SEKSUALITAS DAN KEARIFAN DALAM BUDAYA BUGIS SEXUALITY AND WISDOM IN BUGIS CULTURE Abdul Rahman Program Studi Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar Jalan A. P. Pettarani, Kampus Gunungsari Baru, Makassar Pos-el: [email protected] Diterima: 22 Januari 2014; Direvisi: 26 Maret 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT This study attempted to discover the relationship between sexual practices with culture embraced by the Bugis people who live in South Sulawesi. The method used to obtain the data is to conduct the interview, then the interview was reinforced by the study of literature. Let Study results showed that sex is a state of anatomical and biological, ie male and female. A person is born with a particular sex, as he was born with the shape of the eye or a particular hair type. While sexuality covers the whole complexity of emotions, feelings, kperibadian, and attitudes or social character perailaku related to sexual orientation. Fild in the Bugis people of sexuality, including sexual intercourse is something sacred and have linkages with dignity and self-esteem which, if implemented in a frame or a valid marriage bond between women and men. However, along with the times meaning of sexuality continues menagalami marked shift with the rise of sexual relations without marriage bound by a sacred promise. An example is the emergence of sex behavior among Bugis Ethnic background of students who live in the city of Makassar in the absence of a valid marriage bond. Keywords: Sexuality, Bugis Culture, sex liberation ABSTRAK Penelitian ini berupaya untuk menemukan keterkaitan antara praktek-praktek seksual dengan budaya yang dianut oleh masyarakat Bugis yang bermukim di Sulawesi Selatan. Adapun metode yang digunakan untuk memperoleh data ialah dengan melakukan wawancara, kemudian hasil wawancara itu diperkuat dengan telaah kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seks adalah keadaan anatomis dan biologis, yaitu jenis kelamin jantan dan betina. Seseorang dilahirkan dengan jenis kelamin tertentu, seperti ia dilahirkan dengan bentuk mata atau jenis rambut tertentu. Sedangkan seksualitas mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap atau watak sosial yang berkaitan dengan perilaku orientasi seksual. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, dalam masyarakat Bugis seksualitas termasuk hubungan seksual adalah sesuatu yang sakral dan memiliki keterkaitan dengan martabat dan harga diri yang jika dilaksanakan dalam bingkai atau ikatan perkawinan yang sah antara perempuan dan laki-laki. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman pemaknaan terhadap seksualitas terus mengalami pergeseran yang ditandai dengan makin maraknya hubungan seksual tanpa diikat oleh janji suci pernikahan. Sebagai contoh adalah munculnya perilaku berhubungan seks di kalangan mahasiswa berlatar etnik Bugis yang bermukim di Kota Makassar tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah. Kata kunci: Seksualitas, budaya Bugis, kebebasan seksual PENDAHULUAN Sekian lama, seks dan seksualitas secara moralitas selalu disangkutpautkan sebagai sesuatu yang buruk dan gelap. Seksualitas bersifat apatis bila disangsikan dengan oleh sakramen pernikahan. Setiap aktivitas seksual yang bukan bertujuan untuk penciptaan (sex as procreational), terutama semua penyimpangan seksual, secara moral dianggap tidak sesuai dengan kaidah-kaidah nilai budaya yang dianut oleh suatu komunitas atau kelompok-kelompok masyarakat (Ulwan, 2012:21). Dugaan ini dilatarbelakangi oleh suatu persepsi bahwa manusia dari segi lahiriah/jasad adalah sumber malapetaka, dan hanya dengan menekankan 47 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59 tuntutan-tuntutan naluriah, maka kebaikan akan dapat terperoleh (Hendranata, 2011:13). Setiap individu memiliki imajinasi kreasi dan tindakan seksual yang secara kondisional dapat dikonstruksi berdasarkan pada pengalaman seksualnya sejak dan saat anakanak. Pada sisi lain, seks dan seksualitas adalah kreasi reproduksi instinctive akan alam bawa sadar manusia. Seks dan seksualitas merupakan pemenuhan akan kerinduan asal mula, bahwa melalui aktivitas sekslah, manusia diperekatkan dengan alam genealogis leluhurnya dan kebersamaan manusiawi. Kebersamaan duniawi yakni kebersamaan sebagai “aku fungsional” yang bersifat berlainan sejak kesadaran akan gender dalam diri makhluk manusia, yakni sebagai lelaki dan sebagai perempuan, yang secara subsistem prokreasional memiliki fungsi dan peran yang berbeda dan khusus. Selain sebagai hal yang sifatnya fungsional, seks dan seksualitas tak lebih merupakan bentuk dari reproduksi akan kematian, sebuah kesadaran instingtif dari manusia bahwa kehidupan dunia tidak akan pernah abadi. Karena kesadaran akan ketidakabadian itu, maka sebagai wahana pengabdian terhadap kehidupan, maka manusia melakukan tindakan seks sebagai wahana untuk menitipkan energi kehidupan pada generasi ke generasi berikutnya (Rosyid, 2013:32). Hal ini SXQVHVXDLGHQJDQ¿UPDQ7XKDQGDODP$OTXUDQ (kitab suci umat Islam) pada Surah Thaha ayat 120 yang mengatakan kehidupan setan itu abadi sampai hari kiamat tiba. Keabadian itu adalah keabadian reproduksi, keabadian prokreasi, atau keabadian genealogis yang muaranya membentuk rumpun historis. Itulah sebabnya, ketika sejarah, budaya dan etika moralitas dikonstruksikan atau mengatakan seks sebagai sebuah kejahatan, tidak berlebihan jika manusia melakukan tindakan seks di luar sakramen pernikahan. Ujungnya, akan membuatnya merasa berdosa dan tidak akan mampu memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup, selalu dihantui oleh pikiran bahwa melakukan tindakan seks di luar sakramen pernikahan adalah tabu. Setabu tindakan incest yang diyakini oleh berbagai kebudayaan dan zaman. Pada kebanyakan masyarakat Indonesia, 48 persoalan seksualiatas adalah sesuatu yang masih tabu untuk diperbincagkan. Terbatasnya informasi mengenai seksualitas ini memberi implikasi yang FXNXS VLJQL¿NDQ GDODP NHKLGXSDQ PDV\DUDNDW Indonesia khususya pada kalangan anak muda. Tindak kekerasan seksual misalnya pemerkosaan, pelecehan seksual, ataupun kegiatan seksual yang dilakukan sebelum adanya ikatan perkawinan (seks bebas) merupakan akibat dari kurangnya pemahaman akan seks itu sendiri. Seks bebas belakangan ini menjadi isu yang hangat, dalam arti menjadi perhatian dan bahan pembicaraan yang amat sering. Pada media elektronik seakan dapat disaksikan pada setiap program infotaiment dan diskusi-diskusi yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Tidak ketinggalan pula media cetak mengabarkan tentang liku-liku kehidupan seksual umat manusia. Dua kejadian yang melatarbelakangi terhadap munculnya pemberitaan ini adalah dua hal yang berbeda tetapi memiliki efek yang luar biasa. Pertama, sekitar pertengahan tahun 2010 muncul video mesum yang melibatkan seorang vokalis band terkenal yang banyak digandrungi oleh remaja di negara ini dengan seorang artis/ presenter infotaintment pada salah satu stasiun televisi. Gegap gempita pemberitaan kasus ini tersebar di sebagian besar media baik elektronik maupun cetak. Kasus ini pun menyita perhatian publik baik dari masyarakat umum ataupun dari kalangan masyarakat kampus. Kedua, baru-baru ini seorang petinggi partai politik tampil di depan publik bersma istri keduanya. Kemunculannya mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan masyarakat, ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa, tetapi ada pula yang menilainya sebagai sesuatu yang kurang elok, karena dia PHUXSDNDQSXEOLN¿JXU\DQJPHPLOLNLSHQJDUXK dalam kancah perpolitikan nasional. Meskipun dia tidak melakukan aktivitas seks secara fulgar, akan tetapi perilaku poligami dalam masyarakat Indonesia khususnya dalam masyarakat Bugis adalah sesuatu yang kurang elok, meskipun sah dan halal berdasarkan hukum Islam. Dua kasus tersebut memang terjadi perbedaan, akan tetapi ada benang merah yang bisa diurai, yaitu seks. Fenomena yang pertama memiliki keterkaitan dengan eksploitasi seks di luar akad pernikahan dan kemudian diekspose Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman ke khalayak ramai, melalui video, sedang yang kedua adalah tentang penyaluran hasrat seksual yang diikat dalam tali pernikahan kedua atau poligami. Mengenai kasus yang pertama, masyarakat seakan sudah ada kesepakatan bahwa eksploitasi seks tersebut bertentangan dengan agama dan norma budaya bangsa, meskipun hal itu diakui secara wajar karena dilakukan oleh pria dan wanita yang sudah dewasa, karenanya mereka berdua tetap terterima di masyarakat bahkan sudah kembali eksist pada panggung hiburan nasional, setelah sebelumnya mendapat sanksi pidana dan sanksi sosial dari masyarakat. Kasus kedua merupakan ajaran agama yang sering diperdebatkan, mendapat pengakuan sekaligus penentangan. Faktanya, secara hukum dan perundang-undangan poligami tetap dibolehkan, dan hanya diatur dan dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan misalnya dijadikan sebagai sarana pemuasan libido seksual belaka oleh pelakunya. Uraian di atas memberi gambaran bahwa betapa seks seringkali menjadi bahan perbincangan yang kemudian berujung pada proses perdebatan yang tidak berkesudahan. Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini mempersoalkan tentang bagaimana hal ikhwal seks berdasarkan tinjauan kebudayaan Bugis. Berangkat dari fenomena itu maka kajian berikut ini hendak memberi perhatian utama dalam rangka mengungkap kehidupan seks jika dihubungkaitkan dengan kearifan lokal Bugis. Untuk itu, dalam tulisan ini tidak membahas tentang halal haram video mesum dan tidak mengkaji tentang kontroversi di seputar poligami. METODE Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penyajian data yang disajikan bukan pada angkaangka, akan tetapi secara naratif. Adapun metode yang digunakan adalah studi literatur, menelusuri jejak-jejak fenomena yang masih terekam dalam memori penulis dan wawancara terhadap orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kebudayaan Bugis, maupun terhadap orang yang mengalami kejadian yang terkait dengan topik ini. Jadi, yang menjadi tujuan adalah menggambarkan realitas empirik di balik fenomena secara mendalam. Oleh karenanya, hasil penelitian kemudian dicocokkan dengan teori-teori yang relevan. PEMBAHASAN Konsepsi Seks dalam Budaya Bugis Secara etnologis sudah dipahami bersama bahwa cara menjadi manusia (becoming human) adalah sebanyak jumlah budaya manusia itu sendiri. Kemanusiaan bervariasi secara sosio kultural. Tidak ada yang namanya kodrat manusia dalam artian suatu sub stratum biologis yang pasti, yang dapat menentukan variabilitas formasi sosio kultural. Yang ada itu hanya kodrat manusia dalam arti kesatuan antropologis yang konstan, yang membatasi dan memungkinkan formasi sosio kultural manusia. Tapi bentuk khusus kemanusiaan dipengaruhi formasi sosio kultural ini, yang sifatnya relatif karena variasinya yang begitu banyak. Meskipun bisa dikatakan bahwa kodrat manusia itu ada, tetapi lebih tepat untuk mengatakan bahwa mengkostruksikan kodratnya, atau bahwa manusia menghasilkan dirinya sendiri (Berger dan Luckmann, 1966:49). Seiring dengan kehadirannya di jagad raya ini maka salah satu kebutuhan mendasar manusia adalah seks. Jika ditilik dari perspektif ajaran Agama Islam, dikisahkan bahwa Nabi Adam hidup di Surga dengan penuh kemewahan dan kenikmatan yang tiada tara. Akan tetapi dia menyadari ada sesuatu yang kurang, yakni tidak adanya seorang yang menemaninya sehingga hidupnya terasa sepi. Makanya diciptakanlah seorang pasangan hidup yang berjenis kelamin perempuan yang lebih dikenal dengan Siti Hawa. Ketika Nabi Adam berjumpa dengan Siti Hawa, perlahan-lahan rasa sepinya mulai terobati, bahkan kebahagiaan dan kepuasan telah digapainya. Demikian pula ketika merunut kisah yang terjadi dalam epos I La Galigo. Batara Guru yang diutus ke Bumi oleh PatotoE merasa kesepian, sehingga ia bermohon untuk kembali ke Langit menjalani kehidupannya yang penuh dengan kenikmatan. Akan tetapi rasa kesepian itu menghilang ketika We Nyili Timo datang dari Uri Liu (Dunia Bawah dalam konsepsi Bugis) menemaninya melakoni kehidupan. Hal yang 49 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59 serupa pula dikisahkan tentang pengembaraan Sawerigading dari Luwu ke Negeri Cina demi menjumpai gadis idamannya yang bernama We Cudai (Hadrawi, 2010:1). Tampaknya ketiga penggalan kisah tersebut diwarnai dengan motif seksualitas. Seiring berjalannya waktu, seks tidak saja dikaitkan dengan kebutuhan biologis. Akan tetapi seks tidak bisa juga dipisahkan dengan bingkai faktor sosial, budaya, politik dan ekonomi. Seks masih merupakan sebuah penentu imperatif sangat kuat pengaruhnya terhadap semua faktor tersebut. Hal ini tentu saja bisa menjelaskan mengapa banyak muncul resistensi terhadap teoriteori konstruksionisme sosial. Tentang masalah ini, para kritikus melihatnya sebagai upaya menjinakkan sesuatu yang selama ini dengan liar mampu menghidupkan upaya-uapaya manusia untuk melakukan kontrol (Altman, 2007:3). Seks menjelma pula sebagai elemen dari sistem sosial masyarakat yang didasari oleh seperangkat nilai yang bisanya bersumber dari agama dan budaya (Hadrawi, 2010:1). Dalam pandangan Yusran Darmawan, Seks senantiasa mengandung aspek konstruksi kebudayaan yang di dalamnya juga terdapat medan kontestasi kepentingan dan negosiasi makna yang tidak pernah berkesudahan. Dalam hal seks, konsep nikmat-tidak nikmat, cantik-tidak cantik dan sebagainya adalah konsep yang dikonstruksi tiap individu yang pada gilirannya dimapankan dalam kebudayaan. Konsep ini dipengaruhi oleh latar belakang seseorang serta bagaimana pandangannya terhadap sesuatu. Bahkan seorang yang dipengaruhi keagamaan yang kuat sekalipun akan melahirkan konsep tersendiri mengenai seksualitas (Darmawan, 2010). Masyarakat Bugis yang bermukim di wilayah pedesaan Sulawesi Selatan pada umumnya masih tergolong dalam masyarakat pinggiran atau tradisional yang dicirikan dengan derajat integrasi yang tinggi serta homogenitas dalam bingkai keteraturan yang diatur oleh norma agama yang kental. Sebagai masyarakat yang bercorak agraris, maka masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan masih berpegang teguh terhadap pesan-pesan moral yang terkandung dalam nilai adat istiadat dan agama, sehingga seks dan wanita ditempatkan pada tatanan yang 50 sedemikian sakral. Latar belakang sosial masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan yang demikian, dalam arti masih memegang teguh nilai budaya dan agama, termasuk dalam hal memandang seks sebagai sesuatu yang normatif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bungin (2003:92) bahwa konsep seks yang mengatur perilaku seksual berkaitan erat dengan jenis sosialisasi seks di masyarakat. Sebagaimana dipahami bahwa sruktur sosial budaya dalam masyarakat Bugis masih sarat dengan nilai adat istiadat dan agama, menyebabkan perlakuan seks di dalam pernikahan itulah yang dianggap menjadi ruang seks secara normatif. Sedangkan tingkah laku yang memandang rendah seks baik yang dilakukan secara gerak, visual, maupun teks dianggap sebagai sesuatu yang tabu, bahkan dianggap sebagai perilaku yang memalukan (mappakasirisiri) dan dapat mencoreng nama baik/martabat keluarga di lingkungan masyarakat. Dengan demikian seks normatif merupakan nilai-nilai yang telah terinstusionalisasi dalam kehidupan masyarakat, sehingga apabila seks diterjemahkan dalam konsep etika, maka seks normatif inilah yang merupakan etika masyarakat yang dijadikan pedoman dalam hal perilaku harus dilakukan. Seks normatif dalam masyarakat Bugis dalam hal ini bisa diperoleh melalui proses pernikahan. Pernikahan yang dimaksud adalah mengacu pada keseluruhan prosedur yang terjadi dalam proses penyelenggaraan dan perayaannya. Ada lima proses utama dalam sebuah pernikahan pada masyarakat Bugis. Berdasarkan pandangan Millar (2009:86), ada lima tata cara upacara prosesi pernikahan yang harus ada adalah: pertama, pertemuan pelamaran yang biasa dirangkaikan dengan pertunangan (madduta dan mappasiarekeng). Kedua, upcara pernikahan yang bernuansa islami yakni ijab kabul disertai dengan penyerahan mahar. Ketiga, malam renungan (tudangpenni) hal yang sebelum dilakukan sebelum kedatangan mempelai wanita. Keempat, duduk bersanding (tudangbotting) yang berlangsung selama pertemuan resmi antara pengantin pria dan wanita yang didahului dengan kedatangan pengantin pria (mappenrebotting) dan kunjungan mempelai wanita ke rumah pengantin pria (marola) dan Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman ritual yang terakhir adalah pertemuan orang tua dari kedua mempelai (massitabeseng) yang dilakukan setelah menyelesaikan prosesi menerima undangan (Millar, 2009:86). Demikian halnya dengan tata kelakuan seks yang dipegang teguh bahkan dipedomani dan diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Bugis, menempatkan seks dan perilaku seks hanya pantas dilakukan dalam institusi rumah tangga yang telah dibingkai dengan pernikahan. Dalam arti bahwa, ketika jenis dan perilaku seks dilakukan dalam sebuah keluarga antara suami dan istri yang sah terikat oleh pernikahan, maka perilaku seks tersebut sah adanya dan tidak lagi menjadi persoalan dalam masyarakat, karena hal tersebut sudah menjadi urusan privasi keluarga. Membincangkan masalah seks, maka terkadang pula dikaitkan dengan perempuan. Pada masyarakat Bugis, perempuan dipandang sebagai makhluk indah yang dengan kecantikannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan (malebbi). Menurut falsafah Bugis, perempuan adalah sawah yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman untuk keberlanjutan hidup umat manusia. Perempuan adalah padi yang menghasilkan beras yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Perempuan ideal dalam masyarakat Bugis ketika memenuhi empat kriteria (sulapa eppa) yakni elok rupawan (makessing-kessingngi), keturunan orang baik-baik termasuk dalam hal ini adalah status sosial kebagsawanan yang disandangnya (wija madeceng), memiliki harta yang cukup untuk penghidupan (sugi) dan memiliki akhlak mulia (fagamai). Ketika seks dan perempuan dihubungkaitkan, maka titik awalnya adalah pola hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial Bugis yang memiliki keterkaitan erat dengan proses pendewasaan secara biologis. Agar tidak memunculkan kontoversi dengan adab kesopanan, masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga/rumah tangga masyarakat Bugis. Orang tua tidak segan-segan menghardik ketika mendapati anak-anaknya memperbincangkan, menikmati tontonan, mengkomsumsi bacaan yang terkait dengan masalah seks. Dalam pandangan Pelras, sejak masa silam di kalangan masyarakat Bugis perbedaan jenis kelamin tidak menempatkan perempuan sebagai inferior. Perempuan malah ditempatkan sebagai posisi yang terhormat. Hal ini dibuktikan ketika dalam proses pernikahan, pihak laki-laki harus memberikan mas kawin terhadap perempuan. Mas kawin terdiri atas dua bagian yakni sompa (persembahan) dan dui menre (uang naik) ditambah juga dengan lise kawin (hadiah pernikahan). Untuk menjaga harmonitas sosial dan karena ada rasa tabu dalam pembicaraan seks, orang Bugis memiliki simbol lesung dan alu. Lesung melambangkan alat kelamin perempuan, sementara alu sering dipersepsikan sebagai alat kelamin laki-laki. Untuk penyebutan alat kelamin terhadap kalangan anak-anak, cicca atau burung untuk alat kelamin anak laki-laki dan afang untuk penyebutan alat kelamin anak-anak perempuan. Pelukisan seksual dalam khasanah ¿OVDIDW %XJLV GLNHQDO GHQJDQ LVWLODK kawali mattama wanuanna, yang dalam arti lugasnya adalah badik masuk dalam warangka/sarungnya. Hubungan seksual dalam pandangan masyarakat Bugis merupakan sesuatu yang luhur, sakral dan memiliki fungsi untuk menjaga keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia. Keharmonisan beraroma kenikmatan tinggi ini terjadi ketika menggunakan seluruh tubuh untuk mencari dan mengekspresikan kepuasan satu sama lain. Hubungan seksual demikian adalah seks yang sesungguhnya dan memberikan makna yang cukup dalam. Jika didasari dengan penuh rasa cinta, maka hubungan seksual dinilai sebagai pencerminan terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual. Hal ini barangkali akan lebih mudah dipahami dalam ranah religius. Dalam ajaran Islam, hasrat jiwa untuk menjadi satu dengan Tuhan biasanya diekspresikan secara simbolik dengan tema cinta dan hasrat seksual. Karena itu, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak untuk dapat menikmati hubungan seksual yang mereka lakukan sepanjang itu sah yang telah diikat dengan tali pernikahan. Bagi orang Bugis, seks itu kenikmatan yang dianugerahkan. Seks itu mendatangkan keberuntungan-keberuntungan. Tidak saja NHEHUXQWXQJDQ ¿VLN WHWDSL MXJD NHEHUXWXQJDQ 51 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59 rohani. Maka perilaku seks itu sebagai kebutuhan normal sehari-hari. Namun pada perkembangan selanjutnya, sejak kedatangan Islam dan Kristen, pengetahuan seks bagi orang Bugis berubah. Seks bukan saja dilihat sebagai pelepasan birahi namun juga berkah yang perlu dijalankan dengan benar yakni dengan tuntunan. Tuntunan seks bagi orang Bugis sekarang tampak dalam prinsip “barang siapa yang melakukan guna meningkatkan kesaktian, kewibawaan bahkan mencapai surga dilarangan keras melakukan seks di luar nikah.” Dengan kata lain, semakin tinggi aktivitas seks di luar nikah semakin tinggi kehilangan harga dirinya (alebbirengna). Hubungan seksual memiliki fungsi religius, kewajiban, dan pembebasan diri jika dilakukan dengan sepenuh jiwa raga dalam ikatan pernikahan. Dengan demikian kebermaknaan sebuah hubungan seksual apabila telah terwadahi oleh nilai-nilai budaya yang sakral dalam sebuah rumah tangga. Manakala kebutuhan seks hanya dimaknai sebagai penyaluran hasrat libido yang berfungsi rekreatif belaka, maka sakralitas seks itu akan tercerabut dengan sendirinya. Jika fungsi ini yang berkembang, maka akan terjadi liberalitas seksual, dan jika masuk ke wilayah politik, akan terjadi binalitas politik sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Seks sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan lobi politik, kebutuhan dan aktivitas dari sebagian para politisi. Dialektika Seksual: Antara Tabu dan Lumrah Orang Bugis, Mandar, Toraja dan Makassar merupakan empat kelompok etnis terbesar di Sulawesi Selatan. Orang Bugis menghuni hampir seluruh dataran dan perbukitan sebelah selatan, dan sebagian kecil tinggal di dataran Luwu. Hingga kini, orang Bugis PDVLK WHWDS PHQJLGHQWL¿NDVL GLUL EHUGDVDUNDQ kerajaan-kerajaan Bugis besar yang pernah ada yakni Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng, atau persekutuan kerajaan kecil seperti yang terdapat di sekitar Pare-Pare dan Suppa serta di pantai barat sampai Barru, dan wilayah Sinjai dan Bulukumba di sebelah tenggara dan selatan Sulawesi Selatan (Pelras, 2006:17). Selain itu banyak pula orang Bugis yang tersebar di negeri 52 rantau misalnya saja di Riau, Kalimantan bahkan di negara-negara semenanjung Malaya. Seiring dengan perkembangan zaman, pada kalangan masyarakat Bugis telah terjadi disorientasi seksual yang sejatinya merupakan sesuatu yang sakral, tetapi telah menjadi sebuah hal yang liberal/profan. Secara konseptual, kendatipun pendekatan ini memperlakukan reproduksi sosial sebagai totalitas, konseptualisasi kerja perempuan dalam totalitas ini didasarkan pada pemisahan isu-isu biologis dan sosial dan pada pembedaan konvensional antara kerja produktif dan tidak produktif. Hukum kapitalisme moderen memandang masalah seks dan seksualitas tidak lagi sebagai pandangan kebudayaan masa lalu yang bersifat antiseksual, yaitu saat kekuasaan memberi perhatian terhadap masalah-masalah seks dan seksualitas serta menjadi masalah yang tabu untuk diungkap dan diperbincangkan pada khalayak ramai. Hal ini kemudian diperkuat oleh pandangan kaum esensialis yang beranggapan bahwa seks memiliki ciri tetap, asosial, dan transhistoris. Pandangan yang mereduksi seks GDQ VHNVXDOLWDV SDGD GLPHQVL ¿VLN ELRORJLV Citra seks dan seksualitas yang demikian terasa lengkap dan inheren ketika kita diperhadapkan pada kehidupan yang dipertontonkan pada WD\DQJDQ ¿OHP GDQ VLQHWURQ GHQJDQ VHOHEULWLV (artis dan aktor) sebagai pelaku utamanya. Melonggarnya norma-norma seksual di kalangan perempuan Indonesia, terutama pada generasi muda, terbukti menguntungkan bagi pria. Pada revolusi seksual 1960an, perempuan di dunia Barat merancukan pembebasan seksual dengan pembebasan politik. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, banyak perempuan muda yang mengidentikkan kebebasan seksual dengan modernitas dan pembebasan pribadi. Kondisi yang seperti inilah yang terkadang dimanfaatkan oleh kaum pria, sehingga perempuan terkadang membiarkan diri mereka termanipulasi atas nama kebebasan dan cinta. Perkembangan mental dan karakter berpikir perempuan telah mendapatkan ruang yang terfragmentasi oleh lunturnya normanorma kehidupan bermasyarakat, di mana selama ini nilai budaya merupakan hal yang menjadi perekat dari perilaku moral perempuan. Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman Tetapi realitas yang terjadi nilai budaya itu telah ditinggalkan dan akhirnya hanya menjadi sebuah slogan belaka yang tidak bermakna bagi penganut budaya itu sendiri, sehingga perempuan terbius dengan liberalisasi seksual yang berorientasi pada uang dan kepuasan diri (Adiyatma, 2011:23-24). Baudrillard berpendapat bahwa suatu transformasi historis telah terjadi pada manusia moderen dalam arti bahwa kebahagian bukan lagi dicari melalui jiwa, tetapi justru kebahagiaan itu dicari melalui tubuh. Individu telah menjadi konsumen tubuhnya sendiri dan dengan demikian sang tubuh telah mengkomsumsi aneka macam barang dan jasa dalam rangka memenuhi nilainya. Individu adalah bagian dari budaya yang di dalamnya tubuh dan jiwa diberondong oleh sinyal-sinyal dan imaji-imaji. Tubuh individu muncul sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk menjual komoditas dan jasa sekaligus sebagai suatu objek yang dapat digunakan untuk menjual pelbagai hal, tubuh harus di reka ulang oleh pemiliknya dan dilihat secara narsistik ketimbang secara fungsional (Ibrahim, 2007:52). Maraknya kebebasan seksual akhir-akhir ini tidak dapat dipisahkan dari pola interaksi yang melingkupi pergaulan laki-laki dan perempuan itu sendiri. Pola interaksi itulah yang akan menentukan bentuk hubungan antara lakilaki dan perempuan. Dan menjadi pemahaman umum bahwa pergaulan laki-laki dan perempuan saat ini mengikuti pola interaksi tanpa sekat/ batas antara laki-laki dan perempuan atau dengan bahasa lainnya gaul bebas. Model pergaulan yang demikian ini bersumber dari ideologi kapitalisme yang memisahkan urusan agama dari kehidupan duniawi (sekuler). Dalam pandangan kapitalisme hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang berorientasikan seksual. Dominasi seksual inilah yang menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan selalu mengarah pada syahwat. Pola hubungan berbau syahwat ini menghantarkan manusia untuk selalu berupaya menarik perhatian lawan jenisnya. Bagi yang perempuan akan berpakaian serba minim, super ketat, berhias sedemikian cantik agar terlihat menawan. Sehingga bila kemudian terjadi pelecehan seksual sebenarnya salah satu faktor pemicunya adalah wanita itu sendiri. Pandangan kapitalisme sungguh telah merusak hubungan laki-laki dan perempuan. Akhirnya yang terjadi seperti sekarang ini. Syahwat seksual bisa muncul di mana-mana. Dan bagi mereka yang tidak memiliki iman kuat akan melampiaskan syahwatnya kepada siapapun yang sekiranya bisa menjadi pelampiasan birahinya. Mulai anak-anak, remaja, dewasa bahkan nenek-nenek pun bisa menjadi korbannya. Efek lain dari pergaulan ala kapitalis ini DGDODK PDUDNQ\D SHUHGDUDQ ¿OP SRUQR XQWXN memenuhi kebutuhan akan tontonan seksual. 3DGDKDO¿OPSRUQRPHPLOLNLSRWHQVLWLQJJLGDODP memicu rangsangan seksual. Demikian pula sinetron percintaan di televisi juga perpartisipasi menyemarakkan aksi seksualitas melalui aksi jorok para artisnya. Apabila tidak ada tindakan WHJDV EHUNDLWDQ ¿OP SRUQR PDND NHMDKDWDQ seksual ini akan makin meningkat. Dengan dibebaskannya tubuh perempuan dari berbagai pembatasan nilai-nilai atau tata aturan yang terdapat dalam agama dan budaya, maka tubuh tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku dalam sistem pertukaran tanda yang menjadi salah satu tema utama kapitalisme libidinal. Kekuatan tubuh perempuan pada masyarakat yang dewasa ini telah mengalami pergeseran nilai budaya terletak pada kekuatan rayuan yang dimilikinya, yaitu kemampuannya untuk mengeksplorasi secara bebas potensi dirinya untuk menghasilkan daya pikat dan pesona demi tecapainya hasrat ekonomi (Piliang, 2008:390-391). Secara historis, penjelmaan kerja seksual perempuan, dalam arti penggunaan tubuh perempuan sebagai alat untuk memproduksi jasa, mengambil beragam bentuk di dalam beragam corak hubungan sosial seperti perbudakan, hubungan patron klien atau hubungan pengupahan (misalnya reprodusen biologis di dalam perbudakan, reprodusen pengganti di dalam hubungan pengupahan, dan pelacuran). Hubungan sosial yang mengatur kerja seksual terjalin pada hubungan produksi sosial yang dominan. Jadi, kerja seksual dapat diorganisasikan sepenuhnya pada basis komunitas tertentu. Sebagai contoh adalah hasil 53 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59 penelitian dari Adiyatma (2011:24) pada pekerja seks di Bojo, Kabupaten Barru. Kebanyakan dari pekerja seks yang ada di Bojo, menutupi aktivitas mereka dengan menjadi seorang pelayan warung kopi yang ditempati. Tetapi itu hanyalah sebagai alasan pembenaran dengan maksud supaya pekerjaan mereka (melacurkan diri) tidak mendapat tanggapan langsung dari masyarakat. Dengan meningkatnya arus urbanisasi dan migrasi pekerja, sistem kekerabatan dan pola oragnisasi seksual tidak dapat meluputkan diri dari perubahan. Kaum muda kelas pekerja yang pada umumnya berasal dari daerah pedesaan menjadi lebih otonom secara seksual dan ekonomi. Dengan tersedianya lapangan kerja upahan di perkotaan, kaum muda dapat menikah dan membangun rumah tangga tanpa menunggu datangnya harta warisan. Bahkan dengan pekerjaan yang tidak terlalu stabil untuk memungkinkan pernikahan, kaum muda tetap melangsungkan pertunanangan atau melakukan hubungan seks dengan harapan tradisional bahwa pernikahan akan dilangsungkan bila terjadi kehamilan. Dalam ketiadaan sistem dukungan kekerabatan tradisional untuk memberikan tekanan terhadap tanggung jawab Pria, banyak migran perempuan yang terorganisir dalam jasa rumah tangga atau pabrik berupah rendah di daerah perkotaan menghadapi situasi baru. Akibat upah mereka yang rendah, para perempuan ini tidak sanggup untuk menggantungkan diri pada penghasilan mereka sendiri maupun menuntut dukungan pria dalam hal biaya pemeliharaan kesehatan kandungan dan persalinan mereka. Ini berakibat pada tingginya tingkat pengguguran kandungan dan pembuangan bayi di kalangan kelas pekerja, uatamanya yang bergelut sebagai pembantu rumah tangga yang tidak mempunyai tabungan, kesempatan bekerja dan membangun rumah tangga baru. Dalam banyak kasus, para perempuan ini akhirnya kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi pekerja seks komersial. Jika kepuasan seksual dapat diatur oleh relasi-relasi pemilikan, perubahan sosial dan ekonomi dan dapat memunculkan ketidakseimbangan pada tatanan tradisional yang membawa implikasi berbeda antara perempuan 54 dan pria. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ross dan Rapp, dalam ketiadaan pewarisan pemilikan, perempuan dan pria harus memfokuskan perhatian pada kekuasaan kerja mereka untuk memperoleh pemilikan yang dibutuhkan dalam rangka persiapan pernikahan. Kendati demikian, walau perempuan dan pria muda terus berlanjut saling memenuhi kebutuhan seksual mereka dengan mengikuti harapan tradisional, ini tidak dapat terus dipenuhi mengingat ketidakpastian pekerjaan mereka, dengan pihak perempuan yang harus menanggung resiko terbesar dan beralih menyediakan jasa yang sama dengan tarif tertentu. Fungsi-fungsi reproduksi tradisional yang berhubungan dengan sistem keluarga dan kekerabatan menjadi terpecah dan dikomoditikan sejalan dengan komoditasi kekuasaan kerja (Truong, 1992:135). Sebagai rekapitulasi, cara-cara di dalam mana seksualitas perempuan dikomersialkan adalah pada mulanya berhubungan dengan perupahan persepsi tentang nilai seksualitas mereka. Pada mulanya, seksualitas perempuan dipersepsikan dalam makna kemurnian dan keperawanan, ikatan pernikahan dan kepentingan saling memiliki (siala) yang menyediakan bagi mereka paling tidak sejumlah jaminan materi. Seiring dengan diperkenalkannya bentuk-bentuk baru produksi, nilai seksualitas mereka berubah dan kerja mereka menjadi sebuah bentuk baru pemilikan, menghantarkan mereka dalam keadaan terpaksa untuk menggunaknnya dalam cara-cara yang dapat memenuhi kebutuhan untuk kebertahanan hidup mereka dalam kondisi yang baru. Menjadi catatan penting bahwa fungsifungsi reproduksi mereka tidaklah berubah, melainkan telah didisintegrasikan. Pilihan yang tersedia bagi perempuan adalah, berperan dalam SHPHOLKDUDDQ¿VLNDQJJRWDUXPDKWDQJJDND\D berperan dalam pemeliharaan seksual pekerja pria single yang mampu membeli jasa mereka kapan saja tanpa tuntutan tanggung jawab dalam ikatan pernikahan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bahwa PSK harus dipahami sebagai sebuah strategi perempuan bagi kelangsungan hidup di bawah kondisi negara yang tidak mampu menghadirkan pemerataan kesejahteraan bagi warganya. Isu PSK hadir secara sangat tajam Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman di sepanjang garis tuntutan militan terhadap upah bagi kerja rumahan. Pendukung tuntutan ini beragumentasi bahwa kerja domestik menghasilkan komoditi tertentu, yakni kekuasaan kerja, yang kemudian dijual oleh para pekerja pada kaum kapitalis. Konteks sosial budaya juga memengaruhi persepsi para perempuan PSK tentang posisi mereka dalam masyarakat dan hubunganhubungan yang menindas mereka. Perempuan yang menjalankan praktek seks komersial dengan sumber penghasilan memadai dapat mempertahankan kebebasan dan kehidupan mandiri mereka. Akan tetapi kesemuanya itu melewati proses yang sangat panjang, yang mana ketidaksetujuan yang semula ada, perlahanlahan mencair, digantikan oleh penerimaan dan kadangkala penghargaan secara terbuka. Kaum perempuan yang bergelut pada pekerjaan ini memandang diri mereka sebagai pencari nafkah bagi keluarga, bukannya sebagai perusak moral. Uang yang mereka peroleh digunakan untuk menutupi kebutuhan keluarga, bahkan dijadikan sebagai ongkos untuk keperluan saudara-saudara mereka yang menempuh pendidikan di sekolah maupun belajar mengaji di masjid. Perilaku Seksual Masyarakat Urban Dalam hal seksualitas, glamournya lingkungan perkotaan tidak hanya mampu membius kalangan pekerja yang berasal dari masyarakat umum. Pergeseran perilaku seksual juga dialami oleh kalangan terpelajar dalam hal ini adalah mahasiswa. Artinya bahwa, aktivitas atau perilaku yang berhubungan dengan hubungan seksual pra nikah juga dilakoni oleh mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan adanya fenomena tersebut. Beberapa mahasiswa yang berasal dari daerah, yang notabene berlatar budaya Bugis, tetapi karena adanya beberapa penyebab antara lain, pengaruh pergaulan yang terlalu bebas dan jauh dari pengawasan orang tua, faktor desakan kebutuhan ekonomi, sehingga mereka terjerumus ke dalam liberalisasi seks (Lisungan, 2007:50-51). Kota Makassar sebagai salah satu pusat pendidikan tinggi di Sulawesi Selatan sangat terkenal dengan penghormatannya terhadap nilai budaya siri. Salah satu pengimplementasian dari nilai budaya ini adalah malu ketika berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai moral (asusila). Termasuk dalam hal ini adalah menjaga harkat dan martabat keluarga. Akan tetapi seiring dengan laju kehidupan yang sangat terpengaruh oleh modernitas dan globalisasi, maka kesemua nilai budaya itu tinggal slogan. Bagi sebagian anak muda sekarang termasuk mahasiswa, seks bebas bukan lagi sesuatu yang dianggap tabu. Apalagi Kota Makassar tempat berkumpulnya mahasiswa yang datang dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan bahkan dari luar. Di Makassar, tempat hiburan malam semakin menjamur, termasuk di sekitaran kampus yang mudah dijangkau oleh mahasiswa baik dari segi jarak maupun biaya yang harus dikeluarkan. Tempat hiburan malam seolah-olah sudah menjadi kampus kedua bagi mahasiswa. Pergaulan bebas dari kafe ke kafe susah lagi untuk dibendung. Biasanya pergaulan malam itu berlanjut ke kamar kontrakan mahasiswa. Parno, salah satu penjual aneka gorengan di sekitar kos-kos mahasiswa di kawasan Manuruki menjadi saksi pergaulan bebas mahasiswa. Dia menunjukkan beberapa rumah kos di kawasan itu yang bebas tanpa aturan bagi penghuninya. Pada malam hari, penghuninya disibukkan dengan membawa teman lawan jenisnya untuk berkunjung ke kamar kontrakan. Meski tidak tahu jelas apa yang dilakukan oleh sepasang perempuan dan lelaki dalam kamar kos, akan tetapi dia bisa menebaknya, paling tidak jauh dari aktivitas seks. Meski belum pernah menyaksikannya secara langsung akan tetapi ia melihat bahwa biasanya pasangan itu singgah di apotik membeli kondom, sembari sang mahasiswa lelaki tersenyum dan kedip mata kepadanya. Hal tersebut bukan cuma diakui oleh Parno, beberapa mahasiswa yang sedang nongkrong di gerobak Parno pun turut memberikan informasi tambahan. Menurut mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta yang enggan menyebutkan namanya, kos bebas yang identik dengan pergaulan bebas bukan lagi hal baru. Dia mengaku sejak kos di daerah sini, banyak mahasiswa yang kerap mengajak pacarnya untuk menginap bersama di kos bebas. Mahasiswa yang berasal dari daerah, termasuk daerah yang berlatar belakang Bugis pada umumnya bermukim di Kota Makassar 55 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59 dengan cara menyewa kamar kontrakan. Sebagian besar kamar kontrakan yang ada di Makassar kondisinya sangat bebas. Bebas dalam arti bahwa dalam satu pondokan atau rumah kontrakan yang terdiri atas sejumlah kamar dihuni oleh perempuan dan pria. Adanya kawasan kos-kosan bebas memang tidak bisa ditampik telah menjadi salah satu faktor semakin ramainya perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa termasuk yang berlatar belakang Suku Bugis. Jika pada masa lalu fenomena seks bebas di rumah kos masih kerap kali disangkal bahkan terkesan ditutup-tutupi, kini perilaku seks bebas merupakan sesuatu yang sudah dianggap lumrah. Bahkan ada guyonan, andaikata aparat pemerintah Kota Makassar melakukan razia terhadap para penghuni rumah kos yang melakukan seks bebas, niscaya mobil mereka tidak akan mampu memuatnya. Pada kenyataannya tempat kos bebas memang semakin diminati. Untuk mendapatkannya, calon penghuni juga tak perlu lagi bersusah payah. Pasalnya, saat ini semakin banyak pengelola kos memajang iklan dan menawarkan kamar kos mereka melalui berbagai media. Kemajuan teknologi informasi, agaknya benar-benar dimanfaatkan pengelola kos dengan mencari calon penyewa kos melalui media internet. Bahkan hal itu banyak dilakukan secara terang-terangan. Ada juga yang memasang tulisan di pinggir jalan. Salah seorang pemilik kos di Kawasan Manuruki yang enggan disebutkan namanya, mengaku membebaskan setiap penghuni kos melakukan apa saja di tempat kos miliknya. Lelaki yang mengaku memiliki 20an kamar kos ini, akan menutup mata terhadap setiap kegiatan mereka selama si penyewa kos rutin membayar uang sewa secara penuh. Dia mengutarakan bahwa kondisi kos sekarang ini kalau tidak bebas gak bakalan disewa mahasiswa. Karena semua mahasiswa itu pasti cari kos yang bebas. Keterangan ini pun diperkuat oleh seorang mahasiswi yang berinisial CV. Dia mengaku kalau pada awalnya menyewa kamar kos di perumahan dosen UNM, akan tetapi pemilik rumah kos terlalu memberi batasan dalam hal menerima tamu yang berlawanan jenis. Merasa tidak bebas maka tidak lama kemudian dia pindah kos ke sekitaran daerah Jalan Monumen 56 Emmy Saelan. Dengan semakin sibuknya aktivitas membuat banyak orang tua di daerah menumpukan harapannya kepada kampus untuk memberikan pembinaan terhadap putra-putri mereka. Pada umumnya mereka berpikiran bahwa bahwa kewajibannya hanya untuk mengirim uang saku dan uang pendidikan dalam setiap bulannya. Faktor pengawasan yang kurang ketat inilah yang membuat sebagian mahasiswa menjadi bebas dan mandiri dalam menjalani kehidupan di kos mereka. Karena sebagian besar rumah kos masih memberlakukan aturan ketat dalam hal menerima tamu lawan jenis pada malam hari, maka biasanya para mahasiswa ini memasukkan pacar mereka ke kamar pada pagi hari atau siang hari ketika tidak ada jam perkuliahan. Lalu mereka keluar pada sore hari atau malam hari sehingga tidak dicurigai oleh warga sekitar. Cara ini tergolong aman dan bebas dari razia. Hal ini diakui oleh Ilham, seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Makassar yang berasal dari daerah Sinjai. Dia mengakui bahwa untuk menghindari kecurigaan warga sekitar ataupun sesama penghuni rumah kos maka dia sering kali mengajak pasangannya untuk berkunjung ke rumah kosnya pada pagi atau siang hari. Ketika sudah berduaan dalam kamar maka dia mengibaratkan kucing ketemu sama ikan bakar. Selain itu kehidupan di kamar kontrakan sebagian besar jauh dari pengawasan pemiliknya. Yang paling sering dijumpai hanya perjanjian bahwa tidak diperkenankan membawa lawan jenis ke dalam kamar, batas waktu bertamu hanya sampai pukul 21.00. Tetapi kenyataannya semua itu tidak diterapkan sebagaimana mestinya, bahkan sesama penghuni kontrakan seolah-olah ada kesepakatan di antara mereka untuk saling menjaga kerahasiaan. Akibatnya waktu bertamu acapkali melewati batas waktu yang telah ditentukan, bahkan sampai menginap dalam kamar yang notabene mereka berlainan jenis. Heriansyah, salah seorang mahasiswa sekaligus karyawan dari dealer motor yang bermukim di wilayah Manuruki mengakui hal itu. Kurangnya pengawasan dari pihak pemilik rumah kontrakan membuat penghuninya seolah lepas kontrol dalam tingkah laku mereka. Dia mengakui Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman bahwa sejak tinggal di kamar kontrakannya itu, seringkali mengajak teman perempuannya yang berasal dari Pinrang dan juga berstatus mahasiswi untuk menginap di kamarnya. Kehidupan kota yang diwarnai dengan segala sesuatunya, dihargai dengan uang mendorong pula sebagian mahasiswa terjerumus ke dalam arena seksual yang tidak normatif. Seorang mahasiswi dari Perguruan Tinggi Negeri ternama di Kota Makassar mengakui akan hal ini. Orang tuanya yang berada di daerah hanya seorang buruh tani yang memiliki pendapatan minim untuk menghidupi anggota keluarga yang kesemuanya berjumlah lima orang. Praktis uang kiriman tidak mencukupi kebutuhannya yakni biaya listrik, konsumsi, biaya PDAM dan perlengkapan lainnya termasuk kosmetik dan pulsa. Dalam menjalankan aktivitasnya juga tidak sembarang melayani orang. Dalam pengakuannya dia hanya bersedia menemani sesamanya mahasiswa dan selalu meminta agar privasinya di jaga kerahasiannya. Membincangkan masalah seksualitas maka tidak bisa pula dipisahkan dengan keperawanan. Bagi masayarakat Bugis, keperawanan merupakan hal yang suci dan hanya bisa dipersembahkan kepada suami. Akan tetapi hal tersebut juga ikut mengalami pergeseran. Di kalangan generasi muda baik perempuan maupun pria, atas nama kasih sayang dan cinta keperawanan tidak dimaknai lagi sebagai sesuatu yang sakral. Seorang mahasiswa (HM) yang menjalin hubungan asmara dengan (CJ), dalam pengakuannya sudah seringkali melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Alasannya karena itu merupakan bukti kasih sayangnya dan dia tidak menghendaki pasangannya itu dinikmati oleh orang lain. Mengenai kehamilan di luar nikah, dia tidak terlalu khawatir akan hal tersebut karena pasangannya itu merupakan mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, yang mana setiap selesai melakukan hubungan seksual, maka sang pacar akan selalu menyuntikkan obat pencegah kehamilan (obat KB) dalam dirinya. Atas dasar cinta dan kasih sayang pula, seorang perempuan secara sadar memberikan hadiah keperawanan kepada pria yang dicintainya dengan pertimbangan daripada direnggut oleh orang yang tidak diharapkannya. Seorang Mahasiswa (DL) mengutarakan bahwa sang pacar (CV) dengan penuh kerelaan menyerahkan keperawanannya sebagai bukti kasih sayangnya kepada DL. Hal tersebut dia tempuh karena CV telah dijodohkan dengan pria lain oleh orang tuanya. Akan tetapi dalam perjalanannya pernikahan itu pun kandas di tengah jalan dan berujung pada perceraian. Memerhatikan kasus liberalisasi seks tersebut tampaknya merupakan pelarian seseorang dari permasalahan keterpisahan ketidakbersatuannya dengan lingkungan. Sebagian individu biasanya berusaha mengatasi permaslahan hidup dengan cara mengkonsumsi alkohol dan obat terlarang. Penyelesaian ini membuat sang pemakai mengalami kesulitan untuk lepas dari perasaan bersalah dan penyesalan sehingga terkadang malah frekuensi dan dosis penggunaannya semakin meningkat. Demikian pula, penyelesaian masalah lewat hubungan seksual di luar pernikahan memiliki efek yang hampir sama dengan penggunaan obat atau minuman beralkohol. Dalam pandangan Fromm (2004:21) penyelesaian masalah lewat seks bebas yang notabene tidak didasari oleh dorongan cinta dan kasih sayang yang sejati, tidak akan pernah bisa menghubungkan jiwa suatu pasangan dan hanya bertahan dalam waktu yang singkat. Tampaknya, orang-orang yang hidup di wilayah perkotaan baik itu mahasiswa maupun karyawan terkadang diperhadapkan pada kehidupan yang ruwet dan patologis. Mereka hidup di Kota Makassar dengan segudang problem psikososialnya yang kompleks serta hidup dalam kungkungan dunia interteks media komunikasi modern dengan iklim kosmopolitan yang demikian menggoda menyebabkan seseorang dalam suatu kondisi yang dilanda rasa penasaran. Terjadinya liberalitas seksual sebagai bentuk penyimpangan di sebagian kalangan orang Bugis paling tidak disebabkan oleh bergesernya budaya malu (siri) pada dirinya. Sering didapati bahwa dalam pergaulan remaja dewasa ini, tindakan-tindakan yang tidak sesuai norma sudah biasa dilakukan dan bahkan menjadi pemandangan yang umum dalam masyarakat, 57 WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 47—59 semisal memakai baju yang minim dan seksi bagi remaja perempuan di tempat umum menjadi pemandangan yang sudah biasa, bahkan melihat para remaja berpacaran dengan cara-cara yang sudah menjurus di tempat umum pun sudah biasa, bahkan mereka berbuat sedemikian rupa yang seolah-olah dunia ini hanya ada mereka dan yang lainnya numpang (Pelita, 2011:18). Hal ini yang kemudian penulis anggap sebagai pacaran yang salah, yang tanpa didasari rasa sayang dan hanya “cinta”. Lunturnya budaya malu dalam diri remaja lebih banyak disebabkan keinginan mereka untuk mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka eksis dan pantas untuk dianggap bagian dari masyarakat tersebut. Apalagi bagi remaja yang alam perantauannya adalah kota besar dengan tingkat modernitas tinggi, yang nilai-nilai kearifan lokalnya sudah mulai memudar, mereka (para remaja) dihadapkan pada arah adaptasi yang semakin meninggalkan nilai-nilai yang mereka warisi dari daerah asal, yang sering kali nilai-nilai di alam rantau justru mengarahkan pada mereka pada hal-hal yang negatif. Sehingga para remaja menjadi bingung membedakan antara mana yang baik maupun yang buruk, karena yang dianggap baik di daerah asal, belum tentu dianggap baik di daerah perantauan, begitu pula sebaliknya. Hal ini yang kemudian menyebabkan remaja semakin kehilangan pegangan akan hal yang seharusnya dia merasa malu atau merasa biasa, atau bahkan bangga. Dari sinilah banyak dari remaja yang kemudian terdorong untuk berani melakukan hubungan seks pra nikah, yang bahkan mereka tidak malu mengakuinya bahkan membanggakannya di lingkungan pergaulannya. Faktor lain yang tidak kalah berpengaruhnya adalah faktor perilaku (Normindha, 2009:28). Remaja dalam alam perantauan sering kali dihadapkan gaya hidup seksual yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh Individu dari daerah asalnya, di mana dalam alam perantauan bisa diketemukan penyelewengan orientasi seksual yang dilegalkan, misal terbentuknya perkumpulan Gay maupun waria, hal ini kemudian secara perlahan akan merubah nilai yang dianut remaja, sehingga bukan tidak mungkin akan terjerumus kepada penyelewengan orientasi seksual 58 tersebut sebagai akibat terjalinnya kontak komunikasi antara individu dengan “mereka”. Masalah lain yang dialami remaja terkait gaya hidup seksualitas adalah pengalaman seksual, baik yang dialami sendiri maupun yang dialami temannya yang kemudian diceritakan kepadanya, baik dalam bentuk berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, berkencan, bahkan sampai melakukan senggama. Yang kemudian mendorong remja untuk melakukan lebih dari pengalaman sebelumnya, seperti yang sebelumnya berani melakukan pegangan tangan akan berkembang pada pelukan atau ciuman. Pengalaman-pengalaman yang didapat individu ini kemudian dapat semakin menyebar ke individu lain sebagai akibat seringnya gontaganti pasangan, yang pengalaman yang biasanya dilakukan dengan pasangan sebelumnya akan dilakukan juga dengan pasangan yan baru, sehingga dari situ akan terus menyebar di kalangan remaja tanpa ada pembatasan yang pasti. Dan penjelasan terakhir dari faktor ini adalah penggunaan alat kontrasepsi sebagai media untuk melakukan seks yang “aman”. Istilah aman yang menyertai sering penggunaan alat kontrasepsi ini sering kali mengaburkan pengertian terhadap seks yang aman dengan yang “aman”. Seks yang aman sebenarnya adalah seks yang dilakukan dalam ikatan suci atau pernikahan yang membawa pelakunya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, yang diharapkan berujung pada lahirnya buah cinta atau anak, bukan “aman” dalam artian mengurangi resiko hamil atau terkena penyakit seksual. PENUTUP Seksualitas dalam masyarakat Bugis yang pada awalnya dipahami sebagai sesuatu yang sakral sehingga sangat dijaga keberadaannya sebagai bagian dari harkat dan martabat keluarga telah mengalami pergeseran makna utamanya bagi generasi muda masyarakat Bugis itu sendiri. Pergeseran tersebut tidak terlepas dari pengaruh gaya hidup yang terbingkai dalam arus modernisasi. Pergaulan yang tidak lagi menjaga batas-batas kemanusiaan antara perempuan dan pria ditambah lagi dengan desakan pemenuhan kebutuhan ekonomi turut menjadi Seksualitas dan Kearifan dalam... Abdul Rahman faktor penyebab terjadinya liberalisasi seksual baik pria maupun perempuan. Menghadapi fenomena seperti ini, tentunya amatlah penting untuk merevitalisasi kembali nilai-nilai budaya, utamanya siri sebagai bagian dari nilai budaya masyarakat Bugis dan pentingnya pemahaman dan pendidikan seks dalam lingkungan keluarga. DAFTAR PUSTAKA Adiyatma, Ahmad. 2011. “Kopi Pangku: Kajian Sejarah Sosial Pekerja Seks Bojo Kabupaten Barru, 1992-2010”. Skripsi. Makassar: Jurusan Pendidikan Sejarah, FIS-UNM. Altman, Dennis. 2007. Global Sex. Jakarta: Qalam. Berger, Peter L dan Thomas Luckmann. 1966. Social Construction of Reality. New York: Anchoor Books. Bungin, Burhan. 2003. Porno Media. Yogyakarta: Prenada Media. Darmawan, Yusran. 2010. Seks Jawa Vs Seks Bugis. (Online) http//:www.timurangin. com. Diakses pada tanggal 10 Februari 2013. Fromm, Erich. 2004. Gaya Seni Bercinta. (Terj. A Setiono Mangoenprasodjo dan Dyatmika Wulan Merwati). Yogyakarta: Pradipta Publishing. Hadrawi, Muhlis. 2010. Assikalabineng: Kitab Persetubuhan Orang Bugis. Makassar: Ininnawa. Hendranata, Lianny. 2011. The Power Of Sex. Yogyakarta: Pohon Cahaya. Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Lisungan, Joni. 2007. “Ayam Kampus: Studi Kasus Pelacuran di Kalangan Mahasiswi Di Kota Makassar”. (Tesis tidak terbit). Makassar: Program Studi Antropologi Universitas Hasanuddin. Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan Bugis. Makassar: Ininnawa. Normindha, Lelly. 2009. Izinkan Aku Menjadi Perempuan. Jakarta: Akoer. Pelita, Kartika Catur. 2011. Perjaka. Jakarta: Akoer. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar. Piliang, Yasraf Amir. 2008. Posrealitas: Realitas .HEXGD\DDQ GDODP (UD 3RVPHWD¿VLND Yogyakarta: Jalasutra. Rosyid, Muh. 2013. Pendidikan Sex. Jakarta: Dwitama Asrimedia. Truong, Thanh Dam. 1992. Seks, Uang Dan Kekuasaan. Jakarta: LP3ES. Ulwan, Abdullah Nashi. 2012. Ada Apa Dengan Sex?. Jakarta: Gema Insani Press. 59