1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam Teori Kesusastraan, Wellek dan Warren (1990:109) menyebutkan bahwa sastra pada dasarnya menyajikan sebuah gambaran kehidupan. Kehidupan dalam karya sastra sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Sejalan dengan hal itu, Damono (1984:1) menjelaskan bahwa gambaran kehidupan yang dipresentasikan dalam sastra mencakup hubungan antarpribadi, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Gambaran kehidupan inilah yang lantas dituliskan dalam sebuah karya sastra berupa novel. Gambaran kehidupan yang dipresentasikan dalam sastra mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman pun menyebabkan kesusastraan turut berkembang. Keadaan ini lantas membuat penilaian masyarakat terhadap kesusastraan lama dan modern berbeda. Kedudukan antara sastra lama dan sastra modern tidak lagi sama. Pada saat ini, sastra modern lebih populer di kalangan masyarakat. Selain itu, peminatnya juga lebih banyak dibandingkan dengan peminat sastra lama. Dengan demikian, karya sastra tersebut lebih banyak beredar, seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Laskar Pelangi (yang kemudian disingkat LP) bercerita tentang persahabatan sepuluh bocah cilik ketika mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah, sekolah dengan segala fasilitas yang terbatas. Penulisnya memadukan antara persahabatan dan kegigihan sepuluh bocah tersebut dalam 2 mengejar impian. Dengan beragam karakter yang dimiliki oleh setiap anak dalam mengejar impiannya, LP mampu menyedot perhatian banyak pembaca. Hingga sekarang, LP karya Andrea Hirata telah tercetak lebih dari lima juta eksemplar lewat ritel resmi dan di pasar gelap mencapai lima belas juta eksemplar. Itu artinya, dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, dua puluh juta eksemplar dimiliki oleh pembaca. Hal ini dikemukakan Damar Juniarto (2013) dalam artikel Pengakuan Internasional Laskar Pelangi: Antara Klaim Andrea Hirata dan Faktanya. Kesuksesan besar karya ini tidak luput dari kisah masa kecil Andrea Hirata yang menginspirasi novel tersebut. Laki-laki yang lahir pada 24 Oktober 1967 ini menghabiskan masa kecilnya di Belitong. Meskipun demikian, Andrea lebih mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademisi dan backpacker. Sebagai akademisi, Andrea mengambil mayor di bidang ekonomi Universitas Indonesia, namun ia juga sangat menggemari sains--fisika, kimia, biologi, astronomi, dan sastra. Ia membuktikan kecerdasannya dengan mendapatkan beasiswa Uni Eropa untuk studi master of science di Universite de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan ia lulus cumlaude. Tesis itu telah diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi Ilmiah. Saat ini, Andrea tinggal di Bandung dan masih bekerja di kantor pusat PT Telkom. Sebagai backpaker, ia menuliskan pengalaman-pengalamannya dalam Edensor. 3 Fenomena booming-nya LP menyebabkan novel ini semakin terkenal di kalangan masyarakat luas, secara nasional ataupun internasional. Hal ini dipertegas oleh Andrea Hirata dalam konferensi pers Selasa, 12 Februari 2013 mengenai pengakuan “International Best Seller” dari Turki. Dalam konferensi yang dihadiri oleh media-media nasional, Andrea mengucapkan: “Hampir seratus tahun kita menanti adanya karya anak bangsa mendunia, tapi Alhamdullilah hari ini semua terbukti setelah buku saya menjadi bestseller dunia.” (dalam Metronews.com). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa LP telah menjadi novel yang bertaraf internasional. Menurut pengakuan Andrea Hirata (2013) pada artikel Tempo berjudul Kata Andrea Hirata Soal Tudingan ke Laskar Pelangi, sampai saat ini kontrak penerbitan LP telah mencapai 78 negara dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing melalui penerbit-penerbit terkemuka seperti Farrar Straus and Giroux, Random House, Hanser Berlin, Mercure de France, Atlas Contact, Penguin, dan Harper Collins. Informasi-informasi ini secara jelas disampaikan kepada publik melalui media massa. Beragamnya adaptasi LP berupa film, serial, drama musikal, dan adaptasi cetak lainnya dibandingkan karya Andrea Hirata yang lain menyebabkan LP semakin familiar di masyarakat. Bahkan, banyaknya pemberitaan mengenai LP akhir-akhir ini semakin semarak di media, terutama media internet. Sorotan tersebut berasal dari para kritikus sastra. Dalam artikel Sepuluh Kritikus Sastra Bicara tentang Andrea Hirata dan Laskar Pelangi, Machmud Yunus (2013) menjelaskan bahwa ada sepuluh kritikus berpendapat mengenai Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. 4 Pendapat pertama berasal dari Nuruddin Asyhadie (2013). Ia mengatakan bahwa seorang kritikus atau komentator sastra angkat bicara jika ada karya yang menarik dan pantas dibicarakan, misalnya ada penemuan dalam bentuk maupun isi. Jadi, ketika tidak ada yang membicarakan LP bisa disimpulkan kalau karya Andrea tidak menarik dan belum pantas dibicarakan oleh para kritikus. Joscev Audivacx (2013) pun mempertanyakan kompetensi dari seorang kritikus ketika membahas sebuah karya sastra. Sebelum membahas novel Andrea, kompetensi ini harus dipahami terlebih dahulu. Eimond Esya (2013) pun mengungkapkan bahwa LP tidak mengusung isu yang lebih besar, semata memberikan hiburan. LP tidak bisa dikategorikan sebagai novel sastra. Saut dan Katrin (2013) lebih tajam lagi menanggapi karya Andrea. Andrea Hirata tidak dianggap sebagai penulis karya “sastra”. Saut dan Katrin juga mengungkapkan bahwa LP adalah novel pop yang seharusnya dibawa ke kaum cultural studies untuk dibahas. Beberapa pendapat dari beberapa kritikus sastra di atas jelas menimbulkan banyak keraguan terhadap LP karya Andrea Hirata sebagai novel “sastra”. Menanggapi hal tersebut, penelitian ini berguna untuk menjawab keraguankeraguan yang diungkapkan. Penelitian ini akan membuktikan novel LP sebagai fiksi populer seperti yang diungkapkan beberapa sastrawan melalui unsur-unsur yang ada di dalamnya. Untuk mengkaji unsur-unsur tersebut akan digunakan teori genre. Teori genre dipilih dalam penelitian ini karena sesuai untuk mengkaji objek penelitian. Penelitian dengan objek LP memang telah banyak dilakukan. Namun, pengkajian LP dengan teori genre belum pernah dilakukan sebelumnya. 5 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penuturan pada latar belakang penelitian, dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan yang ingin ditemukan jawabannya. Permasalahanpermasalahan yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1.2.1 Apakah unsur intrinsik novel Laskar Pelangi sehingga dianggap sebagai fiksi populer? 1.2.2 Apakah unsur ekstrinsik novel Laskar Pelangi sebagai fiksi populer? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian Laskar Pelangi: Kajian Genre Fiksi Populer adalah untuk mengetahui unsur intrinsik dan ekstrinsik Laskar Pelangi sebagai fiksi populer. Penelitan ini ingin pula ingin mengaplikasikan teori genre pada Laskar Pelangi. 1.4 Tinjauan Pustaka Berdasarkan objeknya, terdapat beberapa penelitian mengenai Laskar Pelangi. Penelitian mengenai Laskar Pelangi dilakukan oleh Cahyaningrum Dewojati (2008). Penelitian Resepsi Pembaca Laskar Pelangi di Kecamatan Sanden dalam Perspektif Teori Eksperimental Rien T. Segers menggunakan enam belas responden untuk membuktikan penelitiannya. Penelitian ini berusaha menjelaskan adanya fenomena keterbacaan karya sastra, khususnya Laskar Pelangi di komunitas generasi muda desa di wilayah Sanden, Bantul. Penelitian ini juga berusaha mengungkapkan tanggapan pembaca yang berangkat dari 6 frame budaya desa dalam merespon novel Laskar Pelangi sebagai produk global. Selain itu, penelitian bermaksud menjelaskan pengaruh karya sastra tersebut dalam kehidupan sosial-budaya mereka. Penelitian dengan objek yang sama dilakukan oleh Nurhady Sirimorok (2008). Bukunya yang berjudul Laskar Pemimpi menyoroti isi novel Andrea Hirata. Laskar Pemimpi berusaha membongkar paradigma virus modernitas yang ada di novel-novel karya Andrea. Nurhady memaparkan bagaimana imajinasi modernitas menyebar laksana virus super cepat, bebas hambatan, dan menjadi faktor penggerak penting di dalam novel-novel Andrea. Laskar Pemimpi bukan semata-mata mengkritik habis karya Andrea, tetapi berusaha menyodorkan hasil analisis tajam dari sesuatu yang telah lama tak disentuh dalam dunia sastra. Selain Nurhady, terdapat pula penelitian dari Yendri Amela (2009), mahasiswa Sastra Jepang UGM. Dalam skripsinya yang berjudul Perbandingan Novel Madogiwa No Totto Chan dengan Novel Laskar Pelangi: Analisis Struktural dan Sosiologi Pendidikan, Yendri mengungkapkan persamaan dan perbedaan struktur serta sosiologi pendidikan kedua novel. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa novel Madogawa no Totto Chan dan novel Laskar Pelangi terdapat kesamaan dan perbedaan secara struktural. Laskar Pelangi juga pernah diteliti oleh Syamsun (2009), mahasiswa Pascasarjana Sastra UGM. Semangat Membangun Keterdidikan Masyarakat: Kajian Sosiologi Sastra Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata mengungkapkan isu pendidikan, kebijakan pemerintah, dan peran lembaga sosial kemasyarakatan dalam menciptakan keterdidikan masyarakat dalam novel. 7 Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra Swingewood untuk mengkaji permasalahan yang dirumuskan. Selain itu, Miftahul Huda (2011), mahasiswa Pascasarjana Sastra UGM dalam tesisnya menggunakan objek Laskar Pelangi. Tesis yang berjudul Metafora Andrea Hirata Dalam Tetralogi Laskar Pelangi (Kajian Stilistika) ini didukung pula oleh teori semiotika. Penelitian Miftahul menemukan ciri khas gaya penulisan metafora Andrea Hirata, makna dan fungsi yang ditimbulkannya, serta frekuensi penggunaan metafora Andrea Hirata. Hidayati Fikriatun (2012) pun meneliti Laskar Pelangi. Skripsinya yang berjudul Problem Pendidikan dalam Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata: Analisis Sosiologi Sastra Ian Watt menjelaskan latar belakang geografi pengarang dan profesionalisme yang berpengaruh pada penciptaan novel tersebut. Dari penelitian ini diperoleh suatu hasil adanya hubungan timbal balik antara fiksi dengan realitas dalam Laskar Pelangi. Di sisi lain, berdasarkan teori yang digunakan, penelitian dengan menggunakan teori genre pernah dilakukan oleh Ida Rochani Adi (2007). Dalam penelitian berjudul Memoir as Popular Genre, Ida menjelaskan bahwa memoar adalah salah satu jenis sastra yang terkategorikan bestseller. Meskipun demikian, penelitian dengan menggunakan teori genre pada objek Laskar Pelangi belum pernah dilakukan. Selain itu, teori genre juga belum pernah digunakan untuk mengkaji objek-objek lain di Sastra Indonesia. 8 1.5 Landasan Teori Sastra dalam bahasa Inggris “literature” sehingga “popular literature” dapat diterjemahkan sebagai sastra populer. Banyak yang mencoba mendefinisikan sastra. Eagleton (1983:1) misalnya, mendefinisikannya sebagai “imaginatif writing” (tulisan imajinatif). Pendapatnya tersebut tentu saja mengacu pada fiksi padahal yang disebut sastra dapat saja berupa nonfiksi dan hal ini juga dipertegaskannya dengan mengajukan argumentasi tentang berbagai tulisan yang bersifat nonfiksi yang juga dapat dikategorikan sebagai “literature”. Menurut Tim Penyusun Kamus (2007: 1001-1002), sastra mengacu berbagai hal, yaitu sastra merupakan bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari; karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya; kitab suci (Hindu), (kitab) ilmu pengetahuan; pustaka; kitab primbon (berisi ramalan, hitungan, dan sebagainya); tulisan; atau huruf. Meskipun terdapat banyak arti, terdapat juga keuniversalan arti yang umum dipahami dan disepakati oleh banyak ahli bahwa sastra menggunakan bahasa yang bukan bahasa sehari-hari, bahasa indah, bahasa yang terasa asing (Adi, 2011:16). Dalam perkembangannya, terdapat pula sastra yang ditulis dengan menggunakan bahasa sehari-hari seperti sastra populer. Popular literature secara harfiah diterjemahkan sebagai sastra populer. Meskipun banyak orang tidak setuju dengan penerjemahan demikian karena sastra dalam konteks Indonesia merupakan tulisan yang adiluhung dan tidak dapat diartikan sebagai literature karena konotasinya yang berbeda. Jenis sastra populer 9 berbagai macam, dapat berupa tulisan yang berbentuk esai dan ada pula berbentuk fiksi. Yang dimaksud fiksi adalah karya rekaan yang dapat berbentuk novel ataupun dapat berbentuk film. Adi (2011:24) menjelaskan bahwa cerita rekaan lazim disebut fiksi merupakan cerita yang tidak berdasarkan pada kejadian sebenarnya. Dalam sastra imajinasi ini penulis sama sekali bebas dari ikatan apapun yang bersifat data. Ini bukanlah berarti penulis tidak menggunakan data untuk menyusun cerita fiksinya, hanya saja peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi sudah diubah oleh penulis untuk memberikan arti tertentu. Meskipun fiksi populer tidak menempati tempat yang penting dalam sejarah kesusastraan, baik di Indonesia maupun di dunia, fiksi populer ini banyak memengaruhi perkembangan dunia fiksi. Hal ini dapat dilihat dari penerimaan pembaca atau penonton di dunia yang dilihat dari tingkat penjualan, adaptasi ke dalam bentuk lain. Karena dilihat dari tingkat penjualan, kualitas sastra populer dianggap lebih rendah kadar sastranya daripada karya sastra adiluhung. Dibandingkan dengan karya sastra adiluhung, sastra populer berbentuk fiksi seperti novel mempunyai unsur-unsur yang berbeda dari sastra adiluhung (Adi, 2011:19-20). Sastra adiluhung di sini dapat pula dianggap sebagai fiksi serius. Berbeda dengan fiksi populer yang mudah dibaca, Stanton (2007) menjelaskan bahwa fiksi serius lebih sukar karena mengandung dua elemen tambahan, tema atau gagasan utama yang harus digali pembaca dan sarana-sarana artistik yang harus diketahui dan dihargainya. Sarana-sarana artistik tersebut dapat dilihat melalui unsur-unsur yang terkandung di dalam cerita. 10 Pada novel Laskar Pelangi sebagai fiksi populer, unsur-unsurnya meliputi unsur intrinsik dan ekstrinsik akan dikaji dengan menggunakan teori genre. Wellek dan Warren (1956:231) mengungkapkan bahwa genre adalah pengelompokkan karya-karya sastra yang secara teoretis berdasar pada bentuk luar (majas atau struktur khusus) dan bentuk dalam (sikap, nada, tujuan, subjek, dan audiens). Di sisi lain, defini konvensional genre cenderung berdasarkan pada konvensi unsur-unsur teks fiksi seperti tema dan latar. Karena tema, latar, dan unsur-unsur lain dalam fiksi bervariasi, penentuan genre membingungkan (Adi, 2011:200). Selain itu, Stokes (2006:90) juga mengungkapkan bahwa sampai sekarang genre merupakan istilah yang masih dipakai dalam industri penerbitan untuk membedakan buku-buku pasar massal dari buku-buku sastra. Stokes juga menjelaskan lebih lanjut bahwa genre mengembangkan sebuah hubungan antara produsen dan khalayak. Khalayak inilah yang lantas dianggap sebagai penonton atau pembaca. Tudor (dalam Adi, 2011:197) pun berpendapat bahwa kefleksibelan genre fiksi populer menyebabkan genre fiksi ini ditentukan oleh penonton atau pembaca. Unsur ekstrinsik berupa sambutan dari penonton atau pembaca terhadap booming-nya novel Laskar Pelangi yang lantas berdampak pada banyaknya adaptasi novel tersebut ini turut mempengaruhi genre fiksi populer. Berkaitan dengan hal ini, Buscombe (dalam Adi, 2011:205) menyebutkan bahwa genre tergantung dari kombinasi “novelty and familiarity”. Cawelty (1971:28) menjelaskannya melalui invensi dan konvensi dalam naratif populer. Konvensikonvensi menyajikan gambaran dan arti yang sudah akrab bagi audience dan 11 konvensi tersebut menekankan kesinambungan nilai. Invensi-invensi merupakan persepsi atau arti baru yang belum kita sadari sebelumnya. Fungsi keduanya ini penting bagi budaya. Konvensi membantu untuk menciptakan kestabilan budaya, sedangkan invensi membantu untuk merespon keadaan yang berubah dan memberikan informasi baru tentang dunia. Selain itu, penelitian genre yang dilakukan dengan melihat selera penonton atau pembaca, dapat dilihat dari pola regularitas kepopulerannya dan faktor yang menyebabkan penonton atau pembaca menyenanginya. Apabila demikian, penelitian akan menyangkut penelitian formula, arketip, dan ikon fiksi populer (Adi, 2011:206). Formula yang dimaksud sama dengan kategori naratif yang diungkapkan oleh Stokes. Stokes (2006:91) mengungkapkan bahwa genre sekaligus merupakan sebuah kategori naratif: struktur gadis bertemu jejaka dalam film-film roman selalu merupakan struktur dari semua film dalam genre tersebut. Di sisi lain, dalam fiksi populer, formula merupakan unsur-unsur dalam karya sastra, unsur-unsur seperti alur atau plot, tema, penokohan, latar, dan setting. Jadi dapat dikatakan secara umum, formula dapat disamakan dengan unsur tersebut. Penelitian genre dapat berarti meneliti formula karena pada dasarnya penelitian genre meneliti tentang unsur-unsur yang ada dalam fiksi populer (Adi, 2011:209). Unsur-unsur tersebut berupa struktur naratif yang membentuk cerita pada novel populer. Struktur naratif disebut pula sebagai plot atau alur. Plot suatu cerita populer biasanya tidak berbelit-belit, terutama cerita-cerita cinta yang biasa disebut roman. Pola cerita biasanya dimulai dengan eksposisi, komplikasi, konflik, klimaks, dan penutup. Di samping itu, cerita biasanya berakhir dengan 12 bahagia atau dengan kemenangan tokoh utama. Hal serupa juga diutarakan Teew (1989:172). Teew mengungkapkan bahwa patut diperhatikan pula kadang-kadang tanggapan dari para pembaca terhadap suatu cerita menggerakkan para pengarangnya untuk membuat cerita menjadi benar-benar happy ending. Dalam pembuatannya, alur atau plot haruslah masuk akal, yaitu penyajian situasinya dengan hukum sebab akibat. Sebuah alur harus memberikan gambaran yang tidak bertentangan dengan kemampuan penalaran pembaca (Adi, 2011:38-44). Selain plot atau alur, tema novel populer juga memiliki ciri khas tersendiri. Tema merupakan pokok pembicaraan dalam sebuah cerita atau dapat juga berarti pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Tema merupakan persoalan yang berhasil menduduki tempat utama dalam cerita. Tema dalam novel populer biasanya lebih sederhana sehingga dapat dengan mudah diketahui oleh pembacanya. Dalan novel populer, pengarang dapat membahas hampir semua segi persoalan dari tema pokok. Selain itu, tema yang diangkat biasanya menyajikan nilai yang bersifat universal. Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang bersifat nilai kebajikan manusia (Adi, 2011:44-45). Penokohan dalam novel populer juga memiliki perbedaan dengan fiksi serius. Dalam novel populer, para tokohnya hadir dalam jumlah yang lebih banyak. Tokoh-tokoh tersebut masing-masing digambarkan secara lengkap dan utuh sehingga novel semacam ini seolah-olah merupakan konsentrasi kisah beberapa tokoh besar. Karakter tokoh-tokohnya harus berpikir dan bertindak seperti layaknya manusia dalam dunia nyata. Penokohan di novel populer menentukan gender tokoh utama tergantung pembaca. Kondisi fisik dan apa yang 13 dilakukan tokoh utama dianggap penting. Penokohan juga berhubungan erat dengan stereotip yang berkembang di masyarakat (Adi, 2011:46-49). Dalam novel populer, latar atau setting berperan penting. Latar dalam novel populer dapat dipakai sebagai alat menarik perhatian pembaca. Latar dapat juga menentukan jenis cerita itu sendiri. Latar novel populer roman jelaslah berbeda dengan latar novel populer horor atau petualangan. Selain itu, pembuat novel populer haruslah jeli dalam mendramatisasikan sebuah situasi yang familiar bagi pembaca sehingga membuat dunia rekaan yang diciptakannya dapat diterima oleh pembaca (Adi, 2011:49-50). Unsur pembentuk cerita yang terakhir adalah suasana. Setiap karya tersebut harus memiliki suasana pokok tertentu sebagai warna dasar cerita. Suasana dasar dalam novel populer dapat beragam, artinya dapat ditambah dengan suasana-suasana lain. Suasana itu dapat sedih, gembira, misterius, patriotik, dan lain-lain. Fungsi suasana membantu menegaskan tema. Suasana dibentuk oleh gaya, yaitu cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, tema, meninjau persoalan, atau apa saja. Suasana ini biasanya ditekankan dalam novel populer karena unsur ini dapat mengundang pembaca untuk memvisualisasikan apa yang terjadi dalam novel tersebut (Adi, 2011:51-52). Meskipun demikian, penelitian genre yang meneliti unsur-unsur formula di atas umumnya tidak dilakukan dengan melihat kualitas unsur-unsur fiksi, tetapi efektivitas dalam menarik pembaca atau penonton sehingga penelitian juga dilakukan secara ekstrinsik. Sebagai pembaca, masyarakat pun mempunyai keterlibatan yang penting dalam penciptaan fiksi populer karena mau tidak mau 14 sastra populer merupakan suatu produk budaya yang banyak melibatkan masyarakat. Karena masyarakat heterogen, penciptaan formulanya pun sangat tergantung pada selera masyarakat penikmatnya (Adi, 2011:209-210). Di samping formula, unsur lain yang penting dalam fiksi populer adalah arketipe. Arketipe adalah unsur-unsur yang dapat dikatakan universal. Sebagaimana dikatakan Cawelti (1971:5-6), pola plot umum ini tidaklah terbatas pada budaya atau periode tertentu. Namun, pola tersebut kelihatannya menyajikan tipe cerita yang apabila pengaruhnya tidak universal, populer di banyak budaya yang berbeda-beda, dan waktu yang berbeda-beda pula. Pada kenyataannya, pola plot ini merupakan contoh yang disebut oleh beberapa ahli sebagai arketipe atau pola yang menarik bagi banyak budaya yang berbeda-beda. Senada dengan Cawelti, Grace (1965:36-37) mengatakan bahwa arketipe adalah simbol yang menandai keuniversalan tema yang menyentuh sisi kemanusiaan. 1.6 Metode Penelitian Metode merupakan cara yang operasional dalam penelitian. Metode berhubungan dengan proses pengambilan data dan analisis data (Endraswara, 2003:8). Untuk melakukan metode, dibutuhkan teknik. Dengan demikian, metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993:10). Pada penelitian ini akan digunakan metode kualitatif eksplorasi. 15 Penelitian dengan menggunakan metode ini bertujuan untuk mengetahui sesuatu yang sebelumnya belum diketahui dan memformulasikan sesuatu. Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. a. Menentukan objek kajian yang akan diteliti. Pada penelitian ini objek kajian yang digunakan merupakan objek internal dan eksternal. Objek internal berupa novel Laskar Pelangi, objek eksternal adalah adaptasi-adaptasi dari novel tersebut, yakni film Laskar Pelangi, Laskar Pelangi The Series, Musikal Laskar Pelangi, Laskar Pelangi Song Book, Di Balik Layar Laskar Pelangi, dan seri Laskar Pelangi anak. b. Menemukan masalah-masalah pokok. Masalah pada penelitian ini adalah unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang ada pada novel Laskar Pelangi. c. Melakukan studi pustaka dengan mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian ini. Pencarian data dilakukan dengan wawancara. Narasumber yang dipilih adalah Imam Rusdiyanto, Pemimpin Redaksi penerbit Bentang Pustaka. Selain itu, penelitian ini juga mencari data berupa Laskar Pelangi The Series ke Komisi Penyiaran Indonesia Pusat di Jakarta. Data-data yang lain dicari melalui bantuan portal-portal berita online. d. Melakukan analisis terhadap unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel Laskar Pelangi sebagai fiksi populer. Hasil wawancara dan data yang didapatkan melalui portal berita online digunakan untuk memperkuat analisis terhadap objek. e. Menarik kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. 16 1.7 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian. Keempat bagian tersebut akan diuraikan. Bab I adalah pendahuluan. Di dalam pendahuluan akan dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi mengenai unsur-unsur intrinsik Laskar Pelangi sebagai karya fiksi populer. Pada bab ini, jawaban rumusan masalah pertama akan ditemukan dengan studi pustaka dan analisis objek penelitian, yakni novel Laskar Pelangi. Bab III merupakan jawaban dari rumusan masalah yang kedua, yaitu unsur-unsur ekstrinsik yang terkandung dalam novel Laskar Pelangi. Dalam bab ini, jawaban rumusan masalah kedua akan ditemukan melalui wawancara terhadap narasumber dan data-data dari portal berita online. Bab IV berisi kesimpulan.