BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ganyong (Canna edulis) Ganyong adalah tanaman yang cukup potensial sebagai sumber karbohidrat dan termasuk jenis tanaman umbi-umbian minor. Hasilnya selain dapat digunakan untuk penganekaragaman menu rakyat, juga mempunyai aspek yang penting sebagai bahan dasar industri. Ganyong (Canna edulis Kerr) telah tersebar dari Sabang sampai Merauke terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Ganyong ditanam sebagai tanaman sela bersama jagung sesudah panen padi (Rukmana, 2000). Ganyong (Canna edulis) berasal dari Amerika Selatan, yang dibawa oleh bangsa Portugis ke beberapa wilayah dan saat ini telah tersebar di Asia, Australia, dan Afrika. Nama lokal ganyong antara lain laos jambe, lumbong, nyindro, senitra, laos mekah, buah tasbeh, midro (Jawa) dan ubi pikul (Sumatera), banyar dan manyor (Madura). Ciri-ciri ganyong merah dan ganyong putih yang berada di Indonesia mempunyai kemiripan dengan ganyong yang berada di wilayah Amerika Selatan (Suhartini dan Hadiatmi, 2010). Fungsinya sebagai sumber pati komersial membuat ganyong telah dibudidayakan tidak hanya di Amerika, tapi juga di beberapa daerah tropis termasuk Asia Tenggara. Tanaman ganyong telah dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Jambi, Lampung dan Jawa Barat. Pada umumnya para petani yang telah membudidayakan tanaman ganyong tersebut melakukan penyiangan tetapi belum melaksanakan pemberantasan hama/penyakit (Ashary, 2010). Ganyong dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu ganyong merah dan ganyong putih. Ganyong merah memiliki warna daun hijau kemerahan, pinggiran daun ungu kemerahan, tangkai daun dan pelepah daun merah hingga ungu, warna bunga merah, sisik umbi kecoklatan hingga ungu). Sedangkan, ganyong putih memiliki warna sisik umbi kecoklatan, warna daun hijau terang, tangkai dan pelepah daun hijau, dan warna bunga ada dua macam, yaitu kuning dan orange. Kedua jenis ganyong tersebut memiliki beberapa perbedaan karakter, antara lain tanaman ganyong merah lebih tinggi, daun lebih panjang dan lebar (Suhartini dan Hadiatmi, 2010). Pada penelitian ini digunakan ganyong putih sebagai bahan utama pembuatan tepung komposit dari ganyong dan kara pedang. Umbi ganyong bentuknya tidak teratur, dikelilingi ruas bersisik dengan akar serabut tebal. Rimpang ganyong putih lebih kecil dan pendek daripada ganyong merah. Ganyong putih juga kurang tahan terhadap sinar tetapi tahan terhadap kekeringan. Ganyong putih ditandai dengan warna batang, daun, dan pelepahnya hijau serta sisik umbinya berwarna coklat (Yulfia dkk., 2012). Gambar 2.1 Ganyong (Tyas, 2014) Umbi ganyong memiliki kandungan gizi yang berpotensi untuk dijadikan sumber pangan alternatif pengganti beras karena tiap 100 gram terdiri dari kalori 95 kkal, protein 1 g, lemak 0.11 g, karbohidrat 22.60 g, kalsium 21 g, fosfor 70 g, zat besi 1.90 mg, vitamin B1 0.10 mg, vitamin C 10 mg, air 75 g (Noriko dan Risa, 2013). Umbi ganyong yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia memiliki rata-rata kandungan karbohidrat, pati, dan amilosa berturut-turut adalah 78.9%, 26.5%, dan 35.1% (Richana dan Sunarti, 2004 dalam Astuti dan Rifda, 2011). Dalam pengujian secara in vitro dari ekstrak ganyong menggambarkan adanya tingkat polifenol, flavonoid, dan antioksidan yang tinggi (Mishra et al., 2011). Hal ini menunjukkan bahwa ganyong dapat digunakan sebagai alternatif pangan fungsional di Indonesia. Berikut perbandingan kandungan komposisi tepung ganyong dengan beberapa komoditas sumber karbohidrat di Indonesia yang telah dihimpun oleh Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY (2014), yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Komposisi Kimia beberapa Komoditas dalam 100 g Bahan Karakteristik Kalori (kal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (g) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Tepung Ganyong 95 1 0.1 226 21 70 20 0.1 10 Tepung Beras 364 7 0.5 80 5 140 0.8 0.12 0 Tepung Jagung 355 9.2 3.9 73.3 10 256 2.4 0.38 0 Tepung Terigu 365 8.9 1.3 77.3 16 106 1.2 0.12 0 Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY (2014) Hasil utama tanaman ganyong adalah umbi ganyong. Umbi ganyong diolah secara tradisional dengan teknik olah digoreng, direbus, atau dibakar. Produk olahan umbi ganyong yang lain adalah keripik ganyong, tepung ganyong, dan pati ganyong. Tepung dan pati ganyong dapat digunakan sebagai bahan baku industri pangan, misalnya mie, roti, cake, cookies, dan makanan tradisional seperti cendol, jenang atau ongolongol. Bahkan saat ini sudah diteliti produksi etanol dari tepung ganyong (Ratnaningsih dkk., 2009). 2. Tepung Ganyong Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan hasil panen, terutama untuk komoditas yang berkadar air tinggi, seperti umbi-umbian. Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi adalah sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman selama proses distribusi, menghemat tempat dan biaya penyimpanan (Histifarina, 2012). Teknologi ini mencakup teknik pembuatan ganyong menjadi tepung ganyong. Menurut Nasution (2005), dalam Martini (2013), ganyong dapat diolah menjadi tepung karena tepung lebih fleksibel dan daya simpannya tinggi. Selain itu, bahan dalam bentuk tepung akan mempermudah pengguna mengolahnya menjadi berbagai jenis produk pangan. Proses pembuatan tepung ganyong meliputi proses sortasi umbi ganyong, pengupasan, pencucian, pengirisan dengan ukuran sekitar 2 mm. Proses selanjutnya adalah irisan ganyong dikeringkan menggunakan cabinet dryer pada suhu 55-60°C, kemudian digiling dan diayak dengan ayakan 80 mesh (Slamet, 2010). Hasil penelitian Richana dan Titi (2004), menunjukkan bahwa rendemen tepung ganyong paling rendah dibanding umbi lainnya. Rendahnya rendemen tepung ini karena ganyong berserat kasar yang tinggi dan sulit untuk dihaluskan sehingga dalam proses pengayakan tidak lolos. Dengan demikian, prospek ganyong untuk diproses menjadi tepung memiliki kendala dalam hal serat yang tinggi. Pati ganyong berwarna coklat dan dapat menurunkan kualitas warna apabila diolah menjadi produk dibandingkan dengan tepung pati umbi lainnya karena ganyong memiliki kadar serat dan enzim fenolase yang tinggi sehingga mudah terjadi reaksi pencoklatan (Lestari et al., 2012). 3. Kara Pedang (Canavalia ensiformis) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kara adalah tumbuhan berbuah polongan, pohonnya merambat, buahnya sepanjang 5-7 cm, lebar, dan kurang berdaging, kalau sudah tua berwarna hijau keputih- putihan. Kara pedang (Canavalia ensiformis) merupakan tanaman famili Leguminoceae. Kara pedang memiliki harga yang relatif murah dari kacang-kacangan lainnya seperti kedelai dan budidayanya mulai dilakukan di banyak wilayah di Indonesia. Hal ini menjadikan kara pedang berpotensi digunakan sebagai bahan alternatif pembuatan bahan olahan pangan. Kara pedang mampu menghasilkan biji berkisar 1-4.5 ton biji kering/ha, sesuai populasi, teknik, dan lingkungan produksi. Kandungan protein biji kara pedang biji putih adalah 27.4% lebih tinggi dari kadar protein kacang tanah yang sebesar hanya sebesar 23.1% (Pramitasari dkk., 2013). Tanaman ini dapat ditemukan dengan mudah di Indonesia. Kara pedang (Canavalia ensiformis), secara luas ditanam di Asia Selatan dan Asia Tenggara, terutama di India, Sri Lanka, Myanmar dan Indo-China. Kara pedang kini telah tersebar di seluruh daerah tropis dan telah ternaturalisasi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk wilayah Jawa Tengah. Pada tahun 2010-2011 tercatat dari lahan seluas 24 hektar di 12 kabupaten di Jawa Tengah telah menghasilkan 216 ton kara pedang setiap panen (Kabupaten Blora, Banjarnegara, Temanggung, Pati, Kebumen, Purbalingga, Boyolali, Batang, Cilacap, Banyumas, Magelang, dan Jepara) (Dakornas, 2012, dalam Wahjuningsih dan Wyati, 2013). Gambar 2.2 Kara Pedang (Eke et al., 2007) Canavalia ensiformis tergolong tanaman semak tahunan, tegak dengan tinggi 1-2 meter yang panjang daun sebesar 6-12 cm dan berbentuk oval-elips. Tanaman ini memproduksi rata-rata 7 polong linear yang sedikit melengkung, dengan panjang 25-30 cm dan lebar 3.5 cm. Berat bijinya sekitar 1.5 gram, berwarna putih, mengkilap, dan memiliki dimensi sebesar 21-22 x 14-15 x 8-10 mm (Chavez et al., 2009). Tanaman ini dapat tumbuh di daerah kekeringan maupun tergenang air. Kondisi tumbuh terbaik kara pedang yakni pada ketinggian sekitar 1800 m, suhu 15-30°C, pH tanah 4.5-8.0, dengan berbagai jenis tanah. Sebagai legum, kara pedang perlu dipupuk yang mengandung nitrogen. Polong muda dan kacang kara pedang dapat dikonsumsi sebagai sayuran (Eke et al., 2007). Salah satu kandungan nutrisi yang banyak terdapat dalam kara pedang adalah protein. Protein bermutu tinggi mempunyai daya cerna yang tinggi pula. Daya cerna protein menunjukkan tingkat kemudahan protein untuk dipecah menjadi asam amino atau komponen pembentuknya sehingga mudah diserap oleh tubuh (Windrati dkk., 2010). Kadar protein kara pedang mencapai 24.2-28.1 mg/100 g yang terdiri dari 7.8-8.6 mg/100 g albumin; 13.0-14.6 mg/100 g globulin; dan 1.85 mg/100 g glutelin (Seena et al., 2005). Kara pedang mengandung 17 jenis asam amino dengan asam amino terbanyak glysin, serin, dan asam glutamat (Melgarejo et al., 2005). Kandungan proksimat beberapa jenis kara dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan pada penelitian ini digunakan komoditas kara pedang putih sebagai bahan pembuatan tepung komposit dari ganyong dan kara pedang. Tabel 2.2 Kandungan Proksimat Beberapa Jenis Kacang Kara Komponen Kadar air (%) Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Kadar abu (%) Karbohidrat (gr) Energi (kJ/gr) Canavalia maritima Canavalia ensiformis Canavalia gladiata (Kara laut) (Kara pedang putih) (Kara pedang merah) 9.28 34.1 1.65 2.26 3.5 50.5 1590 Sumber : Seena et al. (2005) 6.8-13.5 22.8-35.3 1.6-8.8 4.7-11.4 2.3-4.64 45.8-65.4 1630-1710 7.58-12.2 12.9-28.9 1.4-9.9 2.05-12.8 3.19-4.15 45.1-68.5 1690-1750 Selain tinggi protein, kara pedang juga mengandung komponen mineral dan asam lemak seperti natrium (2.53%), potassium (5.92%), kalsium (3.21%), magnesium (1.95%), fosfor (1.50%), seng (2.90%), zat besi (0,83%), mangan (0.35%), tembaga (0,43%), timah (0.14%), asam lemak jenuh (8.41%), dan asam lemah tak jenuh (86.49%). Mineral dibutuhkan oleh tubuh untuk oksidasi enzim sampai pembentukan tulang (Abitogun dan Olasehindo, 2012). Aktivitas antioksidan kara pedang sebesar 34.35 μg/ml dengan IC50 5mg/ml (Chaturvedi et al., 2015). Kara pedang memerlukan banyak persiapan dan pememasakan sebelum diolah karena mengandung senyawa racun ringan dalam bentuk antinutrisi seperti protease inhibitor, lektin, saponin, dan tanin. Faktor antinutrisi bersifat beracun dan dalam beberapa hal dapat membatasi nutrisi yang tersedia dalam tubuh. Adanya faktor antinutrisi endogen dalam bahan pakan tanaman diyakini menjadi faktor terbesar yang membatasi penggunaannya untuk konsumsi hewan dan manusia dengan tingkat diet tinggi. Dibandingkan dengan kara pedang yang diolah tanpa perlakuan, perlakuan perendaman dan perebusan dapat mengurangi kandungan asam fitat, tanin, oksalat, dan sianida secara signifikan (Ajeigbe et al., 2012). 4. Tepung Kara Pedang Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan kara pedang adalah adanya zat antinutrisi yang menimbulkan cita rasa yang kurang disukai dan mengurangi penyerapan nutrisi tubuh. Berbagai macam cara baik fisik maupun kimia dapat dilakukan untuk mengurangi kandungan zat antinutrisi. Tepung kara pedang yang diolah menjadi produk pangan diharapkan dapat dikonsumsi dengan aman. Berdasarkan hasil analisis, kenaikan nilai ekonomi dari kara pedang menjadi tepung kara pedang adalah sebesar 80%. Selain memiliki potensi yang sangat besar menjadi produk pangan yang bergizi tinggi, kara pedang juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan produk tepung kara pedang perlu dilakukan (Wahjuningsih dan Wyati, 2013). Pada metode penghilangan senyawa antinutrisi oleh Doss et al. (2011b), perlakuan pendahuluan yang dilakukan diantaranya adalah perendaman dan perebusan. Perendaman dilakukan selama 24 jam pada suhu ruang dengan perbandingan jumlah air dan bahan (10:1). Sedangkan perebusan dilakukan dengan perbandingan jumlah air dan bahan yang sama pada air mendidih (100°C) selama 20 menit. Perbandingan jumlah air dan bahan pada metode yang dilakukan oleh Doss et al. (2011b) tergolong cukup besar sehingga dianggap kurang efektif karena wadah penampung yang dibutuhkan sangat besar. Menurut Gilang dkk. (2013), perlakuan terbaik dalam pengolahan tepung kara pedang adalah dengan perlakuan perendaman selama 3 hari dan perebusan selama 20 menit. Oleh karena itu, pada penelitian ini menggunakan metode Gilang dkk. (2013) untuk pembuatan tepung kara pedang. Perlakuan pendahuluan terdiri dari perendaman selama tiga hari yang dilanjutkan dengan perebusan selama 20 menit. Tahap selanjutnya adalah biji kara pedang dikeringkan pada suhu 55°C sampai kadar airnya ± 5%. Tahap akhirnya adalah penepungan dan pengayakan sebesar 80 mesh. Pada metode ini, kecerahan tepung meningkat dan kandungan antinutrisi menurun (Gilang dkk., 2013). Antinutrisi adalah komponen atau bagian dari komponen yang secara luas berada di bahan pangan nabati yang pada konsentrasi tinggi dapat menimbulkan reaksi beracun dan/atau mengganggu sistem bioavailability dan pencernaan gizi dalam tubuh (Campos et al., 2011). Senyawa antinutrisi dapat dikelompokkan menjadi dua yakni: (a) protein (seperti lektin dan protease inhibitor) yang tidak stabil terhadap panas, (b) substansi lain yang stabil dan resisten terhadap panas termasuk komponen polifenol (tanin), asam amino non-protein dan gum galaktomanan (Soetan dan Oyewole, 2009). Chaturvedi et al. (2015), menyebutkan bahwa perlakuan perendaman dapat digunakan untuk memperbaiki komponen antioksidan dan mengurangi kadar antinutrisi seperti tanin, L-Dopa, aktivitas tripsin inhibitor, dan rafinosa secara seignifikan yang dapat dilihat pada Tabel 2.3. Perendaman menyebabkan pula terjadinya degradasi asam fitat oleh enzim fitase karena konsumsi bahan dengan kadar fitat yang tinggi dapat mengurangi penyerapan unsur mineral tubuh (Plaami dan Kumpulainen, 1995, dalam Dakare et al., 2014). Perebusan biji kara dapat membebaskan zat antinutrisi seperti inhibitor tripsin, haemaglutinin, asam fitat, lektin dan goitrogens (Omeje, 1999, dalam Soetan dan Oyewole, 2009). Selain berfungsi untuk mengurangi senyawa antinutrisi, perlakuan perendaman dan perebusan juga memiliki tujuan lain seperti menghilangi aroma langu dan melunakkan struktur biji. Aroma langu pada kacang koro disebabkan oleh adanya enzim lipoksigenase dan akan hilang dengan adanya proses perendaman dan pengecilan ukuran (Kalaminasih dan Lucia, 2013). Perendaman berfungsi untuk melunakkan biji-bijian yang diolah, mereduksi lendir, dan kotoran yang menempel pada keping biji dan memperbaiki warna atau kenampakan biji (Nurfitriani, 2014) sehingga didapatkan tekstur produk yang baik (Pagarra, 2011). Pemanasan akan lebih efektif apabila telah dilakukan perendaman sebelumnya (Pramita, 2008). Tabel 2.3 Pengaruh Perlakuan pada Pengolahan Tepung Kara Pedang terhadap Kandungan Antinutrisi Perlakuan Kontrol Perendaman Perebusan Tanin Tripsin inhibitor L-Dopa Rafinosa (mg/100 g) (TIU/g) (%) (%) 82.5 ± 8.6 378.3 ± 2.88 1.7 ± 0.3 1.51 ± 0.02 (0.00%) (0.00%) (0.00%) (0.00%) 45.3 ± 4.7 264.83 ± 0.15 1.1 ± 0.01 0.63 ± 0.05 (- 45%) (-30%) (- 35%) (-58%) 28.9 ± 0.1 141.93 ± 0.05 0.81 ± 0.01 0.50± 0.01 (- 64%) (- 62%) (-52%) (- 66%) Sumber : Doss et al. (2011b) Tanin dan tripsin inhibitor dapat memperlambat proses penyerapan makanan dalam pencernaan dan membentuk kompleks tidak larut dengan protein yang yang bersifat antinutrisi. Tanin stabil terhadap panas dan menurunkan daya cerna protein manusia karena menghambat enzim pencernaan. Tanin dalam produk makanan dapat menghambat aktivitas enzim tripsin, chemotrypsin, amilase dan lipase, serta mengganggu penyerapan zat besi tubuh (Edunsi et al., 2007, Dakare et al., 2014, Gemede dan Negussie, 2014). L-Dopa atau (-)-3-3,4-dihidroksifenil-L-alanin merupakan mikroelemen non protein asam amino (Winarni dkk., 2011) yang digunakan dalam pengobatan penyakit parkinson namun berpotensi menyebabkan anemia haemolitik yang fatal pada jenis dan kondisi genetik tertentu (Hedges dan Lister, 2006). Sifat L-Dopa dalam kacang kara yang larut dalam air, memungkinkan kacang koro aman dikonsumsi dan penurunan maksimal L-Dopa (51-69%) dapat tercapai apabila biji dibuat berkecambah selama 3 hari kemudian direbus (Winarni dan Yudhy, 2016). Oligosakarida seperti rafinosa dalam biji kacang-kacangan dapat menyebabkan flatulensi pada sistem pencernaan (Edunsi et al., 2007) Tepung kara pedang memiliki karakteristik fisik yang spesifik. Akande et al. (2014) menyebutkan bahwa tepung kara pedang yang dibuat dengan perendaman sebagai perlakuan pendahuluannya memiliki dimensi ukuran panjang, lebar, dan tebal sebesar 0.019 mm, 0.013 mm, dan 10.76 mm dengan derajat keasaman (pH) sekitar 8.8. Selain karakteristik fisik, komponen kimia tepung kara pedang merupakan parameter yang penting dan berkaitan dengan kandungan nutrisi. 5. Tepung Komposit Tepung komposit merupakan campuran sebagian gandum dengan tepung lainnya untuk produksi roti, kue, bubur, pasta, dan makanan ringan. Kedua, tepung komposit sebagai pengganti seluruh gandum dengan tepung campuran non-gandum untuk tujuan yang sama yakni lebih ekonomis dan memenuhi kebutuhan zat gizi misalnya tepung kacang-kacangan untuk meningkatkan kandungan protein tepung. Hal ini dilakukan apabila terjadi kelangkaan gandum yang dapat disebabkan oleh iklim (Dendy, 1993). Penggunaan tepung komposit memiliki beberapa keuntungan bagi negara-negara berkembang dalam hal memenuhi nutrisi protein untuk manusia, mengenalkan dan meningkatkan potenisi lokal, sehingga produksi pertanian dalam negeri akan meningkat. Tepung komposit dianggap berperan penting di negara berkembang karena dapat mengurangi impor tepung terigu dan mendorong penggunaan tanaman lokal berkembang sebagai tepung (Noorfarahzilah et al., 2014). 6. Pangan Fungsional Pangan fungsional adalah makanan atau bahan pangan yang dapat memberikan manfaat tambahan di samping fungsi dasar pangan tersebut. Pangan dikatakan bersifat fungsional apabila mengandung zat gizi atau non gizi (komponen aktif) yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh ke arah yang bersifat positif seperti memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit-penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan (Hasan dkk., 2011). Menurut The Academy of Nutrition and Dietetics (2013), pangan fungsional didefinisikan sebagai semua makanan yang diperkuat atau diperkaya memiliki efek menguntungkan pada kesehatan bila dikonsumsi sebagai bagian dari pola makan secara teratur pada tingkat yang efektif berdasarkan standar. Pada dasarnya makanan bersifat fungsional pada tingkat tertentu karena menyediakan energi dan nutrisi yang dibutuhkan untuk melangsungkan hidup. Jenis pangan yang bersifat fungsional harus memenuhi beberapa persyaratan yakni sebagai produk dasar makanan, berisi atau diperkaya dengan bahan, mikronutrien maupun bahan kimia alami yang memberi dampak menguntungkan untuk kesehatan, kesejahteraan serta pencegahan penyakit, dan memiliki kandungan gizi yang lebih dari normal dan memadai. Selain itu, pangan fungsional harus memberikan informasi atau setidaknya diklaim, dikomunikasikan, serta dikonsumsi dalam jumlah normal oleh konsumen (Stein dan Emilio, 2008). Banyak faktor yang mempengaruhi sifat fungsional diantaranya kelembaban, suhu, pH, konsentrasi enzim, waktu reaksi, bahan kimia tambahan, pengolahan mekanik, kekuatan ion, jumlah, urutan, tingkat dan waktu. Sifat fungsional tepung kacang-kacangan berpotensi untuk aplikasi dalam produk makanan. Oleh karena itu, penggantian sebagian makanan hewani dengan kacang-kacangan dapat meningkatkan status gizi dan menurunkan tingkat kolesterol masyarakat (Salma et al., 2011). Dalam penelitian ini, senyawa fungsional yang akan diteliti dalam tepung komposit dari ganyong dan kara pedang adalah pati resisten, serat pangan, antioksidan, dan fenol. a. Pati Resisten Pati resisten adalah jenis pati yang resisten terhadap pati hidrolisis enzim di perut dan berperilaku seperti serat makanan. Pati resisten terbukti memiliki efek yang menguntungkan dalam pencegahan penyakit termasuk modulasi indeks glikemik, diabetes, kolesterol menurunkan berat badan yang penting bagi banyak orang. Pati resisten diukur sebagai serat pangan tidak larut air dan memiliki fungsi fisiologis seperti serat pangan larut air (Astuti dan Rifda, 2011). Pati resisten disebut sebagai fraksi pati yang tidak dapat tergelatinisasi dengan baik dan tetap dalam keadaan utuh atau tidak dapat dicerna sampai di dalam usus besar. Struktur fisik pati berpengaruh terhadap tingkat resistensi pati terhadap enzim pencernaan. Komposisi kimia pati yaitu kadar amilopektin sangat berpengaruh pada kandungan pati resisten. Makin tinggi amilopektin maka pati makin sulit (resisten) untuk dicerna (Musita, 2009). Pati resisten (Resistant Starch) dibagi menjadi lima jenis tipe yakni RS1, RS2, RS3, RS4, dan RS5. RS1 merupakan pati yang terdapat secara alami dalam sel-sel tanaman dan matriks dalam bahan pangan kaya pati yang dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan, terutama pada biji-bijian dan sereal. RS2 merupakan pati alami yang sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase dan sumber RS2 antara lain pisang, kentang mentah, serta pati jagung dengan kadar amilosa yang tinggi. RS3 adalah pati teretrogradasi yang diproses dengan pemanasan otoklaf (121C), annealing, HMT (heat moisture treatment), dan pendinginan suhu rendah (4C) maupun suhu ruang sehingga mengalami retrogradasi. Retrogradasi pati terjadi melalui reasosiasi (penyusunan kembali) ikatan hidrogen antara amilosa rantai pendek yang terbentuk setelah proses pemanasan otoklaf dan dipercepat melalui proses pendinginan. RS4 adalah pati termodifikasi secara kimia seperti pati ester maupun pati ikatan silang. RS5 terbentuk ketika pati berinteraksi dengan lipid, sehingga amilosa membentuk kompleks heliks tunggal dengan asam lemak dan lemak alkohol. Pembentukan kompleks amilosa-lipid merupakan reaksi dan kompleks yang terbentuk setelah pengolahan, sehingga RS5 dianggap stabil terhadap pemanasan (Setiarto dkk., 2015). Diet dengan pati resisten tinggi dapat mengurangi glukosa darah postprandial dan reaksi insulin, serta meningkatkan sensitivitas insulin. Hal ini dianggap bermanfaat dalam menunda kenaikan glukosa darah postprandial pada penderita diabetes tipe 2 dalam pengelolaan dan pengendalian kondisi mereka. Pati resisten tidak dapat dicerna dan diserap oleh enzim amilase dalam saluran pencernaan manusia, tetapi dapat terdegradasi melalui reaksi glikolisis oleh mikroorganisme dalam usus besar. Oleh karena itu, pati resisten efektif dalam menyesuaikan glukosa darah, mencegah penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, masalah usus besar, dan rektum karsinoma. Selain itu, pati resisten juga termasuk komponen bahan makanan rendah kalori (Li et al., 2015). Pati resisten mengandung cukup banyak amilosa sehingga mempunyai efek yang baik bagi saluran pencernaan dan metabolisme tubuh dalam proses manajemen glisemik dan menghasilkan energi yang cukup rendah. Secara garis besar, pati resisten mempunyai tiga sistem terkait dengan efek metabolisme dan nilai fungsional dalam tubuh, yaitu sebagai bahan untuk penyusun serat pangan, penurun kalori, dan oksidasi lemak. Sebagai bahan untuk mereduksi kalori, pati resisten dapat menurunkan energi lebih cepat daripada bahan dalam bentuk tepung maupun produk karbohidrat lainnya (Herawati, 2011). Amilosa dan pati resisten memiliki pengaruh terhadap daya cerna pati. Salah satu faktor tersebut adalah kandungan amilosa yang sering digunakan untuk memprediksi daya cerna pati, glukosa darah, dan insulin sebagai respon setelah mengonsumsi bahan makanan. Bahan makanan dalam bentuk tepung yang kaya kandungan amilosa mengandung kadar glukosa dalam darah yang lebih rendah dan proses pencernaan yang lebih lambat apabila dibandingkan dengan bahan makanan dengan tingkat amilosa yang rendah. Terlepas dari kandungan amilosa, sifat komponen non pati juga mempengaruhi daya cerna pati seperti ukuran, pola kristal, derajat kristal, pori-pori atau saluran permukaan, tingkat polimerisasi, dan komponen non-pati yang mempengaruhi daya cernanya dalam tubuh (Mir et al., 2013). b. Serat Pangan Serat merupakan senyawa inert secara gizi didasarkan atas asumsi bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna eleh enzim-enzim pencernaan. Namun, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa yang tidak dapat dicerna tersebut hanya terdiri dari selulosa, tetapi juga lignin, hemiselulosa, pentosan, gum, dan senyawa pektin. Oleh karena itu, digunakan istilah serat pangan (dietary fiber) untuk menunjukkan bahwa lignin serta karbohidrat lain tidak dapat dicerna termasuk ke dalamnya. Istilah serat pangan juga berbeda dengan serat kasar. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan kimia seperti H2SO4 dan NaOH, sedangkan serat pangan adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan (Muchtadi, 2001). Menurut American Association of Cereal Chemists States (2001), serat pangan merupakan komponen tanaman atau karbohidrat analog yang tahan terhadap proses pencernaan dan penyerapan makanan pada usus halus manusia dengan fermentasi lengkap atau parsial di usus besar. Menurut definisi ini, serat makanan termasuk polisakarida, oligosakarida, lignin, dan zat tanaman terkait. Serat makanan memiliki efek fisiologis yang menguntungkan termasuk menurunkan kolesterol darah dan/atau menurunkan glukosa darah. Serat pangan dapat menurunkan tingkat glikemik dengan cara memperlambat penyerapan glukosa melalui efek pengosongan lambung dan viskositas feses serta menurunkan respons insulin. Serat pangan larut memiliki efek menghambat difusi glukosa dan menunda penyerapan dan pencernaan karbohidrat. Serat pangan dapat mengurangi laju penyerapan glukosa, sehingga tubuh tidak akan mengalami kelebihan glukosa (Hernawati dkk., 2013). Serat pangan secara konvensional diklasifikasikan ke dalam dua kategori yakni serat pangan larut dan tidak larut. Jenis serat pangan larut seperti pentosan, pektin, gum, dan lendir, sedangkan serat pangan tidak larut seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat pangan larut dapat meningkatkan waktu transit makanan dalam saluran pencernaan, menunda pengosongan lambung, dan penyerapan glukosa dengan lambat sehingga jumlah pati yang mencapai usus besar meningkat. Serat pangan juga bertindak sebagai pembawa senyawa antioksidan sebagai fungsi fisiologis. Pelepasan beberapa senyawa antioksidan dalam usus besar dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dan menghasilkan metabolit yang berbeda dengan efek sistemik potensial (Campos et al., 2014). Berdasarkan kelarutannya, serat pangan terbagi menjadi dua yaitu serat pangan yang terlarut dan tidak terlarut. Sedangkan dilihat berdasarkan pada fungsinya di dalam tanaman, serat dibagi menjadi 3 fraksi utama yaitu polisakarida struktural, non-polisakarida dan polisakarida non-struktural. Polisakarida struktural terdapat pada dinding sel, yaitu selulosa, hemiselulosa dan substansi pektik. Fraksi non-polisakarida struktural sebagian besar terdiri dari lignin. Sedangkan, polisakarida non-struktural terdapat pada gum dan agaragar (Feri Kusnandar, 2010, dalam Santoso, 2011). Kebutuhan konsumsi (adequate intake) serat makanan bagi orang dewasa adalah 20-35 g/hari. Namun, ada keragaman di dalam respon tubuh untuk meningkatkan intake serat makanan, karena komponen serat yang berbeda akan memberikan efek fisiologis yang berbeda pula. Serat makanan tidak dicerna di dalam usus, maka tidak berkepentingan dengan pembentukan energi. Akan tetapi serat dimetabolisme oleh bakteri yang berada dan melalui saluran pencernaan. Pengaruh nyata yang telah dibuktikan adalah bertambahnya volume feses, meningkatkan pengaruh laksatif, melunakkan konsistensi feses, memperpendek transit time di usus, memproduksi flatus, hasil produksi metabolisme bakteri dan keluaran anion organiknya akan mengubah garam empedu dan asam lemak berantai pendek yang menguntungkan kesehatan (Kusharto, 2006). c. Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa atau molekul yang dapat mencegah terjadinya proses oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya. Tubuh manusia sebenarnya dapat menghasilkan antioksidan tapi jumlahnya tidak mencukupi untuk menetralkan radikal bebas yang jumlahnya semakin menumpuk di dalam tubuh (Hernani dan Raharjo, 2005, dalam Sulandi dkk., 2013). Jenis antioksidan berdasarkan sumbernya terbagi menjadi dua yakni buatan dan alami. Penggunaan antioksidan buatan dalam jangka waktu panjang dan jumlah yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan hati (Nurhikmah, 2006, dalam Ramdani dkk., 2013). Sedangkan, antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta menghambat peroksidase lipid pada makanan (Sulandi dkk., 2013). Radikal bebas adalah molekul yang sangat tidak stabil, terdapat baik dari luar (eksternal) seperti polusi rokok yang bersifat karsinogenik maupun dari dalam (internal) hasil dari proses fisiologis tubuh. Jika tidak dikontrol, radikal bebas dapat merusak komponen sel misalnya, merusak DNA yang mengarah pada kanker, mengoksidasi lemak dalam darah, berkontribusi terhadap aterosklerosis dan penyakit jantung. Meski tubuh memproduksi antioksidan sendiri dan memiliki mekanisme pertahanan lain, asupan antioksidan dari makanan juga memiliki peran yang penting (Hedges dan Lister, 2006). Metode uji aktivitas antioksidan dengan DPPH (2,2-difenil-1 pikrilhidrazil) adalah metode yang sederhana, mudah, cepat, peka serta hanya memerlukan sedikit sampel untuk evaluasi aktivitas antioksidan dari senyawa bahan alam sehingga digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron atau hidrogen. Prinsip dari metode uji aktivitas antioksidan ini adalah pengukuran aktivitas antioksidan secara kuantitatif yaitu dengan melakukan pengukuran penangkapan radikal DPPH oleh suatu senyawa yang mempunyai aktivitas antioksidan dengan menggunakan spektrofotometri (Sulandi dkk., 2013). DPPH (α, α, diphenyl-β-picrylhydrazyl) adalah nitrogen stabil yang berperan sebagai radikal bebas. DPPH telah digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan dengan mengukur kapasitas pendinginan radikal dalam waktu yang relatif singkat. Bahan pangan ditemukan menunjukkan aktivitas penghambatan radikal bebas yang lebih efektif terhadap DPPH (Doss et al., 2011c). Molekul DPPH yang mengandung radikal bebas dan molekul DPPH yang telah bersifat nonradikal karena telah bereaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.3 Molekul DPPH (Molyneux, 2004) Reaksi yang terjadi menimbulkan warna ungu tua yang disebut delokalisasi elektron. Larutan DPPH yang dicampur dapat menyumbangkan atom hidrogen, sehingga menimbulkan bentuk tereduksi. Warna ungu akan menghilang atau berkurang sesuai dengan aktivitas antioksidan. Pada pencampuran DPPH dengan bahan diharapkan dapat berwarna kuning pucat yang merupakan sisa dari kelompok picryl dan DPPH berubah menjadi non-radikal. Bentuk molekul DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Molyneux, 2004). Menurut hukum Lambert-Beer, ada korelasi sebanding antara konsentrasi dengan absorbansi, jika terjadi penurunan konsentrasi maka absorbansi spektrum sinar dari larutan tersebut juga akan mengalami penurunan. Turunnya absorbansi menandakan berkurangnya konsentrasi radikal bebas dari DPPH. Berkurangnya konsentrasi radikal bebas dari DPPH dikarenakan adanya reaksi dengan senyawa antioksidan yang mengakibatkan molekul DPPH tereduksi dan diikuti dengan berkurangnya intensitas warna ungu dari larutan DPPH (Sulandi dkk., 2013). Antioksidan dapat menghentikan reaksi oksidatif berantai dengan cara menghilangkan intermediet radikal bebas dan menjadi teroksidasi sendiri. Defisiensi atau adanya ketidakseimbangan jaringan ini dalam tubuh dihubungkan dengan penyakit seperti kanker, artherosclerosis, diabetes, dan penuaan dini. Aktivitas antioksidan dapat ditentukan melalui uji DPPH scavenging. Dalam pengujian secara in vitro dari ekstrak ganyong menggambarkan adanya tingkat polifenol, flavonoid, dan antioksidan yang tinggi (Mishra et al., 2011). Aktivitas antioksidan ekstrak tepung kara pedang tanpa perlakuan adalah sebesar 61.1% dengan IC50 5μg/ml (Chaturedi et al., 2015). Sedangkan, aktivitas penghambatan radikal bebas dari biji mentah kara pedang berkisar 38.04-68.51% (Doss et al., 2011c). d. Total Fenol Warna umbi-umbian sangat dipengaruhi oleh senyawa fenol dan aktivitas enzim fenolase atau polifenol oksidase (PPO), pigmen dalam umbi, gum, dan lendir pada lapisan luar/di dalam jaringan umbi yang dapat membawa kotoran sehingga memberikan kenampakan lebih buruk. Polifenol menyebabkan terjadinya pencoklatan enzimatis, yaitu reaksi polifenolase dan oksigen di udara. Enzim tersebut keluar apabila terjadi luka pada umbi. Ganyong memiliki derajat putih yang rendah karena kandungan fenol yang tinggi dan mengakibatkan peningkatan aktivitas enzim fenolase sehingga menimbulkan warna coklat (Richana dan Titi, 2004, Pangesthi, 2009). Fenol telah dikenal sebagai komponen yang bersifat fungsional untuk kesehatan seperti antikanker, antivirus, antimikroba, antiinflamasi, antihipertensi dan aktivitas antioksidannya yang tinggi (Kala dan Mohan, 2012). Senyawa fenolik diakui sebagai kelompok utama antioksidan dalam makanan nabati. Serat pangan dan antioksidan menjadi syarat makanan sehat dan bahan fungsional. Namun, sebagian besar polifenol antioksidan yang terdapat dalam makanan nabati berkaitan dengan serat pangan dan sebagai bagian penting dari total antioksidan dalam makanan (Campos et al., 2014). Total Fenol terlarut pada umbi ganyong dan residu umbi ganyong berturt-turut adalah sebesar 17.47 g GAE/100 g dan 89.09 g/100 g. Sedangkan, kandungan total fenol tepung kara pedang yang mendapat perlakuan perendaman sebesar 57.6 mg GAE/100 g lebih rendah dari tepung kara pedang tanpa perlakuan apapun yakni 90.5 mg GAE/100 g (Chaturedi et al., 2015). 7. Diabetes Mellitus tipe 2 Tepung komposit dari ganyong dan kara pedang diharapkan mampu bermanfaat sebagai pangan fungsional alternatif diet bagi penderita diabetes mellitus tipe 2. Diabetes mellitus adalah sindrom metabolik heterogen yang ditandai dengan hiperglikemia (kadar glukosa darah yang tinggi) akibat resistensi insulin, insufisiensi insulin, atau keduanya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta pankreas untuk memanfaatkan glukosa yang dicerna sebagai sumber energi. Diabetes mellitus terbagi menjadi dua jenis tipe yakni tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 ditandai dengan ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin, sehingga diperlukan hormon insulin dari luar tubuh yang disuntikkan setiap hari. Diabetes tipe 1 biasanya didiagnosis pada masa kanak-kanak atau remaja. Diabetes tipe 2 adalah hasil dari kegagalan fungsi pankreas dalam memproduksi insulin yang cukup. Diabetes tipe 2 biasanya didiagnosis pada masa dewasa. Namun, dengan meningkatnya insiden obesitas dan resistensi insulin bersamaan, jumlah anak didiagnosis dengan diabetes tipe 2 juga meningkat di seluruh dunia (Ko, 2000, Loghmani, 2005). Pada diabetes mellitus tipe 2, pankreas penderita masih dapat membuat insulin, tetapi kualitas insulin yang dihasilkan buruk dan tidak dapat berfungsi dengan baik. Akibatnya, glukosa dalam darah meningkat. Kemungkinan lain terjadinya diabetes melitus tipe 2 adalah sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin (insulin resistance) sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam saluran peredaran darah. Keadaan ini umumnya terjadi pada penderita yang gemuk atau mengalami obesitas (Putri dan Muhammad, 2013). Kawasan Asia-Pasifik adalah wilayah yang menyumbangkan proporsi yang tinggi terhadap populasi dunia. Hal ini berpotensi mempengaruhi tingkat prevalensi diabetes. Prevalensi diabetes sangat bervariasi, dan umumnya berkaitan dengan tingkat kemakmuran dan tingkat industrialisasi pada masing-masing negara. Jenis prevalensi diabetes tipe 2 menunjukkan perbedaan yang nyata di setiap wilayah, gaya hidup, kemakmuran, mekanisasi, dan urbanisasi menjadi beberapa penyebab utamanya. Diabetes tipe 2 juga menjadi semakin umum pada orang yang lebih muda (Cokram, 2000). Prevalensi diabetes mellitus Indonesia pada tahun 2010 adalah 4.8% dengan jumlah penderita dewasa sebanyak 6.96 juta orang, sedangkan pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 5.9% sebanyak 11.98 juta orang dengan rata-rata peningkatan penderita tahunan sebesar 251 ribu orang (Shaw et al., 2010). Pada tahun 2030 diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia adalah 21.3 juta orang dan menempati urutan keempat sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia (Wild et al., 2004). Jenis karbohidrat makanan dalam menaikkan kadar glukosa darah dapat ditentukan dengan nilai indeks glikemik. Indeks glikemik telah diperkenalkan oleh dr. David Jankins sejak tahun 1981 sebagai sistem alternatif. Kandungan indeks glikemik yang tinggi dalam makanan merupakan awal dari tingginya kadar glukosa darah dan kadar insulin, yang diikuti dengan gejala masing-masing tubuh yang dapat menyebabkan asupan makanan berlebihan dan terjadinya disfungsi berbagai sel dalam tubuh (Ludwig, 2002). Bahan pangan yang bersifat hipoglisemik (rendah kadar glukosa) dan hipokolesterolemik (rendah kolesterol) sangat diperlukan pada pengaturan diet penderita diabetes melitus. Berbagai jenis polongpolongan sumber protein nabati mempunyai sifat hipoglisemik dan hipokolesterolemik. Selain itu, kandungan amilosa yang besar akan memberi kontribusi pada rendahnya indeks glikemik (Nafi dkk., 2013). Pangan dengan jenis yang sama dapat memiliki IG yang berbeda apabila diolah dengan cara yang berbeda karena dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan komposisi zat gizi penyusun pangan, sehingga dapat mempengaruhi daya cerna zat gizi. Varietas yang berbeda pada jenis pangan juga akan mempengaruhi IG. Beberapa faktor yang mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), rasio amilosa-amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak, kadar protein, serta kadar antinutrisi pangan (Widodo dkk., 2014). Kandungan protein pada bahan akan mengurangi jumlah glukosa yang dikeluarkan dari jaringan ke sirkulasi sistemik sehingga menurunkan nilai IG. Selain itu, perbandingan amilosa terhadap amilopektin merupakan faktor fisik yang mempengaruhi nilai IG (Sari dkk., 2013). Indeks glikemik (IG) dan kadar serat kasar ganyong adalah 20.8 dan 3.84% jauh lebih baik dari beras (72.8 dan 1.32%). Kandungan dasar indeks glikemik dalam makanan, sifat fisik amilum, kandungan gula, keasaman, dan kadar serat merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konversi karbohidrat menjadi glukosa. Nilai indeks glikemik berbanding terbalik dengan kadar serat. Hal ini dikarenakan adanya serat pangan menghambat absorpsi nutrisi termasuk karbohidrat, sehingga kadar glukosa darah tidak mengalami kenaikan yang besar pasca mengkonsumsi umbi-umbian (Lukitaningsih dkk., 2012). B. Kerangka Berpikir Perkembangan tren pangan fungsional Indonesia kaya akan bahan lokal yang berpotensi sebagai pangan fungsional Indonesia memiliki sumber daya lahan yang luas untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian Indonesia memiliki potensi umbi yang beragam sebagai sumber karbohidrat Indonesia memiliki potensi kacangkacangan sebagai sumber protein Ganyong adalah salah satu umbi inferior lokal yang memiliki rasa yang enak dan masa panennya relatif singkat Kara pedang adalah kara lokal yang memiliki harga yang relatif murah namun kurang populer Senyawa fungsional yang terdapat dalam ganyong dan kara pedang seperti, antioksidan, serat pangan, dan pati resisten. Penggabungan komoditas ganyong dan kara pedang Tepung komposit bertujuan untuk mendapatkan karakteristik bahan sesuai dengan yang diinginkan Tepung komposit ganyong dan kara pedang Pangan fungsional untuk alternatif diet bagi penderia diabetes mellitus tipe 2 Gambar 2.4 Kerangka Berpikir Penelitian C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah perbedaan formula tepung komposit dari ganyong dan kara pedang mempengaruhi karakteristik fisik, kimia, dan fungsional yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan fungsional dan alternatif pangan untuk penderita penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2.