kesetaraan gender perawat laki-laki dan perawat perempuan dalam

advertisement
KESETARAAN GENDER PERAWAT LAKI-LAKI DAN
PERAWAT PEREMPUAN
DALAM PELAYANAN KESEHATAN
(Studi deskriptif kualitatif tentang Kesetaraan Gender Antara Perawat Laki-laki
dan Perawat Perempuan dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Soeradji
Tirtonegoro Klaten )
Disusun Guna Melengkapi Tugas-tugas dan memenuhi
Syarat-syarat guna memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Sosiologi
Oleh :
Guntur Prayoga
D 0302030
SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
PERSETUJUAN
Telah Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Menyetujui,
Pembimbing :
Dra.Hj. Trisni Utami, MSi
NIP. 131 792 197
ii
PENGESAHAN
Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Hari
:
Tanggal
:
Tim Penguji
1. Prof. Dr.RB. Soemanto MA
(.............................................)
NIP :130604171
Ketua
2. Drs. Th.A. Gutama
NIP : 131597040
(.............................................)
Sekretaris
3. Dra. Hj. Trisni Utami M.Si
NIP : 131792197
(.............................................)
Penguji
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Dekan
Drs.H. Supriyadi SN, SU
NIP. 130 936 616
iii
MOTTO
Sajak Air
Dengan karakternya yang teduh, jernih dan bening.
”Air tetap mampu menjinakkan panasnya jilatan api yang berkobar sebesar
apapun”
Air menyulam wajah untuk tegar dalam segala bentuk.
”Dan ketegaran itu adalah bentuk kesabaran tak kenal henti dari air dalam
mempertahankan prinsipnya di berbagai kondisi”
Dalam air terkandung sifat-sifat kebebasan nan dinamis.
”Dia sanggup menerima perubahan tanpa harus takut kehilangan jati dirinya”
Air punya arah yang jelas untuk maju.
”Celah sejentik kukupun tetap mampu dijadikannya ruang untuk terus
mengalir sampai pada titik pemberhentian terakhirnya”
(Anonim)
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan pada laki-laki dan perempuan yang mampu
menghargai sesamanya. Serta untuk yang senantiasa aku cintai dan sayangi
Bapak ,Ibu , kakak dan adikku, Om dan Bulik Pranoto, keluarga Besar
Subandi Hadi Sumarta serta keluarga Besar Saebani dan setiap orang yang
berharga dalam hidupku.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya karena hanya dengan Rahmat dan Ridho-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan sebuah karya sederhana ini sekaligus guna memperoleh gelar
Sarjana. Banyak Hambatan dan Rintangan dalam menyusun skripsi dengan judul
KESETARAAN
GENDER
PERAWAT
LAKI-LAKI
DAN
PERAWAT
PEREMPUAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN (Studi deskriptif
kualitatif tentang Kesetaraan Gender Antara Perawat Laki-laki dan Perawat
Perempuan dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro
Klaten ) namun berkat dukungan dan semangat yang telah diberikan oleh
keluarga, teman, sahabat dan para dosen karya ini dapat terselesaikan.
Karya ini dapat terselesaikan bukan tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1.
Drs. Supriyadi SN, SU selaku Dekan FISIP UNS yang telah memberikan ijin
melakukan penelitian.
2.
Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku ketua jurusan Sosiologi FISIP UNS.
3.
Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku dosen pembimbing yang sudah bersabar
dan meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan dan petunjuknya
hingga terselesaikannya skripsi ini.
vi
4.
Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberi Bimbingan kepada penulis dari semester ke semester hingga akhir
studi.
5.
Bapak - Ibu Dosen dan staf Sosiologi FISIP UNS yang telah berkenan
memberikan ilmu dan pengetahuannya, dan seluruh birokrasi kampus yang
telah mambantu.
6.
Bapak “Mulyadi, BA” dan Ibu “Pratiwi, BA” yang selalu bersabar untuk
memberikan nasehat-nasehatnya tanpa lelah dan selalu menopang semuanya.
7.
Kakakku “Dodi” dan Adekku “Dimas” semoga kalian sukses selalu.
8.
Prof. Dr. H. Arif Faisal, Sp. Rad (K), DHSM selaku direktur Rumah Sakit
Soeradji Tirtonegoro Klaten.
9.
Ibu Hj. Endang Wuryaningsih, AMK, SPd selaku kepala perawat Rumah
Sakit Soeradji Tirtonegoro Klaten yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk penelitian ini.
10. Seluruh informan yang telah memberikan berbagai informasi yang
dibutuhkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini.
11. Teman-teman Sosiologi 2002 : Lilik, Sigit, Rofi, Beni, Yuni, Laili, Monik.
Terima kasih atas kebersamaan kalian selama ini.
12. Kawan-kawan seperjuangan di HMI Komisariat FISIP, Abdul “thanks for
all” , mbak Memy, mas Harun, mas Kris, mbak Mima, Haris, Yanu, Peni,
Rini, Dimas, Ageng dan anggota lainnya, yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu. Yakin Usaha Sampai!!!!!
vii
13. Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu
Penyusun menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Untuk itu,
penyusun mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian. Semoga karya ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, Amien.
Solo, 16 Mei 2009
Guntur Prayoga
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv
ABSTRAK ...................................................................................................... xv
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ........................................ 1
B. PERUMUSAN MASALAH .................................................... 5
C. TUJUAN PENELITIAN ......................................................... 5
D. KEGUNAAN PENELITIAN .................................................. 6
E. TELAAH PUSTAKA .............................................................. 7
1. Peran................................................................................... 7
2. Konsep Gender .................................................................. 8
3. Orientasi Peran Gender ...................................................... 14
4. Implikasi Gender dalam Dunia Kerja ................................ 15
ix
5. Kesetaraan Gender ............................................................ 16
6. Perawat............................................................................... 17
7. Pelayanan Kesehatan ......................................................... 18
8. Landasan Teori .................................................................. 20
9. Kerangka Analisis Gender ................................................ 24
F. METODE PENELITIAN ........................................................ 26
1. Jenis Penelitian .................................................................. 26
2. Lokasi Penelitian ............................................................... 26
3. Jenis dan Sumber Data ...................................................... 27
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 28
5. Teknik Pengambilan Sampel ............................................ 29
6. Validitas Data .................................................................... 30
7. Teknik Analisa Data .......................................................... 31
BAB II
DESKRIPSI LOKASI.................................................................. 34
A. PROFIL KOTA KLATEN ...................................................... 34
1. Sejarah Berdirinya Kota Klaten ........................................ 34
2. Demografi Kota Klaten ..................................................... 36
B. PROFIL RSUP SOERADJI TIRTONEGORO ....................... 41
1. Sejarah berdirinya RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro........... 41
2. Fasilitas Pelayanan RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro ........ 45
3. Organisasi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro....................... 48
C. KODE ETIK KEPERAWATAN ............................................ 50
1. Kode etik keperawatan Indonesia ....................................... 50
x
2. Prinsip Etika Keperawatan................................................... 53
BAB III
PELAYANAN
KESEHATAN
MASYARAKAT
BERPRESPEKTIF GENDER ....................................................
56
A. PELAYANAN KESEHATAN DI MASYARAKAT.............. 56
B. STANDAR PELAYANAN KEPERAWATAN...................... 58
C. PERAN-PERAN
PERAWAT
DALAM
PELAYANAN
KESEHATAN ......................................................................... 62
D. PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER ..................... 68
1. Sejarah Dunia Keperawatan .............................................. 68
2. Tugas Perawat dalam Perspektif Gender ........................... 71
3. Posisi Struktural Perawat di Rumah Sakit ........................ 73
BAB IV
KESETARAAN GENDER DALAM
PELAYANAN KESEHATAN ................................................... 76
A. PROFESI PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER .... 77
B. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PERAWAT DALAM
PELAYANAN KESEHATAN ............................................... 85
C. DISTRIBUSI
PERAN
KEPERAWATAN
MENURUT
PERBEDAAN GENDER ........................................................ 92
BAB V
PENUTUP..................................................................................... 98
A. KESIMPULAN ....................................................................... 98
B. IMPLIKASI ............................................................................. 102
1. Implikasi Teoritis .............................................................. 102
2. Implikasi Metodologis ...................................................... 104
xi
3. Implikasi Praktis .............................................................. 104
C. SARAN .................................................................................. 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat
Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten ............................
4
Tabel 2.1 Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Klaten .....................................
38
Tabel 2.2 Penduduk Kota Klaten menurut jenis Kelamin ..............................
39
Tabel 2.3 Pegawai Pemerintah Kabupaten Klaten Menurut Unit Kerja Dan
Jenis Kelamin.................................................................................
40
Tabel 2.4 Data Ketenagaan RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten................
49
Tabel 5.1 Analisis Data Hasil Penelitian ........................................................
84
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Pedoman Wawancara
2.
Hasil Wawancara
3.
Struktur Organisasi RSUP Dr. Soeadji Tirtonegoro Klaten
4.
Permohonan Ijin Penelitian dari Universitas Sebelas Maret Surakarta
5.
Pengesahan Ijin Penelitian dari BAPEDA Klaten
6.
Pengesahan ijin Penelitian dari RSUP Dr. Soeadji Tirtonegoro Klaten
7.
Kwitansi
xiv
ABSTRAK
Guntur Prayoga. D0302030. Tahun 2009. Kesetaraan Gender Perawat LakiLaki Dan Perawat Perempuan Dalam Pelayanan Kesehatan. Skripsi. Jurusan
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif
yang
menggambarkan peran perawat laki-laki dan perawat perempuan dalam pelayanan
Kesehatan di RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten serta menggambarkan dan
melakukan analisis gender terhadap peran perawat dalam pelayanan kesehatan.
Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling. Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
teknik wawancara mendalam dan dokumentasi. Responden dalam penelitian ini
berjumlah 10 orang perawat (6 orang perempuan dan 4 laki-laki) dan 4 orang
pasien (1perempuan dan 3 laki-laki). Sedangkan untuk menjamin validitas data
digunakan triangulasi sumber.
Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan berdasarkan data-data yang
diperoleh baik berupa data primer maupun data sekunder adalah sebagai berikut:
pertama, Marginalisasi peran perempuan di ranah publik akibat dari relasi kuasa
yang dibangun dan berkembang dalam profesi keperawatan membentuk
stereotype bahwa profesi keperawatan merupakan profesi yang dipandang lebih
cocok untuk para perempuan ketimbang laki-laki. Kedua, dilihat dari profesinya
sebagai tenaga kesehatan, tidak ada perbedaan peran gender. Tugas-tugas
sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang ataupun kode etik
keperawatan tidak ada yang membedakan tugas perawat berdasarkan gender.
Namun, dalam prakteknya, tugas-tugas pelayanan kesehatan dijalankan secara
luwes dimana pembedaan peran gender masih tampak. Misalnya saat memandikan
pasien, pekerjaan angkat-angkat dan sebagainya. Ini terjadi karena faktor nilainilai budaya dan moral yang diyakini masyarakat. Dari sisi pelayanan, sebagian
pasien juga masih menganggap bahwa perempuan lebih luwes dalam menjalankan
tugas-tugas keperawatan. Ketiga, Proses marginalisasi yang memunculkan
stereotype bahwa perawat merupakan pekerjaan perempuan merembet pada
struktur lembaga. Dalam struktur yang tampak di RSUD Soeradji Tirtonegoro
Klaten, perempuan masih dianggap lebih mampu dalam menjalankan tugas-tugas
keperawatan. Hal ini tampak dari struktur kelembagaan yang didominasi oleh
kaum perempuan. Dari jumlah perawat, dapat juga dilihat bahwa perawat
perempuan lebih banyak ketimbang perawat laki-laki.
xv
ABSTRACT
Guntur Prayoga.D0302030. 2009. The equal gender between male and female
nurse in healthy service. Research paper. Sociology Department. Social and
politic faculty Sebelas Maret University of Surakarta.
This Research is the descriptive qualitative research which is describintg
the role of the male and female nurse in healthy service at RSUP Dr. Soeradji
tirtonegoro Klaten also describing and gender analyze to the nurse’s role in
healthy service.
The sample of this research was taken by using purposive technique
sampling. In collecting data, the writer uses interview and document. The
respondents of this research are ten nurses (six female nurses and four male
nurses) and four patients (female and three male patients). While, for the validity
of the data uses triangulatuion source.
The result of this research based on the primary and secondary data, it can
be seen: first, marginalization of the role of women in public because the power
relationship which was built and expended in the nurse proffesion is a proffesion
in which it is more suitable for woman rather than for man. Second: viewed from
the proffesion as healthy service. There is no difference of gender’s role. The duty
such as there is in law and the erthics nurse code. There is no difference duty of
the nurse based on the gender. However, in practice the duty in healty service do
flexibility where is the difference of gender still appear, such as when taking a
bath for the patient, removed the patient and etc. It is happen because the cultures
value and moral factor that believed by society. From service side, a half of
patients still believe that the woman is more flexibility in doing the nurse duty.
Third : marginalization process makes stereotype in which nurse proffesion is the
women’s job hampered to the Institute Structure. The structure at RSUP Soeradji
Tirtonegoro Klaten, the woman is considered more capable to do the nurse’s duty.
It can be seen in Institute structure in which it is dominated by woman. From the
amount of the nurse, also it can be seen which the female nurse is more than male
nurse.
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia adalah
kebutuhan akan kesehatan, selain kebutuhan akan sandang, pangan dan papan.
Penting artinya kebutuhan kesehatan bisa dipenuhi oleh manusia untuk dapat
mempertahankan hidup. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya manusia tidak
lepas dari bantuan aktifitas orang lain.
Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan kemanusiaan yang
berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan
kekeluargaan, adil dan merata, peri kehidupan dalam keseimbangan serta
kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. (UU RI NO
23 TAHUN 1992 Bab II pasal 2 dan 3)
Dapat dilihat dalam UU RI NO 23 TAHUN 1992 Bab II pasal 2 dan 3
yang tertulis diatas bahwa pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup agar setiap
orang mampu meningkatkan derajat kesehatannya. Dengan kepercayaan
bahwa kita mampu melaksanakan pembangunan kesehatan dengan sumber
daya yang ada.
xvii
Dalam pelaksanaan upaya kesehatan banyak melibatkan instansi baik itu
pemerintah maupun swasta. Selama ini telah dibangun berbagai sarana dan
prasarana kesehatan seperti, Rumah Sakit, Puskesmas, laboratorium, klinik,
perusahaan farmasi, apotek 24 jam dan lain sebagainya. Namun biaya untuk
mencapai kondisi sehat ternyata tidaklah murah bahkan cenderung semakin
mahal. Dengan adanya pembiayaan yang semakin meningkat, maka
pemerintah berupaya membantu upaya kesehatan masyarakat. Salah satu
upaya pemerintah itu diwujudkan dengan jalan mendirikan Rumah Sakit
Pemerintah, dengan rumah sakit pemerintah masyarakat dapat menggunakan
fasilitas kesehatan yang disediakan rumah sakit sesuai dengan kebutuhannya
dengan harga terjangkau. RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten yang merupakan
rumah sakit pemerintah yang ada di Klaten turut membantu upaya kesehatan
masyarakat dengan biaya terjangkau.
Pembangunan di bidang kesehatan khususnya di rumah sakit bertujuan
untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelaksanaan rujukan medik
dan rujukan kesehatan secara terpadu. Rumah sakit sebagai pemberi pelayanan
kesehatan dituntut oleh masyarakat sebagai penerima jasa layanan kesehatan
untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanannya.
Krisis moneter yang berkepanjangan membawa dampak buruk bagi
masyarakat dan semakin menurunkan kesehatan masyarakat, apalagi
masyarakat yang ekonominya rendah dan miskin. Proses pelayanan kesehatan
pun mengalami proses liberalisasi yang berdampak pada ketimpangan
pelayanan dari segi kualitas, stratifikasi sosial dan juga perbedaan jenis
xviii
kelamin. Pola pelayanan kesehatan masih menganggap pasien hanya sebagai
obyek pelayanan.
Perawat sebagai salah satu komponen yang penting di dalam rumah sakit
mempunyai peran yang cukup besar untuk membantu meningkatkan
pelayanan kesehatan. Jenis pekerjaan perawat digambarkan sebagai pekerjaan
yang cenderung sebagai pekerjaan perempuan, karena dalam pelaksanaannya
membutuhkan sifat kelembutan dan kesabaran dan lebih mengedepankan
emosi. Sebelum menjadi perawat pun sudah dibekali dengan pendidikan caracara merawat yang sering dianggap kerja perempuan. Budaya yang
berkembang dalam masyarakat khususnya masyarakat Jawa, perempuan lebih
dikenal dengan konco wingking sehingga pekerjaan perawat pun seolah-olah
hanya bisa dikerjakan perempuan.
Sesuai dengan perkembangan sosial yang ada maka banyak lelaki
menjadi tertarik untuk menjadi perawat dengan ikut melaksanakan tugas yang
sebelumnya digambarkan sebagai tugas perempuan. Jelas bahwa tidak ada
aturan yang mengikat bahwa seorang perawat harus perempuan. Untuk
menjadi seorang perawat ditentukan atau dilihat bagaimana kemampuan yang
dimiliki baik itu laki-laki maupun perempuan untuk melaksanakan tugas-tugas
tersebut serta bagaimana kesempatan yang diberikan pada laki-laki dan
perempuan untuk mengaktualisasikan kemampuan dirinya.
Untuk dapat mengetahui sejauh mana komposisi perawat Laki-laki dan
Perempuan dapat kita lihat pada tabel sebagai berikut :
xix
Tabel 1.1 Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat
Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Data Per Februari 2007
Tingkat Pendidikan
S1 Keperawatan
D3 Keperawatan
SPK
PK
D4 Kebidanan
D3 Kebidanan
D3 Anestesi
Bidan
D3/SPRG/P Gigi
DK/PK
Jumlah
Laki-Laki
7
98
20
1
1
127
Perempuan
11
31
1
9
1
24
2
247
Sumber : Data Bidang Perawat RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa komposisi Perawat Laki-laki masih
kecil jika dibandingkan dengan perawat perempuan 39,06% untuk perawat
laki-laki dan 66,04% untuk perawat perempuan. Dengan jumlah perawat yang
masih relatif lebih kecil dibanding perawat perempuan itulah sebabnya kenapa
prestasi perawat laki-laki menjadi relatif. Walaupun pada tugas tertentu
perawat laki-laki mendapat simpati. Sudah seharusnya perawat laki-laki harus
meningkatkan profesionalitasnya sebab keterbatasan anggota perawat laki-laki
akan sangat berpengaruh pada kinerjanya. Mereka harus lebih bersikap
dewasa dan memantapkan diri dalam setiap tugas pelayanan yang
diembannya, termasuk menghilangkan citra buruk laki-laki, baik di rumah
maupun pada saat tugas.
Pemberian kesempatan yang sama disamping akan lebih menunjukkan
penghormatan pada gender di lingkungan perawat, sedikit banyak diharapkan
juga akan mengurangi stigma negatif di lingkungan perawat. Sosok jati diri
seorang perawat laki-laki memiliki sifat maskulin namun mempunyai sisi
xx
feminis. Melalui pemberian kesempatan itulah perawat laki-laki akan
mempunyai kesempatan yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai bagian integral dari perawat.
Hubungan antara perawat dengan pasien sangat menentukan kualitas
pelayanan yang diberikan oleh perawat tersebut. Perawat harus mampu
memberikan pelayanan yang optimal pada sebagian kliennya. Banyak kejadian
yang mengeluhkan bagaimana pelayanan perawat di rumah sakit seperti ada
pembedaan terhadap pelayanan terhadap jenis kelamin tertentu.
B. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang penelitian tersebut di atas penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
a.
Bagaimanakah kesetaraan gender dalam pembagian peran antara perawat
laki-laki dan perawat perempuan?
b.
Bagaimana pelayanan yang diberikan oleh perawat RSUP Soeradji
Tirtonegoro dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien
laki-laki dan perempuan ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kesetaraan gender dalam pembagian peran antara
perawat laki-laki dan perawat perempuan.
xxi
2. Untuk mengetahui pelayanan yang diberikan oleh perawat RSUP Soeradji
Tirtonegoro Klaten dalam memberikan pelayanan Kesehatan kepada
masyarakat.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Disamping untuk menjawab permasalahan dalam perumusan masalah
penelitian , hasil dari penelitian ini dapat berguna untuk menambah wacana
bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian serupa berikutnya.
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat :
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan bagi
penelitian yang terkait dalam permasalahan gender dalam keperawatan.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pihakpihak yang berkepentingan atau pihak terkait untuk mengambil kebijakan
yang berkaitan dengan isu gender.
3. Hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun
kebijakan bagi pihak rumah sakit dalam pembagian peran dan tugasnya,
agar perawat mampu bekerja secara efektif dan mampu meningkatkan
profesionalismenya.
xxii
E. TELAAH PUSTAKA
1. Peran
Peran sering diartikan sebagai serangkaian perilaku yang
diharapkan dituntut oleh masyarakat terhadap individu atau pun organisasi
yang memegang kedudukan tertentu dalam masyarakat.
Setiap orang akan melakukan perannya ketika menjalankan hak
dan keawajiban sesuai dengan kedudukannya. Setiap orang akan
menjalankan peran yang berbeda dimana dalam setiap peran tersebut
diharapkan dilakukan dengan cara-cara tertentu. Dalam kamus sosiologi
dijelaskan bahwa peran (role) meliputi :
1) aspek dinamis dari kedudukan
2) perangkat hak-hak dan kewajiban
3) perilaku aktual dari pemegang kedudukan
4) bagian
dari
aktivitas
yang
dimainkan
seseorang
(Soekamto,1985:400)
Peran yang melembaga merupakan seperangkat harapan perilaku
yang membatasi kebebasan seseorang untuk memilih. Jadi, perilaku peran
yang dilembagakan diarahkan oleh harapan peran, bukan oleh preferensi
pribadi.
Rumah Sakit dalam hal ini merupakan organisasi yang didalamnya
terdapat
aturan
atau
norma
yang
mengikat
anggotanya
dalam
berhubungan. Dan hubungan tersebut akan tetap terjaga apabila masing-
xxiii
masing anggotanya menjalankan sejumlah perilaku yang diharapkan
menurut aturan norma yang berlaku dalam organisasi tersebut.
Identitas peran terdiri dari gambaran yang bersifat ideal yang
dimiliki oleh individu sebagai orang yang menduduki posisi sosial.
Seorang individu memiliki sejumlah identitas peran yang berhubungan
dengan berbagai posisi sosial yang mereka miliki dan berbeda-beda
tingkatan dalam perbandingannya satu sama lain. Identitas peran ini
diungkapkan secara terbuka dalam melaksanakan peran dan membantu
menentukan pentingnya suatu identitas peran tertentu dalam konsep diri
seseorang secara keseluruhan.(Johnson, 1986:38). Jadi peran merupakan
sesuatu yang diharapkan lingkungan untuk dilakukan seseorang atau
kelompok yang karena kedudukannya dapat memberi pengaruh pada
lingkungan tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan peran perawat laki-laki dan
perawat perempuan dalam hal ini adalah serangkaian tindakan yang
diharapkan dilakukan oleh perawat laki-laki dan perawat perempuan
dalam organisasi rumah sakit, baik itu dalam program kerja organisasi ,
dalam pengambilan setiap kebijakan maupun dalam setiap kegiatan atau
aktivitas yang dilakukan dalam organisasi.
2. Konsep Gender
Konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural.
xxiv
Misalnya, perempuan lebih dikenal dengan sifat lemah lembut, keibuan,
emosional dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional,
dan perkasa. Ciri dari sifat-sifat tersebut sebenarnya bisa dipertukarkan.
Artinya masing-masing, baik kaum laki-laki maupun perempuan memiliki
sifat-sifat tertentu.
Sejarah mengenai pembedaan gender terjadi melalui proses
panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender bisa disebabkan oleh
banyak hal, diantaranya adalah proses sosialisasi dan bahkan proses
konstruksi sosial lewat berbagai interaksi yang terjadi dalam masyarakat.
Pembentukan perbedaan-perbedaan gender dibentuk secara sosial dan
kultural, misalnya lewat agama dan kekuasaan. Proses panjang tersebut
kemudian membentuk persepsi manusia yang menganggap perbedaan
gender adalah sebuah kodrat yang harus diterima, seolah-olah perbedaan
tersebut terjadi secara biologis dan tak dapat diubah.
Konstruksi sosial gender secara perlahan berpengaruh terhadap
proses biologis masing-masing kelamin. Misalnya, karena adanya
konstruksi sosial, seorang laki-laki harus memiliki sifat kuat. Maka kaum
laki-laki tersosialisasi dan termotivasi untuk menjadikan dirinya kuat
untuk memenuhi sifat yang dianggap umum oleh masyarakat tersebut.
Sebaliknya, karena dalam konstruksi sosialnya perempuan harus bersikap
lemah lembut, maka sejak bayi, proses sosialisasi yang dibangun
perempuan mengarah pada sifat tersebut. Proses sosialisasi yang
berlangsung secara mapan pada akhirnya mempengaruhi secara fisik dan
xxv
psikis hingga pada akhirnya ada kesulitan untuk membedakan apakah
sifat-sifat tersebut merupakan sifat dasar manusia atau hasil dari proses
konstruksi sosial.
Namun, jika kita berpedoman pada keyakinan bahwa sepanjang
sifat-sifat tersebut masih bisa dipertukarkan, maka sifat-sifat tersebut
adalah hasil bentukan masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat.
Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara
tersirat, masyarakat mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin dan
maskulin dalam diri tiap manusia (laki-laki maupun perempuan) walaupun
masih ada keterikatan dengan stereotype tentang laki-laki dan perempuan
secara umum. Konsep maskulin dan feminin menurut Gita Rajan
merupakan konsep yang saling terhubung secara inheren satu dengan yang
lain. Seperti yang diungkapkan dalam kutipan berikut ini :
Masculinity and femininity are inherently relational concepts, which
have meaning in relation to each other, as a social demarcation and a
cultural opposition. This holds regardless of the changing content of
the demarcation in different societies and periods of history.
Masculinity as an object of knowledge is always masculinity-inrelation.
Gita Rajan
(Signs: Journal of Women in Culture and Society 2006, vol. 31, no.
4] 2006 by The University of Chicago.)
Seks berkaitan dengan karakteristik biologis dan fisik seperti
genital, organ reproduksi, kromosom dan hormone, yang membedakan
laki laki dan perempuan. Karakteristik biologis ini tidak saling terlepas
satu sama lain sepenuhnya karena ada individu yang memiliki keduanya
dan sebenarnya keduanya tidak saling terlepas satu sama lain tetapi
xxvi
merupakan satu continuum. Karakteristik ini dapat membedakan manusia
atas laki laki dan perempuan (Coleman, 2007). Bila sex merupakan
identitas biologis, gender merupakan identitas sosial atau konstruksi sosial
yang melekat pada laki laki dan perempuan.
Gender berarti menjadi laki laki atau perempuan yang mungkin
saja berbeda dengan seperangkat kromosom yang dimiliki seseorang.
Gender berkaitan dengan peran, hak, tanggung jawab, kemungkinan dan
keterbatasan yang dipunyai laki laki dan perempuan dalam suatu
masyarakat. Gender merupakan atribut sosial yang terkait dengan
bagaimana kita berpikir, apa yang kita yakini tentang apa yang boleh (bisa
dilakukan) atau tidak boleh (tak bisa dilakukan) terkait dengan konsep
sosial tentang maskulin dan feminim.
Gender ditentukan berdasarkan karakteristik sosial yang didapat
melalui sosialisasi, sedangkan sex ditentukan sejak seseorang dilahirkan.
Sex bersifat menetap sedangkan gender (dan peran gender) berubah
sepanjang waktu dan bervariasi tergantung budaya. Gender membentuk
kesempatan yang bisa diraih seseorang dalam hidupnya, peran-peran yang
dapat ia mainkan dan bentuk bentuk hubungan yang dipunyai seseorang
norma sosial yang sangat kuat berpengaruh. Peran Gender diperkuat oleh
institusi sosial yaitu keluarga, sekolah, institusi Negara/tempat kerja dan
lain lain.
Proses konstruksi sosial di atas mendapat kritik dari Profesor Keng
Chua yang menghendaki adanya redefinisi konsep gender karena
xxvii
perkembangan yang terjadi di masyarakat. Seperti yang terungkap dalam
kutipan berikut ini :
In the past, gender was conflated with biological sex, we can now
think in terms of gender construction and re-construction. Simone de
Beauvoir first hit on this in her seminal work, The Second Sex (1949)
which critiques the hierarchical binary structure of gender
organisation of her generation. In her thesis that ` a woman is not
born, she is made', she paved the way for a re-thinking of gender
spaces, roles, ideologies, values, beliefs and behaviour. Gender has
come to be thought of not as essentially given, but as socially and
culturally constructed, not as hierarchical and fixed but as equitable
and fluid.
(Professor Keng Chua, Centre for Media Communications and
Asian Studies, Faculty of Arts,2007 Southern Cross University, PO Box
157, Lismore, NSW 2480 Australia [email protected]
Proses kontruksi sosial yang berlangsung sangat lama dan turun
menurun dapat menjadikan terjadinya perbedaan Gender. Perbedaan
gender
menimbulkan
ketidakadilan
gender,
ketidakadilan
gender
merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki dan perempuan
menjadi korban dari sistem tersebut. Adapun manifestitasi dari
ketidakadilan gender adalah sebagai berikut :
1) Marginalisasi
Merupakan proses pemiskinan ekonomi terhadap perempuan karena
perbedaan gender, dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan
pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan
kebiasaan.
xxviii
2) Subordinasi
Subordinasi adalah suatu pandangan yang merendahkan satu jenis
kelamin tertentu, umumnya perempuan. Anggapan bahwa perempuan
itu irrasional atau emosional sehingga tidak bisa memimpin. Dalam
rumah tangga, masyarakat dan negara banyak kebijaksanaan yang
dibuat tanpa menganggap penting kaum perempuan.
3) Stereotype
Merupakan bentuk pelabelan pada suatu kelompok atau jenis
pekerjaan tertentu. Pelabelan yang dikonstruksi secara sosial terhadap
perempuan adalah bahwa mereka merupakan makhluk yang hanya bisa
mengerjakan sesuatu pekerjaan yang halus saja.
4) Kekerasan
Kekerasan merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang bersumber dari
anggapan
gender pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan.
Kekerasan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki.
5) Beban Ganda
Merupakan pembebanan yang diakibatkan adanya peran domestik
perempuan. Perempuan identik dengan pekerjaan rumah tangga
mereka disamping mereka harus bekerja di luar rumah. Sehingga
perempuan mempunyai beban ganda.
xxix
3. Orientasi Peran Gender
Laki laki dan perempuan mempunyai tugas dan kegiatan yang
berbeda, mempunyai lingkungan sosial yang berbeda. Mereka diharapkan
berperilaku berbeda. Laki laki dan perempuan diharapkan mengenakan
baju, permainan, minat, ketrampilan dan kompetensi dan mobilitas sosial
yang berbeda. Gender berkaitan dengan posisi perempuan dan laki laki
berkaitan dengan struktur kekuasaan (power).
Orientasi peran gender oleh Tang & Tang (2001) didefinisikan
sebagai kepemilikan seseorang atas sifat-sifat kepribadian stereotip
maskulin dan feminin yang diharapkan masyarakat. Sementara menurut
Raguz (1991) orientasi peran gender adalah persepsi seseorang tentang
maskulinitas dan femininitas dalam dirinya. (www.jurnalperempuan.com)
Menurut Constantinople (dalam Spence & Buckner, 1995),
femininitas dan maskulinitas berada pada dua kutub yang berlawanan.
Pemikiran ini kemudian melahirkan sejumlah pertanyaan akan validitas
konsep, karena dirasakan banyak sifat yang berada dalam domain feminin
dan domain maskulin tidak berhubungan satu dengan yang lainnya (sifat
feminin bukan merupakan lawan dari sifat maskulin, dan sebaliknya).
Spence & Buckner (1995) menegaskan bahwa sifat-sifat yang telah
disebutkan tadi tidak berkorelasi sama sekali, sehingga sifat-sifat dalam
domain feminin dan domain maskulin pun tidak perlu memiliki korelasi
yang kuat satu dengan yang lainnya.
xxx
Spence
&
Helmreich
menyatakan
bahwa
karakteristik
instrumentality sering dikaitkan dengan maskulin, sedangkan karakteristik
expresiveness sering dikaitkan dengan feminin. Lebih lanjut lagi
dijelaskan karakteristik maskulin antara lain mandiri, mudah membuat
keputusan dan tidak mudah menyerah, sedangkan karakteristik feminin
antara lain adalah emosional, suka menolong orang lain serta memahami
perasaan orang lain. (www.jurnalperempuan.com)
4. Implikasi Gender dalam Dunia Kerja
Salah satu bidang yang terkena imbas kerancuan “sex” dan
“gender” adalah bidang kerja. Menurut Novarra jika seorang perempuan
harus bekerja, maka apa yang dikerjakannya di luar rumah tidak jauh dari
perannya dalam rumah tangga. Bahkan di awal era kesetaraan gender,
masih ada pendapat bahwa tabu hukumnya bagi kaum perempuan untuk
bergerak di bidang politik atau bidang publik, jika perannya tidak
sebangun dengan perannya dalam rumah tangga. Misalnya adalah bidang
kerja yang terkait dengan pengasuhan anak, pengurusan rumah tangga,
pembuatan pakaian, perawatan orang sakit dan cacat, dan pendidikan.
Perbedaannya terletak pada lokasi kerja, yaitu di luar rumah, dan dengan
bekerja di luar rumah perempuan pekerja mendapat imbalan atas jasanya.
(www.google.com”gender dalam dunia kerja”)
Pendapat ini perlahan-lahan mulai disanggah dengan adanya fakta
semakin banyak perempuan yang membebaskan diri dari peran
xxxi
tradisionalnya dan lebih terlibat pada kehidupan publik, bahkan berada di
tampuk kepemimpinan.
Selain itu, kini semakin banyak pula institusi-institusi profesional
yang menangani “pekerjaan-pekerjaan perempuan” tersebut dengan
sejumlah karyawan laki-laki terlibat atau bahkan berperan penting di
dalamnya (Vianello, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa kini dunia kerja
lebih
menitikberatkan
faktor
kemampuan
individu
dan
mulai
meninggalkan pendapat konvensional tentang pembagian kerja menurut
jenis kelamin. Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara
tersirat, masyarakat mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin dan
maskulin dalam diri tiap manusia walaupun masih ada keterikatan dengan
stereotip tentang laki-laki dan perempuan secara umum.
5. Kesetaraan Gender
Pola perilaku dan kegiatan laki-laki dan perempuan merupakan
konstruksi secara sosial yang membentruk identitas. Semenjak dulu sudah
dikonstruksikan bahwa peran gender memang sudah ada dan merupakan
kodrat manusia, ditambah dengan proses sosialisasi gender yang sudah
sangat lama didukung adanya legitimasi agama dan budaya. Maka
semakin kuat interpretasi orang bahwa perbedaan peran, posisi dan sifat
perempuan dan laki-laki adalah kodrat. Padahal baik peran posisi dan sifat
ini adalah bentukan sosial dan budaya yang disebut gender.
xxxii
Kesetaraan gender adalah suatu keadaan dimana terjadi kesetaraan
atau
keadilan
sosial
antara
laki-laki
dan
perempuan.
(Mandy
Maccdonald,1997:xii) Suatu keadaan yang diisyaratkan oleh pengertian
tersebut adalah penerimaan martabat kedua jenis kelamin dengan ukuran
yang setara. Orang harus mengakui bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki hak yang setara dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik
dan ekonomi. Keduanya memiliki hak yang setara dalam tanggung jawab
sebagaimana dalam hal kebebasan.
Tujuan dari kesetaraan gender tidak sekedar memperbaiki status
perempuan
yang
indikatornya
norma
laki-laki,
melainkan
memperjuangkan martabat dan kekuatan perempuan. Hal tersebut
menuntut perubahan peran baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal
ini kekuatan bukan berarti mendominasi yang lain.
Kesetaraan gender sesuai dengan di atas adalah situasi sosial yang
memberi pemahaman terhadap laki-laki dan perempuan dalam menghayati
bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak, kewajiban dan
kesempatan yang sama.
6. Perawat
Perawat adalah orang yang melakukan proses keperawatan. ( Lu
Verne Wolf dkk 1984: 4 ) Perawatan ialah memberikan pelayanan
pembinaan kesehatan yang diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan
xxxiii
kesehatan serta membantu orang dengan cara sebaik mungkin masalah
kehidupan sehari-hari, penyakit dan cidera, cacad maupun kematian.
Dalam melakukan praktek keperawatan terdapat standar praktek
yang harus dipenuhi oleh perawat, standar praktik keperawatan di
Indonesia ditentukan oleh PPNI terdiri dari :
1. Pengkajian
2. Diagnosa Keperawatan
3. Perencanaan
4. Implementasi
5. Evaluasi
7. Pelayanan Kesehatan
Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya melakukan
aktivitasnya sendiri maupun secara tidak langsung melalui aktivitas orang
lain. Proses Kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung disebut
pelayanan. Menurut KepMen PAN No. 63 Tahun 2003 Pelayanan publik
adalah pelayanan
yang wajib diselenggarakan oleh negara untuk
pemenuhan kebutuhan dasar atau hak-hak dasar warga negara (publik).
Ada tiga jenis pelayanan publik
a. Pelayanan Barang
b. Pelayanan Administratif
c. Pelayanan Jasa
xxxiv
Pelayanan Kesehatan merupakan salah satu pelayanan jasa yang
penting untuk diperhatikan sesuai dengan tujuan dari pembangunan
Kesehatan yang tertuang dalam UU Kesehatan nomor 23 Tahun 1992,
masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak
untuk meningkatkan derajat kesehatannya.
Sedangkan menurut sistem kesehatan Nasional rumah sakit
mempunyai fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya
kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Akan tetapi
walaupun bersifat sosioekonomi namun diusahakan agar bisa mendapatkan
suatu keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan
memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi. Dan menurut Keputusan Menkes
RI Nomor 983/SK/Menkes/XI/92, rumah sakit umum mempunyai misi
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Begitu pula dengan RSUP Soeradji Tirtonegoro yang ada di Klaten
mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat tanpa membedakan kelas sosialnya, baik itu dari golongan
miskin ataupun dari golongan mampu maupun membedakan dari jenis
kelamin tertentu.
Ada dua jenis pelayanan yang diberikan rumah sakit :
1. Pelayanan Langsung
xxxv
Pelayanan
langsung
merupakan
pelayanan
yang
berbentuk
pemeriksaan, pengobatan, perawatan, tindakan medis, tindakan
diagnotis serta tindakan penunjang medis.
2. Pelayanan tidak langsung
Pelayanan tidak langsung merupakan pelayanan yang berupa
pendukung
kelancaran
pelayanan
langsung
yaitu
pelayanan
administratif. (Djojodibroto 1997:29)
Keseteraan gender dalam pelayanan kesehatan merupakan salah
satu aspek penting dalam pelayanan kesehatan. Pelayanan yang diterima
oleh pengguna layanan rumah sakit tentunya mendapatkan perlakuan yang
adil terhadap perempuan dan laki-laki. Pada penelitian ini akan melihat
pelayanan perawat yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu dan
terhadap status sosial tertentu yang dimiliki oleh pasien baik itu dari
golongan miskin maupun dari golongan kaya.
8. Landasan Teori
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma definisi
sosial. Weber sebagai pemuka eksemplar dari paradigma ini mengartikan
sosiologi sebagai tindakan sosial antar hubungan sosial. Yang dimaksud
dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya
itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain. (Ritzer,1992:4)
xxxvi
Penelitian ini mengacu pada disiplin ilmu sosiologi. Sosiologi
menurut
Pitirin Sorokin
didefisinikan
sebagai
suatu
ilmu
yang
mempelajari:
1). Hubungan dan pengaruh timbal balik antara macam gejalagejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama,
keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak
masyarakat dengan politik, dan lain sebagainya).
2). Hubungan dan pengaruh timbal balik antara macam gejalagejala non sosial ( misalnya gejala geografis, biologis, dan
sebagainya)
3). Ciri-ciri semua jenis gejala sosial ( Soekanto,1990:21)
Secara umum, obyek kajian sosiologi adalah masyarakat yang
dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari
hubungan antar manusia dengan masyarakat. Mac Iver dan Page
mengatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata
cara, dari wewenang dan kerjasama antar berbagai kelompok dan
penggolongannya, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasankebebasan manusia. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan
mayarakat selalu berubah ( Soekanto,1990:21).
Secara definitif Max Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu
yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative understanding)
tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada
penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasarnya :
xxxvii
pertama, konsep tindakan sosial, kedua konsep tentang penafsiran dan
pemahaman.
Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar
hubungan sosial itu, Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi
sasaran penelitian sosiologi yaitu :
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna
yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata , bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat
subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari situasi, tindakan
yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan
secara diam-diam.
4. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah
kepada orang lain itu. (Ritzer,1992:45)
Berdasarkan judul penelitian, peneliti menggunakan Action Theory
karya Max Weber. Beberapa asumsi dasar (fundamental) dikemukakan
oleh Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki, dan Parsons
sebagai berikut:
1) Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai
subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.
xxxviii
2) Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi, tindakan manusia bukan tanpa
tujuan.
3) Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur,
metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai
tujuan tersebut.
4) Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang
tidak dapat diubah dengan sendirinya.
5) Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan
yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
6) Ukuran-ukuran,
aturan-aturan
atau
prinsip-prinsip
moral
diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan.
7) Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian
teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen,
imajinasi atau simpatik rekonstruktion atau seakan-akan mengalami
sendiri (Ritzer, 2002:53-54).
Melalui rasionalitas sebagai konsep dasar Max Weber melakukan
klasifikasi mengenai tipe-tipe tindakan sosial:
1) Rasionalitas Instrumental (Zwerk Rasionalitas)
Tingkat
rasionalitas
yang
tertinggi
ini
meliputi
pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan
tujuan tindakan itu dan alat yang diperlukan untuk mencapainya.
xxxix
Sesudah itu dilaksanakan orang dapat menentukan secara obyektif
sesuatu yang berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai.
2) Rasionalitas yang Berorientasi Nilai (Werkrasionalitas)
Dibandingkan
dengan
rasional
instrumental,
sifat
rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alatalat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang
sadar, tujuan sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai
individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya.
3) Tindakan Tradisional
Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang
bersifat non rasional. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini
sedang hilang karena meningkatnya rasionalitas instrumental.
4) Tindakan Afektif
Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau
emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar.
(Johnson,1986:219-222)
9. Kerangka Analisis Gender
Untuk memberikan batasan dalam analisis, peneliti menggunakan
kerangka analisis gender dengan pendekatan relasi sosial. Pendekatan ini
dimaksudkan untuk menganalisis ketidakadilan gender yang ada dalam
distribusi sumber daya, tanggungjawab dan kekuasaan. Dalam pendekatan
ini ada 3 komponen analisis untuk menginterpretasikan realitas.
xl
a. Sasaran pembangunan sebagai kesejahteraan manusia
Dalam pendekatan ini, pembangunan didasarkan pada tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia. Dalam hal pelayanan kesehatan,
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya
dalam mewujudkan tujuan tersebut.
b. Konsep relasi sosial
Relasi
sosial
menggambarkan
hubungan
secara
struktural
di
masyarakat yang menciptakan dan memproduksi perbedaan dalam
penempatan posisi seseorang di masyarakat. Konsep ini memberi
makna tentang kesadaran individu, peran dan tanggungjawab individu
serta hubungan antara individu dan masyarakat. Dalam konteks
penelititan ini, analisis ditekankan pada pemahaman informan tentang
relasi yang dibangun dalam dunia keperawatan baik dalam tataran
pembagian peran dan tanggungjawab.
c. Analisis institusional
Analisis institusional memberikan gambaran tentang distribusi
peran dan tanggungjawab yang dibangun dalam sebuah struktur
kelembagaan serta faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap struktur
kelembagaan yang dibangun. Dalam konteks penelitian ini, analisis
dilakukan terhadap struktur Bidang keperawatan yang ada di RSUD
Soeradji Tirtonegoro.
xli
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan bentuk penelitian kualitatif
dengan tipe deskriptif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (Moleong, 2002:3 ).
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif,
karena penelitian ini dihasilkan data-data yang berupa kata-kata dan
pernyataan
baik
secara
lisan
maupun
tulisan.
Penelitian
ini
mendeskripsikan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi pembagian
fungsi dan peran antara perawat laki-laki dan perawat perempuan di
Rumah Sakit dalam pelayanan Kesehatan. Dalam penelitian jenis ini,
peneliti berusaha menghimpun fakta dengan cermat tanpa berusaha
melakukan hipotesa.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Klaten. Adapun
alasan pemilihan lokasi ini adalah:
a. Di RSUP Soradjie Tirtonegoro terdapat banyak jumlah perawat
perempuan daripada perawat laki-laki.
b. Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro adalah satu-satunya Rumah Sakit
umum Pemerintah rujukan bagi warga klaten untuk pelayanan
kesehatan.
xlii
c. Secara historis Klaten
dekat dengan keraton baik itu Surakarta
maupun Jogjakarta berpengaruh terhadap Kebudayaan Jawa yang
kental dengan Budaya Patriarkhi, tentunya akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini
meliputi :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya.
Jenis data primer yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah
informasi tentang kesetaraan gender dalam pembagian tugas dan peran
perawat yang didapat dari perawat laki-laki dan perawat perempuan di
RS Soeradji Tirtonegoro Kabupaten Klaten.
Data hasil wawancara diperoleh dari informan sebagai berikut :
Key person: Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K selaku kepala
bidang perawat RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten
Perawat Laki-Laki
Warsana
Joko Mulyono
Bapak Agus
Jarot
Perawat Perempuan
Ibu Puji
xliii
Ibu Tri Maryanti
Ibu Suyatun
Fitri Nuraini
Tatik Handayani
Sri Wahyudati
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh bukan secara langsung
dari sumbernya. Dalam penelitian ini sumber data sekunder yang kami
pilih adalah sumber tertulis seperti : buku mengenai perawat, masalah
gender dan sosiologi, majalah, arsip, dokumen, jurnal serta hasil
penelitian terdahulu yang relevan dengan masalah penelitian ini.
4. Teknik pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk
mendapatkan data dalam suatu penelitian. Untuk mendapatkan data
sepenuhnya dari lapangan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
a) Wawancara mendalam (in-dept interviewing)
Wawancara ini bersifat sangat lentur dan terbuka, pertanyaan yang
diajukan bisa semakin terfokus sehingga informasi yang dikumpulkan
semakin rinci dan mendalam. Kelonggaran dan kelenturan cara ini
akan mampu mengorek kejujuran informan untuk membeikan
informasi yang sebenarnya. Sehingga dari wawancara ini akan
diperoleh informasi yang akurat mengenai kesetaraan gender dalam
xliv
perawat, terutama yang berkaitan dengan sikap, pandangan dan
persepsi perawat mengenai peran dan tugasnya.
b) Dokumentasi
Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang
bersumber dari dokumen, arsip, jurnal dan sebagainya yang terdapat di
perawat.
5. Teknik Pengambilan Sampel
Untuk pengambilan sampel digunakan tehnik purposive sampling.
Menurut Moleong (2002:165) bahwa purposive sampling mempunyai
maksud menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber
bangunannya dan untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar dari
rancangan dan teori yang akan muncul.
Di dalam penelitian dengan purposive sampling dilakukan dengan
dua tahap, pertama mengidentifikasi seseorang yang akan kita angkat
sebagai informan yang memenuhi syarat tujuan penelitian sebagai key
person, yaitu Kepala Perawat yang dianggap paling mengerti tentang
kegiatan, tingkat kesejahteraan, akses, kontrol, kesadaran kritis dan
partisipasi pada masing-masing bagian perawat Rumah Sakit. Tahap kedua
adalah
mewawancarai
orang-orang
yang
telah
disebut
atau
direkomendasikan oleh informan pertama yang kemudian adalah sebagai
informan kedua dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan.
xlv
6. Validitas Data
Ada 4 macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan teknik trianggulasi terhadap data
(sumber) yaitu dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam metode kualitatif (Patton,1987:331). Hal itu dapat dicapai
dengan jalan :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b. Membandingkan apa yang dilakukan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan
menengah
atau
tinggi,
orang
berada
maupun
pemerintah.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan. Dengan tujuan yang terpenting adalah bisa mengetahui
adanya alasan-alasan terjadinya perbedaaan-perbedaaan bukan hanya
mengharapkan
kesamaan
bahwa
pandangan,
hasil
perbandingan
pendapat
Moleong,1998:195)
xlvi
dan
tersebut
merupakan
pemikiran.
(Lexy
7. Teknik Analisa Data
Analisis data dapat diartikan sebagai proses mengorganisasikan
dan menguraikan data ke dalam pola kategori dalam satu uraian dasar,
sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskannya hipotesa kerja yang
disarankan oleh data. Analisis data terdiri dari tiga komponen yang terjadi
dalam proses bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.
Model ini disebut dengan interactive model of analisis yang
digambarkan sebagai berikut.
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
Sumber: Analisis Data Kualitatif, Miles dan Huberman (UI-Press,1992)
Keterangan :
a. Reduksi Data
Proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, pengabstrakan dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis lapangan.
Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian yang
dimulai dari pengumpulan data dimulai. Reduksi data sudah dimulai
xlvii
sejak peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja yang
dipakai. Pada saat data berlangsung, reduksi data dapat berupa
ringkasan, mengkode, memusatkan tema, membuat batasan penelitian,
maupun menulis memo. Proses reduksi data ini berlangsung sesudah
penelitian lapangan dan sampai laporan akhir penelitian ini selesai.
b. Penyajian Data
Penyajian
data
merupakan
organisasi
informasi
yang
memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Dengan melihat
suatu penyajian data, peneliti akan dapat mengerti apa yang terjadi dan
memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun
tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Penyajian data dalam
hal ini meliputi berbagai macam matriks, skema, jaringan kerja,
keterikatan kegiatan dan tabel. Hal itu merupakan kegiatan yang
dirancang untuk merakit secara teratur agar mudah dilihat dan
dimengerti sebagai informasi yang lengkap dan saling mendukung.
c. Penarikan Kesimpulan
Dari pengumpulan data peneliti telah mengerti tentang apa arti dari
hal-hal temuan di lapangan dan mencatat keteraturan pola-pola, arahan
sebab-akibat. Namun demikian peniliti tidak terpancang secara kuat
terhadap hal-hal tersebut, tetap terbuka dan skeptis menuju pada
kesimpulan lebih jelas, rinci dan kokoh.
Dalam interactive model of analisis, tiga jenis kegiatan analisis dan
kegiatan pengumpulan data merupakan siklus dan interaktif. Peneliti
xlviii
bergerak di antara ke empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan
data selanjutnya bergerak bolak-balik di antara kegiatan itu yaitu
reduksi, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
xlix
BAB II
DESKRIPSI LOKASI
A. PROFIL KOTA KLATEN
1. Sejarah berdirinya Kota Klaten
Ada dua versi yang menyebut tentang asal muasal nama Klaten.
Versi pertama mengatakan bahwa Klaten berasal dari kata kelati atau buah
bibir. Kata kelati ini kemudian mengalami disimilasi menjadi Klaten.
Klaten sejak dulu merupakan daerah yang terkenal karena kesuburannya.
Versi kedua menyebutkan Klaten berasal dari kota Melati. Kata
Melati kemudian berubah menjadi Mlati. Berubah lagi jadi kata Klati,
sehingga memudahkan ucapan kata Klati berubah menjadi kata Klaten.
Versi ke dua ini atas dasar kata-kata orangtua sebagaimana dikutip dalam
buku Klaten dari Masa ke Masa yang diterbitkan Bagian Ortakala Setda
Kab. Dati II Klaten Tahun 1992/1993.
Melati adalah nama seorang kyai yang pada kurang lebih 560 tahun
yang lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara. Kyai
Melati Sekolekan, nama lengkap dari Kyai Melati, menetap di tempat itu.
Semakin lama semakin banyak orang yang tinggal di sekitarnya, dan
daerah itulah yang menjadi Klaten yang sekarang.
Dukuh tempat tinggal Kyai Melati oleh masyarakat setempat lantas
diberi nama Sekolekan. Nama Sekolekan adalah bagian darinama Kyai
l
Melati Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan,
sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh
Sekalekan itu pula Kyai Melati dimakamkan.
Kyai Melati dikenal sebagai orang berbudi luhur dan lagi sakti.
Karena kesaktiannya itu perkampungan itu aman dari gangguan perampok.
Setelah meninggal dunia, Kyai Melati dikuburkan di dekat tempat
tinggalnya.
Menurut versi dari beberapa kalangan daerah Kabupaten Klaten
semula adalah bekas daerah swapraja [Surakarta]. Kasunanan Surakarta
terdiri dari beberapa daerah yang merupakan suatu kabupaten. Setiap
kabupaten terdiri atas beberapa distrik. Susunan penguasa kabupaten
terdiri dari Bupati, Kliwon, Mantri Jaksa, Mantri Kabupaten, Mantri
Pembantu, Mantri Distrik, Penghulu, Carik Kabupaten angka 1 dan 2,
Lurah Langsik, dan Langsir.
Susunan penguasa Distrik terdiri dari Pamong Distrik (1 orang),
Mantri Distrik (5), Carik Kepanawon angka 1 dan 2 (2 orang), Carik
Kemanten (5 orang), Kajineman (15 orang).
Pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1749, terjadi perubahan
susunan penguasa di Kabupaten dan di Distrik. Untuk Jawa dan Madura,
semua propinsi dibagi atas kabupaten-kabupaten, kabupaten terbagi atas
distrik-distrik, dan setiap distrik dikepalai oleh seorang wedono.
Pada tahun 1847 bentuk Kabupaten diubah menjadi Kabupaten
Pulisi. Maksud dan tujuan pembentukan Kabupaten Pulisi adalah di
li
samping Kabupaten itu menjalankan fungsi pemerintahan, ditugaskan pula
agar dapat menjaga ketertiban dan keamanan dengan ditentukan batasbatas kekuasa wilayahnya.
Berdasarkan Nawala [[Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan Pakubuwana Senopati Ing Alaga Abdul Rahman Sayidin
Panata Gama VII]], Senin Legi 23 Jumadikir Tahun Dal 1775 atau 5 Juni
1847 dalam bab 13 disebutkan :
“……………………………….”
KratonDalam
[[Surakarta]]
Adiningrat Nganakake Kabupaten cacah enem.
“………………………………” Kabupaten cacah enem iku Nagara
[[Surakarta]], [[Kartosuro]], [[Klaten]], [[Boyolali]], [[Ampel]], lan
[[Sragen]].
“………………………………” Para Tumenggung kewajiban
rumeksa amrih tata tentreme bawahe dhewe-dhewe serta padha kebawah
marang Raden Adipati.
Sampai sekarang sejarah kota Klaten masih menjadi silang
pendapat. Belum ada penelitian yang dapat menyebutkan kapan persisnya
kota Klaten berdiri. Selama ini kegiatan peringatan tentang Klaten diambil
dari hari jadi pemerintah Kab Klaten, yang dimulai dari awal terbentuknya
pemerintahan daerah otonom tahun 1950.
2. Demografi Kota Klaten
Secara geografis Kabupaten Klaten terletak diantara 110o30'110o45' Bujur Timur dan 7o30'-7o45’ Lintang Selatan. Kota Klaten berada
lii
pada dataran rendah dengan didukung banyaknya sumber mata air maka
daerah Kabupaten Klaten merupakan daerah pertanian yang potensial
disamping penghasil Kapur,. Batu kali dan pasir yang berasal dari Gunung
Merapi.
Ditinjau dari ketinggiannya, wilayah kabupaten Klaten terdiri dari
dataran dan pegunungan, dan berada dalam ketinggian yang bervariasi,
yaitu 3,72% terletak di ketinggian 0-100 meter dari permukaan air laut.
77,52% terletak di ketinggian 100-500 meter dari permukaan air laut dan
12,76% terletak di ketinggian 500-1000 meter dari permukaan air laut.
Keadaan iklim Kabupaten Klaten termasuk iklim tropis dengan
musim hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun, temperatur
udara rata-rata 28-30o Celsius dengan kecepatan angin rata-rata sekitar 153
mm setiap bulannya dengan curah hujan tertinggi bulan Januari (350mm)
dan curah hujan terrendah bulan Juli (8mm).
Adapun batas-batas wilayah kota klaten adalah :
Sebelah Utara
: Kabupaten Boyolali
Sebelah Timur
: Kabupaten Sukoharjo
Sebelah Selatan
: Kabupaten Gunung Kidul (DI Yogyakarta )
Sebelah Barat
: Kabupaten Sleman (DI Yogyakarta )
Luas Wilayah Kota Klaten sebesar 655,56 kilometer persegi yang
terbagi dalam 26 kecamatan, 401 kelurahan, dengan rata-rata kepadatan
1.955 jiwa per kilometer persegi. Dari 26 Kecamatan yang ada, jumlah
liii
penduduk terbesar berada di wilayah kecamatan Trucuk 79.198 jiwa per
kilometer persegi. Sedangkan wilayah dengan kepadatan penduduk
terpadat adalah Klaten Tengah dengan rata-rata kepadatan penduduk
sebesar 4.860 jiwa perkilo meter persegi. Tabel di bawah ini
memperlihatkan kepadatan penduduk kota Klaten tahun 2004.
Tabel 2.1 Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Klaten
KECAMATAN Luas
Wilayah
Jumlah Jumlah
Desa
Penduduk
Prambanan
Gantiwarno
Wedi
Bayat
Cawas
Trucuk
Kali Kotes
Kebonarum
Jogonalan
Manisrenggo
Karangnongko
Ngawen
Ceper
Pedan
Karang dowo
Juwiring
Wonosari
Delanggu
Polanharjo
Karanganom
Tulung
Jatinom
Kemalang
Klaten Selatan
Klaten Tengah
Klaten Utara
Jumlah
16
16
19
18
20
18
7
7
18
16
14
14
13
18
14
19
18
16
18
19
18
18
13
12
9
8
401
24,43
25.64
24.38
39.43
34.47
38.81
12.98
9.67
26.70
26.96
26.74
16.97
24.45
19.17
29.23
29.70
31.14
18.78
23.84
24.06
32.00
35.53
51.66
14.43
8.92
10.38
655.56
45.583
40.494
54.887
63.798
64.695
79.198
36.520
21.206
57.368
41.197
38.046
43.734
63.447
47.836
51.659
61.436
61.609
44.381
45.458
49.075
54.659
56.811
34.772
40.226
43.355
40.252
1.281.786
Sumber : Kota Klaten dalam Angka 2004, BPS Kota Klaten
liv
Rata-Rata
Penduduk
per Desa
2.849
2.531
2.889
3.544
3.235
4.400
5.217
3.029
3.187
2.575
2.718
3.364
3.525
3.417
2.179
3.233
3.428
2.774
2.525
2.583
3.037
3.156
2.675
3.352
4.817
5.032
3.196
Rata-rata
Penduduk
PerKm2
1.866
1.579
2.251
1.618
1.877
2.342
2.814
2.193
2.149
1.528
1.423
2.577
2.595
2.495
1.767
2.062
1.981
2.363
1.907
2.040
1.708
1.599
673
2.787
4.860
3.878
1.955
Tabel 2.2 Penduduk Kota Klaten menurut jenis Kelamin :
KECAMATAN
Prambanan
Gantiwarno
Wedi
Bayat
Cawas
Trucuk
Kali Kotes
Kebonarum
Jogonalan
Manisrenggo
Karangnongko
Ngawen
Ceper
Pedan
Karang dowo
Juwiring
Wonosari
Delanggu
Polanharjo
Karanganom
Tulung
Jatinom
Kemalang
Klaten Selatan
Klaten Tengah
Klaten Utara
Jumlah
Dewasa
LakiPerempuan
Laki
16.173 18.011
14.339 16.744
19.619 21.687
23.084 24.757
24.318 25.946
28.850 30.022
13.065 13.836
7.684
8.675
21.202 22.208
14.814 16.428
13.611 15.089
16.302 17.092
23.238 24.603
17.832 18.880
18.895 20.514
22.206 24.017
21.884 24.584
16.608 17.691
16.774 18.129
18.043 19.461
19.843 21.224
20.175 22.116
12.539 13.365
14.455 15.935
15.910 17.366
14.622 15.844
466.085 504.224
Jumlah
Lakilaki
34.184 5.770
31.083 4.673
41.306 6.826
47.841 8.054
50.264 7.636
58.872 10.497
26.901 4.826
16.359 2.463
43.410 7.197
31.242 4.958
28.700 4.825
33.394 5.249
47.841 7.957
36.712 5.729
39.409 6.308
46.223 7.702
46.468 7.719
34.299 5.329
34.903 5.140
37.504 5.925
41.067 7.008
42.291 7.393
25.904 4.449
30.390 5.154
32.276 5.167
30.466 4.965
970.309 159.088
Anak
Perempuan
Jumlah
5.629
4.738
6.755
7.903
6.896
9.829
4.793
2.384
6.761
4.997
4.521
5.091
7.649
5.395
3.492
7.511
7.512
4.753
5.145
5.646
6.584
7.127
4.419
4.676
4.912
4.821
152.389
11.399
9.411
13.581
15.957
14.431
20.326
9.619
4.847
13.958
9.955
9.346
10.340
15.606
11.124
12.250
15.213
15.231
10.982
10.555
11.571
13.592
14.520
8.868
9.830
10.079
9.786
311.477
Sumber : Kota Klaten dalam Angka 2004, BPS Kota Klaten
Jumlah Penduduk Kota Klaten pada tahun 2004 adalah 1.281.786
jiwa terdiri dari 625.173 jiwa laki-laki dan 656.613 jiwa perempuan. Sex
rationya 95,21% yang berarti setiap 100 orang perempuan terdapat 95
orang laki-laki.
lv
Tabel 2.3 Pegawai Pemerintah Kabupaten Klaten Menurut Unit Kerja Dan Jenis
Kelamin Tahun 2007 :
Bagian/Dinas/Kantor
Jumlah
Badan Pengawasan Daerah
Badan Perencanaan Daerah
Badan Kepegawaian Daerah
BKD
Dinas Pekerjaan umum
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Dipertan dan Ketahanan Pangan
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Diperindag, koperasi dan PNMD
Dispenda
Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Sekretariat Daerah
Sekretariat DPRD
Kantor Informasi dan Kehumasan
Kantor Arsip dan Perpustakaan
Kantor Lingkungan Hidup
Kantor Satpol PP
Kantor Pemberdayaan masyarakat
Kantor Kesbanglinmas
Kantor Perhubungan
Kantor Pariwisata
Kantor Pengelolaan Pasar
Jumlah
Jenis Kelamin
Jumlah
LakiPerempuan
laki
38
9
47
39
9
48
43
16
59
40
31
71
428
32
460
5.783
6.392 12.130
234
84
318
63
40
103
93
36
129
95
45
140
456
837
1293
5
0
5
31
7
38
33
12
45
12
13
25
11
4
15
47
3
50
20
11
31
26
10
36
42
6
48
21
14
35
143
19
162
7.703
7.630 15.288
Sumber : Kota Klaten dalam Angka 2007, BPS Kota Klaten
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perbandingan pegawai
pemerintah dalam dinas kesehatan dan kesejahteraan sosial masih
didominasi oleh jenis kelamin perempuan sebesar 837 (65%) dibanding
dengan jenis kelamin laki-laki yang hanya sebesar 456 (35%).
lvi
B. PROFIL RUSP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO
1. Sejarah berdirinya RSUP Dr. Soradji Tirtonegoro
Rumah sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Soeradji Tirtonegoro
didirikan pada tanggal 20 Desember 1927, secara bersama-sama oleh
perkebunan-perkebunan (onderming) milik pemerintah Belanda yang
terdiri dari perkebunan Tembakau, tebu dan rami. Saat itu Rumah Sakit
tersebut dinamakan Dr. SCHEURER HOSPITAL dikelola oleh Zending
Kristen yang antara lain bergerak di bidang kesejahteraan umat. Rumah
Sakit itu dipimpin oleh Dr. Bakker.
Pada Tahun 1942 wilayah Indonesia dikuasai Jepang, dengan
demikian Dr. SCHEURER HOSPITAL juga dikuasai oleh Jepang. Selama
dikuasai oleh Jepang rumah Sakit ini dipimpin oleh Dr. Maeda dan Dr.
Suruta . Setelah Jepang kalah pada tahun 1945, rumah sakit ini di bawah
penguasaan Pemerintah Republik Indonesia dan nama Rumah Sakit
diganti menjadi Rumah Sakit Umum Tegalyoso Klaten, dipimpin oleh Dr.
Soenoesmo. Nama Rumah Sakit diambil dari nama desa dimana rumah
sakit ini berkedudukan yaitu Desa Tegalyoso.
Dalam Masa Peralihan dari Rumah Sakit di bawah pengelolaan
Zending menjadi Rumah Sakit Pemerintah RI masih terdapat beberapa
tenaga dokter asing antara lain Dr. Horner dan Dr. Bakker Yunior. Selama
masa itu semua karyawan RSU Tegalyoso Klaten diberi kesempatan untuk
memilih, tetap bekerja di RSU Tegalyoso untuk kemudian diangkat
lvii
menjadi Pegawai Negeri atau pindah ke rumah sakit Zending yang lain
yaitu RS Bethesda Yogyakarta atau RS jebres Surakarta.
Pada tahun 1952 Dr. Soenoesmo meninggal dunia karena sakit
setelah menjalani operasi appendicitis. Sebagai pengganti pimpinan RSU
Tegalyoso Klaten ditunjuk Dr. Horner didampingi oleh Dr. Bakker
Yunior.
Mulai tahun 1953 RSU Tegalyoso dipimpin oleh Dr. Soepaat
Soemosoedirijo dan sejak tahun 1945 RSU Tegalyoso Klaten secara penuh
telah dikelola oleh departemen Kesehatan RI dan disebut sebagai Rumah
Sakit Umum Pusat Tegalyoso Klaten.
Selama Kurun waktu yang panjang dan setelah melalui berbagai
perubahan kearah manajemen rumah sakit
yang sesuai dengan
perkembangan jaman, maka berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No.
1442A/Menkes/SK/XII/1997 tertanggal 20 Desember 1997 nama RSUP
Tegalyoso berganti nama menjadi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. Dr.
Soeradji Tirtonegoro merupakan salah satu tokoh pergerakan pada
perkumpulan BOEDI Oetomo dan mengabdi sebagai Dokter di Wilayah
klaten.
a. Profil
1) Nama Rumah Sakit
: RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
2) Alamat
: Jl. Dr. RT Soeradji Tirtonegoro No 1
Klaten Jawa Tengah
3) Tanggal Berdiri
: 20 Desember 1927
lviii
4) Luas Lahan
: 50.572 meter persegi
5) Jumlah Jenis Layanan : 20 jenis
6) Jumlah SDM
: 764 orang
b. Visi
Visi Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro adalah :
Menjadi Rumah Sakit yang berkualitas dan mandiri dalam pelayanan,
pendidikan, dan penelitian dalam bidang kesehatan tingkat nasional
c. Misi :
1. Menyelenggarakan pelayanan Kesehatan paripurna, berkualitas dan
terjangkau.
2. Menyelenggarakan
pendidikan,
pelatihan,
penelitian
dan
pengembangan ilmu bidang kesehatan dengan standar mutu yang
tinggi.
3. Mewujudkan kepuasan pelanggan untuk mencapai kemandirian
rumah sakit.
4. Meningkatkan kesejahteraan karyawan.
d. Tugas dan Fungsi
1. Tugas Pokok
Tugas pokok RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro adalah melaksanakan
upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan
mengutamakan
upaya
penyembuhan
dan
pemulihan
yang
dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan
dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.
lix
2. Fungsi
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten mempunyai tugas pokok
sebagaimana tersebut di atas karena Rumah Sakit berfungsi sebagai
a. Menyelenggarakan Pelayanan Medis.
b. Menyelenggarakan pelayanan Penunjang Medis & Non Medis
c. Menyelenggarakan Pelayanan dan asuhan Keperawatan
d. Menyelenggarakan pelayanan rujukan
e. Menyelenggarakan pendidikan dan Pelatihan
f. Menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan
g. Menyelenggarakan Administrasi dan Pengembangan
e. Tujuan
1. Tercapainya produk pelayanan Kesehatan yang berkualitas unggul
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2. Terselenggaranya
pendidikan,
pelatihan
dan
pengembangan
sehingga dihasilkan SDM yang profesional dan mampu melakukan
penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
3. Terwujudnya kepuasan seluruh pelanggan dengan pengelolaan
yang efektif dan efisien.
4. Terwujudnya peningkatan kesejahteraan karyawan.
f. Keyakinan Dasar dan Nilai Dasar
1. Keyakinan Dasar
a. Karyawan yang berkualitas dan berkomitmen tinggi kepada
Rumah sakit adalah aset yang paling berharga
lx
b. Kepuasan dan kesetiaan pasien adalah dasar kelangsungan
hidup rumah sakit
c. Mutu pelayanan rumah sakit sebagai pengikat kesetiaan
pelanggan
d. Kebersamaan adalah Kunci utama dalam mencapai kesuksesan.
2. Nilai Dasar
a. Jujur dan Ikhlas
b. Integritas
c. Keterbukaan
d. Profesionalisme
e. Kerendahatian
f. Kerja cerdas
g. Kesediaan untuk melayani
h. Melayani adalah Ibadah
g. Motto
BERSIH NYAMAN DAN AKURAT
h. Kebijakan Mutu
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro berkomitmen selalu menerapkan
Pelayanan Prima untuk kepuasaan customer.
2. Fasilitas pelayanan RSUP dr. Soeradji tirtonegoro
a) Fasilitas Pelayanan Rawat Jalan
1) Poliklinik Spesialis Bedah
2) Poliklinik Spesialis Bedah Orthophedi
lxi
3) Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam
4) Poliklinik Spesialis Anak
5) Poliklinik Bayi Sehat Tumbuh Kembang
6) Poliklinik Spesialis Kebidanan dan Kandungan
7) Poliklinik USG
8) Poliklinik Spesialis THT
9) Poliklinik Spesialis Mata
10) Poliklinik Spesialis Syaraf
11) Poliklinik Spesialis Paru-paru
12) Poliklinik Spesialis Kulit dan Kelamin
13) Poliklinik Spesialis Rehabilitasi Medik
14) Poliklinik Gigi Mulut & Spesialisasi Orthodonsi
15) Poliklinik Pemeriksaan Kesehatan
16) Konsultasu Konsultasi Psikologi
17) Poliklinik Konsultasi Gizi
18) Poliklinik Poliklinik Umum
19) Poliklinik Spesialis sore
20) Poliklinik Cendana
Poliklinik Cendana yaitu Poliklinik yang menyediakan waktu/jam
pelayanan poliklinik berdasarkan pada kesempatan /perjanjian antara
pasien dengan dokter. Tempat pendaftarannya di Poliklinik Cendana
atau bisa melalui Telpon (0272) 321103.
lxii
b) Fasilitas Pelayanan Rawat Inap
1. Tersedia sejumlah 306 tempat tidur, terdiri dari :
VIP/Instalasi Cendana : 41 TT
Kelas I
: 17 TT
Kelas II
: 64 TT
Kelas III
: 184 TT
2. Ruang ICU / Instalasi Rawat Intensif
3. Ruang NICU/ PICU (Neonatal Intensive Care Unit/ Pediatric
Intensive Care Unit )
c) Fasilitas Pelayan Penunjang
1) Instalasi Rawat Darurat : 24 Jam
2) Radiologi
3) Laboratorium
4) Farmasi
5) Ambulance
6) Instalasi bedah Sentral
7) Pelayanan Bedah Sehari
8) Unit Hemodialisis
9) Unit CT Scanner
10) Pemularasan Jenazah
11) Rehabilitasi Medik
12) Instalasi Gizi
13) Instalasi Pemeliharaan Rumah Sakit
lxiii
14) Instalasi Tu Rawat Pasien
15) Kamtib
16) Pengelolaan Air Limbah
17) Telepon, hunting System dan akses ke setiap ruang/satuan kerja
18) Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit terintregasi
19) Kasir
20) Email : rsdst @ indosat.net.id
d) Fasilitas Pelayanan Unggulan
Klinik Kosmetik Medik (Kecantikan) dan Orthodonsi (Gigi)
Pengembangan dan Penambahan Fasilitas Pelayanan Tahun 2004
-
Penambahan peralatan CT Scanner
-
Hemodialisis (cuci darah)
-
Pelayanan Poliklinik VIP
-
Pembangunan tahap I gedung Instalasi Rawat Darurat
3. Organisasi RSUP DR. Soeradji Tirtonegoro
Susunan organisasi RSUP terdiri atas :
a. Direktur
b. Wakil Direktur Pelayanan
c. Wakil Direktur Umum dan Keuangan
d. Bidang Pelayanan
e. Bidang Keperawatan
f. Bagian Sekretariat
g. Bagian Perencenaan dan Informasi
lxiv
h. Bagian Keuangan
i. Komite Medis dan Staf Medis Fungsional
j. Satuan Pengawas Intern
k. Instalasi-Instalasi
Tabel 2.4 DATA KETENAGAAN RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO
KLATEN
I
NO. Kualifikasi
Pendidikan
/Profesi
Tenaga Medik
1
Dokter PTT
2
Dokter Umum
3
Dr. Sp. Bedah
4
Dr. Sp.Penyakit
Dalam
5
Dr. Sp.Kes. Anak
6
Dr. Sp.Obsgyn
7
Dr. Sp.Radiologi
8
Dr. Sp.Anaestesi
9
Dr. Sp.Patologi
Klinik
10
Dr. Sp.Mata
11
Dr. Sp.THT
12
Dr. Sp.Kulit dan
Kelamin
13
Dr. Sp.Paru
14
Dr. Sp.Syaraf
15
Dr. Sp. Bedah
Ortoapedi
16
Dr. Sp.Putologi
Anatomi
17
Dr.
Sp.Rehabilitasi
Medik
18
Dr.
Sp.Orthodhonsi
19
Dr. Sp.Lainnya
20. Dr. Sp.Gigi
Tahun 2005
Jenis Kelamin
L
P
2
5
3
3
4
4
2
1
1
1
1
1
Tahun 2006
Jenis Kelamin
L
P
2
9
2
3
1
3
2
1
1
2
1
Tahun 2007
Jenis Kelamin
L
P
10
3
3
3
1
2
2
1
1
3
1
2
1
1
1
2
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
-
-
lxv
3
-
4
1
1
II
III
IV
V
VI
21. Dr. MHA/MARS
Jumlah Tenaga Medik
Jumlah Psikolog
Jumlah Apotheker
Jumlah Tenaga
Paramedik non
Keperawatan
Jumlah Tenaga Perawat
Jumlah Tenaga Bidan
VII
Jumlah Tenaga Non
Medik
VIII Jumlah Tenaga
Kontrak/Honorer
38
1
1
45
8
1
3
38
120
2
15
40
1
43
32
2
3
53
27
9
2
4
50
105
30
122
3
169
25
127
1
247
24
130
100
124
101
115
103
10
46
15
60
23
60
C. KODE ETIK KEPERAWATAN INDONESIA
Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai
pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan.
Aturan
yang
berlaku
untuk
seorang
perawat
Indonesia
dalam
melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia,
dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga
kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan.
1. KODE ETIK KEPERAWATAN INDONESIA :
a. Perawat dan Klien
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai
harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh
oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis
kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan
sosial.
lxvi
2)
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai
budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien.
3) Tanggung jawab utama perawat adalah
kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan.
4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali
jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
b. Perawat dan praktek
1) Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi dibidang
keperawatan melalui belajar terus-menerus
2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang
tinggi disertai kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan
serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang
akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi
seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan
memberikan delegasi kepada orang lain .
4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi
keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional.
lxvii
c. Perawat dan masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi
kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
d. Perawat dan teman sejawat
1)
Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama
perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam
memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam
mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
2) Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis
dan ilegal.
e. Perawat dan Profesi
1)
Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar
pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya
dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan
2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan
profesi keperawatan
3) Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun
dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya
asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.(Nursalam 2001:12)
lxviii
2. PRINSIP-PRINSIP ETIKA KEPERAWATAN
a. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu
mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang
dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri,
memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus
dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek
terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak
memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.
Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai
hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
b. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik.
Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan,
penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh
diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan,
terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
c. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika
lxix
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.
d. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada klien.
e. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini
diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan
kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat
mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang
untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi
akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman
dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya
kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian,
terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk
kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk
pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows
best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk
mendapatkan
informasi
penuh
tentang
kondisinya.
Kebenaran
merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya.
lxx
f. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya
dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan,
adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang
dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhanperawat terhadap
kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat
adalah
untuk
meningkatkan
kesehatan,
mencegah
penyakit,
memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
g. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien
harus dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam
dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka
pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi
tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan.
Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada
teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus
dihindari.
h. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan
seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau
tanpa terkecuali. (Verne Wolf dkk,1984:210)
lxxi
BAB III
PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT
BERPERSPEKTIF GENDER
A. PELAYANAN KESEHATAN DI MASYARAKAT
Menurut KepMen PAN No. 63 Tahun 2003 Pelayanan publik adalah
pelayanan yang wajib diselenggarakan oleh negara untuk pemenuhan
kebutuhan dasar atau hak-hak dasar warga negara (publik). Ada tiga jenis
pelayanan publik
a. Pelayanan Barang
b. Pelayanan Administratif
c. Pelayanan Jasa
Pelayanan Kesehatan merupakan salah satu pelayanan jasa yang
penting untuk diperhatikan sesuai dengan tujuan dari pembangunan Kesehatan
yang tertuang dalam UU Kesehatan nomor 23 Tahun 1992, masyarakat berhak
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak untuk meningkatkan
derajat kesehatannya.
Ada dua jenis pelayanan yang diberikan rumah sakit. Pertama,
Pelayanan Langsung, Yakni pelayanan yang berbentuk pemeriksaan,
pengobatan, perawatan, tindakan medis, tindakan diagnotis serta tindakan
penunjang medis. Kedua, Pelayanan tidak langsung, yang merupakan
pelayanan berupa pendukung kelancaran pelayanan langsung yaitu pelayanan
administratif. (Djojodibroto 1997:29)
lxxii
Menurut sistem Kesehatan Nasional, Rumah Sakit mempunyai fungsi
utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat
penyembuhan dan pemulihan pasien. Akan tetapi walaupun bersifat
sosioekonomi namun diusahakan agar bisa mendapatkan suatu keuntungan
dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsipprinsip ekonomi. Keputusan Menkes RI Nomor 983/SK/Menkes/XI/92
menyebutkan bahwa rumah sakit umum mempunyai misi memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sistim Kesehatan Nasional (SKN) juga menyebutkan bahwa :"Upaya
kesehatan, termasuk upaya kesehatan di rumah sakit harus bersifat
menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan dapat dijangkau oleh
masyarakat luas. Untuk itu perlu digunakan hasil pengembangan ilmu
pengetahuan serta teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh
pemerintah dan masyarakat luas, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada
perorangan".
Kriteria mutu pelayanan dalam hal ini tidaklah semata-mata didasarkan
pada mutu pengobatan dan tindakan medis yang dilakukan saja, tetapi juga
menyangkut aspek-aspek sosio-ekonomi seperti keterjangkauan biaya,
perhatian pada kebutuhan pelayanan individual pasien, dan kemampuan
pemerintah dalam menunjang pembiayaan.
Agar penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan
yang diinginkan maka pelayanan harus memenuhi berbagai syarat, di
lxxiii
antaranya : tersedia (available), wajar (appropriate), berkesinambungan
(continue), dapat diterima (acceptable), dapat dicapai (accesible), dapat
dijangkau (affordable), serta bermutu (quality).
Kesemua syarat tersebut sama pentingnya dan pada akhir-akhir ini
upaya meningkatkan mutu pelayanan semakin mendapat perhatian yang lebih
besar. Hal ini mudah dipahami karena apabila pelayanan kesehatan yang
bermutu dapat diselenggarakan, bukan saja akan meningkatkan efektifitas
pelayanan kesehatan, tetapi sekaligus juga akan dapat meningkatkan efisiensi
pelayanan kesehatan.(www.google.com”pelayanan kesehatan masyarakat”)
Hal tersebut diterjemahkan oleh RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten
dengan membangun misi untuk menjadi rumah sakit yang berkualitas dan
mandiri dalam pelayanan, pendidikan, dan penelitian dalam bidang kesehatan
tingkat nasional. RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten merasa mempunyai
kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa
membedakan kelas sosialnya, baik itu dari golongan miskin ataupun dari
golongan mampu maupun membedakan dari jenis kelamin tertentu.
B. STANDAR
PELAYANAN
KEPERAWATAN
RSUP
Dr.Soeradji
Tirtonegoro :
Standar I : Pengkajian Keperawatan
Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis,
menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan.
Proses :
lxxiv
1. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi,
pemeriksaan fisik dan mempelajari data penunjang (pengumpulan
data
diperoleh
dari
hasil
wawancara,
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan laboraturium, dan mempelajari klien lainnya)
2. Sumber data adalah klien, keluarga atau orang terkait, tim
kesehatan, rekam medis dan catatan lain.
3. Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi :
a. Status kesehatan klien saat ini
b. Status kesehatan klien masa lalu
c. Satus fisiologis-psikologis-sosial-spiritual
d. Respon terhadap terapi
e. Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal
f. Resiko-resiko tinggi masalah
STANDAR II : Diagnosis Keperawatan
Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis
keperawatan
Proses :
1. Proses diagnosis terdiri dari analisis, interpretasi data, identifikasi
masalah klien dan perumusan diagnosis keperawatan.
2. Komponen diagnosis keperawatan terdiri dari : masalah, penyebab,
dan tanda atau gejala.
3. Bekerjasama dengan klien, dekat dengan klien, petugas kesehatan
lain untuk memvalidasi diagnosis keperawatan
lxxv
4. Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosis data terbaru.
STANDAR III : Perencanaan
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi
masalah dan meningkatkan kesehatan klien.
Proses :
1.
Proses terdiri dari penetapan prioritas masalah, tujuan dan
rencana tindakan keperawatan
2.
Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan
keperawatan.
3.
Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau
kebutuhan klien.
4.
Mendokumentasikan rencana keperawatan.
STANDAR IV : Implementasi
Perawat membuat rencana tindakan yang telah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan
1.
Bekerjasama dengan klien dalam melaksanakan tindakan
keperawatan
2.
Kolaborasi dengan profesi kesehatan lain untuk meningkatkan
status kesehatan klien.
3.
Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan
klien
4.
Melakukan supervisi terhadap tenaga pelaksana keperawatan di
bawah tanggung jawabnya
lxxvi
5.
Menjadi koordinator pelayanan dan advokasi terhadap klien
untuk mencapai tujuan kesehatan
6.
Menginformasikan kepada klien tentang status kesehatan dan
fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada
7.
Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai
konsep,
ketrampilan
asuhan
diri
serta
membantu
klien
memodifikasi lingkungan yang digunakannya
8.
Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan
berdasarkan respon klien
STANDAR V : Evaluasi
Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan dalam
pencapaian tujuan dan merevisi data dasar perencanaan
Proses :
1.
Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara
komperhensif, tepat waktu dan terus menerus
2.
Menggunakan data dasar respon klien dalam mengukur
perkembangan ke arah pencapaian tujuan
3.
Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan sejawat dan
klien
4.
Bekerjasama dengan klien, keluarga untuk memodifikasi
perencanaan.
lxxvii
G. PERAN-PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Perawat, sebagai salah satu profesi yang ada di rumah sakit yang
secara profesional menjadi bagian integral dari pelayanan kesehatan. Perawat
adalah orang yang melakukan proses keperawatan, yakni memberikan
pelayanan pembinaan kesehatan yang diarahkan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta membantu orang dengan cara sebaik mungkin
masalah kehidupan sehari-hari, penyakit dan cidera, cacat maupun kematian.
(Lu Verne Wolf dkk 1984: 4)
Dalam paradigma keperawatan, manusia dipandang sebagai makhluk
bio-sosio-psiko-kultural-spiritual yang utuh dan unik, mandiri, dinamis,
rasional dan berkemampuan beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,
agar dapat bertahan hidup dan berkembang. Mereka mengembangkan dirinya
melalui proses interaksi yang membentuk pola berfikir, keyakinan dan
perilaku berupa nilai dan budaya. Proses interaksi ini tidak bisa dipisahkan
dari lingkungan yang ada di sekitarnya.
Menurut Nursalam (2001:04) ada dua komponen yang mempengaruhi
perilaku manusia dalam berinteraksi. Pertama, Komponen internal, seperti :
faktor genetik, struktur anatomis, fisiologis, psikologis, nilai, keyakinan serta
faktor internal lain yang potensial mempengaruhi perubahan sistem manusia.
Kedua, Komponen eksternal seperti Faktor eksternal terdiri dari : keadaan
fisik, demografis, ekologis, hubungan interpersonal dan nilai sosial budaya
dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta faktor eksternal lain
yang potensial mempengaruhi perubahan pada sistem manusia.
lxxviii
Dalam konteks keperawatan, kedua komponen tersebut memiliki
pengaruh terhadap kesehatan. Sehat dalam hal ini tidak hanya dipandang
sebagai suatu keadaan yang terbebas dari penyakit, namun lebih kepada
keseimbangan bio-psiko-sosio-spiritual yang optimum, yang dapat
meningkatkan kemampuan dan potensi manusia di masyarakat.
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosiokultural-spiritual
yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan
komunitas, baik sakit maupun sehat serta mencakup seluruh siklus hidup
manusia. Aktivitasnya berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya
kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Menurut Kozier Barbara (Nursalam, 2002:8), peran yang dibangun
perawat, secara garis besar digambarkan sebagai berikut:
1. Care Giver
Sebagai care giver, seorang perawat harus memiliki kemampuan untuk :
a. Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga,
kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai
dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang
kompleks.
b. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien.
lxxix
Perawat harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan signifikan
dari
klien.
Perawat
menggunakan
proses
keperawatan
untuk
mengidentifikasi diagnosis keperawatan mulai dari masalah fisik
sampai pada masalah psikologis.
2. Conselor
Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi
tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan
interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan
seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual.
Dalam hal ini, peran perawat ditunjukkan dengan :
a. Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan
sehat sakitnya.
b. Meningkatkan kemampuan beradaptasi guna merancang metode
berinteraksi.
c. Memberikan konseling atau bimbingan penyuluhan kepada individu
atau keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan
pengalaman yang lalu.
d. Pemecahan masalah di fokuskan pada masalah keperawatan
3. Education
Peran berperan sebagai seorang pendidik, layaknya seorang guru. Pada
intinya, aktivitas yang dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan
kesadaran baru yang mampu merubah perilaku dalam bidang kesehatan.
lxxx
Nursalam juga menjabarkan peran perawat dengan singkatan CARE. Ia
mendeskripsikan konsep CARE sebagai berikut.
C: Communication. Seorang perawat harus memiliki kemampuan
berkomunikasi secara lengkap, akurat dan cepat dan harus didukung fakta
yang memadai.
A: Aktivity. Aktivitas yang dilaksanakan adalah memberikan asuhan kepada
klien yang ditunjang oleh sikap kesungguhan dan empati serta
bertanggungjawab terhadap setiap tugas yang diembannya. Selain itu, ia juga
harus bisa membangun kerjasama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan
lainnya.
R : Review. Prinsip utama dalam peran ini adalah moral dan etika
keperawatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahankesalahan yang bisa berakibat fatal bagi konsumen dan profesi keperawatan.
Karena itu, seorang perawat harus mampu menjaring berbagai informasi dan
mengikuti perubahan yang terjadi dalam hal pelayanan kesehatan yang
senantiasa berkembang.
E : Education. Seorang perawat dituntut untu berkomitmen terhadap
profesinya dengan terus menerus menggali ilmu melalui pendidikan formal
dan informal sampai pada suatu keahlian tertentu.
Tugas-tugas perawat juga diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 94/Kep/M.PAN/II/2001. Dalam
pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok perawat adalah memberikan pelayanan
keperawatan berupa asuhan keperawatan / kesehatan kepada individu ,
lxxxi
keluarga , kelompok dan masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan
penyakit , penyembuhan penyakit , dan pemulihan serta pembinaan peran serta
masyarakat dalam rangka kemandirian dibidang keperawatan / kesehatan.
Ketika menjalankan perannya dalam pelayanan kesehatan, perawat
dituntut untuk memiliki komitmen kerja yang tinggi. Komitmen terdiri dari
tiga komponen. Keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan profesi,
kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh demi kepentingan profesi
dan berkeinginan untuk mempertahankan profesinya. Dari komponen tersebut,
motivasi menjadi faktor penting seseorang memilih untuk menjalankan
profesinya.
Dalam profesi perawat, ada bermacam motivasi yang mendasari para
perawat memilih profesi mereka. Seperti yang terungkap dalam wawancara
yang dilakukan peneliti terhadap beberapa perawat di Rumah sakit klaten.
“Latar Belakang keluarga saya itu kan kurang mampu. ”Saya sejak dari dulu
seneng jadi perawat dan suka melihat seorang perawat yang selalu membantu
orang lain dalam kesusahan, serta panggilan jiwa saya untuk selalu berbuat
pahala di dunia ini kan kata orang jawa urip nyang ndonyo ki gur mampir
ngombe alias seumur jagung” (Warsana)
Saya itu merasa terpanggil jiwanya untuk membantu sesama manusia yang
membutuhkan pertolongan, dalam keluarga saya itu sangat terbiasa dan di
didik untuk selalu menolong orang lain. Sedih saya kalau melihat penderitaan
orang lain dan mungkin ini yang mungkin saya bisa perbuat untuk sedikit
meringankan beban mereka, wis dianggep menghibur orang lain tentunya
sesuai dengan segala kemampuan yang kita miliki. Menjadi Perawat itu sudah
sejak kecil menjadi cita-cita yang saya impikan. (Ibu Puji )
Pokoknya saya pengen mengabdi kepada keluarga, masyarakat serta Nusa
dan Bangsa ini, disamping merawat itu sebuah pengabdian bisa juga untuk
membantu keluarga mencari nafkah. (Ibu Tri Maryanti)
Kalau saya ditanya kenapa saya memilih untuk menjadi perawat mungkin
dulu awalnya saya itu sedikit mendapat paksaan dari keluarga saya untuk
lxxxii
masuk ke sekolah perawat karena alasannya sangat rasional. Perempuan itu
pantesnya jadi perawat kata ibu dan Bapak saya dan akhirnya setelah saya
rasakan ada benarnya juga bahwa perempuan itu lebih bisa untuk menjadi
perawat karena rata-rata perempuan itu sabar dan penuh rasa sayang. (Ibu
Suyatun)
Seolah ada panggilan jiwa yang saya rasakan yang bisa menuntun menjadi
seorang perawat. Sebagai seorang Laki-laki saya merasa tertantang untuk
ikut membantu orang sakit. Ada sebuah kebanggan ketika saya bisa ikut
membantu menyembuhkan sesama manusia. (Joko Mulyono)
Dulu desa saya itu banyak orang sakit dan waktu itu ingin sekali rasanya ikut
membantu akan tetapi saya tidak sanggup dan nggak tahu sama sekali
bagaimana cara merawat orang yang sedang sakit. Nah dari situ awalnya
saya merasa termotivasi untuk menajadi seorang perawat. (Bapak Agus)
Ya pokoknya saya itu seneng berbuat baik pada siapapun kapanpun dan
dimanapun. Dulu waktu kecil {agak lupa umur berapa} saya sakit dirawat
selama 30 hari, dari situ muncul keinginan saya untuk menjadi seorang
perawat. (Fitri Nuraini)
Dulu kan profesi menjadi seorang perawat kan masih jarang dan masih
banyak dibutuhkan. Ya dari keluarga saya dibebaskan untuk memilih profesi
apa saja yang penting bisa cepet untuk menyelesaikan pendidikan dan
mendapatkan uang walaupun hanya cukup untuk bertahan hidup.ha...ha...ha...
(Jarot)
Agama mengajarkan kita untuk selalu mencari kebaikan di dunia ini, ya
ibadah kan nggak hanya dengan Solat kan bisa juga dengan berbuat baik
dengan sesamanya.{habluminannas}. Cari uang yang halal, dan dari kecil
saya pengennya merawat siapapun tapi sebenernya saya pengen jadi dokter
tapi berhubung nggak ada biaya ya jadi perawat. (Tatik Handayani)
Jadi Perawat ya karena orang tua yang nyuruh saya untuk menjadi perawat
mas, awalnya saya nggak begitu suka tapi lama-lama saya malah jadi seneng
dan merasa cocok menjadi perawat. Mungkin sudah kodrat dari yang di atas
kalau perempuan itu lebih peka dan telaten untuk melakukan pekerjaan ini.
(Sri Wahyudati)
Secara teoritis peran perawat dapat dikatakan mendukung teori aksi
yang terdapat dalam paradigma definisi sosial yang menekankan pada
tindakan sosial karya Max Weber yang diklasifikasikan dalam 4 (empat) tipe
tindakan yaitu rasional instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai,
lxxxiii
tindakan tradisional dan tindakan afektif. Pendekatan ini menekankan kepada
tindakan dari perawat baik laki-laki maupun perawat perempuan dalam
menjalankan perannya yang dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap
pekerjaan sebagai perawat dan juga pada budaya patriarki yang masih melekat
kuat di dalamnya.
Dalam hal ini peran perawat mempunyai kecenderungan kepada tipe
tindakan rasionalitas berorientasi nilai dan mengarah kepada tindakan
tradisional. Hal ini dapat dilihat dari niat, motif dan orientasi dari masingmasing perawat.
H. PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER
a. Sejarah Dunia Keperawatan
Dunia keperawatan jika dilihat dari perpektif gender didominasi
oleh perempuan. Hal ini diakui juga oleh beberapa perawat yang ada di
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Menurut mereka, dunia
keperawatan memang identik dengan dunia perempuan. Karena tugastugas yang dijalankan lebih dekat dengan dunia perempuan. Misalnya saja,
untuk melakukan tugas keperawatan, diperlukan ketelititan, ketelatenan
dan kesabaran, sebuah sikap dimana perempuan dianggap memiliki nilai
lebih dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
tugas keperawatan bermula dari naluri keibuan (mother instinct).
Jika kita memperhatikan sejarah perkembangan dalam dunia
perawat, perempuan memang terlihat begitu dominan dalam dunia
lxxxiv
keperawatan. Pada awal berkembangnya agama Kristen, dikenal sebuah
lembaga diakones, yakni pembantu pendeta dalam gereja, memberi
nasehat, mengobati orang sakit serta mengunjungi tempat tawanan.
Diakones menjadi satu lembaga wanita yang pertama dari organisasi
agama Kristen yang bekerja dan mengembangkan pekerjaan perawatan.
Kemudian, pada era pemerintahan Konstantin yang Agung sekitar
tahun 325 M, dibangun sebuah bangunan khusus untuk menampung
orang-orang sakit yang membutuhkan pertolongan dan perawatan, yakni
xenodochoion atau lebih dikenal dengan nama hospital. Pada era tersebut,
semua yang bertugas untuk memberikan perawatan terhadap orang sakit
adalah para wanita (non).
Kemudian, pada masa-masa perang, seperti perang ketika zaman
perang salib, dunia keperawatan semakin berkembang dengan banyaknya
orang sakit dan terlukan akibat perang. Dan pada era ini, perawat diambil
dari orde-orde keagamaan dan para wanita istri dari prajurit yang ikut
berperang.
Tokoh-tokoh yang menonjol dalam perkembangan dunia
keperawatan juga para perempuan. Di dunia barat, dikenal seorang tokoh
yang mempelopori dunia keperawatan modern seperti Genevieve Bouzuet,
Perawat Perancis pada masa setelah revolusi Perancis yang memelopori
pekerjaan perawat yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak terikat
dengan ordo keagamaan. Kemudian, ada juga Florence Nightingale
lxxxv
(1820), seorang Perawat Inggris yang memelopori dunia keperawatan
modern dengan pemikiran-pemikirannya seperti :
i.
Menetapkan standar manajemen rumah sakit
ii.
Menegaskan bahwa nutrisi merupakan bagian penting dari asuhan
keperawatan
iii.
Meyakinkan bahwa akupasional merupakan suatu terapi bagi orang
sakit
iv.
Mengidentifikasi kebutuhan personal pasien dan peran perawat untuk
memenuhinya
v.
Mengembangkan standar okupasi bagi pasien wanita
vi.
Mengembangkan pendidikan keperawatan
vii.
Menetapkan 2 komponen keperawatan yaitu kesehatan dan penyakit
viii.
Meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dengan
profesi kedokteran.
ix.
Menekankan kebutuhan pendidikan lanjut bagi perawat
Di Dunia Islam, keperawatan juga mengenal nama Rufaidhah binti
Sa’ad, seorang perempuan pada masa Nabi Muhammad yang
mengembangkan keperawatan di dunia Islam. Rufaidah adalah public
health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi
perawat di dunia Islam. Ia mengabdikan dirinya untuk merawat orang sakit
dengan membangun tenda di luar masjid Nabawi. Dan ketika perang, ia
mendirikan Rumah sakit lapangan dan melatih para wanita muslim untuk
lxxxvi
merawat orang-orang yang terluka saat perang. Beberapa pengaruhnya
dalam dunia keperawatan adalah sebagai pelopor sekolah keperawatan di
dunia Islam, penyokong advokasi pencegahan penyakit (preventive care)
dan penyebaran pentingnya penyuluhan kesehatan (health education).
b. Tugas Perawat dalam perspektif gender
Seperti yang telah disebutkan di atas, keperawatan merupakan
suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan. Tugas-tugas keperawatan secara tegas diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor :
94/Kep/M.PAN/II/2001. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok
perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan
keperawatan / kesehatan kepada individu , keluarga , kelompok dan
masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan penyakit , penyembuhan
penyakit , dan pemulihan serta pembinaan peran serta masyarakat dalam
rangka kemandirian dibidang keperawatan / kesehatan.
Sikap profesionalitas para perawat terlihat dari kesadaran mereka
untuk tidak membedakan tugas-tugas keperawatan dari sisi gender. Seperti
yang tergambar dari pernyataan-pernyataan berikut :
Semuanya sama saja mas, antara perawat laki-laki dan perawat
perempuan dimana harus menjalankan segala tugas dan tanggung jawab
dalam bidangnya. (Warsana)
Soal tugas keperawatan menurut pandangan saya semua sama baik
perawat laki-laki maupun perempuan. (Tri Maryanti)
Kalau pembedaan secara kegiatan saya rasa tidak ada mas, mungkin yang
ada hanya etika saja. (Suyatun).
lxxxvii
Secara tegas tidak dibedakan, tapi sebagai manusia ciptaan Allah yang
dikarunia oleh kemampuan masing-masing kan berbeda. (Endang
Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Namun dalam praktek di lapangan, pekerjaan dijalankan secara
luwes dengan mengutamakan kualitas layanan. Pemberian pelayanan
dengan memperhatikan faktor gender dilakukan dengan alasan
profesionalitas.
Kerja tu kan luwes tho mas, jadi ya bisa minta tolong sama rekan perawat
yang lain apabila nggak mampu untuk melakukan tugasnya. Misalnya
kebetulan ada pasien perempuan meminta kami untuk memandikannya, ya
minta tolong sama perawat wanitanya. (Warsana)
Kalau dalam proses perawatannya memang kadang-kadang ada pasien
yang meminta untuk dirawat oleh jenis kelamin tertentu. Misalnya seperti
yang selama ini saya alami saya sering memandikan pasien [sibin] baik
laki maupun pasien perempuan. (Tri Maryanti)
Dalam beberapa hal saya perempuan tidak mampu untuk melakukan tugas
maka saya minta tolong pada perawat yang lain. (Suyatun)
ya dalam prakteknya tetep yang laki-laki seringkali cenderung untuk
membantu dalam hal-hal yang berat-berat. Misalnya seperti angkat
pasien. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Terkait dengan pelayanan yang diberikan, para pasien memiliki persepsi
yang berbeda terhadap pelayanan yang dilakuka para perawat di RSUP Dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten. Seperti yang tergambar dalam pernyataanpernyataan berikut :
Cukup memuaskan, sampai saat ini nggak ada masalah berarti. Para
perawatnya juga lumayan baik mas dan mereka semua cukup ramah untuk
melayani kami.(Bagus)
Alhamdulillah baik sekali, doktere penak isoh dijak gojek yo lucu dadi
asyik nang kene cepet mari. Perawatnya pun juga baek2 baek. Tapi
kadang-kadang Beda juga mas. kalau sama perawat perempuan lebih
telaten dan sabar melayani kalau laki-laki galak, dan pendiam,
lxxxviii
(Tri Jati S)
Secara umum yang saya rasakan cukup bisa dikatakan agak baek. Namun
dalam beberapa hal masih ada pembedaan yang sangat jelas bahwa
pasien yang nggak punya duit diacuhkan begitu saja. (Joko W)
Secara umum, semua pasien baik laki-laki mapun perempuan
mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan kesehatan. Namun
dalam beberapa hal faktor gender juga berpengaruh terhadap pemberian
pelayanan. Misalnya saja persoalan memandikan pasien. Dalam
pemahaman para perawat, mereka mengungkapkan bahwa mereka harus
profesional dalam pekerjaan. Sehingga ketika diharuskan memandikan
pasien dengan jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya, mereka tidak
ada masalah. Namun terkadang para pasien yang meminta untuk
dimandikan oleh sesama jenis mereka dengan alasan persoalan etika.
c. Posisi Struktural Perawat di Rumah Sakit
i.
Perbandingan jumlah perawat berdasarkan gender
Jika dillihat dari segi kuantitas, di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten, jumlah perawat laki-laki masih lebih sedikit jika dibandingkan
dengan perawat perempuan. Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan
menurut Tingkat Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Data
Per Februari 2007
Tingkat Pendidikan
S1 Keperawatan
D3 Keperawatan
SPK
Laki-Laki
7
98
20
lxxxix
Perempuan
11
31
PK
D4 Kebidanan
D3 Kebidanan
D3 Anestesi
Bidan
D3/SPRG/P Gigi
DK/PK
Jumlah
1
1
127
1
9
1
24
2
247
Sumber : Data Bidang Perawat RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa komposisi Perawat Laki-laki
masih kecil jika dibandingkan dengan perawat perempuan 39,06%
untuk perawat laki-laki dan 66,04% untuk perawat perempuan.
ii.
Struktur Pejabat di Bagian Keperawatan di Rumah Sakit
Di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, perawat dimasukan dalam
bidang tersendiri untuk memudahkan dalam hal pengelolaan, yakni
Bidang Keperawatan.
Pembentukan struktur organisasi memberikan tingkat akses informasi
dan kewenangan yang berbeda pada tiap masing-masing perawat.
Seseorang yang menduduki jabatan di struktur diatas tentu saja
memiliki akses informasi dan kewenangan lebih dibandingkan dengan
yang ada dibawahnya. Dan konsekuensi logisnya, para perawat yang
menjabat dalam struktur memiliki tanggungjawab yang lebih dalam
proses pelayanan kesehatan.
Para perawat di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menyadari
bahwa jabatan dalam struktur organisasi menentukan besar kecilnya
akses informasi, kewenangan dalam menetapkan kebijakan. Seperti
yang tergambar dalam petikan berikut.
xc
Akses semua punya mas, tinggal besar kecilnya pengaruh yang dia
miliki. Kebijakan tentang Kenaikan Pangkat seorang Perawat.(Puji)
Terus terang saya kurang mengamati sapa saja yang punya akses ke
para atasan, kalau yang saya tahu hanya beberapa yang mampu dan
punya akses ke pembuat kebijakan, misalnya kepala bagian,kepala
ruang. (Warsana)
Para kepala ruang yang langsung punya akses terhadap pembuat
kebijakan, apalagi sekarang kan era otonomi daerah jadi perawat
dituntut untuk lebih memahami kebijakan dan sebisa mungkin untuk
mengontrolnya. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Dalam penentuan struktur organisasi, yang diperhatikan adalah prestasi
kerja dan lama pengabdian serta golongan kerja, karena para perawat
tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Namun dalam kenyataannya
struktur kelembagaan perawat di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten
menempatkan perempuan dalam posisi strategis lembaga. Hal seperti
ini terjadi karena stereotip bahwa dunia perawat lebih dekat dengan
kaum perempuan menjadi salah satu alasannya. Seperti yang tergambar
dalam pernyataan berikut :
Hanya dunia keperawatan itu kan punya kecenderungan lebih dekat
dengan para perawat perempuan. Mas tentunya paham bagaimana
sejarah tentang kemunculan perawat itu sendiri baik versi Islam
maupun versi barat. Di indonesia khususnya jawa posisi perempuan
lebih dipandang bisa dan mampu untuk mengemban status perawat.
ini bisa dilihat dalam ruangan ini (bagian keperawatan) kebanyakan
mereka perempuan. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
xci
BAB IV
KESETARAAN GENDER DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang
menjadi hak-hak dasar yang dimiliki warga negara. Seperti yang tertuan dalam
UU Kesehatan nomor 23 Tahun 1992, disebutkan bahwa masyarakat berhak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak untuk meningkatkan derajat
kesehatannya.
Rumah sakit merupakan salah satu komponen vital dalam pemberian
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Menurut sistem Kesehatan Nasional,
Rumah Sakit mempunyai fungsi
utama menyediakan dan menyelenggarakan
upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Akan tetapi
walaupun bersifat sosioekonomi namun diusahakan agar bisa mendapatkan suatu
keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan
prinsip-prinsip ekonomi. Keputusan Menkes RI Nomor 983/SK/Menkes/XI/92
menyebutkan bahwa rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Di dalam rumah sakit antara dokter, perawat dan pasien termasuk
keluargan pasien merupakan hubungan yang sangat kompleks terus berkembang
sesuai dengan tata nilai, dan norma dalam masyarakat. Dari tenaga kesehatan yang
ada, perawat adalah tenaga yang paling banyak kontak dengan pasien. Mereka
xcii
memberikan pelayanan pembinaan kesehatan yang diarahkan untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan serta membantu orang dengan cara sebaik mungkin
masalah kehidupan sehari-hari, penyakit dan cidera, cacat maupun kematian.
Dalam paradigma keperawatan ada dua komponen yang mempengaruhi
perilaku manusia dalam berinteraksi. Pertama, Komponen internal, seperti : faktor
genetik, struktur anatomis, fisiologis, psikologis, nilai, keyakinan serta faktor
internal lain yang potensial mempengaruhi perubahan sistem manusia. Kedua,
Komponen eksternal seperti Faktor eksternal terdiri dari : keadaan fisik,
demografis, ekologis, hubungan interpersonal dan nilai sosial budaya dan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta faktor eksternal lain yang
potensial mempengaruhi perubahan pada sistem manusia. Sehat dalam hal ini
tidak hanya dipandang sebagai suatu keadaan yang terbebas dari penyakit, namun
lebih kepada keseimbangan bio-psiko-sosio-spiritual yang optimum, yang dapat
meningkatkan kemampuan dan potensi manusia di masyarakat. Dari paradigma
tersebut tergambar posisi penting perawat dalam usaha peningkatan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat. Nursalam (2001:04)
A. PROFESI PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER
Perawat, di dalam masyarakat dianggap sebagai profesi yang cocok
untuk perempuan. Adanya konsep gender, menyebabkan ada jenis pekerjaan
yang hanya dianggap cocok untuk perempuan. Misalnya karena perempuan
dianggap tekun, sabar, teliti. Di samping perawat, ada pula pekerjaanpekerjaan lain seperti , guru, penerima tamu, sekretaris, atau pembantu rumah
xciii
tangga.
Pekerjaan-pekerjaan
tersebut
dipandang
masih
merupakan
perpanjangan tangan dari pekerjaan rumah tangga.
Stereotype terhadap profesi keperawatan sebagai pekerjaan yang cocok
untuk perempuan ini diperkuat dengan faktor sejarah yang mewarnai profesi
ini. Jika kita melihat sejarah perkembangan keperawatan, maka pada awal
kemunculannya hingga sekarang peran perempuan begitu dominan dalam
pengembangan profesi ini.
Pada awal berkembangnya agama Kristen, dikenal sebuah lembaga
diakones, yakni pembantu pendeta dalam gereja, memberi nasehat, mengobati
orang sakit serta mengunjungi tempat tawanan. Diakones menjadi satu
lembaga wanita yang pertama dari organisasi agama Kristen yang bekerja dan
mengembangkan
pekerjaan
perawatan.(www.PPNI.co.id
“sejarah
keperawatan”)
Kemudian, pada era pemerintahan Konstantin yang Agung sekitar
tahun 325 M, dibangun sebuah bangunan khusus untuk menampung orangorang sakit
yang membutuhkan pertolongan dan perawatan,
yakni
xenodochoion atau lebih dikenal dengan nama hospital. Pada era tersebut,
semua yang bertugas untuk memberikan perawatan terhadap orang sakit
adalah para wanita (non).
Kemudian, pada masa-masa perang, seperti perang ketika zaman
perang salib, dunia keperawatan semakin berkembang dengan banyaknya
orang sakit dan terluka akibat perang. Dan pada era ini, perawat diambil dari
orde-orde keagamaan dan para wanita istri dari prajurit yang ikut berperang.
xciv
Tokoh-tokoh yang menonjol dalam perkembangan dunia keperawatan
juga para perempuan. Di dunia barat, dikenal seorang tokoh yang
mempelopori dunia keperawatan modern seperti Genevieve Bouzuet, Perawat
Perancis pada masa setelah revolusi Perancis yang memelopori pekerjaan
perawat yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak terikat dengan ordo
keagamaan. Kemudian, ada juga Florence Nightingale (1820), seorang
Perawat Inggris yang memelopori dunia keperawatan modern dengan
pemikiran-pemikirannya seperti :
g. Menetapkan standar manajemen rumah sakit
h. Menegaskan bahwa nutrisi merupakan bagian penting dari asuhan
keperawatan
i. Meyakinkan bahwa akupasional merupakan suatu terapi bagi orang sakit
j. Mengidentifikasi kebutuhan personal pasien dan peran perawat untuk
memenuhinya
k. Mengembangkan standar okupasi bagi pasien wanita
l. Mengembangkan pendidikan keperawatan
m. Menetapkan 2 komponen keperawatan yaitu kesehatan dan penyakit
n. Meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dengan
profesi kedokteran.
o. Menekankan kebutuhan pendidikan lanjut bagi perawat
Di Dunia Islam, keperawatan juga mengenal nama Rufaidhah binti
Sa’ad,
seorang
perempuan
pada
xcv
masa
Nabi
Muhammad
yang
mengembangkan keperawatan di dunia Islam. Rufaidah adalah public health
nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia
Islam. Ia mengabdikan dirinya untuk merawat orang sakit dengan membangun
tenda di luar masjid Nabawi. Dan ketika perang, ia mendirikan Rumah sakit
lapangan dan melatih para wanita muslim untuk merawat orang-orang yang
terluka saat perang. Beberapa pengaruhnya dalam dunia keperawatan adalah
sebagai pelopor sekolah keperawatan di dunia Islam, penyokong advokasi
pencegahan
penyakit
(preventive
care)
dan
penyebaran
pentingnya
penyuluhan kesehatan (health education).
Jika memperhatikan sejarah di atas, awal mula kemunculan profesi
perawat baik di dunia Barat maupun Islam, dipelopori oleh para perempuan.
Dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan profesi ini juga para
perempuan.
Dalam proses sejarah tersebut, misalnya, ketika dilihat dari masa
perang pada sejarah perawat dalam dunia Barat dan Islam, perempuan
menempati posisi di garis belakang untuk membantu para laki-laki dalam
berperang. Artinya, perempuan dianggap tidak pas ketika ikut mengangkat
senjata dalam berperang. Mereka lebih dibutuhkan di garis belakang untuk
menyediakan makanan bagi pasukan serta merawat para korban yang terluka
akibat peperangan.
Proses sejarah tersebut bisa dipandang sebagai sebuah proses
konstruksi sosial yang membangun pandangan masyarakat terhadap profesi
perawat. Dalam perspektif teori fungsional struktural, masyarakat merupakan
xcvi
suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Bagian-bagian
tersebut bisa berupa agama, pendidikan, struktur politik, keluarga dan
sebagainya. Asumsi dasar dalam teori ini adalah bahwa setiap struktur dalam
sistem sosial, fungsional terhadap yang lainnya. (Ritzer, 2004 : 21)
Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender bisa disebabkan oleh
banyak hal, diantaranya adalah proses sosialisasi dan bahkan proses konstruksi
sosial lewat berbagai interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Pembentukan
perbedaan-perbedaan gender dibentuk secara sosial dan kultural, misalnya
lewat agama dan kekuasaan. Proses panjang tersebut kemudian membentuk
persepsi manusia yang menganggap perbedaan gender adalah sebuah kodrat
yang harus diterima, seolah-olah perbedaan tersebut terjadi secara biologis dan
tak dapat diubah. Persepsi manusia tentang gender kemudian menentukan
peran-peran tertentu yang dianggap pantas atau tidak pantas disandang
perempuan atau laki-laki di dalam masyarakat.
Faktor sejarah bisa dipandang sebagai sebuah dialektika sosial
masyarakat. Sedangkan stereotype merupakan bentuk pelabelan terhadap
suatu kelompok dan atau jenis pekerjaan tertentu yang terbentuk dari
konstruksi sosial.
Dialektika sejarah yang berkembang dalam profesi ini kemudian
membentuk stereotype bahwa profesi keperawatan merupakan profesi
dipandang lebih cocok untuk para perempuan ketimbang laki-laki. Akibat
xcvii
adanya stereotype ini, dalam dunia keperawatan kemudian didominasi oleh
para perempuan.
Stereotype seperti ini muncul dalam persepsi yang ada pada perawat di
RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten. Seperti yang tergambar dalam pernyataan
berikut.
Dunia keperawatan itu kan punya kecenderungan lebih dekat dengan
para perawat perempuan. Mas tentunya paham bagaimana sejarah
tentang kemunculan perawat itu sendiri baik versi Islam maupun versi
barat. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Secara teori persepsi yang muncul dalam organisasi keperawatan ini
mempunyai kecenderungan kepada tipe tindakan tradisional, karena apa yang
mereka lakukan seringkali bersifat non rasional dalam arti bahwa mereka
seringkali dapat menerima setiap bentuk ketidakadilan dan diskriminasi
terhadap salah satu jenis kelamin. Dalam hal ini perawat laki-laki seringkali
menjadi korban karena dengan mendasarkan pada penerimaan norma-norma
tingkah laku individu dengan dalih perawat hanya bisa dilakukan oleh jenis
kelamin perempuan dikarenakan sesuai dengan stereotipe yang muncul bahwa
seorang perawat haruslah lemah lembut luwes dan berperasaan yang ini hanya
dimiliki oleh jenis kelamin perempuan.
Persepsi yang muncul dari perawat tersebut merupakan bentukan
konstruksi sosial dari proses sejarah yang berkembang dan dipelajari hingga
kini. Artinya, pembelajaran sejarah tentang keperawatan yang menunjukkan
dominasi para perempuan memperkuat stereotype bahwa profesi perawat
merupakan profesi “milik” perempuan.
xcviii
Menurut Novarra, jika seorang perempuan harus bekerja, maka apa
yang dikerjakannya di luar rumah tidak jauh dari perannya dalam rumah
tangga. Bahkan di awal era kesetaraan gender, masih ada pendapat bahwa tabu
hukumnya bagi kaum perempuan untuk bergerak di bidang politik atau bidang
publik, jika perannya tidak sebangun dengan perannya dalam rumah tangga.
Perbedaannya terletak pada lokasi kerja, yaitu di luar rumah, dan dengan
bekerja di luar rumah perempuan pekerja mendapat imbalan atas jasanya.
(www.jurnalperempuan.com)
Dialektika sejarah yang berkembang dalam dunia keperawatan dan
masyarakat pada dasarnya juga berhubungan dengan relasi kuasa. Relasi kuasa
ini tampak dari sejarah ketika kaisar konstantin mendirikan sebuah rumah
sakit, ia mempekerjakan perawat yang seluruhnya adalah perempuan.
Akibat dari relasi kuasa ini kemudian memarginalisasikan peran
perempuan di ranah publik. Hanya ada perkerjaan-perkerjaan tertentu yang
dipandang pantas disandang oleh perempuan. Dan pekerjaan tersebut tidak
jauh dari peran mereka dalam rumah tangga. Profesi perawat dipandang
sebagai profesi yang cocok untuk perempuan karena memerlukan kelembutan,
kesabaran dan melibatkan emosi, sifat-sifat yang dianggap lebih dekat dengan
para perempuan. Adanya relasi kekuasaan ini kemudian mebentuk struktur
pengetahuan masyarakat yang pada akhirnya memberikan label bahwa
pekerjaan perawat adalah pekerjaan perempuan. Kesempatan kerja yang lain
seperti dalam bidang politik dan pemerintahan lebih mengutamakan kaum
laki-laki karena perempuan dianggap tidak pandai memimpin.
xcix
Dalam sebuah rumah tangga, di dunia ini didominasi oleh pemahaman
bahwa pemimpin dalam sebuah keluarga adalah laki-laki. Pemahaman ini
kemudian meluas ke ranah publik sehingga sektor kerja tertentu terutama
terkait dengan kepemimpinan, kaum perempuan kemudian dipinggirkan, dan
dikonsentrasikan ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan
“kodratnya”.
Jika melihat dialektika sejarah tentang gender di masyarakat dengan
kacamata fungsional struktural, terlihat jelas bahwa pandangan terhadap peran
perempuan dalam keluarga (salah satu elemen masyarakat) menentukan
pandangan perempuan dalam ranah publik (masyarakat). Dari analisis sejarah
tersebut bisa dilihat bahwa relasi kuasa membentuk struktur pengetahuan
masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi tindakan manusia dalam
berinteraksi. Dalam konteks keperawatan, para penguasa (yang didominasi
laki-laki) turut berperan dalam proses marginalisasi peran gender dengan
mengkonsentrasikan peran perempuan ke dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu
yang dianggap pantas. “Kodrat” perempuan dibentuk secara kultural untuk
memperkuat alasan-alasan dalam proses marginalisasi tersebut. Konstruksi
tersebutlah yang membentuk persepsi bahwa profesi perawat adalah “milik”
perempuan.
B. PERAN DAN TANGGUNGJAWAB PERAWAT DALAM PELAYANAN
KESEHATAN
Jika memandang secara profesional, profesi perawat pada dasarnya
tidak membedakan pembedaan peran gender seperti yang terlihat dalam
c
persepsi masyarakat hasil bentukan sejarah. Hal ini bisa dilihat dari definisi
perawat hingga tugas-tugas keperawatan yang tidak terdapat pembedaan yang
dikaitkan dengan peran gender.
Keperawatan Merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosiokultural-spiritual
yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan
komunitas, baik sakit maupun sehat serta mencakup seluruh siklus hidup
manusia. Aktivitasnya berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya
kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Paradigma keperawatan diatas kemudian diterjemahkan dalam
aktivitas riil pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Di Indonesia, paradigma
tersebut diterjemahkan ke dalam standar praktek keperawatan profesional
yang harus ditentukan oleh PPNI, yaitu :
6. Pengkajian
Proses Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara
sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, berkesinambungan.
7. Diagnosa Keperawatan
Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis
keperawatan.
8. Perencanaan
ci
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
dan meningkatkan kesehatan klien.
9. Implementasi
Perawat membuat rencana tindakan yang telah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan.
10. Evaluasi
Perawat
mengevaluasi
kemajuan
klien
terhadap
tindakan
dalam
pencapaian tujuan dan merevisi data dasar perencanaan. (Nursalam,
2002:8)
Menurut Kozier Barbara (Nursalam, 2001:14), peran yang dibangun
perawat, secara garis besar digambarkan sebagai berikut:
4. Care Giver
Sebagai care giver, seorang perawat harus memiliki kemampuan untuk :
c. Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga,
kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai
dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang
kompleks.
d. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien.
Perawat harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan signifikan
dari
klien.
Perawat
menggunakan
proses
keperawatan
untuk
mengidentifikasi diagnosis keperawatan mulai dari masalah fisik
sampai pada masalah psikologis.
cii
5. Conselor
Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi
tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan
interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan
seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual.
Dalam hal ini, peran perawat ditunjukkan dengan :
e. Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan
sehat sakitnya.
f. Meningkatkan kemampuan beradaptasi guna merancang metode
berinteraksi.
g. Memberikan konseling atau bimbingan penyuluhan kepada individu
atau keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan
pengalaman yang lalu.
h. Pemecahan masalah di fokuskan pada masalah keperawatan
6. Education
Peran berperan sebagai seorang pendidik, layaknya seorang guru. Pada
intinya, aktivitas yang dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan
kesadaran baru yang mampu merubah perilaku dalam bidang kesehatan.
Nursalam juga menjabarkan peran perawat dengan singkatan CARE. Ia
mendeskripsikan konsep CARE sebagai berikut.
C: Communication. Seorang perawat harus memiliki kemampuan
berkomunikasi secara lengkap, akurat dan cepat dan harus didukung fakta
yang memadai.
ciii
A: Aktivity. Aktivitas yang dilaksanakan adalah memberikan asuhan
kepada klien yang ditunjang oleh sikap kesungguhan dan empati serta
bertanggungjawab terhadap setiap tugas yang diembannya. Selain itu, ia juga
harus bisa membangun kerjasama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan
lainnya.
R : Review. Prinsip utama dalam peran ini adalah moral dan etika
keperawatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahankesalahan yang bisa berakibat fatal bagi konsumen dan profesi keperawatan.
Karena itu, seorang perawat harus mampu menjaring berbagai informasi dan
mengikuti perubahan yang terjadi dalam hal pelayanan kesehatan yang
senantiasa berkembang.
E : Education. Seorang perawat dituntut untuk berkomitmen terhadap
profesinya dengan terus menerus menggali ilmu melalui pendidikan formal
dan informal sampai pada suatu keahlian tertentu.
Tugas-tugas perawat juga diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 94/Kep/M.PAN/II/ 2001. Dalam
pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok perawat adalah memberikan pelayanan
keperawatan berupa asuhan keperawatan / kesehatan kepada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan
penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan serta pembinaan peran serta
masyarakat dalam rangka kemandirian dibidang keperawatan / kesehatan.
Peran sering diartikan sebagai serangkaian perilaku yang diharapkan
dituntut oleh masyarakat terhadap individu atau pun organisasi yang
civ
memegang
kedudukan
tertentu
dalam
masyarakat.
dalam
konteks
keperawatan, peran yang menjadi tanggungjawab perawat adalah memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan tugas yang diembannya.
Arah dari pelayanan kesehatan adalah menyehatkan masyarakat. Sehat
dalam hal ini tidak hanya dipandang sebagai suatu keadaan yang terbebas dari
penyakit, namun lebih kepada keseimbangan bio-psiko-sosio-spiritual yang
optimum, yang dapat meningkatkan kemampuan dan potensi manusia di
masyarakat.
Kualitas layanan kesehatan bisa dilihat dari tanggapan yang diberikan
oleh para pasien terhadap pelayanan rumah sakit. Pada dasarnyanya secara
umum kualitas layanan kesehatan yang dilakukan RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten mendapat tanggapan positif dari para pasien. Mereka
menganggap bahwa rumah sakit telah memberikan pelayanan yang baik
seperti yang tampak dalam beberapa pernyataan berikut :
Cukup memuaskan, sampai saat ini nggak ada masalah berarti. Para
perawatnya juga lumayan baik mas dan mereka semua cukup ramah untuk
melayani kami.(Bagus)
Alhamdulillah baik sekali, doktere penak isoh dijak gojek yo lucu dadi
asyik nang kene cepet mari. Perawatnya pun juga baek2 baek. Tapi
kadang-kadang Beda juga mas. kalau sama perawat perempuan lebih
telaten dan sabar melayani kalau laki-laki galak, dan pendiam,
(Tri Jati S)
Secara umum yang saya rasakan cukup bisa dikatakan agak baek. Namun
dalam beberapa hal masih ada pembedaan yang sangat jelas bahwa
pasien yang nggak punya duit diacuhkan begitu saja. (Joko W)
Dari pernyataan tersebut, ada seorang pasien yang merasakan
perbedaan pemberian layanan terkait perbedaan gender. Ia menanggap bahwa
cv
pelayanan perawat lebih baik ketimbang perawat laki-laki. Ini menunjukkan
masih adanya pandangan perbedaan peran gender berdasarkan pada konsep
gender.
Namun, jika memperhatikan tugas dan peran yang dijalankan perawat
secara umum, tidak ada yang secara tegas menggambarkan perbedaan peran
dan tugas terkait dengan perbedaan peran gender. Secara umum, tugas, peran
dan tanggungjawab seorang perawat bisa dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan. Yang membedakan tugas dan tanggungjawab tersebut bukanlah
peran gender, namun lebih kepada tingkat pendidikan dan keilmuan serta
kedudukan para perawat dalam lembaga mereka keperawatan di rumah sakit.
Karena itu, ketika konstruksi sosial yang membentuk sejarah dan
dialektika sosial di masayarakat mengarahkan pada pandangan bahwa profesi
perawat adalah profesi yang lebih cocok kepada perempuan, tak lebih dari
hasil pembentukan struktur pengetahuan masyarakat lewat relasi kuasa.
Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini semakin banyak
institusi-institusi
profesional
yang
menangani
“pekerjaan-pekerjaan
perempuan” dengan sejumlah karyawan laki-laki terlibat atau bahkan berperan
penting di dalamnya (Vianello, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa kini dunia
kerja lebih menitikberatkan faktor kemampuan individu dan mulai
meninggalkan pendapat konvensional tentang pembagian kerja menurut jenis
kelamin. Seperti yang terjadi di dunia keperawatan dimana pada era sekarang
ini perawat laki-laki juga menjadi bagian penting dari dunia keperawatan.
Motivasi utama dari profesi ini adalah kemanusiaan, selain dari motivasi
cvi
pribadi untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Sehingga, baik laki-laki
dan perempuan memiliki potensi untuk mengembangkan profesi ini. Artinya,
pandangan bahwa profesi perawat adalah “milik” perempuan pada saat ini
tidak terlalu menonjol.
Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara tersirat,
masyarakat mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin
dan maskulin
dalam diri tiap manusia (laki-laki maupun perempuan) walaupun masih ada
keterikatan dengan stereotype tentang laki-laki dan perempuan secara umum.
C. DISTRIBUSI PERAN KEPERAWATAN MENURUT PERBEDAAN
PERAN GENDER
Jika dillihat dari segi kuantitas, di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten, jumlah perawat laki-laki masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan
perawat perempuan. Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat
Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Data Per Februari 2007
Tingkat Pendidikan
S1 Keperawatan
D3 Keperawatan
SPK
PK
D4 Kebidanan
D3 Kebidanan
D3 Anestesi
Bidan
D3/SPRG/P Gigi
DK/PK
Jumlah
Laki-Laki
7
98
20
1
1
127
Perempuan
11
31
1
9
1
24
2
247
Sumber : Data Bidang Perawat RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten
cvii
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa komposisi Perawat Laki-laki
masih kecil jika dibandingkan dengan perawat perempuan 39,06% untuk
perawat laki-laki dan 66,04% untuk perawat perempuan. Data secara
kuantitatif menunjukkan bahwa di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten,
Perempuan lebih mendominasi
profesi ini meskipun dalam rentang tidak
terlalu besar. Dari data tersebut, menunjukkan bahwa profesi perawat masih
terikat dengan stereotype peran gender. Hal ini juga terungkap dalam
pernyataan salah satu perawat yang ada di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten
ia berikut adalah pernyataanya :
Di indonesia khususnya jawa posisi perempuan lebih dipandang bisa
dan mampu untuk mengemban status perawat. ini bisa dilihat dalam
ruangan ini (bagian keperawatan) kebanyakan mereka perempuan.
(Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Dalam memberikan peran sebagai seorang perawat, secara umum tidak
ada pembedaan dalam distribusi tugas keperawatan terkait dengan perbedaan
peran gender. Hal ini tampak dari apa yang diceritakan oleh para informan
lewat pernyataan berikut ini.
Semuanya sama saja mas, antara perawat laki-laki dan perawat
perempuan dimana harus menjalankan segala tugas dan tanggung jawab
dlm bidangnya. (Warsana)
Soal tugas keperawatan menurut pandangan saya semua sama baik
perawat laki-laki maupun perempuan. (Tri Maryanti)
Kalau pembedaan secara kegiatan saya rasa tidak ada mas, mungkin yang
ada hanya etika saja. (Suyatun).
Secara tegas tidak dibedakan, tapi sebagai manusia ciptaan Allah yang
dikarunia oleh kemampuan masing-masing kan berbeda. (Endang
Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
cviii
Namun dalam praktek di lapangan, pekerjaan dijalankan secara luwes
dengan mengutamakan kualitas layanan. Pemberian pelayanan dengan
memperhatikan faktor gender dilakukan dengan alasan profesionalitas.
Kerja tu kan luwes tho mas, jadi ya bisa minta tolong sama rekan perawat
yang lain apabila nggak mampu untuk melakukan tugasnya. Misalnya
kebetulan ada pasien perempuan meminta kami untuk memandikannya, ya
minta tolong sama perawat wanitanya. (Warsana)
Kalau dalam proses perawatannya memang kadang-kadang ada pasien
yang meminta untuk dirawat oleh jenis kelamin tertentu. Misalnya seperti
yang selama ini saya alami saya sering memandikan pasien [sibin] baik
laki maupun pasien perempuan. (Tri Maryanti)
Dalam beberapa hal saya perempuan tidak mampu untuk melakukan tugas
maka saya minta tolong pada perawat yang lain. (Suyatun)
ya dalam prakteknya tetep yang laki-laki seringkali cenderung untuk
membantu dalam hal-hal yang berat-berat. Misalnya seperti angkat
pasien. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Keluwesan kerja yang dibangun dalam hubungan kerja keperawatan
seperti tampak dalam pernyataan di atas menyiratkan bahwa pandangan
terhadap perbedaan peran gender masih berlaku, namun tidak dalam posisi
untuk meminggirkan antara satu dan yang lainnya, tapi lebih kepada usaha
untuk mencapai kualitas layanan yang diinginkan. Seperti pada kasus
memandikan pasien. Secara profesional, masing-masing perawat baik laki-laki
maupun perempuan dituntut untuk bersedia memandikan setiap pasien baik
laki-laki maupun perempuan. Namun karena adanya faktor etika yang
ditentukan oleh pandangan moral dan agama, sehingga kadang terjadi ada
pasien yang meminta dimandikan dengan perawat yang sejenis dengan
kelaminnya.
cix
Kemudian dalam kasus angkat mengangkat, laki-laki terkadang lebih
diutamakan dalam pelaksanaan tugas ini. Ini menunjukkan bahwa stereotype
laki-laki lebih kuat secara fisik ketimbang perempuan masih ada.
Secara profesional, sebenarnya para perawat memahami tugas dan
tanggungjawab masing-masing (perawat laki-laki dan perempuan) bahwa
mereka memiliki posisi yang setara serta tugas dan tanggungjawab yang sama.
Tapi karena faktor sosial budaya masyarakat yang terpengaruh yang
terkonstruksi oleh pemahaman peran gender yang dipengaruhi budaya
patriarkhis, maka dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya masih
terjadi pembedaan peran gender yang pada akhirnya memperlihatkan posisi
yang tidak setara antara perawat laki-laki dan perempuan.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa Konstruksi sosial gender
secara perlahan berpengaruh terhadap proses biologis masing-masing kelamin.
Misalnya, karena karena adanya konstruksi sosial, seorang laki-laki harus
memiliki sifat kuat. Maka kaum laki-laki tersosialisasi dan termotivasi untuk
menjadikan dirinya kuat untuk memenuhi sifat yang dianggap umum oleh
masyarakat tersebut. Sebaliknya, karena dalam konstruksi sosialnya
perempuan harus bersikap lemah lembut, maka sejak bayi, proses sosialisasi
yang dibangun perempuan mengarah pada sifat tersebut. Proses sosialisasi
yang berlangsung secara mapan dalam pada akhisnya mempengaruhi secara
fisik dan psikis hingga pada akhirnya ada kesulitan untuk membedakan
apakah sifat-sifat tersebut merupakan sifat dasar manusia atau hasil dari proses
konstruksi sosial.
cx
Distribusi peran dan tanggungjawab dalam profesi keperawatan juga
tampak dalam struktur kelembagaan yang ada. Di bidang keperawatan RSUP
Soeradji Tirtonegoro Klaten, struktur kelembagaan yang ada menunjukkan
bahwa perempuan lebih dominan dalam menduduki jabatan-jabatan penting
dalam manajerial. pengelolaan manajemen kerja profesi. Struktur tersebut
menetukan besar kecilnya akses informasi serta kewenangan seseorang dalam
menetukan kebijakan tertentu, seperti yang tergambar dalam pengakuan par
ainforman berikut ini :
Akses semua punya mas, tinggal besar kecilnya pengaruh yang dia
miliki. Kebijakan tentang Kenaikan Pangkat seorang Perawat.(Puji)
Terus terang saya kurang mengamati sapa saja yang punya akses ke
para atasan, kalau yang saya tahu hanya beberapa yang mampu dan
punya akses ke pembuat kebijakan, misalnya kepala bagian,kepala
ruang. (Warsana)
Para kepala ruang yang langsung punya akses terhadap pembuat
kebijakan, apalagi sekarang kan era otonomi daerah jadi perawat
dituntut untuk lebih memahami kebijakan dan sebisa mungkin untuk
mengontrolnya. (Endang Wuryaningsih, AMK, S. Pd. K)
Struktur organisasi yang didominasi oleh para perempuan seperti yang
tergambar di atas menunjukkan bahwa di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten,
menunjukkan bahwa dalam soal akses informasi dan kebijakan, perawat
perempuan mendapat akses yang lebih besar dibandingkan dengan perawat
laki-laki. Perempuan masih dianggap sebagai yang terdepan dalam
pengelolaan manajemen keperawatan.
cxi
Padahal, jika dilihat peran, tugas dan tanggungjawab perawat secara
umum, tidak ada penegasan bahwa profesi ini lebih mengutamakan kaum
perempuan dibanding kaum laki-laki.
Kondisi tersebut tidak lepas dari faktor sejarah dan konstruksi sosial
yang berlangsung secara mapan sejak awal kemunculan profesi ini dimana
adanya relasi kuasa dan pandangan budaya patriarkhi mengakibatkan profesi
perawat menjadi salah satu bidang pekerjaan yang diarahkan untuk para
perempuan. Akibatnya peran perempuan menjadi lebih dominan sehingga
memunculkan ketidaksetaraan antara perawat laki-laki dan perempuan.
cxii
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesetaraan gender adalah suatu keadaan dimana terjadi kesetaraan
atau keadilan sosial antara laki-laki dan perempuan. Suatu keadaan yang
diisyaratkan oleh pengertian tersebut adalah penerimaan martabat kedua
jenis kelamin dengan ukuran yang setara. Orang harus mengakui bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara dalam berbagai bidang
kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Keduanya memiliki hak yang
setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.
Di masyarakat, pola perilaku dan kegiatan laki-laki dan perempuan
merupakan konstruksi secara sosial yang membentuk identitas. Semenjak
dulu sudah dikonstruksikan bahwa peran gender memang sudah ada dan
merupakan kodrat manusia, ditambah dengan proses sosialisasi gender
yang sudah sangat lama didukung adanya legitimasi agama dan budaya.
Maka semakin kuat interpretasi orang bahwa perbedaan peran, posisi dan
sifat perempuan dan laki-laki adalah kodrat. Padahal baik peran, posisi dan
sifat ini adalah bentukan sosial dan budaya yang disebut gender.
Dalam dunia keperawatan, kesetaraan gender yang terbangun dapat
dilihat dalam matrik sebagai berikut :
cxiii
Tabel 5.1 Analisis Data Hasil Penelitian
No.
1.
Sudut
Pandang
Sejarah
Keperawatan
2.
Profesi
sebagai
Tenaga
Kesehatan
3.
Struktur
Kelembagaan
Analisis
Dialektika sejarah yang berkembang dalam profesi ini
membentuk stereotype bahwa profesi keperawatan
merupakan profesi dipandang lebih cocok untuk para
perempuan ketimbang laki-laki. Kondisi tersebut tak lepas
dari adanya relasi kuasa dalam budaya masyarakat.
Akibat dari relasi kuasa ini kemudian memarginalisasikan
peran perempuan di ranah publik. Hanya ada perkerjaanperkerjaan tertentu yang dipandang pantas disandang oleh
perempuan. Dan pekerjaan tersebut tidak jauh dari peran
mereka dalam rumah tangga, dimana salah satunya adalah
profesi perawat.
Jika dilihat dari profesinya sebagai tenaga kesehatan, tidak
ada perbedaan peran gender. Tugas-tugas sebagaimana
yang tercantum dalam undang-undang ataupun kode etik
keperawatan tidak ada yang membedakan tugas perawat
berdasarkan gender. Namun, dalam prakteknya, tugastugas pelayanan kesehatan dijalankan secara luwes dimana
pembedaan peran gender masih tampak. Misalnya saat
memandikan pasien, pekerjaan angkat-angkat dan
sebagainya. Ini terjadi karena faktor nilai-nilai budaya dan
moral yang diyakini masyarakat. Dari sisi pelayanan,
sebagian pasien juga masih menganggap bahwa perempuan
lebih luwes dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan.
Proses marginalisasi yang memunculkan stereotype bahwa
perawat merupakan pekerjaan perempuan merembet pada
struktur lembaga. Dalam struktur yang tampak di RSUP
Soeradji Tirtonegoro Klaten, perempuan masih dianggap
lebih mampu dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan.
Hal ini tampak dari struktur kelembagaan yang didominasi
oleh kaum perempuan. Dari jumlah perawat, dapat juga
dilihat bahwa perawat perempuan lebih banyak ketimbang
perawat laki-laki.
Jika dilihat dengan kerangka analisis Kabber, fenomena kesetaraan
yang terbangun dalam profesi keperawatan di RSUP Soeradji Tirtonegoro
Klaten dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
cxiv
1. Analisis Berdasarkan Tinjauan Tujuan Profesi Keperawatan
Jika ditinjau dari tujuan dan profesi keperawatan, yakni berperan dalam
peningkatan layanan kesehatan masyarakat, maka pada dasarnya tidak ada
pembedaan peran gender dalam profesi keperawatan. Baik kaum laki-laki
maupun perempuan posisinya setara dan memiliki potensi untuk
berkembang dan mengembangkan profesi ini sebagai bagian dari
pengabdian mereka terhadap kemanusiaan serta usaha mereka untuk
mendapatkan penghidupan yang layak.
2. Analisis Relasi Sosial Yang Terkait Dengan Profesi Keperawatan
Munculnya stereotype bahwa profesi perawat hanya cocok untuk perawat,
bisa dilihat dari relasi sosial yang terbangun dalam masyarakat. Relasi ini
ditentukan oleh proses sosialisasi dan adanya faktor kuasa yang
berpengaruh
terhadap
struktur
pengetahuan
masyarakat.
Adanya
pandangan bahwa perempuan memiliki sifat-sifat lemah lembut, teliti, dan
lebih emosional membuat profesi perawat dianggap lebih cocok bagi para
perempuan. Selain itu, adanya budaya patriarkhi dimana dalam rumah
tangga, perempuan dianggap tidak mampu memimpin, dan hanya bertugas
dalam pekerjaan rumahan seperti merawat anak, membersihkan rumah,
memasak dan sebagainya mengakibatkan akses pekerjaan yang terbatas
bagi perempuan. Ketika perempuan bekerja di luar rumah, maka pekerjaan
yang dijalankan tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka lakukan
dalam rumah tangga. Hal ini menyebabkan proses marginalisasi
perempuan dalam akses pekerjaan dimana perempuan diarahkan pada
cxv
profesi tertentu yang dekat dengan pekerjaan mereka di rumah, salah
satunya adalah profesi sebagai perawat. Akibatnya, dalam dunia
keperawatan perempuan menjadi lebih dominan ketimbang laki-laki.
Proses sosialisasi yang kurang berimbang mengakibatkan kontruksi sosial
yang terbentuk menjadi bias gender.
3. Analisis Institusional Pada Lembaga Keperawatan
Proses konstruksi peran gender yang timpang tersebut berpengaruh dalam
struktur kerja yang dibangun dalam lembaga keperawatan. Dalam kerjakerja teknis, laki-laki masih dianggap lebih kuat secara fisik sehingga
untuk pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik lebih, maka
laki-laki lebih dikedepankan. Sedangkan dari struktur kelembagaan yang
ada, perempuan lebih memiliki akses terhadap informasi dan kewenangan
dalam pengambilan kebijakan karena mereka menduduki posisi-posisi
penting. Sedangkan dilihat dari kualitas layanan, masyarakat masih ada
yang menganggap bahwa perempuan dianggap lebih cakap dalam
menjalankan profesi ini.
Dari analisis di atas, peneliti menyimpulkan bahwa secara
profesional, masing-masing perawat baik laki-laki dan perempuan
mengakui bahwa mereka memiliki posisi yang setara antara satu dan yang
lainnya. Namun, adanya konstruksi sosial yang terpengaruh budaya
patriarkhi memunculkan pembedaan peran gender. Pada akhirnya,
pemahaman tentang peran gender tersebut menentukan distribusi peran
dan tanggungjawab yang memperlihatkan bahwa perawat laki-laki dan
cxvi
perempuan tidaklah setara. Dalam hal pemberian pelayanan kesehatan,
secara professional tidak ada pembedaan terhadap pasien laki-laki dan
perempuan. Namun, faktor budaya dan etika masyarakat setempat
membuat pelayanan kesehatan diberikan secara luwes dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas layanan kesehatan.
B. IMPLIKASI
1. Implikasi teoritis
Dalam penelitian ini menggunakan teori aksi yang terdapat dalam
paradigma definisi sosial yang menekankan pada tindakan sosial karya
Max Weber. Secara definitif Max Weber merumuskan sosiologi sebagai
ilmu
yang
berusaha
menafsirkan
dan
memahami
(interpretatif
understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai
pada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep
dasarnya, yaitu konsep tindakan dan konsep tentang penafsiran dan
pemahaman.
Hasil penelitian ini secara teoritis mendukung teori aksi ini, dimana
pendekatan ini menekankan kepada tindakan dari perawat laki-laki dan
perawat perempuan dalam berperan menjadi perawat di Rumah Sakit
Soeradji Tirtonegoro Klaten yang dipengaruhi persepsi mereka tentang
profesi perawat yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan dan juga pada
konstruksi budaya patriarkhi yang masih melekat kuat di dalamnya.
cxvii
Pembentukan perbedaan-perbedaan gender dibentuk secara sosial dan
kultural, misalnya lewat agama dan kekuasaan. Proses panjang tersebut
kemudian membentuk persepsi manusia yang menganggap perbedaan
gender adalah sebuah kodrat yang harus diterima, seolah-olah perbedaan
tersebut terjadi secara biologis dan tak dapat diubah. Persepsi manusia
tentang gender kemudian menentukan peran-peran tertentu yang dianggap
pantas atau tidak pantas disandang perempuan atau laki-laki di dalam
masyarakat.
Dalam penelitian ini juga menggunakan teknik analisis gender. Analisis
gender merupakan sistem analisis terhadap ketidakadilan yang ditimbulkan
oleh perbedaan gender. Kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan
dapat menjadi korban ketidakadilan. Analisis gender juga membantu
peneliti untuk mengarahkan perhatian tidak hanya pada perilaku perawat
laki-laki dan perawat perempuan saja, melainkan pada sistem dan struktur
sosial yang dikonstruksi oleh keyakinan dan ideologi sosial yang bias
gender.
Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik analisis kerangka Kabber
yang menggunakan kerangka analisis gender dengan pendekatan relasi
sosial. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menganalisis ketidakadilan
gender yang ada dalam distribusi sumber daya, tanggungjawab dan
kekuasaan. Dalam pendekatan ini ada 3 komponen analisis untuk
menginterpretasikan realitas. Sasaran pembangunan sebagai kesejahteraan
manusia, konsep relasi sosial dan analisis institusional.
cxviii
2. Implikasi metodologis
Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan deskripsi tentang profesi
keperawatan secara menyeluruh tidak cukup hanya dengan melakukan
wawancara mendalam dengan para informan. Analisis sejarah diperlukan
untuk merunut bagaimana dialektika sosial yang terjadi sehingga
membentuk realitas yang sekarang ini tampak.
3. Implikasi Praktis
Secara praktis, fenomena yang diangkat dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa pada dasarnya profesi keperawatan tidak berkaitan dengan
perbedaan peran gender yang dikonstruksi di masyarakat. Namun adanya
konstruksi sosial yang terbangun sacara mapan mengakibatkan pandangan
yang membedakan peran gender tersebut masih kuat hingga kini.
C. SARAN
Dari berbagai kesimpulan diatas, peneliti mencoba memberi masukan sebagai
berikut :
1. Perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan yang menganggap
bahwa
profesi
keperawatan
identik
dengan
kaum
perempuan.
Pengubahan ini bisa dilakukan dengan memberikan pengetahuan gender
dalam pendidikan keperawatan.
2. Adanya dominasi perempuan dalam struktur kelembagaan profesi
perawat juga perlu perubahan. Artinya, setiap orang baik laki-laki
maupun perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang
cxix
dan mengembangkan profesi ini. Penentuan struktur lembaga tidak
didasarkan pada perbedaan peran gender, namun lebih kepada prestasi
kerja, komitmen terhadap profesi dan kemampuan individu.
cxx
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djojodibroto. 1997. Pelayanan Publik. Rajawali Press, Jakarta.
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta :
pustaka Pelajar
Johnson, Doyle Paul. 1989. Teori Sosiologi Klasik 2dan Modern Jilid I,
Terjemahan Robert Lawang, Gramedia, Jakarta
Johnson, Doyle Paul. 1989 . Teori Sosiologi Klasik 2dan Modern Jilid 2,
Terjemahan Robert Lawang, Gramedia, Jakarta
Lu Verne Wolf dkk . 1984. Sejarah Keperawatan, Terjemahan UI Press, Jakarta
Moleong, Lexy.1991. Metode Penelitian Kualitatif , Rosdakarya , Bandung
Miles, MB & Huberman.1982. Analisis Data Kualitatif, UI- Press, Jakarta.
Mandy,Mccdonald. 1997. Gender Planning in Development Agencies, Oxford
Oxfam publication,
Miftahudin, Fauzi Abdullah & Roem Topati Masang. 1996. Pisau Bedah Analisis
Gender : Tujuh Kerangka Analisis Gender. Terjemahan bebas dari A.
Toll Kit : Concept & Frame work for Gender Analysis &Planning.
OXFAM UK/I Gender Learning Team.
Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik.
Salemba Medika, Jakarta
Ritzer, George .1985. Sosiologi Ilmu pengetahuan Berparadigma Ganda,
Terjemahan oleh : Drs Alimandan, Rajawali Press, Jakarta.
cxxi
Saptari, Ratna& Briggitte Holzner.1997. Perempuan dan Perubahan Sosial
(Sebuah Pengantar studi Perempuan)
Suryadi, Ace & Eep Idris (2004). Kesetaraan gender (Dalam Bidang Pendidikan)
, Bandung, PT Gresindo
Susanto, Astrid (1985), Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta,
Jakarta
Slamet, Y. 2001. Teknik Pengambilan Sampel untuk penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif. Surakarta: UNS Press
Soekanto,Soerjono.1985.Kamus Sosiologi. Rajawali Press. Jakarta
Biro Pusat Statistik. 2007. Kota Klaten dalam Angka 2007. Klaten
Poloma, Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Soekanto,Soerjono.1993.Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat.
PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soekanto,Soerjono.1993. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta
Sutopo,HB. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Sebelas Maret University Press.
Surakarta
Illich Ivan. 2005. Matinya Gender. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sumber Selain Buku
Internet :
www.google.Com Januari 2009.Quality Assurance Keperawatan
www.google.Com Januari 2009.Etika Keperawatan di Indonesia
cxxii
www.google.Com Januari 2009.Sejarah Keperawatan Indonesia
www.ippni.com :”Kode etik keperawatan’’
www.klaten.co.id sejarah perkembangan kota klaten
www.university of Chicago.com Signs: Journal of Women in Culture and Society
2006, vol. 31, no. 4] 2006 by The University of Chicago
Professor Keng Chua, Centre for Media Communications and Asian Studies,
Faculty of Arts,2007 Southern Cross University, PO Box 157, Lismore, NSW
2480 Australia
Skripsi :
Windyarini, Tatik. 2005. Peran Perempuan dalam Gerakan Militan Islam
(Analisis Gender mengenai Pola Relasi dan Peran Publik Perempuan
dalam Gerakan Militan Islam di Kota Surakarta). FISIP UNS
Laili Nur. 2006. Keluarga Amalgamansi Keturunan arab dan Analisis gender
(Studi Deskriptif Kualitatif mengenai keluarga amalgamansi Keturunan
Arab di Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta)
cxxiii
Download