MISTISISME DALAM SENI SPIRITUAL BERSIH DESA DI

advertisement
MISTISISME DALAM SENI SPIRITUAL BERSIH DESA DI KALANGAN
PENGHAYAT KEPERCAYAAN
Suwardi
FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat dalam Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa
Vol. 1 No. 2 Agustsus 2006
ISSN:1858-294-X
Abstract:
This article is intended to analyze the consept of misticism in the perspective symbol
and structural-fungsionalism of bersih desa ritual in the area of penghayat kepercayaan. The
analysis shows that, first, ritual of bersih desa as connected media beetwen penghayat
kepercayaan and God. Bersih desa is happens that in already of panen. Second, bersih desa
generally and conventionally as ritual process that reflection of Javanese moral (budi pekerti).
Bersih desa in the rural culture are formated to art performance. The title of shadow play
is Sri Mulih. This performance as medium looking for slamet. Included of sesajen bersih desa
for them forefather. The slametan, a ceremonial meal consisteing of offerings, symbolic foods,
a formal speech, and a prayer, is very modest event by the standards of bersih desa. The
slametan bersih desa is a communal affair. Therefore, the slametan in pengahayat
kepercayaan is Javanese religion. Bersih desa is misticism ritual as rite for the living, the
sedhekah for God.
Keyzvords: bersih desa, misticism, symbol, performance
A.Bersih Desa: Tradisi, Keselamatan Hidup, dan Spiritualitas
Kegiatan bersih desa dilakukan oleh banyak desa di Jawa, dengan nama dan cara yang tidak
selalu sama. Ada yang menyebutnya sedekah desa, karena di dalam acara tersebut
diadakan sedekah massal. karena dalam kendurinya disajikan. Ada pula yang menyebut
rasulan, kan selamatan rasulan (sega gurih dan lauk ingkung ayam). Ada lagi yang
menyebut memetri desa, karena dalam kegiatannya dilakukan pembenahan dan
pemeliharaan desa, baik mengenai semangat maupun acara kegiatannya. Dari sekian ragam
istilah bersih desa, esensinya merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup.
Bersih desa sebagai tradisi budaya juga memuat seni spiritual. Seni spiritual ini, perlu
dilihat lebih jauh dari aspek etnografi agar jelas makna dan fungsinya. Jadi, mencermati seni
dari sisi budaya bukanlah seni sebagai seni, melainkan seni dalam konteks (Simatupang,
2005: Kuliah Dinamika Seni dan Budaya, 13 September). Pendapat ini memberikan gambaran
bahwa di balik fenomena tradisi dan seni, memuat konteks etnografi yang menarik
diperbincangkan. Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih desa, dapat terkait dengan
berbagai hal, antara lain tempat, waktu, dan pelaku, dalam rangkaian sebuah prosesi seni
budaya. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi
ada seni.
Waktu penyelenggaraan bersih desa pun bisa berbeda-beda. Bahkan teks dan tatacara
ritual masing-masing wilayah dapat berbeda satu sama lain. Perbedaan aktivitas budaya
semacam ini menurut James (1980:132) justru menarik dari sisi antropologi. Perbedaan ini
juga menarik untuk dianalisis lebih mendalam. Lebih jauh lagi Turner dan Schechner
(Murgiyanto, 1998:11) menjelaskan agar ditekankan antropologi pertunjukan pada "proses"
atau "bagaimana" pertunjukan mewujud dalam ruang, waktu, konteks sosial dan budaya masyarakat pendukungnya. Pendapat ini menekankan agar kajian budaya, seni, dan ritual
mampu mengaitkan dengan pemilik budaya itu. Perbedaan dan kesamaan proses,
merupakan aspek penting bagi pemahaman makna dan fungsi seni spiritual. Hal ini dapat
dipahami bahwa satu-satunya kesamaan dalam bersih desa adalah waktu pelaksanaan yaitu
satu tahun sekali, biasanya sesudah musim panen.padi. Bersih desa sebagai tradisi budaya
juga memuat seni spiritual.
Sedangkan bulan, hari, tanggal, dan cara pelaksanaannya, tidak selalu sama antara
satu desa dengan desa yang lain. Perbedaan ini tergantung pada pilihan masing-masing
desa. Tiap desa tentu mempunyai waktu pilihan, kegiatan pilihan, sesuai dengan kepentingan dan kebiasaan desa setempat, misalnya (1) bersih desa dijatuhkan pada hari
dimulainya pemukiman di desa tersebut, (2) dilaksanakan bersama dengan hari lahir atau
mangkatnya cikal bakal desa.
Tempat penyelenggaraan bersih desa dan pesta desa mengikuti kebiasaan desa
setempat. Ada kegiatan yang merata dilakukan di seluruh lingkungan desa beserta
penghuninya, di samping itu juga ada kegiatan yang dipusatkan pada tempat-tempat
tertentu, misalnya (1) tradisi puncak dipusatkan di balai desa, (2) pesta desa dipusatkan di
lapangan desa setempat, (3) sedekahan massal dilaksanakan di makam leluhur, (4) sesaji
dan doa dilakukan di makam atau petilasan cikal bakal desa.
Waktu dan tempat penyelenggaraan bersih desa tetap menjadi pertimbangan
tersendiri. Aspek kesakralan baik hari maupun tempat menjadi pertimbangan penting,
karena hari dan tempat akan menentukan keberhasilan selamatan. Apalagi, dalam konteks bersih desa itu masyarakat hendak memanjatkan doa dalam suasana keheningan,
sehingga hari dan waktu selalu diarahkan untuk menemukan kesucian. Hal ini senada
dengan pemikiran Eliade (Baal, 1988 :196) bahwa religi seseorang (primitif) selalu menuju
ke arah hierophanie, dari kata hieros (suci) dan phanein (menunjukkan). jadi hierophanie
merupakan sasaran penting penghayat kepercayaan dalam menjalankan bersih desa agar
mendapatkan kesucian. Kesucian berarti keabadian yang merupakan tanda-tanda akan
datangnya keselamatan hidup.
Tujuan utama dari proses hierophanie bersih desa tidak sekedar formalitas ritual
tahunan. Tradisi ini memiliki bobot spiritual yang luar biasa. Paling tidak, melalui ritual
tersebut bersih desa menjadi sebuah wahana antara lain (1) menyatakan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa atas ketentraman penduduk dan desa, hasil panennya yang
memuaskan, (2) memberi penghormatan kepada para leluhur dan cikal bakal desa yang
telah berjasa merintis pembukaan desa setempat, (3) mengharapkan pengayoman
(nyuzvun wilujeng) dari Tuhan Yang Maha Esa dan Rasulullah, agar panen mendatang
lebih meningkat dan hidup masyarakat desa lebih sejahtera. Di dalamnya terdapat laku
mistik Kejawen yang kental dengan nilai-nilai mitos.
Oleh karena itu, tradisi tersebut telah mendarah daging, dalam masyarakat Jawa
pedesaan, karena hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Format bersih desa dari
waktu ke waktu bisa saja berbeda atau berubah, namun esensinya tetap pada pendekatan
diri pada Tuhan. Atas dasar ini, bersih desa dapat berusia panjang. Masing-masing
wilayah di Jawa memiliki keunikan sendiri-sendiri dalam melaksanakan bersih desa. Salah
satu aktivitas bersih desa yang tergolong unik, adalah fenomena yang ada di wilayah
Prangkokan, Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo yang biasanya dilakukan paska panen
padi dan palawija, menjelang akan dimulainya proses penggarapan sawah (wiwit).
Keunikan tradisi bersih desa di wilayah ini, yaitu selalu menggunakan seni pertunjukan
ritual berupa wayang kulit. Rangkaian ritual telah ditata menurut laku dan aktivitas spiritual. Di dalamnya terdapat laku mistik Kejawem yang kental dengan nilai-nila mitos.
Oleh karena bersih desa yang dilaksanakan di kawasan pegunungan Menoreh itu
telah berusia lama, memiliki kesejarahan mitos yang panjang. Tradisi ini juga terdapat
mitos-mitos yang diyakini akan membawa. berkah apabila dihormati melalui bersih desa,
dan sebaliknya akan mendatangkan bahaya apabila masyarakat meninggalkannya.
Fenomena ritual terscbut, dalam seni pertunjukan spiritual juga selalu digunakan. Ada
perasaan takut masyarakat jika bersih desa tidak melaksanakan oertunjukan wayang kuiit.
ltulah sebabnya, masyarakat Islami berjuang keras agar bersih desa tetap terselenggara
meskipun dalam ekonomi yang kurang memungkinkan.
Dengan kaca masyarakat seIalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan
rencana Dersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong
royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup. Kondisi ini
meneguhkan kembali pendapat Tylor (Coleman dan Watson, 2005:134) bahwa inti dari
religi adalah kepercayaan pada hal-hal spiritual. Penjelasan ini, mengisyaratkan bahwa
nilai-nilai spiritual jauh lebih penting dibanding nilai material daiam bersih desa. Nilai-nilai
spiritual tersebut menjadi penggcrak batin warga masyarakat untuk selalu mengadakan
aktivitas bersih desa.
B. Bersih Desa: Penghayat Kepercayaan dan Budi Luhur
Rangkaian tradisi bersih desa di wilayah Prangkokan Purwosari, Girimulyo Kulon Progo
sebagian besar didukung oleh kelompok penghayat kepercayaan. Meskipun pada
umumnya para peiaku tidak secara terang-terangan masuk dalam aliran penghayat
kepercayaan, namun hampir lima puluh persen mereka kaum abangan. Agama resmi
hanya KTP (administratif), namun dunia batin yang diterapkan adalah memanfaatkan
tradisi penghayat kepercayaan. Menurut tradisi leluhur, mereka menjalankan laku-laku
mistik bersih desa, untuk mendapatkan kesempurnaan hidup.
Hal ini memang cukup berlasan, karena menurut Wongsonegoro (Permadi,1995:24)
hakikat dari aktivitas penghayat kepercayaan (kebatinan) tidak lain merupakan langkah
panembalt dan budi luhur. Penekanan kebatinan, di samping panembah adalah
tercapainya budi luhur dan kesempurnaan hidup. Melalui ritual bersih desa, diharapkan
tercapa; kesempurnaan hidup dan budi luhur. Oleh karena selamatan bersih desa
dilaksanakan dengan cara yang khas, khidmat, dan sacral, penuh dengan laku-laku mistik,
baik yang diwujudkan dalam bentuk sesaji, pertunjukan, dan tradisi mistik.
Inti dari aktivitas bersih desa adalah pemujaan. Doa-doa terkandung dalam
pemujaan, baik yang diwujudkan dalam bentuk mantra maupun seni pertunjukan.
Biasanya para penghayat kepercayaan menjadikan bersih desa sebagai tradisi sakral. T
radisi ini mempunyai sasaran pada caos pisungsung, artinya pemberian pengorbanan
kepada leluhur. Hubungan antara penghayat kepercayaan dengan leluhur tampak dekat, y
akiu melalui batin. Kontak batin, akan terjadi pada saat bersih desa dilaksanakan tahap
demi tahap. Tradisi demikian dilandasi oleh aktiwitas moral yang tinggi yang disebut budi
luhur. Budi luhur merupakan perisai hidup penghayat kepercayaan yang dilakukan dengan
cara-cara beradab, ketika berhubungan dengan roh leluhur. Apalagi, mereka menganggap
bahwa roh di wilayah tersebut ada yang menjadi nenek moyang.
Pekerti penghayat pada saat bersih desa, tergolong etika moral Jawa yang luhur.
Mereka menjadikan tradisi ini mempunyai sasaran pada caos pisungsung, artinya
pemberian pengorbanan kepada leluhur. Untuk menjalankan aktivitas mulai membuat
sesaji, bertapa, membersihkan diri, membersihkan kuburan, membuat tarub, doa, seni
pertunjukan, dan sebagainya didasarkan atas pekerti budi luhur. Konteks ini sejalan
dengan pendapat Geertz (1973:126) bahwa religi merupakan pancaran kesungguhan
moral. Bersih desa merupakan bagian khusus religi Jawa. Di dalamnya menuntut
kewajiban instrinsik yang kudus. Implikasi dari seluruh hal ini, tidak lain sebagai
perwujudan hidup yang berbudaya. Segala pekerti penghayat kepercayaan menjadi sinar
batin yang luhur.
Pekerti para penghayat kepercayaan demikian, sejalan dengan makna kata bersih
desa yang senada dengan mreti desa. Bersih desa, berarti membersihkan desa baik lahir
maupun batin. Sedangkan kata merti desa, berasal dari kata merti aslinya dari kata mreti,
dan bisa juga berasal dari kata dasar preti. Kata preti bisa jadi aslinya dari bahasa Jawa
Kuna pitre (metatesis). Pitrekarya Dalam karya sastra Jawa Kuna ada kata artinya
memiliki hajat memberi pada arwah para leluhur. Penghayat kepercayaan jelas memiliki
tradisi menghormati arwah leluhur, dengan jalan ritual, seni spiritual, maupun semedi.
Seluruh pekerti ini dilaksanakan dengan keyakinan ada kontak batin antara dunia roh dan
dunia manusia.
Menurut Darusuprapta (1988:48) mreti desa kemungkinan besar masih berkaitan
dengan tata cara memberikan makanan (pengorbanan) kepada roh leluhur se'nagai cikal
bakal yang menjaga desa majupat maju lima pancer. Arwah tersebut, memang pantas
dimintai berkah agar membantu anak cucu. Roh leluhur itu dianggap yang menjadi
penjaga (backing) sajawining wangon dan salebeting wangon, artinya di luar karangan dan
di dalam pekarangan. Hal iW berarti bahwa penghayat kepercayaan mencoba mangaitkan
antara dunia (alam seisinya) dengan kosmologi Jawa.
Kaum penghayat kepercayaan dalam menghormati roh leluhur dan berupaya
manunggal dengan Tuhan, dilakukan secara mistik. Komunikasi batin yang diandalkan
pada diri mereka. Itulah sebabnya, dunia kebatinan menjadi fenomena yang amat penting
juga dalam lam bersih desa. Berbagai ritual mistik selalu dilakukan secara individu
maupun kolektif. Namun tingkatan masing-masing pada saat melakukannya amat berbeda
satu sama lain. Melalui tradisi mistik ini, penghayat kepercayaan melakukan kontak untuk
maneges, agar mendapatkan keselamatan hidup baik secara pribadi maupun kolektif
desanya.
Tolstoy (James, 2003:512) dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas memang
tidak salah jika berpendapat bahwa mistik bersifat tak tertandingi, di dalamnya menancap
iman. Keimanan menyebabkan seseorang hidup. Laku mistik penuh dengan moral luhur.
Tatacara yang dibangun dalam setiap semedi, tidak boleh dengan sembarangan.
Tindakan nyata dibangun atas dasar budi luhur. Karenanya, laku mistik pada saat bersih
desa, mulai dari penyiapan sesaji, pelaksanaan, sampai usai ritual selalu mengedepankan
budi luhur. Setiap penghayat dalam konsep ini kepercayaan akan menerapkan budi luhur
melalui doa-doa (donga) Kejawen, pembersihan diri, tapa, semedi, dan sebagainya.
Seluruh akivitas dikemas secara mistik, sehingga kemanunggalan batin dengan Tuhan
selalu menjadi acuan utama.
Penghayat kepercayaan dalam proses mistik bersih desa setidaknya akan mengikuti
irama liminalitas dan komunitas yang ditawarkan Turner (2005:359-360). Liminalitas
adalah kondisi threshold people, orang dalam suasana ambang. Hal ini juga terjadi pada
saat penghayat menjalan aktivitas ritual, mereka berada pada tahap preparasi (persiapan),
menuju "pintu" yang tidak jelas posisinya (betwixt dan between). Pada saat liminalitas
terjadi, berarti komunitas ada. Pada waktu proses bersih desa terjadi, baik dalam semedi,
pertunjukan wayang, sesaji, dan sebagainya terbentuk komunitas. Namun, komunitas
tersebut dalam keadaan ambigu. Komunitas itu baru akan menjadi jelas, ketika selesai
ritual. Komunitas itu menjadi reagregasi, artinya sempurna kembali.
Penghayat kepercayaan semula merasa was-was jika tidak menjalankan bersih
desa, berharap agar mendapat keselamatan. Baru pada saat prosesi berlangsung,
suasana penghayat berada ditengah penghayat kepercayaan akan menerapkan budi luhur
melalui doa-doa (donga) Kejawen, pembersihan diri, tapa, semedi, dan sebagainya. Mereka
semakin jelas eksistensinya setelah prosesi selesai, mendapatkan ketenteraman batin.
Jadi tahap-tahap bersih desa yang cuxup kompieks tadi, sebenarnya dapat diringkas
menjadi tiga, yaitu preparasi, timirthi, dan reagregasi. Bersih desa merupakan ` kawah
candradimuka" bagi pengillayai kepercayaan untuk menempa diri (batin), baik secara
individu maupun kolektif. Menurut Turner (Simatupang, 20"5:xi1) air tengah "kawah
Candradimuka" ada posisi ambang yang memuat tindal:ark reflexive mawas diri). Dengan
suasana yang serba tidak jeias ini; komunitas penghayat kepercayaan mengoreksi diri,
merenung, agar mencapai pencerahan batin. Mereka akan masuk ke wilayah
enlightenment yang luar biasa.
C. Tahap Kegiatan Bersih Desa dan Mistik Kejawen
Tahap pelaksanaan bersih desa diawali dengan laku-laku mistik oleh masyarakat
desa, terutama yang menganut penghayat kepercayaan. Sedangkan warga yang lain,
melakukan tahap-tahap secara umum, tanpa menjalarlcan ritual mistik. Bagi. penghayat
kepercayaan, tiga hari sebelum pelaksanaan telah melakukan laku mistik berupa tapa
mutih. Tapa mutih, berarti tidak makan nasi dan garam, hanya makan ketela atau yang
lain seadanya. Dengan cara ini, diharapkan ikut membantu kesempurnaan pembersihan
desa dari hal-hal yang mengganggu. Tapa tersebut oleh penghayat kepercayaan disebut
nglakoni. Tentu saja, sebagaian besar penghayat kepercayaan yang telah berusia dewasa
yang melakuka-n laku tersebut.
Bila bertumpu pada pendavat Hughes-Freeland (2998:70-71) tiap tahap anerupa.kan
sebuah ide dan praktek ritual. Setiap tahapan ada ide-ide khas dan praktek khusus
tentang ritual. Setiap ide dan praktek meimiliki makna yang khusus pula. Makna
termaksud selalu berkaitan der,gan proses sosial. Jadi, sccara antropologis penting
mencermati ritual melalui penciekatan proses sosial. Apalagi, di dalamnya akan
melukiskan konteks lokal dan kreativitas yang unik, tentu membut-ahkan ketajaman
analisis. Proses sosial itu juga mengandung makna simbolik yang luar biasa. Dalam kaitan
ini, dapat dipahami tentang waku hari pelaksanaan, yang biasanya dilipih bulan Sapar,
pada hari selasa Pon-Malam Rebo Wage, tentu ada maksud sosial dan budaya yang
tersembunyi.
Penghayat kepercayaan terlebih dahulu "mbatalke" (mengakhiri tapa mutih), iala
membuat sesaji untuk para leluhur. Sesaji disiapkan pada tempat khusus, biasanya pada
sebuah sentong tengah. Sesaji yang berupa teh, buah, jenang abang putih, dan daun
dadap dimasukkan dalam wadah berisi kunir dan air putih. Juga disajikan dupa untuk
membakar kemenyan dan api senthir. Kemenyan yang akan dibakar, diberi mantra oleh
eyang masing-masing rumah atau minta tolong pada pinisepuh. Adapun urutan
pelaksanaan tradisi bersih desa bersih desa boleh dikatakan tidak berubah-ubah, yaitu
sebagai sebagai berikut.
Pertama, puku107.00 dilakukan kerja bakti (gotong royong) pembersihan jalan dan
kuburan bersama-sama. Kepala dusun berusaha membagi tugas masing-masing
kelompok, secara serentak menurut RT masing-masing. Sekelompok RT ada yang
menuju ke rumah Kepala dusun untuk pembuatan tarub yang akan dipasang di depan
halaman rumah. Di samping itu juga dipersiapkan gelaran (tikar), penyediaan alat-alat
sesaji panggung, dan pembersihan alat-alat makan bersama (kenduri). Kemudian RT lain
mengganti pagar pada pohon Sana yang dikeramatkan, yang berada di tempat kedung
dekat sungai yang korton dijadikan kerajaan para arwah yang nglambrang. Di ternpat tu
juga diberi sesaji berupa ingkung (ayam utuh) dan tumpeng beserta lauk pauknya. Sesaji
diperebutkan oleh warga sekitar dengan tujuan agar hantu gaib penunggu pohon Sana
tidak mengganggunya.
Kedua, dilakukan pembuatan sesaji pada rumah warga masingmasing. Sesaji
dimasukkan dalam tenong, terbuat dari bambu, dibawa ke kepala dusun pada jam 12.00.
Sesaji berisi nasi dan lauk dalam ragam yang berbeda-beda. Untuk menghadirkan warga
yang akan kenduri di tempat Kepaia dusun, ditabuh kentongan. Menjelang dilaksanakan
kenduri, di balik kelir wayang kulit, warga berkumpul secara khusyuk dengan aneka warna
kostum kejawen. Masing-masing warga menghadap sesajinya sendiri.
Ketiga, seorang pranatacara menyatakan bahwa pertunjukan dan selamatan bersih
desa akan segera mulai. Terlebih dahulu, pranatacara mempersilahkan kepada dalang
untuk mengawali pertunjukan. Adegan pertama, pasti akan membicarakan kepergian dewi
Sri dari keraton. Setelah menjelang Perang Kembang, pertunjukan dihentikan sementara
oleh ki dalang dengan menutup kelir menggunakan gunungan. Pada saat itu, di balik kelir
melakukan kenduri bersama, yang isinya mohon keselamatan. Kenduri diakhiri dengan
kembtcl bujana, saling menukar sesaji, kemudian pertunjukan dilanjutkan. Seluruh warga
menonton pertunjukan wayang kulit, sambil makan.
Keempat, cara warga meninggalkan arena kenduri pun tidak serentak, ada yang
menjeleng gara-gara, dan ada pula yang menonton lalu pulang, seluruh warga malam
harinya harus kembali ke rumah Kepala dusun untuk melakukan tirakatan bersama.
Tirakatan dildkukan dengan doa-doa mistik Kejawen. Doa dipimpin oleh seorang pimpinan
penghayat kepercayaan. Setelah doa-doa selesai, baru dilakeanakan pertunjukan wayang
kulit.
Kelima, pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Meskipun wayang adalah dunia
hiburan, tetapi lakon yang dipertontonkan memuat wejangan ke arah penghormatan
pada leluhur desa. Biasanya lakon yang dimainkan berganti-ganti, seperti Baratayuda,
Wahyu Makutharama, Wahyu Purbasejati, Wahyu Gada Inten. Konsep wahyu selalu
menjadi andalan bagi warga, dengan harapan agar bersih desa itu membawa berkah.
Selain itu juga bertujuan agar selamatan seni spiritual itu mampu menjauhkan gangguan
roh-roh jahat di desa tersebut. Atas dasar ini, berarti seni wayang kulit sekaligus
dijadikan media komunikasi gaib dengan kekuatan supranatural.
Subalidinata (1999:b4) menjelaskan bahwa bersih desa merupakan bentuk
selamatan desa. Bersih desa merupakan tradisi selamatan yang dilakukan oleh petani
pada waktu sesudah selesai mengerjakan sawah atau berakhir musim panen. Dalam
selaanatan disajikan berbagai jenis makanan yang bahannya berasal dari semua hasil
pertanian. Selamatan itu dilaksanakan di rumah kepala dusun atau rumah kepala dusun
atau di balai desa. Tradisi selamatan itu ada yang menyebut Gumbregan. Kadangkadang dalam bersih desa disertai dengan pementasan wayang kulit. Ada lagi
pertunjukan lain, seperti tayuban yang juga sering dipakai ritual bersih desa. Dari ritual
yang memuat sesaji, mitos, dan seni yang dilaksanakan bersamaan (serentak) berarti
orang Jawa masih meyakini bahwa ada makna dan fungsi tertentu bagi keselamatan
hidupnya.
Manifestasi mistik kejawen dalam bersih desa, diwujudkan dalam berbagai aktivitas
tradisi dan seni. Tradisi dilestarikan agar menjalin keselamatan. Dari ritual yang memuat
sesaji, mitos, dan seni yang dilaksanakan bersamaan (serentak) berarti orang )awa masih
meyakini bahwa ada makna clan fungsi tertentu bagi keselamatan hidupnya.
Untuk dapatkan berkah dari roh leluhur. Maka, tidak jarang di antara pelaku bersih desa
yang memule terhadap roh leluhur masing-masing. Cara memule roh leluhur, antara lain
dengan ziarah ke makam leluhurnya. Di makam ummnya masih menjalankan tradisi,
seperti membakar kemenyan dan tabur bunga. Bahkan, tidak jarang pula, di antara
pelaku bersih desa juga nglakoni atau sesirih, antara lain puasa mutih, kungkum, dan
ngebleng tiga hari tiga malam berturut-turut. Dengan cara itu berarti mistik Kejawen
dijadikan sandaran, terutama dalam, menjalankan semedi. Semedi dilakukan untuk
mendekat atau, menyatukan dirinya dengan Tuhan. Penyatuan diri dibarengi dengan
sikap menghormati leluhur, agar mudah ditolong dalam berbagai kesulitan hidup.
Hal demikian, sejalan dengan pendapat Bratasiswara (2000:123) bahwa bersih desa
(memetri desa), kegiatan bersama masyarakat desa untuk menghormat, mengenang, dan
memelihara desanya, setahun sekali seusai musim panen. Bagi masyarakat pedesaan
yang sebagian besar bermata pencaharian bercocok tanam, musim panen menjadi suatu
harapan yang didambakan. Oleh karena itu, pada setiap musim panen mereka merasa
menerima kebahagiaan tahunan, sehingga menimbulkan gerakan hati untuk mengenang
dan menghormat desa yang telah berjasa menjadi tempat hunian dan tumpuan
pencaharian. Sikap itu kemudian rnenimbulkan kebiasaan desa setempat ttntuk bersamasama menyatakan syukur dan terima kasih dengan menyelenggarakan kegiatan bersih
desa.
Bersih desa biasanya juga disebut merti desa, artinya memelihara desa secara
batiniah dan lahiriah. Secara batiniah, orang desa menjalankan ritual mistik, baik berupa
slametan maupun pertunjukan ritual. Secara lahiriah, mereka juga membersihkan
keramatan (kuburan) dan tempat-tempat khusus yang dianggap sakral. Tempat-tempat
tersebut dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Tempat yang sakral itu
dianggap memiliki tuah dan daya tertentu, karenanya harus diberi sesaji pada saat bersih
desa. Tradisi semacam ini boleh dikatakan sebagai wujud pengorbanan anak cucu kepada
para leluhur yang telah sumare (meninggal). Bersih desa biasanya juga disebut merti desa,
artinya memelihara desa secara batiniah dan lahiriah.
Tradisi tersebut, pada umumnya menjadi "hajatan besar" desa setempat. Hajatan
dilakukan secara kolektif, dengan biaya ditanggung bersama. Kegiatan dilakukan oleh
seluruh warga desa, tua muda, pria--wanita, bersama pamong dan sesepuh desa,
petinggi dan pemangku adat setempat,'aahl:an sering terjadi warga tetangga desa ikut
serta meramaikannya. Kegiatan bersih desa pada dasarnya untuk membuat desanya
menjadi bersin, tertib, teratur, dan terawat baik, sehingga dapat "ikut menjaga"
ketahanan desa, agar menjadi lebih maju dan Iestari.
Berbagai kegiatan yang dilaksanakan pada bersih desa antara lain meliputi:
1. Penataan hunian keluarga: kebersihan lingkungan rumah, pekarangan, kebun,
halaman, selokan, pagar, dinding, penerangan, buangan limbah dan sampah; dan
sebagainya.
2. Kerja bakti/kerigan/ gotong royong membenahi tempat-tempat umum, jalan, selokan,
makam, sumber air, belik, tuk, sendang, sungai, telaga, sekolah; tempat ibadah,
tetenger desa, pasar, balai pengobatan, balai desa, petilasan leluhur, dan sebagainya.
3. Kenduri/seiamatan/wilujengan/sedekahan dalam berbagai bentuk: arak-arakan
gunungan, arak-arakan tenongan, barisan ancak dan panjangilang yang kesemuanya
berisi berbagai makanan olahan seperti nasi wuduk lauk ingkung, sega jangan,
ambengan, jenang barobaro, tumpeng tumpeng mong-mong, dan sebagainya.
Tempat wilujengan pun berbeda-beda: ada wilujengah di pelataran masjid, selamatan
di pelataran makam cikal bakal desa, dan ada juga kenduri di tempat sakral.
4. Kegiatan olah-raga: berbagai pertandingan dan permainan serta perlombaan,
antardukuh dan antardesa.
5. Pentas seni dan pergeseran hiburan sesuai dengan kecenderungan desa masingmasing, misalnya reyogan, kuda lumping, jathilan, tayuban, emblek, wayang kulit
semalam suntuk, dan sebagainya.
Kegiatan bersih desa biasanya memakan biaya besar dan curahan tenaga
masyakarat desa yang tidak terkirakan. Adapun manfaatnya antara lain (1) kegiatan
bersih desa untuk mendekatkan diri masyarakat dengan Tuhan Yang Maha Esa, (2)
untuk meningkatkan rasa hemat kepada Rasulullah dan mengindahkan tuntunannya, (3)
meninghatkan kecintaan masyarakat kepada desanya, daerah, dan tanah air, (4)
mempererat keguyuban (tali persaudaraan) antarwarga desa, (5) untuk mematangkan
diri dalam bercocok tanam dan usaha, (6) bagi Pamong Desa, kegiatan bersih desa
dapat menjadi sarana untuk menilai tingkat kegairahan masyarakat dalam memelihara
desanya, (7) meningkatkan kesadaraan masyarakat desa untuk melestarikan lingkungan.
Tahap-tahap demikian menunjukkan bahwa prosesi ritual bersih desa berkaitan
dengan simbol dan proses sosial. Simbol dan proses sosial membentuk sebuah sistem
budaya yang rapi. HaI ini memang diakui oleh Geertz (Morris, 2003:395) bahwa kajian
antropologi religi dapat dari dua aspek, yaitu (a) analisis sistem makna yang diejawantahkan Iewat simbolisme, (b) menghubungkan sistem itu dengan proses sosio-kultural
dan psikologis. Aspek pertama, memberikan pemahaman terhadap kajian simbol sesaji,
pertunjukan, peralatan, dan seterusnya dalam bersih desa. Simbol ini dikaitkan dengan
makna dan fungsi bersih desa dalam struktur sosial masyarakat.
D. Makna Simbolik Seni Spiritual
Biasanya masyarakat penghayat kepercayaan menanggap pertunjukan wayang kulit
sebagai puncak bersih desa. Wayang kulit dilakukan siang hari dengan lakon khusus dan
malam hari (semalam suntuk) dengan lakon tertentu. Hal ini dilakukan, karena ada
anggapan bahwa Pandhawa merupakan lambang arwah para leluhur, sedangkan para
Korawa lambang arwah-arwah yang jelek. Jadi pada saat bersih desa, lakon Bratayudha
sering dimainkan pada malam hari, sedangkan siang harinya mengambil lakon Sri Mulih
(Sri Kondur) atau Sri Kembang. Lakon Baratayudha dijadikan simbol peperangan antara
arwah baik dan buruk. Arwah baik akan membantu hidup penghayat, sedangkan yang
buruk akan mengganggu. Maka harus dilakukan dengan berbagai sesaji, agar arwah
buruk jinak dan mau membantunya.,
Lakon wayang kulit yang dirnainkan, baik sing maupun malam hari merupakan
representasi simbolik dari kesadaran dan atau ketaksadaran. warga. Berbagai harapan
dan mimpi tentang keselamatan, mereka lukiskan melalui pertunjukan. Setiap lakon
memiliki visi dan misi khusus yang berkaitan dengan keselamatan. HaI ini sejalan dengan
gagasan Redfield (Coote dan Shelton, 1992:15-16), seorang antropologi. bahwa seni
sebagai sebuah pengalaman yang diperluas. Maksudnya, seni dari sisi antropologi
memiliki makna yang tidak terbatas. Seni akan memuat pola-pola pengalaman imajinatif.
Yang lebih unik lagi, seni religius seperti halnya wayang untukbersih desa amat berbeda
dengan seni populer (popular art). Seni pertunjukan dalam bersih desa merupakan wujud
seni yang kompleks. Biasanya seni religius bersih desa melukiskan tema spiritual. Tradisi
mistik pun akan terangkum dalam seni spiritual itu.
Maka, kalau dicermati sebenarnya lakon Sri Mulih maupun lakon-lakon yang bertitel
wahyu, sebenarnya menggambarkan simbol keagungan spiritual yang masih perlu
ditafsirkan. Lakon Sri Mulih, menggambarkan tokoh Dewi Sri dan Raden Sadana anak
Prabu Maha Punggung raja Medhang Kamulyan. Dewi Sri meninggalkan istana, karena
dimarahi raja. Raden Sadana menyusul kepergian kakaknya. Mereka tidak segera
bertemu, masing-masing berkelana dari desa ke desa sambil bercocok tanam. Setelah
lama berkelana, mereka bertemu kembali. Dewi Sri kembali ke Kahyangan, Raden
Sadana diambil rnenantu oleh raja Wiratha. Dalam lakon Dezui Sri Kondur (Mulih)
diceritakan kembalinya Dewi Sri ke negara Wiratha. Dewi Sri berada di negara
Pratalaretna yang dikuasai oleh raja Darmasara. Prabu Suryakumara, raja Guwa Rajeng,
juga menginginkan Dewi Sri. Dewi Sri menjadi perehutan, tetapi Nagatatmala, anak Sang
Hyang Anantaboga, atas bantuan Bagawan Abiyasa dapat memboyong Dewi Sri ke
Wiratha.
Kisah dewi Sri tersebut diyakini sebagai lambang bersih desa. Berarti kembalinya
dewi Sri, mempunyai makna simbolik agar warga desa tersebut mendapat bersih desa
dalam pertanian. Bersih desa identik dengan anugerah rejeki. Untuk menjaga
keseimbangan antara jagad gedhe dan jagad kecil masyarakat dusun Prangkokan
mencoba menyiasati dengan tradisi bersih desa. Tradisi ritual bersih desa ini bersifat
individual dan kolektif dalam rangka menjaga kepentingan bersama seluruh warga desa
yang dinamakan bersih desa. Ritual bersih desa diwujudkan ke dalam pertunjukan
simbolik wayang kulit dengan lakon Sri Mulih. Sikap religius semacam ini menunjukkan
bahwa bersih desa merupakan ritual yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan.
Bersih desa sebagai refleksi keinginan masyarakat penghayat kepercayaan, yang
dimanifestasikan melalui wayang.
Untuk menjaga keseimbangan antara jagad gedhe dan jagad kecil masyarakat dusun
Prangkokan mencoba menyiasati dengan tradisi bersih desa. Hal ini senada dengan
pernyataan Tremmel (1976:117) bahwa kepercayaan manusia terhadap dunia dan Tuhan,
akan tampak dari pekerti. Pekerti ini merupakan pancaran teologis, yang memuat tuntutan
batin dan perasaan. Batin dan rasa itu diwujudkan melalui nenampilan (art performance)
cian atau ritual tertentu. Dalam pusaran ini, ternyata penghayat kepercayaan mencoba
memanfaatkan lakon wayang kulit khas sebagai "jembatan emas" menuju ke
kesempurnaan hidup.
Rutinitas penyelenggaraan tradisi bersih desa menandakan adanya kekhawatiran
akan datangnya gangguan fisik dan nonfisik yang setiap saat dapaf menimpa jika tradisi
itu tidak dilaksanakan. Oleh karenanya, tradisi bersih desa ini termasuk kategori tradisi
krisis. Dengan pelaksanaan tradisi bersih desa secara rutin diharapkan berdampak positif
bagi kegiatan pertanian mulai dari masa tanam hingga masa panen, termasuk
keselamatan seluruh warga masyarakat. Pada hakikatnya, pelaksanaan tradisi bersih
desa ini tujuan utamanya ialah sikap berusaha dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Oleh karena ada keterkaitan antara manusia dengan Tuhan, maka tradisi bersih
desa itu termasuk tradisi religius. Mereka yakin bahwa keberhasilan suatu tradisi religi
sedikit banyak dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya persyaratan ritual, yaitu
perlengkapan sesaji yang diperlukan untuk sahnya suatu tradisi.
Sesaji yang ditaruh di atas panggung di pengeret terdiri dari: (a) nasi diberi warna
merah, hitam, kuning, putih, dan biru yang masing-masing warna ditaruh di dalam takir; (b)
jenang/bubur terbuat dari beras, santan, daun salam, garam (untuk warna putih), kalau
warna merah diberi gula Jawa; (jenang abrit), pethak, baro-baro, jenang abrit di atasnya
diberi gula dan kelapa diparut, jenang blowok (nasi yang ditaruh dalam takir yang dibuat
dari daun pisang, di atasnya ditumpangi gula Jawa); (c) minuman: teh, kopi, jahe, rujak
degan (kelapa muda); (d) daun-daun: daun pakel, daun awar-awar, daun bambu dan daun
kopi. Sesaji tersebut diyakini tetap sebagai pengorbanan logis bagi arwah leluhur. Tylor
(Pitchard, 1984:39) dalam kaitan dengan hal tersebut di atas selalu berasumsi bahwa
orang primitif pun tetap berpikir logis. Penghayat kepercayaan yang sering dikatakan
primitif, sebenarnya juga memiliki pengetahuan logis dalam tradisi sesajen. Hanya saja,
bagi orang awam sering mengecap sesaji itu suatu bentuk pemborosan.
Pendapat orang awam demikian, perlu dikoreksi secara arif. Keyakinan penghayat
kepercayaan selalu mantap, menggunakari kekuatan batin, mereka juga kritis, dan bahkan
eksperimental menggunakan pikiran dan rasa. Melalui rasa dan batin mereka menembus
selubung gaib, memasuki wilayah yang real. Maka seluruh sesaji yang terdiri dari
ubarampe, baik yang diletakkan di tempat khusus, di atas dalang, maupun di dekat gong
tetap melukiskan simbol yang masuk akal. Bahkan, dalam bersih desa ada lagi sesaji yang
diletakkan (digantung) di blandar di depan layar meman}ang dari kiri ke kanan terdiri dari:
padi,jagung, kue apem, srabi, ingkung ayam, itik, burung dara, kelinci, marmut, enthok
(sejenis itik), dan ketupat. Sesaji diletakkan di depan kanan dan kiri panggung: (1) kembar
mayang, dibuat dari parasan degan krambil ijo, yaitu kelapa muda berwarna hijau yang
dipotong atau dipangkas pangkal tangkainya, sehingga keiihatan tempurungnya, janur
kuning yaitu daun kelapa yang masih muda yang berwarna kuning, godhong kluzuih
(nama daun), godhong puring (nama daun), godh+ong sana (nama daun), semua daundaunan tersebut ditancapkan laada parasan degan krambil ijo; (2) tumpeng, nasi gurih,
jenang Blozlok (nasi di dalam takir, ditumpangi gula kelapa); (3) minuman: teh, kopi, jahe,
air putih, bunga setaman yang terdiri dari mawar,melati, kenanga dimasukkan dalam
mangkok/ gelas yang diisi air; (4) makanan kecil: jadah bakar, ketela pohon bakar. Sesaji
diletakkan dekat gong. Jenis sesaji antara lain tumpeng gudangan, dua buah kelapa yang
telah dibersihkan kulit dan sabutnya, tetapi belum dipecah, jajan pasar (terdiri dari
bermacam-macarn makanan kecil antara lain: wajik, jadah,ngganyong/nyindra, kimpul, tela
pendhem, gethuk, kacang tanah yang masih ada kulitnya direbus, dan lain-lain), gula Jawa
satu tangkep, teh satu bungkus, suruh ayu, tembakau, gambir, injet. Dilengkapi buahbuahan seperti nanas, timun, jambu, bengkoang, blimbing, sawo, salak, pisang raja satu
tangkep. Semua ini diletakkan dalam sebuah tempat yang dibuat dari anyaman bambu
berbentuk segi empat dan diberi alas daun pisang.
Sepintas pemakaian sesaji dalam ritual bersih desa, sekedar menghamburhamburkan materi. Begitu pula pemakaian pertunjukan wayang kulit, yang memakan
banyak biaya, bagi orang awam mungkin akan menganggap fenomena mubazir. Padahal
jika dicermati, fenomena demikian merupakan wilayah seni spiritual yang agung. Dari sisi
ini, cukup relevan jika Barba dan Savarese (Simatupang, 2005:xi) menyatakan prinsip
hakiki seni adalah "ke-luar-biasa-an" (extraordinary). Aspek-aspek estetika spiritual yang
sekaligus menjadi wahana komunikasi gaib antara penghayat kepercayaan dengan Tuhan
merupakan aspek extraordinanj dalam bersih desa. Hal-hal yang sakral, penuh sensasi,
mistik, dan memuat greget spiritualitas tinggi merupakan keluarbiasaan bersih desa.
Uraian lengkap tentang sesaji tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dusun
Prangkokan tampaknya masih meneruskan tradisi para leluhurnya yang banyak
dipengaruhi oleh agama Hindu dan kepercayaan agama lokal yang berbau animisme. Dari
keseluruhan sesaji itu, tampaknya yang paling penting ialah terpenuhinya macam sesaji,
bukan jumlah masing-masing sesaji yang tidak menjadi persyaratan mutlak.
Kedudukan dan fungsi dalang dalam tradisi bersih desa sangat penting mengingat
keberhasilan suatu tradisi sangat ditentukan oleh dalang. Dalang secara spiritual
berkedudukan sebagai perantara kontak batin dengan roh nenek moyang atau leluhur. Hal
ini berarti seorang dalang bukanlah orang sembarangan, ia memiliki kelebihan dibanding
kebanyakan orang, memiliki syarat tertentu yang menyangkut kemampuan supranatural.
Karena kelebihan ini, maka dalang dianggap sebagai orang yang serba mampu atau
mumpuni, khususnya dalam hubungannya dengan alam gaib. Di samping berfungsi
sebagai pemimpin tradisi, dalang juga sebagai pemimpin pertunjukan, yaitu meiniliki
kewenangan untuk membuka dan menutup jalannya prosesi tradisi.
Berdasarkan uraian di atas, tradisi bersih desa atau ruwatan bumi (bersih desa)
merupakan ekspresi individual dan kolektif masyarakat Prangkokan yang melestarikan
tradisi mitos Dewi Sri sebagai ekspresi sosial-budaya yang mencerminkan percampuran
unsurunsur kebudayan pra-Islam, yaitu kebudayaan animisme, dinamisme, Hindu, dan
Islam, sehingga terjadi interpenetrasi yang mengkristal dalam wujud akulturasi dan
inkulturasi budaya yang menjadi suatu pandangan hidup baru yang berupa kegiatan
religius.
E. Fungsi Sosial-Budaya Bersih Desa
Bersih desa tetap lestari dan berkembang di tengah masyarakat dusun Prangkokan,
karena adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu sistem sosial-budaya.
Keterkaitan itu terletak pada peranan wayang kulit, warga penghayat kepercayaan, penjual
bunga, juru kunci kuburan, pemerintah (Kadus), dalang, dan sebagainya yang menjadi
bagian dari sistem sosial-budaya masyarakat dusun Prangkokan, yaitu sebagai media
tradisi bersih desa. Seluruh kornponen tersebut secara struktural fungsional saling
bersimbiosis, saling diuntungkan, sehingga satu sama lain sulit terpisahkan. Hal demikian
meneguhkan pendapat Radcliffe Brown (1979:157) bahwa ritual dan adat istiadat dapat
berlangsung terus karena memiliki fungsi sosial. Ritual merupakan pernyataan simbolik
yang teratur. Tradisi ini memiliki fungsi sosial yang tetap apabila, dan sejauh mana, ritual
itu memiliki kesan dalam mengatur, mengekalkan, dan menurunkan rnasyarakat dari
generasi satu ke generasi yang lain.
Pendapat demikian, memberikan isyarat bahwa bersih desa sebagai bagian budaya
spiritual merupakan refleksi simbolik keinginan masyarakat. Simbol keinginan itu memiliki
fungsi tertentu bagi kehidupan sosial masyarakat. Dengan begitu maka ritual bersih desa
berjalan terus-menerus, didukung oleh seluruh komponen. Dukungan penghayat
kepercayaan dan kolektif lain terjadi, karena masing-masing dapat mengambil manfaat
yang satu sama lain boleh berbeda. Manfaat itu amat luas, tergantung keinginan masingmasing anggota institusi. Yang jelas, kalau bertumpu pada pendapat Mathew Arnold
(Story, 2003:33) budaya adalah studi kesempurnaan, tidak harus dalam wujud inward
(batin) maupun outward. Budaya merupakan usaha untuk mengetahui yang terbaik dan
bermanfaat bagi manusia. Jadi, kalau bersih desa tadi sebuah aset budaya spiritual,
memiliki makna dan nilai terbaik bagi penghayat kepercayaan, akan berjalan terus.
Tradisi bersih desa ini, di samping memiliki makna religi bagi kesejahteraan
masyarakat, sebenarnya secara sosial merupakan format kalau bersih desa tadi sebuah
aset budaya spiritual, memiliki makna clan nilai terbaik bagi penghayat kepercayaan, akan
berjalan terus. Hubungan interaktif antarwarga masyarakat yang pada gilirannya akan
membangun solidaritas sosial. Komunikasi sosial budaya ini sudah barang tentu mempunyai dampak positif bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat, terutama dalam
menghadapi masalah dunia pertanian. Bahkan, jika bertumpu pada teori Turner (1988:7475) sebenarnya pertunjukan ritual memiliki fungsi hiburan bagi audien. Audien merupakan
hal penting dalam sebuah pertunjukan. Itulah sebabnya, bersih desa di samping
membangun solidaritas dengan war ga penghayat kepercayaan, juga mempererat
persaudaraan antar warga desa tetangga. Oleh karena tidak sedikit warga desa lain yang
berbondongbondong, menonton, berjualan, dan (maaf) ada yang hadir untuk "berjudi
Kluthuk", di dekat arena pentas.
Lebih lanjut Turner (1988), juga menyetujui adanya perubahan baik tempat maupun
waktu dalam penyelenggaraan ritual. Pendapat ini memang tidak seluruhnya berlaku
bagi bersih desa di Prangkokan, karena tempat telah dipastikan terpusat pada rumah
Kepala dusun. Adapun waktu, terutama bulan Sapar jarang bergeser, kecuali hari yang
biasanya mengambil Malem Rabu. Pemilihan waktu ini didasarkan pada perhitungan
Jawa, oleh sesepuh yang sekarang telah tiada. Pemilihan waktu dan tempat selalu
dikaitkan dengan pertimbangan budaya dan sosial. Dari sisi budaya, diharapkan
menguntungkan sebagai fungsi keselamatan hidup. Dari sisi sosial, masyarakat juga
akan mudah hadir pada waktu dan tempat yang telah tertentu.
Keterkaitan makna yang dimaksud, bahwa pertunjukan wayang kulit sebagai media
tradisi bersih desa memiliki makna simbolis yang diyakini oleh masyarakat Prangkokan
memberi berkah atau tuah. Makna dan simbol pada dasarnya merupakan dua unsur
yang berbeda, namun berkaitan erat saling melengkapi, sehingga dalam masyarakat
muncul istilah makna simbolis. Dengan demikian, simbol lebih merupakan bentuk lahiriah
yang mengandung maksud, sedangkan antara simbol clan makna merupakan dua unsur
yang berlawanan sekaligus melengkapi. Makna clan fungsi wayang kulit, sesaji, tempat,
waktu, penonton dan rangkaian lain merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan
Makna adalah isinya. Dari pengertian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa antara
simbol dan makna merupakan dua unsur yang berlawanan sekaligus melengkapi. Jika
demikian makna dan fungsi W ayang kulit, sesaji, tempat, waktu, penonton dan rangkaian
lain merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Saya setuju dengan
gagasan Matisse (Geertz, 1973:136) tentang seni sebagai sistem budaya tidak dapat
semata-mata dipahami sebagai "fine art", seni murni, melainkan perlu dikaitkan dengan
yang memiliki dan melingkupi seni itu.
Sistem tradisi religius ini melaksanakan, melambangkan, dan menyimpulkan konsepkonsep wujud kelakukan (behavioral manifestation) dari religi. Seluruh sistem tradisi ini
terdiri dari aneka macam tradisi yang bersifat musiman atau kadang kala. Masing-masing
tradisi terdiri dari kombinasi dari berbagai unsur tradisi seperti berdoa, bersujud, sesaji,
berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci,
berpuasa, bertapa dan bersemadi (Koentjaraningrat,1985: 378). Kedudukan simbol atau
tindakan simbolis dalam religi adalah relasi (penghubung) antara komunikasi humankosmis dan komunikasi religius lahir-batin. Pemahaman simbolis dalam religi pada
dasarnya terletak pada sikap manusia ketika sedang menjalankan agama, manusia
bersikap pasrah kepada Tuhan, kepada dewa, kepada roh nenek moyang. Pokoknya,
manusia menyerahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya.
Keterkaitan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa itu diungkapkan melalui
simbol-simbol seni wayang kulit sakral yang diyakini oleh kelompok masyarakat dengan
harapan permohonannya dapat diterima. Konteks ini menunjukkan, bahwa bersih desa
merupakan bentuk religi Jawa yang telah menjadi tradisi besar di kalangan penghayat
kepercayaan. Dalam kaitan ini, Geertz (2001:414) memiliki rumusan tersendiri tentang
religi. Menurut dia, religi memiliki empat pengertian, yaitu: (1) sebagai sistem sismbol
yang berperan, (2) membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasi, dan tahan
lama di dalam diri manusia dengan cara, (3) merumuskan konsepsi tahanan kehidupan
yang umum, (4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan aura faktualitas semacam
itu sehingga, (5) suasana hati dan motivasi tampak realistik. Empat rumusan ini cukup
mengalir dan berturutan dalam memahami religi. Berpijak dari sini, berarti bersih desa
pun memang religi yang bersifat simbolis, dibungkus dengan aroma seni, sehingga masyarakat secara kolektif termotivasi untuk menjalankannya.
Sebagai bentuk simbolis, maka kehadiran wayang kulit dalam tradisi bersih desa ini
mengandung suatu maksud di balik bentuk atau wujudnya, yaitu ekspresi penghormatan
kepada Tuhan maupun roh-roh nenek moyang. Wayang kulit sebagai simbol kehidupan
mengandung nilai-nilai yang berharga bagi masyarakat Jawa. Dalam hal ini, sikap dan
tindakan pada dasarnya mencerminkan perilaku bijaksana. Kebijaksanaan hidup manusia
Jawa yang dimaksud merupakan cara ataupun sarana untuk menciptakan kehidupan yang
selaras dan harmonis, sehingga tercipta kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam hal ini
wayang kulit secara simbolis memberi kontribusi pada pembentukan sikap hidup manusia
dalam upaya mencapai kehidupan yang selaras dengan lingkungan.
Pertunjukan wayang kulit merupakan suatu pesan moral berupa tindakan-tindakan
simbolis yang terpadu dalam sistem pathet, perwatakan tokoh, gending iringan dan
cerita yang dibawakan. Tindakan simbolis pertama terlihat dalam pertunjukan wayang
kulit oleh orang yang punya hajat, masyarakat Dusun Prangkokan yang tercermin dalam
persiapan dan prosesi tradisi yang syarat dengan nilai religius. Tindakan simbolis yang
kedua ialah pelaksanaan pertunjukan wayang kulit lakon Sri Mulih, termasuk kedudukan
dalang. Tindakan dalang sebagai orang yang menguasai jalannya pertunjukan. la memberi aba-aba pertama dan menghentikan gending, mengatur dinamika pertunjukan.
Makna simbolis pertunjukan wayang kulit lakon Sri Mulih dalam sistem tradisi
bersih desa secara antropologis mengandung empat aspek ialah orang yang melakukan
dan memimpin tradisi, tempat tradisi, waktu tradisi, dan benda-benda dan alat-alat
tradisi. Dalam tradisi bersih desa, kehadiran dalang mempunyai peranan yang sangat
penting, yaitu sebagai perantara hubungan antara manusia dan kekuatan gaib atau dunia
supranatural dan penghubung perilaku ritual (Groenendael, 1997: 304). Dalang
menguasai jalan cerita yang telah ditetapkan dalam lakon wayang, oleh karenanya
interpretasi dalang dalam menangkap setiap peristiwa dan tokohnya harus benarbenar
dipahami agar tujuan dari pertunjukan itu tercapai. Hal yang Venting untuk diamati ialah
laku ritual seorang dalang sebelum melaksanakan tugas mendalang dalam tradisi ritual,
ia selalu menjaga kebersihan batinnya dari sifat-sifat kurang baik melalui puasa atau
semadi. Keberadaan dalang dalam tradisi bersih desa ini merupakan lambang "hidup"
roh atau "jiwa manusia"; yaitu hidup yang menghidupi.
Atas dasar pembahasan di atas, dapat dijelaskan bahwa makna bersih desa secara
keseluruhan tidak dapat terpisahkan dari sebuah strulctur sosial. Bersih desa sebuah ritual
yang mernbentuk kisah etnografi masyarakat setempat. Jika hal ini diselaraskan dengan
gagasan Radcliffe-Brown (Jakobson, 1991:21) berarti peranan sosial clan norma ikut
memberi makna sebuah budaya. Hubungan antara posasi sosial akan membentuk
aktualisasi hubungan dan pekerti yang unik dalam masyarakat. Dalam wacana lain Geertz
(Simatupang, 2005:viu) menyatakan bahwa manusia ibarat makhluk yang terjerat dalam
jaring-jaring makna yang dipintalnya sendiri. Dari pendapat ini dapat dinyatakan bahwa
setiap gerak hidup manusia memiliki makna. Makna tersebut terangkum dalam simbol
budaya. Dengan kata lain, bersih desa akan memuat mana yang melukiskan segala
pekerti, sikap, norma masyarakat yang terangkum dalam sebuah struktur sosial
padu.Wayang kulit dalam tradisi bersih desa ini mengandung suatu maksud di balik bentuk
atau wujudnya, yaitu ekspresi penghormatan kepada Tuhan maupun roh-roh nenek
moyang.Bersih desa akan memuat makna yang melukiskan segafa pekerti, sikap, norma
masyarakat yang terangkum dalam sebuah struktur sosial padu.
Daftar Pustaka
Baal, van, J. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya, Jilid 2. Jakarta:
Gramedia
Bratasiswara, Harmanta, R. 2000. Bauzvarna Adat Tatacara Jawa. Jakarta: Yayasan
Sunurat
Coleman, Simon dan John Elsner,. 1998. "Performing Pilgrimage: Walsingham and
Ritual Construction of Irony" dalam Fecilia Hughes-Freeland Ritual,
Performance, Media. New York dan London: Routledge
Coote, Jeremy dan Anthony Shelton,. 1992. Anthropology Art and Aesthetic. Oxford:
Clarendon Press
Darusuprapta. 1988. "Sarasehan Kebudayaan Jawi" dalam Yatmana, Tuntunan Kagem
Pranatacara Tuzvin Pamedhar Sabda. Semarang: Aneka Ilmu
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books, Inc.,
Publishers
. 1976. The Religion of Java. Chicago dan London: The University of
Chicago
. 2003. "Seni sebagai Sistem Budaya" dalam Pengetahuan Lokal.
Yogyakarta: Merapi
. 2001. "Agama sebagai Sistem Budaya" dalam Daniel L. Pals (Ed.) Seven
Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam Groenendael, Victoria M Clara van. 1997.
Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Grafiti
Hughes-Freeland. 1998. Ritual, Performance, Media. London dan New York: Roudledge
Jakobson, David. 1991. Reading Ethnography. New York:State University of New York
Press
James, William. 2003. The Varieties of Religious Experience. Alih Bahasa Luthfi Anshari.
Yogyakarta: Jendela
James, Wendy. 1980. The Ceremonial Animal; A Nezv Portrait of Anthtropology. New
York: Roudge
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Jazva. Jakarta: Balai Pustaka Morris, Brian. 2003.
Antropologi Agama. Yogyakarta: AK Group Murgiyanto, Sal. 1998. "Mengenai Kajian
Pertunjukan" dalam Pudentia MPSS (Ed.) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan
Permadi, K.1995. "Pandangan Aliran Kepercayaan Terhadap Islam'. Jakarta: Dirjen
Kebudayaan
Pritchard, Evans, EE. 1984. Teori-teori tentang Agama Primitif. Jakarta: PLP2M
Radcliff e-Brown, A. R.1979. Structure. and Function in Primitive Society: Essays and
Adresses. London aan Henley: Routledge & Kegan Paul
Simatupang, G.R. Lono Lastoro. 2005. Tubuh dan Gender dal, am Perspektif Ilmu Sosial
dan Seni; Pengantar Cross Gender. Malang: Sava Media.
________________________. 2005. Kuliah S3 : Dinamika Seni dan Budaya. Yogyakarta:
FIB UGM
Story, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam Subalidinata, R.S.
1999. "Bersih Desa" dalam Marsono Dkk. (Ed.) Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta: LSJ
Tremmel, William Colloley.1976. Religion; What Is It? New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Turner, Victor. 1967, 1977 The Ritual Process; Structure and Antistructure. Ithaca, New
York: Cornell University Press.
___________. 1988. The Anthropology of Performance. New York: PAJ Publications
. 2005. "Liminality and Communitas" dalam Michael Lambek (Ed.) A
Reader in The Anthropology of Religion. Australia: Blackwell Publishing Ltd.
Download