TINJAUAN PUSTAKA Limbah Limbah pada dasarnya suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis. Limbah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu limbah yang berbentuk cair (limbah cair), limbah yang berbentuk padat (limbah padat) dan limbah yang berbentuk gas (limbah gas). Limbah dapat terbuang di tanah, di perairan atau di udara. Besar tidaknya dampak limbah yang terbuang terhadap lingkungan tergantung dari sifat dan jumlah limbah serta daya dukung atau kepekaan lingkungan yang menerimanya (Murtadho dan Said, 1988). Air limbah dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain rumah tangga, kota, industri, pertanian dan sebagainya. Air limbah dapat menyebabkan kematian organisme air. Bahan buangan yang beracun menyebabkan kematian semua spesies atau perubahan kemampuan reproduksi, pertumbuhan dan resistensi terhadap penyakit (Sutrisno dan Suciastuti, 1991). Limbah Peternakan Menurut Sahidu (1983) Kotoran ternak adalah hasil buangan metabolisme atau kotoran ternak yang kadang-kadang bercampur dengan urine. Limbah peternakan dapat merupakan pencemaran lingkungan baik yang berupa bau busuk atau pencemaran air terbuka oleh kotoran ternak. Selain itu limbah peternakan dapat mennyebabkan gangguan lainnya seperti gangguan estetika yang terjadi akibat limbah merusak pemandangan, mengundang lalat dan berbau tidak sedap (Azevedo and Strout, 1974). Produksi kotoran setiap spesies ternak merupakan fungsi dari bobot badannya, dimana ternak yang lebih besar memproduksi kotoran lebih banyak. Beberapa gas berbau seperti hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH4) yang dihasilkan mikroba dalam kotoran ternak dapat membahayakan manusia dan ternak jika terakumulasi dalam konsentrasi tinggi, karena keduanya termasuk gas beracun. Gas beracun memiliki nilai ambang batas tertentu terhadap manusia dan ternak, yang jika dilampaui akan mengakibatkan kematian (Curtis, 1972 dalam Fontenot et al., 1983). 3 Limbah Tapioka Ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela pohon, singkong atau kasape. Ubi kayu berasal dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India dan Tiongkok. Ketela pohon diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 1852. Klasifikasi tanaman ketela pohon adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot Spesies : M. utilissima Pohl., M. esculenta Crantz sin. (Hambali et al., 2007) Tjokroadikoesoemo (1986), menyebutkan kegunaan ubi kayu sebagai bahan pokok pangan sudah dikenal orang sejak zaman bangsa Maya di Amerika Selatan sekitar 2000 tahun yang lalu, atau bahkan zaman sebelumnya. Ubi kayu dapat dimakan dalam berbagai bentuk masakan. Di Indonesia ubi kayu dimakan setelah dikukus, dibakar, digoreng, diolah menjadi berbagai macam penganan, atau diragikan menjadi tapai. Industri pengolahan tapioka menghasilkan limbah cair dari proses pencucian, ekstraksi dan pengendapan. Limbah cair industri tapioka yang masih baru berwarna putih kekuningan, sedangkan limbah yang sudah busuk berwarna abu-abu gelap. Kekeruhan yang terjadi pada limbah disebabkan oleh adanya bahan organik, seperti pati yang terlarut, jasad renik dan koloid lainnya yang tidak dapat mengendap dengan cepat. Limbah cair tapioka dari hasil pengendapan memiliki nilai BOD sebesar 1450,8–3030,3 mg L-1 dengan rata-rata 2313,54 mg L-1, COD sebesar 3200 mg L-1 dan padatan terlarut 638,0–2836,0 mg L-1 serta kandungan sianida (CN) sebesar 19,58–33,75 mg L-1. Sebanyak 1000 kg ubi kayu yang telah bersih dan terkupas kulitnya (kandungan bahan kering 35%) dapat menghasilkan limbah cair sebesar 514 kg (Tjokroadikoesoemo, 1986). Secara garis besar proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 1. 4 SINGKONG Pengupasan Pencucian Pemarutan Ekstraksi Pengendapan Penjemuran Penggilingan Pengayakan TEPUNG TAPIOKA Gambar 1. Skema Proses Produksi Industri Tapioka Sumber : Bapedal, 1996 5 Fermentasi Anaerob Kondisi anaerob adalah kondisi dalam ruangan tertutup (kedap udara) dan tidak memerlukan oksigen (Stafford et al., 1980). Menurut Barnett et al. (1978), fermentasi anaerob adalah proses perombakan bahan organik secara mikrobiologis dalam keadaaan anaerob, dimana dihasilkan gas bio berupa campuran gas dimana CH4 dan CO2 merupakan gas yang dominan. Secara sederhana reaksi fermentasi anaerobik tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut (Buswell and Mueller, 1952 dalam Tjokroadikoesoemo, 1986) : Banyaknya gas yang dihasilkan secara teoritis dapat dihitung berdasarkan kenyataan bahwa tiap 1 kg karbon yang terkandung di dalam substrat akan menghasilkan 1/12 kmol gas atau 1,867 m3 gas pada suhu dan tekanan standar. Fermentasi anaerob terjadi dalam tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap asetogenik (pembentukan asam) dan tahap metanogenik (Gambar 2). Tahap Hidrolisis Senyawa-senyawa organik dengan susunan molekul yang amat kompleks itu mula-mula dihidrolisis oleh jasad renik (bakteri-bakteri) menjadi monomermonomernya (glukosa atau selulosa dan selubiosa). Sejumlah bakteri yang berperan pada tahap ini adalah bakteri selulitik dan amilolitik. Bakteri-bakteri tersebut dapat digolongkan menjadi : - Bakteri mesofilik : yang bekerja pada suhu optimum sebesar 35 - 40oC - Bakteri termofilik : yang bekerja pada suhu optimum sebesar 55 - 60oC Kerjasama dari kedua golongan bakteri ini di dalam proses fermentasi anaerobik menghasilkan proses hidrolisis lebih cepat dibandingkan bakteri-bakteri tersebut bekerja sendiri-sendiri. Bakteri selulolitik bekerja secara optimum pada pH sekitar 5,0–7,0 (Tjokroadikoesoemo, 1986). Hidrolisis selulosa merupakan tahap yang paling lambat. Produk dari tahap hidrolisis berupa komponen lebih sederhana yang berfungsi mendukung reduksi limbah total, menstabilkan serta merupakan sumber energi penting bagi komponen bakteri (Barnett et al., 1978). Pengubahan selulosa oleh bakteri tergantung pada suasananya, suasana aerob akan dihasilkan 6 karbon dioksida, air dan panas sedangkan pada suasana anaerob akan dihasilkan karbon dioksida, etanol dan panas (Hadiwiyoto, 1983). Selulosa selulosa Hidrolisis glukosa Glukosa glukosa asam laktat Pengasaman Asam butirat etanol Asam lemak dan Alkohol Metanogenik Metan + CO2 Gambar 2. Tahapan Pembentukan Gas Bio Sumber : FAO, 1962. Tahap Asetogenik Karbohidrat sederhana yang dihasilkan tahap hidrolisis akan menjadi substrat bagi bakteri asetogenik dan difermentasi menjadi H2, CO2, asam format, asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat, asam laktat dan asam lainnya serta alkohol sederhana. Susunan atau komposisi dari senyawa-senyawa dari produk proses tahap ini bergantung pada jenis flora di dalam digester, komposisi substrat dan kondisi-kondisi lingkungan bagi flora yang bersangkutan (Tjokroadikoesoemo, 1986). 7 Golongan bakteri pembentuk asam bersifat fakultatif aerob, artinya pada suasana aerob pun bakteri ini masih dapat hidup dan aktif mengadakan perombakan (Hadiwiyoto, 1983). Bakteri ini akan memecah struktur organik kompleks menjadi asam asam volatil (struktur kecil). Protein dipecah menjadi asam asam amino. Karbohidrat dipecah menjadi gula dengan struktur yang sederhana. Lemak dipecah menjadi asam yang berantai panjang. Hasil dari pemecahan ini akan dipecah lebih jauh menjadi asam asarn volaid. Bakteri asetogenik juga dapat melepaskan gas hidrogen dan gas karbondioksida (Firdaus, 2003). Tahap Methanogenik Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), semua bahan organik terlarut pada tahap methanogenik dikonversikan oleh bakteri-bakteri metanogenik menjadi metana. Energi hampir-hampir tidak diperlukan dalam proses ini. Demikian juga perkembangbiakan bakteri metanogenik juga hampir-hampir tidak ada. Sebagian amonia yang dihasilkan di dalam tahap sebelumnya dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen oleh bakteri-bakteri metanogenik ini. Bakteri metanogenik membutuhkan kondisi potensial oksidasi-reduksi (Eh) yang rendah di dalam substrat (di bawah 330 mV). Kondisi semacam ini juga dihasilkan pada tahap sebelumnya, karena bakteri metanogenik tidak memiliki kemampuan untuk menurunkan Eh. bakteri metanogenik juga sangat peka terhadap perubahan pH. Produktivitas bakteri dalam keadaan optimum pada pH sekitar 6,6 – 7,6, di bawah pH 6,6 produksi akan turun dengan cepat, dan di bawah pH 6,2 sebagian bakteri akan mati (Tjokroadikoesoemo, 1986). Baku Mutu Limbah Industri Tapioka Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemaran. Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang kelingkungan hidup. Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup. Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup (Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: 03/MENLH/1998). 8 Baku mutu limbah industri tapioka yang dipersyaratkan hanya limbah cairnya saja (Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP- 1/MenLH/10/1995) dengan karakteristik tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Tapioka Parameter Bioligycal Oxygen Demand (BOD) Chemical Oxygen Demand (COD) Total Solid (TTS) Sianida (CN) pH Debit Limbah Maksimum Kadar Maksimum (mg L-1) Beban Pencemaran Maksimum (kg ton-1) 150 4,5 300 9 100 0,3 3 0,009 6,0-9,0 30 m per ton produk tapioka 3 Catatan : 1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk tapioka. Sumber : Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-1/MenLH/10/1995 Nilai pH Sutrisno dan Suciastuti (1991) menyebutkan bahwa pH merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan intensitas keadaan asam atau basa sesuatu larutan. Nilai pH merupakan salah satu cara untuk menyatakan konsentrasi ion H+. Nilai pH menjadi suatu indikator dalam proses penjernihan air limbah untuk meningkatkan efisiensi proses penjernihan. Menurut Hardjo et al. (1989), salah satu faktor kritis bagi pertumbuhan mikroba adalah pH, oleh karena itu pengaturan pH selama fermentasi perlu dilakukan. Kecepatan perkembangan organisme merosot sangat pesat pada pH di bawah enam dan diatas delapan (Mahida, 1984). Konsentrasi ion hidrogen adalah ukuran kualitas dari air maupun air limbah. Air limbah dengan konsentrasi air limbah yang tidak netral akan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses penjernihannya. Nilai pH yang baik bagi air minum dan air limbah adalah netral (Sugiharto, 1987). 9 Chemical Oxygen Demand (COD) Chemical Oxygen Demand (COD) adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi secara kimia. Nilai COD selalu lebih besar daripada Biologycal Oxygen Demand (BOD) karena kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara biologi. Pengukuran COD membutuhkan waktu yang lebih cepat, yakni dapat dilakukan selama tiga jam (Siregar, 2005). Angka COD adalah jumlah oksigen (mg) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam satu liter sampel air, dimana pengoksidasian K2 Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara ilmiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air (Alaerts and Santika, 1984). Parameter COD atau kebutuhan oksigen kimia, merupakan parameter penting untuk menentukan derajat pencemaran, yakni memberikan ekuivalen oksigen bahan organik yang dapat dioksidasi oleh oksidator kimia kuat (Hartomo dan Widiatmoko, 1994). Total Solid (TS) Total Solid (TS) merupakan bahan yang tertinggal sebagai residu pada penguapan dan pengeringan pada suhu 103-105oC. Total solid terdiri atas bahan terlarut (dissolved solid) dan tidak terlarut (suspended solid) yang ada di air. Adanya residu dalam air menyebabkan kualitas air tidak baik, menimbulkan berbagai reaksi dan mengganggu estetika. Pengukuran total solid dengan cara pengeringan sampel pada temperatur tertentu kemudian perbedaan berat sampel sebelum dan sesudah proses pengeringan menunjukkan konsentrasi solid dalam air (Sutrisno dan Suciastuti, 1991). Adanya padatan dalam air mempengaruhi tingkat kekeruahan air, semakin tinggi muatan padat tersuspensi yang bervariasi dalam ukuran koloid sampai dispersi kasar maka akan semakin keruh. Padatan-padatan (total solid, suspended solid dan disolved solid), serta kondisinya sebagai fraksi volatil dan fixed dapat digunakan untuk menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses dan beban unit proses (Siregar, 2005). 10 Sianida (HCN) Sianida dimasukkan dalam standar persyaratan kualitas air minum, oleh karena sebagai single-dose, 50-60 mg adalah bersifat fatal; intake sebesar 3-5 mg/hari tidak menimbulkan gangguan begitu juga untuk single-dose sebesar 10 mg. Konsentrasi sebesar 0,2 mg L-1 akan bersifat letal bagi ikan tawar untuk kontak selama 2 hari. Chlorinasi akan mengubah sianida menjadi cyanogen chloride yang mempunyai oral toxicity yang akut 1/20 dari sianida (Sutrisno dan Suciastuti, 1991). Ubi kayu mengandung racun glukosida sianogenik (linamarin dan lotaustralin) yang sewaktu hidrolisis dapat menghasilkan asam sianida dan glukosa. Racun ubi kayu dalam kadar yang tinggi dapat berakibat fatal atau mengakibatkan penyakit keracunan yang dinamakan tropical ataxic neuropathy. Kandungan tiosianat di dalam serum darah bila cukup tinggi dapat mengganggu pekerjaan kelenjar gondok sehingga penderitanya dapat terserang penyakit gondok (goitre) atau kekerdilan (cretinism) (Tjokroadikoesoemo, 1986). 11