seksualitas dan kearifan dalam budaya bugis

advertisement
SEKSUALITAS DAN KEARIFAN DALAM BUDAYA BUGIS
SEXUALITY AND WISDOM IN BUGIS CULTURE
Abdul Rahman
Program Studi Pendidikan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar
Jalan A. P. Pettarani, Kampus Gunungsari Baru, Makassar
Pos-el: [email protected]
Diterima: 22 Januari 2014; Direvisi: 26 Maret 2014; Disetujui: 12 Mei 2014
ABSTRACT
This study attempted to discover the relationship between sexual practices with culture embraced by the Bugis
people who live in South Sulawesi. The method used to obtain the data is to conduct the interview, then the
interview was reinforced by the study of literature. Let Study results showed that sex is a state of anatomical
and biological, ie male and female. A person is born with a particular sex, as he was born with the shape of the
eye or a particular hair type. While sexuality covers the whole complexity of emotions, feelings, kperibadian,
and attitudes or social character perailaku related to sexual orientation. Fild in the Bugis people of sexuality,
including sexual intercourse is something sacred and have linkages with dignity and self-esteem which, if
implemented in a frame or a valid marriage bond between women and men. However, along with the times
meaning of sexuality continues menagalami marked shift with the rise of sexual relations without marriage
bound by a sacred promise. An example is the emergence of sex behavior among Bugis Ethnic background of
students who live in the city of Makassar in the absence of a valid marriage bond.
Keywords: Sexuality, Bugis Culture, sex liberation
ABSTRAK
Penelitian ini berupaya untuk menemukan keterkaitan antara praktek-praktek seksual dengan budaya yang
dianut oleh masyarakat Bugis yang bermukim di Sulawesi Selatan. Adapun metode yang digunakan untuk
memperoleh data ialah dengan melakukan wawancara, kemudian hasil wawancara itu diperkuat dengan telaah
kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seks adalah keadaan anatomis dan biologis, yaitu jenis
kelamin jantan dan betina. Seseorang dilahirkan dengan jenis kelamin tertentu, seperti ia dilahirkan dengan
bentuk mata atau jenis rambut tertentu. Sedangkan seksualitas mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan,
kepribadian, dan sikap atau watak sosial yang berkaitan dengan perilaku orientasi seksual. Berdasarkan hasil
penelitian lapangan, dalam masyarakat Bugis seksualitas termasuk hubungan seksual adalah sesuatu yang
sakral dan memiliki keterkaitan dengan martabat dan harga diri yang jika dilaksanakan dalam bingkai atau
ikatan perkawinan yang sah antara perempuan dan laki-laki. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman
pemaknaan terhadap seksualitas terus mengalami pergeseran yang ditandai dengan makin maraknya hubungan
seksual tanpa diikat oleh janji suci pernikahan. Sebagai contoh adalah munculnya perilaku berhubungan seks
di kalangan mahasiswa berlatar etnik Bugis yang bermukim di Kota Makassar tanpa adanya ikatan pernikahan
yang sah.
Kata kunci: Seksualitas, budaya Bugis, kebebasan seksual
PENDAHULUAN
Sekian lama, seks dan seksualitas secara
moralitas selalu disangkutpautkan sebagai
sesuatu yang buruk dan gelap. Seksualitas
bersifat apatis bila disangsikan dengan oleh
sakramen pernikahan. Setiap aktivitas seksual
yang bukan bertujuan untuk penciptaan (sex as
procreational), terutama semua penyimpangan
seksual, secara moral dianggap tidak sesuai
dengan kaidah-kaidah nilai budaya yang dianut
oleh suatu komunitas atau kelompok-kelompok
masyarakat (Ulwan, 2012:21). Dugaan ini
dilatarbelakangi oleh suatu persepsi bahwa
manusia dari segi lahiriah/jasad adalah sumber
malapetaka, dan hanya dengan menekankan
47
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59
tuntutan-tuntutan naluriah, maka kebaikan akan
dapat terperoleh (Hendranata, 2011:13).
Setiap individu memiliki imajinasi
kreasi dan tindakan seksual yang secara
kondisional dapat dikonstruksi berdasarkan pada
pengalaman seksualnya sejak dan saat anakanak. Pada sisi lain, seks dan seksualitas adalah
kreasi reproduksi instinctive akan alam bawa
sadar manusia. Seks dan seksualitas merupakan
pemenuhan akan kerinduan asal mula, bahwa
melalui aktivitas sekslah, manusia diperekatkan
dengan alam genealogis leluhurnya dan
kebersamaan manusiawi. Kebersamaan duniawi
yakni kebersamaan sebagai “aku fungsional”
yang bersifat berlainan sejak kesadaran akan
gender dalam diri makhluk manusia, yakni
sebagai lelaki dan sebagai perempuan, yang
secara subsistem prokreasional memiliki fungsi
dan peran yang berbeda dan khusus.
Selain sebagai hal yang sifatnya fungsional,
seks dan seksualitas tak lebih merupakan bentuk
dari reproduksi akan kematian, sebuah kesadaran
instingtif dari manusia bahwa kehidupan dunia
tidak akan pernah abadi. Karena kesadaran
akan ketidakabadian itu, maka sebagai wahana
pengabdian terhadap kehidupan, maka manusia
melakukan tindakan seks sebagai wahana untuk
menitipkan energi kehidupan pada generasi ke
generasi berikutnya (Rosyid, 2013:32). Hal ini
SXQVHVXDLGHQJDQ¿UPDQ7XKDQGDODP$OTXUDQ
(kitab suci umat Islam) pada Surah Thaha ayat
120 yang mengatakan kehidupan setan itu abadi
sampai hari kiamat tiba. Keabadian itu adalah
keabadian reproduksi, keabadian prokreasi,
atau keabadian genealogis yang muaranya
membentuk rumpun historis.
Itulah sebabnya, ketika sejarah, budaya
dan etika moralitas dikonstruksikan atau
mengatakan seks sebagai sebuah kejahatan, tidak
berlebihan jika manusia melakukan tindakan
seks di luar sakramen pernikahan. Ujungnya,
akan membuatnya merasa berdosa dan tidak
akan mampu memperoleh kebahagiaan dan
ketenangan hidup, selalu dihantui oleh pikiran
bahwa melakukan tindakan seks di luar sakramen
pernikahan adalah tabu. Setabu tindakan incest
yang diyakini oleh berbagai kebudayaan dan
zaman.
Pada kebanyakan masyarakat Indonesia,
48
persoalan seksualiatas adalah sesuatu yang masih
tabu untuk diperbincagkan. Terbatasnya informasi
mengenai seksualitas ini memberi implikasi yang
FXNXS VLJQL¿NDQ GDODP NHKLGXSDQ PDV\DUDNDW
Indonesia khususya pada kalangan anak muda.
Tindak kekerasan seksual misalnya pemerkosaan,
pelecehan seksual, ataupun kegiatan seksual yang
dilakukan sebelum adanya ikatan perkawinan
(seks bebas) merupakan akibat dari kurangnya
pemahaman akan seks itu sendiri.
Seks bebas belakangan ini menjadi isu
yang hangat, dalam arti menjadi perhatian dan
bahan pembicaraan yang amat sering. Pada
media elektronik seakan dapat disaksikan pada
setiap program infotaiment dan diskusi-diskusi
yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Tidak
ketinggalan pula media cetak mengabarkan
tentang liku-liku kehidupan seksual umat manusia.
Dua kejadian yang melatarbelakangi terhadap
munculnya pemberitaan ini adalah dua hal yang
berbeda tetapi memiliki efek yang luar biasa.
Pertama, sekitar pertengahan tahun 2010
muncul video mesum yang melibatkan seorang
vokalis band terkenal yang banyak digandrungi
oleh remaja di negara ini dengan seorang artis/
presenter infotaintment pada salah satu stasiun
televisi. Gegap gempita pemberitaan kasus ini
tersebar di sebagian besar media baik elektronik
maupun cetak. Kasus ini pun menyita perhatian
publik baik dari masyarakat umum ataupun dari
kalangan masyarakat kampus. Kedua, baru-baru
ini seorang petinggi partai politik tampil di depan
publik bersma istri keduanya. Kemunculannya
mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan
masyarakat, ada yang menganggapnya sebagai
sesuatu yang biasa, tetapi ada pula yang menilainya
sebagai sesuatu yang kurang elok, karena dia
PHUXSDNDQSXEOLN¿JXU\DQJPHPLOLNLSHQJDUXK
dalam kancah perpolitikan nasional. Meskipun
dia tidak melakukan aktivitas seks secara fulgar,
akan tetapi perilaku poligami dalam masyarakat
Indonesia khususnya dalam masyarakat Bugis
adalah sesuatu yang kurang elok, meskipun sah
dan halal berdasarkan hukum Islam.
Dua kasus tersebut memang terjadi
perbedaan, akan tetapi ada benang merah yang
bisa diurai, yaitu seks. Fenomena yang pertama
memiliki keterkaitan dengan eksploitasi seks di
luar akad pernikahan dan kemudian diekspose
Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman
ke khalayak ramai, melalui video, sedang yang
kedua adalah tentang penyaluran hasrat seksual
yang diikat dalam tali pernikahan kedua atau
poligami. Mengenai kasus yang pertama,
masyarakat seakan sudah ada kesepakatan bahwa
eksploitasi seks tersebut bertentangan dengan
agama dan norma budaya bangsa, meskipun hal
itu diakui secara wajar karena dilakukan oleh
pria dan wanita yang sudah dewasa, karenanya
mereka berdua tetap terterima di masyarakat
bahkan sudah kembali eksist pada panggung
hiburan nasional, setelah sebelumnya mendapat
sanksi pidana dan sanksi sosial dari masyarakat.
Kasus kedua merupakan ajaran agama yang
sering diperdebatkan, mendapat pengakuan
sekaligus penentangan. Faktanya, secara
hukum dan perundang-undangan poligami tetap
dibolehkan, dan hanya diatur dan dibatasi agar
tidak terjadi penyalahgunaan misalnya dijadikan
sebagai sarana pemuasan libido seksual belaka
oleh pelakunya.
Uraian di atas memberi gambaran
bahwa betapa seks seringkali menjadi bahan
perbincangan yang kemudian berujung pada
proses perdebatan yang tidak berkesudahan.
Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini
mempersoalkan tentang bagaimana hal ikhwal
seks berdasarkan tinjauan kebudayaan Bugis.
Berangkat dari fenomena itu maka kajian
berikut ini hendak memberi perhatian utama
dalam rangka mengungkap kehidupan seks jika
dihubungkaitkan dengan kearifan lokal Bugis.
Untuk itu, dalam tulisan ini tidak membahas
tentang halal haram video mesum dan tidak
mengkaji tentang kontroversi di seputar poligami.
METODE
Pendekatan yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Penyajian data yang disajikan bukan pada angkaangka, akan tetapi secara naratif. Adapun metode
yang digunakan adalah studi literatur, menelusuri
jejak-jejak fenomena yang masih terekam dalam
memori penulis dan wawancara terhadap orang
yang memiliki pengetahuan yang mendalam
tentang kebudayaan Bugis, maupun terhadap
orang yang mengalami kejadian yang terkait
dengan topik ini. Jadi, yang menjadi tujuan
adalah menggambarkan realitas empirik di balik
fenomena secara mendalam. Oleh karenanya,
hasil penelitian kemudian dicocokkan dengan
teori-teori yang relevan.
PEMBAHASAN
Konsepsi Seks dalam Budaya Bugis
Secara etnologis sudah dipahami bersama
bahwa cara menjadi manusia (becoming human)
adalah sebanyak jumlah budaya manusia itu
sendiri. Kemanusiaan bervariasi secara sosio
kultural. Tidak ada yang namanya kodrat
manusia dalam artian suatu sub stratum biologis
yang pasti, yang dapat menentukan variabilitas
formasi sosio kultural. Yang ada itu hanya kodrat
manusia dalam arti kesatuan antropologis yang
konstan, yang membatasi dan memungkinkan
formasi sosio kultural manusia. Tapi bentuk
khusus kemanusiaan dipengaruhi formasi sosio
kultural ini, yang sifatnya relatif karena variasinya
yang begitu banyak. Meskipun bisa dikatakan
bahwa kodrat manusia itu ada, tetapi lebih tepat
untuk mengatakan bahwa mengkostruksikan
kodratnya, atau bahwa manusia menghasilkan
dirinya sendiri (Berger dan Luckmann, 1966:49).
Seiring dengan kehadirannya di jagad
raya ini maka salah satu kebutuhan mendasar
manusia adalah seks. Jika ditilik dari perspektif
ajaran Agama Islam, dikisahkan bahwa Nabi
Adam hidup di Surga dengan penuh kemewahan
dan kenikmatan yang tiada tara. Akan tetapi dia
menyadari ada sesuatu yang kurang, yakni tidak
adanya seorang yang menemaninya sehingga
hidupnya terasa sepi. Makanya diciptakanlah
seorang pasangan hidup yang berjenis kelamin
perempuan yang lebih dikenal dengan Siti
Hawa. Ketika Nabi Adam berjumpa dengan
Siti Hawa, perlahan-lahan rasa sepinya mulai
terobati, bahkan kebahagiaan dan kepuasan telah
digapainya.
Demikian pula ketika merunut kisah
yang terjadi dalam epos I La Galigo. Batara
Guru yang diutus ke Bumi oleh PatotoE merasa
kesepian, sehingga ia bermohon untuk kembali
ke Langit menjalani kehidupannya yang penuh
dengan kenikmatan. Akan tetapi rasa kesepian
itu menghilang ketika We Nyili Timo datang dari
Uri Liu (Dunia Bawah dalam konsepsi Bugis)
menemaninya melakoni kehidupan. Hal yang
49
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59
serupa pula dikisahkan tentang pengembaraan
Sawerigading dari Luwu ke Negeri Cina demi
menjumpai gadis idamannya yang bernama We
Cudai (Hadrawi, 2010:1). Tampaknya ketiga
penggalan kisah tersebut diwarnai dengan motif
seksualitas.
Seiring berjalannya waktu, seks tidak saja
dikaitkan dengan kebutuhan biologis. Akan tetapi
seks tidak bisa juga dipisahkan dengan bingkai
faktor sosial, budaya, politik dan ekonomi. Seks
masih merupakan sebuah penentu imperatif
sangat kuat pengaruhnya terhadap semua faktor
tersebut. Hal ini tentu saja bisa menjelaskan
mengapa banyak muncul resistensi terhadap teoriteori konstruksionisme sosial. Tentang masalah
ini, para kritikus melihatnya sebagai upaya
menjinakkan sesuatu yang selama ini dengan liar
mampu menghidupkan upaya-uapaya manusia
untuk melakukan kontrol (Altman, 2007:3). Seks
menjelma pula sebagai elemen dari sistem sosial
masyarakat yang didasari oleh seperangkat nilai
yang bisanya bersumber dari agama dan budaya
(Hadrawi, 2010:1).
Dalam pandangan Yusran Darmawan,
Seks senantiasa mengandung aspek konstruksi
kebudayaan yang di dalamnya juga terdapat medan
kontestasi kepentingan dan negosiasi makna yang
tidak pernah berkesudahan. Dalam hal seks,
konsep nikmat-tidak nikmat, cantik-tidak cantik
dan sebagainya adalah konsep yang dikonstruksi
tiap individu yang pada gilirannya dimapankan
dalam kebudayaan. Konsep ini dipengaruhi
oleh latar belakang seseorang serta bagaimana
pandangannya terhadap sesuatu. Bahkan seorang
yang dipengaruhi keagamaan yang kuat sekalipun
akan melahirkan konsep tersendiri mengenai
seksualitas (Darmawan, 2010).
Masyarakat Bugis yang bermukim di
wilayah pedesaan Sulawesi Selatan pada
umumnya masih tergolong dalam masyarakat
pinggiran atau tradisional yang dicirikan dengan
derajat integrasi yang tinggi serta homogenitas
dalam bingkai keteraturan yang diatur oleh
norma agama yang kental. Sebagai masyarakat
yang bercorak agraris, maka masyarakat Bugis
di Sulawesi Selatan masih berpegang teguh
terhadap pesan-pesan moral yang terkandung
dalam nilai adat istiadat dan agama, sehingga
seks dan wanita ditempatkan pada tatanan yang
50
sedemikian sakral.
Latar belakang sosial masyarakat Bugis
di Sulawesi Selatan yang demikian, dalam arti
masih memegang teguh nilai budaya dan agama,
termasuk dalam hal memandang seks sebagai
sesuatu yang normatif. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Bungin (2003:92) bahwa
konsep seks yang mengatur perilaku seksual
berkaitan erat dengan jenis sosialisasi seks di
masyarakat. Sebagaimana dipahami bahwa
sruktur sosial budaya dalam masyarakat Bugis
masih sarat dengan nilai adat istiadat dan agama,
menyebabkan perlakuan seks di dalam pernikahan
itulah yang dianggap menjadi ruang seks
secara normatif. Sedangkan tingkah laku yang
memandang rendah seks baik yang dilakukan
secara gerak, visual, maupun teks dianggap
sebagai sesuatu yang tabu, bahkan dianggap
sebagai perilaku yang memalukan (mappakasirisiri) dan dapat mencoreng nama baik/martabat
keluarga di lingkungan masyarakat. Dengan
demikian seks normatif merupakan nilai-nilai
yang telah terinstusionalisasi dalam kehidupan
masyarakat, sehingga apabila seks diterjemahkan
dalam konsep etika, maka seks normatif inilah
yang merupakan etika masyarakat yang dijadikan
pedoman dalam hal perilaku harus dilakukan.
Seks normatif dalam masyarakat Bugis
dalam hal ini bisa diperoleh melalui proses
pernikahan. Pernikahan yang dimaksud adalah
mengacu pada keseluruhan prosedur yang terjadi
dalam proses penyelenggaraan dan perayaannya.
Ada lima proses utama dalam sebuah pernikahan
pada masyarakat Bugis.
Berdasarkan pandangan Millar (2009:86),
ada lima tata cara upacara prosesi pernikahan
yang harus ada adalah: pertama, pertemuan
pelamaran yang biasa dirangkaikan dengan
pertunangan (madduta dan mappasiarekeng).
Kedua, upcara pernikahan yang bernuansa islami
yakni ijab kabul disertai dengan penyerahan
mahar. Ketiga, malam renungan (tudangpenni)
hal yang sebelum dilakukan sebelum kedatangan
mempelai wanita. Keempat, duduk bersanding
(tudangbotting) yang berlangsung selama
pertemuan resmi antara pengantin pria dan wanita
yang didahului dengan kedatangan pengantin
pria (mappenrebotting) dan kunjungan mempelai
wanita ke rumah pengantin pria (marola) dan
Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman
ritual yang terakhir adalah pertemuan orang
tua dari kedua mempelai (massitabeseng)
yang dilakukan setelah menyelesaikan prosesi
menerima undangan (Millar, 2009:86).
Demikian halnya dengan tata kelakuan
seks yang dipegang teguh bahkan dipedomani
dan diwariskan secara turun temurun oleh
masyarakat Bugis, menempatkan seks dan
perilaku seks hanya pantas dilakukan dalam
institusi rumah tangga yang telah dibingkai
dengan pernikahan. Dalam arti bahwa, ketika
jenis dan perilaku seks dilakukan dalam sebuah
keluarga antara suami dan istri yang sah terikat
oleh pernikahan, maka perilaku seks tersebut sah
adanya dan tidak lagi menjadi persoalan dalam
masyarakat, karena hal tersebut sudah menjadi
urusan privasi keluarga.
Membincangkan masalah seks, maka
terkadang pula dikaitkan dengan perempuan. Pada
masyarakat Bugis, perempuan dipandang sebagai
makhluk indah yang dengan kecantikannya
menunjukkan sisi keserasian dan keindahan
(malebbi). Menurut falsafah Bugis, perempuan
adalah sawah yang subur, yang siap menumbuhkan
tanaman untuk keberlanjutan hidup umat manusia.
Perempuan adalah padi yang menghasilkan beras
yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia.
Perempuan ideal dalam masyarakat Bugis ketika
memenuhi empat kriteria (sulapa eppa) yakni
elok rupawan (makessing-kessingngi), keturunan
orang baik-baik termasuk dalam hal ini adalah
status sosial kebagsawanan yang disandangnya
(wija madeceng), memiliki harta yang cukup
untuk penghidupan (sugi) dan memiliki akhlak
mulia (fagamai).
Ketika
seks
dan
perempuan
dihubungkaitkan, maka titik awalnya adalah
pola hubungan-hubungan sosial pada masa
remaja dalam sistem sosial Bugis yang memiliki
keterkaitan erat dengan proses pendewasaan
secara biologis. Agar tidak memunculkan
kontoversi dengan adab kesopanan, masalah
seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka
dalam keluarga/rumah tangga masyarakat Bugis.
Orang tua tidak segan-segan menghardik ketika
mendapati anak-anaknya memperbincangkan,
menikmati tontonan, mengkomsumsi bacaan
yang terkait dengan masalah seks.
Dalam pandangan Pelras, sejak masa silam
di kalangan masyarakat Bugis perbedaan jenis
kelamin tidak menempatkan perempuan sebagai
inferior. Perempuan malah ditempatkan sebagai
posisi yang terhormat. Hal ini dibuktikan ketika
dalam proses pernikahan, pihak laki-laki harus
memberikan mas kawin terhadap perempuan.
Mas kawin terdiri atas dua bagian yakni
sompa (persembahan) dan dui menre (uang
naik) ditambah juga dengan lise kawin (hadiah
pernikahan).
Untuk menjaga harmonitas sosial dan
karena ada rasa tabu dalam pembicaraan seks,
orang Bugis memiliki simbol lesung dan alu.
Lesung melambangkan alat kelamin perempuan,
sementara alu sering dipersepsikan sebagai
alat kelamin laki-laki. Untuk penyebutan alat
kelamin terhadap kalangan anak-anak, cicca
atau burung untuk alat kelamin anak laki-laki dan
afang untuk penyebutan alat kelamin anak-anak
perempuan. Pelukisan seksual dalam khasanah
¿OVDIDW %XJLV GLNHQDO GHQJDQ LVWLODK kawali
mattama wanuanna, yang dalam arti lugasnya
adalah badik masuk dalam warangka/sarungnya.
Hubungan seksual dalam pandangan
masyarakat Bugis merupakan sesuatu yang
luhur, sakral dan memiliki fungsi untuk menjaga
keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia.
Keharmonisan beraroma kenikmatan tinggi ini
terjadi ketika menggunakan seluruh tubuh untuk
mencari dan mengekspresikan kepuasan satu
sama lain. Hubungan seksual demikian adalah
seks yang sesungguhnya dan memberikan makna
yang cukup dalam.
Jika didasari dengan penuh rasa cinta, maka
hubungan seksual dinilai sebagai pencerminan
terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual. Hal
ini barangkali akan lebih mudah dipahami dalam
ranah religius. Dalam ajaran Islam, hasrat jiwa
untuk menjadi satu dengan Tuhan biasanya
diekspresikan secara simbolik dengan tema cinta
dan hasrat seksual. Karena itu, baik laki-laki
maupun perempuan sama-sama memiliki hak
untuk dapat menikmati hubungan seksual yang
mereka lakukan sepanjang itu sah yang telah
diikat dengan tali pernikahan.
Bagi orang Bugis, seks itu kenikmatan
yang dianugerahkan. Seks itu mendatangkan
keberuntungan-keberuntungan. Tidak saja
NHEHUXQWXQJDQ ¿VLN WHWDSL MXJD NHEHUXWXQJDQ
51
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59
rohani. Maka perilaku seks itu sebagai kebutuhan
normal sehari-hari. Namun pada perkembangan
selanjutnya, sejak kedatangan Islam dan Kristen,
pengetahuan seks bagi orang Bugis berubah.
Seks bukan saja dilihat sebagai pelepasan
birahi namun juga berkah yang perlu dijalankan
dengan benar yakni dengan tuntunan. Tuntunan
seks bagi orang Bugis sekarang tampak dalam
prinsip “barang siapa yang melakukan guna
meningkatkan kesaktian, kewibawaan bahkan
mencapai surga dilarangan keras melakukan
seks di luar nikah.” Dengan kata lain, semakin
tinggi aktivitas seks di luar nikah semakin tinggi
kehilangan harga dirinya (alebbirengna).
Hubungan seksual memiliki fungsi
religius, kewajiban, dan pembebasan diri jika
dilakukan dengan sepenuh jiwa raga dalam ikatan
pernikahan. Dengan demikian kebermaknaan
sebuah hubungan seksual apabila telah terwadahi
oleh nilai-nilai budaya yang sakral dalam sebuah
rumah tangga. Manakala kebutuhan seks hanya
dimaknai sebagai penyaluran hasrat libido yang
berfungsi rekreatif belaka, maka sakralitas seks
itu akan tercerabut dengan sendirinya. Jika
fungsi ini yang berkembang, maka akan terjadi
liberalitas seksual, dan jika masuk ke wilayah
politik, akan terjadi binalitas politik sebagaimana
yang terjadi akhir-akhir ini. Seks sudah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan lobi
politik, kebutuhan dan aktivitas dari sebagian
para politisi.
Dialektika Seksual: Antara Tabu dan Lumrah
Orang Bugis, Mandar, Toraja dan
Makassar merupakan empat kelompok etnis
terbesar di Sulawesi Selatan. Orang Bugis
menghuni hampir seluruh dataran dan perbukitan
sebelah selatan, dan sebagian kecil tinggal
di dataran Luwu. Hingga kini, orang Bugis
PDVLK WHWDS PHQJLGHQWL¿NDVL GLUL EHUGDVDUNDQ
kerajaan-kerajaan Bugis besar yang pernah
ada yakni Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng,
atau persekutuan kerajaan kecil seperti yang
terdapat di sekitar Pare-Pare dan Suppa serta di
pantai barat sampai Barru, dan wilayah Sinjai
dan Bulukumba di sebelah tenggara dan selatan
Sulawesi Selatan (Pelras, 2006:17). Selain itu
banyak pula orang Bugis yang tersebar di negeri
52
rantau misalnya saja di Riau, Kalimantan bahkan
di negara-negara semenanjung Malaya.
Seiring dengan perkembangan zaman,
pada kalangan masyarakat Bugis telah terjadi
disorientasi seksual yang sejatinya merupakan
sesuatu yang sakral, tetapi telah menjadi sebuah
hal yang liberal/profan. Secara konseptual,
kendatipun pendekatan ini memperlakukan
reproduksi sosial sebagai totalitas, konseptualisasi
kerja perempuan dalam totalitas ini didasarkan
pada pemisahan isu-isu biologis dan sosial dan
pada pembedaan konvensional antara kerja
produktif dan tidak produktif.
Hukum kapitalisme moderen memandang
masalah seks dan seksualitas tidak lagi sebagai
pandangan kebudayaan masa lalu yang bersifat
antiseksual, yaitu saat kekuasaan memberi
perhatian terhadap masalah-masalah seks dan
seksualitas serta menjadi masalah yang tabu
untuk diungkap dan diperbincangkan pada
khalayak ramai. Hal ini kemudian diperkuat oleh
pandangan kaum esensialis yang beranggapan
bahwa seks memiliki ciri tetap, asosial, dan
transhistoris. Pandangan yang mereduksi seks
GDQ VHNVXDOLWDV SDGD GLPHQVL ¿VLN ELRORJLV
Citra seks dan seksualitas yang demikian terasa
lengkap dan inheren ketika kita diperhadapkan
pada kehidupan yang dipertontonkan pada
WD\DQJDQ ¿OHP GDQ VLQHWURQ GHQJDQ VHOHEULWLV
(artis dan aktor) sebagai pelaku utamanya.
Melonggarnya norma-norma seksual di
kalangan perempuan Indonesia, terutama pada
generasi muda, terbukti menguntungkan bagi
pria. Pada revolusi seksual 1960an, perempuan
di dunia Barat merancukan pembebasan seksual
dengan pembebasan politik. Demikian juga yang
terjadi di Indonesia, banyak perempuan muda
yang mengidentikkan kebebasan seksual dengan
modernitas dan pembebasan pribadi. Kondisi
yang seperti inilah yang terkadang dimanfaatkan
oleh kaum pria, sehingga perempuan terkadang
membiarkan diri mereka termanipulasi atas
nama kebebasan dan cinta.
Perkembangan mental dan karakter
berpikir perempuan telah mendapatkan ruang
yang terfragmentasi oleh lunturnya normanorma kehidupan bermasyarakat, di mana
selama ini nilai budaya merupakan hal yang
menjadi perekat dari perilaku moral perempuan.
Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman
Tetapi realitas yang terjadi nilai budaya itu
telah ditinggalkan dan akhirnya hanya menjadi
sebuah slogan belaka yang tidak bermakna
bagi penganut budaya itu sendiri, sehingga
perempuan terbius dengan liberalisasi seksual
yang berorientasi pada uang dan kepuasan diri
(Adiyatma, 2011:23-24).
Baudrillard berpendapat bahwa suatu
transformasi historis telah terjadi pada manusia
moderen dalam arti bahwa kebahagian bukan
lagi dicari melalui jiwa, tetapi justru kebahagiaan
itu dicari melalui tubuh. Individu telah menjadi
konsumen tubuhnya sendiri dan dengan
demikian sang tubuh telah mengkomsumsi
aneka macam barang dan jasa dalam rangka
memenuhi nilainya. Individu adalah bagian
dari budaya yang di dalamnya tubuh dan jiwa
diberondong oleh sinyal-sinyal dan imaji-imaji.
Tubuh individu muncul sebagai sesuatu yang
dapat digunakan untuk menjual komoditas dan
jasa sekaligus sebagai suatu objek yang dapat
digunakan untuk menjual pelbagai hal, tubuh
harus di reka ulang oleh pemiliknya dan dilihat
secara narsistik ketimbang secara fungsional
(Ibrahim, 2007:52).
Maraknya kebebasan seksual akhir-akhir
ini tidak dapat dipisahkan dari pola interaksi
yang melingkupi pergaulan laki-laki dan
perempuan itu sendiri. Pola interaksi itulah yang
akan menentukan bentuk hubungan antara lakilaki dan perempuan. Dan menjadi pemahaman
umum bahwa pergaulan laki-laki dan perempuan
saat ini mengikuti pola interaksi tanpa sekat/
batas antara laki-laki dan perempuan atau dengan
bahasa lainnya gaul bebas. Model pergaulan yang
demikian ini bersumber dari ideologi kapitalisme
yang memisahkan urusan agama dari kehidupan
duniawi (sekuler).
Dalam pandangan kapitalisme hubungan
laki-laki dan perempuan adalah hubungan
yang berorientasikan seksual. Dominasi
seksual inilah yang menjadikan hubungan
laki-laki dan perempuan selalu mengarah pada
syahwat. Pola hubungan berbau syahwat ini
menghantarkan manusia untuk selalu berupaya
menarik perhatian lawan jenisnya. Bagi yang
perempuan akan berpakaian serba minim, super
ketat, berhias sedemikian cantik agar terlihat
menawan. Sehingga bila kemudian terjadi
pelecehan seksual sebenarnya salah satu faktor
pemicunya adalah wanita itu sendiri. Pandangan
kapitalisme sungguh telah merusak hubungan
laki-laki dan perempuan. Akhirnya yang terjadi
seperti sekarang ini. Syahwat seksual bisa
muncul di mana-mana. Dan bagi mereka yang
tidak memiliki iman kuat akan melampiaskan
syahwatnya kepada siapapun yang sekiranya
bisa menjadi pelampiasan birahinya. Mulai
anak-anak, remaja, dewasa bahkan nenek-nenek
pun bisa menjadi korbannya.
Efek lain dari pergaulan ala kapitalis ini
DGDODK PDUDNQ\D SHUHGDUDQ ¿OP SRUQR XQWXN
memenuhi kebutuhan akan tontonan seksual.
3DGDKDO¿OPSRUQRPHPLOLNLSRWHQVLWLQJJLGDODP
memicu rangsangan seksual. Demikian pula
sinetron percintaan di televisi juga perpartisipasi
menyemarakkan aksi seksualitas melalui aksi
jorok para artisnya. Apabila tidak ada tindakan
WHJDV EHUNDLWDQ ¿OP SRUQR PDND NHMDKDWDQ
seksual ini akan makin meningkat.
Dengan dibebaskannya tubuh perempuan
dari berbagai pembatasan nilai-nilai atau tata
aturan yang terdapat dalam agama dan budaya,
maka tubuh tersebut dapat digunakan sebagai
bahan baku dalam sistem pertukaran tanda yang
menjadi salah satu tema utama kapitalisme
libidinal. Kekuatan tubuh perempuan pada
masyarakat yang dewasa ini telah mengalami
pergeseran nilai budaya terletak pada kekuatan
rayuan yang dimilikinya, yaitu kemampuannya
untuk mengeksplorasi secara bebas potensi
dirinya untuk menghasilkan daya pikat dan
pesona demi tecapainya hasrat ekonomi (Piliang,
2008:390-391).
Secara historis, penjelmaan kerja seksual
perempuan, dalam arti penggunaan tubuh
perempuan sebagai alat untuk memproduksi
jasa, mengambil beragam bentuk di dalam
beragam corak hubungan sosial seperti
perbudakan, hubungan patron klien atau
hubungan pengupahan (misalnya reprodusen
biologis di dalam perbudakan, reprodusen
pengganti di dalam hubungan pengupahan, dan
pelacuran). Hubungan sosial yang mengatur
kerja seksual terjalin pada hubungan produksi
sosial yang dominan. Jadi, kerja seksual
dapat diorganisasikan sepenuhnya pada basis
komunitas tertentu. Sebagai contoh adalah hasil
53
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59
penelitian dari Adiyatma (2011:24) pada pekerja
seks di Bojo, Kabupaten Barru. Kebanyakan
dari pekerja seks yang ada di Bojo, menutupi
aktivitas mereka dengan menjadi seorang
pelayan warung kopi yang ditempati. Tetapi itu
hanyalah sebagai alasan pembenaran dengan
maksud supaya pekerjaan mereka (melacurkan
diri) tidak mendapat tanggapan langsung dari
masyarakat.
Dengan meningkatnya arus urbanisasi
dan migrasi pekerja, sistem kekerabatan dan
pola oragnisasi seksual tidak dapat meluputkan
diri dari perubahan. Kaum muda kelas pekerja
yang pada umumnya berasal dari daerah
pedesaan menjadi lebih otonom secara seksual
dan ekonomi. Dengan tersedianya lapangan
kerja upahan di perkotaan, kaum muda dapat
menikah dan membangun rumah tangga tanpa
menunggu datangnya harta warisan. Bahkan
dengan pekerjaan yang tidak terlalu stabil untuk
memungkinkan pernikahan, kaum muda tetap
melangsungkan pertunanangan atau melakukan
hubungan seks dengan harapan tradisional
bahwa pernikahan akan dilangsungkan bila
terjadi kehamilan.
Dalam ketiadaan sistem dukungan
kekerabatan tradisional untuk memberikan
tekanan terhadap tanggung jawab Pria, banyak
migran perempuan yang terorganisir dalam jasa
rumah tangga atau pabrik berupah rendah di
daerah perkotaan menghadapi situasi baru. Akibat
upah mereka yang rendah, para perempuan ini
tidak sanggup untuk menggantungkan diri pada
penghasilan mereka sendiri maupun menuntut
dukungan pria dalam hal biaya pemeliharaan
kesehatan kandungan dan persalinan mereka. Ini
berakibat pada tingginya tingkat pengguguran
kandungan dan pembuangan bayi di kalangan
kelas pekerja, uatamanya yang bergelut sebagai
pembantu rumah tangga yang tidak mempunyai
tabungan, kesempatan bekerja dan membangun
rumah tangga baru. Dalam banyak kasus, para
perempuan ini akhirnya kehilangan pekerjaan
dan beralih menjadi pekerja seks komersial.
Jika kepuasan seksual dapat diatur
oleh relasi-relasi pemilikan, perubahan
sosial dan ekonomi dan dapat memunculkan
ketidakseimbangan pada tatanan tradisional yang
membawa implikasi berbeda antara perempuan
54
dan pria. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ross
dan Rapp, dalam ketiadaan pewarisan pemilikan,
perempuan dan pria harus memfokuskan
perhatian pada kekuasaan kerja mereka untuk
memperoleh pemilikan yang dibutuhkan dalam
rangka persiapan pernikahan. Kendati demikian,
walau perempuan dan pria muda terus berlanjut
saling memenuhi kebutuhan seksual mereka
dengan mengikuti harapan tradisional, ini tidak
dapat terus dipenuhi mengingat ketidakpastian
pekerjaan mereka, dengan pihak perempuan
yang harus menanggung resiko terbesar dan
beralih menyediakan jasa yang sama dengan tarif
tertentu. Fungsi-fungsi reproduksi tradisional
yang berhubungan dengan sistem keluarga dan
kekerabatan menjadi terpecah dan dikomoditikan
sejalan dengan komoditasi kekuasaan kerja
(Truong, 1992:135).
Sebagai rekapitulasi, cara-cara di dalam
mana seksualitas perempuan dikomersialkan
adalah pada mulanya berhubungan dengan
perupahan persepsi tentang nilai seksualitas
mereka. Pada mulanya, seksualitas perempuan
dipersepsikan dalam makna kemurnian dan
keperawanan, ikatan pernikahan dan kepentingan
saling memiliki (siala) yang menyediakan bagi
mereka paling tidak sejumlah jaminan materi.
Seiring dengan diperkenalkannya bentuk-bentuk
baru produksi, nilai seksualitas mereka berubah
dan kerja mereka menjadi sebuah bentuk baru
pemilikan, menghantarkan mereka dalam
keadaan terpaksa untuk menggunaknnya dalam
cara-cara yang dapat memenuhi kebutuhan untuk
kebertahanan hidup mereka dalam kondisi yang
baru. Menjadi catatan penting bahwa fungsifungsi reproduksi mereka tidaklah berubah,
melainkan telah didisintegrasikan. Pilihan yang
tersedia bagi perempuan adalah, berperan dalam
SHPHOLKDUDDQ¿VLNDQJJRWDUXPDKWDQJJDND\D
berperan dalam pemeliharaan seksual pekerja
pria single yang mampu membeli jasa mereka
kapan saja tanpa tuntutan tanggung jawab dalam
ikatan pernikahan.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
bahwa PSK harus dipahami sebagai sebuah
strategi perempuan bagi kelangsungan hidup
di bawah kondisi negara yang tidak mampu
menghadirkan pemerataan kesejahteraan bagi
warganya. Isu PSK hadir secara sangat tajam
Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman
di sepanjang garis tuntutan militan terhadap
upah bagi kerja rumahan. Pendukung tuntutan
ini beragumentasi bahwa kerja domestik
menghasilkan komoditi tertentu, yakni kekuasaan
kerja, yang kemudian dijual oleh para pekerja
pada kaum kapitalis.
Konteks sosial budaya juga memengaruhi
persepsi para perempuan PSK tentang posisi
mereka dalam masyarakat dan hubunganhubungan yang menindas mereka. Perempuan
yang menjalankan praktek seks komersial
dengan sumber penghasilan memadai dapat
mempertahankan kebebasan dan kehidupan
mandiri mereka. Akan tetapi kesemuanya itu
melewati proses yang sangat panjang, yang mana
ketidaksetujuan yang semula ada, perlahanlahan mencair, digantikan oleh penerimaan dan
kadangkala penghargaan secara terbuka. Kaum
perempuan yang bergelut pada pekerjaan ini
memandang diri mereka sebagai pencari nafkah
bagi keluarga, bukannya sebagai perusak moral.
Uang yang mereka peroleh digunakan untuk
menutupi kebutuhan keluarga, bahkan dijadikan
sebagai ongkos untuk keperluan saudara-saudara
mereka yang menempuh pendidikan di sekolah
maupun belajar mengaji di masjid.
Perilaku Seksual Masyarakat Urban
Dalam hal seksualitas, glamournya
lingkungan perkotaan tidak hanya mampu
membius kalangan pekerja yang berasal dari
masyarakat umum. Pergeseran perilaku seksual
juga dialami oleh kalangan terpelajar dalam hal ini
adalah mahasiswa. Artinya bahwa, aktivitas atau
perilaku yang berhubungan dengan hubungan
seksual pra nikah juga dilakoni oleh mahasiswa.
Hasil penelitian menunjukkan adanya fenomena
tersebut. Beberapa mahasiswa yang berasal dari
daerah, yang notabene berlatar budaya Bugis,
tetapi karena adanya beberapa penyebab antara
lain, pengaruh pergaulan yang terlalu bebas dan
jauh dari pengawasan orang tua, faktor desakan
kebutuhan ekonomi, sehingga mereka terjerumus
ke dalam liberalisasi seks (Lisungan, 2007:50-51).
Kota Makassar sebagai salah satu pusat
pendidikan tinggi di Sulawesi Selatan sangat
terkenal dengan penghormatannya terhadap nilai
budaya siri. Salah satu pengimplementasian dari
nilai budaya ini adalah malu ketika berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan nilai-nilai moral
(asusila). Termasuk dalam hal ini adalah menjaga
harkat dan martabat keluarga. Akan tetapi seiring
dengan laju kehidupan yang sangat terpengaruh
oleh modernitas dan globalisasi, maka kesemua
nilai budaya itu tinggal slogan. Bagi sebagian
anak muda sekarang termasuk mahasiswa, seks
bebas bukan lagi sesuatu yang dianggap tabu.
Apalagi Kota Makassar tempat berkumpulnya
mahasiswa yang datang dari berbagai daerah di
Sulawesi Selatan bahkan dari luar.
Di Makassar, tempat hiburan malam
semakin menjamur, termasuk di sekitaran kampus
yang mudah dijangkau oleh mahasiswa baik dari
segi jarak maupun biaya yang harus dikeluarkan.
Tempat hiburan malam seolah-olah sudah menjadi
kampus kedua bagi mahasiswa. Pergaulan bebas
dari kafe ke kafe susah lagi untuk dibendung.
Biasanya pergaulan malam itu berlanjut ke kamar
kontrakan mahasiswa. Parno, salah satu penjual
aneka gorengan di sekitar kos-kos mahasiswa
di kawasan Manuruki menjadi saksi pergaulan
bebas mahasiswa. Dia menunjukkan beberapa
rumah kos di kawasan itu yang bebas tanpa aturan
bagi penghuninya. Pada malam hari, penghuninya
disibukkan dengan membawa teman lawan
jenisnya untuk berkunjung ke kamar kontrakan.
Meski tidak tahu jelas apa yang dilakukan oleh
sepasang perempuan dan lelaki dalam kamar kos,
akan tetapi dia bisa menebaknya, paling tidak
jauh dari aktivitas seks. Meski belum pernah
menyaksikannya secara langsung akan tetapi ia
melihat bahwa biasanya pasangan itu singgah di
apotik membeli kondom, sembari sang mahasiswa
lelaki tersenyum dan kedip mata kepadanya.
Hal tersebut bukan cuma diakui oleh Parno,
beberapa mahasiswa yang sedang nongkrong
di gerobak Parno pun turut memberikan
informasi tambahan. Menurut mahasiswa salah
satu perguruan tinggi swasta yang enggan
menyebutkan namanya, kos bebas yang identik
dengan pergaulan bebas bukan lagi hal baru.
Dia mengaku sejak kos di daerah sini, banyak
mahasiswa yang kerap mengajak pacarnya untuk
menginap bersama di kos bebas.
Mahasiswa yang berasal dari daerah,
termasuk daerah yang berlatar belakang Bugis
pada umumnya bermukim di Kota Makassar
55
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59
dengan cara menyewa kamar kontrakan. Sebagian
besar kamar kontrakan yang ada di Makassar
kondisinya sangat bebas. Bebas dalam arti bahwa
dalam satu pondokan atau rumah kontrakan
yang terdiri atas sejumlah kamar dihuni oleh
perempuan dan pria. Adanya kawasan kos-kosan
bebas memang tidak bisa ditampik telah menjadi
salah satu faktor semakin ramainya perilaku seks
bebas di kalangan mahasiswa termasuk yang
berlatar belakang Suku Bugis. Jika pada masa lalu
fenomena seks bebas di rumah kos masih kerap
kali disangkal bahkan terkesan ditutup-tutupi,
kini perilaku seks bebas merupakan sesuatu yang
sudah dianggap lumrah. Bahkan ada guyonan,
andaikata aparat pemerintah Kota Makassar
melakukan razia terhadap para penghuni rumah
kos yang melakukan seks bebas, niscaya mobil
mereka tidak akan mampu memuatnya.
Pada
kenyataannya
tempat
kos
bebas memang semakin diminati. Untuk
mendapatkannya, calon penghuni juga tak perlu
lagi bersusah payah. Pasalnya, saat ini semakin
banyak pengelola kos memajang iklan dan
menawarkan kamar kos mereka melalui berbagai
media. Kemajuan teknologi informasi, agaknya
benar-benar dimanfaatkan pengelola kos dengan
mencari calon penyewa kos melalui media
internet. Bahkan hal itu banyak dilakukan secara
terang-terangan. Ada juga yang memasang
tulisan di pinggir jalan.
Salah seorang pemilik kos di Kawasan
Manuruki yang enggan disebutkan namanya,
mengaku membebaskan setiap penghuni kos
melakukan apa saja di tempat kos miliknya.
Lelaki yang mengaku memiliki 20an kamar kos
ini, akan menutup mata terhadap setiap kegiatan
mereka selama si penyewa kos rutin membayar
uang sewa secara penuh. Dia mengutarakan
bahwa kondisi kos sekarang ini kalau tidak
bebas gak bakalan disewa mahasiswa. Karena
semua mahasiswa itu pasti cari kos yang bebas.
Keterangan ini pun diperkuat oleh seorang
mahasiswi yang berinisial CV. Dia mengaku
kalau pada awalnya menyewa kamar kos di
perumahan dosen UNM, akan tetapi pemilik
rumah kos terlalu memberi batasan dalam hal
menerima tamu yang berlawanan jenis. Merasa
tidak bebas maka tidak lama kemudian dia
pindah kos ke sekitaran daerah Jalan Monumen
56
Emmy Saelan.
Dengan semakin sibuknya aktivitas
membuat banyak orang tua di daerah
menumpukan harapannya kepada kampus untuk
memberikan pembinaan terhadap putra-putri
mereka. Pada umumnya mereka berpikiran
bahwa bahwa kewajibannya hanya untuk
mengirim uang saku dan uang pendidikan dalam
setiap bulannya. Faktor pengawasan yang kurang
ketat inilah yang membuat sebagian mahasiswa
menjadi bebas dan mandiri dalam menjalani
kehidupan di kos mereka.
Karena sebagian besar rumah kos
masih memberlakukan aturan ketat dalam hal
menerima tamu lawan jenis pada malam hari,
maka biasanya para mahasiswa ini memasukkan
pacar mereka ke kamar pada pagi hari atau siang
hari ketika tidak ada jam perkuliahan. Lalu
mereka keluar pada sore hari atau malam hari
sehingga tidak dicurigai oleh warga sekitar. Cara
ini tergolong aman dan bebas dari razia. Hal ini
diakui oleh Ilham, seorang mahasiswa perguruan
tinggi swasta di Makassar yang berasal dari
daerah Sinjai. Dia mengakui bahwa untuk
menghindari kecurigaan warga sekitar ataupun
sesama penghuni rumah kos maka dia sering
kali mengajak pasangannya untuk berkunjung
ke rumah kosnya pada pagi atau siang hari.
Ketika sudah berduaan dalam kamar maka dia
mengibaratkan kucing ketemu sama ikan bakar.
Selain itu kehidupan di kamar kontrakan
sebagian besar jauh dari pengawasan pemiliknya.
Yang paling sering dijumpai hanya perjanjian
bahwa tidak diperkenankan membawa lawan
jenis ke dalam kamar, batas waktu bertamu hanya
sampai pukul 21.00. Tetapi kenyataannya semua
itu tidak diterapkan sebagaimana mestinya,
bahkan sesama penghuni kontrakan seolah-olah
ada kesepakatan di antara mereka untuk saling
menjaga kerahasiaan. Akibatnya waktu bertamu
acapkali melewati batas waktu yang telah
ditentukan, bahkan sampai menginap dalam
kamar yang notabene mereka berlainan jenis.
Heriansyah, salah seorang mahasiswa sekaligus
karyawan dari dealer motor yang bermukim di
wilayah Manuruki mengakui hal itu. Kurangnya
pengawasan dari pihak pemilik rumah kontrakan
membuat penghuninya seolah lepas kontrol
dalam tingkah laku mereka. Dia mengakui
Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman
bahwa sejak tinggal di kamar kontrakannya itu,
seringkali mengajak teman perempuannya yang
berasal dari Pinrang dan juga berstatus mahasiswi
untuk menginap di kamarnya.
Kehidupan kota yang diwarnai dengan
segala sesuatunya, dihargai dengan uang
mendorong pula sebagian mahasiswa terjerumus
ke dalam arena seksual yang tidak normatif.
Seorang mahasiswi dari Perguruan Tinggi Negeri
ternama di Kota Makassar mengakui akan hal
ini. Orang tuanya yang berada di daerah hanya
seorang buruh tani yang memiliki pendapatan
minim untuk menghidupi anggota keluarga
yang kesemuanya berjumlah lima orang. Praktis
uang kiriman tidak mencukupi kebutuhannya
yakni biaya listrik, konsumsi, biaya PDAM
dan perlengkapan lainnya termasuk kosmetik
dan pulsa. Dalam menjalankan aktivitasnya
juga tidak sembarang melayani orang. Dalam
pengakuannya dia hanya bersedia menemani
sesamanya mahasiswa dan selalu meminta agar
privasinya di jaga kerahasiannya.
Membincangkan masalah seksualitas
maka tidak bisa pula dipisahkan dengan
keperawanan. Bagi masayarakat Bugis,
keperawanan merupakan hal yang suci dan
hanya bisa dipersembahkan kepada suami.
Akan tetapi hal tersebut juga ikut mengalami
pergeseran. Di kalangan generasi muda baik
perempuan maupun pria, atas nama kasih
sayang dan cinta keperawanan tidak dimaknai
lagi sebagai sesuatu yang sakral. Seorang
mahasiswa (HM) yang menjalin hubungan
asmara dengan (CJ), dalam pengakuannya
sudah seringkali melakukan hubungan seksual
dengan pasangannya. Alasannya karena itu
merupakan bukti kasih sayangnya dan dia tidak
menghendaki pasangannya itu dinikmati oleh
orang lain. Mengenai kehamilan di luar nikah,
dia tidak terlalu khawatir akan hal tersebut
karena pasangannya itu merupakan mahasiswi
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, yang mana
setiap selesai melakukan hubungan seksual,
maka sang pacar akan selalu menyuntikkan obat
pencegah kehamilan (obat KB) dalam dirinya.
Atas dasar cinta dan kasih sayang pula,
seorang perempuan secara sadar memberikan
hadiah keperawanan kepada pria yang dicintainya
dengan pertimbangan daripada direnggut oleh
orang yang tidak diharapkannya. Seorang
Mahasiswa (DL) mengutarakan bahwa sang
pacar (CV) dengan penuh kerelaan menyerahkan
keperawanannya sebagai bukti kasih sayangnya
kepada DL. Hal tersebut dia tempuh karena
CV telah dijodohkan dengan pria lain oleh
orang tuanya. Akan tetapi dalam perjalanannya
pernikahan itu pun kandas di tengah jalan dan
berujung pada perceraian.
Memerhatikan kasus liberalisasi seks
tersebut tampaknya merupakan pelarian
seseorang dari permasalahan keterpisahan
ketidakbersatuannya
dengan
lingkungan.
Sebagian individu biasanya berusaha mengatasi
permaslahan hidup dengan cara mengkonsumsi
alkohol dan obat terlarang. Penyelesaian ini
membuat sang pemakai mengalami kesulitan
untuk lepas dari perasaan bersalah dan
penyesalan sehingga terkadang malah frekuensi
dan dosis penggunaannya semakin meningkat.
Demikian pula, penyelesaian masalah lewat
hubungan seksual di luar pernikahan memiliki
efek yang hampir sama dengan penggunaan obat
atau minuman beralkohol. Dalam pandangan
Fromm (2004:21) penyelesaian masalah lewat
seks bebas yang notabene tidak didasari oleh
dorongan cinta dan kasih sayang yang sejati,
tidak akan pernah bisa menghubungkan jiwa
suatu pasangan dan hanya bertahan dalam waktu
yang singkat.
Tampaknya, orang-orang yang hidup di
wilayah perkotaan baik itu mahasiswa maupun
karyawan terkadang diperhadapkan pada
kehidupan yang ruwet dan patologis. Mereka
hidup di Kota Makassar dengan segudang
problem psikososialnya yang kompleks serta
hidup dalam kungkungan dunia interteks media
komunikasi modern dengan iklim kosmopolitan
yang demikian menggoda menyebabkan
seseorang dalam suatu kondisi yang dilanda rasa
penasaran.
Terjadinya liberalitas seksual sebagai
bentuk penyimpangan di sebagian kalangan
orang Bugis paling tidak disebabkan oleh
bergesernya budaya malu (siri) pada dirinya.
Sering didapati bahwa dalam pergaulan remaja
dewasa ini, tindakan-tindakan yang tidak sesuai
norma sudah biasa dilakukan dan bahkan menjadi
pemandangan yang umum dalam masyarakat,
57
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59
semisal memakai baju yang minim dan seksi
bagi remaja perempuan di tempat umum menjadi
pemandangan yang sudah biasa, bahkan melihat
para remaja berpacaran dengan cara-cara yang
sudah menjurus di tempat umum pun sudah
biasa, bahkan mereka berbuat sedemikian rupa
yang seolah-olah dunia ini hanya ada mereka
dan yang lainnya numpang (Pelita, 2011:18).
Hal ini yang kemudian penulis anggap sebagai
pacaran yang salah, yang tanpa didasari rasa
sayang dan hanya “cinta”. Lunturnya budaya
malu dalam diri remaja lebih banyak disebabkan
keinginan mereka untuk mendapat pengakuan
dari masyarakat bahwa mereka eksis dan pantas
untuk dianggap bagian dari masyarakat tersebut.
Apalagi bagi remaja yang alam perantauannya
adalah kota besar dengan tingkat modernitas
tinggi, yang nilai-nilai kearifan lokalnya
sudah mulai memudar, mereka (para remaja)
dihadapkan pada arah adaptasi yang semakin
meninggalkan nilai-nilai yang mereka warisi
dari daerah asal, yang sering kali nilai-nilai di
alam rantau justru mengarahkan pada mereka
pada hal-hal yang negatif. Sehingga para remaja
menjadi bingung membedakan antara mana yang
baik maupun yang buruk, karena yang dianggap
baik di daerah asal, belum tentu dianggap baik
di daerah perantauan, begitu pula sebaliknya.
Hal ini yang kemudian menyebabkan remaja
semakin kehilangan pegangan akan hal yang
seharusnya dia merasa malu atau merasa biasa,
atau bahkan bangga. Dari sinilah banyak dari
remaja yang kemudian terdorong untuk berani
melakukan hubungan seks pra nikah, yang
bahkan mereka tidak malu mengakuinya bahkan
membanggakannya di lingkungan pergaulannya.
Faktor
lain
yang tidak kalah
berpengaruhnya
adalah
faktor
perilaku
(Normindha, 2009:28). Remaja dalam alam
perantauan sering kali dihadapkan gaya hidup
seksual yang sering kali bertentangan dengan
nilai-nilai yang dianut oleh Individu dari daerah
asalnya, di mana dalam alam perantauan bisa
diketemukan penyelewengan orientasi seksual
yang dilegalkan, misal terbentuknya perkumpulan
Gay maupun waria, hal ini kemudian secara
perlahan akan merubah nilai yang dianut remaja,
sehingga bukan tidak mungkin akan terjerumus
kepada penyelewengan orientasi seksual
58
tersebut sebagai akibat terjalinnya kontak
komunikasi antara individu dengan “mereka”.
Masalah lain yang dialami remaja terkait gaya
hidup seksualitas adalah pengalaman seksual,
baik yang dialami sendiri maupun yang
dialami temannya yang kemudian diceritakan
kepadanya, baik dalam bentuk berpegangan
tangan, berciuman, berpelukan, berkencan,
bahkan sampai melakukan senggama. Yang
kemudian mendorong remja untuk melakukan
lebih dari pengalaman sebelumnya, seperti
yang sebelumnya berani melakukan pegangan
tangan akan berkembang pada pelukan atau
ciuman. Pengalaman-pengalaman yang didapat
individu ini kemudian dapat semakin menyebar
ke individu lain sebagai akibat seringnya gontaganti pasangan, yang pengalaman yang biasanya
dilakukan dengan pasangan sebelumnya akan
dilakukan juga dengan pasangan yan baru,
sehingga dari situ akan terus menyebar di
kalangan remaja tanpa ada pembatasan yang
pasti. Dan penjelasan terakhir dari faktor ini
adalah penggunaan alat kontrasepsi sebagai
media untuk melakukan seks yang “aman”.
Istilah aman yang menyertai sering penggunaan
alat kontrasepsi ini sering kali mengaburkan
pengertian terhadap seks yang aman dengan
yang “aman”. Seks yang aman sebenarnya adalah
seks yang dilakukan dalam ikatan suci atau
pernikahan yang membawa pelakunya kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat, yang diharapkan
berujung pada lahirnya buah cinta atau anak,
bukan “aman” dalam artian mengurangi resiko
hamil atau terkena penyakit seksual.
PENUTUP
Seksualitas dalam masyarakat Bugis yang
pada awalnya dipahami sebagai sesuatu yang
sakral sehingga sangat dijaga keberadaannya
sebagai bagian dari harkat dan martabat keluarga
telah mengalami pergeseran makna utamanya
bagi generasi muda masyarakat Bugis itu
sendiri. Pergeseran tersebut tidak terlepas dari
pengaruh gaya hidup yang terbingkai dalam arus
modernisasi. Pergaulan yang tidak lagi menjaga
batas-batas kemanusiaan antara perempuan
dan pria ditambah lagi dengan desakan
pemenuhan kebutuhan ekonomi turut menjadi
Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman
faktor penyebab terjadinya liberalisasi seksual
baik pria maupun perempuan. Menghadapi
fenomena seperti ini, tentunya amatlah penting
untuk merevitalisasi kembali nilai-nilai budaya,
utamanya siri sebagai bagian dari nilai budaya
masyarakat Bugis dan pentingnya pemahaman
dan pendidikan seks dalam lingkungan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyatma, Ahmad. 2011. “Kopi Pangku:
Kajian Sejarah Sosial Pekerja Seks Bojo
Kabupaten Barru, 1992-2010”. Skripsi.
Makassar: Jurusan Pendidikan Sejarah,
FIS-UNM.
Altman, Dennis. 2007. Global Sex. Jakarta:
Qalam.
Berger, Peter L dan Thomas Luckmann. 1966.
Social Construction of Reality. New York:
Anchoor Books.
Bungin, Burhan. 2003. Porno Media. Yogyakarta:
Prenada Media.
Darmawan, Yusran. 2010. Seks Jawa Vs Seks
Bugis. (Online) http//:www.timurangin.
com. Diakses pada tanggal 10 Februari
2013.
Fromm, Erich. 2004. Gaya Seni Bercinta. (Terj. A
Setiono Mangoenprasodjo dan Dyatmika
Wulan Merwati). Yogyakarta: Pradipta
Publishing.
Hadrawi, Muhlis. 2010. Assikalabineng: Kitab
Persetubuhan Orang Bugis. Makassar:
Ininnawa.
Hendranata, Lianny. 2011. The Power Of Sex.
Yogyakarta: Pohon Cahaya.
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer
Sebagai
Komunikasi.
Yogyakarta:
Jalasutra.
Lisungan, Joni. 2007. “Ayam Kampus: Studi
Kasus Pelacuran di Kalangan Mahasiswi
Di Kota Makassar”. (Tesis tidak terbit).
Makassar: Program Studi Antropologi
Universitas Hasanuddin.
Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan Bugis.
Makassar: Ininnawa.
Normindha, Lelly. 2009. Izinkan Aku Menjadi
Perempuan. Jakarta: Akoer.
Pelita, Kartika Catur. 2011. Perjaka. Jakarta:
Akoer.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta:
Nalar.
Piliang, Yasraf Amir. 2008. Posrealitas: Realitas
.HEXGD\DDQ GDODP (UD 3RVPHWD¿VLND
Yogyakarta: Jalasutra.
Rosyid, Muh. 2013. Pendidikan Sex. Jakarta:
Dwitama Asrimedia.
Truong, Thanh Dam. 1992. Seks, Uang Dan
Kekuasaan. Jakarta: LP3ES.
Ulwan, Abdullah Nashi. 2012. Ada Apa Dengan
Sex?. Jakarta: Gema Insani Press.
59
Download