BAB IV ANALISIS

advertisement
BAB IV
ANALISIS
Dalam bab ke-4 ini dibahas mengenai analisis dari hasil pengolahan data
dan kaitannya dengan tujuan dan manfaat dari penulisan tugas akhir ini. Analisis
dilakukan terhadap data pengamatan dan pengolahan data GPS beserta hasilnya.
Selain itu dilakukan juga analisis terhadap besar dan vektor pergeseran
(komponen horisontal dan vertikal) dalam dua kala dan implikasi dari pergeseran
tersebut.
Data pengamatan GPS Pangandaran baik kala ke-1 maupun kala ke-2
memiliki lama pengamatan berkisar antara 10-20 jam. Pada umumnya dari lama
pengamatan ini sudah cukup untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian hingga
level milimeter sehingga diharapkan dapat melihat sinyal deformasi postseismik
pasca Gempa Pangandaran 2006. Jumlah titik pengamatan pada kala ke-1 adalah
28 titik, sedangkan pada kala ke-2 berjumlah 30 titik. Dari jumlah tersebut
terdapat 26 titik yang diamati dalam dua kala maka didapat 25 titik (1 titik lainnya
merupakan titik pengamat) dalam sistem koordinat toposentrik yang dapat
membantu penulis dalam melihat pola deformasi postseismik di Pangandaran.
Lama pengamatan survei GPS ditunjukkan pada gambar 4.1 di bawah ini:
Lama Pengamatan GPS
Episodik 1
Episodik 2
25
20
15
10
5
Gambar 4.1 Perbandingan lama pengamatan GPS Pangandaran kala 1-2
56
LGJW
KRTW
1322
Titik
GP01
1321
1320
1276
1275
1272
1270
0472
0471
0468
0466
0465
0464
0462
0461
0459
0457
0456
0455
0452
0448
0437
0
0270
Jam Pengamatan
30
Pengolahan data GPS Pangandaran ini menggunakan software ilmiah
Bernese 5.0. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam pengolahan data ini
penulis menggunakan tool BPE sehingga pemrosesan jaring pengamatan GPS
dilakukan secara otomatis. Dalam pengolahan data ini setiap sesinya dihasilkan
solusi jaring yang berbeda berdasarkan kriteria-krteria tertentu antara lain panjang
baseline dan jenis receiver yang digunakan sehingga membuat jaring tersebut
memiliki nilai optimum (OBS-MAX). Baseline jaring yang terbentuk berkisar
antara 10 sampai 15 baseline dalam setiap sesinya dengan panjang baseline
terpendek 45 km dan baseline terpanjang 1900 km. Salah satu hal terpenting
dalam pengolahan data GPS adalah bagaimana dalam memecahkan ambiguitas
fase sehingga ketelitian data fase menjadi lebih baik. Dari hasil pengolahan data
tersebut, terdapat beberapa baseline dengan pemecahan ambiguitas fase yang
kurang baik antara lain 9 baseline pada kala 1 dan 10 baseline pada kala 2.
Resolusi dari pemecahan ambiguitas fase dari baseline yang kurang baik tersebut
berkisar di bawah 60 %. Kondisi resolusi ambiguitas fase yang kurang baik
tersebut menyebabkan ketelitian koordinat yang dihasilkan menjadi kurang baik.
Kondisi dari resolusi pemecahan ambiguitas yang kurang baik dapat dilihat pada
gambar 4.2 dan gambar 4.3 di bawah ini:
Baseline 2006 dengan Resolusi Ambiguitas Fase yang kurang baik
70
60
%
50
40
30
20
10
0
0462-GP01
0464-BAKO
1321-GP01
0461-BAKO
COCO-LGJW
0455-GP01
0456-BAKO
0457-BAKO
Baseline
Gambar 4.2 Baseline pengamatan GPS 2006 dengan resolusi ambigutas fase yang kurang baik
57
Baseline 2007 dengan Resolusi Ambiguitas Fase yang kurang baik
60
50
%
40
30
20
10
0
0462-GP01 0464-BAKO 1275-BAKO 0461-GP01 GP01-LGJW 0466-GP01 0455-GP01 0437-BAKO 0457-GP01
Baseline
Gambar 4.3 Baseline pengamatan GPS 2007 dengan resolusi ambigutas fase yang kurang baik
Hasil dari pengolahan data GPS ditampilkan dalam sistem koordinat
toposentrik beserta standar deviasinya. Dari 28 titik pada kala ke-1 dan 30 titik
pengamatan pada kala ke-2, semua titik menghasilkan standar deviasi dalam fraksi
milimeter dengan ketelitian komponen utara lebih baik dari komponen timur dan
komponen tinggi. Hal tersebut dikarenakan lama pengamatan yang cukup lama
dan penggunaan software ilmiah sehingga dapat mereduksi atau mengeliminasi
efek dari kesalahan dan bias dalam pengamatan data. Namun dari pola standar
deviasi tersebut, terdapat beberapa titik yang memiliki nilai standar deviasi yang
cukup besar yaitu 5 titk pada kala ke-1 dan 4 titik pada kala ke-2. Titik-titik
tersebut antara lain titik 0462, titik 1321, titik 0461, titik LGJW, titik 0466, titik
1320 dan titik 0455. Ketelitian yang kurang baik tersebut bisa dilihat dari
persentase resolusi ambiguitas keenam titik yang rendah jika dibandingkan
dengan titik-titik lainnya. Selain itu, ketelitian yang lebih rendah tersebut juga bisa
dilihat dari lama pengamatannya, misal titik LGJW dan 0466 hanya diamati dalam
waktu 9 jam pengamatan. Analisis ketelitian hasil juga dapat dilihat dari obstruksi
pengamatan misal pada titk 0462, titik LGJW, titik 0455 dan titik 0461 dikelilingi
pepohonan sehingga dapat terjadi multipath dan sedikitnya satelit yang bisa
ditangkap oleh receiver GPS. Faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil
pengolahan adalah jenis receiver. Idealnya jenis receiver yang digunakan dalam 2
kala pengamatan adalah sama agar kesalahan karena pusat fase antena juga sama.
58
Hal tersebut dapat dilihat pada titik LGJW, jika pada kala pertama titik ini
menggunakan receiver tipe ASHTECH Z-XII3, maka pada kala ke-2 receiver
yang digunakan adalah tipe TRIMBLE 4000SSI. Hasil ketelitian pengolahan data
dapat dilihat dari grafik standar deviasi sistem koordinat toposentrik pada gambar
4.4 dan gambar 4.5 sebagai berikut :
komponen utara
komponen timur
LGJW
KRTW
1322
GP01
1321
1320
1276
1275
1272
1270
0472
0471
0468
0466
0465
0462
0461
0459
0457
0456
0455
0452
0448
0437
komponen tinggi
0270
Standar Deviasi (mm)
Ketelitian Hasil Pengolahan Data Kala 2006
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Tahun
Gambar 4.4 Standar deviasi koordinat Pangandaran 2006
3
2.5
2
komponen utara
1.5
komponen timur
1
komponen tinggi
0.5
LGJW
KRTW
GP01
1322
1321
1320
1276
1275
1272
1270
0472
0471
0468
0466
0465
0462
0461
0459
0457
0456
0455
0452
0448
0437
0
0270
Standar Deviasi (mm)
Ketelitian Hasil Pengolahan Data Kala 2007
Tahun
Gambar 4.5 Standar deviasi koordinat Pangandaran 2007
Setelah membahas data pengamatan dan hasil pengolahannya, maka
tahapan selanjutnya adalah membahas vektor pergeseran titik dari dua kala, baik
komponen pergeseran horisontalnya maupun komponen pergeseran vertikalnya.
Dalam menentukan vektor pergeseran ini, terlebih dahulu koordinat hasil
pengolahan beserta standar deviasinya ditransformasi ke dalam sistem koordinat
toposentrik.
Dari hasil plotting data menggunakan GMT, semua vektor
pergeseran titik menuju arah tenggara dengan besar pergeseran horisontal berkisar
antara 3-5 cm kecuali titik 0462 yang bergeser lebih dari 10 cm dan titik 1321
59
yang bergeser sejauh 7 cm. Sedangkan untuk komponen vertikalnya, titik-titik
pengamatan mengalami pergeseran baik naik maupun turun. Dari 25 vektor
pergeseran, terdapat empat titik yang mengalami penurunan yaitu titik 0471, titik
1272, titik 1321 dan titik LGJW, sedangkan 21 titik lainnya mengalami
pengangkatan. Perbedaan komponen vertikal ini bisa disebabkan oleh hasil
pengolahan yang kurang baik (ditunjukkan oleh standar deviasi) atau faktor-faktor
lain seperti sifat fisis batuan yang dapat mempengaruhi pergeseran. Walaupun
vektor pergeseran Pangandaran ini memiliki trend naik, namun mengacu kepada
dasar teori bahwa pada tahapan postseismik seharusnya daerah pengamatan
mengalami penurunan karena pengangkatan terjadi pada tahapan interseismik.
Oleh karena itu dapat sangat sulit untuk menyatakan bahwa titik-titik pengamatan
mengalami pengangkatan.
Titik-titik pengamatan GPS terletak pada salah satu lempeng yang mengalami
pergerakan setiap tahunnya yaitu lempeng eurasia dan pulau jawa merupakan
bagian dari Sunda block yang memiliki pergerakan ke arah timur dengan
kecepatan 2 cm/tahun (komponen northing sebesar -0,2 cm/tahun dan komponen
easting sebesar 2 cm/tahun). Pergerakan sunda block tersebut ditentukan
menggunakan model Euler Pole (Bock et al, 2003) dengan lintang Euler pole
=38,9° dan bujur euler pole =-86,9° (mekanisme perhitungan sunda block dapat
dilihat pada lampiran). Oleh karena itu, vektor pergeseran toposentrik di atas
masih dipengaruhi oleh pergerakan sunda block tersebut. Dengan demikian,
vektor pergeseran di atas harus dikurangi dengan vektor pergeseran dari sunda
block di setiap titik pengamatan sehingga dihasilkan vektor pergeseran
postseismik akibat gempa Pangandaran 2006. Dari hasil pengurangan sunda block
tersebut, komponen utara menjadi sedikit lebih pendek dan komponen timur
menjadi lebih ke selatan sehingga vektor pergeseran menjadi berubah arahnya
lebih ke selatan. Sedangkan komponen tinggi tetap karena pergerakan sunda block
ini hanya berpengaruh kepada komponen horisontal.
60
Adapun pergeseran postseismik tersebut ditampilkan pada tabel 4.1 di
bawah ini.
Tabel 4.1 Vektor Pergeseran Postseismik Gempa Pangandaran 2006
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Titik
0270
0437
0448
0452
0455
0456
0457
0459
0461
0462
0465
0466
0468
0471
0472
1270
1272
1275
1276
1320
1321
1322
GP01
KRTW
LGJW
Pergeseran Utara
ΔN-Sb
(cm)
Pergeseran Timur Pergeseran Tinggi
ΔE-Sb
ΔU
(cm)
(cm)
-2.41
-3.23
-3.34
-4.29
-3.93
-4.56
-3.41
-3.28
-3.70
-3.27
-3.30
-4.66
-4.09
-3.07
-4.06
-2.47
-1.31
-3.95
-2.07
-2.15
-6.41
-3.07
-2.74
-3.76
-2.24
1.52
1.02
0.43
2.51
0.22
0.95
1.07
0.66
1.59
8.38
-0.16
-2.22
1.02
0.46
0.36
-0.49
0.65
0.88
1.28
0.07
-1.63
0.92
0.70
-1.04
-1.91
61
3.83
2.83
0.49
0.87
3.37
4.30
2.08
4.15
1.95
9.70
3.03
1.64
2.35
-19.54
3.56
1.47
-7.23
2.26
2.94
3.87
-17.05
2.00
0.82
0.44
-7.75
Pergeseran Postseismik Pangandaran 2006 (efek dari pergerakan Sunda Block telah dihilangkan) ditunjukkan pada gambar 4.6 di
bawah ini :
Gambar 4.6 Plotting Vektor Pergeseran Postseismik Gempa Pangandaran 2006
62
Dari hasil plotting vektor pergeseran postseismik akibat gempa Pangandaran
2006, terlihat ada 2 titik yang berbeda sekali dengan pola pergeseran yang terjadi yaitu
titik 0462 dan titik 1321. Kemungkinan pertama bahwa pengamatan dan pengolahan
datanya mengalami error atau kesalahan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Kemungkinan lainnya adalah bahwa di daerah kedua titik tersebut, mugkin saja terdapat
patahan-patahan lokal sehingga dapat diindikasikan bahwa pergerakan yang terjadi pada
kedua titik tersebut adalah benar-benar deformasi. Oleh karenanya diperlukan studi lebih
lanjut untuk memastikan bahwa pergeseran yang terjadi di kedua titik tersebut adalah
deformasi atau hanya error.
Hasil vektor pergeseran dalam dua kala tersebut dilakukan uji statistik agar secara
kualitatif vektor pergeseran tersebut mengindikasikan baik tidaknya hasil pengolahan
vektor pergeseran titik-titik di sekitar Pangandaran. Uji statistik ini dilakukan dengan cara
menguji variabel pergeseran titik (Pij) dari pengamatan kala i ke kala j yang nilainya
dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Pij = ( dNij2 + dEij2 + dUij2 )
Hipotesa nol yang digunakan pada uji statistik ini adalah titik tidak bergeser dalam
selang i ke j sehingga :
Hipotesa nol
Ho : Pij = 0
Hipotesa alternatif
Ha : Pij ≠ 0
Statistik yang digunakan dalam menguji pergeseran titik-titik pengamatan di
Pangandaran adalah :
T = Pij / SPij
Dimana Spij adalah standar deviasi dari Pij dan T adalah besaran yang menunjukkan
signifikan tidaknya pergeseran yang terjadi. Pergeseran dinyatakan signifikan atau
hipotesa nol ditolak adalah (Wolf and Ghilani, 1997) :
T > t df,α/2
Dimana df adalah derajat kebebasan dan α adalah level signifikan yang digunakan untuk
uji statistik. Dalam kasus penentuan vektor pergeseran menggunakan GPS, data yang
teramati sangatlah banyak. Oleh karena itu df diasumsikan tidak terhingga. Dengan level
kepercayaan 99 %, maka nilai t df,α/2 adalah 2,576 (Wolf and Ghilani, 1997). Hasil vektor
63
pergeseran Pangandaran diuji dengan menggunakan formula ini dan hasil uji statistik
menyatakan bahwa 25 vektor pergeseran titik pengamatan di Pangandaran kala 2006 dan
2007 mengalami pergeseran yang signifikan (hasil perhitungan uji statistik ini dapat
dilihat pada lampiran).
Analisis di atas baik dari segi data, pengolahan data hingga vektor pergeseran
yang didapat menunjukkan terjadinya pergeseran pada titik-titik di sekitar Pangandaran
selama selang waktu 2006-2007. Hal tersebut memiliki implikasi ke beberapa hal.
Pertama, titik-titik yang diukur merupakan titik-titik BPN dan BAKOSURTANAL yang
merupakan titik-titik ikat dan digunakan sebagai referensi dalam berbagai keperluan.
Karena titik-titik ikat tersebut mengalami pergeseran sekitar 2-4 cm akibat deformasi
postseismik gempa Pangandaran 2006. Perubahan koordinat tersebut akan berpengaruh
dalam keperluan-keperluan yang menuntut ketelitian tinggi. Oleh karena itu titik-titik
pengamatan tersebut perlu direvisi kembali sehingga didapat koordinat-koordinat baru.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa untuk melihat
mekanisme dari gempa bumi dan tsunami di Pangandaran adalah dengan cara melihat
deformasi yang mengeringi tahapan mekanisme setelah terjadinya gempa bumi yaitu
coseismik dan postseismik. Pergerakan coseismik yang terjadi akibat gempa Pangandaran
2006 adalah 2 cm dengan arah menuju pusat gempa di selatan pantai Pangandaran
(www.gd.itb.ac.id). Sedangkan pada tahapan postseismik dari hasil pengolahan data GPS
ini, penulis dapat mengetahui besaran dan pola deformasi postseismik akibat gempa
Pangandaran 2006 sebesar 2-4 cm. Pola deformasi postseismik yang terjadi merupakan
titik-titik yang merepresentasikan pergeseran menunjukkan sinyal deformasi postseismik
dengan arah selatan atau dengan kata lain pola postseismik yang terjadi memiliki arah
yang sama dengan pergeseran kerak bumi akibat deformasi coseismik.
64
Download