RESPON MANGROVE TERHADAP PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

advertisement
RESPON MANGROVE TERHADAP PERUBAHAN IKLIM GLOBAL:
ASPEK BIOLOGI DAN EKOLOGI MANGROVE*)
oleh:
Cecep Kusmana
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB
Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Dewasa ini meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca (CO2, CH4, CFC, HFC,
N2O), terutama peningkatan konsentrasi CO2, di atmosfir menyebabkan terjadinya global
warming (peningkatan suhu udara secara global) yang memicu terjadinya global climate
change (perubahan iklim secara global). Fenomena ini memberikan berbagai dampak yang
berpengaruh penting terhadap keberlanjutan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di
planet bumi ini, di antaranya adalah pergeseran musim dan perubahan pola/distribusi hujan
yang memicu terjadinya banjir dan tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada
musim kemarau, naiknya muka air laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil
dan banjir rob, dan bencana badai/gelombang yang sering meluluhlantakan sarana-prasarana
penopang kehidupan di kawasan pesisir.
Sebagai ekosistem yang berada di daerah peralihan antara laut dan darat, mangrove
akan merupakan tipe ekosistem yang pertama terkena pengaruh berbagai dampak yang akan
terjadi akibat perubahan iklim global ini. Seperti diutarakan oleh beberapa ahli, di antaranya
Field (1995), kebanyakan mangrove di berbagai belahan dunia akan mengalami kondisi
peningkatan suhu udara, perubahan rejim hidrologi, peningkatan muka air laut, dan
peningkatan besar serta frekuensi bencana badai tropis.
Sehubungan dengan mangrove dalam kaitannya dengan perubahan iklim global ada
empat hal yang harus dicermati, yaitu:
(1) Bagaimana respon mangrove terhadap peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir?
(2) Bagaimana respon mangrove terhadap peningkatan suhu udara akibat peningkatan
konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir?
(3) Bagaimana respon mangrove terhadap naiknya muka air laut?
(4) Bagaimana respon mangrove terhadap perubahan rejim hidrologi dan bencana
badai/gelombang laut?
*)
Karya tulis disampaikan pada Lokakarya Nasional Peran Mangrove dalam Mitigasi Bencana dan Perubahan
Iklim, KKP, Jakarta 14-15 Desember 2010.
Keempat hal tersebut (seperti hal (1) dan (3) diutarakan juga oleh Saenger, 2002) sangat
berkaitan dengan aspek biologi dan ekologi mangrove yang bersifat spesifik lokal yang akan
menyebabkan mangrove yang tumbuh di wilayah tertentu dapat beradaptasi terhadap
perubahan iklim global atau tidak yang mengakibatkan hilangnya mangrove tersebut.
Respon Mangrove terhadap Peningkatan Konsentrasi CO2 di Atmosfir
Laju fotosintesis tanaman (termasuk mangrove) akan meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi CO2 di atmosfir.
Pada tingkat konsentrasi CO2 yang relatif tinggi, stomata
sebagai saluran masuknya CO2 ke daun konduktansinya akan menurun yang menyebabkan
pengurangan kehilangan air dari proses transpirasi yang juga melalui stomata tersebut
sehingga terjadilah efisiensi penggunaan air oleh tanaman tersebut. Nampaknya tingginya
konsentrasi CO2 akan menyebabkan efisiensi penggunaan Nitrogen oleh tanaman seperti yang
dilaporkan oleh Hogarth (1999). Oleh karena itu, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir
diperkirakan akan menstimulasi pertumbuhan tanaman dalam kondisi keterbatasan
ketersediaan air, karbon atau nitrogen, namun pertumbuhan tanaman tidak akan meningkat
apabila tingkat salinitas terlalu tinggi untuk lancarnya proses pengambilan air oleh tanaman
atau bila ketersediaan beberapa unsur hara terbatas ketersediaannya (Field, 1995). Dengan
demikian respon mangrove terhadap peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir bergantung
pada trade-off antara peningkatan efisiensi penggunaan air dengan tingkat pengaruh simultan
dari proses fisiologi yang berkaitan dengan laju transpirasi dan pertumbuhan.
Sehubungan dengan mangrove, fenomena tersebut di atas secara empiris telah
dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian, di antaranya:
(1) Penelitian Farnsworth et. al. (1996) yang melaporkan bahwa semai Rhizophora
mangle berumur satu tahun yang ditanam pada kondisi konsentrasi CO2 yang tinggi
(double-ambient, 700 µL.L-1) memperlihatkan biomassa yang lebih besar, batang yang
lebih panjang, cabang yang lebih banyak, dan area daun yang lebih luas dibandingkan
dengan semai yang ditanam pada kondisi konsentrasi CO2 ambient (350 µL.L-1).
Biomassa yang relatif lebih tinggi ini disebabkan oleh rasio akar terhadap pucuk yang
lebih tinggi, lajur pertumbuhan dan laju asimilasi bersih yang lebih cepat. Setelah
berumur satu tahun semai yang ditanam pada kondisi konsentrasi CO2 yang tinggi
2
mampu membentuk organ reproduktif, akar tunjang, lignin pada batang, yang mana
tidak diperlihatkan oleh semai yang ditanam pada kondisi CO2 ambient.
(2) Penelitian Ball et. al. (1997) yang melaporkan bahwa laju pertumbuhan, laju
fotosintesis, dan efisiensi penggunaan air dari semai R. mucronata dan R. stylosa yang
ditanam pada kondisi salinitas yang relatif rendah lebih tinggi daripada semai yang
ditanam pada kondisi salinitas yang relatif tinggi.
Fenomena ini juga diperkuat oleh penelitian Kusmana et. al. (2010) bahwa semai
R. mucronata yang ditanam pada kondisi salinitas sekitar 10 ppt memperlihatkan riap
diameter dan tinggi batang yang relatif lebih tinggi daripada semai yang ditanam pada
kondisi salinitas sekitar 28 ppt. Dengan demikian nampaknya efek dari peningkatan
konsentrasi CO2 bervariasi dengan kondisi fisik dan kimia habitat dimana mangrove
tumbuh seperti dilaporkan oleh Ball and Munns (1992).
(3) Penelitian Snedaker and Araujo (1998) melaporkan bahwa 4 jenis mangrove Florida
menunjukkan respon penurunan konduktansi stomata dan transpirasi serta peningkatan
laju fotosintesis, efisiensi penggunaan air dan laju pertumbuhan pada kondisi
konsentrasi CO2 yang tinggi. Namun, tidak nampak adanya perubahan berarti dari
produktifitas primer bersih pada jenis R. mangle, Avicennia germinans, dan
Conocarpus erectus, tetapi sebaliknya terjadi penurunan produktifitas primer bersih
pada Laguncularia racemosa.
Respon Mangrove terhadap Peningkatan Suhu Udara
Species mangrove mempunyai toleransi yang berbeda terhadap peningkatan suhu
udara.
Dalam hal ini fotosintesis dan beberapa variabel ekofisiologi mangrove seperti
produksi daun yang maksimal terjadi pada tingkat suhu optimal tertentu, dibawah dan diatas
suhu tersebut fotosintesis dan produksi daun menurun (Hogarth, 1999). Penelitian Hutchings
dan
Saenger
(1987)
melaporkan
bahwa
species
mangrove
Australia
0
umumnya
0
memperlihatkan laju fotosintesis yang maksimum pada suhu antara 21 C dan 28 C.
A. marina yang tumbuh jauh ke selatan menunjukkan laju fotosintesis yang maksimum pada
suhu 200C, sedang laju fotosintesis maksimum Xylocarpus yang tersebar di daerah tropika
terjadi pada suhu lebih tinggi dari 280C.
Field (1995) mengemukakan bahwa sedikit
peningkatan dalam suhu udara memberikan pengaruh langsung yang relatif kecil terhadap
3
mangrove, namun bila suhu lebih tinggi dari 350C, maka akan memberikan pengaruh yang
kurang baik terhadap struktur akar, pembentukan semai dan proses fotosintesis. Efek yang
lebih luas dari peningkatan suhu adalah modifikasi/perubahan distribusi geografis mangrove
dan struktur komunitas, peningkatan keanekaragaman jenis mangrove pada garis lintang yang
lebih tinggi dan menstimulasi persebaran mangrove ke wilayah lingkungan salt marsh subtropis (Ellison, 1994). Selain itu, peningkatan suhu juga akan berpengaruh terhadap laju
pembusukan serasah dan fisiologi serta distribusi geografis fauna mangrove.
Fauna yang berasosiasi dengan mangrove akan secara langsung terpengaruh oleh
perubahan iklim dan secara tidak langsung oleh perubahan mangrove (Karthiresan and
Bingham, 2001).
Species fauna yang toleran terhadap peningkatan suhu (seperti ikan,
gastropoda, dan krustase) akan cepat beradaptasi dengan perubahan tersebut. Namun fauna
dengan tubuh yang lunak dan moluska (keong dan kerang) diperkirakan akan menderita
dengan adanya kenaikan suhu. Dalam hal ini dampak yang serius akibat perubahan iklim
akan terjadi pada fauna yang hidupnya bergantung pada mangrove akibat banyaknya
mangrove yang hilang di berbagai belahan dunia.
Respon Mangrove terhadap Naiknya Muka Air Laut
Akibat pemanasan global maka air laut akan meningkat karena peningkatan suhu
lautan dunia dan mencairnya benua es di Kutub.
Respon mangrove terhadap naiknya muka air laut akan bervariasi menurut lokasi dan
akan bergantung pada laju kenaikan muka air laut secara lokal dan ketersediaan sedimen
sebagai media tempat tumbuhnya mangrove (Semeniuk, 1994; Woodroffe, 1999). Sebagai
contoh di wilayah Carribbean, semai mangrove sangat sensitif terhadap ketersediaan sedimen
yang rendah, diperkirakan mangrove di Pulau Koral Caribbean tidak akan survive apabila
muka air laut meningkat (Ellison, 1996).
Peningkatan muka air laut akan menyebabkan zona mangrove pinggir laut (seaward
mangrove) semakin lama dan dalam tergenang air pasang yang dapat menyebabkan kematian
mangrove tersebut, namun jangkauan pasang air laut akan menyebabkan mangrove menyebar
jauh ke daratan yang mana akan sekaligus terjadinya pergeseran zonasi dan perubahan
komposisi jenis mangrove di sepanjang gradien lingkungan tersebut. Fenomena ini akan
terjadi apabila tidak ada barier (buatan dan alamiah/topografi) yang menghalangi persebaran
4
mangrove tersebut dan/atau lahan daratannya tidak digunakan penduduk untuk berbagai usaha
penopang kehidupan, misal lahan pertanian, tambak, sarana-prasarana perumahan dan
perkotaan, dan lain-lain. Berdasarkan fakta saat ini di berbagai belahan dunia, perluasan
mangrove ke daratan akibat adanya kenaikan muka laut sulit terjadi karena umumnya lahan
daratan pesisir di belakang mangrove sudah banyak yang dikonversi ke bentuk landuse lain,
akibatnya mangrove akan bertambah sempit atau cenderung hilang sama sekali.
Ellison and Stoddart (1991) melaporkan bahwa di wilayah Caribbean dan Pasifik
mangrove masih dapat berkembang pada kenaikan muka air laut sekitar 8-9 cm/100 tahun
mangrove mengalami stres, dan kenaikan diatas 12 cm/100 tahun mangrove hilang. Dengan
demikian, nampaknya mangrove akan terhindar dari kepunahan apabila laju deposisi sedimen
dapat mengimbangi laju kenaikan muka air laut, seperti sering terjadi di pulau-pulau besar
dan pulau-pulau oseanik yang relatif tinggi dimana sering terbentuknya delta dari sungaisungai besar dan adanya pasokan runoff yang cukup dari air hujan dan aliran sungai, atau
pada situasi dimana terjadinya deposisi sedimen marine dalam jumlah yang banyak, maka
mangrove akan tetap tumbuh dan berkembang dengan baik. Tetapi, sebaliknya pada daerahdaerah gurun seperti di Laut Merah diprediksi mangrove akan hilang dengan adanya kenaikan
muka laut.
Secara empiris fenomena tersebut di atas dibuktikan oleh hasil-hasil penelitian yang
dilaksanakan oleh beberapa penelitian, di antaranya:
(1) Sayed (1995) melaporkan bahwa semai A. marina yang ditanam pada pot yang
direndam dengan level air yang lebih tinggi menunjukkan banyak penutupan pada
stomata, kehilangan kecerahan klorofil, dan sedikit penurunan kandungan potensial
daun. Namun setelah perendaman pemulihan pertumbuhannya relatif cepat, sehingga
yang bersangkutan memprediksi bahwa A. marina dapat mengkolonisasi daratan
supratidal bila muka air laut naik.
(2) Ellison and Farnsworth (1997) melaporkan bahwa anakan R. mangle yang berumur 2,5
tahun yang direndam dengan level tinggi air yang lebih tinggi memperlihatkan laju
fotosintesis dan pertumbuhan yang lebih rendah, lebih pendek dan lebih ramping,
mempunyai cabang dan daun yang lebih sedikit dan tanah tempat tumbuhnya banyak
mengandung asam sulfida. Mereka memperkirakan bahwa peningkatan pertumbuhan
mangrove
akibat
peningkatan
konsentrasi
CO2
diimbangi
oleh
penurunan
pertumbuhan akibat perubahan dalam rejim pasang-surut akibat naiknya muka air laut,
seperti juga dikemukakan oleh Ellison and Farnsworth (1997).
5
(3) Ellison and Farnsworth (1997) melaporkan bahwa semai R. mangle berumur satu
tahun yang ditanam pada kondisi muka laut yang lebih rendah menunjukkan
pertumbuhan yang relatif lebih pendek dan lebih ramping daripada semai dalam
kondisi kontrol. Adapun semai yang ditanam pada kondisi muka air laut yang lebih
tinggi memperlihatkan pertumbuhan yang lebih cepat daripada semai pada kondisi
kontrol. Namun, pada tingkat sapling (menjelang berumur 30 bulan) pertumbuhan
menurun secara drastis, sedangkan semai pada kondisi kontrol (tinggi muka air laut
ambient) memperlihatkan ukuran lebih besar dan pertumbuhan yang lebih cepat.
Respon Mangrove terhadap Perubahan Rejim Hidrologi atau Pasang Surut
Rejim hidrologi, di antaranya meliputi aspek curah hujan, evapotranspirasi, runoff dan
salinitas. Blasco et. al. (1996) menjelaskan bahwa karena mangrove bersifat spesialis dan
hidup mendekati batas limitnya, maka mangrove sangat sensitif terhadap terjadinya variasi
kecil dalam rejim hidrologi atau pasang surut.
Penurunan runoff dan curah hujan akan
menyebabkan peningkatan salinitas dan kandungan kadar sulfat dalam air laut, yang
mengakibatkan penurunan pertumbuhan mangrove (Snedaker, 1995).
Respon Mangrove terhadap Badai Tropika
Perubahan iklim global melalui peningkatan suhu atmosfir dan terjadinya ekstrim
cuaca di berbagai belahan bumi memicu sering terjadinya bencana badai tropis. Respon
mangrove terhadap besar dan frekuensi badai tropis bergantung pada komposisi jenis,
kerapatan individu, ukuran rata-rata diameter dan tinggi pohon, lebar hutan, serta bentuk
tipologi pantai dimana mangrove berada. Banyak hasil penelitian membuktikan bahwa
mangrove dapat meminimalisir daya rusak dari badai gelombang, namun gelombang yang
terlalu besar kekuatannya dapat meluluhlantahkan mangrove tersebut. Oleh karena itu,
pengaruh badai tropis terhadap mangrove tergantung pada karakteristik lingkungan lokal
dimana mangrove berada.
6
Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Mangrove di Indonesia
Perubahan iklim memiliki dampak yang cukup besar bagi Indonesia. Dampak
tersebut diantaranya adalah perubahan pola dan distribusi curah hujan, bencana banjir dan
tanah longsor, dan naiknya permukaan air laut. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
Indonesia menghadapi resiko kehilangan banyak pulau-pulau kecil dan menyempitnya
kawasan pesisir akibat naiknya permukaan air laut. Gregory dan Oerlemans (1998)
memprediksi suhu udara meningkat sekitar 0,30C dan peningkatan muka air laut global sekitar
6 cm setiap 10 tahun. Susandi et al. (2008) memprediksi kenaikan muka air laut untuk
wilayah Indonesia hingga tahun 2100 sekitar 1,1 m yang berdampak pada hilangnya daerah
pantai dan pulau-pulau kecil seluas 90.260 km2 atau tenggelamnya sekitar 115 buah pulau.
Selain itu para ahli telah memperkirakan presipitasi di Asia Tenggara yang akan meningkat
sekitar 3,6% di tahun 2020-an, 7,1% di tahun 2050, dan 11,3% di tahun 2080-an. Nampaknya
iklim di Asia Tenggara di masa yang akan datang akan menjadi lebih panas dan lebih basah
daripada kondisi saat ini yang memicu terjadinya banjir dan longsor di musim penghujan, dan
kekeringan di musim kemarau. Berdasarkan fenomena di atas, maka perubahan iklim global
akan menyebabkan hilangnya hutan mangrove yang tumbuh di pulau-pulau kecil seiring
dengan tenggelamnya pulau-pulau tersebut. Disamping itu, akan terjadi penyempitan lebar
hutan mangrove yang tumbuh di pantai-pantai pulau yang tidak tenggelam tetapi lahan di
kawasan pesisir di belakang mangrove banyak diokupasi oleh penduduk. Namun, bagi
mangrove yang tumbuh di kawasan pesisir yang tidak banyak diokupasi oleh penduduk,
diperkirakan lebar mangrove akan meluas ke pedalaman.
7
DAFTAR PUSTAKA
Ball, M. C. and R. Munns. 1992. Plant responses to salinity under elevated atmospheric
concentrations of CO2. Aust. J. Bot. 40: 515-525.
Ball, M. C., M. J. Cochrane and H. M. Rawson. 1997. Growth and water use of the
mangroves Rhizophora apiculata and R. stylosa in response to salinity and humadity
under ambient and elevated concentrations of atmospheric CO2. Plant, Cell and
Environ. 20:1158-1166.
Blasco, F., Saenger, P. and Janodet, E. 1996. Mangroves as indicators of coastal changes.
Catena 27 (3-4) 167-178.
Ellison, A. M. and Farnsworth, E. J. 1997. Simulated sea level change alters anatomy,
physiology, drawth, and reproduction of red mangrove (Rhizophora mangle L.).
Oecologie 112 (4), 435-446.
Ellison, A. M., Farnsworth, E. J. and Twilley, R. R. 1996. Facultative mutualism between red
mangrove and root fawling sponges in Belizeans mangal. Ecology 77 (8), 2431-2444.
Ellison, J. C. 1994. Climate change and sea level rise impacts on mangrove ecosystems. In”
Impacts of climate change on ecosystems and species: marine and coastal ecosystems”
(J. Pernetta, R. Leemans, D. Elder and S. Humphrey, eds.), pp. 11-30. IUCN, gland.
Ellison, J. C. and Stoddart, D. R. 1991. Mangrove ecosystem collapse during predicted sea
level rise: holocene analogues and implications. Journal of coastal research, 7, 151165.
Farnsworth, E. J. and A. M. Ellison. 1996. Sun-shade adaptability of the red mangrove,
Rhizophora mangle (Rhizophoraceae): changes through ontogeny at several levels of
biological organisation. Amer. J. Bot. 83: 1131-1143.
Field, C. D. 1995. Impact of expected climate change on mangroves. Hydrobiologia 295,
75-81.
Hogarth, P. J. 1999. The Biology of Mangroves. Oxford University Press. New York.
Hutchings, P. and Saenger, P. 1987. Ecology of mangroves. University of Queensland Press,
St. Lucia.
Kathiresan, K. and B. L. Bingham. 2001. Biology of Mangrove and Mangrove Ecosystems.
Center of Advanced Study in Marine Biology, Annamalai University, Parangipettai
608502 and Huxley College of Environmental Studies, Western Washington
University, Bellingham, WA 98225, USA.
8
Saenger, P. 2002. Mangrove Ecology, Silviculture and Conservation. Kluwer Academic
Publisher. Australia.
Sayed, O. H. 1995. Effects of the expected sea level rise on Avicennia marina L.: A case
study in Qatar. Qatar University Science Journal. 15 (1), 91-94.
Semeniuk, V. 1994. Predicting the effect of sea level rise on mangrove in northwestern
Australia. Journal of coastal research 10 (4), 1050-1076.
Snedaker, S. C. and R. J. Araujo. 1998. Stomatal conductance and gas exchange in four
species of Caribbean mangroves exposed to ambient and increased CO2. Mar.
Freshw. Res. 49: 325-327.
Woodroffe, C. D. 1999. Response of mangrove shorelines to sea level change. Tropics 8 (3),
159-177.
9
Download