(1990:109) menyebutkan bahwa sastra

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Dalam Teori Kesusastraan, Wellek dan Warren (1990:109) menyebutkan
bahwa sastra pada dasarnya menyajikan sebuah gambaran kehidupan. Kehidupan
dalam karya sastra sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Sejalan dengan hal
itu,
Damono
(1984:1)
menjelaskan
bahwa
gambaran
kehidupan
yang
dipresentasikan dalam sastra mencakup hubungan antarpribadi, antarmanusia, dan
antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Gambaran kehidupan inilah
yang lantas dituliskan dalam sebuah karya sastra berupa novel. Gambaran
kehidupan yang dipresentasikan dalam sastra mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan zaman.
Perkembangan zaman pun menyebabkan kesusastraan turut berkembang.
Keadaan ini lantas membuat penilaian masyarakat terhadap kesusastraan lama dan
modern berbeda. Kedudukan antara sastra lama dan sastra modern tidak lagi sama.
Pada saat ini, sastra modern lebih populer di kalangan masyarakat. Selain itu,
peminatnya juga lebih banyak dibandingkan dengan peminat sastra lama. Dengan
demikian, karya sastra tersebut lebih banyak beredar, seperti Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata. Laskar Pelangi (yang kemudian disingkat LP) bercerita tentang
persahabatan sepuluh bocah cilik ketika mengenyam pendidikan di sekolah
Muhammadiyah, sekolah dengan segala fasilitas yang terbatas. Penulisnya
memadukan antara persahabatan dan kegigihan sepuluh bocah tersebut dalam
2
mengejar impian. Dengan beragam karakter yang dimiliki oleh setiap anak dalam
mengejar impiannya, LP mampu menyedot perhatian banyak pembaca.
Hingga sekarang, LP karya Andrea Hirata telah tercetak lebih dari lima
juta eksemplar lewat ritel resmi dan di pasar gelap mencapai lima belas juta
eksemplar. Itu artinya, dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, dua puluh juta
eksemplar dimiliki oleh pembaca. Hal ini dikemukakan Damar Juniarto (2013)
dalam artikel Pengakuan Internasional Laskar Pelangi: Antara Klaim Andrea
Hirata dan Faktanya. Kesuksesan besar karya ini tidak luput dari kisah masa kecil
Andrea Hirata yang menginspirasi novel tersebut. Laki-laki yang lahir pada 24
Oktober 1967 ini menghabiskan masa kecilnya di Belitong. Meskipun demikian,
Andrea lebih mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademisi dan backpacker.
Sebagai akademisi, Andrea mengambil mayor di bidang ekonomi
Universitas Indonesia, namun ia juga sangat menggemari sains--fisika, kimia,
biologi, astronomi, dan sastra. Ia membuktikan kecerdasannya dengan
mendapatkan beasiswa Uni Eropa untuk studi master of science di Universite de
Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom.
Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari
kedua universitas tersebut dan ia lulus cumlaude. Tesis itu telah diadaptasikan ke
dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi
pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai
referensi Ilmiah. Saat ini, Andrea tinggal di Bandung dan masih bekerja di kantor
pusat PT Telkom. Sebagai backpaker, ia menuliskan pengalaman-pengalamannya
dalam Edensor.
3
Fenomena booming-nya LP menyebabkan novel ini semakin terkenal di
kalangan masyarakat luas, secara nasional ataupun internasional. Hal ini
dipertegas oleh Andrea Hirata dalam konferensi pers Selasa, 12 Februari 2013
mengenai pengakuan “International Best Seller” dari Turki. Dalam konferensi
yang dihadiri oleh media-media nasional, Andrea mengucapkan: “Hampir seratus
tahun kita menanti adanya karya anak bangsa mendunia, tapi Alhamdullilah hari
ini semua terbukti setelah buku saya menjadi bestseller dunia.” (dalam
Metronews.com). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa LP telah menjadi novel
yang bertaraf internasional. Menurut pengakuan Andrea Hirata (2013) pada artikel
Tempo berjudul Kata Andrea Hirata Soal Tudingan ke Laskar Pelangi, sampai
saat ini kontrak penerbitan LP telah mencapai 78 negara dan diterjemahkan ke
dalam banyak bahasa asing melalui penerbit-penerbit terkemuka seperti Farrar
Straus and Giroux, Random House, Hanser Berlin, Mercure de France, Atlas
Contact, Penguin, dan Harper Collins. Informasi-informasi ini secara jelas
disampaikan kepada publik melalui media massa.
Beragamnya adaptasi LP berupa film, serial, drama musikal, dan adaptasi
cetak lainnya dibandingkan karya Andrea Hirata yang lain menyebabkan LP
semakin familiar di masyarakat. Bahkan, banyaknya pemberitaan mengenai LP
akhir-akhir ini semakin semarak di media, terutama media internet. Sorotan
tersebut berasal dari para kritikus sastra. Dalam artikel Sepuluh Kritikus Sastra
Bicara tentang Andrea Hirata dan Laskar Pelangi, Machmud Yunus (2013)
menjelaskan bahwa ada sepuluh kritikus berpendapat mengenai Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata.
4
Pendapat pertama berasal dari Nuruddin Asyhadie (2013). Ia mengatakan
bahwa seorang kritikus atau komentator sastra angkat bicara jika ada karya yang
menarik dan pantas dibicarakan, misalnya ada penemuan dalam bentuk maupun
isi. Jadi, ketika tidak ada yang membicarakan LP bisa disimpulkan kalau karya
Andrea tidak menarik dan belum pantas dibicarakan oleh para kritikus. Joscev
Audivacx (2013) pun mempertanyakan kompetensi dari seorang kritikus ketika
membahas sebuah karya sastra. Sebelum membahas novel Andrea, kompetensi ini
harus dipahami terlebih dahulu. Eimond Esya (2013) pun mengungkapkan bahwa
LP tidak mengusung isu yang lebih besar, semata memberikan hiburan. LP tidak
bisa dikategorikan sebagai novel sastra. Saut dan Katrin (2013) lebih tajam lagi
menanggapi karya Andrea. Andrea Hirata tidak dianggap sebagai penulis karya
“sastra”. Saut dan Katrin juga mengungkapkan bahwa LP adalah novel pop yang
seharusnya dibawa ke kaum cultural studies untuk dibahas.
Beberapa pendapat dari beberapa kritikus sastra di atas jelas menimbulkan
banyak keraguan terhadap LP karya Andrea Hirata sebagai novel “sastra”.
Menanggapi hal tersebut, penelitian ini berguna untuk menjawab keraguankeraguan yang diungkapkan. Penelitian ini akan membuktikan novel LP sebagai
fiksi populer seperti yang diungkapkan beberapa sastrawan melalui unsur-unsur
yang ada di dalamnya. Untuk mengkaji unsur-unsur tersebut akan digunakan teori
genre. Teori genre dipilih dalam penelitian ini karena sesuai untuk mengkaji objek
penelitian. Penelitian dengan objek LP memang telah banyak dilakukan. Namun,
pengkajian LP dengan teori genre belum pernah dilakukan sebelumnya.
5
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan penuturan pada latar belakang penelitian, dapat dirumuskan
permasalahan-permasalahan yang ingin ditemukan jawabannya. Permasalahanpermasalahan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apakah unsur intrinsik novel Laskar Pelangi sehingga dianggap sebagai
fiksi populer?
1.2.2 Apakah unsur ekstrinsik novel Laskar Pelangi sebagai fiksi populer?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian Laskar Pelangi: Kajian Genre Fiksi Populer adalah
untuk mengetahui unsur intrinsik dan ekstrinsik Laskar Pelangi sebagai fiksi
populer. Penelitan ini ingin pula ingin mengaplikasikan teori genre pada Laskar
Pelangi.
1.4
Tinjauan Pustaka
Berdasarkan objeknya, terdapat beberapa penelitian mengenai Laskar
Pelangi. Penelitian mengenai Laskar Pelangi dilakukan oleh Cahyaningrum
Dewojati (2008). Penelitian Resepsi Pembaca Laskar Pelangi di Kecamatan
Sanden dalam Perspektif Teori Eksperimental Rien T. Segers menggunakan enam
belas responden untuk membuktikan penelitiannya. Penelitian ini berusaha
menjelaskan adanya fenomena keterbacaan karya sastra, khususnya Laskar
Pelangi di komunitas generasi muda desa di wilayah Sanden, Bantul. Penelitian
ini juga berusaha mengungkapkan tanggapan pembaca
yang berangkat dari
6
frame budaya desa dalam merespon novel Laskar Pelangi sebagai produk global.
Selain itu, penelitian bermaksud menjelaskan pengaruh karya sastra tersebut
dalam kehidupan sosial-budaya mereka.
Penelitian dengan objek yang sama dilakukan oleh Nurhady Sirimorok
(2008). Bukunya yang berjudul Laskar Pemimpi menyoroti isi novel Andrea
Hirata. Laskar Pemimpi berusaha membongkar paradigma virus modernitas yang
ada di novel-novel karya Andrea. Nurhady memaparkan bagaimana imajinasi
modernitas menyebar laksana virus super cepat, bebas hambatan, dan menjadi
faktor penggerak penting di dalam novel-novel Andrea. Laskar Pemimpi bukan
semata-mata mengkritik habis karya Andrea, tetapi berusaha menyodorkan hasil
analisis tajam dari sesuatu yang telah lama tak disentuh dalam dunia sastra.
Selain Nurhady, terdapat pula penelitian dari Yendri Amela (2009),
mahasiswa Sastra Jepang UGM. Dalam skripsinya yang berjudul Perbandingan
Novel Madogiwa No Totto Chan dengan Novel Laskar Pelangi: Analisis
Struktural dan Sosiologi Pendidikan, Yendri mengungkapkan persamaan dan
perbedaan struktur serta sosiologi pendidikan kedua novel. Berdasarkan
penelitian, diketahui bahwa novel Madogawa no Totto Chan dan novel Laskar
Pelangi terdapat kesamaan dan perbedaan secara struktural.
Laskar Pelangi juga pernah diteliti oleh Syamsun (2009), mahasiswa
Pascasarjana Sastra UGM. Semangat Membangun Keterdidikan Masyarakat:
Kajian Sosiologi Sastra Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata
mengungkapkan isu pendidikan, kebijakan pemerintah, dan peran lembaga sosial
kemasyarakatan dalam menciptakan keterdidikan masyarakat dalam novel.
7
Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra Swingewood untuk mengkaji
permasalahan yang dirumuskan.
Selain itu, Miftahul Huda (2011), mahasiswa Pascasarjana Sastra UGM
dalam tesisnya menggunakan objek Laskar Pelangi. Tesis yang berjudul Metafora
Andrea Hirata Dalam Tetralogi Laskar Pelangi (Kajian Stilistika) ini didukung
pula oleh teori semiotika. Penelitian Miftahul menemukan ciri khas gaya
penulisan metafora Andrea Hirata, makna dan fungsi yang ditimbulkannya, serta
frekuensi penggunaan metafora Andrea Hirata.
Hidayati Fikriatun (2012) pun meneliti Laskar Pelangi. Skripsinya yang
berjudul Problem Pendidikan dalam Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata:
Analisis Sosiologi Sastra Ian Watt menjelaskan latar belakang geografi pengarang
dan profesionalisme yang berpengaruh pada penciptaan novel tersebut. Dari
penelitian ini diperoleh suatu hasil adanya hubungan timbal balik antara fiksi
dengan realitas dalam Laskar Pelangi.
Di sisi lain, berdasarkan teori yang digunakan, penelitian dengan
menggunakan teori genre pernah dilakukan oleh Ida Rochani Adi (2007). Dalam
penelitian berjudul Memoir as Popular Genre, Ida menjelaskan bahwa memoar
adalah salah satu jenis sastra yang terkategorikan bestseller. Meskipun demikian,
penelitian dengan menggunakan teori genre pada objek Laskar Pelangi belum
pernah dilakukan. Selain itu, teori genre juga belum pernah digunakan untuk
mengkaji objek-objek lain di Sastra Indonesia.
8
1.5
Landasan Teori
Sastra dalam bahasa Inggris “literature” sehingga “popular literature”
dapat
diterjemahkan
sebagai
sastra
populer.
Banyak
yang
mencoba
mendefinisikan sastra. Eagleton (1983:1) misalnya, mendefinisikannya sebagai
“imaginatif writing” (tulisan imajinatif). Pendapatnya tersebut tentu saja mengacu
pada fiksi padahal yang disebut sastra dapat saja berupa nonfiksi dan hal ini juga
dipertegaskannya dengan mengajukan argumentasi tentang berbagai tulisan yang
bersifat nonfiksi yang juga dapat dikategorikan sebagai “literature”.
Menurut Tim Penyusun Kamus (2007: 1001-1002), sastra mengacu
berbagai hal, yaitu sastra merupakan bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai
di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari; karya tulis, yang jika dibandingkan
dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian,
keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya; kitab suci (Hindu), (kitab)
ilmu pengetahuan; pustaka; kitab primbon (berisi ramalan, hitungan, dan
sebagainya); tulisan; atau huruf. Meskipun terdapat banyak arti, terdapat juga
keuniversalan arti yang umum dipahami dan disepakati oleh banyak ahli bahwa
sastra menggunakan bahasa yang bukan bahasa sehari-hari, bahasa indah, bahasa
yang terasa asing (Adi, 2011:16). Dalam perkembangannya, terdapat pula sastra
yang ditulis dengan menggunakan bahasa sehari-hari seperti sastra populer.
Popular literature secara harfiah diterjemahkan sebagai sastra populer.
Meskipun banyak orang tidak setuju dengan penerjemahan demikian karena sastra
dalam konteks Indonesia merupakan tulisan yang adiluhung dan tidak dapat
diartikan sebagai literature karena konotasinya yang berbeda. Jenis sastra populer
9
berbagai macam, dapat berupa tulisan yang berbentuk esai dan ada pula berbentuk
fiksi. Yang dimaksud fiksi adalah karya rekaan yang dapat berbentuk novel
ataupun dapat berbentuk film. Adi (2011:24) menjelaskan bahwa cerita rekaan
lazim disebut fiksi merupakan cerita yang tidak berdasarkan pada kejadian
sebenarnya. Dalam sastra imajinasi ini penulis sama sekali bebas dari ikatan
apapun yang bersifat data. Ini bukanlah berarti penulis tidak menggunakan data
untuk menyusun cerita fiksinya, hanya saja peristiwa-peristiwa yang sebenarnya
terjadi sudah diubah oleh penulis untuk memberikan arti tertentu.
Meskipun fiksi populer tidak menempati tempat yang penting dalam
sejarah kesusastraan, baik di Indonesia maupun di dunia, fiksi populer ini banyak
memengaruhi perkembangan dunia fiksi. Hal ini dapat dilihat dari penerimaan
pembaca atau penonton di dunia yang dilihat dari tingkat penjualan, adaptasi ke
dalam bentuk lain. Karena dilihat dari tingkat penjualan, kualitas sastra populer
dianggap lebih rendah kadar sastranya daripada karya sastra adiluhung.
Dibandingkan dengan karya sastra adiluhung, sastra populer berbentuk fiksi
seperti novel mempunyai unsur-unsur yang berbeda dari sastra adiluhung (Adi,
2011:19-20). Sastra adiluhung di sini dapat pula dianggap sebagai fiksi serius.
Berbeda dengan fiksi populer yang mudah dibaca, Stanton (2007) menjelaskan
bahwa fiksi serius lebih sukar karena mengandung dua elemen tambahan, tema
atau gagasan utama yang harus digali pembaca dan sarana-sarana artistik yang
harus diketahui dan dihargainya. Sarana-sarana artistik tersebut dapat dilihat
melalui unsur-unsur yang terkandung di dalam cerita.
10
Pada novel Laskar Pelangi sebagai fiksi populer, unsur-unsurnya meliputi
unsur intrinsik dan ekstrinsik akan dikaji dengan menggunakan teori genre.
Wellek
dan
Warren
(1956:231)
mengungkapkan
bahwa
genre
adalah
pengelompokkan karya-karya sastra yang secara teoretis berdasar pada bentuk
luar (majas atau struktur khusus) dan bentuk dalam (sikap, nada, tujuan, subjek,
dan audiens). Di sisi lain, defini konvensional genre cenderung berdasarkan pada
konvensi unsur-unsur teks fiksi seperti tema dan latar. Karena tema, latar, dan
unsur-unsur lain dalam fiksi bervariasi, penentuan genre membingungkan (Adi,
2011:200). Selain itu, Stokes (2006:90) juga mengungkapkan bahwa sampai
sekarang genre merupakan istilah yang masih dipakai dalam industri penerbitan
untuk membedakan buku-buku pasar massal dari buku-buku sastra. Stokes juga
menjelaskan lebih lanjut bahwa genre mengembangkan sebuah hubungan antara
produsen dan khalayak. Khalayak inilah yang lantas dianggap sebagai penonton
atau pembaca. Tudor (dalam Adi, 2011:197) pun berpendapat bahwa
kefleksibelan genre fiksi populer menyebabkan genre fiksi ini ditentukan oleh
penonton atau pembaca.
Unsur ekstrinsik berupa sambutan dari penonton atau pembaca terhadap
booming-nya novel Laskar Pelangi yang lantas berdampak pada banyaknya
adaptasi novel tersebut ini turut mempengaruhi genre fiksi populer. Berkaitan
dengan hal ini, Buscombe (dalam Adi, 2011:205) menyebutkan bahwa genre
tergantung dari kombinasi “novelty and familiarity”. Cawelty (1971:28)
menjelaskannya melalui invensi dan konvensi dalam naratif populer. Konvensikonvensi menyajikan gambaran dan arti yang sudah akrab bagi audience dan
11
konvensi tersebut menekankan kesinambungan nilai. Invensi-invensi merupakan
persepsi atau arti baru yang belum kita sadari sebelumnya. Fungsi keduanya ini
penting bagi budaya. Konvensi membantu untuk menciptakan kestabilan budaya,
sedangkan invensi membantu untuk merespon keadaan yang berubah dan
memberikan informasi baru tentang dunia.
Selain itu, penelitian genre yang dilakukan dengan melihat selera penonton
atau pembaca, dapat dilihat dari pola regularitas kepopulerannya dan faktor yang
menyebabkan penonton atau pembaca menyenanginya. Apabila demikian,
penelitian akan menyangkut penelitian formula, arketip, dan ikon fiksi populer
(Adi, 2011:206). Formula yang dimaksud sama dengan kategori naratif yang
diungkapkan oleh Stokes. Stokes (2006:91) mengungkapkan bahwa genre
sekaligus merupakan sebuah kategori naratif: struktur gadis bertemu jejaka dalam
film-film roman selalu merupakan struktur dari semua film dalam genre tersebut.
Di sisi lain, dalam fiksi populer, formula merupakan unsur-unsur dalam karya
sastra, unsur-unsur seperti alur atau plot, tema, penokohan, latar, dan setting. Jadi
dapat dikatakan secara umum, formula dapat disamakan dengan unsur tersebut.
Penelitian genre dapat berarti meneliti formula karena pada dasarnya penelitian
genre meneliti tentang unsur-unsur yang ada dalam fiksi populer (Adi, 2011:209).
Unsur-unsur tersebut berupa struktur naratif yang membentuk cerita pada
novel populer. Struktur naratif disebut pula sebagai plot atau alur. Plot suatu cerita
populer biasanya tidak berbelit-belit, terutama cerita-cerita cinta yang biasa
disebut roman. Pola cerita biasanya dimulai dengan eksposisi, komplikasi,
konflik, klimaks, dan penutup. Di samping itu, cerita biasanya berakhir dengan
12
bahagia atau dengan kemenangan tokoh utama. Hal serupa juga diutarakan Teew
(1989:172). Teew mengungkapkan bahwa patut diperhatikan pula kadang-kadang
tanggapan dari para pembaca terhadap suatu cerita menggerakkan para
pengarangnya untuk membuat cerita menjadi benar-benar happy ending. Dalam
pembuatannya, alur atau plot haruslah masuk akal, yaitu penyajian situasinya
dengan hukum sebab akibat. Sebuah alur harus memberikan gambaran yang tidak
bertentangan dengan kemampuan penalaran pembaca (Adi, 2011:38-44).
Selain plot atau alur, tema novel populer juga memiliki ciri khas tersendiri.
Tema merupakan pokok pembicaraan dalam sebuah cerita atau dapat juga berarti
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Tema merupakan persoalan yang
berhasil menduduki tempat utama dalam cerita. Tema dalam novel populer
biasanya lebih sederhana sehingga dapat dengan mudah diketahui oleh
pembacanya. Dalan novel populer, pengarang dapat membahas hampir semua segi
persoalan dari tema pokok. Selain itu, tema yang diangkat biasanya menyajikan
nilai yang bersifat universal. Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang bersifat
nilai kebajikan manusia (Adi, 2011:44-45).
Penokohan dalam novel populer juga memiliki perbedaan dengan fiksi
serius. Dalam novel populer, para tokohnya hadir dalam jumlah yang lebih
banyak. Tokoh-tokoh tersebut masing-masing digambarkan secara lengkap dan
utuh sehingga novel semacam ini seolah-olah merupakan konsentrasi kisah
beberapa tokoh besar. Karakter tokoh-tokohnya harus berpikir dan bertindak
seperti layaknya manusia dalam dunia nyata. Penokohan di novel populer
menentukan gender tokoh utama tergantung pembaca. Kondisi fisik dan apa yang
13
dilakukan tokoh utama dianggap penting. Penokohan juga berhubungan erat
dengan stereotip yang berkembang di masyarakat (Adi, 2011:46-49).
Dalam novel populer, latar atau setting berperan penting. Latar dalam
novel populer dapat dipakai sebagai alat menarik perhatian pembaca. Latar dapat
juga menentukan jenis cerita itu sendiri. Latar novel populer roman jelaslah
berbeda dengan latar novel populer horor atau petualangan. Selain itu, pembuat
novel populer haruslah jeli dalam mendramatisasikan sebuah situasi yang familiar
bagi pembaca sehingga membuat dunia rekaan yang diciptakannya dapat diterima
oleh pembaca (Adi, 2011:49-50).
Unsur pembentuk cerita yang terakhir adalah suasana. Setiap karya
tersebut harus memiliki suasana pokok tertentu sebagai warna dasar cerita.
Suasana dasar dalam novel populer dapat beragam, artinya dapat ditambah dengan
suasana-suasana lain. Suasana itu dapat sedih, gembira, misterius, patriotik, dan
lain-lain. Fungsi suasana membantu menegaskan tema. Suasana dibentuk oleh
gaya, yaitu cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, tema, meninjau
persoalan, atau apa saja. Suasana ini biasanya ditekankan dalam novel populer
karena unsur ini dapat mengundang pembaca untuk memvisualisasikan apa yang
terjadi dalam novel tersebut (Adi, 2011:51-52).
Meskipun demikian, penelitian genre yang meneliti unsur-unsur formula
di atas umumnya tidak dilakukan dengan melihat kualitas unsur-unsur fiksi, tetapi
efektivitas dalam menarik pembaca atau penonton sehingga penelitian juga
dilakukan secara ekstrinsik. Sebagai pembaca, masyarakat pun mempunyai
keterlibatan yang penting dalam penciptaan fiksi populer karena mau tidak mau
14
sastra populer merupakan suatu produk budaya yang banyak melibatkan
masyarakat. Karena masyarakat heterogen, penciptaan formulanya pun sangat
tergantung pada selera masyarakat penikmatnya (Adi, 2011:209-210).
Di samping formula, unsur lain yang penting dalam fiksi populer adalah
arketipe. Arketipe adalah unsur-unsur yang dapat dikatakan universal.
Sebagaimana dikatakan Cawelti (1971:5-6), pola plot umum ini tidaklah terbatas
pada budaya atau periode tertentu. Namun, pola tersebut kelihatannya menyajikan
tipe cerita yang apabila pengaruhnya tidak universal, populer di banyak budaya
yang berbeda-beda, dan waktu yang berbeda-beda pula. Pada kenyataannya, pola
plot ini merupakan contoh yang disebut oleh beberapa ahli sebagai arketipe atau
pola yang menarik bagi banyak budaya yang berbeda-beda. Senada dengan
Cawelti, Grace (1965:36-37) mengatakan bahwa arketipe adalah simbol yang
menandai keuniversalan tema yang menyentuh sisi kemanusiaan.
1.6
Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang operasional dalam penelitian. Metode
berhubungan dengan proses pengambilan data dan analisis data (Endraswara,
2003:8). Untuk melakukan metode, dibutuhkan teknik. Dengan demikian, metode
adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan
metode (Sudaryanto, 1993:10). Pada penelitian ini akan digunakan metode
kualitatif eksplorasi.
15
Penelitian dengan menggunakan metode ini bertujuan untuk mengetahui
sesuatu yang sebelumnya belum diketahui dan memformulasikan sesuatu.
Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut.
a.
Menentukan objek kajian yang akan diteliti. Pada penelitian ini objek kajian
yang digunakan merupakan objek internal dan eksternal. Objek internal
berupa novel Laskar Pelangi, objek eksternal adalah adaptasi-adaptasi dari
novel tersebut, yakni film Laskar Pelangi, Laskar Pelangi The Series,
Musikal Laskar Pelangi, Laskar Pelangi Song Book, Di Balik Layar Laskar
Pelangi, dan seri Laskar Pelangi anak.
b.
Menemukan masalah-masalah pokok. Masalah pada penelitian ini adalah
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang ada pada novel Laskar Pelangi.
c.
Melakukan studi pustaka dengan mencari dan mengumpulkan data yang
diperlukan dan berkaitan dengan penelitian ini. Pencarian data dilakukan
dengan wawancara. Narasumber yang dipilih adalah Imam Rusdiyanto,
Pemimpin Redaksi penerbit Bentang Pustaka. Selain itu, penelitian ini juga
mencari data berupa Laskar Pelangi The Series ke Komisi Penyiaran
Indonesia Pusat di Jakarta. Data-data yang lain dicari melalui bantuan
portal-portal berita online.
d.
Melakukan analisis terhadap unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel
Laskar Pelangi sebagai fiksi populer. Hasil wawancara dan data yang
didapatkan melalui portal berita online digunakan untuk memperkuat
analisis terhadap objek.
e.
Menarik kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.
16
1.7
Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian.
Keempat bagian tersebut akan diuraikan.
Bab I adalah pendahuluan. Di dalam pendahuluan akan dijelaskan
mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
penyajian.
Bab II berisi mengenai unsur-unsur intrinsik Laskar Pelangi sebagai karya
fiksi populer. Pada bab ini, jawaban rumusan masalah pertama akan ditemukan
dengan studi pustaka dan analisis objek penelitian, yakni novel Laskar Pelangi.
Bab III merupakan jawaban dari rumusan masalah yang kedua, yaitu
unsur-unsur ekstrinsik yang terkandung dalam novel Laskar Pelangi. Dalam bab
ini, jawaban rumusan masalah kedua akan ditemukan melalui wawancara terhadap
narasumber dan data-data dari portal berita online.
Bab IV berisi kesimpulan.
Download