16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hukum

advertisement
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Hukum Perlindungan Konsumen
1. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari adanya
gerakan perlindungan konsumen (consumers movement). Secara historis
perlindungan
konsumen
diawali
dengan
adanya
gerakan-gerakan
konsumen di awal abad ke-19. di New York pada tahun 1891 terbentuk
Liga Konsumen yang pertama kali, dan pada tahun 1898 di tingkat
nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The
National Consumer’s League). Organisasi ini kemudian tumbuh dan
berkembang dengan pesat sehingga pada tahun 1903 Liga konsumen
Nasional AS telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20
negara bagian.
Pada tahun 1962 Presiden AS John F. Kennedy menyampaikan
Consumer Message kepada kongres, dan ini dianggap sebagai era baru
baru gejolak konsumen. Dalam preambul Consumer Message ini
dicantumkan formulasi pokok-pokok pikiran yang sampai sekarang
terkenal sebagai hak-hak konsumen (Consumer Bill Of Right).
Di negara-negara lain selain Amerika Serikat juga terjadi
kebangkitan perlindungan konsumen. Inggris telah memberlakukan HOPS
(Prevention Of Frauds) Act dalam tahun 1866, The Sale of Goods Act,
tahun 1893, Fabrics (Midescription) Act, tahun 1913, The Food and
Drugs Act, tahun 1955, The Restrictive Trade Protection Act, tahun 1956,
tetapi The Consumer Protection Act baru muncul pada tahun 1961 dan
diamendir tahun 1971.
Di Indonesia, sebagai salah satu gagasan yang diperkenalkan
secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi
16
17
konsumen (pendidikan, penelitian/ pengujian, pengaduan, dan publikasi
media konsumen), perlindungan konsumen mulai terdengar di tahun 1970
an, yang ditandai dengan berkiprahnya Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), pada awalnya yayasan ini masih berada di bawah
bayang-bayang kampanye penggunaan produksi dalam negeri. Lambat
laun orientasi dinamika organisasi lebih pada perlindungan konsumen.
Untuk merealisasikan perlindungan konsumen tersebut, maka
pemerintah mengeluarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999 yang mulai berlaku tanggal 18 April tahun 2000.
UUPK dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa pembangunan
nasional bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat adil dan makmur
yang merata materiil dan spirituil dalam era demokrasi ekonomi
berdasarkan UUD 1945.
Pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus
dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan
beraneka barang dan/ atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banayak dan sekaligus
terdapat kepastian bahwa barang dan/ atau jasa yang diperoleh dari
perdagangan tidak mengakibatkan kerugian bagi konsumen.
Semakin terbukanyan pasar nasional sebagai akibat dari proses
globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/
atau jasa yang diperoleh pasar.
Pembentukan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ini diharapkan menjadi suatu sarana untuk
medidik masyarakat selaku konsumen maupun pelaku usaha untuk lebih
menyadari hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal tersebut
tercantum
jelas
dalam
konsiderans
Undang-undang
Perlindungan
Konsumen ini yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan
18
martabat
konsumen
perlu
meningkatkan
kesadaran,
pengetahuan,
kepeduliaan kemampuan, dan kemandirian konsumen dalam melindungi
dirinya,
serta
menumbuhkembangkan
sikap
pelaku
usaha
yang
bertanggung jawab.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa posisi
konsumen menurut undang-undang ini adalah sebagai mitra pelaku usaha.
Untuk itu, maka antara keduanya diharapkan terdapat suatu kerjasama
yang baik, dimana pelaku usaha memberikan produk yang baik kepada
konsumen, sedangkan konsumen memberikan imbalan yang sesuai dengan
kualitas produk yang diterima.
2. Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen
Ruang lingkup Hukum Perlindungan Konsumen sulit dibatasi
hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti
Undang-undang Perlindungan Konsumen ini. Hukum Perlindungan
Konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang
dan cabang ilmu hukum lainnya, karena pada tiap bidang dan cabang
hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat sebagai konsumen.
a. Pengertian Konsumen
Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pada pasal 1 butir 2 menyatkan bahwa:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Secara umum, konsumen dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu;
19
2) Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang/
jasa lain untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/ jasa lain
untuk diperdagangkan (untuk tujuan komersial);
3) Konsumen-akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang/ jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali (non-komersial).
The UN Guidelines for Consumer protection yang diterima dengan
suara bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
melalui Resololusi PBB No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1995 tentang
Perlindungan Konsumen, mengandung pemahaman umum dan luas
mengenai perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil. Hal yang
diperjuangkan oleh guidelines tersbut adalah struktur kelompok-kelompok
konsumen yang independen, dimana dinyatakan dalam paragraf pertama
bahwa pemerintah-pemrintah sepakat untuk memfasilitasi/ mendukung
perkembangan kelompok-kelompok konsumen (Yusuf Sofie, 2003:31)
b. Pengertian Pelaku Usaha
Dalam hukum perlindungan konsumen, yang disebut sebgai
pelaku usaha adalh setiap orang, baik perorangan maupun badan usaha
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
(Pasal 1 butir 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen).
3. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
Az Nasution membedakan antara hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen. Hukum konsumen adalah asas-asas dan kaidahkaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan
20
penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat sedangkan hukum
perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan masalah
penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Definisi dari perlindungan konsumen itu sendiri dapat ditemukan
dalam pasal 1 butir 1 UU nomor 8 Tahun 1999 yaitu:
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.
Dalam penjelasan psal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen
dinyatakan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan
nasional, yakni sebagai berikut:
a. Asas Manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas Keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajiban secara adil.
c. Asas
Keseimbangan,
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan antara kepentinagn konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
d. Asas Keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalm penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barnag
dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas Kepastian Hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
21
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
4. Hubungan Hukum Perlindungan Konsumen dan Bidang Hukum
yang lain
Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sangat luas,
sehingga tidak tertutup kemungkinan bidang-bidang hukum yang baru
mempunyai ikatan yang erat dengan hukum perlindungan konsumen.
Hukum perlindungan konsumen dapat berkaitan dengan hukum perdata
dalam hal ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk yang telah
digunakannya, namun walaupun mempunyai hubungan yang erat dengan
hukum perdata , bukan berarti hukum perlindungan konsuemn berada
dalam wilayah hukum perdata karena juga terdapat aspek-aspek hukum
perlindungan konsumen yang berada di bidang hukum publik, terutama
hukum pidana dan hukum administrasi negara.
Dari segi hukum publik, hukum perlindungan konsumen dikaitkan
dalam hal pelaksanaan unit usaha pelayanan umum (publiv service) yang
biasa dijalankan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap
pelanggaran hak-hak konsumen.
Dalam
bidang
hukum
acara,
hukum
perlindungan
konsumenmempunyai keterkaitan, khususnya dalam bidang pembuktian
class action dan small claim yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam hukum perlindungan konsumen.
Selain itu, hukum perlindungan konsumen juga mempunyai
keterkaitan dengan hukum lingkungan. Contohnya adalah saat ini yang
sedang gencar diperjuangkan adalah hak untuk mendapatkan lingkungan
hijau.
Berdasarkan pengaturan di atas dapat disimpulkan bahwa apabila
dilihat dari sudut pandang ”hukum konsumen” dapat dibedakan menjadi :
22
a. Hukum konsumen keperdataan;
b. Hukum konsumen pidana;
c. Hukum konsumen tata negara;
d. Hukum konsumen transnasional.
(Shidarta, 2000: 10-16)
B. Tinjauan mengenai Undang-undang Perlindungan Konsumen
Definisi mengenai masalah perlindungan konsumen diatur dalam
Pasal 1 butir 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan
bahwa segala upaya yang ditujukan untuk menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlindungan
terhadap konsumen dilakukan sebelum/ pada saat/ telah terjadi transaksi
yang menimbulkan suatu hubungan hukum antara pelaku usaha selaku
produsen dengan konsumen sebagai subyek hukum, dan barang dan/ atau
jasa sebagai obyek hukum dalam Undang-undang ini.
1. Subyek Hukum dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
Dengan disyahkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen,diharapkan dapat digunakan sebagai
sarana prefentiv guna mewujudkan perlindungan konsumen dengan
berdasar atas hak-hak yang juga dimiliki manusia. Jelas telah
diungkapkan dalam UU Perlindungan Konsumen, bahwa yang menjadi
subyek hukumnya adalah orang. Namun adanya hak dan kewajiban
tersebut kemudian menimbulkan suatu masalah baru, yaitu masalah
perlindungan bagi para pihak terhadap segala kegiatan yang dilakukan
oleh pihak lain berdasarkan hak dan kewajiban yang dimilikinya.
23
2. Obyek Hukum dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
Yang menjadi obyek dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen adalah barang dan/ atau jasa. Yang dimaksudkan dengan
barang menurut Pasal 1 butir 4 Undang-undang Perlindungan
Konsumen yakni:
Adalah setiap benda baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan
maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
Sedangkan yang dimaksud dengan jasa berdasarkan Pasal 1
butir 5 Undang-undang perlindungan konsumen :
Jasa adalah setiap pelayananyang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen,
3. Tujuan Perlindungan Hukum
Diperlukan suatu perlindungan bagi pelaku usaha maupun
konsumen yang mengadakan hubungan hukum untuk memenuhi
kebutuhannya masing-masing. Perlindungan tersebut tidak hanya
diberikan kepada pelaku usaha guna menghindari campur tangan pihak
lain dalam hubungan hukum yang terjadi dengan konsumen, tapi juga
diberikan kepada konsumen guna melindunginya dari perbuatan
curang yang dilakukan oleh pelaku usaha yang dapat merugikan
kepentingannya.
Secara
umum,perlindungan konsumen yang diatur dalam
Pasal 3 Undang-unang Perlindungan Konsumen, yang diberikan
kepada konsumen bertujuan untuk:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barand dan/ atau
jasa;
24
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
4. Hak dan kewajiban Konsumen
a. Hak Konsumen
Secara umum, ada empat hak dasar konsumen yang
dikemukakan oleh manatan presiden Amerika Serikat, John F.
Kennedy, yaitu antara lain:
1) Hak untuk mendapatkan keamanan(the right to safety)
2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
3) Hak untuk memilih (the right to choose)
4) Hak untuk didengar (the right to heard)
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
konsumen mempunyai hak-hak antara lain sebagai berikut:
1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/ atau jasa;
2) Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan
barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan;
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/ atau jasa;
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/
atau jasa yang digunakan;
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
25
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau
penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
b. Kewajiban Konsumen
Selain hak, konsumen juga memiliki kewajiban yang tercantum
dalam pasal 5 UUPK ini disebutkan bahwa kewajiban konsumen
adalah antara lain:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
maupun dalam penggunaan jasa;
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
5. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
a. Hak Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 6 UUPK diatur mengenai beberapa hal yang
termasuk kewajiban bagi Pelaku Usaha yakni antara lain:
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2) Hak unutuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
b. Kewajiban Pelaku Usaha
Di samping itu, dalam pasal 7 UUPK diatur lebih lanjut
tentang kewajiban dari pelaku usaha, yaitu:
26
1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai.
6. Batasan-batasan bagi Pelaku Usaha
Dalam melakukan hubungan hukumnya dengan konsumen,
pelaku usaha mempunyai batasan-batasan yang harus dipenuhi selama
hubungan hukum tersebut masih terjadi, yang berupa batasan
perbuatan yang dapat dilakukannya, dan tanggung jawab yang
dimilikinya.
a. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya adalah sebagai
berikut:
1) Memproduksi dan/ atau memperdagangkan barang dan/ atau
jasa yang:
a) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundangundangan;
27
b) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran seperti yang dinyatakan dalam label, etiket,
atau keterangan barang dan/ atau jasa tersebut;
c) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu seperti
yang dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/
atau jasa tersebut;
d) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
dan/atau jasa tersebut;
e) Tidak mencantumkan informasi dan/ atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2) Memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap atas
barang yang dimaksud;
3) Menawarkan, mempromosikan, barang dan/atau jasa secara
tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a) Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
b) Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau
memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu;
c) Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
d) Barang tersebut tidak mempunyai cacat tersembunyi;
e) Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang
dan/atau jasa lain;
f) Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum
pasti.
28
4) Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a) Harga atau tarif barang dan/atau jasa;
b) Penggunaan barang dan/ atau jasa;
c) Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas
barang dan/ atau jasa.
b. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Dalam melakukan hubungan hukum dengan konsumen, pelaku
usaha mempunyai tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan, serta wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi
yang disepakati dan/atau diperjanjikan (Pasal 19 ayat (1) Undangundang Perlindungan Konsumen).
7. Penyelesaian Sengketa
Apabila selama hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha
dengan konsumen ditemukan sengketa yang merugikan konsumen,
maka konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku
usaha atau melalui badan peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum. Penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui
pengadilan atau luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh para
pihak yang bersengketa.
Apabila para pihak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa di
luar pengadilan, maka penyelesaian sengketa tersebut dimaksudkan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi
kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh
29
konsumen (Pasal 45 ayat (1) dan ayt (2) Undang-undang Perlindungan
Konsumen).
8. Sanksi-sanksi
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan-ketentuan di atas dapat
dikenai sanksi administratif maupun sanksi pidana tambahan yang
tercantum dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-unang
Perlindungan Konsumen. Sanksi pidana tambahan yang dapat
dikenakan terhadap pelaku usaha dapat berupa:
a. Perampasan barang tertentu ;
b. Pengumuman putusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan usaha.
C. Kerangka Pemikiran
Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen merupakan ”awal” pencerahan bagi adanya
perlindungan hukum terhadap konsumen. Undang-undang ini sangat berarti
bagi konsumen, karena dalam era globalisasi dan modernisasi saat ini, dimana
persaingan para produsen semakin ketat, yang sering kali pada akhirnya
menimbulkan kerugian bagi pihak konsumen. Pembentukan undang-undang
ini diharapkan dapat menjadi suatu sarana untuk mendidik masyarakat selaku
konsumen maupun pelaku usaha untuk lebih menyadari hak dan kewajiban
yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Hal tersebut tercantum jelas dalam
konsiderans Undang-undang Perlindungan Konsumen ini yang menyatakan
bahwa
untuk
meningkatkan
meningkatkan
kesadaran,
harkat
pengetahuan,
dan
martabat
kepedulian
konsumen
pelu
kemampuan,
dan
30
kemandirian konsumen dalam melindungi dirinya, serta menumbuh
kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Diperlukan suatu perlindungan bagi pelaku usaha maupun konsumen
yang mengadakan hubungan hukum untuk memenuhi kebutuhannya masingmasing. Perlindungan tersebut tidak hanya diberikan kepada pelaku usaha
guna menghindari campur tangan pihak lain dalam hubungan hukum yang
terjadi dengan konsumen, tetapi juga diberikan kepada konsumen guna
melindungi dirinya sendiri dari perbuatan curang yang dilakukan oleh pelaku
usaha sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Kesenjangan ekonomi merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam
aktivitas ekonomi. Masyarakat Indonesialah yang tidak lain adalah konsumen,
yang paling dirugikan. Penjabaran perlindungan terhadap konsumen tertuang
dalam Pasal 3 Undang-undang perlindungan konsumen yakni antara lain
adalah:
g. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
h. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barand dan/ atau jasa;
i. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
j. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
k. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
l. Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
31
Terpenuhinya perlindungan hukum terhadap konsumen sesuai dengan
yang diamanatkan dalam Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen
jika para pelaku usaha berjalan mengikuti aturan, menerapkan prinsip
kesejajaran jika mengadakan suatu perjanjian kepada konsumen. Tidak dapat
dipungkiri dalam usaha mencari profit dalam melakukan kegiatan usaha, tidak
jarang para pelaku usaha melanggar berbagai ketentuan yang ada dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Hendaknya diluruskan anggapan keliru yang menyatakan bahwa para
pelaku ekonomi hanyalah terdiri dari pemerintah, Badan Usaha Milik Negara/
Derah (BUMN/ BUMD), koperasi, dan swasta/ konglomerat. Bahwa dalam
pelaku ekonomi konsumen juga termasuk di dalamnya.
Keberpihakan kepada konsumen sebenarnya merupakan wujud nyata ekonomi
kerakyatan. Dalam praktek perdagangan yang merugikan pihak konsumen,
diantaranya penentuan harga barang dan penggunaan klausula dalam
perjanjian yang cenderung menguntungkan pihak pelaku usaha secara tidak
patut, maka dalam hal ini pemerintah sebagai pihak pembuat formulasi
(peraturan) hendaknya dengan tegas menindak lanjuti
atas kecurangan
maupun pelanggaran yang dilakukan para pelaku usaha serta harus secara
konsisten
berpihak
kepada
konsumen
yang
merupakan
kebanyakan
masyarakat. Sehingga diperoleh anggapan bahwa konsumen bukan obyek
dalam kegiatan usaha tetapi merupakan subyek dalam suatu kegiatan usaha.
D. Tinjauan Umum Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Klaten
1. Sejarah Berdirinya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Klaten
Sejak tahun 1977 melalui Dana APBN (DIP) Departemen
Pekerjaan Umum di Kabupaten Klaten mulai dibangun Sistem
Penyediaan Air Bersih atau dikenal dengan Proyek Penanggulangan
Darurat yang bertujuan untuk mengenalkan sistem air bersih kepada
32
masyarakat Kabupaten Klaten. Sarana dan prasarana fisik yang
dibangun meliputi: pengeboran sumur dalam 1 (satu) buah yang
berkapasitas 15 liter per detik dengan jaringan pipa transmisi dan
distribusi sepanjang kurang lebih 12.000m, pemasangan sambungan
rumah 180 buah serta fasilitas hindrant umum sebanyak 14 buah.
Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri
memasukkan Kabupaten Klaten pada program pengembangan sistem
penyediaan air bersih bersama 6 (enam) Kabupaten/ Kota di Indonesia
yaitu: Ambon, Pare-pare, Jember, Klaten, Purwakarta dan Tangerang.
Master Plan dan Feasibility Study dibuat oleh Departemen Pekerjaan
Umum dengan konsultan JMM (James Mongomery LTD) dari Kanada,
Amerika Serikat dan BIEC dari Bandung.
Seluruh proyek dibiayai dengan Dana Pinjaman (kurang lebih
70%) dan penyertaan Modal Pemerintah (kurang lebih 30%). Untuk
pembiayaan atas proyek tersebut maka Pemerintah Indonesia dengan
ank Dunia telah mengadakan perjanjian pinjaman (IBRD Loan 1709
IND) guna pembangunan Sistem Penyediaan Air Bersih di Kota Klaten.
2. Status dan Kedudukan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Klaten
Perusahaan Daerah Air Minum Klaten merupakan salah satu
dari perusahaan daerah. Pengertian dari perusahaan daerah adlah suatu
perusahaan yang didirikan dengan peraturan daerah, dimana modalnya
sebagian
atau
seluruhnya
merupakan
kekayaan
daerah
yang
dipisahkan. Modal yang dipunyai tersebut tidak terdiri atas saham,
tetapi apabila suatu perusahaan daerah modalnya merupakan kekayaan
dari beberapa daerah atau sebagian modalnya dari pihak swasta maka
perusahaan tersebut modalnya terdiri atsa saham-saham.
33
Suatu perusahaan merupakan badan hukum apabila perusahaan
daerah tersebut didirikan berdasarkan peraturan daerah. Peraturan
daerah tersebut harus mendapatkan pengesahan dari instansi atasan,
dimana instansi atasan tersebut adalah Menteri Dalam Negeri bagi
Tingkat Daerah I dan Gubernur bagi Daerah Tingkat II. Dengan
melihat keadaan tersebut maka instansi atasan bagi Perusahaan Daerah
Air Minum Klaten adalah Gubernur Jawa Tengah.
Berdasarkan amanat UUD 1945 yang menghendaki adanya
daerah otonom yang dibentuk untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, untuk mewujudkan daerah otonom tersebut maka
pemerintah perlu mencari sumber-sumber kekayaan yang memberi
kemampuan dan kekuatan pada daerah yang bersangkutan.
Bagi bangsa Indonesia, untuk menuju masyarakat yang adil
dan makmur mengharuskan penguasaan atas cabang-cabang produksi
yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagaimana Pasal 33 ayat
(2) UUD 1945 tentang adanya cabang-cabang produksi yang penting
bagi bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh Negara, maka adanya pasal tersebut negara mengharapkan
mendapatkan alat-alat untuk membiayai pengeluaran daerah, di
samping adanya pajak dan pungutan lainnya.
Dengan adanya peraturan dari pasal tersebut, keberadaan
Perusahaan Daerah Air Minum Klaten relevan dengan peraturan yang
ada. Perusahaan Daerah Air Minum Klaten dsalam hal ini menempati
lahan yang merupakan milik dari pemerintah daerah kabupaten Klaten
itu sendiri. Disamping itu, sebagai perusahaan daerah yang berbentuk
badan hukum, PDAM Klaten mempunyai modal yang secara
keseluruhan adalah milik pemerintah daerah dan bukan sekedar untuk
mengusahakan kekayaan alam yang ada di daerah secara langsung
menguasai hajat hidup orang banyak akan tetapi juga sebagai sumber
34
keuangan daerah, maka Perusahaan Daerah Air Minum Klaten harus
dibina berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan atau dengan kata lain
memberikan keuntungan. Sesuai dengan hal tersebut maka seluruh
wewenang dan tanggung jawab terhadap semua aktivitas manajemen
perusahaan terletak di tangan pemerintah sendiri.
3. Tujuan dan Fungsi Didirikannya Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Klaten
Tujuan pokok dan fungsi didirikannya Perusahaan Daerah Air
Minum Klaten berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1977
yaitu mendukung dan mewujudkan program pemerintah di bidang
penyediaan air minum dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Kabupaten
Klaten pada khususnya. Sedangkan mengenai tujuan dari perusahaan
sendiri bersifat profit oriented dan society oriented. Sifat profit
oriented tersebut terlihat dari adanya pengenaan tarif atas jasa dan
pelayanan yang diberikan oleh PDAM Kab. Klaten kepada pelanggan
sebagai kewajiban pelanggan atas prestasi pihak PDAM. Sedangkan
dari sifat Society Oriented terlihat dari tarif air minum yang dikenakan
untuk kelompok sosial. Bahwa pihak PDAM Klaten disini seminimal
mungkin menekan tarif guna melindungi hak-hak pelanggan kelompok
social. Kelompok sosial disini antara lain: tempat ibadah, yayasan
social, panti asuhan, panti jompo, rumah tangga sederhana, wc umum
non komersial, kamar mandi, hidran umum.
Mengenai tujuan pendirian perusahaan sendiri yakni turut serta
melaksanakan pembangunan daerah khususnya, dan pembangunan
ekonomi nasional umumnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan kebutuhan rakyat serta ketentuan kerja dalam perusahaan, menuju
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
35
Dengan divisualisasikan dalam visi PDAM Klaten dengan terwujudnya
pelayanan air minum yang prima serta kondisi perusahaan yang sehat
dan mandiri, serta misinya Memberikan pelayanan air minum kepada
masyarakat
secara
tepat
kualitas,
kuantitas
dan
kontinuitas.
Mewujudkan tingkat pendapatan perusahaan dan kontribusi PAD
(Pendapatan Asli Daerah) secara optimal.
4. Ruang Lingkup Perusahaan Daerah Air Minum Klaten
Tugas Perusahaan Daerah Air Minum Surakarta adalah sebagai
berikut :
a. Menyediakan pelayanan air minum bagi masyarakat melalui
saluran distribusi;
b. Menyediakan fasilitas public hydran;
c. Menyediakan fasilitas fire hydran
Di samping itu PDAM Klaten selaku perusahaan daerah
mempunyai suatu kewenangan dalam rangka pengelolaan dan
pendistribusian sumber daya air yang ada di wilayah Kabupaten Klaten
guna memenuhi kebutuhan masyarakat Klaten akan air minum.
Wewenang PDAM Klaten dalam hal pengelolaan dan pendistribusian
air minum ii diatur dalam Pareturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat
II Klaten Nomor 2 Tahun 1977 tentang Pendirian Perusahaan Daerah
Air Minum Kabupaten Dati II Klaten.
5. Manajemen Penegelolaan Perusahaan Daerah Air Minum Klaten
PDAM Kabupaten Klaten, dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya memerlukan kelengkapan perangkat lunak baik perangkat
lunak hukum, pengaturan maupun perangkat lunak sistem operasional
teknik dan administrasi keuangan. Perangkat lunak hukum dan
pengaturan adalah sebagai berikut:
36
a. Peraturan Daerah Kabupaten Klaten
1. Peraturan Daerah tentang pendirian PDAM
2. Peraturan Daerah tentang ketentuan-ketentuan Pokok Badan
Pengawas, Direksi dan Kepegawaian
b. Keputusan Bupati
Atas dasar peraturan daerah tersebut di atas pelaksanaan
operasional PDAM berdasarkan atau ditetapkan dengan Keputusan
Bupati, antara lain:
1) Surat Keputusan Daerah Tingkat II tentang Organisasi PDAM
2) Surat Keputusan Daerah Tingkat II tentang Pengangkatan
Direksi PDAM
3) Surat Keputusan Daerah Tingkat II tentang Pengangkatan
Badan Pengawas
4) Keputusan Bupati Nomor 539/917/2002 tanggal 20 Juli 2002
tentang Penetapan besarnya biaya administrasi, dana perawatan
meter air dan denda.
c. Keputusan Direksi
Dalam rangka menjalankan pengelolaan PDAM, maka dibuatlah
keputusan-keputusan direksi untuk operasional.
Perangkat lunak oprasional teknik dan admnistrasi keuangan
antara lain:
a. Master Plan dan gambar-gambar jaringan operasional
b. Sistem komputerisasi rekening/ billing
c. NPSM (Norma, Syarat, Pedoman dan Manual) operasional teknik
6. Kelembagaan PDAM
Dasar pengaturan kelembagaan PDAM Kabuptaen Klaten
adalah:
37
a. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1977 tentang Pendirian
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Dati II Klaten
b. PERMENDAGRI Nomor 1 Tahun 1984 tentang tata cara
pembinaan dan pengawas perusahaan daerah di lingkungan
pemerintah daerah
c. PERMENDAGRI Nomor 690-1572 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Badan Pengawas, Direksi dan Kepegawaian PDAM
Kelembagaan PDAM Kabupaten Klaten mencakup unsurunsur antara lain:
a. Pemilik
: Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten
b. Unsur Pengawas Umum : Badan Pengawas
c. Unsur Pimpinan
: - Direksi PDAM
- 1 (satu) Direktur Utama
- 1 (satu) Direktur Administrasi dan
Keuangan
- 1 (satu) Direktur Teknik
d. Unsur Pelaksana
: - Kepala Bagian
- Kepala Cabang Wilayah
- Pelaksana Seksi
- Pelaksana
7. Sumber daya Manusia
Dalam
melaksanakan
kegiatan
operasionalnya
yakni
menyediakan air bersih serta mengembangkanpelayanan sesuai tuntutan
perkembangan pembangunan serta peluang yang ada, Sumber Daya
Manusia (SD) memerlukan perhatian serius.
Dengan sumber daya manusia yang mumpuni PDAM dapat
menjalankan tugas-tugasnya secara profesional, optimal dan dapat
mengikuti seluruh perkembangan yang ada.
38
Pada saat ini pegawai PDAM Kabupaten Klaten berjumlah 159
0orang terdiri atas:
a. 2 pegawai lulusan S2
b. 47 pegawai lulusan S1
c. 6 pegawai lulusan sarjana muda
d. 79 pegawai lulusan SMA atau sederajat
e. 19 peagawai lulusan SMP atau sederajat
f. 11 pegawai lulusan SD
Download