. Kara pedang memiliki harga yang relatif murah dari
kacang-kacangan lainnya seperti kedelai dan budidayanya mulai
dilakukan di banyak wilayah di Indonesia. Hal ini menjadikan kara
pedang berpotensi digunakan sebagai bahan alternatif pembuatan bahan
olahan pangan. Kara pedang mampu menghasilkan biji berkisar 1-4.5 ton
biji kering/ha, sesuai populasi, teknik, dan lingkungan produksi.
Kandungan protein biji kara pedang biji putih adalah 27.4% lebih tinggi
dari kadar protein kacang tanah yang sebesar hanya sebesar 23.1%
(Pramitasari dkk., 2013).
Tanaman ini dapat ditemukan dengan mudah di Indonesia. Kara
pedang (Canavalia ensiformis), secara luas ditanam di Asia Selatan dan
Asia Tenggara, terutama di India, Sri Lanka, Myanmar dan Indo-China.
Kara pedang kini telah tersebar di seluruh daerah tropis dan telah
ternaturalisasi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk wilayah Jawa
Tengah. Pada tahun 2010-2011 tercatat dari lahan seluas 24 hektar di 12
kabupaten di Jawa Tengah telah menghasilkan 216 ton kara pedang
setiap panen (Kabupaten Blora, Banjarnegara, Temanggung, Pati,
Kebumen, Purbalingga, Boyolali, Batang, Cilacap, Banyumas, Magelang,
dan Jepara) (Dakornas, 2012, dalam Wahjuningsih dan Wyati, 2013).
Gambar 2.2 Kara Pedang (Eke et al., 2007)
Canavalia ensiformis tergolong tanaman semak tahunan, tegak
dengan tinggi 1-2 meter yang panjang daun sebesar 6-12 cm dan
berbentuk oval-elips. Tanaman ini memproduksi rata-rata 7 polong linear
yang sedikit melengkung, dengan panjang 25-30 cm dan lebar 3.5 cm.
Berat bijinya sekitar 1.5 gram, berwarna putih, mengkilap, dan memiliki
dimensi sebesar 21-22 x 14-15 x 8-10 mm (Chavez et al., 2009).
Tanaman ini dapat tumbuh di daerah kekeringan maupun tergenang
air. Kondisi tumbuh terbaik kara pedang yakni pada ketinggian sekitar
1800 m, suhu 15-30°C, pH tanah 4.5-8.0, dengan berbagai jenis tanah.
Sebagai legum, kara pedang perlu dipupuk yang mengandung nitrogen.
Polong muda dan kacang kara pedang dapat dikonsumsi sebagai sayuran
(Eke et al., 2007).
Salah satu kandungan nutrisi yang banyak terdapat dalam kara
pedang adalah protein. Protein bermutu tinggi mempunyai daya cerna
yang tinggi pula. Daya cerna protein menunjukkan tingkat kemudahan
protein
untuk
dipecah
menjadi
asam
amino
atau
komponen
pembentuknya sehingga mudah diserap oleh tubuh (Windrati dkk., 2010).
Kadar protein kara pedang mencapai 24.2-28.1 mg/100 g yang terdiri
dari 7.8-8.6 mg/100 g albumin; 13.0-14.6 mg/100 g globulin; dan 1.85
mg/100 g glutelin (Seena et al., 2005). Kara pedang mengandung 17
jenis asam amino dengan asam amino terbanyak glysin, serin, dan asam
glutamat (Melgarejo et al., 2005). Kandungan proksimat beberapa jenis
kara dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan pada penelitian ini digunakan
komoditas kara pedang putih sebagai bahan pembuatan tepung komposit
dari ganyong dan kara pedang.
Tabel 2.2 Kandungan Proksimat Beberapa Jenis Kacang Kara
Komponen
Kadar air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Serat kasar (%)
Kadar abu (%)
Karbohidrat (gr)
Energi (kJ/gr)
Canavalia maritima Canavalia ensiformis Canavalia gladiata
(Kara laut)
(Kara pedang putih) (Kara pedang merah)
9.28
34.1
1.65
2.26
3.5
50.5
1590
Sumber : Seena et al. (2005)
6.8-13.5
22.8-35.3
1.6-8.8
4.7-11.4
2.3-4.64
45.8-65.4
1630-1710
7.58-12.2
12.9-28.9
1.4-9.9
2.05-12.8
3.19-4.15
45.1-68.5
1690-1750
Selain tinggi protein, kara pedang juga mengandung komponen
mineral dan asam lemak seperti natrium (2.53%), potassium (5.92%),
kalsium (3.21%), magnesium (1.95%), fosfor (1.50%), seng (2.90%), zat
besi (0,83%), mangan (0.35%), tembaga (0,43%), timah (0.14%), asam
lemak jenuh (8.41%), dan asam lemah tak jenuh (86.49%). Mineral
dibutuhkan oleh tubuh untuk oksidasi enzim sampai pembentukan tulang
(Abitogun dan Olasehindo, 2012). Aktivitas antioksidan kara pedang
sebesar 34.35 μg/ml dengan IC50 5mg/ml (Chaturvedi et al., 2015).
Kara pedang memerlukan banyak persiapan dan pememasakan
sebelum diolah karena mengandung senyawa racun ringan dalam bentuk
antinutrisi seperti protease inhibitor, lektin, saponin, dan tanin. Faktor
antinutrisi bersifat beracun dan dalam beberapa hal dapat membatasi
nutrisi yang tersedia dalam tubuh. Adanya faktor antinutrisi endogen
dalam bahan pakan tanaman diyakini menjadi faktor terbesar yang
membatasi penggunaannya untuk konsumsi hewan dan manusia dengan
tingkat diet tinggi. Dibandingkan dengan kara pedang yang diolah tanpa
perlakuan, perlakuan perendaman dan perebusan dapat mengurangi
kandungan asam fitat, tanin, oksalat, dan sianida secara signifikan
(Ajeigbe et al., 2012).
4. Tepung Kara Pedang
Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan kara pedang
adalah adanya zat antinutrisi yang menimbulkan cita rasa yang kurang
disukai dan mengurangi penyerapan nutrisi tubuh. Berbagai macam cara
baik fisik maupun kimia dapat dilakukan untuk mengurangi kandungan
zat antinutrisi. Tepung kara pedang yang diolah menjadi produk pangan
diharapkan dapat dikonsumsi dengan aman. Berdasarkan hasil analisis,
kenaikan nilai ekonomi dari kara pedang menjadi tepung kara pedang
adalah sebesar 80%. Selain memiliki potensi yang sangat besar menjadi
produk pangan yang bergizi tinggi, kara pedang juga memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan produk tepung kara
pedang perlu dilakukan (Wahjuningsih dan Wyati, 2013).
Pada metode penghilangan senyawa antinutrisi oleh Doss et al.
(2011b), perlakuan pendahuluan yang dilakukan diantaranya adalah
perendaman dan perebusan. Perendaman dilakukan selama 24 jam pada
suhu ruang dengan perbandingan jumlah air dan bahan (10:1). Sedangkan
perebusan dilakukan dengan perbandingan jumlah air dan bahan yang
sama pada air mendidih (100°C) selama 20 menit. Perbandingan jumlah
air dan bahan pada metode yang dilakukan oleh Doss et al. (2011b)
tergolong cukup besar sehingga dianggap kurang efektif karena wadah
penampung yang dibutuhkan sangat besar. Menurut Gilang dkk. (2013),
perlakuan terbaik dalam pengolahan tepung kara pedang adalah dengan
perlakuan perendaman selama 3 hari dan perebusan selama 20 menit.
Oleh karena itu, pada penelitian ini menggunakan metode Gilang dkk.
(2013) untuk pembuatan tepung kara pedang.
Perlakuan pendahuluan terdiri dari perendaman selama tiga hari
yang dilanjutkan dengan perebusan selama 20 menit. Tahap selanjutnya
adalah biji kara pedang dikeringkan pada suhu 55°C sampai kadar airnya
± 5%. Tahap akhirnya adalah penepungan dan pengayakan sebesar 80
mesh. Pada metode ini, kecerahan tepung meningkat dan kandungan
antinutrisi menurun (Gilang dkk., 2013).
Antinutrisi adalah komponen atau bagian dari komponen yang
secara luas berada di bahan pangan nabati yang pada konsentrasi tinggi
dapat menimbulkan reaksi beracun dan/atau mengganggu sistem
bioavailability dan pencernaan gizi dalam tubuh (Campos et al., 2011).
Senyawa antinutrisi dapat dikelompokkan menjadi dua yakni: (a) protein
(seperti lektin dan protease inhibitor) yang tidak stabil terhadap panas,
(b) substansi lain yang stabil dan resisten terhadap panas termasuk
komponen polifenol (tanin), asam amino non-protein dan gum
galaktomanan (Soetan dan Oyewole, 2009).
Chaturvedi
et
al.
(2015),
menyebutkan
bahwa
perlakuan
perendaman dapat digunakan untuk memperbaiki komponen antioksidan
dan mengurangi kadar antinutrisi seperti tanin, L-Dopa, aktivitas tripsin
inhibitor, dan rafinosa secara seignifikan yang dapat dilihat pada Tabel
2.3. Perendaman menyebabkan pula terjadinya degradasi asam fitat oleh
enzim fitase karena konsumsi bahan dengan kadar fitat yang tinggi dapat
mengurangi penyerapan unsur mineral tubuh (Plaami dan Kumpulainen,
1995, dalam Dakare et al., 2014). Perebusan biji kara dapat
membebaskan zat antinutrisi seperti inhibitor tripsin, haemaglutinin,
asam fitat, lektin dan goitrogens (Omeje, 1999, dalam Soetan dan
Oyewole, 2009).
Selain berfungsi untuk mengurangi senyawa antinutrisi, perlakuan
perendaman dan perebusan juga memiliki tujuan lain seperti menghilangi
aroma langu dan melunakkan struktur biji. Aroma langu pada kacang
koro disebabkan oleh adanya enzim lipoksigenase dan akan hilang
dengan adanya proses perendaman dan pengecilan ukuran (Kalaminasih
dan Lucia, 2013). Perendaman berfungsi untuk melunakkan biji-bijian
yang diolah, mereduksi lendir, dan kotoran yang menempel pada keping
biji dan memperbaiki warna atau kenampakan biji (Nurfitriani, 2014)
sehingga didapatkan tekstur produk yang baik (Pagarra, 2011).
Pemanasan akan lebih efektif apabila telah dilakukan perendaman
sebelumnya (Pramita, 2008).
Tabel 2.3 Pengaruh Perlakuan pada Pengolahan Tepung Kara Pedang
terhadap Kandungan Antinutrisi
Perlakuan
Kontrol
Perendaman
Perebusan
Tanin
Tripsin inhibitor L-Dopa
Rafinosa
(mg/100 g)
(TIU/g)
(%)
(%)
82.5 ± 8.6
378.3 ± 2.88
1.7 ± 0.3 1.51 ± 0.02
(0.00%)
(0.00%)
(0.00%)
(0.00%)
45.3 ± 4.7
264.83 ± 0.15
1.1 ± 0.01 0.63 ± 0.05
(- 45%)
(-30%)
(- 35%)
(-58%)
28.9 ± 0.1
141.93 ± 0.05 0.81 ± 0.01 0.50± 0.01
(- 64%)
(- 62%)
(-52%)
(- 66%)
Sumber : Doss et al. (2011b)
Tanin dan tripsin inhibitor dapat memperlambat proses penyerapan
makanan dalam pencernaan dan membentuk kompleks tidak larut dengan
protein yang yang bersifat antinutrisi. Tanin stabil terhadap panas dan
menurunkan daya cerna protein manusia karena menghambat enzim
pencernaan. Tanin dalam produk makanan dapat menghambat aktivitas
enzim tripsin, chemotrypsin, amilase dan lipase, serta mengganggu
penyerapan zat besi tubuh (Edunsi et al., 2007, Dakare et al., 2014,
Gemede dan Negussie, 2014).
L-Dopa
atau
(-)-3-3,4-dihidroksifenil-L-alanin
merupakan
mikroelemen non protein asam amino (Winarni dkk., 2011) yang
digunakan dalam pengobatan penyakit parkinson namun berpotensi
menyebabkan anemia haemolitik yang fatal pada jenis dan kondisi
genetik tertentu (Hedges dan Lister, 2006). Sifat L-Dopa dalam kacang
kara yang larut dalam air, memungkinkan kacang koro aman dikonsumsi
dan penurunan maksimal L-Dopa (51-69%) dapat tercapai apabila
biji dibuat berkecambah selama 3 hari kemudian direbus (Winarni dan
Yudhy, 2016). Oligosakarida seperti rafinosa dalam biji kacang-kacangan
dapat menyebabkan flatulensi pada sistem pencernaan (Edunsi et al.,
2007)
Tepung kara pedang memiliki karakteristik fisik yang spesifik.
Akande et al. (2014) menyebutkan bahwa tepung kara pedang yang
dibuat dengan perendaman sebagai perlakuan pendahuluannya memiliki
dimensi ukuran panjang, lebar, dan tebal sebesar 0.019 mm, 0.013 mm,
dan 10.76 mm dengan derajat keasaman (pH) sekitar 8.8. Selain
karakteristik fisik, komponen kimia tepung kara pedang merupakan
parameter yang penting dan berkaitan dengan kandungan nutrisi.
5. Tepung Komposit
Tepung komposit merupakan campuran sebagian gandum dengan
tepung lainnya untuk produksi roti, kue, bubur, pasta, dan makanan
ringan. Kedua, tepung komposit sebagai pengganti seluruh gandum
dengan tepung campuran non-gandum untuk tujuan yang sama yakni
lebih ekonomis dan memenuhi kebutuhan zat gizi misalnya tepung
kacang-kacangan untuk meningkatkan kandungan protein tepung. Hal ini
dilakukan apabila terjadi kelangkaan gandum yang dapat disebabkan oleh
iklim (Dendy, 1993).
Penggunaan tepung komposit memiliki beberapa keuntungan bagi
negara-negara berkembang dalam hal memenuhi nutrisi protein untuk
manusia, mengenalkan dan meningkatkan potenisi lokal, sehingga
produksi pertanian dalam negeri akan meningkat. Tepung komposit
dianggap berperan penting di negara berkembang karena dapat
mengurangi impor tepung terigu dan mendorong penggunaan tanaman
lokal berkembang sebagai tepung (Noorfarahzilah et al., 2014).
6. Pangan Fungsional
Pangan fungsional adalah makanan atau bahan pangan yang dapat
memberikan manfaat tambahan di samping fungsi dasar pangan tersebut.
Pangan dikatakan bersifat fungsional apabila mengandung zat gizi atau
non gizi (komponen aktif) yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis
tubuh ke arah yang bersifat positif seperti memperkuat mekanisme
pertahanan tubuh, mencegah penyakit-penyakit tertentu, membantu
mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi fisik
dan mental, serta memperlambat proses penuaan (Hasan dkk., 2011).
Menurut The Academy of Nutrition and Dietetics (2013), pangan
fungsional didefinisikan sebagai semua makanan yang diperkuat atau
diperkaya memiliki efek menguntungkan pada kesehatan bila dikonsumsi
sebagai bagian dari pola makan secara teratur pada tingkat yang efektif
berdasarkan standar. Pada dasarnya makanan bersifat fungsional pada
tingkat tertentu karena menyediakan energi dan nutrisi yang dibutuhkan
untuk melangsungkan hidup.
Jenis pangan yang bersifat fungsional harus memenuhi beberapa
persyaratan yakni sebagai produk dasar makanan, berisi atau diperkaya
dengan bahan, mikronutrien maupun bahan kimia alami yang memberi
dampak menguntungkan untuk kesehatan, kesejahteraan serta pencegahan
penyakit, dan memiliki kandungan gizi yang lebih dari normal dan
memadai. Selain itu, pangan fungsional harus memberikan informasi atau
setidaknya diklaim, dikomunikasikan, serta dikonsumsi dalam jumlah
normal oleh konsumen (Stein dan Emilio, 2008).
Banyak faktor yang mempengaruhi sifat fungsional diantaranya
kelembaban, suhu, pH, konsentrasi enzim, waktu reaksi, bahan kimia
tambahan, pengolahan mekanik, kekuatan ion, jumlah, urutan, tingkat dan
waktu. Sifat fungsional tepung kacang-kacangan berpotensi untuk aplikasi
dalam produk makanan. Oleh karena itu, penggantian sebagian makanan
hewani dengan kacang-kacangan dapat meningkatkan status gizi dan
menurunkan tingkat kolesterol masyarakat (Salma et al., 2011).
Dalam penelitian ini, senyawa fungsional yang akan diteliti dalam
tepung komposit dari ganyong dan kara pedang adalah pati resisten, serat
pangan, antioksidan, dan fenol.
a. Pati Resisten
Pati resisten adalah jenis pati yang resisten terhadap pati
hidrolisis enzim di perut dan berperilaku seperti serat makanan. Pati
resisten terbukti
memiliki
efek
yang menguntungkan
dalam
pencegahan penyakit termasuk modulasi indeks glikemik, diabetes,
kolesterol menurunkan berat badan yang penting bagi banyak orang.
Pati resisten diukur sebagai serat pangan tidak larut air dan memiliki
fungsi fisiologis seperti serat pangan larut air (Astuti dan Rifda, 2011).
Pati resisten disebut sebagai fraksi pati yang tidak dapat
tergelatinisasi dengan baik dan tetap dalam keadaan utuh atau tidak
dapat dicerna sampai di dalam usus besar. Struktur fisik pati
berpengaruh terhadap
tingkat
resistensi
pati
terhadap enzim
pencernaan. Komposisi kimia pati yaitu kadar amilopektin sangat
berpengaruh pada kandungan pati resisten. Makin tinggi amilopektin
maka pati makin sulit (resisten) untuk dicerna (Musita, 2009).
Pati resisten (Resistant Starch) dibagi menjadi lima jenis tipe
yakni RS1, RS2, RS3, RS4, dan RS5. RS1 merupakan pati yang
terdapat secara alami dalam sel-sel tanaman dan matriks dalam bahan
pangan kaya pati yang dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan,
terutama pada biji-bijian dan sereal. RS2 merupakan pati alami yang
sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase dan sumber
RS2 antara lain pisang, kentang mentah, serta pati jagung dengan
kadar amilosa yang tinggi. RS3 adalah pati teretrogradasi yang
diproses dengan pemanasan otoklaf (121C), annealing, HMT (heat
moisture treatment), dan pendinginan suhu rendah (4C) maupun suhu
ruang sehingga mengalami retrogradasi. Retrogradasi pati terjadi
melalui reasosiasi (penyusunan kembali) ikatan hidrogen antara
amilosa rantai pendek yang terbentuk setelah proses pemanasan
otoklaf dan dipercepat melalui proses pendinginan. RS4 adalah pati
termodifikasi secara kimia seperti pati ester maupun pati ikatan silang.
RS5 terbentuk ketika pati berinteraksi dengan lipid, sehingga amilosa
membentuk kompleks heliks tunggal dengan asam lemak dan lemak
alkohol. Pembentukan kompleks amilosa-lipid merupakan reaksi dan
kompleks yang terbentuk setelah pengolahan, sehingga RS5 dianggap
stabil terhadap pemanasan (Setiarto dkk., 2015).
Diet dengan pati resisten tinggi dapat mengurangi glukosa darah
postprandial dan reaksi insulin, serta meningkatkan sensitivitas
insulin. Hal ini dianggap bermanfaat dalam menunda kenaikan
glukosa darah postprandial pada penderita diabetes tipe 2 dalam
pengelolaan dan pengendalian kondisi mereka. Pati resisten tidak
dapat dicerna dan diserap oleh enzim amilase dalam saluran
pencernaan manusia, tetapi dapat terdegradasi melalui reaksi glikolisis
oleh mikroorganisme dalam usus besar. Oleh karena itu, pati resisten
efektif dalam menyesuaikan glukosa darah, mencegah penyakit
kardiovaskular dan serebrovaskular, masalah usus besar, dan rektum
karsinoma. Selain itu, pati resisten juga termasuk komponen bahan
makanan rendah kalori (Li et al., 2015).
Pati resisten mengandung cukup banyak amilosa sehingga
mempunyai efek yang baik bagi saluran pencernaan dan metabolisme
tubuh dalam proses manajemen glisemik dan menghasilkan energi
yang cukup rendah. Secara garis besar, pati resisten mempunyai tiga
sistem terkait dengan efek metabolisme dan nilai fungsional dalam
tubuh, yaitu sebagai bahan untuk penyusun serat pangan, penurun
kalori, dan oksidasi lemak. Sebagai bahan untuk mereduksi kalori, pati
resisten dapat menurunkan energi lebih cepat daripada bahan dalam
bentuk tepung maupun produk karbohidrat lainnya (Herawati, 2011).
Amilosa dan pati resisten memiliki pengaruh terhadap daya
cerna pati. Salah satu faktor tersebut adalah kandungan amilosa yang
sering digunakan untuk memprediksi daya cerna pati, glukosa darah,
dan insulin sebagai respon setelah mengonsumsi bahan makanan.
Bahan makanan dalam bentuk tepung yang kaya kandungan amilosa
mengandung kadar glukosa dalam darah yang lebih rendah dan proses
pencernaan yang lebih lambat apabila dibandingkan dengan bahan
makanan dengan tingkat amilosa yang rendah. Terlepas dari
kandungan amilosa, sifat komponen non pati juga mempengaruhi daya
cerna pati seperti ukuran, pola kristal, derajat kristal, pori-pori atau
saluran permukaan, tingkat polimerisasi, dan komponen non-pati yang
mempengaruhi daya cernanya dalam tubuh (Mir et al., 2013).
b. Serat Pangan
Serat merupakan senyawa inert secara gizi didasarkan atas
asumsi bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna eleh enzim-enzim
pencernaan. Namun, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
senyawa yang tidak dapat dicerna tersebut hanya terdiri dari selulosa,
tetapi juga lignin, hemiselulosa, pentosan, gum, dan senyawa pektin.
Oleh karena itu, digunakan istilah serat pangan (dietary fiber) untuk
menunjukkan bahwa lignin serta karbohidrat lain tidak dapat dicerna
termasuk ke dalamnya. Istilah serat pangan juga berbeda dengan serat
kasar. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat
dihidrolisis oleh bahan kimia seperti H2SO4 dan NaOH, sedangkan
serat pangan adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis
oleh enzim pencernaan (Muchtadi, 2001).
Menurut American Association of Cereal Chemists States
(2001), serat pangan merupakan komponen tanaman atau karbohidrat
analog yang tahan terhadap proses pencernaan dan penyerapan
makanan pada usus halus manusia dengan fermentasi lengkap atau
parsial di usus besar. Menurut definisi ini, serat makanan termasuk
polisakarida, oligosakarida, lignin, dan zat tanaman terkait. Serat
makanan memiliki efek fisiologis yang menguntungkan termasuk
menurunkan kolesterol darah dan/atau menurunkan glukosa darah.
Serat pangan dapat menurunkan tingkat glikemik dengan cara
memperlambat penyerapan glukosa melalui efek pengosongan
lambung dan viskositas feses serta menurunkan respons insulin. Serat
pangan larut memiliki efek menghambat difusi glukosa dan menunda
penyerapan dan pencernaan karbohidrat. Serat pangan dapat
mengurangi laju penyerapan glukosa, sehingga tubuh tidak akan
mengalami kelebihan glukosa (Hernawati dkk., 2013).
Serat pangan secara konvensional diklasifikasikan ke dalam dua
kategori yakni serat pangan larut dan tidak larut. Jenis serat pangan
larut seperti pentosan, pektin, gum, dan lendir, sedangkan serat
pangan tidak larut seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat
pangan larut dapat meningkatkan waktu transit makanan dalam
saluran pencernaan, menunda pengosongan lambung, dan penyerapan
glukosa dengan lambat sehingga jumlah pati yang mencapai usus
besar meningkat. Serat pangan juga bertindak sebagai pembawa
senyawa antioksidan sebagai fungsi fisiologis. Pelepasan beberapa
senyawa antioksidan dalam usus besar dapat meningkatkan aktivitas
antioksidan dan menghasilkan metabolit yang berbeda dengan efek
sistemik potensial (Campos et al., 2014).
Berdasarkan kelarutannya, serat pangan terbagi menjadi dua
yaitu serat pangan yang terlarut dan tidak terlarut. Sedangkan dilihat
berdasarkan pada fungsinya di dalam tanaman, serat dibagi menjadi 3
fraksi utama yaitu polisakarida struktural, non-polisakarida dan
polisakarida non-struktural. Polisakarida struktural terdapat pada
dinding sel, yaitu selulosa, hemiselulosa dan substansi pektik. Fraksi
non-polisakarida struktural sebagian besar terdiri dari lignin.
Sedangkan, polisakarida non-struktural terdapat pada gum dan agaragar (Feri Kusnandar, 2010, dalam Santoso, 2011).
Kebutuhan konsumsi (adequate intake) serat makanan bagi
orang dewasa adalah 20-35 g/hari. Namun, ada keragaman di dalam
respon tubuh untuk meningkatkan intake serat makanan, karena
komponen serat yang berbeda akan memberikan efek fisiologis yang
berbeda pula. Serat makanan tidak dicerna di dalam usus, maka tidak
berkepentingan dengan pembentukan energi. Akan tetapi serat
dimetabolisme oleh bakteri yang berada dan melalui saluran
pencernaan.
Pengaruh
nyata
yang
telah
dibuktikan
adalah
bertambahnya volume feses, meningkatkan pengaruh laksatif,
melunakkan konsistensi feses, memperpendek transit time di usus,
memproduksi flatus, hasil produksi metabolisme bakteri dan keluaran
anion organiknya akan mengubah garam empedu dan asam lemak
berantai pendek yang menguntungkan kesehatan (Kusharto, 2006).
c. Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa atau molekul yang dapat
mencegah terjadinya proses oksidasi yang disebabkan oleh radikal
bebas. Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mempunyai
satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya.
Tubuh manusia sebenarnya dapat menghasilkan antioksidan tapi
jumlahnya tidak mencukupi untuk menetralkan radikal bebas yang
jumlahnya semakin menumpuk di dalam tubuh (Hernani dan Raharjo,
2005, dalam Sulandi dkk., 2013).
Jenis antioksidan berdasarkan sumbernya terbagi menjadi dua
yakni buatan dan alami. Penggunaan antioksidan buatan dalam jangka
waktu panjang dan jumlah yang berlebih dapat menyebabkan
kerusakan hati (Nurhikmah, 2006, dalam Ramdani dkk., 2013).
Sedangkan, antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap
kerusakan
yang
disebabkan
spesies
oksigen
reaktif,
mampu
menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta menghambat
peroksidase lipid pada makanan (Sulandi dkk., 2013).
Radikal bebas adalah molekul yang sangat tidak stabil, terdapat
baik dari luar (eksternal) seperti polusi rokok yang bersifat
karsinogenik maupun dari dalam (internal) hasil dari proses fisiologis
tubuh. Jika tidak dikontrol, radikal bebas dapat merusak komponen sel
misalnya, merusak DNA yang mengarah pada kanker, mengoksidasi
lemak dalam darah, berkontribusi terhadap aterosklerosis dan penyakit
jantung. Meski tubuh memproduksi antioksidan sendiri dan memiliki
mekanisme pertahanan lain, asupan antioksidan dari makanan juga
memiliki peran yang penting (Hedges dan Lister, 2006).
Metode uji aktivitas antioksidan dengan DPPH (2,2-difenil-1
pikrilhidrazil) adalah metode yang sederhana, mudah, cepat, peka
serta hanya memerlukan sedikit sampel untuk evaluasi aktivitas
antioksidan dari senyawa bahan alam sehingga digunakan secara luas
untuk menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor
elektron atau hidrogen. Prinsip dari metode uji aktivitas antioksidan
ini adalah pengukuran aktivitas antioksidan secara kuantitatif yaitu
dengan melakukan pengukuran penangkapan radikal DPPH oleh suatu
senyawa yang mempunyai aktivitas antioksidan dengan menggunakan
spektrofotometri (Sulandi dkk., 2013).
DPPH (α, α, diphenyl-β-picrylhydrazyl) adalah nitrogen stabil
yang berperan sebagai radikal bebas. DPPH telah digunakan untuk
mengevaluasi aktivitas antioksidan dengan mengukur kapasitas
pendinginan radikal dalam waktu yang relatif singkat. Bahan pangan
ditemukan menunjukkan aktivitas penghambatan radikal bebas yang
lebih efektif terhadap DPPH (Doss et al., 2011c). Molekul DPPH yang
mengandung radikal bebas dan molekul DPPH yang telah bersifat
nonradikal karena telah bereaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.3 Molekul DPPH (Molyneux, 2004)
Reaksi yang terjadi menimbulkan warna ungu tua yang disebut
delokalisasi
elektron.
Larutan
DPPH
yang
dicampur
dapat
menyumbangkan atom hidrogen, sehingga menimbulkan bentuk
tereduksi. Warna ungu akan menghilang atau berkurang sesuai dengan
aktivitas antioksidan. Pada pencampuran DPPH dengan bahan
diharapkan dapat berwarna kuning pucat yang merupakan sisa dari
kelompok picryl dan DPPH berubah menjadi non-radikal. Bentuk
molekul DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Molyneux, 2004).
Menurut hukum Lambert-Beer, ada korelasi sebanding antara
konsentrasi dengan absorbansi, jika terjadi penurunan konsentrasi
maka absorbansi spektrum sinar dari larutan tersebut juga akan
mengalami
penurunan.
Turunnya
absorbansi
menandakan
berkurangnya konsentrasi radikal bebas dari DPPH. Berkurangnya
konsentrasi radikal bebas dari DPPH dikarenakan adanya reaksi
dengan senyawa antioksidan yang mengakibatkan molekul DPPH
tereduksi dan diikuti dengan berkurangnya intensitas warna ungu dari
larutan DPPH (Sulandi dkk., 2013).
Antioksidan dapat menghentikan reaksi oksidatif berantai
dengan cara menghilangkan intermediet radikal bebas dan menjadi
teroksidasi sendiri. Defisiensi atau adanya ketidakseimbangan
jaringan ini dalam tubuh dihubungkan dengan penyakit seperti kanker,
artherosclerosis, diabetes, dan penuaan dini. Aktivitas antioksidan
dapat ditentukan melalui uji DPPH scavenging. Dalam pengujian
secara in vitro dari ekstrak ganyong menggambarkan adanya tingkat
polifenol, flavonoid, dan antioksidan yang tinggi (Mishra et al., 2011).
Aktivitas antioksidan ekstrak tepung kara pedang tanpa perlakuan
adalah sebesar 61.1% dengan IC50 5μg/ml (Chaturedi et al., 2015).
Sedangkan, aktivitas penghambatan radikal bebas dari biji mentah
kara pedang berkisar 38.04-68.51% (Doss et al., 2011c).
d. Total Fenol
Warna umbi-umbian sangat dipengaruhi oleh senyawa fenol dan
aktivitas enzim fenolase atau polifenol oksidase (PPO), pigmen dalam
umbi, gum, dan lendir pada lapisan luar/di dalam jaringan umbi yang
dapat membawa kotoran sehingga memberikan kenampakan lebih
buruk. Polifenol menyebabkan terjadinya pencoklatan enzimatis, yaitu
reaksi polifenolase dan oksigen di udara. Enzim tersebut keluar
apabila terjadi luka pada umbi. Ganyong memiliki derajat putih yang
rendah karena kandungan fenol yang tinggi dan mengakibatkan
peningkatan aktivitas enzim fenolase sehingga menimbulkan warna
coklat (Richana dan Titi, 2004, Pangesthi, 2009).
Fenol telah dikenal sebagai komponen yang bersifat fungsional
untuk
kesehatan
seperti
antikanker,
antivirus,
antimikroba,
antiinflamasi, antihipertensi dan aktivitas antioksidannya yang tinggi
(Kala dan Mohan, 2012). Senyawa fenolik diakui sebagai kelompok
utama antioksidan dalam makanan nabati. Serat pangan dan
antioksidan menjadi syarat makanan sehat dan bahan fungsional.
Namun, sebagian besar polifenol antioksidan yang terdapat dalam
makanan nabati berkaitan dengan serat pangan dan sebagai bagian
penting dari total antioksidan dalam makanan (Campos et al., 2014).
Total Fenol terlarut pada umbi ganyong dan residu umbi
ganyong berturt-turut adalah sebesar 17.47 g GAE/100 g dan 89.09
g/100 g. Sedangkan, kandungan total fenol tepung kara pedang yang
mendapat perlakuan perendaman sebesar 57.6 mg GAE/100 g lebih
rendah dari tepung kara pedang tanpa perlakuan apapun yakni 90.5
mg GAE/100 g (Chaturedi et al., 2015).
7. Diabetes Mellitus tipe 2
Tepung komposit dari ganyong dan kara pedang diharapkan
mampu bermanfaat sebagai pangan fungsional alternatif diet bagi
penderita diabetes mellitus tipe 2. Diabetes mellitus adalah sindrom
metabolik heterogen yang ditandai dengan hiperglikemia (kadar glukosa
darah yang tinggi) akibat resistensi insulin, insufisiensi insulin, atau
keduanya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta pankreas
untuk memanfaatkan glukosa yang dicerna sebagai sumber energi.
Diabetes mellitus terbagi menjadi dua jenis tipe yakni tipe 1 dan tipe 2.
Diabetes tipe 1 ditandai dengan ketidakmampuan tubuh dalam
memproduksi insulin, sehingga diperlukan hormon insulin dari luar tubuh
yang disuntikkan setiap hari. Diabetes tipe 1 biasanya didiagnosis pada
masa kanak-kanak atau remaja. Diabetes tipe 2 adalah hasil dari
kegagalan fungsi pankreas dalam memproduksi insulin yang cukup.
Diabetes tipe 2 biasanya didiagnosis pada masa dewasa. Namun, dengan
meningkatnya insiden obesitas dan resistensi insulin bersamaan, jumlah
anak didiagnosis dengan diabetes tipe 2 juga meningkat di seluruh dunia
(Ko, 2000, Loghmani, 2005).
Pada diabetes mellitus tipe 2, pankreas penderita masih dapat
membuat insulin, tetapi kualitas insulin yang dihasilkan buruk dan tidak
dapat berfungsi dengan baik. Akibatnya, glukosa dalam darah meningkat.
Kemungkinan lain terjadinya diabetes melitus tipe 2 adalah sel jaringan
tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin
(insulin resistance) sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan
akhirnya tertimbun dalam saluran peredaran darah. Keadaan ini
umumnya terjadi pada penderita yang gemuk atau mengalami obesitas
(Putri dan Muhammad, 2013).
Kawasan Asia-Pasifik adalah wilayah yang menyumbangkan
proporsi yang tinggi terhadap populasi dunia. Hal ini berpotensi
mempengaruhi tingkat prevalensi diabetes. Prevalensi diabetes sangat
bervariasi, dan umumnya berkaitan dengan tingkat kemakmuran dan
tingkat industrialisasi pada masing-masing negara. Jenis prevalensi
diabetes tipe 2 menunjukkan perbedaan yang nyata di setiap wilayah,
gaya hidup, kemakmuran, mekanisasi, dan urbanisasi menjadi beberapa
penyebab utamanya. Diabetes tipe 2 juga menjadi semakin umum pada
orang yang lebih muda (Cokram, 2000).
Prevalensi diabetes mellitus Indonesia pada tahun 2010 adalah
4.8% dengan jumlah penderita dewasa sebanyak 6.96 juta orang,
sedangkan pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 5.9% sebanyak 11.98
juta orang dengan rata-rata peningkatan penderita tahunan sebesar 251
ribu orang (Shaw et al., 2010). Pada tahun 2030 diperkirakan jumlah
penderita diabetes di Indonesia adalah 21.3 juta orang dan menempati
urutan keempat sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes
terbanyak di dunia (Wild et al., 2004).
Jenis karbohidrat makanan dalam menaikkan kadar glukosa darah
dapat ditentukan dengan nilai indeks glikemik. Indeks glikemik telah
diperkenalkan oleh dr. David Jankins sejak tahun 1981 sebagai sistem
alternatif. Kandungan indeks glikemik yang tinggi dalam makanan
merupakan awal dari tingginya kadar glukosa darah dan kadar insulin,
yang
diikuti
dengan
gejala
masing-masing
tubuh
yang
dapat
menyebabkan asupan makanan berlebihan dan terjadinya disfungsi
berbagai sel dalam tubuh (Ludwig, 2002).
Bahan pangan yang bersifat hipoglisemik (rendah kadar glukosa)
dan hipokolesterolemik (rendah kolesterol) sangat diperlukan pada
pengaturan diet penderita diabetes melitus. Berbagai jenis polongpolongan sumber protein nabati mempunyai sifat hipoglisemik dan
hipokolesterolemik. Selain itu, kandungan amilosa yang besar akan
memberi kontribusi pada rendahnya indeks glikemik (Nafi dkk., 2013).
Pangan dengan jenis yang sama dapat memiliki IG yang berbeda
apabila diolah dengan cara yang berbeda karena dapat menyebabkan
perubahan pada struktur dan komposisi zat gizi penyusun pangan,
sehingga dapat mempengaruhi daya cerna zat gizi. Varietas yang berbeda
pada jenis pangan juga akan mempengaruhi IG. Beberapa faktor yang
mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi
pati dan ukuran partikel), rasio amilosa-amilopektin, tingkat keasaman
dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak, kadar protein, serta kadar
antinutrisi pangan (Widodo dkk., 2014). Kandungan protein pada bahan
akan mengurangi jumlah glukosa yang dikeluarkan dari jaringan ke
sirkulasi
sistemik
sehingga
menurunkan
nilai
IG.
Selain
itu,
perbandingan amilosa terhadap amilopektin merupakan faktor fisik yang
mempengaruhi nilai IG (Sari dkk., 2013).
Indeks glikemik (IG) dan kadar serat kasar ganyong adalah 20.8
dan 3.84% jauh lebih baik dari beras (72.8 dan 1.32%). Kandungan dasar
indeks glikemik dalam makanan, sifat fisik amilum, kandungan gula,
keasaman, dan kadar serat merupakan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap konversi karbohidrat menjadi glukosa. Nilai indeks glikemik
berbanding terbalik dengan kadar serat. Hal ini dikarenakan adanya serat
pangan menghambat absorpsi nutrisi termasuk karbohidrat, sehingga
kadar glukosa darah tidak mengalami kenaikan yang besar pasca
mengkonsumsi umbi-umbian (Lukitaningsih dkk., 2012).
B. Kerangka Berpikir
Perkembangan tren pangan fungsional
Indonesia kaya akan bahan lokal yang berpotensi sebagai pangan fungsional
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang luas untuk pengembangan
berbagai komoditas pertanian
Indonesia memiliki potensi umbi
yang beragam sebagai sumber
karbohidrat
Indonesia memiliki potensi kacangkacangan sebagai sumber protein
Ganyong adalah salah satu umbi
inferior lokal yang memiliki
rasa yang enak dan masa
panennya relatif singkat
Kara pedang adalah kara lokal
yang memiliki harga yang
relatif murah namun kurang
populer
Senyawa fungsional yang terdapat dalam ganyong dan kara pedang
seperti, antioksidan, serat pangan, dan pati resisten.
Penggabungan komoditas ganyong dan kara pedang
Tepung komposit bertujuan untuk mendapatkan karakteristik bahan sesuai
dengan yang diinginkan
Tepung komposit ganyong dan kara pedang
Pangan fungsional untuk alternatif diet bagi penderia
diabetes mellitus tipe 2
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir Penelitian
C. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah perbedaan formula tepung komposit
dari ganyong dan kara pedang mempengaruhi karakteristik fisik, kimia, dan
fungsional yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan fungsional dan alternatif
pangan untuk penderita penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2.
Download