KETERKAITAN ASPEK EKOLOGI DENGAN LOKASI SITUS CANDI DI BALI Oleh: I Wayan Srijaya PRODI ARKEOLOGI FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA 2015 RINGKASAN Pulau Bali memiliki sejumlah bangunan candi , ada yang dibangun secara monumental, tetapi ada pula yang didirikan dengan bentuk pahatan candi tebing. Kedua bentuk candi itu pada dasarnya didirikan sebagai media pemujaan terhadap kepercayaan yang berkembang saat itu. Dari segi kepercayaan yang melatarbelakanginya ada candi Budha dan ada juga candi Hindu. Dalam kesempatan ini yang dibahas hanyalah yang berupa pahatancandi-candi yang ditemukan di beberapa daerah aliran sungai(DAS) tanpa melihat perbedaan latar belakang kepercayaannya. Adapun tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk dapat memahami keterkaitan antara aspek ekologis dengan lokasi situs-situs candi yang ada di Bali. Dengan memahami kondisi ekologis situs-situs candi tersebut maka dapat pula diketahui mengenai alasan-alasan pemilihan lokasi situs-situs tersebut. Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yaitu studi pustaka, observasi, dan wawancara; sedangkan analisis menggunakan analisis deskripstif kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa aspek ekologis terutama sekali bentang lahan (land skape) sangat mempengaruhi pola keruangan dari situs-situs candi tersebut.Oleh karena land skape yang ada seperti itu maka struktur keruangannya pun terbentuk sedemikian rupa sehingga didapatkanlah gugusan candi seperti di Bali.Selain karena land skape yang demikian, dipilihnya lokasi-lokasi itu sebagai tempat dibanguan candi karena adanya konsep bahwa candi akan menjadi suci apabila di didirikan pada tirtha (air).Itulah sebabnya situs-situs candi dibangun pada land skape tebing-tebing sungai dengan bentuk dua dimensi.Namun memiliki fungsi yang sama dengan candi monumental ii KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, maka penelitian dengan judul “Keterkaitan Aspek Ekologi dengan Lokasi Situs Candi di Bali” ini dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan ucapan trimakasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada: 1. Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Ibu Prof.Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha,M.A, atas segala kemudahanan yang telah diberikan selama kegiatan ini berlangsung; 2. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Bali, NTB, dan NTT Bapak Drs. I Wayan Muliarsa, yang telah memberikan ijin untuk menggunakan inventarisasi yang dimilikinya sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan; 3. Para pemangku pura yang dijadikan objek penelitian yang telah memberikan kemudahan dan informasi yang diperlukan penulis; Akhirnya, semoga mereka yang telah memberikan bantuan dalam penelitian ini diberikan umur panjang dan kesehatan,amin. iii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................... i RINGKASAN............................................................................................... ii KATA PENGANTAR .................................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1 1.2 Rumusan masalah .................................................................. 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN.................................. 5 3.1 Tujuan Penelitian.................................................................... 5 3.2 Manfaat Penelitian.................................................................. 5 BAB IV METODE PENELITIAN.............................................................. 6 4.1 Metode Pengumpulan Data..................................................... 6 4.2 Analisis Data ......................................................................... 7 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 8 5.1 Teknologi sebagai Alat Adaptasi ............................................ 8 5.2 Pendirian Bangunan Candi di Jawa......................................... 9 5.3 Pendirian Candi di Bali........................................................... 13 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 19 6.1 Simpulan ................................................................................ 19 6.2 Saran ...................................................................................... 19 BAB II BAB V DAFTAR PUSTAKA iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep adaptasi sebagaimana yang dikekumakan oleh Leslie A. White (1941) adalah suatu usaha untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tertentu. Oleh karena itu, agar mampu mengembangkan pola-pola perilakunya sejak adanya kehidupan dimuka bumi ini, suatu organism memerlukan sarana biologis. Dengan adaptasi biologis ini mengakibatkan berbagai oranisme hidup mempunyai kondisi dan keadaan biologis yang paling sesuai. Itu artinya suatu mahluk hidup tertentu akan mampu bertahan dari berbagai tantangan lingkungan, sebaliknya jika organisma hidup tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada maka dengan sendirinya akan mengalami kepunahan. Itulah sebabnya, adaptasi menuntut pengembangan pola-pola perilaku, yang akhirnya membantu suatu organisma agar mampu memanfaatkan suatu lingkungan tertentu untuk kepentingannya, baik untuk memperoleh bahan pangan ataupun menghindari diri dari ancaman bahaya.Untuk dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkunagn tertentu, maka manusia menciptakan kebudayaa. Kebudayaan sebagai sebuah sistim budaya merupakan seperangkat gagasan-gagasan yang membentuk tingkah laku seseorang atau kelompok dalam suatu ekosistem. Sementara adaptasi mengacu kepada proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan suatu organisma pada suatu lingkungan, dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan dari organisma 1 tertentu. Dengan kebudayaan yang mereka ciptakan, mahluk manusia berkembang dan tetap survival karena ia mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya secara timbal-balik (Purwanto,2005:61). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah yang ingin di kaji pada kesemptan ini adalah sebagai berikut. a. Apakah lokasi situs-situs candi yang ada di Bali dipengaruhi oleh factorfaktor ekologis? b. Apakah pemolaan keruangan situs-situs candi tersebut berkaitan dengan bentang lahan (land skape)? 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk dapat memahami keterkaitan antara aspek ekologis dengan lokasi dari situs-situs candi yang ditemukan di Bali khususnya situs candi tebing, maka diperlukan sejumlah sumber refrensi yang ada kaitannya dengan masalah yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dikemukakan beberapa pandangan dari para ahli. Leslie A. White (1949) sebagaimana di kutip oleh Kresno Yulianto (1990) dalam tulisannya Arti Teknologi bagi Masyarakat Plawangan pada Masa Perundagian, menjelaskan bahwa adaptasi adalah suatu usaha untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tertentu.Tulisan dari White ini menjadi penting dalam upaya memahami tingkah laku masyarakat masa lalu dalam menentukan lokasi sesuai dengan peradaban yang mereka miliki. Dalam perspective yang sama, Hari Poerwanto (2006) dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan dan lingkungan dalam Perspektive Antropologi menjelaskan bahwa untuk tapat mempertahankan kesinambungan hidupanya manusia menciptakan kebudayaan. Dengan kebudayaan yang mereka ciptakan, maka manusia dapat berkembang dan tetap sirvive karena ia mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan secara timbale balik. Dari penjelasan ini dapat diketahui bagaimana manusia masa lalu senantiasa berusaha untuk dapat beradaptasi dengan kondisi ekologis termasuk pula dalam mendirikan bangunan candi. 3 Kemudian Stella Kramrisch (1946) dalam bukunya The Hindu Temple menjelaskan bahwa pendirian banguan suci (kuil) haruslah berdekatan dengan air (tirtha), karena air mempunyai potensi untuk membersihkan, menyucikan dan menyuburkan.Karenanya, menjadi syarat,bahwa pendirian sebuah kuil sebagai pertanda kesucian suatu tempat dan sebagai pusat dan sasaran pemujaan, harus berdekatan dengan air, demikian Soekmono (!977) menegaskannya.Pandangan Kramrisch dan juga Soekmono ini, sangatlah relefan apabila dikaitkan dengan kondiri candi-candi yang ada Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. 4 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui Keterkaitan antara Aspek Ekologis dengan Lokasi Situs Candi di Bali, serta dapat mengetahui pola keruangan sebagai akibat bentang lahan yang berbeda-beda. 3.2 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan kondisi situs-situs candi yang ada di Bali.Selain itu, melalui penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat yang secara langsung bersentuhan dengan situs-situs Candi khususnya candi tebing, untuk mengerti dan memahami mengapa candi-candi itu dibangun seperti itu. 5 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Pengumpulan Data Untuk mendapatkan informasi yang memadai terkait dengan judul penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan dengan studi pustka, observasi, dan wawancara. a. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan langkah awal yang perlu dilakukan dengan tujuan untuk mendapat informasi mengenai objek yang akan diteliti.Berbagai bentuk publikasi yang berkaitan dengan objek penelitian dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan interpretasi.Melalui studi pustaka juga dapat dipereoleh data maupun konsep-konsep yang diinginkan. b. Observasi Untuk mendapatkan gambaran riil dilapangan, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan observasi langsung.Dalam observasi tersebut,peneliti melakukan beberapa kegiatan yaitu mengamati situs-situs yang dijadikan objek, kemudian kondisi ekologis pada setiap situs,selanjutnya mencatat hal-hal yang diperlukan sebagai bahan analisis. c. Wawancara Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan untuk mengumpulkan data tentang berbagai hal dari seseorang atau kelomok orang (Sumanto,1995:86). Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan 6 pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan. 4.2 Analisis Data Data yang telah terkumpul baik melalui hasil studi pustaka, observasi dan wawancara, kemudian dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Analisis kualitatif, sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan seperti dikutif Sugiyono (2010:334) menyatakan analisis kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil observasi lapangan, studi pustaka, dan wawancara sehingga mudah dapat dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.Selanjutnya analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit,melakukan sintesa, menyususn kedalam pola-pola, dan memilih mana yang penting dan yang akan di kaji, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami.Dalam kaitannya dengan penelitian ini analisis deskriptif kualitatif dimaksudkan adalah kegiatan menganalisis dan mendiskripsikan data-data kualitatif baik yang bebertuk monument, maupun kondisi ekologis yang ada disekitar situ. 7 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Teknologi sebagai Alat Adaptasi Strategi adaptasi sebagaimana diuraikan di atas, dapat dijelaskan dari masa berburu dan meramu pada masa prasejarah yang merupakan bentuk adaptasi tertua; dan semakin lama proses penyesuaian kehidupan manusia semakin kompleks, yang akhirnya mahluk manusia sampai pada suatu tingkat kebudayaan tertinggi sehingga berbagai bentuk adaptasi mereka semakin sempurna.Pada masa berburu dan meramu,pola perilaku mahluk manusia yang semata-mata hanya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup pada lingkungan tertentu, maka kebudayaan yang diciptakan disesuaikan dengan bentuk dan bahan bakunya yang masih sederhana. Teknologi yang dikembangkan disebut dengan tehnologi serpih bilah, demikian seterusnya sejalan dengan kemajauan cara-cara berpikir mahluk manusia maka teknologinyapun ikut mengalami kemajuan. Walupun manusia masih mengembangkan pola kehidupan berburu dan mengumpul makanan, namun dalam hal teknologi yang dikembangkan tidak saja terbuat dari batu, tetapi juga sudah dibuat dari tulang binatang yang mereka tangkap(Kaplan dan Manners, 2002:112). Perkembangan teknologi terus mengalami kemajuan baik dari segi bentuk dan fungsinya tidak semata-mata untuk tujuan dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Pada masa bercocok tanam, manusia berhasil menciptakan teknologi peralatan kapak persegi dan kapak lonjong, walaupun bahan bakunya 8 masih menggunakan batu, tetapi pengerjaannya sudah sedemikian bagus dengan cara mengasah.Dan evolusi teknologi manusia masa lalu mengalami perkembangan yang sangat berarti adalah dengan dikenalnya teknologi peleburan bijih logam (Soejono ed.,1975). Pada kurun waktu ini berbagai bentuk teknologi peralatan berhasil di buat dengan fungsinya yang berbeda-beda. Teknologi peralatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan kelangsungan hidup maka dibuatlah berbagai alat-alat yang berhubungan dengan pertanian, sementara untuk memenuhi kebutuhan ritualnya dibuatlah berbagai media seperti nekara perunggu, moko, candrasa (kapak perunggu) yang bentuknya sangat indah dan sebagainya. Itulah sebabnya White menegaskan bahwa dengan kebudayaan yang mereka ciptakan dapat dimanfaatkan untuk proses penyesuaian dengan lingkungan yang sangat ganas. 5.2 Pendirian Bangunan Candi di Jawa Sebagaimana di atas telah disebutkan bahwa,proses adaptasi mahluk manusia mengalami suatu perkembangan dari waktu-ke waktu sesuai dengan kemajuan jamannya.Oleh karena itu, seiring dengan masuknya peradaban baru kedalam ranah kebuadayaan Indonesia telah mewarnai kebudayaan Indosesia berikutnya walaupun sendi-sendi kebudayaan Indonesia masih tetap bertahan.Pada waktu dihadapkan dengan kebudayaan yang lebih maju, mahluk manusia juga mengalami proses penyesuaian dalam hal pola perilakunya. Penyesuaian ini tidak hanya dialami oleh masyarakat yang di datangi peradaban 9 baru itu, tetapi sebaliknya manusia yang membawa peradaban barupun harus menyesuaikan dengan kondisi budaya masyarat local. Oleh sebab itulah, kehadiran peradaban Hindu dan Budha ditengah-tengah kebudayaan Indonesia asli tidak menghilangkan akar budaya yang telah berkembang sebelumnya. Malah sebaliknya, kehadiran kebudayaan India dianggap sebagai penyubur kebudayaan yang sudah ada sebagaimana dikemukakan oleh F.D.K Bosch, 1974 dalam bukunya Proses Hinduisasi di Kepulauan Hindia Belanda.Kehadiran peradaban India ke Nusantara yang diperkirakan telah berlangsung sejak abad IV M tidak saja mengantarkan bangsa ini memasuki masa sejarahnya tetapi juga membawa perubahan yang sangat besar dalam tatanan sosial masyarakatnya.Di satu sisi masyarakat Indonesia diantarkan untuk mengenal huruf dan bahasa, tetapi juga diperkenalkannya agama dan organisasi sosialnya. Organisasi sosial yang dikembangkan dapat di lihat dengan munculnya berbagai kerajaan yang tumbuh dan berkembang di nusantara dari kurun waktu abad IV-XV M. Sedangkan sistem keagamaan yang dikembangkan lebih kepada dua agama besar yaitu Hindu dan Budha sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai bukti baik yang tersurat dan tersirat dalam prasasti maupun karyakarya arsitektur keagamaan sebagaimana dapat disaksikan di Sumatra, Jawa dan Bali serta sedikit di Kalimantan dan NusaTenggara Barat (Soemadio ed, 1975; Nurhadi Magetsari, 1980). Dalam hal pendirian bangunan-banguan suci keagamaan tidak hanya menerapkan konsep-konsep yang di bawa dari India, melainkan juga menyesuaikan dengan konsep-konsep yang sudah berkembang sebelumnya. Salah 10 satu bentuk penyesuaian antara konsep India dengan tradisi lokal adalah dalam pembangunan candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah. Dari sudut arsitekturnya, candi Borobudur merupakan perpaduan antara bangunan teras berundak yang merupakan bentuk arsitektur pada masa pra Hindu dan dipadukan dengan konsep Stupa dalam agama Budha (Soekmono, 1986).Demikian pula dengan tata letaknya dalam satuan lingkungan geografis Kali Elo dan Kali Progo yang memiliki kemiripan dengan pola tata letak stupa Bharhut dalam konteks lingkungan Sungai Gangga dan Sungai Yamuna di India, sebagaimana dikemukakan oleh W.F.Stutterheim (1939) dalam tulisannya yang berjudul Notes on cultural Relations between South India and Java. Strategi adaptasi juga diterapkan dalam pola pemukiman ataupun pusatpusat kegiatan ekonomi masyarakat. Permukiman masyarakat pada waktu berpengaruhnya peradaban Hindu dan Budha masih memilih tempat-tempat yang secara ekologis memiliki sumber daya alam yang memadai untuk bisa dikembangkan seperti lingkungan fisik yang subur untuk bercocok tanam dan tentunya juga memiliki akses yang baik pula untuk berhubungan dengan masyarakat luar. Strategi seperti ini tidak hanya terlihat dalam hal pemukiman masyarakatnya tetapi juga dengan pusat-pusat kerajaan sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi tidak jarang berada pada lingkungan yang memiliki akses langsung keluar sebagaimana ditunjukkan oleh banyak peradaban dunia seperti peradaban Mesopotamia di lembah Sungai Euprat, peradaban Mesir kuno di lembah Sungai Nil, peradaban Harappa dan Mahenjodaro di lembah Sungai Indus (Doedjani,1998). Demikian pula dengan kerajaan Airlangga 11 menggunakan Kali Brantas sebagai akses untuk mengadakan kontak-kontak dengan kerajaan-kerajaan lainnya di nusantara.Selanjutnya akan dikemukakan mengenai pendirian bangunan-banguan keagamaan pada masa Hindu-Budha yang lazim disebut dengan nama Candi atau kuil tempat atau pusat upacara keagamaan yang diselenggarakan untuk kepentingan komunitas pendukungnya. Dalam hubungan ini, bahwa hasil penelitian terhadap bentuk, gaya, ukuran dan lain sebagainya serta fungsinya memberi petunjuk adanya keteraturan. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa telah ada aturan umum yang dipakai sebagai pedoman dalam mendirikan bangunan candi. Untuk mendapat gambaran mengenai lokasi yang dapat digunakan sebagai tempat mendirikan banguan candi atau kuil, akan dikemukakan sumber India kuna yang disebut ManasaraSilpasastra. Dalam kitab ini dibahas mengenai aturan-aturan pendirian kuil di India.Dikatakan bahwa sebelum bangunan kuil didirikan , arsitek pendeta (sthapaka) dan arsitek perencana (sthapati) harus terlebih dahulu menilai kondisi dan kemampuan lahann yang akan dijadikan tempat berdirinya bangunan suci tersebut (Acharya, 1933:13-21;Kramrisch, 1946: 3-17).Kitab ini tidak saja memberi petunjuk mengenai penilaian atas lahan yang akan dijadikan tempat bangunan suci, tetapi juga menjelaskan letak bangunan suci harus berdekatan dengan air, karena air mempunyai potensi untuk membersihkan, menyucikan, dan menyuburkan. Bahkan dalam kitab Silpaprakasa lebih ditegaskan lagi bahwa suatu bidang lahan tanpa sungai harus dihindari sebagai tempat berdirinya bangunan kuil (Boner dan Sarma, 1966:10). Karenanya menjadi syarat, demikian Soekmono, bahwa pembangunan sebuah kuil sebagai pertanda kesucian suatu 12 tempat dan sebagai pusat serta sasaran pemujaan, harus berdekatan dengan air (Soekmono, 1977: 238). Bilamana air ini tidak ada dari sumber alamiah,hendaknya dibuatkan kolam ataupun dengan cara menempatkan sebuah kendi guna menyediakan air itu.Dengan uraian yang dicontohkan dalam kitab Manasara-Silpasastra dan Silpaparakasa dapat kita simpulkan bahwa pertimbangan potensi lahan dan air, ikut memainkan peranan penting dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para arsitek masa lalu berkenaan dengan pemilihan lokasi yang akan digunakan sebagai tempat berdirinya bangunan yang bersifat keagamaan (Mundardjito, 2002:12).Oleh karena demikian pentingnya potensi lahan yang akan dijadikan tempat berdirinya bangunan suci, kiranya perlu dipertegas dengan pernyataan Soekmono (1977:238) sebagai berikut”Sesuatu tempat suci adalah suci karena potensinya sendiri.Maka sesungguhnya, yang primer adalah tanahnya, sedangkan kuilnya hanyalah menduduki tempat nomor dua.”(Ritually,the site of the temple is a Tirtha whereverit is situated) (Kramrisch,1946:5). 5.3 Pendirian Candi di Bali Selanjutnya bagaimana halnya dengan kondisi di Bali yang sejak abad ke VIII diketahui telah mendapat pengaruh peradaban India sebagaimana ditunjukkan oleh penemuan berbagai prasasti maupun benda lainnya. Informasi tertua mengenai sejarah Bali diketahui dari tulisan-tulisan singkat yang terdapat pada meterai tanah liat yang terdapat di dalam stupika tanah liat. Tulisan-tulisan itu berisi tentang mantra-mantra Budha namun tidak menyebut angka tahun. 13 Tulisan serupa juga ditemukan di pintu masuk Candi Kalasan yang memuat selain mantra Budha juga berisi angka tahun caka 778 atau 856 M. atas dasar perbandingan dengan tulisan yang ditemukan di Candi Kalasan inilah ditafsirkan bahwa mantra Budha yang ditemukan di Bali di duga juga berasal dari abad yang sama ( Goris, 1948; 1954).Kemudian sumber tertulis lainnya adalah berupa prasasti Trunyan A, yang oleh Goris disebut sebagai prasasti Yumu pakatahu. Namun prasasti-prasasti ini tidak menyebutkan nama raja yang mengeluarkan titah tersebut. Selanjutnya di Bali juga ditemukan bangunan-bangunan suci baik yang berbentuk pura kuna, maupun candi. Dalam proses pendirian bangunan-bangunan itu, tentu didasari oleh aturan-aturan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hanya saja kita tidak menemukan bukti nyata mengenai aturan yang digunakan sebagai pedoman dalam mendirikan bangunan yang akan dijadikan tempat keagamaan.Namun demikian, di Bali dalam rangka membangun bangunan suci atau bangunan tradisional Bali terdapat sumber tradisional yang disebut Asta Bumi dan Asta Kosala-Asta Kosali. Akan tetapi dalam sumber tradisional ini tidak menjelaskan secara rinci mengenai jenis lahan yang dapat digunakan maupun teknik penmgujian lahan tersebut. Yang dijelaskan dalam sumber tradisional ini lebih kepada masalah ukuran-ukuran, jenis bahan yang dapat digunakan. Namun demikian, dalam kenyataannya ada suatu keteraturan dalam bentuk, gaya maupun ritual yang harus dijalankan dalam pendirian bangunan suci sebagaimana dijelaskan dalam kitab kuna India Manasara Silpasastra dan Silpaprakasa. Oleh karena itulah, dapat diduga bahwa masyarakat masa lalu 14 dalam memilih lokasi dan proses pendirian bangunan suci telah memahami aturan-aturan tersebut walaupun secara tertulis belum ditemukan di Indonesia maupun di Bali,.Tetapi secara lisan mereka kemungkinan mendapat pengetahuan tentang tata cara pendirian bangunan suci dari para imigran India yang datang ke Bali.Hal ini tampak dalam memilih lokasi bangunan suci seperti di puncak bukit, gunung, kemudian dekat dengan sumber mata air atau sungai. Banyaknya bangunan candi yang di bangun dekat sungai atau mata air, mengindikasikan betapa pentingnya peranan air dalam kehidupanan manusia.Demikian pentingnya peranan air suci (tirtha) di kalangan penganut Hindu di India sehingga air selalu disertakan pada setiap upacara. Karena itu pula menjadi syarat dalam mendirikan kuil diusahakan berdekatan dengan air. Suatu tempat suci apabila tidak ada air atau kolam maka dewa-dewa tidak akan berkenan hadir (Kramrisch, 1946: 3-5). Penghormatan terhadap air merupakan gejala yang menonjol di masa lalu. Hal ini terlihat dengan jelas di situs Mahenjodaro di Lembah sungai Indus yang dalam penggaliannya di temukan sebuah permandian yang sangat luas yang berpuncak sebuah stupa. Diperkirakan tempat ini dipergunakan sebagai tempat upacara ke agamaan. Di sebelah timur pemandian dekat tangga naik utama terdapat sebuah sumur besar yang digunakan untuk menyucikan diri sebelum memasuki kuil (Soediman, 1986:128). Selain bukti arkeologis tadi masyarakat India juga percaya bahwa Sungai Gangga merupakan jantung negeri yang suci dan subur berkat airnya daerah- daerah sepanjang aliran sungai ini menjadi subur. Bagi pemeluk Hindu sungai dipandang keramat dan menurut mereka bila berendam di air sungai maka semua dosa di dunia terbasuh (Soediman, 15 1986:129).Air sebagai lambang kesucian juga terdapat dalam kitab Adiparwa yang menyebutkan air atau tirtha yang berfungsi sebagai pembersih segala mala (kotoran) disebut samantapancakatirtha. Air ini dikatakan dapat menghilangkan segala mala bagi raja yang meninggal dalam peperangan , dan bila mandi pada air itu maka lenyaplah segala mala dan sorgalah yang di dapat. Selain sebagai simbol kesucian, air juga di kenal sebagai lambang kesuburan. Sebagai lambang kesuburan, kitab Adiparwa Bab XI:4 menguraikan sebagai berikut: “bhagawan wrhaspati pinaka purohita dening watek dewata. Bhagawan sukra pinake ppurohita dening daitya, mahyun pwa bhagawan sukra menange ning daitya. Magawe ta sire tapa, umaradhana bhatara paramecwara, sewu tahun lawas nira mengawe tapa, inanugrahan ta sira sang hyang amrta sanjiwani hagening manghuripaken mati hana ta sang jayanti ngaran ira, anak sang hyang indra.sira ta manggunggahi ri bhawan sukra, manak sira sang dewayani, hana nikang widyamrtasanjiwani ri bhawan sukra” Terjemahannya: “Bagawan Wrrhaspati menjadi guru para dewa, sedang Bagawan Sukra menjadi guru para Daitya. Sang Sukra menghendaki kemenangan Daitya. Ia bertapa memuja bhatara Prameswara selama 1000 tahun, kemudian dianugrahi amrthasanjiwani, mantra untuk menghidupkan orang yang mati. Ada seorang putra bhatara Indra bernama Sang Jayanti. Ia pergi ketempat bhagawan Sukra, kemudian mempunyai putra Sang Dewayani. Mantra amrthasanjiwani ada pada bagawan Sukra” Kutipan di atas mengisyaratkan begitu besarnya kedudukan air dalam kehidupan manusia sehingga tidak hanya sebagai simbol kesucian, tetapi juga sebagai lambang kesuburan. Apabila ini dihubungkan dengan situs-situs arkeologi yang ada di Bali tampaknya mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan keberadaan air baik sebagai mata air ataupun sungai (Ardika, 1983). 16 Di Bali bangunan suci, selain dalam wujud sebuah bangunan pura juga terdapat sejumlah bangunan candi. Candi yang di bangun ada dalam wujud monument tiga dimensi seperti halnya candi Mengening, Candi Pura Pengukurukuran,Stupa Pegulingan, Stupa Kalibukbuk, tetapi dalam jumlah yang cukup banyak kita temukan dalam wujud dua dimensi seperti kompleks Candi Gunung Kawi Tampaksiring, Candi Krobokan, Candi Kelebutan,Candi Tegalinggah, reruntuhan Stupa Goa Gajah, Candi Jukut Paku, Candi Tatiapi (Suantra dan Muliarsa, 2006).Pada awalnya, di Bali dikembangkan pendirian bangunan candi monumental sebagaimana bangunan stupa Pegulingan, namun kemudian dibangun candi dua dimensi. Dari gambaran di atas, kemudian muncul pertanyaan mengapa pembangunan candi yang lajim berbentuk monumental sebagaimana banyak ditemukan di Jawa dan Sumatra, kemudian di Bali di kembangkan menjadi candi dua dimensi (candi tebing). Apabila ini dikaji secara lebih mendalam diperoleh gambaran bahwa pendirian bangunan candi dalam bentuk dua dimensi lebih sederhana dan tidak memakan waktu lama dan tenaga yang tidak banyak pula.Kenyataan ini dapat dikatakan sebagai uapaya yang dilakukan oleh para penguasa di Bali masa itu untuk menyesuaikan dengan lingkungan alam yang ada. Dengan pembuatan candi relief batu padas tampaknya lebih sederhana dibandingkan dengan mendirikan bangunan monumental seperti candi-candi di Jawa. Namun dari sisi keagamaan yaitu fungsinya, hal itu tidak mengurangi arti dan makna kesuciannya karena bangunan itu didirikan pada tirtha.Dengan kata lain bangunan candi yang didirikan dalam bentuk relief batu padas mempunyai 17 fungsi keagamaan yang sama dengan bangunan candi yang monumental, karena pendirian bangunan suci tersebut telah mengikuti syarat keagamaan yaitu di bangun di dekat tirtha atau sungai.Itulah sebabnya, pada abad ke-12 banyak dibangun candi-candi tebing di sepanjang daerah aliran sungai Pakerisan. Sebagaimana telah di kemukakan di atas, bahwa pembuatan candi tebing sebagaimana di saksikan di Bali secara teknis memang tidak terlalu sulit, tetapi sangat rentan dengan kerusakan. Apabila saat pembuatannya ada yang mengalami kerusakan maka secara keseluruhan akan ditinggalkan karena bagian yang pecah ataupun rusak tidak dapat diganti dengan bahan baru sebagaimana dapat dilihat pada kompleks candi Tegallinggah.Sebaliknya dilihat dari sisi lainya, pendirian candi tebingsebagaimana umumnya ditemukan di Bali tentunya tidak melibantkan banyak pekerja serta biaya yang banyak. Kenyataan ini bila dikembalikan kepada kerajaan yang berkembang waktu itu yang sudah barang tentu kekuasaan dan masyarakatnya belum begitu besar jumlahnya, maka pendirian candi tebing tampaknya menjadi pilihan yang tepat karena lebih sederhana dan efisien.Agak berbeda halnya dengan kerajaan-kerajaan besar di Jawa mulai dari Mataram Kuna sampai Majapahit yang sudah tentu didukung oleh jumlah penduduknya yang cukup banyak sehingga tidak menyulitkan untuk melibatkannya dalam pembangunan candi yang monumental. 18 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Oleh karena itu, dapat ditegaskan disini bahwa pembuatan candi padas pada tebing-tebing sungai selain sebagai bentuk adaptasi manusia dengan lingkungannya, tetapi juga merupakan suatu upaya efisiensi dalam proses pengerjaanya. Sebaliknya dilihat dari asfek fungsinya, candi-candi yang kebanyakan terdapat pada tebing-tebing sungai telah memenuhi syarat sebagaimana di jelaskan dalam kitab-kitab India kuna bahwa sebuah bangunan suci akan menjadi suci karena lokasinya dekat dengan tirtha atau air. 6.2 Saran Penelitian ini belumlah final, akan tetapi masih terbuka ruang untuk dikaji secara lebih mendalam secara multidisiplin.Dengan demikian diharapkan akan dipreoloh gambaran yang komprehensif.Disamping itu, dalam upaya pelestarian situs-situs ini sangat diharapkan peran pemerintah (BPCB Bali,NTB-NTT) partisipasi masyarakat sebagai pemilik. 19 DAFTAR PUSTAKA Acharya,Prasanna Kumar,1933 Architecture of Manasara. London: Oxford University Press. Ardika, I Wayan, 1983, Konsep Tirtha dalam Hubungannya dengan Beberapa situs Arkeologi di Bali. Bali Post, Rabu, 28 Desewmber 1983. Boner, Alice dan Sadasiwa Rath Sarma, 1966, Silpaprakasa.Leiden;E.J Brill. Bosch, F.D.K. 1974 Masalah Penyebalusan Pengaruh India di Hindia Belanda. Jakarta:Bratara Goris, R., 1948 Sejarah Bali Kuna, Singaraja; 1954 Prasasti Bali I. Bandung.NV.Masa Baru Kaplan,David dan Robert A.Manners, 2002, Teori Budaya..Joyakarta:Pustaka Pelajar. Kramrisch, Stella, 1946 The Hindu Temple. Calcuta:University of Calcuta India. Yulianto, Kresno, 1990 Arti teknologi bagi Masyarakat Plawangan pada Masa Perundagian h.42-49 dalam Monumen Karya Persembahan untuk Prof.Dr.R.Soekmono.Jakarta;Lembaran Sastra Seri Penerbitan Ilmiah No II Edisi Khusus Fakultas Sastra Universitas Indonesia Mundardjito, 2002,Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah Yogyakarta.Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Nurhadi Magetsari,1980 Agama Buda di Nusantara. Jakarta; MISI Poerwanto, Hari, 2006 Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.Yogyakarta;Pustaka Pelajar. Soediman, 1986 Kalpataru Lambang Kemakmuran dan Keabadian. Dalam Buku Bapak Guru Persembahan para Murid untuk memperingati 80 tahun Prof. Dr. A.J.Bernet Kempers. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Soejono, R.P. Ed. 1975 Jaman Prasejarah. Dalam Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poespowardojo dan Nugroho Notosusanto Sejarah Nasional Indonesia I Jakarta;Departen Pendidikan dan Kebudayaan. Soekmono,R. 1986 Candi Borobudur Selayang Pandang.Jakarta 20 Soekmono, R. 1977 Candi Fungsi dan Pengertiannya. Semarang; IKIP Semarang Press Soemadio, Bambang ed. 1975 Zaman Kuna. Dalam Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poespowardojo dan Nugroho Notosusanto Sejarah Nasional Indoseia II. Jakarta;Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Suantara, Made dan I Wayan Muliarsa, 2006 Pura Pegulingan, Tirtha Empul dan Goa Gajah Peninggalan Purbakala di Daerah Aliran Sungai Pakerisan dan Petanu. Gianyar: Balai Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali Stutterheim, W.F. 1939 Notes on Cultural Relations between South India and Java, dalam Djawa.Jokyakarta 21