KESETARAAN GENDER PERAWAT LAKI-LAKI DAN PERAWAT PEREMPUAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN (Studi deskriptif kualitatif tentang Kesetaraan Gender Antara Perawat Laki-laki dan Perawat Perempuan dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro Klaten ) Disusun Guna Melengkapi Tugas-tugas dan memenuhi Syarat-syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Oleh : Guntur Prayoga D 0302030 SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009 PERSETUJUAN Telah Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Menyetujui, Pembimbing : Dra.Hj. Trisni Utami, MSi NIP. 131 792 197 ii PENGESAHAN Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Hari : Tanggal : Tim Penguji 1. Prof. Dr.RB. Soemanto MA (.............................................) NIP :130604171 Ketua 2. Drs. Th.A. Gutama NIP : 131597040 (.............................................) Sekretaris 3. Dra. Hj. Trisni Utami M.Si NIP : 131792197 (.............................................) Penguji Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Dekan Drs.H. Supriyadi SN, SU NIP. 130 936 616 iii MOTTO Sajak Air Dengan karakternya yang teduh, jernih dan bening. ”Air tetap mampu menjinakkan panasnya jilatan api yang berkobar sebesar apapun” Air menyulam wajah untuk tegar dalam segala bentuk. ”Dan ketegaran itu adalah bentuk kesabaran tak kenal henti dari air dalam mempertahankan prinsipnya di berbagai kondisi” Dalam air terkandung sifat-sifat kebebasan nan dinamis. ”Dia sanggup menerima perubahan tanpa harus takut kehilangan jati dirinya” Air punya arah yang jelas untuk maju. ”Celah sejentik kukupun tetap mampu dijadikannya ruang untuk terus mengalir sampai pada titik pemberhentian terakhirnya” (Anonim) iv PERSEMBAHAN Karya ini kupersembahkan pada laki-laki dan perempuan yang mampu menghargai sesamanya. Serta untuk yang senantiasa aku cintai dan sayangi Bapak ,Ibu , kakak dan adikku, Om dan Bulik Pranoto, keluarga Besar Subandi Hadi Sumarta serta keluarga Besar Saebani dan setiap orang yang berharga dalam hidupku. v KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya karena hanya dengan Rahmat dan Ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan sebuah karya sederhana ini sekaligus guna memperoleh gelar Sarjana. Banyak Hambatan dan Rintangan dalam menyusun skripsi dengan judul KESETARAAN GENDER PERAWAT LAKI-LAKI DAN PERAWAT PEREMPUAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN (Studi deskriptif kualitatif tentang Kesetaraan Gender Antara Perawat Laki-laki dan Perawat Perempuan dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro Klaten ) namun berkat dukungan dan semangat yang telah diberikan oleh keluarga, teman, sahabat dan para dosen karya ini dapat terselesaikan. Karya ini dapat terselesaikan bukan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Drs. Supriyadi SN, SU selaku Dekan FISIP UNS yang telah memberikan ijin melakukan penelitian. 2. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku ketua jurusan Sosiologi FISIP UNS. 3. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku dosen pembimbing yang sudah bersabar dan meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan dan petunjuknya hingga terselesaikannya skripsi ini. vi 4. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi Bimbingan kepada penulis dari semester ke semester hingga akhir studi. 5. Bapak - Ibu Dosen dan staf Sosiologi FISIP UNS yang telah berkenan memberikan ilmu dan pengetahuannya, dan seluruh birokrasi kampus yang telah mambantu. 6. Bapak “Mulyadi, BA” dan Ibu “Pratiwi, BA” yang selalu bersabar untuk memberikan nasehat-nasehatnya tanpa lelah dan selalu menopang semuanya. 7. Kakakku “Dodi” dan Adekku “Dimas” semoga kalian sukses selalu. 8. Prof. Dr. H. Arif Faisal, Sp. Rad (K), DHSM selaku direktur Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro Klaten. 9. Ibu Hj. Endang Wuryaningsih, AMK, SPd selaku kepala perawat Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro Klaten yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk penelitian ini. 10. Seluruh informan yang telah memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini. 11. Teman-teman Sosiologi 2002 : Lilik, Sigit, Rofi, Beni, Yuni, Laili, Monik. Terima kasih atas kebersamaan kalian selama ini. 12. Kawan-kawan seperjuangan di HMI Komisariat FISIP, Abdul “thanks for all” , mbak Memy, mas Harun, mas Kris, mbak Mima, Haris, Yanu, Peni, Rini, Dimas, Ageng dan anggota lainnya, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Yakin Usaha Sampai!!!!! vii 13. Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu Penyusun menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Untuk itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, Amien. Solo, 16 Mei 2009 Guntur Prayoga viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v KATA PENGANTAR ................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. ix DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv ABSTRAK ...................................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1 A. LATAR BELAKANG MASALAH ........................................ 1 B. PERUMUSAN MASALAH .................................................... 5 C. TUJUAN PENELITIAN ......................................................... 5 D. KEGUNAAN PENELITIAN .................................................. 6 E. TELAAH PUSTAKA .............................................................. 7 1. Peran................................................................................... 7 2. Konsep Gender .................................................................. 8 3. Orientasi Peran Gender ...................................................... 14 4. Implikasi Gender dalam Dunia Kerja ................................ 15 ix 5. Kesetaraan Gender ............................................................ 16 6. Perawat............................................................................... 17 7. Pelayanan Kesehatan ......................................................... 18 8. Landasan Teori .................................................................. 20 9. Kerangka Analisis Gender ................................................ 24 F. METODE PENELITIAN ........................................................ 26 1. Jenis Penelitian .................................................................. 26 2. Lokasi Penelitian ............................................................... 26 3. Jenis dan Sumber Data ...................................................... 27 4. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 28 5. Teknik Pengambilan Sampel ............................................ 29 6. Validitas Data .................................................................... 30 7. Teknik Analisa Data .......................................................... 31 BAB II DESKRIPSI LOKASI.................................................................. 34 A. PROFIL KOTA KLATEN ...................................................... 34 1. Sejarah Berdirinya Kota Klaten ........................................ 34 2. Demografi Kota Klaten ..................................................... 36 B. PROFIL RSUP SOERADJI TIRTONEGORO ....................... 41 1. Sejarah berdirinya RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro........... 41 2. Fasilitas Pelayanan RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro ........ 45 3. Organisasi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro....................... 48 C. KODE ETIK KEPERAWATAN ............................................ 50 1. Kode etik keperawatan Indonesia ....................................... 50 x 2. Prinsip Etika Keperawatan................................................... 53 BAB III PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT BERPRESPEKTIF GENDER .................................................... 56 A. PELAYANAN KESEHATAN DI MASYARAKAT.............. 56 B. STANDAR PELAYANAN KEPERAWATAN...................... 58 C. PERAN-PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN ......................................................................... 62 D. PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER ..................... 68 1. Sejarah Dunia Keperawatan .............................................. 68 2. Tugas Perawat dalam Perspektif Gender ........................... 71 3. Posisi Struktural Perawat di Rumah Sakit ........................ 73 BAB IV KESETARAAN GENDER DALAM PELAYANAN KESEHATAN ................................................... 76 A. PROFESI PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER .... 77 B. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN ............................................... 85 C. DISTRIBUSI PERAN KEPERAWATAN MENURUT PERBEDAAN GENDER ........................................................ 92 BAB V PENUTUP..................................................................................... 98 A. KESIMPULAN ....................................................................... 98 B. IMPLIKASI ............................................................................. 102 1. Implikasi Teoritis .............................................................. 102 2. Implikasi Metodologis ...................................................... 104 xi 3. Implikasi Praktis .............................................................. 104 C. SARAN .................................................................................. 104 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1 Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten ............................ 4 Tabel 2.1 Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Klaten ..................................... 38 Tabel 2.2 Penduduk Kota Klaten menurut jenis Kelamin .............................. 39 Tabel 2.3 Pegawai Pemerintah Kabupaten Klaten Menurut Unit Kerja Dan Jenis Kelamin................................................................................. 40 Tabel 2.4 Data Ketenagaan RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten................ 49 Tabel 5.1 Analisis Data Hasil Penelitian ........................................................ 84 xiii DAFTAR LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara 2. Hasil Wawancara 3. Struktur Organisasi RSUP Dr. Soeadji Tirtonegoro Klaten 4. Permohonan Ijin Penelitian dari Universitas Sebelas Maret Surakarta 5. Pengesahan Ijin Penelitian dari BAPEDA Klaten 6. Pengesahan ijin Penelitian dari RSUP Dr. Soeadji Tirtonegoro Klaten 7. Kwitansi xiv ABSTRAK Guntur Prayoga. D0302030. Tahun 2009. Kesetaraan Gender Perawat LakiLaki Dan Perawat Perempuan Dalam Pelayanan Kesehatan. Skripsi. Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang menggambarkan peran perawat laki-laki dan perawat perempuan dalam pelayanan Kesehatan di RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten serta menggambarkan dan melakukan analisis gender terhadap peran perawat dalam pelayanan kesehatan. Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara mendalam dan dokumentasi. Responden dalam penelitian ini berjumlah 10 orang perawat (6 orang perempuan dan 4 laki-laki) dan 4 orang pasien (1perempuan dan 3 laki-laki). Sedangkan untuk menjamin validitas data digunakan triangulasi sumber. Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan berdasarkan data-data yang diperoleh baik berupa data primer maupun data sekunder adalah sebagai berikut: pertama, Marginalisasi peran perempuan di ranah publik akibat dari relasi kuasa yang dibangun dan berkembang dalam profesi keperawatan membentuk stereotype bahwa profesi keperawatan merupakan profesi yang dipandang lebih cocok untuk para perempuan ketimbang laki-laki. Kedua, dilihat dari profesinya sebagai tenaga kesehatan, tidak ada perbedaan peran gender. Tugas-tugas sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang ataupun kode etik keperawatan tidak ada yang membedakan tugas perawat berdasarkan gender. Namun, dalam prakteknya, tugas-tugas pelayanan kesehatan dijalankan secara luwes dimana pembedaan peran gender masih tampak. Misalnya saat memandikan pasien, pekerjaan angkat-angkat dan sebagainya. Ini terjadi karena faktor nilainilai budaya dan moral yang diyakini masyarakat. Dari sisi pelayanan, sebagian pasien juga masih menganggap bahwa perempuan lebih luwes dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan. Ketiga, Proses marginalisasi yang memunculkan stereotype bahwa perawat merupakan pekerjaan perempuan merembet pada struktur lembaga. Dalam struktur yang tampak di RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten, perempuan masih dianggap lebih mampu dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan. Hal ini tampak dari struktur kelembagaan yang didominasi oleh kaum perempuan. Dari jumlah perawat, dapat juga dilihat bahwa perawat perempuan lebih banyak ketimbang perawat laki-laki. xv ABSTRACT Guntur Prayoga.D0302030. 2009. The equal gender between male and female nurse in healthy service. Research paper. Sociology Department. Social and politic faculty Sebelas Maret University of Surakarta. This Research is the descriptive qualitative research which is describintg the role of the male and female nurse in healthy service at RSUP Dr. Soeradji tirtonegoro Klaten also describing and gender analyze to the nurse’s role in healthy service. The sample of this research was taken by using purposive technique sampling. In collecting data, the writer uses interview and document. The respondents of this research are ten nurses (six female nurses and four male nurses) and four patients (female and three male patients). While, for the validity of the data uses triangulatuion source. The result of this research based on the primary and secondary data, it can be seen: first, marginalization of the role of women in public because the power relationship which was built and expended in the nurse proffesion is a proffesion in which it is more suitable for woman rather than for man. Second: viewed from the proffesion as healthy service. There is no difference of gender’s role. The duty such as there is in law and the erthics nurse code. There is no difference duty of the nurse based on the gender. However, in practice the duty in healty service do flexibility where is the difference of gender still appear, such as when taking a bath for the patient, removed the patient and etc. It is happen because the cultures value and moral factor that believed by society. From service side, a half of patients still believe that the woman is more flexibility in doing the nurse duty. Third : marginalization process makes stereotype in which nurse proffesion is the women’s job hampered to the Institute Structure. The structure at RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten, the woman is considered more capable to do the nurse’s duty. It can be seen in Institute structure in which it is dominated by woman. From the amount of the nurse, also it can be seen which the female nurse is more than male nurse. xvi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia adalah kebutuhan akan kesehatan, selain kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Penting artinya kebutuhan kesehatan bisa dipenuhi oleh manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya manusia tidak lepas dari bantuan aktifitas orang lain. Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, peri kehidupan dalam keseimbangan serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. (UU RI NO 23 TAHUN 1992 Bab II pasal 2 dan 3) Dapat dilihat dalam UU RI NO 23 TAHUN 1992 Bab II pasal 2 dan 3 yang tertulis diatas bahwa pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup agar setiap orang mampu meningkatkan derajat kesehatannya. Dengan kepercayaan bahwa kita mampu melaksanakan pembangunan kesehatan dengan sumber daya yang ada. xvii Dalam pelaksanaan upaya kesehatan banyak melibatkan instansi baik itu pemerintah maupun swasta. Selama ini telah dibangun berbagai sarana dan prasarana kesehatan seperti, Rumah Sakit, Puskesmas, laboratorium, klinik, perusahaan farmasi, apotek 24 jam dan lain sebagainya. Namun biaya untuk mencapai kondisi sehat ternyata tidaklah murah bahkan cenderung semakin mahal. Dengan adanya pembiayaan yang semakin meningkat, maka pemerintah berupaya membantu upaya kesehatan masyarakat. Salah satu upaya pemerintah itu diwujudkan dengan jalan mendirikan Rumah Sakit Pemerintah, dengan rumah sakit pemerintah masyarakat dapat menggunakan fasilitas kesehatan yang disediakan rumah sakit sesuai dengan kebutuhannya dengan harga terjangkau. RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten yang merupakan rumah sakit pemerintah yang ada di Klaten turut membantu upaya kesehatan masyarakat dengan biaya terjangkau. Pembangunan di bidang kesehatan khususnya di rumah sakit bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelaksanaan rujukan medik dan rujukan kesehatan secara terpadu. Rumah sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan dituntut oleh masyarakat sebagai penerima jasa layanan kesehatan untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanannya. Krisis moneter yang berkepanjangan membawa dampak buruk bagi masyarakat dan semakin menurunkan kesehatan masyarakat, apalagi masyarakat yang ekonominya rendah dan miskin. Proses pelayanan kesehatan pun mengalami proses liberalisasi yang berdampak pada ketimpangan pelayanan dari segi kualitas, stratifikasi sosial dan juga perbedaan jenis xviii kelamin. Pola pelayanan kesehatan masih menganggap pasien hanya sebagai obyek pelayanan. Perawat sebagai salah satu komponen yang penting di dalam rumah sakit mempunyai peran yang cukup besar untuk membantu meningkatkan pelayanan kesehatan. Jenis pekerjaan perawat digambarkan sebagai pekerjaan yang cenderung sebagai pekerjaan perempuan, karena dalam pelaksanaannya membutuhkan sifat kelembutan dan kesabaran dan lebih mengedepankan emosi. Sebelum menjadi perawat pun sudah dibekali dengan pendidikan caracara merawat yang sering dianggap kerja perempuan. Budaya yang berkembang dalam masyarakat khususnya masyarakat Jawa, perempuan lebih dikenal dengan konco wingking sehingga pekerjaan perawat pun seolah-olah hanya bisa dikerjakan perempuan. Sesuai dengan perkembangan sosial yang ada maka banyak lelaki menjadi tertarik untuk menjadi perawat dengan ikut melaksanakan tugas yang sebelumnya digambarkan sebagai tugas perempuan. Jelas bahwa tidak ada aturan yang mengikat bahwa seorang perawat harus perempuan. Untuk menjadi seorang perawat ditentukan atau dilihat bagaimana kemampuan yang dimiliki baik itu laki-laki maupun perempuan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut serta bagaimana kesempatan yang diberikan pada laki-laki dan perempuan untuk mengaktualisasikan kemampuan dirinya. Untuk dapat mengetahui sejauh mana komposisi perawat Laki-laki dan Perempuan dapat kita lihat pada tabel sebagai berikut : xix Tabel 1.1 Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Data Per Februari 2007 Tingkat Pendidikan S1 Keperawatan D3 Keperawatan SPK PK D4 Kebidanan D3 Kebidanan D3 Anestesi Bidan D3/SPRG/P Gigi DK/PK Jumlah Laki-Laki 7 98 20 1 1 127 Perempuan 11 31 1 9 1 24 2 247 Sumber : Data Bidang Perawat RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa komposisi Perawat Laki-laki masih kecil jika dibandingkan dengan perawat perempuan 39,06% untuk perawat laki-laki dan 66,04% untuk perawat perempuan. Dengan jumlah perawat yang masih relatif lebih kecil dibanding perawat perempuan itulah sebabnya kenapa prestasi perawat laki-laki menjadi relatif. Walaupun pada tugas tertentu perawat laki-laki mendapat simpati. Sudah seharusnya perawat laki-laki harus meningkatkan profesionalitasnya sebab keterbatasan anggota perawat laki-laki akan sangat berpengaruh pada kinerjanya. Mereka harus lebih bersikap dewasa dan memantapkan diri dalam setiap tugas pelayanan yang diembannya, termasuk menghilangkan citra buruk laki-laki, baik di rumah maupun pada saat tugas. Pemberian kesempatan yang sama disamping akan lebih menunjukkan penghormatan pada gender di lingkungan perawat, sedikit banyak diharapkan juga akan mengurangi stigma negatif di lingkungan perawat. Sosok jati diri seorang perawat laki-laki memiliki sifat maskulin namun mempunyai sisi xx feminis. Melalui pemberian kesempatan itulah perawat laki-laki akan mempunyai kesempatan yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai bagian integral dari perawat. Hubungan antara perawat dengan pasien sangat menentukan kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat tersebut. Perawat harus mampu memberikan pelayanan yang optimal pada sebagian kliennya. Banyak kejadian yang mengeluhkan bagaimana pelayanan perawat di rumah sakit seperti ada pembedaan terhadap pelayanan terhadap jenis kelamin tertentu. B. PERUMUSAN MASALAH Dari latar belakang penelitian tersebut di atas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimanakah kesetaraan gender dalam pembagian peran antara perawat laki-laki dan perawat perempuan? b. Bagaimana pelayanan yang diberikan oleh perawat RSUP Soeradji Tirtonegoro dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien laki-laki dan perempuan ? C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kesetaraan gender dalam pembagian peran antara perawat laki-laki dan perawat perempuan. xxi 2. Untuk mengetahui pelayanan yang diberikan oleh perawat RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten dalam memberikan pelayanan Kesehatan kepada masyarakat. D. KEGUNAAN PENELITIAN Disamping untuk menjawab permasalahan dalam perumusan masalah penelitian , hasil dari penelitian ini dapat berguna untuk menambah wacana bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian serupa berikutnya. Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat : 1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan bagi penelitian yang terkait dalam permasalahan gender dalam keperawatan. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pihakpihak yang berkepentingan atau pihak terkait untuk mengambil kebijakan yang berkaitan dengan isu gender. 3. Hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan bagi pihak rumah sakit dalam pembagian peran dan tugasnya, agar perawat mampu bekerja secara efektif dan mampu meningkatkan profesionalismenya. xxii E. TELAAH PUSTAKA 1. Peran Peran sering diartikan sebagai serangkaian perilaku yang diharapkan dituntut oleh masyarakat terhadap individu atau pun organisasi yang memegang kedudukan tertentu dalam masyarakat. Setiap orang akan melakukan perannya ketika menjalankan hak dan keawajiban sesuai dengan kedudukannya. Setiap orang akan menjalankan peran yang berbeda dimana dalam setiap peran tersebut diharapkan dilakukan dengan cara-cara tertentu. Dalam kamus sosiologi dijelaskan bahwa peran (role) meliputi : 1) aspek dinamis dari kedudukan 2) perangkat hak-hak dan kewajiban 3) perilaku aktual dari pemegang kedudukan 4) bagian dari aktivitas yang dimainkan seseorang (Soekamto,1985:400) Peran yang melembaga merupakan seperangkat harapan perilaku yang membatasi kebebasan seseorang untuk memilih. Jadi, perilaku peran yang dilembagakan diarahkan oleh harapan peran, bukan oleh preferensi pribadi. Rumah Sakit dalam hal ini merupakan organisasi yang didalamnya terdapat aturan atau norma yang mengikat anggotanya dalam berhubungan. Dan hubungan tersebut akan tetap terjaga apabila masing- xxiii masing anggotanya menjalankan sejumlah perilaku yang diharapkan menurut aturan norma yang berlaku dalam organisasi tersebut. Identitas peran terdiri dari gambaran yang bersifat ideal yang dimiliki oleh individu sebagai orang yang menduduki posisi sosial. Seorang individu memiliki sejumlah identitas peran yang berhubungan dengan berbagai posisi sosial yang mereka miliki dan berbeda-beda tingkatan dalam perbandingannya satu sama lain. Identitas peran ini diungkapkan secara terbuka dalam melaksanakan peran dan membantu menentukan pentingnya suatu identitas peran tertentu dalam konsep diri seseorang secara keseluruhan.(Johnson, 1986:38). Jadi peran merupakan sesuatu yang diharapkan lingkungan untuk dilakukan seseorang atau kelompok yang karena kedudukannya dapat memberi pengaruh pada lingkungan tersebut. Adapun yang dimaksud dengan peran perawat laki-laki dan perawat perempuan dalam hal ini adalah serangkaian tindakan yang diharapkan dilakukan oleh perawat laki-laki dan perawat perempuan dalam organisasi rumah sakit, baik itu dalam program kerja organisasi , dalam pengambilan setiap kebijakan maupun dalam setiap kegiatan atau aktivitas yang dilakukan dalam organisasi. 2. Konsep Gender Konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. xxiv Misalnya, perempuan lebih dikenal dengan sifat lemah lembut, keibuan, emosional dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa. Ciri dari sifat-sifat tersebut sebenarnya bisa dipertukarkan. Artinya masing-masing, baik kaum laki-laki maupun perempuan memiliki sifat-sifat tertentu. Sejarah mengenai pembedaan gender terjadi melalui proses panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender bisa disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah proses sosialisasi dan bahkan proses konstruksi sosial lewat berbagai interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Pembentukan perbedaan-perbedaan gender dibentuk secara sosial dan kultural, misalnya lewat agama dan kekuasaan. Proses panjang tersebut kemudian membentuk persepsi manusia yang menganggap perbedaan gender adalah sebuah kodrat yang harus diterima, seolah-olah perbedaan tersebut terjadi secara biologis dan tak dapat diubah. Konstruksi sosial gender secara perlahan berpengaruh terhadap proses biologis masing-masing kelamin. Misalnya, karena adanya konstruksi sosial, seorang laki-laki harus memiliki sifat kuat. Maka kaum laki-laki tersosialisasi dan termotivasi untuk menjadikan dirinya kuat untuk memenuhi sifat yang dianggap umum oleh masyarakat tersebut. Sebaliknya, karena dalam konstruksi sosialnya perempuan harus bersikap lemah lembut, maka sejak bayi, proses sosialisasi yang dibangun perempuan mengarah pada sifat tersebut. Proses sosialisasi yang berlangsung secara mapan pada akhirnya mempengaruhi secara fisik dan xxv psikis hingga pada akhirnya ada kesulitan untuk membedakan apakah sifat-sifat tersebut merupakan sifat dasar manusia atau hasil dari proses konstruksi sosial. Namun, jika kita berpedoman pada keyakinan bahwa sepanjang sifat-sifat tersebut masih bisa dipertukarkan, maka sifat-sifat tersebut adalah hasil bentukan masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat. Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara tersirat, masyarakat mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin dan maskulin dalam diri tiap manusia (laki-laki maupun perempuan) walaupun masih ada keterikatan dengan stereotype tentang laki-laki dan perempuan secara umum. Konsep maskulin dan feminin menurut Gita Rajan merupakan konsep yang saling terhubung secara inheren satu dengan yang lain. Seperti yang diungkapkan dalam kutipan berikut ini : Masculinity and femininity are inherently relational concepts, which have meaning in relation to each other, as a social demarcation and a cultural opposition. This holds regardless of the changing content of the demarcation in different societies and periods of history. Masculinity as an object of knowledge is always masculinity-inrelation. Gita Rajan (Signs: Journal of Women in Culture and Society 2006, vol. 31, no. 4] 2006 by The University of Chicago.) Seks berkaitan dengan karakteristik biologis dan fisik seperti genital, organ reproduksi, kromosom dan hormone, yang membedakan laki laki dan perempuan. Karakteristik biologis ini tidak saling terlepas satu sama lain sepenuhnya karena ada individu yang memiliki keduanya dan sebenarnya keduanya tidak saling terlepas satu sama lain tetapi xxvi merupakan satu continuum. Karakteristik ini dapat membedakan manusia atas laki laki dan perempuan (Coleman, 2007). Bila sex merupakan identitas biologis, gender merupakan identitas sosial atau konstruksi sosial yang melekat pada laki laki dan perempuan. Gender berarti menjadi laki laki atau perempuan yang mungkin saja berbeda dengan seperangkat kromosom yang dimiliki seseorang. Gender berkaitan dengan peran, hak, tanggung jawab, kemungkinan dan keterbatasan yang dipunyai laki laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Gender merupakan atribut sosial yang terkait dengan bagaimana kita berpikir, apa yang kita yakini tentang apa yang boleh (bisa dilakukan) atau tidak boleh (tak bisa dilakukan) terkait dengan konsep sosial tentang maskulin dan feminim. Gender ditentukan berdasarkan karakteristik sosial yang didapat melalui sosialisasi, sedangkan sex ditentukan sejak seseorang dilahirkan. Sex bersifat menetap sedangkan gender (dan peran gender) berubah sepanjang waktu dan bervariasi tergantung budaya. Gender membentuk kesempatan yang bisa diraih seseorang dalam hidupnya, peran-peran yang dapat ia mainkan dan bentuk bentuk hubungan yang dipunyai seseorang norma sosial yang sangat kuat berpengaruh. Peran Gender diperkuat oleh institusi sosial yaitu keluarga, sekolah, institusi Negara/tempat kerja dan lain lain. Proses konstruksi sosial di atas mendapat kritik dari Profesor Keng Chua yang menghendaki adanya redefinisi konsep gender karena xxvii perkembangan yang terjadi di masyarakat. Seperti yang terungkap dalam kutipan berikut ini : In the past, gender was conflated with biological sex, we can now think in terms of gender construction and re-construction. Simone de Beauvoir first hit on this in her seminal work, The Second Sex (1949) which critiques the hierarchical binary structure of gender organisation of her generation. In her thesis that ` a woman is not born, she is made', she paved the way for a re-thinking of gender spaces, roles, ideologies, values, beliefs and behaviour. Gender has come to be thought of not as essentially given, but as socially and culturally constructed, not as hierarchical and fixed but as equitable and fluid. (Professor Keng Chua, Centre for Media Communications and Asian Studies, Faculty of Arts,2007 Southern Cross University, PO Box 157, Lismore, NSW 2480 Australia [email protected] Proses kontruksi sosial yang berlangsung sangat lama dan turun menurun dapat menjadikan terjadinya perbedaan Gender. Perbedaan gender menimbulkan ketidakadilan gender, ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Adapun manifestitasi dari ketidakadilan gender adalah sebagai berikut : 1) Marginalisasi Merupakan proses pemiskinan ekonomi terhadap perempuan karena perbedaan gender, dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan. xxviii 2) Subordinasi Subordinasi adalah suatu pandangan yang merendahkan satu jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga tidak bisa memimpin. Dalam rumah tangga, masyarakat dan negara banyak kebijaksanaan yang dibuat tanpa menganggap penting kaum perempuan. 3) Stereotype Merupakan bentuk pelabelan pada suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu. Pelabelan yang dikonstruksi secara sosial terhadap perempuan adalah bahwa mereka merupakan makhluk yang hanya bisa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang halus saja. 4) Kekerasan Kekerasan merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang bersumber dari anggapan gender pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Kekerasan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki. 5) Beban Ganda Merupakan pembebanan yang diakibatkan adanya peran domestik perempuan. Perempuan identik dengan pekerjaan rumah tangga mereka disamping mereka harus bekerja di luar rumah. Sehingga perempuan mempunyai beban ganda. xxix 3. Orientasi Peran Gender Laki laki dan perempuan mempunyai tugas dan kegiatan yang berbeda, mempunyai lingkungan sosial yang berbeda. Mereka diharapkan berperilaku berbeda. Laki laki dan perempuan diharapkan mengenakan baju, permainan, minat, ketrampilan dan kompetensi dan mobilitas sosial yang berbeda. Gender berkaitan dengan posisi perempuan dan laki laki berkaitan dengan struktur kekuasaan (power). Orientasi peran gender oleh Tang & Tang (2001) didefinisikan sebagai kepemilikan seseorang atas sifat-sifat kepribadian stereotip maskulin dan feminin yang diharapkan masyarakat. Sementara menurut Raguz (1991) orientasi peran gender adalah persepsi seseorang tentang maskulinitas dan femininitas dalam dirinya. (www.jurnalperempuan.com) Menurut Constantinople (dalam Spence & Buckner, 1995), femininitas dan maskulinitas berada pada dua kutub yang berlawanan. Pemikiran ini kemudian melahirkan sejumlah pertanyaan akan validitas konsep, karena dirasakan banyak sifat yang berada dalam domain feminin dan domain maskulin tidak berhubungan satu dengan yang lainnya (sifat feminin bukan merupakan lawan dari sifat maskulin, dan sebaliknya). Spence & Buckner (1995) menegaskan bahwa sifat-sifat yang telah disebutkan tadi tidak berkorelasi sama sekali, sehingga sifat-sifat dalam domain feminin dan domain maskulin pun tidak perlu memiliki korelasi yang kuat satu dengan yang lainnya. xxx Spence & Helmreich menyatakan bahwa karakteristik instrumentality sering dikaitkan dengan maskulin, sedangkan karakteristik expresiveness sering dikaitkan dengan feminin. Lebih lanjut lagi dijelaskan karakteristik maskulin antara lain mandiri, mudah membuat keputusan dan tidak mudah menyerah, sedangkan karakteristik feminin antara lain adalah emosional, suka menolong orang lain serta memahami perasaan orang lain. (www.jurnalperempuan.com) 4. Implikasi Gender dalam Dunia Kerja Salah satu bidang yang terkena imbas kerancuan “sex” dan “gender” adalah bidang kerja. Menurut Novarra jika seorang perempuan harus bekerja, maka apa yang dikerjakannya di luar rumah tidak jauh dari perannya dalam rumah tangga. Bahkan di awal era kesetaraan gender, masih ada pendapat bahwa tabu hukumnya bagi kaum perempuan untuk bergerak di bidang politik atau bidang publik, jika perannya tidak sebangun dengan perannya dalam rumah tangga. Misalnya adalah bidang kerja yang terkait dengan pengasuhan anak, pengurusan rumah tangga, pembuatan pakaian, perawatan orang sakit dan cacat, dan pendidikan. Perbedaannya terletak pada lokasi kerja, yaitu di luar rumah, dan dengan bekerja di luar rumah perempuan pekerja mendapat imbalan atas jasanya. (www.google.com”gender dalam dunia kerja”) Pendapat ini perlahan-lahan mulai disanggah dengan adanya fakta semakin banyak perempuan yang membebaskan diri dari peran xxxi tradisionalnya dan lebih terlibat pada kehidupan publik, bahkan berada di tampuk kepemimpinan. Selain itu, kini semakin banyak pula institusi-institusi profesional yang menangani “pekerjaan-pekerjaan perempuan” tersebut dengan sejumlah karyawan laki-laki terlibat atau bahkan berperan penting di dalamnya (Vianello, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa kini dunia kerja lebih menitikberatkan faktor kemampuan individu dan mulai meninggalkan pendapat konvensional tentang pembagian kerja menurut jenis kelamin. Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara tersirat, masyarakat mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin dan maskulin dalam diri tiap manusia walaupun masih ada keterikatan dengan stereotip tentang laki-laki dan perempuan secara umum. 5. Kesetaraan Gender Pola perilaku dan kegiatan laki-laki dan perempuan merupakan konstruksi secara sosial yang membentruk identitas. Semenjak dulu sudah dikonstruksikan bahwa peran gender memang sudah ada dan merupakan kodrat manusia, ditambah dengan proses sosialisasi gender yang sudah sangat lama didukung adanya legitimasi agama dan budaya. Maka semakin kuat interpretasi orang bahwa perbedaan peran, posisi dan sifat perempuan dan laki-laki adalah kodrat. Padahal baik peran posisi dan sifat ini adalah bentukan sosial dan budaya yang disebut gender. xxxii Kesetaraan gender adalah suatu keadaan dimana terjadi kesetaraan atau keadilan sosial antara laki-laki dan perempuan. (Mandy Maccdonald,1997:xii) Suatu keadaan yang diisyaratkan oleh pengertian tersebut adalah penerimaan martabat kedua jenis kelamin dengan ukuran yang setara. Orang harus mengakui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Keduanya memiliki hak yang setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan. Tujuan dari kesetaraan gender tidak sekedar memperbaiki status perempuan yang indikatornya norma laki-laki, melainkan memperjuangkan martabat dan kekuatan perempuan. Hal tersebut menuntut perubahan peran baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini kekuatan bukan berarti mendominasi yang lain. Kesetaraan gender sesuai dengan di atas adalah situasi sosial yang memberi pemahaman terhadap laki-laki dan perempuan dalam menghayati bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama. 6. Perawat Perawat adalah orang yang melakukan proses keperawatan. ( Lu Verne Wolf dkk 1984: 4 ) Perawatan ialah memberikan pelayanan pembinaan kesehatan yang diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan xxxiii kesehatan serta membantu orang dengan cara sebaik mungkin masalah kehidupan sehari-hari, penyakit dan cidera, cacad maupun kematian. Dalam melakukan praktek keperawatan terdapat standar praktek yang harus dipenuhi oleh perawat, standar praktik keperawatan di Indonesia ditentukan oleh PPNI terdiri dari : 1. Pengkajian 2. Diagnosa Keperawatan 3. Perencanaan 4. Implementasi 5. Evaluasi 7. Pelayanan Kesehatan Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya melakukan aktivitasnya sendiri maupun secara tidak langsung melalui aktivitas orang lain. Proses Kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung disebut pelayanan. Menurut KepMen PAN No. 63 Tahun 2003 Pelayanan publik adalah pelayanan yang wajib diselenggarakan oleh negara untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau hak-hak dasar warga negara (publik). Ada tiga jenis pelayanan publik a. Pelayanan Barang b. Pelayanan Administratif c. Pelayanan Jasa xxxiv Pelayanan Kesehatan merupakan salah satu pelayanan jasa yang penting untuk diperhatikan sesuai dengan tujuan dari pembangunan Kesehatan yang tertuang dalam UU Kesehatan nomor 23 Tahun 1992, masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Sedangkan menurut sistem kesehatan Nasional rumah sakit mempunyai fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Akan tetapi walaupun bersifat sosioekonomi namun diusahakan agar bisa mendapatkan suatu keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi. Dan menurut Keputusan Menkes RI Nomor 983/SK/Menkes/XI/92, rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Begitu pula dengan RSUP Soeradji Tirtonegoro yang ada di Klaten mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa membedakan kelas sosialnya, baik itu dari golongan miskin ataupun dari golongan mampu maupun membedakan dari jenis kelamin tertentu. Ada dua jenis pelayanan yang diberikan rumah sakit : 1. Pelayanan Langsung xxxv Pelayanan langsung merupakan pelayanan yang berbentuk pemeriksaan, pengobatan, perawatan, tindakan medis, tindakan diagnotis serta tindakan penunjang medis. 2. Pelayanan tidak langsung Pelayanan tidak langsung merupakan pelayanan yang berupa pendukung kelancaran pelayanan langsung yaitu pelayanan administratif. (Djojodibroto 1997:29) Keseteraan gender dalam pelayanan kesehatan merupakan salah satu aspek penting dalam pelayanan kesehatan. Pelayanan yang diterima oleh pengguna layanan rumah sakit tentunya mendapatkan perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki. Pada penelitian ini akan melihat pelayanan perawat yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu dan terhadap status sosial tertentu yang dimiliki oleh pasien baik itu dari golongan miskin maupun dari golongan kaya. 8. Landasan Teori Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma definisi sosial. Weber sebagai pemuka eksemplar dari paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai tindakan sosial antar hubungan sosial. Yang dimaksud dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. (Ritzer,1992:4) xxxvi Penelitian ini mengacu pada disiplin ilmu sosiologi. Sosiologi menurut Pitirin Sorokin didefisinikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari: 1). Hubungan dan pengaruh timbal balik antara macam gejalagejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan lain sebagainya). 2). Hubungan dan pengaruh timbal balik antara macam gejalagejala non sosial ( misalnya gejala geografis, biologis, dan sebagainya) 3). Ciri-ciri semua jenis gejala sosial ( Soekanto,1990:21) Secara umum, obyek kajian sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan antar manusia dengan masyarakat. Mac Iver dan Page mengatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antar berbagai kelompok dan penggolongannya, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasankebebasan manusia. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan mayarakat selalu berubah ( Soekanto,1990:21). Secara definitif Max Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasarnya : xxxvii pertama, konsep tindakan sosial, kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu, Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu : 1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata. 2. Tindakan nyata , bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif. 3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. 4. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu. (Ritzer,1992:45) Berdasarkan judul penelitian, peneliti menggunakan Action Theory karya Max Weber. Beberapa asumsi dasar (fundamental) dikemukakan oleh Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki, dan Parsons sebagai berikut: 1) Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. xxxviii 2) Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi, tindakan manusia bukan tanpa tujuan. 3) Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut. 4) Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat diubah dengan sendirinya. 5) Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya. 6) Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan. 7) Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi atau simpatik rekonstruktion atau seakan-akan mengalami sendiri (Ritzer, 2002:53-54). Melalui rasionalitas sebagai konsep dasar Max Weber melakukan klasifikasi mengenai tipe-tipe tindakan sosial: 1) Rasionalitas Instrumental (Zwerk Rasionalitas) Tingkat rasionalitas yang tertinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang diperlukan untuk mencapainya. xxxix Sesudah itu dilaksanakan orang dapat menentukan secara obyektif sesuatu yang berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai. 2) Rasionalitas yang Berorientasi Nilai (Werkrasionalitas) Dibandingkan dengan rasional instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alatalat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. 3) Tindakan Tradisional Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat non rasional. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang karena meningkatnya rasionalitas instrumental. 4) Tindakan Afektif Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. (Johnson,1986:219-222) 9. Kerangka Analisis Gender Untuk memberikan batasan dalam analisis, peneliti menggunakan kerangka analisis gender dengan pendekatan relasi sosial. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menganalisis ketidakadilan gender yang ada dalam distribusi sumber daya, tanggungjawab dan kekuasaan. Dalam pendekatan ini ada 3 komponen analisis untuk menginterpretasikan realitas. xl a. Sasaran pembangunan sebagai kesejahteraan manusia Dalam pendekatan ini, pembangunan didasarkan pada tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Dalam hal pelayanan kesehatan, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan tujuan tersebut. b. Konsep relasi sosial Relasi sosial menggambarkan hubungan secara struktural di masyarakat yang menciptakan dan memproduksi perbedaan dalam penempatan posisi seseorang di masyarakat. Konsep ini memberi makna tentang kesadaran individu, peran dan tanggungjawab individu serta hubungan antara individu dan masyarakat. Dalam konteks penelititan ini, analisis ditekankan pada pemahaman informan tentang relasi yang dibangun dalam dunia keperawatan baik dalam tataran pembagian peran dan tanggungjawab. c. Analisis institusional Analisis institusional memberikan gambaran tentang distribusi peran dan tanggungjawab yang dibangun dalam sebuah struktur kelembagaan serta faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap struktur kelembagaan yang dibangun. Dalam konteks penelitian ini, analisis dilakukan terhadap struktur Bidang keperawatan yang ada di RSUD Soeradji Tirtonegoro. xli F. METODE PENELITIAN 1. Jenis penelitian Dalam penelitian ini menggunakan bentuk penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (Moleong, 2002:3 ). Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini dihasilkan data-data yang berupa kata-kata dan pernyataan baik secara lisan maupun tulisan. Penelitian ini mendeskripsikan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi pembagian fungsi dan peran antara perawat laki-laki dan perawat perempuan di Rumah Sakit dalam pelayanan Kesehatan. Dalam penelitian jenis ini, peneliti berusaha menghimpun fakta dengan cermat tanpa berusaha melakukan hipotesa. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Klaten. Adapun alasan pemilihan lokasi ini adalah: a. Di RSUP Soradjie Tirtonegoro terdapat banyak jumlah perawat perempuan daripada perawat laki-laki. b. Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro adalah satu-satunya Rumah Sakit umum Pemerintah rujukan bagi warga klaten untuk pelayanan kesehatan. xlii c. Secara historis Klaten dekat dengan keraton baik itu Surakarta maupun Jogjakarta berpengaruh terhadap Kebudayaan Jawa yang kental dengan Budaya Patriarkhi, tentunya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. 3. Jenis dan Sumber Data Jenis sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Jenis data primer yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah informasi tentang kesetaraan gender dalam pembagian tugas dan peran perawat yang didapat dari perawat laki-laki dan perawat perempuan di RS Soeradji Tirtonegoro Kabupaten Klaten. Data hasil wawancara diperoleh dari informan sebagai berikut : Key person: Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K selaku kepala bidang perawat RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten Perawat Laki-Laki Warsana Joko Mulyono Bapak Agus Jarot Perawat Perempuan Ibu Puji xliii Ibu Tri Maryanti Ibu Suyatun Fitri Nuraini Tatik Handayani Sri Wahyudati b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh bukan secara langsung dari sumbernya. Dalam penelitian ini sumber data sekunder yang kami pilih adalah sumber tertulis seperti : buku mengenai perawat, masalah gender dan sosiologi, majalah, arsip, dokumen, jurnal serta hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan masalah penelitian ini. 4. Teknik pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk mendapatkan data dalam suatu penelitian. Untuk mendapatkan data sepenuhnya dari lapangan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a) Wawancara mendalam (in-dept interviewing) Wawancara ini bersifat sangat lentur dan terbuka, pertanyaan yang diajukan bisa semakin terfokus sehingga informasi yang dikumpulkan semakin rinci dan mendalam. Kelonggaran dan kelenturan cara ini akan mampu mengorek kejujuran informan untuk membeikan informasi yang sebenarnya. Sehingga dari wawancara ini akan diperoleh informasi yang akurat mengenai kesetaraan gender dalam xliv perawat, terutama yang berkaitan dengan sikap, pandangan dan persepsi perawat mengenai peran dan tugasnya. b) Dokumentasi Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang bersumber dari dokumen, arsip, jurnal dan sebagainya yang terdapat di perawat. 5. Teknik Pengambilan Sampel Untuk pengambilan sampel digunakan tehnik purposive sampling. Menurut Moleong (2002:165) bahwa purposive sampling mempunyai maksud menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber bangunannya dan untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang akan muncul. Di dalam penelitian dengan purposive sampling dilakukan dengan dua tahap, pertama mengidentifikasi seseorang yang akan kita angkat sebagai informan yang memenuhi syarat tujuan penelitian sebagai key person, yaitu Kepala Perawat yang dianggap paling mengerti tentang kegiatan, tingkat kesejahteraan, akses, kontrol, kesadaran kritis dan partisipasi pada masing-masing bagian perawat Rumah Sakit. Tahap kedua adalah mewawancarai orang-orang yang telah disebut atau direkomendasikan oleh informan pertama yang kemudian adalah sebagai informan kedua dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan. xlv 6. Validitas Data Ada 4 macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik trianggulasi terhadap data (sumber) yaitu dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Patton,1987:331). Hal itu dapat dicapai dengan jalan : a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. b. Membandingkan apa yang dilakukan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. c. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada maupun pemerintah. e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dengan tujuan yang terpenting adalah bisa mengetahui adanya alasan-alasan terjadinya perbedaaan-perbedaaan bukan hanya mengharapkan kesamaan bahwa pandangan, hasil perbandingan pendapat Moleong,1998:195) xlvi dan tersebut merupakan pemikiran. (Lexy 7. Teknik Analisa Data Analisis data dapat diartikan sebagai proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola kategori dalam satu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskannya hipotesa kerja yang disarankan oleh data. Analisis data terdiri dari tiga komponen yang terjadi dalam proses bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Model ini disebut dengan interactive model of analisis yang digambarkan sebagai berikut. Pengumpulan Data Reduksi Data Penyajian Data Penarikan Kesimpulan Sumber: Analisis Data Kualitatif, Miles dan Huberman (UI-Press,1992) Keterangan : a. Reduksi Data Proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis lapangan. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian yang dimulai dari pengumpulan data dimulai. Reduksi data sudah dimulai xlvii sejak peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja yang dipakai. Pada saat data berlangsung, reduksi data dapat berupa ringkasan, mengkode, memusatkan tema, membuat batasan penelitian, maupun menulis memo. Proses reduksi data ini berlangsung sesudah penelitian lapangan dan sampai laporan akhir penelitian ini selesai. b. Penyajian Data Penyajian data merupakan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan dapat mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Penyajian data dalam hal ini meliputi berbagai macam matriks, skema, jaringan kerja, keterikatan kegiatan dan tabel. Hal itu merupakan kegiatan yang dirancang untuk merakit secara teratur agar mudah dilihat dan dimengerti sebagai informasi yang lengkap dan saling mendukung. c. Penarikan Kesimpulan Dari pengumpulan data peneliti telah mengerti tentang apa arti dari hal-hal temuan di lapangan dan mencatat keteraturan pola-pola, arahan sebab-akibat. Namun demikian peniliti tidak terpancang secara kuat terhadap hal-hal tersebut, tetap terbuka dan skeptis menuju pada kesimpulan lebih jelas, rinci dan kokoh. Dalam interactive model of analisis, tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data merupakan siklus dan interaktif. Peneliti xlviii bergerak di antara ke empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data selanjutnya bergerak bolak-balik di antara kegiatan itu yaitu reduksi, penyajian data dan penarikan kesimpulan. xlix BAB II DESKRIPSI LOKASI A. PROFIL KOTA KLATEN 1. Sejarah berdirinya Kota Klaten Ada dua versi yang menyebut tentang asal muasal nama Klaten. Versi pertama mengatakan bahwa Klaten berasal dari kata kelati atau buah bibir. Kata kelati ini kemudian mengalami disimilasi menjadi Klaten. Klaten sejak dulu merupakan daerah yang terkenal karena kesuburannya. Versi kedua menyebutkan Klaten berasal dari kota Melati. Kata Melati kemudian berubah menjadi Mlati. Berubah lagi jadi kata Klati, sehingga memudahkan ucapan kata Klati berubah menjadi kata Klaten. Versi ke dua ini atas dasar kata-kata orangtua sebagaimana dikutip dalam buku Klaten dari Masa ke Masa yang diterbitkan Bagian Ortakala Setda Kab. Dati II Klaten Tahun 1992/1993. Melati adalah nama seorang kyai yang pada kurang lebih 560 tahun yang lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara. Kyai Melati Sekolekan, nama lengkap dari Kyai Melati, menetap di tempat itu. Semakin lama semakin banyak orang yang tinggal di sekitarnya, dan daerah itulah yang menjadi Klaten yang sekarang. Dukuh tempat tinggal Kyai Melati oleh masyarakat setempat lantas diberi nama Sekolekan. Nama Sekolekan adalah bagian darinama Kyai l Melati Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pula Kyai Melati dimakamkan. Kyai Melati dikenal sebagai orang berbudi luhur dan lagi sakti. Karena kesaktiannya itu perkampungan itu aman dari gangguan perampok. Setelah meninggal dunia, Kyai Melati dikuburkan di dekat tempat tinggalnya. Menurut versi dari beberapa kalangan daerah Kabupaten Klaten semula adalah bekas daerah swapraja [Surakarta]. Kasunanan Surakarta terdiri dari beberapa daerah yang merupakan suatu kabupaten. Setiap kabupaten terdiri atas beberapa distrik. Susunan penguasa kabupaten terdiri dari Bupati, Kliwon, Mantri Jaksa, Mantri Kabupaten, Mantri Pembantu, Mantri Distrik, Penghulu, Carik Kabupaten angka 1 dan 2, Lurah Langsik, dan Langsir. Susunan penguasa Distrik terdiri dari Pamong Distrik (1 orang), Mantri Distrik (5), Carik Kepanawon angka 1 dan 2 (2 orang), Carik Kemanten (5 orang), Kajineman (15 orang). Pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1749, terjadi perubahan susunan penguasa di Kabupaten dan di Distrik. Untuk Jawa dan Madura, semua propinsi dibagi atas kabupaten-kabupaten, kabupaten terbagi atas distrik-distrik, dan setiap distrik dikepalai oleh seorang wedono. Pada tahun 1847 bentuk Kabupaten diubah menjadi Kabupaten Pulisi. Maksud dan tujuan pembentukan Kabupaten Pulisi adalah di li samping Kabupaten itu menjalankan fungsi pemerintahan, ditugaskan pula agar dapat menjaga ketertiban dan keamanan dengan ditentukan batasbatas kekuasa wilayahnya. Berdasarkan Nawala [[Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senopati Ing Alaga Abdul Rahman Sayidin Panata Gama VII]], Senin Legi 23 Jumadikir Tahun Dal 1775 atau 5 Juni 1847 dalam bab 13 disebutkan : “……………………………….” KratonDalam [[Surakarta]] Adiningrat Nganakake Kabupaten cacah enem. “………………………………” Kabupaten cacah enem iku Nagara [[Surakarta]], [[Kartosuro]], [[Klaten]], [[Boyolali]], [[Ampel]], lan [[Sragen]]. “………………………………” Para Tumenggung kewajiban rumeksa amrih tata tentreme bawahe dhewe-dhewe serta padha kebawah marang Raden Adipati. Sampai sekarang sejarah kota Klaten masih menjadi silang pendapat. Belum ada penelitian yang dapat menyebutkan kapan persisnya kota Klaten berdiri. Selama ini kegiatan peringatan tentang Klaten diambil dari hari jadi pemerintah Kab Klaten, yang dimulai dari awal terbentuknya pemerintahan daerah otonom tahun 1950. 2. Demografi Kota Klaten Secara geografis Kabupaten Klaten terletak diantara 110o30'110o45' Bujur Timur dan 7o30'-7o45’ Lintang Selatan. Kota Klaten berada lii pada dataran rendah dengan didukung banyaknya sumber mata air maka daerah Kabupaten Klaten merupakan daerah pertanian yang potensial disamping penghasil Kapur,. Batu kali dan pasir yang berasal dari Gunung Merapi. Ditinjau dari ketinggiannya, wilayah kabupaten Klaten terdiri dari dataran dan pegunungan, dan berada dalam ketinggian yang bervariasi, yaitu 3,72% terletak di ketinggian 0-100 meter dari permukaan air laut. 77,52% terletak di ketinggian 100-500 meter dari permukaan air laut dan 12,76% terletak di ketinggian 500-1000 meter dari permukaan air laut. Keadaan iklim Kabupaten Klaten termasuk iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun, temperatur udara rata-rata 28-30o Celsius dengan kecepatan angin rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya dengan curah hujan tertinggi bulan Januari (350mm) dan curah hujan terrendah bulan Juli (8mm). Adapun batas-batas wilayah kota klaten adalah : Sebelah Utara : Kabupaten Boyolali Sebelah Timur : Kabupaten Sukoharjo Sebelah Selatan : Kabupaten Gunung Kidul (DI Yogyakarta ) Sebelah Barat : Kabupaten Sleman (DI Yogyakarta ) Luas Wilayah Kota Klaten sebesar 655,56 kilometer persegi yang terbagi dalam 26 kecamatan, 401 kelurahan, dengan rata-rata kepadatan 1.955 jiwa per kilometer persegi. Dari 26 Kecamatan yang ada, jumlah liii penduduk terbesar berada di wilayah kecamatan Trucuk 79.198 jiwa per kilometer persegi. Sedangkan wilayah dengan kepadatan penduduk terpadat adalah Klaten Tengah dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar 4.860 jiwa perkilo meter persegi. Tabel di bawah ini memperlihatkan kepadatan penduduk kota Klaten tahun 2004. Tabel 2.1 Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Klaten KECAMATAN Luas Wilayah Jumlah Jumlah Desa Penduduk Prambanan Gantiwarno Wedi Bayat Cawas Trucuk Kali Kotes Kebonarum Jogonalan Manisrenggo Karangnongko Ngawen Ceper Pedan Karang dowo Juwiring Wonosari Delanggu Polanharjo Karanganom Tulung Jatinom Kemalang Klaten Selatan Klaten Tengah Klaten Utara Jumlah 16 16 19 18 20 18 7 7 18 16 14 14 13 18 14 19 18 16 18 19 18 18 13 12 9 8 401 24,43 25.64 24.38 39.43 34.47 38.81 12.98 9.67 26.70 26.96 26.74 16.97 24.45 19.17 29.23 29.70 31.14 18.78 23.84 24.06 32.00 35.53 51.66 14.43 8.92 10.38 655.56 45.583 40.494 54.887 63.798 64.695 79.198 36.520 21.206 57.368 41.197 38.046 43.734 63.447 47.836 51.659 61.436 61.609 44.381 45.458 49.075 54.659 56.811 34.772 40.226 43.355 40.252 1.281.786 Sumber : Kota Klaten dalam Angka 2004, BPS Kota Klaten liv Rata-Rata Penduduk per Desa 2.849 2.531 2.889 3.544 3.235 4.400 5.217 3.029 3.187 2.575 2.718 3.364 3.525 3.417 2.179 3.233 3.428 2.774 2.525 2.583 3.037 3.156 2.675 3.352 4.817 5.032 3.196 Rata-rata Penduduk PerKm2 1.866 1.579 2.251 1.618 1.877 2.342 2.814 2.193 2.149 1.528 1.423 2.577 2.595 2.495 1.767 2.062 1.981 2.363 1.907 2.040 1.708 1.599 673 2.787 4.860 3.878 1.955 Tabel 2.2 Penduduk Kota Klaten menurut jenis Kelamin : KECAMATAN Prambanan Gantiwarno Wedi Bayat Cawas Trucuk Kali Kotes Kebonarum Jogonalan Manisrenggo Karangnongko Ngawen Ceper Pedan Karang dowo Juwiring Wonosari Delanggu Polanharjo Karanganom Tulung Jatinom Kemalang Klaten Selatan Klaten Tengah Klaten Utara Jumlah Dewasa LakiPerempuan Laki 16.173 18.011 14.339 16.744 19.619 21.687 23.084 24.757 24.318 25.946 28.850 30.022 13.065 13.836 7.684 8.675 21.202 22.208 14.814 16.428 13.611 15.089 16.302 17.092 23.238 24.603 17.832 18.880 18.895 20.514 22.206 24.017 21.884 24.584 16.608 17.691 16.774 18.129 18.043 19.461 19.843 21.224 20.175 22.116 12.539 13.365 14.455 15.935 15.910 17.366 14.622 15.844 466.085 504.224 Jumlah Lakilaki 34.184 5.770 31.083 4.673 41.306 6.826 47.841 8.054 50.264 7.636 58.872 10.497 26.901 4.826 16.359 2.463 43.410 7.197 31.242 4.958 28.700 4.825 33.394 5.249 47.841 7.957 36.712 5.729 39.409 6.308 46.223 7.702 46.468 7.719 34.299 5.329 34.903 5.140 37.504 5.925 41.067 7.008 42.291 7.393 25.904 4.449 30.390 5.154 32.276 5.167 30.466 4.965 970.309 159.088 Anak Perempuan Jumlah 5.629 4.738 6.755 7.903 6.896 9.829 4.793 2.384 6.761 4.997 4.521 5.091 7.649 5.395 3.492 7.511 7.512 4.753 5.145 5.646 6.584 7.127 4.419 4.676 4.912 4.821 152.389 11.399 9.411 13.581 15.957 14.431 20.326 9.619 4.847 13.958 9.955 9.346 10.340 15.606 11.124 12.250 15.213 15.231 10.982 10.555 11.571 13.592 14.520 8.868 9.830 10.079 9.786 311.477 Sumber : Kota Klaten dalam Angka 2004, BPS Kota Klaten Jumlah Penduduk Kota Klaten pada tahun 2004 adalah 1.281.786 jiwa terdiri dari 625.173 jiwa laki-laki dan 656.613 jiwa perempuan. Sex rationya 95,21% yang berarti setiap 100 orang perempuan terdapat 95 orang laki-laki. lv Tabel 2.3 Pegawai Pemerintah Kabupaten Klaten Menurut Unit Kerja Dan Jenis Kelamin Tahun 2007 : Bagian/Dinas/Kantor Jumlah Badan Pengawasan Daerah Badan Perencanaan Daerah Badan Kepegawaian Daerah BKD Dinas Pekerjaan umum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dipertan dan Ketahanan Pangan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Diperindag, koperasi dan PNMD Dispenda Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah Sekretariat DPRD Kantor Informasi dan Kehumasan Kantor Arsip dan Perpustakaan Kantor Lingkungan Hidup Kantor Satpol PP Kantor Pemberdayaan masyarakat Kantor Kesbanglinmas Kantor Perhubungan Kantor Pariwisata Kantor Pengelolaan Pasar Jumlah Jenis Kelamin Jumlah LakiPerempuan laki 38 9 47 39 9 48 43 16 59 40 31 71 428 32 460 5.783 6.392 12.130 234 84 318 63 40 103 93 36 129 95 45 140 456 837 1293 5 0 5 31 7 38 33 12 45 12 13 25 11 4 15 47 3 50 20 11 31 26 10 36 42 6 48 21 14 35 143 19 162 7.703 7.630 15.288 Sumber : Kota Klaten dalam Angka 2007, BPS Kota Klaten Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perbandingan pegawai pemerintah dalam dinas kesehatan dan kesejahteraan sosial masih didominasi oleh jenis kelamin perempuan sebesar 837 (65%) dibanding dengan jenis kelamin laki-laki yang hanya sebesar 456 (35%). lvi B. PROFIL RUSP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO 1. Sejarah berdirinya RSUP Dr. Soradji Tirtonegoro Rumah sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Soeradji Tirtonegoro didirikan pada tanggal 20 Desember 1927, secara bersama-sama oleh perkebunan-perkebunan (onderming) milik pemerintah Belanda yang terdiri dari perkebunan Tembakau, tebu dan rami. Saat itu Rumah Sakit tersebut dinamakan Dr. SCHEURER HOSPITAL dikelola oleh Zending Kristen yang antara lain bergerak di bidang kesejahteraan umat. Rumah Sakit itu dipimpin oleh Dr. Bakker. Pada Tahun 1942 wilayah Indonesia dikuasai Jepang, dengan demikian Dr. SCHEURER HOSPITAL juga dikuasai oleh Jepang. Selama dikuasai oleh Jepang rumah Sakit ini dipimpin oleh Dr. Maeda dan Dr. Suruta . Setelah Jepang kalah pada tahun 1945, rumah sakit ini di bawah penguasaan Pemerintah Republik Indonesia dan nama Rumah Sakit diganti menjadi Rumah Sakit Umum Tegalyoso Klaten, dipimpin oleh Dr. Soenoesmo. Nama Rumah Sakit diambil dari nama desa dimana rumah sakit ini berkedudukan yaitu Desa Tegalyoso. Dalam Masa Peralihan dari Rumah Sakit di bawah pengelolaan Zending menjadi Rumah Sakit Pemerintah RI masih terdapat beberapa tenaga dokter asing antara lain Dr. Horner dan Dr. Bakker Yunior. Selama masa itu semua karyawan RSU Tegalyoso Klaten diberi kesempatan untuk memilih, tetap bekerja di RSU Tegalyoso untuk kemudian diangkat lvii menjadi Pegawai Negeri atau pindah ke rumah sakit Zending yang lain yaitu RS Bethesda Yogyakarta atau RS jebres Surakarta. Pada tahun 1952 Dr. Soenoesmo meninggal dunia karena sakit setelah menjalani operasi appendicitis. Sebagai pengganti pimpinan RSU Tegalyoso Klaten ditunjuk Dr. Horner didampingi oleh Dr. Bakker Yunior. Mulai tahun 1953 RSU Tegalyoso dipimpin oleh Dr. Soepaat Soemosoedirijo dan sejak tahun 1945 RSU Tegalyoso Klaten secara penuh telah dikelola oleh departemen Kesehatan RI dan disebut sebagai Rumah Sakit Umum Pusat Tegalyoso Klaten. Selama Kurun waktu yang panjang dan setelah melalui berbagai perubahan kearah manajemen rumah sakit yang sesuai dengan perkembangan jaman, maka berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 1442A/Menkes/SK/XII/1997 tertanggal 20 Desember 1997 nama RSUP Tegalyoso berganti nama menjadi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. Dr. Soeradji Tirtonegoro merupakan salah satu tokoh pergerakan pada perkumpulan BOEDI Oetomo dan mengabdi sebagai Dokter di Wilayah klaten. a. Profil 1) Nama Rumah Sakit : RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro 2) Alamat : Jl. Dr. RT Soeradji Tirtonegoro No 1 Klaten Jawa Tengah 3) Tanggal Berdiri : 20 Desember 1927 lviii 4) Luas Lahan : 50.572 meter persegi 5) Jumlah Jenis Layanan : 20 jenis 6) Jumlah SDM : 764 orang b. Visi Visi Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro adalah : Menjadi Rumah Sakit yang berkualitas dan mandiri dalam pelayanan, pendidikan, dan penelitian dalam bidang kesehatan tingkat nasional c. Misi : 1. Menyelenggarakan pelayanan Kesehatan paripurna, berkualitas dan terjangkau. 2. Menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan ilmu bidang kesehatan dengan standar mutu yang tinggi. 3. Mewujudkan kepuasan pelanggan untuk mencapai kemandirian rumah sakit. 4. Meningkatkan kesejahteraan karyawan. d. Tugas dan Fungsi 1. Tugas Pokok Tugas pokok RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. lix 2. Fungsi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten mempunyai tugas pokok sebagaimana tersebut di atas karena Rumah Sakit berfungsi sebagai a. Menyelenggarakan Pelayanan Medis. b. Menyelenggarakan pelayanan Penunjang Medis & Non Medis c. Menyelenggarakan Pelayanan dan asuhan Keperawatan d. Menyelenggarakan pelayanan rujukan e. Menyelenggarakan pendidikan dan Pelatihan f. Menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan g. Menyelenggarakan Administrasi dan Pengembangan e. Tujuan 1. Tercapainya produk pelayanan Kesehatan yang berkualitas unggul sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 2. Terselenggaranya pendidikan, pelatihan dan pengembangan sehingga dihasilkan SDM yang profesional dan mampu melakukan penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. 3. Terwujudnya kepuasan seluruh pelanggan dengan pengelolaan yang efektif dan efisien. 4. Terwujudnya peningkatan kesejahteraan karyawan. f. Keyakinan Dasar dan Nilai Dasar 1. Keyakinan Dasar a. Karyawan yang berkualitas dan berkomitmen tinggi kepada Rumah sakit adalah aset yang paling berharga lx b. Kepuasan dan kesetiaan pasien adalah dasar kelangsungan hidup rumah sakit c. Mutu pelayanan rumah sakit sebagai pengikat kesetiaan pelanggan d. Kebersamaan adalah Kunci utama dalam mencapai kesuksesan. 2. Nilai Dasar a. Jujur dan Ikhlas b. Integritas c. Keterbukaan d. Profesionalisme e. Kerendahatian f. Kerja cerdas g. Kesediaan untuk melayani h. Melayani adalah Ibadah g. Motto BERSIH NYAMAN DAN AKURAT h. Kebijakan Mutu RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro berkomitmen selalu menerapkan Pelayanan Prima untuk kepuasaan customer. 2. Fasilitas pelayanan RSUP dr. Soeradji tirtonegoro a) Fasilitas Pelayanan Rawat Jalan 1) Poliklinik Spesialis Bedah 2) Poliklinik Spesialis Bedah Orthophedi lxi 3) Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam 4) Poliklinik Spesialis Anak 5) Poliklinik Bayi Sehat Tumbuh Kembang 6) Poliklinik Spesialis Kebidanan dan Kandungan 7) Poliklinik USG 8) Poliklinik Spesialis THT 9) Poliklinik Spesialis Mata 10) Poliklinik Spesialis Syaraf 11) Poliklinik Spesialis Paru-paru 12) Poliklinik Spesialis Kulit dan Kelamin 13) Poliklinik Spesialis Rehabilitasi Medik 14) Poliklinik Gigi Mulut & Spesialisasi Orthodonsi 15) Poliklinik Pemeriksaan Kesehatan 16) Konsultasu Konsultasi Psikologi 17) Poliklinik Konsultasi Gizi 18) Poliklinik Poliklinik Umum 19) Poliklinik Spesialis sore 20) Poliklinik Cendana Poliklinik Cendana yaitu Poliklinik yang menyediakan waktu/jam pelayanan poliklinik berdasarkan pada kesempatan /perjanjian antara pasien dengan dokter. Tempat pendaftarannya di Poliklinik Cendana atau bisa melalui Telpon (0272) 321103. lxii b) Fasilitas Pelayanan Rawat Inap 1. Tersedia sejumlah 306 tempat tidur, terdiri dari : VIP/Instalasi Cendana : 41 TT Kelas I : 17 TT Kelas II : 64 TT Kelas III : 184 TT 2. Ruang ICU / Instalasi Rawat Intensif 3. Ruang NICU/ PICU (Neonatal Intensive Care Unit/ Pediatric Intensive Care Unit ) c) Fasilitas Pelayan Penunjang 1) Instalasi Rawat Darurat : 24 Jam 2) Radiologi 3) Laboratorium 4) Farmasi 5) Ambulance 6) Instalasi bedah Sentral 7) Pelayanan Bedah Sehari 8) Unit Hemodialisis 9) Unit CT Scanner 10) Pemularasan Jenazah 11) Rehabilitasi Medik 12) Instalasi Gizi 13) Instalasi Pemeliharaan Rumah Sakit lxiii 14) Instalasi Tu Rawat Pasien 15) Kamtib 16) Pengelolaan Air Limbah 17) Telepon, hunting System dan akses ke setiap ruang/satuan kerja 18) Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit terintregasi 19) Kasir 20) Email : rsdst @ indosat.net.id d) Fasilitas Pelayanan Unggulan Klinik Kosmetik Medik (Kecantikan) dan Orthodonsi (Gigi) Pengembangan dan Penambahan Fasilitas Pelayanan Tahun 2004 - Penambahan peralatan CT Scanner - Hemodialisis (cuci darah) - Pelayanan Poliklinik VIP - Pembangunan tahap I gedung Instalasi Rawat Darurat 3. Organisasi RSUP DR. Soeradji Tirtonegoro Susunan organisasi RSUP terdiri atas : a. Direktur b. Wakil Direktur Pelayanan c. Wakil Direktur Umum dan Keuangan d. Bidang Pelayanan e. Bidang Keperawatan f. Bagian Sekretariat g. Bagian Perencenaan dan Informasi lxiv h. Bagian Keuangan i. Komite Medis dan Staf Medis Fungsional j. Satuan Pengawas Intern k. Instalasi-Instalasi Tabel 2.4 DATA KETENAGAAN RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN I NO. Kualifikasi Pendidikan /Profesi Tenaga Medik 1 Dokter PTT 2 Dokter Umum 3 Dr. Sp. Bedah 4 Dr. Sp.Penyakit Dalam 5 Dr. Sp.Kes. Anak 6 Dr. Sp.Obsgyn 7 Dr. Sp.Radiologi 8 Dr. Sp.Anaestesi 9 Dr. Sp.Patologi Klinik 10 Dr. Sp.Mata 11 Dr. Sp.THT 12 Dr. Sp.Kulit dan Kelamin 13 Dr. Sp.Paru 14 Dr. Sp.Syaraf 15 Dr. Sp. Bedah Ortoapedi 16 Dr. Sp.Putologi Anatomi 17 Dr. Sp.Rehabilitasi Medik 18 Dr. Sp.Orthodhonsi 19 Dr. Sp.Lainnya 20. Dr. Sp.Gigi Tahun 2005 Jenis Kelamin L P 2 5 3 3 4 4 2 1 1 1 1 1 Tahun 2006 Jenis Kelamin L P 2 9 2 3 1 3 2 1 1 2 1 Tahun 2007 Jenis Kelamin L P 10 3 3 3 1 2 2 1 1 3 1 2 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 - - lxv 3 - 4 1 1 II III IV V VI 21. Dr. MHA/MARS Jumlah Tenaga Medik Jumlah Psikolog Jumlah Apotheker Jumlah Tenaga Paramedik non Keperawatan Jumlah Tenaga Perawat Jumlah Tenaga Bidan VII Jumlah Tenaga Non Medik VIII Jumlah Tenaga Kontrak/Honorer 38 1 1 45 8 1 3 38 120 2 15 40 1 43 32 2 3 53 27 9 2 4 50 105 30 122 3 169 25 127 1 247 24 130 100 124 101 115 103 10 46 15 60 23 60 C. KODE ETIK KEPERAWATAN INDONESIA Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan. Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. 1. KODE ETIK KEPERAWATAN INDONESIA : a. Perawat dan Klien 1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial. lxvi 2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien. 3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan. 4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. b. Perawat dan praktek 1) Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi dibidang keperawatan melalui belajar terus-menerus 2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien. 3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain . 4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional. lxvii c. Perawat dan masyarakat Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat. d. Perawat dan teman sejawat 1) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan. 2) Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan ilegal. e. Perawat dan Profesi 1) Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan 2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan 3) Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.(Nursalam 2001:12) lxviii 2. PRINSIP-PRINSIP ETIKA KEPERAWATAN a. Otonomi (Autonomy) Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya. b. Berbuat baik (Beneficience) Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi. c. Keadilan (Justice) Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika lxix perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. d. Tidak merugikan (Nonmaleficience) Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. e. Kejujuran (Veracity) Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya. lxx f. Menepati janji (Fidelity) Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhanperawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan. g. Karahasiaan (Confidentiality) Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari. h. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. (Verne Wolf dkk,1984:210) lxxi BAB III PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT BERPERSPEKTIF GENDER A. PELAYANAN KESEHATAN DI MASYARAKAT Menurut KepMen PAN No. 63 Tahun 2003 Pelayanan publik adalah pelayanan yang wajib diselenggarakan oleh negara untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau hak-hak dasar warga negara (publik). Ada tiga jenis pelayanan publik a. Pelayanan Barang b. Pelayanan Administratif c. Pelayanan Jasa Pelayanan Kesehatan merupakan salah satu pelayanan jasa yang penting untuk diperhatikan sesuai dengan tujuan dari pembangunan Kesehatan yang tertuang dalam UU Kesehatan nomor 23 Tahun 1992, masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Ada dua jenis pelayanan yang diberikan rumah sakit. Pertama, Pelayanan Langsung, Yakni pelayanan yang berbentuk pemeriksaan, pengobatan, perawatan, tindakan medis, tindakan diagnotis serta tindakan penunjang medis. Kedua, Pelayanan tidak langsung, yang merupakan pelayanan berupa pendukung kelancaran pelayanan langsung yaitu pelayanan administratif. (Djojodibroto 1997:29) lxxii Menurut sistem Kesehatan Nasional, Rumah Sakit mempunyai fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Akan tetapi walaupun bersifat sosioekonomi namun diusahakan agar bisa mendapatkan suatu keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsipprinsip ekonomi. Keputusan Menkes RI Nomor 983/SK/Menkes/XI/92 menyebutkan bahwa rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sistim Kesehatan Nasional (SKN) juga menyebutkan bahwa :"Upaya kesehatan, termasuk upaya kesehatan di rumah sakit harus bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Untuk itu perlu digunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat luas, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan". Kriteria mutu pelayanan dalam hal ini tidaklah semata-mata didasarkan pada mutu pengobatan dan tindakan medis yang dilakukan saja, tetapi juga menyangkut aspek-aspek sosio-ekonomi seperti keterjangkauan biaya, perhatian pada kebutuhan pelayanan individual pasien, dan kemampuan pemerintah dalam menunjang pembiayaan. Agar penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka pelayanan harus memenuhi berbagai syarat, di lxxiii antaranya : tersedia (available), wajar (appropriate), berkesinambungan (continue), dapat diterima (acceptable), dapat dicapai (accesible), dapat dijangkau (affordable), serta bermutu (quality). Kesemua syarat tersebut sama pentingnya dan pada akhir-akhir ini upaya meningkatkan mutu pelayanan semakin mendapat perhatian yang lebih besar. Hal ini mudah dipahami karena apabila pelayanan kesehatan yang bermutu dapat diselenggarakan, bukan saja akan meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan, tetapi sekaligus juga akan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan.(www.google.com”pelayanan kesehatan masyarakat”) Hal tersebut diterjemahkan oleh RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten dengan membangun misi untuk menjadi rumah sakit yang berkualitas dan mandiri dalam pelayanan, pendidikan, dan penelitian dalam bidang kesehatan tingkat nasional. RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten merasa mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa membedakan kelas sosialnya, baik itu dari golongan miskin ataupun dari golongan mampu maupun membedakan dari jenis kelamin tertentu. B. STANDAR PELAYANAN KEPERAWATAN RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro : Standar I : Pengkajian Keperawatan Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan. Proses : lxxiv 1. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan mempelajari data penunjang (pengumpulan data diperoleh dari hasil wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboraturium, dan mempelajari klien lainnya) 2. Sumber data adalah klien, keluarga atau orang terkait, tim kesehatan, rekam medis dan catatan lain. 3. Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi : a. Status kesehatan klien saat ini b. Status kesehatan klien masa lalu c. Satus fisiologis-psikologis-sosial-spiritual d. Respon terhadap terapi e. Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal f. Resiko-resiko tinggi masalah STANDAR II : Diagnosis Keperawatan Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis keperawatan Proses : 1. Proses diagnosis terdiri dari analisis, interpretasi data, identifikasi masalah klien dan perumusan diagnosis keperawatan. 2. Komponen diagnosis keperawatan terdiri dari : masalah, penyebab, dan tanda atau gejala. 3. Bekerjasama dengan klien, dekat dengan klien, petugas kesehatan lain untuk memvalidasi diagnosis keperawatan lxxv 4. Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosis data terbaru. STANDAR III : Perencanaan Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan klien. Proses : 1. Proses terdiri dari penetapan prioritas masalah, tujuan dan rencana tindakan keperawatan 2. Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan. 3. Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien. 4. Mendokumentasikan rencana keperawatan. STANDAR IV : Implementasi Perawat membuat rencana tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan 1. Bekerjasama dengan klien dalam melaksanakan tindakan keperawatan 2. Kolaborasi dengan profesi kesehatan lain untuk meningkatkan status kesehatan klien. 3. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien 4. Melakukan supervisi terhadap tenaga pelaksana keperawatan di bawah tanggung jawabnya lxxvi 5. Menjadi koordinator pelayanan dan advokasi terhadap klien untuk mencapai tujuan kesehatan 6. Menginformasikan kepada klien tentang status kesehatan dan fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada 7. Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep, ketrampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakannya 8. Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respon klien STANDAR V : Evaluasi Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan dalam pencapaian tujuan dan merevisi data dasar perencanaan Proses : 1. Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komperhensif, tepat waktu dan terus menerus 2. Menggunakan data dasar respon klien dalam mengukur perkembangan ke arah pencapaian tujuan 3. Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan sejawat dan klien 4. Bekerjasama dengan klien, keluarga untuk memodifikasi perencanaan. lxxvii G. PERAN-PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN Perawat, sebagai salah satu profesi yang ada di rumah sakit yang secara profesional menjadi bagian integral dari pelayanan kesehatan. Perawat adalah orang yang melakukan proses keperawatan, yakni memberikan pelayanan pembinaan kesehatan yang diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta membantu orang dengan cara sebaik mungkin masalah kehidupan sehari-hari, penyakit dan cidera, cacat maupun kematian. (Lu Verne Wolf dkk 1984: 4) Dalam paradigma keperawatan, manusia dipandang sebagai makhluk bio-sosio-psiko-kultural-spiritual yang utuh dan unik, mandiri, dinamis, rasional dan berkemampuan beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, agar dapat bertahan hidup dan berkembang. Mereka mengembangkan dirinya melalui proses interaksi yang membentuk pola berfikir, keyakinan dan perilaku berupa nilai dan budaya. Proses interaksi ini tidak bisa dipisahkan dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Menurut Nursalam (2001:04) ada dua komponen yang mempengaruhi perilaku manusia dalam berinteraksi. Pertama, Komponen internal, seperti : faktor genetik, struktur anatomis, fisiologis, psikologis, nilai, keyakinan serta faktor internal lain yang potensial mempengaruhi perubahan sistem manusia. Kedua, Komponen eksternal seperti Faktor eksternal terdiri dari : keadaan fisik, demografis, ekologis, hubungan interpersonal dan nilai sosial budaya dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta faktor eksternal lain yang potensial mempengaruhi perubahan pada sistem manusia. lxxviii Dalam konteks keperawatan, kedua komponen tersebut memiliki pengaruh terhadap kesehatan. Sehat dalam hal ini tidak hanya dipandang sebagai suatu keadaan yang terbebas dari penyakit, namun lebih kepada keseimbangan bio-psiko-sosio-spiritual yang optimum, yang dapat meningkatkan kemampuan dan potensi manusia di masyarakat. Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosiokultural-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan komunitas, baik sakit maupun sehat serta mencakup seluruh siklus hidup manusia. Aktivitasnya berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Menurut Kozier Barbara (Nursalam, 2002:8), peran yang dibangun perawat, secara garis besar digambarkan sebagai berikut: 1. Care Giver Sebagai care giver, seorang perawat harus memiliki kemampuan untuk : a. Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang kompleks. b. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien. lxxix Perawat harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan signifikan dari klien. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi diagnosis keperawatan mulai dari masalah fisik sampai pada masalah psikologis. 2. Conselor Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual. Dalam hal ini, peran perawat ditunjukkan dengan : a. Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sehat sakitnya. b. Meningkatkan kemampuan beradaptasi guna merancang metode berinteraksi. c. Memberikan konseling atau bimbingan penyuluhan kepada individu atau keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu. d. Pemecahan masalah di fokuskan pada masalah keperawatan 3. Education Peran berperan sebagai seorang pendidik, layaknya seorang guru. Pada intinya, aktivitas yang dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan kesadaran baru yang mampu merubah perilaku dalam bidang kesehatan. lxxx Nursalam juga menjabarkan peran perawat dengan singkatan CARE. Ia mendeskripsikan konsep CARE sebagai berikut. C: Communication. Seorang perawat harus memiliki kemampuan berkomunikasi secara lengkap, akurat dan cepat dan harus didukung fakta yang memadai. A: Aktivity. Aktivitas yang dilaksanakan adalah memberikan asuhan kepada klien yang ditunjang oleh sikap kesungguhan dan empati serta bertanggungjawab terhadap setiap tugas yang diembannya. Selain itu, ia juga harus bisa membangun kerjasama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya. R : Review. Prinsip utama dalam peran ini adalah moral dan etika keperawatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahankesalahan yang bisa berakibat fatal bagi konsumen dan profesi keperawatan. Karena itu, seorang perawat harus mampu menjaring berbagai informasi dan mengikuti perubahan yang terjadi dalam hal pelayanan kesehatan yang senantiasa berkembang. E : Education. Seorang perawat dituntut untu berkomitmen terhadap profesinya dengan terus menerus menggali ilmu melalui pendidikan formal dan informal sampai pada suatu keahlian tertentu. Tugas-tugas perawat juga diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 94/Kep/M.PAN/II/2001. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan keperawatan / kesehatan kepada individu , lxxxi keluarga , kelompok dan masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan penyakit , penyembuhan penyakit , dan pemulihan serta pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka kemandirian dibidang keperawatan / kesehatan. Ketika menjalankan perannya dalam pelayanan kesehatan, perawat dituntut untuk memiliki komitmen kerja yang tinggi. Komitmen terdiri dari tiga komponen. Keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan profesi, kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh demi kepentingan profesi dan berkeinginan untuk mempertahankan profesinya. Dari komponen tersebut, motivasi menjadi faktor penting seseorang memilih untuk menjalankan profesinya. Dalam profesi perawat, ada bermacam motivasi yang mendasari para perawat memilih profesi mereka. Seperti yang terungkap dalam wawancara yang dilakukan peneliti terhadap beberapa perawat di Rumah sakit klaten. “Latar Belakang keluarga saya itu kan kurang mampu. ”Saya sejak dari dulu seneng jadi perawat dan suka melihat seorang perawat yang selalu membantu orang lain dalam kesusahan, serta panggilan jiwa saya untuk selalu berbuat pahala di dunia ini kan kata orang jawa urip nyang ndonyo ki gur mampir ngombe alias seumur jagung” (Warsana) Saya itu merasa terpanggil jiwanya untuk membantu sesama manusia yang membutuhkan pertolongan, dalam keluarga saya itu sangat terbiasa dan di didik untuk selalu menolong orang lain. Sedih saya kalau melihat penderitaan orang lain dan mungkin ini yang mungkin saya bisa perbuat untuk sedikit meringankan beban mereka, wis dianggep menghibur orang lain tentunya sesuai dengan segala kemampuan yang kita miliki. Menjadi Perawat itu sudah sejak kecil menjadi cita-cita yang saya impikan. (Ibu Puji ) Pokoknya saya pengen mengabdi kepada keluarga, masyarakat serta Nusa dan Bangsa ini, disamping merawat itu sebuah pengabdian bisa juga untuk membantu keluarga mencari nafkah. (Ibu Tri Maryanti) Kalau saya ditanya kenapa saya memilih untuk menjadi perawat mungkin dulu awalnya saya itu sedikit mendapat paksaan dari keluarga saya untuk lxxxii masuk ke sekolah perawat karena alasannya sangat rasional. Perempuan itu pantesnya jadi perawat kata ibu dan Bapak saya dan akhirnya setelah saya rasakan ada benarnya juga bahwa perempuan itu lebih bisa untuk menjadi perawat karena rata-rata perempuan itu sabar dan penuh rasa sayang. (Ibu Suyatun) Seolah ada panggilan jiwa yang saya rasakan yang bisa menuntun menjadi seorang perawat. Sebagai seorang Laki-laki saya merasa tertantang untuk ikut membantu orang sakit. Ada sebuah kebanggan ketika saya bisa ikut membantu menyembuhkan sesama manusia. (Joko Mulyono) Dulu desa saya itu banyak orang sakit dan waktu itu ingin sekali rasanya ikut membantu akan tetapi saya tidak sanggup dan nggak tahu sama sekali bagaimana cara merawat orang yang sedang sakit. Nah dari situ awalnya saya merasa termotivasi untuk menajadi seorang perawat. (Bapak Agus) Ya pokoknya saya itu seneng berbuat baik pada siapapun kapanpun dan dimanapun. Dulu waktu kecil {agak lupa umur berapa} saya sakit dirawat selama 30 hari, dari situ muncul keinginan saya untuk menjadi seorang perawat. (Fitri Nuraini) Dulu kan profesi menjadi seorang perawat kan masih jarang dan masih banyak dibutuhkan. Ya dari keluarga saya dibebaskan untuk memilih profesi apa saja yang penting bisa cepet untuk menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan uang walaupun hanya cukup untuk bertahan hidup.ha...ha...ha... (Jarot) Agama mengajarkan kita untuk selalu mencari kebaikan di dunia ini, ya ibadah kan nggak hanya dengan Solat kan bisa juga dengan berbuat baik dengan sesamanya.{habluminannas}. Cari uang yang halal, dan dari kecil saya pengennya merawat siapapun tapi sebenernya saya pengen jadi dokter tapi berhubung nggak ada biaya ya jadi perawat. (Tatik Handayani) Jadi Perawat ya karena orang tua yang nyuruh saya untuk menjadi perawat mas, awalnya saya nggak begitu suka tapi lama-lama saya malah jadi seneng dan merasa cocok menjadi perawat. Mungkin sudah kodrat dari yang di atas kalau perempuan itu lebih peka dan telaten untuk melakukan pekerjaan ini. (Sri Wahyudati) Secara teoritis peran perawat dapat dikatakan mendukung teori aksi yang terdapat dalam paradigma definisi sosial yang menekankan pada tindakan sosial karya Max Weber yang diklasifikasikan dalam 4 (empat) tipe tindakan yaitu rasional instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, lxxxiii tindakan tradisional dan tindakan afektif. Pendekatan ini menekankan kepada tindakan dari perawat baik laki-laki maupun perawat perempuan dalam menjalankan perannya yang dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap pekerjaan sebagai perawat dan juga pada budaya patriarki yang masih melekat kuat di dalamnya. Dalam hal ini peran perawat mempunyai kecenderungan kepada tipe tindakan rasionalitas berorientasi nilai dan mengarah kepada tindakan tradisional. Hal ini dapat dilihat dari niat, motif dan orientasi dari masingmasing perawat. H. PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER a. Sejarah Dunia Keperawatan Dunia keperawatan jika dilihat dari perpektif gender didominasi oleh perempuan. Hal ini diakui juga oleh beberapa perawat yang ada di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Menurut mereka, dunia keperawatan memang identik dengan dunia perempuan. Karena tugastugas yang dijalankan lebih dekat dengan dunia perempuan. Misalnya saja, untuk melakukan tugas keperawatan, diperlukan ketelititan, ketelatenan dan kesabaran, sebuah sikap dimana perempuan dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tugas keperawatan bermula dari naluri keibuan (mother instinct). Jika kita memperhatikan sejarah perkembangan dalam dunia perawat, perempuan memang terlihat begitu dominan dalam dunia lxxxiv keperawatan. Pada awal berkembangnya agama Kristen, dikenal sebuah lembaga diakones, yakni pembantu pendeta dalam gereja, memberi nasehat, mengobati orang sakit serta mengunjungi tempat tawanan. Diakones menjadi satu lembaga wanita yang pertama dari organisasi agama Kristen yang bekerja dan mengembangkan pekerjaan perawatan. Kemudian, pada era pemerintahan Konstantin yang Agung sekitar tahun 325 M, dibangun sebuah bangunan khusus untuk menampung orang-orang sakit yang membutuhkan pertolongan dan perawatan, yakni xenodochoion atau lebih dikenal dengan nama hospital. Pada era tersebut, semua yang bertugas untuk memberikan perawatan terhadap orang sakit adalah para wanita (non). Kemudian, pada masa-masa perang, seperti perang ketika zaman perang salib, dunia keperawatan semakin berkembang dengan banyaknya orang sakit dan terlukan akibat perang. Dan pada era ini, perawat diambil dari orde-orde keagamaan dan para wanita istri dari prajurit yang ikut berperang. Tokoh-tokoh yang menonjol dalam perkembangan dunia keperawatan juga para perempuan. Di dunia barat, dikenal seorang tokoh yang mempelopori dunia keperawatan modern seperti Genevieve Bouzuet, Perawat Perancis pada masa setelah revolusi Perancis yang memelopori pekerjaan perawat yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak terikat dengan ordo keagamaan. Kemudian, ada juga Florence Nightingale lxxxv (1820), seorang Perawat Inggris yang memelopori dunia keperawatan modern dengan pemikiran-pemikirannya seperti : i. Menetapkan standar manajemen rumah sakit ii. Menegaskan bahwa nutrisi merupakan bagian penting dari asuhan keperawatan iii. Meyakinkan bahwa akupasional merupakan suatu terapi bagi orang sakit iv. Mengidentifikasi kebutuhan personal pasien dan peran perawat untuk memenuhinya v. Mengembangkan standar okupasi bagi pasien wanita vi. Mengembangkan pendidikan keperawatan vii. Menetapkan 2 komponen keperawatan yaitu kesehatan dan penyakit viii. Meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dengan profesi kedokteran. ix. Menekankan kebutuhan pendidikan lanjut bagi perawat Di Dunia Islam, keperawatan juga mengenal nama Rufaidhah binti Sa’ad, seorang perempuan pada masa Nabi Muhammad yang mengembangkan keperawatan di dunia Islam. Rufaidah adalah public health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam. Ia mengabdikan dirinya untuk merawat orang sakit dengan membangun tenda di luar masjid Nabawi. Dan ketika perang, ia mendirikan Rumah sakit lapangan dan melatih para wanita muslim untuk lxxxvi merawat orang-orang yang terluka saat perang. Beberapa pengaruhnya dalam dunia keperawatan adalah sebagai pelopor sekolah keperawatan di dunia Islam, penyokong advokasi pencegahan penyakit (preventive care) dan penyebaran pentingnya penyuluhan kesehatan (health education). b. Tugas Perawat dalam perspektif gender Seperti yang telah disebutkan di atas, keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Tugas-tugas keperawatan secara tegas diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 94/Kep/M.PAN/II/2001. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan keperawatan / kesehatan kepada individu , keluarga , kelompok dan masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan penyakit , penyembuhan penyakit , dan pemulihan serta pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka kemandirian dibidang keperawatan / kesehatan. Sikap profesionalitas para perawat terlihat dari kesadaran mereka untuk tidak membedakan tugas-tugas keperawatan dari sisi gender. Seperti yang tergambar dari pernyataan-pernyataan berikut : Semuanya sama saja mas, antara perawat laki-laki dan perawat perempuan dimana harus menjalankan segala tugas dan tanggung jawab dalam bidangnya. (Warsana) Soal tugas keperawatan menurut pandangan saya semua sama baik perawat laki-laki maupun perempuan. (Tri Maryanti) Kalau pembedaan secara kegiatan saya rasa tidak ada mas, mungkin yang ada hanya etika saja. (Suyatun). lxxxvii Secara tegas tidak dibedakan, tapi sebagai manusia ciptaan Allah yang dikarunia oleh kemampuan masing-masing kan berbeda. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) Namun dalam praktek di lapangan, pekerjaan dijalankan secara luwes dengan mengutamakan kualitas layanan. Pemberian pelayanan dengan memperhatikan faktor gender dilakukan dengan alasan profesionalitas. Kerja tu kan luwes tho mas, jadi ya bisa minta tolong sama rekan perawat yang lain apabila nggak mampu untuk melakukan tugasnya. Misalnya kebetulan ada pasien perempuan meminta kami untuk memandikannya, ya minta tolong sama perawat wanitanya. (Warsana) Kalau dalam proses perawatannya memang kadang-kadang ada pasien yang meminta untuk dirawat oleh jenis kelamin tertentu. Misalnya seperti yang selama ini saya alami saya sering memandikan pasien [sibin] baik laki maupun pasien perempuan. (Tri Maryanti) Dalam beberapa hal saya perempuan tidak mampu untuk melakukan tugas maka saya minta tolong pada perawat yang lain. (Suyatun) ya dalam prakteknya tetep yang laki-laki seringkali cenderung untuk membantu dalam hal-hal yang berat-berat. Misalnya seperti angkat pasien. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) Terkait dengan pelayanan yang diberikan, para pasien memiliki persepsi yang berbeda terhadap pelayanan yang dilakuka para perawat di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Seperti yang tergambar dalam pernyataanpernyataan berikut : Cukup memuaskan, sampai saat ini nggak ada masalah berarti. Para perawatnya juga lumayan baik mas dan mereka semua cukup ramah untuk melayani kami.(Bagus) Alhamdulillah baik sekali, doktere penak isoh dijak gojek yo lucu dadi asyik nang kene cepet mari. Perawatnya pun juga baek2 baek. Tapi kadang-kadang Beda juga mas. kalau sama perawat perempuan lebih telaten dan sabar melayani kalau laki-laki galak, dan pendiam, lxxxviii (Tri Jati S) Secara umum yang saya rasakan cukup bisa dikatakan agak baek. Namun dalam beberapa hal masih ada pembedaan yang sangat jelas bahwa pasien yang nggak punya duit diacuhkan begitu saja. (Joko W) Secara umum, semua pasien baik laki-laki mapun perempuan mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan kesehatan. Namun dalam beberapa hal faktor gender juga berpengaruh terhadap pemberian pelayanan. Misalnya saja persoalan memandikan pasien. Dalam pemahaman para perawat, mereka mengungkapkan bahwa mereka harus profesional dalam pekerjaan. Sehingga ketika diharuskan memandikan pasien dengan jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya, mereka tidak ada masalah. Namun terkadang para pasien yang meminta untuk dimandikan oleh sesama jenis mereka dengan alasan persoalan etika. c. Posisi Struktural Perawat di Rumah Sakit i. Perbandingan jumlah perawat berdasarkan gender Jika dillihat dari segi kuantitas, di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, jumlah perawat laki-laki masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan perawat perempuan. Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Data Per Februari 2007 Tingkat Pendidikan S1 Keperawatan D3 Keperawatan SPK Laki-Laki 7 98 20 lxxxix Perempuan 11 31 PK D4 Kebidanan D3 Kebidanan D3 Anestesi Bidan D3/SPRG/P Gigi DK/PK Jumlah 1 1 127 1 9 1 24 2 247 Sumber : Data Bidang Perawat RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa komposisi Perawat Laki-laki masih kecil jika dibandingkan dengan perawat perempuan 39,06% untuk perawat laki-laki dan 66,04% untuk perawat perempuan. ii. Struktur Pejabat di Bagian Keperawatan di Rumah Sakit Di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, perawat dimasukan dalam bidang tersendiri untuk memudahkan dalam hal pengelolaan, yakni Bidang Keperawatan. Pembentukan struktur organisasi memberikan tingkat akses informasi dan kewenangan yang berbeda pada tiap masing-masing perawat. Seseorang yang menduduki jabatan di struktur diatas tentu saja memiliki akses informasi dan kewenangan lebih dibandingkan dengan yang ada dibawahnya. Dan konsekuensi logisnya, para perawat yang menjabat dalam struktur memiliki tanggungjawab yang lebih dalam proses pelayanan kesehatan. Para perawat di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menyadari bahwa jabatan dalam struktur organisasi menentukan besar kecilnya akses informasi, kewenangan dalam menetapkan kebijakan. Seperti yang tergambar dalam petikan berikut. xc Akses semua punya mas, tinggal besar kecilnya pengaruh yang dia miliki. Kebijakan tentang Kenaikan Pangkat seorang Perawat.(Puji) Terus terang saya kurang mengamati sapa saja yang punya akses ke para atasan, kalau yang saya tahu hanya beberapa yang mampu dan punya akses ke pembuat kebijakan, misalnya kepala bagian,kepala ruang. (Warsana) Para kepala ruang yang langsung punya akses terhadap pembuat kebijakan, apalagi sekarang kan era otonomi daerah jadi perawat dituntut untuk lebih memahami kebijakan dan sebisa mungkin untuk mengontrolnya. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) Dalam penentuan struktur organisasi, yang diperhatikan adalah prestasi kerja dan lama pengabdian serta golongan kerja, karena para perawat tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Namun dalam kenyataannya struktur kelembagaan perawat di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten menempatkan perempuan dalam posisi strategis lembaga. Hal seperti ini terjadi karena stereotip bahwa dunia perawat lebih dekat dengan kaum perempuan menjadi salah satu alasannya. Seperti yang tergambar dalam pernyataan berikut : Hanya dunia keperawatan itu kan punya kecenderungan lebih dekat dengan para perawat perempuan. Mas tentunya paham bagaimana sejarah tentang kemunculan perawat itu sendiri baik versi Islam maupun versi barat. Di indonesia khususnya jawa posisi perempuan lebih dipandang bisa dan mampu untuk mengemban status perawat. ini bisa dilihat dalam ruangan ini (bagian keperawatan) kebanyakan mereka perempuan. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) xci BAB IV KESETARAAN GENDER DALAM PELAYANAN KESEHATAN Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang menjadi hak-hak dasar yang dimiliki warga negara. Seperti yang tertuan dalam UU Kesehatan nomor 23 Tahun 1992, disebutkan bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Rumah sakit merupakan salah satu komponen vital dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Menurut sistem Kesehatan Nasional, Rumah Sakit mempunyai fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Akan tetapi walaupun bersifat sosioekonomi namun diusahakan agar bisa mendapatkan suatu keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi. Keputusan Menkes RI Nomor 983/SK/Menkes/XI/92 menyebutkan bahwa rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Di dalam rumah sakit antara dokter, perawat dan pasien termasuk keluargan pasien merupakan hubungan yang sangat kompleks terus berkembang sesuai dengan tata nilai, dan norma dalam masyarakat. Dari tenaga kesehatan yang ada, perawat adalah tenaga yang paling banyak kontak dengan pasien. Mereka xcii memberikan pelayanan pembinaan kesehatan yang diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta membantu orang dengan cara sebaik mungkin masalah kehidupan sehari-hari, penyakit dan cidera, cacat maupun kematian. Dalam paradigma keperawatan ada dua komponen yang mempengaruhi perilaku manusia dalam berinteraksi. Pertama, Komponen internal, seperti : faktor genetik, struktur anatomis, fisiologis, psikologis, nilai, keyakinan serta faktor internal lain yang potensial mempengaruhi perubahan sistem manusia. Kedua, Komponen eksternal seperti Faktor eksternal terdiri dari : keadaan fisik, demografis, ekologis, hubungan interpersonal dan nilai sosial budaya dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta faktor eksternal lain yang potensial mempengaruhi perubahan pada sistem manusia. Sehat dalam hal ini tidak hanya dipandang sebagai suatu keadaan yang terbebas dari penyakit, namun lebih kepada keseimbangan bio-psiko-sosio-spiritual yang optimum, yang dapat meningkatkan kemampuan dan potensi manusia di masyarakat. Dari paradigma tersebut tergambar posisi penting perawat dalam usaha peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Nursalam (2001:04) A. PROFESI PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER Perawat, di dalam masyarakat dianggap sebagai profesi yang cocok untuk perempuan. Adanya konsep gender, menyebabkan ada jenis pekerjaan yang hanya dianggap cocok untuk perempuan. Misalnya karena perempuan dianggap tekun, sabar, teliti. Di samping perawat, ada pula pekerjaanpekerjaan lain seperti , guru, penerima tamu, sekretaris, atau pembantu rumah xciii tangga. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dipandang masih merupakan perpanjangan tangan dari pekerjaan rumah tangga. Stereotype terhadap profesi keperawatan sebagai pekerjaan yang cocok untuk perempuan ini diperkuat dengan faktor sejarah yang mewarnai profesi ini. Jika kita melihat sejarah perkembangan keperawatan, maka pada awal kemunculannya hingga sekarang peran perempuan begitu dominan dalam pengembangan profesi ini. Pada awal berkembangnya agama Kristen, dikenal sebuah lembaga diakones, yakni pembantu pendeta dalam gereja, memberi nasehat, mengobati orang sakit serta mengunjungi tempat tawanan. Diakones menjadi satu lembaga wanita yang pertama dari organisasi agama Kristen yang bekerja dan mengembangkan pekerjaan perawatan.(www.PPNI.co.id “sejarah keperawatan”) Kemudian, pada era pemerintahan Konstantin yang Agung sekitar tahun 325 M, dibangun sebuah bangunan khusus untuk menampung orangorang sakit yang membutuhkan pertolongan dan perawatan, yakni xenodochoion atau lebih dikenal dengan nama hospital. Pada era tersebut, semua yang bertugas untuk memberikan perawatan terhadap orang sakit adalah para wanita (non). Kemudian, pada masa-masa perang, seperti perang ketika zaman perang salib, dunia keperawatan semakin berkembang dengan banyaknya orang sakit dan terluka akibat perang. Dan pada era ini, perawat diambil dari orde-orde keagamaan dan para wanita istri dari prajurit yang ikut berperang. xciv Tokoh-tokoh yang menonjol dalam perkembangan dunia keperawatan juga para perempuan. Di dunia barat, dikenal seorang tokoh yang mempelopori dunia keperawatan modern seperti Genevieve Bouzuet, Perawat Perancis pada masa setelah revolusi Perancis yang memelopori pekerjaan perawat yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak terikat dengan ordo keagamaan. Kemudian, ada juga Florence Nightingale (1820), seorang Perawat Inggris yang memelopori dunia keperawatan modern dengan pemikiran-pemikirannya seperti : g. Menetapkan standar manajemen rumah sakit h. Menegaskan bahwa nutrisi merupakan bagian penting dari asuhan keperawatan i. Meyakinkan bahwa akupasional merupakan suatu terapi bagi orang sakit j. Mengidentifikasi kebutuhan personal pasien dan peran perawat untuk memenuhinya k. Mengembangkan standar okupasi bagi pasien wanita l. Mengembangkan pendidikan keperawatan m. Menetapkan 2 komponen keperawatan yaitu kesehatan dan penyakit n. Meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dengan profesi kedokteran. o. Menekankan kebutuhan pendidikan lanjut bagi perawat Di Dunia Islam, keperawatan juga mengenal nama Rufaidhah binti Sa’ad, seorang perempuan pada xcv masa Nabi Muhammad yang mengembangkan keperawatan di dunia Islam. Rufaidah adalah public health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam. Ia mengabdikan dirinya untuk merawat orang sakit dengan membangun tenda di luar masjid Nabawi. Dan ketika perang, ia mendirikan Rumah sakit lapangan dan melatih para wanita muslim untuk merawat orang-orang yang terluka saat perang. Beberapa pengaruhnya dalam dunia keperawatan adalah sebagai pelopor sekolah keperawatan di dunia Islam, penyokong advokasi pencegahan penyakit (preventive care) dan penyebaran pentingnya penyuluhan kesehatan (health education). Jika memperhatikan sejarah di atas, awal mula kemunculan profesi perawat baik di dunia Barat maupun Islam, dipelopori oleh para perempuan. Dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan profesi ini juga para perempuan. Dalam proses sejarah tersebut, misalnya, ketika dilihat dari masa perang pada sejarah perawat dalam dunia Barat dan Islam, perempuan menempati posisi di garis belakang untuk membantu para laki-laki dalam berperang. Artinya, perempuan dianggap tidak pas ketika ikut mengangkat senjata dalam berperang. Mereka lebih dibutuhkan di garis belakang untuk menyediakan makanan bagi pasukan serta merawat para korban yang terluka akibat peperangan. Proses sejarah tersebut bisa dipandang sebagai sebuah proses konstruksi sosial yang membangun pandangan masyarakat terhadap profesi perawat. Dalam perspektif teori fungsional struktural, masyarakat merupakan xcvi suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Bagian-bagian tersebut bisa berupa agama, pendidikan, struktur politik, keluarga dan sebagainya. Asumsi dasar dalam teori ini adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lainnya. (Ritzer, 2004 : 21) Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender bisa disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah proses sosialisasi dan bahkan proses konstruksi sosial lewat berbagai interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Pembentukan perbedaan-perbedaan gender dibentuk secara sosial dan kultural, misalnya lewat agama dan kekuasaan. Proses panjang tersebut kemudian membentuk persepsi manusia yang menganggap perbedaan gender adalah sebuah kodrat yang harus diterima, seolah-olah perbedaan tersebut terjadi secara biologis dan tak dapat diubah. Persepsi manusia tentang gender kemudian menentukan peran-peran tertentu yang dianggap pantas atau tidak pantas disandang perempuan atau laki-laki di dalam masyarakat. Faktor sejarah bisa dipandang sebagai sebuah dialektika sosial masyarakat. Sedangkan stereotype merupakan bentuk pelabelan terhadap suatu kelompok dan atau jenis pekerjaan tertentu yang terbentuk dari konstruksi sosial. Dialektika sejarah yang berkembang dalam profesi ini kemudian membentuk stereotype bahwa profesi keperawatan merupakan profesi dipandang lebih cocok untuk para perempuan ketimbang laki-laki. Akibat xcvii adanya stereotype ini, dalam dunia keperawatan kemudian didominasi oleh para perempuan. Stereotype seperti ini muncul dalam persepsi yang ada pada perawat di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten. Seperti yang tergambar dalam pernyataan berikut. Dunia keperawatan itu kan punya kecenderungan lebih dekat dengan para perawat perempuan. Mas tentunya paham bagaimana sejarah tentang kemunculan perawat itu sendiri baik versi Islam maupun versi barat. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) Secara teori persepsi yang muncul dalam organisasi keperawatan ini mempunyai kecenderungan kepada tipe tindakan tradisional, karena apa yang mereka lakukan seringkali bersifat non rasional dalam arti bahwa mereka seringkali dapat menerima setiap bentuk ketidakadilan dan diskriminasi terhadap salah satu jenis kelamin. Dalam hal ini perawat laki-laki seringkali menjadi korban karena dengan mendasarkan pada penerimaan norma-norma tingkah laku individu dengan dalih perawat hanya bisa dilakukan oleh jenis kelamin perempuan dikarenakan sesuai dengan stereotipe yang muncul bahwa seorang perawat haruslah lemah lembut luwes dan berperasaan yang ini hanya dimiliki oleh jenis kelamin perempuan. Persepsi yang muncul dari perawat tersebut merupakan bentukan konstruksi sosial dari proses sejarah yang berkembang dan dipelajari hingga kini. Artinya, pembelajaran sejarah tentang keperawatan yang menunjukkan dominasi para perempuan memperkuat stereotype bahwa profesi perawat merupakan profesi “milik” perempuan. xcviii Menurut Novarra, jika seorang perempuan harus bekerja, maka apa yang dikerjakannya di luar rumah tidak jauh dari perannya dalam rumah tangga. Bahkan di awal era kesetaraan gender, masih ada pendapat bahwa tabu hukumnya bagi kaum perempuan untuk bergerak di bidang politik atau bidang publik, jika perannya tidak sebangun dengan perannya dalam rumah tangga. Perbedaannya terletak pada lokasi kerja, yaitu di luar rumah, dan dengan bekerja di luar rumah perempuan pekerja mendapat imbalan atas jasanya. (www.jurnalperempuan.com) Dialektika sejarah yang berkembang dalam dunia keperawatan dan masyarakat pada dasarnya juga berhubungan dengan relasi kuasa. Relasi kuasa ini tampak dari sejarah ketika kaisar konstantin mendirikan sebuah rumah sakit, ia mempekerjakan perawat yang seluruhnya adalah perempuan. Akibat dari relasi kuasa ini kemudian memarginalisasikan peran perempuan di ranah publik. Hanya ada perkerjaan-perkerjaan tertentu yang dipandang pantas disandang oleh perempuan. Dan pekerjaan tersebut tidak jauh dari peran mereka dalam rumah tangga. Profesi perawat dipandang sebagai profesi yang cocok untuk perempuan karena memerlukan kelembutan, kesabaran dan melibatkan emosi, sifat-sifat yang dianggap lebih dekat dengan para perempuan. Adanya relasi kekuasaan ini kemudian mebentuk struktur pengetahuan masyarakat yang pada akhirnya memberikan label bahwa pekerjaan perawat adalah pekerjaan perempuan. Kesempatan kerja yang lain seperti dalam bidang politik dan pemerintahan lebih mengutamakan kaum laki-laki karena perempuan dianggap tidak pandai memimpin. xcix Dalam sebuah rumah tangga, di dunia ini didominasi oleh pemahaman bahwa pemimpin dalam sebuah keluarga adalah laki-laki. Pemahaman ini kemudian meluas ke ranah publik sehingga sektor kerja tertentu terutama terkait dengan kepemimpinan, kaum perempuan kemudian dipinggirkan, dan dikonsentrasikan ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan “kodratnya”. Jika melihat dialektika sejarah tentang gender di masyarakat dengan kacamata fungsional struktural, terlihat jelas bahwa pandangan terhadap peran perempuan dalam keluarga (salah satu elemen masyarakat) menentukan pandangan perempuan dalam ranah publik (masyarakat). Dari analisis sejarah tersebut bisa dilihat bahwa relasi kuasa membentuk struktur pengetahuan masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi tindakan manusia dalam berinteraksi. Dalam konteks keperawatan, para penguasa (yang didominasi laki-laki) turut berperan dalam proses marginalisasi peran gender dengan mengkonsentrasikan peran perempuan ke dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dianggap pantas. “Kodrat” perempuan dibentuk secara kultural untuk memperkuat alasan-alasan dalam proses marginalisasi tersebut. Konstruksi tersebutlah yang membentuk persepsi bahwa profesi perawat adalah “milik” perempuan. B. PERAN DAN TANGGUNGJAWAB PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN Jika memandang secara profesional, profesi perawat pada dasarnya tidak membedakan pembedaan peran gender seperti yang terlihat dalam c persepsi masyarakat hasil bentukan sejarah. Hal ini bisa dilihat dari definisi perawat hingga tugas-tugas keperawatan yang tidak terdapat pembedaan yang dikaitkan dengan peran gender. Keperawatan Merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosiokultural-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan komunitas, baik sakit maupun sehat serta mencakup seluruh siklus hidup manusia. Aktivitasnya berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Paradigma keperawatan diatas kemudian diterjemahkan dalam aktivitas riil pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Di Indonesia, paradigma tersebut diterjemahkan ke dalam standar praktek keperawatan profesional yang harus ditentukan oleh PPNI, yaitu : 6. Pengkajian Proses Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, berkesinambungan. 7. Diagnosa Keperawatan Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis keperawatan. 8. Perencanaan ci Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan klien. 9. Implementasi Perawat membuat rencana tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan. 10. Evaluasi Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan dalam pencapaian tujuan dan merevisi data dasar perencanaan. (Nursalam, 2002:8) Menurut Kozier Barbara (Nursalam, 2001:14), peran yang dibangun perawat, secara garis besar digambarkan sebagai berikut: 4. Care Giver Sebagai care giver, seorang perawat harus memiliki kemampuan untuk : c. Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang kompleks. d. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien. Perawat harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan signifikan dari klien. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi diagnosis keperawatan mulai dari masalah fisik sampai pada masalah psikologis. cii 5. Conselor Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual. Dalam hal ini, peran perawat ditunjukkan dengan : e. Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sehat sakitnya. f. Meningkatkan kemampuan beradaptasi guna merancang metode berinteraksi. g. Memberikan konseling atau bimbingan penyuluhan kepada individu atau keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu. h. Pemecahan masalah di fokuskan pada masalah keperawatan 6. Education Peran berperan sebagai seorang pendidik, layaknya seorang guru. Pada intinya, aktivitas yang dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan kesadaran baru yang mampu merubah perilaku dalam bidang kesehatan. Nursalam juga menjabarkan peran perawat dengan singkatan CARE. Ia mendeskripsikan konsep CARE sebagai berikut. C: Communication. Seorang perawat harus memiliki kemampuan berkomunikasi secara lengkap, akurat dan cepat dan harus didukung fakta yang memadai. ciii A: Aktivity. Aktivitas yang dilaksanakan adalah memberikan asuhan kepada klien yang ditunjang oleh sikap kesungguhan dan empati serta bertanggungjawab terhadap setiap tugas yang diembannya. Selain itu, ia juga harus bisa membangun kerjasama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya. R : Review. Prinsip utama dalam peran ini adalah moral dan etika keperawatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahankesalahan yang bisa berakibat fatal bagi konsumen dan profesi keperawatan. Karena itu, seorang perawat harus mampu menjaring berbagai informasi dan mengikuti perubahan yang terjadi dalam hal pelayanan kesehatan yang senantiasa berkembang. E : Education. Seorang perawat dituntut untuk berkomitmen terhadap profesinya dengan terus menerus menggali ilmu melalui pendidikan formal dan informal sampai pada suatu keahlian tertentu. Tugas-tugas perawat juga diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 94/Kep/M.PAN/II/ 2001. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan keperawatan / kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan serta pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka kemandirian dibidang keperawatan / kesehatan. Peran sering diartikan sebagai serangkaian perilaku yang diharapkan dituntut oleh masyarakat terhadap individu atau pun organisasi yang civ memegang kedudukan tertentu dalam masyarakat. dalam konteks keperawatan, peran yang menjadi tanggungjawab perawat adalah memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan tugas yang diembannya. Arah dari pelayanan kesehatan adalah menyehatkan masyarakat. Sehat dalam hal ini tidak hanya dipandang sebagai suatu keadaan yang terbebas dari penyakit, namun lebih kepada keseimbangan bio-psiko-sosio-spiritual yang optimum, yang dapat meningkatkan kemampuan dan potensi manusia di masyarakat. Kualitas layanan kesehatan bisa dilihat dari tanggapan yang diberikan oleh para pasien terhadap pelayanan rumah sakit. Pada dasarnyanya secara umum kualitas layanan kesehatan yang dilakukan RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten mendapat tanggapan positif dari para pasien. Mereka menganggap bahwa rumah sakit telah memberikan pelayanan yang baik seperti yang tampak dalam beberapa pernyataan berikut : Cukup memuaskan, sampai saat ini nggak ada masalah berarti. Para perawatnya juga lumayan baik mas dan mereka semua cukup ramah untuk melayani kami.(Bagus) Alhamdulillah baik sekali, doktere penak isoh dijak gojek yo lucu dadi asyik nang kene cepet mari. Perawatnya pun juga baek2 baek. Tapi kadang-kadang Beda juga mas. kalau sama perawat perempuan lebih telaten dan sabar melayani kalau laki-laki galak, dan pendiam, (Tri Jati S) Secara umum yang saya rasakan cukup bisa dikatakan agak baek. Namun dalam beberapa hal masih ada pembedaan yang sangat jelas bahwa pasien yang nggak punya duit diacuhkan begitu saja. (Joko W) Dari pernyataan tersebut, ada seorang pasien yang merasakan perbedaan pemberian layanan terkait perbedaan gender. Ia menanggap bahwa cv pelayanan perawat lebih baik ketimbang perawat laki-laki. Ini menunjukkan masih adanya pandangan perbedaan peran gender berdasarkan pada konsep gender. Namun, jika memperhatikan tugas dan peran yang dijalankan perawat secara umum, tidak ada yang secara tegas menggambarkan perbedaan peran dan tugas terkait dengan perbedaan peran gender. Secara umum, tugas, peran dan tanggungjawab seorang perawat bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Yang membedakan tugas dan tanggungjawab tersebut bukanlah peran gender, namun lebih kepada tingkat pendidikan dan keilmuan serta kedudukan para perawat dalam lembaga mereka keperawatan di rumah sakit. Karena itu, ketika konstruksi sosial yang membentuk sejarah dan dialektika sosial di masayarakat mengarahkan pada pandangan bahwa profesi perawat adalah profesi yang lebih cocok kepada perempuan, tak lebih dari hasil pembentukan struktur pengetahuan masyarakat lewat relasi kuasa. Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini semakin banyak institusi-institusi profesional yang menangani “pekerjaan-pekerjaan perempuan” dengan sejumlah karyawan laki-laki terlibat atau bahkan berperan penting di dalamnya (Vianello, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa kini dunia kerja lebih menitikberatkan faktor kemampuan individu dan mulai meninggalkan pendapat konvensional tentang pembagian kerja menurut jenis kelamin. Seperti yang terjadi di dunia keperawatan dimana pada era sekarang ini perawat laki-laki juga menjadi bagian penting dari dunia keperawatan. Motivasi utama dari profesi ini adalah kemanusiaan, selain dari motivasi cvi pribadi untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Sehingga, baik laki-laki dan perempuan memiliki potensi untuk mengembangkan profesi ini. Artinya, pandangan bahwa profesi perawat adalah “milik” perempuan pada saat ini tidak terlalu menonjol. Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara tersirat, masyarakat mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin dan maskulin dalam diri tiap manusia (laki-laki maupun perempuan) walaupun masih ada keterikatan dengan stereotype tentang laki-laki dan perempuan secara umum. C. DISTRIBUSI PERAN KEPERAWATAN MENURUT PERBEDAAN PERAN GENDER Jika dillihat dari segi kuantitas, di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, jumlah perawat laki-laki masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan perawat perempuan. Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Data Per Februari 2007 Tingkat Pendidikan S1 Keperawatan D3 Keperawatan SPK PK D4 Kebidanan D3 Kebidanan D3 Anestesi Bidan D3/SPRG/P Gigi DK/PK Jumlah Laki-Laki 7 98 20 1 1 127 Perempuan 11 31 1 9 1 24 2 247 Sumber : Data Bidang Perawat RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten cvii Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa komposisi Perawat Laki-laki masih kecil jika dibandingkan dengan perawat perempuan 39,06% untuk perawat laki-laki dan 66,04% untuk perawat perempuan. Data secara kuantitatif menunjukkan bahwa di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten, Perempuan lebih mendominasi profesi ini meskipun dalam rentang tidak terlalu besar. Dari data tersebut, menunjukkan bahwa profesi perawat masih terikat dengan stereotype peran gender. Hal ini juga terungkap dalam pernyataan salah satu perawat yang ada di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten ia berikut adalah pernyataanya : Di indonesia khususnya jawa posisi perempuan lebih dipandang bisa dan mampu untuk mengemban status perawat. ini bisa dilihat dalam ruangan ini (bagian keperawatan) kebanyakan mereka perempuan. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) Dalam memberikan peran sebagai seorang perawat, secara umum tidak ada pembedaan dalam distribusi tugas keperawatan terkait dengan perbedaan peran gender. Hal ini tampak dari apa yang diceritakan oleh para informan lewat pernyataan berikut ini. Semuanya sama saja mas, antara perawat laki-laki dan perawat perempuan dimana harus menjalankan segala tugas dan tanggung jawab dlm bidangnya. (Warsana) Soal tugas keperawatan menurut pandangan saya semua sama baik perawat laki-laki maupun perempuan. (Tri Maryanti) Kalau pembedaan secara kegiatan saya rasa tidak ada mas, mungkin yang ada hanya etika saja. (Suyatun). Secara tegas tidak dibedakan, tapi sebagai manusia ciptaan Allah yang dikarunia oleh kemampuan masing-masing kan berbeda. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) cviii Namun dalam praktek di lapangan, pekerjaan dijalankan secara luwes dengan mengutamakan kualitas layanan. Pemberian pelayanan dengan memperhatikan faktor gender dilakukan dengan alasan profesionalitas. Kerja tu kan luwes tho mas, jadi ya bisa minta tolong sama rekan perawat yang lain apabila nggak mampu untuk melakukan tugasnya. Misalnya kebetulan ada pasien perempuan meminta kami untuk memandikannya, ya minta tolong sama perawat wanitanya. (Warsana) Kalau dalam proses perawatannya memang kadang-kadang ada pasien yang meminta untuk dirawat oleh jenis kelamin tertentu. Misalnya seperti yang selama ini saya alami saya sering memandikan pasien [sibin] baik laki maupun pasien perempuan. (Tri Maryanti) Dalam beberapa hal saya perempuan tidak mampu untuk melakukan tugas maka saya minta tolong pada perawat yang lain. (Suyatun) ya dalam prakteknya tetep yang laki-laki seringkali cenderung untuk membantu dalam hal-hal yang berat-berat. Misalnya seperti angkat pasien. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) Keluwesan kerja yang dibangun dalam hubungan kerja keperawatan seperti tampak dalam pernyataan di atas menyiratkan bahwa pandangan terhadap perbedaan peran gender masih berlaku, namun tidak dalam posisi untuk meminggirkan antara satu dan yang lainnya, tapi lebih kepada usaha untuk mencapai kualitas layanan yang diinginkan. Seperti pada kasus memandikan pasien. Secara profesional, masing-masing perawat baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk bersedia memandikan setiap pasien baik laki-laki maupun perempuan. Namun karena adanya faktor etika yang ditentukan oleh pandangan moral dan agama, sehingga kadang terjadi ada pasien yang meminta dimandikan dengan perawat yang sejenis dengan kelaminnya. cix Kemudian dalam kasus angkat mengangkat, laki-laki terkadang lebih diutamakan dalam pelaksanaan tugas ini. Ini menunjukkan bahwa stereotype laki-laki lebih kuat secara fisik ketimbang perempuan masih ada. Secara profesional, sebenarnya para perawat memahami tugas dan tanggungjawab masing-masing (perawat laki-laki dan perempuan) bahwa mereka memiliki posisi yang setara serta tugas dan tanggungjawab yang sama. Tapi karena faktor sosial budaya masyarakat yang terpengaruh yang terkonstruksi oleh pemahaman peran gender yang dipengaruhi budaya patriarkhis, maka dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya masih terjadi pembedaan peran gender yang pada akhirnya memperlihatkan posisi yang tidak setara antara perawat laki-laki dan perempuan. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa Konstruksi sosial gender secara perlahan berpengaruh terhadap proses biologis masing-masing kelamin. Misalnya, karena karena adanya konstruksi sosial, seorang laki-laki harus memiliki sifat kuat. Maka kaum laki-laki tersosialisasi dan termotivasi untuk menjadikan dirinya kuat untuk memenuhi sifat yang dianggap umum oleh masyarakat tersebut. Sebaliknya, karena dalam konstruksi sosialnya perempuan harus bersikap lemah lembut, maka sejak bayi, proses sosialisasi yang dibangun perempuan mengarah pada sifat tersebut. Proses sosialisasi yang berlangsung secara mapan dalam pada akhisnya mempengaruhi secara fisik dan psikis hingga pada akhirnya ada kesulitan untuk membedakan apakah sifat-sifat tersebut merupakan sifat dasar manusia atau hasil dari proses konstruksi sosial. cx Distribusi peran dan tanggungjawab dalam profesi keperawatan juga tampak dalam struktur kelembagaan yang ada. Di bidang keperawatan RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten, struktur kelembagaan yang ada menunjukkan bahwa perempuan lebih dominan dalam menduduki jabatan-jabatan penting dalam manajerial. pengelolaan manajemen kerja profesi. Struktur tersebut menetukan besar kecilnya akses informasi serta kewenangan seseorang dalam menetukan kebijakan tertentu, seperti yang tergambar dalam pengakuan par ainforman berikut ini : Akses semua punya mas, tinggal besar kecilnya pengaruh yang dia miliki. Kebijakan tentang Kenaikan Pangkat seorang Perawat.(Puji) Terus terang saya kurang mengamati sapa saja yang punya akses ke para atasan, kalau yang saya tahu hanya beberapa yang mampu dan punya akses ke pembuat kebijakan, misalnya kepala bagian,kepala ruang. (Warsana) Para kepala ruang yang langsung punya akses terhadap pembuat kebijakan, apalagi sekarang kan era otonomi daerah jadi perawat dituntut untuk lebih memahami kebijakan dan sebisa mungkin untuk mengontrolnya. (Endang Wuryaningsih, AMK, S. Pd. K) Struktur organisasi yang didominasi oleh para perempuan seperti yang tergambar di atas menunjukkan bahwa di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten, menunjukkan bahwa dalam soal akses informasi dan kebijakan, perawat perempuan mendapat akses yang lebih besar dibandingkan dengan perawat laki-laki. Perempuan masih dianggap sebagai yang terdepan dalam pengelolaan manajemen keperawatan. cxi Padahal, jika dilihat peran, tugas dan tanggungjawab perawat secara umum, tidak ada penegasan bahwa profesi ini lebih mengutamakan kaum perempuan dibanding kaum laki-laki. Kondisi tersebut tidak lepas dari faktor sejarah dan konstruksi sosial yang berlangsung secara mapan sejak awal kemunculan profesi ini dimana adanya relasi kuasa dan pandangan budaya patriarkhi mengakibatkan profesi perawat menjadi salah satu bidang pekerjaan yang diarahkan untuk para perempuan. Akibatnya peran perempuan menjadi lebih dominan sehingga memunculkan ketidaksetaraan antara perawat laki-laki dan perempuan. cxii BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Kesetaraan gender adalah suatu keadaan dimana terjadi kesetaraan atau keadilan sosial antara laki-laki dan perempuan. Suatu keadaan yang diisyaratkan oleh pengertian tersebut adalah penerimaan martabat kedua jenis kelamin dengan ukuran yang setara. Orang harus mengakui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Keduanya memiliki hak yang setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan. Di masyarakat, pola perilaku dan kegiatan laki-laki dan perempuan merupakan konstruksi secara sosial yang membentuk identitas. Semenjak dulu sudah dikonstruksikan bahwa peran gender memang sudah ada dan merupakan kodrat manusia, ditambah dengan proses sosialisasi gender yang sudah sangat lama didukung adanya legitimasi agama dan budaya. Maka semakin kuat interpretasi orang bahwa perbedaan peran, posisi dan sifat perempuan dan laki-laki adalah kodrat. Padahal baik peran, posisi dan sifat ini adalah bentukan sosial dan budaya yang disebut gender. Dalam dunia keperawatan, kesetaraan gender yang terbangun dapat dilihat dalam matrik sebagai berikut : cxiii Tabel 5.1 Analisis Data Hasil Penelitian No. 1. Sudut Pandang Sejarah Keperawatan 2. Profesi sebagai Tenaga Kesehatan 3. Struktur Kelembagaan Analisis Dialektika sejarah yang berkembang dalam profesi ini membentuk stereotype bahwa profesi keperawatan merupakan profesi dipandang lebih cocok untuk para perempuan ketimbang laki-laki. Kondisi tersebut tak lepas dari adanya relasi kuasa dalam budaya masyarakat. Akibat dari relasi kuasa ini kemudian memarginalisasikan peran perempuan di ranah publik. Hanya ada perkerjaanperkerjaan tertentu yang dipandang pantas disandang oleh perempuan. Dan pekerjaan tersebut tidak jauh dari peran mereka dalam rumah tangga, dimana salah satunya adalah profesi perawat. Jika dilihat dari profesinya sebagai tenaga kesehatan, tidak ada perbedaan peran gender. Tugas-tugas sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang ataupun kode etik keperawatan tidak ada yang membedakan tugas perawat berdasarkan gender. Namun, dalam prakteknya, tugastugas pelayanan kesehatan dijalankan secara luwes dimana pembedaan peran gender masih tampak. Misalnya saat memandikan pasien, pekerjaan angkat-angkat dan sebagainya. Ini terjadi karena faktor nilai-nilai budaya dan moral yang diyakini masyarakat. Dari sisi pelayanan, sebagian pasien juga masih menganggap bahwa perempuan lebih luwes dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan. Proses marginalisasi yang memunculkan stereotype bahwa perawat merupakan pekerjaan perempuan merembet pada struktur lembaga. Dalam struktur yang tampak di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten, perempuan masih dianggap lebih mampu dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan. Hal ini tampak dari struktur kelembagaan yang didominasi oleh kaum perempuan. Dari jumlah perawat, dapat juga dilihat bahwa perawat perempuan lebih banyak ketimbang perawat laki-laki. Jika dilihat dengan kerangka analisis Kabber, fenomena kesetaraan yang terbangun dalam profesi keperawatan di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : cxiv 1. Analisis Berdasarkan Tinjauan Tujuan Profesi Keperawatan Jika ditinjau dari tujuan dan profesi keperawatan, yakni berperan dalam peningkatan layanan kesehatan masyarakat, maka pada dasarnya tidak ada pembedaan peran gender dalam profesi keperawatan. Baik kaum laki-laki maupun perempuan posisinya setara dan memiliki potensi untuk berkembang dan mengembangkan profesi ini sebagai bagian dari pengabdian mereka terhadap kemanusiaan serta usaha mereka untuk mendapatkan penghidupan yang layak. 2. Analisis Relasi Sosial Yang Terkait Dengan Profesi Keperawatan Munculnya stereotype bahwa profesi perawat hanya cocok untuk perawat, bisa dilihat dari relasi sosial yang terbangun dalam masyarakat. Relasi ini ditentukan oleh proses sosialisasi dan adanya faktor kuasa yang berpengaruh terhadap struktur pengetahuan masyarakat. Adanya pandangan bahwa perempuan memiliki sifat-sifat lemah lembut, teliti, dan lebih emosional membuat profesi perawat dianggap lebih cocok bagi para perempuan. Selain itu, adanya budaya patriarkhi dimana dalam rumah tangga, perempuan dianggap tidak mampu memimpin, dan hanya bertugas dalam pekerjaan rumahan seperti merawat anak, membersihkan rumah, memasak dan sebagainya mengakibatkan akses pekerjaan yang terbatas bagi perempuan. Ketika perempuan bekerja di luar rumah, maka pekerjaan yang dijalankan tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka lakukan dalam rumah tangga. Hal ini menyebabkan proses marginalisasi perempuan dalam akses pekerjaan dimana perempuan diarahkan pada cxv profesi tertentu yang dekat dengan pekerjaan mereka di rumah, salah satunya adalah profesi sebagai perawat. Akibatnya, dalam dunia keperawatan perempuan menjadi lebih dominan ketimbang laki-laki. Proses sosialisasi yang kurang berimbang mengakibatkan kontruksi sosial yang terbentuk menjadi bias gender. 3. Analisis Institusional Pada Lembaga Keperawatan Proses konstruksi peran gender yang timpang tersebut berpengaruh dalam struktur kerja yang dibangun dalam lembaga keperawatan. Dalam kerjakerja teknis, laki-laki masih dianggap lebih kuat secara fisik sehingga untuk pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik lebih, maka laki-laki lebih dikedepankan. Sedangkan dari struktur kelembagaan yang ada, perempuan lebih memiliki akses terhadap informasi dan kewenangan dalam pengambilan kebijakan karena mereka menduduki posisi-posisi penting. Sedangkan dilihat dari kualitas layanan, masyarakat masih ada yang menganggap bahwa perempuan dianggap lebih cakap dalam menjalankan profesi ini. Dari analisis di atas, peneliti menyimpulkan bahwa secara profesional, masing-masing perawat baik laki-laki dan perempuan mengakui bahwa mereka memiliki posisi yang setara antara satu dan yang lainnya. Namun, adanya konstruksi sosial yang terpengaruh budaya patriarkhi memunculkan pembedaan peran gender. Pada akhirnya, pemahaman tentang peran gender tersebut menentukan distribusi peran dan tanggungjawab yang memperlihatkan bahwa perawat laki-laki dan cxvi perempuan tidaklah setara. Dalam hal pemberian pelayanan kesehatan, secara professional tidak ada pembedaan terhadap pasien laki-laki dan perempuan. Namun, faktor budaya dan etika masyarakat setempat membuat pelayanan kesehatan diberikan secara luwes dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. B. IMPLIKASI 1. Implikasi teoritis Dalam penelitian ini menggunakan teori aksi yang terdapat dalam paradigma definisi sosial yang menekankan pada tindakan sosial karya Max Weber. Secara definitif Max Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretatif understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasarnya, yaitu konsep tindakan dan konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Hasil penelitian ini secara teoritis mendukung teori aksi ini, dimana pendekatan ini menekankan kepada tindakan dari perawat laki-laki dan perawat perempuan dalam berperan menjadi perawat di Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro Klaten yang dipengaruhi persepsi mereka tentang profesi perawat yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan dan juga pada konstruksi budaya patriarkhi yang masih melekat kuat di dalamnya. cxvii Pembentukan perbedaan-perbedaan gender dibentuk secara sosial dan kultural, misalnya lewat agama dan kekuasaan. Proses panjang tersebut kemudian membentuk persepsi manusia yang menganggap perbedaan gender adalah sebuah kodrat yang harus diterima, seolah-olah perbedaan tersebut terjadi secara biologis dan tak dapat diubah. Persepsi manusia tentang gender kemudian menentukan peran-peran tertentu yang dianggap pantas atau tidak pantas disandang perempuan atau laki-laki di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini juga menggunakan teknik analisis gender. Analisis gender merupakan sistem analisis terhadap ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender. Kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat menjadi korban ketidakadilan. Analisis gender juga membantu peneliti untuk mengarahkan perhatian tidak hanya pada perilaku perawat laki-laki dan perawat perempuan saja, melainkan pada sistem dan struktur sosial yang dikonstruksi oleh keyakinan dan ideologi sosial yang bias gender. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik analisis kerangka Kabber yang menggunakan kerangka analisis gender dengan pendekatan relasi sosial. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menganalisis ketidakadilan gender yang ada dalam distribusi sumber daya, tanggungjawab dan kekuasaan. Dalam pendekatan ini ada 3 komponen analisis untuk menginterpretasikan realitas. Sasaran pembangunan sebagai kesejahteraan manusia, konsep relasi sosial dan analisis institusional. cxviii 2. Implikasi metodologis Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan deskripsi tentang profesi keperawatan secara menyeluruh tidak cukup hanya dengan melakukan wawancara mendalam dengan para informan. Analisis sejarah diperlukan untuk merunut bagaimana dialektika sosial yang terjadi sehingga membentuk realitas yang sekarang ini tampak. 3. Implikasi Praktis Secara praktis, fenomena yang diangkat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya profesi keperawatan tidak berkaitan dengan perbedaan peran gender yang dikonstruksi di masyarakat. Namun adanya konstruksi sosial yang terbangun sacara mapan mengakibatkan pandangan yang membedakan peran gender tersebut masih kuat hingga kini. C. SARAN Dari berbagai kesimpulan diatas, peneliti mencoba memberi masukan sebagai berikut : 1. Perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan yang menganggap bahwa profesi keperawatan identik dengan kaum perempuan. Pengubahan ini bisa dilakukan dengan memberikan pengetahuan gender dalam pendidikan keperawatan. 2. Adanya dominasi perempuan dalam struktur kelembagaan profesi perawat juga perlu perubahan. Artinya, setiap orang baik laki-laki maupun perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang cxix dan mengembangkan profesi ini. Penentuan struktur lembaga tidak didasarkan pada perbedaan peran gender, namun lebih kepada prestasi kerja, komitmen terhadap profesi dan kemampuan individu. cxx DAFTAR PUSTAKA Abdullah Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Djojodibroto. 1997. Pelayanan Publik. Rajawali Press, Jakarta. Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta : pustaka Pelajar Johnson, Doyle Paul. 1989. Teori Sosiologi Klasik 2dan Modern Jilid I, Terjemahan Robert Lawang, Gramedia, Jakarta Johnson, Doyle Paul. 1989 . Teori Sosiologi Klasik 2dan Modern Jilid 2, Terjemahan Robert Lawang, Gramedia, Jakarta Lu Verne Wolf dkk . 1984. Sejarah Keperawatan, Terjemahan UI Press, Jakarta Moleong, Lexy.1991. Metode Penelitian Kualitatif , Rosdakarya , Bandung Miles, MB & Huberman.1982. Analisis Data Kualitatif, UI- Press, Jakarta. Mandy,Mccdonald. 1997. Gender Planning in Development Agencies, Oxford Oxfam publication, Miftahudin, Fauzi Abdullah & Roem Topati Masang. 1996. Pisau Bedah Analisis Gender : Tujuh Kerangka Analisis Gender. Terjemahan bebas dari A. Toll Kit : Concept & Frame work for Gender Analysis &Planning. OXFAM UK/I Gender Learning Team. Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik. Salemba Medika, Jakarta Ritzer, George .1985. Sosiologi Ilmu pengetahuan Berparadigma Ganda, Terjemahan oleh : Drs Alimandan, Rajawali Press, Jakarta. cxxi Saptari, Ratna& Briggitte Holzner.1997. Perempuan dan Perubahan Sosial (Sebuah Pengantar studi Perempuan) Suryadi, Ace & Eep Idris (2004). Kesetaraan gender (Dalam Bidang Pendidikan) , Bandung, PT Gresindo Susanto, Astrid (1985), Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta, Jakarta Slamet, Y. 2001. Teknik Pengambilan Sampel untuk penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Surakarta: UNS Press Soekanto,Soerjono.1985.Kamus Sosiologi. Rajawali Press. Jakarta Biro Pusat Statistik. 2007. Kota Klaten dalam Angka 2007. Klaten Poloma, Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soekanto,Soerjono.1993.Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soekanto,Soerjono.1993. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta Sutopo,HB. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Sebelas Maret University Press. Surakarta Illich Ivan. 2005. Matinya Gender. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sumber Selain Buku Internet : www.google.Com Januari 2009.Quality Assurance Keperawatan www.google.Com Januari 2009.Etika Keperawatan di Indonesia cxxii www.google.Com Januari 2009.Sejarah Keperawatan Indonesia www.ippni.com :”Kode etik keperawatan’’ www.klaten.co.id sejarah perkembangan kota klaten www.university of Chicago.com Signs: Journal of Women in Culture and Society 2006, vol. 31, no. 4] 2006 by The University of Chicago Professor Keng Chua, Centre for Media Communications and Asian Studies, Faculty of Arts,2007 Southern Cross University, PO Box 157, Lismore, NSW 2480 Australia Skripsi : Windyarini, Tatik. 2005. Peran Perempuan dalam Gerakan Militan Islam (Analisis Gender mengenai Pola Relasi dan Peran Publik Perempuan dalam Gerakan Militan Islam di Kota Surakarta). FISIP UNS Laili Nur. 2006. Keluarga Amalgamansi Keturunan arab dan Analisis gender (Studi Deskriptif Kualitatif mengenai keluarga amalgamansi Keturunan Arab di Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta) cxxiii