- Universitas Udayana

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Berdasarkan sejarah Indonesia, khususnya pada era Orde baru terdapat
berbagai permasalahan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan Indonesia. Bentuk
permasalahannya berupa pola pikir pemerintah dalam struktur pemerintahan
dimana titik berat kekuasaan berada pada tangan penguasa birokrasi pemerintah
yang mengakibatkan rakyat sebagai unsur utama demokrasi tidak mempunyai
peran yang dapat mengontrol birokrasi pemerintah secara maksimal. Kekuasaan
ini disalahgunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menguasai struktur birokrasi
pemerintahan dengan konsep monoloyalitas. Semua pejabat termasuk pegawai
dari berbagai lini mempunyai jabatan dan kewajiban rangkap memihak
kepentingan golongan yang berkuasa. Keadaan seperti ini yang membuat sistem
sentralisasi pemerintahan menjadi kuat. Konsep monoloyalitas ini berdampak
terhadap penataan kepegawaian atau sumber daya aparatur pemerintah.
Penataan kepegawaian menjadi semakin jauh kompetensinya dari yang
seharusnya dipunyai oleh aparatur pemerintah yang menjalankan tugas untuk
melayani rakyat.1
1
Sri Martini, SH.MH, Hj. Setiajeng Kadarsih, SH.MH dan Tedi Sudrajat, SH, 2008, Hukum
Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.1.
Hal ini tidak sejalan dengan kedudukan dan peranan Pegawai Negeri Sipil
sebagai unsur Aparatur Negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dengan baik melalui penyelenggaraan
pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan
dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945.2
Ditetapkannya
Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan Daerah merupakan hasil tuntutan reformasi terhadap UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa, membawa
konsekuensi perubahan di bidang politik, ekonomi dan sosial yang begitu cepat,
termasuk di dalamnya masalah kepegawaian.3
Reformasi di bidang kepegawaian ditandai dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Pokok Kepegawaian yang merupakan perubahan dan penyempurnaan dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974. Kemudian diikuti dengan berbagai
peraturan pelaksanaan, baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun
Keputusan Presiden (Keppres), untuk menjamin terlaksananya Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 ini secara baik dan terarah.4
2
S. Nurbaya, 2002, Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia, Makalah Dalam Rangka
Workshop Kepegawaian DDN, Jakarta.
3
Made Suwandi, 2001, Agenda Kebijakan Reformasi Pemerintahan Daerah, Badan Litbang
Depdagri, Jakarta, h.9.
4
Komang Rai Sudjaka, 2004, Wewenang Kepala Daerah dalam Pengangkatan dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil untuk Jabatan Struktural, Tesis, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.2.
2
Salah satu Peraturan Pemerintah yang ditetapkan sebagai pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Pokok Kepegawaian adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53
Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam perkembangannya
walaupun Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Pokok Kepegawaian telah dinyatakan tidak berlaku melalui
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 masih tetap berlaku. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 139 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
yang menyatakan bahwa:
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundangundangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepagawaian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890)
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum
diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil adalah pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil karena sudah tidak sesuai lagi
dengan situasi dan kondisi saat ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil mutlak diperlukan untuk dapat dijadikan pedoman dalam
3
menegakkan disiplin, sehingga dapat menjamin terpeliharanya tata tertib dan
kelancaran pelaksanaan tugas serta dapat mendorong Pegawai Negeri Sipil untuk
lebih produktif berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja.
Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil ini antara lain
memuat kewajiban, larangan dan hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan kepada
Pegawai Negeri Sipil yang telah terbukti melakukan pelanggaran. Hal ini
dimaksudkan sebagai pedoman bagi pejabat yang berwenang menghukum serta
memberikan kepastian dalam menjatuhkan hukuman disiplin. Demikian juga
dengan batasan kewenangan bagi pejabat yang berwenang menghukum.
Penjatuhan hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 yang didasarkan pada wewenang yang jelas,
mekanisme yang benar dan atas pertimbangan obyektif terhadap pelanggaran yang
dilakukan, disamping juga dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
mendorong atau menyebabkan Pegawai Negeri Sipil tersebut melakukan
pelanggaran disiplin. Hukuman disiplin tidaklah mudah diterima begitu saja oleh
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan bahwa dalam
pembinaan karier, hukuman akan terkait dengan kesempatan promosi jabatan,
nilai ekonomis, serta berdampak psikologis bagi individu Pegawai Negeri Sipil.
Oleh karena itulah, sangat penting artinya bagi setiap pejabat yang
berwenang menghukum untuk memperhatikan dan melaksanakan mekanisme atau
tata cara penjatuhan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil dengan benar dan
4
harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum
pemerintahan
yang
baik
(AAUPB).
Dengan
demikian
jangan
sampai
menimbulkan adanya perlakuan tidak sama terhadap Pegawai Negeri Sipil dalam
pembinaan disiplin.
Di lain pihak dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara, di mana sesuai Pasal 139 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 ini, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil masih tetap berlaku, akan tetapi tidak sepenuhnya
dapat diterapkan kepada Pegawai Negeri Sipil, karena di samping Pegawai Negeri
Sipil; Pegawai Aparatur Sipil Negara adalah termasuk juga PPPK (Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 dijelaskan mengenai hak Pegawai Negeri Sipil, hak Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, dan kewajiban Pegawai Aparatur Sipil
Negara yang diatur oleh Peraturan Pemerintah, akan tetapi dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tidak ada diatur mengenai hak dan kewajiban
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja mengingat belum adanya Peraturan
Pemerintah baru untuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penelitian dan
penulisan
skripsi
PENJATUHAN
ini
mengambil
HUKUMAN
judul
DISIPLIN
“PROSES
PEGAWAI
DAN
TAHAPAN
NEGERI
SIPIL
BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2010.”
5
1.2.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah proses, tahapan, dan upaya hukum penjatuhan
hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil, apakah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara?
2. Apakah faktor yang menghambat penegakan hukum disiplin Pegawai
Negeri Sipil?
1.3.
Ruang Lingkup Masalah
Untuk memperoleh pembahasan yang tidak jauh menyimpang dari pokok
permasalahan, maka perlu diberikan ruang lingkup permasalahan yang akan
dibahas. Terhadap permasalahan pertama, akan dibahas mengenai proses, tahapan,
dan upaya hukum penjatuhan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara. Permasalahan kedua, akan dibahas mengenai kendala atau
hambatan dalam penegakan hukum disiplin Pegawai Negeri Sipil setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
6
1.4.
Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan umum.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan hukum yang ada agar sejalan dengan paradigma science
as a process (ilmu dalam proses). Melalui penulisan ini, turut diupayakan
untuk melakukan pengembangan pada bidang hukum pemerintahan,
khususnya hukum kepegawaian.
1.4.2. Tujuan khusus.
Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:
a.
Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana tata cara
(proses, tahapan, dan upaya hukum) penjatuhan hukuman
disiplin Pegawai Negeri Sipil menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.
b.
Untuk menganalisa apakah ada kendala atau hambatan dalam
penegakan hukum pelaksanaan penjatuhan hukuman disiplin
Pegawai Negeri Sipil setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
7
1.5.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
a. Manfaat Teoritis
1.
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum kepegawaian.
2.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
referensi bagi para pihak, khususnya Pegawai Negeri Sipil untuk
mengetahui dan memahami mekanisme atau tata cara penjatuhan
hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai
sumbangan karya ilmiah dari penulis dalam perkembangan Hukum
Pemerintahan (khususnya Hukum Kepegawaian) dan juga bermanfaat
bagi penulis lain dalam penulisan pada masa yang akan datang.
8
1.6.
Landasan Teoritis
1.6.1. Negara hukum.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). R.
Djokosutomo mengatakan, bahwa negara hukum menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah berdasarkan pada
kedaulatan hukum.5 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa “Negara Indonesia
adalah negara hukum.” Oleh karena itu, negara tidak boleh melaksanakan
aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan pada
hukum.
Indonesia adalah negara hukum dalam hukum rechtstaat yang
secara historis dijelaskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
amandemen. Secara teori, negara hukum (rechtstaat) adalah negara yang
bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib
yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara
hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu, dan agar
semua berjalan menurut hukum.6
5
CST. Kansil dan Christine ST, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Pengertian
Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan
1945 Hingga Kini), Cetakan I, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h.86.
6
Hans Kelsen, 2006, Teori Tentang Hukum dan Negara, Cetakan I, Nusamedia dan Nuansa,
Bandung, h.382.
9
Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat
unsur rechtstaat, yaitu:
1. Adanya jaminan Hak Asasi Manusia.
2. Adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politica.
3. Pemerintah dalam melaksanakan tugas berdasarkan UndangUndang (wetmatigheid van bestuur).
4. Adanya peradilan administrasi negara.
Utrecht memberikan dua macam asas yang merupakan ciri negara
hukum, yaitu asas legalitas dan asas perlindungan terhadap kebebasan
setiap orang dan terhadap hak-hak asasi manusia lainnya.7
A.V. Dicey mengatakan ada beberapa ciri negara yang dapat
disebut negara hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Supremacy of the law;
b. Equality before the law;
c. Constitutum based on the human rights.8
Dalam rangka melihat prinsip negara hukum di dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ada ketentuan
7
E. Utrecht, 1966, Pengantar dalam Hukum Indonesia, cetakan IX, Universitas Indonesia,
Jakarta, h.305.
8
Diana Hakim Koentjoro, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.34.
10
yang menjamin hak-hak asasi manusia yang dapat ditemukan dalam pasalpasal sebagai berikut:
a. Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.”
b. Pasal 28 yang berbunyi:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.”
c. Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
d. Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara.”
Dari uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa suatu negara
hukum yang mempunyai ciri-ciri seperti yang disebutkan di atas, hal ini
berarti: pertama, adanya pembatasan kekuasaan negara (asas legalitas).
Disini kegiatan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, tidak termasuk kegiatan perundang-undangan (legislatif) dan
peradilan (yudisial), hanya terbatas pada kegiatan dalam bidang eksekutif.9
Kedua, adanya pengakuan terhadap hak asasi. Ketiga, adanya pengawasan
terhadap tindakan penguasa. Jadi, disini ada pembatasan atas kewenangan
9
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta,
h.14.
11
pemerintah dalam melaksanakan segala tindakannya dalam mengatur
jalannya suatu pemerintahan.
Padmo Wahyono mengatakan, bahwa dalam perkembangan teori
kenegaraan, pengertian rechtstaat acapkali dikaitkan dengan pengertian
demokrasi, sehingga merupakan suatu yang ideal dalam kehidupan
kenegaraan, yaitu pada negara hukum yang demokratis (democratic the
rechtstaat). Dalam negara hukum pengakuan dan jaminan terhadap hakhak asasi manusia harus dijunjung tinggi.10
Negara Hukum Indonesia dirumuskan dalam penjelasan UndangUndang Dasar, yaitu Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Sebagai
negara hukum, maka konsep atau pola tersebut, hukum disesuaikan dengan
kondisi Indonesia, yaitu dengan menggunakan tolak ukur pandangan
bangsa Indonesia ialah Pancasila.11
Bertolak dari pendapat di atas, Negara hukum Indonesia
merupakan Negara hukum yang mempunyai konsep sendiri, yaitu Negara
hukum yang dijiwai Pancasila. Indonesia sebagai Negara hukum Pancasila,
pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya dalam melaksanakan tindakantindakan apapun harus dilandasi hukum atau dapat dipertanggung
jawabkan
secara
hukum.
Setiap
tindakan
pemerintah
haruslah
mempertimbangkan 2 (dua) kepentingan atau 2 (dua) landasan
10
Padmo Wahyono, 1992, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila, Alumni,
bandung, h. 27.
11
Noor MS. Bakry, 1985, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta, h.91.
12
kegunaannya (doelmatigheid) dan landasan hukumnya (rechtmatigheid).
Harus selalu diusahakan agar setiap tindakan Negara (pemerintah) selalu
memenuhi kedua kepentingan atau landasan tersebut, karena Negara
merupakan individu atau subyek yang memiliki hak dan kewajiban.
Dari pendapat-pendapat tersebut, ternyata asas legalitas merupakan
unsur yang selalu ada dalam upaya memberikan pengertian asas negara
hukum. Sejalan dengan itu, Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih
mengemukakan, bahwa legalitas dalam arti hukum dalam segala
bentuknya sebagai ciri negara hukum adalah setiap tindakan baik dari
pihak penguasa maupun dari pihak rakyat harus dibenarkan secara
hukum.12 Jimly Asshidiqie berpendapat, bahwa dalam setiap Negara
hukum dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya
(due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.13
Dalam kaitannya dengan pokok masalah penelitian ini, maka sesuai
dengan asas negara hukum, khusus asas legalitas, maka pelaksanaan
penjatuhan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil oleh pejabat yang
berwenang menghukum harus berdasarkan hukum.
12
Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut
Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta, h.29.
13
Jimly Asshidiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, h. 155.
13
Yang dimaksud dengan hukum dalam konteks tersebut adalah
hukum tertulis, yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan,
serta hukum tidak tertulis yang dalam hukum pemerintahan disebut asasasas umum pemerintahan yang baik.
1.6.2. Teori perundang-undangan.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori
jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata
susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar
merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi
dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang
merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya,
sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.14
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan
berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu
14
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, h.41.
14
juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah
daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang
tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma
di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi
rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.15
Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki
peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang
mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan
lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
15
Ibid, h.42.
15
Di samping jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang
disebutkan diatas, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UndangUndang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat;
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi perlu dilakukan pengujian undang-undang. Baik di dalam
kepustakaan maupun praktek dikenal adanya 2 (dua) macam hak menguji,
yaitu hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji
material (material toetsingsrecht).16 Adapun yang dimaksud dengan hak
uji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif
seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
16
Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, h.6.
16
sebagaimana yang telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku ataukah tidak.17 Sedangkan hak uji material adalah
suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu
peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu.18
Dalam mekanisme pengujian undang-undang dikenal ada 3 (tiga)
model pengujian undang-undang, yaitu executive review, legislatif review,
dan judicial review. Dalam model executive review, mekanisme
pembatalan ini dapat juga disebut mekanisme pengujian, tidak dilakukan
oleh lembaga kehakiman (judiciary) ataupun legislator, melainkan oleh
lembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas. Misalnya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah
oleh
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
Tentang
Pemerintahan Daerah mengatur mengenai ketentuan pembatalan peraturan
daerah.19
Dalam model legislative review, pengujian konstitusionalitas
(constitutional review) dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan-badan
yang terkait dengan cabang kekuasaan legislatif. Misalnya Ketetapan MPR
17
Ibid.
Ibid, h.11.
19
Jimly Asshiddiqie, 2010, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, h.74.
18
17
RI No. II/MPR/2000 yang menentukan bahwa Majelis inilah yang diberi
secara aktif menilai dan menguji konstititusionalitas undang-undang.20
Sedangkan dalam model judicial review tidak memerlukan lembaga baru,
melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah
ada. Mahkamah Agung itulah yang selanjutnya akan bertindak dan
berperan sebagai Pengawal atau Pelindung Undang-Undang Dasar (the
Guardian or the Protector of the Constitution).21
Teori ini digunakan sebagai rujukan untuk menganalisis kekaburan
dan kekosongan norma yang terjadi antara Peraturan Pemerintah Nomor
53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai negeri Sipil dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dalam
pembahasan penelitian ini.
1.6.3. Disiplin pegawai negeri sipil.
Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan
negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia perlu dibangun Pegawai Negeri Sipil yang
memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik,
bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu
menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa
20
21
Ibid, h.71.
Ibid, h.47.
18
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.
Untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang handal, profesional
dan bermoral mutlak diperlukan penerapan penegakkan disiplin sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat
menjamin terpeliharanya tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas serta
dapat mendorong Pegawai Negeri Sipil untuk lebih produktif berdasarkan
sistem karier dan sistem prestasi kerja.
Disiplin PNS adalah salah satu aspek pembinaan Pegawai Negeri
Sipil yang meliputi kewajiban, larangan dan hukuman disiplin yang dapat
dijatuhkan kepada Pegawai Negeri Sipil yang telah terbukti melakukan
pelanggaran. Penjatuhan hukuman disiplin dimaksudkan untuk membina
Pegawai Negeri Sipil yang telah melakukan pelanggaran, agar yang
bersangkutan mempunyai sifat menyesal dan berusaha untuk tidak
mengulangi dan memperbaiki diri pada masa yang akan datang.
Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah ketataatan dan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang tercermin
dalam sikap dan tata laku pegawai pada waktu dan di luar dinas.
Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui
proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan,
kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban karena sudah
19
menyatu dengan dirinya. Maka sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan
lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya
akan membebani dirinya bilamana ia tidak berbuat sebagaimana
lazimnya.22
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa disiplin Pegawai Negeri
Sipil adalah suatu keadaan tertib sesuai dengan peraturan perundangundangan serta kebiasaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang dengan senang hati, penuh ketaatan dan kepatuhan di lingkungan
kerjanya.
1.7.
Metode Penelitian
1.7.1. Jenis penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris,
di mana sumber bahan penelitian adalah bahan-bahan hukum dan
dianalisis dengan menggunakan metode teknik analisis.
1.7.2. Jenis pendekatan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
fakta (the fact approach) dan pendekatan perundang-undangan (the statute
approach). Pendekatan fakta (the fact approach) dilakukan dengan melihat
22
Soegeng Prijodarminto, 1992, Disiplin Kiat Menuju Sukses, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
h.23.
20
keadaan nyata di wilayah penelitian.23 Sedangkan pendekatan perundangundangan (the statute approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut sesuai
hukum yang ditangani.24
1.7.3. Sumber bahan hukum.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dijabarkan sebagai
berikut:
1.
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang berasal dari
sumber-sumber
hukum
formal
yang bersifat
mengikat
(otoratif), dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan,
sebagaimana telah disebutkan dalam pendekatan undangundang.
2.
Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang
sifatnya persuasif, yaitu menjelaskan atau menerangkan bahanbahan hukum primer. Bahan-bahan ini adalah hasil penelitian
atau kajian di bidang hukum.
Selain bahan hukum tersebut digunakan pula bahan penunjang atau
bahan informatif, berupa informasi yang diperoleh dari pejabat yang
23
Fakultas Hukum Univertsitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.60.
24
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum Edisi I, Cetakan V, Kencana, Jakarta,
h.93.
21
berwenang yang membidangi kepegawaian di lingkungan Pemerintah
Provinsi Bali maupun Kabupaten/Kota dan Badan Kepegawaian Negara
Regional Bali.
1.7.4. Teknik pengumpulan bahan hukum.
Bahan hukum dikumpulkan dengan menginventarisasi, menyusun
berdasarkan subyek, untuk selanjutnya dikaji dan diklasifikasi sesuai
dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
1.7.5. Teknik analisis bahan hukum.
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul,
penulis menggunakan teknik analisis sebagai berikut:
1.
Teknik analisis Deskripsi, yaitu menguraikan secara terbuka
suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau
non hukum.
2.
Teknik Argumentasi, yaitu menguraikan alasan-alasan yang
bersifat penalaran hukum. Penulis berupaya memberikan
argumentasi secara mendalam atas permasalahan yang dibahas.
22
23
Download