Perlindungan dari Kejahatan Penghilangan Paksa Oleh Zainal Abidin (Deputi Direktur Direktorat Pengembangan Sumber Daya HAM ELSAM) “They're dancing with the missing, They're dancing with the dead, They dance with the invisible ones, They're anguish is unsaid, They're dancing with their fathers, They're dancing with their sons, They're dancing with their husbands, They dance alone, They dance alone...” (They Dance Alone-Sting) Penggalan lagu berjudul “They Dance Alone” di atas menggambarkan kesedihan seorang perempuan Chile yang menari Cueca sendirian, sambil memegangi fotofoto orang-orang tercintanya yang dihilangkan. Lagu ini merupakan sebuah ekspresi simbolis protes terhadap diktator Chile, Augusto Pinochet, yang selama periode pemerintahannya telah membunuh dan menghilangkan ribuan rakyatnya. Di Chile, praktek penghilangan paksa bermula pada 1973, ketika tentara Chile di bawah Jenderal Agusto Pinochet menggulingkan dan membunuh Presiden Allende melalui coup d’etat. Jenderal Pinochet lalu menguasai Chile. Diperkirakan dalam tiga bulan pertama, pasukan Pinochet membunuh atau penghilangan paksa sekitar 1.200 orang. Selama kekuasaannya, kejahatan hak asasi manusia berat tak pernah diusut secara tuntas. Pada 1990, saat diktator Pinochet sudah terguling, Chile membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mempunyai mandat menyelidiki kasus penghilangan orang secara paksa dan pembunuhan yang dilakukan selama rezim militer tahun 1973-1990.[1] Laporan akhir komisi berisi tentang ringkasan 2.279 kasus pembunuhan dan orang hilang.[2] Chile bukan satu-satunya negara yang pernah mempraktekkan kejahatan penghilangan paksa. Di Argentina, selama masa perang kotor (dirty war), terjadi tindakan penghilangan paksa sebagai metode teror dan melenyapkan lawanlawan politik. Penghilangan yang dilakukan oleh rezim militer bermula dari adanya perebutan kekuasaan oleh tentara Argentina dengan sebuah coup d’etat tahun 1976 dan berlanjut dengan tindakan kekerasan dengan tujuan ‘pemberantasan pikiran subversif,’ terutama kepada kelompok atau individu yang dianggap sayap kiri. Diperkirakan antara 10.000 - 30.000 orang dibunuh atau dihilangkan paksa di bawah rezim militer. Pada saat laporan “Nunca Mas” diselesaikan tahun 1984, diperkirakan sebanyak 8.960 orang masih hilang.[3] Pada tahun-tahun 1970an, penghilangan paksa menjadi tren kejahatan politik di berbagai belahan dunia, baik di Asia, Afrika, Eropa, maupun Amerika Latin sendiri. Kejahatan ini dilakukan dengan berbagai motif, di antaranya sebagai metode untuk melakukan teror, mengontrol masyarakat dan menekan oposisi politik terhadap rezim diktator di negara-negara otoriter. Penghilangan paksa sering digunakan sebagai sebagai strategi untuk menyebarkan teror di masyarakat. Perasaan tidak aman dari praktik penghilangan paksa ini tidak terbatas pada orang-orang dekat yang dihilangkan, tetapi berdampak pada komunitas dan masyarakat secara keseluruhan.[4] Penghilangan paksa telah menjadi masalah global dan hingga kini praktek-praktek penghilangan paksa masih terus terjadi. Pada bulan November 2011, ahli-ahli HAM independen PBB untuk penghilangan paksa dan sewenang-wenang melakukan review atas lebih dari 400 kasus yang dilaporkan dan terjadi di hampir 40 negara.[5] Perlindungan dari Penghilangan Paksa Praktik-praktik kejahatan penghilangan orang secara paksa kemudian menjadi perhatian masyarakat internasional. Komunitas internasional berupaya membangun sistem perlindungan dari kejahatan tersebut. Langkah awal untuk membangun instrumen tentang perlindungan terhadap praktek-prektek penghilangan paksa dilakukan sejak tahun 70an berdasarkan dari pengalaman di negara-negara Amerika Latin.[6] Pada tahun 1978, PBB mengeluarkan Resolusi 33/173 tentang Disappeared Persons, dan melalui serangkaian proses yang panjang, pada 1992, muncul Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of all Persons from Enforced Disappearance).[7] Pada 2006, terbit Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa (the International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance). Di tingkat regional, negara-negara benua Amerika juga mempunyai regulasi terkait dengan perlindungan dari praktek-praktek penghilangan paksa. Pada tahun 1994, Majelis Umum Negara-negara Inter-Amerika (the General Assembly of the Organisation of American States/OAS) mengadopsi the Inter-American Convention on Enforced Disappearance of Persons. Dalam sejumlah instrumen tersebut, penghilangan orang secara paksa didefinisikan sebagai kejahatan, dan praktik-praktik penghilangan paksa yang dilakukan secara sistematis atau dalam situasi tertentu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.[8] Praktik penghilangan secara paksa yang dilakukan secara meluas atau sistematis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dimaksud dalam hukum internasional yang berlaku dan harus memperoleh konsekuensi seperti yang berlaku di bawah hukum internasional.[9] Selain itu, penghilangan orang secara paksa merupakan kejahatan yang masih berlanjut (continuing crimes). Terdapat penekanan pada adanya dampak yang berlanjut (continuing effects), dimana para korban penghilangan paksa yang tidak pernah ditemukan dan tidak diketahui nasibnya.[10] Setiap negara mempunyai kewajiban untuk melakukan langkah-langkah terhadap terhadap kejahatan penghilangan orang secara paksa, di antaranya; pertama, memastikan bahwa tidak seorang pun boleh dihilangkan secara paksa tanpa pengecualian apapun,[11] dan setiap negara harus menjamin penghilangan paksa merupakan kejahatan dalam hukum pidananya.[12] Kedua, kewajiban melawan segala bentuk kekebalan hukum (impunitas) dalam kejahatan penghilangan secara paksa,[13] di antaranya adanya tanggung jawab menyelesaian kejahatan penghilangan paksa dengan langkah-langkah yang perlu untuk menyelidiki dan membawa para pelaku ke pengadilan.[14] Ketiga, bertanggung jawab menemukan, mengembalikan, dan memberikan kejelasan nasib para korban yang masih hilang, dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencari, menemukan, dan melepaskan orang hilang, dan dalam kasus korban sudah meninggal, untuk menemukan, menghormati, dan mengembalikan jasad atau sisa mereka.[15] Keempat, kewajiban untuk memenuhi hak-hak para korban untuk mengetahui kebenaran, mendapatkan keadilan dan pemulihan.[16] Selain itu, tanpa mengesampingkan kewajiban untuk melanjutkan penyelidikan sampai nasib orang hilang dapat diklarifikaasi, setiap negara juga harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan situasi hukum orang hilang, yang nasibnya masih belum jelas, serta kejelasan nasib anggota keluarga mereka, dalam hal administrasi kependudukan, kesejahteraan sosial, masalah keuangan, peraturan rumah tangga, dan hak milik pribadi.[17] Konteks Indonesia Indonesia juga tidak lepas dari praktik kejahatan penghilangan paksa, yang terjadi pada masa Orde Baru, dan kasus-kasus yang terjadi semasa pemerintahan pasca Orde Baru. Penghilangan paksa ini dilakukan dengan berbagai motif dan situasi, di antaranya; tuduhan sebagai anggota partai komunis, konflik tanah, aktivitas politik, pemberlakukan operasi militer, dan konflik lainnya.[18] Salah satu kasus penghilangan paksa adalah kasus penculikan aktivis pada tahun 1997-1998. Perlindungan dan mekanisme pertanggungjawaban terhadap kejahatan penghilangan orang secara paksa, selain diatur terbatas di KUHP dengan delik penculikan, pada 2000 keluar UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan UU tersebut, Pengadilan HAM mempunyai yurisdiksi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[19] Dalam UU ini, penghilangan orang secara paksa adalah penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang. Penghilangan orang secara paksa yang dilakukan secara sistematis atau meluas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan [20] Namun implementasi UU No. 26 Tahun 2000 terkait dengan penghukuman kepada para pelaku kejahatan penghilangan orang secara paksa belum berjalan maksimal, salah satu contohnya adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis tahun 1997-1998. Komnas HAM pada September 2003 telah membentuk Tim Pengkajian tentang peristiwa penghilangan Paksa 1997-1998, dan kemudian membentuk Tim Penyelidik. Hasil Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa penculikan dan penghilangan aktivis. Komnas HAM lantas merekomendasikan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti penyelidikan tersebut menjadi penyidikan. Namun Kejaksaan Agung belum memberi respon lebih lanjut dengan alasan masih mengandung masalah secara yuridis. Hasil penyelidikan Komnas HAM juga diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada 28 September 2009, DPR mengeluarkan rekomendasi penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998. Rekomendasi DPR terdiri dari 4 hal; 1) merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM adhoc; 2) merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang; 3) merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang; dan 4) merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Bagi Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. Setelah 2 tahun rekomendasi DPR, belum satu pun rekomendasi yang terpenuhi.[21] Dari keempat rekomendasi DPR, rekomendasi agar Indonesia segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Bagi Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa yang tampak mengalami kemajuan. Komitmen ini sebetulnya sudah terjadi sebelum munculnya rekomendasi DPR. Sebelumnya, Indonesia telah berpartisipasi aktif dalam penyusunan dan menjadi co-sponsor pada Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada Sidang Majelis Umum PBB pada Desember 2006. Di tahun 2010, Pemerintah Indonesia menandatangani Konvensi tersebut, dan sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, penghilangan secara paksa sangat bertentangan dengan prinsi-prinsip demokrasi dan penandantanganan konvensi merupakan bentuk komitmen Indonesia.[22] Pada tahun 2011, komitmen untuk meratifikasi Konvensi kembali ditegaskan sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Periode 2011-2014.[23] Saat ini, Pemerintah tengah mempersiapkan Naskah Akademis dan RUU Ratifikasi untuk Konvensi tersebut. Semoga proses ratifikasi Konvensi tersebut cepat terlaksana untuk memperkuat jaminan perlindungan warga negara dari praktik-praktik kejahatan penghilangan paksa di Indonesia. [1] Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi Chile dibentuk untuk menyelidiki kasus orang hilang paksa dan pembunuhan yang dilakukan selama rezime militer tahun 1973-1990 berdasarkan Supreme Decree No. 355 yang dikeluarkan oleh Cabang Eksekutif Menteri Kehakiman pada 25 April 1990. [2] Laporan akhir Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Chile yang sering disebutkan sebagai ‘Rettig Report’ diajukan ke parlemen pada bulan Februari 1991. [3] Lihat Laporan Comisión Nacional para la Investigación sobre la Desaparición de Personas (CONADEP) atau Komisi Nasional untuk Orang Hilang Argentina (CONADEP) yang dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden Raul Alfonsin untuk menyelidiki kasus orang hilang paksa yang dilakukan selama tujuh tahun rezim militer, yaitu antara 1976-1983. [4] http://www.un.org/en/events/disappearancesday/ [5] http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=40275&Cr=disappearances&Cr1= [6] Irawan Saptono, Penghilangan Paksa dan Eksekusi di Luar Perintah Pengadilan, Occasional Paper Series #1, ELSAM, Jakarta, 2004. [7] Adopted by General Assembly resolution 47/133 of 18 December 1992. http://www2.ohchr.org/english/law/disappearance.htm. [8] Lihat the Inter-American Convention on Enforced Disappearance of Persons. [9] Pasal 5 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa. Lihat juga Statuta Roma 1998 untuk Mahkamah Pidana Internasional (the International Criminal Court), kejahatan penghilangan paksa menjadi salah satu kejahatan dasar (underlying act) kejahatan terhadap kemanusaiaan. Kejahatan-kejahatan penghilangan paksa yang dilakukan dengan sistematis atau meluas masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. [10] Lihat Pasal 17 Deklarasi PBB tentang Perlindungan Semua Orang dari Pengilangan Paksa (United Nations Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance). Pengadilan-pengadilan di negara-negara Amerika Latin dan Pengadilan HAM Inter-Amerika (the Inter-American Court of Human Rights) telah secara khusus menyatakan bahwa penghilangan paksa merupakan “continuing crimes”. [11] Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa. [12] Pasal 5 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa. [13] Bagian Konsideran Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa. Dalam konteks kejahatan penghilangan paksa yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, Statuta Roma 1998 menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang menjadi yurisdiksinya merupakan kejahatan yang sangat keji, yang mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan. Kejahatan tersebut tidak dapat dibiarkan tak dihukum dan penuntutan terhadap mereka secara efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan internasional. Penghukuman ini akan memutus rantai kekebalan hukum (impunity) bagi pelaku kejahatan ini dan akan memberi sumbangan pada dapat dicegahnya kejahatan tersebut. [14] Pasal 3 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa. [15] Pasal 24 (3) Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa. [16] Pasal 24 (1) Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa. [17] Pasal 24 (6) Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa. [18] Irawan Saptono, Penghilangan Paksa dan Eksekusi di Luar Perintah Pengadilan, Occasional Paper Series #1, ELSAM, Jakarta, 2004. [19] Lihat Pasal 4 dan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. [20] Lihat pasal 9 huruf I UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Mengenai penjelasan tentang Unsur-Unsur Kejahatan Terhadap kemanusiaan berupa penghilangan paksa dapat merujuk pada Pedoman Unsur-Unsur Pelanggaran HAM yang Berat dan Tanggung Jawab Komando, diterbitkan oleh Mahkamah Agung. [21] Lihat Progress Report: Dua Tahun Rekomendasi DPR Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998, “Berlanjutnya Penyangkalan Negara, Berlanjutnya Penyangkalan Atas Keadilan”, ELSAM, 2011. [22] Antaranews.com, Indonesia Tandatangani Konvensi Anti Penghilangan Orang, Selasa, 28 September 2010. http://www.antaranews.com/berita/1285651404/indonesia-tandatanganikonvensi-anti-penghilangan-orang [23] Lihat Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2011-2014.