7 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
a. Pengertian Pembelajaran
Kata “pembelajaran” merupakan terjemahan dari “instruction”,
yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah
ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-holistik, yang
menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini
juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat
mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam
media, seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan
lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan
peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai
sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar.
Istilah “pembelajaran” lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil
teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa
diposisikan sebagai subjek belajar yang memegang peranan yang utama,
sehingga dalam setting proses belajar mengajar siswa dituntut
beraktivitas secara penuh bahkan secara individual mempelajari bahan
pelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)”
atau “teaching” menempatkan guru sebagai pemeran utama memberikan
informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai
fasilitator, me-manage berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari
siswa. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan
meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu
memberdayakan
semua
potensi
peserta
didik
untuk
menguasai
kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong
pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu
7
8
mampu
menjadi
pembelajar
sepanjang
hayat
dan
mewujudkan
masyarakat belajar (Sanjaya, 2013: 213-215).
Menurut Hamalik (2014: 57), “pembelajaran adalah suatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material,
fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi
mencapai tujuan pembelajaran”. Manusia terlibat dalam sistem
pengajaran terdiri dari siswa, guru dan tenaga lainnya, misalnya tenaga
laboratorium. Material meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur,
fotografi, slide dan film, audio, dan video tape. Fasilitas dan
perlengkapan, terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga
komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi,
praktik, belajar, ujian, dan sebagainya.
Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja. Sistem
pembelajaran dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di
kelas atau di sekolah, karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi
antara berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk membelajarkan
peserta didik.
Degeng (2013: 3) juga mengemukakan bahwa:
Pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Akibat
yang mungkin nampak dari tindakan pembelajaran adalah siswa
akan belajar sesuatu yang mereka tidak akan pelajari tanpa
adanya tindakan pembelajaran, atau mempelajari sesuatu dengan
cara yang lebih efisien.
Pandangan Degeng tersebut hampir sama dengan pandangan
Majid (2013: 4) yang mengemukakan bahwa:
Secara sederhana istilah pembelajaran (instruction) bermakna
sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok
orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi,
metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah
direncanakan. Pembelajaran dapat pula dipandang sebagai
kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional
untuk membuat siswa belajar.
Menurut Isjoni (2011: 14), “pembelajaran adalah sesuatu yang
dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada
9
dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik
melakukan kegiatan belajar”. Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya
efesiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik.
Pihak-pihak
yang terlibat dalam pembelajaran adalah pendidik
(perorangan atau kelompok), serta peserta didik (perorangan, kelompok,
dan/atau komunitas) yang berinteraksi educative antara satu dengan
lainnya. Isi kegiatan adalah bahan (materi) belajar yang bersumber dari
kurikulum suatu program pendidikan. Proses kegiatan adalah langkahlangkah atau tahapan yang dilalui pendidik dan peserta didik dalam
pembelajaran.
Tujuan dari proses pembelajaran yaitu adanya perubahan
perilaku siswa, baik perubahan perilaku dalam bidang kognitif, afektif,
maupun psikomotorik. Bloom memperkenalkan pengembangan perilaku
dalam bidang kognitif, yakni pengembangan kemampuan intelektual
siswa, contohnya kemampuan penambahan wawasan dan informasi agar
pengetahuan siswa lebih baik. Pengembangan perilaku dalam bidang
afektif adalah pengembangan sikap siswa, baik pengembangan sikap
dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Pengembangan sikap dalam
arti sempit adalah pengembangan sikap siswa terhadap bahan dan proses
pembelajaran, sedangkan dalam arti luas adalah pengembangan sikap
sesuai dengan norma-norma masyarakat. Pengembangan perilaku
psikomotorik adalah pengembangan kemampuan motorik, baik motorik
kasar maupun motorik halus. Motorik kasar adalah keterampilan
menggunakan otot, misalnya keterampilan menggunakan alat tertentu,
sedangkan
keterampilan
motorik
halus
adalah
keterampilan
menggunakan potensi otak, misalnya keterampilan memecahkan suatu
permasalahan (Agung & Wahyuni, 2013: 5).
Tujuan pembelajaran sangat penting dalam proses instruksional
atau dalam setiap kegiatan belajar mengajar, karena tujuan pembelajaran
yang dirumuskan secara spesifik dan jelas akan memberikan keuntungan
kepada: 1) siswa, untuk dapat mengatur waktu dan pemusatan perhatian
10
pada tujuan yang ingin dicapai; 2) guru, untuk dapat mengatur kegiatan
instruksional, metode, dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut; 3)
evaluator, untuk dapat menyusun tes sesuai dengan apa yang harus
dicapai oleh peserta didik (Uno, 2012: 91)
Berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran merupakan interaksi antara peserta didik, guru, dan sumber
belajar pada satu lingkungan belajar. Pembelajaran tersebut memiliki
tujuan yaitu terjadi perubahan pada diri siswa. Perubahan ini bukan
perubahan fisik melainkan perubahan dalam aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
b. Pengertian Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) merupakan salah satu dari
empat mata pelajaran yang terhimpun dalam Pendidikan Agama Islam
(PAI) yang terdiri dari Al-Qur‟an Hadis, Akidah Akhlak, Fikih dan
Sejarah Kebudayaan Islam, yang diajarkan diberbagai jenjang pendidikan
yang bernafaskan Islam. Sesuai dengan lampiran Permenag Nomor
000912 Tahun 2013 bahwa:
Sejarah Kebudayaan Islam merupakan catatan perkembangan
perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam hal
beribadah, bermuamalah dan berakhlak serta dalam
mengembangkan sistem kehidupan atau menyebarkan ajaran
Islam yang dilandasi oleh akidah. Karakteristik Sejarah
Kebudayaan Islam adalah menekankan pada kemampuan
mengambil Ibrah atau hikmah (pelajaran) dari sejarah Islam,
meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan
fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan seni, dan
lain lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban
Islam pada masa kini dan pada masa yang akan datang.
Sejarah Kebudayaan Islam adalah ilmu yang membahas tentang
hasil akal budi (cipta, karya, dan karsa) umat Islam yang dihasilkan pada
masa yang telah lalu, baik berupa gagasan, aktivitas maupun karya.
Berbicara ilmu pengetahuan, Sejarah Kebudayaan Islam merupakan salah
satu nama mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang menelaah
tentang asal-usul, perkembangan peranan kebudayaan atau peradaban
11
Islam dan para tokoh yang berprestasi dalam sejarah Islam di masa
lampau, mulai dari dakwah Nabi Muhammad pada periode Mekkah dan
periode Madinah, kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat,
sampai perkembangan Islam peridode klasik (zaman keemasan) pada
tahun 650 M-1.250 M, abad pertengahan/zaman kemunduran (1.2501800 M), dan masa modern/zaman kebangkitan (1.800-sekarang), serta
perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia. Secara substansial mata
pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam memiliki konstribusi dalam
memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayati Sejarah Kebudayaan Islam, yang mengandung nilai-nilai
kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk
sikap, watak dan kepribadian peserta didik.
Menurut Permenag Nomor 000912 Tahun 2013, Mata pelajaran
Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah bertujuan agar peserta
didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Membangun
kesadaran
peserta
didik
tentang
pentingnya
mempelajari landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam
yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW dalam rangka
mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
2) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan
tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini,
dan masa depan.
3) Melatih daya krisis peserta didik untuk memahami fakta sejarah
secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah.
4) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap
peninggalan sejarah Islam sebagai bukti peradaban umat Islam di
masa lampau.
5) Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil ibrah
dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh
berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya,
12
politik, ekonomi, iptek, seni, dan lain-lain untuk mengembangkan
kebudayaan dan peradaban Islam.
Ruang lingkup mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di
Madrasah Aliyah meliputi:
1) Dakwah Nabi Muhammad pada periode Makkah dan periode
Madinah.
2) Kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat.
3) Perkembangan Islam periode klasik/ zaman keemasan (pada tahun
650 M-1250 M).
4) Perkembangan Islam pada abad pertengahan/ zaman kemunduran
(1250 M-1800 M).
5) Perkembangan Islam pada masa modern/ zaman kebangkitan (1800sekarang).
6) Perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.
Menurut
Firmansyah
(2014:
20),
pembelajaran
Sejarah
Kebudayaan Islam bagi ummat Islam memiliki nilai-nilai yang penting.
Terdapat empat aspek penting yang dapat diambil dari sejarah, yakni:
1) Kewajiban kaum muslimin untuk meneladani Rasulullah
2) Untuk menafsirkan dan memahami maksud al-Quran dan Hadist,
perlu memahami setting sosial historis dan kondisi psikologis
masyarakat Islam pada saat itu.
3) Sebagai alat ukur sanad. Untuk mengetahui keautentikan sebuah
hadist, apakah dhabit atau tidak.
4) Untuk merekam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi, baik
sebelum maupun sesudah kedatangan Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) pada hakikatnya adalah
aktivitas pentransferan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh guru kepada
siswa yang berhubungan erat dengan peristiwa masa silam, baik itu
peristiwa politik, sosial, maupun ekonomi yang memang benar-benar
terjadi dalam suatu negara Islam dan dialami oleh masyarakat Islam.
13
Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) sangat penting untuk diberikan dan
diajarkan dengan baik kepada setiap satuan pendidikan yang bernafaskan
Islam mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai perguruan tinggi
dengan tujuan sejarah akan dapat direkonstruksi oleh umat Islam pada
zaman modern ini. Dengan mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
siswa dapat memperoleh pelajaran yang berharga dari perjalanan sejarah
Islam sejak lahir hingga masa kini. Dalam Sejarah Kebudayaan Islam
(SKI) terdapat materi-materi ajar yang berkenaan dengan masa
kekhalifahan. Salah satunya yaitu Dinasti Bani Abbasiyah. Dalam materi
Bani Abbasiyah ini, terdapat perjalanan khalifah atau pelaku sejarah pada
zaman dahulu, sehingga nilai-nilai keteladanan dari para khalifah atau
pelaku sejarah inilah yang dapat ditransformasikan kepada siswa. Oleh
karena itu, dengan mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
khususnya materi Bani Abbasiyah, siswa tidak hanya sekedar mengetahui
peristiwa apa yang terjadi pada masa lampau, tetapi melalui pembelajaran
Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) pada materi Bani Abbasiyah ini dapat
ditanamkan nilai-nilai karakter pada siswa. Sehingga siswa diharapkan
dapat menjadi insan kamil atau seseorang yang berakhlak mulia sesuai
yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.
2. Kurikulum 2013
a. Pengertian Kurikulum
Istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Para ahli
pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang kurikulum.
Namun demikian, dalam penafsiran yang berbeda itu, ada juga
kesamaannya. Kesamaan tersebut adalah, bahwa kurikulum berhubungan
erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai.
Kurikulum yaitu sebagai “a racecourse of subject matters to be
mastered”. Dalam situasi dan kondisi tertentu, pandangan ini masih
dipakai sampai sekarang. Pandangan yang muncul selanjutnya, beralih
dari menekankan pada isi menjadi lebih menekankan pada pengalaman
14
belajar, sekaligus perubahan ruang lingkup, yakni dari konsep yang
sempit menjadi lebih luas. Kurikulum bukan hanya merupakan rencana
tertulis bagi pengajaran, melainkan sesuatu yang fungsional, yang
memberi pedoman dan mengatur lingkungan dan kegiatan yang
berlangsung di dalam kelas. Rencana tertulis merupakan dokumen
kurikulum (curriculum document or incert curriculum), sedangkan
kegiatan yang berlangsung di kelas merupakan kurikulum fungsional
(functioning, live or operative curriculum) (Widyastono, 2014: 1-2).
Menurut Sanjaya (2013:6), “kurikulum merupakan kegiatan
yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah, asalkan
kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah)”. Yang
dimaksudkan dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra
ataupun ekstrakurikuler. Apapun yang dilakukan siswa asalkan berada
dibawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum.
Kurikulum juga merupakan semua kesempatan belajar yang
direncanakan untuk peserta didik di sekolah dan institusi pendidikan
lainnya. Kurikulum dapat dimaknai sebagai rancangan pengalaman yang
akan
diperoleh
diimplementasikan.
peserta
didik
Kurikulum
ketika
kurikulum
tersebut
merupakan
langkah
kegiatan
perancangan kegiatan interaksi dengan dirinya sendiri sebagai guru,
dengan sumber beajar dan lingkungan belajar lainnya. Rancangannya
selalu disusun dalam dokumen tertulis dan dilaksanakan serta
dikendalikan oleh guru (Yani, 2014: 5),
Kurikulum ini merupakan inti dari proses pendidikan, sebab
diantara bidang-bidang pendidikan yaitu manajemen pendidikan,
kurikulum, pembelajaran, dan bimbingan siswa, kurikulum pengajaran
merupakan bidang yang paling langsung berpengaruh terhadap
pendidikan. Desain kurikulum tersebut bersifat menyeluruh, mencakup
semua bentuk rancangan dan komponen kurikulum seperti dasar-dasar
dan struktur kurikulum, sebaran mata pelajaran, garis-garis besar
program pengajaran (GBPP), program tahunan/ semester/ triwulan,
15
silabi, satuan acara perkuliahan (SAP), satuan pelajaran (Satpel),
rancangan pengembangan media, sumber dan alat evaluasi. Desain
kurikulum tersebut dapat juga hanya berkenaan dengan salah satu bentuk
desain atau rancangan saja, umpamanya GBPP atau silabi, SAP atau
satuan pelajaran/ RPP (Sukmadinata & Erliany, 2012: 31).
Pandangan lain bahwa pengertian kurikulum merentang dari
yang sangat sederhana, yakni kurikulum merupakan kumpulan sejumlah
mata pelajaran, sampai kurikulum sebagai pengembangan kecakapan
hidup (life skill). Dalam kurikulum memuat: sejumlah mata pelajaran,
program kegiatan pembelajaran yang direncanakan, hasil belajar yang
diharapkan, reproduksi kebudayaan, dan pengembangan kecakapan
hidup. Kurikulum sebagai kumpulan sejumlah mata pelajaran merupakan
pengertian yang menghubungkan kurikulum dengan daftar mata
pelajaran yang harus diajarkan. Kurikulum sebagai program kegiatan
pembelajaran yang direncanakan, artinya perencanaan ruang lingkup,
urutan, keseimbangan mata pelajaran, teknik mengajar, dan hal-hal lain
yang dapat direncanakan sebelumnya dalam pembelajaran. Kurikulum
sebagai hasil belajar bertujuan untuk memberikan fokus hasil belajar
yang dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Kurikulum sebagai
reproduksi kebudayaan dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional, ketika pemerintah menuntut para pendidik untuk membangun
generasi yang mempunyai peradaban dan martabat yang tinggi, bertahan,
berdaya saing, serta mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman. Kurikulum sebagai pengembangan kecakapan hidup, bertujuan
mengembangkan kecakapan akademik, kecakapan pribadi, kecakapan
sosial, dan kecakapan vokasional peserta didik (Widyastono, 2014: 3).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas, pemerintah kemudian mendefinisikan kurikulum
sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pengajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran
untuk
mencapai
tujuan
16
pendidikan tertentu (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 19).
b. Pengertian Kurikulum 2013
Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada
tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Kurikulum 2013
merupakan suatu kebijakan baru pemerintah dalam bidang pendidikan
yang diharapkan mampu untuk menjawab tantangan dan persoalan yang
akan dihadapi oleh bangsa Indonesia ke depan. Menurut Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dengan kurikulum 2013, Guru tidak lagi
disibukkan memikirkan silabus, tapi guru akan leluasa mengembangkan
kreativitas dalam mengajar. Guru lebih dapat memfokuskan diri dalam
mengembangkan kreatifitas pembelajaran dengan mengarahkan anak
didik untuk melakukan pengamatan (observing), menanya (questioning),
menalar (assosiating), mencoba (experimenting) dan membentuk jejaring
(networking) (Sariono, 2014: 5)
Menurut Mulyasa (2014: 167), “tema Kurikulum 2013 adalah
kurikulum yang dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif,
kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan dan
pengetahuan yang terintegrasi”. Kurikulum 2013 lebih ditekankan pada
pendidikan karakter, terutama pada tingkat dasar, yang akan menjadi
fondasi bagi tingkat berikutnya. Pendidikan karakter dalam Kurikulum
2013 ini bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil
pendidikan, yang mengarah pada pembentukan budi pekerti dan akhlak
mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan
standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Dalam
implementasi Kurikulum 2013, pendidikan karakter dapat diintegrasikan
dalam seluruh pembelajaran pada setiap bidang studi yang terdapat dalam
kurikulum. (Mulyasa, 2014: 6-7).
17
Kurikulum 2013 menekankan pengembangan kompetensi
pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik secara holistik
(seimbang). Kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap ditagih
dalam rapor dan merupakan penentu kenaikan kelas dan kelulusan
peserta didik. Kompetensi pengetahuan peserta didik yang dikembangkan
meliputi mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, dan
mengevaluasi agar menjadi pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan berwawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban. Kompetensi keterampilan peserta didik yang
dikembangkan meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah,
menyaji,
menalar,
dan
mencipta
agar
menjadi
pribadi
yang
berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah
konkret dan abstrak. Kompetensi sikap peserta didik yang dikembangkan
meliputi
menerima,
menjalankan,
menghargai,
menghayati,
mengamalkan sehingga menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia,
percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya.
Kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap, pertama kali
dikemukakan oleh Bloom (1965) dan sudah menjadi dasar dalam
pengembangan kurikulum di Indonesia sejak kurikulum 1973 (kurikulum
PPSP). Pada kurikulum 2013, ketiga kompetensi tersebut ditagih dalam
rapor dan merupakan penentu kenaikan kelas dan kelulusan peserta didik
sehingga guru wajib mengimplementasikannya dalam pembelajaran dan
penilaian (Widyastono, 2014: 119-120).
Konten materi dalam Kurikulum 2013 dikemas dalam bentuk
tematik yang diajarkan melalui pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik
mendapat rekomendasi dari Komisi UNESCO terkait dengan konsep „the
four pilar education”, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know),
belajar melakukan sesuatu (learning to do), belajar hidup bersama
sebagai dasar untuk berpartisipasi dan bekerja sama dengan orang lain
dalam keseluruhan aktivitas kehidupan manusia (learning to life
18
together), dan belajar menjadi dirinya (learning to be) dari empat pilar
diatas,
model
pembelajaran
pendekatan
saintifik
yang
banyak
menggunakan strategi “guided discovery” sangat membantu peserta didik
untuk bagaimana cara belajar (learn to learn) atau membantu siswa
memperoleh pengetahuan dengan cara menemukannya sendiri. Adapun
langkah pembelajaran keterampilan proses sains dalam kurikulum 2013
ada lima langkah sebagai hasil reduksi dari proses penelitian ilmiah yaitu
mengamati,
menanya,
mengeksperimen,
mengasosiasi,
dan
mengkomunikasikan (Yani, 2014: 121)
Implementasi dari Kurikulum 2013 ini harus melibatkan semua
komponen (stakeholder), termasuk komponen-komponen yang ada dalam
sistem pendidikan itu sendiri. Komponen-komponen tersebut antara lain
kurikulum, rencana pembelajaran, proses pembelajaran, mekanisme
penilaian, kualitas hubungan, pengelolaan pembelajaran, pengelolaan
sekolah/ madrasah, pelaksanaan pengembangan diri peserta didik,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, serta etos kerja seluruh
warga dan lingkungan sekolah/ madrasah (Mulyasa, 2015: 9).
Terdapat perubahan pola pikir dalam kurikulum 2013 yaitu
sebagai berikut.
1) Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran
berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihanpilihan terhadap materi yang dipelajari untuk memiliki kompetensi
yang sama.
2) Pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi
pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakatlingkungan alam, sumber/ media lainnya.
3) Pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring
(peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja
yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet).
19
4) Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari
(pembelajaran siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan model
pembelajaran pendekatan sains).
5) Pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim).
6) Pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat
multimedia.
7) Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan
(users) dengan memperkuat pengembangan potensi khusus yang
dimiliki setiap peserta didik.
8) Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline)
menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines).
9) Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran krisis.
Selain itu juga terdapat penguatan tata kelola kurikulum dengan
cara sebagai berikut:
1) Tata kerja guru yang bersifat individual diubah menjadi tata kerja
yang bersifat kolaboratif.
2) Penguatan manajemen sekolah melalui penguatan kemampuan
manajemen
kepala
sekolah
sebagai
pimpinan
kependidikan
(educational leader)
3) Penguatan sarana dan prasarana untuk kepentingan manajemen dan
proses pembelajaran (Widyastono, 2014: 129-130).
c. Karakteristik Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan karakteristik sebagai
berikut (Kemdikbud, 2013).
a) Mengembangkan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu,
kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan
psikomotorik secara seimbang.
b) Memberikan pengalaman belajar terencana ketika peserta didik
menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan
memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar secara seimbang.
20
c) Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta
menerapkannya dalam dalam berbagai situasi di Sekolah dan
masyarakat.
d) Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai
sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
e) Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang
dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran.
f) Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing
elements) kompetensi dasar, di mana semua kompetensi dasar dan
proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi
yang dinyatakan dalam kompetensi inti.
g) Kompetensi
dasar
dikembangkan
didasarkan
pada
prinsip
akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya
(enriched) antar mata pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi
horizontal dan vertikal) (Widyastono, 2014: 131).
d. Tujuan Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia
Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga
negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu
berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan
peradaban dunia (Widyastono, 2014: 131).
Melalui pengembangan Kurikulum 2013 yang berbasis karakter
dan berbasis kompetensi, diharapkan bangsa ini menjadi bangsa yang
bermartabat, dan masyarakatnya memiliki nilai tambah (addes value),
dan nilai jual yang bisa ditawarkan kepada orang lain dan bangsa lain di
dunia, sehingga kita bisa bersaing, bersanding dan bahkan bertanding
dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan global. Selain itu, melalui
implementasi Kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus
berbasis karakter, dengan pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan
peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi
21
nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku
sehari-hari (Mulyasa, 2014: 7).
Sesuai dengan rumusan Kementerian Pendidikan Nasional,
nilai-nilai karakter tersebut terdiri dari sikap religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif,
cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
tanggung jawab. Dari 18 nilai karakter yang telah dirumuskan oleh
Kementerian Pendidikan Nasional tersebut dapat ditanamkan melalui
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam khususnya pada materi Bani
Abbasiyah. Dalam materi Bani Abbasiyah, nilai-nilai karakter tersebut
dapat diteladani melalui tokoh-tokoh sejarah atau para khalifah pada
masa itu. Siswa dapat membedakan mana sifat buruk yang tidak patut
untuk dicontoh, dan mana sifat baik yang dapat dijadikan tauladan dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai karakter tersebut antara lain; sikap
religius para khalifah sebagai ummat islam dengan berpedoman pada Al
Qur‟an; sikap jujur dan demokratis para tokoh sejarah atau khalifah
dalam menjalankan pemerintahan; adanya sikap toleransi sehingga pada
masa itu terjadi asimilasi antara bangsa Arab (dinasti Abbasiyah) dengan
bangsa lainnya; sikap disiplin, kerja keras dan semangat yang tinggi
dalam menegakkan agama Islam sehingga pada dinasti Bani Abbasiyah
mampu menggapai masa kejayaan Islam; sikap peduli lingkungan dan
sosial seperti yang pada zaman khalifah Harun Ar-Rasyid yang pada
masa itu kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, dan kesusasteraan berada pada masa keemasannya; sikap
tanggung jawab para tokoh sejarah atau khalifah dalam menjalankan
tugasnya; serta nilai karakter lainnya yang dapat dijadikan sebagai
teladan bagi siswa. Selain itu, siswa juga dapat mengambil hikmah dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Dinasti Bani Abbasiyah,
sehingga nantinya siswa bisa menjadi orang yang bijak dalam
menghadapi tantangan yang ada dalam kehidupannya. Untuk itu, melalui
22
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) khususnya pada materi
Bani Abbasiyah dapat menunjang ketercapaian tujuan dari kurikulum
2013. Hal ini karena pada pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
khususnya pada materi Bani Abbasiyah tidak hanya mengedepankan
aspek afektif saja, tetapi juga aspek kognitif dan aspek psikomotorik.
3. Ketokohan Khalifah Bani Abbasiyah
a. Tokoh Teladan
Kata tokoh dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah
orang yang terkemuka dan kenamaan (dalam bidang politik, budaya, dan
sebagainya) (Depdikbud, 2008). Menurut Aminudin (2002: 79), tokoh
merupakan seseorang atau pelaku dalam suatu peristiwa. Dengan
demikian, tokoh merupakan seseorang yang terkemuka atau kenamaan
dibidangnya, atau seseorang yang memegang peranan penting dalam
suatu bidang atau aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat. Seseorang
tersebut berasal, dibesarkan dan hidup dalam lingkungan masyarakat
tertentu.
Kata teladan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
memiliki arti perbuatan atau barang dan sebagainya yang patut ditiru atau
dicontoh (Depdikbud, 2008). Dalam bahasa Arab, kata teladan
diungkapkan dengan kata qudwah yang berarti uswah, yaitu ikutan.
Uswah ini dapat dimaknai menjadi uswah hasanah dan uswah sayyi’ah.
Maka dalam Islam sering digunakan istilah qudwah hasanah untuk
menggambarkan keteladanan yang baik. Qudwah adalah uswah (alifnya
dibaca dhammah), artinya menjadikan (dia) contoh dan mengikuti. Selain
itu Bayanuni dosen Pendidikan dan Dakwah di Universitas Madinah juga
mengungkapkan bahwa Allah menjadikan konsep qudwah ini sebagai
acuan manusia untuk mengikuti. Dengan demikian, teladan adalah halhal baik yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain.
(Syafri, 2012: 142).
23
Berdasarkan penjelasan di atas, tokoh teladan merupakan
seseorang yang terkemuka atau seseorang yang memegang peranan
penting dalam suatu aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat yang
memiliki sifat-sifat baik sehingga dapat ditiru dan dijadikan contoh oleh
orang lain. Karena banyak orang yang meniru atau meneladani sifat baik
dari tokoh teladan inilah, sehingga menjadikan seorang tokoh teladan
mempunyai banyak pengikut. Bahkan seorang tokoh teladan dapat
dijadikan sebagai sosok idola bagi para pengikutnya.
Salah satu yang menjadi tokoh teladan yaitu seorang khalifah
atau pemimpin. Kata khalifah diambil dari bahasa Arab yang secara
harfiah berarti seseorang yang menggantikan kedudukan orang lain
karena hilang atau meninggal dunia. Kata khalifah merupakan pengganti
atau wakil Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan Islam atau
kepala negara yang bertanggung jawab atas kemajuan agama dan politik
(Sulasman & Suparman 2013: 53-54). Dalam perspektif Islam seorang
pemimpin harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1) Memiliki akidah yang kuat dan konsisten
2) Memiliki kekuatan jasmani dan rohani sehingga mampu berpikir
secara tepat serta mampu melakukan tugas fisik secara baik
3) Memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas
4) Adil dan jujur
5) Memiliki tingkat pengalaman agama Islam yang tinggi (bertakwa)
6) Berakhlak mulia yang dapat menjadi teladan dalam kehidupan
kepemimpinan
7) Bersikap terbuka terhadap ide, saran, maupun kritik
8) Memperoleh dukungan dan dicintai oleh umat
9) Memiliki sifat pemaaf dan jiwa toleransi yang besar
10) Pemimpin harus orang yang ahli dalam bidangnya (kemampuan
memimpin)
11) Memiliki kemampuan dalam memainkan peran yang kreatif dalam
mengorganisasi
kekuatan
manusia
yang
berbeda-beda
dan
24
menggunakannya untuk mencapai berbagai tujuan yang dikehendaki,
baik individu maupun kolektif.
12) Visinya adalah Al-Qur‟an dan misinya menegakkan kebenaran di
muka bumi
Menurut Toto Tasmara (1987) seorang pemimpin harus
memenuhi kriteria, seperti seorang pemimpin harus memiliki kekuatan
akidah yang konsisten, harus mampu mampu menjabarkan dan
menyatakan gagasannya dalam realitas melalui bentuk amal salih, dia
yang gandrung atau cinta akan kebenaran serta memiliki kekuatan serta
daya nalar yang dinamis, memiliki kesabaran yang tinggi sehingga tidak
mudah terjebak dalam situasi yang merugikan dirinya maupun
kelompoknya. Selanjutnya, ia menyatakan, pemimpin harus memenuhi
syarat, diantaranya mampu mendayagunakan waktu secara efisien,
memiliki kesadaran yang tinggi atas posisi dirinya sebagai manusia,
dalam relasinya dengan Sang Pencipta dan relasinya dengan manusia
serta alam semesta, memiliki kecintaan serta keyakinan yang mendalam
atas tujuannya, mampu menyatakan dan mewujudkan rencananya dalam
bentuk tindakan, gandrung akan ilmu dan kebenaran serta mampu
mengkomunikasikan kebenaran tersebut, memiliki kesabaran yang tinggi
(Marzuki, 2012: 191).
b. Kekhalifahan Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah atau Khilafah Abbasiyah
merupakan kelanjutan dari kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti
ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan
25
pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima- periode (Yatim, 2008: 4950).
1) Periode Pertama (132 H/ 750 M - 232 H/ 847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama.
2) Periode Kedua ( 232 H/ 847 M - 334 H/ 945 M), disebut masa
pengaruh Turki pertama.
3) Periode ketiga (334 H/ 945 M - 447 H/ 1055 M), masa kekuasaan
dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini
disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4) Periode Keempat ( 447 M/ 1055 - 590 H/ 1194 M), masa kekuasaan
dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah,
biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5) Periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M), masa khalifah
bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif
di sekitar kota Bagdad.
Kepemimpinan dinasti Abbasiyah selama kurun waktu lebih dari
lima abad dipegang oleh lebih dari 37 khalifah, atau masing-masing
berkuasa selama 14 tahun. Namun dari 37 khalifah Bani Abbas, tentu
tidak semuanya memiliki karakter sebagai khalifah yang cerdas, berani,
bertanggung jawab, cinta ilmu, dan berkepribadian mulia. Di antara
mereka itu ada pula yang kemampuan dan akhlaknya yang kurang baik,
bahkan dapat dikatakan lemah. Dari 37 orang khalifah Bani Abbas
tersebut ada lima khalifahnya yang paling terkenal, yaitu Abu al-Abbas
al-Saffah, Abu Ja‟far al-Manshur, al-Mahdi, Harun al-Rasyid, dan alMa‟mun (Nata, 2011: 147-148). Tetapi dari kelima khalifah tersebut,
yang dapat dijadikan sebagai tokoh teladan yaitu Abu Ja‟far al-Manshur,
al-Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma‟mun. Hal ini karena Abu al-Abbas
al-Saffah terkenal banyak melakukan pembunuhan sehingga ia dijuluki
al-saffah yang berarti si haus darah alias gemar membunuh. Khalifahkhalifah yang dapat dijadikan sebagai tokoh teladan tersebut yaitu:
26
1) Abu Ja‟far al-Mansur
Abu Ja‟far al-Mansur berkuasa selama lebih kurang 20 tahun,
yaitu mulai tahun 754 M/136 H dan berakhir tahun 775 M/158 H.
Sejarah mencatat, bahwa Abu Ja‟far al-Mansur dianggap sebagai
tokoh Abbasiyah yang terkenal hebat, berani, tegas, berpikir cerdas,
dan gagah perkasa. Ibn Thabathiba, misalnya, berkata bahwa alMansur adalah seorang raja yang agung, tegas, bijaksana, alim,
berpikir cerdas, pemerintahannya rapi, amat disegani, dan berbudi
baik. Masa kekuasaannya yang relatif lama itu, digunakan untuk
memperhatikan masalah sosial. Sejarah mencatat, bahwa pada masa
kekhalifahan ini digunakan untuk menyusun peraturan, membuat
undang-undang, dan menciptakan inovasi dalam pemerintahan. Abu
Ja‟far al-Mansur dikenal sebagai khalifah yang mencintai ilmu (Nata,
2011: 148). Hal ini dapat dilihat dari usaha yang dilakukan dalam
memajukan ilmu melalui hal-hal sebagai berikut:
a) Menyalin buku-buku ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani,
Sanskerta, Persia, dan Suryani ke dalam bahasa Arab.
b) Menyusun buku-buku yang berkaitan dengan agama Islam,
seperti ilmu tafsir, ilmu hadist yang telah diseleksi, nahwu, sharaf,
balaghah, dan sebagainya.
c) Mendatangkan kaum cendekiawan dari berbagai negara untuk
mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum
seperti kedokteran, ilmu falak, ilmu astronomi, dan lain-lain.
d) Pada masa Abu Ja‟far juga telah dilakukan penyusunan dan
penyaringan ilmu hadist. Upaya ini dilakukan agar tidak terjadi
pemalsuan terhadap perkataan dan perbuatan taqrir Nabi
Muhammad saw (Hadist Nabi).
2) Al Mahdi
Al-Mahdi yang memiliki nama lengkap Abu Abd. Allah
Muhammad Ibn al-Mansur lahir di Idzaj (daerah antara Khuzistan dan
Isfahan) pada tahun 126 H. Al-Mahdi dikenal sebagai sosok yang
27
dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat serta banyak memberikan
hadiah-hadiah. Selain itu, ia juga mengembalikan harta-harta yang
dirampas secara tidak benar. Ketika al-Mahdi menjadi khalifah,
negara telah dalam keadaan stabil dan mantap, dapat mengendalikan
musuh-musuh dan keuangannya pun telah terjamin. Perekonomian
pada masa Al-Mahdi mulai meningkat dengan adanya peningkatan di
sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan
seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit
antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan serta
Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Karena itu zaman
pemerintahan al-Mahdi terkenal sebagai zaman yang makmur dan
hidup dalam kedamaian (Yatim, 2008: 52).
Masa pemerintahan Al-Mahdi selain digunakan untuk
menciptakan stabilitas politik dalam negeri dan menyejahterakan
masyarakat, juga untuk memurnikan agama dan praktik bid‟ah. Dalam
kaitan ini, ia misalnya membebaskan semua orang dari penjara,
mengembalikan harta para keturunan Nabi dan mengizinkan mereka
kembali untuk menerima supali dari Mesir, membagikan harta
sebanyak 30 juta dirham sebagai derma bagi rakyat Hejaz,
membangun kembali masjid Nabi, memberikan tunjangan hidup bagi
orang yang terkena penyakit kusta dan orang-orang yang miskin,
membuat penginapan dan sumur di jalan-jalan yang dilalui jamaah
haji, serta memberikan pengawalan kepada para turis dan jemaah haji.
Namun demikian, ia tidak memberikan peluang bagi tumbuhnya
praktik-praktik bid‟ah. Ia misalnya pernah menumpas gerakan
Zoroastrianisme yang dipimpin oleh Ibn. Abd. Al-Qudus. Selain itu, ia
juga membangun benteng-benteng yang memberikan pengamanan
terhadap pusat-pusat kota. Berkat usaha kerasnya ini, maka Baghdad
menjadi pusat perdagangan internasional. Musik, syair, filsafat, dan
kesusasteraan mulai menarik perhatian banyak orang (Nata, 2011:
149).
28
3) Harun Al-Rasyid
Pada zaman Harun al-Rasyid (786-809 M), dunia Islam
mengalami kemajuan yang semakin pesat. Para ahli sejarah
menganggap Harun al-Rasyid sebagai khalifah yang paling besar dan
cemerlang yang membawa dinasti Abbasiyah ke zaman keemasan.
Melalui pemerintahannya yang berlangsung kurang lebih selama 23
tahun ia telah berhasil membuat dinasti ini mencapai kemajuan dan
kejayaan di bidang politik, ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan,
dan peradaban islam (Nata, 2011: 149-150).
Harun Ar-Rasyid merupakan seorang khalifah yang taat
beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah
Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak
membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari,
tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin
melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata
kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan.
Selama masa pemerintahannya, Ar-Rasyid berusaha untuk
melakukan kebijakan-kebijakan sebagai berikut.
a) Mengembagkan bidang ilmu pengetahuan dan seni
b) Membangun gedung-gedung dan sarana sosial
c) Memajukan bidang ekonomi dan industri
d) Memajukan bidang politik pertahanan dan perluasan wilayah
kekuasaan Dinasti Abbasiyah
Harun Al-Rasyid banyak memanfaatkan kekayaannya untuk
keperluan sosial. Seperti mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan
dokter, dan farmasi. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar
800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga
dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling terwujud pada zaman
khalifah ini adalah pada masa Harun Al-Rasyid. Kesejahteraan sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa inilah
29
negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak
tertandingi (Yatim, 2008: 52-53).
4) Al-Ma‟mun
Pada zaman Al-Ma‟mun, keadaan peradaban dan kebudayaan
Islam semakin mencapai puncak keemasannya. Al-Ma‟mun adalah
tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuan, keberanian,
kehebatan, kesabaran, dan kecerdasannya. Khalifah ini dikenal karena
keintelektualian dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, serta
jasa-jasanya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Ma‟mun
banyak mendirikan sekolah. Dia juga banyak mengoleksi buku-buku
untuk disimpan di perpustakaan Bait al-Hikmah. Untuk itu ia
mengundang para pakar bahasa untuk menerjemahkan buku-buku
sains dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan gaji
yang besar dan memuaskan. Kegemaran al-Ma‟mun terhadap ilmu
pengetahuan mendorong dirinya untuk mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan dan filsafat, kebudayaan, dan peradaban. Pada masa AlMa‟mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan (Nata, 2011: 150).
Secara umum, nilai-nilai keteladanan dari para khalifah yang
menonjol pada masa Dinasti Bani Abbasiyah yang dapat diajarkan kepada
peserta didik adalah sikap pemberani, taat beragama, tegas, disiplin,
bertanggung jawab, cinta tanah air, berpikir cerdas, bijaksana, dermawan,
sabar, cinta terhadap ilmu pengetahuan, berwawasan luas, adil, jujur,
toleransi dan peduli sosial. Dengan diajarkannya nilai-nilai keteladanan
dari para khalifah yang menonjol pada masa Dinasti Bani Abbasiyah ini,
maka siswa dapat meneladani dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
30
B. Penelitian yang Relevan
Berdasarkan hasil penelusuran referensi, terdapat beberapa penelitian
yang telah dilakukan
berkaitan dengan
masalah pembelajaran
Sejarah
Kebudayaan Islam. Penelitian tersebut yaitu:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayati (Vol. 9, No. 1,
2015) dengan judul “Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
Berdasarkan Kurikulum 2013 di Madrasah Aliyah Negeri Karanganyar”. Hasil
dari penelitiannya menunjukkan bahwa 1) guru cukup mampu memahami
kurikulum 2013, meskipun dalam penerapannya masih mengalami kesulitan.
Pemahaman guru Sejarah Kebudayaan Islam mengenai Kurikulum 2013 diperoleh
guru berdasarkan pelatihan yang telah diikuti dan juga mempelajarinya sendiri. 2)
Guru menyusun perangkat pembelajaran tertulis berupa Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang berpedoman pada silabus Kurikulum 2013. 3) Selama
pembelajaran
berlangsung,
diketahui
bahwa
secara
garis
besar
proses
pembelajaran terbagi dalam tiga tahap, yakni kegiatan pendahuluan, kegiatan inti,
dan kegiatan penutup. 4) Evaluasi yang dilakukan guru Sejarah Kebudayaan
Islam (SKI) terhadap peserta didik adalah dengan melakukan penilaian
kompetensi yang dicapai peserta didik sesuai dengan Kurikulum 2013 yang
mencakup 3 aspek yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. 5) Kendala yang
dihadapi diantaranya belum tersedianya buku siswa Sejarah Kebudayaan Islam
peminatan, penggunaan media yang belum maksimal, keadaan siswa yang
mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda, dan terlalu mendetailnya
teknik penilaian membuat guru mengalami kesulitan. 6) Faktor pendukungnya
adalah sudah tersedianya fasilitas pembelajaran dengan baik, seperti LCD TV,
LCD proyektor serta audio.
Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayati dengan
yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang pembelajaran
Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) berdasarkan kurikulum 2013 pada satuan
pendidikan Madrasah Aliyah Negeri (MAN), mulai dari pemahaman guru
terhadap kurikulum 2013, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
proses evaluasi serta faktor penghambat dan pendukung. Sedangkan letak
31
perbedaannya yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayati hanya
menganalisis pembelajaran Sejarah Keberadaan Islam (SKI) secara umum,
sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan, peneliti lebih memfokuskan
pada salah satu cakupan materi yang ada pada Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
dalam hal ini yaitu pada materi Bani Abassiyah.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Haris Firmansyah (Vol. 1, No. 1,
2014) dengan judul “Analisis Pembelajaran Sejarah Kebudayan Islam di
Madrasah Aliyah Negeri 2 Pontianak”. Hasil dari penelitian yang dilakukan Haris
Firmansyah yaitu 1) perencanaan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
di Madrasah Aliyah Negeri 2 Pontianak disusun secara mandiri oleh guru berupa
silabus, Program Tahunan, Program Semester dan RPP. 2) Dalam pelaksanaan
proses pembelajarannya dinilai belum berjalan sesuai dengan apa yang
direncanakan. 3) Untuk proses evaluasi pembelajaran yakni melalui penilaian
proses dan penilaian tertulis dengan kriteria ketuntasan minimal dituliskan dengan
nilai angka 75. 4) kendala dalam proses pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
(SKI) antara lain kurangnya sarana-prasarana, waktu yang sedikit dan materi yang
begitu banyak, penerapan metode yang monoton, penggunaan media yang sangat
minim, dan sumber belajar tidak banyak yang digunakan.
Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Haris Firmansyah
dengan yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) pada satuan pendidikan Madrasah
Aliyah Negeri (MAN), mulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi pembelajaran serta fakor penghambat dan pendukung.
Perbedaannya yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Haris Firmansyah hanya
menganalisis pembelajaran Sejarah Keberadaan Islam (SKI) secara umum dan
juga tidak menganalisis kurikulumnya. Sedangkan pada penelitian yang akan
peneliti lakukan, peneliti lebih memfokuskan pada salah satu cakupan materi yang
ada pada Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dalam hal ini yaitu pada materi Bani
Abassiyah, selain itu peneliti juga menganalisis pemahaman guru terhadap
kurikulum yang digunakan dalam hal ini kurikulum 2013.
32
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Murdani (Volume 14, No. 2,
Februari 2015) dengan judul “Implementasi Pembelajaran Demokratis: Sebuah
Studi Tentang Pembelajaran SKI Pada Madrasah Tsanawiyah di Aceh”. Hasil
dari penelitian yang dilakukan oleh Murdani yaitu masih terdapatnya keterbatasan
guru dalam penggunaan pembelajaran demokratis secara aplikatif sehingga
menjadikan efesiensi dan efektifitas pembelajaran menjadi berkurang.
Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Murdani dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Perbedaannya yaitu jika dalam
penelitian Murdani lebih ditekankan pada implementasi pembelajaran yang
demokratis dalam proses pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Selain
itu pada penelitian Murdani objek sekolahnya mengambil lebih dari satu sekolah.
Sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan lebih ditekankan pada
proses pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) khususnya pada materi
Bani Abassiyah. Selain itu, pada penelitian ini lebih difokuskan pada satu sekolah
yaitu MAN 1 Surakarta.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Endang Purwani (Jurnal Ilmiah
STKIP PGRI Ngawi, Vol. 12, No. 2, 2012) dengan judul “Peningkatan
Pemahaman Sejarah Kebudayaan Islam Pada Siswa Kelas VII D Semester 2
MTsN Ngawi Tahun Pelajaran 2011/2012 Melalui Media Audiovisual”. Hasil dari
penelitian Endang Purwani menunjukkan bahwa penerapan media pembelajaran
audiovisual dapat meningkatkan pemahaman belajar siswa Kelas VII D MTsN
Ngawi pada mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) khususnya sejarah
perkembangan Islam pada masa Khulafaurrasyidin yang ditandai dengan
peningkatan hasil belajar siswa.
Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Endang Purwani dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Perbedaannya yaitu pada
penelitian Endang Purwani metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
tindakan kelas (PTK), sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan
menggunakan metode penelitian kualitatif. Perbedaan yang lain terletak pada
33
cakupan materinya. Pada penelitian Endang Purwani mengacu pada materi
tentang sejarah perkembangan Islam pada masa Khulafaurrasyidin, sedangkan
pada penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu pada materi Bani Abassiyah.
Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Maryamah (Ta‟Dib Vol. XIX,
No. 02, November 2014) dengan judul “Teknik Mind Maping dan Hasil Belajar
Siswa Pada Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Ibtidaiyah
Adabiyah II Palembang”. Hasil dari penelitiannya yaitu ada perbedaan skor hasil
belajar siswa MI antara sebelum dan sesudah diterapkannya teknik mind mapping
pada pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).
Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Maryamah dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Perbedaannya yaitu pada metode
penelitian yang digunakan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Maryamah
menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif,
sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif. Perbedaan lainnnya yaitu pada cakupan materi.
Pada penelitian Maryamah mengacu pada materi tentang Fathu Makkah,
sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu pada materi Bani
Abassiyah.
Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Chusaini dan Faridah
Hanum (Jurnal Penelitian Tindakan Kelas Pendidikan Agama Islam, Vol. 04, No.
1, Juni 2013) dengan judul “Upaya Peningkatan Pemahaman Siswa Pada Materi
Sejarah Kebudayaan Islam Melalui Contextual Teaching and Learning di Kelas
VB MI Ma’arif Candi”. Hasil penelitiannya, yaitu materi Sejarah Kebudayaan
Islam (SKI) dengan metode CTL menunjukkan ada peningkatan hasil belajar
peserta didik terbukti dengan data-data nilai yang mengalami peningkatan pre test
dan post test serta hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan sikap
dan motivasi yang cukup baik bagi peserta didik untuk selalu belajar.
Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Chusaini dan
Faridah Hanum dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama
menganalisis tentang pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sedangkan
34
perbedaannya yaitu pada metode penelitian yang digunakan. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Ahmad Chusaini dan Faridah Hanum menggunakan metode
penelitian tindakan kelas (PTK), sedangkan pada penelitian yang akan peneliti
lakukan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Perbedaan yang
terakhir yaitu pada cakupan materi. Pada penelitian Ahmad Chusaini dan Faridah
Hanum mengacu pada materi tentang memahami keperwiraan Rasulullah SAW
dalam berbagai perang seperti perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq dan
perjanjian Hudaibiyah, sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan
yaitu pada materi Bani Abassiyah.
Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Munawir (Jurnal PGMI
Madrasatuna, Vol. 04, No. 01, September 2012 Hal. 1- 24) dengan judul “Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Siswa Kelas IV
dengan Strategi Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) di
Madrasah
Ibtidaiyah
Assyafi’iyah
Tanggul
Wonoayu,
Sidoarjo”.
Hasil
penelitiannya adalah penggunaan strategi pembelajaran CTL (Contextual
Teaching And Learning) berjalan dengan baik dan lancar, sehingga hasil belajar
siswa meningkat, tidak hanya hasil belajar saja yang meningkat, akan tetapi juga
dari hasil observasi, dan kuesioner terhadap siswa dan guru ketika proses belajar
berlangsung.
Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Munawir dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sedangkan perbedaannya yaitu
pada metode penelitian yang digunakan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Munawir menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK), sedangkan pada
penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif.
35
C. Kerangka Berpikir
Pembelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI)
di MAN 1 Surakarta
Pembelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI)
berbasis Kurikulum 2013
Materi Bani Abbasiyah
Pemahaman
Guru Sejarah
Kebudayaan
Islam (SKI)
terhadap
Kurikulum
2013
Perencanaan
Pembelajaran
Sejarah
Kebudayaan
Islam (SKI)
Pelaksanaan
Pembelajara
n Sejarah
Kebudayaan
Islam (SKI)
Evaluasi
Pembelajaran
Sejarah
Kebudayaan
Islam (SKI)
Faktor
Pendukung &
Penghambat
Pembelajaran
Sejarah
Kebudayaan
Islam (SKI)
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
Penelitian ini memiliki kerangka berfikir yang diawali dari MAN 1
Surakarta sebagai suatu satuan pendidikan yang di dalamnya terdapat beberapa
mata pelajaran salah satunya adalah mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
(SKI). Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) menekankan pada
kemampuan mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam),
meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial,
budaya, politik, ekonomi, ipteks dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan
dan peradaban Islam.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI),
guru merupakan kunci utama keberhasilan itu. Untuk itu, guru harus memahami
36
bagaimana pengembangan kurikulum yang termuat di dalam silabus untuk
menyusun RPP, memahami materi ajar (materi pokok), metode pembelajaran, dan
penilaian yang sesuai dengan Kurikulum 2013.
Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di sekolah dalam
kurikulum 2013 ini bertujuan untuk membentuk karakter siswa menjadi lebih
mandiri dan kreatif. Salah satu materi yang terdapat pada mata pelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI) kelas XI adalah Bani Abbasiyah. Guru sebagai fasilitator
harus mampu mengarahkan siswa untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang
luas terkait dengan materi Bani Abbasiyah. Untuk itu, seorang guru harus
memahami pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang sesuai dengan
Kurikulum 2013, khususnya pada materi Bani Abbasiyah. Mulai dari perencanaan
pembelajaran yang meliputi penyusunan RPP, program tahunan, program
semester, dll. RPP yang telah disusun oleh guru kemudian dilaksanakan dalam
proses pelaksanaan pembelajaran. Selanjutnya, untuk melihat hasil akhir
pembelajaran, harus dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah tujuan
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam pada materi Bani Abassiyah dapat
tercapai. Di dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan
oleh guru tersebut, juga perlu dicari
berbagai faktor baik faktor pendukung
maupun faktor penghambatnya, tujuannya agar untuk kedepannya guru bisa lebih
bijak dalam menghadapi faktor-faktor tersebut sehingga tujuan pembelajaran
dapat tercapai.
Download